Pengembangan Diri
Fondasi Non-Formal untuk Pembentukan Karakter dan
Kompetensi Siswa
Alihkan ke: Kurikuler dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.
BP/BK, Ekstrakurikuler, Pembiasaan.
Dukungan Sosial Emosional bagi Peserta Didik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
strategis program pengembangan diri dalam sistem pendidikan Indonesia sebagai
komponen non-formal yang mendukung pembentukan karakter dan penguatan
kompetensi peserta didik. Dalam konteks Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka,
pengembangan diri tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga menjadi wahana
penting bagi internalisasi nilai, pengembangan potensi, dan pembentukan profil
pelajar ideal. Melalui pendekatan kajian konseptual dan implementatif, artikel
ini mengulas dasar hukum, bentuk kegiatan (bimbingan konseling,
ekstrakurikuler, dan pembiasaan), mekanisme pelaksanaan, evaluasi, serta
tantangan dan solusinya di lingkungan sekolah dan madrasah. Analisis ini
menekankan pentingnya sinergi antar pemangku kepentingan pendidikan serta
perlunya penguatan kapasitas guru, sistem evaluasi, dan kolaborasi dengan
masyarakat. Dengan pendekatan yang holistik, pengembangan diri terbukti
berperan penting dalam mendidik peserta didik menjadi pribadi yang cerdas
secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.
Kata Kunci: Pengembangan diri; kurikulum; pendidikan karakter;
ekstrakurikuler; bimbingan konseling; pembiasaan; peserta didik; satuan
pendidikan.
PEMBAHASAN
Pengembangan Diri dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia
1.
Pendahuluan
Pendidikan bukan
sekadar proses transfer pengetahuan akademik, melainkan juga merupakan upaya
sistematis dalam membentuk karakter, kepribadian, dan kompetensi sosial peserta
didik secara utuh. Dalam konteks sistem pendidikan nasional Indonesia,
pengembangan diri menjadi bagian integral dari kurikulum, meskipun tidak
tercakup dalam beban jam pelajaran formal. Program pengembangan diri dirancang
sebagai wahana non-formal yang berorientasi pada penguatan nilai-nilai moral,
keterampilan sosial, dan pengenalan terhadap potensi diri peserta didik sesuai
dengan kebutuhan dan konteks lokal satuan pendidikan.
Dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun Kurikulum 2013, pengembangan diri
menempati posisi strategis sebagai salah satu komponen yang wajib dilaksanakan
oleh seluruh peserta didik. Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum 2013 menyatakan bahwa kegiatan pengembangan diri
meliputi layanan bimbingan konseling, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan positif, yang diarahkan untuk mendukung pencapaian kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang¹. Walaupun tidak dihitung dalam
beban jam pelajaran (JP), program ini wajib diikuti karena merupakan bagian
dari proses pendidikan holistik di sekolah dan madrasah.
Sejalan dengan itu,
Kementerian Agama melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019
tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab di Madrasah menegaskan bahwa pengembangan
diri, termasuk layanan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler, merupakan bagian
dari struktur kurikulum yang harus dirancang oleh madrasah sesuai dengan
karakteristik lokal, potensi peserta didik, dan kebutuhan masyarakat². Hal ini
mencerminkan pendekatan pendidikan yang kontekstual dan adaptif terhadap
realitas sosial-budaya di lingkungan peserta didik.
Secara teoritik,
konsep pengembangan diri berpijak pada paradigma pendidikan humanistik yang
menekankan aktualisasi potensi individu. Abraham Maslow, dalam teorinya tentang
hierarki kebutuhan manusia, menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak dari
perkembangan individu³. Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup hanya
mengembangkan aspek kognitif, melainkan juga harus mengembangkan afeksi, nilai,
dan identitas diri peserta didik melalui ruang-ruang ekspresi non-formal yang
terstruktur.
Dalam praktiknya,
pengembangan diri dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan seperti bimbingan dan konseling, organisasi siswa, kegiatan seni dan olahraga, kegiatan
keagamaan, program literasi, hingga kebiasaan harian seperti salat berjamaah,
apel pagi, atau kegiatan bersih lingkungan. Melalui kegiatan-kegiatan ini,
peserta didik dilatih untuk mandiri, bertanggung jawab, bekerja sama, dan
memiliki kepercayaan diri yang kuat⁴. Lebih jauh, pengembangan diri juga
menjadi arena penting dalam mendeteksi masalah psikologis atau sosial yang
mungkin dialami oleh peserta didik, sekaligus menjadi sarana pembinaan
kepribadian yang positif.
Dengan demikian,
urgensi pengembangan diri dalam kurikulum tidak dapat dipisahkan dari misi
pendidikan nasional yang menekankan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya:
cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan berakhlak mulia. Maka
dari itu, pembahasan mengenai pengembangan diri dalam kurikulum Indonesia perlu
dikaji secara mendalam baik dari aspek kebijakan, implementasi, maupun
dampaknya terhadap karakter dan kompetensi peserta didik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[2]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab
di Madrasah, (Jakarta: Kemenag, 2019).
[3]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality (New York:
Harper & Row, 1954), 91–112.
[4]
Sri Esti Wuryani, “Pengembangan Diri dalam Kurikulum Sekolah: Strategi
Membangun Karakter Siswa,” Jurnal Pendidikan Karakter 9, no. 1 (2019):
45–56.
2.
Landasan
Yuridis dan Filosofis Pengembangan Diri dalam Kurikulum
2.1.
Landasan Yuridis
Program pengembangan
diri dalam sistem pendidikan Indonesia memiliki legitimasi kuat yang didasarkan
pada berbagai regulasi nasional yang menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan
di tingkat satuan pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjadi dasar hukum utama, di mana disebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya, baik dalam aspek spiritual, intelektual, sosial, maupun
keterampilan⁽¹⁾. Frasa “mengembangkan potensi diri” dalam undang-undang ini
secara eksplisit memberikan mandat bagi sekolah dan madrasah untuk menyediakan
ruang bagi pengembangan diri sebagai bagian integral dari layanan pendidikan.
Lebih lanjut,
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013
menegaskan bahwa pengembangan diri merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran
yang dilaksanakan di luar beban belajar kurikulum, namun wajib diikuti oleh
semua peserta didik. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa kegiatan
pengembangan diri meliputi layanan konseling, kegiatan ekstrakurikuler, dan
pembiasaan, yang diarahkan untuk mendukung pencapaian kompetensi inti dan
kompetensi dasar⁽²⁾.
Untuk lembaga
pendidikan keagamaan seperti madrasah, pengaturan pengembangan diri dijelaskan
dalam Keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. KMA ini menyebut bahwa program
pengembangan diri termasuk layanan bimbingan konseling, kegiatan keagamaan, dan
kegiatan sosial kemasyarakatan yang disesuaikan dengan karakteristik lokal dan
kebutuhan peserta didik⁽³⁾. Bahkan dalam struktur kurikulum madrasah, pengembangan
diri ditempatkan sejajar dengan mata pelajaran sebagai bagian dari sistem
pendidikan terpadu.
Selain regulasi
nasional, kebijakan penguatan pendidikan karakter (PPK) melalui Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2017 juga menjadi pendorong penting bagi pelaksanaan
kegiatan pengembangan diri. PPK menekankan perlunya pendidikan yang
menyeimbangkan antara olah pikir (kognitif), olah hati (spiritual), olah rasa
(estetika), dan olah raga (kinestetik)⁽⁴⁾. Kegiatan pengembangan diri menjadi
wahana ideal untuk mewujudkan keseimbangan ini dalam praksis pendidikan di
sekolah dan madrasah.
2.2.
Landasan Filosofis
Secara filosofis,
pengembangan diri berakar pada pemikiran pendidikan yang memandang manusia
sebagai makhluk multidimensional yang harus berkembang secara holistik—tidak
hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan
sosial. Pandangan ini sejalan dengan filsafat pendidikan humanistik, terutama
pemikiran tokoh seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow, yang menekankan
pentingnya lingkungan belajar yang mendukung pertumbuhan pribadi, kebebasan
berekspresi, dan realisasi potensi diri⁽⁵⁾.
Pendidikan dalam
perspektif Ki Hadjar Dewantara juga menempatkan aspek pengembangan diri sebagai
inti dari pendidikan nasional. Dalam ajarannya, pendidikan bukan hanya
mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter melalui metode among, yaitu
pendidikan yang membimbing, menuntun, dan tidak memaksa⁽⁶⁾. Maka, kegiatan
seperti pembiasaan, bimbingan, dan kegiatan ekstrakurikuler sejatinya adalah
perwujudan dari filosofi pendidikan nasional yang menekankan pengembangan
kepribadian anak secara alami.
Selain itu,
pengembangan diri juga menjadi implementasi nyata dari nilai-nilai Pancasila,
terutama sila kedua dan kelima yang menekankan pada penghargaan terhadap
kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dengan membangun ruang bagi siswa untuk mengekspresikan potensi,
minat, dan bakat mereka, sekolah dan madrasah berkontribusi dalam menciptakan
generasi yang berkepribadian kuat, bertanggung jawab, dan mampu hidup dalam
harmoni sosial.
Dengan demikian,
baik secara yuridis maupun filosofis, pengembangan diri bukanlah pelengkap
kurikulum, melainkan unsur esensial yang memperkuat keberhasilan pendidikan
dalam dimensi afektif dan psikomotorik. Penekanan terhadap aspek non-formal ini
menjadi pembeda sekaligus kekuatan pendidikan Indonesia dalam membangun
karakter bangsa.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sekretariat Negara,
2003), Pasal 3.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[3]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab
di Madrasah, (Jakarta: Kemenag, 2019).
[4]
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017).
[5]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (New York: Merrill,
1994); Abraham H. Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper
& Row, 1954).
[6]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, ed. Soedjatmoko (Yogyakarta:
Majelis Luhur Tamansiswa, 2004), 23–27.
3.
Komponen
Pengembangan Diri dalam Kurikulum
Pengembangan diri
dalam kurikulum pendidikan Indonesia tidak berdiri sebagai mata pelajaran
terstruktur dengan jam pelajaran tetap, melainkan sebagai program pendukung
yang bersifat wajib dan terintegrasi dalam kegiatan sekolah. Menurut Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013, pengembangan diri dibagi ke dalam tiga
komponen utama, yaitu layanan bimbingan dan konseling,
kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan¹. Ketiganya
bertujuan untuk membentuk kepribadian, sikap, nilai, dan keterampilan sosial
peserta didik secara lebih kontekstual dan aplikatif. Berikut uraian
masing-masing komponen:
3.1.
Layanan Bimbingan dan Konseling (BK)
Bimbingan dan konseling merupakan layanan pengembangan diri yang berperan penting dalam
mendukung pertumbuhan psikologis, sosial, akademik, dan karier peserta didik.
Menurut Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah,
layanan BK bertujuan untuk membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal
dan mampu menghadapi tantangan kehidupan².
Layanan ini
dilaksanakan oleh guru bimbingan konseling yang memiliki kompetensi profesional
di bidang psikologi pendidikan. Fungsi utamanya meliputi: (1) pemahaman
terhadap diri dan lingkungan, (2) pencegahan terhadap potensi
masalah, (3) pengembangan potensi dan
kepribadian siswa, (4) pengentasan dari masalah yang
dihadapi peserta didik, dan (5) advokasi dalam memperjuangkan
hak-hak siswa³.
Bimbingan dan konseling juga berfungsi sebagai deteksi dini atas berbagai potensi hambatan
perkembangan peserta didik, seperti masalah belajar, perundungan (bullying),
kekerasan, konflik keluarga, atau penyimpangan sosial.
3.2.
Kegiatan Ekstrakurikuler
Ekstrakurikuler
merupakan kegiatan terstruktur yang dilaksanakan di luar jam pelajaran wajib
untuk mendukung pengembangan bakat, minat, dan potensi siswa dalam berbagai
bidang. Kegiatan ini dibagi menjadi dua kategori utama:
1)
Ekstrakurikuler Wajib,
seperti Pramuka, yang sesuai dengan Permendikbud Nomor
63 Tahun 2014, merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum karena
mendukung penguatan karakter, keterampilan hidup, dan cinta tanah air⁴.
2)
Ekstrakurikuler Pilihan,
mencakup kegiatan seni, olahraga, riset ilmiah, keagamaan, jurnalistik, dan
sebagainya. Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan
kegiatan yang sesuai dengan minat siswa dan konteks lokal madrasah/sekolah⁵.
Kegiatan ini
memberikan ruang nyata bagi peserta didik untuk melatih kerja sama,
kepemimpinan, tanggung jawab, kompetensi sosial, serta membangun rasa percaya
diri melalui pengalaman nyata (experiential learning).
3.3.
Kegiatan Pembiasaan
Pembiasaan adalah
bagian dari pengembangan diri yang berfokus pada penciptaan kebiasaan
positif dan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan sekolah. Kegiatan ini meliputi:
·
Pelaksanaan salat
berjamaah,
·
Program literasi pagi,
·
Upacara bendera,
·
Kegiatan gotong royong,
·
5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun),
·
Gerakan Disiplin Sekolah,
·
Pengelolaan kebersihan
lingkungan, dan lain-lain.
Program pembiasaan
sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang mendorong pembentukan
karakter melalui praktik keseharian yang konsisten dan melibatkan seluruh
ekosistem sekolah⁶.
Pembiasaan terbukti
efektif dalam membentuk etos kerja, disiplin, spiritualitas, dan kepedulian
sosial siswa. Hal ini juga diperkuat oleh pendekatan budaya sekolah yang
menekankan internalisasi nilai melalui keteladanan, suasana kondusif, dan
konsistensi dalam aturan.
Secara keseluruhan,
ketiga komponen pengembangan diri tersebut saling melengkapi dan memperkuat.
Melalui layanan BK, peserta didik dibantu secara personal dan emosional;
melalui ekstrakurikuler, mereka dieksplorasi bakat dan kreativitasnya;
sedangkan melalui pembiasaan, nilai-nilai karakter dibangun dalam konteks
keseharian. Kombinasi ini menjadi fondasi kuat bagi pengembangan manusia
Indonesia yang utuh.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan
Menengah, (Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[3]
Rini Setyawati, “Implementasi Layanan BK dalam Membentuk Kemandirian
Belajar Peserta Didik,” Jurnal Bimbingan Konseling 7, no. 1 (2018):
15–26.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler
Wajib pada Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[5]
Siti Rohmah, “Peran Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Mengembangkan
Potensi Siswa di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Karakter 10, no. 1
(2020): 89–101.
[6]
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017).
4.
Prinsip
dan Pendekatan dalam Pengembangan Diri
Pengembangan diri
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional tidak hanya bersifat
administratif atau formalitas kegiatan, melainkan berlandaskan pada
prinsip-prinsip pedagogis dan pendekatan yang kontekstual, partisipatif, dan
berpusat pada peserta didik. Implementasi yang efektif dari program
pengembangan diri sangat bergantung pada bagaimana prinsip-prinsip ini
diterapkan secara konkret dalam kehidupan sekolah dan madrasah sehari-hari.
Dengan demikian, kegiatan pengembangan diri dapat benar-benar menjadi media
aktualisasi potensi peserta didik serta wahana pembentukan karakter dan
kompetensi sosial.
4.1.
Prinsip Pengembangan
Diri
Beberapa prinsip
utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan diri menurut regulasi dan
praktik pendidikan adalah sebagai berikut:
1)
Berpusat pada Peserta
Didik
Program pengembangan diri harus dirancang dengan
mengutamakan kebutuhan, minat, dan potensi peserta didik. Prinsip ini sejalan
dengan pendekatan student-centered learning yang ditekankan dalam
Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka. Kegiatan tidak boleh didesain sekadar
untuk memenuhi formalitas program sekolah, melainkan harus menyentuh aspek
personal peserta didik dalam membangun identitas dan kapasitas diri⁽¹⁾.
2)
Bersifat Kontekstual dan
Adaptif
Kegiatan pengembangan diri perlu disesuaikan
dengan latar belakang budaya, sosial, dan geografis tempat peserta didik
berada. Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 mendorong satuan pendidikan untuk
merancang pengembangan diri yang berbasis pada konteks lokal, kearifan
budaya, dan modal sosial masyarakat sekitar⁽²⁾.
Pendekatan ini memberi ruang bagi madrasah dan sekolah untuk melakukan inovasi
sesuai karakteristiknya masing-masing.
3)
Membangun Kemandirian dan
Tanggung Jawab Sosial
Salah satu tujuan utama pengembangan diri adalah
menumbuhkan kepercayaan diri, kemandirian, dan rasa tanggung jawab sosial.
Melalui kegiatan yang bersifat kolaboratif dan partisipatif, peserta didik
dilatih untuk membuat keputusan, bekerja sama, memecahkan masalah, dan
berkontribusi bagi komunitasnya. Hal ini mendukung upaya pendidikan karakter
sebagaimana diamanatkan dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK)⁽³⁾.
4)
Keterpaduan dengan
Lingkungan Belajar
Program pengembangan diri harus terintegrasi
dengan suasana, budaya, dan iklim pendidikan yang dikembangkan di sekolah atau
madrasah. Lingkungan belajar yang mendukung dan relasi yang sehat antara
pendidik dan peserta didik akan menjadi media subur bagi pertumbuhan
psikososial anak⁽⁴⁾.
5)
Berorientasi pada Proses
dan Hasil Jangka Panjang
Aktivitas pengembangan diri bukan kegiatan
instan, tetapi proses pembentukan karakter dan kompetensi yang berkelanjutan.
Evaluasi terhadap hasil pengembangan diri pun sebaiknya bersifat kualitatif,
menyentuh aspek perubahan sikap, tanggung jawab, dan keaktifan peserta didik
dalam jangka waktu tertentu⁽⁵⁾.
4.2.
Pendekatan dalam
Pengembangan Diri
Pelaksanaan
pengembangan diri di satuan pendidikan dapat mengacu pada beberapa pendekatan
pedagogis dan sosial-psikologis berikut:
1)
Pendekatan Humanistik
Pendekatan ini menempatkan peserta didik sebagai
individu yang unik dan memiliki potensi untuk tumbuh jika diberikan lingkungan
yang mendukung. Carl Rogers menekankan pentingnya unconditional positive
regard, empati, dan keterbukaan dalam proses pembinaan siswa⁽⁶⁾. Dalam
konteks sekolah, hal ini tercermin dalam kegiatan bimbingan konseling yang
menghargai perbedaan dan menghindari pendekatan represif.
2)
Pendekatan Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning/CTL)
CTL adalah pendekatan yang mengaitkan antara
materi pembelajaran atau aktivitas sekolah dengan kehidupan nyata peserta
didik. Dalam pengembangan diri, kegiatan seperti kerja bakti, kunjungan sosial,
atau program literasi berbasis komunitas mencerminkan aplikasi pendekatan ini.
Pendekatan CTL memperkuat relevansi pendidikan dengan dunia nyata dan mendorong
keterlibatan aktif peserta didik⁽⁷⁾.
3)
Pendekatan Berbasis
Kegiatan (Activity-Based Approach)
Pengembangan diri efektif bila peserta didik
dilibatkan dalam aktivitas langsung yang memberi pengalaman belajar nyata
(experiential learning). Melalui metode partisipatif seperti proyek, pelatihan
kepemimpinan, kegiatan seni dan olahraga, siswa membangun keterampilan hidup
(life skills) yang tidak dapat diperoleh melalui pembelajaran di kelas⁽⁸⁾.
4)
Pendekatan Kolaboratif dan
Interpersonal
Kegiatan pengembangan diri hendaknya mendorong
kerja sama antarsiswa dan hubungan positif antarwarga sekolah. Hal ini
menciptakan kohesi sosial, solidaritas, dan empati, yang menjadi bagian penting
dari pembentukan karakter dan keberhasilan pendidikan⁽⁹⁾.
Penerapan prinsip
dan pendekatan yang tepat dalam pengembangan diri akan menjadikan kurikulum
lebih hidup, bermakna, dan berdaya guna. Lebih dari sekadar pelengkap kegiatan
sekolah, pengembangan diri adalah medium penting untuk mengasah sisi
kemanusiaan peserta didik secara menyeluruh, memperkuat nilai-nilai Pancasila,
serta membentuk insan yang mandiri, tangguh, dan berkarakter.
Footnotes
[1]
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Model
Pengembangan Diri dalam Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), 7.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[3]
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017).
[4]
Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 102–105.
[5]
Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik: Mengembangkan Sekolah yang
Mendidik Karakter dan Kecerdasan (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation,
2012), 33.
[6]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (New York: Merrill,
1994).
[7]
Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Implementasinya dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
2004), 18–20.
[8]
David Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984).
[9]
A. Suparlan, “Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan
Pengembangan Diri,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 21, no. 3 (2015):
293–308.
5.
Implementasi
Program Pengembangan Diri di Satuan Pendidikan
Implementasi program
pengembangan diri pada satuan pendidikan merupakan langkah strategis untuk
mengintegrasikan nilai-nilai karakter, potensi, dan keterampilan sosial ke
dalam kehidupan peserta didik secara holistik. Meskipun tidak dihitung dalam
struktur beban jam pelajaran formal, pengembangan diri wajib dilaksanakan dan
memiliki peran penting dalam mendukung pencapaian kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan sebagaimana diamanatkan dalam Kurikulum 2013 dan
Kurikulum Merdeka. Keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada kualitas
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta sinergi antar unsur sekolah, peserta
didik, dan masyarakat.
5.1.
Perencanaan Program
Pengembangan Diri
Perencanaan
pengembangan diri dilakukan secara sistematis oleh tim kurikulum sekolah atau
madrasah dengan mempertimbangkan visi-misi satuan pendidikan, analisis
kebutuhan peserta didik, potensi sumber daya, serta kondisi sosial dan budaya
lokal. Menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013,
perencanaan pengembangan diri harus dituangkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan dimuat dalam dokumen
perencanaan program tahunan dan semester¹. Setiap kegiatan dirancang berbasis
kebutuhan riil peserta didik melalui analisis konteks serta melibatkan peran
aktif guru BK, wali kelas, dan pembina ekstrakurikuler.
5.2.
Pelaksanaan Kegiatan
Pengembangan Diri
Pelaksanaan
pengembangan diri di sekolah/madrasah terdiri atas tiga bentuk utama: (1)
layanan bimbingan konseling, (2) kegiatan ekstrakurikuler, dan (3) pembiasaan harian atau periodik.
1)
Layanan Bimbingan dan Konseling (BK) dilaksanakan oleh guru BK atau wali kelas yang telah
dibekali pelatihan dalam bidang psikopedagogis. Layanan ini mencakup konseling
individual, layanan informasi, konseling kelompok, konsultasi, serta layanan
penempatan dan pengembangan diri². Pelayanan ini dilakukan secara terjadwal
maupun insidental berdasarkan kebutuhan siswa.
2)
Kegiatan Ekstrakurikuler
dilaksanakan melalui unit kegiatan yang dibentuk oleh satuan pendidikan seperti
Pramuka, Palang Merah Remaja, Kelompok Ilmiah Remaja, seni budaya, olahraga,
dan sebagainya. Menurut Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014,
kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas kegiatan wajib (misalnya Pramuka) dan pilihan
yang disesuaikan dengan bakat dan minat siswa serta difasilitasi oleh pembina
yang kompeten³.
3)
Kegiatan Pembiasaan,
seperti salat berjamaah, apel pagi, program literasi, gotong royong, dan
kegiatan berbasis nilai-nilai religius atau kebangsaan. Implementasi kegiatan
ini dilakukan secara harian, mingguan, atau berkala, dan menjadi bagian dari
budaya sekolah yang menciptakan lingkungan positif untuk internalisasi nilai⁴.
Penerapan program
pengembangan diri sering kali melibatkan kolaborasi dengan pihak luar seperti
komite sekolah, tokoh masyarakat, LSM, dan lembaga keagamaan dalam bentuk
pelatihan, pembinaan karakter, atau penyuluhan yang relevan.
5.3.
Peran Pendidik dan
Tenaga Kependidikan
Guru, kepala
sekolah, pembina ekstrakurikuler, dan tenaga kependidikan lainnya memiliki
peran penting sebagai fasilitator, motivator, dan teladan dalam pelaksanaan
pengembangan diri. Sebagaimana ditegaskan oleh Kemdikbud dalam Panduan Penguatan Pendidikan
Karakter (2017), keteladanan adalah unsur utama dalam
keberhasilan pendidikan karakter⁵. Oleh karena itu, seluruh ekosistem sekolah
harus terlibat aktif dan konsisten dalam menumbuhkan nilai-nilai positif.
Khusus untuk
madrasah, peran guru agama dan pembimbing rohani sangat strategis dalam
membentuk pengembangan spiritual dan moral peserta didik, terutama melalui
kegiatan pembiasaan keagamaan, pesantren kilat, dan kegiatan sosial keislaman⁶.
5.4.
Contoh Praktik Baik
(Best Practices)
Banyak satuan
pendidikan di Indonesia telah menunjukkan praktik baik dalam implementasi pengembangan
diri. Sebagai contoh, Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Malang
mengembangkan program Madrasah Peduli Lingkungan melalui
kegiatan daur ulang sampah, pertanian hidroponik, dan kebun sekolah sebagai
bagian dari kegiatan ekstrakurikuler berbasis lingkungan. Program ini tidak
hanya membentuk kesadaran ekologis, tetapi juga melatih keterampilan
kewirausahaan siswa⁷.
Demikian pula, SMA
Negeri 1 Sleman menerapkan kegiatan pembiasaan Shalat
Dhuha dan Tadarus Al-Qur’an sebelum jam pelajaran dimulai, yang
terbukti meningkatkan kedisiplinan, ketenangan emosional, serta spiritualitas
siswa⁸.
Kesimpulan Sementara
Implementasi
pengembangan diri yang dirancang dengan matang, dilaksanakan secara konsisten,
dan melibatkan semua pihak dalam lingkungan pendidikan akan menciptakan iklim
pembelajaran yang sehat, mendukung pembentukan karakter, serta membina
keterampilan abad ke-21 yang dibutuhkan peserta didik untuk hidup secara
bermakna di tengah masyarakat yang dinamis.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan
Menengah, (Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan
Menengah, (Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[4]
Sri Esti Wuryani, “Pembiasaan sebagai Upaya Penanaman Nilai Karakter
dalam Pendidikan,” Jurnal Pendidikan Karakter 8, no. 1 (2018): 12–23.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, 2017), 25.
[6]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Keagamaan di Madrasah, (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2020).
[7]
Erna Puspitasari, “Pengembangan Madrasah Ramah Lingkungan: Studi Kasus
di MAN 1 Kota Malang,” Jurnal Kependidikan Islam 5, no. 2 (2021): 150–162.
[8]
Siti Nurjanah, “Implementasi Kegiatan Pembiasaan dalam Meningkatkan
Karakter Religius Siswa,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 16, no. 1
(2020): 65–78.
6.
Evaluasi
dan Tindak Lanjut Pengembangan Diri
Evaluasi merupakan
bagian penting dalam siklus pelaksanaan pengembangan diri di satuan pendidikan.
Meskipun tidak termasuk dalam beban jam pelajaran formal, program pengembangan
diri tetap memerlukan sistem pemantauan dan penilaian yang komprehensif untuk
menjamin efektivitas serta arah pembinaan yang berkelanjutan. Evaluasi juga
diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan kegiatan,
perbaikan metode, serta pengembangan kapasitas peserta didik secara menyeluruh.
6.1.
Tujuan dan Fungsi
Evaluasi
Evaluasi
pengembangan diri bertujuan untuk:
·
Menilai keterlibatan dan
perkembangan sikap, minat, serta perilaku peserta didik dalam berbagai kegiatan
non-akademik;
·
Mengidentifikasi
keberhasilan kegiatan pengembangan diri dalam mencapai tujuan pendidikan
karakter;
·
Memberikan umpan balik
kepada peserta didik, pendidik, dan orang tua;
·
Menentukan tindak lanjut
pembinaan peserta didik secara personal atau kelompok⁽¹⁾.
Menurut Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan,
penilaian dalam pendidikan tidak hanya mencakup aspek pengetahuan dan
keterampilan, tetapi juga sikap spiritual dan sosial yang dapat dikembangkan
melalui kegiatan pengembangan diri⁽²⁾. Oleh karena itu, pendekatan evaluatif
terhadap program ini harus bersifat holistik, integratif, dan berorientasi pada
proses serta hasil.
6.2.
Instrumen dan Teknik
Penilaian
Penilaian
pengembangan diri menggunakan pendekatan kualitatif dengan berbagai instrumen
dan teknik seperti observasi, catatan anekdot, penilaian diri
(self-assessment), penilaian teman sebaya (peer-assessment), serta laporan
kegiatan.
1)
Observasi Langsung
Guru, pembina, atau guru BK melakukan pemantauan
terhadap perilaku dan partisipasi siswa dalam kegiatan pengembangan diri.
Observasi ini dicatat secara sistematis dan digunakan untuk menilai
kedisiplinan, kerja sama, tanggung jawab, dan sikap positif lainnya⁽³⁾.
2)
Catatan Anekdot dan
Portofolio
Catatan anekdot digunakan untuk merekam perilaku
khas atau insiden penting terkait perkembangan karakter siswa. Sementara itu,
portofolio mencakup kumpulan karya, prestasi, dan refleksi siswa dalam
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau bimbingan konseling⁽⁴⁾.
3)
Lembar Penilaian Diri dan
Penilaian Teman Sebaya
Alat ini membantu menumbuhkan kesadaran reflektif
siswa terhadap perkembangan dirinya. Penilaian ini mendorong siswa untuk
melakukan introspeksi dan mengevaluasi interaksinya dengan orang lain⁽⁵⁾.
4)
Laporan Kegiatan dan
Dokumentasi Visual
Setiap unit kegiatan ekstrakurikuler atau program pembiasaan membuat laporan kegiatan yang dilengkapi dokumentasi sebagai bentuk
pertanggungjawaban program dan bahan refleksi bagi guru dan kepala sekolah⁽⁶⁾.
6.3.
Pelaporan Hasil
Pengembangan Diri
Hasil evaluasi
pengembangan diri dilaporkan secara deskriptif dalam buku rapor peserta didik,
terutama pada bagian catatan perkembangan kepribadian dan kegiatan ekstrakurikuler. Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka mendorong penggunaan narasi
kualitatif untuk menggambarkan keterlibatan dan kemajuan siswa
dalam kegiatan non-akademik, termasuk nilai-nilai karakter yang terlihat selama
proses pembelajaran dan kegiatan sekolah⁽⁷⁾.
Sebagai contoh,
laporan pengembangan diri dapat mencakup catatan seperti: “Ananda
menunjukkan sikap tanggung jawab dan kepedulian sosial yang tinggi selama
mengikuti kegiatan pramuka dan kerja bakti sekolah. Ia juga aktif dalam
kegiatan keagamaan dan literasi.”
Selain itu, hasil
layanan bimbingan dan konseling yang bersifat individual dapat didokumentasikan
dalam bentuk catatan rahasia siswa
(confidential record) sebagai dasar pembinaan lanjutan dan pengambilan
keputusan oleh wali kelas atau kepala madrasah⁽⁸⁾.
6.4.
Tindak Lanjut
Evaluasi
Hasil evaluasi
pengembangan diri tidak berhenti pada pelaporan, tetapi harus ditindaklanjuti
melalui langkah-langkah pembinaan, penguatan, atau intervensi sesuai kebutuhan
peserta didik:
1)
Pembinaan Individu dan
Kelompok
Peserta didik yang menunjukkan perilaku
menyimpang, kurang aktif, atau mengalami hambatan emosional dapat dibina
melalui layanan konseling individual atau kelompok. Sementara siswa yang
memiliki potensi luar biasa dapat diarahkan mengikuti pelatihan lanjutan atau
kompetisi tertentu⁽⁹⁾.
2)
Penguatan Peran Orang Tua
Evaluasi pengembangan diri menjadi bahan
komunikasi antara sekolah dan orang tua. Melalui rapat wali murid, laporan
kegiatan, dan komunikasi personal, sekolah dapat menyinergikan pembinaan
karakter antara lingkungan sekolah dan rumah.
3)
Peningkatan Kualitas
Kegiatan
Evaluasi juga menjadi alat refleksi bagi satuan
pendidikan dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan pengembangan diri: dari
pemilihan kegiatan, pendekatan pembina, hingga sarana pendukung.
4)
Rekomendasi Pengembangan
Lanjutan
Setiap semester, sekolah dapat membuat
rekomendasi kegiatan lanjutan berdasarkan kecenderungan minat siswa, hasil
evaluasi, serta dinamika sosial yang berkembang.
Evaluasi dan tindak
lanjut yang sistematis dan berkelanjutan menjadi kunci agar kegiatan
pengembangan diri tidak bersifat simbolik atau seremonial semata, melainkan
benar-benar berdampak terhadap pembentukan karakter dan jati diri peserta didik
dalam jangka panjang.
Footnotes
[1]
Sri Wahyuni, “Evaluasi Kegiatan Pengembangan Diri dalam Pembentukan
Karakter Siswa,” Jurnal Pendidikan Karakter 7, no. 2 (2017): 198–205.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, (Jakarta:
Kemendikbud, 2016).
[3]
Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik: Membangun Karakter dan
Kecerdasan Anak Sejak Usia Dini (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation,
2012), 37.
[4]
Supriyadi, “Penilaian dalam Pendidikan Karakter,” Jurnal Evaluasi
Pendidikan 15, no. 1 (2019): 41–50.
[5]
Nani Indriani, “Model Penilaian Pengembangan Diri dalam Kurikulum
2013,” Jurnal Pendidikan 8, no. 3 (2016): 223–229.
[6]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan
Penilaian Ekstrakurikuler (Jakarta: Kemdikbud, 2015).
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Teknis Rapor Kurikulum 2013, (Jakarta: Kemendikbud, 2017).
[8]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Panduan Layanan Bimbingan dan
Konseling di Madrasah, (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2020).
[9]
Eka Susanti, “Peran Evaluasi dalam Pengembangan Potensi Siswa Melalui
Ekstrakurikuler,” Jurnal Manajemen Pendidikan 6, no. 1 (2021): 91–102.
7.
Tantangan
dan Solusi dalam Pelaksanaan Pengembangan Diri
Pelaksanaan program
pengembangan diri di satuan pendidikan, meskipun telah memiliki dasar yuridis
dan filosofis yang kuat, masih menghadapi berbagai tantangan di lapangan.
Beragamnya konteks sosial, keterbatasan sumber daya, serta perbedaan pemahaman
tentang konsep pengembangan diri menyebabkan efektivitas implementasinya belum
optimal di banyak sekolah dan madrasah. Untuk itu, perlu identifikasi
menyeluruh atas tantangan utama serta solusi yang dapat diterapkan secara
praktis dan berkelanjutan.
7.1.
Tantangan dalam
Pelaksanaan Pengembangan Diri
1)
Kurangnya Pemahaman
Konseptual di Kalangan Pendidik
Banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang
belum sepenuhnya memahami tujuan, prinsip, dan pendekatan pengembangan diri
sebagai bagian integral dari kurikulum. Hal ini menyebabkan kegiatan
pengembangan diri sering dilaksanakan hanya sebagai rutinitas administratif
tanpa makna pedagogis yang mendalam⁽¹⁾.
2)
Minimnya Ketersediaan
Sumber Daya Manusia yang Kompeten
Pelaksanaan layanan bimbingan konseling dan
kegiatan ekstrakurikuler memerlukan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi
khusus. Namun, sebagian besar sekolah, terutama di daerah terpencil atau
madrasah swasta, masih mengalami kekurangan guru BK, pembina ekstrakurikuler
yang terlatih, serta fasilitator kegiatan⁽²⁾.
3)
Keterbatasan Sarana dan
Prasarana
Fasilitas yang mendukung kegiatan pengembangan
diri seperti ruang konseling, lapangan olahraga, ruang seni, hingga sarana
digital sering kali belum memadai. Akibatnya, kegiatan pengembangan diri
menjadi kurang variatif dan tidak mampu menampung seluruh potensi siswa secara
maksimal⁽³⁾.
4)
Lemahnya Sistem Evaluasi
dan Pelaporan
Evaluasi kegiatan pengembangan diri belum
dilakukan secara sistematis dan sering kali tidak berdampak pada pengambilan
kebijakan pembinaan siswa. Banyak satuan pendidikan yang tidak memiliki sistem
dokumentasi atau instrumen evaluasi yang memadai untuk menilai perkembangan
sikap, karakter, dan keterampilan siswa⁽⁴⁾.
5)
Kurangnya Sinergi antara
Sekolah, Orang Tua, dan Komunitas
Pengembangan diri memerlukan kolaborasi dengan
berbagai pihak, namun koordinasi yang lemah antara sekolah dan lingkungan
eksternal menyebabkan kegiatan sering berjalan terpisah dari konteks kehidupan
nyata siswa. Hal ini mengurangi relevansi dan keberlanjutan program yang
dijalankan⁽⁵⁾.
7.2.
Solusi Strategis
untuk Mengatasi Tantangan
1)
Peningkatan Kapasitas
Pendidik melalui Pelatihan Berkelanjutan
Pemerintah dan pengelola satuan pendidikan perlu
secara sistematis menyelenggarakan pelatihan guru tentang pengembangan diri,
bimbingan konseling, pendekatan pembelajaran kontekstual, dan pendidikan
karakter. Program pelatihan dapat dirancang melalui MGMP, KKG, atau kemitraan
dengan lembaga pendidikan tinggi⁽⁶⁾.
2)
Penguatan Peran Guru BK
dan Pembina Ekstrakurikuler
Rekrutmen guru BK profesional dan pembina
kegiatan yang kompeten harus menjadi prioritas, terutama pada jenjang menengah.
Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama juga dapat membuka program
sertifikasi atau diklat pembina ekstrakurikuler untuk meningkatkan
profesionalitas SDM penggerak pengembangan diri⁽⁷⁾.
3)
Pengembangan Sarana
Berbasis Potensi Lokal dan Swadaya
Keterbatasan infrastruktur dapat diatasi dengan
pendekatan kolaboratif berbasis potensi lokal. Contohnya, pemanfaatan balai
desa sebagai tempat kegiatan ekstrakurikuler, kerja sama dengan komunitas seni,
atau pendirian green house oleh siswa untuk kegiatan kewirausahaan dan
lingkungan⁽⁸⁾.
4)
Penyusunan Sistem Evaluasi
yang Kontekstual dan Otentik
Sekolah/madrasah perlu mengembangkan instrumen
penilaian kualitatif seperti jurnal perkembangan, rubrik sikap, penilaian diri,
dan portofolio kegiatan siswa. Panduan dari Kemendikbud tentang penguatan
pendidikan karakter dan asesmen formatif dapat dijadikan acuan utama dalam hal
ini⁽⁹⁾.
5)
Penguatan Kolaborasi
Sekolah-Orang Tua-Komunitas
Sekolah harus membangun komunikasi intensif
dengan orang tua dan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan
diri. Program school-community partnership dan kegiatan berbasis
layanan masyarakat seperti school social project terbukti meningkatkan
partisipasi dan kepedulian lingkungan terhadap pendidikan karakter siswa¹⁰.
Dengan pemetaan
tantangan dan strategi solusi yang aplikatif, satuan pendidikan dapat
mengoptimalkan fungsi pengembangan diri sebagai wahana pembinaan karakter dan
pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh. Hal ini menjadi fondasi
penting dalam membentuk profil pelajar Pancasila dan lulusan madrasah yang
beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Footnotes
[1]
Siti Komariah, “Kendala Implementasi Pengembangan Diri dalam Kurikulum
2013 di Sekolah Menengah,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 22, no. 1
(2017): 45–52.
[2]
Direktorat Jenderal GTK, Peta Kebutuhan Guru Bimbingan Konseling
Nasional Tahun 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–7.
[3]
Tri Wahyuni, “Ketersediaan Sarana dalam Mendukung Kegiatan
Ekstrakurikuler,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 5, no. 2 (2019):
119–128.
[4]
Nani Indriani, “Model Penilaian Pengembangan Diri dalam Kurikulum
2013,” Jurnal Pendidikan 8, no. 3 (2016): 223–229.
[5]
Yayah Khadijah, “Sinergi Sekolah, Keluarga, dan Komunitas dalam
Pendidikan Karakter,” Jurnal Pendidikan Karakter 9, no. 1 (2019):
1–12.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Guru (Jakarta: Direktorat Jenderal
GTK, 2016), 14.
[7]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Pedoman Peningkatan
Kompetensi Guru BK dan Pembina Ekstrakurikuler, (Jakarta: Direktorat GTK
Madrasah, 2020).
[8]
Rahmat Hidayat, “Optimalisasi Potensi Lokal dalam Pengembangan
Ekstrakurikuler Madrasah,” Jurnal Kependidikan Islam 6, no. 1 (2021):
87–96.
[9]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penilaian dan Pelaporan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, 2017).
[10]
Mulyono, “Kemitraan Sekolah dan Komunitas dalam Penguatan Pendidikan
Karakter,” Jurnal Ilmiah Pendidikan 10, no. 2 (2018): 157–166.
8.
Penutup
Program pengembangan
diri dalam kurikulum pendidikan Indonesia merupakan pilar penting dalam
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab¹. Meskipun tidak termasuk dalam struktur jam pelajaran formal,
pengembangan diri memberikan kontribusi nyata terhadap pembentukan karakter dan
kompetensi sosial peserta didik melalui layanan bimbingan konseling, kegiatan ekstrakurikuler, dan pembiasaan nilai-nilai luhur.
Secara konseptual
dan normatif, pengembangan diri telah memiliki legitimasi kuat dalam berbagai
regulasi pendidikan seperti Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013,
Permendikbud
Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling, Permendikbud
Nomor 62 Tahun 2014 tentang Ekstrakurikuler, serta Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)².
Regulasi-regulasi ini menegaskan bahwa pendidikan karakter dan pengembangan
potensi peserta didik tidak dapat dilakukan hanya melalui pembelajaran
intrakurikuler, melainkan juga harus ditopang oleh program pengembangan diri
yang terencana dan menyeluruh.
Dari sudut pandang
implementasi, kegiatan pengembangan diri menuntut peran aktif semua pihak di
lingkungan pendidikan, mulai dari pendidik, tenaga kependidikan, kepala satuan
pendidikan, orang tua, hingga masyarakat sekitar. Evaluasi yang menyeluruh dan
sistematis menjadi instrumen penting dalam menilai efektivitas program,
memberikan umpan balik, serta menyusun tindak lanjut pembinaan secara
berkelanjutan³. Namun demikian, masih terdapat tantangan yang signifikan dalam
pelaksanaannya, seperti keterbatasan sumber daya manusia yang profesional,
minimnya fasilitas penunjang, serta lemahnya sistem evaluasi dan kolaborasi
lintas sektor⁴.
Untuk menjawab
berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan strategi peningkatan kapasitas pendidik
melalui pelatihan berkelanjutan, pengembangan instrumen evaluasi yang
kontekstual, pemanfaatan potensi lokal dalam mendukung kegiatan, serta
penguatan kemitraan sekolah dengan keluarga dan komunitas. Pendekatan berbasis
nilai, partisipatif, dan kontekstual harus menjadi landasan utama dalam
mengembangkan seluruh aktivitas pengembangan diri⁵.
Sebagai rekomendasi
akhir, penulis menegaskan bahwa:
1)
Satuan pendidikan
perlu menjadikan pengembangan diri sebagai program strategis dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan
(KOSP) yang selaras dengan visi-misi lembaga;
2)
Guru dan pembina kegiatan
perlu diberdayakan secara optimal melalui pelatihan, pendampingan, dan
pemberian penghargaan atas kontribusinya dalam pengembangan karakter siswa;
3)
Kementerian/lembaga
terkait perlu menyusun kebijakan afirmatif untuk mendukung
keberlangsungan pengembangan diri, khususnya di sekolah-sekolah yang memiliki
keterbatasan sumber daya;
4)
Penelitian dan inovasi
pendidikan perlu terus dilakukan guna memperkuat praktik baik (best
practices) dan model-model pengembangan diri yang kontekstual dan efektif.
Dengan pengelolaan
yang profesional, kolaboratif, dan berbasis kebutuhan nyata peserta didik,
pengembangan diri akan menjadi wahana penting dalam menyiapkan generasi pelajar
Indonesia yang unggul secara intelektual, tangguh secara emosional, matang
secara sosial, dan kokoh secara spiritual.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sekretariat Negara, 2003), Pasal 3.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013); Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta: Sekretariat Negara,
2017).
[3]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan
Penilaian Ekstrakurikuler, (Jakarta: Kemendikbud, 2015), 12–13.
[4]
Siti Komariah, “Kendala Implementasi Pengembangan Diri dalam Kurikulum
2013 di Sekolah Menengah,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 22, no. 1
(2017): 47–49.
[5]
Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik: Membangun Karakter dan
Kecerdasan Anak Sejak Usia Dini (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation,
2012), 35–36.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
(2016). Model pengembangan diri dalam implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2015). Panduan penilaian ekstrakurikuler. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hidayat, R. (2021). Optimalisasi potensi lokal
dalam pengembangan ekstrakurikuler madrasah. Jurnal Kependidikan Islam, 6(1),
87–96.
Indriani, N. (2016). Model penilaian pengembangan
diri dalam Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan, 8(3), 223–229.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2020). Panduan
layanan bimbingan dan konseling di madrasah. Jakarta: Direktorat KSKK
Madrasah.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2020). Pedoman
peningkatan kompetensi guru BK dan pembina ekstrakurikuler. Jakarta:
Direktorat GTK Madrasah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2013). Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2014a). Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014 tentang Kegiatan
Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2014b). Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan
Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar
Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Panduan pengembangan keprofesian berkelanjutan guru.
Jakarta: Direktorat Jenderal GTK.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2017a). Panduan penguatan pendidikan karakter. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2017b). Panduan teknis rapor Kurikulum 2013. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2017c). Panduan penilaian dan pelaporan pendidikan karakter.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Komariah, S. (2017). Kendala implementasi
pengembangan diri dalam Kurikulum 2013 di sekolah menengah. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 22(1), 45–52.
Megawangi, R. (2012). Pendidikan holistik:
Membangun karakter dan kecerdasan anak sejak usia dini. Jakarta: Indonesia
Heritage Foundation.
Mulyono. (2018). Kemitraan sekolah dan komunitas
dalam penguatan pendidikan karakter. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 10(2),
157–166.
Nurhadi. (2004). Pembelajaran kontekstual dan
implementasinya dalam kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Puspitasari, E. (2021). Pengembangan madrasah ramah
lingkungan: Studi kasus di MAN 1 Kota Malang. Jurnal Kependidikan Islam, 5(2),
150–162.
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Rogers, C. R. (1994). Freedom to learn (3rd
ed.). New York: Merrill.
Sri Wahyuni. (2017). Evaluasi kegiatan pengembangan
diri dalam pembentukan karakter siswa. Jurnal Pendidikan Karakter, 7(2),
198–205.
Suparlan, A. (2015). Penguatan pendidikan karakter
melalui kegiatan pengembangan diri. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 21(3),
293–308.
Supriyadi. (2019). Penilaian dalam pendidikan
karakter. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 15(1), 41–50.
Susanti, E. (2021). Peran evaluasi dalam
pengembangan potensi siswa melalui ekstrakurikuler. Jurnal Manajemen
Pendidikan, 6(1), 91–102.
Tri Wahyuni. (2019). Ketersediaan sarana dalam
mendukung kegiatan ekstrakurikuler. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 5(2),
119–128.
U.S. Department of Education. (2013). Character
education: Our shared responsibility. Washington, D.C.
Wibowo, A. (2013). Manajemen pendidikan karakter
di sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yayah Khadijah. (2019). Sinergi sekolah, keluarga,
dan komunitas dalam pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 9(1),
1–12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar