Lingkaran Hermeneutik
Antara Tradisi, Pra-pemahaman, dan Dialog Interpretatif
Alihkan ke: Pemikiran Hans-Georg Gadamer.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep lingkaran
hermeneutik sebagaimana dikembangkan dalam kerangka hermeneutika
filosofis Hans-Georg Gadamer. Berbeda dari hermeneutika metodologis
sebelumnya, Gadamer memandang pemahaman bukan sebagai aktivitas epistemologis
yang netral, melainkan sebagai peristiwa ontologis yang bersifat historis,
linguistik, dan dialogis. Lingkaran hermeneutik dipahami sebagai struktur
dinamis yang menggerakkan hubungan timbal balik antara bagian dan keseluruhan
dalam interpretasi, yang tidak terlepas dari pengaruh pra-pemahaman, tradisi,
dan efek sejarah. Artikel ini menjelaskan unsur-unsur utama dari konsep
tersebut, membandingkannya dengan pandangan tokoh lain seperti Schleiermacher,
Dilthey, Habermas, dan Derrida, serta membahas kritik-kritik yang dilontarkan
terhadapnya. Selain itu, dibahas pula implikasi praktis dari lingkaran hermeneutik
dalam penafsiran teks sastra, hukum, sejarah, dan komunikasi lintas budaya.
Dengan pendekatan kajian pustaka filosofis-kritis, artikel ini menunjukkan
bahwa gagasan Gadamer relevan sebagai kerangka reflektif untuk membangun
pemahaman yang terbuka, partisipatif, dan historis di tengah tantangan
pluralisme makna dalam dunia kontemporer.
Kata Kunci: Gadamer, lingkaran hermeneutik, hermeneutika
filosofis, tradisi, pra-pemahaman, dialog, fusi cakrawala, interpretasi, kritik
ideologis.
PEMBAHASAN
Memahami Lingkaran Hermeneutik dalam Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg Gadamer
1.
Pendahuluan
Dalam lintasan panjang
sejarah filsafat, hermeneutika telah berkembang dari sekadar teknik penafsiran
teks-teks suci ke dalam suatu pendekatan filsafat yang komprehensif terhadap
pemahaman manusia. Dari permulaan sebagai metode untuk menafsirkan Alkitab dan
teks-teks hukum dalam tradisi Barat, hermeneutika secara bertahap berevolusi
menjadi cabang filsafat yang menggali struktur fundamental dari pengalaman memahami
secara umum. Dalam konteks modern, hermeneutika tidak hanya berbicara tentang apa
yang dipahami, tetapi bagaimana pemahaman itu terjadi dan apa
kondisi-kondisi yang memungkinkan pemahaman tersebut.
Transformasi besar ini sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Hans-Georg Gadamer (1900–2002), seorang filsuf
Jerman yang karyanya Wahrheit und Methode (1960) menjadi tonggak
penting dalam hermeneutika filosofis kontemporer. Dalam karya tersebut, Gadamer
menolak pandangan bahwa pemahaman dapat direduksi menjadi suatu metode ilmiah
yang objektif dan netral. Sebaliknya, ia menekankan bahwa pemahaman bersifat
historis, dialogis, dan dibentuk oleh tradisi serta pra-pemahaman yang
dimiliki oleh subjek penafsir.1 Dengan demikian, Gadamer menempatkan
hermeneutika bukan sebagai metode epistemologis, tetapi sebagai ontologi
pemahaman manusia itu sendiri.
Salah satu kontribusi kunci
Gadamer yang membedakannya dari para pendahulunya adalah pengembangan konsep lingkaran
hermeneutik (hermeneutischer Zirkel), yang sebelumnya
telah digagas oleh tokoh-tokoh seperti Friedrich Schleiermacher dan Martin
Heidegger. Namun, berbeda dari pendekatan Schleiermacher yang menekankan
rekonstruksi maksud pengarang, atau pendekatan Heidegger yang menempatkan
pemahaman dalam struktur eksistensial manusia (Dasein), Gadamer
mengembangkan lingkaran hermeneutik sebagai gerak pemahaman yang terjadi dalam
dialog antara penafsir dan teks, di mana keduanya saling memperkaya cakrawala
makna.2 Dalam pandangannya, setiap proses memahami adalah peristiwa
fusi cakrawala (Horizontverschmelzung) antara horizon historis
penafsir dan horizon makna dari objek yang dipahami.3
Studi terhadap lingkaran
hermeneutik Gadamer menjadi sangat relevan dalam berbagai bidang ilmu, mulai
dari filsafat, sastra, teologi, hingga ilmu sosial. Hal ini karena konsep
tersebut menyoroti keterkaitan erat antara subjek dan objek pemahaman, antara
bahasa dan realitas, serta antara tradisi dan kebaruan. Lingkaran hermeneutik
bukan sekadar struktur logis, tetapi merupakan struktur dinamis dari pengalaman
manusia dalam memahami dunia. Oleh karena itu, artikel ini akan mengeksplorasi
secara mendalam konsep lingkaran hermeneutik dalam pemikiran Gadamer, dengan
menyoroti fondasi filosofisnya, prinsip-prinsip kunci seperti pra-pemahaman,
efek sejarah, dan fusi cakrawala, serta implikasinya dalam
praktik interpretasi kontemporer.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–273.
[2]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 192–198.
[3]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–125.
2.
Konteks
Historis dan Filsafat Hermeneutika
Hermeneutika sebagai disiplin
filosofis tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berakar pada kebutuhan umat
manusia untuk memahami dan menafsirkan teks, simbol, serta realitas yang lebih
luas. Awalnya, hermeneutika berkembang dalam konteks teologis, terutama dalam
tradisi Yahudi dan Kristen, sebagai metode untuk menafsirkan teks-teks suci. Di
kalangan pemikir Kristen awal dan teolog gereja abad pertengahan, hermeneutika
dipahami sebagai seni atau teknik untuk mengungkap makna tersembunyi di balik
kata-kata Kitab Suci—baik secara literal maupun alegoris.1
Namun, pada masa modern,
hermeneutika mulai melewati batas-batas teologi dan berkembang menjadi suatu
pendekatan filosofis. Tonggak penting dalam pergeseran ini adalah kontribusi Friedrich
Schleiermacher (1768–1834), yang dianggap sebagai “bapak
hermeneutika modern.” Schleiermacher mereformulasikan hermeneutika sebagai
teori pemahaman umum (allgemeine Hermeneutik) yang tidak terbatas
hanya pada teks-teks suci, tetapi mencakup segala bentuk komunikasi bahasa. Ia
menekankan pentingnya memahami baik konteks linguistik maupun psikologis
pengarang, dan memperkenalkan ide tentang pemahaman sebagai rekonstruksi
intensional dari maksud penulis.2
Perkembangan lebih lanjut
terlihat dalam pemikiran Wilhelm Dilthey
(1833–1911), yang berupaya menjadikan hermeneutika sebagai dasar metodologis
bagi ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften). Dilthey membedakan
pendekatan dalam ilmu alam yang bersifat eksplanatif (erklären) dengan
pendekatan dalam ilmu humaniora yang bersifat pemahaman (verstehen).
Bagi Dilthey, pemahaman merupakan proses mereproduksi pengalaman hidup
subjektif dari individu masa lalu secara historis dan kontekstual.3
Namun, meskipun Dilthey telah memperluas cakrawala hermeneutika, pendekatannya
masih terjebak dalam kerangka epistemologis dan metodologis positivistik.
Transformasi radikal
hermeneutika terjadi ketika Martin Heidegger
(1889–1976), murid dari Edmund Husserl, memperkenalkan pendekatan ontologis
terhadap pemahaman dalam karya magnum opus-nya, Sein und Zeit (1927).
Heidegger mengalihkan fokus dari metode ke eksistensi, dengan menyatakan bahwa
pemahaman bukan sekadar tindakan mental atau prosedural, tetapi merupakan modus
eksistensial dari manusia sebagai Dasein, yakni makhluk yang
selalu sudah berada dalam dunia yang dipahami. Dalam kerangka ini, hermeneutika
menjadi usaha untuk menyingkap struktur pemahaman sebagai bagian tak terelakkan
dari keberadaan manusia itu sendiri.4
Kontribusi Heidegger sangat
memengaruhi Hans-Georg Gadamer, yang
kemudian melanjutkan proyek ini dengan mengembangkan hermeneutika
filosofis yang menolak segala bentuk objektivisme. Gadamer
tidak lagi melihat hermeneutika sebagai metode untuk mencapai pemahaman yang
netral dan bebas nilai, melainkan sebagai pengalaman dialogis yang terikat pada
sejarah, bahasa, dan tradisi. Dalam konteks inilah, konsep lingkaran hermeneutik
mendapatkan maknanya sebagai gerak timbal balik antara bagian dan keseluruhan
dalam proses memahami, yang selalu melibatkan horizon pemahaman dari subjek
yang menafsir.5
Dengan demikian, perkembangan
historis hermeneutika menunjukkan pergeseran mendasar dari teknik interpretasi
teks menuju refleksi filsafat atas eksistensi manusia yang memahami. Dari
Schleiermacher yang menekankan aspek linguistik dan psikologis, ke Dilthey yang
memfokuskan pada pengalaman sejarah, hingga ke Heidegger dan Gadamer yang
menempatkan pemahaman sebagai kondisi ontologis manusia, hermeneutika telah
menjadi medan refleksi filosofis yang sangat berpengaruh dalam kajian ilmu
humaniora dan filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Anthony C. Thiselton, Hermeneutics: An Introduction (Grand
Rapids: Eerdmans, 2009), 1–4.
[2]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other
Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 5–10.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 163–176.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 182–195.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 265–278.
3.
Hans-Georg
Gadamer dan Karya Monumentalnya
Hans-Georg Gadamer
(1900–2002) merupakan salah satu tokoh sentral dalam filsafat abad ke-20 yang
memberikan kontribusi mendalam terhadap perkembangan hermeneutika
filosofis. Lahir di Marburg, Jerman, Gadamer mengenyam
pendidikan filsafat klasik dan filologi, serta sempat belajar di bawah
bimbingan tokoh-tokoh besar seperti Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan terutama
Martin Heidegger, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kerangka ontologis
pemikirannya.1 Hubungannya dengan Heidegger bukan sekadar relasi
intelektual, melainkan juga merupakan titik tolak bagi pengembangan gagasan hermeneutika
Gadamer yang bersifat eksistensial dan historis.
Gagasan utama Gadamer
terkonsentrasi dalam karya monumentalnya, Wahrheit und Methode (1960),
yang dalam terjemahan Inggris dikenal sebagai Truth and Method. Buku
ini bukanlah panduan teknis tentang metode penafsiran, melainkan suatu telaah
filosofis tentang struktur dan kemungkinan pemahaman
itu sendiri. Judulnya yang paradoksal—“kebenaran dan metode”—secara
eksplisit mencerminkan kritik Gadamer terhadap pendekatan modern yang terlalu
menekankan metode ilmiah dan objektivitas sebagai satu-satunya jalan menuju
kebenaran. Bagi Gadamer, ada dimensi kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh
metode ilmiah, yakni kebenaran yang muncul melalui pengalaman historis, dialog,
dan tradisi.2
Dalam Truth and Method,
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman tidak pernah berlangsung dalam kekosongan,
melainkan selalu dimediasi oleh bahasa,
tradisi, dan pra-pemahaman
(Vorverständnis). Pengetahuan tidak lahir dari netralitas, melainkan
dari keterlibatan eksistensial subjek dalam dunia historisnya. Oleh karena itu,
interpretasi adalah peristiwa dialogis yang melibatkan fusi cakrawala (Horizontverschmelzung),
yakni pertemuan antara cakrawala makna dari teks atau objek yang ditafsirkan
dengan cakrawala historis dari penafsir itu sendiri.3
Lebih lanjut, Gadamer menolak
dikotomi subjek-objek yang mendasari epistemologi modern. Dalam pandangannya,
penafsir bukan subjek netral yang menguasai objek teks, tetapi bagian dari
suatu tradisi hidup yang membentuk cara pandangnya. Dengan demikian, memahami
adalah suatu pengalaman historis dan kultural
yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Wirkungsgeschichte (efek
sejarah). Kebenaran dalam hermeneutika Gadamer bukanlah kesesuaian logis dengan
realitas, tetapi peristiwa pewahyuan makna yang terjadi dalam keterbukaan
terhadap “yang lain” dalam dialog.4
Kontribusi Gadamer tidak
hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdampak luas dalam berbagai bidang,
termasuk teologi, sastra, sejarah, dan ilmu sosial. Pengaruh hermeneutika
filosofisnya melampaui batas filsafat dan menjadi kerangka reflektif bagi para
sarjana yang bergulat dengan makna, teks, dan tradisi. Meskipun ia menerima
banyak kritik—terutama dari Jürgen Habermas dan Jacques Derrida yang
mempersoalkan implikasi ide tradisi dan otoritas dalam pemahaman—Gadamer tetap
menegaskan pentingnya dialog, bukan hanya
sebagai teknik komunikasi, melainkan sebagai dasar ontologis dari pengalaman
manusia memahami dunia.5
Dengan demikian, Truth
and Method bukan sekadar karya filsafat, tetapi merupakan fondasi
konseptual bagi pemahaman hermeneutika sebagai pengalaman
historis yang tak pernah netral dan selalu terbuka pada dialog. Di sinilah
letak signifikansi pemikiran Gadamer dalam lanskap filsafat kontemporer: ia
mengembalikan filsafat kepada dimensi historis dan linguistik dari eksistensi
manusia, sekaligus menawarkan alternatif terhadap pendekatan rasionalistik yang
mendominasi paradigma modern.
Footnotes
[1]
Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel
Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 25–42.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), xx–xxi.
[3]
Ibid., 302–307.
[4]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 71–85.
[5]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 221–235.
4.
Konsep
Dasar Hermeneutika Filosofis Gadamer
Hermeneutika filosofis
Hans-Georg Gadamer merupakan titik balik penting dalam sejarah pemikiran
hermeneutika karena ia tidak hanya menolak reduksi hermeneutika menjadi sekadar
metode interpretasi, tetapi juga meredefinisi pemahaman sebagai pengalaman
ontologis yang bersifat historis dan dialogis. Dalam karyanya Truth
and Method, Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah peristiwa (Ereignis)
yang tidak terjadi di bawah kendali kesadaran objektif, melainkan merupakan
bagian dari ke-ada-an manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berada
dalam sejarah dan bahasa.1
4.1.
Penolakan terhadap
Objektivisme dan Metode Ilmiah
Gadamer memulai kritiknya
terhadap dominasi metodologi dalam ilmu-ilmu modern yang didasarkan pada ideal
objektivitas ilmiah. Ia menentang gagasan bahwa makna dapat diungkap secara
netral melalui prosedur sistematis tanpa keterlibatan penafsir. Dalam
pandangannya, pendekatan ini gagal menangkap kenyataan bahwa semua pemahaman
selalu dipengaruhi oleh pra-anggapan, sejarah
hidup, dan bahasa yang membentuk
kesadaran manusia.2 Oleh karena itu, ia menolak pendekatan
epistemologis yang mengasumsikan adanya “diri netral” di hadapan objek
pengetahuan.
Sebaliknya, Gadamer
mengusulkan bahwa pemahaman adalah mode eksistensial,
bukan sekadar tindakan kognitif. Hal ini ia warisi dari Heidegger, yang
menyatakan bahwa pemahaman adalah struktur asali eksistensi manusia sebagai Dasein,
makhluk yang “selalu sudah berada” di dalam dunia.3 Dengan
menekankan dimensi ontologis pemahaman, Gadamer berpindah dari hermeneutika
sebagai metode ke hermeneutika sebagai kondisi keterbukaan terhadap makna.
4.2.
Pra-pemahaman
(Vorverständnis)
Salah satu konsep kunci dalam
hermeneutika filosofis Gadamer adalah pra-pemahaman
(Vorverständnis). Pemahaman tidak pernah dimulai dari titik nol;
subjek penafsir selalu membawa seperangkat asumsi, nilai, dan pengalaman
historis ke dalam proses interpretasi. Gadamer menyebutnya sebagai horizon
historis penafsir yang tak terhindarkan dan justru memungkinkan terjadinya
pemahaman itu sendiri.4 Dalam konteks ini, prasangka (Vorurteil)
bukanlah hambatan yang harus dihapus, tetapi suatu kondisi awal yang produktif
dan harus diuji dalam proses dialogis dengan teks atau tradisi.
4.3.
Efek Sejarah
(Wirkungsgeschichte)
Konsep efek
sejarah (Wirkungsgeschichte) menggambarkan bagaimana
pemahaman selalu dipengaruhi oleh sejarah resepsi dan tradisi interpretatif
sebelumnya. Tidak ada interpretasi yang “murni” atau bebas dari sejarah, karena
setiap tindakan memahami merupakan kelanjutan dari proses pemaknaan yang telah
berlangsung secara historis. Gadamer menekankan bahwa penafsir adalah bagian
dari sejarah makna yang sedang berlangsung, dan karena itu harus menyadari
bahwa ia terlibat dalam suatu warisan interpretatif.5
4.4.
Fusi Cakrawala
(Horizontverschmelzung)
Konsep paling ikonik dari
Gadamer adalah fusi cakrawala (Horizontverschmelzung),
yaitu peristiwa pertemuan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala
makna dari teks atau objek yang ditafsirkan. Proses ini tidak bersifat sepihak
atau memaksakan makna, tetapi berlangsung dalam dialog yang terbuka dan saling
memperkaya. Fusi cakrawala adalah bentuk pengalaman pemahaman yang tidak
menghilangkan perbedaan, melainkan mengakomodasi dinamika antara “yang lama”
dan “yang baru”, antara tradisi dan kebaruan.6
4.5.
Bahasa sebagai
Medium Pemahaman
Dalam kerangka Gadamer, bahasa
bukan sekadar alat komunikasi, tetapi merupakan medium pemahaman itu
sendiri. Manusia memahami dunia melalui bahasa, dan karena itu
setiap pemahaman terikat pada struktur linguistik. Bahasa menjadi rumah dari
keberadaan (Heidegger: die Sprache ist das Haus des Seins) yang
memungkinkan pemahaman terjadi dalam bentuk dialog. Oleh karena itu,
interpretasi selalu merupakan percakapan antara penafsir dan teks yang
dimediasi oleh bahasa.7
Dengan membangun kerangka
berpikir yang menekankan keterlibatan historis, dialogis, dan linguistik,
Gadamer menggeser pusat hermeneutika dari teknik menuju pengalaman
eksistensial. Hermeneutika filosofisnya menantang klaim universalitas metode
ilmiah dan menawarkan alternatif yang lebih terbuka terhadap pluralitas makna,
tradisi, dan horizon budaya. Dalam dunia kontemporer yang semakin kompleks dan
multikultural, pemikiran Gadamer memberikan fondasi reflektif yang relevan
untuk memahami dinamika komunikasi, interpretasi, dan pemaknaan dalam berbagai
bidang ilmu dan kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), xxiii–xxvii.
[2]
Ibid., 270–273.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 183–189.
[4]
Gadamer, Truth and Method, 277–280.
[5]
Ibid., 286–291.
[6]
Ibid., 302–307.
[7]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 112–118.
5.
Lingkaran
Hermeneutik: Definisi dan Fungsi
Salah satu gagasan sentral
dalam hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer adalah konsep
“lingkaran hermeneutik” (der hermeneutische Zirkel),
yang menggambarkan struktur dasar dan dinamis dari proses pemahaman. Konsep ini
awalnya diperkenalkan oleh Friedrich Schleiermacher dan dikembangkan secara ontologis
oleh Martin Heidegger, sebelum akhirnya dimaknai ulang oleh Gadamer dalam
kerangka hermeneutika historis-dialogis. Dalam pendekatan Gadamer, lingkaran
hermeneutik tidak dipandang sebagai kelemahan atau kesalahan logis, tetapi
sebagai kondisi esensial dan produktif dari
pemahaman itu sendiri.1
5.1.
Definisi Lingkaran
Hermeneutik
Secara umum, lingkaran
hermeneutik menggambarkan hubungan timbal balik antara bagian
dan keseluruhan dalam proses interpretasi. Pemahaman terhadap
bagian dari suatu teks hanya mungkin jika kita memiliki gambaran awal tentang
keseluruhan, dan sebaliknya, pemahaman terhadap keseluruhan dibentuk melalui
pemahaman bagian-bagian secara bertahap. Dengan kata lain, pemahaman bersifat sirkular
dan progresif, bukan linier atau absolut.2
Namun, Gadamer melampaui
pendekatan tekstual semata dan menjadikan lingkaran ini sebagai struktur
ontologis dari pengalaman memahami. Ia menegaskan bahwa
pemahaman selalu dimulai dari horizon historis dan pra-pemahaman yang
dimiliki oleh penafsir, yang kemudian diuji dan diperdalam melalui keterlibatan
aktif dengan teks atau tradisi. Maka, lingkaran hermeneutik menjadi gerakan
dialektis antara “yang sudah diketahui” dan “yang sedang dipahami.”3
5.2.
Fungsi Lingkaran
Hermeneutik dalam Hermeneutika Filosofis
Dalam kerangka hermeneutika
Gadamer, lingkaran hermeneutik memiliki beberapa fungsi
penting:
1)
Sebagai Struktur
Fundamental Pemahaman
Lingkaran ini menegaskan bahwa tidak ada
pemahaman yang terjadi secara netral atau dari awal yang sepenuhnya bebas.
Proses memahami selalu dimulai dari horizon tertentu—yaitu rangkaian
pra-anggapan, nilai, dan pengetahuan awal yang membentuk orientasi penafsir
terhadap objek. Fungsi lingkaran hermeneutik di sini adalah menjaga kesadaran
bahwa setiap pemahaman bersifat terbuka dan harus senantiasa diuji ulang dalam
relasi antara bagian dan keseluruhan.4
2)
Sebagai Mekanisme
Dialogis antara Penafsir dan Teks
Pemahaman adalah proses dialogis, bukan dominasi
makna oleh subjek. Dalam dialog tersebut, lingkaran hermeneutik memainkan peran
sebagai dinamika keterbukaan, di
mana cakrawala penafsir dapat berubah melalui keterlibatan dengan makna-makna
baru. Oleh karena itu, fungsi utama lingkaran ini adalah menjembatani
perbedaan horizon melalui fusi cakrawala (Horizontverschmelzung).5
3)
Sebagai Kritik terhadap
Objektivisme Metodologis
Dalam kritiknya terhadap ilmu-ilmu modern yang
menuntut objektivitas, Gadamer menunjukkan bahwa setiap tindakan memahami
selalu merupakan bagian dari proses historis. Lingkaran hermeneutik menunjukkan
bahwa tidak ada titik pijak epistemologis yang “netral”; yang ada
hanyalah proses partisipatif yang dibentuk oleh sejarah makna. Fungsi lingkaran
ini adalah mengungkap keterlibatan ontologis subjek dalam
jaringan makna yang diwarisi dari tradisi.6
4)
Sebagai Sarana
Emansipasi dalam Pemahaman
Meskipun lingkaran hermeneutik menunjukkan
keterbatasan perspektif, ia juga membuka kemungkinan untuk merekonstruksi
makna secara reflektif. Kesadaran akan sifat sirkular pemahaman
memungkinkan penafsir untuk bersikap kritis terhadap prasangkanya sendiri, dan
dengan demikian memperluas cakrawala interpretasi. Dalam konteks ini, lingkaran
hermeneutik bukanlah lingkaran tertutup, tetapi spiral terbuka menuju
pengertian yang lebih dalam.7
5.3.
Perbedaan dengan Versi
Heideggerian
Meskipun Gadamer mengadopsi
banyak gagasan dari Heidegger, ia memberi nuansa berbeda pada makna lingkaran
hermeneutik. Bagi Heidegger, lingkaran ini menunjukkan struktur
eksistensial Dasein, bahwa manusia selalu memahami dari horizon
makna yang sudah terberi. Sedangkan Gadamer lebih menekankan pada proses
dialogis dan historis, serta pentingnya tradisi sebagai
mediator pemahaman.8 Dengan demikian, ia lebih optimis terhadap
kemungkinan terjadinya pemahaman lintas konteks dan sejarah.
Konsep lingkaran hermeneutik
dalam pemikiran Gadamer mengajarkan bahwa pemahaman adalah proses yang terbuka,
historis, dan reflektif. Ia tidak menawarkan jalan pintas menuju makna absolut,
tetapi membuka ruang untuk pertumbuhan makna melalui keterlibatan yang jujur
dan terus-menerus antara penafsir dan teks. Dalam dunia yang semakin plural dan
sarat perbedaan, kesadaran akan sifat sirkular dari pemahaman menjadi fondasi
penting bagi pembentukan dialog yang otentik dan transformatif.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 180–183.
[2]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other
Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 25–30.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–274.
[4]
Ibid., 277–280.
[5]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 116–119.
[6]
Gadamer, Truth and Method, 284–287.
[7]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 93–98.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 194–196.
6.
Unsur-Unsur
dalam Lingkaran Hermeneutik Gadamer
Dalam kerangka hermeneutika
filosofis Hans-Georg Gadamer, lingkaran hermeneutik
bukan sekadar struktur metodologis, melainkan bentuk paling mendasar dari
dinamika pemahaman manusia. Proses sirkular antara bagian dan keseluruhan,
sebagaimana telah dibahas sebelumnya, memiliki dimensi yang lebih dalam: ia
melibatkan keterlibatan aktif subjek penafsir dengan sejarah, tradisi, bahasa,
dan pengalaman eksistensial. Oleh karena itu, untuk memahami struktur lingkaran
hermeneutik secara utuh, perlu dikaji unsur-unsur kunci
yang membentuk dan menggerakkan proses pemahaman menurut Gadamer. Unsur-unsur
tersebut antara lain: pra-pemahaman, dialog
dengan tradisi, fusi cakrawala,
dan efek sejarah.
6.1.
Pra-pemahaman
(Vorverständnis)
Gagasan tentang pra-pemahaman
merupakan titik mula dari seluruh proses hermeneutik dalam kerangka Gadamer.
Pemahaman tidak dimulai dari tabula rasa; sebaliknya, penafsir selalu membawa
seperangkat asumsi, harapan, serta horizon makna awal yang membentuk cara ia
mendekati teks atau fenomena. Gadamer menyebut hal ini sebagai Vorverständnis,
dan menegaskan bahwa tanpa pra-pemahaman, tidak akan ada pemahaman sama sekali.1
Namun, pra-pemahaman tidak
bersifat tetap atau tertutup. Ia justru diuji dan diubah melalui keterlibatan
penafsir dengan teks dan konteks yang ditafsirkan. Dalam konteks ini,
pra-pemahaman tidak menjadi hambatan, melainkan pra-syarat produktif
yang membuat pemahaman mungkin terjadi. Oleh karena itu, tugas hermeneutika
bukan menghapus prasangka, melainkan menyadarinya secara
reflektif dan mengujinya dalam dialog.2
6.2.
Dialog dengan
Tradisi
Unsur kedua adalah keterlibatan
penafsir dengan tradisi sebagai warisan
makna yang membentuk horizon pemahaman. Gadamer tidak melihat tradisi sebagai
beban masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan sebagai sumber
makna dan otoritas yang hidup, yang senantiasa diperbarui melalui
dialog dengan masa kini.3 Tradisi hadir bukan
sebagai doktrin yang mengikat, tetapi sebagai mitra dalam percakapan,
tempat kita belajar, menafsir, dan memperluas cakrawala pengertian.
Dalam proses lingkaran
hermeneutik, dialog dengan tradisi memungkinkan penafsir memasuki
ruang sejarah makna yang telah terbentuk sebelumnya. Ini adalah
proses partisipatif, di mana pemahaman aktual adalah hasil dari perjumpaan
antara masa lalu dan masa kini, antara teks dan pembaca, antara
warisan dan interpretasi baru.4
6.3.
Fusi Cakrawala
(Horizontverschmelzung)
Konsep fusi
cakrawala merupakan salah satu pilar utama dalam struktur
lingkaran hermeneutik Gadamer. Cakrawala (Horizont) merujuk pada
totalitas perspektif, nilai, dan pemahaman yang membentuk cara pandang
seseorang terhadap dunia. Dalam proses memahami, terdapat dua cakrawala yang
berinteraksi: cakrawala dari objek yang ditafsirkan (teks, fenomena, tradisi)
dan cakrawala dari penafsir sendiri.
Fusi
cakrawala terjadi ketika kedua cakrawala tersebut bertemu dalam
peristiwa pemahaman yang terbuka dan dialogis. Proses ini tidak menghapus
perbedaan, tetapi menciptakan ruang baru di mana makna dapat muncul secara
bersama. Fusi ini menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, antara
yang asing dan yang akrab, antara tradisi dan aktualisasi.5
Maka, pemahaman bukan sekadar reproduksi, melainkan pembentukan
makna baru yang muncul dari keterlibatan antara dua horizon
yang saling berinteraksi.
6.4.
Efek Sejarah
(Wirkungsgeschichte)
Unsur terakhir adalah konsep efek
sejarah (Wirkungsgeschichte), yang menggarisbawahi
bahwa pemahaman selalu terjadi dalam horizon yang dibentuk oleh sejarah.
Gadamer menolak ilusi objektivitas yang seolah-olah menempatkan penafsir di
luar sejarah. Setiap pemahaman adalah bagian dari aliran
sejarah makna yang terus bergerak, dan penafsir sendiri adalah
bagian dari jaringan historis tersebut.6
Efek sejarah tidak dapat
dihindari, namun tidak pula harus diterima secara pasif. Dalam pandangan
Gadamer, kesadaran terhadap efek sejarah membuka kemungkinan pemahaman
yang reflektif dan kritis, di mana kita tidak hanya diserap
oleh sejarah, tetapi juga dapat menanggapinya secara aktif dalam proses dialog
hermeneutik. Dengan demikian, pemahaman bukanlah tindakan otonom individu,
tetapi peristiwa historis yang melibatkan
kesadaran akan keberlanjutan makna dalam waktu.
Dengan memahami keempat unsur
ini, kita melihat bahwa lingkaran hermeneutik Gadamer adalah
suatu dinamika pemahaman yang bersifat historis, terbuka, dan dialogis.
Ia bukan sekadar struktur formal, melainkan medan perjumpaan antara subjek dan
tradisi, antara bahasa dan dunia, antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks
ini, pemahaman menjadi suatu peristiwa yang melampaui subjektivitas individual
dan berakar dalam pengalaman historis manusia yang terus berkembang.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 269–273.
[2]
Ibid., 277–280.
[3]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 117–119.
[4]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 225–228.
[5]
Gadamer, Truth and Method, 302–307.
[6]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 87–91.
7.
Perbedaan
dengan Konsep Hermeneutika Lain
Hermeneutika filosofis
Hans-Georg Gadamer merupakan tonggak penting dalam sejarah pemikiran
interpretasi, namun posisinya tidak terlepas dari polemik dan perbandingan
dengan pendekatan hermeneutika lain. Gagasan Gadamer tentang lingkaran
hermeneutik, fusi cakrawala, dan pengakuan terhadap otoritas tradisi menandai perbedaan
radikal dari para pendahulu dan juga dari para pengkritiknya. Untuk memahami
karakter khas pemikirannya, perlu dilakukan perbandingan dengan tokoh-tokoh
utama dalam tradisi hermeneutika seperti Friedrich
Schleiermacher, Wilhelm Dilthey,
Jürgen Habermas, dan Jacques
Derrida.
7.1.
Gadamer vs.
Schleiermacher: Pemahaman sebagai Rekonstruksi vs. Dialog Historis
Friedrich Schleiermacher
(1768–1834) memandang hermeneutika sebagai seni untuk memahami
maksud subjektif pengarang, baik dari aspek gramatikal maupun psikologis.
Ia menekankan bahwa penafsir harus mampu “menjadi pengarang lebih baik
daripada pengarang itu sendiri,” yaitu dengan merekonstruksi konteks mental
dan niat individu yang menciptakan teks.1
Hermeneutika Schleiermacher bersifat metodologis dan individualistik, berusaha
mengatasi keterbatasan pemahaman melalui ketepatan interpretasi.
Berbeda dengan itu, Gadamer
tidak memusatkan perhatian pada maksud subjektif pengarang, tetapi pada peristiwa
pemahaman yang terjadi di antara penafsir dan teks dalam konteks sejarah yang
hidup. Ia menolak gagasan bahwa makna dapat direduksi menjadi
intensi psikologis penulis, karena teks telah menjadi bagian dari tradisi yang
lebih luas dari sekadar maksud pengarangnya.2 Dalam
pandangan Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi, tetapi pembaruan
makna dalam dialog antara horizon historis yang berbeda.
7.2.
Gadamer vs. Dilthey:
Epistemologi Historis vs. Ontologi Pemahaman
Wilhelm Dilthey (1833–1911)
memperluas jangkauan hermeneutika ke dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften),
dengan mengusulkan bahwa metode pemahaman harus didasarkan pada pengalaman
hidup (Erlebnis) yang dapat direkonstruksi secara ilmiah. Hermeneutika
Dilthey masih berada dalam kerangka epistemologi,
di mana ia membedakan antara penjelasan ilmiah (Erklären) dan
pemahaman (Verstehen) sebagai cara mengakses dunia manusia.3
Gadamer mengkritik posisi ini
karena tetap mengasumsikan bahwa sejarah dan pemahaman dapat dikendalikan
secara metodologis. Baginya, pemahaman bukan sekadar sarana
mengetahui, melainkan struktur ontologis eksistensi manusia.
Dengan mengadopsi pengaruh Heidegger, Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah
cara manusia "berada di dalam dunia", bukan sesuatu yang bisa
dikendalikan secara metodis atau netral.4 Ia
mengganti paradigma epistemologis dengan pendekatan ontologis yang lebih
menekankan keterlibatan, tradisi, dan bahasa.
7.3.
Gadamer vs.
Habermas: Tradisi sebagai Dialog atau Ideologi?
Salah satu kritik paling
signifikan terhadap Gadamer datang dari Jürgen Habermas (1929–), yang
mempersoalkan penerimaan Gadamer terhadap otoritas
tradisi. Menurut Habermas, hermeneutika Gadamer terlalu optimis
terhadap kekuatan tradisi dan gagal membedakan antara komunikasi yang otentik
dan komunikasi yang didistorsi oleh kekuasaan atau ideologi.5
Dalam kerangka teori kritis, Habermas
menekankan perlunya penafsiran yang disertai dengan refleksi ideologis untuk
membebaskan subjek dari dominasi struktural dan kultural.
Gadamer membalas kritik
tersebut dengan menegaskan bahwa dialog yang sejati
selalu terbuka terhadap interogasi dan bahwa pemahaman tidak
berarti tunduk secara pasif kepada tradisi. Justru dalam keterlibatan dengan
tradisi, penafsir diuji dan diperluas horizon pemahamannya. Ia menolak dikotomi
antara tradisi dan kebebasan, dan menyatakan bahwa tradisi
adalah arena percakapan historis yang memungkinkan pertumbuhan pemahaman, bukan
semata-mata instrumen kekuasaan.6
7.4.
Gadamer vs. Derrida:
Stabilitas Makna vs. Dekonstruksi
Perbedaan paling tajam
terlihat dalam konfrontasi antara Gadamer dan Jacques Derrida (1930–2004),
tokoh utama dekonstruksi. Derrida
mempersoalkan gagasan fusi cakrawala dan dialog, karena dalam
pandangannya, makna selalu tertunda, tidak pernah
sepenuhnya hadir, dan selalu terurai dalam permainan tanda (différance).
Ia menolak kemungkinan bahwa komunikasi dapat mencapai pemahaman penuh, karena
bahasa sendiri bersifat tidak stabil dan penuh ambiguitas.7
Gadamer tetap mempertahankan
keyakinannya bahwa meskipun pemahaman bersifat terbatas, tetap mungkin
tercipta pengertian antar-subjektif melalui keterbukaan dalam dialog.
Ia tidak menyangkal ketidaksempurnaan bahasa, namun menolak pesimisme radikal
yang menganggap pemahaman mustahil. Baginya, dialog hermeneutik
adalah upaya manusiawi yang terus-menerus menuju pengertian,
meskipun tidak pernah tuntas secara absolut.8
Kesimpulan Perbandingan
Perbandingan ini menunjukkan
bahwa Gadamer mengembangkan suatu hermeneutika filosofis
yang menolak objektivisme metodologis dan menawarkan alternatif berbasis
ontologi dialogis. Berbeda dari Schleiermacher dan Dilthey yang
masih berpijak pada fondasi epistemologis, serta dari Habermas dan Derrida yang
menawarkan kritik ideologis dan dekonstruktif, Gadamer menempatkan pemahaman
dalam relasi historis yang terbuka, penuh risiko, namun tetap memungkinkan
dialog yang bermakna. Dalam konteks ini, lingkaran hermeneutik
bukanlah lingkaran tertutup, tetapi ruang keterbukaan terhadap yang lain dan
terhadap sejarah yang hidup.
Footnotes
[1]
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other
Writings, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 5–12.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 295–305.
[3]
Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the
Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton:
Princeton University Press, 1996), 182–193.
[4]
Gadamer, Truth and Method, 254–258.
[5]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The
Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan
D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 245–272.
[6]
Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel
Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 323–328.
[7]
Jacques Derrida, “Three Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue
and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P.
Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 52–54.
[8]
Gadamer, Truth and Method, 379–387.
8.
Implikasi
Konsep Lingkaran Hermeneutik dalam Praktik Interpretasi
Konsep lingkaran
hermeneutik dalam hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer
bukan hanya relevan dalam ranah filsafat teoritis, tetapi memiliki implikasi
langsung dalam praktik interpretasi, khususnya dalam
bidang-bidang seperti penafsiran teks sastra, sejarah, hukum,
teologi, dan bahkan komunikasi antarbudaya. Dengan mengusung
pendekatan historis, dialogis, dan terbuka terhadap tradisi, Gadamer menawarkan
paradigma alternatif yang menolak dominasi metode ilmiah objektivis, sekaligus
membuka ruang interpretasi yang reflektif dan transformatif.
8.1.
Rehabilitasi Tradisi
dan Otoritas dalam Penafsiran
Salah satu implikasi penting
dari lingkaran hermeneutik adalah rehabilitasi peran
tradisi dan otoritas dalam proses memahami teks. Berbeda dengan
pandangan modern yang cenderung menyingkirkan tradisi sebagai bentuk kekangan,
Gadamer menegaskan bahwa tradisi justru menyediakan horizon makna yang memungkinkan
pemahaman berlangsung. Dalam praktik penafsiran teks klasik, sejarah
intelektual, atau dokumen keagamaan, penafsir dituntut untuk mengakui
dan berinteraksi secara kritis dengan warisan makna yang membentuk teks
tersebut.1
Melalui kesadaran akan pra-pemahaman
dan efek sejarah, penafsir tidak lagi berusaha mencapai makna “asli”
secara objektif dan netral, tetapi mengeksplorasi bagaimana makna itu terus
hidup dan ditafsirkan ulang dalam konteks sejarah yang berbeda. Ini mendorong
pendekatan yang lebih reflektif terhadap otoritas makna,
bukan untuk tunduk padanya secara pasif, melainkan untuk berdialog secara aktif
dan kritis dalam rangka memperluas cakrawala pemahaman.2
8.2.
Pendekatan
Interpretasi dalam Ilmu Humaniora
Dalam bidang ilmu-ilmu
humaniora, khususnya sastra, sejarah, dan teologi, pendekatan
Gadamer memberikan landasan untuk mengatasi batasan positivistik. Misalnya,
dalam membaca karya sastra, penafsir tidak hanya mencari struktur internal atau
maksud pengarang, tetapi juga menyadari keterlibatannya dalam proses
interpretatif. Penafsiran menjadi sebuah peristiwa
dialektis, di mana makna lahir dari fusi antara horizon teks
dan horizon pembaca.3
Demikian pula dalam penulisan
sejarah, pendekatan Gadamer mengajak sejarawan untuk menyadari bahwa narasi sejarah
bukan hasil representasi objektif terhadap masa lalu, melainkan hasil
keterlibatan historis penulis itu sendiri dengan tradisi naratif yang tersedia.
Sejarah ditulis bukan dari luar,
melainkan dari dalam horizon budaya, politik, dan etika tertentu.4
8.3.
Penafsiran Teks
Hukum dan Norma Sosial
Dalam konteks interpretasi
hukum, konsep lingkaran hermeneutik memberikan kerangka untuk
memahami bahwa penafsiran hukum tidak pernah bebas nilai,
dan selalu bergantung pada tradisi hukum, preseden, dan horizon nilai hakim
atau masyarakat. Gadamer mendorong pembacaan hukum sebagai tindakan
dialogis, di mana teks undang-undang bertemu dengan konteks
sosial dan horizon etis saat ini. Hal ini memperkaya penegakan keadilan dengan
mempertimbangkan makna historis dan perubahan sosial kontemporer.5
8.4.
Relevansi dalam
Dialog Antarbudaya dan Pendidikan
Implikasi lain yang
signifikan adalah pada dialog antarbudaya dan
praktik pendidikan humanistik.
Gadamer menekankan bahwa pemahaman terhadap “yang lain” (baik itu
budaya, agama, atau tradisi berbeda) memerlukan keterbukaan, pengakuan terhadap
keterbatasan cakrawala sendiri, dan kesediaan untuk berproses dalam dialog.
Dalam hal ini, lingkaran hermeneutik menjadi kerangka etis
bagi pendidikan yang menumbuhkan toleransi, empati, dan kesadaran historis.6
Dalam pendidikan, pengajar
dan peserta didik tidak hanya mentransfer informasi, tetapi terlibat dalam pengalaman
bersama dalam menafsirkan teks dan realitas, sehingga
pembelajaran menjadi momen perjumpaan antara horizon yang berbeda dan
memungkinkan perluasan makna.
8.5.
Kritik terhadap
Netralitas Ilmu
Gadamer juga memberi
kontribusi kritis terhadap klaim netralitas dalam ilmu pengetahuan modern.
Melalui konsep lingkaran hermeneutik, ia menunjukkan bahwa tidak
ada titik mula netral dalam pemahaman, karena pengetahuan
ilmiah sekalipun berakar pada horizon historis dan linguistik tertentu.
Implikasi ini penting dalam menumbuhkan kesadaran reflektif dalam berbagai
disiplin ilmu, termasuk filsafat, antropologi, dan sosiologi, yang selama ini
berusaha merekonstruksi realitas manusia tanpa cukup mengakui keterlibatan
subjek peneliti.7
Kesimpulan
Konsep lingkaran hermeneutik
Gadamer memiliki daya guna praktis dan reflektif
yang luas dalam berbagai konteks interpretatif. Ia menantang klaim objektivitas
absolut, sekaligus membuka ruang bagi penafsiran yang lebih humanistik,
dialogis, dan historis. Dalam dunia yang semakin plural dan kompleks,
pendekatan ini menawarkan fondasi epistemologis dan etis yang tangguh untuk
membangun pemahaman lintas waktu, budaya, dan nilai.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 281–285.
[2]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 123–128.
[3]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 239–243.
[4]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
87–90.
[5]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 97–102.
[6]
Nicholas Davey, Unquiet Understanding: Gadamer's Philosophical
Hermeneutics (Albany: SUNY Press, 2006), 144–150.
[7]
Gadamer, Truth and Method, 285–287.
9.
Kritik
dan Respons terhadap Konsep Lingkaran Hermeneutik
Konsep lingkaran
hermeneutik yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer merupakan
kontribusi besar dalam perkembangan hermeneutika filosofis kontemporer. Namun,
sebagaimana ide-ide besar lainnya, gagasan ini juga tidak luput dari berbagai kritik
tajam dari para pemikir sezaman maupun sesudahnya.
Kritik-kritik tersebut tidak hanya bersifat metodologis, tetapi juga filosofis
dan politis, terutama terkait dengan keberpihakan Gadamer
terhadap tradisi, kemungkinan pemahaman
yang objektif, dan ketegangan antara
kekuasaan dan makna. Bagian ini akan membahas kritik-kritik
utama terhadap konsep lingkaran hermeneutik, sekaligus menyajikan respon
Gadamer terhadap keberatan-keberatan tersebut.
9.1.
Kritik dari Jürgen
Habermas: Tradisi sebagai Ideologi Tersembunyi
Jürgen Habermas, tokoh utama Mazhab
Frankfurt generasi kedua, mengkritik bahwa pendekatan Gadamer
terlalu menerima tradisi secara tidak kritis,
sehingga berpotensi membenarkan bentuk-bentuk dominasi
ideologis yang tersembunyi di balik bahasa dan struktur budaya.1
Dalam perspektif Habermas, hermeneutika Gadamer gagal membedakan antara komunikasi
yang bebas dari distorsi dan komunikasi yang didominasi oleh struktur
kekuasaan. Tradisi, dalam konteks masyarakat modern, sering kali memuat
norma-norma hegemonik yang seharusnya disingkap dan ditantang.
Habermas menekankan
pentingnya “refleksi kritis” dalam
proses pemahaman, agar subjek tidak terjebak dalam reproduksi ideologi. Dengan
demikian, hermeneutika harus melibatkan unsur emansipatoris,
yang memungkinkan pembebasan dari warisan yang menindas.2
Respons
Gadamer terhadap Habermas tidak bersifat defensif, tetapi
dialogis. Ia menyatakan bahwa pemahaman sejati memang tidak pernah bebas dari
horizon tradisi, namun hal itu tidak berarti bersifat
dogmatis. Sebaliknya, Gadamer menekankan bahwa dialog
hermeneutik itu sendiri menciptakan ruang untuk menantang dan menilai tradisi,
selama terdapat keterbukaan dan itikad untuk mendengarkan “yang lain.”3
Dalam pandangannya, setiap keterlibatan dengan tradisi adalah tindakan
historis dan interpretatif, bukan penyerahan pasif.
9.2.
Kritik dari Jacques
Derrida: Dekonstruksi Makna dan Ketidakhadiran Tanda
Jacques Derrida, tokoh
sentral dalam filsafat dekonstruksi, mengajukan
kritik yang lebih radikal terhadap Gadamer, terutama pada gagasan kemungkinan
terjadinya pemahaman yang bermakna dan saling mengerti. Menurut
Derrida, bahasa bersifat tidak stabil, dan makna
selalu tertunda karena permainan tanda (différance). Dengan demikian,
ide tentang fusi cakrawala dalam lingkaran hermeneutik dianggap terlalu
optimistis, karena mengandaikan bahwa pemahaman dapat tercapai
secara definitif dalam dialog.4
Bagi Derrida, teks
selalu membuka peluang untuk penundaan dan perpecahan makna,
bukan untuk penguatan atau pelurusan makna. Dekonstruksi mengungkap bagaimana
teks menciptakan ruang untuk pembacaan alternatif yang tak terbatas dan tidak
bisa dikontrol oleh penulis maupun pembaca.
Gadamer,
dalam tanggapannya terhadap Derrida dalam pertemuan bersejarah mereka tahun
1981, menyatakan bahwa meskipun makna tidak pernah final, pemahaman
tetap mungkin dan memiliki nilai, meskipun bersifat terbuka dan
tidak lengkap.5 Ia tidak menyangkal
ketidakstabilan bahasa, tetapi menolak nihilisme makna. Bagi Gadamer, dialog
tidak menjamin konsensus, tetapi merupakan kondisi awal bagi kemungkinan
pengertian yang saling memperkaya.
9.3.
Kritik Posmodern dan
Feminis: Siapa yang Berbicara dalam Tradisi?
Sejumlah pemikir posmodern
dan feminis juga mengkritik Gadamer karena dianggap mengabaikan
dimensi politik dalam struktur tradisi. Tradisi yang tampaknya
netral sering kali memuat narasi maskulin, kolonial, dan elitis
yang menyingkirkan suara-suara marginal. Dengan demikian, pendekatan
Gadamer—yang menghormati tradisi sebagai horizon makna—dituding tidak
cukup memberi ruang bagi resistensi atau subversi dalam proses
pemahaman.6
Hermeneutika kritis dalam
tradisi feminis, seperti yang dikembangkan oleh Luce Irigaray dan Julia
Kristeva, menyuarakan bahwa bahasa dan tradisi telah lama dibentuk oleh
struktur patriarkal. Maka, pemahaman harus dimulai dari pengakuan
terhadap ketimpangan kekuasaan dalam tradisi, bukan sekadar
keterbukaan terhadap dialog.
Gadamer,
meskipun tidak secara eksplisit merespons feminisme, dapat dipahami dari
kerangka pikirnya bahwa tradisi bukanlah struktur tetap,
melainkan arena perubahan yang hidup dan terbuka. Ia menolak bahwa interpretasi
dibatasi oleh otoritas tetap, justru karena setiap pembacaan adalah tindak
historis baru yang menguji horizon yang diwariskan.7
9.4.
Kritik Metodologis:
Apakah Lingkaran Hermeneutik Bisa Dipecahkan?
Secara metodologis, beberapa
filsuf mempertanyakan apakah lingkaran hermeneutik
benar-benar dapat memberikan kerangka kerja sistematik
untuk interpretasi, ataukah ia hanya sekadar metafora filosofis. Kritik ini
muncul dari kalangan hermeneutika metodologis yang masih menuntut langkah-langkah
interpretasi yang terstruktur dan dapat diverifikasi.8
Gadamer sendiri tidak
mengklaim bahwa lingkaran hermeneutik adalah prosedur sistematik. Ia justru
dengan tegas menyatakan bahwa pemahaman adalah
pengalaman eksistensial yang bersifat dialogis dan terbuka,
bukan hasil dari penerapan metode. Oleh karena itu, lingkaran hermeneutik bukan
masalah yang harus “dipecahkan”, melainkan struktur dinamis yang
menunjukkan bahwa pemahaman selalu melibatkan gerakan antara bagian dan
keseluruhan, antara pra-pemahaman dan revisi makna.9
Kesimpulan
Kritik-kritik terhadap konsep
lingkaran hermeneutik Gadamer memperkaya diskursus hermeneutika dengan
memperlihatkan dimensi ideologis, linguistik, dan
politis dari proses pemahaman. Namun, respons Gadamer
menunjukkan bahwa pemahaman bukan sekadar pencapaian makna, tetapi peristiwa
keterlibatan dengan sejarah, tradisi, dan orang lain dalam dialog yang terbuka.
Alih-alih bersifat absolut atau netral, pemahaman dalam perspektif Gadamer
bersifat reflektif, historis, dan terus berkembang—sebuah proses yang tidak
pernah selesai, tetapi selalu mungkin.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The
Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan
D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 245–272.
[2]
Ibid., 260–265.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 281–285.
[4]
Jacques Derrida, “Three Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue
and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P.
Michelfelder and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 52–58.
[5]
Hans-Georg Gadamer, “Reply to Jacques Derrida,” in Dialogue and
Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder
and Richard E. Palmer (Albany: SUNY Press, 1989), 73–75.
[6]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 103–107.
[7]
Jean Grondin, Hans-Georg Gadamer: A Biography, trans. Joel
Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 2003), 319–325.
[8]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 243–248.
[9]
Gadamer, Truth and Method, 295–299.
10. Kesimpulan
Konsep lingkaran
hermeneutik dalam pemikiran Hans-Georg Gadamer tidak hanya
merepresentasikan satu pola logis dalam proses penafsiran, tetapi lebih dalam
lagi: ia adalah representasi struktur ontologis dari pengalaman
manusia dalam memahami. Sebagai bagian integral dari proyek hermeneutika
filosofis, lingkaran hermeneutik menolak anggapan bahwa
pemahaman dapat berlangsung dalam kondisi netral, steril, dan terlepas dari
pengaruh sejarah serta horizon penafsir. Gadamer memperlihatkan bahwa setiap
pemahaman selalu bersifat situasional, terbuka, dan historis,
serta terikat pada struktur bahasa dan tradisi yang hidup.1
Melalui unsur-unsur seperti pra-pemahaman,
efek sejarah, fusi cakrawala,
dan dialog dengan tradisi, Gadamer menjelaskan bahwa
pemahaman adalah sebuah peristiwa dinamis yang
tidak pernah selesai. Penafsir tidak hanya menemukan makna, tetapi menciptakannya
kembali dalam pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Dalam
konteks ini, lingkaran hermeneutik menjadi gambaran proses reflektif yang
bergerak antara bagian dan keseluruhan, antara horizon diri dan horizon teks,
dalam keterlibatan yang terus diperbarui.2
Implikasi dari pemikiran ini
sangat luas: dari praktik interpretasi teks sastra, sejarah, hukum, hingga
pertemuan antarbudaya dan proses pendidikan. Hermeneutika Gadamer membekali
subjek penafsir dengan kesadaran bahwa memahami bukanlah menaklukkan makna,
melainkan mengizinkan makna berbicara melalui
dialog yang jujur dan terbuka. Oleh karena itu, dalam dunia
yang ditandai oleh pluralitas makna dan kompleksitas horizon kultural,
pendekatan Gadamer menawarkan dasar yang kuat untuk praktik penafsiran yang
tidak dogmatis, tetapi kritis dan partisipatif.3
Namun demikian, seperti telah
dibahas sebelumnya, konsep lingkaran hermeneutik Gadamer tidak luput dari
kritik. Jürgen Habermas mempersoalkan ketundukan hermeneutika terhadap tradisi
yang berpotensi melanggengkan ideologi; Jacques Derrida menyoroti ilusi
stabilitas makna dalam dialog; sementara para pemikir feminis dan posmodern
lainnya menekankan bahwa tradisi sering kali merupakan arena kekuasaan yang
harus dibongkar, bukan hanya dimaknai ulang.4 Akan tetapi, respons
Gadamer terhadap kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa hermeneutika
filosofisnya bukan sistem tertutup, melainkan medan terbuka
untuk percakapan lintas perspektif.
Dengan demikian, konsep
lingkaran hermeneutik Gadamer dapat dipahami sebagai kerangka
dialogis untuk menjembatani perbedaan, menyadari keterbatasan
perspektif, dan membangun pemahaman historis yang reflektif. Lingkaran ini
bukan penjara relativisme, melainkan ruang kemungkinan
di mana makna terus diperbarui melalui keterlibatan dengan tradisi dan “yang
lain.” Dalam dunia yang menuntut keterbukaan makna dan pemahaman lintas
budaya, pendekatan Gadamer tetap relevan sebagai fondasi
filosofis bagi etika dialog, keterbukaan, dan penghargaan terhadap sejarah.5
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 265–275.
[2]
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics,
trans. Joel Weinsheimer (New Haven: Yale University Press, 1994), 122–128.
[3]
Georgia Warnke, Gadamer: Hermeneutics, Tradition and Reason
(Stanford: Stanford University Press, 1987), 95–105.
[4]
Jürgen Habermas, “The Hermeneutic Claim to Universality,” in The
Hermeneutic Tradition: From Ast to Ricoeur, ed. Gayle L. Ormiston and Alan
D. Schrift (Albany: SUNY Press, 1990), 258–265; Jacques Derrida, “Three
Questions to Hans-Georg Gadamer,” in Dialogue and Deconstruction: The
Gadamer-Derrida Encounter, ed. Diane P. Michelfelder and Richard E. Palmer
(Albany: SUNY Press, 1989), 52–58.
[5]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 246–249.
Daftar Pustaka
Derrida, J. (1989). Three questions to
Hans-Georg Gadamer. In D. P. Michelfelder & R. E. Palmer (Eds.), Dialogue
and deconstruction: The Gadamer-Derrida encounter (pp. 52–58). Albany, NY:
State University of New York Press.
Dilthey, W. (1996). Hermeneutics and the study
of history (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York, NY:
Continuum.
Grondin, J. (1994). Introduction to
philosophical hermeneutics (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven, CT: Yale
University Press.
Grondin, J. (2003). Hans-Georg Gadamer: A
biography (J. Weinsheimer, Trans.). New Haven, CT: Yale University Press.
Habermas, J. (1990). The hermeneutic claim to
universality. In G. L. Ormiston & A. D. Schrift (Eds.), The hermeneutic
tradition: From Ast to Ricoeur (pp. 245–272). Albany, NY: State University
of New York Press.
Palmer, R. E. (1969). Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Evanston, IL: Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative: Vol. 1
(K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). Chicago, IL: University of Chicago
Press.
Schleiermacher, F. (1998). Hermeneutics and
criticism and other writings (A. Bowie, Ed. & Trans.). Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Warnke, G. (1987). Gadamer: Hermeneutics,
tradition and reason. Stanford, CA: Stanford University Press.
Davey, N. (2006). Unquiet understanding:
Gadamer's philosophical hermeneutics. Albany, NY: State University of New
York Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar