Ilmu Kalam Sunni
Alihkan ke-Ahlus Sunnah wal Jamaah
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah salah satu disiplin ilmu Islam
yang berfokus pada pembahasan akidah atau keimanan melalui pendekatan rasional
dan logis. Istilah kalam sendiri berasal dari kata Arab "kalima"
yang berarti "ucapan," mengacu pada diskursus dan argumentasi
teologis yang menjadi ciri khas ilmu ini. Dalam konteks keilmuan Islam, Ilmu Kalam dikenal sebagai alat untuk menjelaskan, mempertahankan, dan menguatkan
ajaran akidah berdasarkan wahyu dengan dukungan nalar (aql). Ibn Khaldun
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai, "ilmu yang membahas tentang
akidah Islam melalui dalil-dalil rasional untuk menjaga keyakinan kaum Muslimin
dari penyimpangan."1
1.2. Tujuan dan Relevansi Ilmu Kalam Sunni
Tujuan utama dari Ilmu Kalam Sunni adalah menjaga
kemurnian akidah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad Saw
sesuai dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ilmu ini tidak hanya berfungsi
untuk menanamkan keyakinan yang kokoh, tetapi juga untuk menjawab tantangan
teologis dari aliran-aliran lain seperti Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan
lainnya yang muncul sepanjang sejarah Islam.
Relevansi Ilmu Kalam Sunni sangat terasa di berbagai zaman, terutama dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ekstrem yang berpotensi
merusak pemahaman keimanan umat Islam. Misalnya, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
muncul pada abad ke-10 untuk menyatukan pandangan rasional dan tekstual dalam
menghadapi dominasi pemikiran Mu’tazilah yang cenderung menekankan rasio secara
ekstrem di atas wahyu. Dengan pendekatan ini, Ilmu Kalam Sunni berhasil
memadukan keseimbangan antara naqli (wahyu) dan aqli (akal), menjadikannya
sebagai landasan akidah yang relevan sepanjang zaman.2
Ilmu Kalam juga relevan dalam menjawab tantangan
modern seperti sekularisme, ateisme, dan skeptisisme yang mencoba melemahkan
keyakinan umat Islam. Ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh menekankan
pentingnya Ilmu Kalam dalam menjelaskan konsep tauhid dan membangun pemahaman
yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keimanan
Islam.3
Catatan Kaki
[1]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Franz Rosenthal (New York:
Princeton University Press, 1967), 463.
[2]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 78-79.
[3]
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1972),
13.
2.
Sejarah
dan Perkembangan Ilmu Kalam Sunni
2.1. Asal Usul Ilmu Kalam
Ilmu Kalam muncul
sebagai respons terhadap kebutuhan umat Islam untuk menjelaskan akidah Islam secara logis dan rasional di tengah
perdebatan teologis yang semakin kompleks. Pada masa awal Islam, persoalan
teologis belum menjadi perhatian utama karena umat Islam umumnya menerima
akidah secara langsung dari Al-Qur'an dan Hadis tanpa memerlukan argumentasi filosofis. Namun, dengan
meluasnya wilayah Islam, umat Muslim mulai berinteraksi dengan tradisi
intelektual Yunani, Persia, dan India, serta menghadapi kelompok-kelompok yang
memiliki pandangan berbeda mengenai akidah, seperti Khawarij dan Syiah.1
Isu-isu penting
seperti sifat Allah, kehendak bebas manusia, dan takdir (qadha dan qadar) menjadi topik perdebatan yang melibatkan
berbagai kelompok seperti Mu’tazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Dalam konteks
ini, Ilmu Kalam berkembang untuk memberikan jawaban yang sistematis terhadap
permasalahan tersebut dengan tetap berpegang pada wahyu sebagai sumber utama.2
2.2. Tokoh-Tokoh dan Peranannya
Ilmu Kalam Sunni
menemukan bentuknya melalui kontribusi para ulama besar yang berupaya
mengintegrasikan pendekatan rasional dengan ajaran tekstual Al-Qur'an dan Hadis. Dua tokoh utama dalam tradisi Ilmu
Kalam Sunni adalah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (873–935 M) dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi (853–944 M).
2.2.1.
Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari
Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari adalah mantan pengikut Mu’tazilah yang kemudian meninggalkan
pandangan tersebut setelah menyadari kelemahannya dalam menjelaskan akidah Islam secara menyeluruh. Beliau menulis berbagai karya, seperti Kitab
al-Luma dan Al-Ibanah, yang menguraikan
dasar-dasar teologi Sunni. Asy’ari menekankan pentingnya harmoni antara wahyu dan akal, serta menolak
ekstremitas rasionalisme Mu’tazilah maupun literalitas kelompok lainnya.3
2.2.2.
Imam Abu Mansur
al-Maturidi
Imam Abu Mansur
al-Maturidi dari wilayah Samarkand berperan penting dalam pengembangan Ilmu Kalam Sunni di wilayah
Timur. Beliau lebih menekankan peran akal dalam memahami wahyu, namun tetap menjaga
agar akal tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh syariat.
Karya-karyanya, seperti Kitab al-Tawhid, menjadi rujukan
penting bagi para teolog Sunni.4
2.3. Dinamika Perkembangan Ilmu Kalam Sunni
Pada masa Dinasti
Abbasiyah, Ilmu Kalam Sunni mengalami kemajuan pesat berkat dukungan intelektual yang diberikan oleh
para khalifah. Diskusi teologis menjadi bagian dari wacana intelektual di
Baghdad, Basrah, dan Kufah, di mana ulama Sunni melibatkan diri dalam
perdebatan dengan kelompok-kelompok lain.
Pada masa berikutnya, Ilmu Kalam Sunni semakin
terstruktur dengan pengaruh dari tradisi filsafat Islam yang diperkenalkan oleh
tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun, ulama seperti Al-Ghazali
dalam Tahafut
al-Falasifah menyeimbangkan kembali pemikiran kalam dengan
mengkritisi aspek-aspek tertentu dari filsafat yang dianggap bertentangan
dengan syariat.5
Catatan Kaki
[1]
Montgomery Watt, Islamic
Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1985), 45-46.
[2]
Richard C. Martin, Defenders
of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology (Oxford:
Oneworld Publications, 1997), 12-14.
[3]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah
'an Usul al-Diyanah (Cairo: Maktabah al-Islamiyyah, 1967), 21-23.
[4]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab
al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970),
34-36.
[5]
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1966),
43-45.
3.
Prinsip-Prinsip
Dasar Ilmu Kalam Sunni
3.1. Konsep Tauhid
Tauhid merupakan inti dari Ilmu Kalam Sunni dan
menjadi fondasi utama akidah Islam. Dalam tradisi Sunni, Tauhid mencakup tiga
aspek utama:
1)
Tauhid Rububiyah: Pengakuan
bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam
semesta.
2)
Tauhid Uluhiyah: Keyakinan
bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
3)
Tauhid Asma wa Sifat: Penegasan
bahwa sifat-sifat Allah sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan
Hadis, tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih) atau meniadakan
sifat-Nya (ta’thil).2
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari menjelaskan bahwa
sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qudrah, dan hayat, adalah sifat yang melekat
pada Zat-Nya dan tidak menyerupai sifat makhluk-Nya. Hal ini ditegaskan dalam Al-Ibanah,
"Allah memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
namun tanpa penyerupaan dan tanpa mempertanyakan bagaimana sifat-sifat
tersebut."2
3.2. Kedudukan Wahyu dan Akal
Ilmu Kalam Sunni menegaskan bahwa wahyu (naqli)
adalah sumber utama dalam memahami akidah, sementara akal (aqli) berfungsi
sebagai alat untuk menganalisis dan memahami wahyu. Peran akal tidak boleh
melampaui batas-batas wahyu. Imam al-Maturidi, dalam Kitab al-Tawhid,
menekankan bahwa akal diperlukan untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah di
alam semesta dan untuk membedakan kebenaran dari kesalahan, tetapi akal tidak
dapat bertentangan dengan wahyu yang jelas.3
Dalam konteks ini, Ilmu Kalam Sunni bersikap
moderat, menolak ekstremitas rasionalisme seperti yang dianut Mu’tazilah, serta
menolak sikap tekstualis yang mengabaikan peran akal. Konsep ini memberikan
keseimbangan antara iman dan rasio, sehingga akidah Islam dapat dijelaskan
secara logis tanpa menyimpang dari syariat.4
3.3. Pandangan tentang Qadha dan Qadar
Masalah takdir (qadha dan qadar) menjadi salah satu
perdebatan utama dalam Ilmu Kalam. Dalam tradisi Sunni, konsep takdir mencakup
dua prinsip utama:
1)
Kehendak Mutlak Allah: Semua yang
terjadi di alam semesta berada dalam kekuasaan dan kehendak Allah.
2)
Tanggung Jawab Manusia: Manusia diberikan kebebasan untuk memilih, namun kebebasan tersebut
berada dalam lingkup kehendak Allah.
Imam al-Asy’ari menegaskan, "Manusia
memiliki ikhtiar dalam perbuatannya, tetapi ikhtiar tersebut berada dalam ilmu
dan kehendak Allah yang telah ditetapkan sebelumnya."5 Hal
ini menciptakan keseimbangan antara konsep Jabariyah, yang menyatakan manusia
tidak memiliki kehendak bebas, dan Qadariyah, yang menganggap manusia
sepenuhnya bebas tanpa campur tangan Allah.
3.4. Prinsip Moderasi dalam Akidah
Ilmu Kalam Sunni selalu menekankan moderasi (wasatiyyah)
dalam pembahasan akidah. Hal ini tercermin dalam prinsip menolak takwil ekstrem
terhadap sifat-sifat Allah dan menjaga keseimbangan antara teks wahyu dan
rasio. Moderasi ini menjadikan Ilmu Kalam Sunni relevan dalam berbagai konteks,
baik tradisional maupun kontemporer.6
Catatan Kaki
[1]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Franz Rosenthal (New York:
Princeton University Press, 1967), 464-466.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (Cairo:
Maktabah al-Islamiyyah, 1967), 12-14.
[3]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 43-45.
[4]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), 92-95.
[5]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 81-83.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1971), 156-158.
4.
Metode
Ilmu Kalam Sunni
4.1. Pendekatan Rasional dalam Islam Sunni
Ilmu Kalam Sunni menggunakan pendekatan rasional (aqli)
yang tetap berlandaskan pada wahyu (naqli). Metode ini dikembangkan
untuk menjelaskan akidah Islam secara logis, menghadapi tantangan dari
aliran-aliran teologis lain, dan menyelaraskan antara keimanan dan
intelektualitas.
Imam al-Asy’ari menegaskan bahwa akal adalah alat
yang diberikan Allah untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya dan mendukung
kebenaran wahyu. Dalam Al-Ibanah, beliau menulis bahwa wahyu harus
selalu menjadi landasan utama, sedangkan akal berfungsi untuk memperjelas dan
memperkuat pemahaman umat terhadap wahyu.1
Contohnya, dalam menjelaskan sifat-sifat Allah,
Ilmu Kalam Sunni menolak pendekatan literal yang dapat menyerupai Allah dengan
makhluk-Nya (tasybih) dan menghindari pengingkaran sifat-sifat tersebut
(ta’thil). Sebaliknya, pendekatan rasional digunakan untuk menjelaskan
sifat-sifat Allah dengan tetap menjaga keagungan-Nya tanpa melibatkan analogi
fisik.2
4.2. Penggunaan Dalil Naqli dan Aqli
Metode Ilmu Kalam Sunni menyeimbangkan antara dalil
naqli (wahyu) dan aqli (akal).
·
Dalil Naqli:
Ilmu Kalam
Sunni menempatkan Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber utama kebenaran. Wahyu
menjadi fondasi akidah dan kerangka untuk memahami sifat-sifat Allah, konsep
tauhid, dan qadha-qadar.
·
Dalil Aqli:
Akal
digunakan untuk mendukung penafsiran wahyu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
filosofis yang tidak secara eksplisit dibahas dalam teks suci.
Imam al-Maturidi menyatakan bahwa akal dapat
membuktikan eksistensi Allah melalui pengamatan terhadap alam semesta. Dalam Kitab
al-Tawhid, ia menyebutkan, “Keberadaan makhluk menunjukkan adanya Sang
Pencipta, dan sifat keteraturan di alam semesta menjadi dalil atas
kebijaksanaan-Nya.”3
Metode ini memungkinkan umat Islam untuk menghadapi
pemikiran asing, seperti filsafat Yunani dan skeptisisme, tanpa mengabaikan
nilai-nilai inti Islam.4
4.3. Penolakan terhadap Ekstremitas
Ilmu Kalam Sunni mengambil posisi moderat dalam
menghadapi aliran-aliran teologi yang ekstrem:
·
Mu’tazilah:
Sunni
menolak rasionalisme ekstrem Mu’tazilah yang menempatkan akal di atas wahyu.
Imam al-Asy’ari menyebutkan bahwa rasionalisme semacam ini dapat mengabaikan
aspek keghaiban yang tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal manusia.5
·
Khawarij dan Syiah:
Ilmu Kalam
Sunni juga menolak pendekatan literal Khawarij dan penafsiran subjektif Syiah
yang berpotensi menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam.
Metode Sunni berusaha menjembatani perbedaan ini
dengan menunjukkan bahwa akidah Islam harus berdasarkan teks wahyu yang jelas,
disertai penjelasan rasional yang dapat diterima oleh akal sehat.6
4.4. Prinsip Moderasi dalam Metode
Metode Ilmu Kalam Sunni selalu menekankan prinsip
moderasi (wasatiyyah). Pendekatan ini memastikan bahwa diskursus
teologis tetap dalam kerangka yang tidak berlebihan atau terlalu kaku.
Al-Ghazali, dalam Ihya Ulum al-Din, menjelaskan pentingnya menjaga
harmoni antara iman dan nalar. Ia menulis, “Iman tanpa rasionalitas dapat
membawa kebodohan, sementara rasionalitas tanpa iman dapat membawa kesombongan.”7
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (Cairo:
Maktabah al-Islamiyyah, 1967), 27-29.
[2]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), 73-75.
[3]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 52-54.
[4]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 67-69.
[5]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 82-83.
[6]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1966), 43-45.
[7]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1971), 161-163.
5.
Perbedaan
Antara Sunni dan Aliran Lain dalam Ilmu Kalam
5.1. Tauhid: Penekanan pada Sifat-Sifat Allah
Dalam tradisi Ilmu Kalam Sunni, tauhid mencakup
konsep sifat-sifat Allah yang dibahas secara mendalam tanpa menyerupakannya
dengan makhluk (tasybih) atau meniadakannya (ta’thil). Sunni menolak pandangan
Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Allah untuk menjaga keesaan-Nya secara
mutlak. Mu’tazilah berpendapat bahwa menegaskan sifat-sifat Allah berarti
mengakui keberadaan "entitas" lain di samping Allah, yang
mereka anggap berlawanan dengan tauhid.1
Sebaliknya, Sunni menegaskan bahwa sifat-sifat
Allah tidak terpisah dari Zat-Nya. Imam al-Asy’ari menjelaskan dalam Al-Ibanah,
“Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan-Nya tanpa
menyerupai sifat makhluk.”2 Selain itu, Ilmu Kalam Sunni juga
menolak pendekatan literal Khawarij terhadap ayat-ayat mutasyabihat, seperti
ayat tentang "tangan Allah" (yadullah), dengan
memberikan penafsiran yang sesuai dengan prinsip tanpa bagaimana (bila
kayf).
5.2. Qadha dan Qadar: Keseimbangan Kehendak Allah dan
Ikhtiar Manusia
Dalam isu takdir (qadha dan qadar), Ilmu Kalam
Sunni mengadopsi pandangan moderat yang berbeda dari Mu’tazilah dan Jabariyah.
·
Mu’tazilah:
Mengajarkan
bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan perbuatannya (free
will). Mereka menafikan intervensi Allah dalam perbuatan manusia agar tidak
dianggap menzalimi manusia.3
·
Jabariyah:
Sebaliknya,
Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas sama sekali,
dan seluruh perbuatan manusia adalah hasil dari kehendak mutlak Allah.4
Sunni, melalui pendekatan al-Asy’ari dan
al-Maturidi, menekankan bahwa manusia memiliki ikhtiar dalam batas kehendak
Allah. Al-Maturidi menjelaskan bahwa kebebasan manusia adalah "kemampuan
yang dianugerahkan oleh Allah untuk memilih perbuatan, tetapi pilihan tersebut
tetap berada dalam cakupan ilmu dan kehendak Allah."5
5.3. Metode Rasional: Moderasi antara Akal dan Wahyu
Ilmu Kalam Sunni mengambil jalan tengah antara
rasionalisme Mu’tazilah dan tekstualisme kelompok literal seperti Khawarij.
·
Mu’tazilah:
Kelompok ini
cenderung menempatkan akal di atas wahyu. Sebagai contoh, mereka menolak konsep
azab kubur karena dianggap tidak dapat dibuktikan secara rasional.6
·
Khawarij:
Sebaliknya,
Khawarij sering kali mengabaikan akal dan hanya memahami teks secara literal.
Hal ini menyebabkan mereka mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan,
seperti dalam kasus penafsiran ayat-ayat tentang dosa besar.7
Sunni menyeimbangkan keduanya dengan menjadikan
wahyu sebagai sumber utama, tetapi tetap memberikan tempat bagi akal untuk
menjelaskan dan mendukung kebenaran wahyu. Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah menyatakan, “Akal adalah karunia Allah yang membantu
manusia memahami wahyu, tetapi wahyu tetaplah otoritas tertinggi dalam akidah.”8
5.4. Perbedaan dalam Implikasi Praktis
Perbedaan dalam teologi memiliki implikasi praktis
terhadap kehidupan beragama:
·
Mu’tazilah:
Menekankan
keadilan Allah yang mutlak, sehingga mereka menganggap pelaku dosa besar berada
di posisi antara iman dan kafir (manzilah bayna manzilatayn).9
·
Sunni:
Berbeda
dengan Mu’tazilah, Sunni berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap dianggap
sebagai Muslim tetapi berada dalam ancaman azab kecuali bertaubat. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi, "Barang siapa yang mengucapkan La ilaha
illallah, ia tidak akan kekal di neraka."10
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), 73-75.
[2]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (Cairo:
Maktabah al-Islamiyyah, 1967), 19-21.
[3]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 45-47.
[4]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 34-36.
[5]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 51-53.
[6]
Al-Juwayni, Al-Irshad ila Qawati al-Adillah fi Usul al-I’tiqad
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 29-30.
[7]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, 1988),
7:241-242.
[8]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1966), 42-44.
[9]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), 78-80.
[10]
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Tauhid, no. 7510.
6.
Relevansi
Ilmu Kalam Sunni di Era Modern
6.1. Tantangan Akidah di Era Kontemporer
Di era modern, umat Islam menghadapi tantangan baru
yang berbeda dari era klasik. Sekularisme, materialisme, ateisme, dan
pluralisme agama merupakan beberapa isu kontemporer yang dapat menggoyahkan
keyakinan umat jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat.
·
Sekularisme:
Pemisahan
agama dari kehidupan publik menantang konsep Islam sebagai agama yang
menyeluruh.
·
Ateisme dan Materialisme:
Penolakan
terhadap keberadaan Tuhan dan pengutamaan materi menjadi tantangan besar bagi
umat Islam, terutama di kalangan generasi muda.1
·
Pluralisme Agama:
Gagasan
bahwa semua agama sama-sama benar memunculkan kebingungan di kalangan umat
Islam dalam memahami konsep kebenaran Islam.2
Ilmu Kalam Sunni, dengan pendekatan rasional yang
tetap berlandaskan wahyu, dapat menjawab isu-isu ini dengan memberikan argumen
logis yang sesuai dengan konteks modern. Misalnya, dalam menghadapi ateisme,
Ilmu Kalam menawarkan argumen tentang keberadaan Allah melalui pengamatan terhadap
alam semesta dan keteraturan yang menunjukkan adanya Sang Pencipta.3
6.2. Peran Ilmu Kalam dalam Membendung Pemikiran Asing
Ilmu Kalam Sunni memiliki peran penting dalam
membendung pengaruh pemikiran asing yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam.
·
Menjawab Skeptisisme Modern:
Ilmu Kalam
Sunni dapat memberikan argumen rasional terhadap isu-isu seperti eksistensi
Allah, kebangkitan setelah kematian, dan keadilan ilahi, yang sering
dipertanyakan oleh skeptisisme modern.
·
Menghadapi Relativisme Moral:
Relativisme
moral yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran mutlak dapat dihadapi dengan
argumen Ilmu Kalam yang menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber moralitas
yang universal.4
Imam al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah,
memberikan contoh bagaimana pendekatan teologis dapat mengatasi pemikiran
filsafat yang bertentangan dengan prinsip Islam. Beliau menekankan bahwa
argumen teologis harus berbasis pada wahyu yang didukung oleh akal untuk
menjawab pemikiran yang menyimpang.5
6.3. Membangun Akidah yang Kokoh di Kalangan Umat Islam
Ilmu Kalam Sunni memiliki relevansi besar dalam
membangun akidah yang kokoh di kalangan umat Islam, khususnya generasi muda
yang terpapar berbagai ideologi modern.
·
Penguatan Identitas Keislaman:
Ilmu Kalam
membantu umat memahami akidah mereka secara rasional, sehingga mereka mampu
mempertahankan identitas keislaman di tengah pengaruh globalisasi.
·
Dialog Antaragama:
Dengan
memahami prinsip-prinsip akidah secara mendalam, Ilmu Kalam Sunni dapat digunakan
sebagai alat untuk berdialog dengan pemeluk agama lain tanpa kehilangan prinsip
keimanan Islam.6
Imam al-Maturidi, dalam Kitab al-Tawhid,
menekankan pentingnya memahami akidah dengan baik agar umat Islam tidak mudah
terpengaruh oleh pandangan-pandangan yang keliru. Beliau menulis, “Kekuatan
keyakinan seseorang tidak hanya bergantung pada keimanan yang diwariskan,
tetapi juga pada pemahaman yang diperoleh melalui penalaran.”7
6.4. Kontribusi terhadap Sains dan Filsafat
Pendekatan rasional Ilmu Kalam Sunni juga relevan
dalam menghubungkan keimanan Islam dengan perkembangan sains dan filsafat
modern. Ilmu Kalam Sunni menawarkan model epistemologi yang mengintegrasikan
antara wahyu dan akal, sehingga umat Islam dapat berkontribusi dalam ilmu
pengetahuan tanpa kehilangan identitas keislaman mereka.
Sebagai contoh, argumen kosmologis tentang
keberadaan Allah yang dikembangkan oleh ulama seperti Al-Farabi dan Ibn Sina,
meskipun bukan bagian langsung dari tradisi Sunni, dapat diintegrasikan dengan
Ilmu Kalam Sunni untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antara Tuhan dan
alam semesta yang relevan dengan diskusi sains modern.8
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), 85-87.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago:
ABC International Group, 2001), 112-115.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ed. Abd al-Halim Mahmud (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1971), 143-145.
[4]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 88-90.
[5]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1966), 49-51.
[6]
Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 74-76.
[7]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 34-37.
[8]
Ibrahim Kalin, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 97-99.
7.
Penutup
Ilmu Kalam Sunni adalah sebuah disiplin keilmuan
yang memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian akidah Islam. Dalam
sejarahnya, Ilmu Kalam Sunni berhasil mengukuhkan prinsip-prinsip teologis yang
sejalan dengan wahyu dan akal, menjawab tantangan teologis dari berbagai
aliran, dan memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan keimanan yang muncul
di berbagai zaman.
7.1. Kesimpulan Utama
1)
Ilmu Kalam Sunni sebagai Pelindung Akidah
Ilmu Kalam
Sunni lahir dari kebutuhan untuk menjelaskan dan membela keyakinan Islam dari
pengaruh eksternal dan internal. Sebagai contoh, kontribusi Imam al-Asy’ari dan
al-Maturidi telah membangun landasan yang kuat bagi umat Islam untuk memahami
konsep tauhid, sifat-sifat Allah, qadha dan qadar, serta hubungan antara wahyu
dan akal.1
2)
Moderasi sebagai Ciri Utama
Ilmu Kalam
Sunni menunjukkan pendekatan moderat (wasatiyyah), menghindari
ekstremitas rasionalisme Mu’tazilah dan literalitas Khawarij. Moderasi ini
memberikan dasar bagi umat Islam untuk menjawab persoalan akidah dengan bijak
dan relevan.2
3)
Relevansi di Era Modern
Dalam
konteks modern, Ilmu Kalam Sunni memiliki potensi besar untuk membangun akidah
yang kokoh di tengah tantangan globalisasi, sekularisme, dan pluralisme. Pendekatan
rasional yang berpijak pada wahyu memberikan umat Islam kemampuan untuk
berdialog dengan pemikiran kontemporer tanpa kehilangan prinsip dasar keimanan
mereka.3
7.2. Rekomendasi
Untuk menjaga relevansi Ilmu Kalam Sunni dalam
kehidupan umat Islam, ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan:
1)
Peningkatan Literasi Akidah
Umat Islam,
khususnya generasi muda, perlu didorong untuk mempelajari akidah melalui
tradisi Ilmu Kalam Sunni. Buku-buku seperti Kitab al-Tawhid oleh Imam
al-Maturidi dan Al-Ibanah oleh Imam al-Asy’ari adalah referensi utama
yang dapat digunakan.4
2)
Integrasi dengan Pendidikan Modern
Kurikulum
pendidikan Islam dapat mengintegrasikan Ilmu Kalam dengan kajian sains dan
filsafat modern, sehingga memberikan perspektif yang luas kepada umat Islam
dalam menghadapi tantangan intelektual kontemporer.5
3)
Penguatan Dialog Antaragama
Ilmu Kalam
Sunni dapat menjadi landasan dalam membangun dialog antaragama yang inklusif
dan produktif, dengan tetap menegaskan prinsip-prinsip akidah Islam. Pendekatan
ini membantu umat Islam untuk berkontribusi dalam menciptakan harmoni sosial di
tengah masyarakat plural.6
7.3. Penutup Inspiratif
Ilmu Kalam Sunni adalah warisan intelektual yang
berharga, bukan hanya untuk melestarikan akidah Islam, tetapi juga untuk
membangun jembatan antara iman dan akal. Seperti yang ditegaskan oleh
Al-Ghazali, "Ilmu Kalam tidak hanya menjaga keyakinan umat, tetapi juga
menjadi alat untuk mengarahkan akal kepada keagungan Allah dan kebenaran
ajaran-Nya."7 Dengan memahami dan mengamalkan
prinsip-prinsip Ilmu Kalam Sunni, umat Islam dapat terus mengukuhkan keimanan
mereka sekaligus menghadapi berbagai tantangan zaman dengan kebijaksanaan.
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Al-Ibanah 'an Usul al-Diyanah (Cairo:
Maktabah al-Islamiyyah, 1967), 19-21.
[2]
Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tawhid, ed. Fathallah Kholeif
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 41-43.
[3]
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), 92-94.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago:
ABC International Group, 2001), 112-115.
[5]
Ibrahim Kalin, Islamic Science and the Making of the European
Renaissance (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 97-99.
[6]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism and
Rational Theology (Oxford: Oneworld Publications, 1997), 88-90.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1966), 42-44.
Daftar Pustaka (APA Style)
Al-Asy’ari, A. H. (1967). Al-Ibanah
'an Usul al-Diyanah. Cairo: Maktabah al-Islamiyyah.
Al-Ghazali. (1966). Tahafut
al-Falasifah (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma'arif.
Al-Ghazali. (1971). Ihya
Ulum al-Din (A. H. Mahmud, Ed.). Cairo: Dar al-Ma'arif.
Al-Juwayni, I. A. (1992). Al-Irshad
ila Qawati al-Adillah fi Usul al-I’tiqad. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah.
Harun Nasution. (1972). Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI
Press.
Harun Nasution. (1995). Islam
Rasional. Bandung: Mizan.
Ibn Kathir. (1988). Al-Bidayah
wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah
(F. Rosenthal, Trans.). New York: Princeton University Press.
Kalin, I. (2010). Islamic
Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge:
Cambridge University Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders
of Reason in Islam: Mu'tazilism and Rational Theology. Oxford:
Oneworld Publications.
Montgomery Watt, W. (1985).
Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Nasr, S. H. (2001). Islam
and the Plight of Modern Man. Chicago: ABC International Group.
Maturidi, A. M. (1970). Kitab
al-Tawhid (F. Kholeif, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Bukhari, M. I. (n.d.). Sahih
al-Bukhari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar