Kajian Komprehensif tentang Syiah Imamiyah (Itsna Asyariyah)
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab
Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu
kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan
akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan
didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap
objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika
pemikiran dalam sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
“Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah: Sejarah, Doktrin, dan
Perannya dalam Perkembangan Islam”
1.
Pendahuluan
Syiah merupakan salah satu cabang utama dalam Islam
yang memiliki sejarah panjang, kompleks, dan sering kali kontroversial. Secara
etimologis, istilah "Syiah" berasal dari kata Arab syi‘ah,
yang berarti kelompok atau pengikut setia, dan merujuk kepada kelompok yang
mendukung Ali bin Abi Thalib sebagai penerus kepemimpinan umat Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad Saw.¹ Di antara berbagai cabang Syiah, Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah (Dua Belas Imam) adalah yang terbesar, dengan mayoritas
pengikutnya tersebar di Iran, Irak, Lebanon, dan negara-negara lain.²
Syiah Imamiyah dikenal karena doktrin Imamah-nya
yang unik, yaitu keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam harus berada di tangan
para Imam yang ditunjuk secara ilahi dari keturunan Ali dan Fatimah, putri Nabi
Muhammad Saw.³ Doktrin ini menjadi salah satu pembeda utama antara Syiah
Imamiyah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang mengakui legitimasi khilafah
berdasarkan pemilihan oleh umat. Selain itu, Syiah Imamiyah memiliki tradisi
intelektual dan spiritual yang kaya, dengan kontribusi signifikan dalam
teologi, filsafat, dan hukum Islam.⁴
Memahami Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah tidak hanya
penting dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam memahami dinamika umat Islam
kontemporer. Sebagai salah satu mazhab yang memiliki pengaruh besar, terutama
setelah berdirinya Republik Islam Iran pada tahun 1979, Syiah Imamiyah sering
menjadi fokus perhatian dalam diskusi akademik, politik, dan sosial.⁵ Dalam
pembahasan ini, pendekatan akademis dan objektif digunakan untuk menggambarkan
sejarah, doktrin, dan peran Syiah Imamiyah dalam perkembangan Islam, sehingga
pembaca dapat memahami tradisi ini dengan lebih mendalam tanpa prasangka.⁶
Sebagai salah satu tema yang sarat dengan dimensi
teologis, historis, dan politik, pembahasan tentang Syiah Imamiyah membutuhkan
keakuratan referensi dan kejujuran intelektual. Dengan menggunakan
sumber-sumber klasik seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, serta studi-studi
modern dari para akademisi baik dari kalangan Syiah maupun non-Syiah, tulisan
ini diharapkan dapat menjadi referensi yang valid untuk memahami salah satu
tradisi besar dalam Islam.⁷
Catatan Kaki
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 11.
[2]
Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam,
Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[3]
Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet
(Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 4-5.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul
International, 1993), 43.
[5]
Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London:
Open Press, 1983), 18-22.
[6]
Reza Aslan, No god but God: The Origins, Evolution, and Future of
Islam (New York: Random House, 2005), 192.
[7]
Al-Kulaini, Al-Kafi, ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran:
Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986).
2.
Sejarah
dan Latar Belakang
Sejarah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah bermula dari
peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW pada tahun 632
M. Perdebatan terkait suksesi kepemimpinan umat Islam memunculkan dua pandangan
utama: satu kelompok mendukung Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui
mekanisme musyawarah (syura), sedangkan kelompok lainnya menganggap
bahwa Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu Rasulullah, adalah figur
yang ditunjuk secara langsung oleh Nabi Muhammad Saw.¹ Kelompok yang mendukung
Ali kemudian dikenal sebagai Syiah (syi‘ah), yang berarti "pendukung"
atau "pengikut."²
2.1.
Munculnya Syiah Imamiyah
Cabang Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah muncul
sebagai pengembangan dari tradisi Syiah awal yang menganggap bahwa kepemimpinan
umat Islam (Imamah) harus berada di tangan para Imam yang tidak hanya memiliki
kualifikasi spiritual tetapi juga ditunjuk secara ilahi.³ Setelah pembunuhan
Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M dan kekuasaan berpindah ke tangan Muawiyah
bin Abi Sufyan, Syiah berkembang sebagai gerakan politik dan teologis yang
semakin menonjol. Anak Ali, Hasan dan Husain, menjadi tokoh penting dalam perjuangan
Syiah, khususnya melalui peristiwa tragis di Karbala pada tahun 680 M, di mana
Husain dan keluarganya dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah.⁴
2.2.
Perkembangan Doktrin Imamiyah
Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah mendapatkan
identitasnya secara lebih formal setelah pengikut Syiah mengakui serangkaian
dua belas Imam sebagai pemimpin spiritual. Imam pertama adalah Ali bin Abi
Thalib, diikuti oleh Hasan dan Husain, dan berlanjut hingga Imam keduabelas,
Muhammad al-Mahdi, yang diyakini memasuki masa ghaibah (ketersembunyian)
pada tahun 874 M.⁵ Masa ghaibah ini dibagi menjadi dua tahap: Ghaibah
Sughra (kecil), di mana komunikasi dengan Imam masih dimungkinkan melalui
para wakil khusus (nuwab), dan Ghaibah Kubra (besar), yang
berlangsung hingga saat ini.⁶
2.3.
Pengaruh Sejarah dan Politik
Syiah Imamiyah memainkan peran signifikan dalam
sejarah politik Islam, terutama setelah berdirinya Dinasti Safawiyah di Persia
pada abad ke-16, yang menjadikan Syiah Imamiyah sebagai mazhab resmi negara.
Dinasti Safawiyah tidak hanya memperkuat doktrin Syiah di wilayah kekuasaannya
tetapi juga menciptakan lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung pengembangan
tradisi intelektual dan spiritual Syiah.⁷
Meskipun sering menghadapi diskriminasi dan
represi, terutama di bawah kekuasaan Sunni, Syiah Imamiyah berhasil
mempertahankan keberadaannya melalui jaringan ulama dan institusi pendidikan.
Pada abad ke-20, kebangkitan Syiah semakin menonjol dengan Revolusi Iran tahun
1979, yang memberikan Syiah Imamiyah posisi sentral dalam geopolitik Islam
modern.⁸
Catatan Kaki
[1]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1-3.
[2]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 11.
[3]
Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate: The Vicegerency of the Prophet
(Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 6-7.
[4]
Etan Kohlberg, "Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam,
Second Edition, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[5]
Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 59-62.
[6]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul
International, 1993), 43-45.
[7]
Roger Savory, Iran Under the Safavids (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 54-56.
[8]
Hamid Algar, Roots of the Islamic Revolution in Iran (London:
Open Press, 1983), 18-22.
3.
Konsep
Kepemimpinan dan Imamah
Konsep Imamah
merupakan doktrin sentral dalam ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Secara
literal, Imamah
berarti kepemimpinan atau otoritas,
tetapi dalam teologi Syiah, istilah ini memiliki makna khusus sebagai
kepemimpinan spiritual dan politik umat Islam yang ditunjuk oleh Allah Swt melalui
Nabi Muhammad Saw.¹ Keyakinan ini membedakan Syiah Imamiyah dari Ahlus Sunnah
Wal Jamaah, yang melihat kepemimpinan sebagai hasil dari musyawarah umat (syura).²
3.1.
Kepemimpinan yang Ditunjuk secara Ilahi
Dalam doktrin Syiah
Imamiyah, para Imam adalah penerus langsung Nabi Muhammad Saw, bukan hanya dalam peran politik tetapi
juga sebagai penjaga dan penafsir otoritatif wahyu.³ Mereka dianggap memiliki
sifat-sifat istimewa seperti ismah
(terjaga dari dosa dan kesalahan) dan ilmu laduni (pengetahuan ilahi yang
diberikan langsung oleh Allah).⁴ Keyakinan ini didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh berbagai sumber, salah satunya adalah Hadis Ghadir Khum, di
mana Nabi Muhammad Saw diduga menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya
dengan mengatakan, "Barang siapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka
Ali adalah pemimpinnya."⁵
3.2.
Dua Belas Imam (Itsna Asyar)
Syiah Imamiyah
dikenal sebagai Itsna Asyariyah karena mengakui dua
belas Imam yang dianggap sebagai penerus legitimasi Nabi Muhammad Saw. Para
Imam ini adalah:
1)
Ali bin Abi Thalib
2)
Hasan bin Ali
3)
Husain bin Ali
4)
Ali Zainal Abidin
5)
Muhammad al-Baqir
6)
Ja‘far al-Shadiq
7)
Musa al-Kazim
8)
Ali al-Ridha
9)
Muhammad al-Taqi
10)
Ali al-Naqi
11)
Hasan al-Askari
12)
Muhammad al-Mahdi
Imam terakhir,
Muhammad al-Mahdi, diyakini oleh Syiah Imamiyah sedang berada dalam masa ghaibah
(ketersembunyian) dan akan muncul kembali sebagai al-Qaim untuk menegakkan keadilan di
akhir zaman.⁶
3.3.
Peran Imam dalam Teologi dan Kehidupan Umat
Para Imam tidak
hanya memegang otoritas politik tetapi juga otoritas spiritual dan keilmuan.
Mereka dianggap sebagai satu-satunya figur yang mampu memberikan penafsiran
yang benar terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.⁷ Dalam tradisi Syiah, Imam juga
menjadi perantara antara Allah dan manusia dalam hal bimbingan spiritual dan
doa.⁸
Peran Imam dalam
kehidupan umat sangat erat dengan konsep wilayah (otoritas) yang menjelaskan
hubungan antara Imam dan komunitas Syiah. Konsep ini diperkuat oleh berbagai
hadis dan ayat Al-Qur'an yang, menurut tafsir Syiah, mendukung otoritas khusus
para Imam.⁹ Misalnya, ayat 5:55 yang berbunyi, "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan
zakat dalam keadaan rukuk," sering ditafsirkan oleh ulama
Syiah sebagai rujukan kepada Ali bin Abi Thalib.¹⁰
3.4.
Imam Ghaib: Al-Mahdi
Konsep Imam ghaib
adalah doktrin unik dalam Syiah Imamiyah. Muhammad al-Mahdi, Imam kedua belas,
diyakini memasuki masa Ghaibah Sughra pada tahun 874 M dan
kemudian Ghaibah
Kubra pada tahun 941 M. Selama Ghaibah Sughra, Imam berkomunikasi
dengan umat melalui wakil-wakil khusus (nuwab), tetapi setelah memasuki Ghaibah
Kubra, hubungan langsung dengan Imam dianggap terputus hingga ia
muncul kembali sebagai Al-Mahdi.¹¹ Doktrin ini menjadi penggerak utama
eskatologi Syiah dan memberikan harapan kepada pengikutnya untuk keadilan
universal di masa depan.¹²
Catatan Kaki
[1]
Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate:
The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006), 6.
[2]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 135.
[3]
Henry Corbin, History
of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 43.
[4]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 40-42.
[5]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 18.
[6]
Hamid Algar, Roots of
the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 33.
[7]
Etan Kohlberg,
"Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition,
ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[8]
Henry Corbin, The Man
of Light in Iranian Sufism (New York: Omega Publications, 1994),
90.
[9]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 139.
[10]
Al-Kulaini, Al-Kafi,
ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986),
207-208.
[11]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest, 59-62.
[12]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 222.
4.
Aqidah
dan Praktik Keagamaan
Aqidah dan praktik
keagamaan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dibangun di atas fondasi keyakinan
teologis yang kokoh serta tradisi ibadah yang unik. Aqidah mereka, yang dikenal
sebagai Ushul
al-Din (prinsip-prinsip agama), meliputi lima doktrin utama.
Praktik keagamaan mereka, meskipun memiliki banyak kesamaan dengan tradisi
Sunni, juga memperlihatkan perbedaan yang mencolok dalam aspek ritual dan
hukum.
4.1.
Lima Prinsip Aqidah (Ushul al-Din)
1)
Tauhid (Keimanan kepada
Allah)
Tauhid menjadi inti ajaran Syiah Imamiyah, yang
menegaskan keesaan Allah Swt. Mereka menolak segala bentuk antropomorfisme
dalam memahami sifat Allah, menegaskan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya
dalam bentuk apa pun.¹
2)
'Adl (Keadilan Ilahi)
Konsep keadilan ilahi (‘adl) adalah
doktrin penting dalam Syiah Imamiyah. Mereka percaya bahwa Allah adalah Maha
Adil dan tidak mungkin melakukan ketidakadilan atau tindakan yang bertentangan
dengan hikmah-Nya.² Prinsip ini juga menjadi dasar untuk memahami tanggung
jawab manusia atas amal perbuatannya.³
3)
Nubuwah (Kenabian)
Syiah meyakini bahwa Allah mengutus para nabi
sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada manusia. Nabi Muhammad Saw
adalah penutup para nabi (khatam al-anbiya’), dan ajarannya dianggap
sebagai pedoman utama umat manusia.⁴
4)
Imamah (Keimamahan)
Keimanan kepada para Imam adalah doktrin unik
Syiah. Mereka meyakini bahwa para Imam adalah penerus Nabi Muhammad Saw yang
ditunjuk secara ilahi untuk memimpin umat baik dalam urusan spiritual maupun
duniawi.⁵
5)
Ma‘ad (Hari Kebangkitan)
Syiah Imamiyah percaya pada kebangkitan di
akhirat, di mana seluruh manusia akan dihisab berdasarkan amal perbuatannya.
Hari kiamat menjadi momen penegakan keadilan Allah secara mutlak.⁶
4.2.
Praktik Keagamaan
1)
Salat
Salat dalam Syiah Imamiyah memiliki kesamaan
mendasar dengan Sunni, tetapi terdapat beberapa perbedaan teknis, seperti
penggabungan salat Zuhur dengan Asar dan Magrib dengan Isya. Syiah juga
meletakkan turbah (tanah dari Karbala) di tempat sujud sebagai bentuk
penghormatan kepada Husain bin Ali.⁷
2)
Puasa
Puasa Ramadan dijalankan dengan aturan yang sama
seperti Sunni, namun dalam tradisi Syiah, awal dan akhir Ramadan seringkali
ditentukan berdasarkan penampakan bulan yang terpisah dari otoritas Sunni.⁸
3)
Zakat dan Khumus
Selain zakat, Syiah Imamiyah juga mewajibkan khumus,
yaitu seperlima dari penghasilan tertentu, yang diberikan kepada ulama sebagai
wakil Imam ghaib.⁹
4)
Haji
Pelaksanaan ibadah haji dalam Syiah mengikuti
rukun Islam, tetapi mereka memberikan perhatian khusus pada peristiwa sejarah
yang terjadi di lokasi-lokasi tertentu, seperti penghormatan kepada makam
Fatimah di Baqi'.¹⁰
5)
Peringatan Asyura
Salah satu tradisi khas Syiah Imamiyah adalah
peringatan Asyura, yang mengenang kesyahidan Imam Husain di Karbala. Tradisi
ini melibatkan doa, majelis duka (majalis al-aza’), dan ritual
simbolis seperti latm (memukul dada).¹¹
4.3.
Konsep Taqiyah
Konsep taqiyah
(menyembunyikan keyakinan demi keselamatan) juga merupakan bagian dari doktrin
Syiah Imamiyah. Konsep ini sering digunakan dalam situasi di mana pengikut
Syiah menghadapi ancaman terhadap kehidupan atau keyakinan mereka.¹²
4.4.
Peran Ulama dan Marja‘
Dalam kehidupan
sehari-hari, ulama memiliki peran sentral sebagai penafsir hukum syariah dan
pembimbing spiritual. Institusi marja‘ taqlid memberikan otoritas
kepada ulama untuk mengeluarkan fatwa yang mengikat pengikutnya.¹³
Catatan Kaki
[1]
Henry Corbin, History
of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993),
32-33.
[2]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 290.
[3]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 176.
[4]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 50.
[5]
Sayyid Muhammad Rizvi, Imamate:
The Vicegerency of the Prophet (Toronto: ISIJ of Toronto, 2006),
6-7.
[6]
Etan Kohlberg,
"Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition,
ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[7]
Al-Kulaini, Al-Kafi,
ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986),
320-321.
[8]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 195.
[9]
Hamid Algar, Roots of
the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 12-13.
[10]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 141.
[11]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest, 62-64.
[12]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam, 221-223.
[13]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 177.
5.
Sumber-Sumber
Referensi Keagamaan
Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah memiliki tradisi keilmuan yang kaya dan didasarkan pada sejumlah
referensi keagamaan yang otoritatif. Sumber-sumber ini mencakup Al-Qur'an,
koleksi hadis-hadis Imamiyah, dan karya-karya ulama klasik maupun kontemporer.
Sistem epistemologi Syiah bertumpu pada otoritas para Imam, yang diyakini
sebagai penafsir otentik wahyu ilahi.
5.1.
Al-Qur'an dalam Perspektif Syiah Imamiyah
Seperti mazhab
lainnya dalam Islam, Al-Qur'an menjadi sumber utama hukum dan teologi bagi
Syiah Imamiyah. Namun, Syiah menekankan pentingnya penafsiran yang dilakukan
oleh para Imam sebagai penjaga otoritas keilmuan wahyu.¹ Mereka berpendapat
bahwa pemahaman mendalam tentang ayat-ayat Al-Qur'an hanya dapat dicapai
melalui bimbingan para Imam yang memiliki ilmu laduni.²
Terkait susunan
Al-Qur'an, sebagian ulama Syiah klasik pernah menyebut adanya perubahan kecil (tahrif),
tetapi pandangan ini telah ditinggalkan oleh mayoritas ulama modern.³ Saat ini,
Syiah Imamiyah menerima Al-Qur'an yang sama dengan yang digunakan oleh Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, namun dengan penekanan pada tafsir yang didasarkan pada
ajaran para Imam.⁴
5.2.
Koleksi Hadis: Kutub al-Arba‘ah
Koleksi hadis-hadis Syiah Imamiyah terangkum dalam empat kitab utama yang
dikenal sebagai Kutub al-Arba‘ah (Empat Kitab), yaitu:
1)
Al-Kafi oleh Al-Kulaini (w. 941 M)
2)
Man La Yahdhuruhu al-Faqih oleh Ibn
Babawayh (w. 991 M)
3)
Tahdhib al-Ahkam oleh Al-Tusi (w.
1067 M)
4)
Al-Istibsar oleh Al-Tusi (w. 1067
M)
Keempat kitab ini
berisi hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, para Imam, dan para
sahabat yang diakui oleh Syiah.⁵ Dalam tradisi Syiah, hadis-hadis ini menjadi
rujukan utama dalam penetapan hukum (fiqh) dan doktrin teologis.⁶
5.3.
Tafsir Al-Qur'an
Syiah Imamiyah
memiliki tradisi tafsir Al-Qur'an yang khas, yang dikenal dengan pendekatan ta’wil.
Tafsir ini sering kali bersifat esoteris dan berusaha mengungkap makna-makna
tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur'an. Salah satu tafsir terkenal dalam tradisi
Syiah adalah Tafsir al-Qummi karya Ali bin
Ibrahim al-Qummi.⁷ Selain itu, Tafsir al-Mizan oleh Allama
Muhammad Husain Tabatabai adalah contoh karya modern yang memberikan pendekatan
filosofis terhadap Al-Qur'an.⁸
5.4.
Karya-Karya Ulama
Syiah Imamiyah
memiliki sejumlah besar karya ulama yang menjadi referensi penting dalam bidang
teologi, filsafat, dan hukum Islam. Beberapa di antaranya adalah:
·
Nahj al-Balaghah, kumpulan pidato,
surat, dan kata-kata mutiara Ali bin Abi Thalib, yang dihimpun oleh Al-Sharif
al-Radhi.⁹
·
Kitab al-Irshad karya Al-Mufid,
yang menguraikan sejarah para Imam.¹⁰
·
Bihar al-Anwar karya Allama
Majlisi, yang merupakan ensiklopedia besar ajaran dan sejarah Syiah.¹¹
5.5.
Peran Ulama dalam Tradisi Keilmuan
Ulama Syiah
memainkan peran penting sebagai penjaga tradisi dan penerus ajaran para Imam.
Konsep ijtihad
dalam Syiah memungkinkan ulama untuk memberikan interpretasi hukum yang relevan
dengan konteks zaman.¹² Para ulama dengan otoritas tertinggi dikenal sebagai marja‘
taqlid, yang menjadi rujukan hukum bagi komunitas Syiah.¹³
5.6.
Validitas Sumber-Sumber Syiah dalam Perspektif
Akademik
Para ulama dan
akademisi non-Syiah juga mengakui kedalaman tradisi literatur Syiah. Meski
demikian, interpretasi atas beberapa teks sering kali menjadi subjek perdebatan
antarmazhab.¹⁴ Namun, pentingnya memahami sumber-sumber Syiah tidak dapat
diabaikan dalam konteks studi Islam secara keseluruhan.
Catatan Kaki
[1]
Moojan Momen, An Introduction
to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism (New
Haven: Yale University Press, 1985), 168.
[2]
Henry Corbin, History
of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 45.
[3]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 74.
[4]
Abdulaziz Abdulhussein
Sachedina, Islamic
Messianism: The Idea of Mahdi in Twelver Shi‘ism (Albany: SUNY
Press, 1981), 34.
[5]
Al-Kulaini, Al-Kafi,
ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986),
xx.
[6]
Etan Kohlberg,
"Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition,
ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[7]
Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir
al-Qummi, ed. Tabrizi, vol. 1 (Tehran: Maktab al-Sadr, 1983).
[8]
Muhammad Husain Tabatabai, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur'an (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1970), vol. 1.
[9]
Al-Sharif al-Radhi, Nahj
al-Balaghah, ed. Muhammad Abduh (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1967).
[10]
Al-Mufid, Kitab
al-Irshad (London: Muhammadi Trust, 1981).
[11]
Allama Majlisi, Bihar
al-Anwar, ed. Dar al-Kutub al-Islamiyyah, vol. 1 (Tehran, 1983).
[12]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 84-85.
[13]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 183.
[14]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 22.
6.
Pandangan
terhadap Aliran dan Mazhab Lain
Pandangan Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah terhadap aliran dan mazhab lain dalam Islam diwarnai
oleh hubungan sejarah, perbedaan teologis, dan upaya untuk menjembatani
kesenjangan antarmazhab. Secara umum, pendekatan Syiah Imamiyah terhadap aliran
lain mencerminkan keyakinan mereka terhadap doktrin Imamah, tetapi juga menunjukkan
fleksibilitas dalam konteks persatuan umat Islam.
6.1.
Pandangan terhadap Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Hubungan antara
Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sering kali menjadi fokus utama
dalam studi intermazhab. Perbedaan mendasar terletak pada konsep kepemimpinan
pasca-Nabi Muhammad Saw, di mana Syiah Imamiyah menekankan otoritas Imam yang
ditunjuk secara ilahi, sementara Sunni mendukung model pemilihan melalui syura.¹
Meski ada perbedaan
signifikan, Syiah dan Sunni berbagi banyak kesamaan dalam aspek fundamental
Islam, seperti akidah tentang keesaan Allah, kewajiban salat, zakat, puasa, dan
haji.² Ulama Syiah Imamiyah modern, seperti Ayatollah Khomeini, telah
menyerukan persatuan umat Islam (wahdat al-ummah) sebagai respons
terhadap tantangan kolonialisme dan imperialisme yang memecah belah dunia
Muslim.³
Namun, beberapa isu
sektarian masih menjadi sumber ketegangan, terutama terkait penafsiran sejarah,
seperti peristiwa Ghadir Khum dan tragedi Karbala.⁴ Di sisi lain, banyak ulama
Syiah dan Sunni yang aktif dalam dialog antarmazhab untuk mencari titik temu,
seperti melalui Dar al-Taqrib bayn al-Madhahib al-Islamiyyah
(Lembaga Pendekatan Antarmazhab) di Mesir.⁵
6.2.
Pandangan terhadap Syiah Zaidiyah
Syiah Zaidiyah
adalah salah satu cabang Syiah yang memiliki banyak persamaan dengan Sunni
dalam aspek hukum dan doktrin. Syiah Imamiyah mengakui legitimasi para Imam
Zaidiyah, tetapi menganggap doktrin Zaidiyah tentang Imamah
kurang lengkap karena tidak menekankan sifat ilahi Imam sebagaimana dalam
tradisi Imamiyah.⁶ Zaidiyah sendiri menerima Zaid bin Ali sebagai Imam yang
sah, sementara Syiah Imamiyah menganggap Imam kelima adalah Muhammad al-Baqir,
saudara Zaid.⁷
6.3.
Pandangan terhadap Syiah Ismailiyah
Hubungan antara
Syiah Imamiyah dan Ismailiyah cukup kompleks. Kedua aliran sepakat pada
otoritas para Imam hingga Imam keenam, Ja‘far al-Shadiq, tetapi berbeda dalam
penerusnya. Ismailiyah mengakui Ismail bin Ja‘far sebagai Imam ketujuh,
sedangkan Syiah Imamiyah menerima Musa al-Kazim.⁸
Syiah Imamiyah
sering kali memandang ajaran Ismailiyah yang lebih esoteris sebagai
penyimpangan dari tradisi utama Syiah.⁹ Meski demikian, tradisi intelektual
Ismailiyah, seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, tetap dihormati dalam
diskursus Islam yang lebih luas.¹⁰
6.4.
Dialog Sunni-Syiah
Upaya rekonsiliasi
antara Syiah Imamiyah dan Sunni telah menjadi perhatian utama dalam beberapa
dekade terakhir. Para pemimpin seperti Ayatollah Khamenei dan Sheikh Ahmad
al-Tayyeb dari Al-Azhar telah menyerukan dialog untuk mengatasi kesalahpahaman
dan mengurangi konflik sektarian.¹¹
Konferensi seperti
Deklarasi Amman tahun 2004 menegaskan pengakuan terhadap Syiah Imamiyah sebagai
salah satu mazhab Islam yang sah.¹² Meski demikian, tantangan dalam dialog ini
tetap ada, terutama di wilayah yang memiliki sejarah panjang konflik sektarian,
seperti Irak dan Suriah.
6.5.
Tantangan dan Harapan
Salah satu tantangan
utama dalam hubungan antarmazhab adalah politisasi identitas keagamaan. Konflik
di Timur Tengah sering kali memperuncing ketegangan antara Sunni dan Syiah,
sehingga memperburuk kesalahpahaman teologis.¹³ Namun, ulama Syiah Imamiyah
terus menekankan pentingnya pendekatan akademis dan dialog untuk membangun
kesepahaman di antara berbagai mazhab dalam Islam.¹⁴
Harapan terbesar
adalah terciptanya persatuan umat Islam melalui penguatan dialog dan saling
menghormati, yang mencerminkan ajaran Al-Qur'an untuk hidup dalam harmoni
meskipun ada perbedaan.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 1-3.
[2]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 137.
[3]
Hamid Algar, Roots of
the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 15-17.
[4]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 288.
[5]
Rainer Brunner, Islamic
Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and
Restraint (Leiden: Brill, 2004), 42-43.
[6]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 189.
[7]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam, 226-228.
[8]
Henry Corbin, History
of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993),
77-78.
[9]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 62.
[10]
Farhad Daftary, The
Ismailis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 55.
[11]
Ayatollah Khamenei,
"The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic Unity Conference, Tehran,
2015.
[12]
Amman Message (Amman: Royal Aal
al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2004).
[13]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest, 83-85.
[14]
Rainer Brunner, Islamic
Ecumenism in the 20th Century, 123-125.
[15]
Al-Qur'an 49:13.
7.
Peran
dalam Sejarah Islam
Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah memiliki peran yang signifikan dalam sejarah Islam, baik dalam bidang
politik, intelektual, maupun spiritual. Peran ini tidak hanya terbatas pada
pembentukan doktrin keagamaan, tetapi juga mencakup kontribusi besar terhadap peradaban
Islam secara keseluruhan. Dalam berbagai fase sejarah, komunitas Syiah Imamiyah
menunjukkan kemampuan bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan
sosial-politik.
7.1.
Masa Awal: Dari Tragedi Karbala hingga Masa
Taqiyah
Peran Syiah Imamiyah
dalam sejarah Islam dimulai dengan peristiwa tragis di Karbala pada tahun 680
M, di mana Imam Husain bin Ali dan keluarganya dibantai oleh pasukan Yazid bin
Muawiyah. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan
penindasan.¹ Tragedi Karbala menjadi titik awal pembentukan identitas Syiah
Imamiyah sebagai komunitas yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan
kebenaran.²
Setelah peristiwa
Karbala, komunitas Syiah menghadapi tekanan berat dari penguasa Bani Umayyah
dan Bani Abbasiyah. Para Imam menjalankan doktrin taqiyah (menyembunyikan keyakinan)
untuk melindungi pengikut mereka dari penganiayaan.³ Meski dalam kondisi sulit,
para Imam tetap berperan sebagai pembimbing spiritual dan intelektual bagi
komunitas Syiah. Imam Ja‘far al-Shadiq, misalnya, dikenal sebagai pendiri
mazhab fikih dan teologi yang berpengaruh.⁴
7.2.
Dinasti Safawiyah: Institusionalisasi Syiah
Puncak pengaruh
politik Syiah Imamiyah terjadi pada abad ke-16 dengan berdirinya Dinasti
Safawiyah di Persia. Syiah Imamiyah dijadikan sebagai mazhab resmi negara oleh
Shah Ismail I, yang memanfaatkan ajaran Syiah untuk memperkuat legitimasi
politiknya.⁵
Dinasti Safawiyah
tidak hanya memperkuat doktrin Syiah Imamiyah tetapi juga mendirikan
lembaga-lembaga keagamaan, seperti madrasah dan pusat studi keislaman. Lembaga
ini memainkan peran penting dalam pengembangan tradisi intelektual Syiah,
termasuk karya-karya filsafat dan tafsir Al-Qur'an.⁶ Periode Safawiyah juga
ditandai dengan penyebaran ritual-ritual khas Syiah, seperti peringatan Asyura
dan ziarah ke makam para Imam.⁷
7.3.
Era Modern: Revolusi Iran dan Pengaruh Global
Revolusi Islam Iran
pada tahun 1979 menjadi tonggak penting dalam sejarah Syiah Imamiyah. Di bawah
kepemimpinan Ayatollah Khomeini, konsep Wilayat al-Faqih (otoritas ulama)
diterapkan untuk menggantikan sistem monarki.⁸ Revolusi ini memberikan dorongan
besar bagi komunitas Syiah di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-hak
politik dan kebebasan beragama.⁹
Iran pasca-revolusi
menjadi pusat intelektual dan spiritual bagi Syiah Imamiyah, dengan pengaruh
yang meluas ke Irak, Lebanon, dan negara-negara lain. Hizbullah di Lebanon,
misalnya, adalah salah satu kelompok politik yang terinspirasi oleh Revolusi
Iran.¹⁰
7.4.
Kontribusi dalam Bidang Intelektual
Syiah Imamiyah memiliki
tradisi keilmuan yang kaya, dengan kontribusi besar dalam bidang teologi,
filsafat, dan ilmu pengetahuan. Ulama-ulama seperti Al-Kulaini (Al-Kafi),
Al-Tusi (Tahdhib
al-Ahkam), dan Allama Tabatabai (Tafsir al-Mizan) menghasilkan
karya-karya monumental yang menjadi rujukan penting dalam studi Islam.¹¹
Selain itu,
pemikiran filsafat Islam seperti yang dikembangkan oleh Mulla Sadra juga
berasal dari tradisi Syiah.¹² Pemikiran ini menjadi fondasi penting dalam
diskursus filsafat Islam di dunia Muslim dan Barat.
7.5.
Tantangan Kontemporer
Meskipun memiliki
pengaruh besar, komunitas Syiah Imamiyah menghadapi tantangan signifikan,
terutama dalam konteks konflik sektarian di Timur Tengah. Ketegangan politik
sering kali memperuncing perbedaan teologis antara Syiah dan Sunni, yang dapat
menghambat upaya persatuan umat Islam.¹³ Meski demikian, ulama dan pemimpin
Syiah terus berupaya untuk memperkuat dialog antarmazhab dan mendorong kerja
sama di tingkat global.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 172-174.
[2]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 48-49.
[3]
Henry Corbin, History
of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 45.
[4]
Etan Kohlberg,
"Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition,
ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[5]
Roger Savory, Iran
Under the Safavids (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
23-24.
[6]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam, 124-126.
[7]
Hamid Algar, Roots of
the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 13-15.
[8]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 80-81.
[9]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 154-155.
[10]
Augustus Richard Norton, Hezbollah:
A Short History (Princeton: Princeton University Press, 2007),
31-33.
[11]
Al-Kulaini, Al-Kafi,
ed. ‘Ali Akbar al-Ghaffari, vol. 1 (Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1986).
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 1976), 122.
[13]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest, 123.
[14]
Rainer Brunner, Islamic
Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and
Restraint (Leiden: Brill, 2004), 117-118.
8.
Tantangan
dan Isu Kontemporer
Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah menghadapi berbagai tantangan dalam konteks dunia modern, baik yang
berasal dari dalam komunitas Syiah itu sendiri maupun dari interaksi dengan
dunia Islam yang lebih luas. Tantangan ini mencakup isu politik, sektarianisme,
dan modernitas, yang semuanya memengaruhi posisi Syiah Imamiyah dalam
masyarakat global.
8.1.
Konflik Sektarian
Salah satu tantangan
terbesar bagi Syiah Imamiyah adalah konflik sektarian dengan Sunni yang telah
berlangsung selama berabad-abad. Ketegangan ini seringkali didasarkan pada
perbedaan doktrinologis, seperti konsep Imamah dalam Syiah dan konsep Khilafah
dalam Sunni.¹ Namun, konflik ini semakin diperburuk oleh kepentingan geopolitik
di kawasan Timur Tengah, di mana negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi
terlibat dalam persaingan pengaruh yang menggunakan perbedaan sektarian sebagai
alat politik.²
Konflik sektarian
ini tidak hanya merugikan hubungan antarmazhab tetapi juga memperburuk
stabilitas politik di negara-negara seperti Irak, Suriah, dan Yaman, di mana
kekerasan sektarian sering kali terjadi.³ Hal ini menciptakan tantangan besar
bagi ulama dan pemimpin komunitas Syiah untuk membangun dialog yang konstruktif
dengan Sunni dan mencegah manipulasi isu sektarian oleh aktor-aktor politik.⁴
8.2.
Modernitas dan Globalisasi
Komunitas Syiah
Imamiyah juga menghadapi tantangan adaptasi dengan modernitas dan globalisasi.
Seiring dengan meningkatnya konektivitas dunia, muncul pertanyaan-pertanyaan
baru tentang relevansi ajaran tradisional dalam menghadapi isu-isu kontemporer,
seperti hak asasi manusia, peran perempuan, dan demokrasi.⁵
Salah satu tantangan
utama adalah bagaimana mempertahankan identitas teologis Syiah Imamiyah sambil
merespons kebutuhan dunia modern. Beberapa ulama Syiah, seperti Ayatollah
Muhammad Baqir al-Sadr, telah menawarkan pendekatan baru dalam menerjemahkan
prinsip-prinsip Islam ke dalam konteks modern, seperti ekonomi Islam dan teori
politik berbasis Wilayat al-Faqih.⁶
8.3.
Peran Iran dalam Geopolitik
Revolusi Iran tahun
1979 membawa Syiah Imamiyah ke panggung politik global, menjadikan Iran sebagai
pusat intelektual dan spiritual komunitas Syiah. Namun, peran Iran dalam
geopolitik sering kali memicu kritik dan kecurigaan, terutama dari
negara-negara Sunni. Iran dianggap oleh sebagian pihak sebagai sponsor
sektarianisme di Timur Tengah, meskipun pemerintah Iran sering kali menekankan
bahwa kebijakan luar negerinya didasarkan pada prinsip Islam universal, bukan
sektarian.⁷
Keterlibatan Iran
dalam konflik di Suriah, dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon, dan
pengaruhnya di Irak sering dianggap sebagai bagian dari "politik Syiah,"
yang memicu ketegangan dengan negara-negara Sunni di kawasan tersebut.⁸
8.4.
Tantangan Internal
Komunitas Syiah
Imamiyah juga menghadapi tantangan internal, seperti perbedaan pandangan di
antara ulama tentang interpretasi doktrin dan peran marja‘ taqlid (otoritas ulama).
Munculnya ulama-ulama muda dengan pendekatan yang lebih progresif sering kali
memunculkan ketegangan dengan otoritas ulama konservatif.⁹
Selain itu, generasi
muda Syiah yang tinggal di diaspora sering kali menghadapi dilema identitas, di
mana mereka harus menyeimbangkan tradisi keagamaan dengan tuntutan modernitas
di negara-negara Barat.¹⁰
8.5.
Upaya Rekonsiliasi dan Dialog Antarmazhab
Meskipun ada
tantangan besar, upaya untuk memperkuat dialog antara Syiah dan Sunni terus
berlangsung. Lembaga seperti Dar al-Taqrib bayn al-Madhahib al-Islamiyyah
(Lembaga Pendekatan Antarmazhab) dan inisiatif seperti Deklarasi Amman tahun
2004 mencoba untuk mengurangi ketegangan sektarian.¹¹
Beberapa ulama
Syiah, seperti Ayatollah Ali Khamenei, telah menyerukan persatuan umat Islam (wahdat
al-ummah) sebagai cara untuk menghadapi tantangan global yang
dihadapi oleh seluruh komunitas Muslim.¹²
8.6.
Harapan untuk Masa Depan
Tantangan-tantangan
ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan reformasi dan dialog dalam komunitas
Syiah Imamiyah. Dengan tradisi intelektual yang kaya dan kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan zaman, Syiah Imamiyah memiliki potensi besar untuk
memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan persatuan umat Islam dan
menjawab tantangan global.
Catatan Kaki
[1]
S.H.M. Jafri, The
Origins and Early Development of Shi‘a Islam (London: Longman,
1979), 132-135.
[2]
Vali Nasr, The Shia
Revival: How Conflicts within Islam Will Shape the Future (New
York: Norton, 2006), 156-158.
[3]
Augustus Richard Norton, Hezbollah:
A Short History (Princeton: Princeton University Press, 2007),
45-46.
[4]
Rainer Brunner, Islamic
Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and Shiism Between Rapprochement and
Restraint (Leiden: Brill, 2004), 72.
[5]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 201-203.
[6]
Hamid Algar, Roots of
the Islamic Revolution in Iran (London: Open Press, 1983), 67-69.
[7]
Hamid Dabashi, Shi‘ism:
A Religion of Protest (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 91-92.
[8]
Vali Nasr, The Shia
Revival, 200-201.
[9]
Etan Kohlberg,
"Imamiyya," in Encyclopaedia of Islam, Second Edition,
ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012).
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Islam in
the Modern World: Challenged by the West, Threatened by Fundamentalism, Keeping
Faith with Tradition (New York: HarperOne, 2011), 182-183.
[11]
Amman Message (Amman: Royal Aal
al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2004).
[12]
Ayatollah Khamenei,
"The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic Unity Conference, Tehran,
2015.
9.
Kesimpulan
Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah merupakan salah satu
tradisi Islam yang kaya dengan dimensi sejarah, teologi, dan praktik keagamaan.
Dengan doktrin Imamah sebagai pusat kepercayaannya, Syiah Imamiyah
menawarkan perspektif yang unik dalam memahami kepemimpinan spiritual dan politik dalam Islam.¹ Sejak awal
kemunculannya, tradisi ini telah memainkan peran penting dalam membentuk wacana
keislaman, terutama melalui kontribusi intelektual dan spiritualnya.
Secara historis, Syiah Imamiyah menunjukkan
kemampuan bertahan di tengah tantangan yang dihadapinya, mulai dari penindasan
politik pada era kekhalifahan Sunni
hingga konflik sektarian yang masih berlangsung hingga saat ini.² Tragedi
Karbala, misalnya, bukan hanya menjadi simbol perjuangan melawan tirani, tetapi
juga pondasi yang membangun identitas
kolektif komunitas Syiah sebagai pembela nilai-nilai keadilan.³
Peran Dinasti Safawiyah dalam institusionalisasi
Syiah Imamiyah menunjukkan bagaimana tradisi ini berhasil berkembang dari
gerakan minoritas menjadi mazhab yang
memiliki pengaruh politik dan budaya yang luas.⁴ Revolusi Iran pada abad ke-20
lebih lanjut mengukuhkan posisi Syiah Imamiyah dalam kancah global,
menjadikannya kekuatan penting dalam geopolitik dunia Muslim.⁵
Namun, seperti halnya tradisi lainnya, Syiah
Imamiyah juga menghadapi berbagai tantangan kontemporer. Konflik sektarian,
politisasi agama, dan kebutuhan untuk merespons isu-isu modernitas menuntut
tradisi ini untuk terus beradaptasi. Dalam konteks ini, dialog antarmazhab menjadi salah satu jalan penting untuk mengurangi
kesalahpahaman dan memperkuat persatuan umat Islam.⁶
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa Syiah
Imamiyah bukan hanya sebuah mazhab keagamaan, tetapi juga sebuah tradisi
intelektual dan budaya yang memberikan kontribusi signifikan terhadap
perkembangan Islam secara
keseluruhan. Dengan pendekatan yang berorientasi pada keadilan, pengetahuan,
dan spiritualitas, Syiah Imamiyah menawarkan wawasan yang berharga bagi umat
Islam dan dunia pada umumnya.⁷
Sebagai bagian integral dari Islam, Syiah Imamiyah
berperan sebagai pengingat bahwa perbedaan teologis dalam umat Islam seharusnya
menjadi peluang untuk
memperkaya diskursus keilmuan dan spiritual, bukan menjadi alasan untuk
perpecahan. Dalam menghadapi tantangan global, penting bagi umat Islam untuk
mengedepankan dialog, toleransi, dan saling menghormati demi mencapai persatuan
yang kokoh.⁸
Catatan Kaki
[1]
Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam: The History and Doctrines
of Twelver Shi‘ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 132-134.
[2]
S.H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi‘a Islam
(London: Longman, 1979), 186-187.
[3]
Hamid Dabashi, Shi‘ism: A Religion of Protest (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2011), 45-47.
[4]
Roger Savory, Iran Under the Safavids (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 67.
[5]
Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts within Islam Will Shape
the Future (New York: Norton, 2006), 201.
[6]
Rainer Brunner, Islamic Ecumenism in the 20th Century: The Azhar and
Shiism Between Rapprochement and Restraint (Leiden: Brill, 2004), 118-120.
[7]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul
International, 1993), 55.
[8]
Ayatollah Khamenei, "The Unity of the Islamic Ummah," dalam Islamic
Unity Conference, Tehran, 2015.
Daftar Pustaka
Algar, H. (1983). Roots of the Islamic Revolution
in Iran. London: Open Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy.
London: Kegan Paul International.
Dabashi, H. (2011). Shi‘ism: A Religion of
Protest. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Daftary, F. (2007). The Ismailis: Their History
and Doctrines. Cambridge: Cambridge University Press.
Jafri, S. H. M. (1979). The Origins and Early
Development of Shi‘a Islam. London: Longman.
Kohlberg, E. (2012). Imamiyya. In P. Bearman et al.
(Eds.), Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Leiden: Brill.
Kulaini, M. Y. (1986). Al-Kafi (Vol. 1, ed.
A. A. al-Ghaffari). Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad:
A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.
Majlisi, A. (1983). Bihar al-Anwar (Vol. 1).
Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Momen, M. (1985). An Introduction to Shi‘i
Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi‘ism. New Haven: Yale
University Press.
Nasr, S. H. (2011). Islam in the Modern World:
Challenged by the West, Threatened by Fundamentalism, Keeping Faith with
Tradition. New York: HarperOne.
Nasr, V. (2006). The Shia Revival: How Conflicts
within Islam Will Shape the Future. New York: Norton.
Norton, A. R. (2007). Hezbollah: A Short History.
Princeton: Princeton University Press.
Savory, R. (2007). Iran Under the Safavids.
Cambridge: Cambridge University Press.
Tabatabai, M. H. (1970). Al-Mizan fi Tafsir
al-Qur'an (Vol. 1). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
The Amman Message. (2004). Amman: Royal Aal al-Bayt
Institute for Islamic Thought.
Lampiran: Kitab-Kitab yang Mendasari Keyakinan Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah
Berikut adalah daftar kitab-kitab utama yang
mendasari keyakinan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah:
1)
Al-Kafi
o
Penulis: Muhammad
bin Ya‘qub al-Kulaini (w. 941 M / 329 H)
o
Penjelasan: Al-Kafi
adalah salah satu kitab hadis utama dalam tradisi Syiah Imamiyah. Kitab ini
terdiri dari tiga bagian: Usul al-Kafi (teologi), Furu‘ al-Kafi
(fikih), dan Rawdat al-Kafi (nasehat dan hikmah). Kitab ini mengumpulkan
ribuan hadis yang dianggap sebagai panduan utama dalam teologi dan praktik
keagamaan Syiah.
2)
Man La Yahdhuruhu al-Faqih
o
Penulis: Ibn
Babawayh al-Qummi (w. 991 M / 381 H)
o
Penjelasan: Kitab ini
adalah panduan fikih Syiah yang berisi kumpulan hadis yang relevan dengan hukum
Islam. Ditulis untuk memudahkan umat Syiah memahami hukum tanpa harus merujuk
kepada ulama setiap saat.
3)
Tahdhib al-Ahkam
o
Penulis: Abu Ja‘far
Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 1067 M / 460 H)
o
Penjelasan: Kitab ini
adalah salah satu dari empat kitab hadis utama Syiah. Berisi penjelasan rinci
tentang hukum Islam berdasarkan hadis dan pendapat ulama Syiah.
4)
Al-Istibsar
o
Penulis: Abu Ja‘far
Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 1067 M / 460 H)
o
Penjelasan: Merupakan
koleksi hadis yang memberikan pandangan komprehensif tentang berbagai
permasalahan fikih yang mungkin memiliki perbedaan pendapat di kalangan ulama
Syiah.
5)
Nahj al-Balaghah
o
Penulis: Al-Sharif
al-Radhi (w. 1015 M / 406 H)
o
Penjelasan: Kitab ini
adalah kumpulan khutbah, surat, dan kata-kata mutiara dari Ali bin Abi Thalib.
Dikenal sebagai karya monumental dalam tradisi Syiah, kitab ini memberikan
wawasan tentang teologi, moralitas, dan filsafat Islam.
6)
Tafsir al-Qummi
o
Penulis: Ali bin Ibrahim
al-Qummi (w. 919 M / 307 H)
o
Penjelasan: Salah satu
tafsir Al-Qur'an awal dalam tradisi Syiah. Tafsir ini menggunakan pendekatan
literal dan esoteris, serta berfokus pada penafsiran ayat-ayat yang mendukung
doktrin Imamah.
7)
Bihar al-Anwar
o
Penulis: Allama
Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1699 M / 1110 H)
o
Penjelasan: Sebuah
ensiklopedia hadis dan tradisi Syiah yang mencakup berbagai topik, termasuk
sejarah, teologi, hukum, dan moralitas. Kitab ini menjadi referensi penting
dalam kajian Syiah Imamiyah.
8)
Kitab al-Irshad
o
Penulis: Al-Syaikh
al-Mufid (w. 1022 M / 413 H)
o
Penjelasan: Kitab ini
berisi biografi para Imam Syiah, dari Imam Ali bin Abi Thalib hingga Imam Hasan
al-Askari. Kitab ini memperkuat narasi Syiah tentang keutamaan para Imam dan
peran mereka dalam sejarah Islam.
9)
Al-Ghaybah
o
Penulis: Abu
Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Nu‘mani (w. 971 M / 360 H)
o
Penjelasan: Kitab ini
membahas doktrin ghaibah Imam Mahdi, termasuk argumen-argumen teologis
untuk membuktikan kebenarannya.
10)
Tafsir al-Mizan
o
Penulis: Allama
Muhammad Husain Tabatabai (w. 1981 M / 1401 H)
o
Penjelasan: Sebuah
tafsir modern yang menggabungkan pendekatan filosofis, linguistik, dan teologis
dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an. Kitab ini dianggap sebagai salah satu
karya tafsir paling penting dalam tradisi Syiah kontemporer.
Kesimpulan
Kitab-kitab ini menjadi pilar utama dalam
pengembangan teologi, fikih, dan praktik keagamaan Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah. Melalui kitab-kitab ini, tradisi Syiah mempertahankan ajaran dan
praktiknya sambil terus berkontribusi dalam diskursus Islam global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar