Senin, 02 Juni 2025

Teori Perkembangan Kognitif: Telaah Komprehensif atas Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Teori Perkembangan Kognitif

Telaah Komprehensif atas Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget


Alihkan ke: Cara Berpikir dan Peran Filsafat dalam Pembentukannya.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang psikologi perkembangan dan pendidikan. Piaget memandang anak sebagai individu aktif yang secara bertahap membangun struktur pengetahuan melalui proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Dengan membagi perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan universal — sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal — teori ini memberikan kerangka penting dalam memahami dinamika berpikir anak. Artikel ini juga mengulas penerapan teori Piaget dalam dunia pendidikan, termasuk pendekatan pembelajaran aktif, peran guru sebagai fasilitator, serta pentingnya penyesuaian kurikulum berdasarkan tahap perkembangan. Di samping itu, dibahas pula kritik-kritik terhadap teori Piaget, terutama mengenai metode penelitian, ketepatan usia tahapan, serta kurangnya perhatian terhadap faktor sosial dan budaya. Meskipun demikian, nilai teoritis dan aplikatif teori Piaget tetap relevan dalam membentuk sistem pendidikan yang berpihak pada perkembangan alami anak. Dengan pendekatan yang bersifat analitis dan didukung oleh literatur ilmiah terkini, artikel ini bertujuan untuk memperkaya pemahaman akademis terhadap kontribusi dan keterbatasan teori Piaget dalam konteks pendidikan modern.

Kata Kunci: Jean Piaget; perkembangan kognitif; tahapan berpikir; pendidikan anak; konstruktivisme; psikologi perkembangan; teori belajar.


PEMBAHASAN

Memahami Dunia Anak Melalui Teori Perkembangan Kognitif


1.           Pendahuluan

Perkembangan kognitif merupakan aspek fundamental dalam studi psikologi perkembangan, khususnya dalam memahami bagaimana individu, terutama anak-anak, membangun pengetahuan, berpikir, dan memahami dunia di sekitarnya. Dalam dunia pendidikan dan psikologi, pemahaman terhadap proses kognitif sangat penting untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam studi ini adalah Jean Piaget, seorang psikolog asal Swiss yang mengembangkan teori perkembangan kognitif berdasarkan hasil observasi terhadap anak-anak.

Jean Piaget memandang anak sebagai individu yang aktif secara mental, bukan sekadar penerima pasif dari informasi yang datang dari lingkungannya. Dalam pandangannya, anak belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungannya, membangun pengetahuan secara bertahap melalui proses yang disebut asimilasi dan akomodasi.¹ Pandangan ini menandai pergeseran penting dari paradigma behavioristik, yang menekankan pembelajaran sebagai hasil dari stimulus dan respons, menuju pendekatan konstruktivis yang lebih menekankan pada peran aktif subjek dalam pembentukan pengetahuan.²

Teori Piaget menjadi landasan utama dalam memahami bagaimana tahapan-tahapan berpikir anak berkembang seiring pertumbuhan usia mereka. Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan utama yang berurutan dan universal, yaitu: sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.³ Masing-masing tahap ini mencerminkan karakteristik berpikir tertentu dan menentukan bagaimana anak memproses informasi serta merespons berbagai situasi. Pemahaman terhadap tahapan-tahapan ini menjadi sangat relevan dalam merancang metode pengajaran yang adaptif dan efektif.

Selain memberikan kontribusi besar bagi bidang psikologi perkembangan, teori Piaget juga memiliki dampak yang luas dalam dunia pendidikan. Pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, penekanan pada penemuan (discovery learning), serta perhatian terhadap kesiapan perkembangan anak merupakan sebagian dari implikasi praktis dari teorinya yang masih digunakan hingga kini.⁴ Oleh karena itu, kajian komprehensif terhadap teori perkembangan kognitif Jean Piaget menjadi penting, tidak hanya untuk memahami bagaimana anak berpikir dan belajar, tetapi juga untuk mengevaluasi relevansi dan aplikasinya dalam konteks pendidikan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 6–7.

[2]                Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New York: Worth Publishers, 2020), 30.

[3]                Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed. (Boston: Pearson, 2018), 233–237.

[4]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 53–55.


2.           Biografi Singkat Jean Piaget

Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di kota Neuchâtel, Swiss, dari pasangan Arthur Piaget, seorang profesor literatur abad pertengahan, dan Rebecca Jackson. Sejak usia dini, Piaget menunjukkan minat yang mendalam terhadap ilmu alam, khususnya biologi dan paleontologi. Pada usia 11 tahun, ia telah menulis artikel ilmiah pertamanya tentang burung pipit albino, yang menandakan awal karier akademiknya.¹ Ketertarikannya terhadap ilmu biologi—khususnya teori evolusi—mempengaruhi pandangan-pandangannya tentang perkembangan manusia sebagai proses adaptif yang terus-menerus.

Piaget menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang zoologi dari Universitas Neuchâtel pada tahun 1918. Setelah lulus, ia pindah ke Paris dan mulai bekerja di laboratorium Alfred Binet, tokoh pelopor tes kecerdasan. Pengalaman ini memberikan landasan penting bagi Piaget dalam menyusun pandangannya tentang perkembangan intelektual anak.² Ketika meneliti jawaban-jawaban anak terhadap soal-soal tes Binet, Piaget menemukan bahwa kesalahan yang dilakukan anak mengikuti pola tertentu yang konsisten sesuai usia mereka. Temuan ini membuatnya tertarik untuk menyelidiki struktur berpikir anak-anak secara sistematis.

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, Piaget mulai merumuskan teori-teorinya tentang perkembangan kognitif. Ia menduduki berbagai posisi akademik, termasuk di Universitas Geneva, di mana ia menjabat sebagai direktur di International Bureau of Education. Dalam kapasitas ini, ia menekankan pentingnya pendidikan dalam pembangunan perdamaian dan perkembangan kemanusiaan.³ Selama kariernya, Piaget menerbitkan lebih dari 60 buku dan ratusan artikel ilmiah yang menjelaskan teori konstruktivisme dan tahapan perkembangan kognitif anak.

Piaget tidak hanya memberikan kontribusi besar dalam psikologi, tetapi juga dalam epistemologi dan filsafat ilmu. Ia mendirikan Centre International d’Épistémologie Génétique pada tahun 1955 sebagai wadah untuk mengkaji asal-usul dan struktur pengetahuan.⁴ Dalam pandangan Piaget, pengetahuan tidak diperoleh secara pasif, melainkan dikonstruksi secara aktif melalui interaksi dengan lingkungan, suatu prinsip yang kelak menjadi landasan pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan.

Jean Piaget wafat pada 16 September 1980 di Geneva, Swiss. Namun, warisan intelektualnya tetap hidup dan terus memengaruhi berbagai disiplin ilmu, khususnya dalam bidang pendidikan anak, psikologi perkembangan, dan teori belajar. Keberhasilan Piaget bukan hanya terletak pada teori-teorinya yang revolusioner, tetapi juga pada kemampuannya untuk memandang anak bukan sebagai "dewasa mini", melainkan sebagai individu yang berpikir dengan cara unik dan kompleks sesuai tahapan perkembangannya.


Catatan Kaki

[1]                Bärbel Inhelder and Jean Piaget, The Growth of Logical Thinking from Childhood to Adolescence (New York: Basic Books, 1958), xxi.

[2]                Robert S. Feldman, Development Across the Life Span, 9th ed. (Boston: Pearson, 2019), 15.

[3]                Jean Piaget, To Understand Is to Invent: The Future of Education (New York: Grossman Publishers, 1973), 30.

[4]                Leslie Smith, Jean Piaget: Critical Assessments (London: Routledge, 1992), 23–25.


3.           Landasan Teoretis Teori Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif Jean Piaget dibangun di atas fondasi epistemologis yang menempatkan anak sebagai subjek aktif dalam proses belajar dan pembentukan pengetahuan. Piaget menyebut pendekatannya sebagai epistemologi genetis, yaitu studi tentang asal-usul dan perkembangan struktur kognitif yang mendasari cara manusia memahami dunia.¹ Berbeda dengan pandangan empiris yang menekankan bahwa pengetahuan datang dari pengalaman luar secara pasif, Piaget menegaskan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses aktif konstruksi mental yang berlangsung melalui interaksi antara individu dan lingkungannya.

3.1.       Anak sebagai Organisme Aktif

Bagi Piaget, anak bukanlah wadah kosong yang diisi oleh informasi dari luar, melainkan organisme aktif yang secara terus-menerus membangun, menyesuaikan, dan mengorganisasi struktur kognitifnya.² Dalam konteks ini, belajar adalah proses adaptasi, bukan hanya akumulasi pengetahuan. Anak mengamati, bereksperimen, dan mencoba memahami dunia berdasarkan struktur berpikir yang tersedia pada tahap usianya. Hal ini menjelaskan mengapa anak pada usia yang berbeda menunjukkan cara berpikir dan menyelesaikan masalah yang sangat berbeda.

3.2.       Proses-Proses Adaptif: Asimilasi, Akomodasi, dan Ekuilibrasi

Piaget mengemukakan tiga proses utama dalam perkembangan kognitif, yakni asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi.

·                     Asimilasi adalah proses memasukkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada, seperti ketika anak melihat seekor zebra dan menyebutnya “kuda belang.”

·                     Akomodasi terjadi ketika struktur kognitif anak harus diubah atau disesuaikan agar dapat memuat informasi baru secara akurat, seperti ketika anak belajar membedakan zebra dari kuda.

·                     Ekuilibrasi adalah mekanisme keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, yang memfasilitasi perkembangan menuju tingkat pemahaman yang lebih kompleks.³

Ekuilibrasi merupakan konsep kunci dalam teori Piaget. Ia menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kognitif mendorong anak untuk mencari cara berpikir baru yang lebih sesuai, sehingga terjadilah pertumbuhan intelektual yang sejati. Proses ini bersifat universal, dan menurut Piaget, menjadi pendorong utama perkembangan intelektual dari masa bayi hingga remaja.

3.3.       Skema Kognitif dan Organisasi Mental

Inti dari teori Piaget adalah gagasan tentang skema (schema), yaitu unit dasar dari pengetahuan yang berfungsi sebagai kerangka untuk mengorganisasi pengalaman dan merespons situasi. Skema berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.⁴ Anak membentuk skema baru, atau memodifikasi skema lama, dalam proses belajar yang berlangsung secara dinamis dan progresif. Dalam pandangan Piaget, perkembangan kognitif bukan hanya soal memperoleh informasi, tetapi tentang bagaimana individu membangun cara berpikir yang lebih logis, abstrak, dan sistematis.

3.4.       Pendekatan Konstruktivisme dalam Pendidikan

Secara keseluruhan, teori Piaget melandasi pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan, yakni pandangan bahwa peserta didik membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalaman langsung dan refleksi personal.⁵ Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran, pendidik tidak berperan sebagai pemberi informasi, melainkan sebagai fasilitator yang menciptakan kondisi bagi siswa untuk mengeksplorasi, bertanya, dan menyusun pemahaman sendiri.


Catatan Kaki

[1]                Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy (Chicago: University of Chicago Press, 1985), 4–6.

[2]                Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New York: Worth Publishers, 2020), 27–28.

[3]                Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed. (Boston: Pearson, 2016), 229–231.

[4]                David Wood, How Children Think and Learn, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 1998), 25–26.

[5]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 53.


4.           Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

Jean Piaget mengemukakan bahwa perkembangan kognitif anak berlangsung secara bertahap dan universal melalui serangkaian tahapan berurutan yang tidak dapat dilompati. Setiap tahapan mencerminkan cara berpikir yang khas dan menunjukkan tingkat kompleksitas baru dalam struktur mental anak.¹ Piaget membagi perkembangan kognitif ke dalam empat tahap utama, yang berkaitan erat dengan usia kronologis dan kematangan neurologis anak.

4.1.       Tahap Sensorimotor (0–2 tahun)

Tahap sensorimotor merupakan fase awal perkembangan kognitif, di mana bayi belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungannya menggunakan indera dan gerakan tubuh. Pada tahap ini, bayi belum mampu berpikir secara simbolik; semua pemahaman didasarkan pada pengalaman konkret.²

Salah satu pencapaian utama pada tahap ini adalah perolehan permanensi objek, yakni kesadaran bahwa objek tetap ada meskipun tidak terlihat.³ Piaget membagi tahap sensorimotor menjadi enam sub-tahapan, mulai dari refleks bawaan hingga munculnya perilaku yang disengaja dan kemampuan representasi internal. Proses ini membentuk dasar bagi berpikir logis di masa mendatang.

4.2.       Tahap Praoperasional (2–7 tahun)

Pada tahap praoperasional, anak mulai menggunakan bahasa dan simbol untuk merepresentasikan objek dan peristiwa.⁴ Namun, pemikiran anak masih bersifat egosentris, artinya mereka sulit melihat perspektif orang lain. Selain itu, mereka menunjukkan pemikiran transduktif, yaitu menarik hubungan kausal antara dua kejadian yang sebenarnya tidak berhubungan secara logis.

Karakteristik penting lainnya pada tahap ini adalah animisme (kepercayaan bahwa benda mati memiliki perasaan) dan kesulitan dalam memahami konservasi, yaitu konsep bahwa kuantitas tetap sama meskipun bentuk atau wadah berubah.⁵ Anak-anak pada tahap ini cenderung memfokuskan perhatian hanya pada satu aspek situasi sekaligus (centration), dan belum mampu melakukan operasi logis secara sistematik.

4.3.       Tahap Operasional Konkret (7–11 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan kemampuan berpikir logis, tetapi hanya terbatas pada situasi yang bersifat konkret dan dapat diobservasi secara langsung.⁶ Mereka mampu memahami prinsip konservasi, klasifikasi, seriasi, dan reversibilitas.

·                     Konservasi mengacu pada pemahaman bahwa jumlah tetap sama meskipun tampilan fisik berubah.

·                     Reversibilitas adalah kemampuan untuk membalikkan proses mental, seperti menyadari bahwa jika air dituangkan kembali ke wadah semula, volumenya tetap sama.

·                     Klasifikasi dan seriasi melibatkan kemampuan mengelompokkan dan mengurutkan objek berdasarkan karakteristik tertentu.

Anak dalam tahap ini juga mulai mengembangkan pemahaman moral yang lebih kompleks dan mengurangi sikap egosentris yang mendominasi tahap sebelumnya.⁷

4.4.       Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas)

Tahap ini ditandai dengan munculnya kemampuan berpikir abstrak, hipotetis, dan deduktif.⁸ Remaja mulai dapat membayangkan situasi yang belum pernah dialami, berpikir secara sistematis, dan menguji hipotesis secara logis. Ini adalah awal dari kemampuan berpikir ilmiah dan reflektif.

Kemampuan ini memungkinkan individu untuk merencanakan masa depan, menganalisis ide-ide abstrak seperti keadilan atau kebebasan, dan menyusun argumen berdasarkan prinsip logika formal.⁹ Namun, tidak semua individu mencapai atau mengembangkan tahap ini secara menyeluruh, tergantung pada lingkungan, pendidikan, dan stimulasi kognitif yang diterima.


Piaget menegaskan bahwa tahapan-tahapan ini bersifat universal dan terjadi dalam urutan yang tetap, meskipun usia kronologis dapat bervariasi antarindividu.¹⁰ Setiap tahap menyediakan dasar struktural bagi tahap berikutnya, mencerminkan perkembangan bertahap dari pemikiran konkret ke abstrak. Dengan memahami tahapan-tahapan ini, pendidik dan orang tua dapat menyesuaikan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik berpikir anak pada setiap fase perkembangan.


Catatan Kaki

[1]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 2001), 15–17.

[2]                Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed. (Boston: Pearson, 2018), 194–197.

[3]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 45–50.

[4]                Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New York: Worth Publishers, 2020), 243–245.

[5]                David Shaffer and Katherine Kipp, Developmental Psychology: Childhood and Adolescence, 10th ed. (Boston: Cengage, 2014), 258–260.

[6]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 59–61.

[7]                Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed. (Boston: Pearson, 2016), 298–300.

[8]                Jean Piaget and Bärbel Inhelder, The Growth of Logical Thinking from Childhood to Adolescence (New York: Basic Books, 1958), 133–135.

[9]                Robert S. Feldman, Development Across the Life Span, 9th ed. (Boston: Pearson, 2019), 357–359.

[10]             Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 49–51.


5.           Aplikasi Teori Piaget dalam Dunia Pendidikan

Teori perkembangan kognitif Jean Piaget memiliki implikasi mendalam dan luas dalam bidang pendidikan, khususnya dalam hal pendekatan pengajaran, perencanaan kurikulum, serta strategi evaluasi yang selaras dengan tahap perkembangan berpikir anak. Piaget percaya bahwa proses belajar tidak dapat dipaksakan sebelum anak mencapai tingkat kesiapan kognitif tertentu, karena perkembangan mendahului pembelajaran—suatu pandangan yang sangat mempengaruhi teori-teori pendidikan modern.¹

5.1.       Pembelajaran sebagai Proses Konstruktif

Salah satu kontribusi utama teori Piaget dalam pendidikan adalah pandangannya bahwa belajar adalah proses konstruktif yang menuntut keterlibatan aktif peserta didik. Anak membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan, pemecahan masalah, eksplorasi, dan refleksi.² Hal ini mendorong munculnya pendekatan pembelajaran aktif (active learning), yang meminimalkan ceramah pasif dan memaksimalkan partisipasi siswa dalam kegiatan bermakna.

Pendekatan ini juga menekankan pentingnya kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Ketika anak menghadapi konflik kognitif (misalnya saat skema lama tidak sesuai dengan informasi baru), mereka akan berupaya mencapai keseimbangan kembali (ekuilibrasi) melalui akomodasi.³ Oleh karena itu, lingkungan belajar yang merangsang berpikir kritis, eksperimen, dan pemecahan masalah menjadi sangat penting.

5.2.       Peran Guru sebagai Fasilitator, Bukan Transmitor

Dalam kerangka Piagetian, guru tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan sebagai fasilitator perkembangan kognitif. Guru harus memahami tahap perkembangan peserta didik agar dapat merancang pengalaman belajar yang sesuai dan menantang, namun tidak terlalu sulit.⁴

Piaget menyarankan agar guru:

·                     Memberikan waktu dan ruang untuk eksplorasi mandiri,

·                     Menyediakan pengalaman konkret untuk anak-anak dalam tahap operasional konkret,

·                     Mengajukan pertanyaan terbuka yang merangsang berpikir reflektif dan hipotetis pada anak-anak yang sudah berada dalam tahap operasional formal.⁵

5.3.       Diferensiasi Kurikulum Berdasarkan Tahap Kognitif

Teori Piaget juga menuntut penyesuaian kurikulum agar selaras dengan tingkat perkembangan mental anak. Misalnya, siswa usia prasekolah (praoperasional) sebaiknya diberikan aktivitas yang menekankan pada simbolisasi dan permainan imajinatif, sementara siswa sekolah dasar (operasional konkret) harus banyak terlibat dalam aktivitas manipulatif dan eksperimen langsung untuk memahami konsep-konsep logis seperti pengukuran, klasifikasi, dan konservasi.⁶

Sementara itu, pada tahap operasional formal, remaja mulai siap untuk menyelami abstraksi, penalaran deduktif, dan eksplorasi ide-ide filosofis, sehingga kurikulum dapat diperluas ke dalam isu-isu etika, logika formal, serta proyek riset yang kompleks.

5.4.       Evaluasi Berdasarkan Proses, Bukan Hanya Hasil

Penilaian dalam pendekatan Piagetian tidak hanya berfokus pada hasil akhir atau jawaban yang benar, melainkan pada proses berpikir yang digunakan siswa.⁷ Guru didorong untuk melakukan asesmen formatif yang menilai cara anak menalar, menjelaskan jawabannya, dan menghubungkan ide-ide. Teknik seperti observasi, wawancara klinis (clinical interview), dan portofolio menjadi alat penting untuk mengungkap struktur berpikir siswa.

5.5.       Implikasi Etis dan Filosofis

Lebih dari sekadar pendekatan teknis, aplikasi teori Piaget juga mencerminkan penghargaan terhadap anak sebagai subjek yang otonom, yang berpikir dan berkembang sesuai logikanya sendiri.⁸ Oleh karena itu, pendekatan pendidikan yang diinspirasikan oleh Piaget menghindari pemaksaan atau indoktrinasi, dan lebih menekankan pada penciptaan kondisi untuk berkembangnya nalar dan tanggung jawab pribadi.


Dengan demikian, teori perkembangan kognitif Jean Piaget menawarkan landasan teoritis yang kuat dan aplikatif untuk membangun sistem pendidikan yang menghormati perkembangan alamiah anak. Dalam konteks pendidikan abad ke-21 yang menuntut keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan pembelajaran mandiri, pendekatan Piagetian tetap relevan dan bahkan semakin dibutuhkan.


Catatan Kaki

[1]                Jean Piaget, To Understand Is to Invent: The Future of Education (New York: Grossman Publishers, 1973), 20–21.

[2]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 58–60.

[3]                Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy (Chicago: University of Chicago Press, 1985), 6–8.

[4]                David Wood, How Children Think and Learn, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 1998), 40–42.

[5]                Robert Siegler et al., How Children Develop, 6th ed. (New York: Worth Publishers, 2020), 265–267.

[6]                Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed. (Boston: Pearson, 2016), 300–305.

[7]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 85–87.

[8]                Leslie Smith, Jean Piaget: Critical Assessments, vol. 1 (London: Routledge, 1992), 31–33.


6.           Kritik dan Perkembangan Lanjutan Teori Piaget

Teori perkembangan kognitif Jean Piaget telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam pemahaman tentang cara anak berpikir dan belajar. Namun, seperti semua teori besar dalam ilmu sosial, teori ini tidak luput dari kritik dan revisi oleh para psikolog serta peneliti perkembangan berikutnya. Sejumlah kritik diarahkan pada aspek metodologis, universalitas tahapan, serta kurangnya perhatian terhadap dimensi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif.

6.1.       Kritik terhadap Aspek Metodologis

Salah satu kritik utama terhadap teori Piaget adalah bahwa metode observasi klinis yang digunakannya bersifat subjektif dan tidak selalu dapat diandalkan untuk generalisasi. Piaget seringkali mengandalkan pengamatan terhadap anak-anaknya sendiri atau sampel kecil dalam eksperimen yang bersifat kualitatif dan tidak terstandar.¹ Akibatnya, validitas empiris dari beberapa temuan Piaget menjadi dipertanyakan dalam konteks studi psikologi modern yang mengutamakan desain eksperimental dan statistik inferensial.

6.2.       Ketidaktepatan Usia Tahapan

Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa anak-anak dapat mencapai kemampuan kognitif tertentu lebih awal dari yang diperkirakan oleh Piaget. Misalnya, studi oleh Baillargeon dan koleganya menemukan bahwa bayi berusia 3–4 bulan sudah menunjukkan tanda-tanda memahami permanensi objek, suatu kemampuan yang menurut Piaget baru muncul pada akhir tahap sensorimotor (sekitar 8–12 bulan).² Hal ini menunjukkan bahwa urutan perkembangan mungkin benar, tetapi usia kronologis yang ditetapkan oleh Piaget tidak bersifat mutlak.

6.3.       Kurangnya Penekanan pada Faktor Sosial dan Kultural

Teori Piaget juga dikritik karena kurang mempertimbangkan pengaruh lingkungan sosial, bahasa, dan budaya dalam perkembangan kognitif.³ Dalam hal ini, Lev Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menawarkan pendekatan alternatif melalui teori sosiokultural, yang menekankan pentingnya interaksi sosial, mediasi bahasa, dan peran tutor atau guru dalam membentuk struktur kognitif anak.⁴ Konsep zone of proximal development (ZPD) dari Vygotsky menjadi pelengkap penting terhadap pandangan Piaget yang lebih bersifat individualistis.

6.4.       Rigiditas Struktur Tahapan

Meskipun Piaget menyatakan bahwa tahapan perkembangan bersifat universal dan berurutan, penelitian kontemporer menunjukkan bahwa perkembangan kognitif tidak selalu bersifat linier atau seragam. Banyak anak memperlihatkan kemampuan berpikir dari dua tahap yang berbeda secara bersamaan, tergantung pada konteks dan pengalaman belajar mereka.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif lebih fleksibel daripada yang digambarkan dalam skema Piaget.

6.5.       Perkembangan Teoretis dan Integrasi Baru

Kendati mendapat kritik, teori Piaget tetap menjadi fondasi utama dalam psikologi perkembangan, dan banyak gagasan Piaget telah diintegrasikan atau dikembangkan lebih lanjut dalam kerangka teoritis baru. Para psikolog kognitif kontemporer, seperti Robert Siegler, mengusulkan pendekatan teori gelombang bertumpuk (overlapping waves theory), yang menyatakan bahwa strategi kognitif anak berkembang dalam lintasan yang saling tumpang tindih, bukan melalui tahapan diskret.⁶

Selain itu, perkembangan teknologi neuropsikologi dan pencitraan otak telah memungkinkan studi tentang korelasi antara perkembangan struktur otak dan kemampuan kognitif, memperkaya pemahaman yang sebelumnya hanya bersifat perilaku.

6.6.       Nilai Historis dan Relevansi Kontemporer

Meskipun tidak lagi dianggap sepenuhnya preskriptif, teori Piaget tetap sangat relevan sebagai kerangka konseptual yang membantu pendidik dan psikolog memahami dinamika berpikir anak. Kekuatan terbesar teori ini terletak pada kontribusinya terhadap pandangan bahwa anak adalah subjek aktif dalam proses belajar dan bahwa berpikir berkembang melalui interaksi dengan dunia nyata.⁷ Oleh karena itu, teori Piaget tetap menjadi bahan ajar pokok dalam berbagai program studi pendidikan dan psikologi di seluruh dunia.


Catatan Kaki

[1]                David Elkind, Children and Adolescents: Interpretive Essays on Jean Piaget (New York: Oxford University Press, 1970), 13–15.

[2]                Renée Baillargeon, “The Object Concept Revisited: New Directions in the Investigation of Infants’ Physical Knowledge”, in Visual Perception and Cognition in Infancy, ed. A. Diamond (Boston: Springer, 1993), 265–315.

[3]                Laura E. Berk, Infants, Children, and Adolescents, 8th ed. (Boston: Pearson, 2016), 301–303.

[4]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–91.

[5]                Robert Siegler, Children’s Thinking, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006), 18–21.

[6]                Robert Siegler, “Emerging Minds: The Process of Change in Children’s Thinking” (New York: Oxford University Press, 1996), 25–26.

[7]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 102–104.


7.           Kesimpulan

Jean Piaget telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pemahaman modern mengenai perkembangan kognitif anak. Dengan memandang anak sebagai agen aktif dalam proses belajar, Piaget membalik paradigma lama yang memposisikan peserta didik sebagai penerima pasif informasi.¹ Melalui kerangka teorinya yang mencakup empat tahapan perkembangan — sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal — Piaget menunjukkan bahwa pemikiran anak berkembang secara bertahap dari yang bersifat konkret ke abstrak, dari egosentris ke logis dan sistematis.²

Konsep-konsep kunci seperti skema, asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi memberikan pemahaman mendalam mengenai mekanisme internal yang mendasari perubahan kognitif.³ Piaget berhasil menyusun model perkembangan mental yang tidak hanya menjelaskan bagaimana anak memahami dunia, tetapi juga bagaimana mereka menyesuaikan struktur pengetahuannya secara terus-menerus melalui pengalaman langsung dan konflik kognitif.

Dalam dunia pendidikan, kontribusi Piaget bersifat transformatif. Ia mengilhami pendekatan konstruktivis yang menekankan pembelajaran aktif, penyesuaian materi ajar berdasarkan tahap perkembangan siswa, serta peran guru sebagai fasilitator.⁴ Penerapan teori ini menuntut sistem pendidikan untuk lebih menghargai proses berpikir anak dan mendorong eksplorasi serta pembelajaran mandiri yang bermakna.

Meskipun demikian, teori Piaget tidak luput dari kritik. Beberapa peneliti menyangsikan ketepatan usia tahapan yang ia tetapkan dan menganggap pendekatannya terlalu individualistis karena kurang memperhatikan pengaruh lingkungan sosial dan budaya.⁵ Teori Vygotsky tentang perkembangan sosiokultural, serta pendekatan kognitif modern yang lebih fleksibel, telah melengkapi dan merevisi sebagian asumsi Piaget.

Namun demikian, nilai historis dan relevansi kontemporer teori Piaget tetap tak tergantikan. Ia bukan hanya memperkenalkan kerangka berpikir baru dalam psikologi perkembangan, tetapi juga memperluas horizon pendidikan dengan menekankan pentingnya memahami dunia anak dari sudut pandang mereka sendiri.⁶ Oleh karena itu, warisan Piaget tetap menjadi pijakan utama dalam pengembangan kurikulum, strategi pembelajaran, dan asesmen pendidikan di berbagai belahan dunia hingga saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 2001), 3–5.

[2]                Laura E. Berk, Development Through the Lifespan, 7th ed. (Boston: Pearson, 2018), 229–237.

[3]                Jean Piaget, The Equilibration of Cognitive Structures: The Central Problem of Intellectual Development, trans. T. Brown and K. Thampy (Chicago: University of Chicago Press, 1985), 1–9.

[4]                Anita Woolfolk, Educational Psychology, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 53–60.

[5]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–91.

[6]                Barry J. Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development, 5th ed. (Boston: Pearson, 2004), 105–107.


Daftar Pustaka

Baillargeon, R. (1993). The object concept revisited: New directions in the investigation of infants’ physical knowledge. In A. Diamond (Ed.), Visual perception and cognition in infancy (pp. 265–315). Springer.

Berk, L. E. (2016). Infants, children, and adolescents (8th ed.). Pearson.

Berk, L. E. (2018). Development through the lifespan (7th ed.). Pearson.

Elkind, D. (1970). Children and adolescents: Interpretive essays on Jean Piaget. Oxford University Press.

Feldman, R. S. (2019). Development across the life span (9th ed.). Pearson.

Inhelder, B., & Piaget, J. (1958). The growth of logical thinking from childhood to adolescence. Basic Books.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). International Universities Press.

Piaget, J. (1973). To understand is to invent: The future of education. Grossman Publishers.

Piaget, J. (1985). The equilibration of cognitive structures: The central problem of intellectual development (T. Brown & K. Thampy, Trans.). University of Chicago Press.

Piaget, J. (2001). The psychology of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.). Routledge. (Original work published 1947)

Shaffer, D. R., & Kipp, K. (2014). Developmental psychology: Childhood and adolescence (10th ed.). Cengage Learning.

Siegler, R. S. (1996). Emerging minds: The process of change in children’s thinking. Oxford University Press.

Siegler, R. S., Deloache, J. S., Eisenberg, N., & Saffran, J. R. (2020). How children develop (6th ed.). Worth Publishers.

Smith, L. (1992). Jean Piaget: Critical assessments (Vol. 1). Routledge.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Harvard University Press.

Wadsworth, B. J. (2004). Piaget’s theory of cognitive and affective development (5th ed.). Pearson.

Wood, D. (1998). How children think and learn: The social contexts of cognitive development (2nd ed.). Blackwell.

Woolfolk, A. (2016). Educational psychology (14th ed.). Pearson.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar