Minggu, 05 Januari 2025

Kepemimpinan dalam Perspektif Filsafat: Landasan Konseptual dan Implementasi Praktis

Kepemimpinan dalam Perspektif Filsafat

Landasan Konseptual dan Implementasi Praktis


Alihkan ke: Ilmu PemerintahanIlmu Politik.

Kekuasaan (Power), Otoritas (Authority), Kekuatan (Force).

Dinamika Kepemimpinan dalam Islam, Kepemimpinan Pendidikan Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep kepemimpinan dari perspektif filsafat, dengan mengeksplorasi teori-teori klasik dan modern untuk memahami dimensi etis, transformatif, dan keberlanjutan dalam kepemimpinan. Kajian ini dimulai dengan menyoroti tradisi Yunani Kuno, filsafat Timur, dan Islam, yang memberikan dasar konseptual bagi kepemimpinan yang bijaksana dan bertanggung jawab. Selanjutnya, artikel ini membahas evolusi teori kepemimpinan modern seperti transformational leadership dan servant leadership, yang menekankan nilai-nilai etis dan kemampuan adaptif pemimpin.

Kajian ini juga mengulas kritik terhadap konsep kepemimpinan, termasuk bias gender, penyalahgunaan kekuasaan, dan tantangan implementasi dalam konteks globalisasi dan teknologi. Penekanan khusus diberikan pada pentingnya keberlanjutan sebagai prinsip moral dalam pengambilan keputusan kepemimpinan, yang mencakup tanggung jawab antar-generasi dan integrasi nilai-nilai lingkungan, sosial, dan ekonomi. Artikel ini diakhiri dengan rekomendasi bagi pemimpin masa depan untuk mengutamakan nilai etis, keberlanjutan, dan inklusivitas dalam praktik kepemimpinan. Pendekatan filosofis ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang relevan untuk menjawab tantangan global abad ke-21.

Kata Kunci: Kepemimpinan, Filsafat, Etika, Keberlanjutan, Transformational Leadership, Servant Leadership, Tanggung Jawab Antar-Generasi, Globalisasi, Kritik Kepemimpinan.


1.           Pendahuluan

Kepemimpinan merupakan salah satu tema yang senantiasa relevan dalam diskursus filsafat, baik dalam konteks historis maupun kontemporer. Sebagai aktivitas sosial yang memengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai tingkat —individu, kelompok, maupun masyarakat— kepemimpinan memerlukan kajian mendalam untuk memahami esensi, tujuan, dan implikasinya. Dalam pandangan filsafat, kepemimpinan tidak hanya dipahami sebagai serangkaian tindakan praktis untuk mengarahkan kelompok menuju tujuan tertentu, tetapi juga mencakup dimensi normatif, yakni pertanyaan tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak dalam konteks moral dan etika.¹

Sejak era Yunani Kuno, para filsuf telah berusaha menjawab pertanyaan fundamental terkait kepemimpinan. Plato, misalnya, mengemukakan gagasan tentang philosopher king, seorang pemimpin yang ideal karena dibekali kebijaksanaan dan pengetahuan filsafat.² Pemikiran ini kemudian berkembang dalam berbagai tradisi filsafat lain, termasuk pemikiran Islam tentang khalifah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.³ Tradisi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki dimensi transendental yang melampaui sekadar hubungan sosial.⁴

Pada era modern, konsep kepemimpinan mengalami pergeseran yang signifikan. Berbagai teori seperti trait theory, behavioral theory, hingga transformational leadership menyoroti aspek-aspek teknis dan psikologis dari kepemimpinan, sering kali mengesampingkan dimensi etis dan normatif yang menjadi inti pembahasan filsafat.⁵ Namun, dengan munculnya tantangan global seperti ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan disrupsi teknologi, kebutuhan akan kepemimpinan yang berakar pada nilai-nilai filsafat kembali menjadi perhatian utama.⁶

Tujuan artikel ini adalah untuk menggali konsep kepemimpinan dari perspektif filsafat secara komprehensif, dengan menghubungkan gagasan-gagasan klasik dan modern untuk memberikan panduan konseptual yang relevan bagi tantangan abad ke-21. Dengan merujuk pada tradisi filsafat dan teori-teori kepemimpinan kontemporer, artikel ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana nilai-nilai etis dan normatif dapat diintegrasikan ke dalam praktik kepemimpinan sehari-hari.


Catatan Kaki

[1]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 215–218.

[2]                Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 243–245.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 81.

[5]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice, 9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 23–28.

[6]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 67–72.


2.           Konsep Kepemimpinan dalam Tradisi Filsafat

Kepemimpinan telah menjadi tema sentral dalam tradisi filsafat sepanjang sejarah, dengan berbagai pendekatan yang merefleksikan dinamika sosial, politik, dan moral di setiap zaman. Dalam bagian ini, pembahasan akan mencakup perspektif dari tradisi Yunani Kuno, filsafat Timur, dan filsafat Islam, yang masing-masing menawarkan konsep yang khas namun tetap relevan untuk dipelajari dalam konteks kontemporer.

2.1.       Kepemimpinan dalam Filsafat Yunani Kuno

Dalam filsafat Yunani Kuno, gagasan tentang kepemimpinan erat kaitannya dengan ide tentang kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan. Plato, melalui karyanya The Republic, memperkenalkan konsep philosopher king, yakni pemimpin ideal yang tidak hanya menguasai seni memerintah, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang filsafat dan keadilan. Menurut Plato, hanya individu yang memiliki pengetahuan tentang "Ide Kebaikan" yang dapat memimpin masyarakat dengan bijaksana.¹ Pemikiran ini menekankan pentingnya integritas moral dan intelektual dalam kepemimpinan.

Sementara itu, Aristoteles menyoroti kepemimpinan sebagai fungsi etis yang bertujuan mencapai eudaimonia atau kebahagiaan kolektif. Dalam Politics, Aristoteles menjelaskan bahwa pemimpin harus bertindak sesuai dengan kebajikan (virtue) dan menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.² Perspektif ini menekankan pentingnya harmoni sosial dalam kepemimpinan.

2.2.       Perspektif Filsafat Timur

Filsafat Timur juga menawarkan wawasan unik tentang kepemimpinan, dengan fokus pada harmoni dan moralitas. Dalam tradisi Konfusianisme, kepemimpinan didasarkan pada prinsip ren (kemanusiaan) dan li (kesopanan). Konfusius menegaskan bahwa pemimpin yang ideal adalah individu yang memiliki sifat moral tinggi dan mampu menjadi teladan bagi rakyatnya.³ Gagasan ini menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan berbasis keteladanan dan moralitas yang kuat.

Filsafat Hindu dan Buddha juga menawarkan pandangan yang serupa. Dalam Arthashastra karya Kautilya, kepemimpinan dipahami sebagai seni memerintah yang melibatkan strategi, kebijaksanaan, dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat.⁴ Di sisi lain, tradisi Buddha menekankan konsep dharma dalam kepemimpinan, yang berarti memimpin sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.⁵

2.3.       Kepemimpinan dalam Tradisi Filsafat Islam

Dalam tradisi filsafat Islam, konsep kepemimpinan memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Al-Farabi, dalam Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, menyebutkan bahwa pemimpin yang ideal adalah individu yang mampu mencerminkan sifat-sifat nabi, seperti kebijaksanaan, keadilan, dan keberanian.⁶ Al-Farabi juga menggambarkan pemimpin sebagai "imajinasi aktif" yang menghubungkan dunia material dengan nilai-nilai transendental.⁷

Pemikiran Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menambahkan dimensi historis dan sosiologis pada konsep kepemimpinan. Menurutnya, keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada karakter pribadinya, tetapi juga pada kemampuan untuk memahami dinamika kelompok (asabiyyah) dan memelihara solidaritas sosial.⁸ Perspektif ini relevan dalam memahami kepemimpinan sebagai interaksi antara individu dan struktur sosial.


Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam tradisi filsafat bukan sekadar tindakan teknis, tetapi merupakan proses moral, intelektual, dan sosial yang kompleks. Dengan mengintegrasikan pandangan dari berbagai tradisi, kajian ini memberikan kerangka konseptual yang kaya untuk memahami dan mengimplementasikan kepemimpinan secara bijaksana.


Catatan Kaki

[1]                Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 243–245.

[2]                Aristotle, Politics, trans. Carnes Lord (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1253a–1254a.

[3]                Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley (London: George Allen & Unwin, 1938), 12:22–12:24.

[4]                Kautilya, Arthashastra, trans. L.N. Rangarajan (New Delhi: Penguin Books, 1992), 15–20.

[5]                Rupert Gethin, The Foundations of Buddhism (Oxford: Oxford University Press, 1998), 127–129.

[6]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.

[7]                Majid Fakhry, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism (Oxford: Oneworld Publications, 2002), 102–105.

[8]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 91–97.


3.           Teori Kepemimpinan Modern dan Postmodern

Perkembangan teori kepemimpinan pada era modern hingga postmodern mencerminkan perubahan signifikan dalam cara manusia memahami dan mengaplikasikan konsep kepemimpinan. Dari pendekatan yang menitikberatkan pada karakteristik individu hingga analisis struktural yang kompleks, teori-teori ini memberikan wawasan mendalam tentang sifat kepemimpinan dalam masyarakat yang terus berubah.

3.1.       Teori Kepemimpinan Klasik

Pada era modern awal, teori kepemimpinan klasik berfokus pada karakteristik pemimpin dan perilakunya. Trait theory menjadi salah satu pendekatan paling awal, yang berargumen bahwa kepemimpinan merupakan hasil dari sifat-sifat bawaan tertentu, seperti kepercayaan diri, keberanian, dan kecerdasan.¹ Namun, pendekatan ini mendapat kritik karena cenderung mengabaikan konteks sosial dan budaya yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan.²

Behavioral Leadership Theory muncul sebagai respons terhadap keterbatasan trait theory. Teori ini berfokus pada perilaku pemimpin yang dapat diamati, seperti gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan laissez-faire.³ Studi-studi ini, seperti yang dilakukan oleh Kurt Lewin dan timnya, menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif bergantung pada situasi tertentu, bukan hanya pada karakteristik pemimpin.⁴

3.2.       Perspektif Postmodern dalam Kepemimpinan

Memasuki era postmodern, teori kepemimpinan bergeser dari fokus individu ke analisis struktural dan diskursif. Michel Foucault, dalam analisisnya tentang kekuasaan, mengajukan bahwa kepemimpinan tidak hanya tentang hubungan personal, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan beroperasi melalui wacana, institusi, dan praktik sosial.⁵ Menurut Foucault, pemimpin tidak hanya menjadi subjek kekuasaan tetapi juga agen yang membentuk dan dibentuk oleh struktur kekuasaan.⁶

Pendekatan postmodern juga memperkenalkan gagasan tentang pluralitas dan inklusivitas dalam kepemimpinan. Alih-alih menekankan otoritas pusat, teori ini menyoroti pentingnya kerja sama, distribusi kekuasaan, dan pemberdayaan individu dalam organisasi.⁷ Konsep ini relevan dalam konteks organisasi modern yang semakin kompleks dan beragam.

3.3.       Transformational Leadership

Salah satu kontribusi penting teori kepemimpinan modern adalah konsep transformational leadership. Teori ini dikembangkan oleh James MacGregor Burns dan kemudian diperluas oleh Bernard Bass.⁸ Kepemimpinan transformasional menggambarkan pemimpin sebagai agen perubahan yang menginspirasi pengikutnya untuk melampaui kepentingan pribadi demi mencapai tujuan kolektif.⁹ Pemimpin transformasional berfokus pada pengembangan visi, motivasi, dan penciptaan lingkungan yang mendukung inovasi.¹⁰

3.4.       Tantangan dalam Kepemimpinan Era Digital

Era digital membawa tantangan baru bagi teori kepemimpinan. Pemimpin harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi, mengelola tim yang terdistribusi secara global, dan memanfaatkan data untuk pengambilan keputusan.¹¹ Dalam konteks ini, teori kepemimpinan postmodern menjadi semakin relevan karena menekankan fleksibilitas, kolaborasi, dan inovasi.


Dengan menggabungkan teori-teori klasik dan perspektif postmodern, kita dapat memahami kepemimpinan sebagai fenomena yang dinamis dan multidimensional. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya kajian filsafat tentang kepemimpinan, tetapi juga memberikan landasan praktis bagi pemimpin di berbagai konteks modern.


Catatan Kaki

[1]                Ralph M. Stogdill, "Personal Factors Associated with Leadership: A Survey of the Literature," Journal of Psychology 25, no. 1 (1948): 35–71.

[2]                Bernard M. Bass, Leadership and Performance Beyond Expectations (New York: Free Press, 1985), 21–23.

[3]                Kurt Lewin, Ronald Lippitt, and Ralph K. White, "Patterns of Aggressive Behavior in Experimentally Created 'Social Climates'," The Journal of Social Psychology 10, no. 2 (1939): 271–299.

[4]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice, 9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 52–54.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27–28.

[6]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 92–95.

[7]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 76–79.

[8]                James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper & Row, 1978), 3–8.

[9]                Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 15–20.

[10]             Daniel Goleman, Leadership That Gets Results, Harvard Business Review (March-April 2000): 78–90.

[11]             Jeffrey A. Sonnenfeld, Firing Back: How Great Leaders Rebound after Career Disasters (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 35–37.


4.           Nilai Etis dalam Kepemimpinan

Kepemimpinan yang efektif tidak hanya ditentukan oleh kemampuan strategis atau keterampilan teknis, tetapi juga oleh nilai-nilai etis yang mendasari tindakan seorang pemimpin. Dalam filsafat, etika kepemimpinan mengacu pada prinsip-prinsip moral yang memandu pengambilan keputusan dan perilaku pemimpin. Pemimpin yang mengabaikan aspek etis dalam kepemimpinannya tidak hanya berisiko kehilangan kepercayaan dari pengikutnya, tetapi juga dapat merusak struktur sosial dan institusional yang lebih luas.¹

4.1.       Peran Etika dalam Membentuk Pemimpin yang Bijak

Etika memberikan landasan bagi pemimpin untuk memahami perbedaan antara yang benar dan yang salah dalam konteks kepemimpinan. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menekankan bahwa kebajikan (virtue) adalah inti dari tindakan etis.² Pemimpin yang bijak harus mampu menyeimbangkan antara kebijaksanaan praktis (phronesis) dan komitmen terhadap nilai-nilai universal seperti keadilan, keberanian, dan integritas.³

Dalam konteks modern, nilai-nilai etis ini diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan empati. Peter Drucker, seorang pelopor dalam manajemen modern, berpendapat bahwa “efektivitas kepemimpinan bergantung pada integritas pribadi yang mendalam.”⁴ Ini menekankan pentingnya moralitas sebagai fondasi kepemimpinan.

4.2.       Dilema Etika dalam Kepemimpinan

Meskipun penting, menerapkan nilai-nilai etis dalam kepemimpinan sering kali menghadirkan dilema moral. Salah satu tantangan utama adalah konflik antara hasil yang diinginkan (utilitarianisme) dan proses yang benar (deontologi). Misalnya, seorang pemimpin mungkin dihadapkan pada keputusan sulit antara memotong biaya operasional dengan merumahkan karyawan atau mempertahankan tenaga kerja tetapi menghadapi risiko kebangkrutan perusahaan.⁵

Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, berargumen bahwa tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban dan prinsip-prinsip universal, bukan semata-mata pada konsekuensi.⁶ Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa pemimpin harus mengutamakan nilai-nilai seperti kejujuran dan keadilan, bahkan jika keputusan tersebut tidak selalu menguntungkan secara praktis.

Dilema lainnya muncul dalam konteks globalisasi dan pluralisme budaya, di mana nilai-nilai etis sering kali berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain.⁷ Pemimpin dalam situasi ini harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik nilai dengan menghormati keragaman sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral universal.

4.3.       Studi Kasus: Etika dalam Pengambilan Keputusan Kepemimpinan

Kasus-kasus seperti skandal Enron atau runtuhnya Lehman Brothers menunjukkan dampak destruktif dari pengabaian etika dalam kepemimpinan.⁸ Sebaliknya, kepemimpinan etis seperti yang ditunjukkan oleh Mahatma Gandhi, yang mempraktikkan ahimsa (non-kekerasan) dan keadilan dalam perjuangan politiknya, memberikan contoh konkret bagaimana nilai-nilai moral dapat menjadi fondasi kepemimpinan yang transformatif.⁹


Etika dalam kepemimpinan bukanlah aspek tambahan, tetapi inti dari kepemimpinan yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip moral ke dalam praktik sehari-hari, pemimpin tidak hanya dapat mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi juga membangun kepercayaan, stabilitas, dan harmoni dalam masyarakat.


Catatan Kaki

[1]                Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, trans. A.M. Henderson and Talcott Parsons (New York: Free Press, 1947), 152–155.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1985), 1103a–1104a.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 103–105.

[4]                Peter F. Drucker, The Effective Executive (New York: HarperCollins, 2006), 65–67.

[5]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 50–52.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–35.

[7]                Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 23–25.

[8]                Bethany McLean and Peter Elkind, The Smartest Guys in the Room: The Amazing Rise and Scandalous Fall of Enron (New York: Penguin Books, 2003), 89–92.

[9]                Bhikhu Parekh, Gandhi’s Political Philosophy: A Critical Examination (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 45–47.


5.           Kepemimpinan Transformasional dan Servant Leadership

Kepemimpinan transformasional dan servant leadership merupakan dua pendekatan kepemimpinan yang menekankan pentingnya nilai-nilai etis, pengembangan individu, dan penciptaan perubahan positif dalam organisasi maupun masyarakat. Kedua konsep ini berakar pada landasan filosofis dan psikologis yang bertujuan menginspirasi pemimpin untuk melampaui sekadar mencapai tujuan pragmatis.

5.1.       Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional pertama kali diperkenalkan oleh James MacGregor Burns dalam karyanya Leadership. Burns mendefinisikan pemimpin transformasional sebagai individu yang mampu menginspirasi pengikutnya untuk melampaui kepentingan pribadi demi mencapai tujuan kolektif yang lebih tinggi.¹ Pemimpin ini tidak hanya fokus pada keberhasilan organisasional tetapi juga pada transformasi moral dan emosional pengikutnya.²

Bernard Bass kemudian memperluas konsep ini dengan mengidentifikasi empat komponen utama kepemimpinan transformasional, yaitu:³

1)                  Idealized Influence (Pengaruh Ideal): Pemimpin bertindak sebagai teladan dengan menunjukkan integritas dan nilai-nilai moral yang kuat.

2)                  Inspirational Motivation (Motivasi Inspiratif): Pemimpin memotivasi pengikut melalui visi yang jelas dan memotivasi untuk mencapai tujuan bersama.

3)                  Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual): Pemimpin mendorong kreativitas dan inovasi dengan mengajukan tantangan intelektual.

4)                  Individualized Consideration (Pertimbangan Individual): Pemimpin memberikan perhatian personal pada kebutuhan dan perkembangan setiap individu.

Pendekatan ini relevan dalam konteks modern yang membutuhkan pemimpin yang adaptif dan visioner.⁴ Misalnya, transformasi yang dilakukan oleh Nelson Mandela dalam menyatukan Afrika Selatan pasca-apartheid adalah contoh klasik kepemimpinan transformasional yang berhasil membangun harmoni di tengah perpecahan.⁵

5.2.       Servant Leadership: Pemimpin sebagai Pelayan

Konsep servant leadership pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam esainya The Servant as Leader.⁶ Berbeda dengan pendekatan tradisional yang menempatkan pemimpin sebagai otoritas utama, servant leadership menekankan bahwa pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Prinsip utama pendekatan ini adalah bahwa pemimpin harus mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan orang-orang yang mereka pimpin.⁷

Greenleaf mengidentifikasi sejumlah karakteristik inti dari servant leadership, termasuk:⁸

1)                  Mendengarkan (Listening): Kemampuan untuk mendengar dengan penuh empati.

2)                  Empati (Empathy): Memahami perspektif dan perasaan pengikut.

3)                  Penyembuhan (Healing): Membantu mengatasi konflik atau masalah emosional.

4)                  Kesadaran (Awareness): Memiliki kesadaran diri dan lingkungan sekitar.

5)                  Komitmen pada Pertumbuhan Orang Lain (Commitment to the Growth of People): Memprioritaskan perkembangan individu.

Praktik servant leadership sering terlihat dalam organisasi nirlaba, komunitas keagamaan, dan institusi pendidikan. Misalnya, Mahatma Gandhi adalah contoh pemimpin yang mempraktikkan pendekatan ini dengan mengutamakan kebutuhan rakyat India dalam perjuangan kemerdekaan.⁹

5.3.       Perbandingan dan Implementasi

Meskipun berbeda, kedua pendekatan ini memiliki kesamaan dalam menempatkan nilai-nilai etis sebagai fondasi kepemimpinan. Kepemimpinan transformasional berfokus pada menciptakan perubahan yang menginspirasi, sedangkan servant leadership menekankan pelayanan kepada pengikut. Keduanya dapat saling melengkapi dalam situasi tertentu. Misalnya, pemimpin transformasional yang juga seorang pelayan dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan dengan memastikan kebutuhan pengikut terpenuhi selama proses transformasi.

Implementasi kedua pendekatan ini relevan dalam berbagai konteks, termasuk organisasi bisnis, pendidikan, dan pemerintahan. Pemimpin yang mengadopsi prinsip-prinsip ini tidak hanya menciptakan kesuksesan organisasional tetapi juga memperkuat hubungan interpersonal dan membangun kepercayaan.


Catatan Kaki

[1]                James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper & Row, 1978), 3–8.

[2]                Bernard M. Bass, Leadership and Performance Beyond Expectations (New York: Free Press, 1985), 15–18.

[3]                Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 4–8.

[4]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice, 9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 178–181.

[5]                Richard Stengel, Mandela's Way: Lessons on Life, Love, and Courage (New York: Crown Publishing, 2009), 45–49.

[6]                Robert K. Greenleaf, The Servant as Leader (Newton Center: Robert K. Greenleaf Center, 1970), 7–10.

[7]                Larry C. Spears, "Character and Servant Leadership: Ten Characteristics of Effective, Caring Leaders," The Journal of Virtues & Leadership 1, no. 1 (2010): 25–30.

[8]                Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (New York: Paulist Press, 1977), 21–25.

[9]                Bhikhu Parekh, Gandhi’s Political Philosophy: A Critical Examination (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1989), 60–64.


6.           Kajian Filosofis tentang Kepemimpinan dan Keberlanjutan

Kepemimpinan dalam konteks keberlanjutan merupakan isu yang semakin relevan, terutama di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan eksploitasi sumber daya alam. Kajian filosofis tentang kepemimpinan dan keberlanjutan tidak hanya mempertimbangkan tujuan jangka pendek, tetapi juga menekankan tanggung jawab moral pemimpin terhadap generasi mendatang.¹ Dalam perspektif ini, keberlanjutan menjadi prinsip moral yang harus diintegrasikan dalam setiap aspek pengambilan keputusan dan implementasi kepemimpinan.

6.1.       Kepemimpinan dan Tanggung Jawab Antar-Generasi

Dalam filsafat moral, konsep keberlanjutan sering dikaitkan dengan tanggung jawab antar-generasi. Pemikiran ini berakar pada gagasan Immanuel Kant tentang "imperatif kategoris," yang mengharuskan tindakan seseorang dapat dijadikan prinsip universal.² Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa keputusan yang diambil hari ini harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan generasi mendatang.³

John Rawls, dalam A Theory of Justice, memperkenalkan konsep "prinsip perbedaan" yang mendukung distribusi sumber daya secara adil antara generasi sekarang dan masa depan.⁴ Rawls berpendapat bahwa pemimpin memiliki kewajiban untuk memastikan keberlanjutan sebagai bagian dari keadilan distributif. Hal ini menggarisbawahi pentingnya keputusan strategis yang tidak hanya menguntungkan masyarakat saat ini, tetapi juga melindungi kepentingan generasi mendatang.

6.2.       Etika Keberlanjutan dalam Kepemimpinan

Etika keberlanjutan berfokus pada keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hans Jonas, melalui karyanya The Imperative of Responsibility, menegaskan bahwa teknologi modern membawa tanggung jawab etis yang lebih besar bagi pemimpin karena potensi dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem global.⁵ Jonas mengajukan "prinsip tanggung jawab," yang menekankan bahwa pemimpin harus bertindak dengan memperhatikan dampak ekologis jangka panjang dari setiap kebijakan.⁶

Pendekatan ini relevan dalam menghadapi tantangan seperti perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam. Pemimpin yang mengabaikan prinsip keberlanjutan berisiko menciptakan krisis lingkungan yang tidak hanya merugikan generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.⁷ Sebaliknya, pemimpin yang mengintegrasikan etika keberlanjutan dapat menciptakan perubahan positif dengan mengadopsi praktik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan secara sosial.

6.3.       Studi Kasus: Kepemimpinan Keberlanjutan dalam Praktek

Salah satu contoh kepemimpinan keberlanjutan yang berhasil adalah kebijakan yang diterapkan di negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia. Pemimpin di negara-negara ini telah mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam kebijakan nasional mereka, mulai dari transisi ke energi terbarukan hingga pengelolaan limbah yang inovatif.⁸ Keberhasilan ini menunjukkan bagaimana prinsip keberlanjutan dapat diterapkan dalam skala nasional untuk menciptakan manfaat jangka panjang.

Di sektor bisnis, CEO Patagonia, Yvon Chouinard, menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan dapat diterapkan dalam model bisnis yang etis dan menguntungkan.⁹ Patagonia mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dengan cara memproduksi produk yang ramah lingkungan dan mendukung gerakan lingkungan global.⁹

6.4.       Tantangan dan Masa Depan Kepemimpinan Keberlanjutan

Meskipun penting, menerapkan prinsip keberlanjutan dalam kepemimpinan tidaklah mudah. Pemimpin sering kali menghadapi tekanan dari pemangku kepentingan untuk memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada dampak jangka panjang.¹⁰ Selain itu, keberagaman budaya dan nilai-nilai sering kali menciptakan perbedaan persepsi tentang keberlanjutan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendidikan kepemimpinan yang menekankan pentingnya keberlanjutan sebagai bagian integral dari nilai-nilai etis seorang pemimpin.¹¹ Dengan demikian, pemimpin masa depan tidak hanya dapat mengatasi tantangan global tetapi juga menciptakan dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan sejahtera.


Catatan Kaki

[1]                Peter G. Brown and Geoffrey Garver, Right Relationship: Building a Whole Earth Economy (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2009), 12–14.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–32.

[3]                Bryan G. Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 45–48.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 251–254.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 23–26.

[6]                Ibid., 36–39.

[7]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 45–50.

[8]                Michael D. Shellenberger and Ted Nordhaus, Break Through: From the Death of Environmentalism to the Politics of Possibility (New York: Houghton Mifflin, 2007), 100–105.

[9]                Vincent Stanley and Yvon Chouinard, The Responsible Company: What We've Learned from Patagonia's First 40 Years (Ventura: Patagonia Books, 2012), 12–15.

[10]             Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 87–89.

[11]             Christopher Wright and Daniel Nyberg, Climate Change, Capitalism, and Corporations: Processes of Creative Self-Destruction (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 60–63.


7.           Kritik dan Tantangan terhadap Konsep Kepemimpinan

Kepemimpinan telah menjadi subjek kajian yang luas dan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, manajemen, dan psikologi. Namun, konsep ini tidak luput dari kritik dan tantangan, baik dari segi teoritis maupun praktis. Kritik terhadap kepemimpinan sering kali berfokus pada generalisasi yang berlebihan, bias budaya, serta potensi penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, tantangan praktis dalam menerapkan konsep kepemimpinan juga menjadi perhatian utama di tengah dinamika globalisasi, teknologi, dan pluralisme budaya.

7.1.       Kritik terhadap Konsep Kepemimpinan

Salah satu kritik utama terhadap konsep kepemimpinan adalah kecenderungan untuk mengidealkan pemimpin sebagai figur yang sempurna. Pandangan ini sering kali ditemukan dalam teori-teori klasik seperti trait theory, yang berargumen bahwa pemimpin dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang membedakan mereka dari individu lain.¹ Kritik terhadap teori ini adalah bahwa ia mengabaikan faktor lingkungan dan situasional yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan.²

Selain itu, beberapa filsuf seperti Michel Foucault mengkritik konsep kepemimpinan karena sering kali digunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis. Menurut Foucault, kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari relasi kekuasaan yang dapat menindas atau mengontrol individu dalam masyarakat.³ Perspektif ini menggarisbawahi pentingnya mengkaji kepemimpinan tidak hanya sebagai tindakan individu tetapi juga sebagai fenomena sosial yang dipengaruhi oleh wacana dan institusi.⁴

Kritik lainnya datang dari pendekatan feminis, yang menyoroti bias gender dalam teori kepemimpinan tradisional. Pemimpin sering kali digambarkan dengan karakteristik yang diasosiasikan dengan maskulinitas, seperti ketegasan dan dominasi, sementara sifat-sifat seperti empati dan kolaborasi cenderung diabaikan.⁵ Pendekatan ini menyerukan pengakuan terhadap keragaman gaya kepemimpinan yang lebih inklusif.

7.2.       Tantangan dalam Implementasi Konsep Kepemimpinan

Tantangan utama dalam menerapkan konsep kepemimpinan adalah kompleksitas dunia modern, di mana pemimpin harus menghadapi dinamika globalisasi, kemajuan teknologi, dan pluralisme budaya. Dalam konteks globalisasi, pemimpin harus mampu mengelola keragaman budaya dan nilai-nilai yang sering kali saling bertentangan.⁶ Misalnya, pendekatan kepemimpinan yang efektif di negara-negara Barat tidak selalu relevan di negara-negara Asia atau Afrika, di mana nilai-nilai kolektivitas dan hierarki lebih menonjol.⁷

Kemajuan teknologi juga menghadirkan tantangan baru dalam kepemimpinan, terutama dalam mengelola tim virtual dan memanfaatkan data besar untuk pengambilan keputusan.⁸ Selain itu, pemimpin harus mampu mengelola risiko yang terkait dengan teknologi, seperti keamanan data dan dampak sosial dari otomatisasi.⁹

Di sisi lain, pluralisme budaya dan ideologis menciptakan kebutuhan akan pemimpin yang mampu menavigasi perbedaan dan membangun konsensus.¹⁰ Namun, ini sering kali sulit dicapai karena konflik nilai yang inheren dalam masyarakat yang beragam.¹¹

7.3.       Mengatasi Kritik dan Tantangan

Untuk mengatasi kritik dan tantangan ini, diperlukan pendekatan kepemimpinan yang lebih inklusif, adaptif, dan kontekstual. Pemimpin harus mampu mengintegrasikan berbagai perspektif dan pendekatan dalam pengambilan keputusan.¹² Selain itu, penting bagi pemimpin untuk mengembangkan kesadaran etis dan tanggung jawab sosial yang kuat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.¹³

Dengan demikian, meskipun konsep kepemimpinan tidak luput dari kritik dan tantangan, pendekatan filosofis yang kritis dan reflektif dapat membantu memperbaiki kelemahan dan menciptakan paradigma kepemimpinan yang lebih relevan dan bermanfaat.


Catatan Kaki

[1]                Ralph M. Stogdill, "Personal Factors Associated with Leadership: A Survey of the Literature," Journal of Psychology 25, no. 1 (1948): 35–71.

[2]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice, 9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 23–25.

[3]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 25–28.

[4]                Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 92–95.

[5]                Alice H. Eagly and Linda L. Carli, Through the Labyrinth: The Truth About How Women Become Leaders (Boston: Harvard Business Review Press, 2007), 45–48.

[6]                Geert Hofstede, Cultures and Organizations: Software of the Mind, rev. ed. (New York: McGraw-Hill, 2010), 72–74.

[7]                House, Robert J., et al., Culture, Leadership, and Organizations: The GLOBE Study of 62 Societies (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2004), 16–18.

[8]                Thomas W. Malone, The Future of Work: How the New Order of Business Will Shape Your Organization, Your Management Style, and Your Life (Boston: Harvard Business Review Press, 2004), 35–38.

[9]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 103–106.

[10]             Thomas Donaldson and Thomas W. Dunfee, Ties That Bind: A Social Contracts Approach to Business Ethics (Boston: Harvard Business School Press, 1999), 29–31.

[11]             Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), 27–29.

[12]             Ronald Heifetz and Marty Linsky, Leadership on the Line: Staying Alive Through the Dangers of Leading (Boston: Harvard Business School Press, 2002), 14–16.

[13]             Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 152–155.


8.           Kesimpulan dan Rekomendasi

Kepemimpinan adalah fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara nilai-nilai etis, keahlian praktis, dan konteks sosial. Dalam perspektif filsafat, kepemimpinan tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan pragmatis tetapi juga mencakup dimensi moral dan transendental.¹ Sebagai sebuah proses, kepemimpinan yang ideal harus mampu menginspirasi perubahan, melayani kebutuhan orang lain, dan memastikan keberlanjutan untuk generasi mendatang.

8.1.       Kesimpulan

Melalui kajian ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan filosofis terhadap kepemimpinan memberikan landasan yang kuat untuk memahami dan mengatasi tantangan kontemporer. Dari tradisi Yunani Kuno hingga teori modern dan postmodern, filsafat menawarkan berbagai konsep yang relevan untuk membentuk pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab.

1)                  Kepemimpinan sebagai Praktik Moral:

Konsep kepemimpinan dalam filsafat, seperti philosopher king dari Plato atau khalifah dalam tradisi Islam, menekankan pentingnya integritas moral dan kebijaksanaan dalam memimpin.² Gagasan ini tetap relevan dalam konteks modern, di mana nilai-nilai etis menjadi dasar untuk membangun kepercayaan.³

2)                  Kepemimpinan yang Adaptif:

Dalam dunia yang terus berubah, teori kepemimpinan transformasional dan servant leadership menunjukkan pentingnya pemimpin yang mampu menginspirasi pengikut dan melayani kebutuhan mereka.⁴ Pendekatan ini membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberdayakan individu untuk berkontribusi secara maksimal.

3)                  Tantangan Global dan Keberlanjutan:

Pemimpin modern harus mampu menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan disrupsi teknologi.⁵ Dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan, pemimpin dapat memastikan bahwa tindakan mereka tidak hanya menguntungkan saat ini tetapi juga generasi mendatang.⁶

Meskipun banyak teori yang menawarkan wawasan tentang kepemimpinan, tidak ada satu pendekatan pun yang dapat diterapkan secara universal. Sebaliknya, pemimpin harus mampu mengadaptasi gaya kepemimpinan mereka sesuai dengan kebutuhan konteks tertentu.

8.2.       Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah rekomendasi untuk pemimpin masa kini dan mendatang:

1)                  Mengintegrasikan Nilai Etis dalam Kepemimpinan:

Pemimpin harus menempatkan nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sebagai inti dari setiap keputusan dan tindakan mereka.⁷ Pendidikan kepemimpinan perlu memasukkan etika sebagai komponen utama dalam pengembangan calon pemimpin.⁸

2)                  Meningkatkan Kapasitas Adaptasi:

Dalam menghadapi dunia yang dinamis, pemimpin perlu mengembangkan fleksibilitas dan kemampuan berpikir kritis. Teori seperti transformational leadership dapat menjadi panduan untuk menginspirasi perubahan dan inovasi.⁹

3)                  Mengutamakan Keberlanjutan:

Pemimpin harus memastikan bahwa kebijakan mereka mendukung keberlanjutan ekologis, sosial, dan ekonomi. Prinsip-prinsip seperti tanggung jawab antar-generasi harus menjadi bagian integral dari strategi kepemimpinan.¹⁰

4)                  Mengembangkan Inklusivitas:

Kepemimpinan modern harus menghormati keberagaman dan mempromosikan partisipasi aktif dari semua pihak, tanpa memandang latar belakang budaya, gender, atau ideologi.¹¹

Dengan menerapkan rekomendasi ini, pemimpin masa depan dapat menjawab tantangan global dan menciptakan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Filsafat, sebagai refleksi kritis tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar, dapat terus menjadi panduan dalam membentuk kepemimpinan yang unggul.


Catatan Kaki

[1]                Peter G. Northouse, Leadership: Theory and Practice, 9th ed. (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2021), 12–15.

[2]                Plato, The Republic, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 243–245.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 56–60.

[4]                James MacGregor Burns, Leadership (New York: Harper & Row, 1978), 20–22.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 45–47.

[6]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 50–52.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–35.

[8]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 152–155.

[9]                Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd ed. (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2006), 15–20.

[10]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 251–254.

[11]             Alice H. Eagly and Linda L. Carli, Through the Labyrinth: The Truth About How Women Become Leaders (Boston: Harvard Business Review Press, 2007), 45–48.


Daftar Pustaka


Books

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.

Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectations. Free Press.

Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.

Brown, P. G., & Garver, G. (2009). Right relationship: Building a whole earth economy. Berrett-Koehler Publishers.

Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper & Row.

Drucker, P. F. (2006). The effective executive. HarperCollins.

Eagly, A. H., & Carli, L. L. (2007). Through the labyrinth: The truth about how women become leaders. Harvard Business Review Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality, Volume 1: An introduction (R. Hurley, Trans.). Pantheon Books.

Greenleaf, R. K. (1970). The servant as leader. Robert K. Greenleaf Center.

Greenleaf, R. K. (1977). Servant leadership: A journey into the nature of legitimate power and greatness. Paulist Press.

Hofstede, G. (2010). Cultures and organizations: Software of the mind (Rev. ed.). McGraw-Hill.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Malone, T. W. (2004). The future of work: How the new order of business will shape your organization, your management style, and your life. Harvard Business Review Press.

Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and practice (9th ed.). SAGE Publications.

Parekh, B. (1989). Gandhi’s political philosophy: A critical examination. University of Notre Dame Press.

Plato. (2000). The republic (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. Knopf.

Shellenberger, M., & Nordhaus, T. (2007). Break through: From the death of environmentalism to the politics of possibility. Houghton Mifflin.

Spears, L. C. (2010). Character and servant leadership: Ten characteristics of effective, caring leaders. The Journal of Virtues & Leadership, 1(1), 25–30.

Stanley, V., & Chouinard, Y. (2012). The responsible company: What we've learned from Patagonia's first 40 years. Patagonia Books.

Weber, M. (1947). The theory of social and economic organization (A. M. Henderson & T. Parsons, Trans.). Free Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.

Wright, C., & Nyberg, D. (2015). Climate change, capitalism, and corporations: Processes of creative self-destruction. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.

Journal Articles

Lewin, K., Lippitt, R., & White, R. K. (1939). Patterns of aggressive behavior in experimentally created “social climates.” The Journal of Social Psychology, 10(2), 271–299.

Stogdill, R. M. (1948). Personal factors associated with leadership: A survey of the literature. Journal of Psychology, 25(1), 35–71.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar