Senin, 18 November 2024

Metode Spekulatif: Fondasi Metafisik, Daya Jelajah Rasional, dan Implikasi Ontologis dalam Tradisi Pemikiran

Metode Spekulatif

Fondasi Metafisik, Daya Jelajah Rasional, dan Implikasi Ontologis dalam Tradisi Pemikiran


Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam metode spekulatif dalam filsafat sebagai pendekatan yang menekankan eksplorasi rasional terhadap realitas melalui konstruksi konseptual yang sistematis dan reflektif. Berbeda dengan metode deduktif, induktif, analitis, dan fenomenologis, metode spekulatif berusaha menjangkau totalitas eksistensi dengan menembus batas-batas empirisme dan logika formal. Kajian ini menelusuri fondasi historis metode spekulatif dari masa pra-Sokratik hingga pemikiran kontemporer, dengan fokus pada tokoh-tokoh utama seperti Hegel, Whitehead, Bergson, dan Heidegger. Analisis juga mencakup karakteristik utama metode ini, seperti orientasi metafisik, penggunaan konsep abstrak, serta peran intuisi dalam konstruksi ide filosofis. Selain itu, artikel ini membandingkan metode spekulatif dengan pendekatan lain dalam filsafat serta membahas relevansi dan tantangannya dalam konteks kontemporer, termasuk dalam filsafat sains, ekologi, dan teologi spekulatif. Meskipun menghadapi kritik dari aliran empirisis dan analitis, metode spekulatif tetap bertahan sebagai pendekatan yang signifikan dalam memperluas cakrawala pemikiran filsafat dan dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan kemungkinan ontologis.

Kata Kunci: Metode spekulatif, filsafat, metafisika, realitas, Hegel, Whitehead, intuisi, kontingensi, ontologi, rasionalitas reflektif.


PEMBAHASAN

Metode Spekulatif dalam Kajian Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam medan kajian filsafat, metode spekulatif menempati posisi unik sebagai pendekatan yang berupaya menjangkau aspek realitas yang melampaui fakta-fakta empiris dan analisis logis formal. Berbeda dengan metode deduktif yang berpijak pada aksioma dan prinsip universal, atau metode induktif yang menggeneralisasi dari pengalaman partikular, metode spekulatif bersandar pada kemampuan akal untuk membangun sistem konseptual yang komprehensif dan mendalam tentang hakikat kenyataan. Dalam sejarah filsafat Barat, pendekatan ini banyak dijumpai pada pemikiran metafisik klasik, idealisme Jerman, hingga filsafat proses kontemporer.

Spekulasi, dalam konteks filsafat, bukanlah dugaan tanpa dasar, melainkan suatu bentuk penalaran kreatif dan reflektif yang bertujuan menggali struktur terdalam dari eksistensi. Hegel menyebut filsafat sebagai aktivitas spekulatif tertinggi karena kemampuannya untuk memahami "yang absolut" melalui dialektika pemikiran yang menyatukan kontradiksi dalam kesatuan rasional yang lebih tinggi. Ia menyatakan, “The true is the whole,” yang menandakan bahwa kebenaran filosofis hanya dapat dicapai melalui pemahaman menyeluruh terhadap totalitas realitas, bukan sekadar pengamatan fragmentaris terhadap bagian-bagiannya.¹

Kebutuhan akan pendekatan spekulatif semakin mengemuka ketika filsafat berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tersentuh oleh sains empiris maupun logika matematis. Misalnya, pertanyaan tentang asal-usul keberadaan, sifat dasar waktu, hubungan antara kesadaran dan dunia, serta potensi metafisik dari sistem semesta. Di sinilah metode spekulatif hadir sebagai wadah rasional yang memungkinkan manusia untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ontologis dengan struktur argumentasi yang bersifat reflektif dan sistematis.²

Selain itu, metode spekulatif juga menjadi landasan bagi perkembangan berbagai cabang pemikiran filsafat yang bersifat sistemik dan konstruktif. Whitehead, salah satu tokoh penting dalam filsafat proses, menyatakan bahwa “metaphysical speculation is an endeavor to frame a coherent, logical, necessary system of general ideas in terms of which every element of our experience can be interpreted.”_³ Dengan demikian, spekulasi tidak hanya memberi wawasan baru, tetapi juga berperan dalam mengintegrasikan berbagai dimensi pengalaman menjadi sistem pemahaman yang menyeluruh.

Mengingat kompleksitas dan peran sentral metode spekulatif dalam dinamika pemikiran filosofis, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis fondasi historis dan epistemologisnya, karakteristik utama metode ini, penerapannya dalam sistem-sistem filsafat besar, serta relevansi dan implikasi kontemporernya. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman mendalam tentang metode spekulatif sebagai salah satu pendekatan kunci dalam tradisi filsafat.


Footnotes

[1]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume VII: Modern Philosophy – From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 89–91.

[3]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.


2.           Fondasi Historis dan Epistemologis Metode Spekulatif

Metode spekulatif tidak muncul dalam kekosongan sejarah, melainkan berakar kuat dalam perjalanan panjang filsafat dari era klasik hingga kontemporer. Spekulasi filosofis pertama kali dapat ditelusuri dalam pemikiran para filsuf pra-Sokratik seperti Anaximandros dan Herakleitos, yang berusaha menjelaskan asal-usul kosmos dan prinsip dasar segala sesuatu melalui konsep-konsep abstrak seperti apeiron (yang tak terbatas) atau logos (rasio semesta).¹ Meskipun pendekatan mereka belum sistematis, semangat spekulatif telah tampak dalam usaha merumuskan realitas di luar yang kasatmata.

Tonggak penting dalam fondasi metode spekulatif dapat ditemukan dalam sistem metafisika Plato dan Aristoteles. Plato, melalui teori dunia ide (forms), membangun kerangka pemikiran spekulatif yang berupaya menjelaskan keberadaan yang sempurna dan abadi sebagai sumber realitas yang tampak.² Aristoteles menyempurnakannya dengan pendekatan yang lebih sistematik dalam Metafisika-nya, yang menyelidiki "ada sebagai ada" (being qua being), dan menempatkan prinsip penyebab pertama (causa prima) sebagai inti dari penjelasan metafisik tentang eksistensi.³

Perkembangan yang paling eksplisit dari metode spekulatif terjadi dalam tradisi idealisme Jerman, khususnya dalam pemikiran G. W. F. Hegel. Ia menjadikan spekulasi sebagai metode sentral dalam mengembangkan filsafat sistematis yang menggabungkan logika, sejarah, dan ontologi ke dalam satu kesatuan dialektis. Hegel memandang bahwa rasio tidak hanya dapat memahami realitas, tetapi realitas itu sendiri adalah rasional.⁴ Proses dialektika Hegel—tesis, antitesis, dan sintesis—merupakan struktur spekulatif yang menegaskan bahwa kebenaran berkembang melalui negasi dan integrasi perbedaan dalam satu totalitas.⁵

Pada abad ke-20, metode spekulatif mengalami reformulasi melalui tokoh-tokoh seperti Alfred North Whitehead dalam filsafat proses. Ia memandang bahwa dunia bersifat dinamis, dan bahwa realitas terdiri atas peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions) yang membentuk jaringan relasional. Whitehead menekankan bahwa metafisika adalah bentuk tertinggi spekulasi filosofis yang harus bersifat koheren, logis, dan mampu menjelaskan seluruh pengalaman manusia.⁶ Berbeda dengan Hegel, spekulasi Whitehead tidak bersifat absolut dalam sistem tertutup, melainkan terbuka terhadap kompleksitas pengalaman dan perubahan.

Secara epistemologis, metode spekulatif bertumpu pada rasio, bukan semata sebagai alat deduksi atau generalisasi, melainkan sebagai medium kreatif untuk menjelajah kemungkinan-kemungkinan ontologis. Berbeda dari metode ilmiah yang menuntut verifikasi empiris, spekulasi filosofis membangun validitasnya dari koherensi internal dan daya jelajah ide dalam menjelaskan totalitas pengalaman.⁷ Karena itu, metode spekulatif bersifat konstruktif dan normatif, berusaha tidak hanya memahami apa adanya, tetapi juga menggagas apa yang mungkin dalam kerangka yang rasional dan utuh.

Dengan demikian, fondasi historis dan epistemologis metode spekulatif memperlihatkan kesinambungan antara pencarian atas kebenaran metafisik dan kepercayaan pada kapasitas rasio untuk merumuskan struktur dasar dari realitas. Ia menjadi sarana filosofis untuk menjangkau dimensi realitas yang tak terjangkau oleh observasi empiris semata, tetapi tetap terikat oleh prinsip-prinsip rasionalitas dan konsistensi logis.


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin Books, 1987), 28–35.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d–511e.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 1003a–1004b.

[4]                G. W. F. Hegel, The Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 50–55.

[5]                Frederick C. Beiser, Hegel (London: Routledge, 2005), 139–142.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3–6.

[7]                Robert C. Solomon and Kathleen M. Higgins, The Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, 9th ed. (Boston: Cengage, 2013), 31–33.


3.           Karakteristik dan Ciri-Ciri Metode Spekulatif

Metode spekulatif memiliki karakteristik yang khas dan membedakannya dari metode-metode lain dalam filsafat, seperti deduksi formal, induksi empiris, ataupun analisis konseptual. Ciri utama metode ini adalah orientasinya pada totalitas pemahaman yang tidak hanya menjelaskan fakta-fakta yang ada, melainkan juga menjangkau struktur terdalam dari kenyataan melalui daya cipta rasio. Spekulasi bukan sekadar asumsi tanpa dasar, melainkan sebuah laku intelektual yang membangun sistem konseptual tentang “apa yang mungkin”, “apa yang mendasar”, dan “apa yang mutlak”.¹

3.1.       Orientasi pada Totalitas dan Keutuhan

Metode spekulatif bertolak dari keyakinan bahwa realitas tidak dapat dipahami secara utuh melalui pendekatan parsial atau fragmentaris. Oleh karena itu, ia menuntut penyusunan sistem pemikiran yang holistik dan koheren. G. W. F. Hegel menyatakan bahwa "The true is the whole," menegaskan bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan melalui pemahaman terhadap totalitas relasi dan dinamika internal realitas.² Dalam hal ini, spekulasi berperan sebagai medium untuk mengaitkan berbagai dimensi eksistensi—materi, ide, kesadaran, dan sejarah—ke dalam satu struktur pemikiran menyeluruh.

3.2.       Rasionalitas Intuitif dan Transkonseptual

Berbeda dari metode deduktif yang kaku dalam batasan logika formal, metode spekulatif melibatkan dimensi intuisi rasional, yakni kemampuan akal untuk menyadari kebenaran dalam bentuk langsung dan menyeluruh, meskipun belum sepenuhnya dirumuskan secara diskursif. Henri Bergson, misalnya, menyebut intuisi sebagai metode filsafat yang lebih unggul daripada intelek karena mampu menyentuh realitas sebagai gerakan dan durasi yang hidup (la durée réelle).³ Dalam konteks ini, intuisi tidak menandingi logika, tetapi memperluas cakupan rasio menuju kedalaman realitas yang tidak terjangkau oleh argumentasi semata.

3.3.       Penggunaan Konsep Universal dan Abstrak

Ciri khas metode spekulatif adalah kecenderungannya menggunakan konsep-konsep yang bersifat universal, transenden, dan abstrak, seperti “Ada”, “Absolut”, “Kehendak”, “Kesadaran”, atau “Proses”. Konsep-konsep ini tidak hanya dijelaskan secara definisional, melainkan dirangkaikan dalam sistem yang saling berkaitan. Whitehead, dalam Process and Reality, menyusun kerangka metafisika berdasarkan kategori seperti “aktualitas aktual” (actual occasions), “potensi abadi” (eternal objects), dan “kreativitas” sebagai prinsip ontologis tertinggi.⁴ Konseptualisasi ini memungkinkan pemikiran filsafat tidak berhenti pada deskripsi, melainkan bergerak ke arah konstruksi dunia ide.

3.4.       Kecenderungan Metafisik dan Ontologis

Metode spekulatif sering kali dikaitkan dengan metafisika karena tujuannya untuk menyelidiki hakikat dasar dari segala sesuatu, termasuk yang tidak dapat diamati secara empiris. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa hakikat keberadaan? Apa struktur terdalam dari realitas? Bagaimana hubungan antara pikiran dan dunia? Ciri metafisik ini menjadikan spekulasi sebagai alat untuk menjembatani antara filsafat dan bidang-bidang seperti teologi, kosmologi, dan ontologi eksistensial.⁵

3.5.       Keterbukaan terhadap Kemungkinan dan Ketakterbatasan

Karakter khas lain dari metode spekulatif adalah keterbukaannya terhadap kemungkinan baru, terhadap yang belum selesai (open-endedness), dan terhadap realitas yang tak sepenuhnya dapat dikalkulasi. Quentin Meillassoux, dalam kerangka spekulatif realisme, menekankan bahwa filsafat perlu melewati korelasi manusia-subjek dan membuka kemungkinan untuk memikirkan “realitas-an-sich” secara radikal, bahkan di luar kategori-kategori tradisional.⁶ Ini menunjukkan bahwa spekulasi tidak bersifat dogmatis, melainkan menempatkan kemungkinan dan ketakterbatasan sebagai dimensi esensial dari filsafat.

Dengan demikian, metode spekulatif menandai sebuah gaya berpikir yang melampaui sekadar penyusunan argumen logis atau pengumpulan fakta, dan menjelma sebagai medium untuk menjelajah totalitas realitas dengan kekuatan rasio kreatif. Karakter-karakternya mencerminkan usaha manusia untuk memahami hakikat yang paling dalam dari eksistensi, dengan menggabungkan refleksi rasional, intuisi metafisik, dan konstruksi sistemik yang koheren.


Footnotes

[1]                Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 62.

[2]                G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 11.

[3]                Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T. E. Hulme (New York: Macmillan, 1912), 32–35.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 21–27.

[5]                Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.

[6]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–7.


4.           Metode Spekulatif dalam Sistem Filsafat: Studi Tokoh

Metode spekulatif mencapai bentuk sistemiknya yang paling matang dalam karya-karya filsuf besar yang menjadikannya sebagai fondasi epistemologis sekaligus alat konseptual untuk membangun pemahaman menyeluruh tentang realitas. Para pemikir seperti Hegel, Whitehead, Bergson, dan Heidegger telah mengembangkan sistem filsafat yang bersandar pada penalaran spekulatif sebagai kerangka utama. Masing-masing tokoh ini menunjukkan bagaimana spekulasi dapat digunakan secara produktif dalam merumuskan struktur dasar eksistensi, waktu, kesadaran, dan keberadaan.

4.1.       G. W. F. Hegel: Dialektika Spekulatif dan Roh Absolut

Hegel adalah tokoh paling menonjol dalam menjadikan spekulasi sebagai metode utama dalam filsafat sistematis. Dalam karyanya Science of Logic dan Phenomenology of Spirit, Hegel mengembangkan metode dialektika spekulatif, yaitu proses rasional yang melibatkan kontradiksi sebagai momen transformatif dalam gerak menuju pengetahuan yang mutlak.¹ Melalui struktur tesis–antitesis–sintesis, Hegel menunjukkan bahwa realitas berkembang secara logis dan dinamis menuju bentuk kesadaran tertinggi: Roh Absolut (Geist).

Spekulasi bagi Hegel bukanlah penalaran bebas nilai, tetapi merupakan cara berpikir yang memungkinkan penggabungan oposisi dalam satu kesatuan koheren. Ia menulis, “speculative thinking consists in grasping the unity of opposites.”_² Dengan demikian, metode spekulatif Hegel bersifat dialektis, logis, dan totalistik—bertujuan untuk menyusun sistem yang menjelaskan seluruh aspek realitas, baik dalam dimensi logika, sejarah, maupun etika.

4.2.       Alfred North Whitehead: Metafisika Proses dan Kreativitas Kosmis

Alfred North Whitehead mengembangkan metode spekulatif dalam bentuk metafisika proses, yang bertolak dari anggapan bahwa realitas bersifat dinamis dan terbentuk melalui peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions).³ Dalam Process and Reality, Whitehead menyatakan bahwa metafisika spekulatif adalah upaya untuk merumuskan sistem ide-ide umum yang koheren, logis, dan mampu menafsirkan seluruh pengalaman manusia.⁴

Berbeda dari Hegel, yang bersandar pada struktur logika dialektis, Whitehead menekankan pentingnya kreativitas sebagai prinsip ontologis utama yang melahirkan keberagaman dan keteraturan dalam alam semesta.⁵ Ia menghindari absolutisme sistem tertutup dan justru mempromosikan sistem spekulatif yang terbuka terhadap kompleksitas dan perubahan, menjadikannya relevan dalam konteks ilmu pengetahuan modern dan filsafat alam kontemporer.

4.3.       Henri Bergson: Intuisi Spekulatif atas Waktu dan Kesadaran

Henri Bergson mengembangkan pendekatan spekulatif yang berfokus pada kesadaran, waktu, dan kehidupan. Dalam Time and Free Will dan Creative Evolution, ia menolak pandangan mekanistik tentang waktu sebagai urutan kuantitatif dan mengajukan konsep durée (durasi) sebagai realitas waktu yang dialami secara langsung dan kontinu.⁶

Metode spekulatif Bergson menekankan peran intuisi dalam mengungkap kedalaman realitas, yang menurutnya tidak dapat dicapai melalui intelek yang membekukan dan memecah pengalaman.⁷ Intuisi spekulatif memungkinkan filsuf untuk “masuk” ke dalam objek studi dan mengalami geraknya dari dalam, bukan sekadar mengamatinya secara eksternal. Dengan demikian, spekulasi bagi Bergson bukan hanya proses kognitif, tetapi juga pengalaman eksistensial yang mendalam.

4.4.       Martin Heidegger: Spekulasi Ontologis dan Pengungkapan Keberadaan

Meskipun tidak secara eksplisit menyebut dirinya spekulatif, pemikiran Martin Heidegger dalam Being and Time memuat unsur-unsur spekulasi ontologis yang kuat. Ia mengkritik metafisika tradisional karena melupakan pertanyaan fundamental tentang Being (Sein) dan berupaya mengungkap makna keberadaan melalui analisis eksistensial terhadap Dasein—manusia sebagai entitas yang mampu mempertanyakan keberadaannya.⁸

Spekulasi Heidegger bersifat eksistensial dan hermeneutik: bukan membangun sistem tertutup, tetapi membuka horizon pemahaman melalui pengungkapan makna-makna terdalam dari eksistensi.⁹ Dalam kerangka ini, metode spekulatif bukan lagi sekadar konstruksi logis, melainkan juga penyingkapan ontologis terhadap struktur makna dalam dunia hidup (Lebenswelt).


Refleksi Perbandingan

Keempat tokoh ini menunjukkan bahwa metode spekulatif tidak bersifat tunggal dan seragam, melainkan memiliki variasi yang mencerminkan konteks historis dan orientasi filosofis masing-masing. Hegel menggunakannya sebagai dasar logika sistemik, Whitehead mengembangkannya dalam kosmologi proses, Bergson menekankannya dalam pengalaman waktu, sementara Heidegger mengartikulasikannya sebagai pengungkapan makna eksistensial. Namun, kesamaan mereka terletak pada kepercayaan bahwa filsafat harus melampaui empirisme dangkal dan menyelami lapisan terdalam dari realitas dengan bantuan rasio kreatif dan reflektif.


Footnotes

[1]                G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books, 1991), 50–55.

[2]                Ibid., 56.

[3]                Alfred North Whitehead, Adventures of Ideas (New York: Free Press, 1933), 137–140.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.

[5]                Ibid., 31.

[6]                Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910), 105–110.

[7]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Random House, 1944), 129.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 23–27.

[9]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 32–35.


5.           Perbandingan Metode Spekulatif dengan Metode Lain

Metode spekulatif memiliki tempat istimewa dalam sejarah filsafat karena orientasinya yang menyeluruh terhadap realitas dan kecenderungannya untuk membangun sistem-sistem metafisik yang kompleks. Namun, untuk memahami posisi epistemologis dan metodologisnya secara utuh, metode ini perlu dibandingkan dengan metode-metode lain yang juga dominan dalam diskursus filosofis: metode deduktif, induktif, fenomenologis, dan analitis. Perbandingan ini tidak hanya memperjelas karakter unik metode spekulatif, tetapi juga mengungkap kelebihan dan keterbatasannya dalam menjawab persoalan-persoalan filosofis kontemporer.

5.1.       Metode Deduktif: Kepastian Formal versus Kemungkinan Ontologis

Metode deduktif berpijak pada logika formal, yakni penarikan kesimpulan dari premis-premis umum yang telah diterima kebenarannya secara aksiomatik. Metode ini banyak digunakan dalam tradisi rasionalisme, seperti dalam pemikiran Descartes dan Spinoza.¹ Deduksi menjamin validitas argumen secara logis, tetapi sering kali bersifat sempit dalam menjangkau kompleksitas ontologis. Sementara itu, metode spekulatif beroperasi dengan melampaui kepastian formal menuju konstruksi ide yang mungkin secara rasional dan bersifat inklusif terhadap totalitas realitas.

Spekulasi bersedia menerima kemungkinan kontradiksi sebagai bagian dari dinamika pemikiran, sebagaimana ditunjukkan dalam dialektika Hegel, sedangkan deduksi cenderung menolak kontradiksi demi menjaga konsistensi logika.² Oleh karena itu, metode spekulatif lebih fleksibel dalam membahas hal-hal yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan logika deduktif, seperti eksistensi mutlak, waktu, dan kesadaran.

5.2.       Metode Induktif: Generalisasi Empiris versus Transendensi Konseptual

Metode induktif berakar pada pengamatan empiris dan bertujuan untuk menyusun generalisasi dari fenomena partikular. Pendekatan ini menjadi landasan bagi filsafat empirisme dan metodologi ilmiah modern.³ Namun, dalam banyak kasus, metode induktif hanya dapat menyimpulkan probabilitas dan tidak mampu memberikan kepastian metafisik atau prinsip universal.

Metode spekulatif tidak mendasarkan kebenaran pada observasi yang terbatas, melainkan pada kemampuan akal untuk menalar hal-hal yang melampaui data empiris. Alfred North Whitehead, misalnya, mengkritik empirisme semata karena gagal menangkap “nilai metafisik” dari pengalaman yang sebenarnya memiliki struktur mendalam.⁴ Dalam hal ini, spekulasi menyediakan kerangka yang lebih luas bagi penjelasan filosofis yang mencakup baik pengalaman empiris maupun kemungkinan rasional di luar jangkauan observasi.

5.3.       Metode Fenomenologis: Deskripsi Kesadaran versus Konseptualisasi Realitas

Fenomenologi, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan oleh Heidegger, menekankan pada deskripsi fenomena sebagaimana tampak dalam kesadaran murni.⁵ Tujuan utamanya adalah kembali kepada “hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst) dengan mengesampingkan segala asumsi metafisik (epoché). Fenomenologi sangat berhati-hati dalam melangkah ke spekulasi, karena dianggap dapat mencemari deskripsi murni dari pengalaman.

Namun, metode spekulatif justru memandang bahwa deskripsi fenomenologis perlu ditindaklanjuti dengan konstruksi teoritis yang menjelaskan struktur terdalam dari fenomena tersebut. Sebagai contoh, Bergson memanfaatkan intuisi spekulatif untuk melampaui analisis fenomenologis tentang waktu menjadi pemahaman metafisik tentang durée réelle.⁶ Dengan demikian, metode spekulatif dapat dianggap sebagai perluasan dari fenomenologi ke arah metafisika spekulatif.

5.4.       Metode Analitis: Klarifikasi Bahasa versus Penyusunan Sistem Konseptual

Filsafat analitis, yang berkembang pesat di dunia Anglo-Amerika, menekankan klarifikasi bahasa, logika, dan struktur argumen. Tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan Rudolf Carnap berusaha memurnikan filsafat dari ambiguitas konseptual dengan cara analisis logis.⁷

Namun, pendekatan ini sering dikritik karena mengabaikan persoalan metafisik dan ontologis yang lebih mendalam. Metode spekulatif tidak membatasi filsafat pada analisis linguistik, tetapi justru mendorong pembentukan konsep-konsep baru yang bersifat sistemik dan metafisik. Dalam pandangan ini, spekulasi bukanlah lawan dari kejelasan, tetapi pelengkap yang memperluas cakrawala bahasa menuju ide-ide yang belum terformulasikan.⁸


Sintesis dan Posisi Metode Spekulatif

Melalui perbandingan di atas, tampak bahwa metode spekulatif berada di antara batas-batas rasionalitas formal dan intuisi metafisik. Ia tidak mengesampingkan deduksi, observasi, atau analisis, tetapi menempatkannya dalam kerangka berpikir yang lebih luas dan terbuka terhadap kemungkinan ontologis. Spekulasi menggabungkan penalaran sistematis dengan imajinasi rasional, sehingga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak tersentuh oleh metode lain secara memadai, seperti hakikat keberadaan, asal-usul kosmos, dan makna waktu.

Karena itu, meskipun sering dianggap tidak verifikatif secara empiris atau terlalu abstrak, metode spekulatif tetap memiliki relevansi epistemologis yang kuat dalam konteks filsafat sebagai upaya memahami totalitas realitas secara rasional dan transenden.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), 31–34.

[2]                G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books, 1991), 56.

[3]                John Stuart Mill, A System of Logic, Ratiocinative and Inductive, Vol. 1 (London: Longmans, Green, and Co., 1882), 204–208.

[4]                Alfred North Whitehead, Adventures of Ideas (New York: Free Press, 1933), 154.

[5]                Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (New York: Macmillan, 1931), 44–45.

[6]                Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Random House, 1944), 127–129.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2001), §43.

[8]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–6.


6.           Relevansi dan Implikasi Kontemporer

Di tengah dominasi paradigma positivistik dan analitik dalam lanskap pemikiran modern, metode spekulatif sempat mengalami kemunduran karena dianggap terlalu abstrak, tidak dapat diverifikasi secara empiris, dan terkesan metafisik dalam arti negatif. Namun, sejak awal abad ke-21, terjadi kebangkitan minat terhadap pendekatan spekulatif, terutama dalam konteks krisis epistemologis dan keterbatasan narasi-narasi besar yang sebelumnya mendominasi ilmu pengetahuan dan filsafat.¹ Dalam konteks ini, metode spekulatif kembali dipandang relevan sebagai medium untuk menanggapi kompleksitas realitas kontemporer yang tidak selalu dapat dijelaskan melalui pendekatan empiris atau analitis semata.

6.1.       Spekulatif Realisme dan Pemikiran Pascakontinental

Salah satu wujud paling nyata dari kebangkitan metode spekulatif dalam filsafat kontemporer adalah gerakan Spekulatif Realisme (Speculative Realism), yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Quentin Meillassoux, Ray Brassier, Graham Harman, dan Iain Hamilton Grant.² Mereka menolak korelasiisme (correlationism), yaitu pandangan bahwa realitas hanya dapat dipahami dalam hubungan antara subjek dan objek, dan menegaskan bahwa filsafat harus berani berbicara tentang realitas an sich, bahkan di luar jangkauan kesadaran manusia.

Meillassoux, dalam karyanya After Finitude, secara eksplisit menyerukan kembalinya filsafat pada spekulasi ontologis yang berani, dengan menekankan kemungkinan bahwa dunia bisa eksis secara radikal kontingen tanpa sebab atau hukum yang mutlak.³ Ini merupakan bentuk pembalikan terhadap rasionalitas dogmatik dan membuka ruang bagi elaborasi metafisika kontemporer yang tidak tunduk pada struktur epistemologis Kantian.

6.2.       Respons terhadap Krisis Ekologis dan Kosmologi Baru

Metode spekulatif juga menawarkan pendekatan alternatif dalam menanggapi krisis ekologis dan kosmologi posthuman, yang tidak cukup ditangani oleh etika lingkungan berbasis utilitarianisme atau kebijakan pragmatis. Filsuf seperti Bruno Latour dan Isabelle Stengers menggabungkan spekulasi dengan ekologi politik, memperluas batasan relasi antara manusia dan alam semesta ke arah kosmologi yang inklusif dan relasional.⁴

Dalam konteks ini, spekulasi menjadi cara untuk membayangkan dunia yang tidak hanya diukur berdasarkan nilai instrumental, melainkan dipahami sebagai jejaring entitas yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Pendekatan ini memperkaya filsafat lingkungan dengan dimensi ontologis yang lebih dalam, sekaligus membuka ruang bagi imaginasi etis terhadap masa depan planet dan umat manusia.

6.3.       Filsafat Sains dan Proyek Metafisika Baru

Di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan kuantum, astrofisika, dan studi kesadaran, metode spekulatif mendapatkan kembali ruangnya dalam filsafat sains sebagai alat konseptual untuk membayangkan struktur terdalam dari realitas. Pemikiran Whitehead, yang lama diabaikan oleh tradisi ilmiah mainstream, kini mendapat perhatian ulang dalam konteks “panexperientialism” dan “relational metaphysics.”⁵

Spekulasi juga menjadi krusial dalam menghadapi fenomena baru seperti kecerdasan buatan, simulasi realitas, dan multiverse theory. Pendekatan rasional yang semata-mata logis atau empiris sering kali tidak memadai untuk menjelaskan implikasi ontologis dari realitas yang bersifat virtual, non-material, dan berlapis. Dalam hal ini, metode spekulatif memberi filsafat kekuatan untuk tetap relevan dalam membicarakan hal-hal yang belum terjadi namun masuk akal untuk dipikirkan secara sistemik.

6.4.       Implikasi Etis dan Teologis

Spekulasi dalam filsafat kontemporer tidak hanya berdampak pada teori pengetahuan dan metafisika, tetapi juga melahirkan pendekatan baru dalam bidang etika dan teologi filsafati. Teologi spekulatif (speculative theology) menjadi wacana yang tumbuh, khususnya dalam rangka menjembatani kembali antara rasio dan iman dalam konteks dunia sekular.⁶

Spekulasi memungkinkan filsuf dan teolog membicarakan tentang Tuhan, keabadian, dan makna eksistensial secara rasional tanpa tunduk pada literalitas doktrin ataupun skeptisisme ilmiah. Dengan demikian, metode spekulatif membuka peluang bagi elaborasi konsep-konsep etis dan spiritual yang kontekstual dan tetap berpijak pada kekuatan penalaran filosofis.

6.5.       Reaktualisasi dalam Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam ranah pendidikan filsafat, metode spekulatif mengajarkan pentingnya berpikir terbuka, reflektif, dan kreatif, bukan hanya kritis dan analitis. Ia mendorong siswa filsafat untuk tidak sekadar membedah argumen, tetapi juga membangun visi dunia yang rasional dan bermakna. Dalam kebudayaan populer—melalui sastra, sinema, dan seni futuristik—spektrum spekulatif mewarnai imajinasi kolektif tentang masa depan manusia, keberadaan non-manusia, dan transformasi eksistensial yang lebih inklusif.⁷


Dengan demikian, metode spekulatif memiliki relevansi tinggi dalam konteks kontemporer, tidak hanya sebagai warisan metafisik klasik, tetapi juga sebagai pendekatan yang fleksibel, terbuka, dan visioner dalam menjawab tantangan pemikiran modern. Ia menjadi jembatan antara rasionalitas dan imajinasi, antara metafisika dan praksis, serta antara filsafat masa lalu dan arah masa depan yang belum pasti.


Footnotes

[1]                Graham Harman, Speculative Realism: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2018), 3–4.

[2]                Levi R. Bryant, Nick Srnicek, and Graham Harman, eds., The Speculative Turn: Continental Materialism and Realism (Melbourne: re.press, 2011), viii–x.

[3]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 33–34.

[4]                Isabelle Stengers, Thinking with Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 151–155.

[5]                Roland Faber, The Divine Manifold (Lanham, MD: Lexington Books, 2014), 24–27.

[6]                Catherine Keller, Cloud of the Impossible: Negative Theology and Planetary Entanglement (New York: Columbia University Press, 2015), 9–12.

[7]                Brian Massumi, Semblance and Event: Activist Philosophy and the Occurrent Arts (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 41–43.


7.           Kritik dan Pembelaan terhadap Metode Spekulatif

Metode spekulatif dalam filsafat telah lama menjadi medan kontroversial. Sebagai pendekatan yang berupaya membangun sistem konseptual menyeluruh tentang realitas, ia menuai berbagai kritik dari aliran filsafat yang menekankan pada empirisme, verifikasionisme, dan analisis bahasa. Namun, sepanjang sejarah filsafat, pembelaan terhadap metode ini juga berkembang, menunjukkan peran esensial spekulasi dalam memperluas cakrawala berpikir filosofis, terutama dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh metode lain secara memadai.

7.1.       Kritik terhadap Metode Spekulatif

7.1.1.    Kritik Empirisis dan Positivis: Ketidakverifikasian dan Metafisika Kosong

Aliran empirisme dan positivisme logis menolak validitas metode spekulatif karena tidak menghasilkan proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris. Dalam pandangan ini, statemen metafisik yang disusun secara spekulatif dianggap “nonsense” karena tidak memenuhi prinsip verifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Lingkaran Wina.¹ Rudolf Carnap, misalnya, menyatakan bahwa metafisika bersifat “meaningless” karena menggunakan kata-kata yang secara sintaksis tampak bermakna tetapi tidak memiliki referensi empiris.²

Dalam kerangka ini, metode spekulatif dicurigai sebagai upaya untuk menyusun sistem besar yang tampak rasional, tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar observasi. Kritik ini menyasar terutama pada sistem filsafat Hegel dan metafisika proses Whitehead, yang dinilai terlalu abstrak dan menjauh dari realitas faktual.³

7.1.2.    Kritik Analitis: Ambiguitas Bahasa dan Ketidakjelasan Konsep

Filsuf-filsuf dari tradisi analitis juga mengkritik metode spekulatif karena dianggap kabur dalam penggunaan bahasa dan tidak tepat dalam membedakan antara proposisi deskriptif dan normatif. Bertrand Russell, dalam kritiknya terhadap Hegel, menyebut bahwa sistem metafisik spekulatif penuh dengan kontradiksi yang disamarkan melalui bahasa yang ambigu dan istilah yang kabur.⁴ Filsafat, menurut mereka, harus bertujuan untuk memperjelas, bukan mengaburkan.

7.2.       Pembelaan terhadap Metode Spekulatif

7.2.1.    Pembelaan Historis: Peran Spekulasi dalam Progresi Pemikiran

Pembelaan terhadap metode spekulatif muncul dari kesadaran bahwa sebagian besar sistem filsafat besar dalam sejarah dibangun melalui spekulasi. Plato, Aristoteles, Plotinus, Descartes, Leibniz, Hegel, dan Whitehead semuanya menggunakan spekulasi untuk menjelaskan struktur dasar realitas.⁵ Dalam hal ini, spekulasi bukanlah penghindaran terhadap rasionalitas, tetapi pengembangan rasionalitas ke arah kemungkinan-kemungkinan metafisik yang logis.

Spekulasi dibutuhkan ketika filsafat berhadapan dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan observasi atau eksperimen, seperti pertanyaan tentang keberadaan, waktu, kesadaran, dan Tuhan.⁶ Dengan demikian, spekulasi mengisi ruang yang tidak terjangkau oleh empirisme tanpa kehilangan rasionalitas.

7.2.2.    Pembelaan Ontologis: Keabsahan Rasio dalam Menjangkau Realitas Non-Empiris

Whitehead menekankan bahwa spekulasi merupakan sarana untuk menyusun sistem ide-ide umum yang logis dan koheren untuk menginterpretasi seluruh pengalaman, termasuk pengalaman estetis, religius, dan moral yang tidak dapat direduksi menjadi observasi ilmiah.⁷ Baginya, sistem spekulatif yang baik harus memenuhi tiga syarat: koherensi logis, kesatuan sistemik, dan daya jelajah terhadap seluruh pengalaman manusia.⁸

Dalam kerangka inilah, spekulasi justru memperluas filsafat ke wilayah yang tidak dapat disentuh oleh metode reduktif. Hal ini juga dikemukakan oleh Meillassoux, yang menyatakan bahwa hanya melalui spekulasi filsafat dapat melampaui korelasiisme dan berbicara tentang realitas dalam dirinya sendiri.⁹

7.2.3.    Pembelaan Kontemporer: Relevansi dalam Krisis Pemikiran dan Realitas Baru

Banyak pemikir kontemporer melihat bahwa metode-metode tradisional telah mengalami stagnasi dalam menjawab tantangan baru seperti krisis ekologis, kecerdasan buatan, dan multiversum. Dalam konteks ini, metode spekulatif memungkinkan filsafat untuk bereksperimen dengan ide-ide besar yang membuka arah baru dalam berpikir. Bruno Latour dan Isabelle Stengers, misalnya, menggabungkan spekulasi dengan kosmopolitik dan sains post-normal untuk menyusun paradigma baru yang lebih inklusif dan imajinatif.¹⁰

7.3.       Jalan Tengah: Spekulasi sebagai Bagian dari Spektrum Metodologis Filsafat

Alih-alih mempertentangkan secara mutlak antara metode spekulatif dan metode lainnya, banyak pemikir kini mengadvokasi pendekatan eklektik yang mengintegrasikan spekulasi ke dalam keseluruhan spektrum metode filosofis. Dalam pendekatan ini, spekulasi tidak diangkat sebagai metode tunggal, tetapi sebagai dimensi reflektif dan kreatif yang melengkapi deduksi, induksi, analisis, dan fenomenologi.

Dengan demikian, pembelaan terhadap metode spekulatif tidak dimaksudkan sebagai pemutusan dari rasionalitas, melainkan sebagai perluasan medan rasionalitas ke wilayah-wilayah yang memerlukan daya jelajah konseptual yang lebih mendalam dan imajinatif.


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic, 2nd ed. (New York: Dover Publications, 1952), 42–44.

[2]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of Language,” in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (Glencoe, IL: Free Press, 1959), 60.

[3]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. 2: Hegel and Marx (Princeton: Princeton University Press, 1966), 4–7.

[4]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 705–710.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume VII: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 41–45.

[6]                Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 12–15.

[7]                Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.

[8]                Ibid., 5–6.

[9]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–6.

[10]             Isabelle Stengers, Thinking with Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 145–150.


8.           Penutup

Metode spekulatif dalam filsafat, meskipun kerap dipandang kontroversial karena sifatnya yang abstrak dan sulit diverifikasi secara empiris, tetap memiliki posisi yang signifikan dalam sejarah dan perkembangan pemikiran filosofis. Sebagai pendekatan yang berupaya menjangkau totalitas realitas melalui daya jelajah rasional dan konstruksi konseptual, spekulasi telah melahirkan sistem-sistem filsafat yang besar dan berpengaruh—mulai dari metafisika Plato dan Aristoteles, hingga sistem dialektika Hegel dan filsafat proses Whitehead.¹

Pembahasan ini menunjukkan bahwa metode spekulatif tidak hanya menawarkan kerangka kerja metafisik, tetapi juga menyumbang pada perluasan horison epistemologis dan ontologis dalam merespons tantangan-tantangan baru. Di tengah ketidakcukupan metode deduktif, induktif, analitis, dan fenomenologis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat keberadaan, waktu, kesadaran, serta struktur terdalam dari realitas, spekulasi menghadirkan kemungkinan penalaran yang bersifat transenden dan kreatif.²

Dalam konteks kontemporer, kebangkitan minat terhadap spekulasi filosofis, sebagaimana ditunjukkan oleh gerakan speculative realism, merupakan bukti bahwa filsafat belum selesai dalam upayanya untuk menjelajahi “yang mungkin” (the possible), bukan hanya “yang aktual” (the actual).³ Bahkan dalam bidang seperti filsafat sains, ekologi, teologi, dan etika posthuman, metode spekulatif memberikan ruang bagi reinterpretasi dan rekonstruksi konsep-konsep mendasar yang diperlukan untuk merespons kompleksitas zaman.⁴

Namun demikian, kebermaknaan metode spekulatif tetap bergantung pada kehati-hatian epistemologis dan koherensi logis. Sebuah sistem spekulatif yang baik, sebagaimana dikemukakan Whitehead, harus memiliki konsistensi internal, daya interpretatif terhadap pengalaman, dan keterbukaan terhadap koreksi serta perkembangan baru.⁵ Oleh karena itu, spekulasi tidak boleh dimaknai sebagai pelarian dari rasionalitas, tetapi justru sebagai perluasan dari akal budi manusia untuk menjelajahi struktur terdalam dari realitas dengan cara yang reflektif dan sistemik.

Dengan mempertimbangkan sejarahnya yang panjang, karakteristik filosofisnya yang unik, serta relevansinya dalam konteks mutakhir, dapat disimpulkan bahwa metode spekulatif tetap merupakan salah satu pendekatan yang vital dan tak tergantikan dalam khazanah metodologi filsafat. Ia bukan hanya bagian dari tradisi metafisika klasik, tetapi juga menjadi jembatan menuju masa depan filsafat yang lebih inklusif, integratif, dan visioner.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 138–141; G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books, 1991), 50–56; Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3–6.

[2]                Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T. E. Hulme (New York: Macmillan, 1912), 46–49.

[3]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 33–36.

[4]                Isabelle Stengers, Thinking with Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 150–155; Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge: Polity Press, 2017), 98–101.

[5]                Whitehead, Process and Reality, 5–6.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic (2nd ed.). Dover Publications.

Bergson, H. (1910). Time and free will: An essay on the immediate data of consciousness (F. L. Pogson, Trans.). George Allen & Unwin.

Bergson, H. (1912). An introduction to metaphysics (T. E. Hulme, Trans.). Macmillan.

Bergson, H. (1944). Creative evolution (A. Mitchell, Trans.). Random House.

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Bryant, L. R., Srnicek, N., & Harman, G. (Eds.). (2011). The speculative turn: Continental materialism and realism. re.press.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Volume I: Greece and Rome. Image Books.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Volume VII: Modern philosophy—From the post-Kantian idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. Image Books.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and time. MIT Press.

Faber, R. (2014). The divine manifold. Lexington Books.

Harman, G. (2018). Speculative realism: An introduction. Polity Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Hegel, G. W. F. (1991). Science of logic (A. V. Miller, Trans.). Humanity Books.

Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Macmillan.

Keller, C. (2015). Cloud of the impossible: Negative theology and planetary entanglement. Columbia University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime (C. Porter, Trans.). Polity Press.

Massumi, B. (2011). Semblance and event: Activist philosophy and the occurrent arts. MIT Press.

Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay on the necessity of contingency (R. Brassier, Trans.). Continuum.

Mill, J. S. (1882). A system of logic, ratiocinative and inductive (Vol. 1). Longmans, Green, and Co.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Popper, K. (1966). The open society and its enemies: Vol. 2: Hegel and Marx. Princeton University Press.

Russell, B. (1945). A history of western philosophy. Simon & Schuster.

Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (2013). The big questions: A short introduction to philosophy (9th ed.). Cengage.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Books.

Stengers, I. (2011). Thinking with Whitehead: A free and wild creation of concepts (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.

Swinburne, R. (1993). The coherence of theism (Rev. ed.). Clarendon Press.

Whitehead, A. N. (1933). Adventures of ideas. Free Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.

Wittgenstein, L. (2001). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell Publishing.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar