Minggu, 01 Juni 2025

Konsep Epoché: Menangguhkan Dunia

Konsep Epoché

Menangguhkan Dunia


Alihkan ke: Pemikiran Edmund Husserl.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep epoché sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dalam kerangka fenomenologi transendental. Sebagai metode penangguhan terhadap asumsi-asumsi naturalistik dan kepercayaan akan eksistensi dunia eksternal, epoché berfungsi sebagai langkah awal dalam analisis kesadaran murni yang menjadi landasan dari seluruh struktur makna. Artikel ini menelusuri akar historis konsep epoché, perbedaannya dengan keraguan dalam Skeptisisme Yunani dan metode Descartes, serta hubungannya dengan reduksi fenomenologis dan ego transendental. Selain itu, artikel ini juga mengkaji berbagai kritik terhadap kemungkinan, konsistensi, dan aplikabilitas epoché dari perspektif eksistensialis, hermeneutik, dan epistemologis. Di bagian akhir, ditampilkan relevansi dan implikasi epoché dalam konteks kontemporer, baik dalam penelitian kualitatif, praktik etis, studi agama, maupun kritik budaya. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya mengeksplorasi fondasi metodologis fenomenologi Husserl, tetapi juga menunjukkan bagaimana warisan epoché tetap hidup sebagai sikap filosofis yang reflektif dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.

Kata Kunci: Epoché, Edmund Husserl, fenomenologi transendental, kesadaran murni, reduksi fenomenologis, sikap natural, kritik hermeneutik, eksistensialisme, penelitian kualitatif, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Konsep Epoché dalam Fenomenologi Edmund Husserl


1.           Pendahuluan

Dalam lanskap filsafat modern, Edmund Husserl (1859–1938) tampil sebagai sosok yang berusaha merevolusi cara berpikir filosofis melalui proyek besar yang dikenal sebagai fenomenologi. Gerakan ini tidak hanya menjadi salah satu arus utama dalam filsafat kontinental abad ke-20, tetapi juga membuka jalan bagi pemikiran eksistensialis, hermeneutik, dan strukturalisme. Di tengah kompleksitas sistem pemikirannya, konsep epoché memegang peranan krusial sebagai metode dasar yang memungkinkan penyelidikan terhadap kesadaran secara murni, bebas dari asumsi-asumsi naturalistik dan dogmatis yang biasanya menyertai proses berpikir kita sehari-hari1.

Fenomenologi Husserl lahir sebagai kritik terhadap pendekatan positivistik dan empiris dalam ilmu pengetahuan yang cenderung mengabaikan dimensi subyektivitas dalam pengalaman manusia. Dalam konteks ini, epoché dihadirkan sebagai suatu sikap metodologis untuk “menangguhkan” segala keyakinan terhadap keberadaan dunia eksternal sebagaimana diasumsikan dalam natural attitude atau sikap natural sehari-hari2. Tindakan ini bukan berarti menolak kenyataan dunia, melainkan menempatkan keyakinan akan eksistensi dunia ke dalam tanda kurung (bracketing), agar kita dapat menganalisis struktur kesadaran sebagaimana ia hadir secara fenomenal—yakni sebagaimana yang tampak bagi subjek dalam pengalaman langsung3.

Konsep epoché yang diperkenalkan oleh Husserl berakar pada istilah Yunani ἐποχή yang berarti “penahanan penghakiman” (suspension of judgment). Meskipun istilah ini juga muncul dalam skeptisisme Yunani Kuno, khususnya dalam aliran Pyrrhonisme, Husserl memberinya makna baru dalam kerangka metodologi filosofis transendental, yang tidak berhenti pada keraguan, tetapi justru membuka jalan bagi penyingkapan makna hakiki dari pengalaman manusia4.

Dengan memahami dan menerapkan epoché, Husserl berharap bahwa filsafat dapat kembali menjadi ilmu pengetahuan yang rigoris dan mendalam—bukan sekadar spekulasi metafisik atau kalkulasi empiris, melainkan penyelidikan reflektif terhadap makna yang muncul dalam pengalaman. Oleh karena itu, pembahasan tentang epoché tidak hanya penting untuk memahami metodologi fenomenologi, tetapi juga untuk memahami tujuan fundamental dari filsafat Husserl sendiri: menyingkap struktur dasar kesadaran manusia dan sumber segala makna5.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 126–128.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §30–32.

[3]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 44–46.

[4]                Richard T. Wall, "Epoché and Skepticism in Husserl's Phenomenology," Philosophy and Phenomenological Research 30, no. 2 (1969): 246–251.

[5]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 85–89.


2.           Biografi Singkat Edmund Husserl dan Perkembangan Pemikirannya

Edmund Husserl lahir pada 8 April 1859 di Prossnitz, Moravia (kini bagian dari Republik Ceko), dalam sebuah keluarga Yahudi yang cukup terpelajar. Ia memulai pendidikan tingginya di bidang matematika di Universitas Leipzig dan kemudian melanjutkan studi ke Universitas Berlin dan Wina. Di bawah bimbingan matematikawan Karl Weierstrass dan Leo Königsberger, Husserl menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap fondasi logika dan angka, suatu ketertarikan yang kemudian mengarahkannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar mengenai dasar-dasar pengetahuan dan pengalaman1.

Peralihan intelektual Husserl menuju filsafat dipengaruhi secara signifikan oleh Franz Brentano, seorang filsuf dan psikolog yang dikenal dengan teorinya tentang intentionality—yakni bahwa setiap kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Dari Brentano, Husserl mewarisi metode deskriptif dan perhatian terhadap pengalaman batin subjek sebagai dasar pemahaman terhadap realitas2. Akan tetapi, Husserl mengembangkan pendekatan ini secara lebih radikal dan sistematis dalam proyek fenomenologinya.

Karya awal Husserl yang monumental, Logische Untersuchungen (1900–1901), merupakan kritik tajam terhadap psikologisme dalam logika dan ilmu pengetahuan. Dalam karya ini, ia menegaskan bahwa kebenaran logis tidak bergantung pada keadaan psikologis subjek yang mengetahuinya, melainkan memiliki otonomi dan objektivitas ideal. Buku ini secara luas dianggap sebagai titik awal kelahiran fenomenologi filosofis sebagai disiplin yang mandiri dan metodologis3.

Puncak perkembangan pemikiran Husserl tampak dalam Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie (1913), yang menandai transisi dari fenomenologi deskriptif menuju fenomenologi transendental. Dalam karya ini, Husserl memperkenalkan konsep-konsep penting seperti epoché, reduction, dan transcendental ego. Ia mengajak filsuf untuk “menangguhkan dunia” melalui epoché, demi menganalisis struktur kesadaran dan kondisi kemungkinan penampakan segala sesuatu bagi subjek4.

Dalam masa-masa akhir hidupnya, Husserl semakin mendalami refleksi atas krisis rasionalitas dalam kebudayaan Eropa modern. Hal ini tampak dalam karya Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie (1936), di mana ia mengkritik positivisme dan menyerukan pemulihan fondasi rasionalitas melalui pendekatan fenomenologis transendental5. Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi Husserl, fenomenologi bukan semata-mata metode analisis kesadaran, tetapi juga proyek kultural dan eksistensial yang luas.

Pengaruh pemikiran Husserl melampaui batas disiplin filsafat. Ia memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, dan Emmanuel Levinas, serta memberi inspirasi pada berbagai bidang lain seperti psikologi, sosiologi, dan studi agama. Oleh karena itu, memahami perkembangan pemikiran Husserl, khususnya melalui konsep epoché, merupakan langkah penting untuk menyingkap landasan intelektual dari fenomenologi dan warisan filsafat modern secara keseluruhan6.


Footnotes

[1]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 12–15.

[2]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 15–18.

[3]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), Vol. I, Preface.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §31–§33.

[5]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 5–9.

[6]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 101–104.


3.           Pengantar ke Fenomenologi Transendental

Fenomenologi transendental merupakan inti dari proyek filosofis Edmund Husserl yang bertujuan untuk menelusuri dasar-dasar kesadaran sebagai sumber segala makna dan pengetahuan. Berbeda dari pendekatan empiris yang bertumpu pada observasi eksternal dan realitas objektif, fenomenologi transendental menekankan pentingnya kembali kepada pengalaman murni, yakni pengalaman sebagaimana yang hadir bagi kesadaran subjek. Dengan semboyan terkenalnya “zu den Sachen selbst” (kembali kepada hal-hal itu sendiri), Husserl menyerukan agar filsafat tidak terjebak dalam asumsi-asumsi metafisik atau ilmiah yang belum diperiksa secara kritis1.

Pendekatan transendental dalam fenomenologi bertolak dari gagasan bahwa segala bentuk makna, objek, dan realitas harus dipahami dari sudut pandang kesadaran yang mengalaminya. Dalam kerangka ini, Husserl mengembangkan metode epoché dan reduksi fenomenologis sebagai cara untuk menangguhkan (bracketing) keyakinan terhadap eksistensi dunia luar, sehingga memungkinkan analisis atas bagaimana objek-objek tersebut tampil (Erscheinung) dalam horizon pengalaman kesadaran2. Dengan kata lain, yang menjadi fokus bukan dunia sebagaimana adanya (an sich), melainkan dunia sebagaimana ia dimaknai dan dialami oleh subjek.

Fenomenologi transendental juga memuat konsep penting tentang kesadaran intensional, yaitu bahwa setiap kesadaran selalu ditujukan pada sesuatu (intentio). Dalam kerangka ini, hubungan antara subjek dan objek bukanlah relasi antara dua entitas yang terpisah, melainkan suatu struktur menyatu dalam medan kesadaran. Husserl menyatakan bahwa “kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu,” yang menandakan bahwa makna bukan terletak dalam objek eksternal semata, melainkan dalam korelasi antara subjek yang menyadari dan fenomena yang disadari3.

Dengan menyelidiki bagaimana makna-makna itu dikonstruksi dalam kesadaran, Husserl berusaha menggantikan fondasi pengetahuan modern yang selama ini terlalu bergantung pada empirisme atau rasionalisme dengan fondasi yang lebih radikal: kesadaran murni sebagai pusat penyingkapan dunia. Inilah yang membedakan fenomenologi transendental dari fenomenologi deskriptif awal, di mana fokus tidak lagi semata pada deskripsi pengalaman, tetapi juga pada syarat-syarat transendental yang memungkinkan terjadinya pengalaman itu sendiri4.

Fenomenologi transendental tidak bersifat metafisik dalam arti tradisional, karena tidak berusaha menjelaskan apa yang ada secara ontologis. Sebaliknya, ia bersifat reflektif dan analitis, yaitu mencari bagaimana sesuatu tampak bagi kesadaran. Dalam hal ini, Husserl menghidupkan kembali semangat kritisisme Immanuel Kant, namun dengan pendekatan yang lebih radikal: bukan hanya bagaimana objek dikenali oleh subjek melalui kategori-kategori apriori, tetapi bagaimana objek dimaknai secara dinamis dalam alur kesadaran hidup itu sendiri5.

Dengan demikian, fenomenologi transendental adalah filsafat reflektif tentang pengalaman pertama, suatu usaha untuk menyelidiki struktur dasar dari penghayatan manusia tanpa terjebak dalam dogma-dogma empiris atau rasional. Ia menjadi metode penyelidikan filosofis yang memungkinkan penggalian atas makna terdalam dari segala fenomena, dan membuka jalan bagi pemahaman tentang subjek sebagai pusat konstitusi dunia makna.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §6–7.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 146–149.

[3]                Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 32–35.

[4]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 109–113.

[5]                Sebastian Luft, The Space of Culture: Towards a Neo-Kantian Philosophy of Culture (Oxford: Oxford University Press, 2021), 88–90.


4.           Definisi dan Makna Konsep Epoché

Konsep epoché merupakan salah satu inovasi metodologis paling penting dalam fenomenologi Edmund Husserl, yang berfungsi sebagai titik tolak bagi seluruh penyelidikan fenomenologis transendental. Istilah epoché berasal dari bahasa Yunani ἐποχή, yang secara harfiah berarti “penangguhan” atau “penghentian.” Dalam tradisi Skeptisisme Yunani, terutama Pyrrhonisme, istilah ini merujuk pada praktik menahan penilaian (suspension of judgment) terhadap klaim kebenaran tertentu untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia)1. Namun, Husserl memberikan makna baru pada istilah ini dengan konteks yang lebih metodologis dan epistemologis: epoché bukanlah akhir dari penyelidikan, melainkan awal dari pendekatan yang lebih radikal terhadap kesadaran dan makna.

Dalam fenomenologi Husserl, epoché adalah tindakan sistematis untuk menangguhkan segala asumsi mengenai eksistensi dunia luar sebagaimana diasumsikan dalam natural attitude (sikap natural), yaitu cara berpikir sehari-hari yang secara spontan menerima bahwa dunia eksternal benar-benar ada dan dapat diakses tanpa perlu dipertanyakan2. Dalam sikap natural ini, kita beroperasi seolah-olah realitas luar hadir begitu saja, tanpa menyadari peran aktif kesadaran dalam membentuk makna dari apa yang kita alami.

Melalui epoché, Husserl mengajak kita untuk "mengurung dalam tanda kurung" (in die Klammer setzen) seluruh keyakinan terhadap eksistensi dunia luar dan menangguhkan setiap klaim ontologis. Penangguhan ini tidak berarti bahwa dunia disangkal keberadaannya, tetapi bahwa keberadaannya tidak lagi menjadi fokus penyelidikan. Sebaliknya, yang menjadi pusat perhatian adalah bagaimana dunia tersebut hadir dalam kesadaran sebagai fenomena, sebagai sesuatu yang ditampakkan dan dialami3.

Tujuan utama dari epoché adalah membuka jalan menuju reduksi fenomenologis, yakni tahap berikutnya dalam metode Husserl di mana subjek diarahkan untuk mengakses “kesadaran murni” atau transcendental ego—kesadaran yang menyadari segala sesuatu tetapi tidak terikat pada dunia luar secara ontologis. Melalui reduksi ini, filsuf dapat mengamati struktur-struktur kesadaran dan korelasi antara kesadaran dengan objek yang dihayatinya (intentional correlation) tanpa tercemar oleh prasangka empiris atau metafisik4.

Dengan demikian, epoché bukanlah suatu bentuk skeptisisme radikal yang menghancurkan kepercayaan terhadap realitas, tetapi merupakan metode reflektif untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam dan fundamental mengenai bagaimana makna dan eksistensi dikonstruksi dalam pengalaman. Sebagaimana dikatakan Husserl, “Das Ich will alles aufgeben, um alles in reiner Evidenz wiederzufinden”—aku ingin melepaskan segalanya, agar dapat menemukan kembali semuanya dalam evidensi yang murni5.

Konsep ini menjadi dasar dari apa yang disebut Husserl sebagai “kebebasan filosofis radikal”, yakni keberanian untuk mempertanyakan segalanya dan memulai dari awal yang benar-benar baru. Oleh sebab itu, epoché tidak hanya berfungsi sebagai metode, tetapi juga sebagai sikap filosofis yang mendalam: sikap untuk tidak menerima begitu saja apa yang tampak, tetapi selalu siap menyelidikinya dengan jernih dan reflektif.


Footnotes

[1]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 115–118.

[2]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §§30–33.

[3]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 45–47.

[4]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 112–116.

[5]                Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), §10.


5.           Tujuan dan Fungsi Epoché dalam Fenomenologi

Konsep epoché yang dikembangkan oleh Edmund Husserl memainkan peran sentral dalam metode fenomenologisnya. Sebagai langkah awal dalam analisis fenomenologis, epoché berfungsi untuk menangguhkan seluruh bentuk kepercayaan naturalistik dan asumsi metafisik tentang dunia agar memungkinkan filsuf mengarahkan perhatian pada struktur kesadaran itu sendiri. Tindakan ini tidak dilakukan dalam rangka menyangkal realitas dunia, melainkan sebagai strategi metodologis untuk menyelidiki bagaimana dunia hadir bagi subjek dalam kesadaran murni1.

Tujuan utama dari epoché adalah untuk mengakses pengalaman sebagaimana adanya (Erlebnis) tanpa prasangka yang dibawa oleh natural attitude (sikap alamiah), yaitu sikap hidup sehari-hari di mana dunia luar diasumsikan hadir secara mandiri, nyata, dan objektif. Dalam kehidupan biasa, manusia tidak mempertanyakan keberadaan dunia; kita mempercayai realitas sebagaimana tampak dan meresponnya secara otomatis. Dalam konteks fenomenologi, sikap ini dianggap tidak kritis dan perlu ditangguhkan agar kita dapat mengungkap bagaimana realitas itu sebenarnya dialami dan dimaknai2.

Dengan melakukan epoché, kesadaran diarahkan untuk melihat “bagaimana sesuatu tampak” (wie es erscheint) daripada “apa sesuatu itu” dalam dirinya sendiri (was es ist an sich). Husserl menyebut proses ini sebagai jalan menuju reduksi fenomenologis, di mana subjek melepaskan keyakinan terhadap dunia sebagai sesuatu yang ada di luar sana, dan beralih ke analisis tentang bagaimana objek-objek itu hadir dalam stream of consciousness—arus kesadaran yang bersifat intensional3.

Fungsi penting epoché adalah membuka ruang refleksi yang memungkinkan tercapainya pemahaman tentang kondisi kemungkinan (Bedingungen der Möglichkeit) bagi pengalaman itu sendiri. Dengan menangguhkan klaim tentang dunia, kita dapat menyelidiki struktur yang memungkinkan objek hadir sebagai sesuatu yang bermakna bagi subjek. Dalam konteks inilah Husserl memperkenalkan ide tentang ego transendental, yakni pusat kesadaran murni yang mengkonstitusikan dunia dalam makna, bukan dalam substansi fisik4.

Lebih lanjut, epoché berfungsi sebagai kritik terhadap pendekatan positivistik dan empiris yang mendominasi ilmu pengetahuan modern. Menurut Husserl, pendekatan ilmiah seringkali mengabaikan peran kesadaran dalam membentuk realitas yang diamati. Dengan menangguhkan seluruh sistem kepercayaan ilmiah, fenomenologi berusaha kembali ke basis pengalaman langsung, yakni fenomena sebagaimana yang tampak—bukan sebagaimana yang dikonstruksikan oleh teori atau ideologi5.

Epoché juga memiliki fungsi edukatif dan eksistensial. Ia mengajarkan subjek untuk berjarak dari dunia dan dari dirinya sendiri, guna melihat dengan lebih jernih bagaimana makna dibentuk dan dijalani. Dalam hal ini, epoché menjadi latihan filosofis untuk membebaskan diri dari kebiasaan berpikir yang tidak reflektif dan untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap realitas yang selama ini diterima begitu saja. Oleh karena itu, epoché bukan hanya prosedur intelektual, tetapi juga bentuk disiplin spiritual dalam mengolah kesadaran secara mendalam6.

Dengan demikian, epoché tidak hanya membuka jalan menuju penyelidikan fenomenologis yang rigoris, tetapi juga membentuk cara berpikir filosofis yang radikal dan reflektif. Melalui tindakan menangguhkan dunia, subjek fenomenologis tidak kehilangan dunia, melainkan justru menemukannya kembali dengan kesadaran penuh terhadap proses pemaknaannya.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §§30–33.

[2]                Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 27–29.

[3]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 120–123.

[4]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 151–154.

[5]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 6–9.

[6]                Donn Welton, ed., The New Husserl: A Critical Reader (Bloomington: Indiana University Press, 2003), 98–101.


6.           Tahapan dalam Praktik Epoché dan Reduksi

Dalam sistem fenomenologi Edmund Husserl, epoché tidak dapat dipisahkan dari proses lanjutan yang disebut sebagai reduksi fenomenologis. Keduanya membentuk satu kesatuan metodologis yang memungkinkan subjek menyelidiki struktur kesadaran secara murni dan transendental. Jika epoché merupakan penangguhan keyakinan terhadap eksistensi dunia objektif, maka reduksi adalah langkah reflektif untuk “kembali” ke hakikat kesadaran yang menjadi sumber dari segala makna1.

Secara umum, praktik epoché dan reduksi dalam fenomenologi Husserl terdiri atas tiga tahap utama, yang meskipun memiliki distingsi konseptual, tidak berlangsung secara kaku dan terpisah. Ketiga tahap ini adalah:

6.1.       Epoché Natural (Penangguhan Sikap Alamiah)

Tahap pertama melibatkan tindakan sadar untuk menangguhkan natural attitude atau sikap alamiah kita terhadap dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita secara otomatis menganggap bahwa dunia eksternal benar-benar ada secara mandiri dan objektif. Dalam epoché natural, keyakinan ini “diletakkan dalam tanda kurung” (in Klammern setzen), agar perhatian filosofis dapat dialihkan dari realitas eksternal menuju bagaimana realitas itu tampil dalam kesadaran2.

Penangguhan ini bersifat metodologis, bukan ontologis. Artinya, kita tidak menyangkal eksistensi dunia, melainkan menyisihkannya dari agenda penyelidikan. Hal ini memungkinkan kita untuk melihat pengalaman sebagaimana ia hadir, tanpa campur tangan asumsi empiris atau teoretis3.

6.2.       Reduksi Fenomenologis (Reduksi ke Dunia Pengalaman)

Setelah melakukan epoché, langkah selanjutnya adalah reduksi fenomenologis, yaitu pengalihan fokus dari objek sebagai entitas eksternal menuju cara objek itu dihayati oleh subjek. Dengan melakukan reduksi ini, subjek menyelidiki hubungan intensional antara kesadaran dan objeknya—bagaimana suatu hal hadir sebagai makna dalam arus pengalaman. Ini disebut juga sebagai kembali ke “dunia kehidupan” (Lebenswelt)—dunia yang secara langsung dihayati sebelum direduksi oleh konstruksi ilmiah atau metafisik4.

Dalam tahap ini, fenomenolog melihat dunia bukan sebagai kumpulan fakta objektif, tetapi sebagai horizon makna yang dikonstruksi oleh dan bagi subjek yang mengalami.

6.3.       Reduksi Transendental (Menuju Ego Murni)

Tahap akhir dari proses ini adalah reduksi transendental, yaitu langkah radikal menuju “kesadaran murni” atau transcendental ego. Di sini, subjek tidak hanya menangguhkan dunia luar, tetapi juga dirinya sendiri sebagai individu psikologis, sosial, atau historis. Yang tersisa adalah kesadaran yang sepenuhnya reflektif, yakni ego yang “mengkonstitusikan” dunia—bukan sebagai ciptaan subyektif, tetapi sebagai struktur makna yang memungkinkan penampakan segala sesuatu5.

Reduksi ini bersifat reflektif mendalam, karena berupaya menyingkap syarat-syarat universal bagi semua bentuk pengalaman, dengan berfokus pada esensi (Wesen) dari fenomena dan relasi-relasi intensional yang menopangnya.


Contoh Aplikatif

Sebagai ilustrasi, ketika seseorang melihat sebuah pohon, dalam natural attitude ia akan berkata: “Ada pohon di sana.” Melalui epoché, keyakinan terhadap keberadaan pohon itu ditangguhkan. Selanjutnya, melalui reduksi fenomenologis, perhatian dialihkan pada bagaimana pohon itu hadir sebagai representasi visual, spasial, dan bermakna bagi subjek. Dalam reduksi transendental, analisis diarahkan pada bagaimana kesadaran membentuk struktur pengalaman itu sehingga sesuatu seperti “pohon” dapat dimengerti sebagai entitas yang terarah dan bermakna6.


Dengan demikian, tahapan-tahapan dalam epoché dan reduksi tidak dimaksudkan sebagai prosedur teknis yang mekanis, melainkan sebagai latihan reflektif yang mendalam. Melalui tahapan ini, Husserl mengarahkan filsafat untuk menggali fondasi terdalam dari pengetahuan dan realitas, yang tidak lain adalah kesadaran itu sendiri sebagai medan konstitusi segala makna.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §§32–36.

[2]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 48–50.

[3]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 158–160.

[4]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 103–106.

[5]                David Woodruff Smith, Husserl (New York: Routledge, 2007), 125–130.

[6]                Donn Welton, ed., The New Husserl: A Critical Reader (Bloomington: Indiana University Press, 2003), 110–113.


7.           Perbandingan Epoché dengan Konsep Serupa dalam Tradisi Filsafat

Konsep epoché yang dikembangkan oleh Edmund Husserl tidak muncul dalam kekosongan historis. Sebaliknya, ia memiliki afinitas dan keterkaitan dengan sejumlah tradisi filosofis sebelumnya, terutama dalam hal praktik penangguhan penghakiman, refleksi epistemologis, dan keraguan metodis. Meski memiliki kesamaan terminologis atau metodologis, konsep-konsep tersebut tetap berbeda secara mendasar dalam konteks, tujuan, dan cakupan filosofisnya.

7.1.       Epoché dalam Skeptisisme Yunani: Pyrrhonisme

Konsep epoché pertama kali muncul secara sistematis dalam filsafat kuno, terutama dalam aliran Pyrrhonisme yang dikembangkan oleh Pyrrho dari Elis (sekitar abad ke-4 SM). Dalam tradisi ini, epoché berarti penangguhan penghakiman (suspension of judgment) terhadap semua klaim pengetahuan, karena menurut para skeptis, manusia tidak dapat memperoleh kepastian epistemologis mengenai kebenaran objektif. Tujuan utama epoché dalam Pyrrhonisme adalah mencapai ataraxia, yakni ketenangan jiwa yang muncul setelah melepaskan hasrat untuk menentukan mana yang benar atau salah1.

Meskipun Husserl menggunakan istilah yang sama, orientasinya sangat berbeda. Jika epoché dalam Pyrrhonisme bersifat nihilistik dan mengarah pada penolakan terhadap kemungkinan pengetahuan, maka epoché dalam fenomenologi Husserl justru merupakan prasyarat untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dan rigoris. Bagi Husserl, penangguhan dilakukan bukan untuk menyangkal pengetahuan, melainkan untuk membuka kemungkinan menganalisis bagaimana pengetahuan dimungkinkan sejak awal dalam kesadaran2.

7.2.       Keraguan Metodis Descartes

Sebagaimana halnya Husserl, René Descartes juga menggunakan metode keraguan dalam upayanya mendirikan filsafat yang kokoh. Dalam Meditationes de prima philosophia (1641), Descartes mengajukan keraguan menyeluruh terhadap seluruh sistem pengetahuan yang telah diwarisi, dengan tujuan menemukan satu dasar yang tidak dapat diragukan, yakni cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”)3.

Husserl secara eksplisit mengapresiasi pendekatan Descartes ini dan menyebut fenomenologi transendentalnya sebagai “Cartesianism yang baru.” Namun demikian, terdapat perbedaan esensial. Keraguan Descartes bersifat epistemologis dan bertujuan untuk menemukan fondasi ontologis dari realitas (yakni substansi mental dan substansi material). Sedangkan epoché Husserl bersifat fenomenologis dan bertujuan untuk menangguhkan komitmen ontologis demi memahami struktur intensional dari kesadaran itu sendiri4. Dengan kata lain, Husserl tidak berhenti pada “aku berpikir,” tetapi melanjutkan pertanyaan: “bagaimana segala sesuatu hadir bagi aku yang berpikir?

7.3.       Perbedaan dengan Penyangkalan Realitas dalam Idealism dan Mistisisme

Kadang-kadang epoché juga disalahpahami sebagai bentuk idealisme radikal atau bahkan mistisisme yang menolak realitas dunia luar. Hal ini tidak akurat. Dalam idealisme transendental Kant, misalnya, realitas objektif memang dibatasi oleh kategori-kategori apriori dalam pikiran, tetapi Kant tetap mempertahankan eksistensi “dunia dalam dirinya sendiri” (Ding an sich) yang tak dapat diakses5. Sebaliknya, Husserl tidak tertarik pada spekulasi tentang apa yang “ada di luar,” melainkan hanya pada bagaimana sesuatu hadir dalam pengalaman sebagai fenomena.

Demikian pula, meskipun mistisisme dalam berbagai tradisi (seperti Neoplatonisme atau sufisme) juga menekankan pengalaman batin yang mendalam dan penyingkiran dunia lahiriah, motivasi dan kerangka epistemologisnya berbeda. Epoché Husserl bukanlah usaha untuk menyatu dengan Absolut atau Realitas Ilahi, tetapi upaya sistematis dan metodologis untuk menggali struktur pemaknaan dalam kesadaran manusia6.


Kesimpulan Perbandingan

Dari perbandingan ini, tampak bahwa epoché Husserl memiliki hubungan historis dan konseptual dengan berbagai pendekatan filosofis klasik, tetapi sekaligus membawa orientasi baru yang khas. Ia bukan sekadar bentuk keraguan, skeptisisme, atau penyangkalan, melainkan langkah metodologis yang membuka jalan bagi pendekatan fenomenologis transendental. Dalam hal ini, epoché mencerminkan tekad Husserl untuk menegakkan fondasi pengetahuan yang radikal dan non-dogmatis, bukan dengan menjauhi pengalaman, tetapi dengan mendekatinya secara lebih jernih dan reflektif.


Footnotes

[1]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 115–119.

[2]                Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics (London: Routledge, 2019), 36–38.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation I–II.

[4]                Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), §§9–11.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A33/B49–A42/B59.

[6]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 164–168.


8.           Kritik terhadap Konsep Epoché

Meskipun konsep epoché menempati posisi sentral dalam fenomenologi transendental Edmund Husserl, gagasan ini tidak lepas dari kritik, baik dari dalam tradisi fenomenologi itu sendiri maupun dari aliran filsafat lain seperti eksistensialisme, hermeneutika, hingga filsafat analitik. Kritik-kritik ini umumnya mempertanyakan kemungkinan, konsistensi, dan relevansi epistemologis dari tindakan menangguhkan dunia sebagaimana diklaim oleh Husserl.

8.1.       Kritik Kemungkinan Psikologis: Dapatkah Sikap Alamiah Sungguh Ditangguhkan?

Salah satu kritik paling awal dan tajam datang dari Martin Heidegger, murid sekaligus penerus pemikiran fenomenologi Husserl. Dalam Sein und Zeit (1927), Heidegger meragukan bahwa subjek manusia, sebagai Dasein yang selalu-berada-di-dunia, dapat benar-benar menangguhkan keterlibatannya dengan dunia. Menurut Heidegger, sikap eksistensial manusia tidak dapat direduksi menjadi kesadaran murni yang terpisah dari dunia, karena struktur ontologis Dasein selalu terbuka dan terkait pada dunia sekitarnya (In-der-Welt-sein)1. Dengan kata lain, epoché dianggap mengabstraksikan manusia dari kenyataan eksistensialnya yang konkret dan historis.

8.2.       Kritik Hermeneutik: Ilusi Otonomi Kesadaran

Dari sudut pandang hermeneutika filosofis, khususnya yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, epoché dikritik sebagai bentuk “ilusi objektivitas” yang mengabaikan dimensi historis dan linguistik dalam setiap pemahaman. Dalam Wahrheit und Methode (1960), Gadamer menegaskan bahwa tidak ada titik netral dalam interpretasi: semua pemahaman selalu terbentuk dalam horizon sejarah dan tradisi yang telah mengkondisikan subjek. Oleh karena itu, mengklaim bahwa subjek dapat mengakses kesadaran murni tanpa prasangka atau pra-pemahaman adalah sebuah bentuk naïvité metodologis2. Menurut Gadamer, alih-alih menangguhkan prasangka, kita seharusnya berdialog secara kritis dengan warisan historis kita.

8.3.       Kritik Eksistensialis: Kehidupan Nyata Tidak Bisa Direduksi

Filsuf-filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Maurice Merleau-Ponty juga mengajukan keberatan terhadap pemisahan antara subjek dan dunia yang terkandung dalam epoché. Dalam La Phénoménologie de la Perception (1945), Merleau-Ponty menekankan bahwa kesadaran manusia selalu terletak dalam tubuh yang berada di dunia, dan bahwa pengalaman tidak bisa direduksi menjadi representasi mental murni. Ia menyebut bahwa reduksi fenomenologis adalah sesuatu yang “tidak pernah selesai sepenuhnya” karena tubuh-subjek selalu terlibat dalam dunia secara praksis dan perceptual3.

8.4.       Kritik Epistemologis: Ancaman Solipsisme

Beberapa filsuf dari tradisi analitik mengajukan bahwa praktik epoché berisiko membawa kepada bentuk solipsisme metodologis, di mana hanya kesadaran subjek yang dipertahankan, sementara dunia eksternal dikesampingkan. Kritik ini muncul karena reduksi Husserlian cenderung menekankan transcendental ego yang berdiri sendiri, yang kemudian tampak seperti sebuah subjek absolut. Pandangan ini berlawanan dengan semangat intersubjektivitas dalam komunikasi dan pengakuan realitas sosial4.

Meskipun Husserl sendiri berusaha menjawab masalah ini dalam karya-karya lanjutannya, seperti Cartesianische Meditationen, di mana ia membahas intersubjektivitas transendental, kritik tersebut tetap menandai adanya kesenjangan antara kesadaran murni dan dunia kehidupan bersama.

8.5.       Kritik Praktis: Keterbatasan Aplikasi dalam Kehidupan Riil

Selain kritik teoritis, beberapa pemikir juga menyoroti keterbatasan praktis dari epoché. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, tindakan menangguhkan semua keyakinan duniawi dianggap tidak hanya sulit secara psikologis, tetapi juga tidak relevan secara eksistensial. Kritik ini menyatakan bahwa kehidupan manusia tidak terjadi dalam ruang netral kesadaran, tetapi dalam dunia yang penuh keterlibatan, konflik, emosi, dan keputusan yang tidak dapat selalu dianalisis secara reflektif dan sistematis5.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap epoché mencerminkan tantangan serius terhadap klaim-klaim metodologis dan ontologis fenomenologi Husserl. Meski demikian, banyak filsuf yang tidak serta-merta menolak epoché, melainkan merevisi dan mengkonseptualisasikannya ulang. Bahkan kritik-kritik tersebut justru memperkaya perkembangan fenomenologi dengan membuka jalan bagi fenomenologi eksistensial, hermeneutika, dan pendekatan intersubjektif yang lebih holistik terhadap pengalaman manusia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), §§12–13.

[2]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 269–274.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xv–xvii, 7–10.

[4]                Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 67–70.

[5]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 231–234.


9.           Relevansi dan Implikasi Epoché dalam Konteks Kontemporer

Meskipun dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu, konsep epoché dalam fenomenologi Edmund Husserl tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam berbagai bidang kontemporer—baik dalam filsafat, ilmu sosial, psikologi, studi agama, maupun praktik kultural dan etis. Dalam dunia yang ditandai oleh ledakan informasi, dominasi teknologi, dan fragmentasi perspektif, epoché hadir sebagai disiplin reflektif yang mengajak individu maupun komunitas untuk menangguhkan reaksi spontan terhadap dunia dan kembali pada pengalaman sebagaimana ia muncul.

9.1.       Relevansi dalam Penelitian Kualitatif dan Ilmu Sosial

Dalam tradisi metodologi penelitian kualitatif kontemporer, khususnya pendekatan fenomenologis dalam sosiologi dan psikologi, epoché telah diadaptasi sebagai teknik bracketing untuk menangguhkan prasangka peneliti. Langkah ini bertujuan agar peneliti dapat memasuki dunia pengalaman partisipan tanpa membawa asumsi atau interpretasi teoritis yang dapat mencemari data asli1. Peneliti fenomenolog seperti Max van Manen dan Clark Moustakas menekankan pentingnya epoché sebagai sarana menjaga kemurnian penggambaran fenomena sebagaimana dialami oleh subjek penelitian2.

Melalui pendekatan ini, epoché tidak dipahami secara filosofis ketat, melainkan secara praktis sebagai sikap terbuka dan reflektif yang menghargai pengalaman orang lain dalam konteks mereka sendiri. Dalam masyarakat multikultural dan kompleks saat ini, sikap seperti ini sangat penting untuk menghasilkan pemahaman yang tidak reduktif dan bebas bias.

9.2.       Implikasi Etis: Kesadaran terhadap Prasangka dan Kebebasan Berpikir

Epoché juga memiliki dimensi etis yang penting, terutama dalam membentuk subjek yang sadar akan keterbatasan pengetahuannya dan terbuka terhadap kemungkinan baru. Dalam konteks perdebatan publik yang sering terjebak dalam polarisasi dan dogmatisme, epoché mengajarkan sikap epistemic humility—kerendahan hati intelektual untuk tidak serta-merta memegang keyakinan, melainkan membuka diri terhadap cara lain dalam memahami kenyataan3.

Di era media sosial dan algoritma yang memupuk konfirmasi bias, praktik epoché dapat membantu membangun semangat berpikir kritis dan dialogis. Ia mengajarkan pentingnya penangguhan penilaian sebagai langkah awal menuju pemahaman yang lebih mendalam, bukan sebagai bentuk relativisme, melainkan sebagai dasar rasionalitas yang reflektif dan non-dogmatik.

9.3.       Aplikasi dalam Studi Agama dan Spiritualitas

Dalam studi agama, epoché telah menginspirasi pendekatan-pendekatan fenomenologis terhadap pengalaman religius. Tokoh seperti Mircea Eliade dan Rudolf Otto mengadopsi pendekatan yang selaras dengan semangat epoché, yakni menjauhkan diri dari penilaian teologis atau sosiologis agar dapat memahami struktur pengalaman sakral sebagaimana dialami oleh pelaku iman4. Pendekatan ini relevan dalam konteks pluralisme religius kontemporer, karena memungkinkan pemahaman antaragama tanpa asumsi superioritas atau kecurigaan.

Selain itu, dalam praktik spiritual personal, epoché dapat diasosiasikan dengan latihan kesadaran (mindfulness), yaitu kemampuan untuk hadir secara utuh pada momen sekarang tanpa menghakimi. Meskipun berbeda secara ontologis dan metodologis, baik epoché maupun mindfulness mengarah pada kondisi kesadaran reflektif yang terbuka terhadap fenomena.

9.4.       Peran dalam Kritik Teknologi dan Budaya Konsumerisme

Epoché juga dapat diterapkan dalam kritik terhadap budaya kontemporer yang serba cepat, konsumtif, dan dangkal. Di tengah banjir simulasi visual dan informasi digital, subjek modern seringkali kehilangan kemampuan untuk berdiam, berefleksi, dan mempertanyakan apa yang dialaminya. Dalam konteks ini, epoché menjadi bentuk perlawanan fenomenologis terhadap automatisme kultural, yakni kemampuan untuk menahan diri dari langsung percaya atau mengonsumsi informasi, dan kembali ke pemaknaan yang jernih dan personal5.

Para pemikir seperti Byung-Chul Han telah menunjukkan bagaimana tekanan performatif dalam masyarakat neoliberal menjadikan manusia sebagai "subjek yang lelah." Dalam konteks seperti ini, epoché dapat menjadi strategi pembebasan—sebuah cara untuk mengambil jarak dari sistem yang membentuk pengalaman, dan menemukan kembali makna dalam keberadaan sehari-hari.


Kesimpulan

Epoché dalam konteks kontemporer tidak hanya berfungsi sebagai metode filosofis, melainkan sebagai alat epistemologis, etis, dan kultural yang relevan untuk zaman yang penuh kompleksitas. Dalam berbagai bidang—dari penelitian sosial, pendidikan kritis, studi agama, hingga kritik budaya—praktik menangguhkan asumsi dapat menjadi jalan untuk menemukan kembali makna yang otentik dalam pengalaman manusia. Oleh karena itu, warisan Husserl ini tidak hanya hidup dalam teks akademik, tetapi juga dalam praksis kesadaran reflektif sehari-hari.


Footnotes

[1]                Giorgi, Amedeo. The Descriptive Phenomenological Method in Psychology: A Modified Husserlian Approach (Pittsburgh: Duquesne University Press, 2009), 91–95.

[2]                Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1994), 33–36.

[3]                Varela, Francisco J., Evan Thompson, and Eleanor Rosch. The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 23–25.

[4]                Eliade, Mircea. The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, trans. Willard R. Trask (New York: Harcourt, 1959), 10–13.

[5]                Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 25–28.


10.       Kesimpulan

Konsep epoché yang dirumuskan oleh Edmund Husserl merupakan fondasi epistemologis dan metodologis dari fenomenologi transendental. Sebagai tindakan penangguhan segala bentuk keyakinan terhadap dunia objektif dan asumsi naturalistik, epoché tidak bertujuan untuk menyangkal realitas, melainkan untuk mengarahkan kesadaran secara reflektif kepada cara bagaimana dunia hadir sebagai fenomena dalam pengalaman subjek. Tindakan ini membuka jalan menuju reduksi fenomenologis dan memungkinkan penyelidikan atas struktur kesadaran murni yang mengkonstitusikan makna dan realitas dalam horizon pengalaman manusia1.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, epoché tidak identik dengan skeptisisme Yunani maupun keraguan metodis Cartesian, meskipun secara historis terinspirasi olehnya. Berbeda dari keduanya, Husserl menggunakan epoché bukan untuk mencapai ketenangan batin atau menemukan fondasi ontologis dari realitas objektif, tetapi untuk membangun filsafat yang rigoris dan reflektif dengan memusatkan perhatian pada kesadaran sebagai medan konstitusi makna2.

Namun demikian, epoché tidak lepas dari kritik. Filsuf-filsuf seperti Heidegger, Gadamer, dan Merleau-Ponty menunjukkan keterbatasan dari asumsi bahwa subjek dapat menangguhkan seluruh keterlibatannya dengan dunia. Mereka menggarisbawahi bahwa manusia selalu terikat pada konteks historis, tubuh, bahasa, dan dunia kehidupan, sehingga reduksi terhadap “kesadaran murni” dianggap problematik atau bahkan ilusi metodologis3. Kritik-kritik ini tidak serta-merta membatalkan nilai epoché, tetapi justru memperkaya pemahaman dan mendorong pengembangan fenomenologi ke arah yang lebih eksistensial dan hermeneutik.

Dalam konteks kontemporer, relevansi epoché semakin nyata. Dalam bidang penelitian kualitatif, ia menjadi prinsip dasar untuk menangguhkan prasangka dan menyimak pengalaman partisipan secara autentik. Dalam dimensi etis dan sosial, epoché melatih kerendahan hati epistemik dan kemampuan reflektif yang sangat dibutuhkan di era polarisasi informasi dan otomatisme digital. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, epoché dapat menjadi praktik filosofis dan kultural untuk menjaga kesadaran dari kelekatan dan impuls reaktif yang dangkal4.

Dengan demikian, epoché bukan sekadar teknik filsafat, melainkan sikap hidup intelektual yang mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, menangguhkan asumsi, dan menyelami ulang pengalaman dengan kesadaran yang lebih jernih. Dalam dunia yang makin bising dan tergesa, warisan Husserl ini mengingatkan kita bahwa pemahaman yang sejati selalu dimulai dari keberanian untuk menunda penghakiman dan membuka diri terhadap fenomena sebagaimana adanya.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy: First Book, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), §§32–36.

[2]                Dan Zahavi, Husserl's Phenomenology (Stanford: Stanford University Press, 2003), 42–45.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xv–xvii; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury Academic, 2013), 269–274.

[4]                Dermot Moran, Edmund Husserl: Founder of Phenomenology (Cambridge: Polity Press, 2005), 238–241; Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 25–28.


Daftar Pustaka

Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents and his legacy. Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1641)

Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion (W. R. Trask, Trans.). Harcourt.

Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Bloomsbury Academic. (Original work published 1960)

Giorgi, A. (2009). The descriptive phenomenological method in psychology: A modified Husserlian approach. Duquesne University Press.

Han, B.-C. (2015). The burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Husserl, E. (1960). Cartesian meditations: An introduction to phenomenology (D. Cairns, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1931)

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press. (Original work published 1936)

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781/1787)

Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of perception (D. A. Landes, Trans.). Routledge. (Original work published 1945)

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Moran, D. (2005). Edmund Husserl: Founder of phenomenology. Polity Press.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Sage Publications.

Smith, D. W. (2007). Husserl. Routledge.

Sokolowski, R. (2000). Introduction to phenomenology. Cambridge University Press.

van Manen, M. (1990). Researching lived experience: Human science for an action sensitive pedagogy. State University of New York Press.

Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience. MIT Press.

Welton, D. (Ed.). (2003). The new Husserl: A critical reader. Indiana University Press.

Zahavi, D. (2003). Husserl's phenomenology. Stanford University Press.

Zahavi, D. (2019). Phenomenology: The basics. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar