Minggu, 15 Desember 2024

Apakah Seseorang Hanya Akan Memilih Sesuatu yang Belum Ia Miliki dari Sebuah Penawaran?

 Apakah Seseorang Hanya Akan Memilih Sesuatu yang Belum Ia Miliki dari Sebuah Penawaran?


1.           Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan pada berbagai penawaran, baik berupa barang, jasa, maupun peluang. Proses memilih sesuatu dari sebuah penawaran sering kali terlihat sederhana, tetapi pada kenyataannya, melibatkan faktor yang kompleks seperti kebutuhan, keinginan, nilai, dan preferensi individu. Salah satu pertanyaan mendasar yang menarik untuk dianalisis adalah: Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki?

Pandangan ini tampaknya logis karena manusia cenderung memprioritaskan apa yang tidak dimiliki untuk memenuhi kebutuhan atau mengejar kebahagiaan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, manusia juga kerap memilih sesuatu yang sudah dimiliki dalam bentuk pengulangan konsumsi, penguatan status sosial, atau kenyamanan psikologis. Misalnya, seseorang yang memiliki mobil mungkin akan tetap memilih mobil lain meskipun fungsi dasarnya telah terpenuhi. Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan tidak selalu berorientasi pada "apa yang belum dimiliki."

Penawaran dalam konteks ini tidak hanya berkaitan dengan aspek material, tetapi juga mencakup elemen abstrak seperti pengalaman, hubungan sosial, atau peluang untuk pertumbuhan diri. Oleh karena itu, memahami dasar pilihan manusia dari sebuah penawaran memerlukan kajian multidisiplin.

1.2.        Rumusan Masalah

Artikel ini akan membahas pertanyaan utama: Apakah seseorang hanya memilih sesuatu yang belum ia miliki? Pembahasan akan mencakup:

1)                  Bagaimana manusia mendefinisikan kebutuhan terhadap sesuatu yang belum dimiliki?

2)                  Apakah ada faktor lain selain "ketiadaan" yang mendorong seseorang untuk memilih sesuatu?

3)                  Bagaimana perspektif teori ekonomi, psikologi, dan filsafat memberikan wawasan tentang fenomena ini?

1.3.        Tujuan Artikel

Tujuan artikel ini adalah memberikan analisis yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut, dengan meninjau teori-teori relevan dan memberikan justifikasi berdasarkan referensi yang kredibel. Pendekatan ini bertujuan untuk:

1)                  Menyediakan kerangka analisis yang sistematis untuk memahami bagaimana manusia membuat keputusan dalam situasi penawaran.

2)                  Memperluas wawasan pembaca tentang faktor-faktor yang memengaruhi pilihan manusia, baik dalam konteks material maupun non-material.

3)                  Menghubungkan konsep-konsep ini dengan perspektif filosofis untuk memberikan refleksi yang lebih mendalam tentang nilai dan tujuan dari pilihan manusia.

1.4.        Kerangka Pemikiran

Penelitian dan teori dalam bidang ekonomi, psikologi, dan filsafat menunjukkan bahwa keputusan manusia tidak selalu linier atau terfokus pada kekurangan.

·                     Dalam ekonomi, teori utilitas menyatakan bahwa manusia cenderung memilih sesuatu yang memberikan nilai tambah terbesar dalam hidupnya, tetapi nilai ini bisa berupa penguatan dari sesuatu yang sudah dimiliki, seperti investasi pada barang mewah untuk menunjukkan status sosial (Mankiw, 2021).1

·                     Dari sisi psikologi, Maslow (1943) menunjukkan bahwa manusia bergerak dari kebutuhan dasar menuju aktualisasi diri, tetapi proses ini tidak selalu linear karena keinginan emosional dapat memengaruhi keputusan.2

·                     Dalam filsafat, Aristoteles melalui konsep eudaimonia menggarisbawahi bahwa manusia mencari kebahagiaan sejati, yang tidak selalu identik dengan memperoleh sesuatu yang baru, tetapi kadang berupa pemeliharaan atau penguatan dari apa yang sudah dimiliki.3

Dengan menganalisis pertanyaan ini, artikel akan memberikan wawasan yang komprehensif untuk menjawab apakah manusia hanya memilih sesuatu yang belum dimiliki atau ada faktor lain yang memengaruhi pilihan tersebut.


Catatan Kaki:

[1]              Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.

[2]              Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.

[3]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.


2.           Analisis Pertanyaan

2.1.        Definisi Kunci

Untuk memahami apakah seseorang hanya memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran, penting untuk mendefinisikan istilah-istilah utama dalam pertanyaan ini:

1)                  Memilih Sesuatu: Proses pengambilan keputusan untuk menetapkan satu opsi dari sejumlah alternatif yang tersedia. Dalam konteks ini, pilihan melibatkan evaluasi rasional dan emosional terhadap manfaat, biaya, dan relevansi suatu penawaran terhadap kebutuhan atau keinginan pribadi.1

2)                  Belum Dimiliki: Mengacu pada kondisi ketiadaan suatu benda, pengalaman, atau nilai tertentu dalam kepemilikan seseorang. "Kepemilikan" di sini tidak hanya terbatas pada aspek material, tetapi juga mencakup aspek abstrak seperti pengalaman, status, atau kepuasan emosional.2

3)                  Penawaran: Kesempatan atau opsi yang diberikan kepada individu untuk dipilih. Penawaran dapat berupa barang atau jasa nyata, tetapi juga peluang abstrak seperti relasi sosial, pengalaman baru, atau pengakuan.3

Dengan memahami istilah ini, kita dapat membedah apakah "belum dimiliki" merupakan satu-satunya faktor yang menentukan pilihan, atau apakah ada elemen lain yang juga relevan.

2.2.        Kerangka Pemikiran

Untuk menganalisis pertanyaan ini, kita perlu memahami dua teori utama yang berkaitan dengan keputusan manusia:

1)                  Teori Kebutuhan dan Keinginan

Kebutuhan adalah sesuatu yang esensial untuk kehidupan (contoh: makanan, tempat tinggal), sedangkan keinginan adalah sesuatu yang tidak esensial tetapi memberikan kepuasan tambahan. Dalam teori ini, seseorang sering kali didorong untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki karena kebutuhan atau keinginan tersebut belum terpenuhi.4 Namun, dalam beberapa kasus, orang juga memilih sesuatu yang sudah dimiliki untuk memperbarui, mengganti, atau memperkuat aset yang sudah ada (contoh: membeli gadget terbaru meskipun fungsi gadget lama masih mencukupi).

2)                  Faktor Eksternal dan Internal dalam Pengambilan Keputusan

o     Faktor eksternal meliputi kelangkaan (scarcity), tekanan sosial, dan pemasaran. Penawaran yang memproyeksikan eksklusivitas atau kelangkaan sering kali menarik individu untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, bahkan jika kebutuhan tersebut tidak mendesak.5

o     Faktor internal mencakup motivasi intrinsik seperti kepuasan emosional, rasa aman, atau identitas diri. Pilihan juga dapat dipengaruhi oleh preferensi terhadap sesuatu yang familiar, meskipun sebenarnya hal tersebut sudah dimiliki dalam bentuk lain.

2.3.        Kaitan Pertanyaan dengan Realitas

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipertimbangkan bahwa manusia tidak selalu memilih sesuatu yang baru. Pilihan bergantung pada beberapa aspek:

1)                  Nilai Fungsional vs. Nilai Emosional

o     Nilai fungsional menekankan pada apa yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhan dasar. Dalam konteks ini, seseorang cenderung memilih sesuatu yang belum dimiliki (misalnya, seseorang yang lapar memilih makanan).

o     Nilai emosional berhubungan dengan bagaimana pilihan memberikan kebahagiaan, kepuasan, atau pengakuan. Nilai ini sering kali menyebabkan seseorang memilih sesuatu yang sudah dimiliki tetapi memberikan pengalaman emosional baru (contoh: membeli barang yang sama tetapi dengan merek berbeda untuk meningkatkan status sosial).6

2)                  Konteks Sosial dan Budaya

Budaya konsumerisme modern sering kali mendorong individu untuk mencari dan memilih sesuatu yang baru, meskipun kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Pemasaran memainkan peran besar dalam membentuk persepsi bahwa memiliki sesuatu yang belum dimiliki adalah tanda kesuksesan atau kemajuan.7

3)                  Pengaruh Filosofis

Dari perspektif filosofis, manusia tidak hanya memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi juga berdasarkan refleksi atas tujuan hidupnya. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menekankan bahwa manusia bertindak untuk mencapai eudaimonia (kesejahteraan yang bermakna). Dalam konteks ini, pilihan seseorang dapat melibatkan pemeliharaan atau penguatan atas apa yang sudah dimiliki jika hal itu dianggap mendukung kebahagiaan sejati.8

2.4.        Kesimpulan Analisis Pertanyaan

Pertanyaan ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam pengambilan keputusan manusia. "Belum dimiliki" mungkin menjadi faktor penting, tetapi bukan satu-satunya. Pilihan manusia dipengaruhi oleh kombinasi antara kebutuhan, keinginan, nilai emosional, pengaruh sosial, dan refleksi filosofis tentang tujuan hidup. Analisis ini menjadi dasar untuk melangkah lebih jauh dalam pembahasan teori dan justifikasi mendalam.


Catatan Kaki:

[1]              Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011.

[2]              Belk, Russell. "Possessions and the Extended Self." Journal of Consumer Research, vol. 15, no. 2, 1988, pp. 139-168.

[3]              Kotler, Philip, dan Keller, Kevin Lane. Marketing Management. 15th Edition. London: Pearson Education, 2015.

[4]              Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.

[5]              Cialdini, Robert B. Influence: The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business, 2006.

[6]              Holbrook, Morris B., dan Hirschman, Elizabeth C. "The Experiential Aspects of Consumption: Consumer Fantasies, Feelings, and Fun." Journal of Consumer Research, vol. 9, no. 2, 1982, pp. 132-140.

[7]              Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage Publications, 1998.

[8]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.


3.           Kajian Teori

Kajian teori pada artikel ini bertujuan untuk memberikan landasan konseptual dalam menjawab pertanyaan "Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran?" dengan menganalisis perspektif dari tiga disiplin ilmu utama: ekonomi, psikologi, dan filsafat. Setiap perspektif memberikan pemahaman yang berbeda namun saling melengkapi mengenai bagaimana manusia membuat keputusan.

3.1.        Perspektif Ekonomi

3.1.1.    Teori Utilitas dan Marginal Utility

Dalam ekonomi, keputusan untuk memilih sesuatu sering dijelaskan melalui teori utilitas. Utilitas didefinisikan sebagai tingkat kepuasan atau manfaat yang diperoleh seseorang dari konsumsi barang atau jasa. Dalam konteks ini, seseorang cenderung memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut dapat memberikan utilitas tambahan. Konsep ini diperkuat oleh teori marginal utility, yang menyatakan bahwa kepuasan tambahan dari konsumsi unit berikutnya dari suatu barang akan semakin menurun (law of diminishing marginal utility).1

Contoh sederhana adalah seseorang yang membeli makanan saat lapar. Pilihan ini didorong oleh kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Namun, setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, kepuasan dari makanan tambahan akan berkurang, sehingga orang tersebut mungkin tidak lagi memilih makanan yang sama.

3.1.2.    Prinsip Kelangkaan (Scarcity)

Prinsip kelangkaan menjelaskan bahwa sesuatu yang belum dimiliki sering kali lebih menarik karena dianggap langka atau bernilai tinggi. Kelangkaan menciptakan persepsi bahwa sesuatu lebih diinginkan, sehingga orang cenderung memilihnya meskipun mungkin tidak membutuhkannya secara langsung.2

3.1.3.    Teori Pilihan Rasional

Teori ini berargumen bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mengevaluasi biaya dan manfaat sebelum membuat keputusan. Dalam konteks ini, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki jika manfaat dari penawaran tersebut dianggap lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Namun, preferensi individu juga dipengaruhi oleh informasi yang tersedia dan persepsi subjektif tentang nilai penawaran.3

3.2.        Perspektif Psikologi

3.2.1.    Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow

Maslow (1943) mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri.4 Dalam konteks penawaran, seseorang lebih mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi.

·                     Contoh: Seseorang yang belum memiliki keamanan finansial akan lebih memilih penawaran yang memberikan stabilitas ekonomi daripada sesuatu yang hanya memberikan hiburan atau status sosial.

Namun, pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, pilihan manusia menjadi lebih kompleks dan tidak selalu didasarkan pada apa yang belum dimiliki. Sebagai contoh, pada tingkat aktualisasi diri, seseorang mungkin memilih sesuatu yang sudah dimiliki tetapi memberikan kesempatan untuk memperdalam pengalaman atau pengetahuan.

3.2.2.    Teori Disonansi Kognitif

Teori ini menjelaskan bahwa manusia berusaha mengurangi ketegangan psikologis akibat konflik antara keyakinan, sikap, dan tindakan mereka.5 Dalam konteks penawaran, seseorang dapat memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk mengatasi perasaan kekurangan atau kesenjangan. Namun, ada pula kasus di mana seseorang memilih sesuatu yang sudah dimiliki untuk memperkuat rasa aman atau identitas diri.

3.2.3.    Pengaruh Emosi dalam Keputusan

Penelitian menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan.6 Dalam beberapa kasus, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki karena rasa penasaran, antisipasi kebahagiaan, atau tekanan sosial. Sebaliknya, nostalgia atau keterikatan emosional dapat mendorong seseorang untuk memilih sesuatu yang sudah dimiliki sebelumnya.

3.3.        Perspektif Filosofis

3.3.1.    Hedonisme dan Pencarian Kebahagiaan

Hedonisme memandang bahwa manusia memilih sesuatu untuk mencari kebahagiaan atau kenikmatan. Dalam konteks ini, sesuatu yang belum dimiliki sering kali dianggap sebagai sumber kebahagiaan baru, sehingga menarik perhatian lebih besar. Namun, para kritikus hedonisme, seperti filsuf Stoik, menekankan bahwa mengejar hal-hal baru secara terus-menerus dapat menyebabkan ketidakpuasan jangka panjang.7

3.3.2.    Eksistensialisme: Kebebasan dan Pemilihan

Dalam pandangan eksistensialisme, pilihan adalah manifestasi dari kebebasan individu untuk menentukan makna hidupnya.8 Seseorang mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk mengeksplorasi kebebasan dan memperluas identitas diri. Namun, dalam beberapa kasus, seseorang juga dapat memilih sesuatu yang sudah dimiliki jika hal tersebut dirasa lebih relevan dengan nilai-nilai atau tujuan hidupnya.

3.3.3.    Konsep Aristoteles tentang Eudaimonia

Aristoteles menjelaskan bahwa manusia bertindak untuk mencapai eudaimonia (kesejahteraan yang bermakna). Dalam konteks ini, pilihan manusia tidak selalu didasarkan pada apa yang belum dimiliki, tetapi pada apa yang dianggap terbaik untuk mencapai kehidupan yang bermakna.9 Sebagai contoh, seseorang yang sudah memiliki hubungan keluarga yang erat mungkin memilih untuk memperkuat hubungan tersebut daripada mengejar pengalaman baru yang belum dimiliki.


Kesimpulan Kajian Teori

Kajian teori menunjukkan bahwa keputusan manusia untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki bergantung pada konteks kebutuhan, keinginan, dan motivasi. Dari perspektif ekonomi, pilihan sering kali didasarkan pada nilai tambah utilitas. Dalam psikologi, pilihan mencerminkan hierarki kebutuhan dan pengaruh emosi. Sementara itu, filsafat menekankan makna dan tujuan hidup sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan pendekatan multidisiplin ini, kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki; pilihan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal.


Catatan Kaki:

[1]              Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.

[2]              Cialdini, Robert B. Influence: The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business, 2006.

[3]              Becker, Gary S. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press, 1976.

[4]              Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.

[5]              Festinger, Leon. A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press, 1957.

[6]              Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011.

[7]              Epicurus. Letter to Menoeceus. In The Art of Happiness. New York: Penguin Classics, 2012.

[8]              Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. New York: Routledge, 1943.

[9]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.


4.           Justifikasi dan Pembahasan

Dalam menjawab pertanyaan “Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran?”, diperlukan justifikasi yang didasarkan pada realitas empiris, teori multidisiplin, dan pendekatan filosofis. Bagian ini menguraikan pembahasan secara komprehensif untuk menyoroti faktor-faktor yang mendorong seseorang memilih sesuatu, baik yang sudah dimiliki maupun yang belum dimiliki.

4.1.        Pembahasan Studi Kasus

Kasus 1: Konsumsi Barang Primer

Seseorang yang lapar memilih untuk membeli makanan. Pilihan ini jelas mencerminkan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Dalam hal ini, keputusan seseorang didasarkan pada teori utilitas, di mana pemilihan barang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang paling mendesak.1

·                     Namun, setelah kebutuhan ini terpenuhi, orang yang sama mungkin tetap memilih makanan lain, bukan karena lapar, tetapi karena ingin merasakan variasi atau mendapatkan pengalaman emosional yang baru, seperti mencoba makanan eksotis. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan awal didasarkan pada sesuatu yang belum dimiliki, pilihan berikutnya mungkin didasarkan pada faktor selain ketiadaan.

Kasus 2: Konsumsi Barang Sekunder dan Tersier

Seseorang yang sudah memiliki ponsel modern mungkin tetap membeli model terbaru dari merek yang sama. Dalam konteks ini, keputusan bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi lebih kepada motivasi emosional seperti status sosial, kebaruan teknologi, atau rasa puas yang dihasilkan dari memiliki sesuatu yang "lebih baik."2

·                     Ini menguatkan argumen bahwa pemilihan tidak selalu didasarkan pada sesuatu yang belum dimiliki, tetapi juga pada penguatan identitas dan kepuasan emosional.

4.2.        Analisis Faktor Penentu Pilihan

Faktor 1: Motivasi Fungsional

Dari perspektif ekonomi, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut memenuhi kebutuhan yang fungsional, misalnya alat untuk mempermudah pekerjaan. Namun, ketika kebutuhan dasar terpenuhi, keputusan untuk memilih bisa berubah menjadi pencarian nilai tambah atau penguatan aset yang sudah ada. Hal ini sejalan dengan teori utilitas marginal di mana nilai tambahan dari suatu barang dapat terus dievaluasi berdasarkan konteksnya.3

Faktor 2: Pengaruh Emosional dan Sosial

Psikologi konsumen menunjukkan bahwa emosi dan pengaruh sosial memainkan peran besar dalam pengambilan keputusan.

·                     Misalnya, penawaran yang disertai dengan elemen kelangkaan atau eksklusivitas cenderung memotivasi seseorang untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, meskipun sebenarnya kebutuhan tersebut tidak mendesak.4

·                     Sebaliknya, keterikatan emosional dapat mendorong seseorang untuk memilih sesuatu yang sudah dimiliki, seperti membeli produk dari merek yang sama karena kenyamanan atau loyalitas.

Faktor 3: Pandangan Filosofis tentang Kebahagiaan

Dari perspektif filsafat, kebahagiaan atau eudaimonia bukan hanya berasal dari apa yang belum dimiliki, tetapi juga dari pemeliharaan dan optimalisasi atas apa yang sudah dimiliki. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki hubungan sosial yang kuat mungkin memilih untuk memperkuat hubungan tersebut daripada mengejar hubungan baru yang belum ada. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles bahwa manusia mencari kebahagiaan yang berkelanjutan dan bermakna, bukan hanya kesenangan sesaat.5

4.3.        Perspektif Teoritis dan Praktis

4.3.1.    Teori Ekonomi vs. Realitas Praktis

Meskipun teori utilitas menyatakan bahwa seseorang cenderung memilih sesuatu yang memberikan manfaat terbesar (terutama jika belum dimiliki), praktik menunjukkan bahwa manusia sering kali dipengaruhi oleh bias emosional dan sosial. Misalnya, keputusan untuk membeli barang mewah tidak selalu didasarkan pada kebutuhan fungsional tetapi lebih kepada faktor eksternal seperti status sosial atau iklan yang memengaruhi persepsi.6

4.3.2.    Psikologi dan Perilaku Konsumen

Teori disonansi kognitif menjelaskan bahwa manusia sering kali mengambil keputusan untuk mengurangi ketegangan antara keyakinan dan tindakan. Dalam hal ini, memilih sesuatu yang belum dimiliki mungkin membantu seseorang mengatasi perasaan kekurangan, sementara memilih sesuatu yang sudah dimiliki dapat memberikan rasa aman dan kontinuitas.7

4.3.3.    Filosofi sebagai Refleksi Praktis

Filosofi eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Sartre, menekankan bahwa pilihan manusia adalah bentuk kebebasan untuk menciptakan makna hidup. Dalam konteks ini, seseorang tidak selalu memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi juga berdasarkan bagaimana pilihan tersebut mencerminkan nilai dan tujuan hidup mereka.8


Kesimpulan Justifikasi

Analisis ini menunjukkan bahwa seseorang tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki dari sebuah penawaran. Pilihan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk:

1)                  Konteks kebutuhan dan keinginan:

Pada kebutuhan mendasar, seseorang lebih cenderung memilih sesuatu yang belum dimiliki. Namun, pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, pilihan menjadi lebih kompleks.

2)                  Pengaruh emosional dan sosial:

Tekanan eksternal, nilai emosional, dan keterikatan sosial dapat memengaruhi preferensi.

3)                  Refleksi filosofis:

Pilihan manusia sering kali mencerminkan pencarian makna hidup yang lebih mendalam, bukan sekadar memenuhi kekurangan material.

Dengan demikian, manusia tidak hanya dipandu oleh ketiadaan dalam memilih, tetapi juga oleh aspirasi, emosi, dan refleksi tentang apa yang dianggap benar-benar bernilai dalam hidupnya.


Catatan Kaki:

[1]              Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.

[2]              Kotler, Philip, dan Keller, Kevin Lane. Marketing Management. 15th Edition. London: Pearson Education, 2015.

[3]              Becker, Gary S. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press, 1976.

[4]              Cialdini, Robert B. Influence: The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business, 2006.

[5]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.

[6]              Holbrook, Morris B., dan Hirschman, Elizabeth C. "The Experiential Aspects of Consumption: Consumer Fantasies, Feelings, and Fun." Journal of Consumer Research, vol. 9, no. 2, 1982, pp. 132-140.

[7]              Festinger, Leon. A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press, 1957.

[8]              Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. New York: Routledge, 1943.


5.           Relevansi Filosofis dengan Permasalahan

Pertanyaan “Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran?” memiliki akar filosofis yang mendalam. Pemilihan dalam konteks ini melibatkan konsep tentang kebutuhan, keinginan, kebebasan, dan makna hidup, yang telah menjadi perhatian utama berbagai filsuf sejak zaman kuno hingga era modern. Bagian ini akan membahas relevansi filsafat dengan permasalahan ini melalui pandangan dari beberapa aliran pemikiran yang kredibel.

5.1.        Pandangan Hedonisme: Mengejar Kenikmatan dan Kepuasan

Hedonisme, yang dipelopori oleh filsuf seperti Aristippos dan Epicurus, memandang bahwa manusia secara alami cenderung mengejar kenikmatan (pleasure) dan menghindari rasa sakit (pain).1 Dalam konteks memilih sesuatu dari penawaran, pandangan hedonisme dapat menjelaskan mengapa seseorang sering kali tertarik pada sesuatu yang belum dimiliki, karena hal tersebut memberikan harapan akan kenikmatan baru atau mengurangi ketidaknyamanan akibat kekurangan.

·                     Namun, Epicurus menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada mengejar hal-hal baru, tetapi juga pada pengendalian keinginan dan kepuasan terhadap apa yang sudah dimiliki. Ini mengindikasikan bahwa pilihan seseorang tidak selalu terfokus pada ketiadaan, tetapi juga pada stabilitas dan harmoni.2

5.2.        Pandangan Eksistensialisme: Kebebasan dalam Memilih

Eksistensialisme, yang dikemukakan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Søren Kierkegaard, menempatkan kebebasan individu sebagai inti dari keberadaan manusia. Sartre berpendapat bahwa manusia adalah makhluk bebas yang memiliki tanggung jawab penuh atas pilihannya.3

·                     Dalam konteks penawaran, seseorang mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki sebagai cara untuk menegaskan kebebasan dan menciptakan makna baru dalam hidupnya. Misalnya, seseorang yang memilih pengalaman baru, meskipun sudah memiliki pengalaman serupa, melakukannya untuk memperluas horizon eksistensialnya.

·                     Namun, Sartre juga mencatat bahwa manusia dapat memilih berdasarkan keautentikan (authenticity), yakni dengan mengevaluasi apakah suatu pilihan benar-benar bermakna atau hanya mengikuti tekanan sosial. Dalam hal ini, seseorang mungkin memilih sesuatu yang sudah dimiliki jika itu lebih sesuai dengan nilai-nilai pribadinya.

5.3.        Perspektif Aristoteles: Eudaimonia dan Kebahagiaan yang Bermakna

Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menjelaskan bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai eudaimonia (kebahagiaan yang bermakna dan berkelanjutan).4 Dalam pandangan Aristoteles, manusia tidak hanya memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi berdasarkan apa yang membantu mereka mencapai kehidupan yang baik (the good life).

·                     Misalnya, seseorang mungkin memilih untuk memperbaiki hubungan sosial atau mengembangkan keterampilan yang sudah dimilikinya daripada mengejar sesuatu yang benar-benar baru, jika hal itu dianggap lebih relevan untuk mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan.

·                     Konsep virtue ethics dari Aristoteles juga menekankan bahwa pilihan manusia harus seimbang antara hasrat untuk memiliki hal-hal baru dan kemampuan untuk mengelola apa yang sudah dimiliki secara bijaksana.

5.4.        Filsafat Stoik: Kepemilikan Internal dan Pengendalian Diri

Para filsuf Stoik seperti Epictetus dan Marcus Aurelius menekankan bahwa kebahagiaan manusia tidak tergantung pada hal-hal eksternal yang belum dimiliki, tetapi pada kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan emosi.5

·                     Dalam konteks penawaran, seorang Stoik akan lebih fokus pada apakah suatu pilihan dapat memberikan kedamaian batin atau justru menciptakan kecemasan baru. Dengan demikian, seseorang mungkin memilih untuk tidak tergoda oleh sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut dianggap tidak mendukung ketenangan jiwa.

·                     Stoikisme mengajarkan bahwa "kepemilikan sejati" adalah kepemilikan atas diri sendiri, sehingga pilihan tidak selalu harus diarahkan pada ketiadaan eksternal, tetapi pada pengelolaan kebahagiaan internal.

5.5.        Konsep Utilitarianisme: Pilihan Berdasarkan Manfaat Terbesar

John Stuart Mill dalam utilitarianisme menjelaskan bahwa pilihan yang baik adalah yang menghasilkan manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak.6 Dalam konteks ini, seseorang dapat memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut dianggap memberikan manfaat yang lebih besar daripada apa yang sudah dimiliki.

·                     Namun, Mill juga menekankan pentingnya "kualitas kebahagiaan," bukan hanya kuantitasnya. Artinya, seseorang mungkin memilih untuk memperdalam pengalaman yang sudah dimiliki jika itu memberikan manfaat yang lebih bermakna dibandingkan mengejar sesuatu yang baru.

5.6.        Refleksi Filosofis terhadap Permasalahan

5.6.1.    Kebutuhan versus Keinginan

Secara filosofis, pilihan manusia sering kali mencerminkan konflik antara kebutuhan dan keinginan. Dalam banyak kasus, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun, pada tingkat keinginan, pilihan lebih mencerminkan nilai-nilai pribadi dan refleksi tentang tujuan hidup.

5.6.2.    Relevansi dengan Kehidupan Modern

Dalam masyarakat modern yang dipenuhi dengan budaya konsumsi, manusia sering kali terjebak dalam pola pikir bahwa kebahagiaan berasal dari sesuatu yang belum dimiliki. Namun, pandangan filosofis dari Aristoteles, Stoikisme, dan eksistensialisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada bagaimana seseorang memanfaatkan apa yang sudah dimiliki dengan bijaksana, bukan sekadar mengejar hal-hal baru.


Kesimpulan Relevansi Filosofis

Relevansi filosofis menunjukkan bahwa manusia tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki dari sebuah penawaran. Pilihan tersebut bergantung pada konteks kebutuhan, keinginan, nilai-nilai pribadi, dan refleksi tentang tujuan hidup. Dengan memahami perspektif filsafat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pemilihan tidak hanya didasarkan pada ketiadaan, tetapi juga pada kebebasan, makna, dan kebahagiaan yang berkelanjutan.


Catatan Kaki:

[1]              Aristippos. Fragments. In Long, A. A., and Sedley, D. N., The Hellenistic Philosophers. Cambridge: Cambridge University Press, 1987.

[2]              Epicurus. Letter to Menoeceus. In The Art of Happiness. New York: Penguin Classics, 2012.

[3]              Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. New York: Routledge, 1943.

[4]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.

[5]              Epictetus. The Enchiridion. Translated by Elizabeth Carter, New York: Dover Publications, 2004.

[6]              Mill, John Stuart. Utilitarianism. Edited by Roger Crisp, Oxford: Oxford University Press, 1998.


6.           Kesimpulan

Dalam menjawab pertanyaan “Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran?”, artikel ini telah menguraikan berbagai perspektif dari ekonomi, psikologi, hingga filsafat untuk memberikan analisis yang mendalam dan komprehensif. Kesimpulan yang dihasilkan mencerminkan kompleksitas pengambilan keputusan manusia, yang tidak selalu didasarkan pada ketiadaan tetapi juga pada konteks kebutuhan, keinginan, dan nilai-nilai yang lebih mendalam.

6.1.        Pilihan Berdasarkan Kebutuhan dan Ketiadaan

Dari perspektif ekonomi dan psikologi, seseorang sering kali cenderung memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar atau memberikan manfaat tambahan yang signifikan. Teori utilitas menyatakan bahwa manusia akan memilih berdasarkan apa yang memberikan nilai atau kepuasan tertinggi.1

·                     Pada tingkat kebutuhan primer, pilihan biasanya didorong oleh ketiadaan. Misalnya, seseorang yang belum memiliki rumah akan lebih memprioritaskan pembelian rumah dibandingkan kebutuhan sekunder seperti liburan.

·                     Namun, pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi (seperti aktualisasi diri dalam hierarki Maslow), manusia tidak selalu memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi berdasarkan apa yang dirasa lebih bermakna atau relevan dengan tujuan hidup mereka.2

6.2.        Peran Emosi dan Sosial dalam Pilihan

Penelitian psikologi menunjukkan bahwa emosi dan pengaruh sosial sangat memengaruhi pengambilan keputusan manusia. Penawaran yang memberikan janji akan pengalaman baru atau memenuhi ekspektasi sosial sering kali menarik perhatian manusia, bahkan jika kebutuhan sebenarnya telah terpenuhi.3

·                     Contohnya, pemasaran produk yang menekankan eksklusivitas atau kelangkaan sering kali memotivasi seseorang untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, meskipun kebutuhan mendasarnya tidak mendesak.

·                     Sebaliknya, keterikatan emosional atau rasa puas terhadap apa yang sudah dimiliki juga dapat memengaruhi keputusan untuk tetap memilih hal yang sama, seperti loyalitas terhadap merek tertentu atau penguatan hubungan sosial yang ada.

6.3.        Relevansi Filosofis: Makna dan Kebahagiaan dalam Pilihan

Dari sudut pandang filsafat, keputusan untuk memilih sesuatu, baik yang sudah dimiliki maupun yang belum dimiliki, mencerminkan pencarian manusia terhadap makna dan kebahagiaan.

·                     Menurut Aristoteles, manusia tidak hanya bertindak untuk memenuhi kekurangan material tetapi juga untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan yang bermakna. Pilihan yang bijaksana adalah yang mendukung kehidupan yang baik, bukan sekadar memenuhi ketiadaan.4

·                     Eksistensialisme Sartre menegaskan bahwa pilihan adalah ekspresi kebebasan manusia. Dalam hal ini, seseorang tidak selalu dipandu oleh ketiadaan tetapi oleh nilai-nilai pribadi yang mencerminkan otentisitas dirinya.5

·                     Filsafat Stoik menambahkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari pengendalian diri dan pemahaman bahwa kepemilikan material bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, seseorang mungkin memilih untuk mengabaikan sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut tidak relevan dengan ketenangan batin mereka.6


Kesimpulan Utama

Manusia tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki dari sebuah penawaran. Pilihan seseorang lebih merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara:

1)                  Kebutuhan dan keinginan:

Pada kebutuhan dasar, ketiadaan memainkan peran utama dalam keputusan, tetapi pada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, nilai dan makna menjadi lebih dominan.

2)                  Emosi dan pengaruh sosial:

Seseorang dapat dipengaruhi oleh janji akan kebahagiaan baru, tetapi juga oleh keterikatan emosional terhadap apa yang sudah dimiliki.

3)                  Refleksi filosofis:

Kebahagiaan sejati dan makna hidup sering kali menjadi faktor yang menentukan apakah seseorang memilih untuk mengejar sesuatu yang baru atau memperkuat apa yang sudah ada.

Pilihan manusia mencerminkan keseimbangan antara aspirasi untuk mencapai hal-hal baru dan rasa syukur atas apa yang telah dimiliki. Dalam konteks ini, filsafat, psikologi, dan ekonomi memberikan wawasan yang saling melengkapi, menunjukkan bahwa pemilihan adalah tindakan yang lebih kompleks daripada sekadar memenuhi ketiadaan.


Catatan Kaki:

[1]              Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.

[2]              Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.

[3]              Cialdini, Robert B. Influence: The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business, 2006.

[4]              Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.

[5]              Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. New York: Routledge, 1943.

[6]              Epictetus. The Enchiridion. Translated by Elizabeth Carter, New York: Dover Publications, 2004.


Daftar Pustaka

Aristotle. (2009). Nicomachean ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press.

Belk, R. W. (1988). Possessions and the extended self. Journal of Consumer Research, 15(2), 139–168. https://doi.org/10.1086/209154

Becker, G. S. (1976). The economic approach to human behavior. University of Chicago Press.

Cialdini, R. B. (2006). Influence: The psychology of persuasion (Rev. ed.). Harper Business.

Epicurus. (2012). Letter to Menoeceus. In The art of happiness. Penguin Classics.

Epictetus. (2004). The enchiridion (E. Carter, Trans.). Dover Publications.

Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.

Holbrook, M. B., & Hirschman, E. C. (1982). The experiential aspects of consumption: Consumer fantasies, feelings, and fun. Journal of Consumer Research, 9(2), 132–140. https://doi.org/10.1086/208906

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2015). Marketing management (15th ed.). Pearson Education.

Mankiw, N. G. (2021). Principles of economics. Cengage Learning.

Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press.

Sartre, J.-P. (1943). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). Routledge.

Baudrillard, J. (1998). The consumer society: Myths and structures (G. Ritzer, Trans.). Sage Publications.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers. Cambridge University Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar