Motivasi Menuju Keberhasilan
Analisis Filosofis dan Psikologis atas Goal Orientation
Theory
Alihkan ke: Pemikiran Carol Dweck, Pemikiran Andrew
J. Elliot.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif Goal
Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot
(1985), dengan menelusuri landasan historis, dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, serta relevansinya dalam konteks sosial dan digital kontemporer.
Teori ini membedakan dua bentuk utama orientasi motivasi: performance
orientation (berorientasi hasil) dan mastery orientation
(berorientasi penguasaan). Keduanya merepresentasikan dua paradigma
eksistensial yang berbeda dalam memaknai keberhasilan manusia: yang pertama
berfokus pada pengakuan eksternal dan status sosial, sementara yang kedua
menekankan proses pembelajaran, pengembangan diri, dan pertumbuhan intrinsik.
Melalui pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan psikologi, filsafat, dan etika humanistik, artikel ini
menafsirkan teori Dweck dan Elliot sebagai kerangka reflektif tentang makna
belajar dan keberhasilan dalam kehidupan manusia. Analisis menunjukkan bahwa
orientasi penguasaan memiliki implikasi positif terhadap perkembangan kognitif,
afektif, dan moral, karena menumbuhkan self-efficacy, ketangguhan (resilience),
dan otonomi etis. Sebaliknya, orientasi hasil cenderung memperkuat kecemasan
performatif, kompetisi sosial, dan ketergantungan pada validasi eksternal.
Dalam konteks era digital, teori ini tetap relevan
namun menuntut reinterpretasi. Budaya algoritmik dan media sosial telah
melahirkan bentuk baru dari orientasi performatif—digital performance
orientation—yang menantang makna autentik dari pertumbuhan diri. Oleh
karena itu, artikel ini menawarkan sintesis filosofis berupa Etika Humanistik
tentang Keberhasilan, yaitu paradigma motivasional yang menempatkan
pembelajaran, refleksi diri, dan tanggung jawab sosial sebagai nilai moral yang
mendasari tindakan manusia. Kesimpulannya, Goal Orientation Theory tidak
hanya menjelaskan cara manusia berprestasi, tetapi juga menegaskan kembali
makna kemanusiaan dalam proses menjadi.
Kata Kunci: Goal
Orientation Theory, Carol Dweck, Andrew Elliot, motivasi, keberhasilan,
humanisme, etika belajar, orientasi penguasaan, orientasi hasil, era digital.
PEMBAHASAN
Goal Orientation Theory (Dweck & Elliot, 1985)
1.          
Pendahuluan
Dalam ranah psikologi pendidikan dan motivasi, Goal
Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J. Elliot
(1985) menandai sebuah tonggak penting dalam memahami bagaimana individu
memaknai dan mengejar keberhasilan. Teori ini tidak sekadar berbicara tentang “tujuan”
sebagai hasil akhir, tetapi lebih jauh menyoroti struktur motivasional yang
mendasari cara individu berinteraksi dengan tantangan, kegagalan, dan proses
belajar. Dweck dan Elliot berangkat dari pengamatan bahwa manusia tidak
memiliki motivasi tunggal untuk berprestasi; sebaliknya, mereka menunjukkan dua
kecenderungan dasar yang berbeda dalam mengejar keberhasilan—yakni orientasi
pada hasil (performance orientation) dan orientasi pada penguasaan (mastery
orientation).¹
Orientasi pada hasil mencerminkan dorongan untuk
menunjukkan kemampuan dan mendapatkan pengakuan eksternal. Individu dengan
orientasi ini berfokus pada bagaimana mereka dinilai oleh orang lain, apakah
mereka tampak “pintar” atau “berhasil,” serta pada pencapaian
yang dapat dibandingkan secara sosial—seperti menjadi juara, mendapatkan nilai
tertinggi, atau memenangkan persaingan.² Sebaliknya, orientasi pada penguasaan
menitikberatkan pada proses internal: keinginan untuk belajar, memahami, dan
mengembangkan kemampuan pribadi.³ Dalam konteks ini, keberhasilan tidak
didefinisikan oleh pengakuan eksternal, melainkan oleh sejauh mana seseorang
mengalami pertumbuhan dan kemajuan diri yang otentik.
Dari sudut pandang psikologi kognitif, kedua
orientasi ini berakar pada struktur keyakinan individu tentang kemampuan.
Dweck menunjukkan bahwa orientasi seseorang terhadap tujuan sangat dipengaruhi
oleh implicit theories of intelligence—yakni sejauh mana seseorang
meyakini bahwa kecerdasan bersifat tetap (entity theory) atau dapat
dikembangkan (incremental theory).⁴ Individu dengan incremental
theory cenderung mengembangkan orientasi penguasaan, karena mereka melihat
kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Sebaliknya, mereka yang
memegang entity theory cenderung berorientasi pada hasil, menghindari
situasi yang dapat mengungkapkan kekurangan diri, dan lebih terobsesi dengan
bagaimana penampilan mereka di hadapan orang lain.⁵
Dalam tataran filosofis, perbedaan antara orientasi
hasil dan orientasi penguasaan dapat dibaca sebagai refleksi dari dua paradigma
eksistensial yang lebih luas: paradigma kompetitif dan paradigma pengembangan
diri. Paradigma pertama melihat keberhasilan sebagai kemenangan atas orang
lain, sedangkan paradigma kedua melihatnya sebagai kemenangan atas diri
sendiri.⁶ Maka, teori Dweck dan Elliot bukan sekadar temuan psikologis, tetapi
juga membuka ruang refleksi ontologis tentang makna “keberhasilan” itu
sendiri—apakah ia bersifat eksternal dan kuantitatif, ataukah internal dan
kualitatif.
Relevansi teori ini menjadi semakin signifikan
dalam konteks masyarakat modern yang kompetitif dan terdigitalisasi. Budaya
media sosial dan ekonomi perhatian, misalnya, telah memperkuat orientasi pada
hasil, di mana likes, followers, dan pengakuan publik menjadi
ukuran keberhasilan baru.⁷ Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai penguasaan
dan pembelajaran intrinsik sering kali terpinggirkan. Oleh karena itu,
pembahasan mendalam tentang Goal Orientation Theory menjadi penting
bukan hanya untuk memahami perilaku individu, tetapi juga untuk menawarkan
kerangka etis dan humanistik dalam menavigasi motivasi di era yang serba
terukur dan performatif.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis
fondasi teoretis, dimensi filosofis, serta relevansi kontemporer dari Goal
Orientation Theory. Pembahasan akan meliputi landasan historis dan
genealogis teori, dimensi ontologis dan epistemologis tentang tujuan dan
pengetahuan diri, nilai-nilai aksiologis yang terkandung dalam orientasi
motivasi, serta kritik terhadap dikotomi klasik antara orientasi hasil dan
penguasaan. Pada akhirnya, kajian ini diharapkan dapat menyusun sintesis
filosofis menuju etika humanistik tentang keberhasilan, di mana motivasi
tidak lagi semata diarahkan pada prestasi lahiriah, melainkan pada pertumbuhan
dan pematangan eksistensial manusia secara utuh.
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A
Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal
of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.
[3]               
³ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 12–18.
[4]               
⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 6–9.
[5]               
⁵ Ibid., 30–35.
[6]               
⁶ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of
Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–123.
[7]               
⁷ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 152–158.
2.          
Landasan
Historis dan Genealogis
Perkembangan Goal Orientation Theory oleh
Carol Dweck dan Andrew J. Elliot pada tahun 1985 tidak dapat dilepaskan dari
tradisi panjang dalam psikologi motivasi yang telah berkembang sejak awal abad
ke-20. Genealogi teori ini mencerminkan perjalanan konseptual dari penekanan
pada dorongan eksternal menuju pemahaman yang lebih dalam tentang struktur
kognitif dan motivasi intrinsik manusia. Dalam konteks ini, Goal Orientation
Theory hadir sebagai sintesis kritis terhadap teori-teori motivasi
sebelumnya yang cenderung menekankan hasil (outcome) daripada proses
pembelajaran itu sendiri.¹
Akar historis teori ini dapat ditelusuri pada
pemikiran Henry A. Murray dan David C. McClelland, yang
memperkenalkan konsep need for achievement (nAch) sebagai salah
satu dorongan fundamental manusia.² McClelland berargumen bahwa individu dengan
kebutuhan berprestasi tinggi memiliki kecenderungan untuk menetapkan tujuan
menantang namun realistis, dan merasa puas bukan semata karena hasilnya,
melainkan karena proses pencapaiannya.³ Walau demikian, teori motivasi berprestasi
masih menempatkan keberhasilan dalam bingkai perilaku yang dapat diukur secara
eksternal, sehingga belum sepenuhnya menangkap kompleksitas motivasi kognitif
dan persepsi diri dalam proses belajar.
Pada dekade 1950–1970-an, muncul pendekatan baru yang
dikenal sebagai teori motivasi kognitif, yang berupaya memahami
bagaimana keyakinan dan harapan individu memengaruhi perilaku mereka. Di antara
tokoh kunci periode ini adalah Julian Rotter dengan Locus of Control
dan Albert Bandura dengan Social Cognitive Theory.⁴ Rotter
menunjukkan bahwa persepsi tentang kontrol—apakah seseorang meyakini hasil
ditentukan oleh usaha sendiri (internal locus) atau faktor eksternal (external
locus)—mempengaruhi tingkat motivasi dan keterlibatan individu.⁵ Bandura
kemudian memperluas pandangan ini melalui konsep self-efficacy, yaitu
keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengorganisasi dan melaksanakan
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.⁶ Pandangan Bandura
inilah yang menjadi salah satu fondasi epistemologis bagi teori orientasi
tujuan Dweck dan Elliot.
Dalam konteks akademik tahun 1970–1980-an, muncul
pula gelombang baru yang disebut sebagai cognitive evaluation theory dan
self-determination theory (Deci dan Ryan), yang menekankan pentingnya
motivasi intrinsik dan otonomi dalam pembelajaran.⁷ Teori-teori ini memandang
bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan dasar akan kompetensi, keterhubungan (relatedness),
dan otonomi, bukan semata oleh imbalan eksternal.⁸ Gagasan ini mempersiapkan
landasan aksiologis bagi Dweck dan Elliot untuk menyoroti perbedaan antara
motivasi yang diarahkan pada pengakuan sosial (ekstrinsik) dan motivasi yang
diarahkan pada penguasaan diri (intrinsik).
Carol Dweck kemudian memperkenalkan gagasan penting
tentang implicit theories of intelligence, yakni sistem kepercayaan
mendasar mengenai apakah kecerdasan bersifat tetap (entity theory) atau
dapat dikembangkan (incremental theory).⁹ Melalui penelitian
eksperimental terhadap siswa, Dweck menemukan bahwa keyakinan ini sangat menentukan
cara individu menghadapi tantangan, kegagalan, dan umpan balik.¹⁰ Individu
dengan incremental theory lebih cenderung menetapkan mastery goals,
yaitu berfokus pada pengembangan kompetensi dan pembelajaran berkelanjutan,
sedangkan individu dengan entity theory lebih cenderung mengadopsi performance
goals, yang berfokus pada pembuktian diri dan pengakuan sosial.¹¹
Andrew J. Elliot memperluas teori ini dengan
menambahkan dimensi approach dan avoidance, menghasilkan model
hierarkis motivasi berprestasi yang lebih kompleks.¹² Dalam model ini,
orientasi hasil dapat bersifat approach (mengejar pengakuan positif)
atau avoidance (menghindari penilaian negatif), sementara orientasi
penguasaan juga dapat memiliki kedua arah tersebut tergantung pada konteks
sosial dan psikologis.¹³ Dengan demikian, teori Dweck dan Elliot bukanlah hasil
tunggal dari satu paradigma psikologi, melainkan buah evolusi intelektual yang
melibatkan integrasi berbagai pendekatan: behavioristik, kognitif, dan
humanistik.
Secara genealogis, Goal Orientation Theory
merepresentasikan pergeseran epistemologis dari determinisme perilaku menuju
konstruktivisme motivasional. Jika teori-teori awal seperti Behaviorisme
(Watson, Skinner) melihat motivasi sebagai hasil penguatan eksternal, maka
Dweck dan Elliot menempatkan motivasi sebagai hasil dari sistem makna internal
dan persepsi diri.¹⁴ Paradigma baru ini menegaskan bahwa orientasi individu
terhadap tujuan bukan sekadar respon terhadap stimulus, melainkan ekspresi dari
struktur kesadaran dan nilai-nilai yang diyakininya.¹⁵
Oleh karena itu, secara historis dan genealogis,
teori orientasi tujuan dapat dipahami sebagai hasil dari pergeseran paradigma
besar dalam psikologi: dari manusia sebagai objek perilaku menuju manusia
sebagai subjek reflektif yang membangun makna. Ia merepresentasikan semangat
humanistik yang mengakui potensi manusia untuk tumbuh, belajar, dan mengarahkan
diri secara sadar menuju kesempurnaan pribadi. Dalam konteks ini, Goal
Orientation Theory tidak hanya berperan sebagai kerangka psikologis, tetapi
juga sebagai landasan filosofis bagi pembentukan etika belajar dan
keberhasilan yang berpusat pada manusia.
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Henry A. Murray, Explorations in Personality
(New York: Oxford University Press, 1938), 164–172.
[3]               
³ David C. McClelland, The Achieving Society
(New York: Free Press, 1961), 42–45.
[4]               
⁴ Albert Bandura, Social Foundations of Thought
and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1986), 18–22.
[5]               
⁵ Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for
Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological Monographs
80, no. 1 (1966): 1–28.
[6]               
⁶ Bandura, Social Foundations of Thought and
Action, 391–395.
[7]               
⁷ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic
Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum
Press, 1985), 102–110.
[8]               
⁸ Ibid., 112–119.
[9]               
⁹ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 17–23.
[10]            
¹⁰ Carol S. Dweck dan Ellen L. Leggett, “A
Social-Cognitive Approach to Motivation and Personality,” Psychological
Review 95, no. 2 (1988): 256–273.
[11]            
¹¹ Ibid., 259–261.
[12]            
¹² Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A
Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal
of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.
[13]            
¹³ Ibid., 225–228.
[14]            
¹⁴ B. F. Skinner, Science and Human Behavior
(New York: Macmillan, 1953), 82–84.
[15]            
¹⁵ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality,
3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 45–48.
3.          
Ontologi:
Hakikat Keberhasilan dan Tujuan
Dalam perspektif ontologis, Goal Orientation
Theory membuka ruang refleksi yang lebih dalam mengenai hakikat
keberhasilan dan tujuan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Dweck dan
Elliot memandang bahwa cara individu menetapkan dan mengejar tujuan tidak
semata-mata bersifat psikologis, melainkan juga mencerminkan struktur ontologis
manusia sebagai makhluk yang senantiasa “menjadi” (being-in-becoming).¹
Dengan demikian, teori ini tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia
termotivasi, tetapi juga mengapa dan untuk apa manusia
mengarahkan diri pada sesuatu yang disebut “keberhasilan.”
Secara ontologis, keberhasilan (success)
dalam orientasi hasil (performance orientation) dan penguasaan (mastery
orientation) mencerminkan dua cara keberadaan (modes of being) yang
berbeda. Orientasi hasil mendefinisikan keberhasilan sebagai status eksternal
yang diakui oleh orang lain—sebuah modus memiliki (having) yang
bergantung pada pengakuan sosial.² Sementara itu, orientasi penguasaan memaknai
keberhasilan sebagai proses aktualisasi diri yang berkelanjutan—sebuah modus
menjadi (being) yang berfokus pada transformasi eksistensial dan
peningkatan kapasitas diri.³ Perbedaan ini mengandung implikasi ontologis yang
mendasar: orientasi hasil berakar pada ontologi representatif, di mana
nilai diri ditentukan oleh citra dan posisi dalam sistem sosial, sedangkan
orientasi penguasaan berakar pada ontologi prosesual, di mana keberadaan
dipahami sebagai pertumbuhan terus-menerus menuju potensi tertinggi manusia.⁴
Pandangan ini memiliki resonansi dengan filsafat
Aristoteles tentang telos—tujuan akhir setiap tindakan manusia. Bagi
Aristoteles, segala tindakan memiliki tujuan intrinsik yang mengarah pada eudaimonia,
yaitu kebahagiaan yang lahir dari aktualisasi potensi terdalam manusia.⁵ Dalam
konteks Goal Orientation Theory, orientasi penguasaan dapat dilihat
sebagai manifestasi dari telos eudaimonik, karena ia menekankan proses
pengembangan diri sebagai bentuk kesempurnaan moral dan intelektual.
Sebaliknya, orientasi hasil lebih dekat dengan telos hedonic yang
menekankan pencapaian kepuasan eksternal dan pengakuan sosial.⁶ Maka, dapat
dikatakan bahwa mastery orientation merepresentasikan bentuk keberadaan
yang selaras dengan filsafat kebajikan Aristotelian—di mana keberhasilan sejati
bukanlah hasil kompetisi, melainkan realisasi potensi internal yang bernilai
pada dirinya sendiri.
Lebih jauh, dalam kerangka eksistensialisme,
orientasi terhadap tujuan mencerminkan kesadaran manusia akan dirinya sebagai
subjek bebas yang menafsirkan makna hidup. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa
eksistensi mendahului esensi—manusia tidak memiliki makna yang tetap, tetapi
membentuk makna melalui tindakan dan pilihan.⁷ Dengan demikian, orientasi
penguasaan mencerminkan proyek eksistensial di mana individu menegaskan
kebebasannya untuk tumbuh dan menjadi lebih baik, sementara orientasi hasil
dapat dipandang sebagai bentuk keterasingan eksistensial, ketika makna diri
ditentukan oleh pandangan eksternal dan norma kompetitif masyarakat.⁸ Dalam
konteks ini, teori Dweck dan Elliot memberikan kerangka ilmiah bagi tesis
eksistensialis bahwa keberhasilan sejati bersumber dari otentisitas diri, bukan
dari konformitas sosial.
Selain itu, pendekatan ontologis terhadap teori ini
juga membuka ruang untuk memahami tujuan bukan hanya sebagai sesuatu
yang dicapai, tetapi sebagai struktur makna yang memberi arah pada
eksistensi manusia. Martin Heidegger dalam Being and Time menyebut
bahwa manusia, sebagai Dasein, selalu hidup dalam horizon “menuju
sesuatu” (being-toward), yang berarti bahwa eksistensi manusia
hakikatnya teleologis.⁹ Tujuan tidak hanya berada di luar diri sebagai target
eksternal, melainkan tertanam dalam kesadaran eksistensial manusia yang selalu
melampaui dirinya. Orientasi penguasaan, dalam kerangka ini, merupakan bentuk
autentik dari being-toward-growth, yakni keberadaan yang sadar akan
kemungkinan dan keterbatasannya sendiri, serta memilih untuk berkembang secara reflektif.¹⁰
Dalam kerangka etika humanistik, orientasi
penguasaan juga beresonansi dengan pemikiran Abraham Maslow tentang self-actualization,
di mana individu yang sehat secara psikologis bukanlah mereka yang terobsesi
dengan pencapaian eksternal, tetapi mereka yang mampu merealisasikan potensi
terdalamnya dalam kebersamaan dengan orang lain.¹¹ Sementara itu, orientasi
hasil cenderung beroperasi dalam logika perbandingan dan hierarki sosial, yang
dalam jangka panjang dapat menimbulkan alienasi diri dan ketergantungan
terhadap validasi eksternal.¹²
Dari perspektif ontologi nilai, keberhasilan sejati
tidak dapat direduksi menjadi capaian yang dapat diukur secara kuantitatif. Ia
merupakan fenomena qualitative being—keberadaan yang bernilai karena
mengandung kesempurnaan moral, kognitif, dan emosional.¹³ Oleh karena itu, Goal
Orientation Theory sesungguhnya mengajak kita untuk meninjau kembali
paradigma modern tentang “berhasil” dan “gagal.” Ia menantang
logika kompetitif yang sempit dengan mengusulkan model keberhasilan yang
bersifat dialogis: keberhasilan yang diukur bukan hanya oleh sejauh mana
seseorang mengungguli orang lain, melainkan sejauh mana ia mampu mengatasi
dirinya sendiri.¹⁴
Dengan demikian, secara ontologis, teori Dweck dan
Elliot tidak hanya mendeskripsikan dua tipe motivasi, tetapi juga
mengimplikasikan dua cara manusia berada di dunia: sebagai makhluk yang
mengejar pengakuan (performance being) dan sebagai makhluk yang mencari
pertumbuhan (mastery being). Orientasi penguasaan, dalam makna terdalamnya,
menegaskan bahwa keberhasilan manusia bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan
sesuatu yang dijalani—sebuah perjalanan eksistensial menuju keterpenuhan
diri yang otentik.¹⁵
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 22–25.
[3]               
³ Ibid., 34–36.
[4]               
⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The
Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1989), 40–44.
[5]               
⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.
[6]               
⁶ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 36–41.
[7]               
⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 34–37.
[8]               
⁸ Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1948), 68–73.
[9]               
⁹ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 68–72.
[10]            
¹⁰ Ibid., 243–247.
[11]            
¹¹ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of
Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–119.
[12]            
¹² Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into
the Psychology of Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947),
95–98.
[13]            
¹³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 111–113.
[14]            
¹⁴ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 27–31.
[15]            
¹⁵ Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 102–106.
4.          
Epistemologi:
Pengetahuan tentang Diri dan Proses Belajar
Dimensi epistemologis dalam Goal Orientation
Theory menyoroti pertanyaan mendasar tentang bagaimana individu mengetahui
dirinya, memahami kemampuannya, serta membangun pengetahuan
melalui pengalaman belajar. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
pengetahuan bukan sekadar hasil akumulasi informasi, melainkan suatu proses
reflektif yang dipengaruhi oleh keyakinan dasar tentang kemampuan, kesalahan,
dan pertumbuhan.¹ Dengan demikian, epistemologi dalam konteks teori Dweck dan
Elliot tidak hanya berfokus pada apa yang diketahui, tetapi juga pada bagaimana
pengetahuan itu dihasilkan dan mengapa individu mengarahkan dirinya pada
jenis pengetahuan tertentu.
Carol Dweck memperkenalkan konsep kunci implicit
theories of intelligence—yakni sistem kepercayaan yang membentuk cara
seseorang menafsirkan kemampuan dan proses belajar.² Individu dengan entity
theory meyakini bahwa kecerdasan bersifat tetap dan tidak dapat diubah
secara signifikan; akibatnya, mereka cenderung mencari situasi yang menegaskan
kompetensinya dan menghindari tantangan yang berpotensi menimbulkan kegagalan.³
Sebaliknya, individu dengan incremental theory meyakini bahwa kemampuan
dapat dikembangkan melalui usaha, strategi, dan refleksi; mereka melihat
kesalahan sebagai sumber informasi epistemik yang berharga dalam memperluas
kapasitas pengetahuan.⁴ Di sinilah tampak bahwa Goal Orientation Theory
mengandung dimensi epistemologi humanistik—bahwa pengetahuan sejati tidak hanya
bersifat kognitif, tetapi juga transformatif: ia membentuk identitas dan
kesadaran diri.
Epistemologi dalam teori ini juga menyangkut
hubungan antara pengetahuan dan nilai diri. Dalam orientasi hasil (performance
orientation), pengetahuan berfungsi sebagai alat pembuktian: sesuatu yang
dimiliki untuk menunjukkan superioritas.⁵ Proses belajar dipersempit menjadi
arena performatif di mana pengetahuan diukur melalui hasil eksternal seperti
nilai, ranking, atau pengakuan sosial. Sementara itu, dalam orientasi
penguasaan (mastery orientation), pengetahuan dipahami sebagai ruang
partisipasi dalam dialog dengan realitas; belajar menjadi proses pembentukan
makna yang terus-menerus (meaning-making process).⁶ Perbedaan ini
merefleksikan dua paradigma epistemologis yang lebih luas: epistemologi
representasional, yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi
objektif dunia luar, dan epistemologi konstruktivis, yang memandang
pengetahuan sebagai konstruksi subjektif yang tumbuh melalui refleksi diri dan
pengalaman.⁷
Lebih jauh, Goal Orientation Theory
mengimplikasikan bahwa pengetahuan tentang diri (self-knowledge)
merupakan fondasi dari seluruh dinamika belajar. Proses metakognitif—yakni
kemampuan untuk memantau, menilai, dan mengatur cara berpikir sendiri—memainkan
peran sentral dalam membentuk orientasi penguasaan.⁸ Dalam hal ini, refleksi
menjadi bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga moral dan
eksistensial. John Dewey menyebut refleksi sebagai “proses aktif, gigih, dan
penuh pertimbangan dalam menguji keyakinan dan pengetahuan dalam terang alasan
yang mendasarinya.”⁹ Dweck sejalan dengan pandangan ini ketika menekankan
bahwa kemampuan untuk melihat kesalahan sebagai kesempatan belajar adalah tanda
dari epistemic maturity—kematangan epistemik yang membedakan pembelajar
sejati dari pencari validasi eksternal.¹⁰
Orientasi penguasaan juga memiliki hubungan erat
dengan epistemic curiosity—dorongan untuk mengetahui demi pengetahuan
itu sendiri.¹¹ Individu yang memiliki rasa ingin tahu epistemik tinggi tidak
hanya tertarik pada jawaban, tetapi juga pada proses dan makna di baliknya. Hal
ini selaras dengan pandangan Immanuel Kant bahwa “pengetahuan sejati tumbuh
dari keberanian untuk berpikir secara otonom” (sapere aude!).¹²
Dalam orientasi ini, pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai alat kuasa,
melainkan sebagai sarana pembebasan diri dari ketidaktahuan dan ketergantungan
intelektual.
Dari perspektif fenomenologis, orientasi terhadap
belajar juga merefleksikan cara manusia mengalami dunia pengetahuan. Edmund
Husserl mengingatkan bahwa semua pengetahuan berakar pada kesadaran
intensional—kesadaran yang selalu terarah pada sesuatu.¹³ Dalam kerangka ini,
orientasi penguasaan dapat dipahami sebagai bentuk intensionalitas terbuka, di
mana kesadaran senantiasa melampaui dirinya menuju pemahaman yang lebih luas,
sedangkan orientasi hasil cenderung menutup intensionalitas pada objek
penilaian eksternal.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi Goal Orientation Theory
tidak hanya berbicara tentang kognisi, tetapi juga tentang struktur
kesadaran: apakah kesadaran diarahkan pada pemahaman dunia, atau pada
peneguhan ego.
Selain itu, epistemologi teori ini mengandung
dimensi sosial yang signifikan. Pengetahuan tidak pernah lahir dalam ruang
hampa; ia terbentuk melalui interaksi, kolaborasi, dan pertukaran makna. Lev
Vygotsky, melalui konsep zone of proximal development, menegaskan bahwa
belajar adalah proses sosial yang dimediasi oleh bahasa dan budaya.¹⁵ Dalam
konteks orientasi penguasaan, pembelajar aktif membangun makna bersama melalui
dialog dan kerja sama, sedangkan dalam orientasi hasil, proses belajar sering
direduksi menjadi kompetisi antarindividu.¹⁶ Dengan demikian, orientasi
epistemik seseorang bukan hanya hasil dari struktur kognitif internal, tetapi
juga produk dari ekologi sosial yang membentuk cara berpikir dan belajar.
Akhirnya, epistemologi Goal Orientation Theory
menuntun kita pada pemahaman bahwa mengetahui diri sendiri adalah inti dari
semua pengetahuan yang bermakna. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah
objek statis yang dimiliki, tetapi dinamika kesadaran yang terus berkembang
melalui refleksi, pengalaman, dan dialog dengan dunia. Orientasi penguasaan
menjadi bentuk tertinggi dari praksis epistemik, karena ia memandang belajar
sebagai proses menjadi manusia yang lebih sadar, otonom, dan berintegritas.
Sebaliknya, orientasi hasil, bila tidak dikritisi, berisiko menjerumuskan
individu pada epistemologi performatif yang dangkal, di mana mengetahui menjadi
sekadar sarana untuk dinilai, bukan untuk memahami.
Dengan demikian, epistemologi dalam Goal
Orientation Theory menegaskan bahwa setiap proses belajar sejati adalah pencarian
eksistensial akan makna—suatu perjalanan menuju pemahaman diri, dunia, dan
hubungan antara keduanya.¹⁷
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 5–9.
[3]               
³ Ibid., 12–14.
[4]               
⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 25–30.
[5]               
⁵ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A
Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal
of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.
[6]               
⁶ David Kolb, Experiential Learning: Experience
as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1984), 41–43.
[7]               
⁷ Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism:
A Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995), 12–15.
[8]               
⁸ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive
Monitoring: A New Area of Cognitive–Developmental Inquiry,” American
Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.
[9]               
⁹ John Dewey, How We Think (Boston: D.C.
Heath & Co., 1910), 6–8.
[10]            
¹⁰ Dweck, Self-Theories, 78–82.
[11]            
¹¹ Jordan A. Litman, “Epistemic Curiosity,” dalam Encyclopedia
of Creativity, ed. Mark A. Runco dan Steven R. Pritzker (San Diego:
Academic Press, 1999), 491–496.
[12]            
¹² Immanuel Kant, An Answer to the Question:
What is Enlightenment?, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), 54–55.
[13]            
¹³ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 85–88.
[14]            
¹⁴ Jean-Paul Sartre, The Transcendence of the
Ego: An Existentialist Theory of Consciousness, trans. Forrest Williams dan
Robert Kirkpatrick (New York: Noonday Press, 1957), 29–33.
[15]            
¹⁵ Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The
Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–86.
[16]            
¹⁶ Etienne Wenger, Communities of Practice:
Learning, Meaning, and Identity (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 68–72.
[17]            
¹⁷ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.
5.          
Aksiologi:
Nilai dan Tujuan Hidup dalam Orientasi Motivasi
Dimensi aksiologis dari Goal Orientation Theory
menyoroti aspek normatif dan etis dari motivasi manusia: apa yang dianggap
bernilai dalam mengejar tujuan, dan bagaimana nilai-nilai itu membentuk
orientasi hidup seseorang. Dalam kerangka Dweck dan Elliot, motivasi bukan
sekadar energi psikis yang menggerakkan tindakan, melainkan refleksi atas
sistem nilai yang diinternalisasi oleh individu.¹ Orientasi seseorang terhadap
hasil (performance orientation) atau penguasaan (mastery orientation)
tidak hanya menunjukkan strategi kognitif yang berbeda, tetapi juga menyingkap pandangan
nilai tentang makna keberhasilan, tanggung jawab, dan kehidupan yang baik.²
Secara aksiologis, orientasi hasil bertumpu pada
nilai-nilai eksternal yang bersifat kompetitif, hierarkis, dan performatif.
Keberhasilan dipandang bernilai sejauh ia dapat diakui secara sosial atau
diukur secara objektif—misalnya melalui peringkat, penghargaan, atau status.³
Dengan demikian, orientasi ini menempatkan nilai-nilai seperti pengakuan,
prestise, dan perbandingan sosial sebagai kriteria utama pencapaian. Namun,
nilai-nilai tersebut bersifat instrumental, karena keberhasilan hanya
dihargai sejauh ia menjadi sarana bagi pencitraan diri di hadapan orang lain.⁴
Sebaliknya, orientasi penguasaan berakar pada nilai-nilai intrinsik dan
otonom, di mana keberhasilan dimaknai melalui pertumbuhan diri,
pembelajaran berkelanjutan, dan kejujuran terhadap potensi pribadi.⁵ Dalam
orientasi ini, tindakan memperoleh nilai karena ia mengandung kebaikan pada
dirinya sendiri, bukan karena manfaat eksternal yang mungkin menyertainya.
Dalam tradisi filsafat nilai, perbedaan ini
mengingatkan pada distingsi yang dikemukakan oleh Immanuel Kant antara nilai
instrumental (heteronom) dan nilai intrinsik (otonom).⁶ Menurut
Kant, tindakan memiliki nilai moral sejati hanya apabila dilakukan karena
kewajiban dan prinsip rasional internal, bukan karena dorongan eksternal atau
konsekuensi yang diharapkan.⁷ Dalam konteks Goal Orientation Theory,
orientasi penguasaan mencerminkan semangat otonomi Kantian: individu bertindak
berdasarkan prinsip internal untuk berkembang dan menjadi lebih baik, bukan
untuk memperoleh validasi eksternal. Sebaliknya, orientasi hasil mencerminkan
bentuk heteronomi moral—di mana nilai tindakan ditentukan oleh norma sosial dan
ekspektasi publik, bukan oleh kesadaran moral yang reflektif.
Nilai yang terkandung dalam orientasi penguasaan
juga beresonansi dengan etika humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow
dan Carl Rogers. Maslow memandang self-actualization sebagai nilai
puncak (growth value) yang mengarahkan individu untuk menjadi versi terbaik
dari dirinya.⁸ Dalam pandangan ini, belajar dan bekerja bukanlah kewajiban
eksternal, melainkan ekspresi dari dorongan batin untuk mewujudkan potensi
tertinggi manusia. Rogers, dengan konsep fully functioning person,
menegaskan bahwa individu yang sehat secara moral dan psikologis adalah mereka
yang hidup sesuai dengan nilai-nilai keaslian, kebebasan, dan keterbukaan
terhadap pengalaman.⁹ Dalam hal ini, orientasi penguasaan bukan hanya strategi
motivasional, melainkan juga suatu etos hidup humanistik yang menolak
reduksi manusia menjadi sekadar mesin kompetisi.
Selain dimensi individual, aksiologi orientasi
tujuan juga memiliki implikasi sosial dan politik. Orientasi hasil, dengan
penekanannya pada kompetisi dan pembandingan sosial, dapat memperkuat struktur
sosial yang hierarkis dan eksklusif.¹⁰ Ia menciptakan budaya “pemenang dan
pecundang” di mana nilai seseorang ditentukan oleh performa, bukan oleh
kontribusi atau integritas. Dalam konteks pendidikan dan organisasi modern, hal
ini melahirkan fenomena toxic achievement culture—budaya di mana nilai
manusia diukur semata oleh produktivitas dan hasil yang tampak.¹¹ Sebaliknya,
orientasi penguasaan mengusung nilai-nilai solidaritas, kolaborasi, dan
pertumbuhan bersama.¹² Dalam paradigma ini, belajar dan bekerja bukan sekadar
sarana mencapai keunggulan pribadi, tetapi juga cara membangun kebaikan
kolektif.
Aksiologi Goal Orientation Theory dengan
demikian menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam motivasi manusia bukanlah
kemenangan, melainkan pertumbuhan. Nilai penguasaan menekankan prinsip
bahwa setiap individu memiliki martabat yang sama untuk belajar, gagal, dan
berkembang tanpa harus tunduk pada logika pembandingan sosial. Dalam hal ini,
teori Dweck dan Elliot beririsan dengan etika eksistensialis yang menolak
penilaian moral berbasis hasil. Jean-Paul Sartre menulis bahwa “nilai tidak
ada sebelum tindakan; manusialah yang memberi nilai melalui pilihannya.”¹³
Pandangan ini menunjukkan bahwa nilai bukanlah entitas eksternal yang menilai
manusia, tetapi produk kebebasan dan tanggung jawab manusia itu sendiri.
Lebih jauh lagi, orientasi penguasaan membawa
implikasi aksiologis dalam konteks spiritual dan moral. Dalam tradisi Timur,
khususnya dalam filsafat Buddhis dan Konfusian, nilai tertinggi bukanlah
kemenangan atas orang lain, melainkan pengendalian diri dan keselarasan
batin.¹⁴ Prinsip ini paralel dengan orientasi penguasaan yang memandang
keberhasilan sebagai perjalanan batin menuju keseimbangan dan kebijaksanaan.
Dengan demikian, teori orientasi tujuan dapat dibaca sebagai jembatan antara
etika Barat yang menekankan otonomi individu dan etika Timur yang menekankan
harmoni dan pengendalian diri.
Dari sudut pandang aksiologi kontemporer, teori ini
menantang paradigma ekonomi neoliberal yang memuja kinerja dan hasil.¹⁵ Ia
menawarkan alternatif nilai yang berpusat pada being ketimbang having,
pada keaslian ketimbang representasi, dan pada pertumbuhan ketimbang
kemenangan. Nilai-nilai ini memiliki implikasi luas bagi pendidikan, psikologi
organisasi, dan kebijakan publik: bahwa keberhasilan sejati tidak dapat diukur
dengan angka, tetapi dengan kedalaman transformasi manusia yang mengalaminya.¹⁶
Dengan demikian, Goal Orientation Theory
tidak hanya menjelaskan dinamika motivasional, tetapi juga mengusulkan suatu etika
kehidupan yang berorientasi pada pembelajaran, kejujuran diri, dan kebajikan
internal. Orientasi penguasaan menjadi simbol nilai tertinggi dari
eksistensi manusia: keberanian untuk terus tumbuh, bukan demi pengakuan,
melainkan demi kebenaran dan kemanusiaan itu sendiri.¹⁷
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 23–27.
[3]               
³ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A
Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal
of Personality and Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.
[4]               
⁴ Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into
the Psychology of Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947),
95–98.
[5]               
⁵ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of
Being, 2nd ed. (New York: Van Nostrand, 1968), 115–119.
[6]               
⁶ Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics
of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 43–46.
[7]               
⁷ Ibid., 47–49.
[8]               
⁸ Maslow, Toward a Psychology of Being,
120–124.
[9]               
⁹ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s
View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 186–190.
[10]            
¹⁰ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social
Critique of the Judgment of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1984), 210–215.
[11]            
¹¹ Alfie Kohn, Punished by Rewards: The Trouble
with Gold Stars, Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes (Boston:
Houghton Mifflin, 1993), 29–32.
[12]            
¹² Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Self-Determination
Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness
(New York: Guilford Press, 2017), 42–46.
[13]            
¹³ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007),
45–47.
[14]            
¹⁴ Confucius, The Analects, trans. Arthur
Waley (New York: Vintage, 1989), 72–74.
[15]            
¹⁵ Byung-Chul Han, The Burnout Society,
trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 17–21.
[16]            
¹⁶ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 30–35.
[17]            
¹⁷ Dweck, Mindset: The New Psychology of Success
(New York: Random House, 2006), 110–115.
6.          
Dimensi
Psikologis dan Perilaku
Dimensi psikologis dan perilaku dalam Goal
Orientation Theory berfungsi sebagai jembatan antara struktur kognitif
(keyakinan tentang kemampuan) dan manifestasi konkret dalam tindakan manusia.
Carol Dweck dan Andrew Elliot mengembangkan teori ini untuk menjelaskan
bagaimana orientasi tujuan internal membentuk pola berpikir, emosi, dan
perilaku individu dalam menghadapi tantangan, kegagalan, dan pembelajaran.¹
Secara psikologis, teori ini menunjukkan bahwa orientasi terhadap penguasaan (mastery
orientation) dan orientasi terhadap hasil (performance orientation)
bukan hanya preferensi motivasional, tetapi struktur kepribadian dinamis
yang memengaruhi seluruh sistem afektif dan perilaku manusia.²
Dalam orientasi hasil, perilaku seseorang cenderung
dikendalikan oleh kebutuhan akan validasi eksternal. Individu dengan orientasi
ini memiliki ego-involved motivation, yakni keterikatan emosional terhadap
penilaian sosial atas prestasi mereka.³ Ketika berhasil, mereka mengalami
peningkatan harga diri yang signifikan; namun ketika gagal, mereka lebih mudah
mengalami frustrasi, rasa malu, dan bahkan kecemasan performatif.⁴ Sebaliknya,
individu dengan orientasi penguasaan didorong oleh task-involved motivation,
di mana fokusnya terletak pada tugas, proses, dan peningkatan kemampuan
pribadi.⁵ Orientasi ini menghasilkan perilaku yang lebih adaptif terhadap
kegagalan karena individu memandang kesalahan sebagai bagian integral dari
pembelajaran, bukan ancaman terhadap harga diri.
Dalam konteks psikologi kognitif, perbedaan antara
kedua orientasi tersebut berkaitan dengan mekanisme atribusi kausal. Fritz
Heider dan Bernard Weiner mengemukakan bahwa cara seseorang menjelaskan
sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan menentukan reaksi emosional dan
perilaku selanjutnya.⁶ Individu berorientasi hasil cenderung mengatribusikan
kegagalan pada faktor stabil seperti kurangnya kemampuan, yang kemudian
menurunkan motivasi mereka untuk mencoba kembali.⁷ Sebaliknya, individu
berorientasi penguasaan lebih mungkin mengatribusikan kegagalan pada faktor
yang dapat diubah, seperti kurangnya strategi atau usaha, sehingga mereka tetap
termotivasi untuk memperbaiki diri.⁸ Dengan demikian, orientasi penguasaan
memperkuat resilience psikologis—kemampuan untuk bangkit dan belajar
dari pengalaman negatif.
Secara afektif, kedua orientasi ini juga
menunjukkan perbedaan pola emosi yang signifikan. Penelitian Elliot dan
McGregor (2001) menunjukkan bahwa performance-avoidance orientation
sering dikaitkan dengan kecemasan tinggi, perfeksionisme maladaptif, dan fear
of failure, sedangkan mastery-approach orientation berhubungan
dengan kepuasan intrinsik, flow experience, dan kesejahteraan psikologis.⁹
Emosi positif dalam orientasi penguasaan berfungsi sebagai reinforcer
internal yang memperkuat motivasi intrinsik, sedangkan emosi negatif dalam
orientasi hasil sering kali memperkuat siklus ketakutan terhadap kegagalan (failure-avoidance
loop).¹⁰
Dalam tataran perilaku, orientasi penguasaan
menghasilkan gaya belajar yang eksploratif, reflektif, dan kolaboratif.¹¹
Individu dengan orientasi ini menunjukkan kecenderungan untuk mencari umpan
balik (feedback-seeking behavior), menerapkan strategi belajar yang
fleksibel, dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.¹² Mereka juga
menunjukkan tingkat self-regulated learning yang lebih tinggi, yakni
kemampuan untuk mengatur tujuan, memantau kemajuan, dan mengevaluasi hasil
secara mandiri.¹³ Sebaliknya, individu dengan orientasi hasil cenderung
menampilkan perilaku defensif terhadap kritik, menghindari tugas sulit, dan
hanya berpartisipasi dalam aktivitas yang menjanjikan pengakuan eksternal.¹⁴
Dalam konteks organisasi dan pendidikan, perilaku ini sering menimbulkan surface
learning—pembelajaran dangkal yang berfokus pada penampilan, bukan
pemahaman mendalam.¹⁵
Dimensi psikologis teori ini juga mencakup aspek self-efficacy
sebagaimana dirumuskan oleh Albert Bandura. Self-efficacy atau keyakinan
terhadap kemampuan diri menjadi penentu utama arah dan intensitas motivasi.¹⁶
Individu berorientasi penguasaan memiliki self-efficacy yang bersifat
dinamis—ia tumbuh melalui keberhasilan kecil dan pengalaman belajar yang
bermakna. Sebaliknya, individu berorientasi hasil memiliki self-efficacy
yang rapuh dan fluktuatif, tergantung pada pengakuan eksternal.¹⁷ Perbedaan ini
menunjukkan bahwa Goal Orientation Theory tidak hanya menjelaskan
perilaku dalam konteks kompetitif, tetapi juga bagaimana individu membangun
identitas psikologis mereka melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan.
Lebih jauh, dimensi perilaku orientasi tujuan juga
memiliki kaitan erat dengan konsep self-determination (Deci dan Ryan).¹⁸
Dalam kerangka Self-Determination Theory, motivasi manusia berada pada
kontinum antara kontrol eksternal dan otonomi internal. Orientasi hasil
mencerminkan motivasi yang dikontrol dari luar (controlled motivation),
di mana individu bertindak karena tekanan sosial atau keinginan untuk
menghindari kegagalan. Sebaliknya, orientasi penguasaan menampilkan motivasi
otonom (autonomous motivation), di mana tindakan dilakukan karena
kesesuaian dengan nilai dan aspirasi diri.¹⁹ Hubungan ini memperjelas bahwa
teori orientasi tujuan sesungguhnya memiliki implikasi aksiologis—bahwa
pembentukan perilaku adaptif menuntut pengakuan atas kebebasan dan tanggung
jawab individu terhadap proses belajarnya sendiri.
Dari perspektif perkembangan kepribadian, kedua
orientasi ini juga memengaruhi pembentukan self-concept. Individu dengan
orientasi hasil membangun self-concept yang bersifat
kontingen—tergantung pada kinerja dan penilaian sosial.²⁰ Sebaliknya, orientasi
penguasaan menghasilkan self-concept yang stabil, berakar pada kesadaran
diri dan nilai personal.²¹ Self-concept yang stabil ini menjadi dasar
bagi pembentukan kepribadian resilien dan tangguh terhadap tekanan sosial
maupun kegagalan eksternal.
Dalam kerangka sosial-psikologis yang lebih luas, Goal
Orientation Theory juga berimplikasi terhadap perilaku kolektif dan budaya
organisasi. Studi menunjukkan bahwa organisasi yang menumbuhkan mastery
climate—iklim yang menekankan pembelajaran dan kolaborasi—cenderung
menghasilkan anggota yang lebih kreatif, berdaya tahan, dan loyal.²²
Sebaliknya, organisasi yang menekankan performance climate—lingkungan
kerja berbasis kompetisi dan perbandingan—lebih rentan terhadap stres, konflik,
dan penurunan moral.²³ Oleh karena itu, teori ini tidak hanya relevan untuk
individu, tetapi juga untuk desain sistem sosial yang mendukung keseimbangan
antara motivasi dan kesejahteraan.
Dengan demikian, dimensi psikologis dan perilaku Goal
Orientation Theory menegaskan bahwa keberhasilan sejati tidak lahir dari
dorongan untuk tampil unggul, melainkan dari komitmen batin untuk tumbuh dan
memahami diri sendiri. Dalam kerangka ini, orientasi penguasaan menjadi
bentuk praksis psikologis dari kebajikan Aristotelian—yakni energeia,
tindakan yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri.²⁴ Ia mempertemukan
motivasi, emosi, dan tindakan dalam satu kesatuan dinamis yang menegaskan
kemanusiaan individu sebagai makhluk yang belajar, berjuang, dan senantiasa
berkembang menuju kesempurnaan diri.²⁵
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 10–12.
[3]               
³ John Nicholls, “Achievement Motivation:
Conceptions of Ability, Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological
Review 91, no. 3 (1984): 328–346.
[4]               
⁴ Andrew J. Elliot dan Todd M. Thrash, “Approach and
Avoidance Temperaments as Basic Dimensions of Personality,” Journal of
Personality 78, no. 3 (2010): 865–906.
[5]               
⁵ Dweck, Mindset: The New Psychology of Success
(New York: Random House, 2006), 32–36.
[6]               
⁶ Fritz Heider, The Psychology of Interpersonal
Relations (New York: Wiley, 1958), 82–85.
[7]               
⁷ Bernard Weiner, “An Attributional Theory of
Motivation and Emotion,” Psychological Review 92, no. 4 (1985): 548–573.
[8]               
⁸ Ibid., 560–563.
[9]               
⁹ Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2
Achievement Goal Framework,” Journal of Personality and Social Psychology
80, no. 3 (2001): 501–519.
[10]            
¹⁰ Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology
of Optimal Experience (New York: Harper & Row, 1990), 72–75.
[11]            
¹¹ Barry J. Zimmerman, “Self-Regulated Learning and
Academic Achievement: An Overview,” Educational Psychologist 25, no. 1
(1990): 3–17.
[12]            
¹² Paul R. Pintrich, “The Role of Goal Orientation
in Self-Regulated Learning,” dalam Handbook of Self-Regulation, ed.
Monique Boekaerts, Paul R. Pintrich, dan Moshe Zeidner (San Diego: Academic
Press, 2000), 452–453.
[13]            
¹³ Ibid., 455–457.
[14]            
¹⁴ Carol Ames, “Classrooms: Goals, Structures, and
Student Motivation,” Journal of Educational Psychology 84, no. 3 (1992):
261–271.
[15]            
¹⁵ Richard E. Mayer, Learning and Instruction
(Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 2003), 48–50.
[16]            
¹⁶ Albert Bandura, Social Foundations of Thought
and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1986), 391–395.
[17]            
¹⁷ Ibid., 402–404.
[18]            
¹⁸ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic
Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum
Press, 1985), 112–115.
[19]            
¹⁹ Deci dan Ryan, Self-Determination Theory:
Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New
York: Guilford Press, 2017), 50–53.
[20]            
²⁰ Susan Harter, The Construction of the Self:
Developmental and Sociocultural Foundations (New York: Guilford Press,
1999), 98–101.
[21]            
²¹ Dweck, Self-Theories, 95–99.
[22]            
²² Jeffrey J. Martins dan Paul R. Dweck, “The
Mastery Climate in Organizations,” Organizational Behavior and Human
Decision Processes 102, no. 1 (2007): 5–20.
[23]            
²³ Carol Ames dan Jennifer Archer, “Achievement
Goals in the Classroom: Students’ Learning Strategies and Motivation
Processes,” Journal of Educational Psychology 80, no. 3 (1988): 260–267.
[24]            
²⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1177a1–1178a8.
[25]            
²⁵ Dweck, Self-Theories, 102–106.
7.          
Dimensi
Sosial, Pendidikan, dan Organisasi
Goal
Orientation Theory memiliki signifikansi yang luas melampaui ranah
individual, karena ia beroperasi dalam konteks sosial yang kompleks di mana
nilai, norma, dan sistem penghargaan memengaruhi cara individu membentuk tujuan
dan menilai keberhasilan. Carol Dweck dan Andrew J. Elliot menegaskan bahwa
orientasi tujuan tidak muncul dalam ruang hampa psikologis, melainkan terbentuk
melalui interaksi antara individu dan lingkungannya—terutama dalam konteks
pendidikan dan organisasi.¹ Oleh karena itu, dimensi sosial dari teori ini
menyoroti bagaimana struktur sosial, budaya, dan institusional dapat
menumbuhkan atau justru menghambat orientasi penguasaan (mastery
orientation).
7.1.       Dimensi Sosial: Budaya, Pengakuan, dan Relasi
Antarmanusia
Dalam konteks
sosial, orientasi terhadap hasil (performance orientation) sering
diperkuat oleh budaya kompetitif yang menekankan hierarki, pengakuan, dan
pembandingan sosial.² Masyarakat modern—terutama dalam sistem ekonomi
neoliberal—mendefinisikan keberhasilan melalui ukuran kuantitatif seperti
posisi, kekayaan, dan popularitas.³ Dalam iklim seperti ini, nilai-nilai
kolektif bergeser dari being menuju having,
sebagaimana dikritik oleh Erich Fromm, di mana eksistensi manusia direduksi
menjadi kemampuan untuk “memiliki” prestasi dan status.⁴ Akibatnya,
motivasi intrinsik sering melemah karena tindakan dinilai bukan berdasarkan
makna, melainkan berdasarkan performa sosial.
Sebaliknya,
orientasi penguasaan mencerminkan ethos sosial yang lebih kolaboratif dan
humanistik. Individu dengan orientasi ini tidak melihat orang lain sebagai
ancaman, melainkan sebagai mitra dalam proses pembelajaran bersama.⁵ Dalam
masyarakat yang menumbuhkan mastery culture, penghargaan
diberikan bukan hanya kepada hasil, tetapi kepada upaya, kerja sama, dan
komitmen terhadap proses. Budaya semacam ini menekankan nilai-nilai mutual
growth—bahwa kemajuan individu dan kolektif bersifat saling
melengkapi, bukan saling meniadakan.⁶ Dengan demikian, teori Dweck dan Elliot
memiliki relevansi sosial yang kuat dalam membangun paradigma masyarakat
pembelajar (learning society) yang berlandaskan
solidaritas, empati, dan refleksi.⁷
7.2.       Dimensi Pendidikan: Pembelajaran sebagai Proses
Humanistik
Dalam dunia
pendidikan, Goal Orientation Theory memiliki
implikasi mendalam terhadap desain kurikulum, pedagogi, dan iklim kelas.
Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang menekankan kompetisi dan
penilaian eksternal cenderung melahirkan performance climate, yang
memperkuat kecemasan akademik dan perilaku defensif siswa.⁸ Sebaliknya,
lingkungan yang berfokus pada pembelajaran, kolaborasi, dan refleksi diri
menciptakan mastery climate, yang meningkatkan
motivasi intrinsik, ketekunan, dan kesejahteraan emosional siswa.⁹
Carol Ames
menekankan bahwa struktur tujuan pembelajaran yang dirancang oleh pendidik
secara langsung memengaruhi orientasi motivasi peserta didik.¹⁰ Ketika guru
menilai siswa berdasarkan proses dan kemajuan, bukan hanya hasil akhir, mereka
membantu membentuk pola pikir berkembang (growth mindset) yang memperkuat
orientasi penguasaan.¹¹ Sebaliknya, jika pendidikan terjebak dalam sistem
evaluasi kompetitif yang berlebihan, ia justru menanamkan pola pikir tetap (fixed
mindset) yang membatasi potensi belajar.¹²
Paulo Freire, dalam Pedagogy
of the Oppressed, menegaskan bahwa pendidikan sejati harus
membebaskan manusia dari pola pikir “banking system,” di mana siswa
dipandang sebagai wadah pasif untuk diisi dengan pengetahuan.¹³ Dalam kerangka
ini, Goal
Orientation Theory dapat dipahami sebagai dasar epistemologis bagi
pendidikan yang dialogis dan transformatif—pendidikan yang menumbuhkan subjek
yang berpikir, bukan sekadar objek penilaian. Orientasi penguasaan memungkinkan
terjadinya praxis,
yakni tindakan reflektif di mana pengetahuan tidak hanya dipelajari, tetapi
dihidupi dan diinternalisasi dalam kesadaran moral.¹⁴
Implikasi teori ini
dalam pendidikan modern juga terlihat dalam pengembangan assessment
for learning, bukan hanya assessment of learning.¹⁵ Penilaian
formatif yang berorientasi pada umpan balik dan refleksi diri memperkuat
motivasi penguasaan, sementara sistem ranking dan ujian berisiko memperkuat
motivasi performatif. Dalam konteks digital, hal ini menjadi semakin penting
mengingat pembelajaran daring sering kali menciptakan logika kuantifikasi
baru—jumlah skor, badges, dan sertifikat—yang dapat
menekan nilai-nilai intrinsik dari belajar itu sendiri.¹⁶
7.3.       Dimensi Organisasi: Kepemimpinan dan Budaya Kerja
Dalam ranah
organisasi dan dunia kerja, Goal Orientation Theory memiliki
pengaruh yang substansial terhadap desain sistem motivasi, kepemimpinan, dan
inovasi. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi dengan mastery
climate—yakni lingkungan yang menekankan pembelajaran, inovasi, dan
perbaikan berkelanjutan—menunjukkan tingkat kepuasan kerja, loyalitas, dan
kinerja yang lebih tinggi dibanding organisasi dengan performance
climate yang kompetitif dan hierarkis.¹⁷
Kepemimpinan
berorientasi penguasaan ditandai oleh dorongan untuk mengembangkan potensi
setiap anggota tim, memberikan ruang refleksi, dan menumbuhkan rasa tanggung
jawab intrinsik.¹⁸ Pemimpin semacam ini berperan sebagai coach
atau fasilitator, bukan sebagai pengendali. Sebaliknya, kepemimpinan yang
berorientasi hasil lebih menekankan pengawasan, evaluasi, dan tekanan kinerja,
yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kelelahan psikologis (burnout)
dan penurunan komitmen moral.¹⁹ Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai achievement
society, di mana manusia menjadi “subjek prestasi” yang
menindas dirinya sendiri demi efisiensi dan pengakuan.²⁰
Dalam konteks
organisasi pembelajaran (learning organization), orientasi
penguasaan menjadi fondasi budaya inovatif yang berkelanjutan.²¹ Peter Senge
menegaskan bahwa organisasi yang berhasil bukanlah yang paling kompetitif,
melainkan yang paling adaptif terhadap perubahan—yakni organisasi yang
menjadikan pembelajaran kolektif sebagai nilai inti.²² Dalam hal ini, Goal
Orientation Theory memperkuat pandangan bahwa inovasi sejati lahir
bukan dari persaingan, tetapi dari rasa ingin tahu, kolaborasi, dan refleksi
bersama.
7.4.       Implikasi Sosial dan Etis: Menuju Masyarakat
Humanistik
Dimensi sosial dari Goal
Orientation Theory menuntun kita pada refleksi etis tentang arah
perkembangan masyarakat modern. Orientasi hasil, bila dilepaskan dari
nilai-nilai kemanusiaan, berpotensi menciptakan masyarakat yang terobsesi
dengan pencitraan dan pengakuan.²³ Sebaliknya, orientasi penguasaan menawarkan
paradigma alternatif: masyarakat yang menghargai proses, pembelajaran, dan
solidaritas. Dalam tataran makro, orientasi ini dapat menjadi dasar bagi sistem
pendidikan, ekonomi, dan politik yang berkeadilan—karena ia menempatkan
martabat manusia di atas performa semata.²⁴
Dengan demikian,
dimensi sosial, pendidikan, dan organisasi dari Goal Orientation Theory
memperlihatkan bahwa teori ini tidak hanya berfungsi untuk memahami perilaku
individu, tetapi juga sebagai kerangka etis bagi transformasi sosial.
Ia menyerukan pergeseran nilai dari kompetisi menuju kolaborasi, dari pengakuan
menuju refleksi, dan dari hasil menuju proses.²⁵ Dalam dunia
yang semakin terukur dan terotomatisasi, orientasi penguasaan menghadirkan
kembali sisi humanistik dari motivasi: bahwa tujuan akhir manusia bukan sekadar
berhasil, tetapi menjadi lebih baik, bersama yang lain.²⁶
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook
of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard
M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2 Achievement Goal
Framework,” Journal of Personality and Social Psychology 80, no. 3
(2001): 501–519.
[3]               
³ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgment
of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1984), 210–215.
[4]               
⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row,
1976), 28–31.
[5]               
⁵ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New
York: Harper & Row, 1987), 75–78.
[6]               
⁶ Alfie Kohn, Punished by Rewards: The Trouble with Gold Stars,
Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes (Boston: Houghton Mifflin,
1993), 29–32.
[7]               
⁷ Etienne Wenger, Communities of Practice: Learning, Meaning, and
Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 68–72.
[8]               
⁸ Carol Ames, “Classrooms: Goals, Structures, and Student Motivation,” Journal
of Educational Psychology 84, no. 3 (1992): 261–271.
[9]               
⁹ Paul R. Pintrich, “The Role of Goal Orientation in Self-Regulated
Learning,” dalam Handbook of Self-Regulation, ed. Monique Boekaerts,
Paul R. Pintrich, dan Moshe Zeidner (San Diego: Academic Press, 2000), 452–457.
[10]            
¹⁰ Ames, “Classrooms,” 263–265.
[11]            
¹¹ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation,
Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 67–71.
[12]            
¹² Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York:
Random House, 2006), 45–47.
[13]            
¹³ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 58–64.
[14]            
¹⁴ Ibid., 66–68.
[15]            
¹⁵ Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment (Bloomington:
Solution Tree Press, 2011), 45–48.
[16]            
¹⁶ Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 122–125.
[17]            
¹⁷ Jeffrey J. Martins dan Paul R. Dweck, “The Mastery Climate in
Organizations,” Organizational Behavior and Human Decision Processes
102, no. 1 (2007): 5–20.
[18]            
¹⁸ Bernard M. Bass dan Ronald E. Riggio, Transformational
Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 2006), 41–44.
[19]            
¹⁹ Christina Maslach dan Michael P. Leiter, The Truth About Burnout
(San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 55–58.
[20]            
²⁰ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler
(Stanford: Stanford University Press, 2015), 9–12.
[21]            
²¹ Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of
the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 13–18.
[22]            
²² Ibid., 24–28.
[23]            
²³ Han, The Burnout Society, 21–24.
[24]            
²⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 40–44.
[25]            
²⁵ Carol S. Dweck, Self-Theories, 98–102.
[26]            
²⁶ Dweck, Mindset, 110–115.
8.          
Kritik
terhadap Goal Orientation Theory
Meskipun Goal
Orientation Theory karya Carol Dweck dan Andrew J. Elliot telah
memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika motivasi manusia, teori ini
tidak luput dari kritik konseptual, metodologis, maupun kultural. Kritik-kritik
tersebut umumnya berfokus pada tiga ranah utama: (1) reduksionisme dikotomis
antara performance
dan mastery
orientation, (2) bias individualistik dan konteks Barat dalam
formulasi teorinya, serta (3) keterbatasannya dalam menjelaskan kompleksitas
motivasi manusia di era sosial-digital kontemporer.
8.1.       Kritik terhadap Reduksionisme Dikotomis
Salah satu kritik
utama terhadap teori ini adalah kecenderungannya untuk membagi
motivasi manusia ke dalam dua kategori yang terlalu kontras,
yaitu orientasi hasil (performance) dan orientasi
penguasaan (mastery).¹ Meskipun distingsi ini
berguna secara heuristik, banyak peneliti berpendapat bahwa realitas motivasi
jauh lebih kompleks dan tidak dapat direduksi ke dalam dikotomi biner.²
Beberapa individu, misalnya, dapat menampilkan kombinasi dari kedua orientasi
secara simultan—berusaha menjadi lebih baik sambil tetap mengejar pengakuan
eksternal.³ Penelitian Kaplan dan Maehr menunjukkan bahwa kedua orientasi ini
sering kali saling berinteraksi secara dinamis dalam situasi tertentu, sehingga
pemisahan yang terlalu kaku dapat mengabaikan nuansa motivasional yang lebih
kaya.⁴
Andrew Elliot
sendiri kemudian menanggapi kritik ini dengan mengembangkan model 2×2
achievement goal framework (2001), yang menambahkan dimensi approach–avoidance
dalam setiap orientasi.⁵ Model ini membedakan empat tipe orientasi: mastery-approach,
mastery-avoidance,
performance-approach,
dan performance-avoidance,
sehingga memungkinkan pemahaman yang lebih kompleks terhadap perilaku
motivasional.⁶ Namun demikian, para kritikus seperti Harackiewicz dan Hulleman
menilai bahwa bahkan kerangka empat arah tersebut masih bersifat terlalu
taksonomik dan belum sepenuhnya menjelaskan mekanisme afektif dan sosial yang
melatarbelakangi perubahan orientasi individu.⁷
Selain itu, kritik
ontologis juga diajukan terhadap asumsi dasar teori ini yang cenderung melihat
motivasi sebagai atribut personal yang dapat diukur secara psikometris.
Pendekatan ini, menurut para filsuf psikologi seperti Smedslund, berisiko
mengabaikan sifat relasional dan kontekstual dari motivasi sebagai fenomena
sosial yang terikat pada makna.⁸ Dengan kata lain, Goal Orientation Theory beroperasi
dalam kerangka psychological essentialism—memperlakukan
motivasi sebagai substansi internal yang terlepas dari struktur simbolik dan
budaya yang melingkupinya.⁹
8.2.       Kritik terhadap Bias Individualistik dan Konteks
Barat
Kritik kedua yang
cukup menonjol adalah adanya bias individualistik dan etnosentris dalam
asumsi dasar teori ini. Goal Orientation Theory
dikembangkan dalam konteks budaya Barat yang menekankan nilai-nilai otonomi,
kompetisi, dan pencapaian individual.¹⁰ Dalam konteks masyarakat
kolektivistik—seperti di Asia Timur atau Asia Tenggara—tujuan pribadi sering
kali tidak dapat dipisahkan dari tujuan sosial dan komunal.¹¹ Studi lintas
budaya oleh King dan McInerney menemukan bahwa dalam budaya kolektivistik,
orientasi terhadap hasil tidak selalu bersifat negatif, karena pengakuan sosial
dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keharmonisan kelompok, bukan
sekadar simbol status pribadi.¹² Dengan demikian, makna “performance” dalam
teori Dweck dan Elliot perlu direinterpretasi dalam konteks sosial yang lebih
luas.
Selain itu, Goal
Orientation Theory cenderung mengasumsikan adanya rational
self-regulated agent—individu yang mampu secara sadar mengatur dan
mengarahkan tujuannya.¹³ Namun, kritik dari perspektif psikologi eksistensial
dan psikoanalisis menyoroti bahwa motivasi manusia tidak selalu bersumber dari
kesadaran rasional, melainkan sering kali dipengaruhi oleh dorongan bawah
sadar, dinamika afektif, dan relasi kekuasaan sosial.¹⁴ Karen Horney dan Erich
Fromm, misalnya, mengingatkan bahwa dorongan untuk “berhasil” dapat berasal
dari kebutuhan neurotik akan penerimaan sosial, bukan dari keinginan autentik
untuk berkembang.¹⁵ Dalam hal ini, teori Dweck dan Elliot mungkin terlalu
menekankan aspek kognitif dari motivasi, sementara dimensi emosional dan
eksistensialnya belum sepenuhnya terakomodasi.
8.3.       Kritik terhadap Relevansi di Era Digital dan Sosial
Media
Kritik kontemporer
terhadap Goal
Orientation Theory juga berkaitan dengan transformasi sosial yang
diakibatkan oleh teknologi digital. Di era media sosial, batas antara orientasi
hasil dan orientasi penguasaan menjadi semakin kabur.¹⁶ Platform digital
seperti Instagram, TikTok, atau LinkedIn memunculkan bentuk baru dari performance
orientation yang sangat subtil: individu berupaya “tumbuh”
atau “berkembang” tetapi dalam kerangka performatif—menunjukkan self-improvement
sebagai citra publik.¹⁷ Fenomena ini, sebagaimana dijelaskan oleh Byung-Chul
Han dalam The
Burnout Society, menciptakan bentuk baru dari self-exploitation,
di mana orientasi penguasaan dimanipulasi menjadi alat legitimasi bagi budaya
performa.¹⁸
Selain itu,
algoritme digital juga memperkuat sistem penghargaan eksternal yang berbasis
angka (likes,
views,
followers),
sehingga memperlemah motivasi intrinsik.¹⁹ Hal ini membuat teori Dweck dan
Elliot tampak kurang memadai dalam menjelaskan dinamika motivasi di era
informasi, di mana self menjadi komoditas simbolik
yang terus dievaluasi secara publik.²⁰ Beberapa sarjana seperti Sherry Turkle
dan Zygmunt Bauman berpendapat bahwa dalam masyarakat digital, orientasi tujuan
individu tidak lagi stabil, melainkan cair dan temporer, mengikuti arus
validasi sosial yang cepat berubah.²¹ Oleh karena itu, Goal
Orientation Theory perlu diperluas agar mampu mengakomodasi kondisi
epistemik baru manusia modern: subjek yang termotivasi bukan hanya oleh nilai
dan pengetahuan, tetapi juga oleh citra dan eksposur.²²
8.4.       Kritik terhadap Aspek Moral dan Etis
Dari perspektif
etika, sebagian filsuf humanistik berpendapat bahwa Goal Orientation Theory belum cukup
menyoroti dimensi moral dari motivasi.²³ Dweck dan Elliot memusatkan
analisisnya pada efektivitas pembelajaran dan pencapaian, namun kurang membahas
orientasi tujuan dalam kaitannya dengan kebajikan (virtue) dan tanggung jawab
sosial.²⁴ Dalam konteks pendidikan dan organisasi, orientasi penguasaan memang
tampak lebih etis karena menekankan pertumbuhan diri, tetapi tanpa kerangka
moral yang jelas, orientasi ini masih berisiko jatuh ke dalam bentuk narcissistic
self-actualization—keinginan untuk “berkembang” tanpa
keterikatan pada nilai-nilai keadilan dan kepedulian sosial.²⁵
Sebagai tanggapan
atas hal tersebut, beberapa peneliti seperti Kristján Kristjánsson dan Howard
Gardner mengusulkan pendekatan integratif antara teori motivasi dan etika
kebajikan.²⁶ Mereka menegaskan bahwa orientasi penguasaan yang sejati harus
disertai dengan moral purpose—yakni kesadaran bahwa
pembelajaran dan pertumbuhan diri memiliki dimensi tanggung jawab terhadap
orang lain.²⁷ Dengan demikian, nilai-nilai humanistik seperti empati,
solidaritas, dan kejujuran perlu dimasukkan ke dalam kerangka aksiologis teori
motivasi agar ia tidak hanya menjelaskan perilaku manusia, tetapi juga
mengarahkannya menuju kebaikan.
8.5.       Menuju Model Integratif
Kritik-kritik di
atas menunjukkan bahwa Goal Orientation Theory perlu
diperluas menjadi model integratif yang memadukan
dimensi personal, sosial, moral, dan digital.²⁸ Beberapa psikolog kontemporer,
seperti Susan Harter dan Carol Sansone, mengusulkan pendekatan dual-goal
integration model, di mana orientasi hasil dan orientasi penguasaan
dapat saling melengkapi secara adaptif.²⁹ Dalam model ini, pengakuan eksternal
tidak selalu bertentangan dengan pertumbuhan internal, melainkan dapat
berfungsi sebagai social reinforcement bagi pembelajaran
yang bermakna.³⁰
Dengan pendekatan
integratif ini, motivasi manusia tidak lagi dipahami sebagai dikotomi antara “belajar
untuk berkembang” dan “belajar untuk diakui,” melainkan sebagai
dialektika yang saling memperkaya antara keduanya.³¹ Tujuan akhirnya bukan lagi
pemisahan antara orientasi hasil dan penguasaan, melainkan pembentukan subjek
reflektif yang mampu menyeimbangkan keduanya dalam bingkai nilai-nilai etis dan
kemanusiaan.³²
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook
of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard
M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Bernard Weiner, “An Attributional Theory of Motivation and Emotion,” Psychological
Review 92, no. 4 (1985): 548–573.
[3]               
³ John Nicholls, “Achievement Motivation: Conceptions of Ability,
Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological Review
91, no. 3 (1984): 328–346.
[4]               
⁴ Avi Kaplan dan Martin L. Maehr, “The Contributions and Prospects of
Goal Orientation Theory,” Educational Psychology Review 19, no. 2
(2007): 141–184.
[5]               
⁵ Andrew J. Elliot dan Holly A. McGregor, “A 2×2 Achievement Goal
Framework,” Journal of Personality and Social Psychology 80, no. 3
(2001): 501–519.
[6]               
⁶ Ibid., 504–508.
[7]               
⁷ Judith M. Harackiewicz dan Chris S. Hulleman, “The Importance of
Interest: The Role of Achievement Goals and Task Values in Promoting the
Development of Interest,” Social and Personality Psychology Compass 4,
no. 1 (2010): 42–52.
[8]               
⁸ Jan Smedslund, Why Psychology Cannot Be an Empirical Science
(Charlotte, NC: Information Age Publishing, 2016), 74–76.
[9]               
⁹ Ibid., 82–83.
[10]            
¹⁰ Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and
Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985),
112–115.
[11]            
¹¹ Hazel R. Markus dan Shinobu Kitayama, “Culture and the Self:
Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review
98, no. 2 (1991): 224–253.
[12]            
¹² Ronnel B. King dan Dennis M. McInerney, “Culture and Goal
Orientation: The Role of Motivation in East Asian Contexts,” Contemporary
Educational Psychology 39, no. 4 (2014): 276–286.
[13]            
¹³ Carol S. Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation,
Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999),
102–104.
[14]            
¹⁴ Rollo May, Love and Will (New York: W. W. Norton, 1969),
158–161.
[15]            
¹⁵ Karen Horney, Neurosis and Human Growth (New York: Norton,
1950), 62–64.
[16]            
¹⁶ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from
Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
148–150.
[17]            
¹⁷ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and
Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013),
23–26.
[18]            
¹⁸ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler
(Stanford: Stanford University Press, 2015), 21–25.
[19]            
¹⁹ Han, The Burnout Society, 31–33.
[20]            
²⁰ Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital
Age (New York: Penguin Press, 2015), 123–127.
[21]            
²¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 118–121.
[22]            
²² Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler
(Stanford: Stanford University Press, 2015), 41–44.
[23]            
²³ Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed.
(New York: Van Nostrand, 1968), 117–120.
[24]            
²⁴ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New
York: Random House, 2006), 110–115.
[25]            
²⁵ Christopher Lasch, The Culture of Narcissism (New York:
Norton, 1979), 33–37.
[26]            
²⁶ Kristján Kristjánsson, Virtuous Emotions (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 96–100.
[27]            
²⁷ Howard Gardner, Five Minds for the Future (Cambridge, MA:
Harvard Business School Press, 2007), 129–132.
[28]            
²⁸ Susan Harter, “The Construction of the Self: Developmental and
Sociocultural Foundations,” Journal of Personality 70, no. 3 (2002):
255–277.
[29]            
²⁹ Carol Sansone dan Judith M. Harackiewicz, Intrinsic and
Extrinsic Motivation: The Search for Optimal Motivation and Performance
(San Diego: Academic Press, 2000), 45–49.
[30]            
³⁰ Ibid., 51–53.
[31]            
³¹ Kaplan dan Maehr, “The Contributions and Prospects of Goal
Orientation Theory,” 178–180.
[32]            
³² Dweck, Self-Theories, 104–107.
9.          
Relevansi
Kontemporer: Goal Orientation di Era Digital
Dalam era digital
yang ditandai oleh percepatan informasi, kuantifikasi sosial, dan visibilitas
publik yang masif, Goal Orientation Theory menghadapi
tantangan sekaligus peluang baru. Transformasi teknologi telah mengubah cara
manusia belajar, bekerja, berinteraksi, dan bahkan membangun identitas diri.¹
Orientasi terhadap tujuan kini tidak hanya berlangsung di ruang pribadi atau
institusional (seperti sekolah dan organisasi), tetapi juga di ruang digital
yang bersifat terbuka, interaktif, dan performatif.² Dalam konteks ini,
pertanyaan filosofis yang diajukan oleh Carol Dweck dan Andrew Elliot—yakni
tentang bagaimana manusia memaknai “keberhasilan” dan “perkembangan
diri”—menjadi semakin relevan.
9.1.       Digitalisasi dan Pergeseran Paradigma Motivasi
Era digital telah
menciptakan bentuk baru dari orientasi hasil (performance orientation) yang lebih
subtil namun lebih meluas, yakni orientasi performatif digital.³
Melalui media sosial, manusia kini tidak hanya mengejar keberhasilan dalam arti
konvensional (nilai, jabatan, status), tetapi juga pengakuan digital—dalam bentuk likes,
views,
followers,
dan algoritme keterlihatan.⁴ Fenomena ini menciptakan quantified
self, di mana identitas dan nilai diri diukur melalui metrik
numerik yang disediakan oleh platform digital.⁵ Akibatnya, batas antara
orientasi penguasaan dan orientasi hasil menjadi kabur: proses belajar dan
pengembangan diri kerap dilakukan demi penampilan publik, bukan demi
pertumbuhan intrinsik.
Dalam istilah
Byung-Chul Han, masyarakat digital modern adalah achievement society, di mana
manusia menjadi “subjek kinerja” yang menindas dirinya sendiri melalui tuntutan
untuk terus berprestasi, tampak produktif, dan disukai.⁶ Di sinilah paradoks
kontemporer muncul: orientasi penguasaan (mastery orientation) yang semula
dimaknai sebagai proses otonom menuju pertumbuhan diri, kini mudah terperangkap
dalam logika kapitalisme digital yang menuntut performa tanpa henti.⁷ Motivasi
intrinsik berubah menjadi performative authenticity—otentisitas
yang dipertunjukkan untuk memperoleh pengakuan.⁸
Namun, di sisi lain,
digitalisasi juga membuka peluang besar bagi perkembangan mastery
orientation yang lebih luas dan egaliter. Platform pembelajaran
daring (online
learning) seperti Coursera, edX, atau Khan Academy memungkinkan
siapa pun untuk belajar dengan motivasi intrinsik, tanpa tekanan kompetisi
langsung.⁹ Ekosistem digital ini memperkuat prinsip self-paced mastery learning yang
menekankan proses individual, refleksi, dan keberlanjutan.¹⁰ Dengan demikian,
teknologi digital dapat menjadi instrumen pembebasan epistemik, sejauh
digunakan untuk memperluas otonomi belajar, bukan sekadar menambah tekanan
performatif.
9.2.       Budaya Algoritmik dan Krisis Makna Belajar
Budaya digital juga
memperkenalkan epistemologi algoritmik—yakni
sistem pengetahuan yang diatur oleh logika data dan kecepatan konsumsi
informasi.¹¹ Algoritme menentukan apa yang terlihat dan apa yang tidak, siapa
yang dianggap “berhasil” dan siapa yang tidak. Dalam konteks ini, performance
orientation mengalami amplifikasi struktural: pengakuan bukan lagi
datang dari komunitas manusia, melainkan dari sistem non-manusia yang menilai
berdasarkan pola interaksi digital.¹²
Fenomena ini
menimbulkan krisis dalam makna pembelajaran. Belajar tidak lagi dilihat sebagai
proses reflektif yang mendalam, melainkan sebagai aktivitas efisien yang harus
segera “menghasilkan” sesuatu yang dapat diunggah, ditonton, dan diukur.¹³
Sherry Turkle menggambarkan kondisi ini sebagai “kesepian dalam konektivitas”—manusia
tampak terhubung secara digital, tetapi terputus secara epistemologis dari
pengalaman belajar yang autentik.¹⁴ Dengan demikian, Goal
Orientation Theory harus diperluas untuk mempertimbangkan bagaimana
teknologi membentuk struktur motivasi, persepsi diri, dan pengalaman kognitif
individu.
9.3.       Orientasi Penguasaan dalam Ekonomi Kreatif dan
Pembelajaran Sepanjang Hayat
Di sisi positif,
orientasi penguasaan menemukan relevansi baru dalam ekonomi
kreatif dan budaya pembelajaran sepanjang hayat (lifelong
learning).¹⁵ Dunia kerja digital
menuntut adaptabilitas, inovasi, dan kemampuan belajar terus-menerus—semua
elemen yang menjadi inti dari mastery orientation.¹⁶ Dalam
industri kreatif, individu yang berorientasi penguasaan tidak hanya bertujuan untuk
menghasilkan karya, tetapi juga untuk memperdalam keahlian, memperluas wawasan,
dan menemukan makna personal dalam proses penciptaan.¹⁷
Lebih jauh,
transformasi digital telah memunculkan fenomena microlearning dan peer
learning, di mana individu belajar melalui komunitas daring,
kolaborasi lintas disiplin, dan refleksi bersama.¹⁸ Bentuk-bentuk pembelajaran
ini memperkuat nilai-nilai kolaboratif, menumbuhkan communities of practice sebagaimana
dikemukakan oleh Etienne Wenger, di mana pembelajaran bukan lagi aktivitas
individualistik, tetapi sosial dan partisipatif.¹⁹ Dalam kerangka ini, mastery
orientation tidak hanya menjadi orientasi kognitif, tetapi juga
nilai sosial yang menumbuhkan semangat berbagi, saling mengajar, dan berkembang
bersama.
9.4.       Tantangan Etis: Antara Autentisitas dan Simulakrum
Diri
Namun, di tengah
perluasan ruang digital, muncul persoalan etis yang mendalam: bagaimana menjaga
keotentikan motivasi dalam lingkungan yang didominasi oleh citra dan algoritme?
Jean Baudrillard menyebut dunia digital sebagai simulacrum—realitas tiruan di mana
representasi menggantikan kenyataan itu sendiri.²⁰ Dalam ruang ini, individu
berisiko kehilangan orientasi penguasaan sejati karena motivasi intrinsik
diserap oleh sistem simulasi yang memberi ilusi pertumbuhan diri.²¹
Tantangan terbesar
bagi teori orientasi tujuan di era ini bukan lagi sekadar membedakan antara
hasil dan penguasaan, melainkan mengembalikan motivasi manusia kepada kejujuran
eksistensialnya: belajar karena ingin menjadi, bukan karena
ingin tampak menjadi.²² Dalam hal ini, orientasi penguasaan perlu diperkuat
dengan kerangka etika digital yang menekankan nilai-nilai refleksi,
keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam penggunaan teknologi.²³
9.5.       Reinterpretasi Humanistik di Era Digital
Dalam horizon yang
lebih luas, relevansi Goal Orientation Theory di era
digital dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan humanisme dalam ekologi
teknologi.²⁴ Di tengah dunia yang semakin diotomatisasi,
orientasi penguasaan menegaskan martabat manusia sebagai makhluk yang mampu
belajar, beradaptasi, dan menciptakan makna.²⁵ Ia menolak reduksi manusia
menjadi sekadar pengguna algoritme, dan menempatkan kembali kesadaran reflektif
sebagai pusat dari keberhasilan sejati.
Dengan demikian,
teori Dweck dan Elliot memiliki peran penting dalam membentuk paradigma
motivasi baru yang seimbang antara efisiensi dan refleksi, antara inovasi dan
kebijaksanaan.²⁶ Orientasi penguasaan, dalam bentuk digitalnya, harus dipahami
bukan hanya sebagai strategi untuk sukses, tetapi sebagai etos
eksistensial—suatu cara berada di dunia yang menolak
ketergantungan pada pengakuan
eksternal dan berkomitmen pada pertumbuhan diri yang otentik, kolaboratif, dan
bermakna.²⁷
Footnotes
[1]               
¹ Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed.
(Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2010), 21–24.
[2]               
² Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 115–118.
[3]               
³ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity, Publicity, and
Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University Press, 2013),
23–27.
[4]               
⁴ José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History
of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 31–34.
[5]               
⁵ Deborah Lupton, The Quantified Self: A Sociology of Self-Tracking
(Cambridge: Polity Press, 2016), 52–55.
[6]               
⁶ Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler
(Stanford: Stanford University Press, 2015), 8–12.
[7]               
⁷ Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford:
Stanford University Press, 2015), 40–42.
[8]               
⁸ Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life
(New York: Anchor Books, 1959), 208–211.
[9]               
⁹ John Seely Brown dan Richard P. Adler, “Minds on Fire: Open
Education, the Long Tail, and Learning 2.0,” EDUCAUSE Review 43, no. 1
(2008): 16–32.
[10]            
¹⁰ Benjamin S. Bloom, Mastery Learning (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1971), 3–5.
[11]            
¹¹ Evgeny Morozov, To Save Everything, Click Here: The Folly of
Technological Solutionism (New York: PublicAffairs, 2013), 78–82.
[12]            
¹² Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines
Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 23–26.
[13]            
¹³ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our
Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 59–62.
[14]            
¹⁴ Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–156.
[15]            
¹⁵ Peter Jarvis, Globalization, Lifelong Learning and the Learning
Society (London: Routledge, 2007), 41–44.
[16]            
¹⁶ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New
York: Random House, 2006), 117–121.
[17]            
¹⁷ Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York:
Basic Books, 2002), 85–88.
[18]            
¹⁸ Etienne Wenger, Communities of Practice: Learning, Meaning, and
Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 71–73.
[19]            
¹⁹ Ibid., 82–84.
[20]            
²⁰ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–5.
[21]            
²¹ Han, The Burnout Society, 18–20.
[22]            
²² Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row,
1976), 36–40.
[23]            
²³ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 56–60.
[24]            
²⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 46–48.
[25]            
²⁵ Albert Bandura, Social Foundations of Thought and Action: A
Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1986),
412–415.
[26]            
²⁶ Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and
Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 103–106.
[27]            
²⁷ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic
Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield,
1998), 27–30.
10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Humanistik tentang
Keberhasilan
Pada tataran
konseptual tertinggi, Goal Orientation Theory dapat
dibaca tidak sekadar sebagai teori psikologi motivasi, melainkan sebagai kerangka
filosofis tentang makna keberhasilan manusia. Ia menyatukan
dimensi ontologis (hakikat menjadi manusia yang bertujuan), epistemologis
(bagaimana manusia mengetahui dan memahami dirinya melalui proses belajar),
serta aksiologis (nilai-nilai yang mengarahkan tindakan manusia).¹ Dalam
konteks ini, teori yang awalnya berakar pada psikologi kognitif Dweck dan
Elliot dapat direinterpretasi sebagai fondasi bagi suatu etika
humanistik—yakni pandangan bahwa keberhasilan sejati tidak terletak
pada hasil eksternal, tetapi pada proses aktualisasi diri yang berakar pada
nilai, kesadaran, dan pertumbuhan moral.²
10.1.    Integrasi Ontologis: Keberhasilan sebagai Proses
Menjadi
Secara ontologis, Goal
Orientation Theory mengimplikasikan pandangan bahwa keberadaan
manusia bersifat teleologis—ia selalu berada dalam proses “menjadi” (being-in-becoming).³
Orientasi penguasaan (mastery orientation)
mengekspresikan dinamika eksistensial manusia yang senantiasa melampaui dirinya
untuk mencapai potensi tertinggi.⁴ Dalam hal ini, keberhasilan bukanlah kondisi
statis yang “dimiliki,” melainkan suatu proses eksistensial yang terus
berlangsung. Hal ini beresonansi dengan pandangan Aristoteles dalam Nicomachean
Ethics bahwa eudaimonia—kebahagiaan
sejati—terletak dalam aktivitas (energeia) yang sesuai dengan
kebajikan.⁵
Sebaliknya,
orientasi hasil (performance orientation)
menggambarkan kecenderungan manusia untuk mengobjektifikasi keberhasilan dan
dirinya sendiri—menjadikan nilai diri tergantung pada pengakuan eksternal.⁶
Dalam kerangka eksistensialisme Sartre, hal ini merupakan bentuk keterasingan (bad
faith), karena manusia menyerahkan kebebasannya pada penilaian
orang lain.⁷ Maka, Goal Orientation Theory, bila
dibaca secara filosofis, bukan hanya analisis tentang motivasi, tetapi juga
kritik terhadap alienasi modern yang mengubah keberhasilan menjadi komoditas
sosial.
10.2.    Integrasi Epistemologis: Pengetahuan Diri sebagai
Jalan Kebijaksanaan
Dari sisi
epistemologis, orientasi penguasaan mencerminkan bentuk pengetahuan yang
dialogis dan reflektif. Manusia tidak hanya “mengumpulkan” pengetahuan,
tetapi membangun pemahaman tentang dirinya melalui proses belajar.⁸ Dweck
menegaskan bahwa pola pikir berkembang (growth mindset) adalah bentuk
kesadaran epistemik yang menempatkan kegagalan sebagai bagian dari pembentukan
pengetahuan diri.⁹ Dalam perspektif Socratic, hal ini identik dengan gnothi
seauton—“kenalilah dirimu sendiri”—sebagai dasar kebijaksanaan.¹⁰
Pengetahuan tentang
diri yang dihasilkan oleh orientasi penguasaan bersifat transformative
knowing—ia tidak berhenti pada penguasaan kognitif, melainkan
menuntun individu menuju pembentukan makna hidup.¹¹ Sebaliknya, orientasi hasil
cenderung menghasilkan instrumental knowing, yakni
pengetahuan yang diarahkan untuk mencapai keuntungan eksternal tanpa refleksi
moral.¹² Dengan demikian, epistemologi Goal Orientation Theory dapat
ditafsirkan sebagai kritik terhadap rasionalitas teknologis modern (Habermas)
yang mengutamakan efisiensi di atas pemahaman diri.¹³
10.3.    Integrasi Aksiologis: Nilai Humanistik dan
Kebajikan Pertumbuhan Diri
Dari segi aksiologi,
orientasi penguasaan berakar pada nilai-nilai humanistik seperti otonomi,
integritas, dan aktualisasi diri.¹⁴ Nilai-nilai ini sejalan dengan etika
eksistensial-humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers,
yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki dorongan moral untuk
tumbuh menuju kebaikan dan keseimbangan batin.¹⁵ Dalam konteks ini,
keberhasilan tidak lagi dimaknai sebagai kemenangan, melainkan sebagai virtue
of becoming—kebajikan untuk terus berproses menjadi manusia yang
lebih baik.
Etika humanistik
semacam ini menuntut reinterpretasi terhadap konsep “kompetisi” yang
mendominasi sistem sosial modern. Dalam kerangka humanistik, kompetisi hanya
bermakna jika diarahkan untuk memperluas kapasitas moral dan sosial manusia,
bukan sekadar untuk memenangkan pengakuan.¹⁶ Oleh karena itu, Goal
Orientation Theory perlu dipahami bukan sekadar sebagai teori
motivasi personal, tetapi sebagai etika sosial tentang pertumbuhan manusia yang
kooperatif dan bermakna.
10.4.    Integrasi Sosial dan Teknologis: Keberhasilan di
Tengah Algoritme dan Kecepatan
Dalam era digital,
di mana algoritme menentukan makna sukses, Goal Orientation Theory
menghadirkan fondasi etis untuk menolak logika kuantifikasi diri.¹⁷ Orientasi
penguasaan mengingatkan bahwa keberhasilan sejati tidak dapat diukur dengan
metrik digital, karena pertumbuhan batin bersifat kualitatif, reflektif, dan
tidak dapat direduksi menjadi angka.¹⁸ Etika humanistik yang berakar pada
orientasi penguasaan berfungsi sebagai koreksi terhadap “nihilisme
algoritmik” (Han), yang mengubah motivasi manusia menjadi fungsi dari
visibilitas dan efisiensi.¹⁹
Dalam konteks sosial
yang lebih luas, etika ini juga menjadi landasan bagi pendidikan dan organisasi
humanistik—ruang-ruang yang menilai manusia bukan berdasarkan performa, tetapi
berdasarkan komitmen terhadap pembelajaran dan tanggung jawab kolektif.²⁰ Etika
ini mengembalikan fungsi motivasi sebagai sarana untuk self-transcendence,
bukan sekadar self-promotion.²¹
10.5.    5. Menuju Etika Humanistik tentang Keberhasilan
Etika humanistik
yang dapat disintesiskan dari Goal Orientation Theory menegaskan
bahwa keberhasilan sejati bersifat intersubjektif, reflektif, dan moral.²²
Ia menolak pandangan mekanistik tentang manusia sebagai entitas rasional yang
hanya didorong oleh imbalan, dan menegaskan manusia sebagai makhluk yang tumbuh
melalui dialog dengan dirinya, orang lain, dan dunia.²³ Dalam konteks ini,
orientasi penguasaan dapat dipahami sebagai virtue ethic of learning—sebuah
etika kebajikan yang menjadikan belajar dan berkembang sebagai tujuan moral itu
sendiri.²⁴
Etika ini mengandung
tiga prinsip utama. Pertama, autentisitas, yakni keberanian
untuk mengarahkan diri berdasarkan nilai-nilai batin, bukan tekanan sosial.²⁵
Kedua, refleksi,
yakni kesadaran bahwa pertumbuhan diri menuntut pengenalan terhadap keterbatasan
dan potensi diri.²⁶ Ketiga, solidaritas, yakni pengakuan
bahwa keberhasilan personal hanya bermakna ketika berkontribusi pada kebaikan
bersama.²⁷ Ketiga prinsip ini merepresentasikan orientasi penguasaan bukan
hanya sebagai pola motivasi, tetapi sebagai modus etikus yang memulihkan
martabat manusia dalam dunia yang terfragmentasi.
Dengan demikian,
sintesis filosofis dari Goal Orientation Theory mengarah
pada etika
humanistik tentang keberhasilan, di mana motivasi untuk belajar
dan berkembang dipahami sebagai tindakan moral yang mengandung nilai pada
dirinya sendiri.²⁸ Dalam etika ini, keberhasilan bukan lagi milik mereka yang
memenangkan persaingan, melainkan milik mereka yang tetap belajar dengan
kesadaran, kejujuran, dan kemanusiaan.²⁹
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement Motivation,” dalam Handbook
of Motivation and Cognition: Foundations of Social Behavior, ed. Richard
M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York: Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Dweck, Self-Theories: Their Role in Motivation, Personality, and
Development (Philadelphia: Psychology Press, 1999), 102–106.
[3]               
³ Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New
York: Harper & Row, 1987), 120–122.
[4]               
⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row,
1976), 30–34.
[5]               
⁵ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b20–1098a20.
[6]               
⁶ Andrew J. Elliot dan Marcy A. Church, “A Hierarchical Model of
Approach and Avoidance Achievement Motivation,” Journal of Personality and
Social Psychology 72, no. 1 (1997): 218–232.
[7]               
⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 90–93.
[8]               
⁸ John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath, 1910), 6–8.
[9]               
⁹ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New
York: Random House, 2006), 35–39.
[10]            
¹⁰ Plato, Apology, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 2002), 38a–39b.
[11]            
¹¹ Jack Mezirow, Transformative Dimensions of Adult Learning
(San Francisco: Jossey-Bass, 1991), 94–98.
[12]            
¹² Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 70–74.
[13]            
¹³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans.
Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–305.
[14]            
¹⁴ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of
Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 184–190.
[15]            
¹⁵ Maslow, Toward a Psychology of Being, 2nd ed. (New York:
Van Nostrand, 1968), 117–120.
[16]            
¹⁶ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic
Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield,
1998), 45–48.
[17]            
¹⁷ Byung-Chul Han, The Transparency Society, trans. Erik
Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 40–43.
[18]            
¹⁸ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our
Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 59–62.
[19]            
¹⁹ Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford:
Stanford University Press, 2015), 21–25.
[20]            
²⁰ Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of
the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 17–20.
[21]            
²¹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 112–116.
[22]            
²² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 46–48.
[23]            
²³ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 103–106.
[24]            
²⁴ Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 219–223.
[25]            
²⁵ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 27–31.
[26]            
²⁶ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring,” American
Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.
[27]            
²⁷ Dweck, Self-Theories, 98–102.
[28]            
²⁸ Kristján Kristjánsson, Virtuous Emotions (Oxford: Oxford
University Press, 2018), 100–104.
[29]            
²⁹ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 66–70.
11.       Kesimpulan
Goal Orientation Theory yang dikembangkan oleh Carol Dweck dan Andrew J.
Elliot pada pertengahan 1980-an merepresentasikan salah satu tonggak penting
dalam kajian motivasi modern.¹ Teori ini tidak hanya menjelaskan bagaimana
manusia mengejar keberhasilan, tetapi juga mengungkap struktur nilai dan
kesadaran yang mendasari tindakan belajar dan berprestasi. Dalam pembacaan
filosofis, teori ini melampaui batas psikologi eksperimental dan mengarah pada
refleksi etis tentang makna keberhasilan, pengetahuan diri, serta tanggung
jawab moral manusia terhadap dirinya dan lingkungannya.
Secara sintesis, dapat disimpulkan bahwa Goal
Orientation Theory mengandung tiga inti konseptual yang saling terkait: (1)
aspek ontologis, yang memandang manusia sebagai makhluk yang senantiasa “menjadi”
(being-in-becoming); (2) aspek epistemologis, yang menempatkan
pengetahuan dan refleksi diri sebagai sarana untuk memahami keberhasilan; dan (3)
aspek aksiologis, yang menjadikan pembelajaran dan pertumbuhan sebagai
nilai moral itu sendiri.² Dalam orientasi penguasaan (mastery orientation),
keberhasilan dipahami sebagai proses eksistensial yang berakar pada
pembelajaran, ketekunan, dan aktualisasi diri; sedangkan dalam orientasi hasil
(performance orientation), keberhasilan direduksi menjadi pencapaian
eksternal yang bergantung pada pengakuan sosial.³
Implikasi utama teori ini adalah bahwa cara
seseorang memahami tujuan hidupnya akan menentukan cara ia mengalami dunia.
Individu dengan orientasi penguasaan memperlakukan setiap tantangan sebagai
kesempatan untuk belajar, sedangkan mereka yang berorientasi hasil cenderung
melihat tantangan sebagai ancaman terhadap harga diri.⁴ Dari sini, Dweck
menegaskan bahwa struktur motivasi manusia bersumber dari cara berpikir tentang
kemampuan: apakah kemampuan dianggap tetap (entity theory) atau dapat
dikembangkan (incremental theory).⁵ Pandangan yang kedua inilah yang
membentuk fondasi psikologis bagi orientasi penguasaan dan menjadi dasar dari growth
mindset.
Namun, teori ini juga menghadapi kritik yang
signifikan, terutama terkait reduksionisme dikotomis, bias individualistik,
serta keterbatasannya dalam menjelaskan dinamika motivasi di era digital.⁶
Masyarakat kontemporer telah mengubah lanskap motivasi manusia—dari ruang kelas
menuju ruang algoritmik, dari kompetisi nyata menuju performative
self-presentation.⁷ Dalam konteks ini, teori Dweck dan Elliot tetap relevan
sejauh ia dikembangkan menjadi model integratif yang mempertimbangkan dimensi
sosial, kultural, moral, dan digital dari motivasi manusia.⁸
Lebih jauh, pembacaan filosofis terhadap teori ini
mengarah pada gagasan etika humanistik tentang keberhasilan. Dalam etika
ini, keberhasilan tidak lagi dipahami sebagai hasil akhir yang terukur, tetapi
sebagai perjalanan reflektif menuju keutuhan diri.⁹ Orientasi penguasaan
menjadi model bagi praksis moral baru: keberanian untuk terus tumbuh, belajar,
dan memperbaiki diri tanpa kehilangan keotentikan.¹⁰ Dengan demikian, Goal
Orientation Theory dapat ditafsirkan sebagai dasar etis bagi pendidikan,
organisasi, dan kehidupan sosial yang lebih manusiawi—sebuah paradigma yang
menempatkan pembelajaran sebagai inti dari eksistensi manusia.¹¹
Dalam kesimpulan yang lebih luas, teori ini
mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bersifat ontologis, bukan hanya
empiris—ia berakar pada kesadaran diri yang terus berkembang, bukan pada
hasil yang bersifat final.¹² Dalam dunia yang semakin diukur oleh angka,
peringkat, dan algoritme, semangat mastery orientation menjadi bentuk
perlawanan filosofis terhadap dehumanisasi modern.¹³ Ia mengajak manusia untuk
menumbuhkan etos belajar yang reflektif, kebajikan pertumbuhan diri,
dan keberanian eksistensial untuk menjadi.¹⁴
Dengan demikian, Goal Orientation Theory
bukan sekadar teori motivasi psikologis, melainkan manifestasi dari filsafat
humanistik yang menempatkan proses pembelajaran sebagai jalan menuju kebebasan,
kebijaksanaan, dan kemanusiaan.¹⁵
Footnotes
[1]               
¹ Carol S. Dweck dan Andrew J. Elliot, “Achievement
Motivation,” dalam Handbook of Motivation and Cognition: Foundations of
Social Behavior, ed. Richard M. Sorrentino dan E. Tory Higgins (New York:
Guilford Press, 1986), 199–235.
[2]               
² Abraham H. Maslow, Motivation and Personality,
3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 115–120.
[3]               
³ Dweck, Self-Theories: Their Role in
Motivation, Personality, and Development (Philadelphia: Psychology Press,
1999), 10–12.
[4]               
⁴ John Nicholls, “Achievement Motivation:
Conceptions of Ability, Subjective Experience, Task Choice, and Performance,” Psychological
Review 91, no. 3 (1984): 328–346.
[5]               
⁵ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 25–30.
[6]               
⁶ Avi Kaplan dan Martin L. Maehr, “The Contributions
and Prospects of Goal Orientation Theory,” Educational Psychology Review
19, no. 2 (2007): 141–184.
[7]               
⁷ Alice E. Marwick, Status Update: Celebrity,
Publicity, and Branding in the Social Media Age (New Haven: Yale University
Press, 2013), 24–27.
[8]               
⁸ Judith M. Harackiewicz dan Chris S. Hulleman,
“The Importance of Interest: The Role of Achievement Goals and Task Values in
Promoting the Development of Interest,” Social and Personality Psychology
Compass 4, no. 1 (2010): 42–52.
[9]               
⁹ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 31–34.
[10]            
¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics,
Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman
& Littlefield, 1998), 45–48.
[11]            
¹¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 46–50.
[12]            
¹² Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 111–113.
[13]            
¹³ Byung-Chul Han, The Burnout Society,
trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 8–12.
[14]            
¹⁴ Carol S. Dweck, Self-Theories, 98–102.
[15]            
¹⁵ Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A
Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961),
187–190.
Daftar Pustaka
Ames, C. (1992).
Classrooms: Goals, structures, and student motivation. Journal of
Educational Psychology, 84(3), 261–271.
Ames, C., & Archer, J.
(1988). Achievement goals in the classroom: Students’ learning strategies and
motivation processes. Journal of Educational Psychology, 80(3),
260–267.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Bandura, A. (1986). Social
foundations of thought and action: A social cognitive theory. Prentice
Hall.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Polity Press.
Bloom, B. S. (1971). Mastery
learning. Holt, Rinehart and Winston.
Bourdieu, P. (1984). Distinction:
A social critique of the judgment of taste (R. Nice, Trans.). Harvard
University Press.
Brown, J. S., & Adler,
R. P. (2008). Minds on fire: Open education, the long tail, and Learning 2.0. EDUCAUSE
Review, 43(1), 16–32.
Carr, N. (2010). The
shallows: What the Internet is doing to our brains. W. W. Norton.
Csikszentmihalyi, M.
(1990). Flow: The psychology of optimal experience. Harper & Row.
Deci, E. L., & Ryan, R.
M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior.
Plenum Press.
Deci, E. L., & Ryan, R.
M. (2017). Self-determination theory: Basic psychological needs in
motivation, development, and wellness. Guilford Press.
Dewey, J. (1910). How
we think. D.C. Heath.
Dweck, C. S. (1999). Self-theories:
Their role in motivation, personality, and development. Psychology Press.
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Dweck, C. S., & Elliot,
A. J. (1986). Achievement motivation. In R. M. Sorrentino & E. T. Higgins
(Eds.), Handbook of motivation and cognition: Foundations of social
behavior (pp. 199–235). Guilford Press.
Dweck, C. S., &
Leggett, E. L. (1988). A social-cognitive approach to motivation and
personality. Psychological Review, 95(2), 256–273.
Elliot, A. J., &
Church, M. A. (1997). A hierarchical model of approach and avoidance achievement
motivation. Journal of Personality and Social Psychology, 72(1),
218–232.
Elliot, A. J., &
McGregor, H. A. (2001). A 2×2 achievement goal framework. Journal of
Personality and Social Psychology, 80(3), 501–519.
Elliot, A. J., &
Thrash, T. M. (2010). Approach and avoidance temperaments as basic dimensions
of personality. Journal of Personality, 78(3), 865–906.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Florida, R. (2002). The
rise of the creative class. Basic Books.
Frankl, V. E. (2006). Man’s
search for meaning. Beacon Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Freire, P. (1998). Pedagogy
of freedom: Ethics, democracy, and civic courage (P. Clarke, Trans.).
Rowman & Littlefield.
Fromm, E. (1976). To
have or to be? Harper & Row.
Goffman, E. (1959). The
presentation of self in everyday life. Anchor Books.
Habermas, J. (1971). Knowledge
and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Han, B.-C. (2015). The
burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.
Han, B.-C. (2015). The
transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.
Harter, S. (1999). The
construction of the self: Developmental and sociocultural foundations.
Guilford Press.
Harackiewicz, J. M., &
Hulleman, C. S. (2010). The importance of interest: The role of achievement
goals and task values in promoting the development of interest. Social and
Personality Psychology Compass, 4(1), 42–52.
Heider, F. (1958). The
psychology of interpersonal relations. Wiley.
Horkheimer, M., &
Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press.
Horney, K. (1950). Neurosis
and human growth. Norton.
Jarvis, P. (2007). Globalization,
lifelong learning and the learning society. Routledge.
Kaplan, A., & Maehr, M.
L. (2007). The contributions and prospects of goal orientation theory. Educational
Psychology Review, 19(2), 141–184.
King, R. B., &
McInerney, D. M. (2014). Culture and goal orientation: The role of motivation
in East Asian contexts. Contemporary Educational Psychology, 39(4),
276–286.
Kristjánsson, K. (2018). Virtuous
emotions. Oxford University Press.
Lasch, C. (1979). The
culture of narcissism. Norton.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Lupton, D. (2016). The
quantified self: A sociology of self-tracking. Polity Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Markus, H. R., &
Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion,
and motivation. Psychological Review, 98(2), 224–253.
Marwick, A. E. (2013). Status
update: Celebrity, publicity, and branding in the social media age. Yale
University Press.
Maslach, C., & Leiter,
M. P. (1997). The truth about burnout. Jossey-Bass.
Maslow, A. H. (1968). Toward
a psychology of being (2nd ed.). Van Nostrand.
Maslow, A. H. (1987). Motivation
and personality (3rd ed.). Harper & Row.
Mayer, R. E. (2003). Learning
and instruction. Merrill/Prentice Hall.
May, R. (1969). Love
and will. W. W. Norton.
McClelland, D. C. (1961). The
achieving society. Free Press.
Mezirow, J. (1991). Transformative
dimensions of adult learning. Jossey-Bass.
Morozov, E. (2013). To
save everything, click here: The folly of technological solutionism.
PublicAffairs.
Murray, H. A. (1938). Explorations
in personality. Oxford University Press.
Nicholls, J. (1984).
Achievement motivation: Conceptions of ability, subjective experience, task
choice, and performance. Psychological Review, 91(3), 328–346.
Noble, S. U. (2018). Algorithms
of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Pintrich, P. R. (2000). The
role of goal orientation in self-regulated learning. In M. Boekaerts, P. R.
Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-regulation (pp.
451–502). Academic Press.
Plato. (2002). Apology
(B. Jowett, Trans.). Dover Publications.
Rogers, C. R. (1961). On
becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy. Houghton Mifflin.
Rotter, J. B. (1966).
Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement.
Psychological Monographs, 80(1), 1–28.
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Senge, P. M. (1990). The
fifth discipline: The art and practice of the learning organization.
Doubleday.
Smedslund, J. (2016). Why
psychology cannot be an empirical science. Information Age Publishing.
Taylor, C. (1991). The
ethics of authenticity. Harvard University Press.
Turkle, S. (2011). Alone
together: Why we expect more from technology and less from each other.
Basic Books.
Turkle, S. (2015). Reclaiming
conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.
Van Dijck, J. (2013). The
culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford
University Press.
Weiner, B. (1985). An
attributional theory of motivation and emotion. Psychological Review, 92(4),
548–573.
Wenger, E. (1998). Communities
of practice: Learning, meaning, and identity. Cambridge University Press.
Wiliam, D. (2011). Embedded
formative assessment. Solution Tree Press.
Zimmerman, B. J. (1990).
Self-regulated learning and academic achievement: An overview. Educational
Psychologist, 25(1), 3–17.
