Kelompok Demografi
Kajian Komprehensif dari Lost Generation hingga
Generasi Beta
Alihkan ke: Sejarah, Psikologi, Sosiologi.
Lost Generation/ Generasi
yang Hilang (1883-1900), Greatest Generation (GI Generation)/ Generasi Terhebat
(1901–1927), Silent Generation/ Generasi Pendiam (1928-1945), Generasi
Baby Boomers (1946-1964), Generasi X (1965-1979), Generasi Y/ Millennials (1980-1994), Generasi Z/ Zoomers (1995-2012), Generasi Alpha (2013-2024), Generasi Beta (2025-2039)
Abstrak
Artikel ini mengkaji dinamika sosial, politik, dan
budaya yang terbentuk melalui pembagian generasi berdasarkan tahun
kelahiran—mulai dari Lost Generation hingga Generasi Beta. Kajian
ini bertujuan untuk menelusuri evolusi nilai, orientasi hidup, dan kesadaran
kolektif setiap generasi dalam konteks perubahan historis, ekonomi, dan
teknologi global. Melalui pendekatan historis-sosiologis yang berpadu dengan
teori-teori modern seperti generational cohort theory (Mannheim), network
society (Castells), dan liquid modernity (Bauman), penelitian ini
menegaskan bahwa identitas generasi merupakan hasil konstruksi sosial yang
terbentuk melalui pengalaman sejarah bersama dan kondisi struktural yang
berubah secara dinamis.
Analisis dilakukan dengan memetakan sembilan
kelompok generasi utama: Lost Generation, Greatest Generation, Silent
Generation, Baby Boomers, Generasi X, Millennials, Generasi
Z, Generasi Alpha, dan Generasi Beta. Masing-masing generasi
dianalisis berdasarkan konteks historis, karakter sosial, serta nilai-nilai
dominan yang mereka bawa. Hasil kajian menunjukkan adanya pola kontinuitas dan
transformasi antar generasi—di mana nilai-nilai tradisional generasi terdahulu
membentuk fondasi moral bagi inovasi generasi berikutnya. Selain itu, artikel
ini mengidentifikasi munculnya fenomena baru seperti digital native identity,
krisis keberlanjutan, dan kecenderungan menuju masyarakat post-manusia (post-human
society), yang menandai tantangan moral dan eksistensial bagi generasi masa
depan.
Lebih jauh, artikel ini menyoroti pentingnya dialog
dan kolaborasi antargenerasi sebagai kunci menjaga keseimbangan antara
modernitas dan kemanusiaan. Dalam konteks globalisasi dan revolusi digital,
solidaritas lintas generasi menjadi faktor utama dalam membangun masyarakat
inklusif, etis, dan berkelanjutan. Kajian ini berakhir dengan refleksi normatif
bahwa masa depan umat manusia bergantung pada kemampuan setiap generasi untuk
mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan sembari beradaptasi terhadap kemajuan
teknologi dan kompleksitas dunia yang terus berubah.
Kata Kunci: Generasi
sosial; perubahan sosial; identitas kolektif; teknologi digital;
intergenerational equity; modernitas cair; network society; kecerdasan buatan;
keberlanjutan sosial; post-human society.
PEMBAHSAN
Dinamika Sosial dan Identitas Kolektif Berdasarkan
Generasi
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Kajian
Fenomena perbedaan
generasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam kajian sosial kontemporer.
Dalam masyarakat modern, perubahan teknologi, ekonomi, dan budaya berlangsung
dengan sangat cepat sehingga membentuk kelompok-kelompok manusia yang berbeda
dalam cara berpikir, berperilaku, serta berinteraksi sosial. Perbedaan ini
tidak hanya bersifat individual, melainkan juga sistemik, membentuk identitas
kolektif yang disebut sebagai generational cohort atau kelompok
demografi berdasarkan tahun kelahiran.¹ Setiap generasi tumbuh dalam konteks
sejarah tertentu yang memengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia—mulai dari
perang, krisis ekonomi, hingga revolusi digital—sehingga pengalaman historis
menjadi landasan pembentukan nilai-nilai sosial, etika kerja, serta orientasi
hidup yang khas.²
Konsep generasi
sebagai kategori sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Karl
Mannheim dalam esainya The Problem of Generations (1928).
Ia berargumen bahwa generasi bukan hanya klasifikasi umur, melainkan konstruksi
sosial yang terbentuk oleh pengalaman historis bersama (shared
historical experiences) yang memengaruhi kesadaran kolektif
individu yang lahir pada periode tertentu.³ Sejak itu, teori generasi menjadi
salah satu pendekatan penting dalam memahami dinamika perubahan sosial, baik
dalam konteks budaya, politik, maupun ekonomi.
Dalam konteks abad
ke-21, perbedaan generasi menjadi semakin menonjol karena perkembangan
teknologi informasi yang pesat telah mempercepat laju perubahan sosial.⁴
Generasi yang berbeda tidak hanya memiliki perbedaan nilai dan gaya hidup,
tetapi juga cara berinteraksi dengan teknologi, memandang dunia kerja, serta
merespons isu-isu global seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan
keadilan sosial.⁵ Akibatnya, pemahaman terhadap dinamika antargenerasi menjadi
penting untuk mengantisipasi potensi konflik sosial, kesenjangan komunikasi,
serta perbedaan perspektif dalam pengambilan keputusan publik.
1.2.
Rumusan Masalah
Kajian ini berangkat
dari beberapa pertanyaan mendasar:
1)
Bagaimana karakteristik unik
masing-masing generasi terbentuk berdasarkan konteks sosial, politik, ekonomi,
dan budaya pada masa kelahiran mereka?
2)
Bagaimana interaksi antargenerasi
memengaruhi perubahan sosial dan struktur masyarakat kontemporer?
3)
Bagaimana teknologi dan
globalisasi memperkuat maupun mengaburkan batas-batas generasi dalam masyarakat
modern?
Pertanyaan-pertanyaan
ini bertujuan menggali hubungan dinamis antara struktur sosial dan pengalaman
sejarah, serta bagaimana keduanya membentuk identitas kolektif generasi dari Lost
Generation hingga Generasi Beta.
1.3.
Tujuan dan Signifikansi Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai evolusi generasi dalam
konteks sosial global. Tujuan utama penelitian ini adalah:
·
Mengidentifikasi ciri khas,
nilai, dan orientasi dari setiap generasi berdasarkan latar belakang sejarah
dan perubahan struktural yang menyertainya.
·
Menganalisis keterkaitan
antar generasi dalam membentuk pola interaksi sosial, budaya kerja, dan
orientasi politik.
·
Memberikan dasar konseptual
bagi studi lintas generasi yang relevan bagi perumusan kebijakan sosial,
pendidikan, dan ekonomi.
Secara praktis,
hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pembuat kebijakan, pendidik, dan
pemimpin organisasi dalam memahami perbedaan generasi sebagai dasar membangun
komunikasi yang lebih efektif dan inklusif.⁶ Pemahaman ini juga penting untuk
memperkuat solidaritas sosial lintas generasi dalam menghadapi tantangan global
seperti transformasi digital, ketimpangan ekonomi, dan krisis lingkungan.⁷
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini
menggunakan pendekatan multidisipliner dengan menekankan analisis sosiologis,
psikologis, dan historis.⁸ Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami makna
dan nilai-nilai yang diinternalisasi oleh tiap generasi melalui studi
literatur, analisis teks historis, serta telaah media dan budaya populer. Di
sisi lain, pendekatan kuantitatif, seperti analisis data demografi dan survei
sosial, berfungsi untuk memperkuat temuan empiris mengenai pola perilaku dan
preferensi generasi.⁹
Selain itu, metode
komparatif digunakan untuk meninjau perbedaan dan kesamaan antara generasi di
berbagai wilayah dunia, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang
berbeda. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi
juga analitis dan interpretatif, memberikan gambaran menyeluruh mengenai
transformasi identitas generasi dalam lintasan sejarah modern.¹⁰
1.5.
Relevansi Akademik dan Sosial
Kajian tentang
generasi memiliki relevansi yang luas karena menyentuh hampir semua aspek
kehidupan sosial. Dalam bidang pendidikan, pemahaman terhadap karakteristik
generasi membantu perancangan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan pelajar masa kini. Dalam bidang ekonomi dan manajemen, analisis
generasi memberikan wawasan tentang perubahan perilaku konsumen, dinamika
tenaga kerja, serta adaptasi organisasi terhadap nilai-nilai baru.¹¹ Sementara
dalam bidang politik, pemahaman ini dapat menjelaskan pola partisipasi publik
dan perubahan orientasi ideologis masyarakat.¹²
Lebih jauh, secara
filosofis, kajian ini berkontribusi pada refleksi tentang bagaimana manusia
memahami waktu, sejarah, dan perubahan diri mereka sendiri di tengah arus
globalisasi dan kemajuan teknologi.¹³ Dengan memahami lintasan generasi dari Lost
Generation hingga Generasi Beta, kita dapat
menelusuri jejak perubahan identitas manusia dari era perang dunia hingga zaman
kecerdasan buatan, serta menemukan pola kesinambungan dan transformasi nilai
kemanusiaan dalam sejarah peradaban.
Footnotes
[1]
Neil Howe and William Strauss, Generations:
The History of America's Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12.
[2]
Ronald Inglehart, Culture Shift in
Advanced Industrial Society
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 34–36.
[3]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 276–322.
[4]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
21–23.
[5]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 57–59.
[6]
Jean Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 10–12.
[7]
Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and
Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.
[8]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 15–17.
[9]
Anthony Giddens, The Consequences of
Modernity (Stanford: Stanford
University Press, 1990), 89.
[10]
Arnett, Jeffrey Jensen, “Emerging Adulthood: A Theory of Development
from the Late Teens Through the Twenties,” American
Psychologist 55, no. 5 (2000):
469–480.
[11]
David Stillman and Jonah Stillman, Gen
Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 42–44.
[12]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic
Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 50–51.
[13]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 4–6.
2.
Landasan Teoretis dan Konseptual
2.1.
Konsep Generasi dalam Ilmu Sosial
Pemahaman mengenai
konsep generasi dalam ilmu sosial tidak dapat dilepaskan dari pemikiran klasik
Karl Mannheim yang menjadi landasan teoritis utama dalam kajian ini. Dalam
esainya yang berjudul The Problem of Generations (1928),
Mannheim menegaskan bahwa generasi bukan sekadar kelompok usia yang lahir pada
periode yang sama, melainkan suatu entitas sosial yang terbentuk oleh
pengalaman historis bersama (shared historical experience) yang
mempengaruhi kesadaran kolektif dan orientasi nilai suatu kelompok manusia.¹
Dalam pandangannya, generasi terbentuk melalui proses dialektis antara individu
dan struktur sosial—di mana pengalaman kolektif pada masa formatif kehidupan
(yakni usia remaja hingga awal dewasa) memainkan peran penting dalam membentuk
pandangan dunia generasi tersebut.²
Konsep ini kemudian
dikembangkan oleh berbagai ilmuwan sosial modern yang menekankan dimensi
psikososial dan budaya dalam pembentukan identitas generasi. Misalnya, Neil
Howe dan William Strauss melalui karya monumental mereka Generations:
The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991),
memformulasikan teori “siklus generasi” (generational cycle theory) yang
menjelaskan pola berulang dalam sejarah sosial Amerika.³ Mereka berargumen
bahwa setiap generasi muncul sebagai respons terhadap krisis atau perubahan
besar yang dialami generasi sebelumnya, menciptakan suatu ritme sosial yang
berulang antara idealisme, reaktivitas, dan pragmatisme.
Selain itu, Pierre
Bourdieu melalui konsep habitus memberikan dimensi
sosiologis yang lebih halus terhadap konsep generasi. Bourdieu menegaskan bahwa
nilai dan perilaku generasi tidak muncul secara spontan, melainkan terbentuk
melalui internalisasi struktur sosial yang diulang secara terus-menerus dalam
kehidupan sehari-hari.⁴ Dengan demikian, generasi menjadi bukan hanya produk
sejarah, tetapi juga reproduksi sosial dari nilai dan modal budaya tertentu
yang diwariskan melalui keluarga, pendidikan, dan media.
Dalam konteks
global, teori generasi juga dihubungkan dengan paradigma perubahan sosial.
Anthony Giddens, misalnya, menyoroti bagaimana modernitas refleksif mengubah
pola interaksi sosial antar generasi melalui kemajuan teknologi dan individualisasi.⁵
Ia berpendapat bahwa generasi modern hidup dalam dunia yang “terbuka”
terhadap pilihan, di mana tradisi tidak lagi menjadi acuan utama perilaku
sosial, melainkan digantikan oleh refleksi individu terhadap pengalaman hidup
yang terus berubah.
2.2.
Teori Perubahan Sosial dan Teknologi
Perubahan generasi
tidak dapat dilepaskan dari dinamika perubahan sosial dan teknologi yang
terjadi dalam lintasan sejarah modern. Alvin Toffler dalam The
Third Wave (1980) menjelaskan bahwa setiap gelombang peradaban—pertanian,
industri, dan informasi—melahirkan nilai-nilai sosial dan gaya hidup yang
berbeda, yang pada gilirannya membentuk karakter generasi tertentu.⁶ Dengan
munculnya revolusi digital, teknologi menjadi faktor dominan yang mempengaruhi
identitas generasi sejak akhir abad ke-20.
Manuel Castells
memperluas pemahaman ini melalui teori network society yang menekankan
bagaimana teknologi komunikasi digital membentuk jaringan sosial baru yang
bersifat global, instan, dan cair.⁷ Dalam masyarakat jaringan tersebut,
generasi yang lahir di era digital (khususnya Generasi Y dan Z) mengalami
proses sosialisasi yang sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya, karena
identitas dan interaksi mereka berlangsung dalam ruang virtual yang melampaui
batas geografis dan budaya.⁸
Lebih jauh lagi,
Sherry Turkle menyoroti sisi psikologis dari transformasi ini. Dalam bukunya Alone
Together (2011), ia menggambarkan bagaimana hubungan manusia dengan
teknologi telah mengubah bentuk komunikasi interpersonal, menciptakan paradoks
antara konektivitas digital dan kesepian sosial.⁹ Dengan demikian, teori
perubahan sosial kontemporer menempatkan teknologi sebagai variabel kunci dalam
memahami perbedaan nilai, perilaku, dan pola interaksi antar generasi.
2.3.
Kerangka Demografis dan Ekonomi
Dari perspektif
demografi dan ekonomi, perbedaan generasi dapat dijelaskan melalui variasi
dalam pola kelahiran, struktur usia, dan siklus ekonomi global. Menurut data
Pew Research Center, perubahan demografis besar terjadi setelah Perang Dunia
II, ketika tingkat kelahiran meningkat tajam—melahirkan generasi yang dikenal
sebagai Baby
Boomers.¹⁰ Fenomena ini memiliki implikasi luas terhadap struktur
ekonomi, karena populasi yang besar menciptakan permintaan konsumsi yang
tinggi, memicu pertumbuhan industri, dan memperluas kelas menengah.
Sebaliknya, generasi
yang lahir setelah 1980-an menghadapi dinamika ekonomi yang berbeda.
Globalisasi, krisis finansial, dan otomasi industri membentuk realitas baru
yang menuntut fleksibilitas, inovasi, serta keterampilan digital.¹¹ Hal ini
terlihat jelas dalam karakteristik Generasi Y dan Z yang cenderung berorientasi
pada pekerjaan fleksibel (gig economy) dan nilai-nilai
keberlanjutan sosial.¹² Dengan demikian, perubahan ekonomi global turut menjadi
faktor struktural yang membentuk dinamika antargenerasi dan menentukan arah
perkembangan masyarakat.
2.4.
Analisis Intergenerasional
Kajian
intergenerasional bertujuan untuk memahami bagaimana nilai, sikap, dan perilaku
ditransmisikan antar generasi, baik melalui keluarga, institusi sosial, maupun
media. Penelitian oleh Ronald Inglehart mengenai cultural shift menunjukkan bahwa
setiap generasi membawa perubahan nilai dari orientasi materialistik menuju
post-materialistik, seiring dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan
pendidikan.¹³ Proses ini mencerminkan evolusi kesadaran sosial, di mana
generasi muda lebih menekankan pada kebebasan individu, ekspresi diri, dan
kesetaraan sosial dibandingkan stabilitas ekonomi semata.¹⁴
Kajian
intergenerasional juga penting untuk memahami ketegangan sosial yang muncul
akibat perbedaan nilai antar generasi. Misalnya, konflik antara Baby
Boomers dan Millennials sering kali
mencerminkan perbedaan pandangan terhadap kerja, kepemimpinan, dan penggunaan
teknologi.¹⁵ Namun, di sisi lain, relasi ini juga menciptakan peluang untuk
kolaborasi lintas generasi, terutama dalam konteks inovasi, pendidikan, dan
kepemimpinan sosial yang lebih adaptif terhadap perubahan global.¹⁶
Dengan demikian,
landasan teoretis dan konseptual ini menegaskan bahwa studi tentang generasi
merupakan jembatan antara analisis historis, struktur sosial, dan dinamika
teknologi. Setiap generasi tidak berdiri sendiri, melainkan saling membentuk
dalam dialektika sejarah yang terus berkembang.
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 276–322.
[2]
Ibid., 284–286.
[3]
Neil Howe and William Strauss, Generations:
The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12–14.
[4]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 72–74.
[5]
Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 52–55.
[6]
Alvin Toffler, The Third Wave (New York: Bantam Books, 1980), 23–25.
[7]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
21–23.
[8]
Ibid., 36–39.
[9]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 16–18.
[10]
Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and
Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.
[11]
Thomas Piketty, Capital in the
Twenty-First Century (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2014), 62–65.
[12]
Jean Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 47–50.
[13]
Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced
Industrial Society (Princeton:
Princeton University Press, 1990), 23–25.
[14]
Ibid., 45–48.
[15]
David Stillman and Jonah Stillman, Gen
Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 38–40.
[16]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic
Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 52–53.
3.
Tipologi dan Periodisasi Generasi
3.1.
Kriteria Penentuan Generasi Berdasarkan Tahun
Kelahiran
Kajian mengenai tipologi
dan periodisasi generasi berangkat dari upaya untuk memahami kelompok sosial
yang terbentuk berdasarkan kesamaan pengalaman historis, sosial, dan budaya.
Karl Mannheim menegaskan bahwa generasi merupakan hasil dari “shared
location in the historical dimension of the social process” — yaitu
posisi sosial yang terbentuk karena kesamaan pengalaman kolektif dalam waktu
yang sama.¹ Oleh karena itu, batas antara satu generasi dengan generasi
berikutnya tidak bersifat mutlak, melainkan relatif dan kontekstual, tergantung
pada dinamika perubahan sosial yang dialami masyarakat tersebut.
Dalam tradisi
penelitian sosial modern, khususnya di dunia Barat, penentuan batas generasi
umumnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Strauss dan Howe (1991), yang
menetapkan generasi berdasarkan rentang 15–20 tahun sebagai periode pembentukan
nilai dan identitas sosial.² Namun, pendekatan ini tidak bersifat universal
karena faktor-faktor seperti konflik sosial, perkembangan ekonomi, dan
akselerasi teknologi dapat mempercepat atau memperlambat siklus generasi.³
Di Amerika Serikat,
misalnya, generasi dibagi berdasarkan momen historis nasional seperti Perang
Dunia, Krisis Ekonomi 1930-an, Perang Vietnam, hingga Revolusi Digital.⁴ Di
Eropa, peristiwa seperti Perang Dunia II dan jatuhnya Tembok Berlin menjadi
pembatas generasional penting.⁵ Sementara itu, di Asia, terutama di kawasan
seperti Jepang, Indonesia, dan Korea Selatan, batasan generasi sering kali
dipengaruhi oleh kolonialisme, modernisasi pascaperang, dan globalisasi ekonomi.⁶
Dengan demikian,
kriteria penentuan generasi melibatkan kombinasi antara:
·
Faktor
temporal: rentang waktu kelahiran individu (biasanya 15–20
tahun).
·
Faktor
historis: peristiwa besar yang membentuk kesadaran kolektif.
·
Faktor
kultural: nilai dan norma sosial dominan yang diinternalisasi
selama masa perkembangan.
·
Faktor
teknologi: perubahan media dan sarana komunikasi yang
mempengaruhi gaya hidup serta cara berpikir.⁷
Pendekatan ini
menegaskan bahwa periodisasi generasi bukan sekadar pembagian kronologis,
melainkan konstruksi sosial yang merefleksikan interaksi antara sejarah dan
identitas manusia dalam lintasan waktu.
3.2.
Pemetaan Umum Generasi (1900–Sekarang)
Kajian demografis
kontemporer umumnya mengelompokkan generasi modern ke dalam sembilan kategori utama
berdasarkan tahun kelahiran dan ciri sosialnya. Pembagian ini tidak bersifat
absolut, namun memberikan kerangka analitis untuk memahami transformasi nilai
dan perilaku antar generasi dalam konteks global maupun lokal.⁸
Berikut adalah
pemetaan umum generasi yang diakui secara luas oleh berbagai lembaga riset
sosial dan demografi seperti Pew Research Center, McCrindle Research, dan
United Nations Population Division:⁹
·
Lost Generation (±1883–1900):
Terbentuk pada masa Perang Dunia I; mengalami dislokasi sosial dan trauma
perang; nilai-nilai idealisme dan humanisme.¹⁰
·
Greatest Generation
(GI Generation) (±1901–1927): Tumbuh dalam Depresi Besar dan
berperan dalam Perang Dunia II; dikenal dengan etos kerja, pengorbanan, dan
patriotisme tinggi.¹¹
·
Silent Generation (±1928–1945):
Masa stabilitas pascaperang; generasi konservatif, loyal, dan cenderung
menghindari konflik sosial.¹²
·
Baby Boomers (±1946–1964):
Era pertumbuhan ekonomi pascaperang; idealisme sosial, konsumtif, dan
berorientasi pada karier.¹³
·
Generasi X (±1965–1980):
Lahir di masa transisi ekonomi global; independen, skeptis terhadap otoritas,
dan adaptif terhadap teknologi awal.¹⁴
·
Generasi Y (Millennials)
(±1981–1996): Tumbuh di era internet dan globalisasi; kolaboratif,
berorientasi pada makna kerja, dan peduli lingkungan.¹⁵
·
Generasi Z (Zoomers)
(±1997–2012): Generasi digital asli; inklusif, ekspresif, cepat
beradaptasi, serta kritis terhadap isu keadilan sosial.¹⁶
·
Generasi Alpha (±2013–2025):
Tumbuh sepenuhnya di dunia digital dan kecerdasan buatan; literasi teknologi
tinggi namun rentan isolasi sosial.¹⁷
·
Generasi Beta (Proyeksi)
(±2025–2045): Diharapkan menjadi generasi yang hidup dalam simbiosis
manusia–AI; nilai keberlanjutan, etika digital, dan kesadaran ekologis
tinggi.¹⁸
Pemetaan di atas
menunjukkan bahwa setiap generasi tidak hanya mencerminkan urutan kronologis
kelahiran, tetapi juga perubahan paradigma sosial yang berkaitan erat dengan
pergeseran ekonomi, politik, dan teknologi.¹⁹
3.3.
Konteks Historis dan Budaya Pembentuk Generasi
Setiap generasi
hidup dalam konteks sejarah yang unik, dan konteks tersebut menjadi dasar
pembentukan nilai, etika, dan pola pikir. Generasi Lost lahir dari keputusasaan
pascaperang, sementara Greatest Generation dibentuk oleh
etos perjuangan kolektif melawan krisis global.²⁰ Baby Boomers menjadi simbol
optimisme ekonomi dan mobilitas sosial, sedangkan Generasi X mencerminkan masa
transisi dari analog ke digital, dari stabilitas menuju ketidakpastian
ekonomi.²¹
Generasi Millennials
dan Zoomers
hidup dalam dunia yang ditandai oleh keterhubungan digital tanpa batas, namun
juga menghadapi tekanan baru seperti perubahan iklim, krisis ekonomi, dan
ketidakpastian pekerjaan.²² Sedangkan Generasi Alpha dan Beta
diperkirakan akan tumbuh dalam realitas pasca-manusia (post-human
condition) di mana batas antara manusia dan mesin menjadi semakin
kabur.²³
Oleh karena itu,
periodisasi generasi juga dapat dipandang sebagai periodisasi epistemologis —
yaitu cara manusia memahami dirinya dan dunianya pada suatu masa.²⁴ Setiap
generasi mengembangkan “cara mengetahui” (ways of knowing) yang khas, yang
tercermin dalam bahasa, teknologi, dan orientasi moral mereka terhadap masa
depan.
3.4.
Perdebatan dan Keterbatasan Tipologi Generasi
Meskipun klasifikasi
generasi banyak digunakan, para akademisi mengingatkan bahwa tipologi ini
memiliki keterbatasan. Zygmunt Bauman menegaskan bahwa masyarakat modern
bersifat “cair” (liquid modernity), di mana
perubahan nilai berlangsung begitu cepat sehingga batas antar generasi menjadi
kabur.²⁵ Sementara itu, Sarah Nilsen dan Anna T. Danielsen menyoroti bias
budaya dalam penentuan generasi, karena model Barat sering kali tidak
sepenuhnya sesuai dengan konteks Asia atau Afrika.²⁶
Selain itu,
perkembangan teknologi mempercepat transformasi sosial sehingga generasi kini
terbentuk lebih cepat daripada sebelumnya.²⁷ Beberapa peneliti bahkan
mengusulkan konsep micro-generation — yaitu
subgenerasi yang terbentuk dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun, contohnya
“Xennials” (lahir antara 1977–1983) yang menjembatani generasi analog
dan digital.²⁸
Keterbatasan ini
menunjukkan bahwa pembagian generasi sebaiknya dipahami sebagai alat analisis
sosial yang bersifat fleksibel, bukan kategori absolut. Esensinya bukan pada
tahun kelahiran semata, tetapi pada pemahaman terhadap dinamika pengalaman
sosial yang membentuk pola pikir kolektif suatu kelompok manusia.²⁹
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 289–291.
[2]
Neil Howe and William Strauss, Generations:
The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 10–12.
[3]
Jean Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 14–15.
[4]
Glen H. Elder Jr., Children of the Great
Depression (Chicago: University of
Chicago Press, 1974), 5–7.
[5]
Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization:
Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 28–30.
[6]
Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and
Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.
[7]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 82–85.
[8]
Matthew H. Campbell, “Generational Theory and Historical Change,” Journal of Social History 52, no. 4 (2018): 843–860.
[9]
Mark McCrindle and Ashley Fell, The
ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.
[10]
Ernest Hemingway, A Farewell to Arms (New York: Scribner, 1929), x–xi.
[11]
Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 4–6.
[12]
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 22–25.
[13]
David Brooks, Boomers and the Birth
of the Modern Self (New York: Random
House, 2019), 30–33.
[14]
Douglas Coupland, Generation X: Tales for
an Accelerated Culture (New York:
St. Martin’s Press, 1991), 15–17.
[15]
Jean M. Twenge and Stacy M. Campbell, “Generational Differences in
Psychological Traits and Their Impact on the Workplace,” Journal of Managerial Psychology 23, no. 8 (2008): 862–877.
[16]
Stillman, David, and Jonah Stillman, Gen
Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 35–38.
[17]
Mark McCrindle, The Future Forecast:
Preparing for the Emerging Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2020), 12–14.
[18]
Ibid., 16–17.
[19]
Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 41–43.
[20]
Samuel Hynes, A War Imagined: The
First World War and English Culture
(London: Bodley Head, 1990), 23–26.
[21]
Manuel Castells, The Power of Identity (Oxford: Blackwell, 1997), 60–62.
[22]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 71–74.
[23]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (London: Harvill
Secker, 2016), 287–289.
[24]
Anthony Giddens, The Consequences of
Modernity (Stanford: Stanford
University Press, 1990), 36–38.
[25]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–8.
[26]
Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural
Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 18–20.
[27]
Pew Research Center, “How Technology Is Shaping New Generations,” Social Trends Report,
2022.
[28]
Dan Woodman and Johanna Wyn, “The Limits of Generational Thinking,” Journal of Youth Studies
18, no. 10 (2015): 1420–1436.
[29]
Mannheim, “The Problem of Generations,” 295–296.
4.
Analisis Historis dan Sosial Setiap Generasi
Analisis historis
dan sosial terhadap kelompok generasi memungkinkan kita memahami bagaimana
konteks sejarah global membentuk nilai, orientasi hidup, dan perilaku sosial
manusia dalam lintasan waktu. Setiap generasi membawa ciri khasnya sendiri,
yang mencerminkan pengalaman kolektif, respons terhadap krisis, dan inovasi
kultural yang muncul dalam era tertentu. Dengan menelaah dinamika sosial dari Lost
Generation hingga Generasi Beta, kita dapat melihat
pola kesinambungan dan transformasi dalam perjalanan peradaban modern.
4.1.
Lost Generation (±1883–1900)
Generasi ini dikenal
sebagai Lost
Generation karena kehilangan arah moral dan spiritual setelah
kehancuran akibat Perang Dunia I.¹ Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan
oleh Gertrude Stein dan dipopulerkan oleh Ernest Hemingway dalam karya The Sun
Also Rises (1926), yang menggambarkan keputusasaan kaum muda
pascaperang.² Mereka tumbuh di tengah dislokasi sosial dan trauma kolektif,
kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai tradisional seperti nasionalisme dan
kehormatan perang.
Secara sosiologis,
generasi ini menandai peralihan dari idealisme abad ke-19 menuju relativisme modern
abad ke-20.³ Banyak di antara mereka menjadi seniman, intelektual, dan penulis
yang mempertanyakan makna hidup, moralitas, dan kemajuan teknologi yang justru
membawa kehancuran. Kehidupan urban dan migrasi ke pusat budaya seperti Paris
menjadi simbol pencarian identitas dan kebebasan pasca-krisis.⁴
4.2.
Greatest Generation / GI Generation
(±1901–1927)
Generasi yang
disebut oleh Tom Brokaw sebagai The Greatest Generation tumbuh
dalam masa Depresi Besar dan berjuang dalam Perang Dunia II.⁵ Mereka dikenal dengan
etos kerja keras, pengorbanan, disiplin, serta rasa tanggung jawab sosial yang
tinggi. Krisis ekonomi 1930-an membentuk solidaritas dan kesederhanaan,
sementara kemenangan dalam perang melahirkan kebanggaan nasional dan stabilitas
sosial.⁶
Pasca-perang,
generasi ini menjadi penggerak utama industrialisasi dan pembangunan
infrastruktur global.⁷ Di Amerika dan Eropa Barat, mereka menciptakan sistem
kesejahteraan sosial, institusi demokratis yang kuat, dan ekonomi berbasis
produksi massal.⁸ Nilai-nilai utama mereka adalah loyalitas, kerja keras, dan
penghormatan terhadap otoritas—karakteristik yang kemudian menjadi dasar
tatanan sosial pasca-perang dunia.
4.3.
Silent Generation (±1928–1945)
Disebut Silent
Generation karena mereka tumbuh dalam masa stabilitas politik dan
ekonomi pasca-Perang Dunia II, namun juga dalam bayang-bayang Perang Dingin dan
konformitas sosial.⁹ Mereka cenderung menghindari konflik, menghargai keamanan,
dan menyesuaikan diri dengan tatanan sosial yang mapan.
Budaya kerja
korporat, kesetiaan pada institusi, serta etika profesional menjadi ciri khas
generasi ini.¹⁰ Namun, di balik kesunyian politik mereka, muncul pula
benih-benih kritik sosial yang kemudian berkembang di generasi
berikutnya—terutama dalam bidang seni, sastra, dan musik.¹¹ Dalam konteks
global, mereka menjadi generasi transisi antara masa perang dan kemunculan Baby
Boomers, sekaligus saksi awal kebangkitan kapitalisme global dan
teknologi komunikasi.
4.4.
Baby Boomers (±1946–1964)
Generasi Baby
Boomers muncul sebagai hasil ledakan kelahiran setelah Perang Dunia
II.¹² Mereka tumbuh dalam era kemakmuran ekonomi, ekspansi pendidikan, dan
kemunculan media massa. Nilai-nilai idealisme, kebebasan pribadi, dan
kesetaraan sosial mendominasi pandangan mereka, terlihat dari gerakan sosial besar
seperti Civil
Rights Movement, gerakan feminisme gelombang kedua, serta protes
anti-perang Vietnam.¹³
Boomers juga menjadi
generasi yang menandai peralihan dari masyarakat industri ke masyarakat
konsumtif.¹⁴ Mereka mengidentifikasi diri melalui pekerjaan, kepemilikan rumah,
dan pencapaian ekonomi. Namun, idealisme sosial mereka di masa muda kemudian
berubah menjadi pragmatisme ekonomi di masa dewasa, yang melahirkan kritik dari
generasi setelahnya karena dianggap terlalu materialistik dan berorientasi pada
status.¹⁵
4.5.
Generasi X (±1965–1980)
Generasi X lahir di
masa transisi: ketika struktur keluarga berubah akibat meningkatnya angka
perceraian, serta ketika dunia menghadapi krisis minyak dan ketidakpastian
ekonomi.¹⁶ Mereka disebut sebagai generasi skeptis—tidak mempercayai institusi
besar seperti pemerintah, media, dan perusahaan.¹⁷
Budaya Do-It-Yourself
(DIY) dan independensi menjadi ciri kuat generasi ini, yang
diiringi munculnya inovasi teknologi awal seperti komputer pribadi dan video
game.¹⁸ Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh bersama televisi kabel dan
musik global (MTV), membentuk identitas budaya yang lintas batas. Dalam dunia
kerja, mereka dikenal fleksibel dan pragmatis, berorientasi pada keseimbangan
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.¹⁹
4.6.
Generasi Y / Millennials (±1981–1996)
Generasi
Millennials, menurut Jean Twenge, adalah “generasi digital pertama” yang
mengalami transisi penuh menuju era internet dan globalisasi.²⁰ Mereka tumbuh
bersama perkembangan komputer pribadi, media sosial, dan ekonomi digital.
Karakter mereka ditandai dengan nilai kolaborasi, kreativitas, serta keinginan
untuk mencari makna dalam pekerjaan dan kehidupan sosial.²¹
Namun, Millennials
juga menghadapi tantangan struktural seperti krisis finansial global 2008, meningkatnya
biaya pendidikan, dan ketidakstabilan pekerjaan.²² Hal ini menumbuhkan
kecenderungan mereka untuk beradaptasi dengan gig economy dan wirausaha digital.
Dalam konteks sosial, mereka menekankan keberagaman, kesetaraan gender, serta
kesadaran terhadap isu lingkungan dan keberlanjutan.²³
4.7.
Generasi Z / Zoomers (±1997–2012)
Generasi Z adalah
kelompok yang sepenuhnya tumbuh di bawah pengaruh teknologi digital dan media
sosial.²⁴ Mereka disebut digital natives karena tidak pernah
mengenal dunia tanpa internet.²⁵ Nilai utama mereka adalah keaslian (authenticity),
keberagaman (diversity), dan kesadaran sosial
tinggi terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan ras, dan kesehatan
mental.²⁶
Secara psikologis,
Generasi Z menghadapi paradoks antara konektivitas digital dan isolasi
sosial.²⁷ Mereka memiliki kemampuan multitasking yang tinggi, namun juga rentan
terhadap tekanan sosial akibat eksposur berlebih terhadap media daring.²⁸ Dalam
konteks pendidikan dan pekerjaan, mereka menuntut fleksibilitas, keseimbangan
hidup, dan transparansi etika dari institusi.²⁹
4.8.
Generasi Alpha (±2013–2025)
Generasi Alpha
merupakan generasi pertama yang lahir sepenuhnya dalam era kecerdasan buatan
dan pembelajaran digital.³⁰ Mereka tumbuh dalam lingkungan yang hiper-konektif,
dengan perangkat digital yang menjadi bagian dari identitas sejak usia dini.³¹
Kemampuan kognitif mereka diperkirakan lebih adaptif terhadap informasi visual
dan interaktif, namun mereka juga berisiko mengalami ketergantungan teknologi
dan keterbatasan empati sosial.³²
Dalam konteks
pendidikan, Generasi Alpha menuntut pendekatan pembelajaran yang lebih personal
dan berbasis teknologi, seperti adaptive learning systems dan
realitas virtual.³³ Mereka diprediksi akan menjadi generasi paling berpendidikan
sepanjang sejarah, namun juga menghadapi tantangan besar dalam membangun
keseimbangan antara dunia digital dan interaksi manusiawi.³⁴
4.9.
Generasi Beta (Proyeksi ±2025–2045)
Generasi Beta
merupakan proyeksi demografis dari era pasca-digital, di mana kecerdasan
buatan, bioteknologi, dan sistem sosial otomatis akan menjadi bagian integral
kehidupan manusia.³⁵ Generasi ini kemungkinan akan hidup dalam tatanan sosial
yang menekankan co-evolution antara manusia dan
mesin, serta memiliki orientasi moral baru yang berpusat pada keberlanjutan
planet dan etika teknologi.³⁶
Nilai-nilai seperti
kesadaran ekologis, kolaborasi lintas batas, dan kemanusiaan transhumanistik
akan membentuk fondasi identitas mereka.³⁷ Namun, tantangan besar yang dihadapi
adalah menjaga otonomi manusia dalam masyarakat yang semakin diotomatisasi.³⁸
Generasi ini diperkirakan akan menjadi simbol “era sintesis”—di mana
batas antara biologi, digital, dan budaya semakin menyatu.³⁹
Footnotes
[1]
Gertrude Stein, The Autobiography of
Alice B. Toklas (New York: Harcourt,
Brace and Company, 1933), 62.
[2]
Ernest Hemingway, The Sun Also Rises (New York: Scribner, 1926), ix–x.
[3]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 290–292.
[4]
Samuel Hynes, A War Imagined: The
First World War and English Culture
(London: Bodley Head, 1990), 18–21.
[5]
Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 3–5.
[6]
Glen H. Elder Jr., Children of the Great
Depression (Chicago: University of
Chicago Press, 1974), 7–9.
[7]
David Kennedy, Freedom from Fear: The
American People in Depression and War, 1929–1945 (Oxford: Oxford University Press, 1999), 412–414.
[8]
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 31–33.
[9]
William Manchester, The
Glory and the Dream: A Narrative History of America, 1932–1972 (New York: Little, Brown, and Company, 1974),
405–408.
[10]
David Riesman, The Lonely Crowd (New Haven: Yale University Press, 1950), 22–24.
[11]
Theodore Roszak, The Making of a Counter
Culture (Garden City, NY: Doubleday,
1969), 8–9.
[12]
Jean M. Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They
Mean for America’s Future (New York:
Atria Books, 2023), 25–27.
[13]
David Brooks, Boomers and the Birth
of the Modern Self (New York: Random
House, 2019), 35–38.
[14]
Thomas Frank, The Conquest of Cool:
Business Culture, Counterculture, and the Rise of Hip Consumerism (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 19–21.
[15]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic
Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 44–46.
[16]
Douglas Coupland, Generation X: Tales for
an Accelerated Culture (New York:
St. Martin’s Press, 1991), 3–5.
[17]
Neil Howe and William Strauss, 13th
Gen: Abort, Retry, Ignore, Fail?
(New York: Vintage Books, 1993), 12–14.
[18]
Sherry Turkle, The Second Self:
Computers and the Human Spirit
(Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 22–24.
[19]
Ronald Inglehart, Modernization and
Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 30–33.
[20]
Jean Twenge, iGen: Why Today’s
Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less
Happy—and Completely Unprepared for Adulthood (New York: Atria Books, 2017), 9–11.
[21]
Pew Research Center, “How Millennials Compare with Prior Generations,” Social Trends Report,
2019.
[22]
Thomas Piketty, Capital in the
Twenty-First Century (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2014), 67–69.
[23]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 53–55.
[24]
Mark McCrindle, The ABC of XYZ:
Understanding the Global Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.
[25]
David Stillman and Jonah Stillman, Gen
Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 37–39.
[26]
Twenge, iGen, 45–47.
[27]
American Psychological Association, Stress
in America: Generation Z Report
(Washington, DC: APA, 2018), 2–4.
[28]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 17–20.
[29]
Pew Research Center, “Defining Generations,” 2019.
[30]
Mark McCrindle, The Future Forecast:
Preparing for the Emerging Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2020), 9–12.
[31]
Ibid., 14–15.
[32]
World Health Organization, Digital
Health and Childhood Development
(Geneva: WHO, 2022), 6–8.
[33]
OECD, Trends Shaping
Education 2023 (Paris: OECD
Publishing, 2023), 12–15.
[34]
UNICEF, Children in a Digital
World (New York: UNICEF, 2017), 8–9.
[35]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (London: Harvill
Secker, 2016), 283–285.
[36]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial
Revolution (Geneva: World Economic
Forum, 2016), 11–13.
[37]
Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 212–214.
[38]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 5–7.
[39]
Harari, Homo Deus, 289–291.
5.
Analisis Perbandingan dan Interaksi
Antargenerasi
Analisis
perbandingan dan interaksi antargenerasi merupakan bagian krusial dalam
memahami dinamika sosial kontemporer. Setiap generasi tidak hanya berperan
sebagai entitas sosial yang berdiri sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari
ekosistem sosial yang saling bergantung dan berinteraksi. Hubungan
antargenerasi mencerminkan dialektika antara kontinuitas dan perubahan, antara
nilai-nilai tradisional yang diwariskan dan inovasi yang diciptakan.¹ Dengan
demikian, interaksi lintas generasi membentuk fondasi stabilitas sosial
sekaligus sumber ketegangan dan transformasi budaya dalam masyarakat modern.
5.1.
Perbandingan Nilai, Etos Kerja, dan Orientasi
Hidup
Setiap generasi
memiliki nilai dan etos kerja yang berbeda sesuai dengan konteks sejarah dan
sosial tempat mereka dibentuk.² Greatest Generation dan Silent
Generation, misalnya, menekankan nilai-nilai disiplin, loyalitas,
serta kepatuhan terhadap hierarki. Mereka hidup pada masa ketika stabilitas dan
keteraturan sosial dianggap sebagai prasyarat kemajuan.³
Sebaliknya, Baby
Boomers membawa semangat individualisme dan idealisme sosial yang
kuat. Mereka menjadi generasi pertama yang menolak konformitas generasi
sebelumnya melalui gerakan sosial dan budaya tandingan.⁴ Dalam dunia kerja,
mereka dikenal ambisius, kompetitif, dan memandang kesuksesan ekonomi sebagai
ukuran utama pencapaian pribadi.⁵
Generasi
X muncul sebagai generasi transisi yang memadukan skeptisisme
terhadap otoritas dengan pragmatisme dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.⁶
Mereka lebih menghargai fleksibilitas dan keseimbangan hidup (work-life
balance) dibandingkan loyalitas terhadap perusahaan.⁷ Sementara Millennials
(Generasi Y) cenderung mengutamakan makna dan tujuan kerja yang berorientasi
sosial (purpose-driven
work), serta menolak model kerja tradisional yang kaku.⁸
Adapun Generasi
Z dan Alpha menampilkan orientasi nilai
yang berbeda secara signifikan. Mereka hidup di dunia yang terhubung secara
digital, dengan fokus pada keaslian, keberagaman, dan kesejahteraan mental.⁹
Nilai-nilai mereka dibentuk oleh kesadaran global dan isu keberlanjutan,
menjadikan mereka generasi paling progresif dalam hal kesetaraan dan tanggung
jawab ekologis.¹⁰
5.2.
Konflik dan Sinergi Generasional
Perbedaan nilai dan
gaya hidup antargenerasi sering menimbulkan ketegangan sosial, terutama di
lingkungan kerja dan politik.¹¹ Dalam organisasi modern, misalnya, Baby
Boomers yang cenderung hierarkis sering kali mengalami gesekan
dengan Millennials
atau Zoomers
yang menuntut partisipasi egaliter dan fleksibilitas.¹²
Konflik generasi
juga mencerminkan perbedaan pandangan terhadap konsep otoritas dan kepercayaan
sosial.¹³ Generasi yang lebih tua umumnya menganggap stabilitas dan loyalitas
sebagai bentuk tanggung jawab, sementara generasi muda lebih menekankan
kebebasan berekspresi, inovasi, dan keseimbangan emosional.¹⁴ Perbedaan ini
sering terlihat dalam pola komunikasi — di mana generasi tua mengutamakan
formalitas dan tatap muka, sedangkan generasi muda mengandalkan komunikasi
digital yang cepat dan informal.¹⁵
Namun, ketegangan
ini juga menghasilkan sinergi yang konstruktif.¹⁶ Studi manajemen lintas
generasi menunjukkan bahwa keberagaman generasi di tempat kerja dapat
meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan inovasi, asalkan ada mekanisme
komunikasi yang efektif.¹⁷ Dalam konteks sosial, kolaborasi antara generasi tua
dan muda memainkan peran penting dalam menjaga kesinambungan nilai-nilai budaya
sekaligus memperbaruinya agar relevan dengan zaman.¹⁸
5.3.
Perubahan Pola Komunikasi dan Teknologi
Teknologi merupakan
salah satu faktor utama yang membedakan generasi dan memengaruhi interaksi di
antara mereka.¹⁹ Generasi pra-digital seperti Silent Generation dan Baby
Boomers tumbuh dalam budaya komunikasi langsung, sementara generasi
digital seperti Millennials dan Z
hidup dalam lingkungan komunikasi yang cepat, visual, dan interaktif.²⁰
Menurut Sherry
Turkle, munculnya media sosial telah mengubah cara manusia membangun identitas
dan relasi sosial.²¹ Generasi muda kini mengekspresikan diri melalui ruang
digital yang menciptakan bentuk baru dari keterhubungan dan isolasi
sekaligus.²² Hal ini menimbulkan kesenjangan persepsi antar generasi: bagi
generasi tua, kehadiran fisik dan tatap muka adalah simbol keintiman; bagi
generasi muda, kehadiran daring dapat memiliki makna yang setara.²³
Selain itu,
teknologi juga memperluas ruang kolaborasi lintas generasi.²⁴ Melalui media
digital, generasi muda dapat belajar dari pengalaman profesional generasi lebih
tua, sementara generasi tua memperoleh pengetahuan baru tentang teknologi dan
inovasi digital.²⁵ Dengan demikian, teknologi tidak hanya menciptakan
perbedaan, tetapi juga menjembatani kesenjangan komunikasi antargenerasi.
5.4.
Pengaruh Ekonomi dan Mobilitas Sosial
Setiap generasi
mengalami kondisi ekonomi yang berbeda, yang membentuk pola pikir dan orientasi
sosial mereka. Greatest Generation tumbuh di masa
depresi dan perang, sehingga menghargai stabilitas ekonomi dan keamanan
pekerjaan.²⁶ Sebaliknya, Baby Boomers menikmati pertumbuhan
ekonomi pesat dan menjadi simbol kemakmuran pascaperang.²⁷
Generasi
X dan Millennials menghadapi realitas
ekonomi yang lebih fluktuatif, dengan meningkatnya biaya hidup dan menurunnya
jaminan sosial.²⁸ Akibatnya, generasi muda menjadi lebih realistis dan
cenderung menilai keberhasilan bukan dari kepemilikan material, tetapi dari
pengalaman, kebebasan, dan keseimbangan hidup.²⁹
Globalisasi dan
digitalisasi turut mengubah konsep mobilitas sosial. Millennials
dan Zoomers
memiliki akses terhadap peluang global melalui ekonomi digital, meskipun
ketimpangan ekonomi dan pendidikan tetap menjadi tantangan besar.³⁰ Dalam
konteks ini, hubungan antargenerasi juga berfungsi sebagai mekanisme transfer
modal sosial dan pengetahuan, yang menjadi dasar keberlanjutan masyarakat
modern.³¹
5.5.
Dialektika Tradisi dan Modernitas
Interaksi
antargenerasi juga menggambarkan dialektika antara tradisi dan modernitas.
Generasi tua memegang peran sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan norma
sosial, sedangkan generasi muda bertindak sebagai agen perubahan dan pembaru.³²
Menurut Anthony Giddens, dinamika ini mencerminkan “refleksivitas modernitas,”
yaitu kemampuan masyarakat untuk merevisi dan menyesuaikan tradisi sesuai
dengan kondisi baru.³³
Ketegangan antara
konservatisme dan progresivisme muncul dalam berbagai bidang — mulai dari
politik identitas, gaya hidup, hingga etika digital.³⁴ Namun, ketegangan ini
bukanlah bentuk disintegrasi, melainkan manifestasi dari proses sosial yang
sehat, di mana masyarakat terus memperbarui nilai-nilainya untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan global.³⁵
Dalam perspektif
ini, interaksi antargenerasi menjadi wadah pembelajaran dua arah (reciprocal
learning): generasi muda memperoleh kebijaksanaan dari pengalaman
masa lalu, sementara generasi tua mendapatkan relevansi melalui keterbukaan
terhadap ide-ide baru.³⁶ Sinergi semacam ini menjadi kunci keberlanjutan sosial
dan inovasi peradaban manusia.
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 288–290.
[2]
Neil Howe and William Strauss, Generations:
The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 10–13.
[3]
Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 6–8.
[4]
Theodore Roszak, The Making of a Counter
Culture (Garden City, NY: Doubleday,
1969), 9–11.
[5]
David Brooks, Boomers and the Birth
of the Modern Self (New York: Random
House, 2019), 33–35.
[6]
Douglas Coupland, Generation X: Tales for
an Accelerated Culture (New York:
St. Martin’s Press, 1991), 14–16.
[7]
Richard Florida, The Rise of the
Creative Class (New York: Basic
Books, 2002), 22–25.
[8]
Jean M. Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 41–44.
[9]
Mark McCrindle, The ABC of XYZ:
Understanding the Global Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.
[10]
Pew Research Center, “How Technology and Values Shape Generation Z,” Social Trends Report,
2022.
[11]
Ronald Inglehart, Culture Shift in
Advanced Industrial Society
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 52–54.
[12]
David Stillman and Jonah Stillman, Gen
Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 30–33.
[13]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic
Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 48–50.
[14]
Jean Twenge and Stacy Campbell, “Generational Differences in
Psychological Traits and Their Impact on the Workplace,” Journal of Managerial Psychology 23, no. 8 (2008): 862–877.
[15]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 70–72.
[16]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 10–12.
[17]
Adam Grant, Think Again: The Power
of Knowing What You Don’t Know (New
York: Viking, 2021), 82–84.
[18]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 90–92.
[19]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
35–37.
[20]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 17–19.
[21]
Ibid., 23–25.
[22]
Turkle, Reclaiming Conversation, 76–78.
[23]
Mark McCrindle and Ashley Fell, The
Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 15–17.
[24]
Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and
Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.
[25]
OECD, Trends Shaping
Education 2023 (Paris: OECD
Publishing, 2023), 22–24.
[26]
Glen H. Elder Jr., Children of the Great
Depression (Chicago: University of
Chicago Press, 1974), 5–7.
[27]
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 40–43.
[28]
Thomas Piketty, Capital in the
Twenty-First Century (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2014), 61–63.
[29]
Twenge, Generations, 45–47.
[30]
Richard Baldwin, The Globotics Upheaval:
Globalization, Robotics, and the Future of Work (New York: Oxford University Press, 2019), 12–14.
[31]
Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 38–41.
[32]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 44–46.
[33]
Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 52–54.
[34]
Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural
Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 19–22.
[35]
Bauman, Liquid Modernity, 15–17.
[36]
Mark McCrindle, The Future Forecast, 18–20.
6.
Implikasi Sosial, Politik, dan Budaya
Transformasi
generasi dari Lost Generation hingga Generasi
Beta menciptakan dampak multidimensional yang melintasi ranah
sosial, politik, dan budaya. Setiap generasi berkontribusi terhadap pembentukan
nilai-nilai baru, redefinisi hubungan sosial, serta cara manusia memahami
identitas dan kemajuan.¹ Implikasi ini tidak hanya bersifat empiris, tetapi
juga reflektif—menggambarkan bagaimana masyarakat menegosiasikan makna tradisi
dan modernitas dalam konteks perubahan global yang terus berakselerasi.
6.1.
Implikasi Sosial: Perubahan Struktur dan
Dinamika Kehidupan Masyarakat
Secara sosial,
perubahan antar generasi menandai pergeseran dari masyarakat homogen berbasis
komunitas menuju masyarakat plural dan digital.² Baby Boomers menegakkan struktur
sosial berbasis kerja dan keluarga tradisional, di mana stabilitas dan status
ekonomi menjadi ukuran kesejahteraan.³ Namun, mulai dari Generasi
X hingga Millennials, muncul paradigma baru
yang lebih menekankan pada otonomi individu, mobilitas sosial, dan makna
eksistensial.⁴
Perubahan nilai ini
memperlihatkan terjadinya pergeseran dari “masyarakat institusional”
menuju “masyarakat jejaring.”⁵ Manuel Castells menyebutnya sebagai network
society—suatu bentuk struktur sosial baru yang ditopang oleh
konektivitas digital dan relasi horizontal.⁶ Di dalam masyarakat jejaring ini,
identitas sosial tidak lagi bersandar pada kelas sosial atau lokasi geografis,
melainkan pada jejaring simbolik dan teknologi yang membentuk pengalaman
kolektif lintas batas.⁷
Selain itu,
teknologi komunikasi juga merevolusi hubungan antarmanusia. Media sosial,
platform daring, dan ekonomi digital menciptakan bentuk interaksi baru yang
simultan memperluas solidaritas sosial sekaligus menimbulkan fragmentasi
identitas.⁸ Sherry Turkle menyebut fenomena ini sebagai paradoks
konektivitas—di mana manusia semakin terhubung secara teknologis namun kian
terasing secara emosional.⁹
Implikasi sosial
lainnya tampak pada bidang pendidikan dan pekerjaan. Generasi muda menuntut
sistem pembelajaran yang fleksibel, berbasis teknologi, dan kolaboratif,
berbeda dari model linear yang dipegang generasi sebelumnya.¹⁰ Dalam dunia
kerja, hierarki digantikan oleh kolaborasi digital dan meritokrasi berbasis
kompetensi.¹¹ Akibatnya, struktur sosial semakin bersifat dinamis dan terbuka
terhadap inovasi, namun juga rentan terhadap ketimpangan digital dan eksklusi
sosial bagi kelompok yang tidak adaptif terhadap teknologi.¹²
6.2.
Implikasi Politik: Pergeseran Partisipasi dan
Ideologi
Dalam bidang
politik, perbedaan generasi menciptakan variasi dalam cara masyarakat memandang
kekuasaan, ideologi, dan partisipasi publik. Greatest Generation dan Silent
Generation membangun tatanan politik modern berbasis hierarki,
patriotisme, dan stabilitas institusional.¹³ Sebaliknya, Baby
Boomers memunculkan politik protes, memperjuangkan hak sipil dan
kebebasan individu sebagai nilai utama.¹⁴
Generasi
X dan Millennials menandai perubahan
menuju politik reflektif dan digital.¹⁵ Mereka tidak sepenuhnya percaya pada
institusi formal, melainkan mengutamakan gerakan akar rumput (grassroots
movements) dan aktivisme digital sebagai saluran partisipasi.¹⁶
Fenomena seperti Arab Spring, Occupy
Wall Street, hingga Fridays for Future yang dipimpin
Greta Thunberg mencerminkan munculnya politik generasi baru yang bersifat
global, cepat, dan berbasis jaringan.¹⁷
Ronald Inglehart
berpendapat bahwa perubahan generasi ini merupakan hasil dari pergeseran nilai
dari materialist
values menuju post-materialist values, yaitu dari
orientasi keamanan ekonomi menuju pencarian makna, ekspresi diri, dan
partisipasi politik yang lebih substantif.¹⁸ Generasi muda tidak lagi menilai
politik sebagai arena kekuasaan formal, tetapi sebagai ruang etis untuk
memperjuangkan isu lingkungan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.¹⁹
Namun, fragmentasi
politik digital juga menimbulkan tantangan baru.²⁰ Polarisasi ideologis di
media sosial memperkuat “ruang gema” (echo chambers) yang menghambat
dialog lintas generasi.²¹ Generasi muda sering kali menganggap sistem politik
konvensional tidak representatif, sementara generasi tua melihat aktivisme
digital sebagai bentuk “politik instan.”²² Oleh karena itu, tantangan terbesar
bagi demokrasi masa depan adalah menjembatani kesenjangan persepsi
antargenerasi agar tercipta komunikasi politik yang inklusif dan deliberatif.²³
6.3.
Implikasi Budaya: Transformasi Identitas dan
Makna Kemanusiaan
Dalam ranah budaya,
perbedaan generasi membawa implikasi terhadap cara manusia membangun identitas
dan makna hidup.²⁴ Budaya modern awal yang dibangun oleh Lost
Generation dan GI Generation menekankan
rasionalitas, heroisme, dan kemajuan sebagai nilai utama.²⁵ Namun, setelah
Perang Dunia II, muncul budaya kontemporer yang lebih plural, reflektif, dan
estetis, sebagaimana ditunjukkan oleh Baby Boomers melalui gerakan seni,
musik, dan gaya hidup kontra budaya.²⁶
Perkembangan
teknologi digital mengubah lanskap budaya secara radikal. Millennials
dan Zoomers
memanfaatkan media sosial sebagai ruang penciptaan identitas diri yang cair dan
multipel.²⁷ Dalam kerangka teori posmodern, seperti yang dikemukakan oleh
Zygmunt Bauman, identitas tidak lagi statis tetapi bersifat “cair” (liquid
identity)—terbentuk melalui aliran informasi dan pilihan personal
yang terus berubah.²⁸
Generasi Alpha dan
Beta memperlihatkan arah baru dalam evolusi budaya: munculnya budaya sintesis
antara manusia dan mesin.²⁹ Mereka hidup di dunia yang menyeberangi batas fisik
dan digital, di mana realitas virtual dan kecerdasan buatan menjadi bagian dari
pengalaman hidup sehari-hari.³⁰ Implikasi budaya ini mencakup redefinisi
tentang seni, bahasa, dan moralitas—dari ekspresi artistik berbasis AI hingga
etika penggunaan teknologi dalam kehidupan sosial.³¹
Lebih jauh lagi,
munculnya budaya global lintas generasi juga mempercepat homogenisasi sekaligus
resistensi lokal.³² Produk budaya seperti musik pop, mode, dan sinema menciptakan
pengalaman universal, tetapi di sisi lain menimbulkan kecenderungan cultural
hybridization yang mempertemukan tradisi lokal dengan modernitas
global.³³ Dalam konteks ini, interaksi antargenerasi menjadi medan kreatif
untuk menciptakan bentuk-bentuk baru identitas kultural yang adaptif namun
berakar pada nilai kemanusiaan universal.³⁴
Relevansi Intergenerasional dalam Masyarakat
Global
Hubungan antar
generasi kini menjadi isu strategis dalam pembangunan sosial berkelanjutan.³⁵
Laporan UNESCO (2023) menekankan pentingnya intergenerational solidarity
sebagai kunci menjaga keseimbangan antara inovasi dan konservasi nilai.³⁶ Dalam
masyarakat yang semakin menua di satu sisi dan semakin digital di sisi lain,
dialog lintas generasi diperlukan untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi
tetap berpihak pada kemanusiaan.³⁷
Konsep intergenerational
justice juga menjadi penting dalam konteks politik global.³⁸
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab moral
terhadap generasi berikutnya, baik dalam hal lingkungan, kebijakan ekonomi,
maupun warisan budaya.³⁹ Generasi muda tidak hanya pewaris masa lalu, tetapi
juga aktor moral bagi masa depan.⁴⁰ Dengan demikian, keberlanjutan sosial,
politik, dan budaya dunia bergantung pada kemampuan masyarakat global untuk
membangun jembatan pemahaman antargenerasi yang saling memperkaya.
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 290–293.
[2]
Neil Howe and William Strauss, Generations:
The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12–15.
[3]
Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 4–6.
[4]
Ronald Inglehart, Culture Shift in
Advanced Industrial Society
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 32–35.
[5]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
21–24.
[6]
Ibid., 29–30.
[7]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 5–8.
[8]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 15–18.
[9]
Ibid., 20–22.
[10]
OECD, Trends Shaping
Education 2023 (Paris: OECD
Publishing, 2023), 12–14.
[11]
Richard Florida, The Rise of the
Creative Class (New York: Basic
Books, 2002), 33–35.
[12]
UNESCO, Global Education
Monitoring Report 2023 (Paris:
UNESCO, 2023), 8–10.
[13]
Robert D. Putnam, Bowling Alone: The
Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 22–25.
[14]
Theodore Roszak, The Making of a Counter
Culture (Garden City, NY: Doubleday,
1969), 14–17.
[15]
Jean M. Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 48–51.
[16]
Clay Shirky, Here Comes Everybody:
The Power of Organizing Without Organizations (New York: Penguin Press, 2008), 42–44.
[17]
Pippa Norris, Digital Divide: Civic
Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 50–53.
[18]
Ronald Inglehart, Modernization and
Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 44–47.
[19]
Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press, 2022), 12–14.
[20]
Pew Research Center, “Social Media and Political Polarization,” Social Trends Report,
2020.
[21]
Cass Sunstein, #Republic: Divided
Democracy in the Age of Social Media
(Princeton: Princeton University Press, 2017), 18–20.
[22]
Zizi Papacharissi, A Private Sphere:
Democracy in a Digital Age
(Cambridge: Polity Press, 2010), 27–29.
[23]
Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 54–57.
[24]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 45–47.
[25]
Samuel Hynes, A War Imagined: The
First World War and English Culture
(London: Bodley Head, 1990), 24–26.
[26]
David Brooks, Boomers and the Birth
of the Modern Self (New York: Random
House, 2019), 38–40.
[27]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994), 15–18.
[28]
Bauman, Liquid Modernity, 12–14.
[29]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (London: Harvill
Secker, 2016), 287–289.
[30]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial
Revolution (Geneva: World Economic
Forum, 2016), 16–18.
[31]
Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 211–214.
[32]
Arjun Appadurai, Modernity at Large:
Cultural Dimensions of Globalization
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 22–25.
[33]
Roland Robertson, Globalization: Social
Theory and Global Culture (London:
Sage Publications, 1992), 89–91.
[34]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 37–39.
[35]
UNESCO, Youth and
Intergenerational Dialogue Report
(Paris: UNESCO, 2023), 10–12.
[36]
Ibid., 14–16.
[37]
United Nations, World Social Report
2023: Leaving No One Behind in an Ageing World (New York: UN Department of Economic and Social
Affairs, 2023), 7–9.
[38]
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989),
18–20.
[39]
Greta Thunberg, The Climate Book, 20–22.
[40]
Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 52–54.
7.
Prediksi dan Prospek Masa Depan
Transformasi
demografis dan generasional di abad ke-21 menandai fase baru dalam sejarah
sosial manusia. Pergeseran teknologi, krisis lingkungan, serta perubahan
nilai-nilai kemanusiaan menuntut analisis prospektif mengenai arah perkembangan
generasi masa depan.¹ Dengan memahami tren dan dinamika ini, masyarakat global
dapat menyiapkan strategi adaptif yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap
perubahan, tetapi juga visioner terhadap tantangan yang akan datang. Bagian ini
membahas tiga poros utama prospek masa depan: (1) tren demografis global dan
perubahan struktur populasi, (2) keterhubungan antargenerasi di era kecerdasan
buatan dan ekologi digital, serta (3) proyeksi sosial-politik dan etika global
di masa depan.
7.1.
Tren Demografis Global
Menurut laporan World
Population Prospects 2024 yang diterbitkan oleh PBB, populasi dunia
diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2080 dengan total lebih dari
10,4 miliar jiwa.² Namun, pola pertumbuhan ini tidak seragam. Negara-negara
maju seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan mengalami penuaan populasi yang
cepat, sementara negara-negara berkembang di Afrika dan Asia Tenggara justru
menghadapi youth
bulge—lonjakan populasi usia muda yang dapat menjadi bonus
demografi atau beban sosial, tergantung pada kebijakan yang diambil.³
Fenomena penuaan
populasi di dunia maju menimbulkan tantangan dalam pembiayaan jaminan sosial
dan produktivitas ekonomi.⁴ Generasi tua yang lebih banyak dari generasi muda
menggeser keseimbangan ekonomi, memunculkan kekhawatiran mengenai ketimpangan
intergenerasional.⁵ Sebaliknya, di negara-negara berkembang, bonus demografi
dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi apabila
disertai dengan investasi pada pendidikan, teknologi, dan kewirausahaan.⁶
Di sisi lain,
globalisasi dan mobilitas internasional menciptakan struktur masyarakat yang
semakin beragam secara etnis dan budaya.⁷ Identitas nasional menjadi lebih
cair, dan interaksi antar generasi kini juga terjadi dalam konteks
multikultural. Hal ini mendorong munculnya “masyarakat lintas batas generasi”
di mana pertukaran nilai dan pengetahuan berlangsung tidak hanya secara
vertikal (antar usia), tetapi juga horizontal (antar budaya dan sistem
sosial).⁸
7.2.
Keterhubungan Generasi di Era Kecerdasan Buatan
dan Ekologi Digital
Era kecerdasan
buatan (Artificial Intelligence/AI) membawa perubahan mendasar terhadap
struktur kerja, pendidikan, dan interaksi sosial antar generasi.⁹ Generasi
Alpha dan Beta, yang tumbuh dalam lingkungan digital sejak lahir, akan menjadi
generasi pertama yang mengalami simbiosis langsung dengan sistem cerdas—mulai
dari pembelajaran adaptif, robotika rumah tangga, hingga asisten berbasis
algoritma.¹⁰
Klaus Schwab
menggambarkan fenomena ini sebagai bagian dari Fourth Industrial Revolution, di
mana batas antara fisik, biologis, dan digital semakin kabur.¹¹ Generasi
mendatang tidak lagi memandang teknologi sebagai alat eksternal, melainkan
sebagai perpanjangan dari kesadaran manusia itu sendiri.¹² Implikasinya, konsep
identitas pribadi dan profesional akan bergeser menuju identitas
hibrida—gabungan antara kemampuan kognitif alami dan kecerdasan buatan.¹³
Namun, perkembangan
ini juga membawa risiko sosial dan etis yang signifikan.¹⁴ Ketergantungan
terhadap AI dapat mengurangi otonomi manusia dalam pengambilan keputusan,
meningkatkan ketimpangan akses digital, dan menimbulkan dilema moral terkait
privasi, bias algoritmik, serta pengawasan sosial.¹⁵ Nick Bostrom
memperingatkan bahwa tanpa regulasi yang matang, perkembangan AI dapat
melampaui kapasitas kontrol manusia dan menciptakan “ketidakseimbangan moral”
antar generasi—di mana generasi yang menciptakan AI tidak dapat memprediksi
konsekuensinya bagi generasi setelahnya.¹⁶
Keterhubungan
digital juga memperluas ruang solidaritas generasional.¹⁷ Teknologi
memungkinkan kolaborasi lintas usia dalam ruang virtual, mempertemukan
kebijaksanaan generasi tua dengan inovasi generasi muda.¹⁸ Bentuk baru dari digital
intergenerational community muncul, di mana pembelajaran,
pekerjaan, dan aktivisme sosial dilakukan bersama lintas batas generasi.¹⁹
Dengan demikian, era AI bukan hanya tentang otomatisasi, tetapi juga tentang
rekonstruksi hubungan kemanusiaan dalam ruang digital.
7.3.
Proyeksi Sosial-Politik dan Etika Global
Dalam konteks
sosial-politik, masa depan akan ditandai oleh dua kekuatan besar:
desentralisasi kekuasaan dan peningkatan kesadaran etika global.²⁰ Generasi
mendatang diperkirakan akan tumbuh dalam lingkungan yang lebih terbuka, dengan
orientasi politik yang kolaboratif dan berbasis nilai global seperti
keberlanjutan, kesetaraan, dan transparansi.²¹
Studi Pew Research
Center (2023) menunjukkan bahwa Generasi Z dan Alpha
lebih cenderung mendukung sistem politik yang partisipatif dan berbasis data
dibandingkan ideologi tradisional kiri-kanan.²² Mereka menolak hierarki
kekuasaan yang kaku, menuntut akuntabilitas, dan menilai legitimasi politik
berdasarkan efektivitas serta moralitas kebijakan.²³ Di masa depan, teknologi
blockchain dan demokrasi digital berpotensi memperkuat bentuk partisipasi
politik langsung, di mana warga terlibat secara aktif dalam proses pengambilan
keputusan melalui sistem daring yang aman dan transparan.²⁴
Dari sisi etika,
muncul tantangan baru yang kompleks. Yuval Noah Harari memprediksi bahwa abad
ke-21 akan menjadi abad “bioteknologi moral,” di mana manusia memiliki
kemampuan untuk memodifikasi genetik, memperpanjang usia, bahkan menciptakan
bentuk kesadaran non-biologis.²⁵ Hal ini memunculkan dilema etika lintas
generasi: sejauh mana manusia berhak mengubah esensi kehidupan tanpa merusak
keseimbangan ekologis dan moral planet ini?²⁶
Generasi Beta dan
generasi setelahnya kemungkinan akan menjadi pelopor dalam pembentukan etika
global yang menekankan harmoni antara teknologi, lingkungan, dan kemanusiaan.²⁷
Prinsip intergenerational
equity—keadilan antargenerasi—akan menjadi paradigma baru dalam
kebijakan publik, memastikan bahwa inovasi masa kini tidak mengorbankan
keberlanjutan masa depan.²⁸
Sebagaimana
ditegaskan oleh Edith Brown Weiss, keadilan antargenerasi tidak hanya berkaitan
dengan distribusi sumber daya ekonomi, tetapi juga dengan tanggung jawab moral
untuk menjaga integritas ekosistem bumi dan nilai kemanusiaan universal.²⁹ Oleh
karena itu, prospek masa depan tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknologi,
tetapi juga oleh kemampuan manusia lintas generasi untuk mempertahankan
keseimbangan antara kemajuan dan kebijaksanaan.³⁰
Penutup Reflektif: Menuju Peradaban Kolaboratif
Jika abad ke-20
ditandai oleh revolusi industri dan globalisasi ekonomi, maka abad ke-21 dan
ke-22 akan menjadi era kolaborasi generasional.³¹ Dalam
peradaban masa depan, keberhasilan suatu masyarakat tidak lagi diukur dari
pertumbuhan material semata, melainkan dari kemampuan setiap generasi untuk
saling belajar, beradaptasi, dan menghormati warisan nilai.³²
Generasi Beta dan
generasi selanjutnya tidak hanya akan mewarisi dunia yang semakin cerdas dan
terkoneksi, tetapi juga dunia yang menuntut tanggung jawab moral yang lebih
besar.³³ Sebagaimana diingatkan oleh Anthony Giddens, modernitas adalah proyek
reflektif—ia berkembang sejauh manusia mampu meninjau kembali dan memperbaiki
tindakannya sendiri.³⁴ Dengan demikian, masa depan manusia bukanlah hasil
deterministik dari teknologi, melainkan hasil pilihan etis kolektif yang dibuat
oleh generasi demi generasi.³⁵
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 291–293.
[2]
United Nations, World Population
Prospects 2024: Summary of Results
(New York: UN Department of Economic and Social Affairs, 2024), 2–3.
[3]
World Bank, Youth and Demographic
Dividend Report (Washington, DC: World
Bank, 2023), 10–12.
[4]
OECD, Global Ageing Outlook
2023 (Paris: OECD Publishing, 2023),
6–8.
[5]
Ronald Lee and Andrew Mason, Population
Aging and the Generational Economy
(Cheltenham: Edward Elgar, 2011), 20–22.
[6]
McKinsey Global Institute, Harnessing
the Demographic Dividend in Emerging Economies (New York: McKinsey, 2022), 14–15.
[7]
Arjun Appadurai, Modernity at Large:
Cultural Dimensions of Globalization
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 25–27.
[8]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 39–41.
[9]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial
Revolution (Geneva: World Economic
Forum, 2016), 11–13.
[10]
Mark McCrindle, The Future Forecast:
Preparing for the Emerging Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2020), 14–16.
[11]
Schwab, The Fourth Industrial
Revolution, 18–20.
[12]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (London: Harvill
Secker, 2016), 283–285.
[13]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 28–30.
[14]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 51–54.
[15]
Ibid., 58–60.
[16]
Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 211–214.
[17]
Pew Research Center, “The Future of Digital Life,” Social Trends Report,
2023.
[18]
Adam Grant, Think Again: The Power
of Knowing What You Don’t Know (New
York: Viking, 2021), 102–104.
[19]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
41–44.
[20]
Ronald Inglehart, Modernization and
Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 49–51.
[21]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 12–14.
[22]
Pew Research Center, “How Gen Z Sees the Future of Politics,” Global Attitudes Report,
2023.
[23]
Pippa Norris, Democratic Deficit:
Critical Citizens Revisited
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 23–25.
[24]
Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain and the Law: The Rule of Code (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018),
30–32.
[25]
Harari, Homo Deus, 287–290.
[26]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011),
120–122.
[27]
Mark McCrindle and Ashley Fell, The
ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 22–25.
[28]
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989),
19–21.
[29]
Ibid., 23–24.
[30]
Anthony Giddens, The Consequences of
Modernity (Stanford: Stanford
University Press, 1990), 49–51.
[31]
Richard Florida, The Rise of the
Creative Class (New York: Basic
Books, 2002), 44–46.
[32]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 47–49.
[33]
Jean M. Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 58–60.
[34]
Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 61–63.
[35]
Zygmunt Bauman, Liquid Life (Cambridge: Polity Press, 2005), 14–16.
8.
Kesimpulan
Kajian mengenai
kelompok demografi berdasarkan tahun kelahiran—mulai dari Lost
Generation hingga Generasi Beta—menunjukkan bahwa
dinamika generasi bukan sekadar pembagian kronologis, melainkan refleksi dari
transformasi sosial, politik, budaya, dan teknologi dalam sejarah manusia
modern.¹ Setiap generasi terbentuk oleh pengalaman historis kolektif yang
membentuk nilai, pandangan dunia, serta orientasi hidup mereka.² Melalui
pendekatan historis dan sosiologis, kita dapat memahami bahwa evolusi generasi
mencerminkan hubungan dialektis antara kontinuitas dan perubahan—antara warisan
masa lalu dan inovasi masa depan.³
8.1.
Sintesis Temuan Utama
Kajian ini menunjukkan
bahwa generasi bukanlah entitas yang berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan
dalam siklus sejarah. Lost Generation menandai era
kehilangan orientasi moral akibat perang, sementara Greatest Generation membangun
kembali tatanan sosial melalui etos kerja dan pengorbanan.⁴ Silent
Generation melanjutkan stabilitas sosial yang memungkinkan
kemakmuran Baby
Boomers, yang pada gilirannya memicu revolusi budaya dan ekonomi
global.⁵ Generasi
X kemudian membawa paradigma baru yang lebih skeptis dan pragmatis,
sementara Millennials
menghadirkan nilai-nilai kolaboratif dan makna sosial dalam dunia kerja.⁶
Perubahan drastis
terjadi pada Generasi Z dan Alpha,
yang sepenuhnya hidup dalam ekosistem digital dan media sosial.⁷ Mereka
memperlihatkan pola pikir yang global, inklusif, dan sadar akan keberlanjutan.
Proyeksi terhadap Generasi Beta memperlihatkan bahwa
generasi mendatang akan tumbuh di tengah simbiosis antara manusia dan
kecerdasan buatan, menuntut pembentukan etika baru yang menjembatani batas
bioteknologi, moralitas, dan kemanusiaan.⁸
Melalui analisis
lintas generasi, ditemukan bahwa dimensi waktu berfungsi bukan hanya sebagai
penanda sejarah, tetapi juga sebagai arena pembentukan identitas kolektif manusia.⁹
Setiap generasi berkontribusi pada kesinambungan nilai kemanusiaan, meskipun
bentuk ekspresinya berubah mengikuti konteks zamannya. Dengan kata lain,
perbedaan antar generasi bukanlah tanda keterputusan, tetapi simbol dialog
berkelanjutan antar pengalaman manusia.
8.2.
Refleksi Teoretis
Secara teoretis,
penelitian ini mengonfirmasi tesis Karl Mannheim bahwa generasi adalah
konstruksi sosial yang terhubung melalui kesadaran historis.¹⁰ Generasi
dibentuk oleh pengalaman masa muda yang menentukan orientasi nilai sepanjang
hidup mereka.¹¹ Pemikiran ini relevan hingga kini, terutama ketika perubahan
teknologi mempercepat proses pembentukan generasi baru dengan siklus yang lebih
pendek.
Dalam konteks
modernitas cair sebagaimana dikemukakan oleh Zygmunt Bauman, generasi
kontemporer hidup dalam kondisi sosial yang berubah cepat, di mana nilai dan
identitas bersifat fleksibel.¹² Ketidakpastian ini menuntut manusia untuk
mengembangkan refleksivitas sosial—kemampuan
untuk meninjau kembali dan menyesuaikan nilai-nilai diri terhadap realitas yang
terus berubah.¹³ Dengan demikian, teori generasi tidak hanya menggambarkan
perbedaan antar usia, tetapi juga proses internalisasi perubahan dalam
kesadaran kolektif manusia.
Selain itu,
teori-teori kontemporer seperti network society (Manuel Castells)
dan post-materialist
values (Ronald Inglehart) memperluas pemahaman tentang generasi
sebagai entitas yang hidup dalam dunia global yang saling terhubung.¹⁴ Di era
digital, nilai-nilai generasi muda tidak lagi dibatasi oleh nasionalisme atau
kelas sosial, tetapi ditentukan oleh jaringan informasi dan kesadaran planet
yang bersifat lintas batas.¹⁵
8.3.
Implikasi Praktis dan Moral
Secara praktis,
pemahaman lintas generasi menjadi fondasi penting bagi pembuat kebijakan,
pendidik, dan pemimpin masyarakat.¹⁶ Dalam bidang pendidikan, kurikulum harus
dirancang agar selaras dengan gaya belajar dan nilai generasi digital, tanpa
mengabaikan kebijaksanaan generasi sebelumnya. Dalam dunia kerja, organisasi
perlu membangun budaya kolaboratif yang menghargai perbedaan generasi sebagai
kekuatan kreatif, bukan sumber konflik.¹⁷
Lebih dari itu,
dimensi moral hubungan antargenerasi menjadi semakin penting dalam menghadapi
isu-isu global seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan krisis
identitas.¹⁸ Prinsip intergenerational equity (keadilan antargenerasi)
menegaskan bahwa generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk memastikan
bahwa sumber daya, lingkungan, dan nilai-nilai kemanusiaan tetap lestari bagi
generasi mendatang.¹⁹ Edith Brown Weiss mengingatkan bahwa keadilan
generasional bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga komitmen etis untuk
menjaga keberlanjutan kehidupan manusia di planet ini.²⁰
Oleh karena itu,
dialog antar generasi perlu diletakkan dalam kerangka etika solidaritas—sebuah
gagasan bahwa kemajuan manusia hanya mungkin dicapai melalui kerja sama lintas
usia, lintas budaya, dan lintas nilai.²¹ Dengan cara ini, perbedaan antar
generasi dapat dipahami bukan sebagai jurang, melainkan sebagai jembatan menuju
masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
8.4.
Rekomendasi untuk Pengembangan Kajian Lanjutan
Kajian generasi
perlu dikembangkan melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan
sosiologi, psikologi, ekonomi, dan studi budaya.²² Di masa depan, penelitian
dapat difokuskan pada fenomena micro-generation—subkelompok generasi
yang terbentuk dalam rentang waktu pendek akibat percepatan teknologi dan
globalisasi.²³ Selain itu, penelitian tentang dampak etika dan ekologis dari
integrasi manusia dengan teknologi kecerdasan buatan perlu menjadi perhatian
utama dalam studi generasi abad ke-21.²⁴
Pendekatan lintas
budaya juga harus diperluas agar teori generasi tidak hanya berpusat pada
konteks Barat, tetapi mencakup pengalaman sosial Asia, Afrika, dan Amerika
Latin.²⁵ Dengan memperluas horizon epistemologis ini, kajian tentang generasi
akan semakin komprehensif dan relevan bagi masyarakat global yang plural dan
saling terhubung.
Penutup: Menyatukan Masa Lalu, Kini, dan Masa
Depan
Pada akhirnya, studi
tentang generasi mengajarkan bahwa sejarah manusia adalah perjalanan kesadaran
kolektif yang terus berevolusi.²⁶ Setiap generasi adalah cermin dari masa lalu
sekaligus jendela menuju masa depan. Dalam konteks dunia yang serba cepat dan
kompleks, tantangan terbesar bukanlah mempertahankan perbedaan generasi,
melainkan menemukan bahasa bersama untuk membangun masa depan yang
berkelanjutan.
Sebagaimana
dikatakan Anthony Giddens, modernitas menuntut manusia untuk “menciptakan
masa depan dengan kesadaran penuh terhadap konsekuensi dari tindakannya.”²⁷
Dengan demikian, keberhasilan peradaban manusia di masa mendatang akan
ditentukan oleh sejauh mana setiap generasi mampu menghargai sejarah,
menafsirkan perubahan, dan bertanggung jawab terhadap warisan yang akan
ditinggalkannya.²⁸
Footnotes
[1]
Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan
Paul, 1952), 276–278.
[2]
Ronald Inglehart, Culture Shift in
Advanced Industrial Society
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 34–36.
[3]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 36–38.
[4]
Gertrude Stein, The Autobiography of
Alice B. Toklas (New York: Harcourt,
Brace and Company, 1933), 62.
[5]
Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 5–7.
[6]
Douglas Coupland, Generation X: Tales for
an Accelerated Culture (New York:
St. Martin’s Press, 1991), 12–15.
[7]
Jean M. Twenge, Generations: The Real
Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What
They Mean for America’s Future (New
York: Atria Books, 2023), 21–23.
[8]
Mark McCrindle, The Future Forecast:
Preparing for the Emerging Generations
(Sydney: McCrindle Research, 2020), 18–20.
[9]
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 72–75.
[10]
Mannheim, “The Problem of Generations,” 285–288.
[11]
Ibid., 290–292.
[12]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–8.
[13]
Ibid., 12–14.
[14]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
21–24.
[15]
Ronald Inglehart, Modernization and
Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 30–33.
[16]
OECD, Trends Shaping
Education 2023 (Paris: OECD
Publishing, 2023), 15–17.
[17]
Richard Florida, The Rise of the
Creative Class (New York: Basic
Books, 2002), 40–43.
[18]
Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press, 2022), 18–20.
[19]
Edith Brown Weiss, In Fairness to Future
Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989),
19–21.
[20]
Ibid., 23–24.
[21]
UNESCO, Youth and
Intergenerational Dialogue Report
(Paris: UNESCO, 2023), 9–10.
[22]
Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural
Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 17–20.
[23]
Dan Woodman and Johanna Wyn, “The Limits of Generational Thinking,” Journal of Youth Studies
18, no. 10 (2015): 1420–1436.
[24]
Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 211–213.
[25]
Arjun Appadurai, Modernity at Large:
Cultural Dimensions of Globalization
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–29.
[26]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 45–47.
[27]
Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 58–60.
[28]
Zygmunt Bauman, Liquid Life (Cambridge: Polity Press, 2005), 14–16.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1996). Modernity
at large: Cultural dimensions of globalization. University of
Minnesota Press.
Baldwin, R. (2019). The
globotics upheaval: Globalization, robotics, and the future of work.
Oxford University Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation. University of Michigan Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Polity Press.
Bauman, Z. (2005). Liquid
life. Polity Press.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bordieu, P. (1977). Outline
of a theory of practice. Cambridge University Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Brokaw, T. (1998). The
greatest generation. Random House.
Brooks, D. (2019). Boomers
and the birth of the modern self. Random House.
Castells, M. (1996). The
rise of the network society. Blackwell.
Castells, M. (1997). The
power of identity. Blackwell.
Coupland, D. (1991). Generation
X: Tales for an accelerated culture. St. Martin’s Press.
De Filippi, P., &
Wright, A. (2018). Blockchain and the law: The rule of code.
Harvard University Press.
Elder, G. H. Jr. (1974). Children
of the Great Depression. University of Chicago Press.
Florida, R. (2002). The
rise of the creative class. Basic Books.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Frank, T. (1997). The
conquest of cool: Business culture, counterculture, and the rise of hip
consumerism. University of Chicago Press.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Giddens, A. (1990). The
consequences of modernity. Stanford University Press.
Giddens, A. (1991). Modernity
and self-identity: Self and society in the late modern age.
Stanford University Press.
Grant, A. (2021). Think
again: The power of knowing what you don’t know. Viking.
Harari, Y. N. (2016). Homo
Deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.
Hemingway, E. (1926). The
sun also rises. Scribner.
Howe, N., & Strauss, W.
(1991). Generations: The history of America’s future, 1584 to 2069.
William Morrow.
Howe, N., & Strauss, W.
(1993). 13th Gen: Abort, retry, ignore, fail? Vintage Books.
Hynes, S. (1990). A
war imagined: The First World War and English culture. Bodley Head.
Inglehart, R. (1990). Culture
shift in advanced industrial society. Princeton University Press.
Inglehart, R. (1997). Modernization
and postmodernization: Cultural, economic, and political change in 43 societies.
Princeton University Press.
Inglehart, R., &
Welzel, C. (2005). Modernization, cultural change, and
democracy. Cambridge University Press.
Kennedy, D. (1999). Freedom
from fear: The American people in depression and war, 1929–1945.
Oxford University Press.
Lee, R., & Mason, A.
(2011). Population aging and the generational economy.
Edward Elgar.
Mannheim, K. (1952). The
problem of generations. In P. Kecskemeti (Ed.), Essays on the sociology
of knowledge (pp. 276–322). Routledge & Kegan Paul.
McCrindle, M. (2020). The
future forecast: Preparing for the emerging generations. McCrindle
Research.
McCrindle, M. (2021). The
ABC of XYZ: Understanding the global generations (Rev. ed.).
McCrindle Research.
McCrindle, M., & Fell,
A. (2021). The ABC of XYZ: Understanding the global
generations. McCrindle Research.
Manchester, W. (1974). The
glory and the dream: A narrative history of America, 1932–1972. Little,
Brown and Company.
Nilsen, S., &
Danielsen, A. T. (2017). Cultural generations: The power of age in
contemporary media. Routledge.
Norris, P. (2001). Digital
divide: Civic engagement, information poverty, and the Internet worldwide.
Cambridge University Press.
Norris, P. (2011). Democratic
deficit: Critical citizens revisited. Cambridge University Press.
OECD. (2023). Global
ageing outlook 2023. OECD Publishing.
OECD. (2023). Trends
shaping education 2023. OECD Publishing.
Papacharissi, Z. (2010). A
private sphere: Democracy in a digital age. Polity Press.
Pew Research Center.
(2019). Defining generations: Where Millennials end and Generation Z
begins. Pew Research Reports.
Pew Research Center.
(2020). Social media and political polarization. Pew
Research Reports.
Pew Research Center.
(2022). How technology and values shape Generation Z. Social
Trends Report.
Pew Research Center.
(2023). How Gen Z sees the future of politics. Global
Attitudes Report.
Piketty, T. (2014). Capital
in the twenty-first century. Harvard University Press.
Putnam, R. D. (2000). Bowling
alone: The collapse and revival of American community. Simon &
Schuster.
Riesman, D. (1950). The
lonely crowd. Yale University Press.
Robertson, R. (1992). Globalization:
Social theory and global culture. Sage Publications.
Roszak, T. (1969). The
making of a counter culture. Doubleday.
Schwab, K. (2016). The
fourth industrial revolution. World Economic Forum.
Shirky, C. (2008). Here
comes everybody: The power of organizing without organizations.
Penguin Press.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Stein, G. (1933). The
autobiography of Alice B. Toklas. Harcourt, Brace and Company.
Stillman, D., &
Stillman, J. (2017). Gen Z @ work: How the next generation is
transforming the workplace. Harper Business.
Sunstein, C. (2017). #Republic:
Divided democracy in the age of social media. Princeton University
Press.
Thunberg, G. (2022). The
climate book. Penguin Press.
Toffler, A. (1980). The
third wave. Bantam Books.
Turkle, S. (1984). The
second self: Computers and the human spirit. MIT Press.
Turkle, S. (2011). Alone
together: Why we expect more from technology and less from each other.
Basic Books.
Turkle, S. (2015). Reclaiming
conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.
Twenge, J. M. (2017). iGen:
Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant,
less happy—and completely unprepared for adulthood. Atria Books.
Twenge, J. M. (2023). Generations:
The real differences between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and
Silents—and what they mean for America’s future. Atria Books.
Twenge, J. M., &
Campbell, S. M. (2008). Generational differences in psychological traits and
their impact on the workplace. Journal of Managerial Psychology, 23(8),
862–877. doi.org
UNESCO. (2023). Youth
and intergenerational dialogue report. UNESCO Publishing.
UNESCO. (2023). Global
education monitoring report 2023. UNESCO Publishing.
United Nations. (2023). World
social report 2023: Leaving no one behind in an ageing world. UN
Department of Economic and Social Affairs.
United Nations. (2024). World
population prospects 2024: Summary of results. UN Department of
Economic and Social Affairs.
UNICEF. (2017). Children
in a digital world. UNICEF.
Weiss, E. B. (1989). In
fairness to future generations: International law, common patrimony, and
intergenerational equity. United Nations University Press.
World Bank. (2023). Youth
and demographic dividend report. The World Bank Group.
World Health Organization.
(2022). Digital health and childhood development. WHO.
Woodman, D., & Wyn, J.
(2015). The limits of generational thinking. Journal of Youth
Studies, 18(10), 1420–1436. doi.org
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar