Kegagalan Demokrasi
Tinjauan Filsafat dan Tanggung
Jawab Etis dalam Pendidikan
Alihkan ke: Demokrasi dalam Perspektif Filsafat, Sistem Pemerintahan, Demokrasi Dalam Sistem Pemerintahan, Kritik Terhadap Demokrasi.
Abstrak
Artikel ini membahas peran strategis guru
sebagai penuntun moral dalam merespons krisis nilai yang melanda sistem
demokrasi kontemporer. Berangkat dari kritik tajam para filsuf klasik seperti
Plato terhadap kelemahan struktural demokrasi, artikel ini menelusuri berbagai
bukti historis dan kontemporer mengenai kegagalan demokrasi dalam mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan publik. Disoroti pula tantangan etis dan moral dalam
praktik demokrasi modern yang sering kali terjebak dalam populisme,
disinformasi, dan krisis kepemimpinan. Dalam konteks tersebut, guru ditampilkan
bukan semata-mata sebagai pelaksana kurikulum, tetapi sebagai agen moral dan
penjaga nurani bangsa yang bertugas menanamkan nilai-nilai kebenaran, tanggung
jawab, dan kebajikan kepada generasi muda. Dengan pendekatan interdisipliner
yang memadukan filsafat politik, etika pendidikan, dan analisis sosial, artikel
ini menegaskan bahwa kebangkitan moral demokrasi harus dimulai dari ruang
kelas. Guru diharapkan mampu mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan
moral-spiritual dalam praktik pendidikan sebagai fondasi pembentukan warga
negara yang etis, kritis, dan berkeadaban.
Kata Kunci: Guru,
Moralitas, Demokrasi, Etika Pendidikan, Krisis Nilai, Filsafat Politik,
Tanggung Jawab Sosial, Plato, Pendidikan Kritis.
PEMBAHASAN
Guru sebagai Penuntun Moral di
Tengah Krisis Demokrasi
1.
Pendahuluan
Demokrasi telah lama dianggap sebagai
sistem pemerintahan yang paling menjanjikan karena memberi ruang partisipasi
kepada rakyat, menjunjung kebebasan sipil, dan menghargai keberagaman. Sejak era pencerahan hingga dewasa
ini, demokrasi terus dikukuhkan sebagai puncak dari evolusi politik modern,
sejalan dengan ideal-ideal humanisme dan hak asasi manusia. Namun demikian,
klaim superioritas demokrasi mulai mendapat tantangan serius, terutama ketika
praktiknya tidak mampu menjamin keadilan sosial, stabilitas politik, atau
bahkan moralitas publik. Dalam konteks ini, pertanyaan yang mengemuka adalah: apakah
demokrasi benar-benar berhasil menciptakan tatanan masyarakat yang beradab dan
bermoral?
Kritik terhadap demokrasi bukanlah hal baru. Sejak zaman Yunani Kuno,
filsuf Plato sudah mengungkapkan keberatannya terhadap sistem ini. Ia menilai
bahwa demokrasi membuka peluang bagi kekuasaan rakyat yang irasional, dan dalam
jangka panjang justru akan mengarah pada kekacauan sosial dan lahirnya tirani.
Dalam Republik, Plato menulis bahwa “kebebasan yang tanpa batas akan
melahirkan perbudakan yang sejati,” karena dalam sistem ini orang-orang awam
yang tidak memiliki pengetahuan memimpin negara atas dasar popularitas, bukan
kebijaksanaan atau kebenaran filosofis.¹
Kondisi demokrasi kontemporer tampaknya tidak jauh berbeda dari
bayangan distopis Plato. Demokrasi elektoral kini menghadapi tantangan serius,
mulai dari dominasi oligarki ekonomi, manipulasi opini publik melalui
media sosial, hingga polarisasi ekstrem dalam masyarakat. Dalam
laporan Freedom in the World 2024 oleh Freedom House, dinyatakan bahwa
kebebasan sipil dan politik mengalami penurunan global selama 18 tahun
berturut-turut, bahkan di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai pelopor
demokrasi.² Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural tidak selalu
menjamin substansi demokrasi, yakni keadilan, kebenaran, dan akal sehat publik.
Di tengah krisis demokrasi ini, pendidikan menjadi pilar penting yang
tidak boleh diabaikan. Sayangnya, lembaga pendidikan pun sering kali terseret
arus liberalisme nilai dan relativisme moral. Kebebasan berpikir yang
seharusnya membebaskan manusia dari kebodohan justru dimaknai secara keliru,
sehingga menimbulkan kekacauan konseptual antara kebebasan dan kebebalan. Dalam
situasi inilah guru memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai
pengajar pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai penuntun
moral dan pembimbing etika kehidupan (moral educator).³
Guru tidak hanya mengajarkan fakta, tetapi juga membentuk nilai,
karakter, dan arah hidup generasi muda. Dalam pandangan John Dewey, pendidikan
adalah proses sosial yang bertujuan membentuk warga negara yang cerdas,
bertanggung jawab, dan aktif dalam kehidupan publik.⁴ Namun, dalam realitasnya,
peran ini sering kali tergerus oleh tekanan kurikulum teknokratis, tuntutan
administratif, dan budaya permisif yang merelatifkan kebenaran. Oleh karena
itu, diperlukan revitalisasi peran guru sebagai penjaga akal dan moral
masyarakat, terutama dalam menghadapi krisis demokrasi yang semakin dalam.
Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara filosofis
dan praktis bagaimana seharusnya guru bersikap dalam konteks dunia yang
demokratis tetapi krisis secara etis. Dengan merujuk pada pemikiran para
filsuf, dinamika sosial politik kontemporer, dan etika pendidikan, pembahasan
ini diharapkan dapat memberikan landasan moral dan intelektual bagi guru dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik umat dan penjaga peradaban.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 557e–562a.
[2]
Freedom House, Freedom in the World 2024: The
Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.
[3]
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring
Alternative to Character Education (New York: Teachers College Press,
2002), 1–12.
[4]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87.
2.
Kritik Filsuf Klasik terhadap Demokrasi
2.1.
Pandangan Plato
tentang Demokrasi
Plato, murid Socrates dan guru Aristoteles, merupakan salah satu
kritikus paling awal dan tajam terhadap demokrasi. Kritiknya tidak bersifat
teoritis belaka, tetapi didasarkan pada pengalaman nyata menyaksikan keruntuhan
moral dan politik Athena, termasuk eksekusi atas gurunya, Socrates, oleh
pengadilan demokratis. Dalam karya monumentalnya, Republic (Politeia),
Plato menggambarkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tampak
menyenangkan, tetapi sejatinya rapuh dan berbahaya. Ia menempatkan demokrasi pada
urutan keempat dari lima bentuk pemerintahan yang menurun secara degeneratif,
dimulai dari aristokrasi (terbaik) menuju tirani (terburuk).¹
Menurut Plato, demokrasi memiliki tiga kelemahan utama:
1)
Pemerintahan oleh Rakyat Tak Terdidik
Demokrasi
memberi kekuasaan kepada orang banyak, tanpa mempertimbangkan apakah mereka
memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam memimpin. Ia berpendapat bahwa
rakyat banyak sering kali tidak rasional dan mudah dipengaruhi emosi atau
retorika pemimpin populis.² Ini menyebabkan keputusan-keputusan negara dibuat
bukan berdasarkan akal dan kebajikan, tetapi atas dasar selera mayoritas. Dalam
analoginya yang terkenal, Plato membandingkan demokrasi dengan kapal yang
dinakhodai oleh penumpang yang tak tahu arah, sementara sang pelaut sejati
(filsuf) diabaikan.³
2)
Kebebasan yang Kebablasan (Excess of Freedom)
Salah
satu ciri khas demokrasi menurut Plato adalah kebebasan yang tidak terkendali.
Ia menganggap bahwa dalam demokrasi, setiap orang merasa berhak melakukan
apapun yang ia inginkan, bahkan tanpa mempertimbangkan tatanan atau norma yang
ada. Kebebasan yang berlebihan ini, menurutnya, akan mengacaukan struktur
sosial dan pada akhirnya menciptakan keinginan untuk "ketertiban",
yang membuka jalan bagi lahirnya tirani.⁴
3)
Relativisme Moral dan Kehilangan Otoritas
Dalam
demokrasi, semua nilai cenderung dipandang setara. Tidak ada kebenaran objektif
yang dijunjung, karena semua pendapat dianggap sah dan harus diterima. Hal ini,
menurut Plato, berbahaya karena merelatifkan nilai-nilai moral dan
menghancurkan fondasi etika masyarakat.⁵
Dengan demikian, Plato memandang bahwa demokrasi bukanlah puncak
peradaban politik, melainkan jalan tengah menuju kekacauan dan lahirnya
rezim tiranik.⁶ Ironisnya, dalam sejarah modern, pendapat Plato ini tampak
relevan saat kita menyaksikan bagaimana demokrasi bisa melahirkan kekuatan
otoriter melalui pemilu yang sah—seperti yang terjadi dalam kasus Jerman Nazi.
2.2. Tirani
Mayoritas dan Relativisme: Warisan Kritik Setelah Plato
Kritik terhadap demokrasi tidak berhenti pada era Yunani Kuno. Dalam
tradisi modern, pemikir Prancis Alexis de Tocqueville mengemukakan konsep "tirani
mayoritas" dalam karyanya Democracy in America (1835).
Menurutnya, dalam sistem demokrasi, terdapat risiko bahwa suara mayoritas akan
menindas minoritas secara sah, sehingga kebebasan individu justru terancam oleh
kesepakatan kolektif yang sewenang-wenang.⁷ Ini menegaskan kekhawatiran Plato
bahwa demokrasi bisa menjadi alat penindasan, bukan pembebasan.
Tocqueville juga menyoroti kecenderungan masyarakat demokratis untuk
bersikap konformis, di mana opini publik mendominasi ruang wacana, dan
menyisakan sedikit ruang untuk kebebasan berpikir yang otentik. Dalam
pandangannya, demokrasi mendorong keseragaman dan mengurangi keberanian
intelektual.⁸ Hal ini semakin terasa relevan dalam era media sosial saat ini,
ketika opini massa sering kali mengalahkan pertimbangan nalar dan fakta.
Kritik lainnya datang dari Friedrich Nietzsche yang menyebut demokrasi
sebagai bentuk “penyamarataan nilai” (leveling down), di mana keunggulan
dan kebajikan digantikan oleh mediokritas massal.⁹ Sementara itu, José Ortega y
Gasset dalam The Revolt of the Masses menyatakan bahwa demokrasi modern
telah memberi tempat kepada “manusia massa” yang tidak berpendidikan,
vulgar, dan arogan.¹⁰
Penegasan dalam Konteks Pendidikan
Kritik para filsuf terhadap demokrasi
memperlihatkan satu pesan penting: bahwa masyarakat demokratis memerlukan
bimbingan moral dan intelektual yang kokoh agar tidak terseret oleh
kebebasan yang kebablasan dan dominasi opini mayoritas yang tidak rasional. Di
sinilah pendidikan, dan khususnya guru, memiliki peran kunci dalam menjaga
nalar, menanamkan nilai kebenaran objektif, serta membimbing peserta didik agar
menjadi warga negara yang bebas tetapi bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 543a–544d.
[2]
Ibid., 557c–558a.
[3]
Ibid., 488a–489a.
[4]
Ibid., 562a–563e.
[5]
Ibid., 558d–559b.
[6]
Ibid., 564a–565d.
[7]
Alexis de Tocqueville, Democracy in America,
trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago
Press, 2000), 235–240.
[8]
Ibid., 246–248.
[9]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols,
trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 91–95.
[10]
José Ortega y Gasset, The Revolt of the Masses,
trans. Anthony Kerrigan (New York: W.W. Norton, 1994), 14–17.
3.
Bukti Historis dan Kontemporer Kegagalan Demokrasi
3.1. Demokrasi
dalam Sejarah: Antara Retorika dan Realitas
Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik, tetapi
sejarah memperlihatkan bahwa sistem ini tidak kebal terhadap kegagalan. Salah
satu contoh paling mencolok adalah jatuhnya demokrasi Athena pada abad
ke-4 SM. Sistem demokrasi langsung yang diterapkan di Athena memberikan ruang
besar bagi rakyat untuk membuat keputusan melalui voting terbuka. Namun, Plato
dan Thucydides mencatat bahwa keputusan-keputusan yang diambil rakyat sering
kali didasarkan pada emosi, tekanan massa, dan hasutan para demagog, bukan
pertimbangan rasional.¹ Eksekusi atas Socrates pada tahun 399 SM adalah bukti
nyata bagaimana sistem demokrasi dapat menindas suara kebijaksanaan yang justru
bertentangan dengan opini mayoritas.²
Demokrasi juga terbukti gagal dalam menahan munculnya kekuasaan
otoriter. Kasus Jerman pada awal abad ke-20 menjadi pelajaran penting.
Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933 melalui proses
demokratis dalam sistem Republik Weimar. Setelah memperoleh kekuasaan, ia
membubarkan parlemen, menyingkirkan lawan-lawan politik, dan mendirikan rezim
totaliter yang berujung pada Perang Dunia II dan Holocaust.³ Seperti yang
diungkapkan oleh sejarawan William Shirer, "Weimar, dengan seluruh kemegahan
demokratisnya, gagal karena tidak memiliki landasan moral dan institusional
yang kuat untuk membendung kekuatan destruktif dari dalam."⁴
3.2. Kerapuhan
Demokrasi di Negara Berkembang: Kudeta dan Kekacauan Politik
Di banyak negara berkembang, demokrasi hanya menjadi alat prosedural
untuk perebutan kekuasaan tanpa disertai komitmen pada prinsip-prinsip
demokrasi substantif. Salah satu contoh adalah Mesir, di mana presiden
Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, yang terpilih secara demokratis pada
tahun 2012, digulingkan oleh militer hanya setahun kemudian. Kudeta tersebut
didukung sebagian besar rakyat dan elite politik yang kecewa, meskipun
mengabaikan prinsip pemilu dan supremasi konstitusi.⁵
Hal serupa terjadi di Thailand, yang mengalami beberapa kali
kudeta militer sejak awal era reformasi. Meskipun Thailand mengadakan pemilu
secara berkala, militer tetap menjadi kekuatan dominan yang mengintervensi
proses demokrasi saat terjadi ketidakstabilan.⁶ Di Pakistan, sistem
demokrasi berkali-kali digantikan oleh pemerintahan militer, menunjukkan bahwa
struktur demokrasi sering kali tidak memiliki pertahanan institusional yang
kuat terhadap kekuatan ekstra-konstitusional.⁷
Kegagalan demokrasi di negara-negara tersebut seringkali diakibatkan
oleh absennya rule of law, lemahnya lembaga pengawasan, rendahnya
literasi politik, serta dominasi elite yang mempermainkan konstitusi demi
kepentingan kelompok.
3.3. Krisis
Demokrasi Modern: Polarisasi, Populisme, dan Disinformasi
Demokrasi tidak hanya mengalami kegagalan di negara berkembang, tetapi
juga mengalami erosi kualitas di negara-negara maju. Laporan Freedom in the
World 2024 mencatat bahwa selama hampir dua dekade terakhir, dunia
mengalami kemunduran kebebasan sipil dan penurunan kualitas demokrasi.⁸ Bahkan
di Amerika Serikat, indeks demokrasi menunjukkan penurunan sejak 2016 akibat
meningkatnya polarisasi politik, delegitimasi pemilu, dan munculnya gerakan
anti-demokrasi yang menggunakan dalih kebebasan berekspresi.⁹
Salah satu ciri utama krisis demokrasi modern adalah populisme,
di mana pemimpin-pemimpin memanfaatkan sentimen massa, nasionalisme sempit, dan
kebencian terhadap elite untuk meraih kekuasaan. Populisme ini seringkali
menolak prinsip pluralisme dan cenderung membatasi kebebasan oposisi. Seperti
dijelaskan oleh Fareed Zakaria, populisme dalam demokrasi liberal bisa mengarah
pada apa yang disebutnya sebagai "illiberal democracy", yakni
sistem yang secara formal demokratis tetapi otoriter dalam substansinya.¹⁰
Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah mempercepat penyebaran disinformasi
dan hoaks, yang membentuk opini publik secara manipulatif. Algoritma media
sosial memperkuat echo chambers, di mana masyarakat hanya mendengar
informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, tanpa verifikasi fakta. Hal ini
melemahkan diskursus rasional dan memperburuk polarisasi.¹¹ Demokrasi, yang
seharusnya dibangun di atas diskusi terbuka dan argumentasi logis, justru
tereduksi menjadi perang opini yang dangkal dan emosional.
3.4. Implikasi
Bagi Pendidikan: Demokrasi Tanpa Nalar adalah Bahaya
Bukti-bukti historis dan kontemporer di atas menunjukkan bahwa demokrasi
tanpa landasan etika dan nalar kritis akan berujung pada kekacauan, atau bahkan
kehancuran. Demokrasi bukanlah sistem yang “otomatis baik”, tetapi
membutuhkan prasyarat berupa pendidikan politik, kedewasaan moral, dan
keberanian untuk berpikir mandiri.
Karena itu, pendidikan menjadi arena strategis untuk menyelamatkan
demokrasi dari kehancuran internal. Sekolah bukan hanya tempat pengajaran
teknis, tetapi juga laboratorium nilai-nilai demokrasi yang berkarakter. Dalam
konteks ini, guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi harus
menjadi penjaga akal sehat dan penjaga moral masyarakat yang demokratis.
Footnotes
[1]
Thucydides, The History of the Peloponnesian War,
trans. Richard Crawley (New York: Modern Library, 1951), 205–210.
[2]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 24b–28a.
[3]
Richard J. Evans, The Coming of the Third Reich
(New York: Penguin Press, 2004), 324–345.
[4]
William L. Shirer, The Rise and Fall of the Third
Reich (New York: Simon & Schuster, 1960), 186.
[5]
Nathan J. Brown, When Victory Is Not an Option:
Islamist Movements in Arab Politics (Ithaca: Cornell University Press,
2012), 153–160.
[6]
Duncan McCargo, “Thailand’s Evolving Military,” Journal
of Democracy 30, no. 1 (2019): 129–143.
[7]
Aqil Shah, The Army and Democracy: Military
Politics in Pakistan (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 1–20.
[8]
Freedom House, Freedom in the World 2024: The
Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.
[9]
Pew Research Center, “Americans’ Trust in Government
1958–2023,” accessed July 2025, https://www.pewresearch.org.
[10]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal
Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–19.
[11]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in
the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017),
79–95.
4.
Tantangan Etika dan Moral dalam Sistem Demokrasi
4.1. Kebebasan
Tanpa Tanggung Jawab: Ancaman dari Dalam
Demokrasi modern sering kali dipuji karena memberi kebebasan individu
yang luas, termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menentukan nasib
sendiri. Namun, ketika kebebasan tidak disertai dengan tanggung jawab moral, ia
bisa berubah menjadi bentuk kebebalan. John Stuart Mill memang menyatakan bahwa
kebebasan individu merupakan syarat utama untuk kemajuan peradaban, tetapi ia
juga menekankan bahwa “kebebasan bukan berarti kebal terhadap kritik moral,
hukum, atau kewajiban sosial.”¹ Sayangnya, dalam praktik demokrasi kontemporer,
prinsip tanggung jawab ini kerap diabaikan.
Kebebasan yang tidak terkendali ini berujung pada berbagai bentuk
penyimpangan nilai. Dalam masyarakat yang demokratis secara prosedural tetapi
nihil secara spiritual, kita menyaksikan maraknya budaya permisif: pernikahan
sejenis dilegalkan, pornografi dilindungi atas nama seni, bahkan penyimpangan
identitas gender dianggap hak yang tidak boleh dikritik.² Fenomena ini
menguatkan kekhawatiran para filsuf klasik, seperti Plato dan Tocqueville,
bahwa kebebasan yang melampaui batas bisa merusak tatanan sosial dan moral
masyarakat.³
4.2. Relativisme
Moral: Krisis Kebenaran dalam Demokrasi
Salah satu ciri masyarakat demokratis modern adalah munculnya relativisme
moral, yaitu pandangan bahwa tidak ada standar etika yang objektif, dan
semua nilai bersifat subyektif. Konsekuensinya, segala bentuk pilihan gaya
hidup, orientasi seksual, atau sistem kepercayaan dianggap setara dan tidak
boleh dinilai salah atau benar.⁴
Fenomena ini dijelaskan secara tajam oleh Alasdair MacIntyre dalam After
Virtue. Ia berargumen bahwa masyarakat modern telah kehilangan konsensus
moral, sehingga perdebatan etika cenderung tidak menghasilkan titik temu karena
tidak adanya landasan normatif yang sama.⁵ Dalam kondisi seperti ini, kebijakan
publik dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh opini mayoritas
daripada prinsip moral yang kokoh.
Relativisme moral juga berdampak langsung pada dunia pendidikan. Ketika
semua nilai dianggap relatif, guru tidak lagi dianggap sebagai pembimbing
moral, melainkan sekadar fasilitator netral yang tidak boleh mengarahkan nilai
hidup muridnya.⁶ Padahal, pendidikan sejati bukan hanya transmisi pengetahuan,
tetapi juga pembentukan karakter dan penanaman nilai universal, seperti
kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.
4.3.
Krisis Kepemimpinan
dan Etika Publik
Demokrasi idealnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan
berorientasi pada kebaikan bersama. Namun realitas kontemporer menunjukkan
sebaliknya: banyak pemimpin demokratis justru memenangkan kekuasaan melalui
manipulasi opini publik, retorika kosong, dan pembelahan sosial.⁷ Populisme
yang berkembang saat ini sering kali mengabaikan prinsip-prinsip etika publik
demi kemenangan elektoral.
George Orwell, dalam Politics and the English Language,
mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi yang dikuasai oleh elite populis,
bahasa politik sering kali digunakan untuk “membuat kebohongan terdengar benar
dan kekejaman tampak terhormat.”⁸ Ketika demokrasi berubah menjadi arena
perebutan kuasa tanpa etika, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada
lembaga-lembaga publik dan melemahkan kohesi sosial.
Sebagai akibat dari krisis etika ini, korupsi, penyalahgunaan wewenang,
manipulasi hukum, dan politik uang menjadi hal yang lumrah bahkan di negara
demokratis sekalipun. Transparency International melaporkan bahwa banyak negara
demokrasi mengalami stagnasi atau penurunan dalam indeks persepsi korupsi,
termasuk negara-negara dengan sistem pemilu yang mapan.⁹ Ini menunjukkan bahwa
demokrasi tidak serta-merta menciptakan pemerintahan yang bersih atau adil,
jika tidak didukung oleh nilai-nilai moral yang kuat.
4.4. Dampaknya
terhadap Pendidikan: Guru di Tengah Tarikan Nilai
Seluruh tantangan di atas bermuara pada satu hal penting: pendidikan
sebagai ladang pertarungan nilai. Di satu sisi, sistem demokrasi memberi
ruang kebebasan berekspresi dan kebhinekaan. Namun di sisi lain, nilai-nilai
luhur yang selama ini dijunjung, termasuk nilai-nilai keagamaan, mulai
terpinggirkan dan dianggap tidak relevan.
Dalam lingkungan ini, guru menjadi aktor utama yang dituntut untuk
bersikap tegas, tetapi arif. Guru bukan sekadar pelayan sistem, melainkan
agen nilai yang harus mampu mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab,
menghidupkan kembali diskursus moral, dan membentuk manusia merdeka yang
berkarakter.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the
Oppressed, pendidikan sejati tidak netral, melainkan selalu
berpihak—berpihak kepada pembebasan manusia dari ketertindasan, termasuk
ketertindasan oleh sistem nilai yang hampa makna.¹⁰ Dalam konteks demokrasi
hari ini, tugas guru bukan hanya melawan ketidakadilan politik, tetapi juga
melawan kekacauan moral dan kehampaan spiritual.
Footnotes
[1]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth
Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 11–13.
[2]
Carl R. Trueman, The Rise and Triumph of the Modern
Self: Cultural Amnesia, Expressive Individualism, and the Road to Sexual
Revolution (Wheaton: Crossway, 2020), 89–102.
[3]
Alexis de Tocqueville, Democracy in America,
trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago
Press, 2000), 235–248.
[4]
Stanley Fish, There's No Such Thing as Free Speech:
And It's a Good Thing, Too (New York: Oxford University Press, 1994),
102–105.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral
Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–6.
[6]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An
Alternative Approach to Education, 2nd ed. (New York: Teachers College
Press, 2005), 6–8.
[7]
Jan-Werner Müller, What Is Populism?
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 34–39.
[8]
George Orwell, Politics and the English Language,
in Shooting an Elephant and Other Essays (London: Secker and Warburg,
1950), 162–170.
[9]
Transparency International, Corruption Perceptions
Index 2023, accessed July 2025, https://www.transparency.org/en/cpi.
[10]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 88–95.
5.
Peran dan Sikap Ideal Seorang Guru di Tengah Krisis
Demokrasi
5.1. Guru
sebagai Penjaga Nilai dalam Arus Relativisme
Di tengah gempuran relativisme nilai yang melanda masyarakat
demokratis, guru dituntut untuk menjadi penjaga nilai (guardian of values).
Pendidikan bukan semata soal transmisi informasi, tetapi sebuah proses
pembentukan karakter dan penginternalisasian nilai moral yang menjadi
fondasi masyarakat beradab. Hal ini sejalan dengan pemikiran Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membimbing manusia agar menjadi
makhluk bermoral, yaitu mampu bertindak berdasarkan prinsip rasional yang universal.¹
Relativisme moral yang menganggap semua nilai setara dan sah dalam
sistem demokrasi telah menciptakan ruang pendidikan yang kabur dari tanggung
jawab moral. Dalam situasi ini, guru tidak boleh bersikap netral terhadap
nilai. Seperti ditegaskan oleh Parker J. Palmer, “pendidikan yang netral secara
nilai adalah sebuah ilusi—dalam kenyataannya, kita selalu mengajar dari suatu
pandangan dunia tertentu.”² Maka, sikap ideal guru adalah menjadi pemimpin
moral yang sadar akan peran strategisnya dalam membentuk generasi
berintegritas.
5.2. Keteladanan
Etis: Guru sebagai Model Moral
Dalam konteks krisis demokrasi, keteladanan etis guru menjadi semakin
penting. Krisis integritas para pemimpin, polarisasi sosial, dan pembusukan
diskursus publik telah membuat banyak siswa kehilangan figur yang layak
diteladani. Guru dapat mengisi kekosongan ini melalui keteladanan hidup.
Socrates pernah menyatakan bahwa kebajikan itu dapat ditularkan bukan
hanya lewat kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata.³ Dalam dunia pendidikan
modern, konsep ini ditegaskan kembali oleh Thomas Lickona yang menyatakan bahwa
karakter tidak cukup diajarkan, tetapi harus ditunjukkan dalam praktik
kehidupan.⁴ Guru yang jujur, adil, rendah hati, dan bertanggung jawab akan
menanamkan nilai-nilai tersebut secara otentik dalam diri peserta didik.
Lebih dari itu, guru harus menjadi pemersatu nilai di tengah
perbedaan, membangun dialog yang jujur tanpa kehilangan kompas moral.
Ketika peserta didik menyaksikan sosok guru yang konsisten antara perkataan dan
perbuatan, mereka tidak hanya belajar kognisi, tetapi juga internalisasi nilai
yang mendalam.
5.3.
Guru sebagai Agen
Transformasi Sosial
Dalam filsafat pendidikan kritis, seperti yang dikembangkan Paulo
Freire, guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi agen perubahan sosial.⁵
Di tengah krisis demokrasi—yang ditandai dengan apatisme politik, lemahnya
partisipasi publik, dan dominasi elite—pendidikan harus membekali siswa dengan
kemampuan berpikir kritis dan keberanian moral untuk terlibat dalam perbaikan
masyarakat.
Namun, berpikir kritis tidak boleh lepas dari nilai etika. Guru harus
mampu mengintegrasikan nalar kritis dengan kesadaran moral, agar siswa
tidak hanya menjadi pengkritik tajam, tetapi juga pembangun solusi. John Dewey
menyatakan bahwa pendidikan harus menumbuhkan civic intelligence, yaitu
kemampuan warga untuk memecahkan masalah publik secara partisipatif dan
bertanggung jawab.⁶
Guru yang menyadari peran ini akan berupaya menciptakan ruang dialog
yang sehat, inklusif, dan berbasis pada nilai keadilan, kebenaran, dan empati.
Ia bukan sekadar pelayan kurikulum, tetapi penggerak nurani kolektif bangsa.
5.4. Komitmen
terhadap Kebenaran dan Keberanian Moral
Sistem demokrasi memungkinkan suara guru dibungkam oleh opini mayoritas
atau tekanan kebijakan. Namun guru yang berintegritas harus tetap memegang
teguh kebenaran, sekalipun itu tidak populer. Ini menuntut keberanian moral
yang tinggi, sebagaimana dikemukakan oleh Hannah Arendt bahwa tindakan moral
sejati sering kali menuntut keberanian untuk berdiri sendiri melawan arus.⁷
Dalam praktiknya, ini berarti guru harus berani menyuarakan yang
benar, mengoreksi kesalahan sistem, serta tidak larut dalam kepentingan
pragmatis birokrasi atau tekanan politis. Ia harus menjaga independensinya
sebagai intelektual dan pendidik, serta mewariskan kepada siswanya kemampuan
untuk membedakan antara kebenaran dan opini.
5.5.
Pendidikan Nilai
Berbasis Spiritualitas
Akhirnya, krisis demokrasi juga merupakan krisis spiritual. Demokrasi
yang kehilangan akar spiritualitas akan cenderung mekanistik, materialistik,
dan nihilistik. Guru berperan penting dalam menghadirkan dimensi spiritual
dalam pendidikan, bukan sekadar religiusitas formal, tetapi spiritualitas
yang membentuk kesadaran akan makna hidup, tanggung jawab sosial, dan hubungan
transendental dengan Tuhan.
Sebagaimana dikemukakan oleh T.S. Eliot, “masyarakat yang kehilangan
agama akan kehilangan budaya dan akhirnya kehilangan kemanusiaannya.”⁸ Maka,
tugas guru adalah menyelamatkan pendidikan dari kehampaan nilai dengan
menanamkan spiritualitas yang kokoh dan inklusif, sesuai dengan keyakinan luhur
bangsa.
Kesimpulan Bab
Dalam krisis demokrasi yang menggerus nilai dan etika, guru harus
mengambil posisi sebagai penuntun moral, bukan hanya pelayan sistem. Ia
harus berpihak kepada kebenaran, membentuk karakter siswa, menumbuhkan
keberanian moral, serta menjadi teladan hidup dari nilai-nilai luhur. Di tangan
para guru inilah masa depan demokrasi yang beradab, adil, dan bermoral
dipertaruhkan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Lectures on Pedagogy, trans.
Robert B. Louden (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 442.
[2]
Parker J. Palmer, To Know as We Are Known:
Education as a Spiritual Journey (San Francisco: HarperOne, 1993), 17.
[3]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 2000), 29c–30a.
[4]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 43.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 75–78.
[6]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 87.
[7]
Hannah Arendt, Responsibility and Judgment (New
York: Schocken Books, 2003), 36–38.
[8]
T.S. Eliot, Notes Towards the Definition of Culture
(London: Faber and Faber, 1948), 100.
6.
Penutup: Rekonstruksi Etika Pendidikan untuk
Menyelamatkan Demokrasi
Krisis demokrasi pada dasarnya bukan semata-mata persoalan politik atau
kelembagaan, tetapi lebih dalam lagi merupakan krisis nilai dan etika publik.
Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan tanggung
jawab moral, sering kali tereduksi menjadi sekadar prosedur elektoral yang
dikendalikan oleh oligarki, populisme, dan manipulasi informasi.⁽¹⁾ Dalam
konteks ini, pendidikan memiliki fungsi krusial untuk menyelamatkan substansi
demokrasi melalui penanaman nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, kritik tajam
para filsuf klasik seperti Plato terhadap demokrasi⁽²⁾, serta kegagalan
historis dan kontemporer demokrasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil⁽³⁾,
menggarisbawahi pentingnya peran pendidikan moral dalam demokrasi. Demokrasi
tidak bisa bertahan tanpa warga negara yang berkarakter, bermoral, dan memiliki
kesadaran etis yang tinggi.⁽⁴⁾ Dalam hal ini, guru memegang posisi strategis
sebagai aktor utama dalam rekonstruksi moral bangsa.
Guru bukan hanya pelaksana kurikulum,
tetapi penuntun moral yang membentuk jiwa manusia muda. Sebagaimana ditegaskan
oleh Martha Nussbaum, pendidikan sejati adalah pendidikan untuk kemanusiaan
(education for humanity), yaitu pendidikan yang menumbuhkan empati, nalar
kritis, dan tanggung jawab sosial.⁽⁵⁾ Oleh karena itu, pembaruan sistem
demokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembaruan sistem pendidikan, terutama
dalam hal penguatan peran etis dan moral guru.
Untuk menjawab tantangan zaman, pendidikan harus diarahkan pada tiga
ranah utama:
1)
Ranah kognitif, yakni membekali siswa dengan nalar kritis
agar tidak mudah diperdaya oleh propaganda dan disinformasi;
2)
Ranah afektif, yaitu menumbuhkan empati dan tanggung jawab
sosial;
3)
Ranah moral-spiritual,
yakni membangun karakter yang berakar pada nilai-nilai universal dan ajaran
agama yang autentik.
Transformasi ini hanya mungkin tercapai
jika para guru menyadari bahwa tanggung jawab mereka tidak hanya bersifat
profesional, tetapi juga moral dan spiritual. Di tengah kecenderungan
sekularisasi dan komersialisasi pendidikan, guru perlu menegaskan kembali
identitasnya sebagai penjaga nurani bangsa, sebagaimana dalam pandangan
Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan sejatinya harus memerdekakan manusia
lahir dan batin.⁽⁶⁾
Pendidikan yang bermutu bukanlah yang
sekadar mencetak lulusan cerdas secara akademis, tetapi yang mampu menciptakan
warga negara yang bijak secara moral dan tangguh secara spiritual. Maka,
di tengah krisis demokrasi global maupun lokal, harapan akan kebangkitan etika
publik hanya mungkin ditegakkan jika para guru mau berdiri di garda depan
sebagai pemimpin moral dan agen transformasi nilai.
Footnotes
[1]
Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The
Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry
Holt, 2008), 25–29.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), Book VIII, 555b–562a.
[3]
Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal
Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton, 2003), 17–36.
[4]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 82–84.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.
[6]
Ki Hadjar
Dewantara, Pendidikan, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan, ed. Soewardi Surjaningrat (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1962), 31.
Daftar Pustaka
Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Dalam Karya Ki Hadjar
Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan (hal. 1–100). Yogyakarta:
Majelis Luhur Tamansiswa.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education: An introduction to the philosophy of education. New York, NY:
Macmillan.
Diamond, L. (2008). The spirit of
democracy: The struggle to build free societies throughout the world. New
York, NY: Henry Holt.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for
profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev. Ed.). Indianapolis, IN: Hackett
Publishing Company. (Original work published ca. 380 BCE)
Zakaria, F. (2003). The future of
freedom: Illiberal democracy at home and abroad. New York, NY: W. W. Norton
& Company.
Lampiran 1: Keburukan
Demokrasi Menurut Plato
Plato, seorang filsuf Yunani klasik yang
hidup sekitar tahun 427–347 SM, adalah salah satu kritikus awal dan paling
tajam terhadap demokrasi, terutama demokrasi Athena yang ia saksikan sendiri.
Dalam karya terkenalnya "Republik" (Politeia) dan juga "Nomoi"
(Laws), Plato mengungkapkan berbagai keburukan demokrasi yang ia
anggap sebagai bentuk pemerintahan yang cacat. Berikut adalah point-point utama keburukan demokrasi menurut Plato:
1)
Pemerintahan oleh Orang
yang Tidak Kompeten
Plato percaya bahwa demokrasi memberi kekuasaan kepada massa, termasuk
orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau keahlian dalam
memimpin negara.
➡️ "Demokrasi
menjadikan semua orang bebas memilih, bahkan yang tidak layak memimpin."
2)
Kebebasan yang Kebablasan
(Ekses Kebebasan)
Menurut Plato, demokrasi memuja kebebasan secara berlebihan sehingga
menyebabkan pelanggaran terhadap tatanan, hukum, dan otoritas. Kebebasan yang
tidak terkendali ini berujung pada anarki.
➡️ "Terlalu
banyak kebebasan pada akhirnya justru akan menghasilkan bentuk perbudakan
baru."
3)
Runtuhnya Otoritas dan
Hirarki Sosial
Dalam demokrasi, tidak ada struktur tetap tentang siapa yang harus
memimpin. Ini, menurut Plato, merusak tatanan sosial dan menciptakan kesetaraan
palsu antara yang bijak dan yang bodoh.
➡️ "Dalam
demokrasi, guru takut pada murid, orang tua takut pada anak, dan semua merasa
diri pantas memimpin."
4)
Naiknya Pemimpin Populis, Bukan Filosof
Plato mengkritik bahwa dalam demokrasi, pemimpin dipilih bukan
karena kebijaksanaan, tetapi
karena kemampuan menarik simpati massa (populisme). Hal ini membuka
peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter (tirani) di kemudian hari.
➡️ "Demokrasi
adalah jalan menuju tirani."
5)
Pemanjaan terhadap Nafsu dan Keinginan
Demokrasi memberi ruang luas bagi masyarakat untuk memenuhi
keinginan pribadi tanpa kendali
rasional. Ini menghasilkan masyarakat yang konsumtif, hedonistik, dan kehilangan
arah moral.
➡️ "Rakyat
lebih menyukai kesenangan sesaat daripada kebaikan sejati."
6)
Ketidakstabilan Politik
Karena
kepemimpinan bisa berubah dengan cepat melalui pemilu dan suara rakyat, Plato
menilai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan rentan terhadap konflik internal.
➡️ "Demokrasi
tidak bisa bertahan lama karena ia menumbuhkan benih kehancurannya
sendiri."
7)
Relativisme Moral dan
Kekacauan Etika
Dalam demokrasi, segala pendapat dianggap sah dan setara, sehingga nilai
kebenaran menjadi relatif. Ini membuat hukum dan etika mudah dipermainkan
sesuai dengan kehendak mayoritas.
➡️ "Ketika
setiap pendapat dianggap benar, maka tidak ada lagi kebenaran sejati."
Ringkasan Kritik Plato terhadap Demokrasi:
1)
Dipimpin oleh orang tak
berilmu
2)
Kebebasan yang berlebihan
3)
Otoritas dan hierarki
sosial rusak
4)
Munculnya pemimpin populis
yang berpotensi tirani
5)
Pemanjaan terhadap nafsu
dan kesenangan duniawi
6)
Ketidakstabilan sistem
pemerintahan
7)
Relativisme moral dan
hilangnya nilai kebenaran mutlak
Lampiran 2: Bukti-Bukti
Kegagalan Demokrasi
Berikut adalah beberapa bukti-bukti
kegagalan demokrasi, baik dari sisi praktik historis, kondisi
kontemporer, maupun argumen filosofis, yang sering dijadikan kritik
terhadap demokrasi oleh para pemikir seperti Plato maupun pengamat politik
modern:
1.
Bukti Filosofis dan Teoritis
1)
Plato: Demokrasi Menjadi
Jalan Menuju Tirani
Plato menyatakan dalam "Republik" bahwa demokrasi yang
memberi kebebasan tanpa batas pada akhirnya menciptakan kekacauan sosial yang
membuka jalan bagi munculnya pemimpin tirani yang menjanjikan
“ketertiban”.
Contoh historis: naiknya Hitler di Jerman melalui pemilu demokratis.
2)
Tirani Mayoritas
Demokrasi bisa berubah menjadi kekuasaan mayoritas yang menindas
minoritas. Ini disebut sebagai "Tyranny of the Majority"
oleh Alexis de Tocqueville.
Contoh: diskriminasi terhadap etnis atau kelompok agama minoritas di
negara-negara demokrasi.
2.
Bukti Historis: Gagalnya Demokrasi dalam Praktik
1)
Jerman Nazi (1930-an)
Adolf Hitler dan partai Nazi naik melalui sistem demokrasi,
tetapi setelah berkuasa, ia menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri
dan mendirikan negara totaliter.
➡️
Demokrasi gagal membendung populisme dan propaganda ekstrem.
2)
Demokrasi Yunani Kuno (Athena)
Athena
adalah pelopor demokrasi, tetapi sistem ini justru berkontribusi pada keputusan
irasional, seperti menghukum mati filsuf Socrates dan terlibat perang yang
merugikan (Perang Peloponnesos).
➡️
Demokrasi langsung membuat keputusan berdasarkan emosi rakyat, bukan
kebijaksanaan.
3)
Kudeta Militer di Negara
Demokratis
Banyak negara demokrasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang
mengalami kudeta karena ketidakmampuan pemerintahan demokratis menjaga
stabilitas dan integritas negara.
Contoh:
þ Mesir (2013): Mursi, presiden terpilih
secara demokratis, digulingkan oleh militer.
þ Thailand: Sering terjadi kudeta
meskipun ada pemilu.
þ Pakistan: Demokrasi lemah,
digantikan oleh kekuasaan militer berulang kali.
3.
Bukti Kontemporer: Kerapuhan Demokrasi Modern
1)
Meningkatnya Polarisasi
Politik
Negara demokrasi seperti Amerika Serikat mengalami pembelahan ekstrem
antara kubu politik, yang membuat pemerintahan sering buntu (gridlock) dan
tidak bisa mengambil keputusan penting.
2)
Dominasi Uang dan Oligarki
Politik
Di banyak negara, demokrasi telah direbut oleh elite kaya atau
korporasi yang mengendalikan hasil pemilu lewat dana kampanye dan media.
➡️
Demokrasi menjadi “plutokrasi terselubung” (kekuasaan oleh orang kaya).
3)
Manipulasi Opini Publik
Melalui Media dan Hoaks
Demokrasi memberi suara kepada rakyat, tetapi suara itu bisa dimanipulasi
melalui penyebaran hoaks, misinformasi, dan propaganda.
Contoh: Pemilu di berbagai negara yang dipengaruhi oleh algoritma media
sosial, bot, dan disinformasi.
4.
Kegagalan Menjamin Keadilan Sosial
1)
Ketimpangan Ekonomi di
Negara Demokratis
Banyak negara demokratis justru memiliki jurang kaya-miskin yang
sangat besar, karena sistem demokrasi tidak secara otomatis menjamin
keadilan distribusi kekayaan.
➡️
Demokrasi tidak selalu berarti kesejahteraan.
2)
Demokrasi Gagal Melindungi
Minoritas
Di beberapa negara demokratis, minoritas agama, etnis, atau gender
tetap tertindas, karena hukum ditentukan oleh mayoritas yang tidak selalu
adil.
Kesimpulan
Ringkas:
1)
Plato: Demokrasi menuju
tirani
2)
Nazi Jerman: Pemilu
menghasilkan diktator
3)
Athena: Keputusan
irasional rakyat
4)
Negara berkembang:
Demokrasi lemah, sering dikudeta
5)
AS modern: Polarisasi dan stagnasi pemerintahan
6)
Negara demokratis global:
Dominasi uang, hoaks, ketimpangan
Lampiran 3: Sikap-Sikap
Ideal Seorang Guru
Pertanyaan “maka bagaimana seharusnya
seorang guru bersikap?” sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi
zaman yang demokratis tetapi penuh tantangan seperti polarisasi, informasi
yang bias, serta moralitas yang relatif. Dalam konteks ini, seorang guru tidak
bisa bersikap netral secara pasif, tetapi harus aktif menjadi pendidik yang
visioner, kritis, dan bijak.
Berikut adalah sikap-sikap ideal seorang
guru, ditinjau dari nilai filosofis, etika keilmuan, dan kondisi sosial:
1)
Berpikir Kritis dan
Rasional, tetapi Tetap Bermoral
Guru harus menanamkan kemampuan berpikir rasional dan logis kepada
siswa, tanpa melepaskan akar moralitas dan nilai agama.
Sikap: Mendorong siswa bertanya,
menganalisis, dan tidak ikut-ikutan arus mayoritas tanpa dasar.
Contoh: Dalam diskusi demokrasi,
guru tidak hanya menjelaskan kelebihannya, tetapi juga mengajak siswa melihat
kekurangannya secara jujur.
2)
Menjadi Filsuf dan
Penuntun Moral
Plato mengatakan, pemimpin sejati adalah “filosof”. Dalam dunia
pendidikan, guru adalah pemimpin kecil di ruang kelas, maka ia harus menjadi pendidik
nilai, bukan sekadar pengajar isi.
Sikap: Menjadi teladan dalam
kesederhanaan, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
Contoh: Guru tidak hanya
mengajarkan Pancasila, tetapi hidup sesuai nilai-nilainya.
3)
Adil dan Tidak Terbawa
Arus Mayoritas
Dalam masyarakat demokratis, guru bisa saja tertekan oleh opini
mayoritas, baik dari orang tua, media sosial, atau siswa sendiri. Namun guru harus
bersikap adil, objektif, dan tidak populis.
Sikap: Menilai siswa secara adil
berdasarkan usaha dan kualitas, bukan karena tekanan sosial.
Contoh: Tidak memberikan nilai
tinggi hanya karena siswa populer atau disukai orang tua.
4)
Memperkuat Literasi dan
Kesadaran Kritis Siswa
Guru adalah benteng pertama terhadap banjir informasi palsu (hoaks) dan
propaganda. Maka, guru harus mengajarkan cara memilah informasi dan memperkuat
kemampuan berpikir reflektif.
Sikap: Mengajarkan keterampilan membaca kritis, diskusi berbasis data, dan
pemikiran independen.
Contoh: Dalam pelajaran sejarah atau PKN, guru mengajak siswa menilai berbagai
peristiwa dari banyak sudut pandang.
5)
Mengasihi dengan Tegas
(Cinta dalam Kedisiplinan)
Guru bukan hanya pengasih, tapi juga pendidik. Terlalu memanjakan siswa
atas nama “kebebasan belajar” bisa merusak karakter. Guru harus punya cinta
yang mendidik, bukan memanjakan.
Sikap: Tegas dalam aturan, tetapi tetap hangat dan memotivasi.
Contoh: Menegur siswa yang melanggar disiplin dengan niat memperbaiki, bukan
menghukum.
6)
Menjadi Penjaga Nilai
dalam Era yang Relatif
Di tengah relativisme moral dalam masyarakat demokratis, guru adalah
penjaga nilai (value keeper) yang tetap berpihak pada kebenaran yang kokoh,
bukan pada popularitas.
Sikap: Berani membela nilai kebenaran, keadilan, dan keimanan, walaupun tidak
populer.
Contoh: Menolak normalisasi LGBT atau liberalisme ekstrem jika bertentangan
dengan nilai agama, sambil tetap mendidik siswa dengan kasih dan argumen logis.
Kesimpulan:
Seorang guru seharusnya bersikap seperti
seorang pemimpin moral dan intelektual — mendidik bukan hanya
akal, tetapi juga jiwa dan karakter peserta didik. Dalam masyarakat demokratis
yang cenderung bebas dan permisif, guru harus menjadi figur yang kritis
namun adil, bijaksana namun tegas, lembut namun berprinsip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar