Minggu, 01 Juni 2025

Lingkaran Hermeneutik: Antara Tradisi, Pra-pemahaman, dan Dialog Interpretatif

Lingkaran Hermeneutik

Antara Tradisi, Pra-pemahaman, dan Dialog Interpretatif


Alihkan ke: Pemikiran Hans-Georg Gadamer.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep lingkaran hermeneutik sebagaimana dikembangkan dalam kerangka hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer. Berbeda dari hermeneutika metodologis sebelumnya, Gadamer memandang pemahaman bukan sebagai aktivitas epistemologis yang netral, melainkan sebagai peristiwa ontologis yang bersifat historis, linguistik, dan dialogis. Lingkaran hermeneutik dipahami sebagai struktur dinamis yang menggerakkan hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan dalam interpretasi, yang tidak terlepas dari pengaruh pra-pemahaman, tradisi, dan efek sejarah. Artikel ini menjelaskan unsur-unsur utama dari konsep tersebut, membandingkannya dengan pandangan tokoh lain seperti Schleiermacher, Dilthey, Habermas, dan Derrida, serta membahas kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya. Selain itu, dibahas pula implikasi praktis dari lingkaran hermeneutik dalam penafsiran teks sastra, hukum, sejarah, dan komunikasi lintas budaya. Dengan pendekatan kajian pustaka filosofis-kritis, artikel ini menunjukkan bahwa gagasan Gadamer relevan sebagai kerangka reflektif untuk membangun pemahaman yang terbuka, partisipatif, dan historis di tengah tantangan pluralisme makna dalam dunia kontemporer.

Kata Kunci: Gadamer, lingkaran hermeneutik, hermeneutika filosofis, tradisi, pra-pemahaman, dialog, fusi cakrawala, interpretasi, kritik ideologis.


PEMBAHASAN

Memahami Lingkaran Hermeneutik dalam Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan panjang sejarah filsafat, hermeneutika telah berkembang dari sekadar teknik penafsiran teks-teks suci ke dalam suatu pendekatan filsafat yang komprehensif terhadap pemahaman manusia. Dari permulaan sebagai metode untuk menafsirkan Alkitab dan teks-teks hukum dalam tradisi Barat, hermeneutika secara bertahap berevolusi menjadi cabang filsafat yang menggali struktur fundamental dari pengalaman memahami secara umum. Dalam konteks modern, hermeneutika tidak hanya berbicara tentang apa yang dipahami, tetapi bagaimana pemahaman itu terjadi dan apa kondisi-kondisi yang memungkinkan pemahaman tersebut.

Transformasi besar ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hans-Georg Gadamer (1900–2002), seorang filsuf Jerman yang karyanya Wahrheit und Methode (1960) menjadi tonggak penting dalam hermeneutika filosofis kontemporer. Dalam karya tersebut, Gadamer menolak pandangan bahwa pemahaman dapat direduksi menjadi suatu metode ilmiah yang objektif dan netral. Sebaliknya, ia menekankan bahwa pemahaman bersifat historis, dialogis, dan dibentuk oleh tradisi serta pra-pemahaman yang dimiliki oleh subjek penafsir.1 Dengan demikian, Gadamer menempatkan hermeneutika bukan sebagai metode epistemologis, tetapi sebagai ontologi pemahaman manusia itu sendiri.

Salah satu kontribusi kunci Gadamer yang membedakannya dari para pendahulunya adalah pengembangan konsep lingkaran hermeneutik (hermeneutischer Zirkel), yang sebelumnya telah digagas oleh tokoh-tokoh seperti Friedrich Schleiermacher dan Martin Heidegger. Namun, berbeda dari pendekatan Schleiermacher yang menekankan rekonstruksi maksud pengarang, atau pendekatan Heidegger yang menempatkan pemahaman dalam struktur eksistensial manusia (Dasein), Gadamer mengembangkan lingkaran hermeneutik sebagai gerak pemahaman yang terjadi dalam dialog antara penafsir dan teks, di mana keduanya saling memperkaya cakrawala makna.2 Dalam pandangannya, setiap proses memahami adalah peristiwa fusi cakrawala (Horizontverschmelzung) antara horizon historis penafsir dan horizon makna dari objek yang dipahami.3

Studi terhadap lingkaran hermeneutik Gadamer menjadi sangat relevan dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari filsafat, sastra, teologi, hingga ilmu sosial. Hal ini karena konsep tersebut menyoroti keterkaitan erat antara subjek dan objek pemahaman, antara bahasa dan realitas, serta antara tradisi dan kebaruan. Lingkaran hermeneutik bukan sekadar struktur logis, tetapi merupakan struktur dinamis dari pengalaman manusia dalam memahami dunia. Oleh karena itu, artikel ini akan mengeksplorasi secara mendalam konsep lingkaran hermeneutik dalam pemikiran Gadamer, dengan menyoroti fondasi filosofisnya, prinsip-prinsip kunci seperti pra-pemahaman, efek sejarah, dan fusi cakrawala, serta implikasinya dalam praktik interpretasi kontemporer.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–273.

[2]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 192–198.

[3]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–125.


2.           Konteks Historis dan Filsafat Hermeneutika

Hermeneutika sebagai disiplin filosofis tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berakar pada kebutuhan umat manusia untuk memahami dan menafsirkan teks, simbol, serta realitas yang lebih luas. Awalnya, hermeneutika berkembang dalam konteks teologis, terutama dalam tradisi Yahudi dan Kristen, sebagai metode untuk menafsirkan teks-teks suci. Di kalangan pemikir Kristen awal dan teolog gereja abad pertengahan, hermeneutika dipahami sebagai seni atau teknik untuk mengungkap makna tersembunyi di balik kata-kata Kitab Suci—baik secara literal maupun alegoris.1

Namun, pada masa modern, hermeneutika mulai melewati batas-batas teologi dan berkembang menjadi suatu pendekatan filosofis. Tonggak penting dalam pergeseran ini adalah kontribusi Friedrich Schleiermacher (1768–1834), yang dianggap sebagai “bapak hermeneutika modern.” Schleiermacher mereformulasikan hermeneutika sebagai teori pemahaman umum (allgemeine Hermeneutik) yang tidak terbatas hanya pada teks-teks suci, tetapi mencakup segala bentuk komunikasi bahasa. Ia menekankan pentingnya memahami baik konteks linguistik maupun psikologis pengarang, dan memperkenalkan ide tentang pemahaman sebagai rekonstruksi intensional dari maksud penulis.2

Perkembangan lebih lanjut terlihat dalam pemikiran Wilhelm Dilthey (1833–1911), yang berupaya menjadikan hermeneutika sebagai dasar metodologis bagi ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Dilthey membedakan pendekatan dalam ilmu alam yang bersifat eksplanatif (erklären) dengan pendekatan dalam ilmu humaniora yang bersifat pemahaman (verstehen). Bagi Dilthey, pemahaman merupakan proses mereproduksi pengalaman hidup subjektif dari individu masa lalu secara historis dan kontekstual.3 Namun, meskipun Dilthey telah memperluas cakrawala hermeneutika, pendekatannya masih terjebak dalam kerangka epistemologis dan metodologis positivistik.

Transformasi radikal hermeneutika terjadi ketika Martin Heidegger (1889–1976), murid dari Edmund Husserl, memperkenalkan pendekatan ontologis terhadap pemahaman dalam karya magnum opus-nya, Sein und Zeit (1927). Heidegger mengalihkan fokus dari metode ke eksistensi, dengan menyatakan bahwa pemahaman bukan sekadar tindakan mental atau prosedural, tetapi merupakan modus eksistensial dari manusia sebagai Dasein, yakni makhluk yang selalu sudah berada dalam dunia yang dipahami. Dalam kerangka ini, hermeneutika menjadi usaha untuk menyingkap struktur pemahaman sebagai bagian tak terelakkan dari keberadaan manusia itu sendiri.4

Kontribusi Heidegger sangat memengaruhi Hans-Georg Gadamer, yang kemudian melanjutkan proyek ini dengan mengembangkan hermeneutika filosofis yang menolak segala bentuk objektivisme. Gadamer tidak lagi melihat hermeneutika sebagai metode untuk mencapai pemahaman yang netral dan bebas nilai, melainkan sebagai pengalaman dialogis yang terikat pada sejarah, bahasa, dan tradisi. Dalam konteks inilah, konsep lingkaran hermeneutik mendapatkan maknanya sebagai gerak timbal balik antara bagian dan keseluruhan dalam proses memahami, yang selalu melibatkan horizon pemahaman dari subjek yang menafsir.5

Dengan demikian, perkembangan historis hermeneutika menunjukkan pergeseran mendasar dari teknik interpretasi teks menuju refleksi filsafat atas eksistensi manusia yang memahami. Dari Schleiermacher yang menekankan aspek linguistik dan psikologis, ke Dilthey yang memfokuskan pada pengalaman sejarah, hingga ke Heidegger dan Gadamer yang menempatkan pemahaman sebagai kondisi ontologis manusia, hermeneutika telah menjadi medan refleksi filosofis yang sangat berpengaruh dalam kajian ilmu humaniora dan filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Anthony C. Thiselton, Hermeneutics: An Introduction (Grand Rapids: Eerdmans, 2009), 1–4.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–10.

[3]                Wilhelm Dilthey, Selected Works Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 163–176.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–195.

[5]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 265–278.


3.           Hans-Georg Gadamer dan Karya Monumentalnya

Hans-Georg Gadamer (1900–2002) merupakan salah satu tokoh sentral dalam filsafat abad ke-20 yang memberikan kontribusi mendalam terhadap perkembangan hermeneutika filosofis. Lahir di Marburg, Jerman, Gadamer mengenyam pendidikan filsafat klasik dan filologi, serta sempat belajar di bawah bimbingan tokoh-tokoh besar seperti Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan terutama Martin Heidegger, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kerangka ontologis pemikirannya.1 Hubungannya dengan Heidegger bukan sekadar relasi intelektual, melainkan juga merupakan titik tolak bagi pengembangan gagasan hermeneutika Gadamer yang bersifat eksistensial dan historis.

Gagasan utama Gadamer terkonsentrasi dalam karya monumentalnya, Wahrheit und Methode (1960), yang dalam terjemahan Inggris dikenal sebagai Truth and Method. Buku ini bukanlah panduan teknis tentang metode penafsiran, melainkan suatu telaah filosofis tentang struktur dan kemungkinan pemahaman itu sendiri. Judulnya yang paradoksal—“kebenaran dan metode”—secara eksplisit mencerminkan kritik Gadamer terhadap pendekatan modern yang terlalu menekankan metode ilmiah dan objektivitas sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Bagi Gadamer, ada dimensi kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah, yakni kebenaran yang muncul melalui pengalaman historis, dialog, dan tradisi.2

Dalam Truth and Method, Gadamer menegaskan bahwa pemahaman tidak pernah berlangsung dalam kekosongan, melainkan selalu dimediasi oleh bahasa, tradisi, dan pra-pemahaman (Vorverständnis). Pengetahuan tidak lahir dari netralitas, melainkan dari keterlibatan eksistensial subjek dalam dunia historisnya. Oleh karena itu, interpretasi adalah peristiwa dialogis yang melibatkan fusi cakrawala (Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara cakrawala makna dari teks atau objek yang ditafsirkan dengan cakrawala historis dari penafsir itu sendiri.3

Lebih lanjut, Gadamer menolak dikotomi subjek-objek yang mendasari epistemologi modern. Dalam pandangannya, penafsir bukan subjek netral yang menguasai objek teks, tetapi bagian dari suatu tradisi hidup yang membentuk cara pandangnya. Dengan demikian, memahami adalah suatu pengalaman historis dan kultural yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Wirkungsgeschichte (efek sejarah). Kebenaran dalam hermeneutika Gadamer bukanlah kesesuaian logis dengan realitas, tetapi peristiwa pewahyuan makna yang terjadi dalam keterbukaan terhadap “yang lain” dalam dialog.4

Kontribusi Gadamer tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdampak luas dalam berbagai bidang, termasuk teologi, sastra, sejarah, dan ilmu sosial. Pengaruh hermeneutika filosofisnya melampaui batas filsafat dan menjadi kerangka reflektif bagi para sarjana yang bergulat dengan makna, teks, dan tradisi. Meskipun ia menerima banyak kritik—terutama dari Jürgen Habermas dan Jacques Derrida yang mempersoalkan implikasi ide tradisi dan otoritas dalam pemahaman—Gadamer tetap menegaskan pentingnya dialog, bukan hanya sebagai teknik komunikasi, melainkan sebagai dasar ontologis dari pengalaman manusia memahami dunia.5

Dengan demikian, Truth and Method bukan sekadar karya filsafat, tetapi merupakan fondasi konseptual bagi pemahaman hermeneutika sebagai pengalaman historis yang tak pernah netral dan selalu terbuka pada dialog. Di sinilah letak signifikansi pemikiran Gadamer dalam lanskap filsafat kontemporer: ia mengembalikan filsafat kepada dimensi historis dan linguistik dari eksistensi manusia, sekaligus menawarkan alternatif terhadap pendekatan rasionalistik yang mendominasi paradigma modern.


Footnotes

[1]                Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 25–42.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), xx–xxi.

[3]                Ibid., 302–307.

[4]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 71–85.

[5]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 221–235.


4.           Konsep Dasar Hermeneutika Filosofis Gadamer

Hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer merupakan titik balik penting dalam sejarah pemikiran hermeneutika karena ia tidak hanya menolak reduksi hermeneutika menjadi sekadar metode interpretasi, tetapi juga meredefinisi pemahaman sebagai pengalaman ontologis yang bersifat historis dan dialogis. Dalam karyanya Truth and Method, Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah peristiwa (Ereignis) yang tidak terjadi di bawah kendali kesadaran objektif, melainkan merupakan bagian dari ke-ada-an manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berada dalam sejarah dan bahasa.1

4.1.       Penolakan terhadap Objektivisme dan Metode Ilmiah

Gadamer memulai kritiknya terhadap dominasi metodologi dalam ilmu-ilmu modern yang didasarkan pada ideal objektivitas ilmiah. Ia menentang gagasan bahwa makna dapat diungkap secara netral melalui prosedur sistematis tanpa keterlibatan penafsir. Dalam pandangannya, pendekatan ini gagal menangkap kenyataan bahwa semua pemahaman selalu dipengaruhi oleh pra-anggapan, sejarah hidup, dan bahasa yang membentuk kesadaran manusia.2 Oleh karena itu, ia menolak pendekatan epistemologis yang mengasumsikan adanya “diri netral” di hadapan objek pengetahuan.

Sebaliknya, Gadamer mengusulkan bahwa pemahaman adalah mode eksistensial, bukan sekadar tindakan kognitif. Hal ini ia warisi dari Heidegger, yang menyatakan bahwa pemahaman adalah struktur asali eksistensi manusia sebagai Dasein, makhluk yang “selalu sudah berada” di dalam dunia.3 Dengan menekankan dimensi ontologis pemahaman, Gadamer berpindah dari hermeneutika sebagai metode ke hermeneutika sebagai kondisi keterbukaan terhadap makna.

4.2.       Pra-pemahaman (Vorverständnis)

Salah satu konsep kunci dalam hermeneutika filosofis Gadamer adalah pra-pemahaman (Vorverständnis). Pemahaman tidak pernah dimulai dari titik nol; subjek penafsir selalu membawa seperangkat asumsi, nilai, dan pengalaman historis ke dalam proses interpretasi. Gadamer menyebutnya sebagai horizon historis penafsir yang tak terhindarkan dan justru memungkinkan terjadinya pemahaman itu sendiri.4 Dalam konteks ini, prasangka (Vorurteil) bukanlah hambatan yang harus dihapus, tetapi suatu kondisi awal yang produktif dan harus diuji dalam proses dialogis dengan teks atau tradisi.

4.3.       Efek Sejarah (Wirkungsgeschichte)

Konsep efek sejarah (Wirkungsgeschichte) menggambarkan bagaimana pemahaman selalu dipengaruhi oleh sejarah resepsi dan tradisi interpretatif sebelumnya. Tidak ada interpretasi yang “murni” atau bebas dari sejarah, karena setiap tindakan memahami merupakan kelanjutan dari proses pemaknaan yang telah berlangsung secara historis. Gadamer menekankan bahwa penafsir adalah bagian dari sejarah makna yang sedang berlangsung, dan karena itu harus menyadari bahwa ia terlibat dalam suatu warisan interpretatif.5

4.4.       Fusi Cakrawala (Horizontverschmelzung)

Konsep paling ikonik dari Gadamer adalah fusi cakrawala (Horizontverschmelzung), yaitu peristiwa pertemuan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dari teks atau objek yang ditafsirkan. Proses ini tidak bersifat sepihak atau memaksakan makna, tetapi berlangsung dalam dialog yang terbuka dan saling memperkaya. Fusi cakrawala adalah bentuk pengalaman pemahaman yang tidak menghilangkan perbedaan, melainkan mengakomodasi dinamika antara “yang lama” dan “yang baru”, antara tradisi dan kebaruan.6

4.5.       Bahasa sebagai Medium Pemahaman

Dalam kerangka Gadamer, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi merupakan medium pemahaman itu sendiri. Manusia memahami dunia melalui bahasa, dan karena itu setiap pemahaman terikat pada struktur linguistik. Bahasa menjadi rumah dari keberadaan (Heidegger: die Sprache ist das Haus des Seins) yang memungkinkan pemahaman terjadi dalam bentuk dialog. Oleh karena itu, interpretasi selalu merupakan percakapan antara penafsir dan teks yang dimediasi oleh bahasa.7


Dengan membangun kerangka berpikir yang menekankan keterlibatan historis, dialogis, dan linguistik, Gadamer menggeser pusat hermeneutika dari teknik menuju pengalaman eksistensial. Hermeneutika filosofisnya menantang klaim universalitas metode ilmiah dan menawarkan alternatif yang lebih terbuka terhadap pluralitas makna, tradisi, dan horizon budaya. Dalam dunia kontemporer yang semakin kompleks dan multikultural, pemikiran Gadamer memberikan fondasi reflektif yang relevan untuk memahami dinamika komunikasi, interpretasi, dan pemaknaan dalam berbagai bidang ilmu dan kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), xxiii–xxvii.

[2]                Ibid., 270–273.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–189.

[4]                Gadamer, Truth and Method, 277–280.

[5]                Ibid., 286–291.

[6]                Ibid., 302–307.

[7]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 112–118.


5.           Lingkaran Hermeneutik: Definisi dan Fungsi

Salah satu gagasan sentral dalam hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer adalah konsep “lingkaran hermeneutik” (der hermeneutische Zirkel), yang menggambarkan struktur dasar dan dinamis dari proses pemahaman. Konsep ini awalnya diperkenalkan oleh Friedrich Schleiermacher dan dikembangkan secara ontologis oleh Martin Heidegger, sebelum akhirnya dimaknai ulang oleh Gadamer dalam kerangka hermeneutika historis-dialogis. Dalam pendekatan Gadamer, lingkaran hermeneutik tidak dipandang sebagai kelemahan atau kesalahan logis, tetapi sebagai kondisi esensial dan produktif dari pemahaman itu sendiri.1

5.1.       Definisi Lingkaran Hermeneutik

Secara umum, lingkaran hermeneutik menggambarkan hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan dalam proses interpretasi. Pemahaman terhadap bagian dari suatu teks hanya mungkin jika kita memiliki gambaran awal tentang keseluruhan, dan sebaliknya, pemahaman terhadap keseluruhan dibentuk melalui pemahaman bagian-bagian secara bertahap. Dengan kata lain, pemahaman bersifat sirkular dan progresif, bukan linier atau absolut.2

Namun, Gadamer melampaui pendekatan tekstual semata dan menjadikan lingkaran ini sebagai struktur ontologis dari pengalaman memahami. Ia menegaskan bahwa pemahaman selalu dimulai dari horizon historis dan pra-pemahaman yang dimiliki oleh penafsir, yang kemudian diuji dan diperdalam melalui keterlibatan aktif dengan teks atau tradisi. Maka, lingkaran hermeneutik menjadi gerakan dialektis antara “yang sudah diketahui” dan “yang sedang dipahami.”3

5.2.       Fungsi Lingkaran Hermeneutik dalam Hermeneutika Filosofis

Dalam kerangka hermeneutika Gadamer, lingkaran hermeneutik memiliki beberapa fungsi penting:

1)                  Sebagai Struktur Fundamental Pemahaman

Lingkaran ini menegaskan bahwa tidak ada pemahaman yang terjadi secara netral atau dari awal yang sepenuhnya bebas. Proses memahami selalu dimulai dari horizon tertentu—yaitu rangkaian pra-anggapan, nilai, dan pengetahuan awal yang membentuk orientasi penafsir terhadap objek. Fungsi lingkaran hermeneutik di sini adalah menjaga kesadaran bahwa setiap pemahaman bersifat terbuka dan harus senantiasa diuji ulang dalam relasi antara bagian dan keseluruhan.4

2)                  Sebagai Mekanisme Dialogis antara Penafsir dan Teks

Pemahaman adalah proses dialogis, bukan dominasi makna oleh subjek. Dalam dialog tersebut, lingkaran hermeneutik memainkan peran sebagai dinamika keterbukaan, di mana cakrawala penafsir dapat berubah melalui keterlibatan dengan makna-makna baru. Oleh karena itu, fungsi utama lingkaran ini adalah menjembatani perbedaan horizon melalui fusi cakrawala (Horizontverschmelzung).5

3)                  Sebagai Kritik terhadap Objektivisme Metodologis

Dalam kritiknya terhadap ilmu-ilmu modern yang menuntut objektivitas, Gadamer menunjukkan bahwa setiap tindakan memahami selalu merupakan bagian dari proses historis. Lingkaran hermeneutik menunjukkan bahwa tidak ada titik pijak epistemologis yang “netral”; yang ada hanyalah proses partisipatif yang dibentuk oleh sejarah makna. Fungsi lingkaran ini adalah mengungkap keterlibatan ontologis subjek dalam jaringan makna yang diwarisi dari tradisi.6

4)                  Sebagai Sarana Emansipasi dalam Pemahaman

Meskipun lingkaran hermeneutik menunjukkan keterbatasan perspektif, ia juga membuka kemungkinan untuk merekonstruksi makna secara reflektif. Kesadaran akan sifat sirkular pemahaman memungkinkan penafsir untuk bersikap kritis terhadap prasangkanya sendiri, dan dengan demikian memperluas cakrawala interpretasi. Dalam konteks ini, lingkaran hermeneutik bukanlah lingkaran tertutup, tetapi spiral terbuka menuju pengertian yang lebih dalam.7

5.3.       Perbedaan dengan Versi Heideggerian

Meskipun Gadamer mengadopsi banyak gagasan dari Heidegger, ia memberi nuansa berbeda pada makna lingkaran hermeneutik. Bagi Heidegger, lingkaran ini menunjukkan struktur eksistensial Dasein, bahwa manusia selalu memahami dari horizon makna yang sudah terberi. Sedangkan Gadamer lebih menekankan pada proses dialogis dan historis, serta pentingnya tradisi sebagai mediator pemahaman.8 Dengan demikian, ia lebih optimis terhadap kemungkinan terjadinya pemahaman lintas konteks dan sejarah.


Konsep lingkaran hermeneutik dalam pemikiran Gadamer mengajarkan bahwa pemahaman adalah proses yang terbuka, historis, dan reflektif. Ia tidak menawarkan jalan pintas menuju makna absolut, tetapi membuka ruang untuk pertumbuhan makna melalui keterlibatan yang jujur dan terus-menerus antara penafsir dan teks. Dalam dunia yang semakin plural dan sarat perbedaan, kesadaran akan sifat sirkular dari pemahaman menjadi fondasi penting bagi pembentukan dialog yang otentik dan transformatif.


Footnotes

[1]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 180–183.

[2]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 25–30.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–274.

[4]                Ibid., 277–280.

[5]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 116–119.

[6]                Gadamer, Truth and Method, 284–287.

[7]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 93–98.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 194–196.


6.           Unsur-Unsur dalam Lingkaran Hermeneutik Gadamer

Dalam kerangka hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, lingkaran hermeneutik bukan sekadar struktur metodologis, melainkan bentuk paling mendasar dari dinamika pemahaman manusia. Proses sirkular antara bagian dan keseluruhan, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, memiliki dimensi yang lebih dalam: ia melibatkan keterlibatan aktif subjek penafsir dengan sejarah, tradisi, bahasa, dan pengalaman eksistensial. Oleh karena itu, untuk memahami struktur lingkaran hermeneutik secara utuh, perlu dikaji unsur-unsur kunci yang membentuk dan menggerakkan proses pemahaman menurut Gadamer. Unsur-unsur tersebut antara lain: pra-pemahaman, dialog dengan tradisi, fusi cakrawala, dan efek sejarah.

6.1.       Pra-pemahaman (Vorverständnis)

Gagasan tentang pra-pemahaman merupakan titik mula dari seluruh proses hermeneutik dalam kerangka Gadamer. Pemahaman tidak dimulai dari tabula rasa; sebaliknya, penafsir selalu membawa seperangkat asumsi, harapan, serta horizon makna awal yang membentuk cara ia mendekati teks atau fenomena. Gadamer menyebut hal ini sebagai Vorverständnis, dan menegaskan bahwa tanpa pra-pemahaman, tidak akan ada pemahaman sama sekali.1

Namun, pra-pemahaman tidak bersifat tetap atau tertutup. Ia justru diuji dan diubah melalui keterlibatan penafsir dengan teks dan konteks yang ditafsirkan. Dalam konteks ini, pra-pemahaman tidak menjadi hambatan, melainkan pra-syarat produktif yang membuat pemahaman mungkin terjadi. Oleh karena itu, tugas hermeneutika bukan menghapus prasangka, melainkan menyadarinya secara reflektif dan mengujinya dalam dialog.2

6.2.       Dialog dengan Tradisi

Unsur kedua adalah keterlibatan penafsir dengan tradisi sebagai warisan makna yang membentuk horizon pemahaman. Gadamer tidak melihat tradisi sebagai beban masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan sebagai sumber makna dan otoritas yang hidup, yang senantiasa diperbarui melalui dialog dengan masa kini.3 Tradisi hadir bukan sebagai doktrin yang mengikat, tetapi sebagai mitra dalam percakapan, tempat kita belajar, menafsir, dan memperluas cakrawala pengertian.

Dalam proses lingkaran hermeneutik, dialog dengan tradisi memungkinkan penafsir memasuki ruang sejarah makna yang telah terbentuk sebelumnya. Ini adalah proses partisipatif, di mana pemahaman aktual adalah hasil dari perjumpaan antara masa lalu dan masa kini, antara teks dan pembaca, antara warisan dan interpretasi baru.4

6.3.       Fusi Cakrawala (Horizontverschmelzung)

Konsep fusi cakrawala merupakan salah satu pilar utama dalam struktur lingkaran hermeneutik Gadamer. Cakrawala (Horizont) merujuk pada totalitas perspektif, nilai, dan pemahaman yang membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia. Dalam proses memahami, terdapat dua cakrawala yang berinteraksi: cakrawala dari objek yang ditafsirkan (teks, fenomena, tradisi) dan cakrawala dari penafsir sendiri.

Fusi cakrawala terjadi ketika kedua cakrawala tersebut bertemu dalam peristiwa pemahaman yang terbuka dan dialogis. Proses ini tidak menghapus perbedaan, tetapi menciptakan ruang baru di mana makna dapat muncul secara bersama. Fusi ini menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, antara yang asing dan yang akrab, antara tradisi dan aktualisasi.5 Maka, pemahaman bukan sekadar reproduksi, melainkan pembentukan makna baru yang muncul dari keterlibatan antara dua horizon yang saling berinteraksi.

6.4.       Efek Sejarah (Wirkungsgeschichte)

Unsur terakhir adalah konsep efek sejarah (Wirkungsgeschichte), yang menggarisbawahi bahwa pemahaman selalu terjadi dalam horizon yang dibentuk oleh sejarah. Gadamer menolak ilusi objektivitas yang seolah-olah menempatkan penafsir di luar sejarah. Setiap pemahaman adalah bagian dari aliran sejarah makna yang terus bergerak, dan penafsir sendiri adalah bagian dari jaringan historis tersebut.6

Efek sejarah tidak dapat dihindari, namun tidak pula harus diterima secara pasif. Dalam pandangan Gadamer, kesadaran terhadap efek sejarah membuka kemungkinan pemahaman yang reflektif dan kritis, di mana kita tidak hanya diserap oleh sejarah, tetapi juga dapat menanggapinya secara aktif dalam proses dialog hermeneutik. Dengan demikian, pemahaman bukanlah tindakan otonom individu, tetapi peristiwa historis yang melibatkan kesadaran akan keberlanjutan makna dalam waktu.


Dengan memahami keempat unsur ini, kita melihat bahwa lingkaran hermeneutik Gadamer adalah suatu dinamika pemahaman yang bersifat historis, terbuka, dan dialogis. Ia bukan sekadar struktur formal, melainkan medan perjumpaan antara subjek dan tradisi, antara bahasa dan dunia, antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks ini, pemahaman menjadi suatu peristiwa yang melampaui subjektivitas individual dan berakar dalam pengalaman historis manusia yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–273.

[2]                Ibid., 277–280.

[3]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 117–119.

[4]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 225–228.

[5]                Gadamer, Truth and Method, 302–307.

[6]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 87–91.


7.           Perbedaan dengan Konsep Hermeneutika Lain

Hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer merupakan tonggak penting dalam sejarah pemikiran interpretasi, namun posisinya tidak terlepas dari polemik dan perbandingan dengan pendekatan hermeneutika lain. Gagasan Gadamer tentang lingkaran hermeneutik, fusi cakrawala, dan pengakuan terhadap otoritas tradisi menandai perbedaan radikal dari para pendahulu dan juga dari para pengkritiknya. Untuk memahami karakter khas pemikirannya, perlu dilakukan perbandingan dengan tokoh-tokoh utama dalam tradisi hermeneutika seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Jürgen Habermas, dan Jacques Derrida.

7.1.       Gadamer vs. Schleiermacher: Pemahaman sebagai Rekonstruksi vs. Dialog Historis

Friedrich Schleiermacher (1768–1834) memandang hermeneutika sebagai seni untuk memahami maksud subjektif pengarang, baik dari aspek gramatikal maupun psikologis. Ia menekankan bahwa penafsir harus mampu “menjadi pengarang lebih baik daripada pengarang itu sendiri,” yaitu dengan merekonstruksi konteks mental dan niat individu yang menciptakan teks.1 Hermeneutika Schleiermacher bersifat metodologis dan individualistik, berusaha mengatasi keterbatasan pemahaman melalui ketepatan interpretasi.

Berbeda dengan itu, Gadamer tidak memusatkan perhatian pada maksud subjektif pengarang, tetapi pada peristiwa pemahaman yang terjadi di antara penafsir dan teks dalam konteks sejarah yang hidup. Ia menolak gagasan bahwa makna dapat direduksi menjadi intensi psikologis penulis, karena teks telah menjadi bagian dari tradisi yang lebih luas dari sekadar maksud pengarangnya.2 Dalam pandangan Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi, tetapi pembaruan makna dalam dialog antara horizon historis yang berbeda.

7.2.       Gadamer vs. Dilthey: Epistemologi Historis vs. Ontologi Pemahaman

Wilhelm Dilthey (1833–1911) memperluas jangkauan hermeneutika ke dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dengan mengusulkan bahwa metode pemahaman harus didasarkan pada pengalaman hidup (Erlebnis) yang dapat direkonstruksi secara ilmiah. Hermeneutika Dilthey masih berada dalam kerangka epistemologi, di mana ia membedakan antara penjelasan ilmiah (Erklären) dan pemahaman (Verstehen) sebagai cara mengakses dunia manusia.3

Gadamer mengkritik posisi ini karena tetap mengasumsikan bahwa sejarah dan pemahaman dapat dikendalikan secara metodologis. Baginya, pemahaman bukan sekadar sarana mengetahui, melainkan struktur ontologis eksistensi manusia. Dengan mengadopsi pengaruh Heidegger, Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah cara manusia "berada di dalam dunia", bukan sesuatu yang bisa dikendalikan secara metodis atau netral.4 Ia mengganti paradigma epistemologis dengan pendekatan ontologis yang lebih menekankan keterlibatan, tradisi, dan bahasa.

7.3.       Gadamer vs. Habermas: Tradisi sebagai Dialog atau Ideologi?

Salah satu kritik paling signifikan terhadap Gadamer datang dari Jürgen Habermas (1929–), yang mempersoalkan penerimaan Gadamer terhadap otoritas tradisi. Menurut Habermas, hermeneutika Gadamer terlalu optimis terhadap kekuatan tradisi dan gagal membedakan antara komunikasi yang otentik dan komunikasi yang didistorsi oleh kekuasaan atau ideologi.5 Dalam kerangka teori kritis, Habermas menekankan perlunya penafsiran yang disertai dengan refleksi ideologis untuk membebaskan subjek dari dominasi struktural dan kultural.

Gadamer membalas kritik tersebut dengan menegaskan bahwa dialog yang sejati selalu terbuka terhadap interogasi dan bahwa pemahaman tidak berarti tunduk secara pasif kepada tradisi. Justru dalam keterlibatan dengan tradisi, penafsir diuji dan diperluas horizon pemahamannya. Ia menolak dikotomi antara tradisi dan kebebasan, dan menyatakan bahwa tradisi adalah arena percakapan historis yang memungkinkan pertumbuhan pemahaman, bukan semata-mata instrumen kekuasaan.6

7.4.       Gadamer vs. Derrida: Stabilitas Makna vs. Dekonstruksi

Perbedaan paling tajam terlihat dalam konfrontasi antara Gadamer dan Jacques Derrida (1930–2004), tokoh utama dekonstruksi. Derrida mempersoalkan gagasan fusi cakrawala dan dialog, karena dalam pandangannya, makna selalu tertunda, tidak pernah sepenuhnya hadir, dan selalu terurai dalam permainan tanda (différance). Ia menolak kemungkinan bahwa komunikasi dapat mencapai pemahaman penuh, karena bahasa sendiri bersifat tidak stabil dan penuh ambiguitas.7

Gadamer tetap mempertahankan keyakinannya bahwa meskipun pemahaman bersifat terbatas, tetap mungkin tercipta pengertian antar-subjektif melalui keterbukaan dalam dialog. Ia tidak menyangkal ketidaksempurnaan bahasa, namun menolak pesimisme radikal yang menganggap pemahaman mustahil. Baginya, dialog hermeneutik adalah upaya manusiawi yang terus-menerus menuju pengertian, meskipun tidak pernah tuntas secara absolut.8


Kesimpulan Perbandingan

Perbandingan ini menunjukkan bahwa Gadamer mengembangkan suatu hermeneutika filosofis yang menolak objektivisme metodologis dan menawarkan alternatif berbasis ontologi dialogis. Berbeda dari Schleiermacher dan Dilthey yang masih berpijak pada fondasi epistemologis, serta dari Habermas dan Derrida yang menawarkan kritik ideologis dan dekonstruktif, Gadamer menempatkan pemahaman dalam relasi historis yang terbuka, penuh risiko, namun tetap memungkinkan dialog yang bermakna. Dalam konteks ini, lingkaran hermeneutik bukanlah lingkaran tertutup, tetapi ruang keterbukaan terhadap yang lain dan terhadap sejarah yang hidup.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–12.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 295–305.

[3]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 182–193.

[4]                Gadamer, Truth and Method, 254–258.

[5]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 245–272.

[6]                Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 323–328.

[7]                Jacques Derrida, “Three Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 52–54.

[8]                Gadamer, Truth and Method, 379–387.


8.           Implikasi Konsep Lingkaran Hermeneutik dalam Praktik Interpretasi

Konsep lingkaran hermeneutik dalam hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer bukan hanya relevan dalam ranah filsafat teoritis, tetapi memiliki implikasi langsung dalam praktik interpretasi, khususnya dalam bidang-bidang seperti penafsiran teks sastra, sejarah, hukum, teologi, dan bahkan komunikasi antarbudaya. Dengan mengusung pendekatan historis, dialogis, dan terbuka terhadap tradisi, Gadamer menawarkan paradigma alternatif yang menolak dominasi metode ilmiah objektivis, sekaligus membuka ruang interpretasi yang reflektif dan transformatif.

8.1.       Rehabilitasi Tradisi dan Otoritas dalam Penafsiran

Salah satu implikasi penting dari lingkaran hermeneutik adalah rehabilitasi peran tradisi dan otoritas dalam proses memahami teks. Berbeda dengan pandangan modern yang cenderung menyingkirkan tradisi sebagai bentuk kekangan, Gadamer menegaskan bahwa tradisi justru menyediakan horizon makna yang memungkinkan pemahaman berlangsung. Dalam praktik penafsiran teks klasik, sejarah intelektual, atau dokumen keagamaan, penafsir dituntut untuk mengakui dan berinteraksi secara kritis dengan warisan makna yang membentuk teks tersebut.1

Melalui kesadaran akan pra-pemahaman dan efek sejarah, penafsir tidak lagi berusaha mencapai makna “asli” secara objektif dan netral, tetapi mengeksplorasi bagaimana makna itu terus hidup dan ditafsirkan ulang dalam konteks sejarah yang berbeda. Ini mendorong pendekatan yang lebih reflektif terhadap otoritas makna, bukan untuk tunduk padanya secara pasif, melainkan untuk berdialog secara aktif dan kritis dalam rangka memperluas cakrawala pemahaman.2

8.2.       Pendekatan Interpretasi dalam Ilmu Humaniora

Dalam bidang ilmu-ilmu humaniora, khususnya sastra, sejarah, dan teologi, pendekatan Gadamer memberikan landasan untuk mengatasi batasan positivistik. Misalnya, dalam membaca karya sastra, penafsir tidak hanya mencari struktur internal atau maksud pengarang, tetapi juga menyadari keterlibatannya dalam proses interpretatif. Penafsiran menjadi sebuah peristiwa dialektis, di mana makna lahir dari fusi antara horizon teks dan horizon pembaca.3

Demikian pula dalam penulisan sejarah, pendekatan Gadamer mengajak sejarawan untuk menyadari bahwa narasi sejarah bukan hasil representasi objektif terhadap masa lalu, melainkan hasil keterlibatan historis penulis itu sendiri dengan tradisi naratif yang tersedia. Sejarah ditulis bukan dari luar, melainkan dari dalam horizon budaya, politik, dan etika tertentu.4

8.3.       Penafsiran Teks Hukum dan Norma Sosial

Dalam konteks interpretasi hukum, konsep lingkaran hermeneutik memberikan kerangka untuk memahami bahwa penafsiran hukum tidak pernah bebas nilai, dan selalu bergantung pada tradisi hukum, preseden, dan horizon nilai hakim atau masyarakat. Gadamer mendorong pembacaan hukum sebagai tindakan dialogis, di mana teks undang-undang bertemu dengan konteks sosial dan horizon etis saat ini. Hal ini memperkaya penegakan keadilan dengan mempertimbangkan makna historis dan perubahan sosial kontemporer.5

8.4.       Relevansi dalam Dialog Antarbudaya dan Pendidikan

Implikasi lain yang signifikan adalah pada dialog antarbudaya dan praktik pendidikan humanistik. Gadamer menekankan bahwa pemahaman terhadap “yang lain” (baik itu budaya, agama, atau tradisi berbeda) memerlukan keterbukaan, pengakuan terhadap keterbatasan cakrawala sendiri, dan kesediaan untuk berproses dalam dialog. Dalam hal ini, lingkaran hermeneutik menjadi kerangka etis bagi pendidikan yang menumbuhkan toleransi, empati, dan kesadaran historis.6

Dalam pendidikan, pengajar dan peserta didik tidak hanya mentransfer informasi, tetapi terlibat dalam pengalaman bersama dalam menafsirkan teks dan realitas, sehingga pembelajaran menjadi momen perjumpaan antara horizon yang berbeda dan memungkinkan perluasan makna.

8.5.       Kritik terhadap Netralitas Ilmu

Gadamer juga memberi kontribusi kritis terhadap klaim netralitas dalam ilmu pengetahuan modern. Melalui konsep lingkaran hermeneutik, ia menunjukkan bahwa tidak ada titik mula netral dalam pemahaman, karena pengetahuan ilmiah sekalipun berakar pada horizon historis dan linguistik tertentu. Implikasi ini penting dalam menumbuhkan kesadaran reflektif dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, antropologi, dan sosiologi, yang selama ini berusaha merekonstruksi realitas manusia tanpa cukup mengakui keterlibatan subjek peneliti.7


Kesimpulan

Konsep lingkaran hermeneutik Gadamer memiliki daya guna praktis dan reflektif yang luas dalam berbagai konteks interpretatif. Ia menantang klaim objektivitas absolut, sekaligus membuka ruang bagi penafsiran yang lebih humanistik, dialogis, dan historis. Dalam dunia yang semakin plural dan kompleks, pendekatan ini menawarkan fondasi epistemologis dan etis yang tangguh untuk membangun pemahaman lintas waktu, budaya, dan nilai.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 281–285.

[2]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 123–128.

[3]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 239–243.

[4]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 87–90.

[5]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 97–102.

[6]                Nicholas Davey, Unquiet Understanding: Gadamer's Philosophical Hermeneutics (Albany: SUNY Press, 2006), 144–150.

[7]                Gadamer, Truth and Method, 285–287.


9.           Kritik dan Respons terhadap Konsep Lingkaran Hermeneutik

Konsep lingkaran hermeneutik yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer merupakan kontribusi besar dalam perkembangan hermeneutika filosofis kontemporer. Namun, sebagaimana ide-ide besar lainnya, gagasan ini juga tidak luput dari berbagai kritik tajam dari para pemikir sezaman maupun sesudahnya. Kritik-kritik tersebut tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga filosofis dan politis, terutama terkait dengan keberpihakan Gadamer terhadap tradisi, kemungkinan pemahaman yang objektif, dan ketegangan antara kekuasaan dan makna. Bagian ini akan membahas kritik-kritik utama terhadap konsep lingkaran hermeneutik, sekaligus menyajikan respon Gadamer terhadap keberatan-keberatan tersebut.

9.1.       Kritik dari Jürgen Habermas: Tradisi sebagai Ideologi Tersembunyi

Jürgen Habermas, tokoh utama Mazhab Frankfurt generasi kedua, mengkritik bahwa pendekatan Gadamer terlalu menerima tradisi secara tidak kritis, sehingga berpotensi membenarkan bentuk-bentuk dominasi ideologis yang tersembunyi di balik bahasa dan struktur budaya.1 Dalam perspektif Habermas, hermeneutika Gadamer gagal membedakan antara komunikasi yang bebas dari distorsi dan komunikasi yang didominasi oleh struktur kekuasaan. Tradisi, dalam konteks masyarakat modern, sering kali memuat norma-norma hegemonik yang seharusnya disingkap dan ditantang.

Habermas menekankan pentingnya “refleksi kritis” dalam proses pemahaman, agar subjek tidak terjebak dalam reproduksi ideologi. Dengan demikian, hermeneutika harus melibatkan unsur emansipatoris, yang memungkinkan pembebasan dari warisan yang menindas.2

Respons Gadamer terhadap Habermas tidak bersifat defensif, tetapi dialogis. Ia menyatakan bahwa pemahaman sejati memang tidak pernah bebas dari horizon tradisi, namun hal itu tidak berarti bersifat dogmatis. Sebaliknya, Gadamer menekankan bahwa dialog hermeneutik itu sendiri menciptakan ruang untuk menantang dan menilai tradisi, selama terdapat keterbukaan dan itikad untuk mendengarkan “yang lain.”3 Dalam pandangannya, setiap keterlibatan dengan tradisi adalah tindakan historis dan interpretatif, bukan penyerahan pasif.

9.2.       Kritik dari Jacques Derrida: Dekonstruksi Makna dan Ketidakhadiran Tanda

Jacques Derrida, tokoh sentral dalam filsafat dekonstruksi, mengajukan kritik yang lebih radikal terhadap Gadamer, terutama pada gagasan kemungkinan terjadinya pemahaman yang bermakna dan saling mengerti. Menurut Derrida, bahasa bersifat tidak stabil, dan makna selalu tertunda karena permainan tanda (différance). Dengan demikian, ide tentang fusi cakrawala dalam lingkaran hermeneutik dianggap terlalu optimistis, karena mengandaikan bahwa pemahaman dapat tercapai secara definitif dalam dialog.4

Bagi Derrida, teks selalu membuka peluang untuk penundaan dan perpecahan makna, bukan untuk penguatan atau pelurusan makna. Dekonstruksi mengungkap bagaimana teks menciptakan ruang untuk pembacaan alternatif yang tak terbatas dan tidak bisa dikontrol oleh penulis maupun pembaca.

Gadamer, dalam tanggapannya terhadap Derrida dalam pertemuan bersejarah mereka tahun 1981, menyatakan bahwa meskipun makna tidak pernah final, pemahaman tetap mungkin dan memiliki nilai, meskipun bersifat terbuka dan tidak lengkap.5 Ia tidak menyangkal ketidakstabilan bahasa, tetapi menolak nihilisme makna. Bagi Gadamer, dialog tidak menjamin konsensus, tetapi merupakan kondisi awal bagi kemungkinan pengertian yang saling memperkaya.

9.3.       Kritik Posmodern dan Feminis: Siapa yang Berbicara dalam Tradisi?

Sejumlah pemikir posmodern dan feminis juga mengkritik Gadamer karena dianggap mengabaikan dimensi politik dalam struktur tradisi. Tradisi yang tampaknya netral sering kali memuat narasi maskulin, kolonial, dan elitis yang menyingkirkan suara-suara marginal. Dengan demikian, pendekatan Gadamer—yang menghormati tradisi sebagai horizon makna—dituding tidak cukup memberi ruang bagi resistensi atau subversi dalam proses pemahaman.6

Hermeneutika kritis dalam tradisi feminis, seperti yang dikembangkan oleh Luce Irigaray dan Julia Kristeva, menyuarakan bahwa bahasa dan tradisi telah lama dibentuk oleh struktur patriarkal. Maka, pemahaman harus dimulai dari pengakuan terhadap ketimpangan kekuasaan dalam tradisi, bukan sekadar keterbukaan terhadap dialog.

Gadamer, meskipun tidak secara eksplisit merespons feminisme, dapat dipahami dari kerangka pikirnya bahwa tradisi bukanlah struktur tetap, melainkan arena perubahan yang hidup dan terbuka. Ia menolak bahwa interpretasi dibatasi oleh otoritas tetap, justru karena setiap pembacaan adalah tindak historis baru yang menguji horizon yang diwariskan.7

9.4.       Kritik Metodologis: Apakah Lingkaran Hermeneutik Bisa Dipecahkan?

Secara metodologis, beberapa filsuf mempertanyakan apakah lingkaran hermeneutik benar-benar dapat memberikan kerangka kerja sistematik untuk interpretasi, ataukah ia hanya sekadar metafora filosofis. Kritik ini muncul dari kalangan hermeneutika metodologis yang masih menuntut langkah-langkah interpretasi yang terstruktur dan dapat diverifikasi.8

Gadamer sendiri tidak mengklaim bahwa lingkaran hermeneutik adalah prosedur sistematik. Ia justru dengan tegas menyatakan bahwa pemahaman adalah pengalaman eksistensial yang bersifat dialogis dan terbuka, bukan hasil dari penerapan metode. Oleh karena itu, lingkaran hermeneutik bukan masalah yang harus “dipecahkan”, melainkan struktur dinamis yang menunjukkan bahwa pemahaman selalu melibatkan gerakan antara bagian dan keseluruhan, antara pra-pemahaman dan revisi makna.9


Kesimpulan

Kritik-kritik terhadap konsep lingkaran hermeneutik Gadamer memperkaya diskursus hermeneutika dengan memperlihatkan dimensi ideologis, linguistik, dan politis dari proses pemahaman. Namun, respons Gadamer menunjukkan bahwa pemahaman bukan sekadar pencapaian makna, tetapi peristiwa keterlibatan dengan sejarah, tradisi, dan orang lain dalam dialog yang terbuka. Alih-alih bersifat absolut atau netral, pemahaman dalam perspektif Gadamer bersifat reflektif, historis, dan terus berkembang—sebuah proses yang tidak pernah selesai, tetapi selalu mungkin.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 245–272.

[2]                Ibid., 260–265.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 281–285.

[4]                Jacques Derrida, “Three Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 52–58.

[5]                Hans-Georg Gadamer, “Reply to Jacques Derrida,” in Dialogue and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 73–75.

[6]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 103–107.

[7]                Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 319–325.

[8]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 243–248.

[9]                Gadamer, Truth and Method, 295–299.


10.       Kesimpulan

Konsep lingkaran hermeneutik dalam pemikiran Hans-Georg Gadamer tidak hanya merepresentasikan satu pola logis dalam proses penafsiran, tetapi lebih dalam lagi: ia adalah representasi struktur ontologis dari pengalaman manusia dalam memahami. Sebagai bagian integral dari proyek hermeneutika filosofis, lingkaran hermeneutik menolak anggapan bahwa pemahaman dapat berlangsung dalam kondisi netral, steril, dan terlepas dari pengaruh sejarah serta horizon penafsir. Gadamer memperlihatkan bahwa setiap pemahaman selalu bersifat situasional, terbuka, dan historis, serta terikat pada struktur bahasa dan tradisi yang hidup.1

Melalui unsur-unsur seperti pra-pemahaman, efek sejarah, fusi cakrawala, dan dialog dengan tradisi, Gadamer menjelaskan bahwa pemahaman adalah sebuah peristiwa dinamis yang tidak pernah selesai. Penafsir tidak hanya menemukan makna, tetapi menciptakannya kembali dalam pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks ini, lingkaran hermeneutik menjadi gambaran proses reflektif yang bergerak antara bagian dan keseluruhan, antara horizon diri dan horizon teks, dalam keterlibatan yang terus diperbarui.2

Implikasi dari pemikiran ini sangat luas: dari praktik interpretasi teks sastra, sejarah, hukum, hingga pertemuan antarbudaya dan proses pendidikan. Hermeneutika Gadamer membekali subjek penafsir dengan kesadaran bahwa memahami bukanlah menaklukkan makna, melainkan mengizinkan makna berbicara melalui dialog yang jujur dan terbuka. Oleh karena itu, dalam dunia yang ditandai oleh pluralitas makna dan kompleksitas horizon kultural, pendekatan Gadamer menawarkan dasar yang kuat untuk praktik penafsiran yang tidak dogmatis, tetapi kritis dan partisipatif.3

Namun demikian, seperti telah dibahas sebelumnya, konsep lingkaran hermeneutik Gadamer tidak luput dari kritik. Jürgen Habermas mempersoalkan ketundukan hermeneutika terhadap tradisi yang berpotensi melanggengkan ideologi; Jacques Derrida menyoroti ilusi stabilitas makna dalam dialog; sementara para pemikir feminis dan posmodern lainnya menekankan bahwa tradisi sering kali merupakan arena kekuasaan yang harus dibongkar, bukan hanya dimaknai ulang.4 Akan tetapi, respons Gadamer terhadap kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa hermeneutika filosofisnya bukan sistem tertutup, melainkan medan terbuka untuk percakapan lintas perspektif.

Dengan demikian, konsep lingkaran hermeneutik Gadamer dapat dipahami sebagai kerangka dialogis untuk menjembatani perbedaan, menyadari keterbatasan perspektif, dan membangun pemahaman historis yang reflektif. Lingkaran ini bukan penjara relativisme, melainkan ruang kemungkinan di mana makna terus diperbarui melalui keterlibatan dengan tradisi dan “yang lain.” Dalam dunia yang menuntut keterbukaan makna dan pemahaman lintas budaya, pendekatan Gadamer tetap relevan sebagai fondasi filosofis bagi etika dialog, keterbukaan, dan penghargaan terhadap sejarah.5


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 265–275.

[2]                Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–128.

[3]                Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason (Stanford: Stanford University Press, 1987), 95–105.

[4]                Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 258–265; Jacques Derrida, “Three Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 52–58.

[5]                Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 246–249.


Daftar Pustaka

Derrida, J. (1989). Three questions to Hans-Georg Gadamer. In D. P. Michelfelder & R. E. Palmer (Eds.), Dialogue and deconstruction: The Gadamer-Derrida encounter (pp. 52–58). Albany, NY: State University of New York Press.

Dilthey, W. (1996). Hermeneutics and the study of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York, NY: Continuum.

Grondin, J. (1994). Introduction to philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.

Grondin, J. (2003). Hans-Georg Gadamer: A biography (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.

Habermas, J. (1990). The hermeneutic claim to universality. In G. L. Ormiston & A. D. Schrift (Eds.), The hermeneutic tradition: From Ast to Ricoeur (pp. 245–272). Albany, NY: State University of New York Press.

Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics: Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, IL: Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative: Vol. 1 (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and criticism and other writings (A. Bowie, Ed. & Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics, tradition and reason. Stanford, CA: Stanford University Press.

Davey, N. (2006). Unquiet understanding: Gadamer's philosophical hermeneutics. Albany, NY: State University of New York Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar