Selasa, 08 Juli 2025

Suap (Bribery): Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi dalam Pengambilan Keputusan

Suap (Bribery)

Kajian Kritis terhadap Praktik Korupsi dalam Pengambilan Keputusan


Alihkan ke: Korupsi.


Abstrak

Suap (bribery) merupakan salah satu bentuk korupsi paling merusak yang memengaruhi kualitas pengambilan keputusan dalam ranah publik dan pemerintahan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis praktik suap dari perspektif hukum nasional dan internasional, serta dari sudut pandang etika dan moralitas publik. Dengan mengacu pada literatur akademik, regulasi antikorupsi, serta studi kasus di Indonesia dan dunia (seperti kasus e-KTP, Odebrecht, dan Siemens), artikel ini menunjukkan bahwa suap tidak hanya mencederai prinsip keadilan dan meritokrasi, tetapi juga memperlemah institusi dan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Analisis filosofis menunjukkan bahwa suap bertentangan dengan prinsip utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan. Seluruh agama besar dunia pun menolak praktik ini secara tegas. Upaya pemberantasan suap memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup reformasi kelembagaan, penguatan etika aparatur negara, penegakan hukum yang konsisten, partisipasi masyarakat, pendidikan antikorupsi, serta kerja sama internasional. Artikel ini merekomendasikan perlunya membangun sistem tata kelola yang transparan dan berintegritas sebagai strategi jangka panjang dalam memerangi budaya suap dan korupsi.

Kata Kunci: Suap, Korupsi, Etika Publik, Penegakan Hukum, Integritas, Tata Kelola Pemerintahan, Pendidikan Antikorupsi.


PEMBAHASAN

Suap (Bribery) dalam Perspektif Hukum dan Etika Publik


1.           Pendahuluan

Korupsi merupakan ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan bertanggung jawab. Salah satu bentuk korupsi yang paling umum dan merusak adalah suap (bribery), yaitu pemberian atau penerimaan sesuatu yang bernilai guna memengaruhi keputusan atau tindakan seseorang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan tertentu. Praktik suap merusak integritas institusi publik dan memperkuat budaya transaksional dalam sistem pengambilan keputusan, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam akses pelayanan, pengambilan kebijakan, serta distribusi sumber daya publik. Menurut World Bank, suap merupakan praktik korupsi yang terjadi ketika seseorang menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan pejabat publik atau pengambil keputusan dalam pelaksanaan tugas resmi mereka.¹

Fenomena suap tidak hanya mencederai prinsip-prinsip hukum dan demokrasi, tetapi juga menyimpang secara etis dan moral. Dalam konteks pemerintahan modern, di mana akuntabilitas dan transparansi menjadi pilar utama, suap menunjukkan adanya kegagalan sistem dalam memastikan integritas serta keadilan dalam proses administrasi dan pelayanan publik. Bahkan dalam laporan Transparency International, praktik suap telah menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara, memperkuat oligarki kekuasaan, dan memperluas jurang kesenjangan sosial.² Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, suap menjadi tantangan struktural dalam penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindak pidana suap mendominasi jenis kasus korupsi yang ditangani selama dua dekade terakhir.³

Dari perspektif hukum nasional, suap dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mencakup unsur pemberi dan penerima suap, serta objek suap yang bisa berupa uang, barang, jasa, atau fasilitas lainnya.⁴ Namun demikian, pendekatan hukum saja belum cukup untuk memberantas suap secara efektif. Diperlukan juga pendekatan etis dan kultural yang menyasar pada pembentukan karakter individu dan penguatan nilai-nilai integritas, terutama bagi aparatur negara dan pemegang kekuasaan publik.

Kajian ini bertujuan untuk menyelami praktik suap secara lebih mendalam, baik dari aspek konseptual, yuridis, maupun etis. Selain menguraikan bentuk, modus, dan dampak dari praktik suap, artikel ini juga mengkaji dinamika penyebab dan kelemahan sistemik yang memungkinkan tindakan suap terus berlangsung. Dengan mengintegrasikan pendekatan hukum dan etika publik, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merumuskan strategi pencegahan yang tidak hanya represif, tetapi juga transformatif dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, (Washington, DC: World Bank, 1997), 8.

[2]                Transparency International, Global Corruption Report 2004: Political Corruption, (London: Pluto Press, 2004), 14.

[3]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2023, (Jakarta: KPK RI, 2024), 22–25.

[4]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134.


2.           Konseptualisasi Suap (Bribery)

2.1.       Definisi Suap

Secara umum, suap (bribery) didefinisikan sebagai tindakan memberikan atau menerima sesuatu yang bernilai—baik berupa uang, barang, jasa, maupun janji—dengan maksud untuk mempengaruhi tindakan seseorang yang memiliki kewenangan dalam kapasitas resminya.¹ Menurut World Bank, suap merupakan bentuk pertukaran tidak sah antara pemberi dan penerima, yang mencederai integritas institusi dan mendistorsi keputusan publik.² Dalam perspektif hukum pidana, suap termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi karena adanya unsur quid pro quo, yaitu imbal jasa atas tindakan tertentu dari pejabat publik atau figur berwenang.³

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) tahun 2003 merumuskan suap sebagai tindakan “memberikan, menjanjikan, atau menawarkan keuntungan yang tidak sah kepada pejabat publik atau pihak swasta untuk bertindak atau tidak bertindak dalam pelaksanaan tugas resmi mereka.”⁴ Definisi ini menekankan dua pihak utama: pemberi (briber) dan penerima (bribee), serta memperluas cakupan dari sektor publik ke sektor swasta.

2.2.       Unsur-Unsur Suap

Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai suap apabila memenuhi unsur-unsur berikut:

1)                  Adanya pemberian atau janji sesuatu yang bernilai, seperti uang, barang mewah, fasilitas, atau bentuk keuntungan lainnya;

2)                  Adanya pejabat publik atau pihak yang memiliki kewenangan dalam konteks hubungan kuasa;

3)                  Tujuan dari pemberian tersebut adalah untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan tertentu dalam kapasitas formal;

4)                  Tindakan tersebut bersifat melawan hukum, karena menyimpang dari prosedur yang sah atau merugikan kepentingan umum.⁵

Unsur-unsur ini menjadi acuan utama dalam proses pembuktian di pengadilan, dan digunakan oleh berbagai lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menilai kelayakan suatu kasus dikategorikan sebagai suap.

2.3.       Perbedaan Suap dengan Gratifikasi dan Pemerasan

Perlu dibedakan antara suap dengan bentuk korupsi lainnya seperti gratifkasi dan pemerasan. Suap bersifat saling menguntungkan dan biasanya terjadi secara diam-diam melalui kesepakatan informal antara dua pihak. Sedangkan gratifikasi cenderung tidak selalu disertai niat jahat dan bisa diberikan setelah suatu tindakan dilakukan, meskipun tetap wajib dilaporkan sesuai dengan peraturan. Pemerasan (extortion), sebaliknya, terjadi ketika seseorang dipaksa untuk memberikan sesuatu di bawah tekanan atau ancaman oleh pejabat yang berwenang.⁶

2.4.       Jenis-Jenis Suap

Dalam praktiknya, suap dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan konteks dan pelakunya, antara lain:

1)                  Suap administratif (petty bribery) – terjadi dalam layanan publik sehari-hari seperti pengurusan dokumen, layanan kesehatan, atau perizinan.⁷

2)                  Suap politis (grand bribery) – melibatkan jumlah uang besar dan biasanya bertujuan mempengaruhi kebijakan atau proyek strategis nasional.

3)                  Suap yudisial – menyangkut pemberian kepada aparat penegak hukum atau hakim untuk memengaruhi proses hukum.

4)                  Suap institusional – bersifat sistemik, melibatkan jaringan birokrasi, swasta, dan elit politik yang membentuk state capture.⁸

Setiap jenis suap memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap sistem pemerintahan dan kepercayaan publik. Namun kesamaannya terletak pada prinsip bahwa semua bentuk suap bertentangan dengan nilai keadilan, integritas, dan pelayanan publik yang profesional.

2.5.       Perspektif Teoretis terhadap Suap

Dalam kajian ilmu sosial dan ekonomi politik, suap sering dijelaskan melalui pendekatan teori agensi (principal-agent theory), di mana pejabat publik sebagai agen menyalahgunakan wewenangnya demi keuntungan pribadi, bukan untuk kepentingan pemberi mandat (rakyat).⁹ Selain itu, teori perilaku oportunistik (opportunistic behavior) menjelaskan bahwa individu akan melakukan suap jika kontrol dan sanksi dianggap lemah, atau ketika norma sosial permisif terhadap praktik semacam itu.¹⁰


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 28.

[2]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 8.

[3]                Tim Lindsey and Simon Butt, Corruption and Law in Indonesia: The Unravelling of Indonesia’s Anti-Corruption Framework (London: Routledge, 2018), 73.

[4]                United Nations, United Nations Convention against Corruption (New York: United Nations, 2004), Article 15.

[5]                Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Kencana, 2019), 107–108.

[6]                Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Teori Hukum Pidana Korupsi Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), 45.

[7]                Daniel Kaufmann and Pedro Vicente, "Legal Corruption," Economics & Politics 23, no. 2 (2011): 195–219.

[8]                Mushtaq H. Khan, "Political Settlements and the Governance of Growth-Enhancing Institutions," in Growth and Economic Transformation, ed. D. North et al. (New York: Oxford University Press, 2010), 23–63.

[9]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 56–60.

[10]             Johann Graf Lambsdorff, The Institutional Economics of Corruption and Reform: Theory, Evidence and Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 91.


3.           Landasan Hukum Terkait Tindak Pidana Suap

3.1.       Kerangka Hukum Nasional

Di Indonesia, tindak pidana suap dikategorikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 13 UU tersebut, dijelaskan secara eksplisit mengenai delik suap menyuap, baik dari sisi pemberi (active bribery) maupun penerima (passive bribery)

Contohnya, Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp250 juta.² Sementara itu, Pasal 12 huruf a dan b menegaskan bahwa penerimaan hadiah atau janji oleh pejabat publik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dianggap sebagai tindak pidana suap dan dapat dikenai pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun.³

Hukum pidana Indonesia mengadopsi pendekatan yang dualistis, yakni menempatkan suap sebagai delik umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagai delik khusus dalam UU Tipikor. Dalam KUHP, ketentuan suap diatur dalam Pasal 209 dan 210, namun sanksi yang dijatuhkan cenderung lebih ringan dibanding UU Tipikor, sehingga penerapan UU Tipikor lebih banyak diprioritaskan dalam praktik penegakan hukum kontemporer.⁴

Selain itu, UU ASN (Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara) dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga memberikan dasar etis dan administratif dalam menindak pejabat publik yang terbukti menerima suap, meskipun tidak selalu sampai pada ranah pidana.⁵

3.2.       Kerangka Hukum Internasional

Komitmen Indonesia terhadap pemberantasan suap juga ditegaskan melalui ratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Konvensi ini menuntut negara-negara pihak untuk mengkriminalisasi berbagai bentuk suap, baik yang melibatkan pejabat publik domestik maupun asing, serta memperluas cakupan pada sektor swasta.⁶

Pasal 15 UNCAC menyatakan bahwa setiap negara wajib mengatur tindak pidana suap terhadap pejabat publik nasional, baik dari sisi pemberian maupun penerimaan, termasuk janji atau keuntungan tidak sah yang ditujukan untuk mempengaruhi tindakan resmi.⁷ Dalam konteks globalisasi, pentingnya mengatur suap lintas negara menjadi krusial, terutama terkait praktik bribery of foreign public officials yang banyak terjadi dalam sektor perdagangan dan investasi multinasional.

Indonesia juga telah terlibat dalam berbagai forum internasional seperti OECD Anti-Bribery Working Group dan APEC Anti-Corruption and Transparency Initiative, meskipun belum menjadi anggota penuh OECD. Keterlibatan ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menyelaraskan standar hukum nasional dengan standar internasional dalam pemberantasan suap.⁸

3.3.       Lembaga Penegak Hukum dan Implementasi

Penegakan hukum terhadap tindak pidana suap di Indonesia dilaksanakan oleh beberapa institusi, antara lain:

1)                  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara suap dengan pelaku penyelenggara negara atau kasus yang menyangkut kerugian besar dan perhatian publik luas.⁹

2)                  Kejaksaan RI dan Kepolisian, yang menangani perkara di luar kewenangan KPK sesuai pembagian tugas dan kapasitasnya.

3)                  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang menjadi forum yudisial utama dalam memutus perkara suap berdasarkan pembuktian yang diperoleh dari aparat penegak hukum.

Meskipun kerangka hukum sudah cukup lengkap, namun pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku suap sering menghadapi kendala, seperti lemahnya pembuktian, intervensi politik, serta budaya permisif di kalangan elit. Selain itu, pemberian remisi dan hukuman ringan terhadap pelaku suap juga menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat.¹⁰


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.

[2]                Ibid., Pasal 5 ayat (1).

[3]                Ibid., Pasal 12 huruf a dan b.

[4]                Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Kencana, 2019), 111.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

[6]                United Nations, United Nations Convention against Corruption (New York: United Nations, 2004), Article 15.

[7]                Ibid.

[8]                Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), OECD Anti-Bribery Convention and Enforcement, accessed July 8, 2025, https://www.oecd.org/corruption.

[9]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tugas dan Kewenangan KPK, accessed July 8, 2025, https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/tugas-fungsi-dan-wewenang.

[10]             Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia (London: Routledge, 2018), 147–150.


4.           Dampak Suap terhadap Tata Kelola dan Kehidupan Publik

Praktik suap (bribery) merupakan bentuk korupsi yang memiliki efek destruktif terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya mengganggu integritas lembaga publik, suap juga memperburuk kualitas demokrasi, memperbesar ketimpangan sosial, serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Dampak tersebut tidak bersifat sektoral atau jangka pendek, melainkan bersifat sistemik, merusak fondasi good governance, dan berdampak intergenerasional.

4.1.       Merusak Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Salah satu pilar utama tata kelola yang baik adalah transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Suap secara langsung merusak ketiga pilar tersebut karena keputusan yang seharusnya didasarkan pada prinsip meritokrasi dan kepentingan publik menjadi tunduk pada kepentingan transaksional. Dalam banyak kasus, pejabat publik yang menerima suap mengutamakan pemberi suap daripada melayani masyarakat secara adil, sehingga proses birokrasi menjadi tidak objektif dan diskriminatif.¹

Laporan World Bank menyatakan bahwa korupsi—termasuk suap—menurunkan efisiensi pelayanan publik dan meningkatkan biaya administratif, terutama dalam sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan perizinan.² Bahkan, dalam konteks negara berkembang, biaya transaksi yang tidak sah ini dapat mencapai hingga 20–30% dari anggaran proyek, memperburuk pemborosan fiskal dan melemahkan kinerja pembangunan.³

4.2.       Menghambat Pertumbuhan Ekonomi dan Iklim Investasi

Suap berdampak negatif terhadap dunia usaha dan iklim investasi. Ketika proses bisnis bergantung pada “uang pelicin” atau hubungan khusus dengan pejabat publik, maka keunggulan kompetitif tidak lagi ditentukan oleh inovasi atau kualitas, tetapi oleh akses terhadap praktik suap. Hal ini menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan mengurangi insentif untuk berinvestasi secara jangka panjang.⁴

Sebuah studi oleh OECD menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat suap tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi lebih lambat karena investor asing enggan menanamkan modal dalam lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi secara hukum.⁵ Selain itu, suap mengganggu persaingan usaha yang sehat, merugikan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), dan menghambat inovasi sektor privat.

4.3.       Melemahkan Institusi Penegakan Hukum dan Demokrasi

Dalam negara hukum, institusi penegak hukum memegang peranan sentral untuk menjamin keadilan. Namun, ketika aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim ikut terlibat dalam praktik suap, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan akan hancur. Suap dalam proses hukum dapat mengakibatkan vonis yang tidak adil, impunitas bagi pelaku kejahatan besar, dan kriminalisasi terhadap pihak yang tidak bersalah.⁶

Selain itu, dalam konteks demokrasi, suap juga merusak integritas proses politik, seperti pemilu dan pengambilan kebijakan publik. Praktik political bribery membuat kebijakan publik tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, melainkan menjadi alat transaksi elite politik dan oligarki kekuasaan.⁷ Akibatnya, demokrasi berubah menjadi plutokrasi—yakni pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan uang.

4.4.       Meningkatkan Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan Struktural

Suap menciptakan ketimpangan akses terhadap hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan administrasi. Warga yang tidak mampu memberi suap seringkali terpinggirkan, sementara mereka yang mampu menyuap mendapat perlakuan istimewa. Hal ini memperlebar jurang ketidaksetaraan sosial dan memperkuat kemiskinan struktural.⁸

Menurut Transparency International, masyarakat miskin cenderung paling terdampak oleh praktik suap karena mereka bergantung pada layanan publik dan tidak memiliki daya tawar dalam sistem yang korup.⁹ Ini menciptakan lingkaran setan korupsi dan kemiskinan, di mana kelompok rentan terus terpinggirkan dan kehilangan kepercayaan terhadap negara.

4.5.       Merusak Moralitas Publik dan Budaya Hukum

Dampak jangka panjang dari suap adalah tergerusnya nilai moral dan etika publik. Ketika praktik suap menjadi “hal yang biasa”, maka masyarakat mulai mentoleransi penyimpangan hukum dan etika. Anak-anak muda yang menyaksikan praktik korupsi tanpa sanksi tegas cenderung menganggapnya sebagai cara normal untuk meraih keberhasilan.¹⁰

Dalam konteks budaya hukum, suap mengaburkan garis antara yang benar dan yang salah. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pedoman moral atau norma publik, tetapi sebagai alat yang bisa dinegosiasikan melalui uang. Hal ini menjadikan supremasi hukum (rule of law) kehilangan makna dan wibawa.


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 38–40.

[2]                World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (Washington, DC: World Bank, 1997), 11.

[3]                Vito Tanzi and Hamid Davoodi, “Corruption, Public Investment, and Growth,” IMF Working Paper No. 97/139 (1997), 12.

[4]                Johann Graf Lambsdorff, The Institutional Economics of Corruption and Reform (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 133.

[5]                OECD, The Business Case for Integrity (Paris: OECD Publishing, 2020), 6–9.

[6]                Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia (London: Routledge, 2018), 128.

[7]                Transparency International, Global Corruption Report 2004: Political Corruption (London: Pluto Press, 2004), 21–25.

[8]                Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 111.

[9]                Transparency International, People and Corruption: Asia Pacific Global Corruption Barometer (Berlin: TI, 2017), 15.

[10]             Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 71–73.


5.           Studi Kasus Praktik Suap di Indonesia dan Dunia

Studi kasus merupakan pendekatan penting untuk memahami dinamika nyata praktik suap dalam berbagai konteks. Dengan menelaah kasus-kasus konkret yang telah terjadi di Indonesia maupun di berbagai negara, kita dapat melihat pola, modus, aktor, serta kelemahan sistemik yang menjadi celah terjadinya praktik suap. Selain itu, studi kasus juga memperlihatkan sejauh mana instrumen hukum dan lembaga antikorupsi mampu bekerja secara efektif dalam penindakan maupun pencegahan.

5.1.       Kasus Suap di Indonesia

5.1.1.    Kasus Suap Proyek e-KTP

Salah satu kasus suap paling besar dan kompleks di Indonesia adalah skandal proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Kasus ini melibatkan tokoh-tokoh penting di DPR RI, pejabat Kementerian Dalam Negeri, serta pihak swasta. Berdasarkan temuan KPK, total kerugian negara mencapai lebih dari Rp2,3 triliun dari nilai proyek sekitar Rp5,9 triliun.¹ Praktik suap dalam proyek ini dilakukan dengan sistematis, melalui pembagian fee kepada sejumlah anggota legislatif sebagai kompensasi persetujuan anggaran.²

Tokoh utama dalam kasus ini, Setya Novanto, saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI, divonis 15 tahun penjara karena terbukti menerima suap dalam jumlah besar.³ Kasus ini memperlihatkan bagaimana praktik suap telah mengakar dalam sistem legislasi dan pengadaan proyek strategis negara. Ia juga menunjukkan kompleksitas jejaring suap yang mencakup aktor politik, birokrasi, dan swasta.

5.1.2.    Kasus Suap Hakim Mahkamah Konstitusi

Pada tahun 2023, KPK menangkap Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dalam dugaan suap terkait pengurusan perkara sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah.⁴ Penangkapan ini mengejutkan publik karena menyangkut lembaga tinggi negara yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan integritas konstitusional. Meskipun proses hukum masih berlangsung, kasus ini mengindikasikan bahwa lembaga peradilan tidak imun terhadap praktik suap, bahkan pada level tertinggi sekalipun.

5.2.       Kasus Suap Internasional

5.2.1.    Kasus Siemens AG (Jerman)

Perusahaan multinasional asal Jerman, Siemens AG, terlibat dalam salah satu skandal suap global terbesar. Pada 2008, perusahaan ini harus membayar denda sebesar USD 1,6 miliar kepada otoritas Amerika Serikat dan Jerman karena terbukti melakukan suap di berbagai negara, termasuk Argentina, Bangladesh, Nigeria, dan Vietnam, untuk memenangkan proyek infrastruktur dan telekomunikasi.⁵ Suap dilakukan melalui jaringan rekening luar negeri dan perantara lokal guna menghindari deteksi hukum. Kasus Siemens menunjukkan bahwa praktik suap tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga melibatkan korporasi besar dari negara maju.

5.2.2.    Kasus Odebrecht (Brasil)

Kasus perusahaan konstruksi asal Brasil, Odebrecht, mencuat sebagai skandal suap transnasional yang melibatkan lebih dari 12 negara di Amerika Latin dan Afrika. Dalam investigasi “Operasi Lava Jato” (Car Wash Operation), terungkap bahwa Odebrecht menyuap pejabat pemerintah dan politisi dengan total nilai suap mencapai USD 788 juta untuk memperoleh kontrak proyek pemerintah.⁶ Kasus ini menyebabkan penjatuhan banyak tokoh politik di Brasil, Peru, Kolombia, dan negara lainnya, serta memperkuat peran kerjasama antar lembaga antikorupsi internasional dalam mengungkap suap lintas negara.

5.3.       Pola Umum dan Modus Operandi Suap

Dari berbagai studi kasus di atas, terdapat sejumlah pola umum dan modus operandi yang lazim ditemukan dalam praktik suap, antara lain:

1)                  Adanya perantara atau makelar yang menghubungkan pemberi dan penerima suap guna mengaburkan jejak hukum;

2)                  Pencatatan akuntansi palsu atau penggunaan rekening luar negeri untuk menyamarkan aliran dana;

3)                  Pemberian dalam bentuk tidak langsung, seperti sumbangan politik, hadiah perjalanan, kontrak fiktif, atau pengangkatan kerabat;

4)                  Pengaruh pada tahap awal proses pengambilan keputusan, seperti penyusunan anggaran, tender proyek, atau penunjukan langsung.

Modus ini sering berkembang seiring dengan lemahnya pengawasan internal, rendahnya integritas lembaga, serta kuatnya budaya permisif terhadap praktik korupsi.

5.4.       Pelajaran dan Refleksi Kritis

Studi kasus praktik suap mengungkapkan bahwa pemberantasan suap tidak bisa hanya bergantung pada penegakan hukum semata. Diperlukan sistem pencegahan yang kuat, reformasi tata kelola, dan budaya integritas yang ditanamkan sejak dini. Kasus Siemens dan Odebrecht menunjukkan perlunya kerangka hukum global dan kerja sama lintas negara yang solid. Di sisi lain, kasus e-KTP dan suap di Mahkamah Konstitusi memperlihatkan pentingnya pembenahan integritas institusi dalam negeri melalui pengawasan independen dan transparansi publik.


Footnotes

[1]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2018 (Jakarta: KPK RI, 2019), 41–43.

[2]                Tempo.co, “Inilah Aliran Dana Proyek e-KTP Versi KPK,” Tempo, March 9, 2017, https://nasional.tempo.co/read/855528/inilah-aliran-dana-proyek-e-ktp-versi-kpk.

[3]                BBC News Indonesia, “Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara dalam Kasus e-KTP,” BBC News, April 24, 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43876532.

[4]                Kompas.com, “Profil Anwar Usman, Mantan Ketua MK yang Dicopot karena Konflik Kepentingan,” Kompas, November 8, 2023, https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/08/070000165/profil-anwar-usman.

[5]                U.S. Department of Justice, “Siemens AG and Three Subsidiaries Plead Guilty to Foreign Corrupt Practices Act Violations,” Justice.gov, December 15, 2008, https://www.justice.gov/opa/pr/siemens-ag-and-three-subsidiaries-plead-guilty-foreign-corrupt-practices-act-violations.

[6]              United States Department of Justice, “Odebrecht and Braskem Plead Guilty and Agree to Pay at Least $3.5 Billion in Global Penalties,” Justice.gov, December 21, 2016, https://www.justice.gov/opa/pr/odebrecht-and-braskem-plead-guilty-and-agree-pay-least-35-billion-global-penalties.


6.           Tinjauan Etika dan Moral terhadap Praktik Suap

Praktik suap (bribery) tidak hanya mencederai hukum positif, tetapi juga bertentangan secara fundamental dengan nilai-nilai moral dan prinsip etika publik. Dalam banyak tradisi filsafat moral dan ajaran keagamaan, suap dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Etika publik, yang merupakan landasan moral bagi perilaku para penyelenggara negara dan aparat pelayanan, sangat menentang segala bentuk penyimpangan kuasa demi kepentingan pribadi melalui praktik suap.¹

6.1.       Perspektif Etika Filsafat Moral

Dalam kajian etika normatif, praktik suap bertentangan dengan tiga teori moral utama: utilitarianisme, deontologi, dan virtue ethics.

1)                  Utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibatnya. Suap, dalam banyak kasus, menghasilkan kerugian sosial yang besar: keputusan tidak efisien, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan publik. Oleh karena itu, dalam logika utilitarian, suap adalah tindakan tidak etis karena menurunkan total kebahagiaan sosial.²

2)                  Deontologi, yang berakar dari pemikiran Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan moral harus berdasarkan kewajiban dan prinsip, bukan hasil. Kant menyatakan bahwa seseorang tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat (means to an end), tetapi sebagai tujuan pada dirinya.³ Suap melanggar prinsip ini karena menginstrumentalisasi pihak lain demi keuntungan pribadi.

3)                  Dalam kerangka etika kebajikan (virtue ethics) yang digagas Aristoteles, kebajikan seperti kejujuran (honesty), integritas (integrity), dan keadilan (justice) adalah fondasi karakter moral. Seorang pejabat publik yang menerima suap menunjukkan cacat karakter, karena gagal mewujudkan nilai-nilai dasar tersebut.⁴

6.2.       Perspektif Etika Profesi dan Pelayanan Publik

Dalam konteks profesionalisme dan pelayanan publik, suap melanggar kode etik yang mengatur perilaku aparatur negara dan penyelenggara layanan. Etika profesi menuntut integritas, objektivitas, akuntabilitas, dan komitmen terhadap kepentingan umum. Lembaga-lembaga seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Komisi Etik di berbagai instansi telah menyusun pedoman yang melarang secara tegas penerimaan hadiah atau fasilitas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.⁵

Menurut OECD, suap melemahkan prinsip meritokrasi, menyuburkan budaya transaksional, dan mengaburkan garis batas antara kepentingan publik dan pribadi.⁶ Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar pelayanan publik yang seharusnya berpihak pada keadilan dan kepentingan warga negara, bukan pada keuntungan pribadi atau kelompok.

6.3.       Perspektif Agama: Penolakan Moral Terhadap Suap

Semua agama besar menolak praktik suap karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap amanah sosial. Dalam Islam, suap termasuk dalam kategori dosa besar (kabā’ir) dan dikecam keras dalam hadis Nabi Muhammad Saw.:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ

Rasulullah Saw. melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.”⁷

(HR. Abu Dawud, no. 3580)

Al-Qur’an juga menyatakan dengan tegas:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui."

(QS. Al-Baqarah [2] ayat 188)⁸

Dalam Kristen, suap juga dikutuk. Kitab Amsal menyatakan, “Orang fasik menerima suap secara sembunyi-sembunyi untuk membelokkan jalan hukum.” (Amsal 17:23).⁹ Demikian pula dalam agama Hindu dan Buddha, suap dianggap melanggar prinsip dharma dan karuna, yakni kewajiban moral dan kasih sayang terhadap sesama.

6.4.       Konsekuensi Moral dan Sosial dari Praktik Suap

Dari sisi moral, suap merusak karakter individu dan menciptakan ketergantungan terhadap cara-cara tidak sah untuk mencapai tujuan. Dari sisi sosial, suap memperkuat budaya permisif dan rasa ketidakadilan di masyarakat. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa pejabat korup tidak dihukum secara adil, nilai moral publik ikut mengalami degradasi. Dalam jangka panjang, praktik suap dapat mengikis semangat kolektif dalam membangun bangsa yang bermartabat dan berkeadilan.

6.5.       Tanggung Jawab Moral Kolektif

Memberantas suap bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab etis seluruh warga negara. Masyarakat yang menolak memberi suap dalam segala bentuknya telah mengambil bagian dalam perjuangan menegakkan integritas sosial. Pendidikan etika dan moral sejak dini, khususnya di lingkungan keluarga dan sekolah, sangat penting untuk membentuk karakter generasi penerus yang bersih dan berani menolak korupsi.


Footnotes

[1]                Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France (New Haven: Yale University Press, 2003), 124.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 16–18.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 110–115.

[5]                Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Kode Etik dan Kode Perilaku ASN, accessed July 8, 2025, https://www.kasn.go.id.

[6]                OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Service: OECD Guidelines and Country Experiences (Paris: OECD Publishing, 2005), 14–17.

[7]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis no. 3580.

[8]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 188.

[9]                Alkitab, Amsal 17:23 (Lembaga Alkitab Indonesia, 2013).


7.           Upaya Pencegahan dan Strategi Pemberantasan Suap

Pemberantasan suap sebagai bentuk korupsi yang sistemik tidak dapat dilakukan secara parsial atau hanya mengandalkan pendekatan represif. Pencegahan yang efektif menuntut strategi komprehensif yang mencakup reformasi kelembagaan, peningkatan integritas aparatur, pendidikan etika publik, serta partisipasi aktif masyarakat dan sektor swasta. Sebagaimana dinyatakan dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC), pemberantasan suap memerlukan pendekatan holistik berbasis pada prinsip preventive measures, criminalization, law enforcement, dan international cooperation

7.1.       Penguatan Sistem dan Tata Kelola Pemerintahan

Salah satu strategi utama dalam pencegahan suap adalah memperkuat sistem birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Reformasi birokrasi harus diarahkan untuk menutup celah-celah koruptif seperti prosedur yang tidak transparan, diskresi berlebih, dan lemahnya pengawasan internal.²

Implementasi sistem berbasis elektronik (e-government) seperti e-procurement, e-budgeting, dan e-performance telah terbukti mampu menekan potensi suap dalam proses pengadaan barang/jasa serta penyaluran anggaran. Menurut laporan OECD, digitalisasi pelayanan publik dapat mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pengguna layanan, sehingga menekan ruang transaksi ilegal.³

7.2.       Peningkatan Integritas dan Etika Aparatur Negara

Integritas pejabat publik merupakan benteng utama terhadap praktik suap. Oleh karena itu, upaya peningkatan integritas harus dilakukan melalui mekanisme rekrutmen berbasis merit, pelatihan etika secara berkala, serta sistem reward and punishment yang adil.⁴

Lembaga seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah mengembangkan Sistem Merit ASN dan pedoman perilaku untuk memastikan bahwa pegawai negeri direkrut dan dipromosikan berdasarkan kompetensi dan integritas.⁵ Selain itu, penandatanganan pakta integritas oleh pejabat publik dalam pengadaan proyek atau pengambilan keputusan penting menjadi langkah simbolik sekaligus preventif terhadap suap.

7.3.       Penegakan Hukum yang Tegas dan Efektif

Meskipun pencegahan menjadi kunci utama, strategi pemberantasan suap juga memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian harus diberdayakan secara kelembagaan dan didukung independensinya agar mampu menindak pelaku suap tanpa intervensi politik.⁶

Penegakan hukum juga harus disertai dengan penggunaan teknologi investigasi seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT), pelacakan aset lintas negara, dan kolaborasi dengan lembaga antikorupsi internasional. Selain itu, mekanisme whistleblower protection harus diperkuat agar pelapor dugaan suap merasa aman dan dilindungi oleh hukum.⁷

7.4.       Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Publik

Pemberantasan suap tidak akan efektif tanpa keterlibatan aktif masyarakat sipil. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan melalui akses informasi publik, pelaporan melalui kanal Lapor.go.id, serta pengawasan sosial terhadap pejabat publik dan penyelenggaraan anggaran daerah.⁸

Transparansi anggaran dan proyek pembangunan harus dipublikasikan secara terbuka agar warga dapat memantau dan mengevaluasi prosesnya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), jurnalis investigatif, dan tokoh masyarakat memiliki peran strategis dalam memperkuat kontrol sosial atas potensi suap dalam kebijakan publik.

7.5.       Peran Dunia Pendidikan dan Budaya Antikorupsi

Pencegahan suap harus dimulai sejak dini melalui pendidikan karakter dan nilai integritas di sekolah, kampus, dan lingkungan sosial. Program seperti Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang digagas oleh KPK perlu terus diperluas cakupannya agar generasi muda memiliki kesadaran etis dan tanggung jawab moral terhadap penyimpangan kekuasaan.⁹

Kultur antikorupsi juga harus menjadi bagian dari identitas kelembagaan. Budaya organisasi yang bersih, transparan, dan berintegritas akan menurunkan toleransi terhadap praktik suap dan membentuk lingkungan yang mendukung perilaku etis.

7.6.       Kerja Sama Internasional dan Harmonisasi Regulasi

Suap dalam era globalisasi kerap melintasi batas negara. Oleh karena itu, perlu ada kerja sama internasional yang kuat dalam hal pertukaran data, ekstradisi pelaku, pelacakan aset, dan harmonisasi peraturan. Indonesia sebagai pihak dalam UNCAC serta anggota forum seperti APEC ACT-NET dan ASEAN-PAC harus memaksimalkan peran strategisnya dalam agenda antikorupsi global.¹⁰

Negara-negara juga didorong untuk meratifikasi dan menerapkan OECD Anti-Bribery Convention, terutama dalam mengatur suap lintas negara yang melibatkan entitas swasta multinasional.


Footnotes

[1]                United Nations, United Nations Convention against Corruption (New York: United Nations, 2004), Articles 5–14.

[2]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 74–76.

[3]                OECD, Digital Government Review of Indonesia: Accelerating Digitalisation in the Public Sector (Paris: OECD Publishing, 2019), 34–36.

[4]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 115–118.

[5]                Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sistem Merit dalam Manajemen ASN, accessed July 8, 2025, https://www.kasn.go.id.

[6]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2022 (Jakarta: KPK RI, 2023), 56–58.

[7]                Transparency International, Whistleblower Protection and the Fight Against Corruption (Berlin: TI, 2021), 7–9.

[8]                Indonesia Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform, SP4N Lapor! Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional, accessed July 8, 2025, https://www.lapor.go.id.

[9]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Implementasi Pendidikan Antikorupsi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 10–15.

[10]             ASEAN-PAC, ASEAN-PAC Activities and Cooperation in Combating Corruption, accessed July 8, 2025, https://www.asean-pac.org.


8.           Penutup

Suap (bribery) merupakan bentuk korupsi yang paling merusak dan meluas, dengan dampak serius terhadap tatanan hukum, etika publik, dan kehidupan sosial masyarakat. Sebagai praktik yang melibatkan pertukaran keuntungan tidak sah demi memengaruhi keputusan resmi, suap secara nyata merusak asas keadilan, mengganggu prinsip meritokrasi, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.¹

Dalam perspektif hukum nasional, Indonesia telah memiliki kerangka regulatif yang cukup komprehensif untuk menjerat pelaku suap, mulai dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHP, hingga ratifikasi terhadap Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan hukum positif tidak selalu sejalan dengan keberhasilan penegakannya. Lemahnya implementasi, rendahnya integritas sebagian aparatur negara, dan masih kuatnya budaya permisif terhadap korupsi menjadi hambatan struktural yang signifikan.²

Dari sisi etika publik dan moralitas sosial, praktik suap bertentangan dengan prinsip-prinsip universal seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan. Tinjauan filosofis melalui pendekatan utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan semuanya menolak praktik suap sebagai perbuatan tidak bermoral.³ Di sisi lain, semua agama besar dunia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, secara tegas mengharamkan dan mengutuk praktik suap sebagai pengkhianatan terhadap amanah dan keadilan sosial.⁴

Studi kasus baik di Indonesia maupun dunia menunjukkan bahwa suap sering kali berlangsung sistematis, melibatkan aktor dari berbagai sektor, dan menimbulkan kerugian besar—baik materiil maupun imateriil. Kasus-kasus seperti proyek e-KTP di Indonesia, korupsi Odebrecht di Amerika Latin, atau skandal Siemens di Jerman membuktikan bahwa suap bukan hanya persoalan individu yang lemah moral, tetapi masalah struktural yang memerlukan intervensi sistemik dan kolektif.⁵

Oleh karena itu, upaya pemberantasan suap harus dilakukan secara terpadu: menguatkan sistem hukum dan birokrasi, menanamkan nilai-nilai integritas dalam pendidikan, melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan, serta mendorong kerja sama internasional. Strategi ini tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi untuk mencegah lahirnya peluang dan budaya suap dalam segala lapisan kehidupan publik.⁶

Lebih dari sekadar penindakan, agenda besar pemberantasan suap adalah pembangunan moralitas sosial yang kuat, tata kelola pemerintahan yang transparan, dan masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Klitgaard, “Corruption will never be eliminated entirely, but it can be dramatically reduced when countries build clean institutions, strong civic culture, and efficient governance.”⁷

Dengan demikian, pemberantasan suap bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga panggilan etis dan tanggung jawab kolektif demi mewujudkan bangsa yang adil, bermartabat, dan berintegritas.


Footnotes

[1]                Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2016), 27–30.

[2]                Simon Butt and Tim Lindsey, Corruption and Law in Indonesia (London: Routledge, 2018), 142–146.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 16–18; Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36; Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 111–115.

[4]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Hadis no. 3580; Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 188; Alkitab, Amsal 17:23; Bhagavad Gita 16:10–12.

[5]                Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan KPK 2018 (Jakarta: KPK RI, 2019), 43; U.S. Department of Justice, “Odebrecht and Braskem Plead Guilty and Agree to Pay at Least $3.5 Billion in Global Penalties,” Justice.gov, December 21, 2016; OECD, OECD Anti-Bribery Convention and Enforcement, accessed July 8, 2025, https://www.oecd.org/corruption.

[6]                OECD, Managing Conflict of Interest in the Public Service: OECD Guidelines and Country Experiences (Paris: OECD Publishing, 2005), 14–17.

[7]                Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: University of California Press, 1988), 239.


Daftar Pustaka

Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abi Dawud. Hadis No. 3580.

Alkitab. (2013). Amsal 17:23. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

BBC News Indonesia. (2018, April 24). Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dalam kasus e-KTP. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43876532

Butt, S., & Lindsey, T. (2018). Corruption and law in Indonesia. Routledge.

Indonesia Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform. (2025). SP4N Lapor! Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional. https://www.lapor.go.id

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Panduan implementasi pendidikan antikorupsi. Jakarta: Kemendikbudristek.

Komisi Aparatur Sipil Negara. (2025). Kode etik dan kode perilaku ASN. https://www.kasn.go.id

Komisi Aparatur Sipil Negara. (2025). Sistem merit dalam manajemen ASN. https://www.kasn.go.id

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2019). Laporan tahunan KPK 2018. Jakarta: KPK RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan tahunan KPK 2022. Jakarta: KPK RI.

Kompas.com. (2023, November 8). Profil Anwar Usman, mantan Ketua MK yang dicopot karena konflik kepentingan. https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/08/070000165/profil-anwar-usman

Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. University of California Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn.

OECD. (2005). Managing conflict of interest in the public service: OECD guidelines and country experiences. OECD Publishing.

OECD. (2019). Digital government review of Indonesia: Accelerating digitalisation in the public sector. OECD Publishing.

OECD. (2020). The business case for integrity. OECD Publishing.

Rose-Ackerman, S. (2016). Corruption and government: Causes, consequences, and reform (2nd ed.). Cambridge University Press.

Rothstein, B. (2011). The quality of government: Corruption, social trust, and inequality in international perspective. University of Chicago Press.

Tanizi, V., & Davoodi, H. (1997). Corruption, public investment, and growth (IMF Working Paper No. 97/139). International Monetary Fund.

Tempo.co. (2017, March 9). Inilah aliran dana proyek e-KTP versi KPK. https://nasional.tempo.co/read/855528/inilah-aliran-dana-proyek-e-ktp-versi-kpk

Transparency International. (2004). Global corruption report 2004: Political corruption. Pluto Press.

Transparency International. (2017). People and corruption: Asia Pacific global corruption barometer. Transparency International.

Transparency International. (2021). Whistleblower protection and the fight against corruption. Transparency International.

United Nations. (2004). United Nations Convention against Corruption. New York: United Nations.

United States Department of Justice. (2008, December 15). Siemens AG and three subsidiaries plead guilty to Foreign Corrupt Practices Act violations. https://www.justice.gov/opa/pr/siemens-ag-and-three-subsidiaries-plead-guilty-foreign-corrupt-practices-act-violations

United States Department of Justice. (2016, December 21). Odebrecht and Braskem plead guilty and agree to pay at least $3.5 billion in global penalties. https://www.justice.gov/opa/pr/odebrecht-and-braskem-plead-guilty-and-agree-pay-least-35-billion-global-penalties

World Bank. (1997). Helping countries combat corruption: The role of the World Bank. World Bank.


Lampiran: Kutipan Regulasi atau Konvensi Internasional

1)                 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 5 Ayat (1):

“Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.”

2)                 United Nations Convention against Corruption (UNCAC), 2003

Pasal 15 (Bribery of National Public Officials):

“Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: (a) The promise, offering or giving to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties; (b) The solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties.”

3)                 OECD Anti-Bribery Convention (1997)

Article 1 (The Offence of Bribery of Foreign Public Officials):

“Each Party shall take such measures as may be necessary to establish that it is a criminal offence under its law for any person intentionally to offer, promise or give any undue pecuniary or other advantage, whether directly or through intermediaries, to a foreign public official, for that official or for a third party, in order that the official act or refrain from acting in relation to the performance of official duties, in order to obtain or retain business or other improper advantage in the conduct of international business.”

4)                 Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions (OECD, 1997)

Preamble:

“Recognising that bribery is a widespread phenomenon in international business transactions, including trade and investment, which raises serious moral and political concerns, undermines good governance and economic development, and distorts international competitive conditions.”

5)                 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Pasal 209

“Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pejabat dengan maksud untuk menggerakkan agar pejabat itu melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar