Minggu, 01 Juni 2025

Metode Komparatif: Menimbang Kebenaran Melalui Perbandingan

Metode Komparatif

Menimbang Kebenaran Melalui Perbandingan


Alihkan ke: Metode-Metode dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode komparatif dalam filsafat sebagai salah satu pendekatan yang signifikan dalam menjembatani berbagai sistem pemikiran lintas budaya, tradisi, dan zaman. Dengan menelusuri hakikat, sejarah, pendekatan, serta penerapannya dalam berbagai bidang filsafat—seperti filsafat agama, politik, etika, dan epistemologi—kajian ini menampilkan metode komparatif bukan hanya sebagai alat analisis konseptual, tetapi juga sebagai paradigma dialogis yang relevan dalam konteks global kontemporer. Pembahasan meliputi kekuatan metode ini dalam memperluas cakrawala pemikiran dan membangun pluralisme epistemologis, serta kritik yang diarahkan kepadanya, termasuk bahaya reduksionisme, dominasi epistemik Barat, dan tantangan hermeneutik. Melalui studi kasus yang konkret dan refleksi kritis terhadap keterbatasannya, artikel ini menunjukkan bahwa metode komparatif dapat menjadi medium yang produktif untuk pengembangan filsafat interkultural yang lebih inklusif dan transformatif. Pada akhirnya, pendekatan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang kebenaran dan eksistensi, tetapi juga mendorong pembentukan etos intelektual yang terbuka terhadap keragaman pemikiran manusia.

Kata Kunci: Metode Komparatif, Filsafat Lintas Budaya, Perbandingan Filsafat, Pluralisme Epistemologis, Hermeneutika, Filsafat Interkultural, Keadilan, Identitas, Dialog Antartradisi.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Metode Komparatif dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai disiplin intelektual tidak hanya berurusan dengan pencarian kebenaran, tetapi juga dengan cara atau metode untuk mencapainya. Seiring berkembangnya pemikiran manusia, metode-metode filsafat pun mengalami diversifikasi, mulai dari pendekatan deduktif, induktif, dialektik, historis, hingga hermeneutik. Di tengah spektrum metodologis tersebut, metode komparatif muncul sebagai pendekatan yang semakin mendapat perhatian dalam studi filsafat kontemporer, terutama dalam konteks pluralisme intelektual dan globalisasi gagasan.

Metode komparatif dalam filsafat berakar pada keyakinan bahwa pemahaman yang lebih utuh terhadap suatu ide atau sistem pemikiran dapat dicapai melalui perbandingan dengan ide-ide lain. Dengan mempertemukan dua atau lebih tradisi filosofis, aliran, atau sistem nilai, metode ini memungkinkan pembaca untuk mengidentifikasi persamaan, perbedaan, dan potensi dialektika antar kerangka pikir. Hal ini sejalan dengan pandangan Karl Jaspers bahwa filsafat sejati hanya mungkin berkembang jika ia bersifat dialogis, yaitu terbuka terhadap wacana lintas tradisi dan perspektif yang berbeda.¹

Kebutuhan terhadap metode ini menjadi semakin mendesak dalam era pascamodern, di mana klaim-klaim kebenaran tidak lagi bisa diterima secara tunggal dan absolut, melainkan harus dikaji secara relasional dan kontekstual. Oleh karena itu, metode komparatif bukan hanya sebuah teknik analisis, tetapi juga sarana etis dan epistemologis dalam menjembatani dialog antara berbagai pandangan dunia.²

Di bidang filsafat agama, misalnya, metode komparatif memungkinkan adanya penggalian makna-makna transenden yang universal sekaligus memperlihatkan keunikan setiap tradisi religius.³ Dalam filsafat politik, perbandingan antara gagasan keadilan dalam pemikiran John Rawls dan konsep keadilan dalam filsafat Islam menunjukkan bahwa perbandingan tidak sekadar mendekatkan wacana, tetapi juga menguji batas-batas kesahihan dan koherensi masing-masing sistem.⁴

Namun demikian, penggunaan metode komparatif juga tidak lepas dari tantangan metodologis. Sejumlah kritik menyebutkan bahwa metode ini rawan terhadap simplifikasi, relativisme, atau bahkan distorsi ketika membandingkan dua sistem pemikiran yang berbeda secara historis dan linguistik.⁵ Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk menelaah secara kritis hakikat, sejarah, pendekatan, penerapan, kekuatan, dan keterbatasan metode komparatif dalam filsafat, demi merumuskan pemahaman yang lebih holistik tentang perannya dalam pengembangan pemikiran filosofis lintas ruang dan waktu.


Footnotes

[1]                Karl Jaspers, Way to Wisdom: An Introduction to Philosophy, trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 2003), 12.

[2]                Wilhelm Halbfass, India and Europe: An Essay in Understanding (Albany: State University of New York Press, 1988), 16–18.

[3]                Ninian Smart, The World’s Religions: Old Traditions and Modern Transformations (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–12.

[4]                Zaid Eyadat, “Islamic Philosophy of Justice: A Comparative Study of John Rawls and Justice in Islam,” Philosophy & Social Criticism 39, no. 4–5 (2013): 499–518.

[5]                Peter van der Veer, The Modern Spirit of Asia: The Spiritual and the Secular in China and India (Princeton: Princeton University Press, 2013), 25–29.


2.           Hakikat Metode Komparatif

Metode komparatif dalam filsafat merupakan pendekatan analitis yang bertujuan untuk mengkaji kesamaan dan perbedaan antara dua atau lebih sistem pemikiran, konsep, atau tradisi intelektual. Dalam praktiknya, metode ini digunakan untuk menyoroti struktur konseptual, landasan ontologis, kerangka epistemologis, hingga konsekuensi etis dari berbagai gagasan filsafat yang diperbandingkan. Tujuan utamanya bukan sekadar menemukan persamaan formal, tetapi memahami bagaimana berbagai sistem berpikir menjawab persoalan eksistensial secara khas, sekaligus membuka kemungkinan dialog lintas tradisi dan pemikiran.¹

Secara ontologis, metode komparatif berangkat dari asumsi bahwa tidak ada sistem filsafat yang berdiri dalam isolasi mutlak. Setiap sistem terbentuk dalam konteks historis dan kultural tertentu, namun mengandung potensi universal yang memungkinkan keterbukaan terhadap perbandingan.² Dengan demikian, metode komparatif menyiratkan sebuah epistemologi relasional—bahwa kebenaran tidak selalu bersifat monolitik, melainkan dapat dimaknai secara kontekstual dan dialogis.³

Dalam konteks ini, metode komparatif harus dibedakan dari pendekatan historis semata. Jika metode historis lebih menekankan kronologi perkembangan ide, maka metode komparatif menekankan analisis relasional dan struktural antaride.⁴ Ini membuat metode komparatif bersifat intertekstual dan reflektif, karena menuntut keterbukaan terhadap horizon pemikiran lain tanpa terjebak pada relativisme absolut. Alih-alih membatalkan nilai-nilai partikular, metode ini justru memperluas cakrawala pemahaman dengan melihat ide sebagai bagian dari jaringan makna yang lebih luas.⁵

Hakikat ini terlihat nyata dalam studi-studi filsafat lintas budaya. Misalnya, dalam membandingkan konsep self dalam filsafat Barat dan Timur, bukan hanya ditemukan perbedaan terminologis, tetapi juga perbedaan ontologis yang fundamental—seperti “cogito” dalam Descartes yang menegaskan eksistensi melalui pikiran rasional, dibandingkan dengan konsep “anatta” dalam Buddhisme yang menyangkal eksistensi diri yang permanen.⁶ Analisis semacam ini hanya mungkin dilakukan melalui pendekatan komparatif yang tidak sekadar deskriptif, tetapi juga kritis dan interpretatif.

Namun demikian, metode komparatif juga mengandaikan adanya disiplin intelektual yang ketat. Perbandingan yang valid harus didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap konteks teks, bahasa, dan struktur berpikir masing-masing tradisi. Hal ini menuntut filsuf atau peneliti untuk bersikap rendah hati secara epistemik dan menghindari generalisasi yang terburu-buru.⁷ Oleh sebab itu, metode ini lebih dari sekadar strategi analisis; ia merupakan suatu sikap filsafat yang menghargai keragaman sebagai ladang subur untuk memahami kebenaran secara lebih komprehensif.


Footnotes

[1]                William Halbfass, India and Europe: An Essay in Understanding (Albany: State University of New York Press, 1988), 34–36.

[2]                Jitendra N. Mohanty, Reason and Tradition in Indian Thought: An Essay on the Nature of Indian Philosophical Thinking (Oxford: Oxford University Press, 1992), 5.

[3]                Karl Jaspers, Way to Wisdom: An Introduction to Philosophy, trans. Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 2003), 19–21.

[4]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 2004), 215.

[5]                Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World's Beliefs (Berkeley: University of California Press, 1996), 28–30.

[6]                Thomas Berry, “Self and Emptiness in Western and Eastern Thought,” Journal of Comparative Philosophy 12, no. 2 (1999): 145–158.

[7]                Peter van der Veer, The Modern Spirit of Asia: The Spiritual and the Secular in China and India (Princeton: Princeton University Press, 2013), 42.


3.           Sejarah dan Perkembangan Metode Komparatif

Metode komparatif dalam filsafat bukanlah pendekatan baru, melainkan memiliki akar yang dalam dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak zaman Yunani kuno, filsuf seperti Herodotus dan Plato telah mempraktikkan bentuk-bentuk awal perbandingan, baik dalam ranah budaya maupun gagasan moral dan metafisika. Dalam dialog-dialog Plato, terutama The Laws dan The Republic, perbandingan antara sistem pemerintahan, nilai-nilai moral, dan gagasan tentang keadilan digunakan untuk menegaskan keunggulan atau kekurangan suatu sistem.¹ Metode ini merupakan bagian integral dari dialektika platonik yang menempatkan perbandingan sebagai sarana menuju kebenaran.

Pada masa Aristoteles, pendekatan komparatif memperoleh bentuk yang lebih sistematis, terutama dalam karya-karya politik dan biologisnya. Dalam Politics, Aristoteles membandingkan konstitusi dari berbagai negara kota untuk menilai bentuk pemerintahan yang paling ideal.² Pendekatan ini tidak hanya menggambarkan variasi institusional, tetapi juga mengkaji prinsip-prinsip filosofis yang melatarbelakanginya, seperti konsep keutamaan, keadilan, dan fungsi negara.

Perkembangan metode komparatif kemudian mengalami revitalisasi pada masa modern, khususnya seiring dengan bangkitnya kesadaran sejarah dan keragaman budaya pada abad ke-18 dan 19. Tokoh seperti Wilhelm von Humboldt dan Johann Gottfried Herder berkontribusi pada berkembangnya kesadaran akan pentingnya memahami sistem pemikiran dalam konteks kebudayaannya masing-masing.³ Dalam konteks ini, metode komparatif mulai dikaitkan dengan hermeneutika dan relativisme budaya, serta menjadi landasan penting dalam pembentukan filsafat perbandingan.

Memasuki abad ke-20, Karl Jaspers menjadi salah satu filsuf yang secara eksplisit menekankan pentingnya pendekatan komparatif dalam memahami eksistensi manusia secara universal. Dalam gagasan Achsenzeit (zaman poros), Jaspers menyoroti kesamaan transformatif dalam pemikiran besar dari Yunani, India, dan Tiongkok yang muncul secara bersamaan pada milenium pertama SM.⁴ Menurutnya, perbandingan terhadap tiga pusat pemikiran ini bukan hanya mengungkap perbedaan, tetapi juga menunjuk pada struktur spiritual dasar umat manusia.⁵

Di belahan Timur, metode komparatif mendapat tempat dalam pemikiran filsafat India dan Tiongkok, meskipun dengan karakteristik yang berbeda. Para pemikir seperti Sarvepalli Radhakrishnan dan Jitendra N. Mohanty menekankan pentingnya membandingkan filsafat India dengan filsafat Barat untuk menunjukkan bahwa filsafat Timur tidak inferior, melainkan memiliki pendekatan ontologis dan epistemologis yang berbeda.⁶ Mohanty secara khusus berupaya menunjukkan bahwa terdapat struktur logis dan argumen rasional dalam filsafat India yang bisa dianalisis melalui perangkat filsafat Barat, tanpa mengorbankan keasliannya.⁷

Dalam konteks pascakolonial dan globalisasi wacana, metode komparatif mendapatkan momentum baru sebagai alat untuk menjembatani perbedaan dan menantang dominasi epistemik dari tradisi Barat. Filsuf-filsuf seperti Enrique Dussel dan Raimon Panikkar mengangkat pentingnya dialog antartradisi sebagai bentuk filsafat yang lebih etis dan inklusif.⁸ Perbandingan, dalam kerangka ini, bukan sekadar alat analitis, tetapi juga gerakan pembebasan epistemologis dan spiritual.

Sejarah metode komparatif, dengan demikian, menunjukkan evolusi dari sekadar alat untuk membedakan dan mengklasifikasi, menjadi instrumen yang menjembatani kesenjangan antartradisi pemikiran dan membentuk landasan bagi filsafat global yang dialogis dan pluralistik.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 295–300.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Book II, 1260a–1261b.

[3]                Johann Gottfried Herder, Philosophical Writings, ed. Michael N. Forster (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 110–115.

[4]                Karl Jaspers, The Origin and Goal of History, trans. Michael Bullock (New Haven: Yale University Press, 1953), 1–21.

[5]                Ibid., 19.

[6]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (Oxford: Oxford University Press, 1923), 28–30.

[7]                Jitendra N. Mohanty, Reason and Tradition in Indian Thought: An Essay on the Nature of Indian Philosophical Thinking (Oxford: Oxford University Press, 1992), 9–11.

[8]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 53–60.


4.           Pendekatan dan Teknik dalam Metode Komparatif

Metode komparatif dalam filsafat bukanlah prosedur tunggal yang kaku, melainkan mencakup berbagai pendekatan dan teknik analitis yang disesuaikan dengan tujuan, objek, dan konteks perbandingan. Gagasan dasarnya adalah bahwa makna suatu konsep atau sistem pemikiran menjadi lebih jelas ketika diletakkan dalam relasi dengan konsep atau sistem lain. Namun, keberhasilan perbandingan tersebut sangat tergantung pada pendekatan metodologis yang tepat dan teknik analisis yang akurat.

4.1.       Pendekatan Sinkronik dan Diakronik

Dalam kajian filsafat, dua pendekatan utama yang sering digunakan adalah sinkronik dan diakronik. Pendekatan sinkronik menekankan perbandingan antar gagasan atau sistem dalam waktu yang relatif bersamaan. Misalnya, membandingkan pandangan tentang keadilan dalam pemikiran John Rawls dan prinsip keadilan dalam filsafat Islam kontemporer memungkinkan analisis kontekstual dalam horizon zaman yang sama.¹

Sementara itu, pendekatan diakronik melibatkan studi perbandingan yang menelusuri perubahan atau kontinuitas suatu gagasan melintasi waktu. Teknik ini bermanfaat untuk melihat evolusi konsep-konsep filosofis tertentu, seperti bagaimana konsep “diri” berkembang dari pemikiran Upanishad di India kuno hingga fenomenologi Husserl di Eropa modern.² Pendekatan ini membutuhkan sensitivitas historis sekaligus kompetensi dalam analisis konseptual lintas waktu.

4.2.       Teknik Formal dan Substansial

Secara umum, metode komparatif dapat dibagi ke dalam dua teknik: formal dan substansial. Teknik formal berfokus pada struktur argumen dan bentuk logika dari sistem-sistem yang dibandingkan. Contohnya, menganalisis struktur silogistik dalam logika Aristotelian dan membandingkannya dengan bentuk inferensi dalam logika Buddhis India (pramāṇa) dapat membantu mengungkap pola berpikir yang serupa maupun berbeda secara teknis.³

Sementara itu, teknik substansial menyoroti isi atau konten pemikiran yang dibandingkan. Ini mencakup nilai-nilai etis, asumsi metafisis, atau tujuan eksistensial dari masing-masing sistem. Sebagai contoh, membandingkan tujuan hidup menurut filsafat Stoik dan Buddhisme Mahayana akan mengungkap perbedaan pandangan tentang penderitaan, kebebasan batin, dan hubungan dengan dunia.⁴ Teknik ini menuntut pendekatan holistik dan pemahaman mendalam terhadap sistem nilai dan konteks kultural masing-masing.

4.3.       Validitas dan Kesepadanan Objek Komparasi

Salah satu tantangan utama dalam metode komparatif adalah validitas kesepadanan objek. Perbandingan yang sah menuntut bahwa dua konsep atau sistem yang dibandingkan memiliki tingkat kompleksitas, cakupan, dan fungsi yang sebanding. Peter van der Veer mengingatkan bahwa perbandingan yang dilakukan tanpa kesadaran akan ketimpangan historis atau epistemik dapat menghasilkan distorsi analitik atau bahkan violence of abstraction.⁵ Oleh karena itu, pendekatan komparatif yang etis dan akademis harus menghindari pemaksaan skema perbandingan Barat terhadap sistem non-Barat atau sebaliknya.

4.4.       Strategi Hermeneutik dan Dialogis

Teknik penting lainnya dalam metode komparatif adalah pendekatan hermeneutik dan dialogis. Dalam pendekatan ini, perbandingan dilakukan dengan kesadaran bahwa makna selalu terbentuk melalui interpretasi dalam suatu konteks. Raimon Panikkar menyebutnya sebagai intra-religious dialogue dalam konteks filsafat agama—yakni membandingkan tanpa melepaskan diri dari horizon makna internal masing-masing tradisi.⁶ Teknik ini memungkinkan pemahaman yang tidak hanya objektif, tetapi juga partisipatif, karena membuka ruang bagi keterlibatan eksistensial sang pembanding terhadap dua dunia makna yang sedang dianalisis.


Footnotes

[1]                Zaid Eyadat, “Islamic Philosophy of Justice: A Comparative Study of John Rawls and Justice in Islam,” Philosophy & Social Criticism 39, no. 4–5 (2013): 499–518.

[2]                Wilhelm Halbfass, India and Europe: An Essay in Understanding (Albany: State University of New York Press, 1988), 67–72.

[3]                Jonardon Ganeri, The Lost Age of Reason: Philosophy in Early Modern India 1450–1700 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 45–50.

[4]                Christopher W. Gowans, Buddhist Moral Philosophy: An Introduction (New York: Routledge, 2014), 86–89.

[5]                Peter van der Veer, The Modern Spirit of Asia: The Spiritual and the Secular in China and India (Princeton: Princeton University Press, 2013), 33–37.

[6]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 42–44.


5.           Penerapan Metode Komparatif dalam Studi Filsafat

Penerapan metode komparatif dalam studi filsafat telah meluas ke berbagai cabang dan tema, mencerminkan peran vitalnya dalam memperluas cakrawala pemikiran filosofis. Dengan memungkinkan pertemuan gagasan dari beragam latar tradisi, metode ini tidak hanya memfasilitasi pemahaman lintas budaya dan zaman, tetapi juga memperkaya analisis konseptual serta mendalamkan refleksi atas nilai-nilai universal dan partikular dalam filsafat.

5.1.       Filsafat Lintas Budaya (Cross-Cultural Philosophy)

Salah satu bidang utama penerapan metode komparatif adalah dalam filsafat lintas budaya, khususnya perbandingan antara filsafat Timur dan Barat. Misalnya, perbandingan antara cogito ergo sum dalam filsafat Descartes dengan konsep anatta (non-self) dalam Buddhisme Theravāda membuka pemahaman yang kontras mengenai identitas dan eksistensi manusia.¹ Di satu sisi, Descartes menekankan eksistensi sebagai subjek berpikir; sementara dalam Buddhisme, eksistensi diri justru ditolak sebagai entitas tetap. Pendekatan komparatif dalam kasus ini bukan sekadar menyoroti perbedaan, tetapi juga mengungkap struktur ontologis yang mendasari masing-masing sistem pemikiran.

5.2.       Perbandingan Antarmazhab Filsafat

Metode komparatif juga diterapkan dalam membandingkan mazhab-mazhab dalam tradisi filsafat yang sama. Contohnya adalah perbandingan antara rasionalisme Descartes dan empirisme Hume. Keduanya menjawab pertanyaan tentang sumber pengetahuan, tetapi dari premis epistemologis yang berbeda. Perbandingan ini menampakkan keterbatasan masing-masing pendekatan dan melahirkan solusi baru dalam sintesis Kantian, yang mencoba mendamaikan dua kutub ekstrem tersebut.² Studi semacam ini menunjukkan bahwa metode komparatif tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga konstruktif dalam pengembangan pemikiran filsafat itu sendiri.

5.3.       Filsafat Agama dan Dialog Teologis

Dalam filsafat agama, metode komparatif menjadi alat penting untuk membandingkan gagasan transendensi, konsep ketuhanan, serta pengalaman spiritual antartradisi. John Hick, misalnya, membandingkan konsep Tuhan dalam agama-agama besar dunia dan mengembangkan gagasan the Real, yaitu satu realitas transendental yang dijumpai secara berbeda oleh tiap agama.³ Hal ini menunjukkan bagaimana pendekatan komparatif dapat mengantar pada pemahaman pluralistik tanpa harus menyamakan semua keyakinan.

Contoh lain adalah Raimon Panikkar yang mengembangkan dialog intra-religius, di mana perbandingan antariman dilakukan dengan sensitivitas terhadap horizon makna internal masing-masing agama.⁴ Dalam konteks ini, metode komparatif tidak hanya akademis, tetapi juga spiritual dan transformatif.

5.4.       Filsafat Politik dan Etika

Dalam filsafat politik, metode komparatif digunakan untuk membandingkan teori-teori keadilan, kekuasaan, dan hak asasi manusia. Sebagai contoh, perbandingan antara gagasan “justice as fairness” dari John Rawls dan konsep keadilan dalam pemikiran Islam klasik mengungkap dimensi etis-politik yang berbeda namun saling melengkapi. Rawls menekankan prinsip kebebasan dan kesetaraan dalam kontrak sosial liberal, sementara filsafat politik Islam menekankan tanggung jawab moral dan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam kerangka ketuhanan.⁵ Studi semacam ini tidak hanya memperkaya pemahaman atas keadilan, tetapi juga membuka kemungkinan perumusan etika politik yang lebih inklusif dan global.

5.5.       Filsafat Bahasa dan Logika

Penerapan metode komparatif juga terlihat dalam studi filsafat bahasa dan logika, seperti perbandingan antara logika Aristotelian dengan sistem logika dalam tradisi India (Nyāya) atau Tiongkok (Mozi).⁶ Analisis ini menantang dominasi logika Barat dalam kurikulum filosofis dan menunjukkan bahwa rasionalitas memiliki ekspresi yang bervariasi tergantung pada konteks budaya dan bahasa.


Footnotes

[1]                Thomas Berry, “Self and Emptiness in Western and Eastern Thought,” Journal of Comparative Philosophy 12, no. 2 (1999): 145–158.

[2]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 45–58.

[3]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 2004), 233–236.

[4]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 51–57.

[5]                Zaid Eyadat, “Islamic Philosophy of Justice: A Comparative Study of John Rawls and Justice in Islam,” Philosophy & Social Criticism 39, no. 4–5 (2013): 499–518.

[6]                Bimal Krishna Matilal, Logic, Language and Reality: Indian Philosophy and Contemporary Issues (Delhi: Motilal Banarsidass, 1985), 78–85.


6.           Kekuatan dan Kelemahan Metode Komparatif

Sebagai pendekatan filsafat yang melintasi batas-batas geografis, budaya, dan sistem pemikiran, metode komparatif menawarkan banyak keunggulan. Namun, ia juga menghadapi sejumlah tantangan metodologis dan epistemologis yang tidak bisa diabaikan. Kekuatan dan kelemahan ini mencerminkan kompleksitas dari filsafat itu sendiri sebagai usaha pencarian kebenaran yang terbuka, reflektif, dan kritis.

6.1.       Kekuatan Metode Komparatif

Salah satu kekuatan utama metode komparatif adalah kemampuannya memperluas cakrawala pemahaman filosofis. Melalui perbandingan, filsuf atau peneliti tidak hanya memahami suatu konsep secara internal, tetapi juga dalam relasinya dengan konsep lain dari tradisi berbeda. Hal ini sejalan dengan prinsip hermeneutika Gadamerian bahwa pemahaman terjadi dalam “fusi horizon”—yakni pertemuan antara horizon makna yang berbeda.¹ Dalam konteks ini, metode komparatif membuka jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap berbagai sistem nilai dan gagasan filosofis.

Metode ini juga berperan dalam mendorong pluralisme epistemologis dan dialog antartradisi. Dalam dunia yang ditandai oleh keberagaman dan globalisasi, pendekatan yang memungkinkan interaksi pemikiran lintas budaya menjadi semakin penting. Raimon Panikkar menyebut pendekatan ini sebagai “dialog dialogis”, yakni dialog yang tidak bertujuan untuk mengasimilasi, tetapi untuk memahami dan menghargai yang lain dalam keberbedaannya.² Dengan demikian, metode komparatif juga berfungsi sebagai alat rekonsiliasi kultural dan intelektual.

Selain itu, metode komparatif juga memunculkan refleksi kritis atas asumsi yang sering tersembunyi dalam satu sistem pemikiran. Melalui konfrontasi dengan sistem lain, seseorang terdorong untuk mempertanyakan, mengklarifikasi, atau bahkan mereformulasi ide-idenya sendiri. Sebagaimana ditunjukkan oleh Jitendra Mohanty, perbandingan antara filsafat India dan Barat mengungkap bahwa banyak konsep epistemologis Barat tidak bersifat universal, tetapi historis dan terbentuk dalam konteks tertentu.³

6.2.       Kelemahan dan Tantangan Metode Komparatif

Namun, di balik kekuatannya, metode komparatif tidak lepas dari berbagai kelemahan dan tantangan. Salah satu yang paling krusial adalah risiko penyederhanaan (oversimplification). Ketika dua sistem pemikiran dibandingkan tanpa memperhatikan kompleksitas internal masing-masing, maka hasilnya bisa menjadi distorsi intelektual.⁴ Hal ini sering terjadi ketika konsep-konsep kunci dari suatu tradisi diterjemahkan secara terburu-buru ke dalam kategori-kategori Barat, atau sebaliknya, tanpa pemahaman mendalam terhadap konteks semantik dan kulturalnya.

Selain itu, metode komparatif juga menghadapi tudingan sebagai bentuk relativisme epistemologis, yakni pandangan bahwa semua sistem pemikiran sama sahnya dan tidak dapat dinilai secara normatif. Kritik ini mencuat terutama dari kalangan yang menekankan pentingnya kriteria objektif dalam penilaian filosofis.⁵ Dalam beberapa kasus, komparasi yang tidak kritis justru menciptakan kesan bahwa kebenaran hanya bersifat lokal dan tidak ada nilai universal yang dapat dirumuskan.

Tantangan lainnya adalah asimetri kekuasaan dalam tradisi intelektual, yang dapat mempengaruhi arah dan hasil perbandingan. Peter van der Veer mengingatkan bahwa perbandingan sering kali dilakukan dari posisi hegemonik, di mana tradisi intelektual Barat menjadi tolok ukur dan tradisi lain dinilai dalam kerangka epistemologis yang tidak netral.⁶ Oleh karena itu, metode komparatif yang bertanggung jawab harus mencerminkan kesadaran kritis terhadap struktur kuasa dalam produksi pengetahuan.

Akhirnya, terdapat kesulitan teknis dalam menyepadankan konsep atau sistem yang berbeda secara radikal. Beberapa konsep mungkin tidak memiliki padanan semantik yang tepat dalam bahasa atau tradisi lain, sehingga analisis komparatifnya menjadi tidak stabil. Hal ini menuntut filsuf atau peneliti untuk memiliki kepekaan linguistik dan kemampuan hermeneutik yang tinggi agar tidak terjebak dalam category mistake atau false equivalency.⁷


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 302–305.

[2]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 45–47.

[3]                Jitendra N. Mohanty, Reason and Tradition in Indian Thought: An Essay on the Nature of Indian Philosophical Thinking (Oxford: Oxford University Press, 1992), 15–18.

[4]                Wilhelm Halbfass, India and Europe: An Essay in Understanding (Albany: State University of New York Press, 1988), 41–44.

[5]                Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 6–10.

[6]                Peter van der Veer, The Modern Spirit of Asia: The Spiritual and the Secular in China and India (Princeton: Princeton University Press, 2013), 33.

[7]                Jonardon Ganeri, Philosophy in Classical India: The Proper Work of Reason (London: Routledge, 2001), 87–89.


7.           Relevansi Metode Komparatif dalam Konteks Kontemporer

Dalam konteks intelektual kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, pluralisme budaya, dan krisis epistemologis pascamodern, metode komparatif semakin menunjukkan relevansinya sebagai pendekatan yang tidak hanya akademis, tetapi juga etis dan politis. Di tengah meningkatnya kesadaran akan keragaman sistem nilai dan cara pandang, filsafat dituntut untuk tidak terkungkung dalam paradigma tunggal. Metode komparatif menjawab tantangan ini dengan menawarkan sebuah pendekatan yang terbuka, dialogis, dan reflektif terhadap perbedaan.

7.1.       Menjawab Tantangan Globalisasi dan Pluralisme

Globalisasi telah mempercepat pertemuan antara berbagai sistem pemikiran yang sebelumnya terpisah oleh batas geografis dan budaya. Dalam situasi ini, metode komparatif berperan penting dalam menjembatani perbedaan, tidak dengan cara menyamakan, tetapi dengan mengelola dan memahami perbedaan secara filosofis. Sebagaimana ditegaskan oleh Martha Nussbaum, kemampuan untuk memahami sudut pandang lain secara rasional dan simpatetik merupakan prasyarat penting bagi kewarganegaraan global yang demokratis dan bertanggung jawab.¹ Pendekatan komparatif dalam filsafat, dengan demikian, menjadi instrumen pendidikan kosmopolitan yang efektif.

7.2.       Merespons Krisis Universalisme Barat

Salah satu tantangan besar dalam filsafat kontemporer adalah krisis terhadap klaim universalisme Barat. Banyak kritik, terutama dari perspektif poskolonial dan dekolonial, menyoroti bagaimana filsafat Barat sering kali menyamaratakan nilai-nilainya sebagai kebenaran universal, sambil mengabaikan atau merendahkan sistem pemikiran non-Barat.² Dalam konteks ini, metode komparatif menjadi alat untuk mendekonstruksi dominasi epistemologis, sekaligus merehabilitasi nilai dan logika alternatif dari tradisi-tradisi lain.

Sebagaimana dikemukakan oleh Enrique Dussel, filsafat harus membuka diri terhadap “transmodernitas”, yaitu pemikiran yang melampaui modernitas Eropa dan memberi ruang bagi suara-suara dari dunia yang selama ini terpinggirkan.³ Dengan kata lain, metode komparatif bukan hanya alat analisis, tetapi juga strategi pembebasan dalam ranah epistemologi dan etika global.

7.3.       Mengembangkan Filsafat Interkultural dan Interspiritual

Relevansi metode komparatif juga terlihat dalam perkembangan filsafat interkultural, yakni pendekatan filsafat yang melibatkan dialog kreatif antara budaya-budaya filsafat yang berbeda. Ram Adhar Mall menyatakan bahwa tidak ada filsafat murni universal, melainkan hanya filsafat yang saling bersilang dalam pengalaman kulturalnya.⁴ Oleh karena itu, metode komparatif menjadi kerangka kerja utama dalam menjalin komunikasi antara filsafat Barat, Timur, Afrika, dan Amerika Latin.

Lebih jauh lagi, metode ini juga mendukung filsafat interspiritual, yaitu pendekatan filsafat agama yang bertujuan membangun pemahaman lintas iman. Dalam dunia yang sering dilanda konflik antaragama, pendekatan komparatif dapat mengungkap kedalaman makna spiritual yang bersifat transformatif, bukan polemis. Raimon Panikkar, dalam gagasan “dialog intra-religius”-nya, menekankan pentingnya mendekati tradisi lain dari dalam—bukan sebagai objek, melainkan sebagai mitra spiritual.⁵

7.4.       Mendukung Kajian Interdisipliner dan Respons Sosial

Dalam era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas masalah—dari krisis iklim, ketidaksetaraan global, hingga kecanggihan teknologi—filsafat tidak dapat bekerja secara terisolasi. Diperlukan keterbukaan terhadap pendekatan interdisipliner yang mampu menautkan filsafat dengan sosiologi, antropologi, studi agama, ilmu lingkungan, dan teknologi. Metode komparatif memberi kontribusi signifikan dengan menyediakan kerangka analisis yang lentur dan lintas disiplin.⁶

Sebagai contoh, perbandingan antara etika lingkungan dalam filsafat Taoisme dan prinsip ekosentrisme dalam ekofilsafat modern membuka perspektif baru dalam etika lingkungan global.⁷ Pendekatan semacam ini tidak hanya memperkaya diskursus filosofis, tetapi juga menawarkan respons yang lebih kontekstual dan relevan terhadap isu-isu kemanusiaan kontemporer.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 10–13.

[2]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 40–42.

[3]                Enrique Dussel, Ethics of Liberation: In the Age of Globalization and Exclusion, trans. Eduardo Mendieta et al. (Durham, NC: Duke University Press, 2013), 18–21.

[4]                Ram Adhar Mall, Philosophie im Vergleich der Kulturen: Interkulturelle Philosophie – Eine neue Orientierung (Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1995), 27.

[5]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 44–48.

[6]                Fred Dallmayr, Beyond Orientalism: Essays on Cross-Cultural Encounter (Albany: State University of New York Press, 1996), 72–75.

[7]                Mary Evelyn Tucker and John Grim, Ecology and Religion (Washington, DC: Island Press, 2014), 56–59.


8.           Studi Kasus Komparatif

Untuk memahami secara konkret bagaimana metode komparatif berfungsi dalam kajian filsafat, penting untuk menelaah beberapa studi kasus yang menggambarkan penerapannya dalam membandingkan konsep-konsep filosofis lintas budaya dan aliran. Studi-studi ini menunjukkan bahwa metode komparatif bukan hanya alat analitis, tetapi juga medium produktif untuk pengembangan wacana filosofis yang lebih inklusif dan reflektif.

8.1.       Konsep Diri: Descartes dan Buddhisme

Salah satu contoh klasik dari pendekatan komparatif adalah perbandingan antara gagasan “diri” (self) dalam filsafat Barat dan Timur. Descartes, dalam Meditations on First Philosophy, merumuskan cogito ergo sum sebagai dasar kepastian eksistensial—yakni, kesadaran berpikir menandai eksistensi subjek rasional yang otonom.¹ Sebaliknya, dalam Buddhisme Theravāda, terutama dalam doktrin anattā (non-self), justru ditekankan bahwa tidak ada inti diri yang kekal atau substansial.²

Perbandingan ini mengungkap dua model ontologis yang sangat berbeda: yang satu mendasarkan keberadaan pada refleksi intelektual individual, sementara yang lain menolak konsep permanensi diri dan menekankan kefanaan serta keterhubungan semua eksistensi. Studi semacam ini menantang asumsi universal tentang identitas dan membuka ruang bagi pemahaman eksistensial yang lebih plural.

8.2.       Etika: Stoikisme dan Buddhisme Mahāyāna

Studi komparatif lainnya dapat dilihat dalam perbandingan antara etika Stoik dan etika Buddhis Mahāyāna. Kedua tradisi ini mengajarkan pengendalian diri, ketenangan batin, dan penerimaan terhadap kondisi dunia yang tidak tetap. Epiktetos, misalnya, menekankan bahwa kebebasan sejati terletak pada penguasaan diri terhadap dorongan eksternal.³ Demikian pula, dalam Mahāyāna, ajaran tentang upāya (cara bijaksana) dan karuṇā (belas kasih) menekankan transformasi batin untuk mencapai pencerahan dan membantu makhluk lain.

Kedua tradisi memiliki kesamaan dalam memandang penderitaan sebagai kondisi yang dapat diatasi melalui disiplin spiritual dan transformasi batiniah, meskipun konteks metafisik dan tujuan akhir mereka berbeda.⁴ Ini menunjukkan bahwa studi komparatif tidak hanya membandingkan ajaran, tetapi juga menggali potensi interkoneksi etis di antara sistem pemikiran yang berbeda.

8.3.       Keadilan Sosial: John Rawls dan Al-Fārābī

Perbandingan antara teori keadilan John Rawls dan pemikiran politik Al-Fārābī memberikan ilustrasi lain tentang bagaimana metode komparatif dapat digunakan dalam filsafat politik. Rawls, dalam A Theory of Justice, mengembangkan konsep keadilan sebagai fairness, dengan menekankan prinsip kebebasan yang setara dan distribusi yang adil atas sumber daya.⁵ Sementara itu, Al-Fārābī, dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, memandang keadilan sebagai harmoni antara jiwa dan negara, berlandaskan pada pengetahuan ilahiah dan struktur hirarkis masyarakat.⁶

Perbandingan ini memperlihatkan dua pendekatan terhadap keadilan: satu berdasarkan kesetaraan prosedural dan satu lagi berdasarkan tatanan hierarkis yang berorientasi pada kebaikan bersama. Studi ini menekankan bahwa konsep keadilan tidak tunggal dan universal, tetapi dibentuk oleh asumsi metafisik dan tujuan sosial yang berbeda.

8.4.       Epistemologi: Filsafat Yunani dan India

Contoh lain yang signifikan adalah perbandingan antara sistem epistemologi Yunani klasik dan teori pengetahuan dalam filsafat India. Dalam filsafat Yunani, terutama Aristotelian, pengetahuan dianggap sebagai hasil dari silogisme logis dan pengamatan inderawi.⁷ Sebaliknya, dalam sistem Nyāya dari India, pengetahuan (pramā) diklasifikasikan berdasarkan alat validasi (pramāṇa), seperti persepsi (pratyakṣa), inferensi (anumāna), analogi (upamāna), dan kesaksian verbal yang sahih (śabda).⁸

Perbandingan ini memperkaya pemahaman tentang epistemologi dengan menunjukkan bahwa validitas pengetahuan dapat ditentukan melalui kerangka rasional yang beragam, tergantung pada konteks budaya dan linguistik. Ini juga menantang asumsi bahwa logika formal Yunani adalah satu-satunya model rasionalitas.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–19.

[2]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 55–58.

[3]                Epictetus, The Discourses, trans. Robin Hard (London: Everyman's Library, 1995), Book I, 1–5.

[4]                Damien Keown, Buddhist Ethics: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 61–63.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice, revised edition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–55.

[6]                Alfarabi, The Political Regime (al-Siyāsah al-Madaniyyah), trans. Fauzi Najjar (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2002), 32–36.

[7]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), Book I.

[8]                Bimal Krishna Matilal, The Character of Logic in India (Albany: State University of New York Press, 1998), 21–26.


9.           Kritik dan Tantangan terhadap Metode Komparatif

Meskipun metode komparatif dalam filsafat memiliki banyak keunggulan, ia tidak luput dari kritik mendasar dan tantangan epistemologis yang harus ditanggapi secara serius. Kritik-kritik tersebut muncul dari berbagai latar belakang—mulai dari filsafat poskolonial hingga hermeneutika, dan dari problem etika interpretasi hingga bahaya reduksionisme konseptual. Telaah kritis terhadap metode ini menjadi penting untuk memastikan bahwa praktik perbandingan tidak terjebak dalam penyederhanaan, bias ideologis, atau dominasi epistemik yang terselubung.

9.1.       Bahaya Reduksionisme dan Ekivalensi Palsu

Salah satu kritik utama terhadap metode komparatif adalah tendensi reduksionisme, yaitu kecenderungan menyederhanakan sistem pemikiran yang kompleks demi memaksakan kesepadanan antara konsep yang sejatinya tidak setara.¹ Perbandingan yang tidak hati-hati dapat menghasilkan false equivalency, yakni ketika dua konsep yang memiliki konteks, fungsi, dan struktur makna berbeda dipaksakan dalam kerangka analisis yang homogen. Hal ini berisiko menyesatkan dan menurunkan integritas filosofis masing-masing sistem yang dibandingkan.

Sebagaimana diperingatkan oleh Wilhelm Halbfass, perbandingan lintas budaya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena terdapat bahaya proyeksi Barat terhadap filsafat non-Barat yang berujung pada domestikasi atau eksotisasi konsep-konsep asing.² Reduksi semacam ini mengabaikan keunikan historis dan semantik yang membentuk makna asli suatu gagasan filosofis.

9.2.       Dominasi Epistemik dan Hegemoni Barat

Kritik dari perspektif poskolonial menyoroti bahwa metode komparatif kerap dijalankan dalam kerangka yang secara implisit—atau bahkan eksplisit—masih mengacu pada standar epistemologis Barat.³ Perbandingan dalam banyak kasus dilakukan dari perspektif superioritas epistemik Barat, sehingga tradisi pemikiran lain ditempatkan sebagai objek, bukan subjek pemikiran.

Walter Mignolo menyebut fenomena ini sebagai coloniality of knowledge, yakni struktur dominasi pengetahuan yang tetap berlangsung meski kolonialisme formal telah berakhir.⁴ Dalam situasi ini, metode komparatif bisa menjadi alat peminggiran baru yang membungkus dirinya dalam retorika inklusif, padahal tetap mempertahankan relasi kuasa yang timpang.

9.3.       Tantangan Hermeneutik dan Bahasa

Tantangan lain yang sangat nyata dalam metode komparatif adalah problem hermeneutik, khususnya dalam memahami teks atau gagasan dari tradisi yang berbeda bahasa dan horizon makna. Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman selalu bersifat historis dan terikat pada pre-understanding sang penafsir.⁵ Dengan demikian, perbandingan filosofis memerlukan kesadaran hermeneutik yang tinggi, serta kemampuan untuk bergerak di antara horizon tradisi yang berbeda tanpa memaksakan makna tertentu.

Masalah semantik dan penerjemahan juga menambah kompleksitas perbandingan. Beberapa konsep—seperti tao dalam filsafat Tiongkok, atau dharma dalam filsafat India—tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Barat dan membawa beban kosmologis dan spiritual yang dalam.⁶ Menerjemahkan konsep-konsep ini ke dalam kerangka Barat berisiko mengosongkan makna aslinya atau menanamkan asumsi asing yang tidak kompatibel.

9.4.       Problematika Keterlibatan dan Objektivitas

Sebagian filsuf juga mengkritik metode komparatif dari sisi ketegangan antara keterlibatan eksistensial dan jarak objektif. Dalam studi komparatif yang melibatkan dimensi spiritual atau religius, misalnya, filsuf sering kali dihadapkan pada dilema antara menjadi pengamat netral atau peserta yang terlibat secara maknawi. Raimon Panikkar menyarankan pendekatan dialogis-partisipatif, di mana sang peneliti tidak hanya memahami secara luar, tetapi juga menyelami makna dari dalam tradisi yang dikaji.⁷ Namun, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan tentang batas antara filsafat sebagai disiplin reflektif dan sebagai pengalaman spiritual.


Footnotes

[1]                Robert Cummings Neville, Comparative Religious Philosophies: Identity and Transformation in Culture (Albany: State University of New York Press, 2001), 15–17.

[2]                Wilhelm Halbfass, India and Europe: An Essay in Understanding (Albany: State University of New York Press, 1988), 43–46.

[3]                Enrique Dussel, Philosophy of Liberation, trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1985), 9–11.

[4]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham, NC: Duke University Press, 2011), 57–61.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–274.

[6]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 11–14.

[7]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 51–55.


10.       Penutup

Metode komparatif dalam filsafat telah terbukti sebagai pendekatan yang kaya secara analitis, relevan secara historis, dan signifikan secara etis dalam mengembangkan pemikiran lintas budaya, sistem, dan zaman. Sebagai metode yang berpijak pada prinsip keterbukaan, dialog, dan refleksi, pendekatan ini mampu memperluas cakrawala intelektual dan memperdalam pemahaman terhadap keragaman gagasan manusia tentang eksistensi, pengetahuan, nilai, dan realitas.

Sebagaimana ditunjukkan dalam bagian-bagian sebelumnya, kekuatan utama metode ini terletak pada kemampuannya menghadirkan perspektif relasional dan dialogis, mempertemukan sistem pemikiran yang berbeda dalam semangat saling memahami tanpa harus menghapus perbedaan.¹ Dengan cara ini, filsafat menjadi medan yang inklusif, tempat di mana berbagai tradisi dan rasionalitas dapat bertemu, bersilang, dan saling memperkaya. Konsep-konsep besar seperti keadilan, kebenaran, dan diri tidak lagi dimonopoli oleh satu tradisi tertentu, melainkan dibuka untuk diuji, dikritik, dan direfleksikan dalam kerangka perbandingan yang adil dan mendalam.

Namun demikian, berbagai kritik terhadap metode ini—seperti risiko reduksionisme, hegemonisasi epistemologis, serta tantangan hermeneutik dan semantik—harus dijadikan peringatan metodologis yang penting. Tanpa kehati-hatian dan kesadaran reflektif, metode komparatif dapat berubah menjadi instrumen pembenaran dominasi pengetahuan yang tersembunyi di balik klaim netralitas ilmiah.² Oleh karena itu, penggunaan metode ini harus disertai dengan etika interpretasi, kompetensi lintas budaya, dan komitmen terhadap keadilan epistemik.

Di tengah tantangan dunia kontemporer—seperti konflik ideologis, krisis lingkungan, ketimpangan global, serta ketegangan identitas—metode komparatif menawarkan kontribusi berarti dalam membangun filsafat interkultural dan humanisme transnasional.³ Dengan mendekatkan kita pada pemahaman akan keragaman cara berpikir manusia, pendekatan ini berperan penting dalam mengembangkan bentuk filsafat yang lebih inklusif, visioner, dan berakar pada dialog yang autentik.

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa metode komparatif bukan hanya alat analisis dalam filsafat, tetapi juga paradigma keterbukaan intelektual dan solidaritas universal.⁴ Ia mengajarkan bahwa pemahaman yang mendalam hanya mungkin dicapai ketika kita bersedia mendengarkan yang lain, menjelajahi horizon-horizon asing, dan merefleksikan diri melalui cermin pemikiran orang lain. Dengan demikian, filsafat bukan sekadar upaya berpikir, melainkan juga perjumpaan yang memperkaya kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Fred Dallmayr, Beyond Orientalism: Essays on Cross-Cultural Encounter (Albany: State University of New York Press, 1996), 85–88.

[2]                Enrique Dussel, Philosophy of Liberation, trans. Aquilina Martinez and Christine Morkovsky (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1985), 14–16.

[3]                Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 2nd ed. (New York: Paulist Press, 1999), 59–61.

[4]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 52.


Daftar Pustaka

Alfarabi. (2002). The political regime (al-Siyāsah al-Madaniyyah) (F. Najjar, Trans.). Brigham Young University Press.

Aristotle. (1994). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Berry, T. (1999). Self and emptiness in Western and Eastern thought. Journal of Comparative Philosophy, 12(2), 145–158.

Dallmayr, F. (1996). Beyond orientalism: Essays on cross-cultural encounter. State University of New York Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Dussel, E. (1985). Philosophy of liberation (A. Martinez & C. Morkovsky, Trans.). Orbis Books.

Dussel, E. (2013). Ethics of liberation: In the age of globalization and exclusion (E. Mendieta, et al., Trans.). Duke University Press.

Epictetus. (1995). The discourses (R. Hard, Trans.). Everyman's Library.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Ganeri, J. (2001). Philosophy in classical India: The proper work of reason. Routledge.

Ganeri, J. (2011). The lost age of reason: Philosophy in early modern India 1450–1700. Oxford University Press.

Gowans, C. W. (2014). Buddhist moral philosophy: An introduction. Routledge.

Halbfass, W. (1988). India and Europe: An essay in understanding. State University of New York Press.

Hansen, C. (1992). A Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. Oxford University Press.

Herder, J. G. (2002). Philosophical writings (M. N. Forster, Ed.). Cambridge University Press.

Hick, J. (2004). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent (2nd ed.). Yale University Press.

Keown, D. (2005). Buddhist ethics: A very short introduction. Oxford University Press.

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.

Mall, R. A. (1995). Philosophie im Vergleich der Kulturen: Interkulturelle Philosophie – Eine neue Orientierung. Wissenschaftliche Buchgesellschaft.

Matilal, B. K. (1985). Logic, language and reality: Indian philosophy and contemporary issues. Motilal Banarsidass.

Matilal, B. K. (1998). The character of logic in India. State University of New York Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mohanty, J. N. (1992). Reason and tradition in Indian thought: An essay on the nature of Indian philosophical thinking. Oxford University Press.

Neville, R. C. (2001). Comparative religious philosophies: Identity and transformation in culture. State University of New York Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Panikkar, R. (1999). The intra-religious dialogue (2nd ed.). Paulist Press.

Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Revised ed.). Harvard University Press.

Scruton, R. (2002). A short history of modern philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.

Smart, N. (1996). Dimensions of the sacred: An anatomy of the world's beliefs. University of California Press.

Smart, N. (1998). The world's religions: Old traditions and modern transformations. Cambridge University Press.

Tucker, M. E., & Grim, J. (2014). Ecology and religion. Island Press.

van der Veer, P. (2013). The modern spirit of Asia: The spiritual and the secular in China and India. Princeton University Press.

Eyadat, Z. (2013). Islamic philosophy of justice: A comparative study of John Rawls and justice in Islam. Philosophy & Social Criticism, 39(4–5), 499–518.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar