Metode Spekulatif
Fondasi Metafisik, Daya Jelajah Rasional, dan Implikasi
Ontologis dalam Tradisi Pemikiran
Alihkan ke: Motode-Metode dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam metode
spekulatif dalam filsafat sebagai pendekatan yang menekankan eksplorasi
rasional terhadap realitas melalui konstruksi konseptual yang sistematis dan
reflektif. Berbeda dengan metode deduktif, induktif, analitis, dan
fenomenologis, metode spekulatif berusaha menjangkau totalitas eksistensi
dengan menembus batas-batas empirisme dan logika formal. Kajian ini menelusuri
fondasi historis metode spekulatif dari masa pra-Sokratik hingga pemikiran
kontemporer, dengan fokus pada tokoh-tokoh utama seperti Hegel, Whitehead,
Bergson, dan Heidegger. Analisis juga mencakup karakteristik utama metode ini,
seperti orientasi metafisik, penggunaan konsep abstrak, serta peran intuisi
dalam konstruksi ide filosofis. Selain itu, artikel ini membandingkan metode
spekulatif dengan pendekatan lain dalam filsafat serta membahas relevansi dan
tantangannya dalam konteks kontemporer, termasuk dalam filsafat sains, ekologi,
dan teologi spekulatif. Meskipun menghadapi kritik dari aliran empirisis dan
analitis, metode spekulatif tetap bertahan sebagai pendekatan yang signifikan
dalam memperluas cakrawala pemikiran filsafat dan dalam merumuskan
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan kemungkinan ontologis.
Kata Kunci: Metode spekulatif, filsafat, metafisika, realitas,
Hegel, Whitehead, intuisi, kontingensi, ontologi, rasionalitas reflektif.
PEMBAHASAN
Metode Spekulatif dalam Kajian Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam medan kajian
filsafat, metode spekulatif menempati posisi unik sebagai pendekatan yang
berupaya menjangkau aspek realitas yang melampaui fakta-fakta empiris dan
analisis logis formal. Berbeda dengan metode deduktif yang berpijak pada
aksioma dan prinsip universal, atau metode induktif yang menggeneralisasi dari
pengalaman partikular, metode spekulatif bersandar pada kemampuan akal untuk
membangun sistem konseptual yang komprehensif dan mendalam tentang hakikat
kenyataan. Dalam sejarah filsafat Barat, pendekatan ini banyak dijumpai pada
pemikiran metafisik klasik, idealisme Jerman, hingga filsafat proses
kontemporer.
Spekulasi, dalam
konteks filsafat, bukanlah dugaan tanpa dasar, melainkan suatu bentuk penalaran
kreatif dan reflektif yang bertujuan menggali struktur terdalam dari
eksistensi. Hegel menyebut filsafat sebagai aktivitas spekulatif tertinggi
karena kemampuannya untuk memahami "yang absolut" melalui
dialektika pemikiran yang menyatukan kontradiksi dalam kesatuan rasional yang
lebih tinggi. Ia menyatakan, “The true is
the whole,” yang menandakan bahwa kebenaran filosofis hanya dapat
dicapai melalui pemahaman menyeluruh terhadap totalitas realitas, bukan sekadar
pengamatan fragmentaris terhadap bagian-bagiannya.¹
Kebutuhan akan
pendekatan spekulatif semakin mengemuka ketika filsafat berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak tersentuh oleh sains empiris maupun logika
matematis. Misalnya, pertanyaan tentang asal-usul keberadaan, sifat dasar
waktu, hubungan antara kesadaran dan dunia, serta potensi metafisik dari sistem
semesta. Di sinilah metode spekulatif hadir sebagai wadah rasional yang
memungkinkan manusia untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ontologis dengan
struktur argumentasi yang bersifat reflektif dan sistematis.²
Selain itu, metode
spekulatif juga menjadi landasan bagi perkembangan berbagai cabang pemikiran
filsafat yang bersifat sistemik dan konstruktif. Whitehead, salah satu tokoh
penting dalam filsafat proses, menyatakan bahwa “metaphysical speculation is
an endeavor to frame a coherent, logical, necessary system of general ideas in
terms of which every element of our experience can be interpreted.”_³
Dengan demikian, spekulasi tidak hanya memberi wawasan baru, tetapi juga
berperan dalam mengintegrasikan berbagai dimensi pengalaman menjadi sistem
pemahaman yang menyeluruh.
Mengingat
kompleksitas dan peran sentral metode spekulatif dalam dinamika pemikiran
filosofis, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara sistematis fondasi
historis dan epistemologisnya, karakteristik utama metode ini, penerapannya
dalam sistem-sistem filsafat besar, serta relevansi dan implikasi
kontemporernya. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pemahaman mendalam tentang metode spekulatif sebagai salah satu pendekatan
kunci dalam tradisi filsafat.
Footnotes
[1]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 11.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume VII: Modern Philosophy – From the Post-Kantian
Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche (New York: Image Books, 1994), 89–91.
[3]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.
2.
Fondasi
Historis dan Epistemologis Metode Spekulatif
Metode spekulatif
tidak muncul dalam kekosongan sejarah, melainkan berakar kuat dalam perjalanan
panjang filsafat dari era klasik hingga kontemporer. Spekulasi filosofis
pertama kali dapat ditelusuri dalam pemikiran para filsuf pra-Sokratik seperti
Anaximandros dan Herakleitos, yang berusaha menjelaskan asal-usul kosmos dan
prinsip dasar segala sesuatu melalui konsep-konsep abstrak seperti apeiron
(yang tak terbatas) atau logos (rasio semesta).¹ Meskipun
pendekatan mereka belum sistematis, semangat spekulatif telah tampak dalam
usaha merumuskan realitas di luar yang kasatmata.
Tonggak penting
dalam fondasi metode spekulatif dapat ditemukan dalam sistem metafisika Plato
dan Aristoteles. Plato, melalui teori dunia ide (forms), membangun kerangka
pemikiran spekulatif yang berupaya menjelaskan keberadaan yang sempurna dan
abadi sebagai sumber realitas yang tampak.² Aristoteles menyempurnakannya
dengan pendekatan yang lebih sistematik dalam Metafisika-nya, yang menyelidiki
"ada sebagai ada" (being qua being), dan menempatkan
prinsip penyebab pertama (causa prima) sebagai inti dari
penjelasan metafisik tentang eksistensi.³
Perkembangan yang
paling eksplisit dari metode spekulatif terjadi dalam tradisi idealisme Jerman,
khususnya dalam pemikiran G. W. F. Hegel. Ia menjadikan spekulasi sebagai
metode sentral dalam mengembangkan filsafat sistematis yang menggabungkan
logika, sejarah, dan ontologi ke dalam satu kesatuan dialektis. Hegel memandang
bahwa rasio tidak hanya dapat memahami realitas, tetapi realitas itu sendiri
adalah rasional.⁴ Proses dialektika Hegel—tesis, antitesis, dan
sintesis—merupakan struktur spekulatif yang menegaskan bahwa kebenaran
berkembang melalui negasi dan integrasi perbedaan dalam satu totalitas.⁵
Pada abad ke-20,
metode spekulatif mengalami reformulasi melalui tokoh-tokoh seperti Alfred
North Whitehead dalam filsafat proses. Ia memandang bahwa dunia bersifat
dinamis, dan bahwa realitas terdiri atas peristiwa-peristiwa aktual (actual
occasions) yang membentuk jaringan relasional. Whitehead menekankan
bahwa metafisika adalah bentuk tertinggi spekulasi filosofis yang harus
bersifat koheren, logis, dan mampu menjelaskan seluruh pengalaman manusia.⁶
Berbeda dengan Hegel, spekulasi Whitehead tidak bersifat absolut dalam sistem
tertutup, melainkan terbuka terhadap kompleksitas pengalaman dan perubahan.
Secara
epistemologis, metode spekulatif bertumpu pada rasio, bukan semata sebagai alat
deduksi atau generalisasi, melainkan sebagai medium kreatif untuk menjelajah
kemungkinan-kemungkinan ontologis. Berbeda dari metode ilmiah yang menuntut
verifikasi empiris, spekulasi filosofis membangun validitasnya dari koherensi
internal dan daya jelajah ide dalam menjelaskan totalitas pengalaman.⁷ Karena
itu, metode spekulatif bersifat konstruktif dan normatif, berusaha tidak hanya
memahami apa
adanya, tetapi juga menggagas apa yang mungkin dalam kerangka
yang rasional dan utuh.
Dengan demikian,
fondasi historis dan epistemologis metode spekulatif memperlihatkan
kesinambungan antara pencarian atas kebenaran metafisik dan kepercayaan pada
kapasitas rasio untuk merumuskan struktur dasar dari realitas. Ia menjadi
sarana filosofis untuk menjangkau dimensi realitas yang tak terjangkau oleh observasi
empiris semata, tetapi tetap terikat oleh prinsip-prinsip rasionalitas dan
konsistensi logis.
Footnotes
[1]
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin Books, 1987), 28–35.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1992), 509d–511e.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 1003a–1004b.
[4]
G. W. F. Hegel, The Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: George Allen &
Unwin, 1969), 50–55.
[5]
Frederick C. Beiser, Hegel (London: Routledge, 2005), 139–142.
[6]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
3–6.
[7]
Robert C. Solomon and Kathleen M. Higgins, The Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, 9th ed. (Boston: Cengage, 2013), 31–33.
3.
Karakteristik
dan Ciri-Ciri Metode Spekulatif
Metode spekulatif
memiliki karakteristik yang khas dan membedakannya dari metode-metode lain
dalam filsafat, seperti deduksi formal, induksi empiris, ataupun analisis
konseptual. Ciri utama metode ini adalah orientasinya pada totalitas pemahaman
yang tidak hanya menjelaskan fakta-fakta yang ada, melainkan juga menjangkau
struktur terdalam dari kenyataan melalui daya cipta rasio. Spekulasi bukan
sekadar asumsi tanpa dasar, melainkan sebuah laku intelektual yang membangun
sistem konseptual tentang “apa yang mungkin”, “apa yang mendasar”,
dan “apa yang mutlak”.¹
3.1.
Orientasi pada
Totalitas dan Keutuhan
Metode spekulatif
bertolak dari keyakinan bahwa realitas tidak dapat dipahami secara utuh melalui
pendekatan parsial atau fragmentaris. Oleh karena itu, ia menuntut penyusunan
sistem pemikiran yang holistik dan koheren. G. W. F. Hegel menyatakan bahwa
"The true is the whole," menegaskan bahwa kebenaran hanya
dapat ditemukan melalui pemahaman terhadap totalitas relasi dan dinamika
internal realitas.² Dalam hal ini, spekulasi berperan sebagai medium untuk
mengaitkan berbagai dimensi eksistensi—materi, ide, kesadaran, dan sejarah—ke
dalam satu struktur pemikiran menyeluruh.
3.2.
Rasionalitas Intuitif
dan Transkonseptual
Berbeda dari metode
deduktif yang kaku dalam batasan logika formal, metode spekulatif melibatkan
dimensi intuisi rasional, yakni kemampuan akal untuk menyadari kebenaran dalam
bentuk langsung dan menyeluruh, meskipun belum sepenuhnya dirumuskan secara
diskursif. Henri Bergson, misalnya, menyebut intuisi sebagai metode filsafat
yang lebih unggul daripada intelek karena mampu menyentuh realitas sebagai
gerakan dan durasi yang hidup (la durée réelle).³ Dalam konteks
ini, intuisi tidak menandingi logika, tetapi memperluas cakupan rasio menuju
kedalaman realitas yang tidak terjangkau oleh argumentasi semata.
3.3.
Penggunaan Konsep
Universal dan Abstrak
Ciri khas metode
spekulatif adalah kecenderungannya menggunakan konsep-konsep yang bersifat
universal, transenden, dan abstrak, seperti “Ada”, “Absolut”, “Kehendak”,
“Kesadaran”, atau “Proses”. Konsep-konsep ini tidak hanya
dijelaskan secara definisional, melainkan dirangkaikan dalam sistem yang saling
berkaitan. Whitehead, dalam Process and Reality, menyusun
kerangka metafisika berdasarkan kategori seperti “aktualitas aktual” (actual
occasions), “potensi abadi” (eternal objects), dan “kreativitas”
sebagai prinsip ontologis tertinggi.⁴ Konseptualisasi ini memungkinkan
pemikiran filsafat tidak berhenti pada deskripsi, melainkan bergerak ke arah
konstruksi dunia ide.
3.4.
Kecenderungan
Metafisik dan Ontologis
Metode spekulatif
sering kali dikaitkan dengan metafisika karena tujuannya untuk menyelidiki
hakikat dasar dari segala sesuatu, termasuk yang tidak dapat diamati secara
empiris. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa
hakikat keberadaan? Apa struktur terdalam dari realitas? Bagaimana hubungan
antara pikiran dan dunia? Ciri metafisik ini menjadikan spekulasi
sebagai alat untuk menjembatani antara filsafat dan bidang-bidang seperti
teologi, kosmologi, dan ontologi eksistensial.⁵
3.5.
Keterbukaan terhadap Kemungkinan
dan Ketakterbatasan
Karakter khas lain
dari metode spekulatif adalah keterbukaannya terhadap kemungkinan baru,
terhadap yang belum selesai (open-endedness), dan terhadap
realitas yang tak sepenuhnya dapat dikalkulasi. Quentin Meillassoux, dalam
kerangka spekulatif
realisme, menekankan bahwa filsafat perlu melewati korelasi
manusia-subjek dan membuka kemungkinan untuk memikirkan “realitas-an-sich”
secara radikal, bahkan di luar kategori-kategori tradisional.⁶ Ini menunjukkan
bahwa spekulasi tidak bersifat dogmatis, melainkan menempatkan kemungkinan dan
ketakterbatasan sebagai dimensi esensial dari filsafat.
Dengan demikian,
metode spekulatif menandai sebuah gaya berpikir yang melampaui sekadar
penyusunan argumen logis atau pengumpulan fakta, dan menjelma sebagai medium
untuk menjelajah totalitas realitas dengan kekuatan rasio kreatif.
Karakter-karakternya mencerminkan usaha manusia untuk memahami hakikat yang
paling dalam dari eksistensi, dengan menggabungkan refleksi rasional, intuisi
metafisik, dan konstruksi sistemik yang koheren.
Footnotes
[1]
Frederick C. Beiser, German
Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 62.
[2]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 11.
[3]
Henri Bergson, An Introduction to
Metaphysics, trans. T. E. Hulme (New
York: Macmillan, 1912), 32–35.
[4]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
21–27.
[5]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.
[6]
Quentin Meillassoux, After
Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–7.
4.
Metode
Spekulatif dalam Sistem Filsafat: Studi Tokoh
Metode spekulatif
mencapai bentuk sistemiknya yang paling matang dalam karya-karya filsuf besar
yang menjadikannya sebagai fondasi epistemologis sekaligus alat konseptual
untuk membangun pemahaman menyeluruh tentang realitas. Para pemikir seperti
Hegel, Whitehead, Bergson, dan Heidegger telah mengembangkan sistem filsafat
yang bersandar pada penalaran spekulatif sebagai kerangka utama. Masing-masing
tokoh ini menunjukkan bagaimana spekulasi dapat digunakan secara produktif
dalam merumuskan struktur dasar eksistensi, waktu, kesadaran, dan keberadaan.
4.1.
G. W. F. Hegel:
Dialektika Spekulatif dan Roh Absolut
Hegel adalah tokoh
paling menonjol dalam menjadikan spekulasi sebagai metode utama dalam filsafat
sistematis. Dalam karyanya Science of Logic dan Phenomenology
of Spirit, Hegel mengembangkan metode dialektika spekulatif, yaitu
proses rasional yang melibatkan kontradiksi sebagai momen transformatif dalam
gerak menuju pengetahuan yang mutlak.¹ Melalui struktur
tesis–antitesis–sintesis, Hegel menunjukkan bahwa realitas berkembang secara
logis dan dinamis menuju bentuk kesadaran tertinggi: Roh Absolut (Geist).
Spekulasi bagi Hegel
bukanlah penalaran bebas nilai, tetapi merupakan cara berpikir yang
memungkinkan penggabungan oposisi dalam satu kesatuan koheren. Ia menulis, “speculative
thinking consists in grasping the unity of opposites.”_² Dengan demikian,
metode spekulatif Hegel bersifat dialektis, logis, dan totalistik—bertujuan
untuk menyusun sistem yang menjelaskan seluruh aspek realitas, baik dalam
dimensi logika, sejarah, maupun etika.
4.2.
Alfred North
Whitehead: Metafisika Proses dan Kreativitas Kosmis
Alfred North
Whitehead mengembangkan metode spekulatif dalam bentuk metafisika proses, yang
bertolak dari anggapan bahwa realitas bersifat dinamis dan terbentuk melalui
peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions).³ Dalam Process
and Reality, Whitehead menyatakan bahwa metafisika spekulatif
adalah upaya untuk merumuskan sistem ide-ide umum yang koheren, logis, dan
mampu menafsirkan seluruh pengalaman manusia.⁴
Berbeda dari Hegel,
yang bersandar pada struktur logika dialektis, Whitehead menekankan pentingnya
kreativitas sebagai prinsip ontologis utama yang melahirkan keberagaman dan
keteraturan dalam alam semesta.⁵ Ia menghindari absolutisme sistem tertutup dan
justru mempromosikan sistem spekulatif yang terbuka terhadap kompleksitas dan
perubahan, menjadikannya relevan dalam konteks ilmu pengetahuan modern dan
filsafat alam kontemporer.
4.3.
Henri Bergson: Intuisi
Spekulatif atas Waktu dan Kesadaran
Henri Bergson
mengembangkan pendekatan spekulatif yang berfokus pada kesadaran, waktu, dan
kehidupan. Dalam Time and Free Will dan Creative
Evolution, ia menolak pandangan mekanistik tentang waktu sebagai
urutan kuantitatif dan mengajukan konsep durée (durasi) sebagai realitas
waktu yang dialami secara langsung dan kontinu.⁶
Metode spekulatif
Bergson menekankan peran intuisi dalam mengungkap kedalaman realitas, yang
menurutnya tidak dapat dicapai melalui intelek yang membekukan dan memecah
pengalaman.⁷ Intuisi spekulatif memungkinkan filsuf untuk “masuk” ke
dalam objek studi dan mengalami geraknya dari dalam, bukan sekadar mengamatinya
secara eksternal. Dengan demikian, spekulasi bagi Bergson bukan hanya proses
kognitif, tetapi juga pengalaman eksistensial yang mendalam.
4.4.
Martin Heidegger:
Spekulasi Ontologis dan Pengungkapan Keberadaan
Meskipun tidak
secara eksplisit menyebut dirinya spekulatif, pemikiran Martin Heidegger dalam Being
and Time memuat unsur-unsur spekulasi ontologis yang kuat. Ia
mengkritik metafisika tradisional karena melupakan pertanyaan fundamental
tentang Being
(Sein) dan berupaya mengungkap makna keberadaan melalui analisis eksistensial
terhadap Dasein—manusia
sebagai entitas yang mampu mempertanyakan keberadaannya.⁸
Spekulasi Heidegger
bersifat eksistensial dan hermeneutik: bukan membangun sistem tertutup, tetapi
membuka horizon pemahaman melalui pengungkapan makna-makna terdalam dari
eksistensi.⁹ Dalam kerangka ini, metode spekulatif bukan lagi sekadar
konstruksi logis, melainkan juga penyingkapan ontologis terhadap struktur makna
dalam dunia hidup (Lebenswelt).
Refleksi
Perbandingan
Keempat tokoh ini
menunjukkan bahwa metode spekulatif tidak bersifat tunggal dan seragam,
melainkan memiliki variasi yang mencerminkan konteks historis dan orientasi
filosofis masing-masing. Hegel menggunakannya sebagai dasar logika sistemik,
Whitehead mengembangkannya dalam kosmologi proses, Bergson menekankannya dalam
pengalaman waktu, sementara Heidegger mengartikulasikannya sebagai pengungkapan
makna eksistensial. Namun, kesamaan mereka terletak pada kepercayaan bahwa
filsafat harus melampaui empirisme dangkal dan menyelami lapisan terdalam dari
realitas dengan bantuan rasio kreatif dan reflektif.
Footnotes
[1]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books,
1991), 50–55.
[2]
Ibid., 56.
[3]
Alfred North Whitehead, Adventures
of Ideas (New York: Free Press,
1933), 137–140.
[4]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.
[5]
Ibid., 31.
[6]
Henri Bergson, Time and Free Will: An
Essay on the Immediate Data of Consciousness, trans. F. L. Pogson (London: George Allen & Unwin, 1910),
105–110.
[7]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Random House,
1944), 129.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 23–27.
[9]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 32–35.
5.
Perbandingan
Metode Spekulatif dengan Metode Lain
Metode spekulatif
memiliki tempat istimewa dalam sejarah filsafat karena orientasinya yang
menyeluruh terhadap realitas dan kecenderungannya untuk membangun sistem-sistem
metafisik yang kompleks. Namun, untuk memahami posisi epistemologis dan
metodologisnya secara utuh, metode ini perlu dibandingkan dengan metode-metode
lain yang juga dominan dalam diskursus filosofis: metode deduktif, induktif,
fenomenologis, dan analitis. Perbandingan ini tidak hanya memperjelas karakter
unik metode spekulatif, tetapi juga mengungkap kelebihan dan keterbatasannya
dalam menjawab persoalan-persoalan filosofis kontemporer.
5.1.
Metode Deduktif:
Kepastian Formal versus Kemungkinan Ontologis
Metode deduktif
berpijak pada logika formal, yakni penarikan kesimpulan dari premis-premis umum
yang telah diterima kebenarannya secara aksiomatik. Metode ini banyak digunakan
dalam tradisi rasionalisme, seperti dalam pemikiran Descartes dan Spinoza.¹
Deduksi menjamin validitas argumen secara logis, tetapi sering kali bersifat
sempit dalam menjangkau kompleksitas ontologis. Sementara itu, metode
spekulatif beroperasi dengan melampaui kepastian formal menuju konstruksi ide
yang mungkin secara rasional dan bersifat inklusif terhadap totalitas realitas.
Spekulasi bersedia
menerima kemungkinan kontradiksi sebagai bagian dari dinamika pemikiran,
sebagaimana ditunjukkan dalam dialektika Hegel, sedangkan deduksi cenderung
menolak kontradiksi demi menjaga konsistensi logika.² Oleh karena itu, metode
spekulatif lebih fleksibel dalam membahas hal-hal yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya dengan logika deduktif, seperti eksistensi mutlak, waktu, dan
kesadaran.
5.2.
Metode Induktif:
Generalisasi Empiris versus Transendensi Konseptual
Metode induktif
berakar pada pengamatan empiris dan bertujuan untuk menyusun generalisasi dari
fenomena partikular. Pendekatan ini menjadi landasan bagi filsafat empirisme
dan metodologi ilmiah modern.³ Namun, dalam banyak kasus, metode induktif hanya
dapat menyimpulkan probabilitas dan tidak mampu memberikan kepastian metafisik
atau prinsip universal.
Metode spekulatif
tidak mendasarkan kebenaran pada observasi yang terbatas, melainkan pada
kemampuan akal untuk menalar hal-hal yang melampaui data empiris. Alfred North
Whitehead, misalnya, mengkritik empirisme semata karena gagal menangkap “nilai
metafisik” dari pengalaman yang sebenarnya memiliki struktur mendalam.⁴
Dalam hal ini, spekulasi menyediakan kerangka yang lebih luas bagi penjelasan
filosofis yang mencakup baik pengalaman empiris maupun kemungkinan rasional di
luar jangkauan observasi.
5.3.
Metode Fenomenologis:
Deskripsi Kesadaran versus Konseptualisasi Realitas
Fenomenologi,
sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan oleh Heidegger,
menekankan pada deskripsi fenomena sebagaimana tampak dalam kesadaran murni.⁵
Tujuan utamanya adalah kembali kepada “hal itu sendiri” (zu den
Sachen selbst) dengan mengesampingkan segala asumsi metafisik (epoché).
Fenomenologi sangat berhati-hati dalam melangkah ke spekulasi, karena dianggap
dapat mencemari deskripsi murni dari pengalaman.
Namun, metode
spekulatif justru memandang bahwa deskripsi fenomenologis perlu ditindaklanjuti
dengan konstruksi teoritis yang menjelaskan struktur terdalam dari fenomena
tersebut. Sebagai contoh, Bergson memanfaatkan intuisi spekulatif untuk
melampaui analisis fenomenologis tentang waktu menjadi pemahaman metafisik
tentang durée
réelle.⁶ Dengan demikian, metode spekulatif dapat dianggap sebagai
perluasan dari fenomenologi ke arah metafisika spekulatif.
5.4.
Metode Analitis:
Klarifikasi Bahasa versus Penyusunan Sistem Konseptual
Filsafat analitis,
yang berkembang pesat di dunia Anglo-Amerika, menekankan klarifikasi bahasa,
logika, dan struktur argumen. Tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell, Ludwig
Wittgenstein, dan Rudolf Carnap berusaha memurnikan filsafat dari ambiguitas
konseptual dengan cara analisis logis.⁷
Namun, pendekatan
ini sering dikritik karena mengabaikan persoalan metafisik dan ontologis yang
lebih mendalam. Metode spekulatif tidak membatasi filsafat pada analisis
linguistik, tetapi justru mendorong pembentukan konsep-konsep baru yang
bersifat sistemik dan metafisik. Dalam pandangan ini, spekulasi bukanlah lawan
dari kejelasan, tetapi pelengkap yang memperluas cakrawala bahasa menuju
ide-ide yang belum terformulasikan.⁸
Sintesis
dan Posisi Metode Spekulatif
Melalui perbandingan
di atas, tampak bahwa metode spekulatif berada di antara batas-batas
rasionalitas formal dan intuisi metafisik. Ia tidak mengesampingkan deduksi,
observasi, atau analisis, tetapi menempatkannya dalam kerangka berpikir yang
lebih luas dan terbuka terhadap kemungkinan ontologis. Spekulasi menggabungkan
penalaran sistematis dengan imajinasi rasional, sehingga mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak tersentuh oleh metode lain secara
memadai, seperti hakikat keberadaan, asal-usul kosmos, dan makna waktu.
Karena itu, meskipun
sering dianggap tidak verifikatif secara empiris atau terlalu abstrak, metode
spekulatif tetap memiliki relevansi epistemologis yang kuat dalam konteks
filsafat sebagai upaya memahami totalitas realitas secara rasional dan
transenden.
Footnotes
[1]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996),
31–34.
[2]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books,
1991), 56.
[3]
John Stuart Mill, A System of Logic,
Ratiocinative and Inductive, Vol. 1
(London: Longmans, Green, and Co., 1882), 204–208.
[4]
Alfred North Whitehead, Adventures
of Ideas (New York: Free Press,
1933), 154.
[5]
Edmund Husserl, Ideas: General
Introduction to Pure Phenomenology,
trans. W. R. Boyce Gibson (New York: Macmillan, 1931), 44–45.
[6]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Random House,
1944), 127–129.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2001), §43.
[8]
Quentin Meillassoux, After
Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–6.
6.
Relevansi
dan Implikasi Kontemporer
Di tengah dominasi
paradigma positivistik dan analitik dalam lanskap pemikiran modern, metode
spekulatif sempat mengalami kemunduran karena dianggap terlalu abstrak, tidak
dapat diverifikasi secara empiris, dan terkesan metafisik dalam arti negatif.
Namun, sejak awal abad ke-21, terjadi kebangkitan minat terhadap pendekatan
spekulatif, terutama dalam konteks krisis epistemologis dan keterbatasan
narasi-narasi besar yang sebelumnya mendominasi ilmu pengetahuan dan filsafat.¹
Dalam konteks ini, metode spekulatif kembali dipandang relevan sebagai medium
untuk menanggapi kompleksitas realitas kontemporer yang tidak selalu dapat
dijelaskan melalui pendekatan empiris atau analitis semata.
6.1.
Spekulatif Realisme
dan Pemikiran Pascakontinental
Salah satu wujud
paling nyata dari kebangkitan metode spekulatif dalam filsafat kontemporer
adalah gerakan Spekulatif Realisme
(Speculative Realism), yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Quentin
Meillassoux, Ray Brassier, Graham Harman, dan Iain Hamilton Grant.² Mereka
menolak korelasiisme (correlationism), yaitu pandangan bahwa realitas hanya
dapat dipahami dalam hubungan antara subjek dan objek, dan menegaskan bahwa
filsafat harus berani berbicara tentang realitas an sich, bahkan di luar jangkauan kesadaran
manusia.
Meillassoux, dalam
karyanya After
Finitude, secara eksplisit menyerukan kembalinya filsafat pada
spekulasi ontologis yang berani, dengan menekankan kemungkinan bahwa dunia bisa
eksis secara radikal kontingen tanpa sebab atau hukum yang mutlak.³ Ini
merupakan bentuk pembalikan terhadap rasionalitas dogmatik dan membuka ruang
bagi elaborasi metafisika kontemporer yang tidak tunduk pada struktur
epistemologis Kantian.
6.2.
Respons terhadap
Krisis Ekologis dan Kosmologi Baru
Metode spekulatif
juga menawarkan pendekatan alternatif dalam menanggapi krisis
ekologis dan kosmologi posthuman, yang tidak cukup ditangani
oleh etika lingkungan berbasis utilitarianisme atau kebijakan pragmatis. Filsuf
seperti Bruno Latour dan Isabelle Stengers menggabungkan spekulasi dengan
ekologi politik, memperluas batasan relasi antara manusia dan alam semesta ke
arah kosmologi yang inklusif dan relasional.⁴
Dalam konteks ini,
spekulasi menjadi cara untuk membayangkan dunia yang tidak hanya diukur
berdasarkan nilai instrumental, melainkan dipahami sebagai jejaring entitas
yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Pendekatan ini memperkaya filsafat
lingkungan dengan dimensi ontologis yang lebih dalam, sekaligus membuka ruang
bagi imaginasi etis terhadap masa depan planet dan umat manusia.
6.3.
Filsafat Sains dan
Proyek Metafisika Baru
Di tengah
berkembangnya ilmu pengetahuan kuantum, astrofisika, dan studi kesadaran,
metode spekulatif mendapatkan kembali ruangnya dalam filsafat sains sebagai
alat konseptual untuk membayangkan struktur terdalam dari realitas. Pemikiran
Whitehead, yang lama diabaikan oleh tradisi ilmiah mainstream, kini mendapat
perhatian ulang dalam konteks “panexperientialism” dan “relational
metaphysics.”⁵
Spekulasi juga
menjadi krusial dalam menghadapi fenomena baru seperti kecerdasan buatan,
simulasi realitas, dan multiverse theory. Pendekatan rasional yang semata-mata
logis atau empiris sering kali tidak memadai untuk menjelaskan implikasi
ontologis dari realitas yang bersifat virtual, non-material, dan berlapis.
Dalam hal ini, metode spekulatif memberi filsafat kekuatan untuk tetap relevan
dalam membicarakan hal-hal yang belum terjadi namun masuk akal untuk dipikirkan
secara sistemik.
6.4.
Implikasi Etis dan
Teologis
Spekulasi dalam
filsafat kontemporer tidak hanya berdampak pada teori pengetahuan dan
metafisika, tetapi juga melahirkan pendekatan baru dalam bidang etika
dan teologi filsafati. Teologi spekulatif (speculative
theology) menjadi wacana yang tumbuh, khususnya dalam rangka menjembatani
kembali antara rasio dan iman dalam konteks dunia sekular.⁶
Spekulasi
memungkinkan filsuf dan teolog membicarakan tentang Tuhan, keabadian, dan makna
eksistensial secara rasional tanpa tunduk pada literalitas doktrin ataupun skeptisisme
ilmiah. Dengan demikian, metode spekulatif membuka peluang bagi elaborasi
konsep-konsep etis dan spiritual yang kontekstual dan tetap berpijak pada
kekuatan penalaran filosofis.
6.5.
Reaktualisasi dalam
Pendidikan dan Kebudayaan
Dalam ranah
pendidikan filsafat, metode spekulatif mengajarkan pentingnya berpikir terbuka,
reflektif, dan kreatif, bukan hanya kritis dan analitis. Ia mendorong siswa
filsafat untuk tidak sekadar membedah argumen, tetapi juga membangun visi dunia
yang rasional dan bermakna. Dalam kebudayaan populer—melalui sastra, sinema,
dan seni futuristik—spektrum spekulatif mewarnai imajinasi kolektif tentang
masa depan manusia, keberadaan non-manusia, dan transformasi eksistensial yang
lebih inklusif.⁷
Dengan demikian,
metode spekulatif memiliki relevansi tinggi dalam konteks kontemporer, tidak
hanya sebagai warisan metafisik klasik, tetapi juga sebagai pendekatan yang
fleksibel, terbuka, dan visioner dalam menjawab tantangan pemikiran modern. Ia
menjadi jembatan antara rasionalitas dan imajinasi, antara metafisika dan
praksis, serta antara filsafat masa lalu dan arah masa depan yang belum pasti.
Footnotes
[1]
Graham Harman, Speculative Realism: An
Introduction (Cambridge: Polity
Press, 2018), 3–4.
[2]
Levi R. Bryant, Nick Srnicek, and Graham Harman, eds., The Speculative Turn: Continental Materialism and Realism (Melbourne: re.press, 2011), viii–x.
[3]
Quentin Meillassoux, After
Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008),
33–34.
[4]
Isabelle Stengers, Thinking with
Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2011), 151–155.
[5]
Roland Faber, The Divine Manifold (Lanham, MD: Lexington Books, 2014), 24–27.
[6]
Catherine Keller, Cloud of the
Impossible: Negative Theology and Planetary Entanglement (New York: Columbia University Press, 2015), 9–12.
[7]
Brian Massumi, Semblance and Event:
Activist Philosophy and the Occurrent Arts (Cambridge, MA: MIT Press, 2011), 41–43.
7.
Kritik
dan Pembelaan terhadap Metode Spekulatif
Metode spekulatif
dalam filsafat telah lama menjadi medan kontroversial. Sebagai pendekatan yang
berupaya membangun sistem konseptual menyeluruh tentang realitas, ia menuai
berbagai kritik dari aliran filsafat yang menekankan pada empirisme,
verifikasionisme, dan analisis bahasa. Namun, sepanjang sejarah filsafat,
pembelaan terhadap metode ini juga berkembang, menunjukkan peran esensial
spekulasi dalam memperluas cakrawala berpikir filosofis, terutama dalam
menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh metode lain secara
memadai.
7.1.
Kritik terhadap Metode
Spekulatif
7.1.1.
Kritik Empirisis dan
Positivis: Ketidakverifikasian dan Metafisika Kosong
Aliran empirisme dan
positivisme logis menolak validitas metode spekulatif karena tidak menghasilkan
proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris. Dalam pandangan ini, statemen
metafisik yang disusun secara spekulatif dianggap “nonsense” karena
tidak memenuhi prinsip verifikasi sebagaimana ditetapkan oleh Lingkaran Wina.¹
Rudolf Carnap, misalnya, menyatakan bahwa metafisika bersifat “meaningless”
karena menggunakan kata-kata yang secara sintaksis tampak bermakna tetapi tidak
memiliki referensi empiris.²
Dalam kerangka ini,
metode spekulatif dicurigai sebagai upaya untuk menyusun sistem besar yang
tampak rasional, tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar observasi. Kritik ini
menyasar terutama pada sistem filsafat Hegel dan metafisika proses Whitehead,
yang dinilai terlalu abstrak dan menjauh dari realitas faktual.³
7.1.2.
Kritik Analitis:
Ambiguitas Bahasa dan Ketidakjelasan Konsep
Filsuf-filsuf dari
tradisi analitis juga mengkritik metode spekulatif karena dianggap kabur dalam
penggunaan bahasa dan tidak tepat dalam membedakan antara proposisi deskriptif
dan normatif. Bertrand Russell, dalam kritiknya terhadap Hegel, menyebut bahwa
sistem metafisik spekulatif penuh dengan kontradiksi yang disamarkan melalui
bahasa yang ambigu dan istilah yang kabur.⁴ Filsafat, menurut mereka, harus
bertujuan untuk memperjelas, bukan mengaburkan.
7.2.
Pembelaan terhadap
Metode Spekulatif
7.2.1.
Pembelaan Historis:
Peran Spekulasi dalam Progresi Pemikiran
Pembelaan terhadap
metode spekulatif muncul dari kesadaran bahwa sebagian besar sistem filsafat
besar dalam sejarah dibangun melalui spekulasi. Plato, Aristoteles, Plotinus,
Descartes, Leibniz, Hegel, dan Whitehead semuanya menggunakan spekulasi untuk
menjelaskan struktur dasar realitas.⁵ Dalam hal ini, spekulasi bukanlah
penghindaran terhadap rasionalitas, tetapi pengembangan rasionalitas ke arah
kemungkinan-kemungkinan metafisik yang logis.
Spekulasi dibutuhkan
ketika filsafat berhadapan dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan
observasi atau eksperimen, seperti pertanyaan tentang keberadaan, waktu,
kesadaran, dan Tuhan.⁶ Dengan demikian, spekulasi mengisi ruang yang tidak
terjangkau oleh empirisme tanpa kehilangan rasionalitas.
7.2.2.
Pembelaan Ontologis:
Keabsahan Rasio dalam Menjangkau Realitas Non-Empiris
Whitehead menekankan
bahwa spekulasi merupakan sarana untuk menyusun sistem ide-ide umum yang logis
dan koheren untuk menginterpretasi seluruh pengalaman, termasuk pengalaman
estetis, religius, dan moral yang tidak dapat direduksi menjadi observasi
ilmiah.⁷ Baginya, sistem spekulatif yang baik harus memenuhi tiga syarat:
koherensi logis, kesatuan sistemik, dan daya jelajah terhadap seluruh
pengalaman manusia.⁸
Dalam kerangka
inilah, spekulasi justru memperluas filsafat ke wilayah yang tidak dapat
disentuh oleh metode reduktif. Hal ini juga dikemukakan oleh Meillassoux, yang
menyatakan bahwa hanya melalui spekulasi filsafat dapat melampaui korelasiisme
dan berbicara tentang realitas dalam dirinya sendiri.⁹
7.2.3. Pembelaan Kontemporer:
Relevansi dalam Krisis Pemikiran dan Realitas Baru
Banyak pemikir
kontemporer melihat bahwa metode-metode tradisional telah mengalami stagnasi
dalam menjawab tantangan baru seperti krisis ekologis, kecerdasan buatan, dan
multiversum. Dalam konteks ini, metode spekulatif memungkinkan filsafat untuk
bereksperimen dengan ide-ide besar yang membuka arah baru dalam berpikir. Bruno
Latour dan Isabelle Stengers, misalnya, menggabungkan spekulasi dengan
kosmopolitik dan sains post-normal untuk menyusun paradigma baru yang lebih
inklusif dan imajinatif.¹⁰
7.3.
Jalan Tengah:
Spekulasi sebagai Bagian dari Spektrum Metodologis Filsafat
Alih-alih
mempertentangkan secara mutlak antara metode spekulatif dan metode lainnya,
banyak pemikir kini mengadvokasi pendekatan eklektik yang mengintegrasikan
spekulasi ke dalam keseluruhan spektrum metode filosofis. Dalam pendekatan ini,
spekulasi tidak diangkat sebagai metode tunggal, tetapi sebagai dimensi
reflektif dan kreatif yang melengkapi deduksi, induksi, analisis, dan
fenomenologi.
Dengan demikian,
pembelaan terhadap metode spekulatif tidak dimaksudkan sebagai pemutusan dari
rasionalitas, melainkan sebagai perluasan medan rasionalitas ke wilayah-wilayah
yang memerlukan daya jelajah konseptual yang lebih mendalam dan imajinatif.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic, 2nd ed. (New York: Dover
Publications, 1952), 42–44.
[2]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis
of Language,” in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (Glencoe, IL: Free Press, 1959), 60.
[3]
Karl Popper, The Open Society and
Its Enemies, Vol. 2: Hegel and Marx
(Princeton: Princeton University Press, 1966), 4–7.
[4]
Bertrand Russell, A History of Western
Philosophy (New York: Simon &
Schuster, 1945), 705–710.
[5]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume VII: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 41–45.
[6]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 12–15.
[7]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 3.
[8]
Ibid., 5–6.
[9]
Quentin Meillassoux, After
Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008), 5–6.
[10]
Isabelle Stengers, Thinking with
Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2011), 145–150.
8.
Penutup
Metode spekulatif
dalam filsafat, meskipun kerap dipandang kontroversial karena sifatnya yang
abstrak dan sulit diverifikasi secara empiris, tetap memiliki posisi yang
signifikan dalam sejarah dan perkembangan pemikiran filosofis. Sebagai
pendekatan yang berupaya menjangkau totalitas realitas melalui daya jelajah
rasional dan konstruksi konseptual, spekulasi telah melahirkan sistem-sistem
filsafat yang besar dan berpengaruh—mulai dari metafisika Plato dan Aristoteles,
hingga sistem dialektika Hegel dan filsafat proses Whitehead.¹
Pembahasan ini
menunjukkan bahwa metode spekulatif tidak hanya menawarkan kerangka kerja
metafisik, tetapi juga menyumbang pada perluasan horison epistemologis dan
ontologis dalam merespons tantangan-tantangan baru. Di tengah ketidakcukupan
metode deduktif, induktif, analitis, dan fenomenologis dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat keberadaan, waktu, kesadaran, serta
struktur terdalam dari realitas, spekulasi menghadirkan kemungkinan penalaran
yang bersifat transenden dan kreatif.²
Dalam konteks
kontemporer, kebangkitan minat terhadap spekulasi filosofis, sebagaimana
ditunjukkan oleh gerakan speculative realism, merupakan
bukti bahwa filsafat belum selesai dalam upayanya untuk menjelajahi “yang
mungkin” (the possible), bukan hanya “yang
aktual” (the actual).³ Bahkan dalam bidang
seperti filsafat sains, ekologi, teologi, dan etika posthuman, metode
spekulatif memberikan ruang bagi reinterpretasi dan rekonstruksi konsep-konsep
mendasar yang diperlukan untuk merespons kompleksitas zaman.⁴
Namun demikian,
kebermaknaan metode spekulatif tetap bergantung pada kehati-hatian
epistemologis dan koherensi logis. Sebuah sistem spekulatif yang baik,
sebagaimana dikemukakan Whitehead, harus memiliki konsistensi internal, daya
interpretatif terhadap pengalaman, dan keterbukaan terhadap koreksi serta
perkembangan baru.⁵ Oleh karena itu, spekulasi tidak boleh dimaknai sebagai
pelarian dari rasionalitas, tetapi justru sebagai perluasan dari akal budi
manusia untuk menjelajahi struktur terdalam dari realitas dengan cara yang
reflektif dan sistemik.
Dengan
mempertimbangkan sejarahnya yang panjang, karakteristik filosofisnya yang unik,
serta relevansinya dalam konteks mutakhir, dapat disimpulkan bahwa metode
spekulatif tetap merupakan salah satu pendekatan yang vital dan tak tergantikan
dalam khazanah metodologi filsafat. Ia bukan hanya bagian dari tradisi
metafisika klasik, tetapi juga menjadi jembatan menuju masa depan filsafat yang
lebih inklusif, integratif, dan visioner.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Volume I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 138–141; G. W. F.
Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (New York: Humanity Books,
1991), 50–56; Alfred North Whitehead, Process
and Reality: An Essay in Cosmology,
ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978),
3–6.
[2]
Henri Bergson, An Introduction to
Metaphysics, trans. T. E. Hulme (New
York: Macmillan, 1912), 46–49.
[3]
Quentin Meillassoux, After
Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency, trans. Ray Brassier (London: Continuum, 2008),
33–36.
[4]
Isabelle Stengers, Thinking with
Whitehead: A Free and Wild Creation of Concepts, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2011), 150–155; Bruno Latour, Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime, trans. Catherine Porter (Cambridge: Polity Press,
2017), 98–101.
[5]
Whitehead, Process and Reality, 5–6.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic
(2nd ed.). Dover Publications.
Bergson, H. (1910). Time and free will: An essay
on the immediate data of consciousness (F. L. Pogson, Trans.). George Allen
& Unwin.
Bergson, H. (1912). An introduction to
metaphysics (T. E. Hulme, Trans.). Macmillan.
Bergson, H. (1944). Creative evolution (A.
Mitchell, Trans.). Random House.
Beiser, F. C. (2002). German idealism: The
struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.
Bryant, L. R., Srnicek, N., & Harman, G.
(Eds.). (2011). The speculative turn: Continental materialism and realism.
re.press.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical
positivism (pp. 60–81). Free Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
Volume I: Greece and Rome. Image Books.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy,
Volume VII: Modern philosophy—From the post-Kantian idealists to Marx,
Kierkegaard, and Nietzsche. Image Books.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and time. MIT Press.
Faber, R. (2014). The divine manifold.
Lexington Books.
Harman, G. (2018). Speculative realism: An
introduction. Polity Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hegel, G. W. F. (1991). Science of logic (A.
V. Miller, Trans.). Humanity Books.
Husserl, E. (1931). Ideas: General introduction
to pure phenomenology (W. R. B. Gibson, Trans.). Macmillan.
Keller, C. (2015). Cloud of the impossible:
Negative theology and planetary entanglement. Columbia University Press.
Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures
on the new climatic regime (C. Porter, Trans.). Polity Press.
Massumi, B. (2011). Semblance and event:
Activist philosophy and the occurrent arts. MIT Press.
Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay
on the necessity of contingency (R. Brassier, Trans.). Continuum.
Mill, J. S. (1882). A system of logic, ratiocinative
and inductive (Vol. 1). Longmans, Green, and Co.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Popper, K. (1966). The open society and its
enemies: Vol. 2: Hegel and Marx. Princeton University Press.
Russell, B. (1945). A history of western
philosophy. Simon & Schuster.
Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (2013). The
big questions: A short introduction to philosophy (9th ed.). Cengage.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). Penguin Books.
Stengers, I. (2011). Thinking with Whitehead: A
free and wild creation of concepts (M. Chase, Trans.). Harvard University
Press.
Swinburne, R. (1993). The coherence of theism
(Rev. ed.). Clarendon Press.
Whitehead, A. N. (1933). Adventures of ideas.
Free Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality: An
essay in cosmology (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Wittgenstein, L. (2001). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar