Metode Historis
Menelusuri Metode Historis dalam Filsafat
Alihkan ke: Metode-Metode dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode historis
dalam filsafat sebagai pendekatan yang menekankan pentingnya konteks historis
dalam memahami gagasan filosofis. Dimulai dari pengertian dan dasar
epistemologisnya, artikel ini menelusuri akar perkembangan metode ini sejak
zaman Yunani klasik hingga pematangan konseptualnya melalui pemikiran
tokoh-tokoh seperti G.W.F. Hegel, Wilhelm Dilthey, dan Michel Foucault. Metode
historis dianalisis dalam hal prosedur metodologisnya—mulai dari rekonstruksi
konteks, penggunaan sumber primer, hingga penafsiran makna dan evaluasi
transhistoris. Dengan membandingkannya dengan metode lain seperti pendekatan
analitik, fenomenologis, dan dialektik, artikel ini menunjukkan keunikan serta
potensi integratif dari pendekatan historis. Studi kasus atas pemikiran Plato
dan Ibn Khaldun memperlihatkan penerapan konkret metode ini dalam menganalisis
filsafat sebagai produk historis yang dinamis. Penutup artikel ini menekankan
bahwa dalam era kontemporer yang kompleks, metode historis tetap relevan
sebagai instrumen kritis dan hermeneutis yang menghubungkan masa lalu dengan
persoalan filsafat masa kini.
Kata Kunci: metode
historis, filsafat, konteks historis, hermeneutika, sejarah ide, Plato, Ibn
Khaldun, historiografi, pemikiran kontemporer, analisis filosofis.
PEMBAHASAN
Pendekatan, Perkembangan, dan Relevansinya dalam Kajian
Pemikiran
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai disiplin ilmu tidak hanya berupaya
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi, pengetahuan, dan
nilai, tetapi juga menuntut ketelitian metodologis dalam proses pencarian
kebenaran. Dalam perjalanan sejarahnya, filsafat telah melahirkan beragam
pendekatan metodis untuk menggali dan menganalisis realitas, mulai dari metode
deduktif, dialektik, fenomenologis, hingga metode historis. Di antara semua
pendekatan tersebut, metode historis memainkan peranan yang unik karena
menekankan pentingnya konteks historis dalam memahami suatu gagasan atau
pemikiran filosofis.
Metode historis dalam filsafat muncul dari
kesadaran bahwa pemikiran manusia tidak pernah lahir dalam ruang hampa,
melainkan selalu berkaitan erat dengan kondisi sosial, budaya, dan politik pada
zamannya. Oleh karena itu, untuk memahami suatu konsep secara utuh, seorang
filsuf atau peneliti harus menelusuri latar belakang historis yang melingkupinya.
Wilhelm Dilthey, salah satu tokoh penting dalam pengembangan metode ini,
menekankan bahwa pemahaman atas kehidupan manusia harus berpijak pada
penafsiran sejarahnya, bukan sekadar melalui penalaran logis yang abstrak. Ia
menulis, “Wir erklären die Natur, wir verstehen das Seelenleben” — “Kita
menjelaskan alam, tetapi kita memahami kehidupan batin” — sebagai penegasan
perbedaan pendekatan antara ilmu alam dan ilmu humaniora, termasuk filsafat
sejarah sebagai cabangnya¹.
Metode historis juga menjadi sarana untuk
menghindari anachronism, yaitu kesalahan interpretasi akibat menyisipkan nilai
dan pemikiran masa kini ke dalam konteks masa lalu². Dengan menggunakan
pendekatan historis, seorang filsuf tidak hanya menganalisis isi suatu teori,
tetapi juga mempertimbangkan asal-usul, perkembangan, dan pengaruhnya dalam
jalur sejarah pemikiran. Sebagaimana diungkapkan Richard Rorty, studi filsafat
menjadi lebih kaya ketika kita memahami filsuf-filsuf masa lalu “sebagai
aktor historis, bukan sekadar pemilik proposisi yang dapat diuji secara logis”³.
Lebih jauh lagi, metode historis tidak hanya
bersifat retrospektif, melainkan juga kritis. Ia memungkinkan peneliti untuk
mengevaluasi dan merekonstruksi ulang suatu aliran pemikiran dalam terang
perkembangan intelektual masa kini. Seperti dinyatakan oleh Quentin Skinner,
kita tidak bisa memahami isi argumen filosofis tanpa memahami
pertanyaan-pertanyaan apa yang coba dijawab oleh argumen itu dalam konteks
sosial dan intelektualnya⁴.
Dengan demikian, pembahasan mengenai metode
historis dalam filsafat menjadi penting, bukan hanya sebagai salah satu
pendekatan metodologis, tetapi juga sebagai alat interpretatif yang membuka
ruang dialog antara masa lalu dan masa kini. Artikel ini bertujuan untuk
menggali secara komprehensif hakikat metode historis, akar perkembangannya,
tokoh-tokoh yang berperan penting, serta relevansinya dalam wacana filosofis
kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Wilhelm Dilthey, Gesammelte Schriften, vol.
5 (Leipzig: Teubner, 1927), 144.
[2]
David Hackett Fischer, Historians' Fallacies:
Toward a Logic of Historical Thought (New York: Harper & Row, 1970),
135.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 131.
[4]
Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the
History of Ideas,” History and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.
2.
Pengertian
dan Dasar-Dasar Metode Historis
Metode historis dalam filsafat merupakan pendekatan
yang berfokus pada analisis dan interpretasi gagasan atau sistem pemikiran
berdasarkan konteks historis di mana gagasan tersebut muncul dan berkembang. Ia
menekankan bahwa ide-ide filosofis tidak berdiri sendiri sebagai entitas
abstrak, melainkan terikat erat dengan dinamika sosial, budaya, politik, dan
intelektual zamannya. Dalam pandangan ini, setiap filsafat dipandang sebagai
tanggapan terhadap situasi historis tertentu, yang karenanya hanya dapat
dipahami secara utuh melalui telaah historis yang mendalam¹.
Secara umum, metode historis dapat diartikan
sebagai cara berpikir dan menyelidiki suatu objek kajian — dalam hal ini
pemikiran filosofis — dengan menelusuri asal-usul, evolusi, serta konteks
faktual dan temporal yang melatarbelakanginya. Berbeda dari pendekatan
sistematis atau logis-analitis yang berupaya merekonstruksi argumen secara
formal dan abstrak, pendekatan historis bersifat kontekstual dan deskriptif. Ia
tidak sekadar mengevaluasi validitas logis suatu argumen, tetapi juga
menempatkannya dalam medan pergulatan wacana dan realitas historis².
Fondasi ontologis dari metode ini terletak pada
pandangan bahwa realitas manusia bersifat historis, yakni selalu berada dalam
proses menjadi yang tak terlepas dari waktu dan perubahan. Oleh karena itu,
kebenaran dalam konteks filsafat historis tidak bersifat absolut dan ahistoris,
melainkan terbentuk dalam dan melalui sejarah. Wilhelm Dilthey menyebut bahwa
kehidupan manusia merupakan “struktur yang dipahami melalui sejarah” (geschichtlich
verstehbare Struktur des Lebens)³. Dalam hal ini, pemahaman filosofis lebih
bersifat hermeneutis, yakni berupaya mengungkap makna yang tersembunyi dalam
ekspresi sejarah manusia.
Secara epistemologis, metode historis berpijak pada
asumsi bahwa pengetahuan tidak mungkin netral secara temporal. Semua ide
terbentuk dalam horizon waktu tertentu yang membatasi sekaligus memungkinkan
cara berpikir. Hal ini ditegaskan oleh Hans-Georg Gadamer, yang menyatakan
bahwa pemahaman manusia selalu terikat pada horizon sejarah dan bahwa
interpretasi terhadap masa lalu tidak pernah bebas dari pengaruh masa kini⁴.
Dalam kerangka ini, pemahaman atas teks atau pemikiran masa lalu menuntut
kesadaran atas keterbatasan dan keberjarakan historis (historical distance).
Metode historis juga erat kaitannya dengan prinsip
hermeneutika, yaitu seni menafsirkan teks atau makna yang terkandung dalam
simbol-simbol sejarah. Sebagaimana dijelaskan Paul Ricoeur, hermeneutika
historis berperan dalam “membuka lapisan-lapisan makna yang terpendam dalam
ekspresi simbolik dan tindakan manusia yang telah lampau”⁵. Ini menunjukkan
bahwa metode historis bukan sekadar kronik atau urutan peristiwa, tetapi
merupakan usaha aktif untuk mengerti struktur makna dalam perubahan waktu.
Dengan demikian, metode historis dalam filsafat
bertumpu pada tiga pilar utama: (1) kontekstualisasi historis terhadap ide atau
gagasan, (2) keterkaitan antara pemikiran dan kondisi zamannya, serta (3)
pendekatan interpretatif terhadap teks atau sistem pemikiran. Ketiganya
menjadikan metode ini sebagai alat yang ampuh untuk memahami kompleksitas
pemikiran filosofis dalam kerangka perkembangan intelektual umat manusia.
Catatan Kaki
[1]
Maurice Mandelbaum, History, Man, and Reason: A
Study in Nineteenth-Century Thought (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1971), 15.
[2]
Aviezer Tucker, Our Knowledge of the Past: A
Philosophy of Historiography (Cambridge: Cambridge University Press, 2004),
28–29.
[3]
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human
Sciences, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton
University Press, 1989), 83.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
2004), 301–305.
[5]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 71.
3.
Akar
Historis dan Perkembangan Awal
Akar metode historis dalam filsafat dapat
ditelusuri sejak masa klasik Yunani, ketika kesadaran terhadap waktu dan
perubahan mulai mengemuka dalam refleksi intelektual. Meskipun para filsuf
seperti Plato dan Aristoteles lebih dikenal melalui pendekatan sistematik dalam
pemikiran mereka, kesadaran terhadap nilai sejarah telah tampak dalam
karya-karya mereka, terutama dalam pengamatan mereka terhadap perubahan bentuk
pemerintahan dan dinamika masyarakat. Namun, metode historis sebagai pendekatan
formal baru mendapatkan pengakuan dalam disiplin filsafat pada masa modern,
ketika sejarah tidak lagi dipahami sekadar sebagai latar peristiwa, melainkan
sebagai wahana artikulasi dan transformasi ide.
Kontribusi awal terhadap fondasi historisisme
datang dari para sejarawan Yunani klasik seperti Herodotus dan Thucydides.
Herodotus dianggap sebagai "bapak sejarah" karena pendekatannya
yang naratif dan deskriptif terhadap peristiwa manusia⁽¹⁾. Sementara itu,
Thucydides, dalam History of the Peloponnesian War, menekankan
kausalitas politik dan analisis rasional terhadap konflik, sebuah pendekatan
yang mencerminkan awal dari kesadaran historis yang sistematis⁽²⁾. Meski tidak
secara eksplisit filsafati, kedua tokoh ini meletakkan dasar bagi pemahaman
bahwa peristiwa masa lalu memiliki pola dan dinamika yang dapat ditelaah secara
intelektual.
Puncak awal metode historis dalam kerangka filsafat
dapat dilihat pada pemikiran G.W.F. Hegel, yang secara tegas menyatukan
sejarah dengan filsafat. Dalam The Philosophy of History, Hegel
menyatakan bahwa sejarah dunia merupakan ekspresi dari perkembangan
rasionalitas dan kebebasan manusia dalam waktu. Ia berpendapat bahwa “segala
yang nyata adalah rasional, dan segala yang rasional adalah nyata,”
menandakan keyakinannya bahwa proses sejarah adalah manifestasi dari Geist
(Roh Dunia)⁽³⁾. Hegel memandang sejarah bukan sebagai akumulasi fakta-fakta
masa lalu, melainkan sebagai proses dialektis menuju realisasi kebebasan dan
kesadaran diri manusia. Dengan demikian, ia mengangkat sejarah menjadi kategori
filsafati, bukan hanya naratif.
Pengaruh besar terhadap metode historis juga datang
dari Wilhelm Dilthey, yang mengembangkan pendekatan hermeneutis terhadap
sejarah. Dilthey menolak penerapan metode ilmu alam dalam studi tentang
manusia, dan menyatakan bahwa pengalaman historis harus dipahami (verstehen),
bukan dijelaskan (erklären), karena bersifat maknawi dan subyektif⁽⁴⁾.
Dalam pandangan Dilthey, filsafat tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas
pengalaman manusia yang terejawantah dalam konteks sejarah. Ia menekankan bahwa
gagasan-gagasan filosofis harus dianalisis melalui latar historis dan budaya
tempat mereka tumbuh, bukan hanya melalui abstraksi logis.
Selanjutnya, para pemikir seperti Johann Gustav
Droysen, Leopold von Ranke, dan Ernst Troeltsch turut memperkuat kedudukan
metode historis dalam studi filsafat dan humaniora. Ranke, misalnya, menegaskan
pentingnya "menceritakan sejarah sebagaimana sebenarnya terjadi"
(wie es eigentlich gewesen) — sebuah prinsip metodologis yang mendorong
pendekatan objektif dan berbasis sumber primer dalam rekonstruksi historis⁽⁵⁾.
Sementara itu, Troeltsch menyoroti hubungan erat antara sejarah, agama, dan
nilai-nilai budaya, menegaskan bahwa studi historis bukanlah sesuatu yang bebas
nilai, melainkan dipenuhi interpretasi yang bermakna filosofis⁽⁶⁾.
Dengan demikian, akar dan perkembangan awal metode
historis menunjukkan transformasi besar dalam cara filsuf memandang ide dan
realitas. Sejarah tidak lagi sekadar menjadi latar, melainkan ruang dialektis
di mana ide-ide dilahirkan, diperdebatkan, dan dimaknai ulang. Metode historis
menjadi jalan bagi filsafat untuk berdialog secara kritis dengan masa lalu,
memahami makna dalam konteksnya, dan membuka pemahaman yang lebih dalam
terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk historis.
Catatan Kaki
[1]
Herodotus, The Histories, trans. Aubrey de
Sélincourt (London: Penguin Books, 2003), 3.
[2]
Thucydides, History of the Peloponnesian War,
trans. Rex Warner (London: Penguin Books, 1972), 48–50.
[3]
G.W.F. Hegel, Lectures on the Philosophy of
World History: Introduction, trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 27.
[4]
Wilhelm Dilthey, Pattern and Meaning in History:
Thoughts on History and Society, ed. H.P. Rickman (New York: Harper
Torchbooks, 1961), 52.
[5]
Leopold von Ranke, quoted in Georg G. Iggers, Historiography
in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern
Challenge (Hanover: Wesleyan University Press, 1997), 24.
[6]
Ernst Troeltsch, Religion in History, trans.
James Luther Adams and Walter F. Bense (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 93.
4.
Tokoh-Tokoh
Kunci dan Kontribusinya
Metode historis
dalam filsafat tidak dapat dilepaskan dari kontribusi sejumlah tokoh kunci yang
telah membentuk kerangka teoretis dan aplikatif pendekatan ini. Para pemikir
ini memberikan fondasi filosofis sekaligus metodologis dalam menempatkan sejarah
sebagai unsur integral dalam pemahaman pemikiran manusia. Lima tokoh sentral
yang memiliki peran utama dalam perkembangan metode historis adalah Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, Wilhelm Dilthey, Benedetto
Croce, R.G. Collingwood, dan Michel
Foucault.
4.1. G.W.F. Hegel: Dialektika Sejarah dan Rasionalitas
Historis
Hegel merupakan
tokoh pertama yang secara eksplisit mengintegrasikan filsafat dan sejarah dalam
sistem pemikirannya. Dalam Lectures on the Philosophy of History,
ia memandang sejarah dunia sebagai proses rasional yang dikendalikan oleh Geist
(Roh Dunia), yang bergerak melalui dialektika menuju kebebasan⁽¹⁾. Bagi Hegel,
setiap tahap sejarah merupakan manifestasi dari bentuk kesadaran manusia yang
berkembang — dari bentuk paling sederhana hingga yang paling reflektif.
Dialektika sejarah tidak bersifat acak, melainkan mengikuti hukum internal
rasionalitas. Konsepnya ini meletakkan dasar bagi pemahaman bahwa sejarah tidak
sekadar peristiwa, melainkan ekspresi ide yang berkembang secara progresif
dalam waktu.
4.2. Wilhelm Dilthey: Hermeneutika Sejarah dan Pemahaman
Makna
Sebagai pelopor
hermeneutika modern, Wilhelm Dilthey menolak pendekatan positivistik dalam
memahami manusia. Ia memperkenalkan metode verstehen (pemahaman) sebagai
alternatif terhadap metode penjelasan (erklären) yang digunakan dalam ilmu
alam⁽²⁾. Dalam pandangannya, pemikiran manusia hanya dapat dimengerti dalam
konteks historis dan budaya yang melingkupinya. Dilthey mengembangkan konsep
bahwa karya-karya budaya dan intelektual adalah ekspresi dari "kehidupan
batin" yang terikat pada kondisi zaman. Karena itu, pendekatan
historis dalam filsafat harus melibatkan interpretasi hermeneutis terhadap
teks, simbol, dan pengalaman manusia⁽³⁾.
4.3. Benedetto Croce: Sejarah sebagai Ekspresi Jiwa
Benedetto Croce,
filsuf Italia yang banyak dipengaruhi Hegel, mengembangkan pendekatan historis
yang menekankan bahwa segala bentuk pemikiran adalah produk sejarah. Ia menolak
dikotomi antara filsafat dan sejarah dengan menyatakan bahwa “all
history is contemporary history”, yakni bahwa pemahaman terhadap
masa lalu selalu dibentuk oleh perspektif masa kini⁽⁴⁾. Croce berpendapat bahwa
sejarah merupakan ekspresi dari kebebasan dan kreativitas manusia. Dengan
pendekatannya, ia menempatkan sejarah sebagai wahana utama untuk memahami
perkembangan ide dan nilai dalam masyarakat.
4.4. R.G. Collingwood: Sejarah sebagai Rekonstruksi
Pikiran
R.G. Collingwood,
filsuf dan sejarawan Inggris, mengembangkan teori bahwa sejarah adalah proses
rekonstruksi pikiran-pikiran masa lalu. Dalam karyanya The Idea
of History, ia menyatakan bahwa tugas sejarawan (dan juga filsuf)
bukan sekadar mencatat fakta, tetapi “menghidupkan kembali” proses
berpikir dari para pelaku sejarah⁽⁵⁾. Ia memperkenalkan konsep re-enactment,
yakni bahwa kita dapat memahami tindakan historis dengan merekonstruksi maksud
rasional di baliknya melalui imajinasi kritis dan interpretasi tekstual.
Pendekatan Collingwood memperkuat dimensi subyektif dan reflektif dalam metode
historis.
4.5. Michel Foucault: Genealogi dan Arkeologi Pengetahuan
Pada abad ke-20,
Michel Foucault memberikan sumbangan besar terhadap pendekatan historis dengan
mengembangkan metode arkeologi dan genealogi
dalam kajian pengetahuan. Dalam The Archaeology of Knowledge,
Foucault mengkritik sejarah sebagai narasi linier dan koheren, dan sebaliknya
menawarkan pembacaan terhadap diskursus sebagai sistem yang membentuk kondisi
kemungkinan pemikiran⁽⁶⁾. Melalui genealogi, ia menelusuri asal-usul
ide atau praktik bukan berdasarkan asal tunggal, melainkan sebagai produk
relasi kuasa yang kompleks dan tak stabil⁽⁷⁾. Kontribusi Foucault membuka jalan
bagi pendekatan historis yang lebih kritis dan dekonstruktif, menekankan bahwa
pemikiran selalu lahir dalam konteks kontingensi sejarah dan kekuasaan.
Catatan Kaki
[1]
G.W.F. Hegel, Lectures on the Philosophy of World History:
Introduction, trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press,
1975), 27–31.
[2]
Wilhelm Dilthey, Introduction to the Human Sciences, ed.
Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press,
1989), 88.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works: Volume III - The Formation of the
Historical World in the Human Sciences, ed. Rudolf A. Makkreel and
Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–85.
[4]
Benedetto Croce, History as the Story of Liberty, trans.
Sylvia Sprigge (London: Allen & Unwin, 1941), 1.
[5]
R.G. Collingwood, The Idea of History, rev. ed. (Oxford:
Oxford University Press, 1993), 215–221.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 138–143.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–30.
5.
Metodologi
dan Langkah-Langkah Analisis Historis
Metode historis
dalam filsafat tidak hanya merupakan pendekatan teoritis, tetapi juga
melibatkan proses metodologis yang sistematis. Tujuan utamanya adalah untuk
menelusuri, memahami, dan menafsirkan pemikiran atau sistem ide dalam konteks
perkembangan historisnya. Karena itu, metode ini menuntut ketelitian dalam
pemilihan sumber, rekonstruksi konteks, serta kemampuan interpretatif terhadap
makna teks atau gagasan sebagaimana berkembang dalam ruang dan waktu tertentu.
5.1. Rekonstruksi Konteks Historis
Langkah awal dalam
analisis historis adalah merekonstruksi konteks historis di mana suatu
gagasan atau pemikiran muncul. Konteks ini mencakup kondisi sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan intelektual yang memengaruhi pembentukan ide tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Quentin Skinner, makna dari suatu pemikiran tidak
dapat dilepaskan dari “lingkungan linguistik dan politik di mana ia
dikemukakan”¹. Dengan demikian, analisis historis tidak cukup hanya
berfokus pada isi ide, tetapi juga menelusuri niat, tujuan, dan kondisi
komunikasi dari penggagasnya.
5.2. Analisis Sumber Primer dan Sekunder
Metodologi historis
sangat bergantung pada analisis sumber, baik primer
maupun sekunder. Sumber primer meliputi karya-karya asli dari para filsuf atau
dokumen-dokumen sejarah yang merepresentasikan kondisi zamannya, sedangkan
sumber sekunder terdiri atas kajian interpretatif yang ditulis oleh para
sejarawan atau filsuf kontemporer. Seperti ditegaskan oleh Aviezer Tucker,
penggunaan sumber primer memberikan akses langsung terhadap “struktur
semantik dan intensi historis” suatu wacana². Oleh karena itu, peneliti
harus menguasai kemampuan filologis dan hermeneutis dalam membaca serta
menafsirkan teks-teks asli.
5.3. Kontekstualisasi dan Kritisasi Gagasan
Setelah konteks dan
sumber dipahami, tahap berikutnya adalah kontekstualisasi ide dalam
jaringan wacana dan dinamika intelektual yang lebih luas. Hal ini bertujuan
untuk menghindari anachronism, yaitu kesalahan dalam menilai pemikiran masa
lalu dengan kategori masa kini. Istilah yang digunakan, konsep yang
dikemukakan, dan istilah-istilah kunci harus ditafsirkan sesuai dengan makna
yang berlaku dalam kerangka zamannya. Dalam konteks ini, pendekatan
hermeneutika menjadi sangat penting, sebagaimana dikembangkan oleh Hans-Georg
Gadamer dalam Truth and Method, yang menekankan
bahwa pemahaman selalu merupakan hasil dari “fusi horizon” antara masa
lalu dan masa kini³.
5.4. Interpretasi dan Penafsiran Makna Filosofis
Langkah selanjutnya
adalah interpretasi
filosofis terhadap gagasan yang telah dikontekstualisasikan.
Ini mencakup penelusuran makna terdalam dari argumen, asumsi metafisik atau
etis yang terkandung di dalamnya, serta relevansi gagasan tersebut dalam
perkembangan historis berikutnya. Paul Ricoeur menggarisbawahi pentingnya
membaca ekspresi historis sebagai “tindakan simbolik” yang mengandung
dimensi etis dan eksistensial yang perlu diinterpretasikan secara mendalam⁴.
5.5. Evaluasi Historis dan Transhistoris
Langkah terakhir
adalah melakukan evaluasi kritis, baik dalam
aspek historis maupun transhistoris. Evaluasi historis menilai keabsahan dan
konsistensi gagasan dalam konteks zamannya, sementara evaluasi transhistoris
mempertimbangkan kemungkinan relevansi dan penerapannya dalam konteks
kontemporer. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk tidak hanya menjadi pembaca
masa lalu, tetapi juga penghubung antara wacana historis dan tantangan
filosofis masa kini. R.G. Collingwood menyebut bahwa filsuf tidak hanya
memahami apa yang dikatakan para pemikir masa lalu, tetapi juga “menghidupkan
kembali” pikiran mereka sebagai bagian dari refleksi kita sekarang⁵.
Dengan keseluruhan
langkah ini, metode historis dalam filsafat dapat berfungsi bukan hanya sebagai
alat pemahaman retrospektif, tetapi juga sebagai instrumen reflektif untuk
menilai dan merumuskan pemikiran filosofis yang lebih kaya secara historis dan
kontekstual.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History
and Theory 8, no. 1 (1969): 6.
[2]
Aviezer Tucker, Our Knowledge of the Past: A Philosophy of
Historiography (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 49.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 305.
[4]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–47.
[5]
R.G. Collingwood, The Idea of History, rev. ed. (Oxford:
Oxford University Press, 1993), 282–285.
6.
Kelebihan
dan Keterbatasan Metode Historis
Metode historis
dalam filsafat menawarkan kontribusi signifikan terhadap pemahaman yang lebih
dalam dan kontekstual terhadap gagasan-gagasan filsafati. Namun, sebagaimana
pendekatan lainnya, metode ini juga memiliki keterbatasan yang inheren.
Pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahannya penting agar penggunaan metode ini
tidak menimbulkan bias, simplifikasi, atau kesalahan interpretasi terhadap
objek kajian.
6.1. Kelebihan Metode Historis
1)
Kontekstualisasi Ide
secara Komprehensif
Salah satu keunggulan utama dari metode historis
adalah kemampuannya untuk menempatkan suatu ide atau pemikiran dalam konteks
historis yang relevan. Dengan demikian, pemikiran tidak diperlakukan sebagai
entitas abstrak dan ahistoris, tetapi sebagai respons terhadap persoalan nyata
dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Hal ini memungkinkan pembaca atau
peneliti memahami bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga mengapa
dan bagaimana hal tersebut dikatakan⁽¹⁾.
2)
Menghindari Anachronism
dan Reduksi Analis
Dengan mengedepankan pendekatan historis,
peneliti dapat menghindari kesalahan anachronistic — yaitu kecenderungan
menilai masa lalu dengan lensa nilai dan konsep masa kini. Seperti diingatkan
oleh David Hackett Fischer, anachronism merupakan salah satu bentuk kekeliruan
berpikir paling umum dalam studi sejarah⁽²⁾. Metode historis berupaya
menghindari hal ini dengan menekankan interpretasi berdasarkan horizon makna
pada zamannya.
3)
Memberikan Dimensi
Dinamis terhadap Filsafat
Metode historis memungkinkan kita melihat
filsafat sebagai disiplin yang berkembang dalam proses waktu, bukan sebagai
kumpulan dogma yang beku. G.W.F. Hegel telah menunjukkan bahwa pemikiran
manusia bergerak secara dialektis dalam sejarah menuju kesadaran diri yang
lebih tinggi⁽³⁾. Dengan demikian, pendekatan ini menghidupkan kembali dinamika
sejarah ide dan memberikan ruang bagi pembacaan filosofis yang evolutif.
4)
Membuka Ruang
Hermeneutika dan Refleksi Etis
Dengan memandang sejarah sebagai proses pemaknaan
yang terus-menerus, metode historis juga membuka ruang untuk pendekatan
hermeneutika dalam memahami ide-ide besar. Paul Ricoeur menekankan bahwa
sejarah adalah medan simbolik yang memerlukan penafsiran reflektif demi
menangkap makna terdalam dari ekspresi manusia dalam waktu⁽⁴⁾.
6.2. Keterbatasan Metode Historis
1)
Potensi Bias dalam
Interpretasi Konteks
Salah satu tantangan terbesar metode historis
adalah kemungkinan terjadinya bias dalam membaca dan merekonstruksi konteks
masa lalu. Peneliti sering kali membawa asumsi atau ideologi masa kini dalam
interpretasinya, yang dapat mempengaruhi objektivitas hasil analisis. Hans-Georg
Gadamer bahkan mengakui bahwa tidak ada interpretasi yang sepenuhnya netral
karena setiap pemahaman terikat pada pra-pemahaman dan horizon
historis si penafsir⁽⁵⁾.
2)
Ketergantungan pada
Ketersediaan dan Validitas Sumber
Keberhasilan metode historis sangat tergantung
pada ketersediaan dan keotentikan sumber-sumber historis. Dalam kasus di mana
data primer hilang, rusak, atau terbatas, penafsiran bisa menjadi spekulatif.
Sejarawan dan filsuf seperti Leopold von Ranke menggarisbawahi pentingnya akurasi
dokumentasi sebagai fondasi dari rekonstruksi historis⁽⁶⁾.
3)
Kesulitan dalam
Menentukan Relevansi Transhistoris
Metode historis kadang kesulitan menjembatani
relevansi ide masa lalu dengan persoalan kontemporer. Jika tidak disertai
refleksi filosofis yang transhistoris, pendekatan ini dapat terjebak pada
deskripsi naratif tanpa daya transformatif. Richard Rorty mengkritik pendekatan
historis yang hanya mengulangi masa lalu tanpa memberikan kontribusi terhadap
permasalahan filsafat masa kini⁽⁷⁾.
4)
Risiko Historisisme
Reduksionis
Historisisme yang ekstrem dapat menyebabkan
reduksi ide filosofis hanya sebagai produk dari zamannya, tanpa melihat
kemungkinan universalitas atau nilai normatif yang transhistoris. Hal ini
berpotensi melemahkan kekuatan normatif dari filsafat itu sendiri, yang
bertujuan tidak hanya untuk menjelaskan kenyataan, tetapi juga menilai dan
membimbingnya⁽⁸⁾.
Kesimpulan Sementara
Dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya, metode historis tetap menjadi instrumen penting
dalam kajian filsafat, terutama untuk memahami evolusi gagasan, dinamika
konteks, dan struktur makna dalam sejarah pemikiran. Namun, efektivitasnya
bergantung pada keseimbangan antara rekonstruksi historis yang teliti dan
refleksi filosofis yang kritis serta relevan dengan kebutuhan masa kini.
Catatan Kaki
[1]
Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History
and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.
[2]
David Hackett Fischer, Historians’ Fallacies: Toward a Logic of
Historical Thought (New York: Harper & Row, 1970), 135.
[3]
G.W.F. Hegel, Lectures on the Philosophy of World History:
Introduction, trans. H.B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press,
1975), 23–27.
[4]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 89.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–273.
[6]
Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From
Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Hanover: Wesleyan
University Press, 1997), 24.
[7]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 131.
[8]
Karl Löwith, Meaning in History (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), 23–26.
7.
Relevansi
Metode Historis dalam Filsafat Kontemporer
Dalam lanskap
filsafat kontemporer yang ditandai oleh pluralitas pendekatan,
interdisiplinaritas, dan kecenderungan reflektif terhadap tradisi, metode
historis memainkan peranan yang semakin penting. Relevansinya tidak hanya
bertumpu pada dimensi rekonstruktif terhadap pemikiran masa lalu, tetapi juga
pada kemampuannya menjembatani antara warisan intelektual klasik dengan
persoalan filosofis aktual.
7.1. Menghidupkan Dialog Antara Masa Lalu dan Masa Kini
Salah satu
kontribusi penting metode historis adalah menciptakan ruang bagi dialog
kritis antara pemikiran masa lalu dan tantangan kontemporer.
Filsafat kontemporer tidak bisa dipisahkan dari akar-akar historisnya, sebab banyak
persoalan hari ini memiliki genealoginya dalam diskursus terdahulu. Sebagaimana
ditegaskan oleh Bernard Williams, filsafat tidak semata menyelesaikan problem
masa kini, tetapi juga “menyadari bagaimana problem itu terbentuk melalui
jalur sejarahnya”¹. Pendekatan historis mencegah penyederhanaan pemikiran
dan memungkinkan penggalian yang lebih substansial terhadap transformasi ide.
7.2. Peneguhan Etos Hermeneutis dan Kritis
Filsafat
kontemporer, khususnya dalam tradisi hermeneutika, sangat dipengaruhi oleh pemikiran
historis. Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa pemahaman filosofis selalu
bersifat historis karena merupakan hasil dari fusion of horizons antara tradisi
dan subjektivitas penafsir². Dengan demikian, metode historis menjadi alat
penting dalam membangun pendekatan yang tidak dogmatis, terbuka terhadap perbedaan
makna, dan reflektif terhadap proses penafsiran. Hal ini
terlihat jelas dalam filsafat agama, politik, dan etika kontemporer, yang
menuntut pembacaan terhadap naskah klasik dengan kesadaran historis dan
sensitivitas moral zaman sekarang.
7.3. Kontribusi terhadap Studi Interdisipliner
Relevansi metode
historis juga tampak dalam kontribusinya terhadap pendekatan
interdisipliner, khususnya antara filsafat dengan sejarah, ilmu
sosial, teologi, dan kajian budaya. Dalam filsafat politik, misalnya, metode
historis dipakai untuk menelusuri asal-usul konsep seperti keadilan, hak, atau
negara, sehingga pemahaman terhadapnya menjadi lebih kaya dan tidak tereduksi
pada pemaknaan kontemporer yang sempit³. Dalam etika terapan dan bioetika,
pendekatan historis membantu mengungkap akar konflik nilai dalam konteks sosial
tertentu, memperluas horizon argumentasi moral.
7.4. Penolakan terhadap Universalisme Abstrak
Metode historis
berperan sebagai koreksi terhadap kecenderungan universalisme abstrak, yaitu
anggapan bahwa semua prinsip filsafat bersifat ahistoris dan berlaku secara
mutlak. Pendekatan ini dikritik oleh pemikir post-strukturalis dan postmodern,
termasuk Michel Foucault, yang menunjukkan bahwa setiap konstruksi pengetahuan
terikat pada rezim historis dan kekuasaan tertentu⁴. Dengan membongkar “sejarah
diam” yang membentuk narasi dominan, metode historis memampukan filsafat
untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap berbagai struktur
pemikiran.
7.5. Relevansi dalam Pendidikan dan Pengembangan
Kurikulum Filsafat
Dalam konteks
pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi, metode historis menyediakan
kerangka pedagogis yang kuat untuk mengembangkan pemahaman kritis dan historis
terhadap tradisi filsafat. Alih-alih mengajarkan filsafat
sebagai kumpulan doktrin, pendekatan historis memungkinkan peserta didik
memahami dinamika dan perkembangan pemikiran secara kontekstual dan reflektif.
Hal ini sejalan dengan gagasan Richard J. Bernstein yang menekankan pentingnya
“engaged philosophy” — filsafat yang terlibat secara historis, sosial,
dan kultural⁵.
Kesimpulan Sementara
Dengan segala
kompleksitas dunia kontemporer, metode historis dalam filsafat tetap menjadi
pendekatan yang relevan dan bernilai tinggi. Ia tidak hanya membuka cakrawala
pemahaman masa lalu, tetapi juga menawarkan alat kritis untuk menavigasi
persoalan-persoalan kekinian secara lebih bijak, reflektif, dan bertanggung
jawab secara intelektual.
Catatan Kaki
[1]
Bernard Williams, Truth and Truthfulness: An Essay in Genealogy
(Princeton: Princeton University Press, 2002), 92.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed., trans. Joel
Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 305.
[3]
Raymond Geuss, Philosophy and Real Politics (Princeton:
Princeton University Press, 2008), 11–13.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
117–119.
[5]
Richard J. Bernstein, The Abuse of Evil: The Corruption of Politics
and Religion since 9/11 (Cambridge: Polity Press, 2005), 3–5.
8.
Studi
Kasus: Penerapan Metode Historis
Untuk memahami
aplikasi konkret dari metode historis dalam filsafat, perlu ditelaah studi
kasus yang menunjukkan bagaimana suatu pemikiran filosofis dipahami secara
mendalam melalui pendekatan historis. Bagian ini akan mengangkat dua contoh
yang representatif: (1) analisis pemikiran Plato dalam konteks krisis
politik Athena abad ke-4 SM, dan (2) telaah atas Ibn
Khaldun dan teori sosialnya dalam konteks dunia Islam abad
ke-14. Kedua tokoh ini menunjukkan bagaimana filsafat, jika dibaca melalui
pendekatan historis, dapat mengungkap makna dan relevansi yang lebih kaya.
8.1. Plato dan Kritik terhadap Demokrasi Athena
Plato sering kali dibaca
sebagai filsuf metafisik yang memperkenalkan teori ide, namun pendekatan
historis mengungkap bahwa filsafatnya juga merupakan respons terhadap krisis
politik dan etika di Athena pasca-Perang Peloponnesos. Karya The
Republic misalnya, tidak hanya menyajikan visi negara ideal, tetapi
juga merupakan refleksi kritis terhadap kegagalan demokrasi Athena yang telah
mengeksekusi gurunya, Socrates, pada tahun 399 SM⁽¹⁾.
Melalui metode
historis, kita memahami bahwa teori keadilan Plato lahir dalam konteks keruntuhan
norma-norma politik dan munculnya sofisme, yang menurutnya melemahkan nilai
kebenaran demi retorika. Seperti dicatat oleh Melissa Lane, pemikiran politik
Plato sangat dipengaruhi oleh pengalaman traumatis terhadap demokrasi yang
menurutnya gagal membimbing warga negara menuju kehidupan baik⁽²⁾. Dengan
demikian, polis
ideal yang ia gagas adalah rekonstruksi filosofis atas tatanan yang hancur,
bukan sekadar spekulasi normatif.
Pendekatan historis
juga membantu menjelaskan mengapa Plato mencurigai demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan yang cenderung menuju anarki dan akhirnya tirani. Pemikiran ini
tidak dapat dilepaskan dari instabilitas politik Athena pada masa hidupnya,
termasuk pertikaian antara golongan oligarki dan demokrat⁽³⁾. Di sini, metode
historis menempatkan filsafat Plato dalam konteks kegelisahan zamannya.
8.2. Ibn Khaldun dan Asal-Usul Ilmu Sosial
Ibn Khaldun
(1332–1406), tokoh besar dalam peradaban Islam klasik, sering disebut sebagai
pelopor ilmu sosial dan historiografi kritis. Karya utamanya, al-Muqaddimah,
adalah contoh cemerlang dari penerapan metode historis dalam menganalisis
dinamika peradaban. Ia menolak pendekatan kronik tradisional dan memperkenalkan
metode baru yang menekankan kausalitas, konteks sosiologis, dan prinsip
perubahan historis⁽⁴⁾.
Melalui metode
historis, Ibn Khaldun mengembangkan teori tentang ʿasabiyyah (solidaritas sosial)
sebagai kekuatan penggerak sejarah. Ia menjelaskan bagaimana kelompok nomadik
menaklukkan kota dan mendirikan dinasti, yang kemudian mengalami dekadensi
karena kemewahan dan kehilangan semangat kolektif. Teorinya tentang siklus
dinasti bukanlah asumsi metafisik, tetapi hasil pengamatan historis yang
sistematis dan berbasis pada realitas zaman⁽⁵⁾.
Pendekatan Ibn
Khaldun sangat mendekati prinsip metode historis modern: ia mengkritisi
sumber-sumber sejarah, mengevaluasi narasi dengan akal sehat, dan menekankan
pentingnya pemahaman terhadap struktur sosial dan ekonomi sebagai penjelas
perubahan historis. Ernest Gellner bahkan menyebut bahwa al-Muqaddimah
dapat dibaca sebagai sosiologi historis yang mendahului Auguste Comte dan Max
Weber⁽⁶⁾.
Refleksi dan Implikasi
Dari dua studi kasus
di atas, tampak bahwa metode historis tidak hanya memperdalam pemahaman kita
terhadap isi gagasan filosofis, tetapi juga membuka dimensi baru yang mungkin
tersembunyi dalam pendekatan sistematik atau tekstual semata. Baik Plato maupun
Ibn Khaldun menyusun filsafat mereka bukan dalam ruang hampa, melainkan sebagai
jawaban atas krisis dan perubahan zaman mereka. Maka, metode historis
memungkinkan kita membaca filsafat bukan sekadar sebagai teori abstrak, tetapi
sebagai respon hidup terhadap sejarah manusia.
Catatan Kaki
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 45–47.
[2]
Melissa Lane, Plato’s Progeny: How Plato and Socrates Still
Captivate the Modern Mind (London: Duckworth, 2001), 23–26.
[3]
Malcolm Schofield, Plato: Political Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 19–21.
[4]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal, abridged and edited by N.J. Dawood (Princeton:
Princeton University Press, 2015), 7–9.
[5]
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture (London: George Allen
& Unwin, 1957), 88–90.
[6]
Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 19.
9.
Perbandingan
dengan Metode Filsafat Lainnya
Untuk memahami
posisi metode historis dalam filsafat secara menyeluruh, penting untuk
membandingkannya dengan pendekatan filosofis lainnya yang memiliki
kecenderungan metodologis berbeda. Perbandingan ini tidak dimaksudkan untuk
mempertentangkan secara dikotomis, melainkan untuk menunjukkan keunikan
masing-masing pendekatan serta kemungkinan hubungan komplementer di antaranya.
Beberapa metode yang paling relevan untuk diperbandingkan di sini adalah metode
analitik,
fenomenologis,
dan dialektik.
9.1. Metode Historis vs. Metode Analitik
Metode analitik yang
mendominasi tradisi filsafat Anglo-Amerika berfokus pada klarifikasi konsep,
analisis logika bahasa, dan argumentasi yang ketat. Tokoh-tokoh seperti
Bertrand Russell, G.E. Moore, dan Ludwig Wittgenstein awal dikenal dengan
komitmen mereka terhadap ketepatan formal dan minimnya referensi historis dalam
analisis filosofis⁽¹⁾. Dalam pendekatan ini, kebenaran suatu proposisi diuji
berdasarkan validitas logis dan struktur argumentatifnya, bukan asal-usul
historisnya.
Sebaliknya, metode
historis menganggap bahwa pemahaman terhadap konsep filosofis harus menyertakan
konteks asal-usul dan transformasinya dalam sejarah pemikiran. Quentin Skinner,
misalnya, mengkritik pendekatan analitik karena mengabaikan dimensi pragmatis
dan niat komunikatif dari pemikir historis⁽²⁾. Ia menegaskan bahwa arti dari
sebuah teks tidak dapat dilepaskan dari tindakan linguistik dan konteks
sosial-politik yang melahirkannya.
Namun, bukan berarti
keduanya tidak dapat dikombinasikan. Sebagaimana dicontohkan dalam Cambridge
School of Intellectual History, pendekatan historis dapat
memperkaya analisis konseptual dengan dimensi historis, sementara metode
analitik memberikan ketajaman dalam merekonstruksi struktur argumen⁽³⁾.
9.2. Metode Historis vs. Metode Fenomenologis
Metode
fenomenologis, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan
oleh Martin Heidegger serta Maurice Merleau-Ponty, menekankan pada deskripsi
pengalaman kesadaran yang langsung dan intensional. Fokus utamanya adalah
esensi dari pengalaman subyektif sebagaimana dihayati dalam kesadaran murni, dengan
menangguhkan asumsi-asumsi empiris maupun historis melalui epoché
atau penyanggahan⁽⁴⁾.
Metode historis,
sebaliknya, tidak menangguhkan sejarah, tetapi justru menjadikannya medium
utama untuk memahami struktur pemikiran manusia. Heidegger sendiri dalam Being
and Time menunjukkan bahwa eksistensi manusia (Dasein) bersifat
historis, dan pengalaman waktu menjadi struktur ontologis fundamental⁽⁵⁾. Di
titik inilah metode historis dan fenomenologis bersinggungan: keduanya menolak
reduksionisme empiris dan menekankan pemahaman makna, namun dengan orientasi
metodologis yang berbeda — satu berakar dalam waktu eksternal, yang lain dalam
waktu kesadaran.
9.3. Metode Historis vs. Metode Dialektik
Metode dialektik,
terutama sebagaimana dikembangkan dalam tradisi Hegelian dan Marxian, melihat
pemikiran dan realitas sebagai proses yang bergerak melalui kontradiksi
internal menuju sintesis. Dialektika bukan hanya metode berpikir, tetapi juga
logika perubahan realitas historis. Dalam hal ini, metode dialektik memiliki
afinitas yang kuat dengan metode historis, karena keduanya menekankan
transformasi ide dalam proses waktu.
Namun demikian,
metode dialektik sering kali lebih normatif dan teleologis dibanding metode
historis murni. Hegel, misalnya, memahami sejarah sebagai aktualisasi Roh
menuju kebebasan absolut⁽⁶⁾, sementara Karl Marx melihat sejarah sebagai arena
perjuangan kelas yang akan berakhir dalam masyarakat tanpa kelas⁽⁷⁾.
Sebaliknya, pendekatan historis non-dialektis, seperti pada Dilthey atau
Collingwood, lebih deskriptif dan interpretatif, tanpa harus mengandaikan arah
teleologis dari sejarah.
Meskipun demikian,
integrasi antara pendekatan historis dan dialektik sangat produktif, seperti
yang tampak dalam karya-karya Frankfurt School atau Antonio Gramsci, yang
menggabungkan rekonstruksi historis dengan kritik ideologi.
Implikasi dari Perbandingan Ini
Perbandingan ini
menunjukkan bahwa metode historis memiliki posisi yang unik sekaligus fleksibel
dalam studi filsafat. Ia tidak serta-merta menolak pendekatan lain, tetapi
dapat bekerja sama secara produktif dengan berbagai metode untuk menghasilkan
pemahaman yang lebih holistik. Metode ini mengajarkan bahwa pemikiran manusia
adalah hasil pergulatan sejarah yang kaya, dan bahwa setiap usaha filosofis
perlu memperhatikan jejak-jejak waktu yang menyertainya.
Catatan Kaki
[1]
G.E. Moore, “A Defence of Common Sense,” Contemporary British
Philosophy, ed. J.H. Muirhead (London: Allen & Unwin, 1925), 193–223.
[2]
Quentin Skinner, “Meaning and Understanding in the History of Ideas,” History
and Theory 8, no. 1 (1969): 3–53.
[3]
J.G.A. Pocock, Politics, Language and Time: Essays on Political
Thought and History (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 4–6.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 61.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 41–45.
[6]
G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 10–12.
[7]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20–21.
10. Penutup
Metode historis dalam filsafat bukan sekadar
pendekatan teknis untuk membaca teks atau merekonstruksi pemikiran masa lalu,
melainkan sebuah kerangka reflektif yang memungkinkan pemahaman yang lebih
utuh, dinamis, dan kontekstual terhadap gagasan-gagasan filosofis. Dalam
menelusuri akar, prinsip, dan aplikasinya, terlihat bahwa metode ini menyatukan
antara rekonstruksi intelektual dan sensitivitas hermeneutis terhadap dimensi
historis pemikiran manusia.
Sejak gagasan Hegel tentang sejarah sebagai
realisasi rasionalitas hingga pendekatan hermeneutika historis ala Dilthey dan
interpretasi genealogis ala Foucault, metode historis telah menunjukkan
kekuatannya dalam menggali dimensi transformatif dari sejarah ide. Ia
memungkinkan kita untuk tidak hanya menghafal filsafat, tetapi memahami
filsafat sebagai proses yang terus-menerus berkembang dalam medan pergulatan
sosial, budaya, dan politik yang spesifik⁽¹⁾.
Keunggulan metode ini terletak pada kemampuannya
untuk menjembatani antara filsafat sebagai kegiatan kontemplatif dan sejarah
sebagai proses konkret. Ia menyadarkan kita bahwa ide-ide besar lahir dari
pengalaman historis manusia yang kompleks, dan bahwa refleksi filosofis sejati
tidak bisa dilepaskan dari kondisi dan realitas zamannya. Dengan demikian,
metode historis mendorong kesadaran bahwa filsafat adalah situated knowledge
— suatu bentuk pengetahuan yang melekat pada konteks sosial dan temporal
tertentu⁽²⁾.
Namun demikian, pendekatan ini tidak tanpa
keterbatasan. Ketergantungan pada sumber historis, potensi bias interpretatif,
dan kecenderungan reduksi historisisme menuntut kehati-hatian dalam
penerapannya. Untuk itu, metode historis harus dikombinasikan dengan pendekatan
lain yang lebih sistematis, analitis, atau normatif, agar mampu menjangkau
dimensi kebenaran yang tidak semata-mata bersifat kontekstual⁽³⁾.
Dalam konteks filsafat kontemporer, metode historis
tetap relevan dan bahkan semakin penting. Ia memberikan landasan kritis
terhadap proyek-proyek dekonstruksi, studi interdisipliner, serta pengembangan
kurikulum pendidikan filsafat yang lebih reflektif dan berakar pada tradisi.
Seperti yang dinyatakan oleh Richard Rorty, "filsafat yang tercerabut dari
sejarah akan kehilangan relevansinya dalam dunia yang sedang berubah"⁽⁴⁾.
Oleh karena itu, metode historis tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis,
tetapi juga sebagai pengingat atas kontinuitas intelektual yang membentuk
horizon berpikir kita hari ini.
Akhirnya, keberlanjutan filsafat sebagai kegiatan
intelektual yang hidup terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan masa
lalu secara kritis, bukan mengulanginya secara dogmatis. Metode historis
menjadi jembatan dalam dialog tersebut—menyediakan cara bagi kita untuk
memahami bagaimana gagasan-gagasan besar lahir, tumbuh, diperdebatkan, dan
tetap relevan dalam perjalanan sejarah umat manusia.
Catatan Kaki
[1]
Wilhelm Dilthey, Pattern and Meaning in History:
Thoughts on History and Society, ed. H.P. Rickman (New York: Harper
Torchbooks, 1961), 76.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
2004), 306.
[3]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 65.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 315.
Daftar Pustaka
Bernstein, R. J. (2005). The abuse of evil: The
corruption of politics and religion since 9/11. Polity Press.
Croce, B. (1941). History as the story of liberty
(S. Sprigge, Trans.). Allen & Unwin.
Dilthey, W. (1961). Pattern and meaning in
history: Thoughts on history and society (H. P. Rickman, Ed.). Harper
Torchbooks.
Dilthey, W. (1989). Introduction to the human
sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton University Press.
Dilthey, W. (2002). The formation of the
historical world in the human sciences (R. A. Makkreel & F. Rodi,
Eds.). Princeton University Press.
Fischer, D. H. (1970). Historians’ fallacies:
Toward a logic of historical thought. Harper & Row.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Gellner, E. (1981). Muslim society.
Cambridge University Press.
Geuss, R. (2008). Philosophy and real politics.
Princeton University Press.
Hegel, G. W. F. (1975). Lectures on the
philosophy of world history: Introduction (H. B. Nisbet, Trans.). Cambridge
University Press.
Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of
spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Herodotus. (2003). The histories (A. de
Sélincourt, Trans.). Penguin Books.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Ibn Khaldun. (2015). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.; N. J. Dawood, Ed.).
Princeton University Press.
Iggers, G. G. (1997). Historiography in the
twentieth century: From scientific objectivity to the postmodern challenge.
Wesleyan University Press.
Lane, M. (2001). Plato’s progeny: How Plato and
Socrates still captivate the modern mind. Duckworth.
Löwith, K. (1949). Meaning in history.
University of Chicago Press.
Mahdi, M. (1957). Ibn Khaldun’s philosophy of
history: A study in the philosophic foundation of the science of culture.
George Allen & Unwin.
Marx, K. (1970). A contribution to the critique
of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers.
Moore, G. E. (1925). A defence of common sense. In
J. H. Muirhead (Ed.), Contemporary British philosophy (pp. 193–223).
Allen & Unwin.
Pocock, J. G. A. (1989). Politics, language and
time: Essays on political thought and history. University of Chicago Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing Company.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol.
1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Schofield, M. (2006). Plato: Political
philosophy. Oxford University Press.
Skinner, Q. (1969). Meaning and understanding in
the history of ideas. History and Theory, 8(1), 3–53.
Thucydides. (1972). History of the Peloponnesian
War (R. Warner, Trans.). Penguin Books.
Tucker, A. (2004). Our knowledge of the past: A
philosophy of historiography. Cambridge University Press.
Williams, B. (2002). Truth and truthfulness: An
essay in genealogy. Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar