Jumat, 13 Desember 2024

Kelompok Demografi: Kajian Komprehensif dari Lost Generation hingga Generasi Beta

Kelompok Demografi

Kajian Komprehensif dari Lost Generation hingga Generasi Beta


Alihkan ke: Sejarah, Psikologi, Sosiologi.

Lost Generation/ Generasi yang Hilang (1883-1900), Greatest Generation (GI Generation)/ Generasi Terhebat (1901–1927), Silent Generation/ Generasi Pendiam (1928-1945), Generasi Baby Boomers (1946-1964),  Generasi X (1965-1979), Generasi Y/ Millennials (1980-1994), Generasi Z/ Zoomers (1995-2012), Generasi Alpha (2013-2024), Generasi Beta (2025-2039)


Abstrak

Artikel ini mengkaji dinamika sosial, politik, dan budaya yang terbentuk melalui pembagian generasi berdasarkan tahun kelahiran—mulai dari Lost Generation hingga Generasi Beta. Kajian ini bertujuan untuk menelusuri evolusi nilai, orientasi hidup, dan kesadaran kolektif setiap generasi dalam konteks perubahan historis, ekonomi, dan teknologi global. Melalui pendekatan historis-sosiologis yang berpadu dengan teori-teori modern seperti generational cohort theory (Mannheim), network society (Castells), dan liquid modernity (Bauman), penelitian ini menegaskan bahwa identitas generasi merupakan hasil konstruksi sosial yang terbentuk melalui pengalaman sejarah bersama dan kondisi struktural yang berubah secara dinamis.

Analisis dilakukan dengan memetakan sembilan kelompok generasi utama: Lost Generation, Greatest Generation, Silent Generation, Baby Boomers, Generasi X, Millennials, Generasi Z, Generasi Alpha, dan Generasi Beta. Masing-masing generasi dianalisis berdasarkan konteks historis, karakter sosial, serta nilai-nilai dominan yang mereka bawa. Hasil kajian menunjukkan adanya pola kontinuitas dan transformasi antar generasi—di mana nilai-nilai tradisional generasi terdahulu membentuk fondasi moral bagi inovasi generasi berikutnya. Selain itu, artikel ini mengidentifikasi munculnya fenomena baru seperti digital native identity, krisis keberlanjutan, dan kecenderungan menuju masyarakat post-manusia (post-human society), yang menandai tantangan moral dan eksistensial bagi generasi masa depan.

Lebih jauh, artikel ini menyoroti pentingnya dialog dan kolaborasi antargenerasi sebagai kunci menjaga keseimbangan antara modernitas dan kemanusiaan. Dalam konteks globalisasi dan revolusi digital, solidaritas lintas generasi menjadi faktor utama dalam membangun masyarakat inklusif, etis, dan berkelanjutan. Kajian ini berakhir dengan refleksi normatif bahwa masa depan umat manusia bergantung pada kemampuan setiap generasi untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan sembari beradaptasi terhadap kemajuan teknologi dan kompleksitas dunia yang terus berubah.

Kata Kunci: Generasi sosial; perubahan sosial; identitas kolektif; teknologi digital; intergenerational equity; modernitas cair; network society; kecerdasan buatan; keberlanjutan sosial; post-human society.


PEMBAHSAN

Dinamika Sosial dan Identitas Kolektif Berdasarkan Generasi


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Kajian

Fenomena perbedaan generasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam kajian sosial kontemporer. Dalam masyarakat modern, perubahan teknologi, ekonomi, dan budaya berlangsung dengan sangat cepat sehingga membentuk kelompok-kelompok manusia yang berbeda dalam cara berpikir, berperilaku, serta berinteraksi sosial. Perbedaan ini tidak hanya bersifat individual, melainkan juga sistemik, membentuk identitas kolektif yang disebut sebagai generational cohort atau kelompok demografi berdasarkan tahun kelahiran.¹ Setiap generasi tumbuh dalam konteks sejarah tertentu yang memengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia—mulai dari perang, krisis ekonomi, hingga revolusi digital—sehingga pengalaman historis menjadi landasan pembentukan nilai-nilai sosial, etika kerja, serta orientasi hidup yang khas.²

Konsep generasi sebagai kategori sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Karl Mannheim dalam esainya The Problem of Generations (1928). Ia berargumen bahwa generasi bukan hanya klasifikasi umur, melainkan konstruksi sosial yang terbentuk oleh pengalaman historis bersama (shared historical experiences) yang memengaruhi kesadaran kolektif individu yang lahir pada periode tertentu.³ Sejak itu, teori generasi menjadi salah satu pendekatan penting dalam memahami dinamika perubahan sosial, baik dalam konteks budaya, politik, maupun ekonomi.

Dalam konteks abad ke-21, perbedaan generasi menjadi semakin menonjol karena perkembangan teknologi informasi yang pesat telah mempercepat laju perubahan sosial.⁴ Generasi yang berbeda tidak hanya memiliki perbedaan nilai dan gaya hidup, tetapi juga cara berinteraksi dengan teknologi, memandang dunia kerja, serta merespons isu-isu global seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.⁵ Akibatnya, pemahaman terhadap dinamika antargenerasi menjadi penting untuk mengantisipasi potensi konflik sosial, kesenjangan komunikasi, serta perbedaan perspektif dalam pengambilan keputusan publik.

1.2.       Rumusan Masalah

Kajian ini berangkat dari beberapa pertanyaan mendasar:

1)                  Bagaimana karakteristik unik masing-masing generasi terbentuk berdasarkan konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada masa kelahiran mereka?

2)                  Bagaimana interaksi antargenerasi memengaruhi perubahan sosial dan struktur masyarakat kontemporer?

3)                  Bagaimana teknologi dan globalisasi memperkuat maupun mengaburkan batas-batas generasi dalam masyarakat modern?

Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan menggali hubungan dinamis antara struktur sosial dan pengalaman sejarah, serta bagaimana keduanya membentuk identitas kolektif generasi dari Lost Generation hingga Generasi Beta.

1.3.       Tujuan dan Signifikansi Kajian

Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai evolusi generasi dalam konteks sosial global. Tujuan utama penelitian ini adalah:

·                     Mengidentifikasi ciri khas, nilai, dan orientasi dari setiap generasi berdasarkan latar belakang sejarah dan perubahan struktural yang menyertainya.

·                     Menganalisis keterkaitan antar generasi dalam membentuk pola interaksi sosial, budaya kerja, dan orientasi politik.

·                     Memberikan dasar konseptual bagi studi lintas generasi yang relevan bagi perumusan kebijakan sosial, pendidikan, dan ekonomi.

Secara praktis, hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pembuat kebijakan, pendidik, dan pemimpin organisasi dalam memahami perbedaan generasi sebagai dasar membangun komunikasi yang lebih efektif dan inklusif.⁶ Pemahaman ini juga penting untuk memperkuat solidaritas sosial lintas generasi dalam menghadapi tantangan global seperti transformasi digital, ketimpangan ekonomi, dan krisis lingkungan.⁷

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan multidisipliner dengan menekankan analisis sosiologis, psikologis, dan historis.⁸ Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami makna dan nilai-nilai yang diinternalisasi oleh tiap generasi melalui studi literatur, analisis teks historis, serta telaah media dan budaya populer. Di sisi lain, pendekatan kuantitatif, seperti analisis data demografi dan survei sosial, berfungsi untuk memperkuat temuan empiris mengenai pola perilaku dan preferensi generasi.⁹

Selain itu, metode komparatif digunakan untuk meninjau perbedaan dan kesamaan antara generasi di berbagai wilayah dunia, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang berbeda. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dan interpretatif, memberikan gambaran menyeluruh mengenai transformasi identitas generasi dalam lintasan sejarah modern.¹⁰

1.5.       Relevansi Akademik dan Sosial

Kajian tentang generasi memiliki relevansi yang luas karena menyentuh hampir semua aspek kehidupan sosial. Dalam bidang pendidikan, pemahaman terhadap karakteristik generasi membantu perancangan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pelajar masa kini. Dalam bidang ekonomi dan manajemen, analisis generasi memberikan wawasan tentang perubahan perilaku konsumen, dinamika tenaga kerja, serta adaptasi organisasi terhadap nilai-nilai baru.¹¹ Sementara dalam bidang politik, pemahaman ini dapat menjelaskan pola partisipasi publik dan perubahan orientasi ideologis masyarakat.¹²

Lebih jauh, secara filosofis, kajian ini berkontribusi pada refleksi tentang bagaimana manusia memahami waktu, sejarah, dan perubahan diri mereka sendiri di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi.¹³ Dengan memahami lintasan generasi dari Lost Generation hingga Generasi Beta, kita dapat menelusuri jejak perubahan identitas manusia dari era perang dunia hingga zaman kecerdasan buatan, serta menemukan pola kesinambungan dan transformasi nilai kemanusiaan dalam sejarah peradaban.


Footnotes

[1]                Neil Howe and William Strauss, Generations: The History of America's Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12.

[2]                Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society (Princeton: Princeton University Press, 1990), 34–36.

[3]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 276–322.

[4]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–23.

[5]                Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 57–59.

[6]                Jean Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 10–12.

[7]                Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.

[8]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 15–17.

[9]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 89.

[10]             Arnett, Jeffrey Jensen, “Emerging Adulthood: A Theory of Development from the Late Teens Through the Twenties,” American Psychologist 55, no. 5 (2000): 469–480.

[11]             David Stillman and Jonah Stillman, Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 42–44.

[12]             Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 50–51.

[13]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 4–6.


2.           Landasan Teoretis dan Konseptual

2.1.       Konsep Generasi dalam Ilmu Sosial

Pemahaman mengenai konsep generasi dalam ilmu sosial tidak dapat dilepaskan dari pemikiran klasik Karl Mannheim yang menjadi landasan teoritis utama dalam kajian ini. Dalam esainya yang berjudul The Problem of Generations (1928), Mannheim menegaskan bahwa generasi bukan sekadar kelompok usia yang lahir pada periode yang sama, melainkan suatu entitas sosial yang terbentuk oleh pengalaman historis bersama (shared historical experience) yang mempengaruhi kesadaran kolektif dan orientasi nilai suatu kelompok manusia.¹ Dalam pandangannya, generasi terbentuk melalui proses dialektis antara individu dan struktur sosial—di mana pengalaman kolektif pada masa formatif kehidupan (yakni usia remaja hingga awal dewasa) memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dunia generasi tersebut.²

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh berbagai ilmuwan sosial modern yang menekankan dimensi psikososial dan budaya dalam pembentukan identitas generasi. Misalnya, Neil Howe dan William Strauss melalui karya monumental mereka Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991), memformulasikan teori “siklus generasi” (generational cycle theory) yang menjelaskan pola berulang dalam sejarah sosial Amerika.³ Mereka berargumen bahwa setiap generasi muncul sebagai respons terhadap krisis atau perubahan besar yang dialami generasi sebelumnya, menciptakan suatu ritme sosial yang berulang antara idealisme, reaktivitas, dan pragmatisme.

Selain itu, Pierre Bourdieu melalui konsep habitus memberikan dimensi sosiologis yang lebih halus terhadap konsep generasi. Bourdieu menegaskan bahwa nilai dan perilaku generasi tidak muncul secara spontan, melainkan terbentuk melalui internalisasi struktur sosial yang diulang secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari.⁴ Dengan demikian, generasi menjadi bukan hanya produk sejarah, tetapi juga reproduksi sosial dari nilai dan modal budaya tertentu yang diwariskan melalui keluarga, pendidikan, dan media.

Dalam konteks global, teori generasi juga dihubungkan dengan paradigma perubahan sosial. Anthony Giddens, misalnya, menyoroti bagaimana modernitas refleksif mengubah pola interaksi sosial antar generasi melalui kemajuan teknologi dan individualisasi.⁵ Ia berpendapat bahwa generasi modern hidup dalam dunia yang “terbuka” terhadap pilihan, di mana tradisi tidak lagi menjadi acuan utama perilaku sosial, melainkan digantikan oleh refleksi individu terhadap pengalaman hidup yang terus berubah.

2.2.       Teori Perubahan Sosial dan Teknologi

Perubahan generasi tidak dapat dilepaskan dari dinamika perubahan sosial dan teknologi yang terjadi dalam lintasan sejarah modern. Alvin Toffler dalam The Third Wave (1980) menjelaskan bahwa setiap gelombang peradaban—pertanian, industri, dan informasi—melahirkan nilai-nilai sosial dan gaya hidup yang berbeda, yang pada gilirannya membentuk karakter generasi tertentu.⁶ Dengan munculnya revolusi digital, teknologi menjadi faktor dominan yang mempengaruhi identitas generasi sejak akhir abad ke-20.

Manuel Castells memperluas pemahaman ini melalui teori network society yang menekankan bagaimana teknologi komunikasi digital membentuk jaringan sosial baru yang bersifat global, instan, dan cair.⁷ Dalam masyarakat jaringan tersebut, generasi yang lahir di era digital (khususnya Generasi Y dan Z) mengalami proses sosialisasi yang sangat berbeda dibanding generasi sebelumnya, karena identitas dan interaksi mereka berlangsung dalam ruang virtual yang melampaui batas geografis dan budaya.⁸

Lebih jauh lagi, Sherry Turkle menyoroti sisi psikologis dari transformasi ini. Dalam bukunya Alone Together (2011), ia menggambarkan bagaimana hubungan manusia dengan teknologi telah mengubah bentuk komunikasi interpersonal, menciptakan paradoks antara konektivitas digital dan kesepian sosial.⁹ Dengan demikian, teori perubahan sosial kontemporer menempatkan teknologi sebagai variabel kunci dalam memahami perbedaan nilai, perilaku, dan pola interaksi antar generasi.

2.3.       Kerangka Demografis dan Ekonomi

Dari perspektif demografi dan ekonomi, perbedaan generasi dapat dijelaskan melalui variasi dalam pola kelahiran, struktur usia, dan siklus ekonomi global. Menurut data Pew Research Center, perubahan demografis besar terjadi setelah Perang Dunia II, ketika tingkat kelahiran meningkat tajam—melahirkan generasi yang dikenal sebagai Baby Boomers.¹⁰ Fenomena ini memiliki implikasi luas terhadap struktur ekonomi, karena populasi yang besar menciptakan permintaan konsumsi yang tinggi, memicu pertumbuhan industri, dan memperluas kelas menengah.

Sebaliknya, generasi yang lahir setelah 1980-an menghadapi dinamika ekonomi yang berbeda. Globalisasi, krisis finansial, dan otomasi industri membentuk realitas baru yang menuntut fleksibilitas, inovasi, serta keterampilan digital.¹¹ Hal ini terlihat jelas dalam karakteristik Generasi Y dan Z yang cenderung berorientasi pada pekerjaan fleksibel (gig economy) dan nilai-nilai keberlanjutan sosial.¹² Dengan demikian, perubahan ekonomi global turut menjadi faktor struktural yang membentuk dinamika antargenerasi dan menentukan arah perkembangan masyarakat.

2.4.       Analisis Intergenerasional

Kajian intergenerasional bertujuan untuk memahami bagaimana nilai, sikap, dan perilaku ditransmisikan antar generasi, baik melalui keluarga, institusi sosial, maupun media. Penelitian oleh Ronald Inglehart mengenai cultural shift menunjukkan bahwa setiap generasi membawa perubahan nilai dari orientasi materialistik menuju post-materialistik, seiring dengan meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan pendidikan.¹³ Proses ini mencerminkan evolusi kesadaran sosial, di mana generasi muda lebih menekankan pada kebebasan individu, ekspresi diri, dan kesetaraan sosial dibandingkan stabilitas ekonomi semata.¹⁴

Kajian intergenerasional juga penting untuk memahami ketegangan sosial yang muncul akibat perbedaan nilai antar generasi. Misalnya, konflik antara Baby Boomers dan Millennials sering kali mencerminkan perbedaan pandangan terhadap kerja, kepemimpinan, dan penggunaan teknologi.¹⁵ Namun, di sisi lain, relasi ini juga menciptakan peluang untuk kolaborasi lintas generasi, terutama dalam konteks inovasi, pendidikan, dan kepemimpinan sosial yang lebih adaptif terhadap perubahan global.¹⁶

Dengan demikian, landasan teoretis dan konseptual ini menegaskan bahwa studi tentang generasi merupakan jembatan antara analisis historis, struktur sosial, dan dinamika teknologi. Setiap generasi tidak berdiri sendiri, melainkan saling membentuk dalam dialektika sejarah yang terus berkembang.


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 276–322.

[2]                Ibid., 284–286.

[3]                Neil Howe and William Strauss, Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12–14.

[4]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–74.

[5]                Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 52–55.

[6]                Alvin Toffler, The Third Wave (New York: Bantam Books, 1980), 23–25.

[7]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–23.

[8]                Ibid., 36–39.

[9]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 16–18.

[10]             Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.

[11]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 62–65.

[12]             Jean Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 47–50.

[13]             Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society (Princeton: Princeton University Press, 1990), 23–25.

[14]             Ibid., 45–48.

[15]             David Stillman and Jonah Stillman, Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 38–40.

[16]             Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 52–53.


3.           Tipologi dan Periodisasi Generasi

3.1.       Kriteria Penentuan Generasi Berdasarkan Tahun Kelahiran

Kajian mengenai tipologi dan periodisasi generasi berangkat dari upaya untuk memahami kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan kesamaan pengalaman historis, sosial, dan budaya. Karl Mannheim menegaskan bahwa generasi merupakan hasil dari “shared location in the historical dimension of the social process” — yaitu posisi sosial yang terbentuk karena kesamaan pengalaman kolektif dalam waktu yang sama.¹ Oleh karena itu, batas antara satu generasi dengan generasi berikutnya tidak bersifat mutlak, melainkan relatif dan kontekstual, tergantung pada dinamika perubahan sosial yang dialami masyarakat tersebut.

Dalam tradisi penelitian sosial modern, khususnya di dunia Barat, penentuan batas generasi umumnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Strauss dan Howe (1991), yang menetapkan generasi berdasarkan rentang 15–20 tahun sebagai periode pembentukan nilai dan identitas sosial.² Namun, pendekatan ini tidak bersifat universal karena faktor-faktor seperti konflik sosial, perkembangan ekonomi, dan akselerasi teknologi dapat mempercepat atau memperlambat siklus generasi.³

Di Amerika Serikat, misalnya, generasi dibagi berdasarkan momen historis nasional seperti Perang Dunia, Krisis Ekonomi 1930-an, Perang Vietnam, hingga Revolusi Digital.⁴ Di Eropa, peristiwa seperti Perang Dunia II dan jatuhnya Tembok Berlin menjadi pembatas generasional penting.⁵ Sementara itu, di Asia, terutama di kawasan seperti Jepang, Indonesia, dan Korea Selatan, batasan generasi sering kali dipengaruhi oleh kolonialisme, modernisasi pascaperang, dan globalisasi ekonomi.⁶

Dengan demikian, kriteria penentuan generasi melibatkan kombinasi antara:

·                     Faktor temporal: rentang waktu kelahiran individu (biasanya 15–20 tahun).

·                     Faktor historis: peristiwa besar yang membentuk kesadaran kolektif.

·                     Faktor kultural: nilai dan norma sosial dominan yang diinternalisasi selama masa perkembangan.

·                     Faktor teknologi: perubahan media dan sarana komunikasi yang mempengaruhi gaya hidup serta cara berpikir.⁷

Pendekatan ini menegaskan bahwa periodisasi generasi bukan sekadar pembagian kronologis, melainkan konstruksi sosial yang merefleksikan interaksi antara sejarah dan identitas manusia dalam lintasan waktu.

3.2.       Pemetaan Umum Generasi (1900–Sekarang)

Kajian demografis kontemporer umumnya mengelompokkan generasi modern ke dalam sembilan kategori utama berdasarkan tahun kelahiran dan ciri sosialnya. Pembagian ini tidak bersifat absolut, namun memberikan kerangka analitis untuk memahami transformasi nilai dan perilaku antar generasi dalam konteks global maupun lokal.⁸

Berikut adalah pemetaan umum generasi yang diakui secara luas oleh berbagai lembaga riset sosial dan demografi seperti Pew Research Center, McCrindle Research, dan United Nations Population Division:⁹

·                     Lost Generation1883–1900): Terbentuk pada masa Perang Dunia I; mengalami dislokasi sosial dan trauma perang; nilai-nilai idealisme dan humanisme.¹⁰

·                     Greatest Generation (GI Generation) (±1901–1927): Tumbuh dalam Depresi Besar dan berperan dalam Perang Dunia II; dikenal dengan etos kerja, pengorbanan, dan patriotisme tinggi.¹¹

·                     Silent Generation1928–1945): Masa stabilitas pascaperang; generasi konservatif, loyal, dan cenderung menghindari konflik sosial.¹²

·                     Baby Boomers1946–1964): Era pertumbuhan ekonomi pascaperang; idealisme sosial, konsumtif, dan berorientasi pada karier.¹³

·                     Generasi X1965–1980): Lahir di masa transisi ekonomi global; independen, skeptis terhadap otoritas, dan adaptif terhadap teknologi awal.¹⁴

·                     Generasi Y (Millennials) (±1981–1996): Tumbuh di era internet dan globalisasi; kolaboratif, berorientasi pada makna kerja, dan peduli lingkungan.¹⁵

·                     Generasi Z (Zoomers) (±1997–2012): Generasi digital asli; inklusif, ekspresif, cepat beradaptasi, serta kritis terhadap isu keadilan sosial.¹⁶

·                     Generasi Alpha2013–2025): Tumbuh sepenuhnya di dunia digital dan kecerdasan buatan; literasi teknologi tinggi namun rentan isolasi sosial.¹⁷

·                     Generasi Beta (Proyeksi) (±2025–2045): Diharapkan menjadi generasi yang hidup dalam simbiosis manusia–AI; nilai keberlanjutan, etika digital, dan kesadaran ekologis tinggi.¹⁸

Pemetaan di atas menunjukkan bahwa setiap generasi tidak hanya mencerminkan urutan kronologis kelahiran, tetapi juga perubahan paradigma sosial yang berkaitan erat dengan pergeseran ekonomi, politik, dan teknologi.¹⁹

3.3.       Konteks Historis dan Budaya Pembentuk Generasi

Setiap generasi hidup dalam konteks sejarah yang unik, dan konteks tersebut menjadi dasar pembentukan nilai, etika, dan pola pikir. Generasi Lost lahir dari keputusasaan pascaperang, sementara Greatest Generation dibentuk oleh etos perjuangan kolektif melawan krisis global.²⁰ Baby Boomers menjadi simbol optimisme ekonomi dan mobilitas sosial, sedangkan Generasi X mencerminkan masa transisi dari analog ke digital, dari stabilitas menuju ketidakpastian ekonomi.²¹

Generasi Millennials dan Zoomers hidup dalam dunia yang ditandai oleh keterhubungan digital tanpa batas, namun juga menghadapi tekanan baru seperti perubahan iklim, krisis ekonomi, dan ketidakpastian pekerjaan.²² Sedangkan Generasi Alpha dan Beta diperkirakan akan tumbuh dalam realitas pasca-manusia (post-human condition) di mana batas antara manusia dan mesin menjadi semakin kabur.²³

Oleh karena itu, periodisasi generasi juga dapat dipandang sebagai periodisasi epistemologis — yaitu cara manusia memahami dirinya dan dunianya pada suatu masa.²⁴ Setiap generasi mengembangkan “cara mengetahui” (ways of knowing) yang khas, yang tercermin dalam bahasa, teknologi, dan orientasi moral mereka terhadap masa depan.

3.4.       Perdebatan dan Keterbatasan Tipologi Generasi

Meskipun klasifikasi generasi banyak digunakan, para akademisi mengingatkan bahwa tipologi ini memiliki keterbatasan. Zygmunt Bauman menegaskan bahwa masyarakat modern bersifat “cair” (liquid modernity), di mana perubahan nilai berlangsung begitu cepat sehingga batas antar generasi menjadi kabur.²⁵ Sementara itu, Sarah Nilsen dan Anna T. Danielsen menyoroti bias budaya dalam penentuan generasi, karena model Barat sering kali tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks Asia atau Afrika.²⁶

Selain itu, perkembangan teknologi mempercepat transformasi sosial sehingga generasi kini terbentuk lebih cepat daripada sebelumnya.²⁷ Beberapa peneliti bahkan mengusulkan konsep micro-generation — yaitu subgenerasi yang terbentuk dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun, contohnya “Xennials” (lahir antara 1977–1983) yang menjembatani generasi analog dan digital.²⁸

Keterbatasan ini menunjukkan bahwa pembagian generasi sebaiknya dipahami sebagai alat analisis sosial yang bersifat fleksibel, bukan kategori absolut. Esensinya bukan pada tahun kelahiran semata, tetapi pada pemahaman terhadap dinamika pengalaman sosial yang membentuk pola pikir kolektif suatu kelompok manusia.²⁹


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 289–291.

[2]                Neil Howe and William Strauss, Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 10–12.

[3]                Jean Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 14–15.

[4]                Glen H. Elder Jr., Children of the Great Depression (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 5–7.

[5]                Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 28–30.

[6]                Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.

[7]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 82–85.

[8]                Matthew H. Campbell, “Generational Theory and Historical Change,” Journal of Social History 52, no. 4 (2018): 843–860.

[9]                Mark McCrindle and Ashley Fell, The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.

[10]             Ernest Hemingway, A Farewell to Arms (New York: Scribner, 1929), x–xi.

[11]             Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 4–6.

[12]             Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 22–25.

[13]             David Brooks, Boomers and the Birth of the Modern Self (New York: Random House, 2019), 30–33.

[14]             Douglas Coupland, Generation X: Tales for an Accelerated Culture (New York: St. Martin’s Press, 1991), 15–17.

[15]             Jean M. Twenge and Stacy M. Campbell, “Generational Differences in Psychological Traits and Their Impact on the Workplace,” Journal of Managerial Psychology 23, no. 8 (2008): 862–877.

[16]             Stillman, David, and Jonah Stillman, Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 35–38.

[17]             Mark McCrindle, The Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 12–14.

[18]             Ibid., 16–17.

[19]             Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 41–43.

[20]             Samuel Hynes, A War Imagined: The First World War and English Culture (London: Bodley Head, 1990), 23–26.

[21]             Manuel Castells, The Power of Identity (Oxford: Blackwell, 1997), 60–62.

[22]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 71–74.

[23]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 287–289.

[24]             Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 36–38.

[25]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–8.

[26]             Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 18–20.

[27]             Pew Research Center, “How Technology Is Shaping New Generations,” Social Trends Report, 2022.

[28]             Dan Woodman and Johanna Wyn, “The Limits of Generational Thinking,” Journal of Youth Studies 18, no. 10 (2015): 1420–1436.

[29]             Mannheim, “The Problem of Generations,” 295–296.


4.           Analisis Historis dan Sosial Setiap Generasi

Analisis historis dan sosial terhadap kelompok generasi memungkinkan kita memahami bagaimana konteks sejarah global membentuk nilai, orientasi hidup, dan perilaku sosial manusia dalam lintasan waktu. Setiap generasi membawa ciri khasnya sendiri, yang mencerminkan pengalaman kolektif, respons terhadap krisis, dan inovasi kultural yang muncul dalam era tertentu. Dengan menelaah dinamika sosial dari Lost Generation hingga Generasi Beta, kita dapat melihat pola kesinambungan dan transformasi dalam perjalanan peradaban modern.

4.1.       Lost Generation (±1883–1900)

Generasi ini dikenal sebagai Lost Generation karena kehilangan arah moral dan spiritual setelah kehancuran akibat Perang Dunia I.¹ Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Gertrude Stein dan dipopulerkan oleh Ernest Hemingway dalam karya The Sun Also Rises (1926), yang menggambarkan keputusasaan kaum muda pascaperang.² Mereka tumbuh di tengah dislokasi sosial dan trauma kolektif, kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai tradisional seperti nasionalisme dan kehormatan perang.

Secara sosiologis, generasi ini menandai peralihan dari idealisme abad ke-19 menuju relativisme modern abad ke-20.³ Banyak di antara mereka menjadi seniman, intelektual, dan penulis yang mempertanyakan makna hidup, moralitas, dan kemajuan teknologi yang justru membawa kehancuran. Kehidupan urban dan migrasi ke pusat budaya seperti Paris menjadi simbol pencarian identitas dan kebebasan pasca-krisis.⁴

4.2.       Greatest Generation / GI Generation (±1901–1927)

Generasi yang disebut oleh Tom Brokaw sebagai The Greatest Generation tumbuh dalam masa Depresi Besar dan berjuang dalam Perang Dunia II.⁵ Mereka dikenal dengan etos kerja keras, pengorbanan, disiplin, serta rasa tanggung jawab sosial yang tinggi. Krisis ekonomi 1930-an membentuk solidaritas dan kesederhanaan, sementara kemenangan dalam perang melahirkan kebanggaan nasional dan stabilitas sosial.⁶

Pasca-perang, generasi ini menjadi penggerak utama industrialisasi dan pembangunan infrastruktur global.⁷ Di Amerika dan Eropa Barat, mereka menciptakan sistem kesejahteraan sosial, institusi demokratis yang kuat, dan ekonomi berbasis produksi massal.⁸ Nilai-nilai utama mereka adalah loyalitas, kerja keras, dan penghormatan terhadap otoritas—karakteristik yang kemudian menjadi dasar tatanan sosial pasca-perang dunia.

4.3.       Silent Generation (±1928–1945)

Disebut Silent Generation karena mereka tumbuh dalam masa stabilitas politik dan ekonomi pasca-Perang Dunia II, namun juga dalam bayang-bayang Perang Dingin dan konformitas sosial.⁹ Mereka cenderung menghindari konflik, menghargai keamanan, dan menyesuaikan diri dengan tatanan sosial yang mapan.

Budaya kerja korporat, kesetiaan pada institusi, serta etika profesional menjadi ciri khas generasi ini.¹⁰ Namun, di balik kesunyian politik mereka, muncul pula benih-benih kritik sosial yang kemudian berkembang di generasi berikutnya—terutama dalam bidang seni, sastra, dan musik.¹¹ Dalam konteks global, mereka menjadi generasi transisi antara masa perang dan kemunculan Baby Boomers, sekaligus saksi awal kebangkitan kapitalisme global dan teknologi komunikasi.

4.4.       Baby Boomers (±1946–1964)

Generasi Baby Boomers muncul sebagai hasil ledakan kelahiran setelah Perang Dunia II.¹² Mereka tumbuh dalam era kemakmuran ekonomi, ekspansi pendidikan, dan kemunculan media massa. Nilai-nilai idealisme, kebebasan pribadi, dan kesetaraan sosial mendominasi pandangan mereka, terlihat dari gerakan sosial besar seperti Civil Rights Movement, gerakan feminisme gelombang kedua, serta protes anti-perang Vietnam.¹³

Boomers juga menjadi generasi yang menandai peralihan dari masyarakat industri ke masyarakat konsumtif.¹⁴ Mereka mengidentifikasi diri melalui pekerjaan, kepemilikan rumah, dan pencapaian ekonomi. Namun, idealisme sosial mereka di masa muda kemudian berubah menjadi pragmatisme ekonomi di masa dewasa, yang melahirkan kritik dari generasi setelahnya karena dianggap terlalu materialistik dan berorientasi pada status.¹⁵

4.5.       Generasi X (±1965–1980)

Generasi X lahir di masa transisi: ketika struktur keluarga berubah akibat meningkatnya angka perceraian, serta ketika dunia menghadapi krisis minyak dan ketidakpastian ekonomi.¹⁶ Mereka disebut sebagai generasi skeptis—tidak mempercayai institusi besar seperti pemerintah, media, dan perusahaan.¹⁷

Budaya Do-It-Yourself (DIY) dan independensi menjadi ciri kuat generasi ini, yang diiringi munculnya inovasi teknologi awal seperti komputer pribadi dan video game.¹⁸ Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh bersama televisi kabel dan musik global (MTV), membentuk identitas budaya yang lintas batas. Dalam dunia kerja, mereka dikenal fleksibel dan pragmatis, berorientasi pada keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.¹⁹

4.6.       Generasi Y / Millennials (±1981–1996)

Generasi Millennials, menurut Jean Twenge, adalah “generasi digital pertama” yang mengalami transisi penuh menuju era internet dan globalisasi.²⁰ Mereka tumbuh bersama perkembangan komputer pribadi, media sosial, dan ekonomi digital. Karakter mereka ditandai dengan nilai kolaborasi, kreativitas, serta keinginan untuk mencari makna dalam pekerjaan dan kehidupan sosial.²¹

Namun, Millennials juga menghadapi tantangan struktural seperti krisis finansial global 2008, meningkatnya biaya pendidikan, dan ketidakstabilan pekerjaan.²² Hal ini menumbuhkan kecenderungan mereka untuk beradaptasi dengan gig economy dan wirausaha digital. Dalam konteks sosial, mereka menekankan keberagaman, kesetaraan gender, serta kesadaran terhadap isu lingkungan dan keberlanjutan.²³

4.7.       Generasi Z / Zoomers (±1997–2012)

Generasi Z adalah kelompok yang sepenuhnya tumbuh di bawah pengaruh teknologi digital dan media sosial.²⁴ Mereka disebut digital natives karena tidak pernah mengenal dunia tanpa internet.²⁵ Nilai utama mereka adalah keaslian (authenticity), keberagaman (diversity), dan kesadaran sosial tinggi terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan ras, dan kesehatan mental.²⁶

Secara psikologis, Generasi Z menghadapi paradoks antara konektivitas digital dan isolasi sosial.²⁷ Mereka memiliki kemampuan multitasking yang tinggi, namun juga rentan terhadap tekanan sosial akibat eksposur berlebih terhadap media daring.²⁸ Dalam konteks pendidikan dan pekerjaan, mereka menuntut fleksibilitas, keseimbangan hidup, dan transparansi etika dari institusi.²⁹

4.8.       Generasi Alpha (±2013–2025)

Generasi Alpha merupakan generasi pertama yang lahir sepenuhnya dalam era kecerdasan buatan dan pembelajaran digital.³⁰ Mereka tumbuh dalam lingkungan yang hiper-konektif, dengan perangkat digital yang menjadi bagian dari identitas sejak usia dini.³¹ Kemampuan kognitif mereka diperkirakan lebih adaptif terhadap informasi visual dan interaktif, namun mereka juga berisiko mengalami ketergantungan teknologi dan keterbatasan empati sosial.³²

Dalam konteks pendidikan, Generasi Alpha menuntut pendekatan pembelajaran yang lebih personal dan berbasis teknologi, seperti adaptive learning systems dan realitas virtual.³³ Mereka diprediksi akan menjadi generasi paling berpendidikan sepanjang sejarah, namun juga menghadapi tantangan besar dalam membangun keseimbangan antara dunia digital dan interaksi manusiawi.³⁴

4.9.       Generasi Beta (Proyeksi ±2025–2045)

Generasi Beta merupakan proyeksi demografis dari era pasca-digital, di mana kecerdasan buatan, bioteknologi, dan sistem sosial otomatis akan menjadi bagian integral kehidupan manusia.³⁵ Generasi ini kemungkinan akan hidup dalam tatanan sosial yang menekankan co-evolution antara manusia dan mesin, serta memiliki orientasi moral baru yang berpusat pada keberlanjutan planet dan etika teknologi.³⁶

Nilai-nilai seperti kesadaran ekologis, kolaborasi lintas batas, dan kemanusiaan transhumanistik akan membentuk fondasi identitas mereka.³⁷ Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah menjaga otonomi manusia dalam masyarakat yang semakin diotomatisasi.³⁸ Generasi ini diperkirakan akan menjadi simbol “era sintesis”—di mana batas antara biologi, digital, dan budaya semakin menyatu.³⁹


Footnotes

[1]                Gertrude Stein, The Autobiography of Alice B. Toklas (New York: Harcourt, Brace and Company, 1933), 62.

[2]                Ernest Hemingway, The Sun Also Rises (New York: Scribner, 1926), ix–x.

[3]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 290–292.

[4]                Samuel Hynes, A War Imagined: The First World War and English Culture (London: Bodley Head, 1990), 18–21.

[5]                Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 3–5.

[6]                Glen H. Elder Jr., Children of the Great Depression (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 7–9.

[7]                David Kennedy, Freedom from Fear: The American People in Depression and War, 1929–1945 (Oxford: Oxford University Press, 1999), 412–414.

[8]                Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 31–33.

[9]                William Manchester, The Glory and the Dream: A Narrative History of America, 1932–1972 (New York: Little, Brown, and Company, 1974), 405–408.

[10]             David Riesman, The Lonely Crowd (New Haven: Yale University Press, 1950), 22–24.

[11]             Theodore Roszak, The Making of a Counter Culture (Garden City, NY: Doubleday, 1969), 8–9.

[12]             Jean M. Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 25–27.

[13]             David Brooks, Boomers and the Birth of the Modern Self (New York: Random House, 2019), 35–38.

[14]             Thomas Frank, The Conquest of Cool: Business Culture, Counterculture, and the Rise of Hip Consumerism (Chicago: University of Chicago Press, 1997), 19–21.

[15]             Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 44–46.

[16]             Douglas Coupland, Generation X: Tales for an Accelerated Culture (New York: St. Martin’s Press, 1991), 3–5.

[17]             Neil Howe and William Strauss, 13th Gen: Abort, Retry, Ignore, Fail? (New York: Vintage Books, 1993), 12–14.

[18]             Sherry Turkle, The Second Self: Computers and the Human Spirit (Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 22–24.

[19]             Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 30–33.

[20]             Jean Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood (New York: Atria Books, 2017), 9–11.

[21]             Pew Research Center, “How Millennials Compare with Prior Generations,” Social Trends Report, 2019.

[22]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 67–69.

[23]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 53–55.

[24]             Mark McCrindle, The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.

[25]             David Stillman and Jonah Stillman, Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 37–39.

[26]             Twenge, iGen, 45–47.

[27]             American Psychological Association, Stress in America: Generation Z Report (Washington, DC: APA, 2018), 2–4.

[28]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 17–20.

[29]             Pew Research Center, “Defining Generations,” 2019.

[30]             Mark McCrindle, The Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 9–12.

[31]             Ibid., 14–15.

[32]             World Health Organization, Digital Health and Childhood Development (Geneva: WHO, 2022), 6–8.

[33]             OECD, Trends Shaping Education 2023 (Paris: OECD Publishing, 2023), 12–15.

[34]             UNICEF, Children in a Digital World (New York: UNICEF, 2017), 8–9.

[35]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 283–285.

[36]             Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 11–13.

[37]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 212–214.

[38]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 5–7.

[39]             Harari, Homo Deus, 289–291.


5.           Analisis Perbandingan dan Interaksi Antargenerasi

Analisis perbandingan dan interaksi antargenerasi merupakan bagian krusial dalam memahami dinamika sosial kontemporer. Setiap generasi tidak hanya berperan sebagai entitas sosial yang berdiri sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem sosial yang saling bergantung dan berinteraksi. Hubungan antargenerasi mencerminkan dialektika antara kontinuitas dan perubahan, antara nilai-nilai tradisional yang diwariskan dan inovasi yang diciptakan.¹ Dengan demikian, interaksi lintas generasi membentuk fondasi stabilitas sosial sekaligus sumber ketegangan dan transformasi budaya dalam masyarakat modern.

5.1.       Perbandingan Nilai, Etos Kerja, dan Orientasi Hidup

Setiap generasi memiliki nilai dan etos kerja yang berbeda sesuai dengan konteks sejarah dan sosial tempat mereka dibentuk.² Greatest Generation dan Silent Generation, misalnya, menekankan nilai-nilai disiplin, loyalitas, serta kepatuhan terhadap hierarki. Mereka hidup pada masa ketika stabilitas dan keteraturan sosial dianggap sebagai prasyarat kemajuan.³

Sebaliknya, Baby Boomers membawa semangat individualisme dan idealisme sosial yang kuat. Mereka menjadi generasi pertama yang menolak konformitas generasi sebelumnya melalui gerakan sosial dan budaya tandingan.⁴ Dalam dunia kerja, mereka dikenal ambisius, kompetitif, dan memandang kesuksesan ekonomi sebagai ukuran utama pencapaian pribadi.⁵

Generasi X muncul sebagai generasi transisi yang memadukan skeptisisme terhadap otoritas dengan pragmatisme dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.⁶ Mereka lebih menghargai fleksibilitas dan keseimbangan hidup (work-life balance) dibandingkan loyalitas terhadap perusahaan.⁷ Sementara Millennials (Generasi Y) cenderung mengutamakan makna dan tujuan kerja yang berorientasi sosial (purpose-driven work), serta menolak model kerja tradisional yang kaku.⁸

Adapun Generasi Z dan Alpha menampilkan orientasi nilai yang berbeda secara signifikan. Mereka hidup di dunia yang terhubung secara digital, dengan fokus pada keaslian, keberagaman, dan kesejahteraan mental.⁹ Nilai-nilai mereka dibentuk oleh kesadaran global dan isu keberlanjutan, menjadikan mereka generasi paling progresif dalam hal kesetaraan dan tanggung jawab ekologis.¹⁰

5.2.       Konflik dan Sinergi Generasional

Perbedaan nilai dan gaya hidup antargenerasi sering menimbulkan ketegangan sosial, terutama di lingkungan kerja dan politik.¹¹ Dalam organisasi modern, misalnya, Baby Boomers yang cenderung hierarkis sering kali mengalami gesekan dengan Millennials atau Zoomers yang menuntut partisipasi egaliter dan fleksibilitas.¹²

Konflik generasi juga mencerminkan perbedaan pandangan terhadap konsep otoritas dan kepercayaan sosial.¹³ Generasi yang lebih tua umumnya menganggap stabilitas dan loyalitas sebagai bentuk tanggung jawab, sementara generasi muda lebih menekankan kebebasan berekspresi, inovasi, dan keseimbangan emosional.¹⁴ Perbedaan ini sering terlihat dalam pola komunikasi — di mana generasi tua mengutamakan formalitas dan tatap muka, sedangkan generasi muda mengandalkan komunikasi digital yang cepat dan informal.¹⁵

Namun, ketegangan ini juga menghasilkan sinergi yang konstruktif.¹⁶ Studi manajemen lintas generasi menunjukkan bahwa keberagaman generasi di tempat kerja dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan inovasi, asalkan ada mekanisme komunikasi yang efektif.¹⁷ Dalam konteks sosial, kolaborasi antara generasi tua dan muda memainkan peran penting dalam menjaga kesinambungan nilai-nilai budaya sekaligus memperbaruinya agar relevan dengan zaman.¹⁸

5.3.       Perubahan Pola Komunikasi dan Teknologi

Teknologi merupakan salah satu faktor utama yang membedakan generasi dan memengaruhi interaksi di antara mereka.¹⁹ Generasi pra-digital seperti Silent Generation dan Baby Boomers tumbuh dalam budaya komunikasi langsung, sementara generasi digital seperti Millennials dan Z hidup dalam lingkungan komunikasi yang cepat, visual, dan interaktif.²⁰

Menurut Sherry Turkle, munculnya media sosial telah mengubah cara manusia membangun identitas dan relasi sosial.²¹ Generasi muda kini mengekspresikan diri melalui ruang digital yang menciptakan bentuk baru dari keterhubungan dan isolasi sekaligus.²² Hal ini menimbulkan kesenjangan persepsi antar generasi: bagi generasi tua, kehadiran fisik dan tatap muka adalah simbol keintiman; bagi generasi muda, kehadiran daring dapat memiliki makna yang setara.²³

Selain itu, teknologi juga memperluas ruang kolaborasi lintas generasi.²⁴ Melalui media digital, generasi muda dapat belajar dari pengalaman profesional generasi lebih tua, sementara generasi tua memperoleh pengetahuan baru tentang teknologi dan inovasi digital.²⁵ Dengan demikian, teknologi tidak hanya menciptakan perbedaan, tetapi juga menjembatani kesenjangan komunikasi antargenerasi.

5.4.       Pengaruh Ekonomi dan Mobilitas Sosial

Setiap generasi mengalami kondisi ekonomi yang berbeda, yang membentuk pola pikir dan orientasi sosial mereka. Greatest Generation tumbuh di masa depresi dan perang, sehingga menghargai stabilitas ekonomi dan keamanan pekerjaan.²⁶ Sebaliknya, Baby Boomers menikmati pertumbuhan ekonomi pesat dan menjadi simbol kemakmuran pascaperang.²⁷

Generasi X dan Millennials menghadapi realitas ekonomi yang lebih fluktuatif, dengan meningkatnya biaya hidup dan menurunnya jaminan sosial.²⁸ Akibatnya, generasi muda menjadi lebih realistis dan cenderung menilai keberhasilan bukan dari kepemilikan material, tetapi dari pengalaman, kebebasan, dan keseimbangan hidup.²⁹

Globalisasi dan digitalisasi turut mengubah konsep mobilitas sosial. Millennials dan Zoomers memiliki akses terhadap peluang global melalui ekonomi digital, meskipun ketimpangan ekonomi dan pendidikan tetap menjadi tantangan besar.³⁰ Dalam konteks ini, hubungan antargenerasi juga berfungsi sebagai mekanisme transfer modal sosial dan pengetahuan, yang menjadi dasar keberlanjutan masyarakat modern.³¹

5.5.       Dialektika Tradisi dan Modernitas

Interaksi antargenerasi juga menggambarkan dialektika antara tradisi dan modernitas. Generasi tua memegang peran sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan norma sosial, sedangkan generasi muda bertindak sebagai agen perubahan dan pembaru.³² Menurut Anthony Giddens, dinamika ini mencerminkan “refleksivitas modernitas,” yaitu kemampuan masyarakat untuk merevisi dan menyesuaikan tradisi sesuai dengan kondisi baru.³³

Ketegangan antara konservatisme dan progresivisme muncul dalam berbagai bidang — mulai dari politik identitas, gaya hidup, hingga etika digital.³⁴ Namun, ketegangan ini bukanlah bentuk disintegrasi, melainkan manifestasi dari proses sosial yang sehat, di mana masyarakat terus memperbarui nilai-nilainya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global.³⁵

Dalam perspektif ini, interaksi antargenerasi menjadi wadah pembelajaran dua arah (reciprocal learning): generasi muda memperoleh kebijaksanaan dari pengalaman masa lalu, sementara generasi tua mendapatkan relevansi melalui keterbukaan terhadap ide-ide baru.³⁶ Sinergi semacam ini menjadi kunci keberlanjutan sosial dan inovasi peradaban manusia.


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 288–290.

[2]                Neil Howe and William Strauss, Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 10–13.

[3]                Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 6–8.

[4]                Theodore Roszak, The Making of a Counter Culture (Garden City, NY: Doubleday, 1969), 9–11.

[5]                David Brooks, Boomers and the Birth of the Modern Self (New York: Random House, 2019), 33–35.

[6]                Douglas Coupland, Generation X: Tales for an Accelerated Culture (New York: St. Martin’s Press, 1991), 14–16.

[7]                Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 22–25.

[8]                Jean M. Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 41–44.

[9]                Mark McCrindle, The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 18–21.

[10]             Pew Research Center, “How Technology and Values Shape Generation Z,” Social Trends Report, 2022.

[11]             Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society (Princeton: Princeton University Press, 1990), 52–54.

[12]             David Stillman and Jonah Stillman, Gen Z @ Work: How the Next Generation Is Transforming the Workplace (New York: Harper Business, 2017), 30–33.

[13]             Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 48–50.

[14]             Jean Twenge and Stacy Campbell, “Generational Differences in Psychological Traits and Their Impact on the Workplace,” Journal of Managerial Psychology 23, no. 8 (2008): 862–877.

[15]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 70–72.

[16]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 10–12.

[17]             Adam Grant, Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know (New York: Viking, 2021), 82–84.

[18]             Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 90–92.

[19]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 35–37.

[20]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 17–19.

[21]             Ibid., 23–25.

[22]             Turkle, Reclaiming Conversation, 76–78.

[23]             Mark McCrindle and Ashley Fell, The Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 15–17.

[24]             Pew Research Center, “Defining Generations: Where Millennials End and Generation Z Begins,” Pew Research Reports, 2019.

[25]             OECD, Trends Shaping Education 2023 (Paris: OECD Publishing, 2023), 22–24.

[26]             Glen H. Elder Jr., Children of the Great Depression (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 5–7.

[27]             Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 40–43.

[28]             Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 61–63.

[29]             Twenge, Generations, 45–47.

[30]             Richard Baldwin, The Globotics Upheaval: Globalization, Robotics, and the Future of Work (New York: Oxford University Press, 2019), 12–14.

[31]             Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 38–41.

[32]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 44–46.

[33]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 52–54.

[34]             Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 19–22.

[35]             Bauman, Liquid Modernity, 15–17.

[36]             Mark McCrindle, The Future Forecast, 18–20.


6.           Implikasi Sosial, Politik, dan Budaya

Transformasi generasi dari Lost Generation hingga Generasi Beta menciptakan dampak multidimensional yang melintasi ranah sosial, politik, dan budaya. Setiap generasi berkontribusi terhadap pembentukan nilai-nilai baru, redefinisi hubungan sosial, serta cara manusia memahami identitas dan kemajuan.¹ Implikasi ini tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga reflektif—menggambarkan bagaimana masyarakat menegosiasikan makna tradisi dan modernitas dalam konteks perubahan global yang terus berakselerasi.

6.1.       Implikasi Sosial: Perubahan Struktur dan Dinamika Kehidupan Masyarakat

Secara sosial, perubahan antar generasi menandai pergeseran dari masyarakat homogen berbasis komunitas menuju masyarakat plural dan digital.² Baby Boomers menegakkan struktur sosial berbasis kerja dan keluarga tradisional, di mana stabilitas dan status ekonomi menjadi ukuran kesejahteraan.³ Namun, mulai dari Generasi X hingga Millennials, muncul paradigma baru yang lebih menekankan pada otonomi individu, mobilitas sosial, dan makna eksistensial.⁴

Perubahan nilai ini memperlihatkan terjadinya pergeseran dari “masyarakat institusional” menuju “masyarakat jejaring.”⁵ Manuel Castells menyebutnya sebagai network society—suatu bentuk struktur sosial baru yang ditopang oleh konektivitas digital dan relasi horizontal.⁶ Di dalam masyarakat jejaring ini, identitas sosial tidak lagi bersandar pada kelas sosial atau lokasi geografis, melainkan pada jejaring simbolik dan teknologi yang membentuk pengalaman kolektif lintas batas.⁷

Selain itu, teknologi komunikasi juga merevolusi hubungan antarmanusia. Media sosial, platform daring, dan ekonomi digital menciptakan bentuk interaksi baru yang simultan memperluas solidaritas sosial sekaligus menimbulkan fragmentasi identitas.⁸ Sherry Turkle menyebut fenomena ini sebagai paradoks konektivitas—di mana manusia semakin terhubung secara teknologis namun kian terasing secara emosional.⁹

Implikasi sosial lainnya tampak pada bidang pendidikan dan pekerjaan. Generasi muda menuntut sistem pembelajaran yang fleksibel, berbasis teknologi, dan kolaboratif, berbeda dari model linear yang dipegang generasi sebelumnya.¹⁰ Dalam dunia kerja, hierarki digantikan oleh kolaborasi digital dan meritokrasi berbasis kompetensi.¹¹ Akibatnya, struktur sosial semakin bersifat dinamis dan terbuka terhadap inovasi, namun juga rentan terhadap ketimpangan digital dan eksklusi sosial bagi kelompok yang tidak adaptif terhadap teknologi.¹²

6.2.       Implikasi Politik: Pergeseran Partisipasi dan Ideologi

Dalam bidang politik, perbedaan generasi menciptakan variasi dalam cara masyarakat memandang kekuasaan, ideologi, dan partisipasi publik. Greatest Generation dan Silent Generation membangun tatanan politik modern berbasis hierarki, patriotisme, dan stabilitas institusional.¹³ Sebaliknya, Baby Boomers memunculkan politik protes, memperjuangkan hak sipil dan kebebasan individu sebagai nilai utama.¹⁴

Generasi X dan Millennials menandai perubahan menuju politik reflektif dan digital.¹⁵ Mereka tidak sepenuhnya percaya pada institusi formal, melainkan mengutamakan gerakan akar rumput (grassroots movements) dan aktivisme digital sebagai saluran partisipasi.¹⁶ Fenomena seperti Arab Spring, Occupy Wall Street, hingga Fridays for Future yang dipimpin Greta Thunberg mencerminkan munculnya politik generasi baru yang bersifat global, cepat, dan berbasis jaringan.¹⁷

Ronald Inglehart berpendapat bahwa perubahan generasi ini merupakan hasil dari pergeseran nilai dari materialist values menuju post-materialist values, yaitu dari orientasi keamanan ekonomi menuju pencarian makna, ekspresi diri, dan partisipasi politik yang lebih substantif.¹⁸ Generasi muda tidak lagi menilai politik sebagai arena kekuasaan formal, tetapi sebagai ruang etis untuk memperjuangkan isu lingkungan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.¹⁹

Namun, fragmentasi politik digital juga menimbulkan tantangan baru.²⁰ Polarisasi ideologis di media sosial memperkuat “ruang gema” (echo chambers) yang menghambat dialog lintas generasi.²¹ Generasi muda sering kali menganggap sistem politik konvensional tidak representatif, sementara generasi tua melihat aktivisme digital sebagai bentuk “politik instan.”²² Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi demokrasi masa depan adalah menjembatani kesenjangan persepsi antargenerasi agar tercipta komunikasi politik yang inklusif dan deliberatif.²³

6.3.       Implikasi Budaya: Transformasi Identitas dan Makna Kemanusiaan

Dalam ranah budaya, perbedaan generasi membawa implikasi terhadap cara manusia membangun identitas dan makna hidup.²⁴ Budaya modern awal yang dibangun oleh Lost Generation dan GI Generation menekankan rasionalitas, heroisme, dan kemajuan sebagai nilai utama.²⁵ Namun, setelah Perang Dunia II, muncul budaya kontemporer yang lebih plural, reflektif, dan estetis, sebagaimana ditunjukkan oleh Baby Boomers melalui gerakan seni, musik, dan gaya hidup kontra budaya.²⁶

Perkembangan teknologi digital mengubah lanskap budaya secara radikal. Millennials dan Zoomers memanfaatkan media sosial sebagai ruang penciptaan identitas diri yang cair dan multipel.²⁷ Dalam kerangka teori posmodern, seperti yang dikemukakan oleh Zygmunt Bauman, identitas tidak lagi statis tetapi bersifat “cair” (liquid identity)—terbentuk melalui aliran informasi dan pilihan personal yang terus berubah.²⁸

Generasi Alpha dan Beta memperlihatkan arah baru dalam evolusi budaya: munculnya budaya sintesis antara manusia dan mesin.²⁹ Mereka hidup di dunia yang menyeberangi batas fisik dan digital, di mana realitas virtual dan kecerdasan buatan menjadi bagian dari pengalaman hidup sehari-hari.³⁰ Implikasi budaya ini mencakup redefinisi tentang seni, bahasa, dan moralitas—dari ekspresi artistik berbasis AI hingga etika penggunaan teknologi dalam kehidupan sosial.³¹

Lebih jauh lagi, munculnya budaya global lintas generasi juga mempercepat homogenisasi sekaligus resistensi lokal.³² Produk budaya seperti musik pop, mode, dan sinema menciptakan pengalaman universal, tetapi di sisi lain menimbulkan kecenderungan cultural hybridization yang mempertemukan tradisi lokal dengan modernitas global.³³ Dalam konteks ini, interaksi antargenerasi menjadi medan kreatif untuk menciptakan bentuk-bentuk baru identitas kultural yang adaptif namun berakar pada nilai kemanusiaan universal.³⁴


Relevansi Intergenerasional dalam Masyarakat Global

Hubungan antar generasi kini menjadi isu strategis dalam pembangunan sosial berkelanjutan.³⁵ Laporan UNESCO (2023) menekankan pentingnya intergenerational solidarity sebagai kunci menjaga keseimbangan antara inovasi dan konservasi nilai.³⁶ Dalam masyarakat yang semakin menua di satu sisi dan semakin digital di sisi lain, dialog lintas generasi diperlukan untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan.³⁷

Konsep intergenerational justice juga menjadi penting dalam konteks politik global.³⁸ Prinsip ini menegaskan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab moral terhadap generasi berikutnya, baik dalam hal lingkungan, kebijakan ekonomi, maupun warisan budaya.³⁹ Generasi muda tidak hanya pewaris masa lalu, tetapi juga aktor moral bagi masa depan.⁴⁰ Dengan demikian, keberlanjutan sosial, politik, dan budaya dunia bergantung pada kemampuan masyarakat global untuk membangun jembatan pemahaman antargenerasi yang saling memperkaya.


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 290–293.

[2]                Neil Howe and William Strauss, Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (New York: William Morrow, 1991), 12–15.

[3]                Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 4–6.

[4]                Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society (Princeton: Princeton University Press, 1990), 32–35.

[5]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–24.

[6]                Ibid., 29–30.

[7]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 5–8.

[8]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 15–18.

[9]                Ibid., 20–22.

[10]             OECD, Trends Shaping Education 2023 (Paris: OECD Publishing, 2023), 12–14.

[11]             Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 33–35.

[12]             UNESCO, Global Education Monitoring Report 2023 (Paris: UNESCO, 2023), 8–10.

[13]             Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 22–25.

[14]             Theodore Roszak, The Making of a Counter Culture (Garden City, NY: Doubleday, 1969), 14–17.

[15]             Jean M. Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 48–51.

[16]             Clay Shirky, Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (New York: Penguin Press, 2008), 42–44.

[17]             Pippa Norris, Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 50–53.

[18]             Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 44–47.

[19]             Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press, 2022), 12–14.

[20]             Pew Research Center, “Social Media and Political Polarization,” Social Trends Report, 2020.

[21]             Cass Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 18–20.

[22]             Zizi Papacharissi, A Private Sphere: Democracy in a Digital Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 27–29.

[23]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 54–57.

[24]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 45–47.

[25]             Samuel Hynes, A War Imagined: The First World War and English Culture (London: Bodley Head, 1990), 24–26.

[26]             David Brooks, Boomers and the Birth of the Modern Self (New York: Random House, 2019), 38–40.

[27]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 15–18.

[28]             Bauman, Liquid Modernity, 12–14.

[29]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 287–289.

[30]             Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 16–18.

[31]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 211–214.

[32]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 22–25.

[33]             Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (London: Sage Publications, 1992), 89–91.

[34]             Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 37–39.

[35]             UNESCO, Youth and Intergenerational Dialogue Report (Paris: UNESCO, 2023), 10–12.

[36]             Ibid., 14–16.

[37]             United Nations, World Social Report 2023: Leaving No One Behind in an Ageing World (New York: UN Department of Economic and Social Affairs, 2023), 7–9.

[38]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 18–20.

[39]             Greta Thunberg, The Climate Book, 20–22.

[40]             Ronald Inglehart and Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 52–54.


7.           Prediksi dan Prospek Masa Depan

Transformasi demografis dan generasional di abad ke-21 menandai fase baru dalam sejarah sosial manusia. Pergeseran teknologi, krisis lingkungan, serta perubahan nilai-nilai kemanusiaan menuntut analisis prospektif mengenai arah perkembangan generasi masa depan.¹ Dengan memahami tren dan dinamika ini, masyarakat global dapat menyiapkan strategi adaptif yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap perubahan, tetapi juga visioner terhadap tantangan yang akan datang. Bagian ini membahas tiga poros utama prospek masa depan: (1) tren demografis global dan perubahan struktur populasi, (2) keterhubungan antargenerasi di era kecerdasan buatan dan ekologi digital, serta (3) proyeksi sosial-politik dan etika global di masa depan.

7.1.       Tren Demografis Global

Menurut laporan World Population Prospects 2024 yang diterbitkan oleh PBB, populasi dunia diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2080 dengan total lebih dari 10,4 miliar jiwa.² Namun, pola pertumbuhan ini tidak seragam. Negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan mengalami penuaan populasi yang cepat, sementara negara-negara berkembang di Afrika dan Asia Tenggara justru menghadapi youth bulge—lonjakan populasi usia muda yang dapat menjadi bonus demografi atau beban sosial, tergantung pada kebijakan yang diambil.³

Fenomena penuaan populasi di dunia maju menimbulkan tantangan dalam pembiayaan jaminan sosial dan produktivitas ekonomi.⁴ Generasi tua yang lebih banyak dari generasi muda menggeser keseimbangan ekonomi, memunculkan kekhawatiran mengenai ketimpangan intergenerasional.⁵ Sebaliknya, di negara-negara berkembang, bonus demografi dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi apabila disertai dengan investasi pada pendidikan, teknologi, dan kewirausahaan.⁶

Di sisi lain, globalisasi dan mobilitas internasional menciptakan struktur masyarakat yang semakin beragam secara etnis dan budaya.⁷ Identitas nasional menjadi lebih cair, dan interaksi antar generasi kini juga terjadi dalam konteks multikultural. Hal ini mendorong munculnya “masyarakat lintas batas generasi” di mana pertukaran nilai dan pengetahuan berlangsung tidak hanya secara vertikal (antar usia), tetapi juga horizontal (antar budaya dan sistem sosial).⁸

7.2.       Keterhubungan Generasi di Era Kecerdasan Buatan dan Ekologi Digital

Era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) membawa perubahan mendasar terhadap struktur kerja, pendidikan, dan interaksi sosial antar generasi.⁹ Generasi Alpha dan Beta, yang tumbuh dalam lingkungan digital sejak lahir, akan menjadi generasi pertama yang mengalami simbiosis langsung dengan sistem cerdas—mulai dari pembelajaran adaptif, robotika rumah tangga, hingga asisten berbasis algoritma.¹⁰

Klaus Schwab menggambarkan fenomena ini sebagai bagian dari Fourth Industrial Revolution, di mana batas antara fisik, biologis, dan digital semakin kabur.¹¹ Generasi mendatang tidak lagi memandang teknologi sebagai alat eksternal, melainkan sebagai perpanjangan dari kesadaran manusia itu sendiri.¹² Implikasinya, konsep identitas pribadi dan profesional akan bergeser menuju identitas hibrida—gabungan antara kemampuan kognitif alami dan kecerdasan buatan.¹³

Namun, perkembangan ini juga membawa risiko sosial dan etis yang signifikan.¹⁴ Ketergantungan terhadap AI dapat mengurangi otonomi manusia dalam pengambilan keputusan, meningkatkan ketimpangan akses digital, dan menimbulkan dilema moral terkait privasi, bias algoritmik, serta pengawasan sosial.¹⁵ Nick Bostrom memperingatkan bahwa tanpa regulasi yang matang, perkembangan AI dapat melampaui kapasitas kontrol manusia dan menciptakan “ketidakseimbangan moral” antar generasi—di mana generasi yang menciptakan AI tidak dapat memprediksi konsekuensinya bagi generasi setelahnya.¹⁶

Keterhubungan digital juga memperluas ruang solidaritas generasional.¹⁷ Teknologi memungkinkan kolaborasi lintas usia dalam ruang virtual, mempertemukan kebijaksanaan generasi tua dengan inovasi generasi muda.¹⁸ Bentuk baru dari digital intergenerational community muncul, di mana pembelajaran, pekerjaan, dan aktivisme sosial dilakukan bersama lintas batas generasi.¹⁹ Dengan demikian, era AI bukan hanya tentang otomatisasi, tetapi juga tentang rekonstruksi hubungan kemanusiaan dalam ruang digital.

7.3.       Proyeksi Sosial-Politik dan Etika Global

Dalam konteks sosial-politik, masa depan akan ditandai oleh dua kekuatan besar: desentralisasi kekuasaan dan peningkatan kesadaran etika global.²⁰ Generasi mendatang diperkirakan akan tumbuh dalam lingkungan yang lebih terbuka, dengan orientasi politik yang kolaboratif dan berbasis nilai global seperti keberlanjutan, kesetaraan, dan transparansi.²¹

Studi Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa Generasi Z dan Alpha lebih cenderung mendukung sistem politik yang partisipatif dan berbasis data dibandingkan ideologi tradisional kiri-kanan.²² Mereka menolak hierarki kekuasaan yang kaku, menuntut akuntabilitas, dan menilai legitimasi politik berdasarkan efektivitas serta moralitas kebijakan.²³ Di masa depan, teknologi blockchain dan demokrasi digital berpotensi memperkuat bentuk partisipasi politik langsung, di mana warga terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan melalui sistem daring yang aman dan transparan.²⁴

Dari sisi etika, muncul tantangan baru yang kompleks. Yuval Noah Harari memprediksi bahwa abad ke-21 akan menjadi abad “bioteknologi moral,” di mana manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi genetik, memperpanjang usia, bahkan menciptakan bentuk kesadaran non-biologis.²⁵ Hal ini memunculkan dilema etika lintas generasi: sejauh mana manusia berhak mengubah esensi kehidupan tanpa merusak keseimbangan ekologis dan moral planet ini?²⁶

Generasi Beta dan generasi setelahnya kemungkinan akan menjadi pelopor dalam pembentukan etika global yang menekankan harmoni antara teknologi, lingkungan, dan kemanusiaan.²⁷ Prinsip intergenerational equity—keadilan antargenerasi—akan menjadi paradigma baru dalam kebijakan publik, memastikan bahwa inovasi masa kini tidak mengorbankan keberlanjutan masa depan.²⁸

Sebagaimana ditegaskan oleh Edith Brown Weiss, keadilan antargenerasi tidak hanya berkaitan dengan distribusi sumber daya ekonomi, tetapi juga dengan tanggung jawab moral untuk menjaga integritas ekosistem bumi dan nilai kemanusiaan universal.²⁹ Oleh karena itu, prospek masa depan tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknologi, tetapi juga oleh kemampuan manusia lintas generasi untuk mempertahankan keseimbangan antara kemajuan dan kebijaksanaan.³⁰


Penutup Reflektif: Menuju Peradaban Kolaboratif

Jika abad ke-20 ditandai oleh revolusi industri dan globalisasi ekonomi, maka abad ke-21 dan ke-22 akan menjadi era kolaborasi generasional.³¹ Dalam peradaban masa depan, keberhasilan suatu masyarakat tidak lagi diukur dari pertumbuhan material semata, melainkan dari kemampuan setiap generasi untuk saling belajar, beradaptasi, dan menghormati warisan nilai.³²

Generasi Beta dan generasi selanjutnya tidak hanya akan mewarisi dunia yang semakin cerdas dan terkoneksi, tetapi juga dunia yang menuntut tanggung jawab moral yang lebih besar.³³ Sebagaimana diingatkan oleh Anthony Giddens, modernitas adalah proyek reflektif—ia berkembang sejauh manusia mampu meninjau kembali dan memperbaiki tindakannya sendiri.³⁴ Dengan demikian, masa depan manusia bukanlah hasil deterministik dari teknologi, melainkan hasil pilihan etis kolektif yang dibuat oleh generasi demi generasi.³⁵


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 291–293.

[2]                United Nations, World Population Prospects 2024: Summary of Results (New York: UN Department of Economic and Social Affairs, 2024), 2–3.

[3]                World Bank, Youth and Demographic Dividend Report (Washington, DC: World Bank, 2023), 10–12.

[4]                OECD, Global Ageing Outlook 2023 (Paris: OECD Publishing, 2023), 6–8.

[5]                Ronald Lee and Andrew Mason, Population Aging and the Generational Economy (Cheltenham: Edward Elgar, 2011), 20–22.

[6]                McKinsey Global Institute, Harnessing the Demographic Dividend in Emerging Economies (New York: McKinsey, 2022), 14–15.

[7]                Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 25–27.

[8]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 39–41.

[9]                Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 11–13.

[10]             Mark McCrindle, The Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 14–16.

[11]             Schwab, The Fourth Industrial Revolution, 18–20.

[12]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2016), 283–285.

[13]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 28–30.

[14]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 51–54.

[15]             Ibid., 58–60.

[16]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 211–214.

[17]             Pew Research Center, “The Future of Digital Life,” Social Trends Report, 2023.

[18]             Adam Grant, Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know (New York: Viking, 2021), 102–104.

[19]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 41–44.

[20]             Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 49–51.

[21]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 12–14.

[22]             Pew Research Center, “How Gen Z Sees the Future of Politics,” Global Attitudes Report, 2023.

[23]             Pippa Norris, Democratic Deficit: Critical Citizens Revisited (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 23–25.

[24]             Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain and the Law: The Rule of Code (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 30–32.

[25]             Harari, Homo Deus, 287–290.

[26]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 120–122.

[27]             Mark McCrindle and Ashley Fell, The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations (Sydney: McCrindle Research, 2021), 22–25.

[28]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 19–21.

[29]             Ibid., 23–24.

[30]             Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 49–51.

[31]             Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 44–46.

[32]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 47–49.

[33]             Jean M. Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 58–60.

[34]             Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 61–63.

[35]             Zygmunt Bauman, Liquid Life (Cambridge: Polity Press, 2005), 14–16.


8.           Kesimpulan

Kajian mengenai kelompok demografi berdasarkan tahun kelahiran—mulai dari Lost Generation hingga Generasi Beta—menunjukkan bahwa dinamika generasi bukan sekadar pembagian kronologis, melainkan refleksi dari transformasi sosial, politik, budaya, dan teknologi dalam sejarah manusia modern.¹ Setiap generasi terbentuk oleh pengalaman historis kolektif yang membentuk nilai, pandangan dunia, serta orientasi hidup mereka.² Melalui pendekatan historis dan sosiologis, kita dapat memahami bahwa evolusi generasi mencerminkan hubungan dialektis antara kontinuitas dan perubahan—antara warisan masa lalu dan inovasi masa depan.³

8.1.       Sintesis Temuan Utama

Kajian ini menunjukkan bahwa generasi bukanlah entitas yang berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dalam siklus sejarah. Lost Generation menandai era kehilangan orientasi moral akibat perang, sementara Greatest Generation membangun kembali tatanan sosial melalui etos kerja dan pengorbanan.⁴ Silent Generation melanjutkan stabilitas sosial yang memungkinkan kemakmuran Baby Boomers, yang pada gilirannya memicu revolusi budaya dan ekonomi global.⁵ Generasi X kemudian membawa paradigma baru yang lebih skeptis dan pragmatis, sementara Millennials menghadirkan nilai-nilai kolaboratif dan makna sosial dalam dunia kerja.⁶

Perubahan drastis terjadi pada Generasi Z dan Alpha, yang sepenuhnya hidup dalam ekosistem digital dan media sosial.⁷ Mereka memperlihatkan pola pikir yang global, inklusif, dan sadar akan keberlanjutan. Proyeksi terhadap Generasi Beta memperlihatkan bahwa generasi mendatang akan tumbuh di tengah simbiosis antara manusia dan kecerdasan buatan, menuntut pembentukan etika baru yang menjembatani batas bioteknologi, moralitas, dan kemanusiaan.⁸

Melalui analisis lintas generasi, ditemukan bahwa dimensi waktu berfungsi bukan hanya sebagai penanda sejarah, tetapi juga sebagai arena pembentukan identitas kolektif manusia.⁹ Setiap generasi berkontribusi pada kesinambungan nilai kemanusiaan, meskipun bentuk ekspresinya berubah mengikuti konteks zamannya. Dengan kata lain, perbedaan antar generasi bukanlah tanda keterputusan, tetapi simbol dialog berkelanjutan antar pengalaman manusia.

8.2.       Refleksi Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini mengonfirmasi tesis Karl Mannheim bahwa generasi adalah konstruksi sosial yang terhubung melalui kesadaran historis.¹⁰ Generasi dibentuk oleh pengalaman masa muda yang menentukan orientasi nilai sepanjang hidup mereka.¹¹ Pemikiran ini relevan hingga kini, terutama ketika perubahan teknologi mempercepat proses pembentukan generasi baru dengan siklus yang lebih pendek.

Dalam konteks modernitas cair sebagaimana dikemukakan oleh Zygmunt Bauman, generasi kontemporer hidup dalam kondisi sosial yang berubah cepat, di mana nilai dan identitas bersifat fleksibel.¹² Ketidakpastian ini menuntut manusia untuk mengembangkan refleksivitas sosial—kemampuan untuk meninjau kembali dan menyesuaikan nilai-nilai diri terhadap realitas yang terus berubah.¹³ Dengan demikian, teori generasi tidak hanya menggambarkan perbedaan antar usia, tetapi juga proses internalisasi perubahan dalam kesadaran kolektif manusia.

Selain itu, teori-teori kontemporer seperti network society (Manuel Castells) dan post-materialist values (Ronald Inglehart) memperluas pemahaman tentang generasi sebagai entitas yang hidup dalam dunia global yang saling terhubung.¹⁴ Di era digital, nilai-nilai generasi muda tidak lagi dibatasi oleh nasionalisme atau kelas sosial, tetapi ditentukan oleh jaringan informasi dan kesadaran planet yang bersifat lintas batas.¹⁵

8.3.       Implikasi Praktis dan Moral

Secara praktis, pemahaman lintas generasi menjadi fondasi penting bagi pembuat kebijakan, pendidik, dan pemimpin masyarakat.¹⁶ Dalam bidang pendidikan, kurikulum harus dirancang agar selaras dengan gaya belajar dan nilai generasi digital, tanpa mengabaikan kebijaksanaan generasi sebelumnya. Dalam dunia kerja, organisasi perlu membangun budaya kolaboratif yang menghargai perbedaan generasi sebagai kekuatan kreatif, bukan sumber konflik.¹⁷

Lebih dari itu, dimensi moral hubungan antargenerasi menjadi semakin penting dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan krisis identitas.¹⁸ Prinsip intergenerational equity (keadilan antargenerasi) menegaskan bahwa generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa sumber daya, lingkungan, dan nilai-nilai kemanusiaan tetap lestari bagi generasi mendatang.¹⁹ Edith Brown Weiss mengingatkan bahwa keadilan generasional bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga komitmen etis untuk menjaga keberlanjutan kehidupan manusia di planet ini.²⁰

Oleh karena itu, dialog antar generasi perlu diletakkan dalam kerangka etika solidaritas—sebuah gagasan bahwa kemajuan manusia hanya mungkin dicapai melalui kerja sama lintas usia, lintas budaya, dan lintas nilai.²¹ Dengan cara ini, perbedaan antar generasi dapat dipahami bukan sebagai jurang, melainkan sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

8.4.       Rekomendasi untuk Pengembangan Kajian Lanjutan

Kajian generasi perlu dikembangkan melalui pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sosiologi, psikologi, ekonomi, dan studi budaya.²² Di masa depan, penelitian dapat difokuskan pada fenomena micro-generation—subkelompok generasi yang terbentuk dalam rentang waktu pendek akibat percepatan teknologi dan globalisasi.²³ Selain itu, penelitian tentang dampak etika dan ekologis dari integrasi manusia dengan teknologi kecerdasan buatan perlu menjadi perhatian utama dalam studi generasi abad ke-21.²⁴

Pendekatan lintas budaya juga harus diperluas agar teori generasi tidak hanya berpusat pada konteks Barat, tetapi mencakup pengalaman sosial Asia, Afrika, dan Amerika Latin.²⁵ Dengan memperluas horizon epistemologis ini, kajian tentang generasi akan semakin komprehensif dan relevan bagi masyarakat global yang plural dan saling terhubung.


Penutup: Menyatukan Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

Pada akhirnya, studi tentang generasi mengajarkan bahwa sejarah manusia adalah perjalanan kesadaran kolektif yang terus berevolusi.²⁶ Setiap generasi adalah cermin dari masa lalu sekaligus jendela menuju masa depan. Dalam konteks dunia yang serba cepat dan kompleks, tantangan terbesar bukanlah mempertahankan perbedaan generasi, melainkan menemukan bahasa bersama untuk membangun masa depan yang berkelanjutan.

Sebagaimana dikatakan Anthony Giddens, modernitas menuntut manusia untuk “menciptakan masa depan dengan kesadaran penuh terhadap konsekuensi dari tindakannya.”²⁷ Dengan demikian, keberhasilan peradaban manusia di masa mendatang akan ditentukan oleh sejauh mana setiap generasi mampu menghargai sejarah, menafsirkan perubahan, dan bertanggung jawab terhadap warisan yang akan ditinggalkannya.²⁸


Footnotes

[1]                Karl Mannheim, “The Problem of Generations,” Essays on the Sociology of Knowledge, ed. Paul Kecskemeti (London: Routledge & Kegan Paul, 1952), 276–278.

[2]                Ronald Inglehart, Culture Shift in Advanced Industrial Society (Princeton: Princeton University Press, 1990), 34–36.

[3]                Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 36–38.

[4]                Gertrude Stein, The Autobiography of Alice B. Toklas (New York: Harcourt, Brace and Company, 1933), 62.

[5]                Tom Brokaw, The Greatest Generation (New York: Random House, 1998), 5–7.

[6]                Douglas Coupland, Generation X: Tales for an Accelerated Culture (New York: St. Martin’s Press, 1991), 12–15.

[7]                Jean M. Twenge, Generations: The Real Differences Between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and What They Mean for America’s Future (New York: Atria Books, 2023), 21–23.

[8]                Mark McCrindle, The Future Forecast: Preparing for the Emerging Generations (Sydney: McCrindle Research, 2020), 18–20.

[9]                Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 72–75.

[10]             Mannheim, “The Problem of Generations,” 285–288.

[11]             Ibid., 290–292.

[12]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–8.

[13]             Ibid., 12–14.

[14]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 21–24.

[15]             Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic, and Political Change in 43 Societies (Princeton: Princeton University Press, 1997), 30–33.

[16]             OECD, Trends Shaping Education 2023 (Paris: OECD Publishing, 2023), 15–17.

[17]             Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 40–43.

[18]             Greta Thunberg, The Climate Book (New York: Penguin Press, 2022), 18–20.

[19]             Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (Tokyo: United Nations University Press, 1989), 19–21.

[20]             Ibid., 23–24.

[21]             UNESCO, Youth and Intergenerational Dialogue Report (Paris: UNESCO, 2023), 9–10.

[22]             Sarah Nilsen and Anna T. Danielsen, Cultural Generations: The Power of Age in Contemporary Media (New York: Routledge, 2017), 17–20.

[23]             Dan Woodman and Johanna Wyn, “The Limits of Generational Thinking,” Journal of Youth Studies 18, no. 10 (2015): 1420–1436.

[24]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 211–213.

[25]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27–29.

[26]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 45–47.

[27]             Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 58–60.

[28]             Zygmunt Bauman, Liquid Life (Cambridge: Polity Press, 2005), 14–16.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Baldwin, R. (2019). The globotics upheaval: Globalization, robotics, and the future of work. Oxford University Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. University of Michigan Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Bauman, Z. (2005). Liquid life. Polity Press.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bordieu, P. (1977). Outline of a theory of practice. Cambridge University Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Brokaw, T. (1998). The greatest generation. Random House.

Brooks, D. (2019). Boomers and the birth of the modern self. Random House.

Castells, M. (1996). The rise of the network society. Blackwell.

Castells, M. (1997). The power of identity. Blackwell.

Coupland, D. (1991). Generation X: Tales for an accelerated culture. St. Martin’s Press.

De Filippi, P., & Wright, A. (2018). Blockchain and the law: The rule of code. Harvard University Press.

Elder, G. H. Jr. (1974). Children of the Great Depression. University of Chicago Press.

Florida, R. (2002). The rise of the creative class. Basic Books.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Frank, T. (1997). The conquest of cool: Business culture, counterculture, and the rise of hip consumerism. University of Chicago Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Giddens, A. (1990). The consequences of modernity. Stanford University Press.

Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity: Self and society in the late modern age. Stanford University Press.

Grant, A. (2021). Think again: The power of knowing what you don’t know. Viking.

Harari, Y. N. (2016). Homo Deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.

Hemingway, E. (1926). The sun also rises. Scribner.

Howe, N., & Strauss, W. (1991). Generations: The history of America’s future, 1584 to 2069. William Morrow.

Howe, N., & Strauss, W. (1993). 13th Gen: Abort, retry, ignore, fail? Vintage Books.

Hynes, S. (1990). A war imagined: The First World War and English culture. Bodley Head.

Inglehart, R. (1990). Culture shift in advanced industrial society. Princeton University Press.

Inglehart, R. (1997). Modernization and postmodernization: Cultural, economic, and political change in 43 societies. Princeton University Press.

Inglehart, R., & Welzel, C. (2005). Modernization, cultural change, and democracy. Cambridge University Press.

Kennedy, D. (1999). Freedom from fear: The American people in depression and war, 1929–1945. Oxford University Press.

Lee, R., & Mason, A. (2011). Population aging and the generational economy. Edward Elgar.

Mannheim, K. (1952). The problem of generations. In P. Kecskemeti (Ed.), Essays on the sociology of knowledge (pp. 276–322). Routledge & Kegan Paul.

McCrindle, M. (2020). The future forecast: Preparing for the emerging generations. McCrindle Research.

McCrindle, M. (2021). The ABC of XYZ: Understanding the global generations (Rev. ed.). McCrindle Research.

McCrindle, M., & Fell, A. (2021). The ABC of XYZ: Understanding the global generations. McCrindle Research.

Manchester, W. (1974). The glory and the dream: A narrative history of America, 1932–1972. Little, Brown and Company.

Nilsen, S., & Danielsen, A. T. (2017). Cultural generations: The power of age in contemporary media. Routledge.

Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement, information poverty, and the Internet worldwide. Cambridge University Press.

Norris, P. (2011). Democratic deficit: Critical citizens revisited. Cambridge University Press.

OECD. (2023). Global ageing outlook 2023. OECD Publishing.

OECD. (2023). Trends shaping education 2023. OECD Publishing.

Papacharissi, Z. (2010). A private sphere: Democracy in a digital age. Polity Press.

Pew Research Center. (2019). Defining generations: Where Millennials end and Generation Z begins. Pew Research Reports.

Pew Research Center. (2020). Social media and political polarization. Pew Research Reports.

Pew Research Center. (2022). How technology and values shape Generation Z. Social Trends Report.

Pew Research Center. (2023). How Gen Z sees the future of politics. Global Attitudes Report.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Harvard University Press.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.

Riesman, D. (1950). The lonely crowd. Yale University Press.

Robertson, R. (1992). Globalization: Social theory and global culture. Sage Publications.

Roszak, T. (1969). The making of a counter culture. Doubleday.

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. World Economic Forum.

Shirky, C. (2008). Here comes everybody: The power of organizing without organizations. Penguin Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Stein, G. (1933). The autobiography of Alice B. Toklas. Harcourt, Brace and Company.

Stillman, D., & Stillman, J. (2017). Gen Z @ work: How the next generation is transforming the workplace. Harper Business.

Sunstein, C. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Thunberg, G. (2022). The climate book. Penguin Press.

Toffler, A. (1980). The third wave. Bantam Books.

Turkle, S. (1984). The second self: Computers and the human spirit. MIT Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.

Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy—and completely unprepared for adulthood. Atria Books.

Twenge, J. M. (2023). Generations: The real differences between Gen Z, Millennials, Gen X, Boomers, and Silents—and what they mean for America’s future. Atria Books.

Twenge, J. M., & Campbell, S. M. (2008). Generational differences in psychological traits and their impact on the workplace. Journal of Managerial Psychology, 23(8), 862–877. doi.org

UNESCO. (2023). Youth and intergenerational dialogue report. UNESCO Publishing.

UNESCO. (2023). Global education monitoring report 2023. UNESCO Publishing.

United Nations. (2023). World social report 2023: Leaving no one behind in an ageing world. UN Department of Economic and Social Affairs.

United Nations. (2024). World population prospects 2024: Summary of results. UN Department of Economic and Social Affairs.

UNICEF. (2017). Children in a digital world. UNICEF.

Weiss, E. B. (1989). In fairness to future generations: International law, common patrimony, and intergenerational equity. United Nations University Press.

World Bank. (2023). Youth and demographic dividend report. The World Bank Group.

World Health Organization. (2022). Digital health and childhood development. WHO.

Woodman, D., & Wyn, J. (2015). The limits of generational thinking. Journal of Youth Studies, 18(10), 1420–1436. doi.org

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar