Jumat, 22 November 2024

Pendekatan-Pendekatan dalam Kajian Filsafat

Pendekatan-Pendekatan dalam Kajian Filsafat

Tinjauan Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Metode-Metode dalam FilsafatAliran dan Pemikiran Filsafat.


Abstrak

Kajian filsafat telah mengalami perkembangan yang signifikan dari era klasik hingga era kontemporer. Artikel ini membahas secara komprehensif berbagai pendekatan dalam filsafat, meliputi pendekatan klasik, pendekatan modern, dan pendekatan kontemporer, serta upaya integrasi berbagai metode pemikiran. Pendekatan klasik berfokus pada kajian metafisika, epistemologi, dan etika yang dikembangkan oleh para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Pendekatan modern mencerminkan transisi dari metode skolastik menuju pemikiran berbasis rasionalisme, empirisme, dan kritisisme, dengan kontribusi utama dari René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Sementara itu, pendekatan kontemporer mencakup teori hermeneutika, teori kritis, filsafat analitik, dan pragmatisme, dengan tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas, Michel Foucault, Richard Rorty, dan Willard Van Orman Quine.

Artikel ini juga mengeksplorasi perbandingan dan integrasi antara berbagai pendekatan filsafat, yang menunjukkan bahwa meskipun terdapat kontradiksi antara pendekatan-pendekatan tersebut, integrasi yang bersifat interdisipliner dapat memperkaya pemahaman terhadap konsep-konsep fundamental dalam filsafat. Kajian ini menyoroti relevansi filsafat dalam menjawab tantangan era digital dan globalisasi, termasuk dalam bidang epistemologi digital, etika teknologi, serta filsafat sosial dan politik. Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa studi filsafat tidak hanya berperan sebagai eksplorasi intelektual, tetapi juga sebagai instrumen kritis untuk memahami dan merespons perubahan sosial dan teknologi di era kontemporer.

Kata Kunci: Filsafat, Pendekatan Klasik, Pendekatan Modern, Pendekatan Kontemporer, Hermeneutika, Teori Kritis, Positivisme, Epistemologi, Etika, Teknologi.


PEMBAHASAN

Pendekatan-Pendekatan dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

1.1.       Pengertian Filsafat dan Signifikansi Kajian Filsafat

Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha memahami realitas, eksistensi, dan kebenaran melalui pemikiran rasional dan sistematis. Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti "cinta kebijaksanaan". Istilah ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras untuk menggambarkan pencarian pengetahuan yang bersifat mendalam dan reflektif mengenai kehidupan dan alam semesta.¹

Secara historis, filsafat terbagi menjadi beberapa cabang utama, termasuk metafisika (kajian tentang hakikat realitas), epistemologi (kajian tentang pengetahuan), logika (kajian tentang prinsip-prinsip berpikir rasional), etika (kajian tentang moralitas), dan estetika (kajian tentang keindahan dan seni).² Filsafat tidak hanya berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan dasar konseptual bagi berbagai bidang lain, seperti hukum, politik, dan agama.³

Kajian filsafat penting dalam kehidupan manusia karena membantu mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan reflektif, serta pemahaman yang lebih dalam tentang realitas dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan sosial. Immanuel Kant, misalnya, menekankan bahwa filsafat bukan hanya tentang memahami dunia sebagaimana adanya, tetapi juga bagaimana kita seharusnya bertindak dalam dunia tersebut.⁴ Dengan demikian, filsafat memiliki relevansi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam konteks akademis maupun praktis.

1.2.       Tujuan dan Manfaat Mengkaji Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat

Pendekatan dalam filsafat berkembang seiring dengan perubahan zaman dan konteks pemikiran manusia. Studi terhadap berbagai pendekatan filsafat bertujuan untuk memahami bagaimana para filsuf merumuskan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan, pengetahuan, dan nilai. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan metode berpikir yang digunakan dalam berbagai tradisi intelektual, tetapi juga menunjukkan bagaimana filsafat dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.⁵

Secara lebih spesifik, mengkaji pendekatan dalam filsafat memiliki manfaat berikut:

1)                  Memahami Evolusi Pemikiran Manusia

Dengan mengkaji berbagai pendekatan filsafat, kita dapat memahami bagaimana pemikiran manusia berkembang dari era klasik hingga era kontemporer, serta bagaimana berbagai aliran filsafat saling berinteraksi dan berdebat.

2)                  Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis

Studi filsafat mengajarkan kita untuk tidak menerima informasi secara pasif, tetapi untuk menganalisis, mengkritik, dan mengevaluasi gagasan dengan logis dan sistematis.⁶

3)                  Memperdalam Wawasan Interdisipliner

Filsafat memiliki hubungan erat dengan berbagai bidang ilmu lain, seperti sains, hukum, dan teologi. Studi pendekatan filsafat membantu kita memahami keterkaitan ini dan memperkaya perspektif kita terhadap berbagai disiplin ilmu.⁷

4)                  Menyesuaikan Diri dengan Tantangan Zaman

Pendekatan filsafat memungkinkan kita untuk memahami dan merespons perubahan sosial, budaya, dan teknologi dengan cara yang lebih bijaksana dan reflektif. Misalnya, dalam era digital saat ini, pendekatan filsafat sangat dibutuhkan dalam kajian tentang etika teknologi dan kecerdasan buatan.⁸

1.3.       Gambaran Umum tentang Berbagai Pendekatan dalam Kajian Filsafat

Dalam sejarah filsafat, berbagai pendekatan telah dikembangkan oleh para filsuf untuk menjelaskan realitas, kebenaran, dan nilai. Pendekatan ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:

1)                  Pendekatan Klasik

Meliputi metode pemikiran yang dikembangkan oleh filsuf Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles, yang menekankan kajian tentang hakikat realitas dan logika formal.⁹

2)                  Pendekatan Modern

Ditandai oleh pemikiran René Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant, yang berfokus pada epistemologi, rasionalisme, empirisme, dan kritik terhadap metode berpikir tradisional.¹⁰

3)                  Pendekatan Kontemporer

Termasuk fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, serta teori kritis yang berkembang dalam filsafat abad ke-20 hingga sekarang.¹¹

Studi mendalam terhadap berbagai pendekatan ini akan memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai bagaimana filsafat dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan dan realitas manusia.


Kesimpulan

Kajian filsafat merupakan bagian integral dari perkembangan intelektual manusia yang memungkinkan kita untuk memahami dunia secara lebih mendalam dan kritis. Dengan mengkaji pendekatan-pendekatan dalam filsafat, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih kaya tentang evolusi pemikiran manusia serta bagaimana berbagai tradisi filsafat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan, etika, dan nilai-nilai sosial.

Artikel ini akan membahas berbagai pendekatan dalam filsafat, mulai dari pendekatan klasik hingga pendekatan kontemporer, serta bagaimana pendekatan-pendekatan ini dapat diaplikasikan dalam pemikiran modern.


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 15.

[2]                Richard Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 3.

[3]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2010), 22.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), 18.

[5]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 45.

[6]                Matthew Lipman, Thinking in Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 78.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 32.

[8]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 64.

[9]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Books, 2007), 112.

[10]             René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 22.

[11]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35.


2.           Pendekatan Klasik dalam Filsafat

Pendekatan klasik dalam filsafat merupakan dasar bagi perkembangan pemikiran manusia dalam memahami realitas, kebenaran, dan nilai. Pendekatan ini mencerminkan metode berpikir para filsuf besar dari era Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan. Tiga pendekatan utama dalam filsafat klasik adalah pendekatan metafisik, pendekatan epistemologis, dan pendekatan etika dan aksiologi.

2.1.       Pendekatan Metafisik

2.1.1.    Pengertian dan Ruang Lingkup Metafisika

Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas hakikat realitas, keberadaan, dan struktur fundamental dari segala sesuatu. Istilah "metafisika" berasal dari susunan karya Aristoteles yang disusun oleh Andronikus dari Rodos, yang ditempatkan setelah fisika (meta ta physika).¹

Metafisika mencakup beberapa pertanyaan fundamental, seperti:

·                     Apa hakikat realitas?

·                     Apakah keberadaan sesuatu bersifat material atau immaterial?

·                     Apakah ada realitas yang lebih tinggi di luar dunia fisik?

2.1.2.    Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikirannya

1)                  Plato (427–347 SM)

Plato mengembangkan teori idea (forma), yang menyatakan bahwa realitas sejati bukanlah dunia material, melainkan dunia ide yang bersifat kekal dan sempurna. Dunia fisik hanyalah bayangan dari dunia ide.²

2)                  Aristoteles (384–322 SM)

Berbeda dengan Plato, Aristoteles menekankan hylomorfisme, yaitu gagasan bahwa segala sesuatu terdiri dari materi (hyle) dan bentuk (morphe). Ia juga merumuskan konsep akibat pertama (causa prima) sebagai penyebab utama dari segala sesuatu.³

3)                  Plotinus (204–270 M)

Plotinus, seorang filsuf Neoplatonis, mengembangkan gagasan tentang Satu (The One), yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Metafisikanya sangat berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan Kristen.⁴

2.1.3.    Perkembangan Metafisika dalam Filsafat Modern

Meskipun metafisika sempat dikritik oleh filsuf empiris seperti David Hume dan Immanuel Kant, pendekatan ini tetap relevan dalam kajian ontologi, kosmologi, dan teologi.⁵

2.2.       Pendekatan Epistemologis

2.2.1.    Definisi dan Cakupan Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, batasan, dan validitas pengetahuan. Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (studi atau kajian).⁶

Pertanyaan utama dalam epistemologi meliputi:

·                     Dari mana pengetahuan berasal?

·                     Bagaimana kita membedakan antara keyakinan dan pengetahuan?

·                     Apa syarat suatu pernyataan bisa dikatakan benar?

2.2.2.    Rasionalisme vs. Empirisme

1)                  Rasionalisme

(*) Tokoh utama: René Descartes (1596–1650)

(*) Rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui akal dan deduksi logis. Descartes menyatakan, cogito ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"), yang menunjukkan bahwa pemikiran adalah dasar eksistensi manusia.⁷

2)                  Empirisme

(*) Tokoh utama: John Locke (1632–1704) dan David Hume (1711–1776)

(*) Empirisme menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Locke memperkenalkan gagasan tabula rasa (pikiran manusia adalah kertas kosong yang diisi oleh pengalaman).⁸

3)                  Kritisisme (Immanuel Kant, 1724–1804)

(*) Kant menggabungkan aspek rasionalisme dan empirisme melalui konsep a priori dan a posteriori, serta kategori pemahaman yang membentuk pengalaman manusia.⁹

2.2.3.    Relevansi Epistemologi dalam Filsafat Kontemporer

Epistemologi terus berkembang dalam kajian filsafat analitik dan ilmu pengetahuan, terutama dalam diskusi tentang kecerdasan buatan dan filsafat bahasa.¹⁰

2.3.       Pendekatan Etika dan Aksiologi

2.3.1.    Konsep Dasar Etika dan Aksiologi

Etika adalah cabang filsafat yang membahas tentang moralitas, baik dan buruk, serta bagaimana manusia seharusnya bertindak. Aksiologi, yang lebih luas, mencakup teori nilai, termasuk estetika dan etika.¹¹

2.3.2.    Perbandingan Teori Etika

1)                  Etika Deontologi (Immanuel Kant)

Etika deontologi menekankan kewajiban moral universal. Kant mengembangkan konsep imperatif kategoris, yaitu prinsip moral yang berlaku secara mutlak, seperti "Bertindaklah seolah-olah tindakanmu bisa menjadi hukum universal".¹²

2)                  Etika Teleologi (Utilitarianisme – Jeremy Bentham & John Stuart Mill)

Utilitarianisme berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak.¹³

3)                  Etika Kebajikan (Aristoteles)

Aristoteles menekankan pentingnya kebiasaan baik (virtues) dalam membentuk karakter moral seseorang.¹⁴

2.3.3.    Relevansi Etika dalam Kajian Kontemporer

Etika semakin penting dalam kajian bioetika, etika bisnis, dan etika teknologi, terutama terkait dengan kecerdasan buatan dan rekayasa genetika.¹⁵


Kesimpulan

Pendekatan klasik dalam filsafat memberikan dasar bagi berbagai kajian filsafat modern. Metafisika membahas hakikat realitas, epistemologi meneliti sumber pengetahuan, dan etika memberikan panduan moral bagi manusia. Studi terhadap pendekatan ini tetap relevan dalam menjawab tantangan intelektual dan etis di era modern.


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 34.

[2]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Books, 2007), 142.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 67.

[4]                John M. Dillon, The Middle Platonists (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 56.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), 112.

[6]                Richard Popkin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 27.

[7]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 24.

[8]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 16.

[9]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 78.

[10]             Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 45.

[11]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 13.

[12]             Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.

[13]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 28.

[14]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 52.

[15]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 91.


3.           Pendekatan dalam Filsafat Modern

Filsafat modern berkembang sejak abad ke-17 hingga abad ke-19, ditandai dengan perubahan paradigma dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai. Para filsuf modern mulai beralih dari pendekatan skolastik yang dominan pada Abad Pertengahan menuju metode yang lebih berbasis rasionalisme, empirisme, dan kritik terhadap otoritas tradisional. Dalam bab ini, akan dibahas tiga pendekatan utama dalam filsafat modern: pendekatan positivisme dan empirisme logis, pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme, serta pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme.

3.1.       Pendekatan Positivisme dan Empirisme Logis

3.1.1.    Definisi dan Ciri-Ciri Positivisme

Positivisme adalah pendekatan dalam filsafat yang menekankan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang sah adalah pengalaman empiris yang dapat diverifikasi melalui metode ilmiah.¹ Pendekatan ini bertolak belakang dengan metafisika dan spekulasi yang tidak dapat diuji secara empiris.

3.1.2.    Tokoh dan Pemikirannya

1)                  Auguste Comte (1798–1857)

(*) Comte memperkenalkan hukum tiga tahap, yang menjelaskan perkembangan pemikiran manusia:

a)                  Tahap teologis (manusia menjelaskan fenomena melalui mitos dan agama),

b)                 Tahap metafisik (penjelasan beralih ke konsep abstrak),

c)                  Tahap positif (pengetahuan hanya berasal dari observasi empiris dan metode ilmiah).²

(*) Ia juga mengembangkan sosiologi positivistik, yang bertujuan untuk memahami masyarakat berdasarkan hukum ilmiah.³

2)                  Empirisme Logis dan Vienna Circle

(*) Empirisme logis dikembangkan oleh Vienna Circle, sekelompok filsuf seperti Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, yang menekankan bahwa pernyataan hanya memiliki makna jika dapat diuji secara empiris atau bersifat analitik.⁴

(*) Carnap mengusulkan verifikasi logis, yaitu prinsip bahwa pernyataan yang bermakna harus dapat diuji oleh pengalaman empiris.⁵

3.1.3.    Kritik terhadap Positivisme

·                     Karl Popper mengkritik positivisme dengan konsep falsifikasi, yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan dengan membuktikan hipotesis, tetapi dengan menguji kemungkinan kesalahannya.⁶

·                     Thomas Kuhn menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear, tetapi melalui revolusi paradigma.⁷

3.2.       Pendekatan Fenomenologi dan Eksistensialisme

3.2.1.    Fenomenologi: Pemahaman Realitas Melalui Kesadaran

Fenomenologi adalah pendekatan yang meneliti bagaimana fenomena muncul dalam kesadaran manusia. Pendekatan ini menolak pandangan bahwa dunia hanya dapat dipahami secara objektif, melainkan menekankan pengalaman subjektif individu.⁸

3.2.2.    Tokoh dan Pemikirannya

1)                  Edmund Husserl (1859–1938)

(*) Husserl mengembangkan metode reduksi fenomenologis, yaitu cara untuk mengesampingkan asumsi-asumsi tentang dunia dan hanya berfokus pada esensi pengalaman.⁹

(*) Baginya, kesadaran selalu memiliki intentionalitas, yaitu selalu tertuju pada sesuatu.¹⁰

2)                  Martin Heidegger (1889–1976)

(*) Heidegger memperluas fenomenologi Husserl dengan menekankan konsep Dasein (keberadaan manusia dalam dunia).¹¹

(*) Ia berargumen bahwa pemahaman tentang keberadaan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman konkret manusia dalam dunia.¹²

3.2.3.    Eksistensialisme: Kebebasan dan Makna Hidup

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, subjektivitas, dan pencarian makna dalam kehidupan.

1)                  Jean-Paul Sartre (1905–1980)

(*) Sartre berpendapat bahwa eksistensi mendahului esensi, artinya manusia pertama-tama ada, lalu menciptakan maknanya sendiri.¹³

(*) Ia juga menekankan bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas pilihannya, tanpa bergantung pada sistem nilai eksternal.¹⁴

2)                  Søren Kierkegaard (1813–1855)

(*) Kierkegaard menekankan pentingnya lompatan iman, yaitu keputusan individu untuk percaya kepada Tuhan meskipun tanpa kepastian rasional.¹⁵

(*) Ia juga membahas konsep kecemasan eksistensial, yaitu kesadaran manusia akan kebebasan dan tanggung jawabnya.¹⁶

3.2.4.    Relevansi Pendekatan Ini

Pendekatan fenomenologi dan eksistensialisme sangat berpengaruh dalam kajian psikologi, sastra, dan filsafat kontemporer, terutama dalam memahami pengalaman manusia secara mendalam.

3.3.       Pendekatan Strukturalisme dan Post-Strukturalisme

3.3.1.    Strukturalisme: Mencari Pola dalam Realitas

Strukturalisme adalah pendekatan yang menekankan bahwa makna dan pemahaman berasal dari struktur yang membentuk realitas.¹⁷

1)                  Ferdinand de Saussure (1857–1913)

Saussure mengembangkan teori tanda linguistik, yang membagi bahasa menjadi signifier (bentuk kata) dan signified (makna yang ditunjukkan).¹⁸

2)                  Claude Lévi-Strauss (1908–2009)

Lévi-Strauss menerapkan strukturalisme dalam antropologi, dengan menyatakan bahwa budaya memiliki pola universal yang mendasari mitos, bahasa, dan praktik sosial.¹⁹

3.3.2.    Post-Strukturalisme: Kritik terhadap Strukturalisme

Post-strukturalisme menolak gagasan bahwa makna bersifat tetap dan stabil, serta menekankan bahwa makna bersifat relatif dan selalu berubah.²⁰

1)                  Jacques Derrida (1930–2004)

Derrida mengembangkan dekonstruksi, metode untuk membongkar dan menganalisis teks guna menemukan makna tersembunyi.²¹

2)                  Michel Foucault (1926–1984)

Foucault menganalisis hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, serta bagaimana wacana membentuk realitas sosial.²²

3.3.3.    Dampak dalam Kajian Kontemporer

Pendekatan ini berpengaruh besar dalam kajian feminisme, post-kolonialisme, dan filsafat budaya, serta dalam memahami bagaimana bahasa dan struktur sosial membentuk identitas individu dan kelompok.


Kesimpulan

Filsafat modern telah memberikan landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial. Positivisme dan empirisme logis menekankan metode ilmiah, fenomenologi dan eksistensialisme menggali pengalaman subjektif, sedangkan strukturalisme dan post-strukturalisme mengeksplorasi makna dalam sistem bahasa dan budaya.


Footnotes

[1]                Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: Routledge, 1853), 5.

[2]                Ibid., 10.

[3]                Ibid., 12.

[4]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Berkeley: University of California Press, 1967), 45.

[5]                Ibid., 55.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 18.

[7]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 22.

[8]                Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology (London: Macmillan, 1931), 78.

[9]                Ibid., 80.

[10]             Ibid., 82.

[11]             Martin Heidegger, Being and Time (New York: Harper & Row, 1962), 91.

[12]             Ibid., 95.

[13]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), 14.

[14]             Ibid., 18.

[15]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling (Princeton: Princeton University Press, 1983), 21.

[16]             Ibid., 25.

[17]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: Columbia University Press, 2011), 15.

[18]             Ibid., 66.

[19]             Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 34.

[20]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 10.

[21]             Ibid., 25.

[22]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27.


4.           Pendekatan Kontemporer dalam Filsafat

Filsafat kontemporer berkembang sejak abad ke-20 dan terus berlanjut hingga saat ini. Berbeda dengan filsafat modern yang masih mempertahankan metode-metode tradisional, filsafat kontemporer lebih bersifat interdisipliner dan kontekstual, menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, politik, dan teknologi. Dalam bab ini, akan dibahas tiga pendekatan utama dalam filsafat kontemporer: pendekatan hermeneutika, pendekatan kritis, dan pendekatan analitik dan pragmatisme.

4.1.       Pendekatan Hermeneutika

4.1.1.    Definisi dan Cakupan Hermeneutika

Hermeneutika adalah cabang filsafat yang membahas tentang interpretasi dan pemahaman makna, terutama dalam teks, bahasa, dan fenomena sosial.¹ Pendekatan ini awalnya dikembangkan dalam konteks teologi untuk menafsirkan kitab suci, tetapi kemudian diperluas ke dalam kajian filsafat, sastra, dan ilmu sosial.

4.1.2.    Tokoh dan Pemikirannya

1)                  Hans-Georg Gadamer (1900–2002)

(*) Gadamer memperkenalkan konsep fusion of horizons (Horizontverschmelzung), yaitu gagasan bahwa pemahaman terjadi melalui pertemuan antara perspektif pembaca dan latar belakang historis teks.²

(*) Ia menekankan bahwa interpretasi selalu dipengaruhi oleh pra-pemahaman (Vorverständnis), yaitu asumsi dan pengalaman sebelumnya yang membentuk cara kita memahami sesuatu.³

2)                  Paul Ricoeur (1913–2005)

(*) Ricoeur mengembangkan hermeneutika yang menggabungkan fenomenologi dan teori interpretasi, menekankan bahwa makna teks tidak hanya tergantung pada pengarangnya tetapi juga pada pembaca dan konteksnya.⁴

(*) Ia membedakan antara hermeneutika kepercayaan (yang mencari makna eksplisit) dan hermeneutika kecurigaan (yang berusaha mengungkap makna tersembunyi dalam teks).⁵

4.1.3.    Penerapan Hermeneutika dalam Kajian Kontemporer

Pendekatan ini banyak digunakan dalam filsafat bahasa, studi budaya, dan teori hukum, terutama dalam analisis terhadap wacana sosial dan politik.

4.2.       Pendekatan Kritis dalam Filsafat

4.2.1.    Definisi dan Cakupan Teori Kritis

Teori kritis merupakan pendekatan filsafat yang bertujuan untuk mengungkap struktur kekuasaan dan ideologi yang mendominasi masyarakat.⁶ Pendekatan ini tidak hanya bersifat analitis tetapi juga normatif, berupaya mendorong perubahan sosial.

4.2.2.    Tokoh dan Pemikirannya

1)                  Mazhab Frankfurt (Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse)

(*) Horkheimer mendefinisikan teori kritis sebagai filsafat yang tidak hanya menjelaskan realitas tetapi juga bertujuan untuk mengubahnya.⁷

(*) Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment mengkritik bagaimana industri budaya menciptakan kesadaran palsu yang membuat masyarakat tunduk pada sistem kapitalis.⁸

(*) Marcuse mengembangkan konsep masyarakat satu dimensi, yang menunjukkan bagaimana kapitalisme modern menekan potensi berpikir kritis individu.⁹

2)                  Jürgen Habermas (1929–sekarang)

(*) Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif, yang menekankan pentingnya rasionalitas komunikasi dalam membangun masyarakat yang demokratis dan inklusif.¹⁰

(*) Ia berpendapat bahwa diskursus dalam ruang publik harus bebas dari dominasi dan memungkinkan partisipasi yang setara.¹¹

4.2.3.    Relevansi Pendekatan Kritis

Pendekatan ini sangat berpengaruh dalam kajian feminisme, post-kolonialisme, dan filsafat politik, terutama dalam membahas ketidakadilan sosial dan hegemonisasi ideologi dalam media.

4.3.       Pendekatan Analitik dan Pragmatisme

4.3.1.    Filsafat Analitik: Bahasa dan Logika

Filsafat analitik menekankan penggunaan logika formal dan analisis bahasa dalam memahami masalah filsafat.¹²

1)                  Bertrand Russell (1872–1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889–1951)

(*) Russell memperkenalkan teori deskripsi, yang berusaha membongkar struktur bahasa untuk menghindari kekeliruan dalam berpikir.¹³

(*) Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus menyatakan bahwa batas bahasa adalah batas pemahaman kita tentang dunia.¹⁴

2)                  Willard Van Orman Quine (1908–2000)

(*) Quine menolak perbedaan antara analitik dan sintetik, berpendapat bahwa semua pernyataan bergantung pada pengalaman empiris.¹⁵

4.3.2.    Pragmatisme: Kebenaran sebagai Fungsi Praktis

Pragmatisme adalah pendekatan yang menilai kebenaran berdasarkan manfaat dan efektivitasnya dalam kehidupan nyata.

1)                  William James (1842–1910)

James berpendapat bahwa suatu ide benar jika ia berhasil dalam aplikasi praktis.¹⁶

2)                  John Dewey (1859–1952)

Dewey mengembangkan instrumentalisme, yaitu gagasan bahwa konsep dan teori adalah alat untuk memecahkan masalah nyata.¹⁷

3)                  Richard Rorty (1931–2007)

Rorty menolak konsep kebenaran absolut, mengusulkan bahwa filsafat seharusnya lebih fokus pada percakapan yang memperkaya pemahaman manusia daripada mencari fondasi metafisik.¹⁸

4.3.3.    Dampak dalam Kajian Kontemporer

Pendekatan ini memiliki pengaruh besar dalam filsafat sains, filsafat teknologi, serta debat mengenai kecerdasan buatan dan etika digital.


Kesimpulan

Pendekatan kontemporer dalam filsafat memperluas cakupan kajian filsafat dengan mengintegrasikan analisis bahasa, kritik sosial, dan pragmatisme dalam memahami dunia modern. Hermeneutika membantu dalam interpretasi makna, teori kritis membuka wacana tentang struktur kekuasaan, sedangkan filsafat analitik dan pragmatisme menekankan pentingnya logika dan kegunaan praktis dalam memahami realitas.


Footnotes

[1]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 3.

[2]                Ibid., 272.

[3]                Ibid., 278.

[4]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 27.

[5]                Ibid., 32.

[6]                Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 1982), 199.

[7]                Ibid., 244.

[8]                Theodor Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94.

[9]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 20.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 89.

[11]             Ibid., 94.

[12]             Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 58.

[13]             Ibid., 66.

[14]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), 5.6.

[15]             Willard Van Orman Quine, Word and Object (Cambridge: MIT Press, 1960), 34.

[16]             William James, Pragmatism (New York: Dover Publications, 1995), 40.

[17]             John Dewey, Logic: The Theory of Inquiry (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1938), 12.

[18]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 172.


5.           Perbandingan dan Integrasi Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat

Kajian filsafat telah mengalami perkembangan yang sangat dinamis dari masa klasik hingga era kontemporer. Setiap pendekatan memiliki kontribusinya masing-masing dalam menjelaskan realitas, kebenaran, dan nilai, serta dalam memberikan metode berpikir yang berbeda dalam memahami dunia. Dalam bab ini, akan dibahas perbandingan antara berbagai pendekatan dalam filsafat serta upaya untuk mengintegrasikan berbagai metode pemikiran ini dalam kajian filsafat kontemporer.

5.1.       Konflik dan Keselarasan antara Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat

Pendekatan dalam filsafat tidak selalu berjalan secara harmonis; sebaliknya, banyak pendekatan yang bertentangan satu sama lain. Namun, dalam beberapa kasus, pendekatan yang berbeda dapat saling melengkapi dan memberikan perspektif yang lebih komprehensif.

5.1.1.    Kontradiksi antara Rasionalisme dan Empirisme

Dalam filsafat modern, terdapat perbedaan mendasar antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme, yang dikembangkan oleh René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz, berargumen bahwa pengetahuan diperoleh melalui akal dan deduksi logis.¹ Sementara itu, empirisme, yang dipelopori oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume, menegaskan bahwa pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang sah.²

Kritisisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant berusaha mendamaikan konflik ini dengan mengusulkan bahwa pengetahuan berasal dari kombinasi antara pengalaman indrawi (a posteriori) dan struktur konseptual bawaan (a priori).³ Model ini mencerminkan upaya sintesis antara dua pendekatan yang tampaknya bertentangan.

5.1.2.    Sintesis Metafisika dan Empirisme dalam Filsafat Kritis

Salah satu konflik dalam filsafat klasik adalah antara pendekatan metafisik, yang mempertimbangkan keberadaan realitas di luar pengalaman fisik (misalnya dalam pemikiran Plato dan Aristoteles), dan pendekatan empiris yang menekankan observasi sebagai sumber utama pengetahuan.

Karl Popper mencoba mendamaikan pendekatan ini dengan konsep falsifikasi, yaitu gagasan bahwa teori ilmiah harus dapat diuji secara empiris tetapi tetap terbuka terhadap revisi berdasarkan bukti baru.⁴ Thomas Kuhn, dalam konsepnya tentang pergeseran paradigma, juga menunjukkan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan tidak terjadi secara linier tetapi melalui pergantian model pemikiran yang mendekati konsep metafisik.⁵

5.1.3.    Interaksi antara Hermeneutika dan Filsafat Analitik

Pendekatan hermeneutika, yang berkembang dalam tradisi filsafat kontinental (misalnya dalam pemikiran Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur), seringkali dipandang bertentangan dengan filsafat analitik, yang menekankan analisis logis dan bahasa. Namun, beberapa pemikir mencoba mengintegrasikan keduanya.

Sebagai contoh, Jürgen Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif, yang menggabungkan hermeneutika dalam memahami interaksi sosial dengan metode analitik untuk mengevaluasi argumentasi rasional.⁶ Pendekatan ini menunjukkan bahwa interpretasi makna dalam hermeneutika dapat diperkaya melalui analisis logika bahasa dari filsafat analitik.

5.2.       Dinamika Perkembangan Pendekatan dalam Filsafat

5.2.1.    Pengaruh Era Digital terhadap Pendekatan Filsafat

Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan membawa tantangan baru bagi filsafat, terutama dalam bidang etika teknologi, filsafat pikiran, dan epistemologi digital.

1)                  Epistemologi Digital

Seiring dengan berkembangnya big data dan algoritma kecerdasan buatan, konsep tradisional tentang pengetahuan dan kebenaran perlu ditinjau ulang. Luciano Floridi mengembangkan filsafat informasi, yang berusaha memahami bagaimana data dan informasi membentuk realitas digital.⁷

2)                  Etika Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Filsafat kontemporer juga semakin banyak membahas dampak moral dari teknologi. Nick Bostrom dan James Moor mengangkat isu tentang superintelligence, yaitu kemungkinan kecerdasan buatan yang melampaui kecerdasan manusia dan implikasi etisnya.⁸

5.2.2.    Transformasi Paradigma dalam Filsafat Sosial dan Politik

1)                  Feminisme dan Post-Kolonialisme

Pendekatan feminisme dan post-kolonialisme mengkritik filsafat tradisional yang seringkali berpusat pada perspektif Barat dan maskulin. Judith Butler memperkenalkan konsep gender sebagai konstruksi sosial, sementara Edward Said dalam Orientalism mengkritik bias kolonial dalam pemikiran Barat.⁹

2)                  Neo-Pragmatisme

Richard Rorty mengembangkan neo-pragmatisme, yang menolak pencarian kebenaran objektif dan lebih menekankan filsafat sebagai alat untuk memperkaya wacana sosial dan politik.¹⁰


Kesimpulan

Perbandingan dan integrasi berbagai pendekatan dalam filsafat menunjukkan bahwa tidak ada satu pendekatan yang secara mutlak benar atau salah. Sebaliknya, pendekatan yang berbeda dapat saling melengkapi dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam era digital dan globalisasi, filsafat terus berkembang untuk merespons tantangan baru dalam teknologi, sosial, dan politik.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 14.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 21.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), 34.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 85.

[5]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 102.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 76.

[8]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 56.

[9]                Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978), 89.

[10]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 112.


6.           Kesimpulan

Kajian filsafat telah mengalami evolusi yang signifikan sejak zaman klasik hingga era kontemporer, mencerminkan dinamika pemikiran manusia dalam memahami realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam artikel ini, telah dibahas berbagai pendekatan dalam filsafat, mulai dari pendekatan klasik, modern, hingga kontemporer, serta upaya integrasi berbagai metode pemikiran untuk menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif.

6.1.       Rekapitulasi Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat

1)                  Pendekatan Klasik

(*) Pendekatan ini berfokus pada perenungan metafisik, epistemologis, dan etis yang dikembangkan oleh para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles

(*) Metafisika meneliti hakikat realitas, epistemologi meneliti sumber dan validitas pengetahuan, sedangkan etika mengkaji prinsip-prinsip moral.²

2)                  Pendekatan Modern

(*) Filsafat modern mengalami pergeseran menuju metode rasionalisme dan empirisme dengan tokoh utama seperti René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant

(*) Pendekatan ini memperkenalkan metode ilmiah dalam kajian filsafat serta mengembangkan kritik terhadap pemikiran skolastik dan otoritas tradisional.⁴

3)                  Pendekatan Kontemporer

(*) Pendekatan ini mencakup hermeneutika, teori kritis, serta filsafat analitik dan pragmatisme, yang berkembang pada abad ke-20 dan berlanjut hingga saat ini.⁵

(*) Jürgen Habermas dan Michel Foucault berkontribusi dalam filsafat sosial dan teori komunikasi, sementara Richard Rorty dan Willard Van Orman Quine membawa pendekatan pragmatis dan analitik ke dalam filsafat bahasa dan epistemologi.⁶

4)                  Integrasi Pendekatan-Pendekatan Filsafat

(*) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan sosial menuntut integrasi berbagai pendekatan dalam filsafat.

(*) Konsep falsifikasi Karl Popper⁷ dan pergeseran paradigma Thomas Kuhn⁸ menunjukkan bahwa filsafat dapat berkontribusi dalam kajian ilmu pengetahuan.

(*) Pendekatan hermeneutika dan filsafat analitik dapat saling melengkapi dalam kajian bahasa dan makna.⁹

6.2.       Relevansi Pendekatan Filsafat dalam Konteks Kontemporer

Filsafat tidak hanya merupakan disiplin akademik, tetapi juga memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan modern. Beberapa bidang yang mengalami dampak signifikan dari pendekatan filsafat meliputi:

1)                  Filsafat dan Sains

(*) Positivisme memberikan landasan bagi metode ilmiah dan empirisme dalam sains.¹⁰

(*) Epistemologi modern telah membantu mengembangkan konsep epistemologi digital, yang membahas bagaimana informasi dan kecerdasan buatan mempengaruhi struktur pengetahuan manusia.¹¹

2)                  Filsafat dan Teknologi

(*) Pemikiran Luciano Floridi tentang etika informasi menyoroti bagaimana filsafat berperan dalam mengkaji implikasi moral dari teknologi digital dan kecerdasan buatan.¹²

(*) Tantangan yang dihadapi akibat kecerdasan buatan dan rekayasa genetika menuntut pendekatan etika yang lebih fleksibel dan berbasis pada pemahaman interdisipliner.¹³

3)                  Filsafat dan Sosial-Politik

(*) Teori kritis dan filsafat postmodern telah membantu memahami isu-isu ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan struktur kekuasaan dalam masyarakat global.¹⁴

(*) Feminisme dan post-kolonialisme memperkaya kajian filsafat dengan memberikan perspektif dari kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dalam sejarah pemikiran filsafat.¹⁵

6.3.       Tantangan dan Prospek Masa Depan Filsafat

6.3.1.    Tantangan

·                     Fragmentasi pendekatan filsafat seringkali menimbulkan kesulitan dalam mencapai kesepakatan konseptual dalam berbagai isu.

·                     Era informasi menimbulkan tantangan baru dalam filsafat, terutama terkait dengan hoaks, relativisme epistemologis, dan krisis kebenaran dalam media digital.

6.3.2.    Prospek Masa Depan

·                     Filsafat akan semakin berperan dalam kajian etika kecerdasan buatan, bioetika, dan filsafat lingkungan, seiring dengan meningkatnya peran teknologi dalam kehidupan manusia.

·                     Interdisiplinaritas antara filsafat dengan ilmu sosial, teknologi, dan humaniora akan semakin memperkaya wawasan dan metode kajian filsafat.

·                     Pendekatan filsafat yang lebih fleksibel dan berbasis pada konteks global akan menjadi kunci dalam menjawab tantangan masa depan.


Kesimpulan Akhir

Dari kajian ini, jelas bahwa tidak ada satu pendekatan dalam filsafat yang sepenuhnya dominan atau superior dibandingkan yang lain. Sebaliknya, setiap pendekatan memiliki kontribusi unik dalam memahami aspek-aspek fundamental keberadaan manusia dan realitas dunia. Integrasi berbagai pendekatan memungkinkan pemahaman yang lebih kaya dan komprehensif terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terus berkembang dalam kehidupan manusia.

Dengan mempertimbangkan perubahan sosial, politik, dan teknologi di era modern, filsafat harus terus beradaptasi dan memberikan wawasan yang relevan bagi masyarakat. Oleh karena itu, studi filsafat bukan hanya sekadar eksplorasi intelektual, tetapi juga alat untuk memahami dan menghadapi tantangan yang terus berkembang di dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. Desmond Lee (London: Penguin Books, 2007), 142.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 67.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1929), 112.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 24.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 102.

[6]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 85.

[8]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52.

[9]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 27.

[10]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, trans. Harriet Martineau (London: Routledge, 1853), 5.

[11]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 88.

[12]             Ibid., 97.

[13]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 56.

[14]             Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 20.

[15]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 48.


Daftar Pustaka

Adorno, T., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of Enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Aristotle. (1933). Metaphysics (H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.

Bentham, J. (1907). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Clarendon Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford University Press.

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge.

Carnap, R. (1967). The Logical Structure of the World. University of California Press.

Comte, A. (1853). Cours de Philosophie Positive (H. Martineau, Trans.). Routledge.

Derrida, J. (1997). Of Grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on First Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Dewey, J. (1938). Logic: The Theory of Inquiry. Holt, Rinehart, and Winston.

Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (A. Sheridan, Trans.). Pantheon Books.

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Horkheimer, M. (1982). Critical Theory: Selected Essays. Continuum.

Husserl, E. (1931). Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology. Macmillan.

James, W. (1995). Pragmatism. Dover Publications.

Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N. K. Smith, Trans.). St. Martin’s Press.

Kierkegaard, S. (1983). Fear and Trembling. Princeton University Press.

Kuhn, T. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

Levi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology (C. Jacobson & B. G. Schoepf, Trans.). Basic Books.

Lipman, M. (2003). Thinking in Education. Cambridge University Press.

Locke, J. (1975). An Essay Concerning Human Understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man. Beacon Press.

Plato. (2007). The Republic (D. Lee, Trans.). Penguin Books.

Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.

Quine, W. V. O. (1960). Word and Object. MIT Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Texas Christian University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1912). The Problems of Philosophy. Oxford University Press.

Said, E. (1978). Orientalism. Vintage Books.

Saussure, F. (2011). Course in General Linguistics (W. Baskin, Trans.). Columbia University Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism Is a Humanism. Yale University Press.

Singer, P. (1993). Practical Ethics. Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1961). Tractatus Logico-Philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar