Metode Pragmatis
Menimbang Kebenaran Melalui Kebergunaan
Alihkan ke: Metode-Metode dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode pragmatis
dalam filsafat sebagai suatu pendekatan epistemologis dan aksiologis yang
berfokus pada konsekuensi praktis dan kebergunaan ide sebagai dasar penilaian
kebenaran. Dengan menelusuri akar historisnya dalam pemikiran Charles Sanders
Peirce, William James, dan John Dewey, tulisan ini menunjukkan bahwa metode
pragmatis merupakan respons terhadap stagnasi metafisika tradisional serta
ketegangan antara teori dan praktik. Pembahasan meliputi prinsip-prinsip dasar
pragmatisme, kontribusi para tokoh utama, serta penerapannya dalam berbagai
bidang filsafat seperti ilmu, etika, politik, dan pendidikan. Artikel ini juga
mengulas kritik-kritik yang ditujukan kepada metode pragmatis, termasuk tuduhan
relativisme, reduksionisme epistemologis, dan kekaburan normatif. Meski
demikian, pragmatisme tetap relevan dalam konteks kontemporer yang ditandai
oleh pluralisme nilai, kompleksitas sosial, dan kebutuhan akan filsafat yang
kontekstual dan transformatif. Dengan pendekatan yang reflektif dan terbuka
terhadap koreksi, metode pragmatis berperan penting dalam membangun filsafat
yang hidup, adaptif, dan terlibat langsung dengan problematika nyata umat
manusia.
Kata Kunci: Metode pragmatis, pragmatisme, Charles Sanders
Peirce, William James, John Dewey, kebenaran, kebergunaan, filsafat
kontemporer, epistemologi, etika terapan, demokrasi, pendidikan kritis.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Metode Pragmatis dalam
Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai disiplin ilmu tidak hanya berkutat
pada penggalian makna dan pencarian kebenaran secara teoritis, tetapi juga
berusaha merumuskan metode-metode yang dapat mengarahkan pemikiran manusia
dalam memahami realitas. Salah satu pendekatan metodologis yang menonjol dan
menawarkan perspektif unik terhadap konsep kebenaran dan makna adalah metode
pragmatis. Berbeda dengan pendekatan rasionalistik yang menekankan deduksi
logis, atau pendekatan fenomenologis yang mengandalkan deskripsi kesadaran,
metode pragmatis berakar pada utility dan konsekuensi praktis dari ide
atau proposisi sebagai indikator nilai kebenarannya.
Lahir dari konteks intelektual Amerika pada akhir
abad ke-19, metode ini pertama kali diformulasikan secara sistematis oleh Charles
Sanders Peirce, dan kemudian dipopulerkan serta dikembangkan oleh William
James dan John Dewey. Dalam maksim pragmatisnya, Peirce menegaskan
bahwa arti dari suatu gagasan terletak pada akibat praktis yang dapat
diturunkan darinya dalam kehidupan nyata, yang kemudian menjadi dasar bagi
seluruh pendekatan pragmatis terhadap kebenaran dan makna.¹ James mengembangkan
gagasan tersebut dengan menekankan bahwa suatu ide dianggap benar jika ide
tersebut berfungsi dengan baik dan menghasilkan manfaat dalam
kehidupan praktis.² Sementara Dewey memandang metode ini sebagai alat untuk
memecahkan masalah sosial melalui proses refleksi dan eksperimentasi,
menjadikan pragmatisme sebagai metode filsafat sekaligus panduan etis dan
politik.³
Dalam konteks filsafat kontemporer, metode
pragmatis tetap relevan, khususnya dalam menghadapi tantangan pluralisme epistemologis
dan relativisme nilai. Kemampuannya untuk menjembatani diskusi teoritis dengan
realitas praktis menjadikan metode ini penting, tidak hanya dalam ruang
akademik, tetapi juga dalam diskursus publik dan kebijakan sosial.⁴ Oleh karena
itu, kajian yang mendalam terhadap metode pragmatis sangat diperlukan untuk
memahami bagaimana filsafat dapat memainkan peran yang signifikan dalam
dinamika kehidupan modern.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara
komprehensif karakteristik, dasar teoritis, serta penerapan metode pragmatis
dalam berfilsafat. Dengan menyelami sejarah kemunculannya, prinsip-prinsip
utamanya, serta kontribusi dan kritik terhadapnya, artikel ini akan menyajikan
suatu pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana metode pragmatis menjadi salah
satu pendekatan penting dalam tradisi filsafat Barat modern. Dengan
mengedepankan konsekuensi praktis sebagai ukuran kebenaran, metode ini tidak
hanya memberikan alternatif dalam memahami realitas, tetapi juga menawarkan
solusi reflektif atas persoalan-persoalan aktual umat manusia.
Footnotes
[1]
Charles S. Peirce, The Essential Peirce:
Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser
dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132.
[2]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45.
[3]
John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of
the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch &
Company, 1929), 19.
[4]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value
Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002),
34–36.
2.
Pengertian
Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah pendekatan dalam filsafat
yang menilai makna dan kebenaran suatu gagasan berdasarkan konsekuensi
praktis dan manfaatnya dalam pengalaman manusia. Dalam kerangka ini,
gagasan tidak diuji hanya berdasarkan kesesuaiannya dengan realitas objektif
atau struktur logis semata, melainkan berdasarkan hasil atau efek yang
ditimbulkannya ketika diterapkan dalam kehidupan nyata. Konsep ini merombak
paradigma tradisional filsafat yang cenderung spekulatif dan abstrak, dengan
mengarahkan perhatian pada fungsi ide dalam memecahkan masalah konkrit
yang dihadapi individu dan masyarakat.¹
Sebagai metode, pendekatan pragmatis memandang
bahwa suatu konsep atau proposisi memiliki arti sejauh ia mampu menghasilkan
dampak praktis yang dapat diamati dan diuji. Charles S. Peirce merumuskan
prinsip ini dalam bentuk pragmatic maxim, yang menyatakan bahwa “konsekuensi-konsekuensi
praktis dari pemikiran tertentu merupakan inti dari maknanya.”² William
James kemudian mengembangkan pandangan ini ke dalam definisi kebenaran yang
bersifat fungsional dan relatif terhadap pengalaman. Bagi James, ide menjadi
benar sejauh ia terbukti berguna, memuaskan kebutuhan intelektual dan emosional
manusia, serta dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan.³
Metode ini tidak semata-mata bersifat
instrumentalis, tetapi juga bersifat reflektif dan terbuka terhadap koreksi
berdasarkan pengalaman lebih lanjut. John Dewey menegaskan bahwa dalam metode
pragmatis, proses berpikir harus dilandasi oleh eksperimentasi aktif
terhadap dunia, dan bukan sekadar kontemplasi terhadap ide-ide tetap.⁴ Dengan
demikian, metode ini bersifat dinamis dan kontekstual, selalu membuka
kemungkinan revisi terhadap proposisi atau nilai berdasarkan situasi dan data
empiris baru.⁵
Ciri khas lain dari metode pragmatis adalah
penolakannya terhadap dualisme tajam antara teori dan praktik, antara
pikiran dan realitas. Dalam kerangka ini, tidak ada pemisahan mutlak antara
dunia gagasan dan dunia tindakan, karena setiap ide merupakan sarana untuk
mengarahkan tindakan yang berdampak pada pengalaman.⁶ Oleh karena itu, metode
pragmatis bukan hanya sebuah strategi intelektual, tetapi juga suatu pendekatan
epistemologis dan aksiologis yang menekankan pentingnya kebermanfaatan,
keberlangsungan, dan fleksibilitas dalam berfilsafat.
Secara keseluruhan, metode pragmatis mendorong
filsafat untuk berorientasi pada pemecahan masalah nyata, tanpa
kehilangan kedalaman refleksi kritis. Ia menantang filsafat untuk tidak hanya
menjelaskan dunia, tetapi juga menyempurnakannya melalui tindakan yang
berlandaskan pemikiran terbuka, kontekstual, dan adaptif terhadap perubahan
sosial dan budaya.⁷
Footnotes
[1]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn
(Cambridge: Polity Press, 2010), 4–6.
[2]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,”
dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1
(1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana
University Press, 1992), 132.
[3]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 57–59.
[4]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry
(New York: Henry Holt and Company, 1938), 104–107.
[5]
Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question
(Oxford: Blackwell, 1995), 20–22.
[6]
Larry A. Hickman, John Dewey's Pragmatic
Technology (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–46.
[7]
Cornel West, The American Evasion of Philosophy:
A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989),
5–8.
3.
Asal-Usul
Historis Metode Pragmatis
Metode pragmatis tidak muncul dalam ruang hampa
sejarah. Ia merupakan hasil dari pergulatan intelektual yang terjadi di Amerika
Serikat pada paruh kedua abad ke-19, ketika berbagai perubahan besar melanda
dunia Barat: kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, pergeseran
sosial akibat industrialisasi, serta lahirnya krisis epistemologis dalam
filsafat pasca-pencerahan. Dalam konteks ini, metode pragmatis lahir sebagai
reaksi terhadap kebuntuan metafisika klasik dan idealisme spekulatif, serta
sebagai upaya untuk menjembatani jurang antara teori dan praktik dalam kehidupan
manusia.¹
Akar pemikiran pragmatis dapat ditelusuri secara
eksplisit pada diskusi intelektual di Cambridge, Massachusetts, yang kemudian
dikenal sebagai “Metaphysical Club”. Klub ini, yang aktif sekitar tahun
1872, menjadi tempat bertemunya pemikir-pemikir muda yang kelak menjadi tokoh
sentral pragmatisme, seperti Charles Sanders Peirce, William James,
dan Oliver Wendell Holmes Jr.² Di dalam forum inilah, Peirce mulai
merumuskan pragmatic maxim—sebuah prinsip dasar bahwa makna dari suatu
gagasan terletak pada konsekuensi praktis yang dapat diperkirakan dari
penerapannya.³
Charles Sanders Peirce (1839–1914), yang sering
disebut sebagai bapak pendiri pragmatisme, menekankan bahwa filsafat harus
bersandar pada metode ilmiah dan menolak spekulasi yang tidak dapat
diverifikasi secara empiris. Melalui tulisan terkenalnya, How to Make Our
Ideas Clear (1878), Peirce menegaskan bahwa kejelasan suatu ide hanya dapat
diperoleh jika ide tersebut dirujukkan kepada konsekuensi yang dapat diuji dalam
pengalaman nyata.⁴ Meski kontribusinya bersifat konseptual dan ilmiah, pengaruh
Peirce baru diakui luas pada abad ke-20.
Berbeda dengan Peirce, William James
(1842–1910) memainkan peran penting dalam mempopulerkan metode pragmatis
sebagai sebuah pendekatan filsafat yang luas. Dalam kuliah-kuliahnya yang
kemudian diterbitkan dalam Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of
Thinking (1907), James menekankan bahwa ide atau doktrin harus diuji
berdasarkan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan hidup dan memperkaya
pengalaman manusia.⁵ Ia memperluas cakupan pragmatisme dari ranah
epistemologi ke dalam wilayah agama, psikologi, dan moralitas, sehingga
menjadikannya lebih inklusif dan aplikatif.
Kontribusi selanjutnya datang dari John Dewey
(1859–1952), yang menyempurnakan metode pragmatis dalam konteks sosial,
pendidikan, dan politik. Dalam pandangan Dewey, filsafat bukanlah pencarian
kebenaran mutlak, melainkan alat reflektif untuk memecahkan masalah-masalah
konkret yang dihadapi masyarakat.⁶ Dewey mengembangkan pendekatan instrumentalisme,
di mana ide-ide dilihat sebagai instrumen yang digunakan untuk menavigasi dan
mentransformasikan lingkungan sosial. Ia juga menghubungkan metode pragmatis
dengan demokrasi, menjadikannya fondasi bagi pendidikan progresif dan etika
sosial.
Dengan demikian, asal-usul metode pragmatis tidak
hanya terkait dengan perumusan prinsip-prinsip teoritis oleh para pendirinya,
tetapi juga menyatu dengan semangat zaman: keinginan untuk menghadirkan
filsafat yang relevan secara praktis, terbuka terhadap perubahan, dan
mampu menjawab persoalan hidup nyata dalam masyarakat yang kompleks dan
dinamis.⁷ Dari diskusi tertutup di Metaphysical Club hingga menjadi pendekatan
filsafat yang mendunia, metode pragmatis telah menunjukkan daya hidupnya sebagai
refleksi atas pertemuan antara teori dan praksis.
Footnotes
[1]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn
(Cambridge: Polity Press, 2010), 11–14.
[2]
Louis Menand, The Metaphysical Club: A Story of
Ideas in America (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2001), 29–36.
[3]
Cheryl Misak, Cambridge Pragmatism: From Peirce
and James to Ramsey and Wittgenstein (Oxford: Oxford University Press,
2016), 23–24.
[4]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,”
dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1
(1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana
University Press, 1992), 124–141.
[5]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 28–34.
[6]
John Dewey, The Public and Its Problems
(Athens, OH: Swallow Press, 1927), 66–70.
[7]
Cornel West, The American Evasion of Philosophy:
A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989),
13–17.
4.
Prinsip-Prinsip
Dasar dalam Metode Pragmatis
Metode pragmatis
didasarkan pada seperangkat prinsip filosofis yang menekankan keterkaitan erat
antara gagasan, tindakan, dan konsekuensi praktis. Tidak seperti pendekatan
metafisis atau deduktif murni yang menekankan kepastian dan struktur logis
internal suatu proposisi, metode pragmatis menguji nilai ide berdasarkan efek
aktual dan fungsionalitasnya dalam kehidupan nyata.
Prinsip-prinsip utama dalam metode ini mencerminkan orientasi yang dinamis,
eksperimental, dan kontekstual terhadap pengetahuan dan kebenaran.
4.1. Kebenaran sebagai Konsekuensi Praktis
Salah satu prinsip
paling mendasar dari metode pragmatis adalah bahwa kebenaran
bukan merupakan kesesuaian mutlak antara ide dan realitas objektif,
melainkan merupakan hasil dari konsekuensi praktis yang memuaskan
dan bermanfaat. Dalam pandangan William James, suatu ide “menjadi benar”
apabila ia dapat bekerja, yakni menghasilkan manfaat
yang nyata, memecahkan masalah, dan sesuai dengan kebutuhan pengalaman
manusia.¹ Kebenaran, dalam konteks ini, bersifat prosesual
dan transaksional, bukan entitas tetap yang terpisah dari
kehidupan.
4.2. Makna Gagasan Ditentukan oleh Implikasi Praktisnya
Mengacu pada pragmatic
maxim yang dirumuskan oleh Charles S. Peirce, makna suatu gagasan
harus dipahami melalui konsekuensi praktis yang dapat diperkirakan dari
penerapannya.² Dengan kata lain, arti suatu konsep identik dengan efek praktis
yang dapat ditimbulkannya dalam konteks nyata. Prinsip ini
menolak pemaknaan yang bersifat abstrak, metafisis, atau tidak dapat
diverifikasi, dan sebaliknya, menekankan pentingnya verifikasi melalui pengalaman dan tindakan.
4.3. Ide sebagai Alat (Instrumentalisme)
John Dewey
memperkenalkan pendekatan instrumentalis, yang menyatakan
bahwa ide-ide
bukanlah cermin realitas, melainkan alat untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan.³ Dalam metode pragmatis, konsep-konsep filosofis
tidak dinilai berdasarkan koherensi internal semata, tetapi pada efektivitas
praktisnya dalam membantu manusia menavigasi lingkungan sosial dan
alamiah. Hal ini mendorong filsafat untuk menjadi reflektif, kritis, sekaligus
berorientasi pada perubahan konstruktif.
4.4. Pengetahuan Bersifat Tentatif dan Terbuka terhadap
Revisi
Pragmatisme menolak
absolutisme epistemologis. Ia menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif, terbuka
terhadap koreksi, dan selalu berada dalam proses rekonstruksi berkelanjutan.⁴
Dalam pandangan pragmatis, tidak ada kebenaran yang bersifat final atau abadi;
yang ada hanyalah hipotesis terbaik yang terbuka untuk diuji ulang melalui
pengalaman baru.⁵ Prinsip ini menggarisbawahi aspek fallibilisme dalam metode
pragmatis, yakni kesadaran akan keterbatasan manusia dalam mencapai kepastian
mutlak.
4.5. Integrasi antara Teori dan Praktik
Metode pragmatis
juga menolak dikotomi kaku antara teori dan praktik. Dalam kerangka ini, setiap
teori harus dapat ditransformasikan menjadi praktik, dan sebaliknya, praktik
harus menjadi dasar pembentukan teori.⁶ Dengan menghubungkan
pemikiran dengan tindakan, metode ini menawarkan pendekatan holistik yang mampu
menjawab tantangan-tantangan filosofis dan sosial secara konkrit. Oleh karena
itu, filsafat pragmatis lebih berorientasi pada problem-solving daripada sekadar
spekulasi.
4.6. Konteks sebagai Penentu Makna dan Validitas
Dalam metode
pragmatis, konteks historis, sosial, dan kultural sangat
menentukan makna dan validitas suatu ide.⁷ Tidak ada kebenaran
yang berdiri di atas segala konteks; semua ide harus dinilai berdasarkan
relevansinya terhadap situasi nyata. Prinsip ini menjadikan metode pragmatis
sangat adaptif terhadap kompleksitas zaman modern, dan memungkinkan penerapan
filsafat yang responsif terhadap dinamika sosial-politik yang berubah-ubah.
Secara keseluruhan,
prinsip-prinsip dasar metode pragmatis menawarkan alternatif metodologis yang
menolak kemapanan doktrinal, memihak pada keterbukaan reflektif, dan
mengedepankan fungsi praktis dari pengetahuan. Dalam dunia yang ditandai oleh
ketidakpastian, kompleksitas, dan perubahan cepat, metode ini menjadi relevan
sebagai panduan untuk berpikir yang tidak hanya masuk akal, tetapi juga berguna
dan transformatif.
Footnotes
[1]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–100.
[2]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan
Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992),
132.
[3]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
9–10.
[4]
Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford:
Blackwell, 1995), 16–18.
[5]
Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 12–14.
[6]
Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science,
Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1983), 86–88.
[7]
Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of
Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 113–116.
5.
Tokoh-Tokoh
Kunci dan Kontribusi Pemikirannya
Perkembangan metode
pragmatis dalam filsafat sangat dipengaruhi oleh kontribusi sejumlah pemikir
besar yang secara kolektif membentuk fondasi intelektual dan arah metodologis
aliran ini. Di antara mereka, tiga tokoh menonjol dalam pembentukan,
pengembangan, dan penerapan metode ini, yakni Charles Sanders Peirce, William
James, dan John Dewey. Masing-masing tokoh
tidak hanya memperluas cakupan pragmatisme, tetapi juga memberikan nuansa yang
berbeda terhadap pemahaman metode pragmatis sebagai pendekatan filsafat.
5.1. Charles Sanders Peirce: Perumus Pragmatic Maxim
Sebagai pendiri
pertama aliran pragmatisme, Charles S. Peirce (1839–1914)
dikenal karena merumuskan pragmatic maxim, yakni prinsip
bahwa makna suatu konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dibayangkan dari
penerapannya. Dalam esainya yang terkenal, How to
Make Our Ideas Clear (1878), Peirce menyatakan bahwa untuk
mengklarifikasi makna suatu gagasan, kita harus menelusuri implikasi praktisnya
dalam konteks pengalaman nyata.¹ Pendekatannya memiliki nuansa ilmiah yang
kuat, karena ia menekankan bahwa pengetahuan harus diuji secara empirik dan
bersifat terbuka terhadap koreksi.
Peirce juga
membedakan pragmatisme dari semata-mata utilitarianisme, dengan menekankan
bahwa yang diuji bukan hanya manfaat praktis langsung, tetapi efek
jangka panjang terhadap pengalaman dan tindakan rasional.² Ia
juga memberi perhatian besar pada logika, semiotika, dan teori penalaran,
menjadikan metode pragmatis sebagai bagian dari penyelidikan ilmiah yang
sistematis dan metodologis.
5.2. William James: Popularis dan Filsuf
Psikologis-Pragmatis
William
James (1842–1910), seorang psikolog dan filsuf Harvard,
berperan penting dalam memperkenalkan dan mempopulerkan pragmatisme kepada
khalayak yang lebih luas. Melalui kuliah-kuliahnya yang diterbitkan dalam Pragmatism:
A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907), James memperluas
prinsip Peirce dengan menekankan bahwa kebenaran suatu ide tergantung pada
kemampuannya untuk "bekerja" secara praktis dalam kehidupan manusia.³
James memperlakukan
kebenaran sebagai sesuatu yang dibentuk melalui pengalaman,
bukan semata-mata ditemukan secara objektif.⁴ Ia memperkenalkan unsur subjektif
dan eksistensial ke dalam metode pragmatis, terutama dalam ranah moralitas dan
agama. Bagi James, keyakinan religius dapat dianggap benar sejauh ia memberikan
makna dan arah yang positif dalam kehidupan penganutnya.⁵ Pandangan ini memicu
kontroversi, tetapi juga memperkaya fleksibilitas metode pragmatis dalam
menjangkau pengalaman manusia yang kompleks.
5.3. John Dewey: Pragmatisme Sosial dan Instrumentalisme
John
Dewey (1859–1952) merupakan tokoh yang mengembangkan
pragmatisme menjadi suatu filsafat sosial yang progresif dan aplikatif,
terutama di bidang pendidikan, demokrasi, dan reformasi sosial. Berbeda dari
Peirce yang bersifat lebih teoretis dan James yang lebih psikologis, Dewey
mengintegrasikan metode pragmatis ke dalam konsep instrumentalisme, yaitu
pandangan bahwa ide-ide adalah instrumen untuk memecahkan masalah yang muncul
dalam kehidupan sosial.⁶
Dewey menolak
dikotomi antara teori dan praktik, dan menekankan bahwa proses berpikir adalah
kelanjutan dari proses adaptasi organis terhadap lingkungan.⁷ Dalam Democracy
and Education (1916), ia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk
membentuk warga negara yang reflektif dan partisipatif dalam kehidupan
demokratis.⁸ Dengan demikian, kontribusi Dewey tidak hanya memperkaya metode
pragmatis secara filosofis, tetapi juga menunjukkan potensi transformasionalnya
dalam praktik sosial.
5.4. Tokoh-Tokoh Lanjutan: Neopragmatisme Kontemporer
Setelah era klasik
pragmatisme, sejumlah pemikir kontemporer seperti Richard
Rorty, Hilary Putnam, dan Cornel
West menghidupkan kembali dan merevisi prinsip-prinsip
pragmatis dalam konteks filsafat analitik dan sosial. Rorty, misalnya, menolak
klaim kebenaran absolut dan mengusulkan solidaritas menggantikan obyektivitas
sebagai kerangka etis pragmatisme.⁹ Putnam, di sisi lain, mengembangkan internal
realism sebagai bentuk sintesis antara empirisme dan pragmatisme
moral.¹⁰ Para tokoh ini menunjukkan bahwa metode pragmatis tetap hidup dan
relevan dalam berbagai medan pemikiran modern.
Footnotes
[1]
Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The
Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893),
ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press,
1992), 132.
[2]
Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of
Truth (Oxford: Clarendon Press, 1991), 84–85.
[3]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45–47.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 12–13.
[5]
William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular
Philosophy (New York: Longmans, Green, and Co., 1897), 1–31.
[6]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt
and Company, 1938), 14–17.
[7]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
9.
[8]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 63–64.
[9]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 44–50.
[10]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 49–51.
6.
Penerapan
Metode Pragmatis dalam Bidang Filsafat
Metode pragmatis
bukan sekadar pendekatan epistemologis, tetapi juga merupakan kerangka
kerja filosofis yang aplikatif dan fleksibel untuk menganalisis
berbagai cabang filsafat. Berbeda dengan pendekatan spekulatif atau sistematis
yang cenderung abstrak, metode ini menekankan relevansi praktis, pengalaman
konkret, dan konteks sosial dalam memahami
serta menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat. Di bawah ini dipaparkan
beberapa penerapan penting metode pragmatis dalam bidang filsafat, yang
menunjukkan luasnya cakupan dan efektivitas metodologis pendekatan ini.
6.1. Dalam Filsafat Ilmu: Pengetahuan sebagai Alat
Dalam filsafat ilmu,
metode pragmatis menolak pandangan representasionalis tentang teori ilmiah
sebagai “cermin realitas.” Sebaliknya, pragmatisme menganggap teori
sebagai alat konseptual untuk
menavigasi dan memecahkan masalah-masalah ilmiah.¹ John Dewey menyebut bahwa
ilmu pengetahuan berkembang bukan melalui akumulasi dogma, tetapi melalui
proses eksperimentasi dan revisi terus-menerus yang terarah pada kegunaan
praktis dan keberhasilan dalam tindakan.² Oleh karena itu,
kebenaran ilmiah dalam kerangka pragmatis bersifat tentatif
dan korektif, tidak bersandar pada prinsip absolut, tetapi pada
efektivitas dalam konteks tertentu.
Konsep ini
mempengaruhi pendekatan naturalized epistemology yang
dikembangkan oleh W.V.O. Quine, serta pendekatan fallibilism dalam filsafat sains
kontemporer.³ Hal ini menunjukkan bahwa metode pragmatis dapat menjembatani
ketegangan antara objektivitas dan relativitas dalam filsafat ilmu.
6.2. Dalam Filsafat Moral: Etika Konsekuensialis
Kontekstual
Metode pragmatis
juga memberi kontribusi signifikan dalam filsafat moral, terutama dalam
merumuskan etika yang tidak bersifat apriori, tetapi
berkembang dari kondisi sosial dan pengalaman historis.⁴
John Dewey memandang etika sebagai proses sosial yang dinamis dan
rekonstruktif, bukan sistem aturan mutlak. Ia menolak etika deontologis dan
utilitarianisme klasik dalam bentuknya yang rigid, dengan menawarkan etika
pragmatis yang berbasis pada pemecahan masalah moral konkret
dalam konteks interaksi manusia.⁵
Dalam kerangka ini,
nilai-nilai moral diuji melalui konsekuensi sosial dan keberhasilan kolektif,
bukan hanya melalui kewajiban atau hasil maksimal. Pandangan ini memberikan landasan
normatif yang lebih fleksibel dan demokratis dalam menghadapi pluralitas nilai
dan konflik moral kontemporer.
6.3. Dalam Filsafat Politik: Demokrasi sebagai Metode
Dalam bidang
filsafat politik, pragmatisme mengusulkan pemahaman demokrasi bukan sebagai bentuk
institusi statis, melainkan sebagai cara hidup dan metode sosial.⁶
John Dewey, dalam The Public and Its Problems,
menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu proses eksperimentatif yang melibatkan
partisipasi publik, diskusi terbuka, dan rekonstruksi terus-menerus terhadap
kebijakan dan institusi sosial.⁷
Metode pragmatis
mendorong pendekatan deliberatif terhadap politik, di mana kebijakan publik
dikembangkan melalui proses dialogis dan reflektif, bukan berdasarkan ideologi
tertutup.⁸ Dengan demikian, pragmatisme memberikan alternatif bagi liberalisme
rasionalistik maupun ideologi otoriter, dengan mengutamakan fleksibilitas,
partisipasi aktif, dan tanggung jawab sosial.
6.4. Dalam Filsafat Pendidikan: Pembelajaran sebagai
Proses Eksperiensial
Penerapan metode pragmatis
dalam filsafat pendidikan adalah salah satu kontribusi paling nyata dan
berpengaruh. John Dewey menempatkan pengalaman sebagai dasar utama pendidikan.⁹
Dalam Democracy
and Education, ia menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi proses
rekonstruksi pengalaman yang berkesinambungan, di mana peserta
didik bukan hanya menerima pengetahuan, tetapi secara aktif membentuk dan
menguji makna melalui keterlibatan langsung dalam dunia.¹⁰
Pendekatan ini
melahirkan metode pendidikan progresif, yang menekankan pembelajaran berbasis
proyek, pemecahan masalah, dan kerja sama sosial. Ini membedakan metode
pragmatis dari pendekatan skolastik tradisional yang berfokus pada hafalan dan
otoritas guru, serta mendorong sistem pendidikan yang demokratis, adaptif, dan
berorientasi pada pengembangan potensi individu.
6.5. Dalam Metafilsafat: Kritik terhadap Absolutisme dan
Dualisme
Secara
metafilosofis, metode pragmatis merevisi cara kita memandang filsafat itu
sendiri. Ia menolak dikotomi klasik antara fakta dan nilai, teori dan praktik,
serta subjektivitas dan objektivitas.¹¹ Richard Rorty, sebagai neopragmatis,
berargumen bahwa filsafat tidak perlu mencari fondasi epistemologis yang pasti,
tetapi seharusnya berfungsi sebagai alat untuk
memperluas solidaritas dan memperkaya wacana publik.¹²
Metode pragmatis
menawarkan paradigma filsafat sebagai aktivitas reflektif yang berakar pada
pengalaman dan diarahkan pada perubahan sosial, bukan sebagai
pencarian kebenaran abadi yang abstrak. Dengan demikian, pragmatisme membuka
kemungkinan filsafat untuk lebih inklusif, pluralis, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their
Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press,
1984), 64–67.
[2]
John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt
and Company, 1938), 74–76.
[3]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” dalam Ontological
Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969),
69–90.
[4]
Elizabeth Anderson, Value in Ethics and Economics (Cambridge:
Harvard University Press, 1993), 15–18.
[5]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt and
Company, 1922), 10–12.
[6]
Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy
(Ithaca: Cornell University Press, 1991), 300–302.
[7]
John Dewey, The Public and Its Problems (Athens, OH: Swallow
Press, 1927), 146–150.
[8]
James T. Kloppenberg, Toward Democracy: The Struggle for Self-Rule
in European and American Thought (Oxford: Oxford University Press, 2016),
888–890.
[9]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview
Press, 2012), 52–55.
[10]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 35–38.
[11]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 3–5.
[12]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 43–46.
7.
Perbandingan
dengan Metode Filsafat Lain
Metode pragmatis
tidak hadir dalam ruang kosong, tetapi berkembang berdampingan dan sering kali
berhadapan secara kritis dengan berbagai pendekatan filosofis lain. Untuk
memahami keunikan dan kontribusinya, penting untuk membandingkan metode
pragmatis dengan metode-metode utama lain dalam tradisi filsafat Barat,
khususnya metode rasionalistik, metode
fenomenologis, dan metode analitik. Perbandingan
ini tidak bertujuan untuk menegasikan metode lain, tetapi untuk menempatkan
pragmatisme dalam lanskap metodologis yang lebih luas.
7.1. Dibandingkan dengan Metode Rasionalistik
Metode
rasionalistik, yang berakar pada pemikiran filsuf-filsuf seperti René
Descartes dan Baruch Spinoza, menekankan
deduksi logis dari prinsip-prinsip pertama yang bersifat apriori dan absolut.
Descartes, misalnya, memulai filsafat dengan keraguan metodologis dan berusaha
menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan melalui penalaran
murni.¹ Dalam kerangka ini, kebenaran bersumber dari rasio
yang otonom, bukan dari pengalaman atau praktik.
Sebaliknya, metode
pragmatis menolak kepastian epistemologis yang tidak berpijak pada dunia nyata.
Charles Peirce mengkritik pendekatan rasionalistik karena cenderung
menghasilkan sistem metafisis tertutup yang tidak dapat diverifikasi secara
empiris.² Bagi pragmatisme, pengetahuan bukan hasil deduksi dari ide-ide
mutlak, tetapi merupakan hasil dari proses investigatif yang terbuka dan berbasis
pengalaman.³ Dengan demikian, sementara rasionalisme mencari
fondasi tetap bagi pengetahuan, pragmatisme menekankan provisionalitas
dan korektibilitas.
7.2. Dibandingkan dengan Metode Fenomenologis
Metode fenomenologis
yang dipelopori oleh Edmund Husserl berfokus pada
deskripsi struktural dari kesadaran dan pengalaman subjektif. Ia menekankan
metode epoché
(reduksi fenomenologis), yakni penyisihan semua asumsi tentang dunia eksternal
untuk mengungkap esensi pengalaman murni.⁴
Metode pragmatis
menganggap bahwa pemisahan radikal antara subjek dan dunia adalah artifisial.
John Dewey, misalnya, mengkritik fenomenologi karena mengabstraksikan
pengalaman dari konteks sosial dan aksi nyata.⁵ Dalam
pragmatisme, pengalaman selalu dipahami dalam hubungan interaktif antara
organisme dan lingkungan. Tidak ada "kesadaran murni" yang
terlepas dari tindakan, tujuan, dan konsekuensi praktis. Oleh karena itu, pragmatisme
lebih menekankan fungsi dari pengalaman, bukan
esensinya.
7.3. Dibandingkan dengan Metode Analitik
Metode filsafat
analitik, yang berkembang terutama di dunia Anglo-Saxon, menekankan analisis
bahasa, logika formal, dan klarifikasi konseptual. Tokoh-tokohnya seperti Bertrand
Russell dan Ludwig Wittgenstein awal
menggunakan metode ini untuk mengurai persoalan filsafat menjadi pernyataan
yang lebih sederhana dan logis.⁶
Meskipun pragmatisme
dan filsafat analitik sama-sama menolak spekulasi metafisis, pendekatan mereka
berbeda. Filsafat analitik cenderung fokus pada struktur proposisional dan makna
linguistik, sedangkan pragmatisme lebih memperhatikan fungsi
sosial dan efek praktis dari penggunaan bahasa.⁷ Richard Rorty,
seorang neopragmatis, bahkan mengkritik filsafat analitik karena terjebak dalam
obsesi terhadap "representasi akurat" dan mengabaikan potensi
transformasional filsafat dalam kehidupan manusia.⁸
7.4. Posisi Metode Pragmatis: Refleksif, Adaptif, dan
Transformatif
Keunggulan utama
metode pragmatis terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan teori
dengan praktik, serta fleksibilitasnya dalam merespons
perubahan sosial dan historis. Dibandingkan metode rasionalistik yang cenderung
dogmatis, metode fenomenologis yang terlalu subjektif, atau metode analitik
yang teknis dan sempit, pragmatisme menawarkan pendekatan yang refleksif,
kontekstual, dan solutif.
Namun, pragmatisme
bukan tanpa kritik. Para filsuf tradisional menganggap bahwa pendekatan ini
terlalu menekankan konsekuensi, sehingga berpotensi mengaburkan dimensi
normatif dan ontologis dari filsafat.⁹ Meski demikian, keunggulan metode
pragmatis dalam membangun filsafat yang responsif dan aplikatif
tetap menjadikannya alternatif metodologis yang penting dalam lanskap pemikiran
kontemporer.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–22.
[2]
Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” dalam The Essential
Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan
Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992),
109–123.
[3]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity
Press, 2010), 14–15.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, 1983), 60–62.
[5]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925),
8–11.
[6]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams
and Norgate, 1912), 7–9.
[7]
Hilary Putnam, Words and Life, ed. James Conant (Cambridge:
Harvard University Press, 1994), 301–304.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 6–9.
[9]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 83–85.
8.
Kritik
terhadap Metode Pragmatis
Meskipun metode
pragmatis telah memberikan kontribusi besar dalam mereformulasi pemahaman
tentang kebenaran, makna, dan praktik filsafat, pendekatan ini juga tidak luput
dari kritik tajam yang datang dari berbagai spektrum pemikiran. Kritik terhadap
metode pragmatis umumnya berfokus pada implikasi epistemologis, relativisme kebenaran,
kekaburan normatif, dan potensi reduksionisme praktis dalam
menjelaskan realitas filosofis. Beberapa kritik bersifat internal, berasal dari
sesama pragmatis, sementara lainnya datang dari aliran filsafat luar seperti
realisme, eksistensialisme, maupun rasionalisme klasik.
8.1. Tuduhan Relativisme dan Subjektivisme
Salah satu kritik
paling menonjol terhadap metode pragmatis adalah bahwa pendekatan ini cenderung
mengarah
pada relativisme, karena menggantungkan kebenaran pada
konsekuensi praktis yang bisa berbeda antara satu konteks dengan konteks lain.¹
William James, misalnya, dikritik karena mendefinisikan kebenaran sebagai
"apa yang berguna untuk dipercayai", yang oleh lawan-lawannya
dianggap membuka jalan bagi kebenaran yang bersifat subjektif dan tidak
universal.²
Bertrand Russell
secara khusus menanggapi pandangan James dengan menyatakan bahwa pragmatisme
"membingungkan antara sebab psikologis dari kepercayaan dan alasan
logis untuk kepercayaan itu", sehingga mengaburkan perbedaan antara
keyakinan dan justifikasi epistemologis.³ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak
lagi berdiri sendiri sebagai objek pencarian rasional, tetapi tergantung pada
preferensi, manfaat, atau hasil tertentu—yang semuanya bersifat berubah-ubah.
8.2. Reduksi Kebenaran menjadi Alat Utilitarian
Kritik selanjutnya
datang dari pemikir-pemikir realis dan analitik,
yang menilai bahwa metode pragmatis mereduksi kebenaran menjadi semata-mata alat
untuk tujuan praktis, mengabaikan aspek korespondensi antara
pernyataan dan realitas objektif.⁴ Pandangan ini dianggap melemahkan tujuan
klasik filsafat, yaitu pencarian hakikat realitas dan kebenaran sejati, dengan
menggantinya menjadi sekadar alat problem solving.
Karl Popper,
meskipun bersimpati pada aspek antifoundational pragmatisme, menolak gagasan
bahwa keberhasilan praktis dapat dijadikan standar kebenaran ilmiah. Baginya, teori
yang berguna bisa saja keliru, dan teori yang benar kadang belum tentu langsung
aplikatif.⁵ Dengan demikian, pragmatisme dianggap mengabaikan nilai
intrinsik dari teori dan proposisi yang mungkin tidak segera “bermanfaat”,
namun tetap memiliki nilai kognitif tinggi.
8.3. Ketidakjelasan Normatif dalam Etika dan Politik
Metode pragmatis
juga dikritik karena tidak memberikan dasar normatif yang kuat dalam
ranah etika dan politik.⁶ Karena pragmatisme lebih menekankan
proses, negosiasi, dan hasil, maka tidak ada standar tetap untuk membedakan
antara kebijakan yang benar secara moral dan yang hanya efektif secara sosial.
Dalam pandangan kritikus seperti Alasdair MacIntyre, pragmatisme gagal
menyediakan kerangka moral yang kokoh karena menolak fundasi etika berbasis
tradisi atau teleologi yang konsisten.⁷
Dengan bergantung
pada konsensus sosial atau keberhasilan praktis, metode pragmatis berisiko menjustifikasi
status quo, atau bahkan legitimasi kebijakan yang tidak adil
apabila kebijakan tersebut terbukti “berhasil” dalam arti teknokratik.
Hal ini mengundang pertanyaan serius tentang dimensi evaluatif dan normatif
dari pendekatan pragmatis.
8.4. Kurangnya Ketegasan Ontologis dan Metafisis
Pragmatisme juga
dinilai oleh sebagian kalangan sebagai mengabaikan persoalan metafisis,
dengan terlalu memfokuskan perhatian pada konsekuensi dan tindakan.⁸
Tokoh-tokoh eksistensialis seperti Martin Heidegger dan Gabriel Marcel menilai
bahwa pendekatan pragmatis terlalu dangkal dalam memahami ada
dan makna
eksistensial, karena hanya menilai validitas ide berdasarkan
keberhasilannya dalam menyelesaikan masalah.
Selain itu,
pendekatan pragmatis dinilai terlalu adaptif terhadap perubahan,
sehingga tidak memiliki komitmen filosofis yang kuat terhadap konsep-konsep
ontologis mendalam seperti hakikat manusia, kebaikan, atau tujuan akhir
kehidupan. Akibatnya, ia dinilai lebih cocok sebagai filsafat praktis daripada
sebagai sistem filsafat yang komprehensif.
8.5. Respons Para Pragmatis Terhadap Kritik
Sebagai respons
terhadap berbagai kritik ini, para filsuf pragmatis modern seperti Hilary
Putnam, Susan Haack, dan Richard
Rorty berusaha mengembangkan bentuk pragmatisme yang lebih
reflektif dan dialogis. Putnam, misalnya, mengusulkan model pragmatic
realism untuk menyeimbangkan antara kebergunaan praktis dan
pencarian kebenaran yang rasional.⁹ Haack mengembangkan teori foundherentism
yang mencoba menggabungkan koherensi dan fondasi sebagai pendekatan
epistemologis yang tidak jatuh ke dalam relativisme.¹⁰
Mereka sepakat bahwa
metode pragmatis bukanlah justifikasi untuk mengabaikan kebenaran atau etika,
tetapi merupakan pendekatan dinamis yang terus
terbuka terhadap evaluasi ulang, koreksi, dan kontekstualisasi nilai.
Footnotes
[1]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity
Press, 2010), 112–114.
[2]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–98.
[3]
Bertrand Russell, The Philosophy of William James, dalam The
Collected Papers of Bertrand Russell, Vol. 6 (London: Routledge, 1992),
58–60.
[4]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 123–126.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Hutchinson, 1959), 273–274.
[6]
Robert Talisse, Pragmatism, Democracy, and the Necessity of
Fallibilism (New York: Routledge, 2007), 45–47.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 61–65.
[8]
Gabriel Marcel, Being and Having (London: Collins, 1965),
93–95.
[9]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 45–48.
[10]
Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in
Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 163–167.
9.
Relevansi
dan Kontribusi Kontemporer
Di tengah
kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh pluralisme nilai, krisis
epistemologis, dan tantangan global yang bersifat multidimensi, metode
pragmatis tetap menunjukkan relevansi dan vitalitasnya dalam
berbagai bidang filsafat dan praktik sosial. Kebangkitan kembali minat terhadap
pragmatisme dalam dekade-dekade terakhir menandai bahwa filsafat ini bukan
hanya bagian dari warisan historis Amerika Serikat, tetapi juga pendekatan
kritis yang hidup dan adaptif terhadap perubahan zaman.
9.1. Merespons Era Post-Truth dan Disinformasi
Salah satu tantangan
terbesar abad ke-21 adalah fenomena post-truth, yakni kondisi di mana
opini pribadi, keyakinan emosional, dan narasi politik sering kali lebih
berpengaruh daripada fakta objektif.¹ Dalam konteks ini, metode pragmatis
menawarkan alternatif epistemologis yang tidak menuntut absolutisme, namun
tetap mempertahankan komitmen terhadap verifikasi, dialog, dan konsekuensi sosial dari
klaim kebenaran.
Tokoh seperti Susan
Haack menekankan pentingnya inquiry yang berakar pada
pengalaman empiris dan struktur argumentatif yang sehat, sebagai jalan tengah
antara skeptisisme radikal dan dogmatisme ilmiah.² Dengan demikian, pragmatisme
menyediakan kerangka untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap
praktik pengetahuan yang bertanggung jawab, relevan, dan reflektif.
9.2. Kontribusi terhadap Etika Terapan dan Isu Sosial
Dalam bidang etika
terapan—seperti bioetika, keadilan sosial, dan kebijakan publik—pragmatisme
menunjukkan nilai strategis yang tinggi. Dengan menolak fondasi etika yang
kaku, pragmatisme memungkinkan terjadinya evaluasi moral berdasarkan kasus, konteks
sosial, dan hasil yang diharapkan.³ Ini penting dalam dunia di
mana konflik nilai tidak dapat diselesaikan hanya melalui prinsip-prinsip
universal, tetapi membutuhkan pendekatan deliberatif dan kolaboratif.
Filsuf seperti Elizabeth
Anderson menerapkan kerangka pragmatis dalam isu keadilan
gender dan ekonomi, dengan menekankan bahwa kriteria moral harus dievaluasi
berdasarkan dampaknya terhadap partisipasi dan martabat manusia dalam kehidupan
sosial.⁴ Dalam hal ini, pragmatisme tidak bersikap relativis, melainkan
kontekstual dan empatik terhadap dinamika sosial yang kompleks.
9.3. Pembaruan Filsafat Politik dan Demokrasi
Metode pragmatis
juga berperan penting dalam perdebatan kontemporer tentang demokrasi
deliberatif, pluralisme, dan kebijakan publik.⁵ Richard Rorty,
misalnya, mengusulkan agar filsafat tidak lagi mengejar representasi objektif
realitas, melainkan berfungsi sebagai alat redescription untuk membuka ruang
solidaritas dan emansipasi.⁶ Demokrasi, dalam kerangka ini, bukan hanya sistem
politik, tetapi proses kolektif untuk menguji dan merevisi
nilai-nilai dalam cahaya pengalaman baru.
Konsep ini sangat
relevan dalam era globalisasi dan migrasi budaya, di mana interaksi antar
budaya dan sistem nilai menuntut cara berpikir yang inklusif dan dialogis.⁷
Metode pragmatis menyediakan alat konseptual untuk mengelola perbedaan tanpa
terjerumus pada fundamentalisme atau nihilisme normatif.
9.4. Integrasi dengan Tradisi Filsafat Kontemporer Lain
Metode pragmatis
juga berhasil menjalin dialog yang produktif dengan aliran-aliran filsafat
kontemporer lainnya. Dalam filsafat analitik, tokoh
seperti Hilary Putnam memperkenalkan internal
realism, yang menggabungkan komitmen terhadap realitas dengan
kesadaran akan konstruksi kognitif dan historis dalam memahami dunia.⁸
Sementara dalam hermeneutika dan post-strukturalisme,
pragmatisme dihargai karena penolakannya terhadap esensialisme dan
keterbukaannya terhadap perbedaan makna.
Bahkan dalam
diskursus filsafat agama dan metafisika, pendekatan pragmatis mulai memperoleh
tempat sebagai bentuk spiritualitas reflektif yang bersifat terbuka,
eksperimental, dan berbasis pengalaman, seperti yang
dikembangkan dalam karya-karya Jeffrey Stout dan Nancy
Frankenberry.⁹ Ini menunjukkan bahwa metode pragmatis mampu
berkembang secara lintas disiplin dan lintas tradisi filsafat.
9.5. Pemikiran Pragmatis dan Pendidikan Kritis
Dalam pendidikan,
pragmatisme tetap menjadi dasar bagi pendekatan-pendekatan konstruktivistik
dan progresif, terutama dalam teori pedagogi kritis dan
pembelajaran berbasis masalah.⁽¹⁰⁾ Warisan pemikiran John
Dewey tetap hidup dalam program-program reformasi pendidikan
global yang menekankan pentingnya partisipasi aktif, dialog reflektif, dan
kemampuan berpikir adaptif dalam menghadapi tantangan abad
ke-21.
Kesimpulan Sementara
Kontribusi dan
relevansi metode pragmatis dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya
untuk menawarkan pendekatan filsafat yang kontekstual, terbuka terhadap
perubahan, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata. Dalam
era yang ditandai oleh krisis epistemologis, moral, dan politik, pragmatisme
tampil sebagai alternatif metodologis yang mampu merespons secara reflektif dan
transformatif.
Footnotes
[1]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–6.
[2]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 12–14.
[3]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 38–41.
[4]
Elizabeth Anderson, Value in Ethics and Economics (Cambridge:
Harvard University Press, 1993), 35–39.
[5]
James Bohman, Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and
Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 9–10.
[6]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 45–47.
[7]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in
the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 28–29.
[8]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 123–125.
[9]
Jeffrey Stout, Democracy and Tradition (Princeton: Princeton
University Press, 2004), 54–57.
[10]
Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview
Press, 2012), 75–77.
10. Penutup
Metode pragmatis dalam filsafat, sebagaimana telah
ditelaah dalam pembahasan sebelumnya, bukan sekadar pendekatan teknis dalam
mencari makna dan kebenaran, melainkan merupakan suatu paradigma berpikir
yang menempatkan pengalaman, konsekuensi praktis, dan konteks sosial sebagai
inti dari proses filsafat. Berakar dari pemikiran Charles Sanders Peirce,
William James, dan John Dewey, metode ini telah berkembang menjadi pendekatan
multidisipliner yang melintasi batas antara teori dan praktik, antara filsafat
dan kehidupan sehari-hari.
Salah satu kekuatan utama metode pragmatis terletak
pada fleksibilitas dan keterbukaannya terhadap koreksi, sehingga sangat
relevan dalam dunia kontemporer yang dinamis dan kompleks. Dalam menghadapi
tantangan seperti pluralisme nilai, disinformasi, krisis demokrasi, dan
perubahan sosial yang cepat, pragmatisme menawarkan pendekatan yang reflektif,
problem-solving, dan berorientasi pada hasil nyata yang dapat diuji dalam
konteks sosial.¹
Lebih dari itu, metode pragmatis telah memperluas
cakupan filsafat dari ruang spekulasi ke ranah kehidupan praktis: dari
laboratorium filsafat ke ruang kelas, forum publik, kebijakan sosial, hingga
etika terapan. Sebagaimana ditekankan oleh Richard J. Bernstein, pragmatisme
menghindari oposisi palsu antara teori dan praktik, antara obyektivitas dan
relativisme, dengan menempatkan pengetahuan dalam relasi dinamis antara
individu dan komunitas dalam waktu yang historis dan terbuka.²
Meski demikian, kritik terhadap pragmatisme tidak
dapat diabaikan. Tuduhan reduksionisme, relativisme, dan kekaburan normatif
menunjukkan bahwa pendekatan ini menuntut kehati-hatian dan keseimbangan
metodologis dalam penerapannya. Namun, seperti ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti
Hilary Putnam dan Susan Haack, respons pragmatis terhadap kritik ini justru
memperkuat posisinya sebagai filsafat yang mampu berdialog, merefleksi diri,
dan terus berevolusi dalam menghadapi tantangan baru.³
Dengan demikian, pragmatisme bukanlah filsafat yang
menawarkan kepastian akhir, tetapi sebuah komitmen epistemologis untuk tetap
berpikir, berbuat, dan berubah secara bertanggung jawab berdasarkan pengalaman
dan refleksi.⁴ Dalam dunia yang terus bergerak, pragmatisme mengajak kita
untuk terus menguji gagasan, mempertimbangkan dampaknya, dan merekonstruksi
makna secara kolektif dan partisipatif.
Sebagaimana ditegaskan oleh John Dewey, filsafat
bukanlah latihan spekulatif yang terpisah dari kehidupan, melainkan "the
method of moral and social inquiry."⁵
Dalam semangat ini, metode pragmatis tidak hanya menghidupkan kembali peran
filsafat dalam kehidupan publik, tetapi juga menempatkannya sebagai alat
transformasi sosial yang berakar pada rasionalitas, pengalaman, dan harapan.
Footnotes
[1]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate:
Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 124–127.
[2]
Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn
(Cambridge: Polity Press, 2010), 189–192.
[3]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy
and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 45–49.
[4]
William James, The Meaning of Truth: A Sequel to
"Pragmatism" (New York: Longmans, Green, and Co., 1909), viii–ix.
[5]
John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of
the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch &
Company, 1929), 77.
Daftar Pustaka
Anderson, E. (1993). Value in ethics and
economics. Harvard University Press.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture:
Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.
Bernstein, R. J. (1983). Beyond objectivism and
relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University of Pennsylvania
Press.
Bernstein, R. J. (2010). The pragmatic turn.
Polity Press.
Bohman, J. (1996). Public deliberation: Pluralism,
complexity, and democracy. MIT Press.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work
published 1641)
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Dewey, J. (1922). Human nature and conduct.
Henry Holt and Company.
Dewey, J. (1925). Experience and nature.
Open Court.
Dewey, J. (1927). The public and its problems.
Swallow Press.
Dewey, J. (1929). The quest for certainty: A
study of the relation of knowledge and action. Minton, Balch & Company.
Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry.
Henry Holt and Company.
Haack, S. (1993). Evidence and inquiry: Towards
reconstruction in epistemology. Blackwell.
Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate
moderate: Unfashionable essays. University of Chicago Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Kluwer Academic Publishers. (Original work published 1913)
James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some
old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.
James, W. (1897). The will to believe and other
essays in popular philosophy. Longmans, Green, and Co.
James, W. (1909). The meaning of truth: A sequel
to "Pragmatism". Longmans, Green, and Co.
Kloppenberg, J. T. (2016). Toward democracy: The
struggle for self-rule in European and American thought. Oxford University
Press.
Laudan, L. (1984). Science and values: The aims
of science and their role in scientific debate. University of California
Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
Marcel, G. (1965). Being and having (K.
Farrer, Trans.). Collins.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Menand, L. (2001). The metaphysical club: A
story of ideas in America. Farrar, Straus and Giroux.
Misak, C. (1991). Truth and the end of inquiry:
A Peircean account of truth. Clarendon Press.
Misak, C. (2016). Cambridge pragmatism: From
Peirce and James to Ramsey and Wittgenstein. Oxford University Press.
Noddings, N. (2012). Philosophy of education
(2nd ed.). Westview Press.
Peirce, C. S. (1992). How to make our ideas clear.
In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential Peirce: Selected
philosophical writings, Volume 1 (1867–1893) (pp. 124–141). Indiana
University Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. Hutchinson.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge University Press.
Putnam, H. (1995). Pragmatism: An open question.
Blackwell.
Putnam, H. (2002). The collapse of the
fact/value dichotomy and other essays. Harvard University Press.
Putnam, H. (1994). Words and life (J.
Conant, Ed.). Harvard University Press.
Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized.
In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Williams and Norgate.
Russell, B. (1992). The philosophy of William
James. In The collected papers of Bertrand Russell, Vol. 6. Routledge.
Stout, J. (2004). Democracy and tradition.
Princeton University Press.
Talisse, R. B. (2007). Pragmatism, democracy,
and the necessity of fallibilism. Routledge.
West, C. (1989). The American evasion of
philosophy: A genealogy of pragmatism. University of Wisconsin Press.
Westbrook, R. B. (1991). John Dewey and American
democracy. Cornell University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar