Minggu, 01 Juni 2025

Metode Pragmatis: Menimbang Kebenaran Melalui Kebergunaan

Metode Pragmatis

Menimbang Kebenaran Melalui Kebergunaan


Alihkan ke: Metode-Metode dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif metode pragmatis dalam filsafat sebagai suatu pendekatan epistemologis dan aksiologis yang berfokus pada konsekuensi praktis dan kebergunaan ide sebagai dasar penilaian kebenaran. Dengan menelusuri akar historisnya dalam pemikiran Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, tulisan ini menunjukkan bahwa metode pragmatis merupakan respons terhadap stagnasi metafisika tradisional serta ketegangan antara teori dan praktik. Pembahasan meliputi prinsip-prinsip dasar pragmatisme, kontribusi para tokoh utama, serta penerapannya dalam berbagai bidang filsafat seperti ilmu, etika, politik, dan pendidikan. Artikel ini juga mengulas kritik-kritik yang ditujukan kepada metode pragmatis, termasuk tuduhan relativisme, reduksionisme epistemologis, dan kekaburan normatif. Meski demikian, pragmatisme tetap relevan dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh pluralisme nilai, kompleksitas sosial, dan kebutuhan akan filsafat yang kontekstual dan transformatif. Dengan pendekatan yang reflektif dan terbuka terhadap koreksi, metode pragmatis berperan penting dalam membangun filsafat yang hidup, adaptif, dan terlibat langsung dengan problematika nyata umat manusia.

Kata Kunci: Metode pragmatis, pragmatisme, Charles Sanders Peirce, William James, John Dewey, kebenaran, kebergunaan, filsafat kontemporer, epistemologi, etika terapan, demokrasi, pendidikan kritis.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Metode Pragmatis dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai disiplin ilmu tidak hanya berkutat pada penggalian makna dan pencarian kebenaran secara teoritis, tetapi juga berusaha merumuskan metode-metode yang dapat mengarahkan pemikiran manusia dalam memahami realitas. Salah satu pendekatan metodologis yang menonjol dan menawarkan perspektif unik terhadap konsep kebenaran dan makna adalah metode pragmatis. Berbeda dengan pendekatan rasionalistik yang menekankan deduksi logis, atau pendekatan fenomenologis yang mengandalkan deskripsi kesadaran, metode pragmatis berakar pada utility dan konsekuensi praktis dari ide atau proposisi sebagai indikator nilai kebenarannya.

Lahir dari konteks intelektual Amerika pada akhir abad ke-19, metode ini pertama kali diformulasikan secara sistematis oleh Charles Sanders Peirce, dan kemudian dipopulerkan serta dikembangkan oleh William James dan John Dewey. Dalam maksim pragmatisnya, Peirce menegaskan bahwa arti dari suatu gagasan terletak pada akibat praktis yang dapat diturunkan darinya dalam kehidupan nyata, yang kemudian menjadi dasar bagi seluruh pendekatan pragmatis terhadap kebenaran dan makna.¹ James mengembangkan gagasan tersebut dengan menekankan bahwa suatu ide dianggap benar jika ide tersebut berfungsi dengan baik dan menghasilkan manfaat dalam kehidupan praktis.² Sementara Dewey memandang metode ini sebagai alat untuk memecahkan masalah sosial melalui proses refleksi dan eksperimentasi, menjadikan pragmatisme sebagai metode filsafat sekaligus panduan etis dan politik.³

Dalam konteks filsafat kontemporer, metode pragmatis tetap relevan, khususnya dalam menghadapi tantangan pluralisme epistemologis dan relativisme nilai. Kemampuannya untuk menjembatani diskusi teoritis dengan realitas praktis menjadikan metode ini penting, tidak hanya dalam ruang akademik, tetapi juga dalam diskursus publik dan kebijakan sosial.⁴ Oleh karena itu, kajian yang mendalam terhadap metode pragmatis sangat diperlukan untuk memahami bagaimana filsafat dapat memainkan peran yang signifikan dalam dinamika kehidupan modern.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif karakteristik, dasar teoritis, serta penerapan metode pragmatis dalam berfilsafat. Dengan menyelami sejarah kemunculannya, prinsip-prinsip utamanya, serta kontribusi dan kritik terhadapnya, artikel ini akan menyajikan suatu pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana metode pragmatis menjadi salah satu pendekatan penting dalam tradisi filsafat Barat modern. Dengan mengedepankan konsekuensi praktis sebagai ukuran kebenaran, metode ini tidak hanya memberikan alternatif dalam memahami realitas, tetapi juga menawarkan solusi reflektif atas persoalan-persoalan aktual umat manusia.


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45.

[3]                John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 19.

[4]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 34–36.


2.           Pengertian Metode Pragmatis

Metode pragmatis adalah pendekatan dalam filsafat yang menilai makna dan kebenaran suatu gagasan berdasarkan konsekuensi praktis dan manfaatnya dalam pengalaman manusia. Dalam kerangka ini, gagasan tidak diuji hanya berdasarkan kesesuaiannya dengan realitas objektif atau struktur logis semata, melainkan berdasarkan hasil atau efek yang ditimbulkannya ketika diterapkan dalam kehidupan nyata. Konsep ini merombak paradigma tradisional filsafat yang cenderung spekulatif dan abstrak, dengan mengarahkan perhatian pada fungsi ide dalam memecahkan masalah konkrit yang dihadapi individu dan masyarakat.¹

Sebagai metode, pendekatan pragmatis memandang bahwa suatu konsep atau proposisi memiliki arti sejauh ia mampu menghasilkan dampak praktis yang dapat diamati dan diuji. Charles S. Peirce merumuskan prinsip ini dalam bentuk pragmatic maxim, yang menyatakan bahwa “konsekuensi-konsekuensi praktis dari pemikiran tertentu merupakan inti dari maknanya.”² William James kemudian mengembangkan pandangan ini ke dalam definisi kebenaran yang bersifat fungsional dan relatif terhadap pengalaman. Bagi James, ide menjadi benar sejauh ia terbukti berguna, memuaskan kebutuhan intelektual dan emosional manusia, serta dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan.³

Metode ini tidak semata-mata bersifat instrumentalis, tetapi juga bersifat reflektif dan terbuka terhadap koreksi berdasarkan pengalaman lebih lanjut. John Dewey menegaskan bahwa dalam metode pragmatis, proses berpikir harus dilandasi oleh eksperimentasi aktif terhadap dunia, dan bukan sekadar kontemplasi terhadap ide-ide tetap.⁴ Dengan demikian, metode ini bersifat dinamis dan kontekstual, selalu membuka kemungkinan revisi terhadap proposisi atau nilai berdasarkan situasi dan data empiris baru.⁵

Ciri khas lain dari metode pragmatis adalah penolakannya terhadap dualisme tajam antara teori dan praktik, antara pikiran dan realitas. Dalam kerangka ini, tidak ada pemisahan mutlak antara dunia gagasan dan dunia tindakan, karena setiap ide merupakan sarana untuk mengarahkan tindakan yang berdampak pada pengalaman.⁶ Oleh karena itu, metode pragmatis bukan hanya sebuah strategi intelektual, tetapi juga suatu pendekatan epistemologis dan aksiologis yang menekankan pentingnya kebermanfaatan, keberlangsungan, dan fleksibilitas dalam berfilsafat.

Secara keseluruhan, metode pragmatis mendorong filsafat untuk berorientasi pada pemecahan masalah nyata, tanpa kehilangan kedalaman refleksi kritis. Ia menantang filsafat untuk tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga menyempurnakannya melalui tindakan yang berlandaskan pemikiran terbuka, kontekstual, dan adaptif terhadap perubahan sosial dan budaya.⁷


Footnotes

[1]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 4–6.

[2]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132.

[3]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 57–59.

[4]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 104–107.

[5]                Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford: Blackwell, 1995), 20–22.

[6]                Larry A. Hickman, John Dewey's Pragmatic Technology (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–46.

[7]                Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 5–8.


3.           Asal-Usul Historis Metode Pragmatis

Metode pragmatis tidak muncul dalam ruang hampa sejarah. Ia merupakan hasil dari pergulatan intelektual yang terjadi di Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19, ketika berbagai perubahan besar melanda dunia Barat: kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, pergeseran sosial akibat industrialisasi, serta lahirnya krisis epistemologis dalam filsafat pasca-pencerahan. Dalam konteks ini, metode pragmatis lahir sebagai reaksi terhadap kebuntuan metafisika klasik dan idealisme spekulatif, serta sebagai upaya untuk menjembatani jurang antara teori dan praktik dalam kehidupan manusia.¹

Akar pemikiran pragmatis dapat ditelusuri secara eksplisit pada diskusi intelektual di Cambridge, Massachusetts, yang kemudian dikenal sebagai “Metaphysical Club”. Klub ini, yang aktif sekitar tahun 1872, menjadi tempat bertemunya pemikir-pemikir muda yang kelak menjadi tokoh sentral pragmatisme, seperti Charles Sanders Peirce, William James, dan Oliver Wendell Holmes Jr.² Di dalam forum inilah, Peirce mulai merumuskan pragmatic maxim—sebuah prinsip dasar bahwa makna dari suatu gagasan terletak pada konsekuensi praktis yang dapat diperkirakan dari penerapannya.³

Charles Sanders Peirce (1839–1914), yang sering disebut sebagai bapak pendiri pragmatisme, menekankan bahwa filsafat harus bersandar pada metode ilmiah dan menolak spekulasi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Melalui tulisan terkenalnya, How to Make Our Ideas Clear (1878), Peirce menegaskan bahwa kejelasan suatu ide hanya dapat diperoleh jika ide tersebut dirujukkan kepada konsekuensi yang dapat diuji dalam pengalaman nyata.⁴ Meski kontribusinya bersifat konseptual dan ilmiah, pengaruh Peirce baru diakui luas pada abad ke-20.

Berbeda dengan Peirce, William James (1842–1910) memainkan peran penting dalam mempopulerkan metode pragmatis sebagai sebuah pendekatan filsafat yang luas. Dalam kuliah-kuliahnya yang kemudian diterbitkan dalam Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907), James menekankan bahwa ide atau doktrin harus diuji berdasarkan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan hidup dan memperkaya pengalaman manusia.⁵ Ia memperluas cakupan pragmatisme dari ranah epistemologi ke dalam wilayah agama, psikologi, dan moralitas, sehingga menjadikannya lebih inklusif dan aplikatif.

Kontribusi selanjutnya datang dari John Dewey (1859–1952), yang menyempurnakan metode pragmatis dalam konteks sosial, pendidikan, dan politik. Dalam pandangan Dewey, filsafat bukanlah pencarian kebenaran mutlak, melainkan alat reflektif untuk memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi masyarakat.⁶ Dewey mengembangkan pendekatan instrumentalisme, di mana ide-ide dilihat sebagai instrumen yang digunakan untuk menavigasi dan mentransformasikan lingkungan sosial. Ia juga menghubungkan metode pragmatis dengan demokrasi, menjadikannya fondasi bagi pendidikan progresif dan etika sosial.

Dengan demikian, asal-usul metode pragmatis tidak hanya terkait dengan perumusan prinsip-prinsip teoritis oleh para pendirinya, tetapi juga menyatu dengan semangat zaman: keinginan untuk menghadirkan filsafat yang relevan secara praktis, terbuka terhadap perubahan, dan mampu menjawab persoalan hidup nyata dalam masyarakat yang kompleks dan dinamis.⁷ Dari diskusi tertutup di Metaphysical Club hingga menjadi pendekatan filsafat yang mendunia, metode pragmatis telah menunjukkan daya hidupnya sebagai refleksi atas pertemuan antara teori dan praksis.


Footnotes

[1]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 11–14.

[2]                Louis Menand, The Metaphysical Club: A Story of Ideas in America (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2001), 29–36.

[3]                Cheryl Misak, Cambridge Pragmatism: From Peirce and James to Ramsey and Wittgenstein (Oxford: Oxford University Press, 2016), 23–24.

[4]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 124–141.

[5]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 28–34.

[6]                John Dewey, The Public and Its Problems (Athens, OH: Swallow Press, 1927), 66–70.

[7]                Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 13–17.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar dalam Metode Pragmatis

Metode pragmatis didasarkan pada seperangkat prinsip filosofis yang menekankan keterkaitan erat antara gagasan, tindakan, dan konsekuensi praktis. Tidak seperti pendekatan metafisis atau deduktif murni yang menekankan kepastian dan struktur logis internal suatu proposisi, metode pragmatis menguji nilai ide berdasarkan efek aktual dan fungsionalitasnya dalam kehidupan nyata. Prinsip-prinsip utama dalam metode ini mencerminkan orientasi yang dinamis, eksperimental, dan kontekstual terhadap pengetahuan dan kebenaran.

4.1.       Kebenaran sebagai Konsekuensi Praktis

Salah satu prinsip paling mendasar dari metode pragmatis adalah bahwa kebenaran bukan merupakan kesesuaian mutlak antara ide dan realitas objektif, melainkan merupakan hasil dari konsekuensi praktis yang memuaskan dan bermanfaat. Dalam pandangan William James, suatu ide “menjadi benar” apabila ia dapat bekerja, yakni menghasilkan manfaat yang nyata, memecahkan masalah, dan sesuai dengan kebutuhan pengalaman manusia.¹ Kebenaran, dalam konteks ini, bersifat prosesual dan transaksional, bukan entitas tetap yang terpisah dari kehidupan.

4.2.       Makna Gagasan Ditentukan oleh Implikasi Praktisnya

Mengacu pada pragmatic maxim yang dirumuskan oleh Charles S. Peirce, makna suatu gagasan harus dipahami melalui konsekuensi praktis yang dapat diperkirakan dari penerapannya.² Dengan kata lain, arti suatu konsep identik dengan efek praktis yang dapat ditimbulkannya dalam konteks nyata. Prinsip ini menolak pemaknaan yang bersifat abstrak, metafisis, atau tidak dapat diverifikasi, dan sebaliknya, menekankan pentingnya verifikasi melalui pengalaman dan tindakan.

4.3.       Ide sebagai Alat (Instrumentalisme)

John Dewey memperkenalkan pendekatan instrumentalis, yang menyatakan bahwa ide-ide bukanlah cermin realitas, melainkan alat untuk menghadapi dan memecahkan persoalan.³ Dalam metode pragmatis, konsep-konsep filosofis tidak dinilai berdasarkan koherensi internal semata, tetapi pada efektivitas praktisnya dalam membantu manusia menavigasi lingkungan sosial dan alamiah. Hal ini mendorong filsafat untuk menjadi reflektif, kritis, sekaligus berorientasi pada perubahan konstruktif.

4.4.       Pengetahuan Bersifat Tentatif dan Terbuka terhadap Revisi

Pragmatisme menolak absolutisme epistemologis. Ia menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif, terbuka terhadap koreksi, dan selalu berada dalam proses rekonstruksi berkelanjutan.⁴ Dalam pandangan pragmatis, tidak ada kebenaran yang bersifat final atau abadi; yang ada hanyalah hipotesis terbaik yang terbuka untuk diuji ulang melalui pengalaman baru.⁵ Prinsip ini menggarisbawahi aspek fallibilisme dalam metode pragmatis, yakni kesadaran akan keterbatasan manusia dalam mencapai kepastian mutlak.

4.5.       Integrasi antara Teori dan Praktik

Metode pragmatis juga menolak dikotomi kaku antara teori dan praktik. Dalam kerangka ini, setiap teori harus dapat ditransformasikan menjadi praktik, dan sebaliknya, praktik harus menjadi dasar pembentukan teori.⁶ Dengan menghubungkan pemikiran dengan tindakan, metode ini menawarkan pendekatan holistik yang mampu menjawab tantangan-tantangan filosofis dan sosial secara konkrit. Oleh karena itu, filsafat pragmatis lebih berorientasi pada problem-solving daripada sekadar spekulasi.

4.6.       Konteks sebagai Penentu Makna dan Validitas

Dalam metode pragmatis, konteks historis, sosial, dan kultural sangat menentukan makna dan validitas suatu ide.⁷ Tidak ada kebenaran yang berdiri di atas segala konteks; semua ide harus dinilai berdasarkan relevansinya terhadap situasi nyata. Prinsip ini menjadikan metode pragmatis sangat adaptif terhadap kompleksitas zaman modern, dan memungkinkan penerapan filsafat yang responsif terhadap dinamika sosial-politik yang berubah-ubah.

Secara keseluruhan, prinsip-prinsip dasar metode pragmatis menawarkan alternatif metodologis yang menolak kemapanan doktrinal, memihak pada keterbukaan reflektif, dan mengedepankan fungsi praktis dari pengetahuan. Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian, kompleksitas, dan perubahan cepat, metode ini menjadi relevan sebagai panduan untuk berpikir yang tidak hanya masuk akal, tetapi juga berguna dan transformatif.


Footnotes

[1]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–100.

[2]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132.

[3]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 9–10.

[4]                Hilary Putnam, Pragmatism: An Open Question (Oxford: Blackwell, 1995), 16–18.

[5]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 12–14.

[6]                Richard J. Bernstein, Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1983), 86–88.

[7]                Cornel West, The American Evasion of Philosophy: A Genealogy of Pragmatism (Madison: University of Wisconsin Press, 1989), 113–116.


5.           Tokoh-Tokoh Kunci dan Kontribusi Pemikirannya

Perkembangan metode pragmatis dalam filsafat sangat dipengaruhi oleh kontribusi sejumlah pemikir besar yang secara kolektif membentuk fondasi intelektual dan arah metodologis aliran ini. Di antara mereka, tiga tokoh menonjol dalam pembentukan, pengembangan, dan penerapan metode ini, yakni Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Masing-masing tokoh tidak hanya memperluas cakupan pragmatisme, tetapi juga memberikan nuansa yang berbeda terhadap pemahaman metode pragmatis sebagai pendekatan filsafat.

5.1.       Charles Sanders Peirce: Perumus Pragmatic Maxim

Sebagai pendiri pertama aliran pragmatisme, Charles S. Peirce (1839–1914) dikenal karena merumuskan pragmatic maxim, yakni prinsip bahwa makna suatu konsep terletak pada konsekuensi praktis yang dapat dibayangkan dari penerapannya. Dalam esainya yang terkenal, How to Make Our Ideas Clear (1878), Peirce menyatakan bahwa untuk mengklarifikasi makna suatu gagasan, kita harus menelusuri implikasi praktisnya dalam konteks pengalaman nyata.¹ Pendekatannya memiliki nuansa ilmiah yang kuat, karena ia menekankan bahwa pengetahuan harus diuji secara empirik dan bersifat terbuka terhadap koreksi.

Peirce juga membedakan pragmatisme dari semata-mata utilitarianisme, dengan menekankan bahwa yang diuji bukan hanya manfaat praktis langsung, tetapi efek jangka panjang terhadap pengalaman dan tindakan rasional.² Ia juga memberi perhatian besar pada logika, semiotika, dan teori penalaran, menjadikan metode pragmatis sebagai bagian dari penyelidikan ilmiah yang sistematis dan metodologis.

5.2.       William James: Popularis dan Filsuf Psikologis-Pragmatis

William James (1842–1910), seorang psikolog dan filsuf Harvard, berperan penting dalam memperkenalkan dan mempopulerkan pragmatisme kepada khalayak yang lebih luas. Melalui kuliah-kuliahnya yang diterbitkan dalam Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907), James memperluas prinsip Peirce dengan menekankan bahwa kebenaran suatu ide tergantung pada kemampuannya untuk "bekerja" secara praktis dalam kehidupan manusia

James memperlakukan kebenaran sebagai sesuatu yang dibentuk melalui pengalaman, bukan semata-mata ditemukan secara objektif.⁴ Ia memperkenalkan unsur subjektif dan eksistensial ke dalam metode pragmatis, terutama dalam ranah moralitas dan agama. Bagi James, keyakinan religius dapat dianggap benar sejauh ia memberikan makna dan arah yang positif dalam kehidupan penganutnya.⁵ Pandangan ini memicu kontroversi, tetapi juga memperkaya fleksibilitas metode pragmatis dalam menjangkau pengalaman manusia yang kompleks.

5.3.       John Dewey: Pragmatisme Sosial dan Instrumentalisme

John Dewey (1859–1952) merupakan tokoh yang mengembangkan pragmatisme menjadi suatu filsafat sosial yang progresif dan aplikatif, terutama di bidang pendidikan, demokrasi, dan reformasi sosial. Berbeda dari Peirce yang bersifat lebih teoretis dan James yang lebih psikologis, Dewey mengintegrasikan metode pragmatis ke dalam konsep instrumentalisme, yaitu pandangan bahwa ide-ide adalah instrumen untuk memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan sosial.⁶

Dewey menolak dikotomi antara teori dan praktik, dan menekankan bahwa proses berpikir adalah kelanjutan dari proses adaptasi organis terhadap lingkungan.⁷ Dalam Democracy and Education (1916), ia menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk warga negara yang reflektif dan partisipatif dalam kehidupan demokratis.⁸ Dengan demikian, kontribusi Dewey tidak hanya memperkaya metode pragmatis secara filosofis, tetapi juga menunjukkan potensi transformasionalnya dalam praktik sosial.

5.4.       Tokoh-Tokoh Lanjutan: Neopragmatisme Kontemporer

Setelah era klasik pragmatisme, sejumlah pemikir kontemporer seperti Richard Rorty, Hilary Putnam, dan Cornel West menghidupkan kembali dan merevisi prinsip-prinsip pragmatis dalam konteks filsafat analitik dan sosial. Rorty, misalnya, menolak klaim kebenaran absolut dan mengusulkan solidaritas menggantikan obyektivitas sebagai kerangka etis pragmatisme.⁹ Putnam, di sisi lain, mengembangkan internal realism sebagai bentuk sintesis antara empirisme dan pragmatisme moral.¹⁰ Para tokoh ini menunjukkan bahwa metode pragmatis tetap hidup dan relevan dalam berbagai medan pemikiran modern.


Footnotes

[1]                Charles S. Peirce, “How to Make Our Ideas Clear,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 132.

[2]                Cheryl Misak, Truth and the End of Inquiry: A Peircean Account of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1991), 84–85.

[3]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 45–47.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 12–13.

[5]                William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green, and Co., 1897), 1–31.

[6]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 14–17.

[7]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 9.

[8]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 63–64.

[9]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 44–50.

[10]             Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 49–51.


6.           Penerapan Metode Pragmatis dalam Bidang Filsafat

Metode pragmatis bukan sekadar pendekatan epistemologis, tetapi juga merupakan kerangka kerja filosofis yang aplikatif dan fleksibel untuk menganalisis berbagai cabang filsafat. Berbeda dengan pendekatan spekulatif atau sistematis yang cenderung abstrak, metode ini menekankan relevansi praktis, pengalaman konkret, dan konteks sosial dalam memahami serta menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat. Di bawah ini dipaparkan beberapa penerapan penting metode pragmatis dalam bidang filsafat, yang menunjukkan luasnya cakupan dan efektivitas metodologis pendekatan ini.

6.1.       Dalam Filsafat Ilmu: Pengetahuan sebagai Alat

Dalam filsafat ilmu, metode pragmatis menolak pandangan representasionalis tentang teori ilmiah sebagai “cermin realitas.” Sebaliknya, pragmatisme menganggap teori sebagai alat konseptual untuk menavigasi dan memecahkan masalah-masalah ilmiah.¹ John Dewey menyebut bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan melalui akumulasi dogma, tetapi melalui proses eksperimentasi dan revisi terus-menerus yang terarah pada kegunaan praktis dan keberhasilan dalam tindakan.² Oleh karena itu, kebenaran ilmiah dalam kerangka pragmatis bersifat tentatif dan korektif, tidak bersandar pada prinsip absolut, tetapi pada efektivitas dalam konteks tertentu.

Konsep ini mempengaruhi pendekatan naturalized epistemology yang dikembangkan oleh W.V.O. Quine, serta pendekatan fallibilism dalam filsafat sains kontemporer.³ Hal ini menunjukkan bahwa metode pragmatis dapat menjembatani ketegangan antara objektivitas dan relativitas dalam filsafat ilmu.

6.2.       Dalam Filsafat Moral: Etika Konsekuensialis Kontekstual

Metode pragmatis juga memberi kontribusi signifikan dalam filsafat moral, terutama dalam merumuskan etika yang tidak bersifat apriori, tetapi berkembang dari kondisi sosial dan pengalaman historis.⁴ John Dewey memandang etika sebagai proses sosial yang dinamis dan rekonstruktif, bukan sistem aturan mutlak. Ia menolak etika deontologis dan utilitarianisme klasik dalam bentuknya yang rigid, dengan menawarkan etika pragmatis yang berbasis pada pemecahan masalah moral konkret dalam konteks interaksi manusia.⁵

Dalam kerangka ini, nilai-nilai moral diuji melalui konsekuensi sosial dan keberhasilan kolektif, bukan hanya melalui kewajiban atau hasil maksimal. Pandangan ini memberikan landasan normatif yang lebih fleksibel dan demokratis dalam menghadapi pluralitas nilai dan konflik moral kontemporer.

6.3.       Dalam Filsafat Politik: Demokrasi sebagai Metode

Dalam bidang filsafat politik, pragmatisme mengusulkan pemahaman demokrasi bukan sebagai bentuk institusi statis, melainkan sebagai cara hidup dan metode sosial.⁶ John Dewey, dalam The Public and Its Problems, menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu proses eksperimentatif yang melibatkan partisipasi publik, diskusi terbuka, dan rekonstruksi terus-menerus terhadap kebijakan dan institusi sosial.⁷

Metode pragmatis mendorong pendekatan deliberatif terhadap politik, di mana kebijakan publik dikembangkan melalui proses dialogis dan reflektif, bukan berdasarkan ideologi tertutup.⁸ Dengan demikian, pragmatisme memberikan alternatif bagi liberalisme rasionalistik maupun ideologi otoriter, dengan mengutamakan fleksibilitas, partisipasi aktif, dan tanggung jawab sosial.

6.4.       Dalam Filsafat Pendidikan: Pembelajaran sebagai Proses Eksperiensial

Penerapan metode pragmatis dalam filsafat pendidikan adalah salah satu kontribusi paling nyata dan berpengaruh. John Dewey menempatkan pengalaman sebagai dasar utama pendidikan.⁹ Dalam Democracy and Education, ia menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi proses rekonstruksi pengalaman yang berkesinambungan, di mana peserta didik bukan hanya menerima pengetahuan, tetapi secara aktif membentuk dan menguji makna melalui keterlibatan langsung dalam dunia.¹⁰

Pendekatan ini melahirkan metode pendidikan progresif, yang menekankan pembelajaran berbasis proyek, pemecahan masalah, dan kerja sama sosial. Ini membedakan metode pragmatis dari pendekatan skolastik tradisional yang berfokus pada hafalan dan otoritas guru, serta mendorong sistem pendidikan yang demokratis, adaptif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individu.

6.5.       Dalam Metafilsafat: Kritik terhadap Absolutisme dan Dualisme

Secara metafilosofis, metode pragmatis merevisi cara kita memandang filsafat itu sendiri. Ia menolak dikotomi klasik antara fakta dan nilai, teori dan praktik, serta subjektivitas dan objektivitas.¹¹ Richard Rorty, sebagai neopragmatis, berargumen bahwa filsafat tidak perlu mencari fondasi epistemologis yang pasti, tetapi seharusnya berfungsi sebagai alat untuk memperluas solidaritas dan memperkaya wacana publik.¹²

Metode pragmatis menawarkan paradigma filsafat sebagai aktivitas reflektif yang berakar pada pengalaman dan diarahkan pada perubahan sosial, bukan sebagai pencarian kebenaran abadi yang abstrak. Dengan demikian, pragmatisme membuka kemungkinan filsafat untuk lebih inklusif, pluralis, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press, 1984), 64–67.

[2]                John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Henry Holt and Company, 1938), 74–76.

[3]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” dalam Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[4]                Elizabeth Anderson, Value in Ethics and Economics (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 15–18.

[5]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt and Company, 1922), 10–12.

[6]                Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 300–302.

[7]                John Dewey, The Public and Its Problems (Athens, OH: Swallow Press, 1927), 146–150.

[8]                James T. Kloppenberg, Toward Democracy: The Struggle for Self-Rule in European and American Thought (Oxford: Oxford University Press, 2016), 888–890.

[9]                Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2012), 52–55.

[10]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 35–38.

[11]             Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 3–5.

[12]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 43–46.


7.           Perbandingan dengan Metode Filsafat Lain

Metode pragmatis tidak hadir dalam ruang kosong, tetapi berkembang berdampingan dan sering kali berhadapan secara kritis dengan berbagai pendekatan filosofis lain. Untuk memahami keunikan dan kontribusinya, penting untuk membandingkan metode pragmatis dengan metode-metode utama lain dalam tradisi filsafat Barat, khususnya metode rasionalistik, metode fenomenologis, dan metode analitik. Perbandingan ini tidak bertujuan untuk menegasikan metode lain, tetapi untuk menempatkan pragmatisme dalam lanskap metodologis yang lebih luas.

7.1.       Dibandingkan dengan Metode Rasionalistik

Metode rasionalistik, yang berakar pada pemikiran filsuf-filsuf seperti René Descartes dan Baruch Spinoza, menekankan deduksi logis dari prinsip-prinsip pertama yang bersifat apriori dan absolut. Descartes, misalnya, memulai filsafat dengan keraguan metodologis dan berusaha menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan melalui penalaran murni.¹ Dalam kerangka ini, kebenaran bersumber dari rasio yang otonom, bukan dari pengalaman atau praktik.

Sebaliknya, metode pragmatis menolak kepastian epistemologis yang tidak berpijak pada dunia nyata. Charles Peirce mengkritik pendekatan rasionalistik karena cenderung menghasilkan sistem metafisis tertutup yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.² Bagi pragmatisme, pengetahuan bukan hasil deduksi dari ide-ide mutlak, tetapi merupakan hasil dari proses investigatif yang terbuka dan berbasis pengalaman.³ Dengan demikian, sementara rasionalisme mencari fondasi tetap bagi pengetahuan, pragmatisme menekankan provisionalitas dan korektibilitas.

7.2.       Dibandingkan dengan Metode Fenomenologis

Metode fenomenologis yang dipelopori oleh Edmund Husserl berfokus pada deskripsi struktural dari kesadaran dan pengalaman subjektif. Ia menekankan metode epoché (reduksi fenomenologis), yakni penyisihan semua asumsi tentang dunia eksternal untuk mengungkap esensi pengalaman murni.⁴

Metode pragmatis menganggap bahwa pemisahan radikal antara subjek dan dunia adalah artifisial. John Dewey, misalnya, mengkritik fenomenologi karena mengabstraksikan pengalaman dari konteks sosial dan aksi nyata.⁵ Dalam pragmatisme, pengalaman selalu dipahami dalam hubungan interaktif antara organisme dan lingkungan. Tidak ada "kesadaran murni" yang terlepas dari tindakan, tujuan, dan konsekuensi praktis. Oleh karena itu, pragmatisme lebih menekankan fungsi dari pengalaman, bukan esensinya.

7.3.       Dibandingkan dengan Metode Analitik

Metode filsafat analitik, yang berkembang terutama di dunia Anglo-Saxon, menekankan analisis bahasa, logika formal, dan klarifikasi konseptual. Tokoh-tokohnya seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein awal menggunakan metode ini untuk mengurai persoalan filsafat menjadi pernyataan yang lebih sederhana dan logis.⁶

Meskipun pragmatisme dan filsafat analitik sama-sama menolak spekulasi metafisis, pendekatan mereka berbeda. Filsafat analitik cenderung fokus pada struktur proposisional dan makna linguistik, sedangkan pragmatisme lebih memperhatikan fungsi sosial dan efek praktis dari penggunaan bahasa.⁷ Richard Rorty, seorang neopragmatis, bahkan mengkritik filsafat analitik karena terjebak dalam obsesi terhadap "representasi akurat" dan mengabaikan potensi transformasional filsafat dalam kehidupan manusia.⁸

7.4.       Posisi Metode Pragmatis: Refleksif, Adaptif, dan Transformatif

Keunggulan utama metode pragmatis terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan teori dengan praktik, serta fleksibilitasnya dalam merespons perubahan sosial dan historis. Dibandingkan metode rasionalistik yang cenderung dogmatis, metode fenomenologis yang terlalu subjektif, atau metode analitik yang teknis dan sempit, pragmatisme menawarkan pendekatan yang refleksif, kontekstual, dan solutif.

Namun, pragmatisme bukan tanpa kritik. Para filsuf tradisional menganggap bahwa pendekatan ini terlalu menekankan konsekuensi, sehingga berpotensi mengaburkan dimensi normatif dan ontologis dari filsafat.⁹ Meski demikian, keunggulan metode pragmatis dalam membangun filsafat yang responsif dan aplikatif tetap menjadikannya alternatif metodologis yang penting dalam lanskap pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–22.

[2]                Charles S. Peirce, “The Fixation of Belief,” dalam The Essential Peirce: Selected Philosophical Writings, Volume 1 (1867–1893), ed. Nathan Houser dan Christian Kloesel (Bloomington: Indiana University Press, 1992), 109–123.

[3]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 14–15.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1983), 60–62.

[5]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 8–11.

[6]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 7–9.

[7]                Hilary Putnam, Words and Life, ed. James Conant (Cambridge: Harvard University Press, 1994), 301–304.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 6–9.

[9]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 83–85.


8.           Kritik terhadap Metode Pragmatis

Meskipun metode pragmatis telah memberikan kontribusi besar dalam mereformulasi pemahaman tentang kebenaran, makna, dan praktik filsafat, pendekatan ini juga tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai spektrum pemikiran. Kritik terhadap metode pragmatis umumnya berfokus pada implikasi epistemologis, relativisme kebenaran, kekaburan normatif, dan potensi reduksionisme praktis dalam menjelaskan realitas filosofis. Beberapa kritik bersifat internal, berasal dari sesama pragmatis, sementara lainnya datang dari aliran filsafat luar seperti realisme, eksistensialisme, maupun rasionalisme klasik.

8.1.       Tuduhan Relativisme dan Subjektivisme

Salah satu kritik paling menonjol terhadap metode pragmatis adalah bahwa pendekatan ini cenderung mengarah pada relativisme, karena menggantungkan kebenaran pada konsekuensi praktis yang bisa berbeda antara satu konteks dengan konteks lain.¹ William James, misalnya, dikritik karena mendefinisikan kebenaran sebagai "apa yang berguna untuk dipercayai", yang oleh lawan-lawannya dianggap membuka jalan bagi kebenaran yang bersifat subjektif dan tidak universal

Bertrand Russell secara khusus menanggapi pandangan James dengan menyatakan bahwa pragmatisme "membingungkan antara sebab psikologis dari kepercayaan dan alasan logis untuk kepercayaan itu", sehingga mengaburkan perbedaan antara keyakinan dan justifikasi epistemologis.³ Dalam kerangka ini, kebenaran tidak lagi berdiri sendiri sebagai objek pencarian rasional, tetapi tergantung pada preferensi, manfaat, atau hasil tertentu—yang semuanya bersifat berubah-ubah.

8.2.       Reduksi Kebenaran menjadi Alat Utilitarian

Kritik selanjutnya datang dari pemikir-pemikir realis dan analitik, yang menilai bahwa metode pragmatis mereduksi kebenaran menjadi semata-mata alat untuk tujuan praktis, mengabaikan aspek korespondensi antara pernyataan dan realitas objektif.⁴ Pandangan ini dianggap melemahkan tujuan klasik filsafat, yaitu pencarian hakikat realitas dan kebenaran sejati, dengan menggantinya menjadi sekadar alat problem solving.

Karl Popper, meskipun bersimpati pada aspek antifoundational pragmatisme, menolak gagasan bahwa keberhasilan praktis dapat dijadikan standar kebenaran ilmiah. Baginya, teori yang berguna bisa saja keliru, dan teori yang benar kadang belum tentu langsung aplikatif.⁵ Dengan demikian, pragmatisme dianggap mengabaikan nilai intrinsik dari teori dan proposisi yang mungkin tidak segera “bermanfaat”, namun tetap memiliki nilai kognitif tinggi.

8.3.       Ketidakjelasan Normatif dalam Etika dan Politik

Metode pragmatis juga dikritik karena tidak memberikan dasar normatif yang kuat dalam ranah etika dan politik.⁶ Karena pragmatisme lebih menekankan proses, negosiasi, dan hasil, maka tidak ada standar tetap untuk membedakan antara kebijakan yang benar secara moral dan yang hanya efektif secara sosial. Dalam pandangan kritikus seperti Alasdair MacIntyre, pragmatisme gagal menyediakan kerangka moral yang kokoh karena menolak fundasi etika berbasis tradisi atau teleologi yang konsisten.⁷

Dengan bergantung pada konsensus sosial atau keberhasilan praktis, metode pragmatis berisiko menjustifikasi status quo, atau bahkan legitimasi kebijakan yang tidak adil apabila kebijakan tersebut terbukti “berhasil” dalam arti teknokratik. Hal ini mengundang pertanyaan serius tentang dimensi evaluatif dan normatif dari pendekatan pragmatis.

8.4.       Kurangnya Ketegasan Ontologis dan Metafisis

Pragmatisme juga dinilai oleh sebagian kalangan sebagai mengabaikan persoalan metafisis, dengan terlalu memfokuskan perhatian pada konsekuensi dan tindakan.⁸ Tokoh-tokoh eksistensialis seperti Martin Heidegger dan Gabriel Marcel menilai bahwa pendekatan pragmatis terlalu dangkal dalam memahami ada dan makna eksistensial, karena hanya menilai validitas ide berdasarkan keberhasilannya dalam menyelesaikan masalah.

Selain itu, pendekatan pragmatis dinilai terlalu adaptif terhadap perubahan, sehingga tidak memiliki komitmen filosofis yang kuat terhadap konsep-konsep ontologis mendalam seperti hakikat manusia, kebaikan, atau tujuan akhir kehidupan. Akibatnya, ia dinilai lebih cocok sebagai filsafat praktis daripada sebagai sistem filsafat yang komprehensif.

8.5.       Respons Para Pragmatis Terhadap Kritik

Sebagai respons terhadap berbagai kritik ini, para filsuf pragmatis modern seperti Hilary Putnam, Susan Haack, dan Richard Rorty berusaha mengembangkan bentuk pragmatisme yang lebih reflektif dan dialogis. Putnam, misalnya, mengusulkan model pragmatic realism untuk menyeimbangkan antara kebergunaan praktis dan pencarian kebenaran yang rasional.⁹ Haack mengembangkan teori foundherentism yang mencoba menggabungkan koherensi dan fondasi sebagai pendekatan epistemologis yang tidak jatuh ke dalam relativisme.¹⁰

Mereka sepakat bahwa metode pragmatis bukanlah justifikasi untuk mengabaikan kebenaran atau etika, tetapi merupakan pendekatan dinamis yang terus terbuka terhadap evaluasi ulang, koreksi, dan kontekstualisasi nilai.


Footnotes

[1]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 112–114.

[2]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 97–98.

[3]                Bertrand Russell, The Philosophy of William James, dalam The Collected Papers of Bertrand Russell, Vol. 6 (London: Routledge, 1992), 58–60.

[4]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 123–126.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 273–274.

[6]                Robert Talisse, Pragmatism, Democracy, and the Necessity of Fallibilism (New York: Routledge, 2007), 45–47.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 61–65.

[8]                Gabriel Marcel, Being and Having (London: Collins, 1965), 93–95.

[9]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 45–48.

[10]             Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 163–167.


9.           Relevansi dan Kontribusi Kontemporer

Di tengah kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh pluralisme nilai, krisis epistemologis, dan tantangan global yang bersifat multidimensi, metode pragmatis tetap menunjukkan relevansi dan vitalitasnya dalam berbagai bidang filsafat dan praktik sosial. Kebangkitan kembali minat terhadap pragmatisme dalam dekade-dekade terakhir menandai bahwa filsafat ini bukan hanya bagian dari warisan historis Amerika Serikat, tetapi juga pendekatan kritis yang hidup dan adaptif terhadap perubahan zaman.

9.1.       Merespons Era Post-Truth dan Disinformasi

Salah satu tantangan terbesar abad ke-21 adalah fenomena post-truth, yakni kondisi di mana opini pribadi, keyakinan emosional, dan narasi politik sering kali lebih berpengaruh daripada fakta objektif.¹ Dalam konteks ini, metode pragmatis menawarkan alternatif epistemologis yang tidak menuntut absolutisme, namun tetap mempertahankan komitmen terhadap verifikasi, dialog, dan konsekuensi sosial dari klaim kebenaran.

Tokoh seperti Susan Haack menekankan pentingnya inquiry yang berakar pada pengalaman empiris dan struktur argumentatif yang sehat, sebagai jalan tengah antara skeptisisme radikal dan dogmatisme ilmiah.² Dengan demikian, pragmatisme menyediakan kerangka untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap praktik pengetahuan yang bertanggung jawab, relevan, dan reflektif.

9.2.       Kontribusi terhadap Etika Terapan dan Isu Sosial

Dalam bidang etika terapan—seperti bioetika, keadilan sosial, dan kebijakan publik—pragmatisme menunjukkan nilai strategis yang tinggi. Dengan menolak fondasi etika yang kaku, pragmatisme memungkinkan terjadinya evaluasi moral berdasarkan kasus, konteks sosial, dan hasil yang diharapkan.³ Ini penting dalam dunia di mana konflik nilai tidak dapat diselesaikan hanya melalui prinsip-prinsip universal, tetapi membutuhkan pendekatan deliberatif dan kolaboratif.

Filsuf seperti Elizabeth Anderson menerapkan kerangka pragmatis dalam isu keadilan gender dan ekonomi, dengan menekankan bahwa kriteria moral harus dievaluasi berdasarkan dampaknya terhadap partisipasi dan martabat manusia dalam kehidupan sosial.⁴ Dalam hal ini, pragmatisme tidak bersikap relativis, melainkan kontekstual dan empatik terhadap dinamika sosial yang kompleks.

9.3.       Pembaruan Filsafat Politik dan Demokrasi

Metode pragmatis juga berperan penting dalam perdebatan kontemporer tentang demokrasi deliberatif, pluralisme, dan kebijakan publik.⁵ Richard Rorty, misalnya, mengusulkan agar filsafat tidak lagi mengejar representasi objektif realitas, melainkan berfungsi sebagai alat redescription untuk membuka ruang solidaritas dan emansipasi.⁶ Demokrasi, dalam kerangka ini, bukan hanya sistem politik, tetapi proses kolektif untuk menguji dan merevisi nilai-nilai dalam cahaya pengalaman baru.

Konsep ini sangat relevan dalam era globalisasi dan migrasi budaya, di mana interaksi antar budaya dan sistem nilai menuntut cara berpikir yang inklusif dan dialogis.⁷ Metode pragmatis menyediakan alat konseptual untuk mengelola perbedaan tanpa terjerumus pada fundamentalisme atau nihilisme normatif.

9.4.       Integrasi dengan Tradisi Filsafat Kontemporer Lain

Metode pragmatis juga berhasil menjalin dialog yang produktif dengan aliran-aliran filsafat kontemporer lainnya. Dalam filsafat analitik, tokoh seperti Hilary Putnam memperkenalkan internal realism, yang menggabungkan komitmen terhadap realitas dengan kesadaran akan konstruksi kognitif dan historis dalam memahami dunia.⁸ Sementara dalam hermeneutika dan post-strukturalisme, pragmatisme dihargai karena penolakannya terhadap esensialisme dan keterbukaannya terhadap perbedaan makna.

Bahkan dalam diskursus filsafat agama dan metafisika, pendekatan pragmatis mulai memperoleh tempat sebagai bentuk spiritualitas reflektif yang bersifat terbuka, eksperimental, dan berbasis pengalaman, seperti yang dikembangkan dalam karya-karya Jeffrey Stout dan Nancy Frankenberry.⁹ Ini menunjukkan bahwa metode pragmatis mampu berkembang secara lintas disiplin dan lintas tradisi filsafat.

9.5.       Pemikiran Pragmatis dan Pendidikan Kritis

Dalam pendidikan, pragmatisme tetap menjadi dasar bagi pendekatan-pendekatan konstruktivistik dan progresif, terutama dalam teori pedagogi kritis dan pembelajaran berbasis masalah.⁽¹⁰⁾ Warisan pemikiran John Dewey tetap hidup dalam program-program reformasi pendidikan global yang menekankan pentingnya partisipasi aktif, dialog reflektif, dan kemampuan berpikir adaptif dalam menghadapi tantangan abad ke-21.


Kesimpulan Sementara

Kontribusi dan relevansi metode pragmatis dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menawarkan pendekatan filsafat yang kontekstual, terbuka terhadap perubahan, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata. Dalam era yang ditandai oleh krisis epistemologis, moral, dan politik, pragmatisme tampil sebagai alternatif metodologis yang mampu merespons secara reflektif dan transformatif.


Footnotes

[1]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–6.

[2]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 12–14.

[3]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 38–41.

[4]                Elizabeth Anderson, Value in Ethics and Economics (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 35–39.

[5]                James Bohman, Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 9–10.

[6]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 45–47.

[7]                Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 28–29.

[8]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 123–125.

[9]                Jeffrey Stout, Democracy and Tradition (Princeton: Princeton University Press, 2004), 54–57.

[10]             Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder: Westview Press, 2012), 75–77.


10.       Penutup

Metode pragmatis dalam filsafat, sebagaimana telah ditelaah dalam pembahasan sebelumnya, bukan sekadar pendekatan teknis dalam mencari makna dan kebenaran, melainkan merupakan suatu paradigma berpikir yang menempatkan pengalaman, konsekuensi praktis, dan konteks sosial sebagai inti dari proses filsafat. Berakar dari pemikiran Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, metode ini telah berkembang menjadi pendekatan multidisipliner yang melintasi batas antara teori dan praktik, antara filsafat dan kehidupan sehari-hari.

Salah satu kekuatan utama metode pragmatis terletak pada fleksibilitas dan keterbukaannya terhadap koreksi, sehingga sangat relevan dalam dunia kontemporer yang dinamis dan kompleks. Dalam menghadapi tantangan seperti pluralisme nilai, disinformasi, krisis demokrasi, dan perubahan sosial yang cepat, pragmatisme menawarkan pendekatan yang reflektif, problem-solving, dan berorientasi pada hasil nyata yang dapat diuji dalam konteks sosial

Lebih dari itu, metode pragmatis telah memperluas cakupan filsafat dari ruang spekulasi ke ranah kehidupan praktis: dari laboratorium filsafat ke ruang kelas, forum publik, kebijakan sosial, hingga etika terapan. Sebagaimana ditekankan oleh Richard J. Bernstein, pragmatisme menghindari oposisi palsu antara teori dan praktik, antara obyektivitas dan relativisme, dengan menempatkan pengetahuan dalam relasi dinamis antara individu dan komunitas dalam waktu yang historis dan terbuka

Meski demikian, kritik terhadap pragmatisme tidak dapat diabaikan. Tuduhan reduksionisme, relativisme, dan kekaburan normatif menunjukkan bahwa pendekatan ini menuntut kehati-hatian dan keseimbangan metodologis dalam penerapannya. Namun, seperti ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Hilary Putnam dan Susan Haack, respons pragmatis terhadap kritik ini justru memperkuat posisinya sebagai filsafat yang mampu berdialog, merefleksi diri, dan terus berevolusi dalam menghadapi tantangan baru.³

Dengan demikian, pragmatisme bukanlah filsafat yang menawarkan kepastian akhir, tetapi sebuah komitmen epistemologis untuk tetap berpikir, berbuat, dan berubah secara bertanggung jawab berdasarkan pengalaman dan refleksi.⁴ Dalam dunia yang terus bergerak, pragmatisme mengajak kita untuk terus menguji gagasan, mempertimbangkan dampaknya, dan merekonstruksi makna secara kolektif dan partisipatif.

Sebagaimana ditegaskan oleh John Dewey, filsafat bukanlah latihan spekulatif yang terpisah dari kehidupan, melainkan "the method of moral and social inquiry."⁵ Dalam semangat ini, metode pragmatis tidak hanya menghidupkan kembali peran filsafat dalam kehidupan publik, tetapi juga menempatkannya sebagai alat transformasi sosial yang berakar pada rasionalitas, pengalaman, dan harapan.


Footnotes

[1]                Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 124–127.

[2]                Richard J. Bernstein, The Pragmatic Turn (Cambridge: Polity Press, 2010), 189–192.

[3]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 45–49.

[4]                William James, The Meaning of Truth: A Sequel to "Pragmatism" (New York: Longmans, Green, and Co., 1909), viii–ix.

[5]                John Dewey, The Quest for Certainty: A Study of the Relation of Knowledge and Action (New York: Minton, Balch & Company, 1929), 77.


Daftar Pustaka

Anderson, E. (1993). Value in ethics and economics. Harvard University Press.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Bernstein, R. J. (1983). Beyond objectivism and relativism: Science, hermeneutics, and praxis. University of Pennsylvania Press.

Bernstein, R. J. (2010). The pragmatic turn. Polity Press.

Bohman, J. (1996). Public deliberation: Pluralism, complexity, and democracy. MIT Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1641)

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1922). Human nature and conduct. Henry Holt and Company.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Open Court.

Dewey, J. (1927). The public and its problems. Swallow Press.

Dewey, J. (1929). The quest for certainty: A study of the relation of knowledge and action. Minton, Balch & Company.

Dewey, J. (1938). Logic: The theory of inquiry. Henry Holt and Company.

Haack, S. (1993). Evidence and inquiry: Towards reconstruction in epistemology. Blackwell.

Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Kluwer Academic Publishers. (Original work published 1913)

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.

James, W. (1897). The will to believe and other essays in popular philosophy. Longmans, Green, and Co.

James, W. (1909). The meaning of truth: A sequel to "Pragmatism". Longmans, Green, and Co.

Kloppenberg, J. T. (2016). Toward democracy: The struggle for self-rule in European and American thought. Oxford University Press.

Laudan, L. (1984). Science and values: The aims of science and their role in scientific debate. University of California Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1965). Being and having (K. Farrer, Trans.). Collins.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Menand, L. (2001). The metaphysical club: A story of ideas in America. Farrar, Straus and Giroux.

Misak, C. (1991). Truth and the end of inquiry: A Peircean account of truth. Clarendon Press.

Misak, C. (2016). Cambridge pragmatism: From Peirce and James to Ramsey and Wittgenstein. Oxford University Press.

Noddings, N. (2012). Philosophy of education (2nd ed.). Westview Press.

Peirce, C. S. (1992). How to make our ideas clear. In N. Houser & C. Kloesel (Eds.), The essential Peirce: Selected philosophical writings, Volume 1 (1867–1893) (pp. 124–141). Indiana University Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Putnam, H. (1995). Pragmatism: An open question. Blackwell.

Putnam, H. (2002). The collapse of the fact/value dichotomy and other essays. Harvard University Press.

Putnam, H. (1994). Words and life (J. Conant, Ed.). Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Williams and Norgate.

Russell, B. (1992). The philosophy of William James. In The collected papers of Bertrand Russell, Vol. 6. Routledge.

Stout, J. (2004). Democracy and tradition. Princeton University Press.

Talisse, R. B. (2007). Pragmatism, democracy, and the necessity of fallibilism. Routledge.

West, C. (1989). The American evasion of philosophy: A genealogy of pragmatism. University of Wisconsin Press.

Westbrook, R. B. (1991). John Dewey and American democracy. Cornell University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar