Teori Perkembangan Kognitif
Telaah Komprehensif atas Teori Perkembangan Kognitif
Jean Piaget
Alihkan ke: Cara Berpikir dan Peran Filsafat dalam
Pembentukannya.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori
perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget, salah satu tokoh
paling berpengaruh dalam bidang psikologi perkembangan dan pendidikan. Piaget
memandang anak sebagai individu aktif yang secara bertahap membangun struktur
pengetahuan melalui proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Dengan
membagi perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan universal — sensorimotor,
praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal — teori ini
memberikan kerangka penting dalam memahami dinamika berpikir anak. Artikel ini
juga mengulas penerapan teori Piaget dalam dunia pendidikan, termasuk
pendekatan pembelajaran aktif, peran guru sebagai fasilitator, serta pentingnya
penyesuaian kurikulum berdasarkan tahap perkembangan. Di samping itu, dibahas
pula kritik-kritik terhadap teori Piaget, terutama mengenai metode penelitian,
ketepatan usia tahapan, serta kurangnya perhatian terhadap faktor sosial dan
budaya. Meskipun demikian, nilai teoritis dan aplikatif teori Piaget tetap
relevan dalam membentuk sistem pendidikan yang berpihak pada perkembangan alami
anak. Dengan pendekatan yang bersifat analitis dan didukung oleh literatur
ilmiah terkini, artikel ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman akademis
terhadap kontribusi dan keterbatasan teori Piaget dalam konteks pendidikan
modern.
Kata Kunci: Jean Piaget; perkembangan kognitif; tahapan
berpikir; pendidikan anak; konstruktivisme; psikologi perkembangan; teori
belajar.
PEMBAHASAN
Memahami Dunia Anak Melalui Teori Perkembangan Kognitif
1.
Pendahuluan
Perkembangan
kognitif merupakan aspek fundamental dalam studi psikologi perkembangan,
khususnya dalam memahami bagaimana individu, terutama anak-anak, membangun
pengetahuan, berpikir, dan memahami dunia di sekitarnya. Dalam dunia pendidikan
dan psikologi, pemahaman terhadap proses kognitif sangat penting untuk
merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan peserta
didik. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam studi ini adalah Jean
Piaget, seorang psikolog asal Swiss yang mengembangkan teori
perkembangan kognitif berdasarkan hasil observasi terhadap anak-anak.
Jean Piaget
memandang anak sebagai individu yang aktif secara mental, bukan sekadar
penerima pasif dari informasi yang datang dari lingkungannya. Dalam
pandangannya, anak belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungannya,
membangun pengetahuan secara bertahap melalui proses yang disebut asimilasi dan
akomodasi.¹ Pandangan ini menandai pergeseran penting dari paradigma
behavioristik, yang menekankan pembelajaran sebagai hasil dari stimulus dan
respons, menuju pendekatan konstruktivis yang lebih menekankan pada peran aktif
subjek dalam pembentukan pengetahuan.²
Teori Piaget menjadi
landasan utama dalam memahami bagaimana tahapan-tahapan berpikir anak
berkembang seiring pertumbuhan usia mereka. Piaget mengklasifikasikan
perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan utama yang berurutan dan
universal, yaitu: sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan
operasional formal.³ Masing-masing tahap ini mencerminkan karakteristik
berpikir tertentu dan menentukan bagaimana anak memproses informasi serta
merespons berbagai situasi. Pemahaman terhadap tahapan-tahapan ini menjadi
sangat relevan dalam merancang metode pengajaran yang adaptif dan efektif.
Selain memberikan kontribusi
besar bagi bidang psikologi perkembangan, teori Piaget juga memiliki dampak
yang luas dalam dunia pendidikan. Pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman,
penekanan pada penemuan (discovery learning), serta perhatian terhadap kesiapan
perkembangan anak merupakan sebagian dari implikasi praktis dari teorinya yang
masih digunakan hingga kini.⁴ Oleh karena itu, kajian komprehensif terhadap
teori perkembangan kognitif Jean Piaget menjadi penting, tidak hanya untuk
memahami bagaimana anak berpikir dan belajar, tetapi juga untuk mengevaluasi
relevansi dan aplikasinya dalam konteks pendidikan kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 6–7.
[2]
Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New
York: Worth Publishers, 2020), 30.
[3]
Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2018), 233–237.
[4]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 53–55.
2.
Biografi Singkat Jean Piaget
Jean Piaget lahir
pada tanggal 9 Agustus 1896 di kota Neuchâtel, Swiss, dari pasangan Arthur
Piaget, seorang profesor literatur abad pertengahan, dan Rebecca Jackson. Sejak
usia dini, Piaget menunjukkan minat yang mendalam terhadap ilmu alam, khususnya
biologi dan paleontologi. Pada usia 11 tahun, ia telah menulis artikel ilmiah
pertamanya tentang burung pipit albino, yang menandakan awal karier
akademiknya.¹ Ketertarikannya terhadap ilmu biologi—khususnya teori
evolusi—mempengaruhi pandangan-pandangannya tentang perkembangan manusia
sebagai proses adaptif yang terus-menerus.
Piaget menyelesaikan
studi doktoralnya dalam bidang zoologi dari Universitas Neuchâtel pada tahun
1918. Setelah lulus, ia pindah ke Paris dan mulai bekerja di laboratorium
Alfred Binet, tokoh pelopor tes kecerdasan. Pengalaman ini memberikan landasan
penting bagi Piaget dalam menyusun pandangannya tentang perkembangan
intelektual anak.² Ketika meneliti jawaban-jawaban anak terhadap soal-soal tes
Binet, Piaget menemukan bahwa kesalahan yang dilakukan anak mengikuti pola
tertentu yang konsisten sesuai usia mereka. Temuan ini membuatnya tertarik
untuk menyelidiki struktur berpikir anak-anak secara sistematis.
Pada tahun 1920-an
dan 1930-an, Piaget mulai merumuskan teori-teorinya tentang perkembangan
kognitif. Ia menduduki berbagai posisi akademik, termasuk di Universitas
Geneva, di mana ia menjabat sebagai direktur di International Bureau of
Education. Dalam kapasitas ini, ia menekankan pentingnya pendidikan dalam
pembangunan perdamaian dan perkembangan kemanusiaan.³ Selama kariernya, Piaget
menerbitkan lebih dari 60 buku dan ratusan artikel ilmiah yang menjelaskan
teori konstruktivisme dan tahapan perkembangan kognitif anak.
Piaget tidak hanya
memberikan kontribusi besar dalam psikologi, tetapi juga dalam epistemologi dan
filsafat ilmu. Ia mendirikan Centre International d’Épistémologie Génétique
pada tahun 1955 sebagai wadah untuk mengkaji asal-usul dan struktur
pengetahuan.⁴ Dalam pandangan Piaget, pengetahuan tidak diperoleh secara pasif,
melainkan dikonstruksi secara aktif melalui interaksi dengan lingkungan, suatu
prinsip yang kelak menjadi landasan pendekatan konstruktivisme dalam
pendidikan.
Jean Piaget wafat
pada 16 September 1980 di Geneva, Swiss. Namun, warisan intelektualnya tetap hidup
dan terus memengaruhi berbagai disiplin ilmu, khususnya dalam bidang pendidikan
anak, psikologi perkembangan, dan teori belajar. Keberhasilan Piaget bukan
hanya terletak pada teori-teorinya yang revolusioner, tetapi juga pada
kemampuannya untuk memandang anak bukan sebagai "dewasa mini",
melainkan sebagai individu yang berpikir dengan cara unik dan kompleks sesuai
tahapan perkembangannya.
Catatan Kaki
[1]
Bärbel Inhelder and Jean Piaget, The Growth of Logical Thinking from
Childhood to Adolescence (New York: Basic Books, 1958), xxi.
[2]
Robert S. Feldman, Development Across the Life Span, 9th ed.
(Boston: Pearson, 2019), 15.
[3]
Jean Piaget, To Understand Is to Invent: The Future of Education
(New York: Grossman Publishers, 1973), 30.
[4]
Leslie Smith, Jean Piaget: Critical Assessments (London:
Routledge, 1992), 23–25.
3.
Landasan Teoretis Teori Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan
kognitif Jean Piaget dibangun di atas fondasi epistemologis yang menempatkan
anak sebagai subjek aktif dalam proses belajar dan pembentukan pengetahuan.
Piaget menyebut pendekatannya sebagai epistemologi genetis, yaitu
studi tentang asal-usul dan perkembangan struktur kognitif yang mendasari cara
manusia memahami dunia.¹ Berbeda dengan pandangan empiris yang menekankan bahwa
pengetahuan datang dari pengalaman luar secara pasif, Piaget menegaskan bahwa
pengetahuan adalah hasil dari proses aktif konstruksi mental yang berlangsung
melalui interaksi antara individu dan lingkungannya.
3.1.
Anak sebagai
Organisme Aktif
Bagi Piaget, anak
bukanlah wadah kosong yang diisi oleh informasi dari luar, melainkan organisme
aktif yang secara terus-menerus membangun, menyesuaikan, dan mengorganisasi
struktur kognitifnya.² Dalam konteks ini, belajar adalah proses adaptasi, bukan
hanya akumulasi pengetahuan. Anak mengamati, bereksperimen, dan mencoba
memahami dunia berdasarkan struktur berpikir yang tersedia pada tahap usianya.
Hal ini menjelaskan mengapa anak pada usia yang berbeda menunjukkan cara
berpikir dan menyelesaikan masalah yang sangat berbeda.
3.2.
Proses-Proses
Adaptif: Asimilasi, Akomodasi, dan Ekuilibrasi
Piaget mengemukakan
tiga proses utama dalam perkembangan kognitif, yakni asimilasi,
akomodasi,
dan ekuilibrasi.
·
Asimilasi
adalah proses memasukkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada, seperti
ketika anak melihat seekor zebra dan menyebutnya “kuda belang.”
·
Akomodasi
terjadi ketika struktur kognitif anak harus diubah atau disesuaikan agar dapat
memuat informasi baru secara akurat, seperti ketika anak belajar membedakan
zebra dari kuda.
·
Ekuilibrasi
adalah mekanisme keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, yang
memfasilitasi perkembangan menuju tingkat pemahaman yang lebih kompleks.³
Ekuilibrasi
merupakan konsep kunci dalam teori Piaget. Ia menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan
kognitif mendorong anak untuk mencari cara berpikir baru yang lebih sesuai,
sehingga terjadilah pertumbuhan intelektual yang sejati. Proses ini bersifat
universal, dan menurut Piaget, menjadi pendorong utama perkembangan intelektual
dari masa bayi hingga remaja.
3.3.
Skema Kognitif dan
Organisasi Mental
Inti dari teori
Piaget adalah gagasan tentang skema (schema), yaitu unit
dasar dari pengetahuan yang berfungsi sebagai kerangka untuk mengorganisasi
pengalaman dan merespons situasi. Skema berkembang seiring bertambahnya usia
dan pengalaman.⁴ Anak membentuk skema baru, atau memodifikasi skema lama, dalam
proses belajar yang berlangsung secara dinamis dan progresif. Dalam pandangan
Piaget, perkembangan kognitif bukan hanya soal memperoleh informasi, tetapi
tentang bagaimana individu membangun cara berpikir yang lebih logis, abstrak,
dan sistematis.
3.4.
Pendekatan
Konstruktivisme dalam Pendidikan
Secara keseluruhan,
teori Piaget melandasi pendekatan konstruktivisme dalam
pendidikan, yakni pandangan bahwa peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya melalui pengalaman langsung dan refleksi personal.⁵ Oleh karena
itu, dalam konteks pembelajaran, pendidik tidak berperan sebagai pemberi
informasi, melainkan sebagai fasilitator yang menciptakan kondisi bagi siswa
untuk mengeksplorasi, bertanya, dan menyusun pemahaman sendiri.
Catatan Kaki
[1]
Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central
Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy
(Chicago: University of Chicago Press, 1985), 4–6.
[2]
Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New York:
Worth Publishers, 2020), 27–28.
[3]
Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed.
(Boston: Pearson, 2016), 229–231.
[4]
David Wood, How Children Think and Learn, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 1998), 25–26.
[5]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 53.
4.
Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Jean Piaget
mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak berlangsung secara bertahap dan
universal melalui serangkaian tahapan berurutan yang tidak
dapat dilompati. Setiap tahapan mencerminkan cara berpikir yang khas dan
menunjukkan tingkat kompleksitas baru dalam struktur mental anak.¹ Piaget
membagi perkembangan kognitif ke dalam empat tahap utama, yang berkaitan
erat dengan usia kronologis dan kematangan neurologis anak.
4.1.
Tahap Sensorimotor
(0–2 tahun)
Tahap sensorimotor
merupakan fase awal perkembangan kognitif, di mana bayi belajar melalui
interaksi langsung dengan lingkungannya menggunakan indera
dan gerakan tubuh. Pada tahap ini, bayi belum mampu berpikir
secara simbolik; semua pemahaman didasarkan pada pengalaman konkret.²
Salah satu
pencapaian utama pada tahap ini adalah perolehan permanensi objek,
yakni kesadaran bahwa objek tetap ada meskipun tidak terlihat.³ Piaget membagi
tahap sensorimotor menjadi enam sub-tahapan, mulai dari refleks bawaan hingga
munculnya perilaku yang disengaja dan kemampuan representasi internal. Proses
ini membentuk dasar bagi berpikir logis di masa mendatang.
4.2.
Tahap Praoperasional
(2–7 tahun)
Pada tahap
praoperasional, anak mulai menggunakan bahasa dan simbol untuk
merepresentasikan objek dan peristiwa.⁴ Namun, pemikiran anak masih bersifat egosentris,
artinya mereka sulit melihat perspektif orang lain. Selain itu, mereka
menunjukkan pemikiran transduktif, yaitu
menarik hubungan kausal antara dua kejadian yang sebenarnya tidak berhubungan
secara logis.
Karakteristik
penting lainnya pada tahap ini adalah animisme (kepercayaan bahwa
benda mati memiliki perasaan) dan kesulitan dalam memahami konservasi,
yaitu konsep bahwa kuantitas tetap sama meskipun bentuk atau wadah berubah.⁵
Anak-anak pada tahap ini cenderung memfokuskan perhatian hanya pada satu aspek
situasi sekaligus (centration), dan belum mampu melakukan operasi logis secara
sistematik.
4.3.
Tahap Operasional
Konkret (7–11 tahun)
Pada tahap ini, anak
mulai menunjukkan kemampuan berpikir logis,
tetapi hanya terbatas pada situasi yang bersifat konkret dan dapat diobservasi
secara langsung.⁶ Mereka mampu memahami prinsip konservasi, klasifikasi,
seriasi,
dan reversibilitas.
·
Konservasi
mengacu pada pemahaman bahwa jumlah tetap sama meskipun tampilan fisik berubah.
·
Reversibilitas
adalah kemampuan untuk membalikkan proses mental, seperti menyadari bahwa jika
air dituangkan kembali ke wadah semula, volumenya tetap sama.
·
Klasifikasi
dan seriasi melibatkan kemampuan mengelompokkan dan
mengurutkan objek berdasarkan karakteristik tertentu.
Anak dalam tahap ini
juga mulai mengembangkan pemahaman moral yang lebih
kompleks dan mengurangi sikap egosentris yang mendominasi tahap sebelumnya.⁷
4.4.
Tahap Operasional
Formal (11 tahun ke atas)
Tahap ini ditandai
dengan munculnya kemampuan berpikir abstrak, hipotetis, dan deduktif.⁸
Remaja mulai dapat membayangkan situasi yang belum pernah dialami, berpikir
secara sistematis, dan menguji hipotesis secara logis. Ini adalah awal dari
kemampuan berpikir ilmiah dan reflektif.
Kemampuan ini
memungkinkan individu untuk merencanakan masa depan, menganalisis ide-ide
abstrak seperti keadilan atau kebebasan, dan menyusun argumen berdasarkan
prinsip logika formal.⁹ Namun, tidak semua individu mencapai atau mengembangkan
tahap ini secara menyeluruh, tergantung pada lingkungan, pendidikan, dan
stimulasi kognitif yang diterima.
Piaget menegaskan
bahwa tahapan-tahapan ini bersifat universal dan terjadi dalam
urutan yang tetap, meskipun usia kronologis dapat bervariasi antarindividu.¹⁰
Setiap tahap menyediakan dasar struktural bagi tahap berikutnya, mencerminkan
perkembangan bertahap dari pemikiran konkret ke abstrak. Dengan memahami
tahapan-tahapan ini, pendidik dan orang tua dapat menyesuaikan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik berpikir anak pada setiap fase
perkembangan.
Catatan Kaki
[1]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm
Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 2001), 15–17.
[2]
Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2018), 194–197.
[3]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 45–50.
[4]
Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New
York: Worth Publishers, 2020), 243–245.
[5]
David Shaffer and Katherine Kipp, Developmental Psychology:
Childhood and Adolescence, 10th ed. (Boston: Cengage, 2014), 258–260.
[6]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 59–61.
[7]
Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed.
(Boston: Pearson, 2016), 298–300.
[8]
Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Growth of Logical Thinking
from Childhood to Adolescence (New York: Basic Books, 1958), 133–135.
[9]
Robert S. Feldman, Development Across the Life Span, 9th ed.
(Boston: Pearson, 2019), 357–359.
[10]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 49–51.
5.
Aplikasi Teori Piaget dalam Dunia Pendidikan
Teori perkembangan
kognitif Jean Piaget memiliki implikasi mendalam dan luas dalam bidang
pendidikan, khususnya dalam hal pendekatan pengajaran,
perencanaan kurikulum, serta strategi evaluasi yang selaras dengan tahap
perkembangan berpikir anak. Piaget percaya bahwa proses belajar tidak dapat
dipaksakan sebelum anak mencapai tingkat kesiapan kognitif tertentu, karena perkembangan
mendahului pembelajaran—suatu pandangan yang sangat
mempengaruhi teori-teori pendidikan modern.¹
5.1.
Pembelajaran sebagai
Proses Konstruktif
Salah satu
kontribusi utama teori Piaget dalam pendidikan adalah pandangannya bahwa belajar
adalah proses konstruktif yang menuntut keterlibatan aktif
peserta didik. Anak membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi
dengan lingkungan, pemecahan masalah, eksplorasi, dan refleksi.² Hal ini
mendorong munculnya pendekatan pembelajaran aktif (active
learning), yang meminimalkan ceramah pasif dan memaksimalkan
partisipasi siswa dalam kegiatan bermakna.
Pendekatan ini juga
menekankan pentingnya kesalahan sebagai bagian dari proses belajar.
Ketika anak menghadapi konflik kognitif (misalnya saat skema lama tidak sesuai
dengan informasi baru), mereka akan berupaya mencapai keseimbangan kembali
(ekuilibrasi) melalui akomodasi.³ Oleh karena itu, lingkungan belajar yang
merangsang berpikir kritis, eksperimen, dan pemecahan masalah menjadi sangat
penting.
5.2.
Peran Guru sebagai
Fasilitator, Bukan Transmitor
Dalam kerangka
Piagetian, guru tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi,
melainkan sebagai fasilitator perkembangan kognitif.
Guru harus memahami tahap perkembangan peserta didik agar dapat merancang
pengalaman belajar yang sesuai dan menantang, namun tidak terlalu sulit.⁴
Piaget menyarankan
agar guru:
·
Memberikan waktu dan ruang
untuk eksplorasi mandiri,
·
Menyediakan pengalaman
konkret untuk anak-anak dalam tahap operasional konkret,
·
Mengajukan pertanyaan
terbuka yang merangsang berpikir reflektif dan hipotetis pada anak-anak yang
sudah berada dalam tahap operasional formal.⁵
5.3.
Diferensiasi
Kurikulum Berdasarkan Tahap Kognitif
Teori Piaget juga
menuntut penyesuaian kurikulum agar
selaras dengan tingkat perkembangan mental anak. Misalnya, siswa usia
prasekolah (praoperasional) sebaiknya diberikan aktivitas yang menekankan pada
simbolisasi dan permainan imajinatif, sementara siswa sekolah dasar
(operasional konkret) harus banyak terlibat dalam aktivitas
manipulatif dan eksperimen langsung untuk memahami
konsep-konsep logis seperti pengukuran, klasifikasi, dan konservasi.⁶
Sementara itu, pada
tahap operasional formal, remaja mulai siap untuk menyelami abstraksi,
penalaran deduktif, dan eksplorasi ide-ide filosofis, sehingga
kurikulum dapat diperluas ke dalam isu-isu etika, logika formal, serta proyek
riset yang kompleks.
5.4.
Evaluasi Berdasarkan
Proses, Bukan Hanya Hasil
Penilaian dalam
pendekatan Piagetian tidak hanya berfokus pada hasil akhir atau jawaban yang
benar, melainkan pada proses berpikir yang digunakan
siswa.⁷ Guru didorong untuk melakukan asesmen formatif yang menilai
cara anak menalar, menjelaskan jawabannya, dan menghubungkan ide-ide. Teknik
seperti observasi, wawancara klinis (clinical interview), dan portofolio
menjadi alat penting untuk mengungkap struktur berpikir siswa.
5.5.
Implikasi Etis dan
Filosofis
Lebih dari sekadar
pendekatan teknis, aplikasi teori Piaget juga mencerminkan penghargaan
terhadap anak sebagai subjek yang otonom, yang berpikir dan
berkembang sesuai logikanya sendiri.⁸ Oleh karena itu, pendekatan pendidikan
yang diinspirasikan oleh Piaget menghindari pemaksaan atau indoktrinasi, dan
lebih menekankan pada penciptaan kondisi untuk berkembangnya nalar dan tanggung
jawab pribadi.
Dengan demikian,
teori perkembangan kognitif Jean Piaget menawarkan landasan teoritis yang kuat
dan aplikatif untuk membangun sistem pendidikan yang menghormati perkembangan
alamiah anak. Dalam konteks pendidikan abad ke-21 yang menuntut keterampilan
berpikir kritis, pemecahan masalah, dan pembelajaran mandiri, pendekatan
Piagetian tetap relevan dan bahkan semakin dibutuhkan.
Catatan Kaki
[1]
Jean Piaget, To Understand Is to Invent: The Future of Education
(New York: Grossman Publishers, 1973), 20–21.
[2]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 58–60.
[3]
Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central
Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy
(Chicago: University of Chicago Press, 1985), 6–8.
[4]
David Wood, How Children Think and Learn, 2nd ed. (Oxford:
Blackwell, 1998), 40–42.
[5]
Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New
York: Worth Publishers, 2020), 265–267.
[6]
Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed.
(Boston: Pearson, 2016), 300–305.
[7]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development,
5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 85–87.
[8]
Leslie Smith, Jean Piaget: Critical Assessments, vol. 1
(London: Routledge, 1992), 31–33.
6.
Kritik dan Perkembangan Lanjutan Teori Piaget
Teori perkembangan
kognitif Jean Piaget telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam
pemahaman tentang cara anak berpikir dan belajar. Namun, seperti semua teori
besar dalam ilmu sosial, teori ini tidak luput dari kritik dan revisi oleh para
psikolog serta peneliti perkembangan berikutnya. Sejumlah kritik diarahkan pada
aspek metodologis, universalitas tahapan, serta kurangnya perhatian terhadap
dimensi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif.
6.1.
Kritik terhadap
Aspek Metodologis
Salah satu kritik
utama terhadap teori Piaget adalah bahwa metode observasi klinis yang
digunakannya bersifat subjektif dan tidak selalu dapat diandalkan untuk
generalisasi. Piaget seringkali mengandalkan pengamatan terhadap anak-anaknya
sendiri atau sampel kecil dalam eksperimen yang bersifat kualitatif dan tidak
terstandar.¹ Akibatnya, validitas empiris dari beberapa temuan Piaget menjadi
dipertanyakan dalam konteks studi psikologi modern yang mengutamakan desain
eksperimental dan statistik inferensial.
6.2.
Ketidaktepatan Usia
Tahapan
Penelitian
berikutnya menunjukkan bahwa anak-anak dapat mencapai kemampuan kognitif
tertentu lebih awal dari yang diperkirakan oleh Piaget.
Misalnya, studi oleh Baillargeon dan koleganya menemukan bahwa bayi berusia 3–4
bulan sudah menunjukkan tanda-tanda memahami permanensi objek, suatu
kemampuan yang menurut Piaget baru muncul pada akhir tahap sensorimotor
(sekitar 8–12 bulan).² Hal ini menunjukkan bahwa urutan perkembangan mungkin
benar, tetapi usia kronologis yang ditetapkan oleh Piaget
tidak bersifat mutlak.
6.3.
Kurangnya Penekanan
pada Faktor Sosial dan Kultural
Teori Piaget juga
dikritik karena kurang mempertimbangkan pengaruh lingkungan
sosial, bahasa, dan budaya dalam perkembangan kognitif.³ Dalam
hal ini, Lev Vygotsky, seorang psikolog
Rusia, menawarkan pendekatan alternatif melalui teori sosiokultural,
yang menekankan pentingnya interaksi sosial, mediasi bahasa, dan peran
tutor atau guru dalam membentuk struktur kognitif anak.⁴ Konsep
zone of
proximal development (ZPD) dari Vygotsky menjadi pelengkap penting
terhadap pandangan Piaget yang lebih bersifat individualistis.
6.4.
Rigiditas Struktur
Tahapan
Meskipun Piaget
menyatakan bahwa tahapan perkembangan bersifat universal dan berurutan, penelitian
kontemporer menunjukkan bahwa perkembangan kognitif tidak selalu bersifat
linier atau seragam. Banyak anak memperlihatkan kemampuan
berpikir dari dua tahap yang berbeda secara bersamaan, tergantung pada konteks
dan pengalaman belajar mereka.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif
lebih fleksibel daripada yang digambarkan dalam skema Piaget.
6.5.
Perkembangan
Teoretis dan Integrasi Baru
Kendati mendapat
kritik, teori Piaget tetap menjadi fondasi utama dalam
psikologi perkembangan, dan banyak gagasan Piaget telah
diintegrasikan atau dikembangkan lebih lanjut dalam kerangka teoritis baru.
Para psikolog kognitif kontemporer, seperti Robert Siegler, mengusulkan pendekatan
teori
gelombang bertumpuk (overlapping waves theory), yang
menyatakan bahwa strategi kognitif anak berkembang dalam lintasan yang saling
tumpang tindih, bukan melalui tahapan diskret.⁶
Selain itu,
perkembangan teknologi neuropsikologi dan pencitraan otak telah memungkinkan
studi tentang korelasi antara perkembangan struktur otak dan
kemampuan kognitif, memperkaya pemahaman yang sebelumnya hanya
bersifat perilaku.
6.6.
Nilai Historis dan
Relevansi Kontemporer
Meskipun tidak lagi
dianggap sepenuhnya preskriptif, teori Piaget tetap sangat
relevan sebagai kerangka konseptual yang membantu pendidik dan
psikolog memahami dinamika berpikir anak. Kekuatan terbesar teori ini terletak
pada kontribusinya terhadap pandangan bahwa anak adalah subjek aktif dalam
proses belajar dan bahwa berpikir berkembang melalui interaksi dengan dunia
nyata.⁷ Oleh karena itu, teori Piaget tetap menjadi bahan ajar pokok dalam
berbagai program studi pendidikan dan psikologi di seluruh dunia.
Catatan Kaki
[1]
David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean
Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 13–15.
[2]
Renée Baillargeon, “The Object Concept Revisited: New Directions in
the Investigation of Infants’ Physical Knowledge”, in Visual
Perception and Cognition in Infancy, ed. A. Diamond (Boston: Springer,
1993), 265–315.
[3]
Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed.
(Boston: Pearson, 2016), 301–303.
[4]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[5]
Robert Siegler, Children’s Thinking, 4th ed. (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2006), 18–21.
[6]
Robert Siegler, “Emerging Minds: The Process of Change in
Children’s Thinking” (New York: Oxford University Press, 1996), 25–26.
[7]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 102–104.
7.
Kesimpulan
Jean Piaget telah
meletakkan dasar yang kokoh bagi pemahaman modern mengenai perkembangan
kognitif anak. Dengan memandang anak sebagai agen aktif dalam proses belajar,
Piaget membalik paradigma lama yang memposisikan peserta didik sebagai penerima
pasif informasi.¹ Melalui kerangka teorinya yang mencakup empat tahapan
perkembangan — sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan
operasional formal — Piaget menunjukkan bahwa pemikiran anak berkembang secara
bertahap dari yang bersifat konkret ke abstrak, dari egosentris ke logis dan
sistematis.²
Konsep-konsep kunci
seperti skema,
asimilasi,
akomodasi,
dan ekuilibrasi
memberikan pemahaman mendalam mengenai mekanisme internal yang mendasari
perubahan kognitif.³ Piaget berhasil menyusun model perkembangan mental yang
tidak hanya menjelaskan bagaimana anak memahami dunia, tetapi juga bagaimana
mereka menyesuaikan struktur pengetahuannya secara terus-menerus melalui
pengalaman langsung dan konflik kognitif.
Dalam dunia
pendidikan, kontribusi Piaget bersifat transformatif. Ia mengilhami pendekatan konstruktivis
yang menekankan pembelajaran aktif, penyesuaian materi ajar berdasarkan tahap
perkembangan siswa, serta peran guru sebagai fasilitator.⁴ Penerapan teori ini
menuntut sistem pendidikan untuk lebih menghargai proses berpikir anak dan
mendorong eksplorasi serta pembelajaran mandiri yang bermakna.
Meskipun demikian,
teori Piaget tidak luput dari kritik. Beberapa peneliti menyangsikan ketepatan
usia tahapan yang ia tetapkan dan menganggap pendekatannya terlalu
individualistis karena kurang memperhatikan pengaruh lingkungan sosial dan
budaya.⁵ Teori Vygotsky tentang perkembangan sosiokultural, serta pendekatan kognitif
modern yang lebih fleksibel, telah melengkapi dan merevisi sebagian asumsi
Piaget.
Namun demikian,
nilai historis dan relevansi kontemporer teori Piaget tetap tak tergantikan. Ia
bukan hanya memperkenalkan kerangka berpikir baru dalam psikologi perkembangan,
tetapi juga memperluas horizon pendidikan dengan menekankan pentingnya memahami
dunia anak dari sudut pandang mereka sendiri.⁶ Oleh karena itu, warisan Piaget
tetap menjadi pijakan utama dalam pengembangan kurikulum, strategi
pembelajaran, dan asesmen pendidikan di berbagai belahan dunia hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm
Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 2001), 3–5.
[2]
Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed.
(Boston: Pearson, 2018), 229–237.
[3]
Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central
Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy
(Chicago: University of Chicago Press, 1985), 1–9.
[4]
Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston:
Pearson, 2016), 53–60.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[6]
Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective
Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 105–107.
Daftar Pustaka
Baillargeon, R. (1993). The
object concept revisited: New directions in the investigation of infants’
physical knowledge. In A. Diamond (Ed.), Visual perception and cognition in
infancy (pp. 265–315). Springer.
Berk, L. E. (2016). Infants,
children, and adolescents (8th ed.). Pearson.
Berk, L. E. (2018). Development
through the lifespan (7th ed.). Pearson.
Elkind, D. (1970). Children
and adolescents: Interpretive essays on Jean Piaget. Oxford University
Press.
Feldman, R. S. (2019). Development
across the life span (9th ed.). Pearson.
Inhelder, B., & Piaget,
J. (1958). The growth of logical thinking from childhood to adolescence.
Basic Books.
Piaget, J. (1952). The
origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International
Universities Press.
Piaget, J. (1973). To
understand is to invent: The future of education. Grossman Publishers.
Piaget, J. (1985). The
equilibration of cognitive structures: The central problem of intellectual
development (T. Brown & K. Thampy, Trans.). University of Chicago
Press.
Piaget, J. (2001). The
psychology of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.).
Routledge. (Original work published 1947)
Shaffer, D. R., & Kipp,
K. (2014). Developmental psychology: Childhood and adolescence (10th
ed.). Cengage Learning.
Siegler, R. S. (1996). Emerging
minds: The process of change in children’s thinking. Oxford University
Press.
Siegler, R. S., Deloache,
J. S., Eisenberg, N., & Saffran, J. R. (2020). How children develop
(6th ed.). Worth Publishers.
Smith, L. (1992). Jean
Piaget: Critical assessments (Vol. 1). Routledge.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.
Wadsworth, B. J. (2004). Piaget’s
theory of cognitive and affective development (5th ed.). Pearson.
Wood, D. (1998). How
children think and learn: The social contexts of cognitive development
(2nd ed.). Blackwell.
Woolfolk, A. (2016). Educational
psychology (14th ed.). Pearson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar