Apakah Seseorang Hanya Akan Memilih Sesuatu yang Belum Ia Miliki dari Sebuah Penawaran?
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan
pada berbagai penawaran, baik berupa barang, jasa, maupun peluang. Proses
memilih sesuatu dari sebuah penawaran sering kali terlihat sederhana, tetapi
pada kenyataannya, melibatkan faktor yang kompleks seperti kebutuhan,
keinginan, nilai, dan preferensi individu. Salah satu pertanyaan mendasar yang
menarik untuk dianalisis adalah: Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu
yang belum ia miliki?
Pandangan ini tampaknya logis karena manusia
cenderung memprioritaskan apa yang tidak dimiliki untuk memenuhi kebutuhan atau
mengejar kebahagiaan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, manusia juga kerap
memilih sesuatu yang sudah dimiliki dalam bentuk pengulangan konsumsi,
penguatan status sosial, atau kenyamanan psikologis. Misalnya, seseorang yang
memiliki mobil mungkin akan tetap memilih mobil lain meskipun fungsi dasarnya
telah terpenuhi. Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan tidak selalu
berorientasi pada "apa yang belum dimiliki."
Penawaran dalam konteks ini tidak hanya berkaitan
dengan aspek material, tetapi juga mencakup elemen abstrak seperti pengalaman,
hubungan sosial, atau peluang untuk pertumbuhan diri. Oleh karena itu, memahami
dasar pilihan manusia dari sebuah penawaran memerlukan kajian multidisiplin.
1.2.
Rumusan
Masalah
Artikel ini akan membahas pertanyaan utama: Apakah
seseorang hanya memilih sesuatu yang belum ia miliki? Pembahasan akan
mencakup:
1)
Bagaimana manusia mendefinisikan kebutuhan terhadap sesuatu yang belum
dimiliki?
2)
Apakah ada faktor lain selain "ketiadaan" yang
mendorong seseorang untuk memilih sesuatu?
3)
Bagaimana perspektif teori ekonomi, psikologi, dan filsafat memberikan
wawasan tentang fenomena ini?
1.3.
Tujuan
Artikel
Tujuan artikel ini adalah memberikan analisis yang
mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut, dengan meninjau teori-teori
relevan dan memberikan justifikasi berdasarkan referensi yang kredibel.
Pendekatan ini bertujuan untuk:
1)
Menyediakan kerangka analisis yang sistematis untuk memahami bagaimana
manusia membuat keputusan dalam situasi penawaran.
2)
Memperluas wawasan pembaca tentang faktor-faktor yang memengaruhi
pilihan manusia, baik dalam konteks material maupun non-material.
3)
Menghubungkan konsep-konsep ini dengan perspektif filosofis untuk
memberikan refleksi yang lebih mendalam tentang nilai dan tujuan dari pilihan
manusia.
1.4.
Kerangka
Pemikiran
Penelitian dan teori dalam bidang ekonomi,
psikologi, dan filsafat menunjukkan bahwa keputusan manusia tidak selalu linier
atau terfokus pada kekurangan.
·
Dalam ekonomi, teori utilitas menyatakan bahwa manusia cenderung memilih
sesuatu yang memberikan nilai tambah terbesar dalam hidupnya, tetapi nilai ini
bisa berupa penguatan dari sesuatu yang sudah dimiliki, seperti investasi pada
barang mewah untuk menunjukkan status sosial (Mankiw, 2021).1
·
Dari sisi psikologi, Maslow (1943) menunjukkan bahwa manusia bergerak
dari kebutuhan dasar menuju aktualisasi diri, tetapi proses ini tidak selalu
linear karena keinginan emosional dapat memengaruhi keputusan.2
·
Dalam filsafat, Aristoteles melalui konsep eudaimonia
menggarisbawahi bahwa manusia mencari kebahagiaan sejati, yang tidak selalu
identik dengan memperoleh sesuatu yang baru, tetapi kadang berupa pemeliharaan
atau penguatan dari apa yang sudah dimiliki.3
Dengan menganalisis pertanyaan ini, artikel akan
memberikan wawasan yang komprehensif untuk menjawab apakah manusia hanya
memilih sesuatu yang belum dimiliki atau ada faktor lain yang memengaruhi
pilihan tersebut.
Catatan
Kaki:
[1]
Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Boston: Cengage
Learning, 2021.
[2]
Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological
Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.
[3]
Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford:
Oxford University Press, 2009.
2.
Analisis
Pertanyaan
2.1.
Definisi
Kunci
Untuk memahami apakah seseorang hanya memilih
sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran, penting untuk
mendefinisikan istilah-istilah utama dalam pertanyaan ini:
1)
Memilih Sesuatu: Proses
pengambilan keputusan untuk menetapkan satu opsi dari sejumlah alternatif yang
tersedia. Dalam konteks ini, pilihan melibatkan evaluasi rasional dan emosional
terhadap manfaat, biaya, dan relevansi suatu penawaran terhadap kebutuhan atau
keinginan pribadi.1
2)
Belum Dimiliki: Mengacu
pada kondisi ketiadaan suatu benda, pengalaman, atau nilai tertentu dalam
kepemilikan seseorang. "Kepemilikan" di sini tidak hanya
terbatas pada aspek material, tetapi juga mencakup aspek abstrak seperti
pengalaman, status, atau kepuasan emosional.2
3)
Penawaran: Kesempatan
atau opsi yang diberikan kepada individu untuk dipilih. Penawaran dapat berupa
barang atau jasa nyata, tetapi juga peluang abstrak seperti relasi sosial,
pengalaman baru, atau pengakuan.3
Dengan memahami istilah ini, kita dapat membedah
apakah "belum dimiliki" merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan pilihan, atau apakah ada elemen lain yang juga relevan.
2.2.
Kerangka
Pemikiran
Untuk menganalisis pertanyaan ini, kita perlu
memahami dua teori utama yang berkaitan dengan keputusan manusia:
1)
Teori Kebutuhan dan Keinginan
Kebutuhan
adalah sesuatu yang esensial untuk kehidupan (contoh: makanan, tempat tinggal),
sedangkan keinginan adalah sesuatu yang tidak esensial tetapi memberikan
kepuasan tambahan. Dalam teori ini, seseorang sering kali didorong untuk
memilih sesuatu yang belum dimiliki karena kebutuhan atau keinginan tersebut
belum terpenuhi.4
Namun, dalam beberapa kasus, orang juga memilih sesuatu yang sudah dimiliki
untuk memperbarui, mengganti, atau memperkuat aset yang sudah ada (contoh:
membeli gadget terbaru meskipun fungsi gadget lama masih mencukupi).
2)
Faktor Eksternal dan Internal dalam Pengambilan Keputusan
o
Faktor eksternal meliputi kelangkaan (scarcity), tekanan sosial,
dan pemasaran. Penawaran yang memproyeksikan eksklusivitas atau kelangkaan
sering kali menarik individu untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, bahkan
jika kebutuhan tersebut tidak mendesak.5
o
Faktor internal mencakup motivasi intrinsik seperti kepuasan
emosional, rasa aman, atau identitas diri. Pilihan juga dapat dipengaruhi oleh
preferensi terhadap sesuatu yang familiar, meskipun sebenarnya hal tersebut
sudah dimiliki dalam bentuk lain.
2.3.
Kaitan
Pertanyaan dengan Realitas
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu
dipertimbangkan bahwa manusia tidak selalu memilih sesuatu yang baru. Pilihan
bergantung pada beberapa aspek:
1)
Nilai Fungsional vs. Nilai Emosional
o
Nilai fungsional menekankan pada apa yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas atau memenuhi kebutuhan dasar. Dalam konteks ini, seseorang cenderung
memilih sesuatu yang belum dimiliki (misalnya, seseorang yang lapar memilih
makanan).
o
Nilai emosional berhubungan dengan bagaimana pilihan memberikan
kebahagiaan, kepuasan, atau pengakuan. Nilai ini sering kali menyebabkan
seseorang memilih sesuatu yang sudah dimiliki tetapi memberikan pengalaman
emosional baru (contoh: membeli barang yang sama tetapi dengan merek berbeda
untuk meningkatkan status sosial).6
2)
Konteks Sosial dan Budaya
Budaya
konsumerisme modern sering kali mendorong individu untuk mencari dan memilih
sesuatu yang baru, meskipun kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Pemasaran
memainkan peran besar dalam membentuk persepsi bahwa memiliki sesuatu yang
belum dimiliki adalah tanda kesuksesan atau kemajuan.7
3)
Pengaruh Filosofis
Dari
perspektif filosofis, manusia tidak hanya memilih berdasarkan apa yang belum
dimiliki, tetapi juga berdasarkan refleksi atas tujuan hidupnya. Aristoteles,
dalam Nicomachean Ethics, menekankan bahwa manusia bertindak untuk
mencapai eudaimonia (kesejahteraan yang bermakna). Dalam konteks ini,
pilihan seseorang dapat melibatkan pemeliharaan atau penguatan atas apa yang
sudah dimiliki jika hal itu dianggap mendukung kebahagiaan sejati.8
2.4.
Kesimpulan
Analisis Pertanyaan
Pertanyaan ini menunjukkan adanya kompleksitas
dalam pengambilan keputusan manusia. "Belum dimiliki" mungkin menjadi
faktor penting, tetapi bukan satu-satunya. Pilihan manusia dipengaruhi oleh
kombinasi antara kebutuhan, keinginan, nilai emosional, pengaruh sosial, dan
refleksi filosofis tentang tujuan hidup. Analisis ini menjadi dasar untuk
melangkah lebih jauh dalam pembahasan teori dan justifikasi mendalam.
Catatan
Kaki:
[1]
Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011.
[2]
Belk, Russell. "Possessions and the Extended Self." Journal
of Consumer Research, vol. 15, no. 2, 1988, pp. 139-168.
[3]
Kotler, Philip, dan Keller, Kevin Lane. Marketing Management.
15th Edition. London: Pearson Education, 2015.
[4]
Maslow, Abraham. "A Theory of Human Motivation." Psychological
Review, vol. 50, no. 4, 1943, pp. 370-396.
[5]
Cialdini, Robert B. Influence: The Psychology of Persuasion.
Revised Edition. New York: Harper Business, 2006.
[6]
Holbrook, Morris B., dan Hirschman, Elizabeth C. "The Experiential
Aspects of Consumption: Consumer Fantasies, Feelings, and Fun." Journal
of Consumer Research, vol. 9, no. 2, 1982, pp. 132-140.
[7]
Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures.
London: Sage Publications, 1998.
[8]
Aristotle. Nicomachean Ethics. Translated by W.D. Ross, Oxford:
Oxford University Press, 2009.
3.
Kajian
Teori
Kajian teori pada artikel ini bertujuan untuk memberikan
landasan konseptual dalam menjawab pertanyaan "Apakah seseorang hanya
akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah penawaran?"
dengan menganalisis perspektif dari tiga disiplin ilmu utama: ekonomi,
psikologi, dan filsafat. Setiap perspektif memberikan pemahaman yang berbeda
namun saling melengkapi mengenai bagaimana manusia membuat keputusan.
3.1.
Perspektif
Ekonomi
3.1.1.
Teori Utilitas dan Marginal Utility
Dalam ekonomi,
keputusan untuk memilih sesuatu sering dijelaskan melalui teori utilitas. Utilitas didefinisikan
sebagai tingkat kepuasan atau manfaat yang diperoleh seseorang dari konsumsi
barang atau jasa. Dalam konteks ini, seseorang cenderung memilih sesuatu yang
belum dimiliki jika hal tersebut dapat memberikan utilitas tambahan. Konsep ini
diperkuat oleh teori marginal utility, yang menyatakan
bahwa kepuasan tambahan dari konsumsi unit berikutnya dari suatu barang akan
semakin menurun (law of diminishing marginal utility).1
Contoh sederhana
adalah seseorang yang membeli makanan saat lapar. Pilihan ini didorong oleh
kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Namun, setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, kepuasan dari makanan
tambahan akan berkurang, sehingga orang tersebut mungkin tidak lagi memilih
makanan yang sama.
3.1.2.
Prinsip Kelangkaan (Scarcity)
Prinsip kelangkaan
menjelaskan bahwa sesuatu yang belum dimiliki sering kali lebih menarik karena
dianggap langka atau bernilai tinggi. Kelangkaan menciptakan persepsi bahwa sesuatu lebih diinginkan, sehingga
orang cenderung memilihnya meskipun mungkin tidak membutuhkannya secara
langsung.2
3.1.3.
Teori Pilihan Rasional
Teori ini berargumen
bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mengevaluasi biaya dan manfaat
sebelum membuat keputusan. Dalam konteks ini, seseorang memilih sesuatu yang
belum dimiliki jika manfaat dari penawaran tersebut dianggap lebih besar
dibandingkan biaya yang dikeluarkan.
Namun, preferensi individu juga dipengaruhi oleh informasi yang tersedia dan
persepsi subjektif tentang nilai penawaran.3
3.2.
Perspektif
Psikologi
3.2.1.
Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow
Maslow (1943)
mengemukakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan, mulai dari kebutuhan
fisiologis hingga aktualisasi diri.4
Dalam konteks penawaran, seseorang lebih
mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut memenuhi
kebutuhan yang belum terpenuhi.
·
Contoh: Seseorang yang
belum memiliki keamanan finansial akan lebih memilih penawaran yang memberikan
stabilitas ekonomi daripada sesuatu yang hanya memberikan hiburan atau status
sosial.
Namun, pada tingkat
kebutuhan yang lebih tinggi, pilihan manusia menjadi lebih kompleks dan tidak
selalu didasarkan pada apa yang belum dimiliki. Sebagai contoh, pada tingkat
aktualisasi diri, seseorang mungkin memilih
sesuatu yang sudah dimiliki tetapi memberikan kesempatan untuk memperdalam
pengalaman atau pengetahuan.
3.2.2.
Teori Disonansi Kognitif
Teori ini menjelaskan
bahwa manusia berusaha mengurangi ketegangan psikologis akibat konflik antara
keyakinan, sikap, dan tindakan mereka.5
Dalam konteks penawaran, seseorang dapat memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk mengatasi perasaan kekurangan
atau kesenjangan. Namun, ada pula kasus di mana seseorang memilih sesuatu yang
sudah dimiliki untuk memperkuat rasa aman atau identitas diri.
3.2.3.
Pengaruh Emosi dalam Keputusan
Penelitian
menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan.6
Dalam beberapa kasus, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki karena rasa
penasaran, antisipasi kebahagiaan, atau tekanan sosial. Sebaliknya, nostalgia
atau keterikatan emosional dapat mendorong seseorang untuk memilih sesuatu yang
sudah dimiliki sebelumnya.
3.3.
Perspektif
Filosofis
3.3.1.
Hedonisme dan Pencarian Kebahagiaan
Hedonisme memandang
bahwa manusia memilih sesuatu untuk mencari kebahagiaan atau kenikmatan. Dalam
konteks ini, sesuatu yang belum dimiliki sering kali dianggap sebagai sumber kebahagiaan baru, sehingga
menarik perhatian lebih besar. Namun, para kritikus hedonisme, seperti filsuf Stoik, menekankan bahwa mengejar hal-hal baru secara terus-menerus dapat
menyebabkan ketidakpuasan jangka panjang.7
3.3.2.
Eksistensialisme: Kebebasan dan Pemilihan
Dalam pandangan
eksistensialisme, pilihan adalah manifestasi dari kebebasan individu untuk
menentukan makna hidupnya.8
Seseorang mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki untuk mengeksplorasi
kebebasan dan memperluas identitas diri. Namun, dalam beberapa kasus, seseorang juga dapat memilih sesuatu yang
sudah dimiliki jika hal tersebut dirasa lebih relevan dengan nilai-nilai atau
tujuan hidupnya.
3.3.3.
Konsep Aristoteles tentang Eudaimonia
Aristoteles
menjelaskan bahwa manusia bertindak untuk mencapai eudaimonia (kesejahteraan yang
bermakna). Dalam konteks ini, pilihan manusia tidak selalu didasarkan pada apa
yang belum dimiliki, tetapi pada apa yang dianggap terbaik untuk mencapai
kehidupan yang bermakna.9
Sebagai contoh, seseorang yang
sudah memiliki hubungan keluarga yang erat mungkin memilih untuk memperkuat hubungan tersebut daripada mengejar
pengalaman baru yang belum dimiliki.
Kesimpulan Kajian Teori
Kajian teori
menunjukkan bahwa keputusan manusia untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki
bergantung pada konteks kebutuhan, keinginan, dan motivasi. Dari perspektif
ekonomi, pilihan sering kali didasarkan pada nilai tambah utilitas. Dalam
psikologi, pilihan mencerminkan hierarki kebutuhan dan pengaruh emosi.
Sementara itu, filsafat menekankan makna dan tujuan hidup sebagai dasar
pengambilan keputusan. Dengan pendekatan multidisiplin ini, kita dapat
menyimpulkan bahwa seseorang tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki;
pilihan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal.
Catatan Kaki:
[1]
Mankiw, N. Gregory. Principles
of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.
[2]
Cialdini, Robert B. Influence:
The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business,
2006.
[3]
Becker, Gary S. The Economic
Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press, 1976.
[4]
Maslow, Abraham. "A Theory of
Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943,
pp. 370-396.
[5]
Festinger, Leon. A Theory of
Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press, 1957.
[6]
Kahneman, Daniel. Thinking,
Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011.
[7]
Epicurus. Letter to Menoeceus.
In The Art of Happiness. New York: Penguin Classics, 2012.
[8]
Sartre, Jean-Paul. Being and
Nothingness. New York: Routledge, 1943.
[9]
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.
4.
Justifikasi
dan Pembahasan
Dalam menjawab
pertanyaan “Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki
dari sebuah penawaran?”, diperlukan justifikasi yang didasarkan pada realitas
empiris, teori multidisiplin, dan pendekatan filosofis. Bagian ini menguraikan
pembahasan secara komprehensif untuk menyoroti faktor-faktor yang mendorong
seseorang memilih sesuatu, baik yang sudah dimiliki maupun yang belum dimiliki.
4.1.
Pembahasan
Studi Kasus
Kasus 1: Konsumsi Barang
Primer
Seseorang yang lapar
memilih untuk membeli makanan. Pilihan ini jelas mencerminkan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi. Dalam hal ini,
keputusan seseorang didasarkan pada teori utilitas, di mana pemilihan barang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang paling mendesak.1
·
Namun, setelah kebutuhan
ini terpenuhi, orang yang sama mungkin tetap memilih makanan lain, bukan karena
lapar, tetapi karena ingin merasakan variasi atau mendapatkan pengalaman
emosional yang baru, seperti mencoba makanan eksotis. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun kebutuhan awal didasarkan pada sesuatu yang belum dimiliki, pilihan
berikutnya mungkin didasarkan pada faktor selain ketiadaan.
Kasus 2: Konsumsi Barang
Sekunder dan Tersier
Seseorang yang sudah
memiliki ponsel modern mungkin tetap membeli model terbaru dari merek yang sama. Dalam konteks ini,
keputusan bukan lagi tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi lebih kepada
motivasi emosional seperti status sosial, kebaruan teknologi, atau rasa puas
yang dihasilkan dari memiliki sesuatu yang "lebih baik."2
·
Ini menguatkan argumen
bahwa pemilihan tidak selalu didasarkan pada sesuatu yang belum dimiliki,
tetapi juga pada penguatan identitas dan kepuasan emosional.
4.2.
Analisis
Faktor Penentu Pilihan
Faktor 1: Motivasi Fungsional
Dari perspektif
ekonomi, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal tersebut
memenuhi kebutuhan yang fungsional, misalnya alat untuk mempermudah pekerjaan. Namun, ketika kebutuhan dasar
terpenuhi, keputusan untuk memilih bisa berubah menjadi pencarian nilai tambah
atau penguatan aset yang sudah ada. Hal ini sejalan dengan teori utilitas
marginal di mana nilai tambahan dari suatu barang dapat terus dievaluasi
berdasarkan konteksnya.3
Faktor 2: Pengaruh Emosional
dan Sosial
Psikologi konsumen menunjukkan bahwa emosi dan
pengaruh sosial memainkan peran besar dalam pengambilan keputusan.
·
Misalnya, penawaran yang
disertai dengan elemen kelangkaan atau eksklusivitas cenderung memotivasi
seseorang untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, meskipun sebenarnya
kebutuhan tersebut tidak mendesak.4
·
Sebaliknya, keterikatan
emosional dapat mendorong seseorang untuk memilih sesuatu yang sudah dimiliki,
seperti membeli produk dari merek yang sama karena kenyamanan atau loyalitas.
Faktor 3: Pandangan Filosofis
tentang Kebahagiaan
Dari perspektif
filsafat, kebahagiaan atau eudaimonia bukan hanya berasal dari
apa yang belum dimiliki, tetapi juga dari pemeliharaan dan optimalisasi atas
apa yang sudah dimiliki. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki hubungan
sosial yang kuat mungkin memilih untuk memperkuat hubungan tersebut daripada mengejar hubungan baru yang belum ada.
Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles bahwa manusia mencari kebahagiaan
yang berkelanjutan dan bermakna, bukan hanya kesenangan sesaat.5
4.3.
Perspektif
Teoritis dan Praktis
4.3.1.
Teori Ekonomi vs. Realitas Praktis
Meskipun teori
utilitas menyatakan bahwa seseorang cenderung memilih sesuatu yang memberikan
manfaat terbesar (terutama jika belum dimiliki), praktik menunjukkan bahwa
manusia sering kali dipengaruhi
oleh bias emosional dan sosial. Misalnya, keputusan untuk membeli barang mewah
tidak selalu didasarkan pada kebutuhan fungsional tetapi lebih kepada faktor
eksternal seperti status sosial atau iklan yang memengaruhi persepsi.6
4.3.2.
Psikologi dan Perilaku Konsumen
Teori disonansi
kognitif menjelaskan bahwa manusia sering kali mengambil keputusan untuk
mengurangi ketegangan antara keyakinan dan tindakan. Dalam hal ini, memilih
sesuatu yang belum dimiliki mungkin membantu seseorang mengatasi perasaan
kekurangan, sementara memilih sesuatu yang sudah dimiliki dapat memberikan rasa
aman dan kontinuitas.7
4.3.3.
Filosofi sebagai Refleksi Praktis
Filosofi
eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Sartre, menekankan bahwa
pilihan manusia adalah bentuk kebebasan untuk menciptakan makna hidup. Dalam konteks ini, seseorang
tidak selalu memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi juga
berdasarkan bagaimana pilihan tersebut mencerminkan nilai dan tujuan hidup
mereka.8
Kesimpulan Justifikasi
Analisis ini
menunjukkan bahwa seseorang tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki
dari sebuah penawaran. Pilihan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk:
1)
Konteks
kebutuhan dan keinginan:
Pada kebutuhan mendasar, seseorang lebih
cenderung memilih sesuatu yang belum dimiliki. Namun, pada tingkat kebutuhan
yang lebih tinggi, pilihan menjadi lebih kompleks.
2)
Pengaruh
emosional dan sosial:
Tekanan eksternal, nilai emosional, dan
keterikatan sosial dapat memengaruhi preferensi.
3)
Refleksi
filosofis:
Pilihan manusia sering kali mencerminkan
pencarian makna hidup yang lebih mendalam, bukan sekadar memenuhi kekurangan
material.
Dengan demikian, manusia tidak hanya dipandu oleh
ketiadaan dalam memilih, tetapi juga oleh aspirasi, emosi, dan refleksi tentang
apa yang dianggap benar-benar bernilai dalam hidupnya.
Catatan Kaki:
[1]
Mankiw, N. Gregory. Principles
of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.
[2]
Kotler, Philip, dan Keller, Kevin
Lane. Marketing Management. 15th Edition. London: Pearson Education,
2015.
[3]
Becker, Gary S. The Economic
Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press, 1976.
[4]
Cialdini, Robert B. Influence:
The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business,
2006.
[5]
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.
[6]
Holbrook, Morris B., dan
Hirschman, Elizabeth C. "The Experiential Aspects of Consumption: Consumer
Fantasies, Feelings, and Fun." Journal of Consumer Research, vol.
9, no. 2, 1982, pp. 132-140.
[7]
Festinger, Leon. A Theory of
Cognitive Dissonance. Stanford: Stanford University Press, 1957.
[8]
Sartre, Jean-Paul. Being and
Nothingness. New York: Routledge, 1943.
5.
Relevansi
Filosofis dengan Permasalahan
Pertanyaan “Apakah seseorang hanya akan memilih sesuatu yang
belum ia miliki dari sebuah penawaran?” memiliki akar filosofis yang
mendalam. Pemilihan dalam konteks ini melibatkan konsep tentang kebutuhan,
keinginan, kebebasan, dan makna hidup, yang telah menjadi perhatian utama
berbagai filsuf sejak zaman kuno hingga era modern. Bagian ini akan membahas
relevansi filsafat dengan permasalahan ini melalui pandangan dari beberapa
aliran pemikiran yang kredibel.
5.1.
Pandangan
Hedonisme: Mengejar Kenikmatan dan Kepuasan
Hedonisme, yang
dipelopori oleh filsuf seperti Aristippos dan Epicurus, memandang bahwa manusia
secara alami cenderung mengejar kenikmatan (pleasure) dan menghindari rasa
sakit (pain).1
Dalam konteks memilih sesuatu dari penawaran, pandangan hedonisme dapat
menjelaskan mengapa seseorang sering kali tertarik pada sesuatu yang belum
dimiliki, karena hal tersebut memberikan harapan akan kenikmatan baru atau
mengurangi ketidaknyamanan akibat kekurangan.
·
Namun, Epicurus menekankan
bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada mengejar hal-hal baru,
tetapi juga pada pengendalian keinginan dan kepuasan terhadap apa yang sudah
dimiliki. Ini mengindikasikan bahwa pilihan seseorang tidak selalu terfokus
pada ketiadaan, tetapi juga pada stabilitas dan harmoni.2
5.2.
Pandangan
Eksistensialisme: Kebebasan dalam Memilih
Eksistensialisme,
yang dikemukakan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Søren Kierkegaard,
menempatkan kebebasan individu sebagai inti dari keberadaan manusia. Sartre
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk bebas yang memiliki tanggung jawab
penuh atas pilihannya.3
·
Dalam konteks penawaran,
seseorang mungkin memilih sesuatu yang belum dimiliki sebagai cara untuk
menegaskan kebebasan dan menciptakan makna baru dalam hidupnya. Misalnya,
seseorang yang memilih pengalaman baru, meskipun sudah memiliki pengalaman
serupa, melakukannya untuk memperluas horizon eksistensialnya.
·
Namun, Sartre juga mencatat
bahwa manusia dapat memilih berdasarkan keautentikan (authenticity),
yakni dengan mengevaluasi apakah suatu pilihan benar-benar bermakna atau hanya
mengikuti tekanan sosial. Dalam hal ini, seseorang mungkin memilih sesuatu yang
sudah dimiliki jika itu lebih sesuai dengan nilai-nilai pribadinya.
5.3.
Perspektif
Aristoteles: Eudaimonia dan Kebahagiaan yang Bermakna
Aristoteles dalam Nicomachean
Ethics menjelaskan bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai eudaimonia
(kebahagiaan yang bermakna dan berkelanjutan).4
Dalam pandangan Aristoteles, manusia tidak hanya memilih berdasarkan apa yang
belum dimiliki, tetapi berdasarkan apa yang membantu mereka mencapai kehidupan
yang baik (the good
life).
·
Misalnya, seseorang mungkin
memilih untuk memperbaiki hubungan sosial atau mengembangkan keterampilan yang
sudah dimilikinya daripada mengejar sesuatu yang benar-benar baru, jika hal itu
dianggap lebih relevan untuk mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan.
·
Konsep virtue
ethics dari Aristoteles juga menekankan bahwa pilihan manusia harus
seimbang antara hasrat untuk memiliki hal-hal baru dan kemampuan untuk
mengelola apa yang sudah dimiliki secara bijaksana.
5.4.
Filsafat
Stoik: Kepemilikan Internal dan Pengendalian Diri
Para filsuf Stoik
seperti Epictetus dan Marcus Aurelius menekankan bahwa kebahagiaan manusia
tidak tergantung pada hal-hal eksternal yang belum dimiliki, tetapi pada
kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan emosi.5
·
Dalam konteks penawaran,
seorang Stoik akan lebih fokus pada apakah suatu pilihan dapat memberikan
kedamaian batin atau justru menciptakan kecemasan baru. Dengan demikian,
seseorang mungkin memilih untuk tidak tergoda oleh sesuatu yang belum dimiliki
jika hal tersebut dianggap tidak mendukung ketenangan jiwa.
·
Stoikisme mengajarkan bahwa
"kepemilikan sejati" adalah kepemilikan atas diri sendiri, sehingga
pilihan tidak selalu harus diarahkan pada ketiadaan eksternal, tetapi pada
pengelolaan kebahagiaan internal.
5.5.
Konsep
Utilitarianisme: Pilihan Berdasarkan Manfaat Terbesar
John Stuart Mill
dalam utilitarianisme menjelaskan bahwa pilihan yang baik adalah yang
menghasilkan manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak.6
Dalam konteks ini, seseorang dapat memilih sesuatu yang belum dimiliki jika hal
tersebut dianggap memberikan manfaat yang lebih besar daripada apa yang sudah
dimiliki.
·
Namun, Mill juga menekankan
pentingnya "kualitas kebahagiaan," bukan hanya
kuantitasnya. Artinya, seseorang mungkin memilih untuk memperdalam pengalaman
yang sudah dimiliki jika itu memberikan manfaat yang lebih bermakna
dibandingkan mengejar sesuatu yang baru.
5.6.
Refleksi
Filosofis terhadap Permasalahan
5.6.1.
Kebutuhan versus Keinginan
Secara filosofis,
pilihan manusia sering kali mencerminkan konflik antara kebutuhan dan
keinginan. Dalam banyak kasus, seseorang memilih sesuatu yang belum dimiliki
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun, pada tingkat keinginan, pilihan lebih
mencerminkan nilai-nilai pribadi dan refleksi tentang tujuan hidup.
5.6.2.
Relevansi dengan Kehidupan Modern
Dalam masyarakat
modern yang dipenuhi dengan budaya konsumsi, manusia sering kali terjebak dalam
pola pikir bahwa kebahagiaan berasal dari sesuatu yang belum dimiliki. Namun,
pandangan filosofis dari Aristoteles, Stoikisme, dan eksistensialisme
mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada bagaimana seseorang
memanfaatkan apa yang sudah dimiliki dengan bijaksana, bukan sekadar mengejar
hal-hal baru.
Kesimpulan Relevansi Filosofis
Relevansi filosofis
menunjukkan bahwa manusia tidak selalu memilih sesuatu yang belum dimiliki dari
sebuah penawaran. Pilihan tersebut bergantung pada konteks kebutuhan,
keinginan, nilai-nilai pribadi, dan refleksi tentang tujuan hidup. Dengan
memahami perspektif filsafat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pemilihan tidak
hanya didasarkan pada ketiadaan, tetapi juga pada kebebasan, makna, dan
kebahagiaan yang berkelanjutan.
Catatan Kaki:
[1]
Aristippos. Fragments. In
Long, A. A., and Sedley, D. N., The Hellenistic Philosophers.
Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
[2]
Epicurus. Letter to Menoeceus.
In The Art of Happiness. New York: Penguin Classics, 2012.
[3]
Sartre, Jean-Paul. Being and
Nothingness. New York: Routledge, 1943.
[4]
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.
[5]
Epictetus. The Enchiridion.
Translated by Elizabeth Carter, New York: Dover Publications, 2004.
[6]
Mill, John Stuart. Utilitarianism.
Edited by Roger Crisp, Oxford: Oxford University Press, 1998.
6.
Kesimpulan
Dalam menjawab
pertanyaan “Apakah
seseorang hanya akan memilih sesuatu yang belum ia miliki dari sebuah
penawaran?”, artikel ini telah menguraikan berbagai perspektif dari
ekonomi, psikologi, hingga filsafat untuk memberikan analisis yang mendalam dan
komprehensif. Kesimpulan yang dihasilkan mencerminkan kompleksitas pengambilan
keputusan manusia, yang tidak selalu didasarkan pada ketiadaan tetapi juga pada
konteks kebutuhan, keinginan, dan nilai-nilai yang lebih mendalam.
6.1.
Pilihan
Berdasarkan Kebutuhan dan Ketiadaan
Dari perspektif
ekonomi dan psikologi, seseorang sering kali cenderung memilih sesuatu yang
belum dimiliki untuk memenuhi kebutuhan dasar atau memberikan manfaat tambahan
yang signifikan. Teori utilitas menyatakan bahwa manusia akan memilih
berdasarkan apa yang memberikan nilai atau kepuasan tertinggi.1
·
Pada tingkat kebutuhan
primer, pilihan biasanya didorong oleh ketiadaan. Misalnya, seseorang yang
belum memiliki rumah akan lebih memprioritaskan pembelian rumah dibandingkan
kebutuhan sekunder seperti liburan.
·
Namun, pada tingkat
kebutuhan yang lebih tinggi (seperti aktualisasi diri dalam hierarki Maslow),
manusia tidak selalu memilih berdasarkan apa yang belum dimiliki, tetapi
berdasarkan apa yang dirasa lebih bermakna atau relevan dengan tujuan hidup
mereka.2
6.2.
Peran
Emosi dan Sosial dalam Pilihan
Penelitian psikologi
menunjukkan bahwa emosi dan pengaruh sosial sangat memengaruhi pengambilan
keputusan manusia. Penawaran yang memberikan janji akan pengalaman baru atau
memenuhi ekspektasi sosial sering kali menarik perhatian manusia, bahkan jika
kebutuhan sebenarnya telah terpenuhi.3
·
Contohnya, pemasaran produk
yang menekankan eksklusivitas atau kelangkaan sering kali memotivasi seseorang
untuk memilih sesuatu yang belum dimiliki, meskipun kebutuhan mendasarnya tidak
mendesak.
·
Sebaliknya, keterikatan
emosional atau rasa puas terhadap apa yang sudah dimiliki juga dapat
memengaruhi keputusan untuk tetap memilih hal yang sama, seperti loyalitas
terhadap merek tertentu atau penguatan hubungan sosial yang ada.
6.3.
Relevansi
Filosofis: Makna dan Kebahagiaan dalam Pilihan
Dari sudut pandang
filsafat, keputusan untuk memilih sesuatu, baik yang sudah dimiliki maupun yang
belum dimiliki, mencerminkan pencarian manusia terhadap makna dan kebahagiaan.
·
Menurut Aristoteles,
manusia tidak hanya bertindak untuk memenuhi kekurangan material tetapi juga
untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan yang
bermakna. Pilihan yang bijaksana adalah yang mendukung kehidupan yang baik,
bukan sekadar memenuhi ketiadaan.4
·
Eksistensialisme Sartre
menegaskan bahwa pilihan adalah ekspresi kebebasan manusia. Dalam hal ini,
seseorang tidak selalu dipandu oleh ketiadaan tetapi oleh nilai-nilai pribadi
yang mencerminkan otentisitas dirinya.5
·
Filsafat Stoik menambahkan
bahwa kebahagiaan sejati berasal dari pengendalian diri dan pemahaman bahwa
kepemilikan material bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Oleh karena itu,
seseorang mungkin memilih untuk mengabaikan sesuatu yang belum dimiliki jika
hal tersebut tidak relevan dengan ketenangan batin mereka.6
Kesimpulan Utama
Manusia tidak selalu
memilih sesuatu yang belum dimiliki dari sebuah penawaran. Pilihan seseorang
lebih merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara:
1)
Kebutuhan
dan keinginan:
Pada kebutuhan dasar, ketiadaan
memainkan peran utama dalam keputusan, tetapi pada tingkat kebutuhan yang lebih
tinggi, nilai dan makna menjadi lebih dominan.
2)
Emosi
dan pengaruh sosial:
Seseorang dapat dipengaruhi oleh janji
akan kebahagiaan baru, tetapi juga oleh keterikatan emosional terhadap apa yang
sudah dimiliki.
3)
Refleksi
filosofis:
Kebahagiaan sejati dan makna hidup
sering kali menjadi faktor yang menentukan apakah seseorang memilih untuk
mengejar sesuatu yang baru atau memperkuat apa yang sudah ada.
Pilihan manusia
mencerminkan keseimbangan antara aspirasi untuk mencapai hal-hal baru dan rasa
syukur atas apa yang telah dimiliki. Dalam konteks ini, filsafat, psikologi,
dan ekonomi memberikan wawasan yang saling melengkapi, menunjukkan bahwa
pemilihan adalah tindakan yang lebih kompleks daripada sekadar memenuhi
ketiadaan.
Catatan Kaki:
[1]
Mankiw, N. Gregory. Principles
of Economics. Boston: Cengage Learning, 2021.
[2]
Maslow, Abraham. "A Theory of
Human Motivation." Psychological Review, vol. 50, no. 4, 1943,
pp. 370-396.
[3]
Cialdini, Robert B. Influence:
The Psychology of Persuasion. Revised Edition. New York: Harper Business,
2006.
[4]
Aristotle. Nicomachean Ethics.
Translated by W.D. Ross, Oxford: Oxford University Press, 2009.
[5]
Sartre, Jean-Paul. Being and
Nothingness. New York: Routledge, 1943.
[6]
Epictetus. The Enchiridion.
Translated by Elizabeth Carter, New York: Dover Publications, 2004.
Daftar Pustaka
Aristotle. (2009). Nicomachean ethics (W. D.
Ross, Trans.). Oxford University Press.
Belk, R. W. (1988). Possessions and the extended
self. Journal of Consumer Research, 15(2), 139–168. https://doi.org/10.1086/209154
Becker, G. S. (1976). The economic approach to
human behavior. University of Chicago Press.
Cialdini, R. B. (2006). Influence: The
psychology of persuasion (Rev. ed.). Harper Business.
Epicurus. (2012). Letter to Menoeceus. In
The art of happiness. Penguin Classics.
Epictetus. (2004). The enchiridion (E.
Carter, Trans.). Dover Publications.
Festinger, L. (1957). A theory of cognitive
dissonance. Stanford University Press.
Holbrook, M. B., & Hirschman, E. C. (1982). The
experiential aspects of consumption: Consumer fantasies, feelings, and fun. Journal
of Consumer Research, 9(2), 132–140. https://doi.org/10.1086/208906
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2015). Marketing
management (15th ed.). Pearson Education.
Mankiw, N. G. (2021). Principles of economics.
Cengage Learning.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation.
Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1943). Being and nothingness
(H. Barnes, Trans.). Routledge.
Baudrillard, J. (1998). The consumer society:
Myths and structures (G. Ritzer, Trans.). Sage Publications.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar