Kepemimpinan dalam Perspektif Filsafat
Landasan Konseptual dan Implementasi Praktis
Alihkan ke: Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik.
Kekuasaan (Power), Otoritas (Authority), Kekuatan (Force).
Dinamika Kepemimpinan dalam Islam, Kepemimpinan Pendidikan Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep kepemimpinan dari
perspektif filsafat,
dengan mengeksplorasi teori-teori klasik dan modern untuk memahami dimensi
etis, transformatif, dan keberlanjutan dalam kepemimpinan. Kajian ini dimulai
dengan menyoroti tradisi Yunani Kuno, filsafat Timur, dan Islam, yang
memberikan dasar konseptual bagi kepemimpinan yang bijaksana dan bertanggung
jawab. Selanjutnya, artikel ini membahas evolusi teori kepemimpinan modern
seperti transformational leadership dan servant leadership, yang
menekankan nilai-nilai etis dan kemampuan adaptif pemimpin.
Kajian ini juga mengulas kritik terhadap konsep
kepemimpinan, termasuk bias gender, penyalahgunaan kekuasaan, dan tantangan
implementasi dalam konteks globalisasi dan teknologi. Penekanan khusus
diberikan pada pentingnya keberlanjutan sebagai prinsip moral dalam pengambilan
keputusan kepemimpinan, yang mencakup tanggung jawab antar-generasi dan
integrasi nilai-nilai lingkungan, sosial, dan ekonomi. Artikel ini diakhiri
dengan rekomendasi bagi pemimpin masa depan untuk mengutamakan nilai etis,
keberlanjutan, dan inklusivitas dalam praktik kepemimpinan. Pendekatan
filosofis ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang relevan untuk menjawab
tantangan global abad ke-21.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Filsafat, Etika,
Keberlanjutan,
Transformational Leadership, Servant Leadership, Tanggung Jawab Antar-Generasi,
Globalisasi, Kritik Kepemimpinan.
1.
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan salah satu tema yang
senantiasa relevan dalam diskursus filsafat, baik
dalam konteks historis maupun kontemporer. Sebagai aktivitas sosial yang
memengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai tingkat —individu, kelompok,
maupun masyarakat— kepemimpinan memerlukan kajian mendalam untuk memahami
esensi, tujuan, dan implikasinya. Dalam pandangan filsafat,
kepemimpinan tidak hanya dipahami sebagai serangkaian tindakan praktis untuk
mengarahkan kelompok menuju tujuan tertentu, tetapi juga mencakup dimensi
normatif, yakni pertanyaan tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya
bertindak dalam konteks moral dan etika.¹
Sejak era Yunani Kuno, para filsuf telah berusaha
menjawab pertanyaan fundamental terkait kepemimpinan. Plato, misalnya,
mengemukakan gagasan tentang philosopher king, seorang pemimpin yang
ideal karena dibekali kebijaksanaan dan pengetahuan filsafat.²
Pemikiran ini kemudian berkembang dalam berbagai tradisi filsafat lain,
termasuk pemikiran Islam tentang khalifah sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.³
Tradisi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki dimensi transendental yang
melampaui sekadar hubungan sosial.⁴
Pada era modern, konsep kepemimpinan mengalami
pergeseran yang signifikan. Berbagai teori seperti trait theory, behavioral
theory, hingga transformational leadership menyoroti aspek-aspek
teknis dan psikologis dari kepemimpinan, sering kali mengesampingkan dimensi
etis dan normatif yang menjadi inti pembahasan filsafat.⁵ Namun,
dengan munculnya tantangan global seperti ketimpangan sosial, krisis
lingkungan, dan disrupsi teknologi, kebutuhan akan kepemimpinan yang berakar
pada nilai-nilai filsafat
kembali menjadi perhatian utama.⁶
Tujuan artikel ini adalah untuk menggali konsep
kepemimpinan dari perspektif filsafat secara
komprehensif, dengan menghubungkan gagasan-gagasan klasik dan modern untuk
memberikan panduan konseptual yang relevan bagi tantangan abad ke-21. Dengan
merujuk pada tradisi filsafat
dan teori-teori kepemimpinan kontemporer, artikel ini diharapkan dapat
memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana nilai-nilai etis dan normatif
dapat diintegrasikan ke dalam praktik kepemimpinan sehari-hari.
Catatan Kaki
[1]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of
Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley:
University of California Press, 1978), 215–218.
[2]
Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2000), 243–245.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 81.
[5]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 23–28.
[6]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 67–72.
2.
Konsep
Kepemimpinan dalam Tradisi Filsafat
Kepemimpinan telah
menjadi tema sentral dalam tradisi filsafat sepanjang sejarah, dengan berbagai
pendekatan yang merefleksikan dinamika sosial, politik, dan moral di setiap
zaman. Dalam bagian ini, pembahasan akan mencakup perspektif dari tradisi Yunani Kuno, filsafat Timur, dan
filsafat
Islam, yang masing-masing menawarkan konsep yang khas namun tetap relevan
untuk dipelajari dalam konteks kontemporer.
2.1.
Kepemimpinan dalam Filsafat Yunani Kuno
Dalam filsafat
Yunani Kuno, gagasan tentang kepemimpinan erat kaitannya dengan ide tentang kebaikan, keadilan, dan
kebijaksanaan. Plato, melalui karyanya The Republic, memperkenalkan konsep
philosopher
king, yakni pemimpin ideal yang tidak hanya menguasai seni
memerintah, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang filsafat dan
keadilan. Menurut Plato, hanya individu yang memiliki pengetahuan tentang
"Ide Kebaikan" yang dapat memimpin masyarakat dengan bijaksana.¹ Pemikiran ini menekankan
pentingnya integritas moral dan intelektual dalam kepemimpinan.
Sementara itu,
Aristoteles menyoroti kepemimpinan sebagai fungsi etis yang bertujuan mencapai eudaimonia atau kebahagiaan
kolektif. Dalam Politics, Aristoteles menjelaskan
bahwa pemimpin harus bertindak sesuai dengan kebajikan (virtue) dan menciptakan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.² Perspektif ini
menekankan pentingnya harmoni sosial dalam kepemimpinan.
2.2.
Perspektif Filsafat Timur
Filsafat Timur juga
menawarkan wawasan unik tentang kepemimpinan, dengan fokus pada harmoni dan
moralitas. Dalam tradisi Konfusianisme, kepemimpinan didasarkan pada prinsip ren (kemanusiaan) dan li
(kesopanan). Konfusius menegaskan bahwa pemimpin yang ideal adalah individu
yang memiliki sifat moral tinggi dan mampu menjadi teladan bagi rakyatnya.³
Gagasan ini menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan berbasis keteladanan dan
moralitas yang kuat.
Filsafat Hindu dan
Buddha juga menawarkan pandangan yang serupa. Dalam Arthashastra karya Kautilya,
kepemimpinan dipahami sebagai seni memerintah yang melibatkan strategi,
kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap
kesejahteraan masyarakat.⁴ Di sisi lain, tradisi Buddha menekankan konsep dharma
dalam kepemimpinan, yang berarti memimpin sesuai dengan nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.⁵
2.3.
Kepemimpinan dalam Tradisi Filsafat Islam
Dalam tradisi filsafat
Islam, konsep kepemimpinan memiliki dimensi spiritual yang mendalam.
Al-Farabi, dalam Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, menyebutkan bahwa pemimpin yang ideal adalah
individu yang mampu mencerminkan sifat-sifat nabi, seperti kebijaksanaan,
keadilan, dan keberanian.⁶ Al-Farabi juga menggambarkan pemimpin sebagai "imajinasi
aktif" yang menghubungkan dunia material dengan nilai-nilai
transendental.⁷
Pemikiran Ibn
Khaldun dalam Muqaddimah menambahkan dimensi
historis dan sosiologis pada konsep kepemimpinan. Menurutnya, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada
karakter pribadinya, tetapi juga pada kemampuan untuk memahami dinamika
kelompok (asabiyyah)
dan memelihara solidaritas sosial.⁸ Perspektif ini relevan dalam memahami
kepemimpinan sebagai interaksi antara individu dan struktur sosial.
Konsep-konsep ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam tradisi filsafat bukan
sekadar tindakan teknis, tetapi merupakan proses moral, intelektual, dan sosial yang kompleks. Dengan
mengintegrasikan pandangan dari berbagai tradisi, kajian ini memberikan
kerangka konseptual yang kaya untuk memahami dan mengimplementasikan
kepemimpinan secara bijaksana.
Catatan Kaki
[1]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 243–245.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a–1254a.
[3]
Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley
(London: George Allen & Unwin, 1938), 12:22–12:24.
[4]
Kautilya, Arthashastra, trans. L.N.
Rangarajan (New Delhi: Penguin Books, 1992), 15–20.
[5]
Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 127–129.
[6]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.
[7]
Majid Fakhry, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism
(Oxford: Oneworld Publications, 2002), 102–105.
[8]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 91–97.
3.
Teori
Kepemimpinan Modern dan Postmodern
Perkembangan teori
kepemimpinan pada era modern hingga postmodern mencerminkan perubahan
signifikan dalam cara manusia memahami dan mengaplikasikan konsep kepemimpinan.
Dari pendekatan yang menitikberatkan
pada karakteristik individu hingga analisis struktural yang kompleks,
teori-teori ini memberikan wawasan mendalam tentang sifat kepemimpinan dalam
masyarakat yang terus berubah.
3.1.
Teori Kepemimpinan Klasik
Pada era modern
awal, teori kepemimpinan klasik berfokus pada karakteristik pemimpin dan
perilakunya. Trait theory menjadi salah satu
pendekatan paling awal, yang berargumen bahwa kepemimpinan merupakan hasil dari
sifat-sifat bawaan tertentu, seperti kepercayaan diri, keberanian, dan
kecerdasan.¹ Namun, pendekatan ini mendapat kritik karena cenderung mengabaikan
konteks sosial dan budaya yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan.²
Behavioral
Leadership Theory muncul sebagai respons terhadap keterbatasan trait
theory. Teori ini berfokus pada perilaku pemimpin yang dapat
diamati, seperti gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan laissez-faire.³
Studi-studi ini, seperti
yang dilakukan oleh Kurt Lewin dan timnya, menekankan bahwa gaya kepemimpinan
yang paling efektif bergantung pada situasi tertentu, bukan hanya pada
karakteristik pemimpin.⁴
3.2.
Perspektif Postmodern dalam Kepemimpinan
Memasuki era
postmodern, teori kepemimpinan bergeser dari fokus individu ke analisis struktural dan diskursif. Michel Foucault,
dalam analisisnya tentang kekuasaan, mengajukan bahwa kepemimpinan tidak hanya
tentang hubungan personal, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan beroperasi
melalui wacana, institusi, dan praktik sosial.⁵ Menurut Foucault, pemimpin
tidak hanya menjadi subjek kekuasaan tetapi juga agen yang membentuk dan
dibentuk oleh struktur kekuasaan.⁶
Pendekatan
postmodern juga memperkenalkan gagasan tentang pluralitas dan inklusivitas dalam
kepemimpinan. Alih-alih menekankan otoritas pusat, teori ini menyoroti
pentingnya kerja sama, distribusi kekuasaan, dan pemberdayaan individu dalam
organisasi.⁷ Konsep ini relevan dalam konteks organisasi modern yang semakin
kompleks dan beragam.
3.3.
Transformational Leadership
Salah satu
kontribusi penting teori kepemimpinan modern adalah konsep transformational
leadership. Teori ini dikembangkan oleh James MacGregor Burns dan
kemudian diperluas oleh Bernard Bass.⁸ Kepemimpinan transformasional menggambarkan
pemimpin sebagai agen perubahan yang menginspirasi pengikutnya untuk melampaui
kepentingan pribadi demi mencapai
tujuan kolektif.⁹ Pemimpin transformasional berfokus pada pengembangan visi,
motivasi, dan penciptaan lingkungan yang mendukung inovasi.¹⁰
3.4.
Tantangan dalam Kepemimpinan Era Digital
Era digital membawa
tantangan baru bagi teori kepemimpinan. Pemimpin harus mampu beradaptasi dengan
perubahan teknologi, mengelola tim
yang terdistribusi secara global, dan memanfaatkan data untuk pengambilan
keputusan.¹¹ Dalam konteks ini, teori kepemimpinan postmodern menjadi semakin
relevan karena menekankan fleksibilitas, kolaborasi, dan inovasi.
Dengan menggabungkan
teori-teori klasik dan perspektif postmodern, kita dapat memahami kepemimpinan sebagai fenomena yang
dinamis dan multidimensional. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya kajian filsafat tentang
kepemimpinan, tetapi juga memberikan landasan praktis bagi pemimpin di berbagai
konteks modern.
Catatan Kaki
[1]
Ralph M. Stogdill, "Personal Factors Associated with Leadership: A
Survey of the Literature," Journal of Psychology 25, no. 1
(1948): 35–71.
[2]
Bernard M. Bass, Leadership and Performance Beyond Expectations
(New York: Free Press, 1985), 21–23.
[3]
Kurt Lewin, Ronald Lippitt, and Ralph K. White, "Patterns of Aggressive
Behavior in Experimentally Created 'Social Climates'," The
Journal of Social Psychology 10, no. 2 (1939): 271–299.
[4]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 52–54.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27–28.
[6]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An
Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books,
1978), 92–95.
[7]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity
Press, 2000), 76–79.
[8]
James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper &
Row, 1978), 3–8.
[9]
Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd
ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 15–20.
[10]
Daniel Goleman, Leadership That Gets Results, Harvard
Business Review (March-April 2000): 78–90.
[11]
Jeffrey A. Sonnenfeld, Firing Back: How Great Leaders Rebound after
Career Disasters (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 35–37.
4.
Nilai
Etis dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan yang
efektif tidak hanya ditentukan oleh kemampuan strategis atau keterampilan
teknis, tetapi juga oleh nilai-nilai etis yang mendasari tindakan seorang
pemimpin. Dalam filsafat,
etika kepemimpinan mengacu pada prinsip-prinsip moral yang memandu pengambilan keputusan dan perilaku pemimpin. Pemimpin
yang mengabaikan aspek etis dalam kepemimpinannya tidak hanya berisiko
kehilangan kepercayaan dari
pengikutnya, tetapi juga dapat merusak struktur sosial dan institusional yang
lebih luas.¹
4.1.
Peran Etika dalam Membentuk Pemimpin yang Bijak
Etika memberikan landasan bagi pemimpin untuk
memahami perbedaan antara yang benar dan yang salah dalam konteks kepemimpinan.
Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menekankan bahwa
kebajikan (virtue) adalah inti dari tindakan etis.² Pemimpin yang bijak harus
mampu menyeimbangkan antara kebijaksanaan praktis (phronesis) dan komitmen terhadap
nilai-nilai universal seperti keadilan, keberanian, dan integritas.³
Dalam konteks
modern, nilai-nilai etis ini diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip seperti
transparansi, akuntabilitas, dan empati.
Peter Drucker, seorang pelopor dalam manajemen modern, berpendapat bahwa “efektivitas
kepemimpinan bergantung pada integritas pribadi yang mendalam.”⁴ Ini
menekankan pentingnya moralitas sebagai fondasi kepemimpinan.
4.2.
Dilema Etika dalam Kepemimpinan
Meskipun penting,
menerapkan nilai-nilai etis dalam kepemimpinan sering kali menghadirkan dilema
moral. Salah satu tantangan utama adalah konflik antara hasil yang diinginkan
(utilitarianisme) dan proses yang benar (deontologi). Misalnya, seorang pemimpin mungkin dihadapkan pada
keputusan sulit antara memotong biaya operasional dengan merumahkan karyawan
atau mempertahankan tenaga kerja tetapi menghadapi risiko kebangkrutan
perusahaan.⁵
Immanuel Kant, dalam
Groundwork
of the Metaphysics of Morals, berargumen bahwa tindakan moral harus
didasarkan pada kewajiban dan prinsip-prinsip universal, bukan semata-mata pada
konsekuensi.⁶ Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa pemimpin harus
mengutamakan nilai-nilai seperti kejujuran dan keadilan, bahkan jika keputusan
tersebut tidak selalu menguntungkan secara praktis.
Dilema lainnya
muncul dalam konteks globalisasi dan pluralisme budaya, di mana nilai-nilai
etis sering kali berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain.⁷
Pemimpin dalam situasi ini harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik nilai dengan menghormati
keragaman sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral universal.
4.3.
Studi Kasus: Etika dalam Pengambilan Keputusan
Kepemimpinan
Kasus-kasus seperti
skandal Enron atau runtuhnya Lehman Brothers menunjukkan dampak destruktif dari
pengabaian etika dalam kepemimpinan.⁸ Sebaliknya, kepemimpinan etis seperti
yang ditunjukkan oleh Mahatma Gandhi, yang mempraktikkan ahimsa
(non-kekerasan) dan keadilan dalam
perjuangan politiknya, memberikan contoh konkret bagaimana nilai-nilai moral
dapat menjadi fondasi kepemimpinan yang transformatif.⁹
Etika dalam
kepemimpinan bukanlah aspek tambahan, tetapi inti dari kepemimpinan yang
berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip moral ke dalam praktik sehari-hari, pemimpin tidak
hanya dapat mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi juga membangun kepercayaan,
stabilitas, dan harmoni dalam masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization,
trans. A.M. Henderson and Talcott Parsons (New York: Free Press, 1947),
152–155.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1985), 1103a–1104a.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory,
3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 103–105.
[4]
Peter F. Drucker, The Effective Executive (New York:
HarperCollins, 2006), 65–67.
[5]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 50–52.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–35.
[7]
Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to
Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999),
23–25.
[8]
Bethany McLean and Peter Elkind, The Smartest Guys in the Room: The Amazing Rise
and Scandalous Fall of Enron (New York: Penguin Books, 2003),
89–92.
[9]
Bhikhu Parekh, Gandhi’s Political Philosophy: A Critical
Examination (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989),
45–47.
5.
Kepemimpinan
Transformasional dan Servant Leadership
Kepemimpinan
transformasional dan servant leadership merupakan dua
pendekatan kepemimpinan yang menekankan pentingnya nilai-nilai etis,
pengembangan individu, dan penciptaan perubahan positif dalam organisasi maupun masyarakat. Kedua konsep ini berakar
pada landasan filosofis dan psikologis yang bertujuan menginspirasi pemimpin
untuk melampaui sekadar mencapai tujuan pragmatis.
5.1.
Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan
transformasional pertama kali diperkenalkan oleh James MacGregor Burns dalam
karyanya Leadership.
Burns mendefinisikan pemimpin transformasional sebagai individu yang mampu
menginspirasi pengikutnya untuk
melampaui kepentingan pribadi demi mencapai tujuan kolektif yang lebih tinggi.¹
Pemimpin ini tidak hanya fokus pada keberhasilan organisasional tetapi juga
pada transformasi moral dan emosional pengikutnya.²
Bernard Bass kemudian memperluas konsep ini dengan mengidentifikasi empat
komponen utama kepemimpinan transformasional, yaitu:³
1)
Idealized
Influence (Pengaruh Ideal): Pemimpin bertindak sebagai teladan
dengan menunjukkan integritas dan nilai-nilai moral yang kuat.
2)
Inspirational
Motivation (Motivasi Inspiratif): Pemimpin memotivasi pengikut
melalui visi yang jelas dan memotivasi untuk mencapai tujuan bersama.
3)
Intellectual
Stimulation (Stimulasi Intelektual): Pemimpin mendorong kreativitas
dan inovasi dengan mengajukan tantangan intelektual.
4)
Individualized
Consideration (Pertimbangan Individual): Pemimpin memberikan
perhatian personal pada kebutuhan dan perkembangan setiap individu.
Pendekatan ini
relevan dalam konteks modern yang membutuhkan pemimpin yang adaptif dan
visioner.⁴ Misalnya, transformasi yang dilakukan oleh Nelson Mandela dalam
menyatukan Afrika Selatan pasca-apartheid
adalah contoh klasik kepemimpinan transformasional yang berhasil membangun
harmoni di tengah perpecahan.⁵
5.2.
Servant Leadership: Pemimpin sebagai Pelayan
Konsep servant
leadership pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf
dalam esainya The Servant as Leader.⁶ Berbeda
dengan pendekatan tradisional yang menempatkan pemimpin sebagai otoritas utama,
servant
leadership menekankan bahwa
pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Prinsip utama pendekatan ini adalah
bahwa pemimpin harus mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan orang-orang yang
mereka pimpin.⁷
Greenleaf
mengidentifikasi sejumlah karakteristik inti dari servant leadership, termasuk:⁸
1)
Mendengarkan
(Listening): Kemampuan untuk mendengar dengan penuh empati.
2)
Empati (Empathy): Memahami
perspektif dan perasaan pengikut.
3)
Penyembuhan
(Healing): Membantu mengatasi konflik atau masalah emosional.
4)
Kesadaran
(Awareness): Memiliki kesadaran diri dan lingkungan sekitar.
5)
Komitmen
pada Pertumbuhan Orang Lain (Commitment to the Growth of People):
Memprioritaskan perkembangan individu.
Praktik servant
leadership sering terlihat dalam organisasi nirlaba, komunitas
keagamaan, dan institusi pendidikan. Misalnya, Mahatma Gandhi adalah contoh
pemimpin yang mempraktikkan pendekatan ini dengan mengutamakan kebutuhan rakyat
India dalam perjuangan kemerdekaan.⁹
5.3.
Perbandingan dan Implementasi
Meskipun berbeda,
kedua pendekatan ini memiliki kesamaan dalam menempatkan nilai-nilai etis
sebagai fondasi kepemimpinan. Kepemimpinan transformasional berfokus pada
menciptakan perubahan yang menginspirasi, sedangkan servant leadership menekankan
pelayanan kepada pengikut. Keduanya dapat saling melengkapi dalam situasi
tertentu. Misalnya, pemimpin
transformasional yang juga seorang pelayan dapat menciptakan perubahan yang
berkelanjutan dengan memastikan kebutuhan pengikut terpenuhi selama proses
transformasi.
Implementasi kedua pendekatan
ini relevan dalam berbagai konteks, termasuk organisasi bisnis, pendidikan, dan
pemerintahan. Pemimpin yang mengadopsi prinsip-prinsip ini tidak hanya
menciptakan kesuksesan organisasional tetapi juga memperkuat hubungan
interpersonal dan membangun kepercayaan.
Catatan Kaki
[1]
James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper &
Row, 1978), 3–8.
[2]
Bernard M. Bass, Leadership and Performance Beyond Expectations
(New York: Free Press, 1985), 15–18.
[3]
Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd
ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 4–8.
[4]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 178–181.
[5]
Richard Stengel, Mandela's Way: Lessons on Life, Love, and
Courage (New York: Crown Publishing, 2009), 45–49.
[6]
Robert K. Greenleaf, The Servant as Leader (Newton
Center: Robert K. Greenleaf Center, 1970), 7–10.
[7]
Larry C. Spears, "Character and Servant Leadership: Ten
Characteristics of Effective, Caring Leaders," The Journal of Virtues & Leadership
1, no. 1 (2010): 25–30.
[8]
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature
of Legitimate Power and Greatness (New York: Paulist Press, 1977),
21–25.
[9]
Bhikhu Parekh, Gandhi’s Political Philosophy: A Critical
Examination (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989),
60–64.
6.
Kajian
Filosofis tentang Kepemimpinan dan Keberlanjutan
Kepemimpinan dalam
konteks keberlanjutan merupakan isu yang semakin relevan, terutama di tengah
tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan eksploitasi
sumber daya alam. Kajian filosofis tentang kepemimpinan dan keberlanjutan tidak
hanya mempertimbangkan tujuan jangka pendek, tetapi juga menekankan tanggung
jawab moral pemimpin terhadap
generasi mendatang.¹ Dalam perspektif ini, keberlanjutan menjadi prinsip moral
yang harus diintegrasikan dalam setiap aspek pengambilan keputusan dan
implementasi kepemimpinan.
6.1.
Kepemimpinan dan Tanggung Jawab Antar-Generasi
Dalam filsafat
moral, konsep keberlanjutan sering dikaitkan dengan tanggung jawab
antar-generasi. Pemikiran ini berakar pada gagasan Immanuel Kant tentang "imperatif kategoris,"
yang mengharuskan tindakan seseorang dapat dijadikan prinsip universal.² Dalam
konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa keputusan yang diambil hari ini harus
mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan generasi mendatang.³
John Rawls, dalam A Theory
of Justice, memperkenalkan konsep "prinsip perbedaan"
yang mendukung distribusi sumber daya secara adil antara generasi sekarang dan
masa depan.⁴ Rawls berpendapat bahwa pemimpin memiliki kewajiban untuk
memastikan keberlanjutan sebagai bagian dari keadilan distributif. Hal ini
menggarisbawahi pentingnya keputusan strategis yang tidak hanya menguntungkan
masyarakat saat ini, tetapi juga melindungi kepentingan generasi mendatang.
6.2.
Etika Keberlanjutan dalam Kepemimpinan
Etika keberlanjutan
berfokus pada keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Hans Jonas, melalui karyanya The Imperative of Responsibility, menegaskan
bahwa teknologi modern membawa tanggung jawab etis yang lebih besar bagi
pemimpin karena potensi dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem global.⁵
Jonas mengajukan "prinsip tanggung jawab," yang menekankan
bahwa pemimpin harus bertindak dengan memperhatikan dampak ekologis jangka
panjang dari setiap kebijakan.⁶
Pendekatan ini
relevan dalam menghadapi tantangan seperti perubahan iklim dan eksploitasi
sumber daya alam. Pemimpin yang mengabaikan prinsip keberlanjutan berisiko menciptakan krisis lingkungan yang tidak
hanya merugikan generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.⁷ Sebaliknya,
pemimpin yang mengintegrasikan etika keberlanjutan dapat menciptakan perubahan
positif dengan mengadopsi praktik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan secara
sosial.
6.3.
Studi Kasus: Kepemimpinan Keberlanjutan dalam
Praktek
Salah satu contoh
kepemimpinan keberlanjutan yang berhasil adalah kebijakan yang diterapkan di
negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia. Pemimpin di negara-negara ini
telah mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam kebijakan nasional mereka,
mulai dari transisi ke energi
terbarukan hingga pengelolaan limbah yang inovatif.⁸ Keberhasilan ini
menunjukkan bagaimana prinsip keberlanjutan dapat diterapkan dalam skala
nasional untuk menciptakan manfaat jangka panjang.
Di sektor bisnis,
CEO Patagonia, Yvon Chouinard, menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan dapat
diterapkan dalam model bisnis yang etis dan menguntungkan.⁹ Patagonia
mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dengan cara memproduksi produk yang ramah lingkungan dan
mendukung gerakan lingkungan global.⁹
6.4.
Tantangan dan Masa Depan Kepemimpinan
Keberlanjutan
Meskipun penting,
menerapkan prinsip keberlanjutan dalam kepemimpinan tidaklah mudah. Pemimpin
sering kali menghadapi tekanan dari pemangku kepentingan untuk memprioritaskan
keuntungan jangka pendek daripada dampak
jangka panjang.¹⁰ Selain itu, keberagaman budaya dan nilai-nilai sering kali
menciptakan perbedaan persepsi tentang keberlanjutan.
Untuk mengatasi
tantangan ini, diperlukan pendidikan kepemimpinan yang menekankan pentingnya
keberlanjutan sebagai bagian integral dari nilai-nilai etis seorang pemimpin.¹¹ Dengan demikian,
pemimpin masa depan tidak hanya dapat mengatasi tantangan global tetapi juga
menciptakan dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan sejahtera.
Catatan Kaki
[1]
Peter G. Brown and Geoffrey Garver, Right Relationship: Building a Whole Earth
Economy (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2009), 12–14.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–32.
[3]
Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive
Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
45–48.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 251–254.
[5]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 23–26.
[6]
Ibid., 36–39.
[7]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 45–50.
[8]
Michael D. Shellenberger and Ted Nordhaus, Break Through: From the Death of
Environmentalism to the Politics of Possibility (New York: Houghton
Mifflin, 2007), 100–105.
[9]
Vincent Stanley and Yvon Chouinard, The Responsible Company: What We've Learned
from Patagonia's First 40 Years (Ventura: Patagonia Books, 2012),
12–15.
[10]
Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to
Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999),
87–89.
[11]
Christopher Wright and Daniel Nyberg, Climate Change, Capitalism, and Corporations:
Processes of Creative Self-Destruction (Cambridge: Cambridge
University Press, 2015), 60–63.
7.
Kritik
dan Tantangan terhadap Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan telah
menjadi subjek kajian yang luas dan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu,
termasuk filsafat,
manajemen, dan psikologi. Namun, konsep ini tidak luput dari kritik dan
tantangan, baik dari segi teoritis maupun praktis. Kritik terhadap kepemimpinan
sering kali berfokus pada
generalisasi yang berlebihan, bias budaya, serta potensi penyalahgunaan
kekuasaan. Di sisi lain, tantangan praktis dalam menerapkan konsep kepemimpinan
juga menjadi perhatian utama di tengah dinamika globalisasi, teknologi, dan
pluralisme budaya.
7.1.
Kritik terhadap Konsep Kepemimpinan
Salah satu kritik utama terhadap konsep kepemimpinan adalah
kecenderungan untuk mengidealkan pemimpin sebagai figur yang sempurna.
Pandangan ini sering kali ditemukan dalam teori-teori klasik seperti trait
theory, yang berargumen bahwa pemimpin dilahirkan dengan
sifat-sifat tertentu yang membedakan
mereka dari individu lain.¹ Kritik terhadap teori ini adalah bahwa ia
mengabaikan faktor lingkungan dan situasional yang memengaruhi efektivitas
kepemimpinan.²
Selain itu, beberapa
filsuf seperti Michel Foucault mengkritik konsep kepemimpinan karena sering
kali digunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis. Menurut
Foucault, kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari relasi kekuasaan yang dapat
menindas atau mengontrol individu dalam masyarakat.³ Perspektif ini
menggarisbawahi pentingnya mengkaji kepemimpinan tidak hanya sebagai tindakan
individu tetapi juga sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh wacana dan
institusi.⁴
Kritik lainnya
datang dari pendekatan feminis, yang menyoroti bias gender dalam teori
kepemimpinan tradisional. Pemimpin sering kali digambarkan dengan karakteristik yang diasosiasikan
dengan maskulinitas, seperti ketegasan dan dominasi, sementara sifat-sifat
seperti empati
dan kolaborasi cenderung diabaikan.⁵ Pendekatan ini menyerukan pengakuan
terhadap keragaman gaya kepemimpinan yang lebih inklusif.
7.2.
Tantangan dalam Implementasi Konsep
Kepemimpinan
Tantangan utama
dalam menerapkan konsep kepemimpinan adalah kompleksitas dunia modern, di mana
pemimpin harus menghadapi dinamika globalisasi, kemajuan teknologi, dan
pluralisme budaya. Dalam konteks globalisasi,
pemimpin harus mampu mengelola keragaman budaya dan nilai-nilai yang sering
kali saling bertentangan.⁶ Misalnya, pendekatan kepemimpinan yang efektif di
negara-negara Barat tidak selalu relevan di negara-negara Asia atau Afrika, di
mana nilai-nilai kolektivitas dan hierarki lebih menonjol.⁷
Kemajuan teknologi
juga menghadirkan tantangan baru dalam kepemimpinan, terutama dalam mengelola tim virtual dan memanfaatkan data besar
untuk pengambilan keputusan.⁸ Selain itu, pemimpin harus mampu mengelola risiko
yang terkait dengan teknologi, seperti keamanan data dan dampak sosial dari
otomatisasi.⁹
Di sisi lain,
pluralisme budaya dan ideologis menciptakan kebutuhan akan pemimpin yang mampu
menavigasi perbedaan dan membangun konsensus.¹⁰ Namun, ini sering kali sulit
dicapai karena konflik nilai yang inheren dalam masyarakat yang beragam.¹¹
7.3.
Mengatasi Kritik dan Tantangan
Untuk mengatasi
kritik dan tantangan ini, diperlukan pendekatan kepemimpinan yang lebih
inklusif, adaptif, dan kontekstual. Pemimpin harus mampu mengintegrasikan
berbagai perspektif dan pendekatan dalam pengambilan keputusan.¹² Selain itu,
penting bagi pemimpin untuk mengembangkan
kesadaran etis dan tanggung jawab sosial yang kuat untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan.¹³
Dengan demikian,
meskipun konsep kepemimpinan tidak luput dari kritik dan tantangan, pendekatan
filosofis yang kritis dan reflektif dapat membantu memperbaiki kelemahan dan
menciptakan paradigma kepemimpinan yang lebih relevan dan bermanfaat.
Catatan Kaki
[1]
Ralph M. Stogdill, "Personal Factors Associated with Leadership: A
Survey of the Literature," Journal of Psychology 25, no. 1
(1948): 35–71.
[2]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 23–25.
[3]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 25–28.
[4]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An
Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books,
1978), 92–95.
[5]
Alice H. Eagly and Linda L. Carli, Through the Labyrinth: The Truth About How
Women Become Leaders (Boston: Harvard Business Review Press, 2007),
45–48.
[6]
Geert Hofstede, Cultures and Organizations: Software of the
Mind, rev. ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 72–74.
[7]
House, Robert J., et al., Culture, Leadership, and Organizations: The
GLOBE Study of 62 Societies (Thousand Oaks: SAGE Publications,
2004), 16–18.
[8]
Thomas W. Malone, The Future of Work: How the New Order of
Business Will Shape Your Organization, Your Management Style, and Your Life
(Boston: Harvard Business Review Press, 2004), 35–38.
[9]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight
for a Human Future at the New Frontier of Power (New York:
PublicAffairs, 2019), 103–106.
[10]
Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to
Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999),
29–31.
[11]
Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York:
Knopf, 1993), 27–29.
[12]
Ronald Heifetz and Marty Linsky, Leadership on the Line: Staying Alive Through
the Dangers of Leading (Boston: Harvard Business School Press,
2002), 14–16.
[13]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University
of California Press, 1978), 152–155.
8.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
Kepemimpinan adalah
fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara nilai-nilai etis, keahlian
praktis, dan konteks sosial. Dalam perspektif filsafat,
kepemimpinan tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan pragmatis tetapi juga
mencakup dimensi moral dan transendental.¹ Sebagai sebuah proses, kepemimpinan yang ideal harus mampu menginspirasi
perubahan, melayani kebutuhan orang lain, dan memastikan keberlanjutan untuk
generasi mendatang.
8.1.
Kesimpulan
Melalui kajian ini,
dapat disimpulkan bahwa pendekatan filosofis terhadap kepemimpinan memberikan
landasan yang kuat untuk memahami dan mengatasi tantangan kontemporer. Dari
tradisi Yunani Kuno hingga teori modern dan postmodern, filsafat
menawarkan berbagai konsep yang relevan untuk membentuk pemimpin yang bijaksana
dan bertanggung jawab.
1)
Kepemimpinan sebagai
Praktik Moral:
Konsep kepemimpinan dalam filsafat, seperti philosopher
king dari Plato atau khalifah dalam tradisi Islam, menekankan
pentingnya integritas moral dan kebijaksanaan dalam memimpin.² Gagasan ini
tetap relevan dalam konteks modern, di mana nilai-nilai etis menjadi dasar
untuk membangun kepercayaan.³
2)
Kepemimpinan yang
Adaptif:
Dalam dunia yang terus berubah, teori
kepemimpinan transformasional dan servant leadership menunjukkan
pentingnya pemimpin yang mampu menginspirasi pengikut dan melayani kebutuhan
mereka.⁴ Pendekatan ini membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan
memberdayakan individu untuk berkontribusi secara maksimal.
3)
Tantangan Global dan
Keberlanjutan:
Pemimpin modern harus mampu menghadapi tantangan
global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan disrupsi teknologi.⁵
Dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan, pemimpin dapat memastikan bahwa
tindakan mereka tidak hanya menguntungkan saat ini tetapi juga generasi
mendatang.⁶
Meskipun banyak
teori yang menawarkan wawasan tentang kepemimpinan, tidak ada satu pendekatan
pun yang dapat diterapkan secara universal. Sebaliknya, pemimpin harus mampu
mengadaptasi gaya kepemimpinan mereka sesuai dengan kebutuhan konteks tertentu.
8.2.
Rekomendasi
Berdasarkan
kesimpulan di atas, berikut adalah rekomendasi untuk pemimpin masa kini dan mendatang:
1)
Mengintegrasikan Nilai
Etis dalam Kepemimpinan:
Pemimpin harus menempatkan nilai-nilai seperti
keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sebagai inti dari setiap keputusan dan
tindakan mereka.⁷ Pendidikan kepemimpinan perlu memasukkan etika sebagai
komponen utama dalam pengembangan calon pemimpin.⁸
2)
Meningkatkan Kapasitas
Adaptasi:
Dalam menghadapi dunia yang dinamis, pemimpin
perlu mengembangkan fleksibilitas dan kemampuan berpikir kritis. Teori seperti transformational
leadership dapat menjadi panduan untuk menginspirasi perubahan dan inovasi.⁹
3)
Mengutamakan
Keberlanjutan:
Pemimpin harus memastikan bahwa kebijakan mereka
mendukung keberlanjutan ekologis, sosial, dan ekonomi. Prinsip-prinsip seperti
tanggung jawab antar-generasi harus menjadi bagian integral dari strategi kepemimpinan.¹⁰
4)
Mengembangkan
Inklusivitas:
Kepemimpinan modern harus menghormati keberagaman
dan mempromosikan partisipasi aktif dari semua pihak, tanpa memandang latar
belakang budaya, gender, atau ideologi.¹¹
Dengan menerapkan
rekomendasi ini, pemimpin masa depan dapat menjawab tantangan global dan
menciptakan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Filsafat, sebagai
refleksi kritis tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar, dapat terus
menjadi panduan dalam membentuk kepemimpinan yang unggul.
Catatan Kaki
[1]
Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice,
9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 12–15.
[2]
Plato, The Republic, trans. Benjamin
Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 243–245.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.
[4]
James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper &
Row, 1978), 20–22.
[5]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago:
University of Chicago Press, 1984), 45–47.
[6]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the
Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 50–52.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–35.
[8]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley:
University of California Press, 1978), 152–155.
[9]
Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed.
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 15–20.
[10]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge: Harvard University Press, 1999), 251–254.
[11]
Alice H. Eagly and Linda L. Carli, Through the Labyrinth: The Truth About How
Women Become Leaders (Boston: Harvard Business Review Press, 2007),
45–48.
Daftar Pustaka
Books
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
Bass, B. M. (1985). Leadership and performance
beyond expectations. Free Press.
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational
leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.
Brown, P. G., & Garver, G. (2009). Right
relationship: Building a whole earth economy. Berrett-Koehler Publishers.
Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper
& Row.
Drucker, P. F. (2006). The effective executive.
HarperCollins.
Eagly, A. H., & Carli, L. L. (2007). Through
the labyrinth: The truth about how women become leaders. Harvard Business
Review Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality,
Volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.
Greenleaf, R. K. (1970). The servant as leader.
Robert K. Greenleaf Center.
Greenleaf, R. K. (1977). Servant leadership: A
journey into the nature of legitimate power and greatness. Paulist Press.
Hofstede, G. (2010). Cultures and organizations:
Software of the mind (Rev. ed.). McGraw-Hill.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Klein, N. (2014). This changes everything:
Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Malone, T. W. (2004). The future of work: How
the new order of business will shape your organization, your management style,
and your life. Harvard Business Review Press.
Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and
practice (9th ed.). SAGE Publications.
Parekh, B. (1989). Gandhi’s political
philosophy: A critical examination. University of Notre Dame Press.
Plato. (2000). The republic (B. Jowett,
Trans.). Dover Publications.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Said, E. W. (1993). Culture and imperialism.
Knopf.
Shellenberger, M., & Nordhaus, T. (2007). Break
through: From the death of environmentalism to the politics of possibility.
Houghton Mifflin.
Spears, L. C. (2010). Character and servant
leadership: Ten characteristics of effective, caring leaders. The Journal of
Virtues & Leadership, 1(1), 25–30.
Stanley, V., & Chouinard, Y. (2012). The
responsible company: What we've learned from Patagonia's first 40 years.
Patagonia Books.
Weber, M. (1947). The theory of social and
economic organization (A. M. Henderson & T. Parsons, Trans.). Free
Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline
of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of
California Press.
Wright, C., & Nyberg, D. (2015). Climate
change, capitalism, and corporations: Processes of creative self-destruction.
Cambridge University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Journal Articles
Lewin, K., Lippitt, R., & White, R. K. (1939).
Patterns of aggressive behavior in experimentally created “social climates.” The
Journal of Social Psychology, 10(2), 271–299.
Stogdill, R. M. (1948). Personal factors associated
with leadership: A survey of the literature. Journal of Psychology, 25(1),
35–71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar