Suap (Bribery)
Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi dalam
Pengambilan Keputusan
Alihkan ke: Korupsi.
Abstrak
Suap (bribery) merupakan salah satu bentuk korupsi
paling merusak yang memengaruhi kualitas pengambilan keputusan dalam ranah
publik dan pemerintahan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis
praktik suap dari perspektif hukum nasional dan internasional, serta dari sudut
pandang etika dan moralitas publik. Dengan mengacu pada literatur akademik,
regulasi antikorupsi, serta studi kasus di Indonesia dan dunia (seperti kasus
e-KTP, Odebrecht, dan Siemens), artikel ini menunjukkan bahwa suap tidak hanya
mencederai prinsip keadilan dan meritokrasi, tetapi juga memperlemah institusi
dan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Analisis filosofis menunjukkan
bahwa suap bertentangan dengan prinsip utilitarianisme, deontologi, dan etika
kebajikan. Seluruh agama besar dunia pun menolak praktik ini secara tegas.
Upaya pemberantasan suap memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup reformasi
kelembagaan, penguatan etika aparatur negara, penegakan hukum yang konsisten,
partisipasi masyarakat, pendidikan antikorupsi, serta kerja sama internasional.
Artikel ini merekomendasikan perlunya membangun sistem tata kelola yang
transparan dan berintegritas sebagai strategi jangka panjang dalam memerangi
budaya suap dan korupsi.
Kata Kunci: Suap, Korupsi, Etika Publik, Penegakan Hukum,
Integritas, Tata Kelola Pemerintahan, Pendidikan Antikorupsi.
PEMBAHASAN
Suap (Bribery) dalam Perspektif Hukum dan Etika Publik
1.
Pendahuluan
Korupsi merupakan
ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan bertanggung
jawab. Salah satu bentuk korupsi yang paling umum dan merusak adalah suap
(bribery), yaitu pemberian atau penerimaan sesuatu yang
bernilai guna memengaruhi keputusan atau tindakan seseorang yang memiliki
kekuasaan atau kewenangan tertentu. Praktik suap merusak integritas institusi
publik dan memperkuat budaya transaksional dalam sistem pengambilan keputusan,
sehingga menimbulkan ketimpangan dalam akses pelayanan, pengambilan kebijakan,
serta distribusi sumber daya publik. Menurut World Bank, suap merupakan praktik
korupsi yang terjadi ketika seseorang menawarkan, memberikan, menerima, atau
meminta sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan pejabat publik atau
pengambil keputusan dalam pelaksanaan tugas resmi mereka.¹
Fenomena suap tidak
hanya mencederai prinsip-prinsip hukum dan demokrasi, tetapi juga menyimpang
secara etis dan moral. Dalam konteks pemerintahan modern, di mana akuntabilitas
dan transparansi menjadi pilar utama, suap menunjukkan adanya kegagalan sistem
dalam memastikan integritas serta keadilan dalam proses administrasi dan
pelayanan publik. Bahkan dalam laporan Transparency International, praktik
suap telah menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara,
memperkuat oligarki kekuasaan, dan memperluas jurang kesenjangan sosial.² Di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, suap menjadi tantangan struktural
dalam penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
tindak pidana suap mendominasi jenis kasus korupsi yang ditangani selama dua
dekade terakhir.³
Dari perspektif
hukum nasional, suap dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
mencakup unsur pemberi dan penerima suap, serta objek suap yang bisa berupa
uang, barang, jasa, atau fasilitas lainnya.⁴ Namun demikian, pendekatan hukum
saja belum cukup untuk memberantas suap secara efektif. Diperlukan juga
pendekatan etis dan kultural yang menyasar pada pembentukan karakter individu
dan penguatan nilai-nilai integritas, terutama bagi aparatur negara dan
pemegang kekuasaan publik.
Kajian ini bertujuan
untuk menyelami praktik suap secara lebih mendalam, baik dari aspek konseptual,
yuridis, maupun etis. Selain menguraikan bentuk, modus, dan dampak dari praktik
suap, artikel ini juga mengkaji dinamika penyebab dan kelemahan sistemik yang
memungkinkan tindakan suap terus berlangsung. Dengan mengintegrasikan
pendekatan hukum dan etika publik, kajian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam merumuskan strategi pencegahan yang tidak hanya represif,
tetapi juga transformatif dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank, (Washington, DC: World Bank, 1997), 8.
[2]
Transparency International, Global Corruption Report 2004:
Political Corruption, (London: Pluto Press, 2004), 14.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023,
(Jakarta: KPK RI, 2024), 22–25.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134.
2.
Konseptualisasi Suap (Bribery)
2.1.
Definisi Suap
Secara umum, suap
(bribery) didefinisikan sebagai tindakan memberikan atau
menerima sesuatu yang bernilai—baik berupa uang, barang, jasa, maupun
janji—dengan maksud untuk mempengaruhi tindakan seseorang yang memiliki
kewenangan dalam kapasitas resminya.¹ Menurut World Bank, suap merupakan bentuk
pertukaran tidak sah antara pemberi dan penerima, yang mencederai integritas
institusi dan mendistorsi keputusan publik.² Dalam perspektif hukum pidana,
suap termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi karena adanya unsur quid pro
quo, yaitu imbal jasa atas tindakan tertentu dari pejabat publik
atau figur berwenang.³
Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) tahun 2003 merumuskan suap
sebagai tindakan “memberikan, menjanjikan, atau menawarkan keuntungan yang
tidak sah kepada pejabat publik atau pihak swasta untuk bertindak atau tidak
bertindak dalam pelaksanaan tugas resmi mereka.”⁴ Definisi ini menekankan
dua pihak utama: pemberi (briber) dan penerima
(bribee), serta memperluas cakupan dari sektor publik ke sektor
swasta.
2.2.
Unsur-Unsur Suap
Suatu tindakan dapat
dikategorikan sebagai suap apabila memenuhi unsur-unsur berikut:
1)
Adanya pemberian atau
janji sesuatu yang bernilai, seperti uang, barang mewah, fasilitas,
atau bentuk keuntungan lainnya;
2)
Adanya pejabat publik atau
pihak yang memiliki kewenangan dalam konteks hubungan kuasa;
3)
Tujuan dari pemberian
tersebut adalah untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan tertentu
dalam kapasitas formal;
4)
Tindakan tersebut bersifat
melawan hukum, karena menyimpang dari prosedur yang sah atau merugikan
kepentingan umum.⁵
Unsur-unsur ini
menjadi acuan utama dalam proses pembuktian di pengadilan, dan digunakan oleh
berbagai lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk
menilai kelayakan suatu kasus dikategorikan sebagai suap.
2.3.
Perbedaan Suap dengan Gratifikasi dan Pemerasan
Perlu dibedakan
antara suap dengan bentuk korupsi lainnya seperti gratifkasi
dan pemerasan.
Suap bersifat saling menguntungkan dan biasanya
terjadi secara diam-diam melalui kesepakatan informal antara dua pihak.
Sedangkan gratifikasi cenderung tidak selalu disertai niat jahat dan bisa
diberikan setelah
suatu tindakan dilakukan, meskipun tetap wajib dilaporkan sesuai dengan
peraturan. Pemerasan (extortion), sebaliknya, terjadi ketika seseorang dipaksa
untuk memberikan sesuatu di bawah tekanan atau ancaman oleh pejabat yang
berwenang.⁶
2.4.
Jenis-Jenis Suap
Dalam praktiknya,
suap dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan konteks dan
pelakunya, antara lain:
1)
Suap administratif (petty
bribery) – terjadi dalam layanan publik sehari-hari seperti pengurusan
dokumen, layanan kesehatan, atau perizinan.⁷
2)
Suap politis (grand
bribery) – melibatkan jumlah uang besar dan biasanya bertujuan
mempengaruhi kebijakan atau proyek strategis nasional.
3)
Suap yudisial –
menyangkut pemberian kepada aparat penegak hukum atau hakim untuk memengaruhi
proses hukum.
4)
Suap institusional
– bersifat sistemik, melibatkan jaringan birokrasi, swasta, dan elit politik
yang membentuk state capture.⁸
Setiap jenis suap
memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap sistem pemerintahan dan kepercayaan
publik. Namun kesamaannya terletak pada prinsip bahwa semua bentuk suap
bertentangan dengan nilai keadilan, integritas, dan pelayanan publik yang
profesional.
2.5.
Perspektif Teoretis terhadap Suap
Dalam kajian ilmu
sosial dan ekonomi politik, suap sering dijelaskan melalui pendekatan teori
agensi (principal-agent theory), di mana pejabat publik sebagai
agen menyalahgunakan wewenangnya demi keuntungan pribadi, bukan untuk
kepentingan pemberi mandat (rakyat).⁹ Selain itu, teori
perilaku oportunistik (opportunistic behavior) menjelaskan
bahwa individu akan melakukan suap jika kontrol dan sanksi dianggap lemah, atau
ketika norma sosial permisif terhadap praktik semacam itu.¹⁰
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 28.
[2]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 8.
[3]
Tim Lindsey and Simon Butt, Corruption and Law in Indonesia: The
Unravelling of Indonesia’s Anti-Corruption Framework (London: Routledge,
2018), 73.
[4]
United Nations, United Nations Convention against Corruption (New
York: United Nations, 2004), Article 15.
[5]
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Korupsi dan Penegakan Hukum
(Jakarta: Kencana, 2019), 107–108.
[6]
Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Teori Hukum Pidana Korupsi
Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), 45.
[7]
Daniel Kaufmann and Pedro Vicente, "Legal Corruption," Economics
& Politics 23, no. 2 (2011): 195–219.
[8]
Mushtaq H. Khan, "Political Settlements and the Governance of
Growth-Enhancing Institutions," in Growth and Economic Transformation,
ed. D. North et al. (New York: Oxford University Press, 2010), 23–63.
[9]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 56–60.
[10]
Johann Graf Lambsdorff, The Institutional Economics of Corruption
and Reform: Theory, Evidence and Policy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2007), 91.
3.
Landasan Hukum Terkait Tindak Pidana Suap
3.1.
Kerangka Hukum Nasional
Di Indonesia, tindak
pidana suap dikategorikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 13 UU
tersebut, dijelaskan secara eksplisit mengenai delik suap menyuap, baik dari
sisi pemberi
(active bribery) maupun penerima (passive bribery).¹
Contohnya, Pasal 5
ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp250
juta.² Sementara itu, Pasal 12 huruf a dan b
menegaskan bahwa penerimaan hadiah atau janji oleh pejabat publik untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dianggap sebagai tindak pidana suap dan
dapat dikenai pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua
puluh tahun.³
Hukum pidana
Indonesia mengadopsi pendekatan yang dualistis, yakni menempatkan
suap sebagai delik umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan sebagai delik khusus dalam UU Tipikor. Dalam KUHP,
ketentuan suap diatur dalam Pasal 209 dan 210, namun sanksi
yang dijatuhkan cenderung lebih ringan dibanding UU Tipikor, sehingga penerapan
UU Tipikor lebih banyak diprioritaskan dalam praktik penegakan hukum
kontemporer.⁴
Selain itu, UU ASN
(Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)
dan UU No.
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga memberikan
dasar etis dan administratif dalam menindak pejabat publik yang terbukti
menerima suap, meskipun tidak selalu sampai pada ranah pidana.⁵
3.2.
Kerangka Hukum Internasional
Komitmen Indonesia
terhadap pemberantasan suap juga ditegaskan melalui ratifikasi Konvensi
PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC)
melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
Konvensi ini menuntut negara-negara pihak untuk mengkriminalisasi berbagai
bentuk suap, baik yang melibatkan pejabat publik domestik maupun asing, serta
memperluas cakupan pada sektor swasta.⁶
Pasal 15
UNCAC menyatakan bahwa setiap negara wajib mengatur tindak
pidana suap terhadap pejabat publik nasional, baik dari sisi pemberian maupun
penerimaan, termasuk janji atau keuntungan tidak sah yang ditujukan untuk
mempengaruhi tindakan resmi.⁷ Dalam konteks globalisasi, pentingnya mengatur
suap lintas negara menjadi krusial, terutama terkait praktik bribery
of foreign public officials yang banyak terjadi dalam sektor
perdagangan dan investasi multinasional.
Indonesia juga telah
terlibat dalam berbagai forum internasional seperti OECD
Anti-Bribery Working Group dan APEC Anti-Corruption and Transparency
Initiative, meskipun belum menjadi anggota penuh OECD.
Keterlibatan ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menyelaraskan standar
hukum nasional dengan standar internasional dalam pemberantasan suap.⁸
3.3.
Lembaga Penegak Hukum dan Implementasi
Penegakan hukum
terhadap tindak pidana suap di Indonesia dilaksanakan oleh beberapa institusi,
antara lain:
1)
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yang memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap perkara suap dengan pelaku penyelenggara negara atau kasus
yang menyangkut kerugian besar dan perhatian publik luas.⁹
2)
Kejaksaan RI dan Kepolisian,
yang menangani perkara di luar kewenangan KPK sesuai pembagian tugas dan
kapasitasnya.
3)
Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), yang menjadi forum yudisial utama dalam memutus
perkara suap berdasarkan pembuktian yang diperoleh dari aparat penegak hukum.
Meskipun kerangka
hukum sudah cukup lengkap, namun pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku
suap sering menghadapi kendala, seperti lemahnya pembuktian, intervensi
politik, serta budaya permisif di kalangan elit. Selain itu, pemberian remisi
dan hukuman ringan terhadap pelaku suap juga menimbulkan persepsi negatif di
tengah masyarakat.¹⁰
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
[2]
Ibid., Pasal 5 ayat (1).
[3]
Ibid., Pasal 12 huruf a dan b.
[4]
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Korupsi dan Penegakan Hukum
(Jakarta: Kencana, 2019), 111.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
[6]
United Nations, United Nations Convention against Corruption
(New York: United Nations, 2004), Article 15.
[7]
Ibid.
[8]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), OECD
Anti-Bribery Convention and Enforcement, accessed July 8, 2025, https://www.oecd.org/corruption.
[9]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tugas dan Kewenangan KPK,
accessed July 8, 2025, https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/tugas-fungsi-dan-wewenang.
[10]
Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia
(London: Routledge, 2018), 147–150.
4.
Dampak Suap terhadap Tata Kelola dan Kehidupan
Publik
Praktik suap
(bribery) merupakan bentuk korupsi yang memiliki efek destruktif terhadap
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya mengganggu integritas
lembaga publik, suap juga memperburuk kualitas demokrasi, memperbesar
ketimpangan sosial, serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan
keadilan. Dampak tersebut tidak bersifat sektoral atau jangka pendek, melainkan
bersifat sistemik, merusak fondasi good governance, dan berdampak
intergenerasional.
4.1.
Merusak Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
(Good Governance)
Salah satu pilar
utama tata kelola yang baik adalah transparansi, akuntabilitas, dan integritas.
Suap secara langsung merusak ketiga pilar tersebut karena keputusan yang
seharusnya didasarkan pada prinsip meritokrasi dan kepentingan publik menjadi
tunduk pada kepentingan transaksional. Dalam banyak kasus, pejabat publik yang
menerima suap mengutamakan pemberi suap daripada melayani masyarakat secara
adil, sehingga proses birokrasi menjadi tidak objektif dan diskriminatif.¹
Laporan World
Bank menyatakan bahwa korupsi—termasuk suap—menurunkan efisiensi
pelayanan publik dan meningkatkan biaya administratif, terutama dalam
sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan perizinan.² Bahkan,
dalam konteks negara berkembang, biaya transaksi yang tidak sah ini dapat
mencapai hingga 20–30% dari anggaran proyek, memperburuk pemborosan fiskal dan
melemahkan kinerja pembangunan.³
4.2.
Menghambat Pertumbuhan Ekonomi dan Iklim
Investasi
Suap berdampak
negatif terhadap dunia usaha dan iklim investasi. Ketika proses bisnis
bergantung pada “uang pelicin” atau hubungan khusus dengan pejabat publik, maka
keunggulan kompetitif tidak lagi ditentukan oleh inovasi atau kualitas, tetapi
oleh akses terhadap praktik suap. Hal ini menciptakan ekonomi biaya tinggi (high
cost economy) dan mengurangi insentif untuk berinvestasi secara
jangka panjang.⁴
Sebuah studi oleh OECD
menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat suap tinggi cenderung memiliki
pertumbuhan ekonomi lebih lambat karena investor asing enggan menanamkan modal
dalam lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi secara hukum.⁵
Selain itu, suap mengganggu persaingan usaha yang sehat, merugikan pelaku usaha
kecil dan menengah (UMKM), dan menghambat inovasi sektor privat.
4.3.
Melemahkan Institusi Penegakan Hukum dan
Demokrasi
Dalam negara hukum,
institusi penegak hukum memegang peranan sentral untuk menjamin keadilan.
Namun, ketika aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim ikut
terlibat dalam praktik suap, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem
peradilan akan hancur. Suap dalam proses hukum dapat mengakibatkan vonis yang
tidak adil, impunitas bagi pelaku kejahatan besar, dan kriminalisasi terhadap
pihak yang tidak bersalah.⁶
Selain itu, dalam
konteks demokrasi, suap juga merusak integritas proses politik, seperti pemilu
dan pengambilan kebijakan publik. Praktik political bribery membuat kebijakan
publik tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, melainkan menjadi alat transaksi
elite politik dan oligarki kekuasaan.⁷ Akibatnya, demokrasi berubah menjadi
plutokrasi—yakni pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan uang.
4.4.
Meningkatkan Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan
Struktural
Suap menciptakan
ketimpangan akses terhadap hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan administrasi. Warga yang tidak mampu memberi suap seringkali
terpinggirkan, sementara mereka yang mampu menyuap mendapat perlakuan istimewa.
Hal ini memperlebar jurang ketidaksetaraan sosial dan memperkuat kemiskinan
struktural.⁸
Menurut Transparency
International, masyarakat miskin cenderung paling terdampak oleh
praktik suap karena mereka bergantung pada layanan publik dan tidak memiliki
daya tawar dalam sistem yang korup.⁹ Ini menciptakan lingkaran setan korupsi
dan kemiskinan, di mana kelompok rentan terus terpinggirkan dan kehilangan
kepercayaan terhadap negara.
4.5.
Merusak Moralitas Publik dan Budaya Hukum
Dampak jangka
panjang dari suap adalah tergerusnya nilai moral dan etika publik. Ketika
praktik suap menjadi “hal yang biasa”, maka masyarakat mulai mentoleransi
penyimpangan hukum dan etika. Anak-anak muda yang menyaksikan praktik korupsi
tanpa sanksi tegas cenderung menganggapnya sebagai cara normal untuk meraih
keberhasilan.¹⁰
Dalam konteks budaya
hukum, suap mengaburkan garis antara yang benar dan yang salah. Hukum tidak
lagi dilihat sebagai pedoman moral atau norma publik, tetapi sebagai alat yang
bisa dinegosiasikan melalui uang. Hal ini menjadikan supremasi hukum (rule of
law) kehilangan makna dan wibawa.
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 38–40.
[2]
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the
World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 11.
[3]
Vito Tanzi and Hamid Davoodi, “Corruption, Public Investment, and
Growth,” IMF Working Paper No. 97/139 (1997), 12.
[4]
Johann Graf Lambsdorff, The Institutional Economics of Corruption
and Reform (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 133.
[5]
OECD, The Business Case for Integrity (Paris: OECD Publishing,
2020), 6–9.
[6]
Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia
(London: Routledge, 2018), 128.
[7]
Transparency International, Global Corruption Report 2004:
Political Corruption (London: Pluto Press, 2004), 21–25.
[8]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 111.
[9]
Transparency International, People and Corruption: Asia Pacific
Global Corruption Barometer (Berlin: TI, 2017), 15.
[10]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 71–73.
5.
Studi Kasus Praktik Suap di Indonesia dan Dunia
Studi kasus
merupakan pendekatan penting untuk memahami dinamika nyata praktik suap dalam
berbagai konteks. Dengan menelaah kasus-kasus konkret yang telah terjadi di
Indonesia maupun di berbagai negara, kita dapat melihat pola, modus, aktor,
serta kelemahan sistemik yang menjadi celah terjadinya praktik suap. Selain
itu, studi kasus juga memperlihatkan sejauh mana instrumen hukum dan lembaga
antikorupsi mampu bekerja secara efektif dalam penindakan maupun pencegahan.
5.1.
Kasus Suap di Indonesia
5.1.1.
Kasus Suap Proyek
e-KTP
Salah satu kasus
suap paling besar dan kompleks di Indonesia adalah skandal proyek pengadaan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Kasus ini melibatkan
tokoh-tokoh penting di DPR RI, pejabat Kementerian Dalam Negeri, serta pihak
swasta. Berdasarkan temuan KPK, total kerugian negara mencapai lebih dari Rp2,3
triliun dari nilai proyek sekitar Rp5,9 triliun.¹ Praktik suap dalam proyek ini
dilakukan dengan sistematis, melalui pembagian fee kepada sejumlah anggota
legislatif sebagai kompensasi persetujuan anggaran.²
Tokoh utama dalam
kasus ini, Setya Novanto, saat itu
menjabat sebagai Ketua DPR RI, divonis 15 tahun penjara karena terbukti
menerima suap dalam jumlah besar.³ Kasus ini memperlihatkan bagaimana praktik
suap telah mengakar dalam sistem legislasi dan pengadaan proyek strategis
negara. Ia juga menunjukkan kompleksitas jejaring suap yang mencakup aktor
politik, birokrasi, dan swasta.
5.1.2.
Kasus Suap Hakim
Mahkamah Konstitusi
Pada tahun 2023, KPK
menangkap Anwar Usman, mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), dalam dugaan suap terkait pengurusan perkara sengketa
hasil Pemilu Kepala Daerah.⁴ Penangkapan ini mengejutkan publik karena
menyangkut lembaga tinggi negara yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan
integritas konstitusional. Meskipun proses hukum masih berlangsung, kasus ini
mengindikasikan bahwa lembaga peradilan tidak imun terhadap praktik suap,
bahkan pada level tertinggi sekalipun.
5.2.
Kasus Suap Internasional
5.2.1.
Kasus Siemens AG
(Jerman)
Perusahaan
multinasional asal Jerman, Siemens AG, terlibat dalam salah
satu skandal suap global terbesar. Pada 2008, perusahaan ini harus membayar
denda sebesar USD 1,6 miliar kepada otoritas Amerika Serikat dan Jerman karena
terbukti melakukan suap di berbagai negara, termasuk Argentina, Bangladesh,
Nigeria, dan Vietnam, untuk memenangkan proyek infrastruktur dan
telekomunikasi.⁵ Suap dilakukan melalui jaringan rekening luar negeri dan
perantara lokal guna menghindari deteksi hukum. Kasus Siemens menunjukkan bahwa
praktik suap tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga melibatkan
korporasi besar dari negara maju.
5.2.2.
Kasus Odebrecht
(Brasil)
Kasus perusahaan
konstruksi asal Brasil, Odebrecht, mencuat sebagai
skandal suap transnasional yang melibatkan lebih dari 12 negara di Amerika
Latin dan Afrika. Dalam investigasi “Operasi Lava Jato” (Car Wash
Operation), terungkap bahwa Odebrecht menyuap pejabat pemerintah dan
politisi dengan total nilai suap mencapai USD 788 juta untuk memperoleh kontrak
proyek pemerintah.⁶ Kasus ini menyebabkan penjatuhan banyak tokoh politik di
Brasil, Peru, Kolombia, dan negara lainnya, serta memperkuat peran kerjasama
antar lembaga antikorupsi internasional dalam mengungkap suap lintas negara.
5.3.
Pola Umum dan Modus Operandi Suap
Dari berbagai studi
kasus di atas, terdapat sejumlah pola umum dan modus operandi yang lazim
ditemukan dalam praktik suap, antara lain:
1)
Adanya perantara atau
makelar yang menghubungkan pemberi dan penerima suap guna mengaburkan
jejak hukum;
2)
Pencatatan akuntansi palsu
atau penggunaan rekening luar negeri untuk menyamarkan aliran dana;
3)
Pemberian dalam bentuk
tidak langsung, seperti sumbangan politik, hadiah perjalanan, kontrak
fiktif, atau pengangkatan kerabat;
4)
Pengaruh pada tahap awal
proses pengambilan keputusan, seperti penyusunan anggaran, tender
proyek, atau penunjukan langsung.
Modus ini sering
berkembang seiring dengan lemahnya pengawasan internal, rendahnya integritas
lembaga, serta kuatnya budaya permisif terhadap praktik korupsi.
5.4.
Pelajaran dan Refleksi Kritis
Studi kasus praktik
suap mengungkapkan bahwa pemberantasan suap tidak bisa hanya bergantung pada
penegakan hukum semata. Diperlukan sistem pencegahan yang kuat, reformasi tata
kelola, dan budaya integritas yang ditanamkan sejak dini. Kasus Siemens dan Odebrecht
menunjukkan perlunya kerangka hukum global dan kerja sama lintas negara yang
solid. Di sisi lain, kasus e-KTP dan suap di Mahkamah Konstitusi memperlihatkan
pentingnya pembenahan integritas institusi dalam negeri melalui pengawasan
independen dan transparansi publik.
Footnotes
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2018
(Jakarta: KPK RI, 2019), 41–43.
[2]
Tempo.co, “Inilah Aliran Dana Proyek e-KTP Versi KPK,” Tempo,
March 9, 2017, https://nasional.tempo.co/read/855528/inilah-aliran-dana-proyek-e-ktp-versi-kpk.
[3]
BBC News Indonesia, “Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara dalam Kasus
e-KTP,” BBC News, April 24, 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43876532.
[4]
Kompas.com, “Profil Anwar Usman, Mantan Ketua MK yang Dicopot karena
Konflik Kepentingan,” Kompas, November 8, 2023, https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/08/070000165/profil-anwar-usman.
[5]
U.S. Department of Justice, “Siemens AG and Three Subsidiaries Plead Guilty
to Foreign Corrupt Practices Act Violations,” Justice.gov, December
15, 2008, https://www.justice.gov/opa/pr/siemens-ag-and-three-subsidiaries-plead-guilty-foreign-corrupt-practices-act-violations.
[6]
United
States Department of Justice, “Odebrecht and Braskem Plead Guilty and Agree to
Pay at Least $3.5 Billion in Global Penalties,” Justice.gov, December
21, 2016, https://www.justice.gov/opa/pr/odebrecht-and-braskem-plead-guilty-and-agree-pay-least-35-billion-global-penalties.
6.
Tinjauan Etika dan Moral terhadap Praktik Suap
Praktik suap
(bribery) tidak hanya mencederai hukum positif, tetapi juga bertentangan secara
fundamental dengan nilai-nilai moral dan prinsip etika publik. Dalam banyak
tradisi filsafat moral dan ajaran keagamaan, suap dianggap sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Etika
publik, yang merupakan landasan moral bagi perilaku para penyelenggara negara
dan aparat pelayanan, sangat menentang segala bentuk penyimpangan kuasa demi
kepentingan pribadi melalui praktik suap.¹
6.1.
Perspektif Etika Filsafat Moral
Dalam kajian etika
normatif, praktik suap bertentangan dengan tiga teori moral utama: utilitarianisme,
deontologi,
dan virtue
ethics.
1)
Utilitarianisme
yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dan John
Stuart Mill menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibatnya. Suap,
dalam banyak kasus, menghasilkan kerugian sosial yang besar: keputusan tidak
efisien, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan publik. Oleh karena itu,
dalam logika utilitarian, suap adalah tindakan tidak etis karena menurunkan
total kebahagiaan sosial.²
2)
Deontologi,
yang berakar dari pemikiran Immanuel
Kant, menekankan bahwa tindakan moral harus berdasarkan kewajiban dan prinsip,
bukan hasil. Kant
menyatakan bahwa seseorang tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat (means
to an end), tetapi sebagai tujuan pada dirinya.³ Suap melanggar prinsip
ini karena menginstrumentalisasi pihak lain demi keuntungan pribadi.
3)
Dalam kerangka etika kebajikan
(virtue ethics)
yang digagas Aristoteles,
kebajikan seperti kejujuran (honesty), integritas (integrity),
dan keadilan (justice) adalah fondasi karakter moral. Seorang pejabat
publik yang menerima suap menunjukkan cacat karakter, karena gagal mewujudkan
nilai-nilai dasar tersebut.⁴
6.2.
Perspektif Etika Profesi dan Pelayanan Publik
Dalam konteks
profesionalisme dan pelayanan publik, suap melanggar kode
etik yang mengatur perilaku aparatur negara dan penyelenggara
layanan. Etika profesi menuntut integritas, objektivitas, akuntabilitas, dan
komitmen terhadap kepentingan umum. Lembaga-lembaga seperti Komisi Aparatur
Sipil Negara (KASN) dan Komisi Etik di berbagai instansi telah menyusun pedoman
yang melarang secara tegas penerimaan hadiah atau fasilitas yang berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan.⁵
Menurut OECD, suap
melemahkan prinsip meritokrasi, menyuburkan budaya transaksional, dan
mengaburkan garis batas antara kepentingan publik dan pribadi.⁶ Hal ini
bertentangan dengan nilai-nilai dasar pelayanan publik yang seharusnya berpihak
pada keadilan dan kepentingan warga negara, bukan pada keuntungan pribadi atau
kelompok.
6.3.
Perspektif Agama: Penolakan Moral Terhadap Suap
Semua agama besar
menolak praktik suap karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan
pengkhianatan terhadap amanah sosial. Dalam Islam, suap termasuk dalam
kategori dosa besar (kabā’ir) dan dikecam keras dalam
hadis Nabi Muhammad Saw.:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ
“Rasulullah Saw. melaknat pemberi suap,
penerima suap, dan perantaranya.”⁷
(HR. Abu Dawud, no. 3580)
Al-Qur’an juga
menyatakan dengan tegas:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui."
(QS. Al-Baqarah [2] ayat 188)⁸
Dalam Kristen,
suap juga dikutuk. Kitab Amsal menyatakan, “Orang fasik
menerima suap secara sembunyi-sembunyi untuk membelokkan jalan hukum.”
(Amsal 17:23).⁹ Demikian pula dalam agama Hindu dan Buddha, suap
dianggap melanggar prinsip dharma dan karuna,
yakni kewajiban moral dan kasih sayang terhadap sesama.
6.4.
Konsekuensi Moral dan Sosial dari Praktik Suap
Dari sisi moral,
suap merusak karakter individu dan
menciptakan ketergantungan terhadap cara-cara tidak sah untuk mencapai tujuan.
Dari sisi sosial, suap memperkuat budaya permisif dan rasa
ketidakadilan di masyarakat. Ketika masyarakat menyaksikan
bahwa pejabat korup tidak dihukum secara adil, nilai moral publik ikut
mengalami degradasi. Dalam jangka panjang, praktik suap dapat mengikis semangat
kolektif dalam membangun bangsa yang bermartabat dan berkeadilan.
6.5.
Tanggung Jawab Moral Kolektif
Memberantas suap
bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum, tetapi juga tanggung
jawab etis seluruh warga negara. Masyarakat yang menolak
memberi suap dalam segala bentuknya telah mengambil bagian dalam perjuangan
menegakkan integritas sosial. Pendidikan etika dan moral sejak dini, khususnya
di lingkungan keluarga dan sekolah, sangat penting untuk membentuk karakter
generasi penerus yang bersih dan berani menolak korupsi.
Footnotes
[1]
Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (New
Haven: Yale University Press, 2003), 124.
[2]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), 16–18.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 110–115.
[5]
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Kode Etik dan Kode Perilaku
ASN, accessed July 8, 2025, https://www.kasn.go.id.
[6]
OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Service: OECD
Guidelines and Country Experiences (Paris: OECD Publishing, 2005), 14–17.
[7]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis no. 3580.
[8]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 188.
[9]
Alkitab, Amsal 17:23 (Lembaga Alkitab Indonesia, 2013).
7.
Upaya Pencegahan dan Strategi Pemberantasan
Suap
Pemberantasan suap
sebagai bentuk korupsi yang sistemik tidak dapat dilakukan secara parsial atau
hanya mengandalkan pendekatan represif. Pencegahan yang efektif menuntut
strategi komprehensif yang mencakup reformasi kelembagaan, peningkatan
integritas aparatur, pendidikan etika publik, serta partisipasi aktif
masyarakat dan sektor swasta. Sebagaimana dinyatakan dalam United
Nations Convention against Corruption (UNCAC), pemberantasan suap
memerlukan pendekatan holistik berbasis pada prinsip preventive
measures, criminalization, law enforcement, dan international
cooperation.¹
7.1.
Penguatan Sistem dan Tata Kelola Pemerintahan
Salah satu strategi
utama dalam pencegahan suap adalah memperkuat sistem birokrasi dan tata kelola
pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Reformasi birokrasi harus diarahkan
untuk menutup celah-celah koruptif seperti prosedur yang tidak transparan,
diskresi berlebih, dan lemahnya pengawasan internal.²
Implementasi sistem
berbasis elektronik (e-government) seperti e-procurement,
e-budgeting,
dan e-performance
telah terbukti mampu menekan potensi suap dalam proses pengadaan barang/jasa
serta penyaluran anggaran. Menurut laporan OECD, digitalisasi pelayanan publik
dapat mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pengguna layanan,
sehingga menekan ruang transaksi ilegal.³
7.2.
Peningkatan Integritas dan Etika Aparatur
Negara
Integritas pejabat
publik merupakan benteng utama terhadap praktik suap. Oleh karena itu, upaya
peningkatan integritas harus dilakukan melalui mekanisme rekrutmen
berbasis merit, pelatihan etika secara berkala, serta sistem
reward and punishment yang adil.⁴
Lembaga seperti Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN) telah mengembangkan Sistem
Merit ASN dan pedoman perilaku untuk memastikan bahwa pegawai
negeri direkrut dan dipromosikan berdasarkan kompetensi dan integritas.⁵ Selain
itu, penandatanganan
pakta integritas oleh pejabat publik dalam pengadaan proyek
atau pengambilan keputusan penting menjadi langkah simbolik sekaligus preventif
terhadap suap.
7.3.
Penegakan Hukum yang Tegas dan Efektif
Meskipun pencegahan
menjadi kunci utama, strategi pemberantasan suap juga memerlukan penegakan
hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih. Lembaga seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian
harus diberdayakan secara kelembagaan dan didukung independensinya agar mampu
menindak pelaku suap tanpa intervensi politik.⁶
Penegakan hukum juga
harus disertai dengan penggunaan teknologi investigasi seperti Operasi
Tangkap Tangan (OTT), pelacakan aset lintas negara, dan
kolaborasi dengan lembaga antikorupsi internasional. Selain itu, mekanisme whistleblower
protection harus diperkuat agar pelapor dugaan suap merasa aman
dan dilindungi oleh hukum.⁷
7.4.
Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Publik
Pemberantasan suap
tidak akan efektif tanpa keterlibatan aktif masyarakat sipil. Pelibatan
masyarakat dapat dilakukan melalui akses informasi publik,
pelaporan melalui kanal Lapor.go.id, serta pengawasan
sosial terhadap pejabat publik dan penyelenggaraan anggaran daerah.⁸
Transparansi
anggaran dan proyek pembangunan harus dipublikasikan secara terbuka agar warga
dapat memantau dan mengevaluasi prosesnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
jurnalis investigatif, dan tokoh masyarakat memiliki peran strategis dalam
memperkuat kontrol sosial atas potensi suap dalam kebijakan publik.
7.5.
Peran Dunia Pendidikan dan Budaya Antikorupsi
Pencegahan suap
harus dimulai sejak dini melalui pendidikan karakter dan nilai integritas
di sekolah, kampus, dan lingkungan sosial. Program seperti Pendidikan
Antikorupsi (PAK) yang digagas oleh KPK perlu terus diperluas
cakupannya agar generasi muda memiliki kesadaran etis dan tanggung jawab moral
terhadap penyimpangan kekuasaan.⁹
Kultur antikorupsi
juga harus menjadi bagian dari identitas kelembagaan. Budaya
organisasi yang bersih, transparan, dan berintegritas akan menurunkan toleransi
terhadap praktik suap dan membentuk lingkungan yang mendukung perilaku etis.
7.6.
Kerja Sama Internasional dan Harmonisasi
Regulasi
Suap dalam era
globalisasi kerap melintasi batas negara. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama
internasional yang kuat dalam hal pertukaran data, ekstradisi pelaku, pelacakan
aset, dan harmonisasi peraturan. Indonesia sebagai pihak dalam
UNCAC serta anggota forum seperti APEC ACT-NET dan ASEAN-PAC
harus memaksimalkan peran strategisnya dalam agenda antikorupsi global.¹⁰
Negara-negara juga
didorong untuk meratifikasi dan menerapkan OECD Anti-Bribery Convention,
terutama dalam mengatur suap lintas negara yang melibatkan entitas swasta
multinasional.
Footnotes
[1]
United Nations, United Nations Convention against Corruption
(New York: United Nations, 2004), Articles 5–14.
[2]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 74–76.
[3]
OECD, Digital Government Review of Indonesia: Accelerating
Digitalisation in the Public Sector (Paris: OECD Publishing, 2019), 34–36.
[4]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 115–118.
[5]
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sistem Merit dalam Manajemen
ASN, accessed July 8, 2025, https://www.kasn.go.id.
[6]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2022
(Jakarta: KPK RI, 2023), 56–58.
[7]
Transparency International, Whistleblower Protection and the Fight
Against Corruption (Berlin: TI, 2021), 7–9.
[8]
Indonesia Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform, SP4N
Lapor! Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional, accessed
July 8, 2025, https://www.lapor.go.id.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Implementasi Pendidikan Antikorupsi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021),
10–15.
[10]
ASEAN-PAC, ASEAN-PAC Activities and Cooperation in Combating
Corruption, accessed July 8, 2025, https://www.asean-pac.org.
8.
Penutup
Suap (bribery)
merupakan bentuk korupsi yang paling merusak dan meluas, dengan dampak serius
terhadap tatanan hukum, etika publik, dan kehidupan sosial masyarakat. Sebagai
praktik yang melibatkan pertukaran keuntungan tidak sah demi memengaruhi
keputusan resmi, suap secara nyata merusak asas keadilan, mengganggu prinsip
meritokrasi, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.¹
Dalam perspektif
hukum nasional, Indonesia telah memiliki kerangka regulatif yang cukup
komprehensif untuk menjerat pelaku suap, mulai dari Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, KUHP, hingga ratifikasi terhadap Konvensi PBB Melawan Korupsi
(UNCAC). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan hukum positif
tidak selalu sejalan dengan keberhasilan penegakannya. Lemahnya implementasi,
rendahnya integritas sebagian aparatur negara, dan masih kuatnya budaya
permisif terhadap korupsi menjadi hambatan struktural yang signifikan.²
Dari sisi etika
publik dan moralitas sosial, praktik suap bertentangan dengan prinsip-prinsip
universal seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan. Tinjauan filosofis
melalui pendekatan utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan semuanya
menolak praktik suap sebagai perbuatan tidak bermoral.³ Di sisi lain, semua
agama besar dunia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, secara tegas
mengharamkan dan mengutuk praktik suap sebagai pengkhianatan terhadap amanah
dan keadilan sosial.⁴
Studi kasus baik di
Indonesia maupun dunia menunjukkan bahwa suap sering kali berlangsung
sistematis, melibatkan aktor dari berbagai sektor, dan menimbulkan kerugian
besar—baik materiil maupun imateriil. Kasus-kasus seperti proyek e-KTP di
Indonesia, korupsi Odebrecht di Amerika Latin, atau skandal Siemens di Jerman
membuktikan bahwa suap bukan hanya persoalan individu yang lemah moral, tetapi
masalah struktural yang memerlukan intervensi sistemik dan kolektif.⁵
Oleh karena itu,
upaya pemberantasan suap harus dilakukan secara terpadu: menguatkan sistem
hukum dan birokrasi, menanamkan nilai-nilai integritas dalam pendidikan,
melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan, serta mendorong kerja sama
internasional. Strategi ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku,
tetapi untuk mencegah lahirnya peluang dan budaya suap dalam segala lapisan
kehidupan publik.⁶
Lebih dari sekadar
penindakan, agenda besar pemberantasan suap adalah pembangunan moralitas sosial
yang kuat, tata kelola pemerintahan yang transparan, dan masyarakat yang sadar
akan hak dan tanggung jawabnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Klitgaard, “Corruption
will never be eliminated entirely, but it can be dramatically reduced when
countries build clean institutions, strong civic culture, and efficient
governance.”⁷
Dengan demikian,
pemberantasan suap bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga panggilan etis dan
tanggung jawab kolektif demi mewujudkan bangsa yang adil, bermartabat, dan
berintegritas.
Footnotes
[1]
Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press,
2016), 27–30.
[2]
Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia
(London: Routledge, 2018), 142–146.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1863), 16–18; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36;
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), 111–115.
[4]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis no. 3580; Al-Qur’an, Surah
Al-Baqarah [2]: 188; Alkitab, Amsal 17:23; Bhagavad Gita 16:10–12.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2018
(Jakarta: KPK RI, 2019), 43; U.S. Department of Justice, “Odebrecht and Braskem
Plead Guilty and Agree to Pay at Least $3.5 Billion in Global Penalties,” Justice.gov,
December 21, 2016; OECD, OECD Anti-Bribery Convention and Enforcement,
accessed July 8, 2025, https://www.oecd.org/corruption.
[6]
OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Service: OECD
Guidelines and Country Experiences (Paris: OECD Publishing, 2005), 14–17.
[7]
Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University
of California Press, 1988), 239.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. (n.d.). Sunan
Abi Dawud. Hadis No. 3580.
Alkitab. (2013). Amsal
17:23. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
BBC News Indonesia. (2018,
April 24). Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus e-KTP. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43876532
Butt, S., & Lindsey, T.
(2018). Corruption and law in Indonesia. Routledge.
Indonesia Ministry of
Administrative and Bureaucratic Reform. (2025). SP4N Lapor! Sistem
Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. https://www.lapor.go.id
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Panduan implementasi pendidikan
antikorupsi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Komisi Aparatur Sipil
Negara. (2025). Kode etik dan kode perilaku ASN. https://www.kasn.go.id
Komisi Aparatur Sipil
Negara. (2025). Sistem merit dalam manajemen ASN. https://www.kasn.go.id
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2019). Laporan tahunan KPK 2018. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2023). Laporan tahunan KPK 2022. Jakarta: KPK RI.
Kompas.com. (2023, November
8). Profil Anwar Usman, mantan Ketua MK yang dicopot karena konflik
kepentingan. https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/08/070000165/profil-anwar-usman
Klitgaard, R. (1988). Controlling
corruption. University of California Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism.
Parker, Son, and Bourn.
OECD. (2005). Managing
conflict of interest in the public service: OECD guidelines and country experiences.
OECD Publishing.
OECD. (2019). Digital
government review of Indonesia: Accelerating digitalisation in the public
sector. OECD Publishing.
OECD. (2020). The
business case for integrity. OECD Publishing.
Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption
and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge
University Press.
Rothstein, B. (2011). The
quality of government: Corruption, social trust, and inequality in
international perspective. University of Chicago Press.
Tanizi, V., & Davoodi,
H. (1997). Corruption, public investment, and growth (IMF Working
Paper No. 97/139). International Monetary Fund.
Tempo.co. (2017, March 9). Inilah
aliran dana proyek e-KTP versi KPK. https://nasional.tempo.co/read/855528/inilah-aliran-dana-proyek-e-ktp-versi-kpk
Transparency International.
(2004). Global corruption report 2004: Political corruption. Pluto
Press.
Transparency International.
(2017). People and corruption: Asia Pacific global corruption barometer.
Transparency International.
Transparency International.
(2021). Whistleblower protection and the fight against corruption.
Transparency International.
United Nations. (2004). United
Nations Convention against Corruption. New York: United Nations.
United States Department of
Justice. (2008, December 15). Siemens AG and three subsidiaries plead
guilty to Foreign Corrupt Practices Act violations. https://www.justice.gov/opa/pr/siemens-ag-and-three-subsidiaries-plead-guilty-foreign-corrupt-practices-act-violations
United States Department of
Justice. (2016, December 21). Odebrecht and Braskem plead guilty and agree
to pay at least $3.5 billion in global penalties. https://www.justice.gov/opa/pr/odebrecht-and-braskem-plead-guilty-and-agree-pay-least-35-billion-global-penalties
World Bank. (1997). Helping
countries combat corruption: The role of the World Bank. World Bank.
Lampiran: Kutipan Regulasi atau Konvensi
Internasional
1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 5 Ayat (1):
“Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.”
2)
United Nations Convention against Corruption (UNCAC), 2003
Pasal 15 (Bribery of
National Public Officials):
“Each State Party shall adopt such
legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal
offences, when committed intentionally: (a) The promise, offering or giving to
a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the
official himself or herself or another person or entity, in order that the
official act or refrain from acting in the exercise of his or her official
duties; (b) The solicitation or acceptance by a public official, directly or
indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or
another person or entity, in order that the official act or refrain from acting
in the exercise of his or her official duties.”
3)
OECD Anti-Bribery Convention (1997)
Article 1 (The Offence
of Bribery of Foreign Public Officials):
“Each Party shall take such measures as may
be necessary to establish that it is a criminal offence under its law for any
person intentionally to offer, promise or give any undue pecuniary or other
advantage, whether directly or through intermediaries, to a foreign public
official, for that official or for a third party, in order that the official
act or refrain from acting in relation to the performance of official duties,
in order to obtain or retain business or other improper advantage in the
conduct of international business.”
4)
Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials
in International Business Transactions (OECD, 1997)
Preamble:
“Recognising that bribery is a widespread
phenomenon in international business transactions, including trade and
investment, which raises serious moral and political concerns, undermines good
governance and economic development, and distorts international competitive
conditions.”
5)
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Pasal 209
“Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pejabat dengan maksud untuk menggerakkan agar pejabat itu melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar