Filsafat Hukum
Fondasi Filosofis, Aliran Pemikiran, dan Relevansi
dalam Tatanan Hukum Kontemporer
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat,
sejarah, aliran pemikiran, dan relevansi filsafat hukum dalam konteks praktik
hukum kontemporer. Filsafat hukum diposisikan sebagai fondasi konseptual dan
normatif yang tidak hanya membentuk kerangka pemahaman terhadap hukum, tetapi
juga sebagai instrumen kritis dalam menilai keabsahan dan keadilan sistem hukum
yang berlaku. Dengan pendekatan historis dan analitis, artikel ini menelusuri
perkembangan filsafat hukum dari masa klasik hingga pemikiran mutakhir,
meliputi hukum alam, positivisme hukum, realisme hukum, critical legal studies,
hingga pendekatan feminis. Artikel ini juga membahas konsep-konsep kunci
seperti keadilan, legalitas, hak asasi manusia, dan hubungan hukum dengan
moralitas. Di tengah tantangan globalisasi, teknologi, dan pluralisme hukum,
filsafat hukum membuktikan peran strategisnya dalam penafsiran hukum,
pembentukan undang-undang, reformasi hukum, serta pendidikan hukum. Dengan
demikian, filsafat hukum tidak hanya relevan sebagai teori, tetapi juga sebagai
praktik etis dan intelektual dalam membangun sistem hukum yang adil dan
manusiawi.
Kata Kunci: Filsafat hukum, keadilan, hukum alam, positivisme,
penafsiran hukum, hak asasi manusia, globalisasi hukum, teori keadilan,
legalitas, etika hukum.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Hukum Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat hukum
merupakan cabang filsafat yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar
mengenai hakikat hukum, keadilan, legalitas, dan relasi antara hukum dan
moralitas. Di tengah kompleksitas sistem hukum yang terus berkembang, filsafat
hukum hadir untuk memberikan landasan teoritis dan normatif bagi pemahaman
serta praktik hukum, baik di tingkat nasional maupun global. Tanpa fondasi
filsafati yang kuat, hukum berisiko menjadi instrumen kekuasaan yang terlepas
dari nilai-nilai etika dan keadilan yang seharusnya menjadi ruh utamanya. Hal
ini sejalan dengan pandangan Ronald Dworkin bahwa hukum tidak hanya sekadar
aturan tertulis, melainkan juga perwujudan dari prinsip-prinsip moral yang
inheren dalam masyarakat.1
Sejak zaman Yunani
kuno, pemikiran tentang hukum telah menjadi bagian dari wacana filosofis yang
luas. Plato, misalnya, melalui The Republic, menekankan pentingnya
keadilan sebagai tujuan utama negara dan hukum sebagai sarana untuk
mencapainya.2 Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan tersebut
dengan membedakan antara hukum alam (natural law) dan hukum
positif (positive law), dan menekankan bahwa hukum harus berakar
pada rasionalitas dan kebaikan bersama.3 Gagasan-gagasan inilah yang
kemudian berkembang dalam berbagai tradisi hukum di Eropa, dunia Islam, dan
sistem hukum modern kontemporer.
Perkembangan hukum
tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya tempat hukum itu
tumbuh. Oleh karena itu, hukum tidak bersifat netral atau tunggal, melainkan
selalu berada dalam dialektika antara norma ideal dan kenyataan sosial.
Pandangan ini tercermin dalam teori hukum kritis (critical legal studies) yang
menekankan bahwa hukum merupakan produk dari relasi kuasa dan ideologi dominan,
bukan sekadar refleksi dari rasionalitas objektif.4
Dalam konteks
Indonesia, filsafat hukum menjadi sangat penting dalam membangun sistem hukum
yang tidak hanya legalistik, tetapi juga adil, kontekstual, dan mencerminkan
nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Filsafat hukum memberikan
kerangka analisis kritis untuk menilai arah kebijakan hukum, menguji keabsahan
norma-norma hukum, dan membimbing interpretasi hukum agar tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.
Dengan latar
belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menguraikan fondasi-fondasi filosofis
dalam filsafat hukum, memetakan berbagai aliran pemikiran hukum dari masa
klasik hingga kontemporer, serta menganalisis relevansinya dalam merespons
tantangan hukum di era globalisasi dan teknologi. Harapannya, pembahasan ini
dapat memperkaya wawasan teoretis dan kritis bagi para mahasiswa hukum,
praktisi, serta pemerhati filsafat dan kebijakan publik.
Footnotes
[1]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 1986), 255–258.
[2]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 327–336.
[3]
Aristotle, The Politics, trans. T. A. Sinclair (London: Penguin
Books, 1992), Book III, 1287a–1290a.
[4]
Mark Tushnet, “Critical Legal Studies: A Political History,” Yale
Law Journal 100, no. 5 (1991): 1515–1540.
2.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum
Filsafat hukum
adalah cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam hakikat hukum, struktur
normatifnya, serta nilai-nilai yang menjadi dasar legitimasi keberlakuannya
dalam masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Mark C. Murphy, filsafat hukum
bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang apa itu
hukum (what is
law), apa hubungan hukum dengan moralitas, dan bagaimana hukum
memperoleh otoritas normatifnya.1 Filsafat hukum bukan hanya
berurusan dengan hukum sebagai sistem aturan, melainkan sebagai produk
intelektual dan moral dari masyarakat yang memiliki nilai-nilai serta
tujuan-tujuan tertentu.
Secara umum,
filsafat hukum mengandung dua aspek penting: aspek ontologis dan aspek
normatif. Aspek ontologis membahas tentang keberadaan dan
eksistensi hukum: apakah hukum merupakan sesuatu yang objektif ataukah
konstruksi sosial semata. Sementara itu, aspek normatif mempertanyakan apa yang
seharusnya menjadi hukum, serta bagaimana hukum dapat dikatakan adil dan sah
secara moral. Hal ini membedakan filsafat hukum dari studi hukum positif yang
lebih fokus pada hukum sebagaimana tertulis (law as it is) tanpa
mempermasalahkan validitas moralnya.2
Menurut Hans
Kelsen, filsafat hukum harus dibedakan secara tegas dari
sosiologi hukum dan etika hukum. Ia mengusulkan pendekatan “teori hukum murni”
(Reine
Rechtslehre), yakni sebuah kerangka konseptual yang memisahkan
hukum dari nilai-nilai moral dan fakta sosial, agar hukum dapat dianalisis
secara ilmiah dan sistematis.3 Namun pendekatan ini mendapat kritik
dari pemikir seperti Ronald Dworkin, yang menekankan
bahwa pemisahan antara hukum dan moralitas tidak selalu dapat dilakukan secara
mutlak. Dalam pandangannya, hukum selalu mengandung unsur interpretatif yang
berkaitan erat dengan prinsip moral masyarakat.4
Ruang lingkup kajian
filsafat hukum meliputi sejumlah pokok persoalan, antara lain:
·
Hakikat
hukum (ontology of law): Apakah hukum bersifat obyektif,
transendental, atau hasil konstruksi sosial semata?
·
Relasi
antara hukum dan moralitas: Apakah hukum harus selalu bermoral?
Dapatkah hukum yang tidak adil tetap dianggap sah?
·
Sumber
legitimasi hukum: Apa yang membuat suatu norma hukum sah?
Apakah berdasarkan kekuasaan, rasionalitas, atau keadilan?
·
Tujuan
hukum: Untuk apa hukum diciptakan? Apakah demi keadilan,
ketertiban, kebebasan, atau kepentingan umum?
·
Interpretasi
hukum: Bagaimana memahami dan menafsirkan hukum dalam konteks
yang selalu berubah?
Dengan demikian,
filsafat hukum tidak hanya menyediakan kerangka analitis bagi pemahaman teori
hukum, tetapi juga membekali para pelaku hukum dengan dasar reflektif yang
kritis agar mampu menilai dan merancang sistem hukum yang berkeadilan dan
bermartabat.
Footnotes
[1]
Mark C. Murphy, Philosophy of Law: The Fundamentals (Malden,
MA: Wiley-Blackwell, 2006), 1–5.
[2]
Brian Bix, Jurisprudence: Theory and Context, 7th ed. (Durham,
NC: Carolina Academic Press, 2015), 12–15.
[3]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 1–3.
[4]
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1977), 17–44.
3.
Sejarah
Perkembangan Filsafat Hukum
Sejarah filsafat
hukum merupakan refleksi panjang pemikiran manusia atas hakikat hukum,
keadilan, dan relasi antara kekuasaan dan norma. Sejak peradaban kuno hingga
zaman kontemporer, filsafat hukum mengalami perkembangan yang dinamis seiring
dengan perubahan paradigma filsafat dan struktur masyarakat.
Pemikiran-pemikiran ini membentuk fondasi konseptual bagi hukum modern dan
menjadi acuan dalam merumuskan sistem hukum yang rasional dan adil.
3.1.
Masa Klasik:
Filsafat Yunani Kuno
Perkembangan
filsafat hukum dimulai sejak masa Yunani kuno. Plato (427–347 SM) dalam The
Republic memandang hukum sebagai cerminan dari kebaikan
ideal yang harus mengatur kehidupan negara demi terciptanya
keadilan. Ia menekankan bahwa hukum yang baik harus berasal dari rasio dan
bukan semata-mata dari kehendak manusia.1
Sementara itu, Aristoteles (384–322 SM) dalam Politics
dan Nicomachean
Ethics membedakan antara hukum alam (natural law) dan hukum
positif (positive law). Ia berpendapat bahwa hukum yang adil adalah
hukum yang sesuai dengan rasionalitas alamiah manusia, dan keadilan harus
bersifat distributif serta korektif.2
3.2.
Masa Romawi dan
Tradisi Hukum Kodrat
Dalam tradisi
Romawi, filsafat hukum berkembang dalam kerangka hukum sipil (ius
civile) dan hukum kodrat (ius naturale). Cicero
(106–43 SM) mengembangkan gagasan bahwa hukum alam bersifat universal, abadi,
dan bersumber dari akal budi. Menurutnya, “True law is right reason in agreement with
nature.”3 Pemikiran ini menjadi
dasar kuat bagi pembentukan hukum dalam tradisi Romawi dan memberikan pengaruh
besar bagi teologi Kristen di masa berikutnya.
3.3.
Abad Pertengahan:
Sintesis antara Hukum dan Teologi
Pada abad
pertengahan, pemikiran hukum sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, khususnya
dalam tradisi Kristen. St. Augustine (354–430)
memandang bahwa hukum manusia harus tunduk pada hukum ilahi, dan hukum yang
tidak adil bukanlah hukum yang sejati (lex iniusta non est lex).4
Pemikiran ini diperdalam oleh Thomas Aquinas (1225–1274),
yang dalam Summa
Theologiae menyusun klasifikasi hukum: hukum abadi (lex
aeterna), hukum alam (lex naturalis), hukum ilahi (lex
divina), dan hukum manusia (lex humana). Hukum alam menurut
Aquinas adalah partisipasi akal manusia dalam hukum Tuhan, dan menjadi dasar
moralitas hukum positif.5
3.4.
Masa Modern:
Rasionalisme dan Kontrak Sosial
Zaman modern
ditandai oleh munculnya filsafat politik dan hukum yang berakar pada rasionalisme
dan teori kontrak sosial. Thomas Hobbes (1588–1679) dalam
Leviathan
menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat demi menjaga
perdamaian dan mencegah keadaan kacau (state of nature).6
John
Locke (1632–1704) berbeda pandangan, menyatakan bahwa hukum
harus melindungi hak-hak alamiah manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan
kepemilikan.7 Sementara Jean-Jacques
Rousseau (1712–1778) dalam The Social Contract menekankan
bahwa hukum harus mencerminkan kehendak umum (volonté générale) dan dibuat
berdasarkan konsensus warga negara.8
3.5.
Abad ke-19 hingga
Kontemporer: Positivisme dan Respons Kritik
Abad ke-19 ditandai
oleh berkembangnya positivisme hukum, yang
memisahkan hukum dari moralitas. John Austin (1790–1859)
menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari yang berdaulat dan ditegakkan oleh
ancaman sanksi.9 Positivisme hukum
diperkaya oleh Hans Kelsen dengan teorinya
tentang hukum
murni (Reine Rechtslehre), yang memandang
hukum sebagai sistem normatif yang harus dianalisis tanpa campur tangan
nilai-nilai moral atau fakta sosiologis.10
Sebagai respons
terhadap positivisme, muncul pemikiran neo-naturalis dan teori
hukum interpretatif dari Ronald Dworkin, yang menyatakan
bahwa prinsip moral merupakan bagian integral dari sistem hukum. Dalam Law’s
Empire, ia mengkritik positivisme karena gagal menjelaskan
bagaimana hakim menggunakan prinsip keadilan dalam praktik penafsiran hukum.11
Selain itu, aliran
seperti realisme hukum dan critical
legal studies muncul untuk menyoroti dimensi sosial dan politik
dalam pembentukan hukum. Hukum dipandang tidak netral, melainkan refleksi dari
struktur kuasa dalam masyarakat.12
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 327–336.
[2]
Aristotle, The Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson
(London: Penguin Books, 2004), V.3–5.
[3]
Cicero, De Re Publica, trans. C. W. Keyes (Cambridge: Harvard
University Press, 1928), III.22–23.
[4]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 91–95, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[6]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), Ch. 13–14.
[7]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II, Ch. 2–9.
[8]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 2004), Book I.
[9]
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, ed.
Wilfrid E. Rumble (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), Lecture I.
[10]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 1–5.
[11]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 1986), 1–30.
[12]
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 5–14.
4.
Aliran-Aliran
Utama dalam Filsafat Hukum
Perkembangan
filsafat hukum tidak terlepas dari munculnya berbagai aliran pemikiran yang
berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai hakikat,
legitimasi, dan fungsi hukum. Masing-masing aliran menawarkan kerangka teori
yang khas dalam memahami hubungan antara hukum, moralitas, dan kekuasaan.
Berikut ini adalah uraian komprehensif mengenai beberapa aliran utama dalam
filsafat hukum.
4.1.
Aliran Hukum Alam
(Natural Law Theory)
Aliran hukum alam
berakar pada gagasan bahwa terdapat prinsip-prinsip hukum yang bersifat
universal, abadi, dan dapat diketahui oleh akal manusia. Hukum alam tidak
tergantung pada pengesahan negara, melainkan berasal dari kodrat manusia atau
kehendak ilahi. Dalam pandangan ini, hukum positif yang bertentangan dengan
hukum alam dianggap tidak sah secara moral.
Tokoh sentral dalam
aliran ini adalah Thomas Aquinas, yang membedakan
antara lex
aeterna (hukum abadi), lex naturalis (hukum alam), dan lex
humana (hukum manusia). Ia menegaskan bahwa hukum yang tidak adil
adalah hukum yang tidak sungguh-sungguh (lex iniusta non est lex).1
Dalam tradisi modern, Hugo Grotius dan John
Finnis mengembangkan teori hukum alam dengan pendekatan sekuler
dan rasional.2
Aliran hukum alam
menekankan bahwa kriteria keadilan dan legitimasi hukum bersifat objektif dan
melekat dalam kodrat manusia. Dengan demikian, hukum tidak boleh sekadar
dipandang sebagai produk teknokratis, melainkan harus mencerminkan nilai-nilai
moral yang mendasar.
4.2.
Aliran Positivisme
Hukum (Legal Positivism)
Sebagai reaksi
terhadap hukum alam, aliran positivisme hukum menegaskan
pemisahan yang tegas antara hukum dan moralitas. Menurut positivis, hukum
adalah sistem aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan berlaku tanpa
perlu pembenaran moral. Legalitas suatu norma ditentukan oleh prosedur formal,
bukan oleh nilai isinya.
John
Austin merupakan pelopor utama positivisme hukum klasik. Ia
mendefinisikan hukum sebagai “perintah dari yang berdaulat, yang didukung
oleh ancaman sanksi.”_3 Pendekatan ini kemudian
disempurnakan oleh Hans Kelsen, yang dalam Pure
Theory of Law mengusulkan agar hukum dipelajari secara “murni”
sebagai sistem normatif yang otonom dan hirarkis, dimulai dari norma dasar (Grundnorm).4
H.L.A.
Hart kemudian merevisi positivisme dengan menambahkan unsur “aturan
pengakuan” (rule of recognition) yang
menjelaskan bagaimana norma-norma hukum mendapatkan validitas dalam sistem
hukum modern.5 Meski Hart menerima bahwa
hukum dapat dipengaruhi oleh nilai moral, ia tetap mempertahankan distingsi
antara “law as
it is” dan “law as it ought to be.”
4.3.
Realisme Hukum
(Legal Realism)
Aliran realisme
hukum muncul sebagai respons terhadap positivisme yang dianggap
terlalu abstrak dan normatif. Realis hukum menekankan bahwa hukum sejatinya
adalah apa yang dilakukan oleh para hakim dan aparat hukum di lapangan. Fokus
utama realisme adalah pada law in action, bukan law in
the books.
Di Amerika Serikat,
tokoh seperti Karl Llewellyn dan Jerome
Frank berpendapat bahwa putusan hukum seringkali lebih
ditentukan oleh intuisi, pengalaman pribadi, atau faktor sosial daripada oleh
aturan tertulis.6 Realisme hukum berusaha
menyingkap dinamika kekuasaan, ideologi, dan kepentingan sosial yang
memengaruhi penegakan hukum.
Dengan demikian,
realisme hukum menggugah kesadaran kritis bahwa hukum bukan sekadar sistem
normatif ideal, tetapi juga merupakan arena praksis sosial yang kompleks dan
tidak selalu rasional.
4.4.
Critical Legal
Studies (CLS) dan Feminist Jurisprudence
Critical
Legal Studies (CLS) adalah aliran kontemporer yang berkembang
dari tradisi neo-Marxis dan dekonstruktif. CLS menganggap bahwa hukum bukanlah
struktur netral dan objektif, melainkan instrumen ideologis yang mereproduksi
dominasi kelas, ras, dan gender. Hukum, menurut mereka, tidak memiliki makna
tetap dan selalu dapat ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan.7
Roberto
Unger, salah satu tokoh CLS, menekankan bahwa struktur hukum
liberal hanya memberikan ilusi kebebasan dan keadilan, padahal di baliknya
tersembunyi dominasi sistemik.8 CLS menolak keyakinan
terhadap “rule of law” sebagai prinsip universal, dan lebih memilih
pendekatan kritis terhadap struktur institusional hukum.
Sementara itu, feminist
jurisprudence menyuarakan bahwa hukum secara historis disusun
dalam perspektif patriarkal dan seringkali gagal mengakomodasi pengalaman
perempuan. Tokoh seperti Catharine MacKinnon mengkritik
hukum tradisional karena netralitasnya justru mengaburkan ketimpangan gender
yang riil dalam masyarakat.9
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 95, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[2]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 23–35.
[3]
John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, ed.
Wilfrid E. Rumble (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 13–17.
[4]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 5–14.
[5]
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed., ed. Penelope A.
Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford University Press, 1994), 94–99.
[6]
Jerome Frank, Law and the Modern Mind (New York:
Coward-McCann, 1930), 7–9.
[7]
Mark Tushnet, “Critical Legal Studies: A Political History,” Yale
Law Journal 100, no. 5 (1991): 1515–1540.
[8]
Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 1–10.
[9]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 161–176.
5.
Konsep-Konsep
Kunci dalam Filsafat Hukum
Filsafat hukum
sebagai bidang reflektif tidak dapat dilepaskan dari sejumlah konsep
fundamental yang menjadi poros dalam memahami struktur dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Konsep-konsep ini tidak hanya memiliki nilai teoritis, tetapi juga
menjadi dasar pertimbangan etis dan praktis dalam pembentukan, penafsiran, dan
pelaksanaan hukum. Berikut ini adalah pembahasan beberapa konsep kunci dalam
filsafat hukum.
5.1.
Keadilan (Justice)
Keadilan adalah
salah satu tema sentral dalam filsafat hukum sejak zaman kuno. Dalam The
Republic, Plato memaknai keadilan sebagai
keteraturan sosial di mana setiap individu menjalankan perannya secara tepat
dalam struktur negara, dan keharmonisan ini adalah cerminan dari keadilan dalam
jiwa manusia.1 Aristoteles
kemudian membedakan antara dua bentuk keadilan: keadilan distributif (distributive
justice) dan keadilan korektif (corrective
justice). Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian sumber daya berdasarkan
proporsionalitas, sedangkan keadilan korektif menyangkut pemulihan akibat
pelanggaran atau ketidakadilan antar individu.2
Dalam konteks
modern, konsep keadilan banyak dipengaruhi oleh teori John
Rawls dalam A Theory of Justice, yang
mengajukan prinsip keadilan sebagai fairness. Rawls memperkenalkan
“veil of ignorance” sebagai metode hipotetik untuk merancang prinsip keadilan
yang adil tanpa bias terhadap posisi sosial seseorang.3
5.2.
Rule of Law
(Kedaulatan Hukum)
Konsep Rule of
Law atau kedaulatan hukum menekankan bahwa hukum harus menjadi
otoritas tertinggi dalam kehidupan bernegara dan semua orang, termasuk
penguasa, tunduk pada hukum. A.V. Dicey adalah salah satu
tokoh yang mempopulerkan istilah ini dalam konteks konstitusionalisme Inggris.
Ia menyatakan bahwa Rule of Law mencakup prinsip kesamaan di hadapan hukum dan
penolakan terhadap kekuasaan sewenang-wenang.4
Dalam kerangka
kontemporer, Rule of Law tidak hanya menekankan supremasi hukum formal, tetapi
juga substansi moral dari hukum itu sendiri. Artinya, hukum harus menjamin hak
asasi, menjunjung keadilan prosedural, dan dapat diakses secara adil oleh semua
warga negara.5
5.3.
Hubungan antara Hukum
dan Moralitas
Salah satu isu
klasik dalam filsafat hukum adalah apakah hukum harus bermoral. Aliran hukum
alam menjawab secara afirmatif: hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang
sejati. Sebaliknya, positivisme hukum berargumen bahwa hukum dan moralitas
adalah dua sistem normatif yang terpisah.
H.L.A.
Hart mengakui bahwa meskipun hukum dan moral sering tumpang
tindih, namun pemisahan analitis antara keduanya diperlukan untuk menghindari
kekeliruan konseptual.6 Sementara Ronald
Dworkin menolak dikotomi ini dan menegaskan bahwa dalam praktik
hukum, hakim tidak hanya merujuk pada aturan tertulis, tetapi juga pada prinsip
moral yang terinternalisasi dalam sistem hukum.7
5.4.
Hak Asasi Manusia
(Human Rights)
Hak asasi manusia
adalah konsepsi moral dan hukum yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki
hak yang tidak dapat dicabut semata-mata karena ia adalah manusia. Dalam
filsafat hukum, hak ini dianggap sebagai dasar legitimasi hukum positif dan
sebagai batas terhadap kekuasaan negara.
Immanuel
Kant memberikan dasar rasional untuk hak asasi manusia dengan
menyatakan bahwa setiap individu adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in
itself) dan tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan lain.8
Dalam ranah hukum internasional dan konstitusional modern, prinsip-prinsip hak
asasi manusia menjadi parameter moral bagi validitas dan legitimasi norma
hukum.
5.5.
Legalitas dan
Legitimitas
Konsep legalitas
mengacu pada kesesuaian suatu norma atau tindakan dengan aturan hukum yang
berlaku, sedangkan legitimitas berkaitan dengan
penerimaan sosial atau moral terhadap kekuasaan atau norma hukum tersebut.
Dalam sistem hukum yang demokratis, legalitas belum tentu cukup untuk menjamin
keadilan atau ketaatan warga negara.
Max
Weber membedakan antara tiga bentuk legitimasi kekuasaan:
tradisional, karismatik, dan legal-rasional, di mana yang terakhir menjadi
basis dari sistem hukum modern.9 Dalam kerangka ini, hukum
tidak hanya perlu sah secara prosedural, tetapi juga harus mendapat penerimaan
dan kepercayaan dari masyarakat.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.
[2]
Aristotle, The Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson
(London: Penguin Books, 2004), Book V.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 11–17.
[4]
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the
Constitution, 10th ed. (London: Macmillan, 1959), 183–206.
[5]
Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 91–112.
[6]
H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed., ed. Penelope A.
Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford University Press, 1994), 181–207.
[7]
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1977), 22–28.
[8]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36–39.
[9]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology,
trans. Ephraim Fischoff et al. (Berkeley: University of California Press,
1978), Vol. 1, 212–216.
6.
Perdebatan
Kontemporer dalam Filsafat Hukum
Filsafat hukum
kontemporer tidak lagi terbatas pada pertanyaan klasik seputar legalitas dan keadilan,
tetapi telah berkembang menjadi medan perdebatan multidisipliner yang mencakup
isu-isu global, teknologi, pluralisme, dan identitas. Dalam era pasca-modern
dan globalisasi, hukum tidak hanya dipertanyakan dari segi ontologi dan
normativitasnya, tetapi juga dari segi legitimasi sosial, fleksibilitas
terhadap perubahan, dan kemampuannya merespons tantangan transnasional. Berikut
adalah beberapa perdebatan kunci yang menjadi sorotan dalam wacana filsafat
hukum kontemporer.
6.1.
Universalitas versus
Relativisme dalam Prinsip-Prinsip Hukum
Salah satu
perdebatan yang mencolok adalah antara prinsip universal hukum — yang
menyatakan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, hak asasi manusia, dan legalitas
bersifat global — dengan pendekatan relativistik yang menekankan
kontekstualitas budaya dan sejarah.
Pendukung
universalitas, seperti John Rawls dalam The Law
of Peoples, berargumen bahwa prinsip-prinsip dasar keadilan dapat
diterima secara luas oleh semua masyarakat rasional melalui dialog antarbudaya
yang adil.1 Di sisi lain, para
pendukung relativisme hukum menyoroti bahaya legal imperialism, yaitu penerapan
standar hukum Barat secara hegemonik terhadap sistem hukum non-Barat, yang
mengabaikan keragaman epistemik dan nilai-nilai lokal.2
6.2.
Globalisasi Hukum
dan Hukum Transnasional
Globalisasi membawa
dampak besar terhadap batas-batas yurisdiksi hukum nasional. Dalam konteks ini,
muncul perdebatan mengenai legitimasi dan efektivitas hukum
transnasional, yaitu seperangkat norma yang tidak dihasilkan
oleh negara, tetapi oleh aktor-aktor internasional seperti korporasi
multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan global.
Gunther
Teubner mengemukakan konsep “global law without a state,” yakni
hukum yang berlaku lintas negara namun tidak memiliki institusi negara sebagai
pusatnya.3 Model ini memunculkan
persoalan baru tentang akuntabilitas, legitimasi demokratis, dan mekanisme
penegakan hukum tanpa kejelasan otoritas politik.
6.3.
Hukum dan Teknologi:
Tantangan Etika dan Legalitas
Kemajuan teknologi,
khususnya kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan data digital, telah
menantang struktur hukum tradisional. Filsafat hukum kini dihadapkan pada
dilema-dilema etik dan normatif yang belum pernah ada sebelumnya.
Dalam konteks AI,
misalnya, muncul pertanyaan tentang subjek hukum: apakah entitas non-manusia
dapat atau harus dimintai pertanggungjawaban hukum?4 Demikian
pula, dalam bioteknologi, isu tentang hak atas tubuh dan privasi genetik
menuntut redefinisi konsep kepemilikan, identitas, dan integritas pribadi dalam
hukum.5
Luciano
Floridi menekankan pentingnya infosphere ethics sebagai kerangka
normatif baru dalam era digital, karena hukum tradisional sering tertinggal
dari perkembangan teknologi informasi.6
6.4.
Hukum dan Identitas:
Multikulturalisme dan Hukum Adat
Konteks pluralisme
hukum juga menjadi ruang perdebatan signifikan. Dalam masyarakat multikultural,
hukum negara sering berinteraksi atau bahkan bertentangan dengan sistem hukum
adat atau agama. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana hukum nasional dapat
mengakomodasi keragaman identitas tanpa kehilangan prinsip keadilan dan
kesetaraan?
Boaventura
de Sousa Santos mengusulkan pendekatan legal
pluralism sebagai bentuk pengakuan terhadap berbagai sistem hukum
yang hidup berdampingan di masyarakat, termasuk hukum adat dan hukum agama.7
Namun pendekatan ini menghadapi kritik karena potensi konflik antara
norma-norma komunitarian dengan prinsip-prinsip hak asasi universal.
6.5.
Reformasi Hukum dan
Keadilan Sosial
Filsafat hukum
kontemporer juga menyoroti pentingnya law as a tool of social transformation.
Hukum tidak hanya dipahami sebagai cermin masyarakat, tetapi juga sebagai
instrumen untuk memperjuangkan keadilan substantif, termasuk dalam bidang
ekonomi, lingkungan, dan gender.
Amartya
Sen dalam The Idea of Justice mengkritik
pendekatan institusional dan formal terhadap keadilan, dan mendorong perhatian
pada “realisasi keadilan” dalam kehidupan nyata, terutama bagi kelompok
marginal.8 Perspektif ini menggeser
fokus filsafat hukum dari norma legal formal ke pemenuhan hak dan peluang riil
dalam masyarakat.
Footnotes
[1]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 55–63.
[2]
Abdullahi Ahmed An-Na'im, Islam and the Secular State: Negotiating
the Future of Shari'a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008),
11–17.
[3]
Gunther Teubner, “Global Bukowina: Legal Pluralism in the World
Society,” in Global Law Without a State, ed. Gunther Teubner
(Aldershot: Dartmouth, 1997), 3–28.
[4]
Jack Balkin, “The Three Laws of Robotics in the Age of Big Data,” Ohio
State Law Journal 78, no. 5 (2017): 1217–1233.
[5]
Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and Democracy in Europe
and the United States (Princeton: Princeton University Press, 2005),
103–116.
[6]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 6–15.
[7]
Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense,
2nd ed. (London: Butterworths LexisNexis, 2002), 85–103.
[8]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 7–10.
7.
Relevansi
Filsafat Hukum dalam Praktik Hukum
Meskipun filsafat
hukum kerap dipandang sebagai cabang teori yang abstrak dan normatif,
kenyataannya ia memainkan peran vital dalam membentuk kerangka berpikir dan
praktik hukum yang adil, rasional, dan bertanggung jawab. Dalam tataran
praktis, filsafat hukum menjadi instrumen kritis yang membantu hakim,
legislator, advokat, akademisi, dan aparat penegak hukum dalam menafsirkan,
menerapkan, serta mengevaluasi norma-norma hukum dalam konteks sosial yang
kompleks dan dinamis.
7.1.
Filsafat Hukum
sebagai Fondasi Etika Profesi Hukum
Profesi hukum tidak
hanya menuntut keahlian teknis, tetapi juga kesadaran etis yang tinggi.
Filsafat hukum menyediakan kerangka konseptual bagi para praktisi untuk
memahami dan menginternalisasi nilai-nilai dasar seperti keadilan, kejujuran,
dan tanggung jawab. Lon L. Fuller, dalam The
Morality of Law, menekankan bahwa hukum bukan sekadar sistem
aturan, melainkan juga mengandung moralitas internal yang harus dijaga oleh
setiap pelaksana hukum.1
Kesadaran akan
nilai-nilai ini menjadi penting dalam menghadapi dilema etis yang sering muncul
dalam praktik, misalnya dalam konflik antara aturan positif dan keadilan
substantif, atau antara kepentingan hukum dan kepentingan kemanusiaan.
7.2.
Peran Filsafat Hukum
dalam Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum
bukanlah proses mekanis, tetapi melibatkan pertimbangan nilai dan konteks.
Filsafat hukum memperkaya metode hermeneutika hukum dengan menyadarkan bahwa
teks hukum tidak selalu berbicara secara tunggal dan definitif. Menurut Ronald
Dworkin, hakim harus tidak hanya mengikuti aturan tertulis,
tetapi juga memperhatikan prinsip moral dan integritas hukum dalam sistem
secara keseluruhan.2
Konsep “law as
integrity” yang dikembangkan Dworkin menjadi pedoman penting dalam
praktik yudisial, terutama dalam kasus-kasus yang tidak diatur secara eksplisit
oleh undang-undang, atau yang menyentuh isu moral dan sosial yang kompleks.
7.3.
Landasan Filosofis
dalam Pembentukan Perundang-Undangan
Setiap produk
legislasi semestinya tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga memiliki
legitimasi substantif yang berakar pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Filsafat hukum membantu para pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi
landasan normatif dari kebijakan hukum dan untuk merancang hukum yang tidak
hanya responsif terhadap realitas sosial, tetapi juga menjunjung nilai-nilai
fundamental.
Jeremy
Waldron dalam tulisannya tentang hukum dan demokrasi menekankan
bahwa deliberasi legislatif harus melibatkan pertimbangan moral kolektif, bukan
sekadar konsensus mayoritas atau kepentingan politik.3
Dengan kata lain, filsafat hukum mendorong proses legislasi yang reflektif dan
bertanggung jawab secara moral.
7.4.
Kritik dan Reformasi
Sistem Hukum
Filsafat hukum juga
memainkan peran transformatif dalam meninjau ulang sistem hukum yang ada,
terutama ketika hukum kehilangan daya kritisnya atau menjauh dari
prinsip-prinsip keadilan. Melalui pendekatan filsafati, berbagai ketimpangan
struktural dan bias institusional dalam hukum dapat diidentifikasi dan
dikoreksi.
Sebagai contoh,
pendekatan critical legal studies dan feminist
jurisprudence telah membuka ruang evaluasi terhadap asumsi
netralitas hukum dan memperjuangkan keadilan yang lebih inklusif bagi
kelompok-kelompok marjinal.4 Filsafat hukum di sini
berfungsi sebagai kekuatan korektif terhadap dogmatisme dan positivisme sempit
dalam praktik hukum.
7.5.
Pendidikan Hukum dan
Pembentukan Nalar Kritis
Dalam pendidikan
hukum, filsafat hukum memiliki posisi sentral dalam membentuk kemampuan
berpikir kritis, analitis, dan etis mahasiswa hukum. Ia melampaui dimensi
teknis dogmatik dan membekali calon praktisi hukum dengan keterampilan berpikir
reflektif serta sensitivitas moral yang dibutuhkan dalam kehidupan profesional.
M.D.A.
Freeman menekankan bahwa studi hukum tanpa pengantar filsafat
hukum akan menghasilkan lulusan hukum yang kompeten secara prosedural namun
lemah dalam menimbang makna keadilan dan implikasi sosial dari penerapan hukum.5
Dengan demikian, integrasi filsafat hukum dalam kurikulum menjadi sangat
penting untuk membentuk generasi profesional hukum yang utuh secara intelektual
dan moral.
Footnotes
[1]
Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale
University Press, 1969), 33–38.
[2]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 1986), 225–275.
[3]
Jeremy Waldron, “Legislation and Moral Neutrality,” in Liberal
Rights: Collected Papers 1981–1991 (Cambridge: Cambridge University Press,
1993), 89–113.
[4]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 238–241.
[5]
M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, 8th ed.
(London: Sweet & Maxwell, 2008), 8–10.
8.
Kesimpulan
Filsafat hukum bukan
sekadar disiplin teoritis yang mengulas tentang makna hukum dalam abstraksi,
melainkan sebuah refleksi kritis yang menyingkap fondasi normatif, logika
internal, serta dimensi moral dari hukum dalam kehidupan nyata. Dengan
menelusuri sejarah pemikirannya, kita menyaksikan bagaimana pertanyaan tentang
apa itu hukum, bagaimana ia berlaku, dan mengapa ia harus ditaati terus berubah
mengikuti perkembangan intelektual, sosial, dan politik manusia.
Dari Plato
dan Aristoteles
yang meletakkan dasar pemikiran tentang keadilan dan hukum sebagai bagian dari
tatanan moral alam semesta,1 hingga kehadiran Thomas
Aquinas yang mensintesiskan hukum alam dengan teologi Kristen,2
lalu ke Hans Kelsen dan H.L.A.
Hart yang mendefinisikan hukum secara normatif dan analitis
dalam kerangka positivisme modern,3 hingga pemikiran kontemporer
seperti Dworkin, Teubner,
dan Sen
yang menyuarakan pentingnya nilai, prinsip, dan dimensi keadilan
substantif—semuanya menunjukkan bahwa filsafat hukum tidak berhenti hanya pada
tataran konseptual, tetapi terus hidup dalam praktik hukum dan kebijakan
publik.4
Keterlibatan
filsafat hukum dalam perdebatan-perdebatan kontemporer—mulai dari globalisasi
hukum, teknologi dan hak digital, pluralisme hukum, hingga perjuangan keadilan
sosial—menggambarkan bahwa ia adalah medan yang sangat relevan dalam menjawab
tantangan zaman. Dalam dunia yang kian kompleks dan saling terkait, hukum yang
tidak didasari oleh refleksi filosofis berisiko menjadi alat kekuasaan yang
kaku dan tidak peka terhadap realitas kemanusiaan.
Oleh karena itu,
filsafat hukum memiliki signifikansi ganda: pertama, sebagai landasan teoritis
untuk memahami struktur dan fungsi hukum; dan kedua, sebagai instrumen etis dan
kritis untuk membangun hukum yang adil, inklusif, dan bermartabat. Sejalan
dengan pandangan Lon L. Fuller, hukum yang baik
bukan hanya harus sah secara prosedural, tetapi juga memiliki moralitas
internal yang menjamin keteraturan, kejelasan, dan keadilan dalam
pelaksanaannya.5
Dalam praktik hukum,
filsafat hukum membantu para hakim, pembuat undang-undang, dan praktisi hukum
untuk menavigasi dilema normatif yang kompleks dengan prinsip rasional dan
etis. Dalam pendidikan hukum, ia membentuk nalar reflektif yang kritis dan
integratif. Dan dalam kehidupan masyarakat, filsafat hukum menyuarakan
pentingnya menilai hukum bukan hanya dari apa yang tertulis, tetapi juga dari
apa yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan bersama.
Dengan demikian,
filsafat hukum bukanlah sekadar teori tentang hukum, melainkan jiwa dari hukum
itu sendiri.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV; Aristotle, The
Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson (London: Penguin Books, 2004),
Book V.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 95, trans. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[3]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley:
University of California Press, 1967), 5–14; H.L.A. Hart, The Concept of
Law, 2nd ed., ed. Penelope A. Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford
University Press, 1994), 94–99.
[4]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 1986), 225–275; Gunther Teubner, “Global Bukowina:
Legal Pluralism in the World Society,” in Global Law Without a State,
ed. Gunther Teubner (Aldershot: Dartmouth, 1997), 3–28; Amartya Sen, The
Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 7–10.
[5]
Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale
University Press, 1969), 33–38.
Daftar Pustaka
An-Na'im, A. A. (2008). Islam and the secular
state: Negotiating the future of Shari'a. Harvard University Press.
Aristotle. (2004). The Nicomachean ethics
(J. A. K. Thomson, Trans.). Penguin Books.
Austin, J. (1995). The province of jurisprudence
determined (W. E. Rumble, Ed.). Cambridge University Press. (Original work
published 1832)
Balkin, J. (2017). The three laws of robotics in
the age of big data. Ohio State Law Journal, 78(5), 1217–1233.
Dicey, A. V. (1959). Introduction to the study
of the law of the constitution (10th ed.). Macmillan.
Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously.
Harvard University Press.
Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Belknap
Press of Harvard University Press.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural
rights. Clarendon Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Freeman, M. D. A. (2008). Lloyd’s introduction
to jurisprudence (8th ed.). Sweet & Maxwell.
Fuller, L. L. (1969). The morality of law
(Rev. ed.). Yale University Press.
Hart, H. L. A. (1994). The concept of law
(2nd ed., P. A. Bulloch & J. Raz, Eds.). Oxford University Press.
Jasanoff, S. (2005). Designs on nature: Science
and democracy in Europe and the United States. Princeton University Press.
Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1785)
Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M.
Knight, Trans.). University of California Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist
theory of the state. Harvard University Press.
Murphy, M. C. (2006). Philosophy of law: The
fundamentals. Wiley-Blackwell.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing. (Original work c. 380 BCE)
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples.
Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (2004). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)
Santos, B. de S. (2002). Toward a new legal
common sense (2nd ed.). Butterworths LexisNexis.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Teubner, G. (1997). Global Bukowina: Legal
pluralism in the world society. In G. Teubner (Ed.), Global law without a
state (pp. 3–28). Dartmouth.
Thompson, C. W. K. (Trans.). (1928). Cicero: De
re publica. Harvard University Press.
Tushnet, M. (1991). Critical legal studies: A
political history. Yale Law Journal, 100(5), 1515–1540.
Unger, R. M. (1986). The critical legal studies
movement. Harvard University Press.
Waldron, J. (1993). Legislation and moral
neutrality. In Liberal rights: Collected papers 1981–1991 (pp. 89–113).
Cambridge University Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An
outline of interpretive sociology (E. Fischoff et al., Trans.). University
of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar