Jumat, 01 Agustus 2025

Kegagalan Demokrasi: Tinjauan Filsafat dan Tanggung Jawab Etis dalam Pendidikan

Kegagalan Demokrasi

Tinjauan Filsafat dan Tanggung Jawab Etis dalam Pendidikan


Alihkan ke: Demokrasi dalam Perspektif FilsafatSistem PemerintahanDemokrasi Dalam Sistem PemerintahanKritik Terhadap Demokrasi.


Abstrak

Artikel ini membahas peran strategis guru sebagai penuntun moral dalam merespons krisis nilai yang melanda sistem demokrasi kontemporer. Berangkat dari kritik tajam para filsuf klasik seperti Plato terhadap kelemahan struktural demokrasi, artikel ini menelusuri berbagai bukti historis dan kontemporer mengenai kegagalan demokrasi dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan publik. Disoroti pula tantangan etis dan moral dalam praktik demokrasi modern yang sering kali terjebak dalam populisme, disinformasi, dan krisis kepemimpinan. Dalam konteks tersebut, guru ditampilkan bukan semata-mata sebagai pelaksana kurikulum, tetapi sebagai agen moral dan penjaga nurani bangsa yang bertugas menanamkan nilai-nilai kebenaran, tanggung jawab, dan kebajikan kepada generasi muda. Dengan pendekatan interdisipliner yang memadukan filsafat politik, etika pendidikan, dan analisis sosial, artikel ini menegaskan bahwa kebangkitan moral demokrasi harus dimulai dari ruang kelas. Guru diharapkan mampu mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan moral-spiritual dalam praktik pendidikan sebagai fondasi pembentukan warga negara yang etis, kritis, dan berkeadaban.

Kata Kunci: Guru, Moralitas, Demokrasi, Etika Pendidikan, Krisis Nilai, Filsafat Politik, Tanggung Jawab Sosial, Plato, Pendidikan Kritis.


PEMBAHASAN

Guru sebagai Penuntun Moral di Tengah Krisis Demokrasi


1.           Pendahuluan

Demokrasi telah lama dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling menjanjikan karena memberi ruang partisipasi kepada rakyat, menjunjung kebebasan sipil, dan menghargai keberagaman. Sejak era pencerahan hingga dewasa ini, demokrasi terus dikukuhkan sebagai puncak dari evolusi politik modern, sejalan dengan ideal-ideal humanisme dan hak asasi manusia. Namun demikian, klaim superioritas demokrasi mulai mendapat tantangan serius, terutama ketika praktiknya tidak mampu menjamin keadilan sosial, stabilitas politik, atau bahkan moralitas publik. Dalam konteks ini, pertanyaan yang mengemuka adalah: apakah demokrasi benar-benar berhasil menciptakan tatanan masyarakat yang beradab dan bermoral?

Kritik terhadap demokrasi bukanlah hal baru. Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf Plato sudah mengungkapkan keberatannya terhadap sistem ini. Ia menilai bahwa demokrasi membuka peluang bagi kekuasaan rakyat yang irasional, dan dalam jangka panjang justru akan mengarah pada kekacauan sosial dan lahirnya tirani. Dalam Republik, Plato menulis bahwa “kebebasan yang tanpa batas akan melahirkan perbudakan yang sejati,” karena dalam sistem ini orang-orang awam yang tidak memiliki pengetahuan memimpin negara atas dasar popularitas, bukan kebijaksanaan atau kebenaran filosofis.¹

Kondisi demokrasi kontemporer tampaknya tidak jauh berbeda dari bayangan distopis Plato. Demokrasi elektoral kini menghadapi tantangan serius, mulai dari dominasi oligarki ekonomi, manipulasi opini publik melalui media sosial, hingga polarisasi ekstrem dalam masyarakat. Dalam laporan Freedom in the World 2024 oleh Freedom House, dinyatakan bahwa kebebasan sipil dan politik mengalami penurunan global selama 18 tahun berturut-turut, bahkan di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai pelopor demokrasi.² Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural tidak selalu menjamin substansi demokrasi, yakni keadilan, kebenaran, dan akal sehat publik.

Di tengah krisis demokrasi ini, pendidikan menjadi pilar penting yang tidak boleh diabaikan. Sayangnya, lembaga pendidikan pun sering kali terseret arus liberalisme nilai dan relativisme moral. Kebebasan berpikir yang seharusnya membebaskan manusia dari kebodohan justru dimaknai secara keliru, sehingga menimbulkan kekacauan konseptual antara kebebasan dan kebebalan. Dalam situasi inilah guru memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai pengajar pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai penuntun moral dan pembimbing etika kehidupan (moral educator)

Guru tidak hanya mengajarkan fakta, tetapi juga membentuk nilai, karakter, dan arah hidup generasi muda. Dalam pandangan John Dewey, pendidikan adalah proses sosial yang bertujuan membentuk warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan aktif dalam kehidupan publik.⁴ Namun, dalam realitasnya, peran ini sering kali tergerus oleh tekanan kurikulum teknokratis, tuntutan administratif, dan budaya permisif yang merelatifkan kebenaran. Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi peran guru sebagai penjaga akal dan moral masyarakat, terutama dalam menghadapi krisis demokrasi yang semakin dalam.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara filosofis dan praktis bagaimana seharusnya guru bersikap dalam konteks dunia yang demokratis tetapi krisis secara etis. Dengan merujuk pada pemikiran para filsuf, dinamika sosial politik kontemporer, dan etika pendidikan, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan landasan moral dan intelektual bagi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik umat dan penjaga peradaban.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 557e–562a.

[2]                Freedom House, Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.

[3]                Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education (New York: Teachers College Press, 2002), 1–12.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.


2.           Kritik Filsuf Klasik terhadap Demokrasi

2.1.       Pandangan Plato tentang Demokrasi

Plato, murid Socrates dan guru Aristoteles, merupakan salah satu kritikus paling awal dan tajam terhadap demokrasi. Kritiknya tidak bersifat teoritis belaka, tetapi didasarkan pada pengalaman nyata menyaksikan keruntuhan moral dan politik Athena, termasuk eksekusi atas gurunya, Socrates, oleh pengadilan demokratis. Dalam karya monumentalnya, Republic (Politeia), Plato menggambarkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tampak menyenangkan, tetapi sejatinya rapuh dan berbahaya. Ia menempatkan demokrasi pada urutan keempat dari lima bentuk pemerintahan yang menurun secara degeneratif, dimulai dari aristokrasi (terbaik) menuju tirani (terburuk).¹

Menurut Plato, demokrasi memiliki tiga kelemahan utama:

1)                  Pemerintahan oleh Rakyat Tak Terdidik

Demokrasi memberi kekuasaan kepada orang banyak, tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam memimpin. Ia berpendapat bahwa rakyat banyak sering kali tidak rasional dan mudah dipengaruhi emosi atau retorika pemimpin populis.² Ini menyebabkan keputusan-keputusan negara dibuat bukan berdasarkan akal dan kebajikan, tetapi atas dasar selera mayoritas. Dalam analoginya yang terkenal, Plato membandingkan demokrasi dengan kapal yang dinakhodai oleh penumpang yang tak tahu arah, sementara sang pelaut sejati (filsuf) diabaikan.³

2)                  Kebebasan yang Kebablasan (Excess of Freedom)

Salah satu ciri khas demokrasi menurut Plato adalah kebebasan yang tidak terkendali. Ia menganggap bahwa dalam demokrasi, setiap orang merasa berhak melakukan apapun yang ia inginkan, bahkan tanpa mempertimbangkan tatanan atau norma yang ada. Kebebasan yang berlebihan ini, menurutnya, akan mengacaukan struktur sosial dan pada akhirnya menciptakan keinginan untuk "ketertiban", yang membuka jalan bagi lahirnya tirani.⁴

3)                  Relativisme Moral dan Kehilangan Otoritas

Dalam demokrasi, semua nilai cenderung dipandang setara. Tidak ada kebenaran objektif yang dijunjung, karena semua pendapat dianggap sah dan harus diterima. Hal ini, menurut Plato, berbahaya karena merelatifkan nilai-nilai moral dan menghancurkan fondasi etika masyarakat.⁵

Dengan demikian, Plato memandang bahwa demokrasi bukanlah puncak peradaban politik, melainkan jalan tengah menuju kekacauan dan lahirnya rezim tiranik.⁶ Ironisnya, dalam sejarah modern, pendapat Plato ini tampak relevan saat kita menyaksikan bagaimana demokrasi bisa melahirkan kekuatan otoriter melalui pemilu yang sah—seperti yang terjadi dalam kasus Jerman Nazi.

2.2.       Tirani Mayoritas dan Relativisme: Warisan Kritik Setelah Plato

Kritik terhadap demokrasi tidak berhenti pada era Yunani Kuno. Dalam tradisi modern, pemikir Prancis Alexis de Tocqueville mengemukakan konsep "tirani mayoritas" dalam karyanya Democracy in America (1835). Menurutnya, dalam sistem demokrasi, terdapat risiko bahwa suara mayoritas akan menindas minoritas secara sah, sehingga kebebasan individu justru terancam oleh kesepakatan kolektif yang sewenang-wenang.⁷ Ini menegaskan kekhawatiran Plato bahwa demokrasi bisa menjadi alat penindasan, bukan pembebasan.

Tocqueville juga menyoroti kecenderungan masyarakat demokratis untuk bersikap konformis, di mana opini publik mendominasi ruang wacana, dan menyisakan sedikit ruang untuk kebebasan berpikir yang otentik. Dalam pandangannya, demokrasi mendorong keseragaman dan mengurangi keberanian intelektual.⁸ Hal ini semakin terasa relevan dalam era media sosial saat ini, ketika opini massa sering kali mengalahkan pertimbangan nalar dan fakta.

Kritik lainnya datang dari Friedrich Nietzsche yang menyebut demokrasi sebagai bentuk “penyamarataan nilai” (leveling down), di mana keunggulan dan kebajikan digantikan oleh mediokritas massal.⁹ Sementara itu, José Ortega y Gasset dalam The Revolt of the Masses menyatakan bahwa demokrasi modern telah memberi tempat kepada “manusia massa” yang tidak berpendidikan, vulgar, dan arogan.¹⁰


Penegasan dalam Konteks Pendidikan

Kritik para filsuf terhadap demokrasi memperlihatkan satu pesan penting: bahwa masyarakat demokratis memerlukan bimbingan moral dan intelektual yang kokoh agar tidak terseret oleh kebebasan yang kebablasan dan dominasi opini mayoritas yang tidak rasional. Di sinilah pendidikan, dan khususnya guru, memiliki peran kunci dalam menjaga nalar, menanamkan nilai kebenaran objektif, serta membimbing peserta didik agar menjadi warga negara yang bebas tetapi bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 543a–544d.

[2]                Ibid., 557c–558a.

[3]                Ibid., 488a–489a.

[4]                Ibid., 562a–563e.

[5]                Ibid., 558d–559b.

[6]                Ibid., 564a–565d.

[7]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 235–240.

[8]                Ibid., 246–248.

[9]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 91–95.

[10]             José Ortega y Gasset, The Revolt of the Masses, trans. Anthony Kerrigan (New York: W.W. Norton, 1994), 14–17.


3.           Bukti Historis dan Kontemporer Kegagalan Demokrasi

3.1.       Demokrasi dalam Sejarah: Antara Retorika dan Realitas

Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik, tetapi sejarah memperlihatkan bahwa sistem ini tidak kebal terhadap kegagalan. Salah satu contoh paling mencolok adalah jatuhnya demokrasi Athena pada abad ke-4 SM. Sistem demokrasi langsung yang diterapkan di Athena memberikan ruang besar bagi rakyat untuk membuat keputusan melalui voting terbuka. Namun, Plato dan Thucydides mencatat bahwa keputusan-keputusan yang diambil rakyat sering kali didasarkan pada emosi, tekanan massa, dan hasutan para demagog, bukan pertimbangan rasional.¹ Eksekusi atas Socrates pada tahun 399 SM adalah bukti nyata bagaimana sistem demokrasi dapat menindas suara kebijaksanaan yang justru bertentangan dengan opini mayoritas.²

Demokrasi juga terbukti gagal dalam menahan munculnya kekuasaan otoriter. Kasus Jerman pada awal abad ke-20 menjadi pelajaran penting. Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933 melalui proses demokratis dalam sistem Republik Weimar. Setelah memperoleh kekuasaan, ia membubarkan parlemen, menyingkirkan lawan-lawan politik, dan mendirikan rezim totaliter yang berujung pada Perang Dunia II dan Holocaust.³ Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan William Shirer, "Weimar, dengan seluruh kemegahan demokratisnya, gagal karena tidak memiliki landasan moral dan institusional yang kuat untuk membendung kekuatan destruktif dari dalam."⁴

3.2.       Kerapuhan Demokrasi di Negara Berkembang: Kudeta dan Kekacauan Politik

Di banyak negara berkembang, demokrasi hanya menjadi alat prosedural untuk perebutan kekuasaan tanpa disertai komitmen pada prinsip-prinsip demokrasi substantif. Salah satu contoh adalah Mesir, di mana presiden Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, yang terpilih secara demokratis pada tahun 2012, digulingkan oleh militer hanya setahun kemudian. Kudeta tersebut didukung sebagian besar rakyat dan elite politik yang kecewa, meskipun mengabaikan prinsip pemilu dan supremasi konstitusi.⁵

Hal serupa terjadi di Thailand, yang mengalami beberapa kali kudeta militer sejak awal era reformasi. Meskipun Thailand mengadakan pemilu secara berkala, militer tetap menjadi kekuatan dominan yang mengintervensi proses demokrasi saat terjadi ketidakstabilan.⁶ Di Pakistan, sistem demokrasi berkali-kali digantikan oleh pemerintahan militer, menunjukkan bahwa struktur demokrasi sering kali tidak memiliki pertahanan institusional yang kuat terhadap kekuatan ekstra-konstitusional.⁷

Kegagalan demokrasi di negara-negara tersebut seringkali diakibatkan oleh absennya rule of law, lemahnya lembaga pengawasan, rendahnya literasi politik, serta dominasi elite yang mempermainkan konstitusi demi kepentingan kelompok.

3.3.       Krisis Demokrasi Modern: Polarisasi, Populisme, dan Disinformasi

Demokrasi tidak hanya mengalami kegagalan di negara berkembang, tetapi juga mengalami erosi kualitas di negara-negara maju. Laporan Freedom in the World 2024 mencatat bahwa selama hampir dua dekade terakhir, dunia mengalami kemunduran kebebasan sipil dan penurunan kualitas demokrasi.⁸ Bahkan di Amerika Serikat, indeks demokrasi menunjukkan penurunan sejak 2016 akibat meningkatnya polarisasi politik, delegitimasi pemilu, dan munculnya gerakan anti-demokrasi yang menggunakan dalih kebebasan berekspresi.⁹

Salah satu ciri utama krisis demokrasi modern adalah populisme, di mana pemimpin-pemimpin memanfaatkan sentimen massa, nasionalisme sempit, dan kebencian terhadap elite untuk meraih kekuasaan. Populisme ini seringkali menolak prinsip pluralisme dan cenderung membatasi kebebasan oposisi. Seperti dijelaskan oleh Fareed Zakaria, populisme dalam demokrasi liberal bisa mengarah pada apa yang disebutnya sebagai "illiberal democracy", yakni sistem yang secara formal demokratis tetapi otoriter dalam substansinya.¹⁰

Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah mempercepat penyebaran disinformasi dan hoaks, yang membentuk opini publik secara manipulatif. Algoritma media sosial memperkuat echo chambers, di mana masyarakat hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, tanpa verifikasi fakta. Hal ini melemahkan diskursus rasional dan memperburuk polarisasi.¹¹ Demokrasi, yang seharusnya dibangun di atas diskusi terbuka dan argumentasi logis, justru tereduksi menjadi perang opini yang dangkal dan emosional.

3.4.       Implikasi Bagi Pendidikan: Demokrasi Tanpa Nalar adalah Bahaya

Bukti-bukti historis dan kontemporer di atas menunjukkan bahwa demokrasi tanpa landasan etika dan nalar kritis akan berujung pada kekacauan, atau bahkan kehancuran. Demokrasi bukanlah sistem yang “otomatis baik”, tetapi membutuhkan prasyarat berupa pendidikan politik, kedewasaan moral, dan keberanian untuk berpikir mandiri.

Karena itu, pendidikan menjadi arena strategis untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran internal. Sekolah bukan hanya tempat pengajaran teknis, tetapi juga laboratorium nilai-nilai demokrasi yang berkarakter. Dalam konteks ini, guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi harus menjadi penjaga akal sehat dan penjaga moral masyarakat yang demokratis.


Footnotes

[1]                Thucydides, The History of the Peloponnesian War, trans. Richard Crawley (New York: Modern Library, 1951), 205–210.

[2]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 24b–28a.

[3]                Richard J. Evans, The Coming of the Third Reich (New York: Penguin Press, 2004), 324–345.

[4]                William L. Shirer, The Rise and Fall of the Third Reich (New York: Simon & Schuster, 1960), 186.

[5]                Nathan J. Brown, When Victory Is Not an Option: Islamist Movements in Arab Politics (Ithaca: Cornell University Press, 2012), 153–160.

[6]                Duncan McCargo, “Thailand’s Evolving Military,” Journal of Democracy 30, no. 1 (2019): 129–143.

[7]                Aqil Shah, The Army and Democracy: Military Politics in Pakistan (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 1–20.

[8]                Freedom House, Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.

[9]                Pew Research Center, “Americans’ Trust in Government 1958–2023,” accessed July 2025, https://www.pewresearch.org.

[10]             Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–19.

[11]             Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 79–95.


4.           Tantangan Etika dan Moral dalam Sistem Demokrasi

4.1.       Kebebasan Tanpa Tanggung Jawab: Ancaman dari Dalam

Demokrasi modern sering kali dipuji karena memberi kebebasan individu yang luas, termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menentukan nasib sendiri. Namun, ketika kebebasan tidak disertai dengan tanggung jawab moral, ia bisa berubah menjadi bentuk kebebalan. John Stuart Mill memang menyatakan bahwa kebebasan individu merupakan syarat utama untuk kemajuan peradaban, tetapi ia juga menekankan bahwa “kebebasan bukan berarti kebal terhadap kritik moral, hukum, atau kewajiban sosial.”¹ Sayangnya, dalam praktik demokrasi kontemporer, prinsip tanggung jawab ini kerap diabaikan.

Kebebasan yang tidak terkendali ini berujung pada berbagai bentuk penyimpangan nilai. Dalam masyarakat yang demokratis secara prosedural tetapi nihil secara spiritual, kita menyaksikan maraknya budaya permisif: pernikahan sejenis dilegalkan, pornografi dilindungi atas nama seni, bahkan penyimpangan identitas gender dianggap hak yang tidak boleh dikritik.² Fenomena ini menguatkan kekhawatiran para filsuf klasik, seperti Plato dan Tocqueville, bahwa kebebasan yang melampaui batas bisa merusak tatanan sosial dan moral masyarakat.³

4.2.       Relativisme Moral: Krisis Kebenaran dalam Demokrasi

Salah satu ciri masyarakat demokratis modern adalah munculnya relativisme moral, yaitu pandangan bahwa tidak ada standar etika yang objektif, dan semua nilai bersifat subyektif. Konsekuensinya, segala bentuk pilihan gaya hidup, orientasi seksual, atau sistem kepercayaan dianggap setara dan tidak boleh dinilai salah atau benar.⁴

Fenomena ini dijelaskan secara tajam oleh Alasdair MacIntyre dalam After Virtue. Ia berargumen bahwa masyarakat modern telah kehilangan konsensus moral, sehingga perdebatan etika cenderung tidak menghasilkan titik temu karena tidak adanya landasan normatif yang sama.⁵ Dalam kondisi seperti ini, kebijakan publik dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh opini mayoritas daripada prinsip moral yang kokoh.

Relativisme moral juga berdampak langsung pada dunia pendidikan. Ketika semua nilai dianggap relatif, guru tidak lagi dianggap sebagai pembimbing moral, melainkan sekadar fasilitator netral yang tidak boleh mengarahkan nilai hidup muridnya.⁶ Padahal, pendidikan sejati bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan penanaman nilai universal, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.

4.3.       Krisis Kepemimpinan dan Etika Publik

Demokrasi idealnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan berorientasi pada kebaikan bersama. Namun realitas kontemporer menunjukkan sebaliknya: banyak pemimpin demokratis justru memenangkan kekuasaan melalui manipulasi opini publik, retorika kosong, dan pembelahan sosial.⁷ Populisme yang berkembang saat ini sering kali mengabaikan prinsip-prinsip etika publik demi kemenangan elektoral.

George Orwell, dalam Politics and the English Language, mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi yang dikuasai oleh elite populis, bahasa politik sering kali digunakan untuk “membuat kebohongan terdengar benar dan kekejaman tampak terhormat.”⁸ Ketika demokrasi berubah menjadi arena perebutan kuasa tanpa etika, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada lembaga-lembaga publik dan melemahkan kohesi sosial.

Sebagai akibat dari krisis etika ini, korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi hukum, dan politik uang menjadi hal yang lumrah bahkan di negara demokratis sekalipun. Transparency International melaporkan bahwa banyak negara demokrasi mengalami stagnasi atau penurunan dalam indeks persepsi korupsi, termasuk negara-negara dengan sistem pemilu yang mapan.⁹ Ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak serta-merta menciptakan pemerintahan yang bersih atau adil, jika tidak didukung oleh nilai-nilai moral yang kuat.

4.4.       Dampaknya terhadap Pendidikan: Guru di Tengah Tarikan Nilai

Seluruh tantangan di atas bermuara pada satu hal penting: pendidikan sebagai ladang pertarungan nilai. Di satu sisi, sistem demokrasi memberi ruang kebebasan berekspresi dan kebhinekaan. Namun di sisi lain, nilai-nilai luhur yang selama ini dijunjung, termasuk nilai-nilai keagamaan, mulai terpinggirkan dan dianggap tidak relevan.

Dalam lingkungan ini, guru menjadi aktor utama yang dituntut untuk bersikap tegas, tetapi arif. Guru bukan sekadar pelayan sistem, melainkan agen nilai yang harus mampu mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab, menghidupkan kembali diskursus moral, dan membentuk manusia merdeka yang berkarakter.

Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati tidak netral, melainkan selalu berpihak—berpihak kepada pembebasan manusia dari ketertindasan, termasuk ketertindasan oleh sistem nilai yang hampa makna.¹⁰ Dalam konteks demokrasi hari ini, tugas guru bukan hanya melawan ketidakadilan politik, tetapi juga melawan kekacauan moral dan kehampaan spiritual.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 11–13.

[2]                Carl R. Trueman, The Rise and Triumph of the Modern Self: Cultural Amnesia, Expressive Individualism, and the Road to Sexual Revolution (Wheaton: Crossway, 2020), 89–102.

[3]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 235–248.

[4]                Stanley Fish, There's No Such Thing as Free Speech: And It's a Good Thing, Too (New York: Oxford University Press, 1994), 102–105.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–6.

[6]                Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2005), 6–8.

[7]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 34–39.

[8]                George Orwell, Politics and the English Language, in Shooting an Elephant and Other Essays (London: Secker and Warburg, 1950), 162–170.

[9]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, accessed July 2025, https://www.transparency.org/en/cpi.

[10]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 88–95.


5.           Peran dan Sikap Ideal Seorang Guru di Tengah Krisis Demokrasi

5.1.       Guru sebagai Penjaga Nilai dalam Arus Relativisme

Di tengah gempuran relativisme nilai yang melanda masyarakat demokratis, guru dituntut untuk menjadi penjaga nilai (guardian of values). Pendidikan bukan semata soal transmisi informasi, tetapi sebuah proses pembentukan karakter dan penginternalisasian nilai moral yang menjadi fondasi masyarakat beradab. Hal ini sejalan dengan pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membimbing manusia agar menjadi makhluk bermoral, yaitu mampu bertindak berdasarkan prinsip rasional yang universal.¹

Relativisme moral yang menganggap semua nilai setara dan sah dalam sistem demokrasi telah menciptakan ruang pendidikan yang kabur dari tanggung jawab moral. Dalam situasi ini, guru tidak boleh bersikap netral terhadap nilai. Seperti ditegaskan oleh Parker J. Palmer, “pendidikan yang netral secara nilai adalah sebuah ilusi—dalam kenyataannya, kita selalu mengajar dari suatu pandangan dunia tertentu.”² Maka, sikap ideal guru adalah menjadi pemimpin moral yang sadar akan peran strategisnya dalam membentuk generasi berintegritas.

5.2.       Keteladanan Etis: Guru sebagai Model Moral

Dalam konteks krisis demokrasi, keteladanan etis guru menjadi semakin penting. Krisis integritas para pemimpin, polarisasi sosial, dan pembusukan diskursus publik telah membuat banyak siswa kehilangan figur yang layak diteladani. Guru dapat mengisi kekosongan ini melalui keteladanan hidup.

Socrates pernah menyatakan bahwa kebajikan itu dapat ditularkan bukan hanya lewat kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata.³ Dalam dunia pendidikan modern, konsep ini ditegaskan kembali oleh Thomas Lickona yang menyatakan bahwa karakter tidak cukup diajarkan, tetapi harus ditunjukkan dalam praktik kehidupan.⁴ Guru yang jujur, adil, rendah hati, dan bertanggung jawab akan menanamkan nilai-nilai tersebut secara otentik dalam diri peserta didik.

Lebih dari itu, guru harus menjadi pemersatu nilai di tengah perbedaan, membangun dialog yang jujur tanpa kehilangan kompas moral. Ketika peserta didik menyaksikan sosok guru yang konsisten antara perkataan dan perbuatan, mereka tidak hanya belajar kognisi, tetapi juga internalisasi nilai yang mendalam.

5.3.       Guru sebagai Agen Transformasi Sosial

Dalam filsafat pendidikan kritis, seperti yang dikembangkan Paulo Freire, guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi agen perubahan sosial.⁵ Di tengah krisis demokrasi—yang ditandai dengan apatisme politik, lemahnya partisipasi publik, dan dominasi elite—pendidikan harus membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis dan keberanian moral untuk terlibat dalam perbaikan masyarakat.

Namun, berpikir kritis tidak boleh lepas dari nilai etika. Guru harus mampu mengintegrasikan nalar kritis dengan kesadaran moral, agar siswa tidak hanya menjadi pengkritik tajam, tetapi juga pembangun solusi. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus menumbuhkan civic intelligence, yaitu kemampuan warga untuk memecahkan masalah publik secara partisipatif dan bertanggung jawab.⁶

Guru yang menyadari peran ini akan berupaya menciptakan ruang dialog yang sehat, inklusif, dan berbasis pada nilai keadilan, kebenaran, dan empati. Ia bukan sekadar pelayan kurikulum, tetapi penggerak nurani kolektif bangsa.

5.4.       Komitmen terhadap Kebenaran dan Keberanian Moral

Sistem demokrasi memungkinkan suara guru dibungkam oleh opini mayoritas atau tekanan kebijakan. Namun guru yang berintegritas harus tetap memegang teguh kebenaran, sekalipun itu tidak populer. Ini menuntut keberanian moral yang tinggi, sebagaimana dikemukakan oleh Hannah Arendt bahwa tindakan moral sejati sering kali menuntut keberanian untuk berdiri sendiri melawan arus.⁷

Dalam praktiknya, ini berarti guru harus berani menyuarakan yang benar, mengoreksi kesalahan sistem, serta tidak larut dalam kepentingan pragmatis birokrasi atau tekanan politis. Ia harus menjaga independensinya sebagai intelektual dan pendidik, serta mewariskan kepada siswanya kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan opini.

5.5.       Pendidikan Nilai Berbasis Spiritualitas

Akhirnya, krisis demokrasi juga merupakan krisis spiritual. Demokrasi yang kehilangan akar spiritualitas akan cenderung mekanistik, materialistik, dan nihilistik. Guru berperan penting dalam menghadirkan dimensi spiritual dalam pendidikan, bukan sekadar religiusitas formal, tetapi spiritualitas yang membentuk kesadaran akan makna hidup, tanggung jawab sosial, dan hubungan transendental dengan Tuhan.

Sebagaimana dikemukakan oleh T.S. Eliot, “masyarakat yang kehilangan agama akan kehilangan budaya dan akhirnya kehilangan kemanusiaannya.”⁸ Maka, tugas guru adalah menyelamatkan pendidikan dari kehampaan nilai dengan menanamkan spiritualitas yang kokoh dan inklusif, sesuai dengan keyakinan luhur bangsa.


Kesimpulan Bab

Dalam krisis demokrasi yang menggerus nilai dan etika, guru harus mengambil posisi sebagai penuntun moral, bukan hanya pelayan sistem. Ia harus berpihak kepada kebenaran, membentuk karakter siswa, menumbuhkan keberanian moral, serta menjadi teladan hidup dari nilai-nilai luhur. Di tangan para guru inilah masa depan demokrasi yang beradab, adil, dan bermoral dipertaruhkan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Lectures on Pedagogy, trans. Robert B. Louden (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 442.

[2]                Parker J. Palmer, To Know as We Are Known: Education as a Spiritual Journey (San Francisco: HarperOne, 1993), 17.

[3]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 2000), 29c–30a.

[4]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 43.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 75–78.

[6]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.

[7]                Hannah Arendt, Responsibility and Judgment (New York: Schocken Books, 2003), 36–38.

[8]                T.S. Eliot, Notes Towards the Definition of Culture (London: Faber and Faber, 1948), 100.


6.           Penutup: Rekonstruksi Etika Pendidikan untuk Menyelamatkan Demokrasi

Krisis demokrasi pada dasarnya bukan semata-mata persoalan politik atau kelembagaan, tetapi lebih dalam lagi merupakan krisis nilai dan etika publik. Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab moral, sering kali tereduksi menjadi sekadar prosedur elektoral yang dikendalikan oleh oligarki, populisme, dan manipulasi informasi.⁽¹⁾ Dalam konteks ini, pendidikan memiliki fungsi krusial untuk menyelamatkan substansi demokrasi melalui penanaman nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, kritik tajam para filsuf klasik seperti Plato terhadap demokrasi⁽²⁾, serta kegagalan historis dan kontemporer demokrasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil⁽³⁾, menggarisbawahi pentingnya peran pendidikan moral dalam demokrasi. Demokrasi tidak bisa bertahan tanpa warga negara yang berkarakter, bermoral, dan memiliki kesadaran etis yang tinggi.⁽⁴⁾ Dalam hal ini, guru memegang posisi strategis sebagai aktor utama dalam rekonstruksi moral bangsa.

Guru bukan hanya pelaksana kurikulum, tetapi penuntun moral yang membentuk jiwa manusia muda. Sebagaimana ditegaskan oleh Martha Nussbaum, pendidikan sejati adalah pendidikan untuk kemanusiaan (education for humanity), yaitu pendidikan yang menumbuhkan empati, nalar kritis, dan tanggung jawab sosial.⁽⁵⁾ Oleh karena itu, pembaruan sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembaruan sistem pendidikan, terutama dalam hal penguatan peran etis dan moral guru.

Untuk menjawab tantangan zaman, pendidikan harus diarahkan pada tiga ranah utama:

1)                  Ranah kognitif, yakni membekali siswa dengan nalar kritis agar tidak mudah diperdaya oleh propaganda dan disinformasi;

2)                  Ranah afektif, yaitu menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial;

3)                  Ranah moral-spiritual, yakni membangun karakter yang berakar pada nilai-nilai universal dan ajaran agama yang autentik.

Transformasi ini hanya mungkin tercapai jika para guru menyadari bahwa tanggung jawab mereka tidak hanya bersifat profesional, tetapi juga moral dan spiritual. Di tengah kecenderungan sekularisasi dan komersialisasi pendidikan, guru perlu menegaskan kembali identitasnya sebagai penjaga nurani bangsa, sebagaimana dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan sejatinya harus memerdekakan manusia lahir dan batin.⁽⁶⁾

Pendidikan yang bermutu bukanlah yang sekadar mencetak lulusan cerdas secara akademis, tetapi yang mampu menciptakan warga negara yang bijak secara moral dan tangguh secara spiritual. Maka, di tengah krisis demokrasi global maupun lokal, harapan akan kebangkitan etika publik hanya mungkin ditegakkan jika para guru mau berdiri di garda depan sebagai pemimpin moral dan agen transformasi nilai.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 25–29.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), Book VIII, 555b–562a.

[3]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton, 2003), 17–36.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 82–84.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.

[6]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, ed. Soewardi Surjaningrat (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1962), 31.


Daftar Pustaka

Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan (hal. 1–100). Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York, NY: Macmillan.

Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. New York, NY: Henry Holt.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev. Ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 380 BCE)

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. New York, NY: W. W. Norton & Company.


Lampiran 1: Keburukan Demokrasi Menurut Plato

Plato, seorang filsuf Yunani klasik yang hidup sekitar tahun 427–347 SM, adalah salah satu kritikus awal dan paling tajam terhadap demokrasi, terutama demokrasi Athena yang ia saksikan sendiri. Dalam karya terkenalnya "Republik" (Politeia) dan juga "Nomoi" (Laws), Plato mengungkapkan berbagai keburukan demokrasi yang ia anggap sebagai bentuk pemerintahan yang cacat. Berikut adalah point-point utama keburukan demokrasi menurut Plato:

1)                  Pemerintahan oleh Orang yang Tidak Kompeten

Plato percaya bahwa demokrasi memberi kekuasaan kepada massa, termasuk orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau keahlian dalam memimpin negara.

➡️ "Demokrasi menjadikan semua orang bebas memilih, bahkan yang tidak layak memimpin."

2)                  Kebebasan yang Kebablasan (Ekses Kebebasan)

Menurut Plato, demokrasi memuja kebebasan secara berlebihan sehingga menyebabkan pelanggaran terhadap tatanan, hukum, dan otoritas. Kebebasan yang tidak terkendali ini berujung pada anarki.

➡️ "Terlalu banyak kebebasan pada akhirnya justru akan menghasilkan bentuk perbudakan baru."

3)                  Runtuhnya Otoritas dan Hirarki Sosial

Dalam demokrasi, tidak ada struktur tetap tentang siapa yang harus memimpin. Ini, menurut Plato, merusak tatanan sosial dan menciptakan kesetaraan palsu antara yang bijak dan yang bodoh.

➡️ "Dalam demokrasi, guru takut pada murid, orang tua takut pada anak, dan semua merasa diri pantas memimpin."

4)                  Naiknya Pemimpin Populis, Bukan Filosof

Plato mengkritik bahwa dalam demokrasi, pemimpin dipilih bukan karena kebijaksanaan, tetapi karena kemampuan menarik simpati massa (populisme). Hal ini membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter (tirani) di kemudian hari.

➡️ "Demokrasi adalah jalan menuju tirani."

5)                  Pemanjaan terhadap Nafsu dan Keinginan

Demokrasi memberi ruang luas bagi masyarakat untuk memenuhi keinginan pribadi tanpa kendali rasional. Ini menghasilkan masyarakat yang konsumtif, hedonistik, dan kehilangan arah moral.

➡️ "Rakyat lebih menyukai kesenangan sesaat daripada kebaikan sejati."

6)                  Ketidakstabilan Politik

Karena kepemimpinan bisa berubah dengan cepat melalui pemilu dan suara rakyat, Plato menilai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan rentan terhadap konflik internal.

➡️ "Demokrasi tidak bisa bertahan lama karena ia menumbuhkan benih kehancurannya sendiri."

7)                  Relativisme Moral dan Kekacauan Etika

Dalam demokrasi, segala pendapat dianggap sah dan setara, sehingga nilai kebenaran menjadi relatif. Ini membuat hukum dan etika mudah dipermainkan sesuai dengan kehendak mayoritas.

➡️ "Ketika setiap pendapat dianggap benar, maka tidak ada lagi kebenaran sejati."


Ringkasan Kritik Plato terhadap Demokrasi:

1)                  Dipimpin oleh orang tak berilmu

2)                  Kebebasan yang berlebihan

3)                  Otoritas dan hierarki sosial rusak

4)                  Munculnya pemimpin populis yang berpotensi tirani

5)                  Pemanjaan terhadap nafsu dan kesenangan duniawi

6)                  Ketidakstabilan sistem pemerintahan

7)                  Relativisme moral dan hilangnya nilai kebenaran mutlak


Lampiran 2: Bukti-Bukti Kegagalan Demokrasi

Berikut adalah beberapa bukti-bukti kegagalan demokrasi, baik dari sisi praktik historis, kondisi kontemporer, maupun argumen filosofis, yang sering dijadikan kritik terhadap demokrasi oleh para pemikir seperti Plato maupun pengamat politik modern:

1.            Bukti Filosofis dan Teoritis

1)                  Plato: Demokrasi Menjadi Jalan Menuju Tirani

Plato menyatakan dalam "Republik" bahwa demokrasi yang memberi kebebasan tanpa batas pada akhirnya menciptakan kekacauan sosial yang membuka jalan bagi munculnya pemimpin tirani yang menjanjikan “ketertiban”.

Contoh historis: naiknya Hitler di Jerman melalui pemilu demokratis.

2)                  Tirani Mayoritas

Demokrasi bisa berubah menjadi kekuasaan mayoritas yang menindas minoritas. Ini disebut sebagai "Tyranny of the Majority" oleh Alexis de Tocqueville.

Contoh: diskriminasi terhadap etnis atau kelompok agama minoritas di negara-negara demokrasi.

2.            Bukti Historis: Gagalnya Demokrasi dalam Praktik

1)                  Jerman Nazi (1930-an)

Adolf Hitler dan partai Nazi naik melalui sistem demokrasi, tetapi setelah berkuasa, ia menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri dan mendirikan negara totaliter.

➡️ Demokrasi gagal membendung populisme dan propaganda ekstrem.

2)                  Demokrasi Yunani Kuno (Athena)

Athena adalah pelopor demokrasi, tetapi sistem ini justru berkontribusi pada keputusan irasional, seperti menghukum mati filsuf Socrates dan terlibat perang yang merugikan (Perang Peloponnesos).

➡️ Demokrasi langsung membuat keputusan berdasarkan emosi rakyat, bukan kebijaksanaan.

3)                  Kudeta Militer di Negara Demokratis

Banyak negara demokrasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang mengalami kudeta karena ketidakmampuan pemerintahan demokratis menjaga stabilitas dan integritas negara.

Contoh:

þ Mesir (2013): Mursi, presiden terpilih secara demokratis, digulingkan oleh militer.

þ Thailand: Sering terjadi kudeta meskipun ada pemilu.

þ Pakistan: Demokrasi lemah, digantikan oleh kekuasaan militer berulang kali.

3.            Bukti Kontemporer: Kerapuhan Demokrasi Modern

1)                  Meningkatnya Polarisasi Politik

Negara demokrasi seperti Amerika Serikat mengalami pembelahan ekstrem antara kubu politik, yang membuat pemerintahan sering buntu (gridlock) dan tidak bisa mengambil keputusan penting.

2)                  Dominasi Uang dan Oligarki Politik

Di banyak negara, demokrasi telah direbut oleh elite kaya atau korporasi yang mengendalikan hasil pemilu lewat dana kampanye dan media.

➡️ Demokrasi menjadi “plutokrasi terselubung” (kekuasaan oleh orang kaya).

3)                  Manipulasi Opini Publik Melalui Media dan Hoaks

Demokrasi memberi suara kepada rakyat, tetapi suara itu bisa dimanipulasi melalui penyebaran hoaks, misinformasi, dan propaganda.

Contoh: Pemilu di berbagai negara yang dipengaruhi oleh algoritma media sosial, bot, dan disinformasi.

4.            Kegagalan Menjamin Keadilan Sosial

1)                  Ketimpangan Ekonomi di Negara Demokratis

Banyak negara demokratis justru memiliki jurang kaya-miskin yang sangat besar, karena sistem demokrasi tidak secara otomatis menjamin keadilan distribusi kekayaan.

➡️ Demokrasi tidak selalu berarti kesejahteraan.

2)                  Demokrasi Gagal Melindungi Minoritas

Di beberapa negara demokratis, minoritas agama, etnis, atau gender tetap tertindas, karena hukum ditentukan oleh mayoritas yang tidak selalu adil.


Kesimpulan Ringkas:

1)                  Plato: Demokrasi menuju tirani

2)                  Nazi Jerman: Pemilu menghasilkan diktator

3)                  Athena: Keputusan irasional rakyat

4)                  Negara berkembang: Demokrasi lemah, sering dikudeta

5)                  AS modern: Polarisasi dan stagnasi pemerintahan

6)                  Negara demokratis global: Dominasi uang, hoaks, ketimpangan


Lampiran 3: Sikap-Sikap Ideal Seorang Guru

Pertanyaan “maka bagaimana seharusnya seorang guru bersikap?” sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi zaman yang demokratis tetapi penuh tantangan seperti polarisasi, informasi yang bias, serta moralitas yang relatif. Dalam konteks ini, seorang guru tidak bisa bersikap netral secara pasif, tetapi harus aktif menjadi pendidik yang visioner, kritis, dan bijak.

Berikut adalah sikap-sikap ideal seorang guru, ditinjau dari nilai filosofis, etika keilmuan, dan kondisi sosial:

1)                  Berpikir Kritis dan Rasional, tetapi Tetap Bermoral

Guru harus menanamkan kemampuan berpikir rasional dan logis kepada siswa, tanpa melepaskan akar moralitas dan nilai agama.

Sikap: Mendorong siswa bertanya, menganalisis, dan tidak ikut-ikutan arus mayoritas tanpa dasar.

Contoh: Dalam diskusi demokrasi, guru tidak hanya menjelaskan kelebihannya, tetapi juga mengajak siswa melihat kekurangannya secara jujur.

2)                  Menjadi Filsuf dan Penuntun Moral

Plato mengatakan, pemimpin sejati adalah “filosof”. Dalam dunia pendidikan, guru adalah pemimpin kecil di ruang kelas, maka ia harus menjadi pendidik nilai, bukan sekadar pengajar isi.

Sikap: Menjadi teladan dalam kesederhanaan, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.

Contoh: Guru tidak hanya mengajarkan Pancasila, tetapi hidup sesuai nilai-nilainya.

3)                  Adil dan Tidak Terbawa Arus Mayoritas

Dalam masyarakat demokratis, guru bisa saja tertekan oleh opini mayoritas, baik dari orang tua, media sosial, atau siswa sendiri. Namun guru harus bersikap adil, objektif, dan tidak populis.

Sikap: Menilai siswa secara adil berdasarkan usaha dan kualitas, bukan karena tekanan sosial.

Contoh: Tidak memberikan nilai tinggi hanya karena siswa populer atau disukai orang tua.

4)                  Memperkuat Literasi dan Kesadaran Kritis Siswa

Guru adalah benteng pertama terhadap banjir informasi palsu (hoaks) dan propaganda. Maka, guru harus mengajarkan cara memilah informasi dan memperkuat kemampuan berpikir reflektif.

Sikap: Mengajarkan keterampilan membaca kritis, diskusi berbasis data, dan pemikiran independen.

Contoh: Dalam pelajaran sejarah atau PKN, guru mengajak siswa menilai berbagai peristiwa dari banyak sudut pandang.

5)                  Mengasihi dengan Tegas (Cinta dalam Kedisiplinan)

Guru bukan hanya pengasih, tapi juga pendidik. Terlalu memanjakan siswa atas nama “kebebasan belajar” bisa merusak karakter. Guru harus punya cinta yang mendidik, bukan memanjakan.

Sikap: Tegas dalam aturan, tetapi tetap hangat dan memotivasi.

Contoh: Menegur siswa yang melanggar disiplin dengan niat memperbaiki, bukan menghukum.

6)                  Menjadi Penjaga Nilai dalam Era yang Relatif

Di tengah relativisme moral dalam masyarakat demokratis, guru adalah penjaga nilai (value keeper) yang tetap berpihak pada kebenaran yang kokoh, bukan pada popularitas.

Sikap: Berani membela nilai kebenaran, keadilan, dan keimanan, walaupun tidak populer.

Contoh: Menolak normalisasi LGBT atau liberalisme ekstrem jika bertentangan dengan nilai agama, sambil tetap mendidik siswa dengan kasih dan argumen logis.


Kesimpulan:

Seorang guru seharusnya bersikap seperti seorang pemimpin moral dan intelektual — mendidik bukan hanya akal, tetapi juga jiwa dan karakter peserta didik. Dalam masyarakat demokratis yang cenderung bebas dan permisif, guru harus menjadi figur yang kritis namun adil, bijaksana namun tegas, lembut namun berprinsip.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar