Kamis, 26 Desember 2024

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah: Sejarah, Doktrin, dan Perannya dalam Perkembangan Islam

 Kajian Komprehensif tentang Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah)


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

“Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah: Sejarah, Doktrin, dan Perannya dalam Perkembangan Islam”


1.           Pendahuluan

Syiah merupakan salah satu cabang utama dalam Islam yang memiliki sejarah panjang, kompleks, dan sering kali kontroversial. Secara etimologis, istilah "Syiah" berasal dari kata Arab syi‘ah, yang berarti kelompok atau pengikut setia, dan merujuk kepada kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib sebagai penerus kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.¹ Di antara berbagai cabang Syiah, Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Dua Belas Imam) adalah yang terbesar, dengan mayoritas pengikutnya tersebar di Iran, Irak, Lebanon, dan negara-negara lain.²

Syiah Imamiyah dikenal karena doktrin Imamah-nya yang unik, yaitu keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam harus berada di tangan para Imam yang ditunjuk secara ilahi dari keturunan Ali dan Fatimah, putri Nabi Muhammad Saw.³ Doktrin ini menjadi salah satu pembeda utama antara Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang mengakui legitimasi khilafah berdasarkan pemilihan oleh umat. Selain itu, Syiah Imamiyah memiliki tradisi intelektual dan spiritual yang kaya, dengan kontribusi signifikan dalam teologi, filsafat, dan hukum Islam.⁴

Memahami Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah tidak hanya penting dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam memahami dinamika umat Islam kontemporer. Sebagai salah satu mazhab yang memiliki pengaruh besar, terutama setelah berdirinya Republik Islam Iran pada tahun 1979, Syiah Imamiyah sering menjadi fokus perhatian dalam diskusi akademik, politik, dan sosial.⁵ Dalam pembahasan ini, pendekatan akademis dan objektif digunakan untuk menggambarkan sejarah, doktrin, dan peran Syiah Imamiyah dalam perkembangan Islam, sehingga pembaca dapat memahami tradisi ini dengan lebih mendalam tanpa prasangka.⁶

Sebagai salah satu tema yang sarat dengan dimensi teologis, historis, dan politik, pembahasan tentang Syiah Imamiyah membutuhkan keakuratan referensi dan kejujuran intelektual. Dengan menggunakan sumber-sumber klasik seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, serta studi-studi modern dari para akademisi baik dari kalangan Syiah maupun non-Syiah, tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi yang valid untuk memahami salah satu tradisi besar dalam Islam.⁷


Catatan Kaki

[1]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 11.

[2]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[3]              Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 4-5.

[4]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 43.

[5]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 18-22.

[6]              Reza Aslan, No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam (New York: Random House, 2005), 192.

[7]              Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986).


2.           Sejarah dan Latar Belakang

Sejarah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah bermula dari peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW pada tahun 632 M. Perdebatan terkait suksesi kepemimpinan umat Islam memunculkan dua pandangan utama: satu kelompok mendukung Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui mekanisme musyawarah (syura), sedangkan kelompok lainnya menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu Rasulullah, adalah figur yang ditunjuk secara langsung oleh Nabi Muhammad Saw.¹ Kelompok yang mendukung Ali kemudian dikenal sebagai Syiah (syi‘ah), yang berarti "pendukung" atau "pengikut."²

2.1.       Munculnya Syiah Imamiyah

Cabang Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah muncul sebagai pengembangan dari tradisi Syiah awal yang menganggap bahwa kepemimpinan umat Islam (Imamah) harus berada di tangan para Imam yang tidak hanya memiliki kualifikasi spiritual tetapi juga ditunjuk secara ilahi.³ Setelah pembunuhan Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M dan kekuasaan berpindah ke tangan Muawiyah bin Abi Sufyan, Syiah berkembang sebagai gerakan politik dan teologis yang semakin menonjol. Anak Ali, Hasan dan Husain, menjadi tokoh penting dalam perjuangan Syiah, khususnya melalui peristiwa tragis di Karbala pada tahun 680 M, di mana Husain dan keluarganya dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah.⁴

2.2.       Perkembangan Doktrin Imamiyah

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah mendapatkan identitasnya secara lebih formal setelah pengikut Syiah mengakui serangkaian dua belas Imam sebagai pemimpin spiritual. Imam pertama adalah Ali bin Abi Thalib, diikuti oleh Hasan dan Husain, dan berlanjut hingga Imam keduabelas, Muhammad al-Mahdi, yang diyakini memasuki masa ghaibah (ketersembunyian) pada tahun 874 M.⁵ Masa ghaibah ini dibagi menjadi dua tahap: Ghaibah Sughra (kecil), di mana komunikasi dengan Imam masih dimungkinkan melalui para wakil khusus (nuwab), dan Ghaibah Kubra (besar), yang berlangsung hingga saat ini.⁶

2.3.       Pengaruh Sejarah dan Politik

Syiah Imamiyah memainkan peran signifikan dalam sejarah politik Islam, terutama setelah berdirinya Dinasti Safawiyah di Persia pada abad ke-16, yang menjadikan Syiah Imamiyah sebagai mazhab resmi negara. Dinasti Safawiyah tidak hanya memperkuat doktrin Syiah di wilayah kekuasaannya tetapi juga menciptakan lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung pengembangan tradisi intelektual dan spiritual Syiah.⁷

Meskipun sering menghadapi diskriminasi dan represi, terutama di bawah kekuasaan Sunni, Syiah Imamiyah berhasil mempertahankan keberadaannya melalui jaringan ulama dan institusi pendidikan. Pada abad ke-20, kebangkitan Syiah semakin menonjol dengan Revolusi Iran tahun 1979, yang memberikan Syiah Imamiyah posisi sentral dalam geopolitik Islam modern.⁸


Catatan Kaki

[1]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1-3.

[2]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 11.

[3]              Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 6-7.

[4]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[5]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 59-62.

[6]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 43-45.

[7]              Roger Savory, Iran Under the Safavids (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 54-56.

[8]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 18-22.


3.           Konsep Kepemimpinan dan Imamah

Konsep Imamah merupakan doktrin sentral dalam ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Secara literal, Imamah berarti kepemimpinan atau otoritas, tetapi dalam teologi Syiah, istilah ini memiliki makna khusus sebagai kepemimpinan spiritual dan politik umat Islam yang ditunjuk oleh Allah Swt melalui Nabi Muhammad Saw.¹ Keyakinan ini membedakan Syiah Imamiyah dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang melihat kepemimpinan sebagai hasil dari musyawarah umat (syura).²

3.1.       Kepemimpinan yang Ditunjuk secara Ilahi

Dalam doktrin Syiah Imamiyah, para Imam adalah penerus langsung Nabi Muhammad Saw, bukan hanya dalam peran politik tetapi juga sebagai penjaga dan penafsir otoritatif wahyu.³ Mereka dianggap memiliki sifat-sifat istimewa seperti ismah (terjaga dari dosa dan kesalahan) dan ilmu laduni (pengetahuan ilahi yang diberikan langsung oleh Allah).⁴ Keyakinan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh berbagai sumber, salah satunya adalah Hadis Ghadir Khum, di mana Nabi Muhammad Saw diduga menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya dengan mengatakan, "Barang siapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya."⁵

3.2.       Dua Belas Imam (Itsna Asyar)

Syiah Imamiyah dikenal sebagai Itsna Asyariyah karena mengakui dua belas Imam yang dianggap sebagai penerus legitimasi Nabi Muhammad Saw. Para Imam ini adalah:

1)                  Ali bin Abi Thalib

2)                  Hasan bin Ali

3)                  Husain bin Ali

4)                  Ali Zainal Abidin

5)                  Muhammad al-Baqir

6)                  Ja‘far al-Shadiq

7)                  Musa al-Kazim

8)                  Ali al-Ridha

9)                  Muhammad al-Taqi

10)              Ali al-Naqi

11)              Hasan al-Askari

12)              Muhammad al-Mahdi

Imam terakhir, Muhammad al-Mahdi, diyakini oleh Syiah Imamiyah sedang berada dalam masa ghaibah (ketersembunyian) dan akan muncul kembali sebagai al-Qaim untuk menegakkan keadilan di akhir zaman.⁶

3.3.       Peran Imam dalam Teologi dan Kehidupan Umat

Para Imam tidak hanya memegang otoritas politik tetapi juga otoritas spiritual dan keilmuan. Mereka dianggap sebagai satu-satunya figur yang mampu memberikan penafsiran yang benar terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.⁷ Dalam tradisi Syiah, Imam juga menjadi perantara antara Allah dan manusia dalam hal bimbingan spiritual dan doa.⁸

Peran Imam dalam kehidupan umat sangat erat dengan konsep wilayah (otoritas) yang menjelaskan hubungan antara Imam dan komunitas Syiah. Konsep ini diperkuat oleh berbagai hadis dan ayat Al-Qur'an yang, menurut tafsir Syiah, mendukung otoritas khusus para Imam.⁹ Misalnya, ayat 5:55 yang berbunyi, "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan rukuk," sering ditafsirkan oleh ulama Syiah sebagai rujukan kepada Ali bin Abi Thalib.¹⁰

3.4.       Imam Ghaib: Al-Mahdi

Konsep Imam ghaib adalah doktrin unik dalam Syiah Imamiyah. Muhammad al-Mahdi, Imam kedua belas, diyakini memasuki masa Ghaibah Sughra pada tahun 874 M dan kemudian Ghaibah Kubra pada tahun 941 M. Selama Ghaibah Sughra, Imam berkomunikasi dengan umat melalui wakil-wakil khusus (nuwab), tetapi setelah memasuki Ghaibah Kubra, hubungan langsung dengan Imam dianggap terputus hingga ia muncul kembali sebagai Al-Mahdi.¹¹ Doktrin ini menjadi penggerak utama eskatologi Syiah dan memberikan harapan kepada pengikutnya untuk keadilan universal di masa depan.¹²


Catatan Kaki

[1]              Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 6.

[2]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 135.

[3]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 43.

[4]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 40-42.

[5]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 18.

[6]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 33.

[7]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[8]              Henry Corbin, The Man of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994), 90.

[9]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 139.

[10]          Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986), 207-208.

[11]          Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest, 59-62.

[12]          S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 222.


4.           Aqidah dan Praktik Keagamaan

Aqidah dan praktik keagamaan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dibangun di atas fondasi keyakinan teologis yang kokoh serta tradisi ibadah yang unik. Aqidah mereka, yang dikenal sebagai Ushul al-Din (prinsip-prinsip agama), meliputi lima doktrin utama. Praktik keagamaan mereka, meskipun memiliki banyak kesamaan dengan tradisi Sunni, juga memperlihatkan perbedaan yang mencolok dalam aspek ritual dan hukum.

4.1.       Lima Prinsip Aqidah (Ushul al-Din)

1)                  Tauhid (Keimanan kepada Allah)

Tauhid menjadi inti ajaran Syiah Imamiyah, yang menegaskan keesaan Allah Swt. Mereka menolak segala bentuk antropomorfisme dalam memahami sifat Allah, menegaskan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dalam bentuk apa pun.¹

2)                  'Adl (Keadilan Ilahi)

Konsep keadilan ilahi (‘adl) adalah doktrin penting dalam Syiah Imamiyah. Mereka percaya bahwa Allah adalah Maha Adil dan tidak mungkin melakukan ketidakadilan atau tindakan yang bertentangan dengan hikmah-Nya.² Prinsip ini juga menjadi dasar untuk memahami tanggung jawab manusia atas amal perbuatannya.³

3)                  Nubuwah (Kenabian)

Syiah meyakini bahwa Allah mengutus para nabi sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada manusia. Nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi (khatam al-anbiya’), dan ajarannya dianggap sebagai pedoman utama umat manusia.⁴

4)                  Imamah (Keimamahan)

Keimanan kepada para Imam adalah doktrin unik Syiah. Mereka meyakini bahwa para Imam adalah penerus Nabi Muhammad Saw yang ditunjuk secara ilahi untuk memimpin umat baik dalam urusan spiritual maupun duniawi.⁵

5)                  Ma‘ad (Hari Kebangkitan)

Syiah Imamiyah percaya pada kebangkitan di akhirat, di mana seluruh manusia akan dihisab berdasarkan amal perbuatannya. Hari kiamat menjadi momen penegakan keadilan Allah secara mutlak.⁶

4.2.       Praktik Keagamaan

1)                  Salat

Salat dalam Syiah Imamiyah memiliki kesamaan mendasar dengan Sunni, tetapi terdapat beberapa perbedaan teknis, seperti penggabungan salat Zuhur dengan Asar dan Magrib dengan Isya. Syiah juga meletakkan turbah (tanah dari Karbala) di tempat sujud sebagai bentuk penghormatan kepada Husain bin Ali.⁷

2)                  Puasa

Puasa Ramadan dijalankan dengan aturan yang sama seperti Sunni, namun dalam tradisi Syiah, awal dan akhir Ramadan seringkali ditentukan berdasarkan penampakan bulan yang terpisah dari otoritas Sunni.⁸

3)                  Zakat dan Khumus

Selain zakat, Syiah Imamiyah juga mewajibkan khumus, yaitu seperlima dari penghasilan tertentu, yang diberikan kepada ulama sebagai wakil Imam ghaib.⁹

4)                  Haji

Pelaksanaan ibadah haji dalam Syiah mengikuti rukun Islam, tetapi mereka memberikan perhatian khusus pada peristiwa sejarah yang terjadi di lokasi-lokasi tertentu, seperti penghormatan kepada makam Fatimah di Baqi'.¹⁰

5)                  Peringatan Asyura

Salah satu tradisi khas Syiah Imamiyah adalah peringatan Asyura, yang mengenang kesyahidan Imam Husain di Karbala. Tradisi ini melibatkan doa, majelis duka (majalis al-aza’), dan ritual simbolis seperti latm (memukul dada).¹¹

4.3.       Konsep Taqiyah

Konsep taqiyah (menyembunyikan keyakinan demi keselamatan) juga merupakan bagian dari doktrin Syiah Imamiyah. Konsep ini sering digunakan dalam situasi di mana pengikut Syiah menghadapi ancaman terhadap kehidupan atau keyakinan mereka.¹²

4.4.       Peran Ulama dan Marja‘

Dalam kehidupan sehari-hari, ulama memiliki peran sentral sebagai penafsir hukum syariah dan pembimbing spiritual. Institusi marja‘ taqlid memberikan otoritas kepada ulama untuk mengeluarkan fatwa yang mengikat pengikutnya.¹³


Catatan Kaki

[1]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 32-33.

[2]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 290.

[3]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 176.

[4]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 50.

[5]              Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 6-7.

[6]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[7]              Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986), 320-321.

[8]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 195.

[9]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 12-13.

[10]          Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 141.

[11]          Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest, 62-64.

[12]          S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam, 221-223.

[13]          Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 177.


5.           Sumber-Sumber Referensi Keagamaan

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah memiliki tradisi keilmuan yang kaya dan didasarkan pada sejumlah referensi keagamaan yang otoritatif. Sumber-sumber ini mencakup Al-Qur'an, koleksi hadis-hadis Imamiyah, dan karya-karya ulama klasik maupun kontemporer. Sistem epistemologi Syiah bertumpu pada otoritas para Imam, yang diyakini sebagai penafsir otentik wahyu ilahi.

5.1.       Al-Qur'an dalam Perspektif Syiah Imamiyah

Seperti mazhab lainnya dalam Islam, Al-Qur'an menjadi sumber utama hukum dan teologi bagi Syiah Imamiyah. Namun, Syiah menekankan pentingnya penafsiran yang dilakukan oleh para Imam sebagai penjaga otoritas keilmuan wahyu.¹ Mereka berpendapat bahwa pemahaman mendalam tentang ayat-ayat Al-Qur'an hanya dapat dicapai melalui bimbingan para Imam yang memiliki ilmu laduni

Terkait susunan Al-Qur'an, sebagian ulama Syiah klasik pernah menyebut adanya perubahan kecil (tahrif), tetapi pandangan ini telah ditinggalkan oleh mayoritas ulama modern.³ Saat ini, Syiah Imamiyah menerima Al-Qur'an yang sama dengan yang digunakan oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah, namun dengan penekanan pada tafsir yang didasarkan pada ajaran para Imam.⁴

5.2.       Koleksi Hadis: Kutub al-Arba‘ah

Koleksi hadis-hadis Syiah Imamiyah terangkum dalam empat kitab utama yang dikenal sebagai Kutub al-Arba‘ah (Empat Kitab), yaitu:

1)                  Al-Kafi oleh Al-Kulaini (w. 941 M)

2)                  Man La Yahdhuruhu al-Faqih oleh Ibn Babawayh (w. 991 M)

3)                  Tahdhib al-Ahkam oleh Al-Tusi (w. 1067 M)

4)                  Al-Istibsar oleh Al-Tusi (w. 1067 M)

Keempat kitab ini berisi hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, para Imam, dan para sahabat yang diakui oleh Syiah.⁵ Dalam tradisi Syiah, hadis-hadis ini menjadi rujukan utama dalam penetapan hukum (fiqh) dan doktrin teologis.⁶

5.3.       Tafsir Al-Qur'an

Syiah Imamiyah memiliki tradisi tafsir Al-Qur'an yang khas, yang dikenal dengan pendekatan ta’wil. Tafsir ini sering kali bersifat esoteris dan berusaha mengungkap makna-makna tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satu tafsir terkenal dalam tradisi Syiah adalah Tafsir al-Qummi karya Ali bin Ibrahim al-Qummi.⁷ Selain itu, Tafsir al-Mizan oleh Allama Muhammad Husain Tabatabai adalah contoh karya modern yang memberikan pendekatan filosofis terhadap Al-Qur'an.⁸

5.4.       Karya-Karya Ulama

Syiah Imamiyah memiliki sejumlah besar karya ulama yang menjadi referensi penting dalam bidang teologi, filsafat, dan hukum Islam. Beberapa di antaranya adalah:

·                     Nahj al-Balaghah, kumpulan pidato, surat, dan kata-kata mutiara Ali bin Abi Thalib, yang dihimpun oleh Al-Sharif al-Radhi.⁹

·                     Kitab al-Irshad karya Al-Mufid, yang menguraikan sejarah para Imam.¹⁰

·                     Bihar al-Anwar karya Allama Majlisi, yang merupakan ensiklopedia besar ajaran dan sejarah Syiah.¹¹

5.5.       Peran Ulama dalam Tradisi Keilmuan

Ulama Syiah memainkan peran penting sebagai penjaga tradisi dan penerus ajaran para Imam. Konsep ijtihad dalam Syiah memungkinkan ulama untuk memberikan interpretasi hukum yang relevan dengan konteks zaman.¹² Para ulama dengan otoritas tertinggi dikenal sebagai marja‘ taqlid, yang menjadi rujukan hukum bagi komunitas Syiah.¹³

5.6.       Validitas Sumber-Sumber Syiah dalam Perspektif Akademik

Para ulama dan akademisi non-Syiah juga mengakui kedalaman tradisi literatur Syiah. Meski demikian, interpretasi atas beberapa teks sering kali menjadi subjek perdebatan antarmazhab.¹⁴ Namun, pentingnya memahami sumber-sumber Syiah tidak dapat diabaikan dalam konteks studi Islam secara keseluruhan.


Catatan Kaki

[1]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 168.

[2]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 45.

[3]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 74.

[4]              Abdulaziz Abdulhussein Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: SUNY Press, 1981), 34.

[5]              Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986), xx.

[6]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[7]              Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi, ed. Tabrizi, vol. 1 (Tehran: Maktab al-Sadr, 1983).

[8]              Muhammad Husain Tabatabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1970), vol. 1.

[9]              Al-Sharif al-Radhi, Nahj al-Balaghah, ed. Muhammad Abduh (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1967).

[10]          Al-Mufid, Kitab al-Irshad (London: Muhammadi Trust, 1981).

[11]          Allama Majlisi, Bihar al-Anwar, ed. Dar al-Kutub al-Islamiyyah, vol. 1 (Tehran, 1983).

[12]          Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 84-85.

[13]          Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 183.

[14]          Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 22.


6.           Pandangan terhadap Aliran dan Mazhab Lain

Pandangan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah terhadap aliran dan mazhab lain dalam Islam diwarnai oleh hubungan sejarah, perbedaan teologis, dan upaya untuk menjembatani kesenjangan antarmazhab. Secara umum, pendekatan Syiah Imamiyah terhadap aliran lain mencerminkan keyakinan mereka terhadap doktrin Imamah, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas dalam konteks persatuan umat Islam.

6.1.       Pandangan terhadap Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Hubungan antara Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sering kali menjadi fokus utama dalam studi intermazhab. Perbedaan mendasar terletak pada konsep kepemimpinan pasca-Nabi Muhammad Saw, di mana Syiah Imamiyah menekankan otoritas Imam yang ditunjuk secara ilahi, sementara Sunni mendukung model pemilihan melalui syura

Meski ada perbedaan signifikan, Syiah dan Sunni berbagi banyak kesamaan dalam aspek fundamental Islam, seperti akidah tentang keesaan Allah, kewajiban salat, zakat, puasa, dan haji.² Ulama Syiah Imamiyah modern, seperti Ayatollah Khomeini, telah menyerukan persatuan umat Islam (wahdat al-ummah) sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme dan imperialisme yang memecah belah dunia Muslim.³

Namun, beberapa isu sektarian masih menjadi sumber ketegangan, terutama terkait penafsiran sejarah, seperti peristiwa Ghadir Khum dan tragedi Karbala.⁴ Di sisi lain, banyak ulama Syiah dan Sunni yang aktif dalam dialog antarmazhab untuk mencari titik temu, seperti melalui Dar al-Taqrib bayn al-Madhahib al-Islamiyyah (Lembaga Pendekatan Antarmazhab) di Mesir.⁵

6.2.       Pandangan terhadap Syiah Zaidiyah

Syiah Zaidiyah adalah salah satu cabang Syiah yang memiliki banyak persamaan dengan Sunni dalam aspek hukum dan doktrin. Syiah Imamiyah mengakui legitimasi para Imam Zaidiyah, tetapi menganggap doktrin Zaidiyah tentang Imamah kurang lengkap karena tidak menekankan sifat ilahi Imam sebagaimana dalam tradisi Imamiyah.⁶ Zaidiyah sendiri menerima Zaid bin Ali sebagai Imam yang sah, sementara Syiah Imamiyah menganggap Imam kelima adalah Muhammad al-Baqir, saudara Zaid.⁷

6.3.       Pandangan terhadap Syiah Ismailiyah

Hubungan antara Syiah Imamiyah dan Ismailiyah cukup kompleks. Kedua aliran sepakat pada otoritas para Imam hingga Imam keenam, Ja‘far al-Shadiq, tetapi berbeda dalam penerusnya. Ismailiyah mengakui Ismail bin Ja‘far sebagai Imam ketujuh, sedangkan Syiah Imamiyah menerima Musa al-Kazim.⁸

Syiah Imamiyah sering kali memandang ajaran Ismailiyah yang lebih esoteris sebagai penyimpangan dari tradisi utama Syiah.⁹ Meski demikian, tradisi intelektual Ismailiyah, seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, tetap dihormati dalam diskursus Islam yang lebih luas.¹⁰

6.4.       Dialog Sunni-Syiah

Upaya rekonsiliasi antara Syiah Imamiyah dan Sunni telah menjadi perhatian utama dalam beberapa dekade terakhir. Para pemimpin seperti Ayatollah Khamenei dan Sheikh Ahmad al-Tayyeb dari Al-Azhar telah menyerukan dialog untuk mengatasi kesalahpahaman dan mengurangi konflik sektarian.¹¹

Konferensi seperti Deklarasi Amman tahun 2004 menegaskan pengakuan terhadap Syiah Imamiyah sebagai salah satu mazhab Islam yang sah.¹² Meski demikian, tantangan dalam dialog ini tetap ada, terutama di wilayah yang memiliki sejarah panjang konflik sektarian, seperti Irak dan Suriah.

6.5.       Tantangan dan Harapan

Salah satu tantangan utama dalam hubungan antarmazhab adalah politisasi identitas keagamaan. Konflik di Timur Tengah sering kali memperuncing ketegangan antara Sunni dan Syiah, sehingga memperburuk kesalahpahaman teologis.¹³ Namun, ulama Syiah Imamiyah terus menekankan pentingnya pendekatan akademis dan dialog untuk membangun kesepahaman di antara berbagai mazhab dalam Islam.¹⁴

Harapan terbesar adalah terciptanya persatuan umat Islam melalui penguatan dialog dan saling menghormati, yang mencerminkan ajaran Al-Qur'an untuk hidup dalam harmoni meskipun ada perbedaan.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1-3.

[2]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 137.

[3]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 15-17.

[4]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 288.

[5]              Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and Restraint (Leiden: Brill, 2004), 42-43.

[6]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 189.

[7]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam, 226-228.

[8]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 77-78.

[9]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 62.

[10]          Farhad Daftary, The Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 55.

[11]          Ayatollah Khamenei, "The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic Unity Conference, Tehran, 2015.

[12]          Amman Message (Amman: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2004).

[13]          Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest, 83-85.

[14]          Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century, 123-125.

[15]          Al-Qur'an 49:13.


7.           Peran dalam Sejarah Islam

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah memiliki peran yang signifikan dalam sejarah Islam, baik dalam bidang politik, intelektual, maupun spiritual. Peran ini tidak hanya terbatas pada pembentukan doktrin keagamaan, tetapi juga mencakup kontribusi besar terhadap peradaban Islam secara keseluruhan. Dalam berbagai fase sejarah, komunitas Syiah Imamiyah menunjukkan kemampuan bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan sosial-politik.

7.1.       Masa Awal: Dari Tragedi Karbala hingga Masa Taqiyah

Peran Syiah Imamiyah dalam sejarah Islam dimulai dengan peristiwa tragis di Karbala pada tahun 680 M, di mana Imam Husain bin Ali dan keluarganya dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan.¹ Tragedi Karbala menjadi titik awal pembentukan identitas Syiah Imamiyah sebagai komunitas yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.²

Setelah peristiwa Karbala, komunitas Syiah menghadapi tekanan berat dari penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Para Imam menjalankan doktrin taqiyah (menyembunyikan keyakinan) untuk melindungi pengikut mereka dari penganiayaan.³ Meski dalam kondisi sulit, para Imam tetap berperan sebagai pembimbing spiritual dan intelektual bagi komunitas Syiah. Imam Ja‘far al-Shadiq, misalnya, dikenal sebagai pendiri mazhab fikih dan teologi yang berpengaruh.⁴

7.2.       Dinasti Safawiyah: Institusionalisasi Syiah

Puncak pengaruh politik Syiah Imamiyah terjadi pada abad ke-16 dengan berdirinya Dinasti Safawiyah di Persia. Syiah Imamiyah dijadikan sebagai mazhab resmi negara oleh Shah Ismail I, yang memanfaatkan ajaran Syiah untuk memperkuat legitimasi politiknya.⁵

Dinasti Safawiyah tidak hanya memperkuat doktrin Syiah Imamiyah tetapi juga mendirikan lembaga-lembaga keagamaan, seperti madrasah dan pusat studi keislaman. Lembaga ini memainkan peran penting dalam pengembangan tradisi intelektual Syiah, termasuk karya-karya filsafat dan tafsir Al-Qur'an.⁶ Periode Safawiyah juga ditandai dengan penyebaran ritual-ritual khas Syiah, seperti peringatan Asyura dan ziarah ke makam para Imam.⁷

7.3.       Era Modern: Revolusi Iran dan Pengaruh Global

Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 menjadi tonggak penting dalam sejarah Syiah Imamiyah. Di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini, konsep Wilayat al-Faqih (otoritas ulama) diterapkan untuk menggantikan sistem monarki.⁸ Revolusi ini memberikan dorongan besar bagi komunitas Syiah di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-hak politik dan kebebasan beragama.⁹

Iran pasca-revolusi menjadi pusat intelektual dan spiritual bagi Syiah Imamiyah, dengan pengaruh yang meluas ke Irak, Lebanon, dan negara-negara lain. Hizbullah di Lebanon, misalnya, adalah salah satu kelompok politik yang terinspirasi oleh Revolusi Iran.¹⁰

7.4.       Kontribusi dalam Bidang Intelektual

Syiah Imamiyah memiliki tradisi keilmuan yang kaya, dengan kontribusi besar dalam bidang teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Ulama-ulama seperti Al-Kulaini (Al-Kafi), Al-Tusi (Tahdhib al-Ahkam), dan Allama Tabatabai (Tafsir al-Mizan) menghasilkan karya-karya monumental yang menjadi rujukan penting dalam studi Islam.¹¹

Selain itu, pemikiran filsafat Islam seperti yang dikembangkan oleh Mulla Sadra juga berasal dari tradisi Syiah.¹² Pemikiran ini menjadi fondasi penting dalam diskursus filsafat Islam di dunia Muslim dan Barat.

7.5.       Tantangan Kontemporer

Meskipun memiliki pengaruh besar, komunitas Syiah Imamiyah menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam konteks konflik sektarian di Timur Tengah. Ketegangan politik sering kali memperuncing perbedaan teologis antara Syiah dan Sunni, yang dapat menghambat upaya persatuan umat Islam.¹³ Meski demikian, ulama dan pemimpin Syiah terus berupaya untuk memperkuat dialog antarmazhab dan mendorong kerja sama di tingkat global.¹⁴


Catatan Kaki

[1]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 172-174.

[2]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 48-49.

[3]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 45.

[4]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[5]              Roger Savory, Iran Under the Safavids (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 23-24.

[6]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam, 124-126.

[7]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 13-15.

[8]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 80-81.

[9]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 154-155.

[10]          Augustus Richard Norton, Hezbollah: A Short History (Princeton: Princeton University Press, 2007), 31-33.

[11]          Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986).

[12]          Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 1976), 122.

[13]          Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest, 123.

[14]          Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and Restraint (Leiden: Brill, 2004), 117-118.


8.           Tantangan dan Isu Kontemporer

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah menghadapi berbagai tantangan dalam konteks dunia modern, baik yang berasal dari dalam komunitas Syiah itu sendiri maupun dari interaksi dengan dunia Islam yang lebih luas. Tantangan ini mencakup isu politik, sektarianisme, dan modernitas, yang semuanya memengaruhi posisi Syiah Imamiyah dalam masyarakat global.

8.1.       Konflik Sektarian

Salah satu tantangan terbesar bagi Syiah Imamiyah adalah konflik sektarian dengan Sunni yang telah berlangsung selama berabad-abad. Ketegangan ini seringkali didasarkan pada perbedaan doktrinologis, seperti konsep Imamah dalam Syiah dan konsep Khilafah dalam Sunni.¹ Namun, konflik ini semakin diperburuk oleh kepentingan geopolitik di kawasan Timur Tengah, di mana negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi terlibat dalam persaingan pengaruh yang menggunakan perbedaan sektarian sebagai alat politik.²

Konflik sektarian ini tidak hanya merugikan hubungan antarmazhab tetapi juga memperburuk stabilitas politik di negara-negara seperti Irak, Suriah, dan Yaman, di mana kekerasan sektarian sering kali terjadi.³ Hal ini menciptakan tantangan besar bagi ulama dan pemimpin komunitas Syiah untuk membangun dialog yang konstruktif dengan Sunni dan mencegah manipulasi isu sektarian oleh aktor-aktor politik.⁴

8.2.       Modernitas dan Globalisasi

Komunitas Syiah Imamiyah juga menghadapi tantangan adaptasi dengan modernitas dan globalisasi. Seiring dengan meningkatnya konektivitas dunia, muncul pertanyaan-pertanyaan baru tentang relevansi ajaran tradisional dalam menghadapi isu-isu kontemporer, seperti hak asasi manusia, peran perempuan, dan demokrasi.⁵

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan identitas teologis Syiah Imamiyah sambil merespons kebutuhan dunia modern. Beberapa ulama Syiah, seperti Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr, telah menawarkan pendekatan baru dalam menerjemahkan prinsip-prinsip Islam ke dalam konteks modern, seperti ekonomi Islam dan teori politik berbasis Wilayat al-Faqih.⁶

8.3.       Peran Iran dalam Geopolitik

Revolusi Iran tahun 1979 membawa Syiah Imamiyah ke panggung politik global, menjadikan Iran sebagai pusat intelektual dan spiritual komunitas Syiah. Namun, peran Iran dalam geopolitik sering kali memicu kritik dan kecurigaan, terutama dari negara-negara Sunni. Iran dianggap oleh sebagian pihak sebagai sponsor sektarianisme di Timur Tengah, meskipun pemerintah Iran sering kali menekankan bahwa kebijakan luar negerinya didasarkan pada prinsip Islam universal, bukan sektarian.⁷

Keterlibatan Iran dalam konflik di Suriah, dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon, dan pengaruhnya di Irak sering dianggap sebagai bagian dari "politik Syiah," yang memicu ketegangan dengan negara-negara Sunni di kawasan tersebut.⁸

8.4.       Tantangan Internal

Komunitas Syiah Imamiyah juga menghadapi tantangan internal, seperti perbedaan pandangan di antara ulama tentang interpretasi doktrin dan peran marja‘ taqlid (otoritas ulama). Munculnya ulama-ulama muda dengan pendekatan yang lebih progresif sering kali memunculkan ketegangan dengan otoritas ulama konservatif.⁹

Selain itu, generasi muda Syiah yang tinggal di diaspora sering kali menghadapi dilema identitas, di mana mereka harus menyeimbangkan tradisi keagamaan dengan tuntutan modernitas di negara-negara Barat.¹⁰

8.5.       Upaya Rekonsiliasi dan Dialog Antarmazhab

Meskipun ada tantangan besar, upaya untuk memperkuat dialog antara Syiah dan Sunni terus berlangsung. Lembaga seperti Dar al-Taqrib bayn al-Madhahib al-Islamiyyah (Lembaga Pendekatan Antarmazhab) dan inisiatif seperti Deklarasi Amman tahun 2004 mencoba untuk mengurangi ketegangan sektarian.¹¹

Beberapa ulama Syiah, seperti Ayatollah Ali Khamenei, telah menyerukan persatuan umat Islam (wahdat al-ummah) sebagai cara untuk menghadapi tantangan global yang dihadapi oleh seluruh komunitas Muslim.¹²

8.6.       Harapan untuk Masa Depan

Tantangan-tantangan ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan reformasi dan dialog dalam komunitas Syiah Imamiyah. Dengan tradisi intelektual yang kaya dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, Syiah Imamiyah memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan persatuan umat Islam dan menjawab tantangan global.


Catatan Kaki

[1]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 132-135.

[2]              Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future (New York: Norton, 2006), 156-158.

[3]              Augustus Richard Norton, Hezbollah: A Short History (Princeton: Princeton University Press, 2007), 45-46.

[4]              Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and Restraint (Leiden: Brill, 2004), 72.

[5]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 201-203.

[6]              Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 67-69.

[7]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 91-92.

[8]              Vali Nasr, The Shia Revival, 200-201.

[9]              Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).

[10]          Seyyed Hossein Nasr, Islam in the Modern World: Challenged by the West, Threatened by Fundamentalism, Keeping Faith with Tradition (New York: HarperOne, 2011), 182-183.

[11]          Amman Message (Amman: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2004).

[12]          Ayatollah Khamenei, "The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic Unity Conference, Tehran, 2015.


9.           Kesimpulan

Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah merupakan salah satu tradisi Islam yang kaya dengan dimensi sejarah, teologi, dan praktik keagamaan. Dengan doktrin Imamah sebagai pusat kepercayaannya, Syiah Imamiyah menawarkan perspektif yang unik dalam memahami kepemimpinan spiritual dan politik dalam Islam.¹ Sejak awal kemunculannya, tradisi ini telah memainkan peran penting dalam membentuk wacana keislaman, terutama melalui kontribusi intelektual dan spiritualnya.

Secara historis, Syiah Imamiyah menunjukkan kemampuan bertahan di tengah tantangan yang dihadapinya, mulai dari penindasan politik pada era kekhalifahan Sunni hingga konflik sektarian yang masih berlangsung hingga saat ini.² Tragedi Karbala, misalnya, bukan hanya menjadi simbol perjuangan melawan tirani, tetapi juga pondasi yang membangun identitas kolektif komunitas Syiah sebagai pembela nilai-nilai keadilan.³

Peran Dinasti Safawiyah dalam institusionalisasi Syiah Imamiyah menunjukkan bagaimana tradisi ini berhasil berkembang dari gerakan minoritas menjadi mazhab yang memiliki pengaruh politik dan budaya yang luas.⁴ Revolusi Iran pada abad ke-20 lebih lanjut mengukuhkan posisi Syiah Imamiyah dalam kancah global, menjadikannya kekuatan penting dalam geopolitik dunia Muslim.⁵

Namun, seperti halnya tradisi lainnya, Syiah Imamiyah juga menghadapi berbagai tantangan kontemporer. Konflik sektarian, politisasi agama, dan kebutuhan untuk merespons isu-isu modernitas menuntut tradisi ini untuk terus beradaptasi. Dalam konteks ini, dialog antarmazhab menjadi salah satu jalan penting untuk mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat persatuan umat Islam.⁶

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa Syiah Imamiyah bukan hanya sebuah mazhab keagamaan, tetapi juga sebuah tradisi intelektual dan budaya yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan Islam secara keseluruhan. Dengan pendekatan yang berorientasi pada keadilan, pengetahuan, dan spiritualitas, Syiah Imamiyah menawarkan wawasan yang berharga bagi umat Islam dan dunia pada umumnya.⁷

Sebagai bagian integral dari Islam, Syiah Imamiyah berperan sebagai pengingat bahwa perbedaan teologis dalam umat Islam seharusnya menjadi peluang untuk memperkaya diskursus keilmuan dan spiritual, bukan menjadi alasan untuk perpecahan. Dalam menghadapi tantangan global, penting bagi umat Islam untuk mengedepankan dialog, toleransi, dan saling menghormati demi mencapai persatuan yang kokoh.⁸


Catatan Kaki

[1]              Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 132-134.

[2]              S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman, 1979), 186-187.

[3]              Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 45-47.

[4]              Roger Savory, Iran Under the Safavids (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 67.

[5]              Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future (New York: Norton, 2006), 201.

[6]              Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and Restraint (Leiden: Brill, 2004), 118-120.

[7]              Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 55.

[8]              Ayatollah Khamenei, "The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic Unity Conference, Tehran, 2015.


Daftar Pustaka

Algar, H. (1983). Roots of the Islamic Revolution in Iran. London: Open Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy. London: Kegan Paul International.

Dabashi, H. (2011). Shi‘ism: A Religion of Protest. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Daftary, F. (2007). The Ismailis: Their History and Doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.

Jafri, S. H. M. (1979). The Origins and Early Development of Shi‘a Islam. London: Longman.

Kohlberg, E. (2012). Imamiyya. In P. Bearman et al. (Eds.), Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Leiden: Brill.

Kulaini, M. Y. (1986). Al-Kafi (Vol. 1, ed. A. A. al-Ghaffari). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.

Majlisi, A. (1983). Bihar al-Anwar (Vol. 1). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

Momen, M. (1985). An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism. New Haven: Yale University Press.

Nasr, S. H. (2011). Islam in the Modern World: Challenged by the West, Threatened by Fundamentalism, Keeping Faith with Tradition. New York: HarperOne.

Nasr, V. (2006). The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future. New York: Norton.

Norton, A. R. (2007). Hezbollah: A Short History. Princeton: Princeton University Press.

Savory, R. (2007). Iran Under the Safavids. Cambridge: Cambridge University Press.

Tabatabai, M. H. (1970). Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an (Vol. 1). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

The Amman Message. (2004). Amman: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought.


Lampiran: Kitab-Kitab yang Mendasari Keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah

Berikut adalah daftar kitab-kitab utama yang mendasari keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah:


1)                 Al-Kafi

o        Penulis: Muhammad bin Ya‘qub al-Kulaini (w. 941 M / 329 H)

o        Penjelasan: Al-Kafi adalah salah satu kitab hadis utama dalam tradisi Syiah Imamiyah. Kitab ini terdiri dari tiga bagian: Usul al-Kafi (teologi), Furu‘ al-Kafi (fikih), dan Rawdat al-Kafi (nasehat dan hikmah). Kitab ini mengumpulkan ribuan hadis yang dianggap sebagai panduan utama dalam teologi dan praktik keagamaan Syiah.

2)                 Man La Yahdhuruhu al-Faqih

o        Penulis: Ibn Babawayh al-Qummi (w. 991 M / 381 H)

o        Penjelasan: Kitab ini adalah panduan fikih Syiah yang berisi kumpulan hadis yang relevan dengan hukum Islam. Ditulis untuk memudahkan umat Syiah memahami hukum tanpa harus merujuk kepada ulama setiap saat.

3)                 Tahdhib al-Ahkam

o        Penulis: Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 1067 M / 460 H)

o        Penjelasan: Kitab ini adalah salah satu dari empat kitab hadis utama Syiah. Berisi penjelasan rinci tentang hukum Islam berdasarkan hadis dan pendapat ulama Syiah.

4)                 Al-Istibsar

o        Penulis: Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 1067 M / 460 H)

o        Penjelasan: Merupakan koleksi hadis yang memberikan pandangan komprehensif tentang berbagai permasalahan fikih yang mungkin memiliki perbedaan pendapat di kalangan ulama Syiah.

5)                 Nahj al-Balaghah

o        Penulis: Al-Sharif al-Radhi (w. 1015 M / 406 H)

o        Penjelasan: Kitab ini adalah kumpulan khutbah, surat, dan kata-kata mutiara dari Ali bin Abi Thalib. Dikenal sebagai karya monumental dalam tradisi Syiah, kitab ini memberikan wawasan tentang teologi, moralitas, dan filsafat Islam.

6)                 Tafsir al-Qummi

o        Penulis: Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. 919 M / 307 H)

o        Penjelasan: Salah satu tafsir Al-Qur'an awal dalam tradisi Syiah. Tafsir ini menggunakan pendekatan literal dan esoteris, serta berfokus pada penafsiran ayat-ayat yang mendukung doktrin Imamah.

7)                 Bihar al-Anwar

o        Penulis: Allama Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1699 M / 1110 H)

o        Penjelasan: Sebuah ensiklopedia hadis dan tradisi Syiah yang mencakup berbagai topik, termasuk sejarah, teologi, hukum, dan moralitas. Kitab ini menjadi referensi penting dalam kajian Syiah Imamiyah.

8)                 Kitab al-Irshad

o        Penulis: Al-Syaikh al-Mufid (w. 1022 M / 413 H)

o        Penjelasan: Kitab ini berisi biografi para Imam Syiah, dari Imam Ali bin Abi Thalib hingga Imam Hasan al-Askari. Kitab ini memperkuat narasi Syiah tentang keutamaan para Imam dan peran mereka dalam sejarah Islam.

9)                 Al-Ghaybah

o        Penulis: Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Nu‘mani (w. 971 M / 360 H)

o        Penjelasan: Kitab ini membahas doktrin ghaibah Imam Mahdi, termasuk argumen-argumen teologis untuk membuktikan kebenarannya.

10)             Tafsir al-Mizan

o        Penulis: Allama Muhammad Husain Tabatabai (w. 1981 M / 1401 H)

o        Penjelasan: Sebuah tafsir modern yang menggabungkan pendekatan filosofis, linguistik, dan teologis dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Kitab ini dianggap sebagai salah satu karya tafsir paling penting dalam tradisi Syiah kontemporer.


Kesimpulan

Kitab-kitab ini menjadi pilar utama dalam pengembangan teologi, fikih, dan praktik keagamaan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Melalui kitab-kitab ini, tradisi Syiah mempertahankan ajaran dan praktiknya sambil terus berkontribusi dalam diskursus Islam global.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar