Filsafat Pendidikan
Fondasi Konseptual, Nilai, dan Implikasinya dalam
Praktik Pendidikan Kontemporer
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Filsafat Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan, Filosofi Pendidikan Holistik, Filsafat Pendidikan Progresif.
Abstrak
Artikel ini mengkaji filsafat pendidikan sebagai
fondasi konseptual, normatif, dan kritis dalam sistem pendidikan, khususnya
dalam menghadapi tantangan global dan lokal di era kontemporer. Melalui
pendekatan filosofis yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, artikel ini menjelaskan bagaimana filsafat pendidikan memberi arah
terhadap perumusan tujuan pendidikan, pengembangan kurikulum, dan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan. Pembahasan meliputi pengertian dan ruang lingkup
filsafat pendidikan, ragam aliran pemikiran seperti perennialisme,
esensialisme, progresivisme, rekonstruksionisme, dan filsafat pendidikan Islam,
serta kontribusinya terhadap visi dan praktik pendidikan yang humanistik dan
transformatif. Relevansi filsafat pendidikan ditekankan dalam upaya membangun
kesadaran kritis, mengintegrasikan nilai-nilai lokal seperti Pancasila dengan
dinamika global, serta merancang pendidikan yang tidak hanya teknokratis,
tetapi juga etis dan berkeadaban. Artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat
pendidikan tidak hanya penting secara teoretis, tetapi sangat urgen sebagai
kerangka reflektif dalam mengarahkan masa depan pendidikan yang lebih bermakna
dan berkeadilan.
Kata Kunci: Filsafat pendidikan, nilai, kurikulum, pendidikan
kontemporer, humanisme, epistemologi, aksiologi, pendidikan Islam, Pancasila,
pendidikan kritis.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Pendidikan Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan
proses yang tidak hanya berkaitan dengan transfer pengetahuan, tetapi juga
melibatkan pembentukan karakter, pengembangan potensi manusia, dan penanaman
nilai-nilai moral serta sosial. Dalam konteks tersebut, filsafat hadir sebagai
fondasi konseptual yang mendasari segala pemikiran, perencanaan, dan praktik
pendidikan. Filsafat pendidikan menjadi
cabang filsafat yang mengkaji secara kritis tentang hakikat pendidikan, tujuan
yang ingin dicapai, isi atau kurikulum yang harus diajarkan, serta metode dan
strategi pengajaran yang relevan dalam membentuk manusia seutuhnya.
Keberadaan filsafat
pendidikan menjadi sangat krusial, terutama ketika pendidikan dihadapkan pada
tantangan perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan tuntutan globalisasi
yang terus berkembang. Dalam menghadapi realitas ini, sistem pendidikan memerlukan dasar yang kokoh agar tidak sekadar
mengikuti arus pragmatisme, tetapi mampu berdiri di atas landasan nilai dan
pemikiran yang terarah. Seperti dikatakan oleh John Dewey, pendidikan bukanlah
persiapan untuk hidup, melainkan pendidikan adalah hidup itu sendiri,
sebuah proses pembentukan yang berlangsung terus-menerus dan memerlukan
orientasi filosofis yang jelas agar tidak kehilangan arah dalam
transformasinya¹.
Lebih lanjut,
filsafat pendidikan juga memainkan peran sebagai penuntun normatif, memberikan arah tentang nilai-nilai apa yang
perlu dikembangkan dalam proses pendidikan. Aksiologi sebagai cabang dari
filsafat, misalnya, membantu para pendidik untuk memahami pentingnya
nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab dalam konteks pengajaran
dan pembelajaran². Selain itu, epistemologi pendidikan mendorong guru dan siswa
untuk mengembangkan cara berpikir kritis terhadap pengetahuan, termasuk dalam
menilai validitas sumber belajar, metode ilmiah, dan logika berpikir dalam
memperoleh kebenaran³.
Di tengah
kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh ketimpangan sosial, krisis
identitas, serta degradasi moral, pendidikan dituntut untuk tidak sekadar
mencetak individu yang kompeten secara teknis, melainkan juga berintegritas
secara etis. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan tidak boleh bersifat “banking
system” atau sekadar mentransfer informasi secara satu arah, melainkan
harus menjadi upaya pembebasan yang menghidupkan
kesadaran kritis peserta didik terhadap realitas sosial⁴. Dalam konteks ini,
filsafat pendidikan memberikan perspektif yang memungkinkan pendidikan untuk
tetap manusiawi dan relevan dalam menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan.
Dengan demikian,
urgensi filsafat pendidikan bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis.
Ia berfungsi sebagai fondasi penalaran dalam menyusun kurikulum, membentuk
kebijakan pendidikan, dan merancang strategi pedagogis yang berakar pada nilai-nilai humanistik. Oleh karena itu,
memahami filsafat pendidikan secara komprehensif adalah langkah awal yang
penting bagi siapa pun yang terlibat dalam dunia pendidikan—baik sebagai guru,
pengambil kebijakan, maupun akademisi.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76.
[2]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2007), 44–45.
[3]
Robin Barrow dan Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of
Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 58.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.
2.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan
merupakan salah satu cabang filsafat terapan yang membahas secara mendalam
tentang hakikat, tujuan, dan proses pendidikan. Secara etimologis, kata “filsafat”
berasal dari bahasa Yunani philos (cinta) dan sophia
(kebijaksanaan), sehingga filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Dalam
konteks pendidikan, filsafat tidak sekadar menjadi telaah teoretis, tetapi menjadi dasar normatif dan kritis dalam
merancang, mengevaluasi, dan merefleksikan segala aktivitas pendidikan.
Menurut Nel
Noddings, filsafat pendidikan adalah upaya sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang pendidikan: “Apa tujuan pendidikan?” “Apa yang harus
diajarkan?” “Siapa yang berhak menentukan isi pendidikan?” “Bagaimana
seharusnya proses pembelajaran berlangsung?”_¹. Filsafat pendidikan, dengan
demikian, bertindak sebagai pedoman reflektif yang menuntun setiap keputusan pendidikan agar selaras dengan
prinsip-prinsip rasionalitas, nilai, dan kemanusiaan.
John Dewey, seorang
tokoh besar dalam filsafat pragmatisme, menekankan bahwa filsafat pendidikan
bukan hanya mengenai spekulasi teoretis, tetapi juga praktik sosial yang nyata.
Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah proses rekonstruksi pengalaman secara
berkelanjutan untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam kehidupan
sosial². Dengan demikian, filsafat pendidikan
menyatukan teori dan praktik, membentuk visi tentang manusia dan masyarakat
yang diinginkan melalui kegiatan belajar-mengajar.
Dalam Islam,
filsafat pendidikan juga menempati posisi penting. Al-Ghazali, misalnya,
memandang pendidikan sebagai proses penyucian jiwa dan pembentukan akhlak yang mulia. Ia menekankan pentingnya ilmu yang
bermanfaat (al-‘ilm al-nafi’) dan proses pembelajaran yang membawa
manusia menuju kedekatan dengan Allah³. Demikian pula, Ibnu Sina membedakan
antara pendidikan anak dan pendidikan orang dewasa, serta mengembangkan
sistematika pengajaran yang sesuai dengan fase perkembangan psikologis
manusia⁴. Perspektif ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan memiliki dimensi
spiritual dan moral yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam.
Adapun ruang
lingkup filsafat pendidikan mencakup tiga dimensi utama
filsafat: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi,
yang masing-masing memberikan kerangka dalam
memahami aspek-aspek fundamental pendidikan:
·
Ontologi
pendidikan membahas hakikat manusia, hakikat belajar, dan
realitas yang menjadi objek pendidikan. Pertanyaan seperti “Apa itu manusia?”,
“Apa hakikat perkembangan?” merupakan bagian dari kajian ontologis.
·
Epistemologi
pendidikan menyangkut bagaimana pengetahuan diperoleh,
divalidasi, dan diajarkan. Ini meliputi teori belajar, metode pengajaran, dan
hubungan antara guru dan siswa dalam proses memperoleh pengetahuan.
·
Aksiologi
pendidikan membahas nilai-nilai apa yang seharusnya menjadi
tujuan pendidikan, seperti kebajikan, keadilan, dan kemanusiaan. Di sinilah
filsafat pendidikan berperan dalam menentukan nilai yang harus ditanamkan
melalui pendidikan formal maupun nonformal⁵.
Secara keseluruhan,
filsafat pendidikan tidak hanya
berfungsi sebagai landasan teoretis, tetapi juga sebagai instrumen evaluatif
dan transformatif yang memungkinkan sistem pendidikan berkembang secara
bermakna dan berkeadilan. Ruang lingkupnya yang luas memungkinkan pengkajian
yang mendalam tentang semua aspek pendidikan—dari persoalan kurikulum, strategi
pembelajaran, evaluasi, hingga relasi antara peserta didik dan masyarakat.
Footnotes
[1]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2007), 1–5.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76–78.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 36–38.
[4]
Ibnu Sina, Risalah fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992),
20–22.
[5]
Robin Barrow dan Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of
Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 49–52.
3.
Aliran-Aliran
dalam Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan
tidak bersifat tunggal; ia berkembang dalam berbagai aliran pemikiran yang
mencerminkan pandangan berbeda tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan,
metode belajar, serta hubungan antara guru dan peserta didik. Aliran-aliran ini
memberikan kerangka teoretis yang mendalam bagi para pendidik dan pembuat
kebijakan dalam merancang sistem pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai dan
kebutuhan masyarakat.
3.1.
Perennialisme
Perennialisme adalah
aliran filsafat pendidikan yang berakar pada pandangan klasik, terutama
pemikiran Plato dan Aristoteles. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan harus
berfokus pada nilai-nilai universal dan kebenaran abadi yang tidak terpengaruh
oleh perubahan zaman. Tujuan pendidikan menurut perennialisme adalah membentuk
manusia yang rasional dan bermoral melalui penguasaan terhadap karya-karya
agung (great
books) dan prinsip-prinsip logika serta etika⁽¹⁾.
Dalam praktiknya,
pendekatan perennialis menekankan disiplin intelektual yang tinggi dan
kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran klasik seperti filsafat,
matematika, sastra, dan ilmu pengetahuan dasar. Guru berperan sebagai pengarah
dalam proses intelektual, bukan sekadar fasilitator.
3.2.
Esensialisme
Berbeda dengan
perennialisme yang menekankan nilai-nilai abadi, esensialisme
lebih berfokus pada kebutuhan praktis masyarakat modern. Esensialisme muncul
sebagai reaksi terhadap pendekatan progresif, dengan menekankan pentingnya
penguasaan dasar-dasar akademik seperti membaca, menulis, matematika, dan sains
sebagai inti dari kurikulum⁽²⁾. Tujuannya adalah membentuk individu yang mampu
beradaptasi dan produktif dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang kompleks.
Menurut William C.
Bagley, salah satu tokoh esensialisme, pendidikan harus bersifat objektif,
terstruktur, dan berorientasi pada hasil, dengan guru sebagai otoritas utama
dalam kelas yang menanamkan pengetahuan dan disiplin⁽³⁾.
3.3.
Progresivisme
Progresivisme
berakar pada filsafat pragmatisme, terutama dari pemikiran John Dewey. Aliran
ini menekankan pentingnya pengalaman dan kebutuhan peserta didik dalam proses
pembelajaran. Pendidikan bukanlah transmisi informasi, melainkan proses aktif
yang berpusat pada siswa dan dunia nyata. Dalam progresivisme, siswa didorong
untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan terlibat dalam pembelajaran yang
bermakna⁽⁴⁾.
Progresivisme
menolak sistem pendidikan yang otoriter dan dogmatis. Ia lebih menekankan
dialog, kerja sama, dan fleksibilitas kurikulum. Guru berperan sebagai
pembimbing yang memfasilitasi eksplorasi siswa terhadap lingkungan dan
persoalan sosial yang dihadapi.
3.4.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
adalah aliran pendidikan yang sangat menekankan peran pendidikan dalam
menciptakan perubahan sosial. Tokohnya seperti George Counts dan Theodore
Brameld melihat pendidikan sebagai alat untuk merekonstruksi masyarakat menuju
keadilan sosial dan kemanusiaan yang lebih baik⁽⁵⁾. Pendidikan dalam perspektif
ini tidak netral, tetapi bersifat transformatif dan ideologis.
Kurikulum
rekonstruksionis memuat isu-isu kontemporer seperti kemiskinan, ketimpangan,
rasialisme, dan kerusakan lingkungan. Tujuannya adalah membangun kesadaran
kritis dan komitmen etis siswa terhadap perubahan struktural dalam masyarakat.
3.5.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
dalam pendidikan menekankan kebebasan individu, subjektivitas, dan tanggung
jawab personal. Tokoh seperti Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Martin
Buber memandang bahwa pendidikan harus membantu peserta didik menemukan makna
hidup mereka sendiri dalam dunia yang absurd dan penuh pilihan⁽⁶⁾.
Dalam praktik
pendidikan eksistensialis, guru tidak mendiktekan nilai atau kebenaran mutlak,
melainkan membuka ruang dialog dan refleksi eksistensial. Kurikulum bersifat
terbuka dan fleksibel, disesuaikan dengan minat dan keunikan siswa.
3.6.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah
aliran filsafat yang menilai kebenaran berdasarkan kegunaannya dalam kehidupan
nyata. Dalam pendidikan, pragmatisme menekankan pembelajaran berbasis
pengalaman, eksperimen, dan refleksi. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan
adalah proses kehidupan, bukan persiapan untuk hidup⁽⁷⁾. Oleh karena itu, sekolah
harus menjadi miniature society tempat siswa
belajar melalui interaksi sosial dan pemecahan masalah.
Pendidikan pragmatis
bersifat demokratis dan terbuka terhadap perubahan. Ia menolak absolutisme
pengetahuan dan mendorong peserta didik untuk aktif dalam membentuk pemahaman
mereka sendiri terhadap dunia.
3.7.
Filsafat Pendidikan Islam
Dalam konteks Islam,
filsafat pendidikan mengintegrasikan antara wahyu dan akal, spiritualitas dan
rasionalitas. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah pembentukan insan
kamil—manusia paripurna yang seimbang antara aspek jasmani, akal, dan
ruhani⁽⁸⁾.
Tokoh-tokoh seperti
Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas menekankan bahwa
pendidikan adalah proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), penanaman adab, dan
pengetahuan yang menuntun manusia kepada kebenaran ilahiyah. Dalam pandangan
Al-Attas, pendidikan Islam bertujuan untuk “menghasilkan manusia baik, bukan
semata-mata warga negara yang baik”⁽⁹⁾.
Footnotes
[1]
Robert M. Hutchins, The Conflict in Education in a Democratic
Society (New York: Harper & Brothers, 1953), 66–67.
[2]
H. J. Perkinson, The Imperfect Panacea: American Faith in Education
1865–1965 (New York: McGraw-Hill, 1968), 132.
[3]
William C. Bagley, Education and Emergent Man (New York:
Thomas Y. Crowell, 1934), 42.
[4]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–26.
[5]
George S. Counts, Dare the School Build a New Social Order?
(New York: John Day Company, 1932), 5–7.
[6]
David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford:
Blackwell, 1990), 88–90.
[7]
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the
Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76.
[8]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 38.
[9]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 15.
4.
Dimensi
Epistemologis Filsafat Pendidikan
Epistemologi,
sebagai cabang filsafat yang membahas tentang asal-usul, sifat, batas, dan
validitas pengetahuan, memegang peranan penting dalam filsafat pendidikan.
Dimensi epistemologis memberikan kerangka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental dalam dunia pendidikan: Apa itu pengetahuan? Bagaimana pengetahuan
diperoleh dan divalidasi? Bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan
kepada peserta didik? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat teoretis,
tetapi juga berimplikasi langsung pada kurikulum, metode pengajaran, dan
pendekatan pembelajaran di kelas.
Dalam tradisi
filsafat Barat, epistemologi telah berkembang sejak masa Yunani kuno. Plato,
misalnya, membedakan antara doxa (opini) dan episteme
(pengetahuan sejati), dan menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mengarahkan
jiwa manusia keluar dari dunia bayang-bayang menuju cahaya kebenaran⁽¹⁾. Pandangan
ini menekankan bahwa pendidikan harus mencerdaskan akal untuk mencapai bentuk
pengetahuan yang lebih tinggi. Sementara itu, John Locke dalam empirismenya
memandang bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi, dan pikiran
manusia ibarat tabula rasa—lembar kosong yang
diisi oleh pengalaman⁽²⁾. Pandangan ini mendasari banyak pendekatan pedagogis
modern yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman.
Dalam konteks
filsafat pendidikan, pendekatan epistemologis membantu menjelaskan bagaimana
pengetahuan seharusnya diajarkan dan dipahami. Dua pendekatan besar sering
menjadi rujukan: pendekatan objektivis dan pendekatan
konstruktivis. Pendekatan objektivis berpandangan bahwa
pengetahuan bersifat tetap, universal, dan dapat ditransfer dari guru ke murid.
Sementara pendekatan konstruktivis meyakini bahwa pengetahuan dibentuk secara
aktif oleh individu berdasarkan interaksi mereka dengan lingkungan sosial dan
budaya⁽³⁾.
Jean Piaget, seorang
tokoh penting dalam psikologi dan epistemologi genetik, menjelaskan bahwa
pembelajaran merupakan proses aktif yang melibatkan asimilasi dan akomodasi
terhadap informasi baru. Dalam perspektif ini, anak bukan penerima pasif,
melainkan subjek aktif yang membentuk pemahamannya sendiri⁽⁴⁾. Sementara itu,
Lev Vygotsky, dengan teori sociocultural learning, menekankan
bahwa konstruksi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan
budaya, serta pentingnya zone of proximal development
(ZPD)⁽⁵⁾. Pendekatan ini kemudian menjadi landasan bagi praktik pendidikan
kolaboratif dan dialogis.
Dalam tradisi Islam,
epistemologi pendidikan juga memiliki akar yang mendalam. Sumber utama
pengetahuan adalah wahyu (al-Qur’an), akal, dan pengalaman. Al-Ghazali
menempatkan intuisi spiritual (kasyf) sebagai bentuk pengetahuan
tertinggi, yang diperoleh melalui penyucian jiwa dan pendekatan kepada
Tuhan⁽⁶⁾. Ibnu Khaldun juga menekankan pentingnya akal dan metode ilmiah dalam
membentuk pemahaman terhadap dunia empiris, tanpa mengabaikan sumber wahyu⁽⁷⁾.
Pandangan ini memberikan dasar epistemologis bagi sistem pendidikan Islam yang
seimbang antara rasionalitas dan spiritualitas.
Implikasi
epistemologis dalam pendidikan sangat signifikan. Pilihan pendekatan
epistemologis akan menentukan bagaimana kurikulum disusun, bagaimana guru
berperan, dan bagaimana siswa diposisikan dalam proses pembelajaran. Jika guru
dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran (epistemologi objektif), maka
model pembelajarannya akan bersifat satu arah dan dogmatis. Sebaliknya, jika
pengetahuan dianggap sebagai konstruksi sosial dan individual, maka
pembelajaran akan bersifat partisipatif, kontekstual, dan reflektif.
Dalam dunia
pendidikan kontemporer, kombinasi pendekatan epistemologis sering digunakan
untuk menjawab tantangan zaman. Penggunaan teknologi informasi, misalnya, telah
melahirkan bentuk-bentuk pengetahuan baru yang menuntut fleksibilitas dalam
pendekatan epistemologis. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap
dimensi epistemologi dalam filsafat pendidikan menjadi syarat penting bagi
pendidik dan pembuat kebijakan dalam merancang sistem pendidikan yang adaptif,
relevan, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing Company, 1992), 186–187.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed.
Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1996), 33–36.
[3]
Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of
Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 65–66.
[4]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans.
Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 12–14.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes, eds. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 84–91.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 45–46.
[7]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 350–352.
5.
Dimensi
Aksiologis Filsafat Pendidikan
Aksiologi merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang nilai—baik nilai moral, etika, estetika,
maupun nilai-nilai sosial yang melekat dalam tindakan manusia. Dalam konteks
filsafat pendidikan, aksiologi berperan penting dalam menentukan tujuan
pendidikan, nilai-nilai yang hendak ditanamkan,
serta etika
dalam proses pembelajaran dan hubungan antar individu di dalam
lingkungan pendidikan. Tanpa dasar aksiologis yang kuat, pendidikan berisiko
menjadi instrumen teknokratis yang hampa dari makna moral dan arah etik.
Menurut Nel
Noddings, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan individu yang
cerdas secara intelektual, tetapi juga peduli dan bermoral. Ia menekankan
pentingnya ethics
of care dalam pendidikan, yaitu pendekatan yang menempatkan kasih
sayang, perhatian, dan tanggung jawab sebagai inti relasi antara guru dan
siswa¹. Perspektif ini mencerminkan dimensi aksiologis yang menjadikan
pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter dan pembinaan manusia seutuhnya.
Tujuan pendidikan
tidak pernah netral secara nilai. Setiap sistem pendidikan selalu memuat muatan
nilai tertentu—entah eksplisit maupun implisit. Dalam sistem liberal,
pendidikan cenderung menekankan pada nilai kebebasan individu dan otonomi
berpikir. Dalam sistem sosialis, nilai-nilai seperti kolektivitas, keadilan
sosial, dan solidaritas lebih dikedepankan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
pilihan pedagogis dan kebijakan pendidikan senantiasa berakar pada keyakinan
nilai tertentu².
Dalam konteks
Indonesia, dimensi aksiologis pendidikan sangat terkait dengan falsafah
Pancasila, yang menekankan nilai Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan,
dan musyawarah. Nilai-nilai ini seharusnya menjadi fondasi dalam pembentukan
kurikulum, strategi pembelajaran, dan pembinaan peserta didik agar memiliki
jati diri kebangsaan yang kuat dan mampu berkontribusi secara etis dalam
masyarakat³.
Aksiologi pendidikan
juga menjangkau pada aspek keadilan dan inklusivitas.
Bagaimana pendidikan memperlakukan siswa dari latar belakang yang berbeda?
Apakah sistem pendidikan mencerminkan nilai keadilan sosial, atau justru
mereproduksi ketimpangan? Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan tradisional
sebagai bersifat "menindas" karena tidak memungkinkan peserta didik
untuk berpikir kritis dan membebaskan diri dari struktur dominasi. Baginya,
pendidikan harus menjadi praktik pembebasan—proses sadar nilai yang menumbuhkan
kesetaraan dan keberdayaan⁴.
Dari sudut pandang
filsafat Islam, dimensi aksiologis pendidikan menekankan pentingnya pembentukan
adab,
bukan sekadar pengetahuan (ilmu). Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,
pendidikan yang benar adalah penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebajikan,
sehingga peserta didik bukan hanya mengetahui apa yang benar, tetapi juga
memiliki kesadaran moral untuk melakukan yang benar⁵. Dalam hal ini, pendidikan
memiliki peran esensial dalam membentuk kesalehan pribadi dan sosial.
Secara praktis,
dimensi aksiologis ini menjadi dasar dalam:
·
Menentukan visi
dan misi pendidikan,
·
Merancang kurikulum
berbasis nilai,
·
Mengembangkan pendidikan
karakter,
·
Membangun relasi
etis dalam komunitas pendidikan, dan
·
Merumuskan standar
evaluasi yang tidak hanya menilai kemampuan kognitif, tetapi
juga afektif dan moral.
Dalam era
globalisasi dan krisis nilai dewasa ini, semakin nyata bahwa pendidikan tidak
cukup hanya mengembangkan kompetensi intelektual dan keterampilan teknis. Ia
harus menyentuh dimensi terdalam dari kemanusiaan: kesadaran etis, tanggung
jawab sosial, dan keberanian moral. Oleh karena itu, penguatan aksiologi
pendidikan merupakan kebutuhan mendesak agar pendidikan tetap bermakna,
kontekstual, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2007), 181–183.
[2]
Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of
Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 83–85.
[3]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 17–19.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 9–10.
6.
Peran
Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Kurikulum
Filsafat pendidikan
memiliki peran mendasar dalam proses pengembangan kurikulum karena ia
menyediakan kerangka konseptual dan normatif yang menuntun arah, isi, dan
strategi pendidikan. Kurikulum bukan sekadar daftar mata pelajaran atau rencana
pembelajaran teknis, tetapi merupakan manifestasi dari serangkaian pilihan
nilai, asumsi tentang hakikat pengetahuan, tujuan pendidikan, serta pandangan
tentang manusia dan masyarakat yang ingin dibentuk. Oleh karena itu, setiap
sistem kurikulum, baik yang eksplisit maupun implisit, selalu berpijak pada
landasan filosofis tertentu.
Menurut George F.
Kneller, filsafat pendidikan berfungsi sebagai dasar ideologis dan logis dari
kurikulum, yang menjawab pertanyaan: apa yang harus diajarkan, mengapa
diajarkan, dan bagaimana cara mengajarkannya¹.
Dalam pengertian ini, filsafat menentukan arah pendidikan yang hendak dicapai
dan mempengaruhi pemilihan isi serta metode pengajaran yang sesuai. Misalnya,
jika suatu sistem pendidikan mengadopsi pandangan pragmatis, maka kurikulumnya
cenderung menekankan pada pengalaman nyata, pemecahan masalah, dan pendekatan
interdisipliner.
Aliran filsafat
seperti perennialisme, esensialisme,
progresivisme,
dan rekonstruksionisme
memiliki implikasi langsung terhadap desain kurikulum. Perennialisme dan
esensialisme mendorong kurikulum yang bersifat akademis, menekankan penguasaan
terhadap pengetahuan klasik dan kemampuan berpikir logis. Sebaliknya,
progresivisme dan rekonstruksionisme mendorong kurikulum yang bersifat dinamis,
kontekstual, dan responsif terhadap realitas sosial⁽²⁾. Ini menunjukkan bahwa
filsafat pendidikan bukan hanya memengaruhi isi kurikulum, tetapi juga
karakter, struktur, dan pendekatan pedagogisnya.
Selain itu, filsafat
pendidikan juga berperan dalam menentukan tujuan kurikulum. Tujuan
pendidikan yang bersifat behavioristik, humanistik, atau transformatif
mencerminkan dasar filosofis yang berbeda. Misalnya, tujuan untuk membentuk
manusia yang kompeten secara teknis mungkin berakar pada positivisme; sedangkan
tujuan untuk membentuk pribadi yang beradab dan bermoral menunjukkan pengaruh
filsafat humanistik atau spiritualistik⁽³⁾. Di sinilah filsafat pendidikan
menyediakan kriteria normatif untuk mengevaluasi apakah tujuan pendidikan
sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam.
Dalam konteks
pendidikan di Indonesia, filsafat pendidikan nasional didasarkan pada Pancasila
sebagai ideologi dan falsafah negara. Pancasila memberikan nilai-nilai dasar
yang menjadi pedoman dalam pengembangan kurikulum nasional: Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial⁽⁴⁾. Nilai-nilai ini
termanifestasi dalam kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada aspek
kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter, sikap kebangsaan, dan
kepedulian sosial.
Dalam filsafat
pendidikan Islam, kurikulum dipandang sebagai sarana untuk membentuk insan
kamil—manusia paripurna yang memiliki keselarasan antara akal, hati, dan
tindakan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa tujuan utama kurikulum
dalam pendidikan Islam adalah untuk menanamkan adab dan membedakan antara ilmu
yang benar dengan yang palsu⁽⁵⁾. Dengan demikian, setiap komponen kurikulum
harus disusun berdasarkan hierarki pengetahuan yang diorientasikan pada
kebenaran ilahiyah, bukan sekadar keahlian duniawi.
Dalam praktiknya,
pengembangan kurikulum berbasis filsafat pendidikan mencakup:
·
Penentuan
visi dan misi pendidikan yang mencerminkan nilai filosofis
tertentu,
·
Pemilihan
konten dan struktur materi berdasarkan pandangan tentang apa
yang dianggap penting untuk diketahui siswa,
·
Perancangan
strategi pedagogis yang selaras dengan pandangan tentang cara
terbaik manusia belajar,
·
Penerapan
sistem evaluasi yang tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi
juga proses pembentukan nilai dan karakter siswa.
Dengan demikian,
filsafat pendidikan bukan hanya menjadi acuan awal dalam perumusan kurikulum,
tetapi terus berperan dalam proses refleksi dan evaluasi kurikulum agar
senantiasa relevan, humanistik, dan transformatif di tengah dinamika sosial dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Footnotes
[1]
George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John
Wiley & Sons, 1971), 78–80.
[2]
H. A. Ozmon and S. M. Craver, Philosophical Foundations of
Education, 9th ed. (Boston: Pearson, 2011), 131–136.
[3]
Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of
Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 96–98.
[4]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 27.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 12–14.
7.
Filsafat
Pendidikan dalam Konteks Global dan Lokal
Dalam era
globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi, mobilitas informasi, dan
integrasi ekonomi, pendidikan mengalami transformasi besar-besaran baik dalam
bentuk, isi, maupun tujuannya. Filsafat pendidikan, dalam konteks ini, dituntut
untuk memberikan arah normatif dan refleksi kritis terhadap berbagai dinamika
global sekaligus tetap menjaga relevansi terhadap nilai-nilai lokal. Oleh
karena itu, pemikiran filsafat pendidikan tidak hanya berlaku dalam ruang
akademik semata, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjawab
tantangan-tantangan kontemporer, baik di tingkat global maupun lokal.
7.1.
Filsafat Pendidikan dalam Konteks Global
Globalisasi telah
membawa perubahan dalam orientasi pendidikan di berbagai negara. Standarisasi
kurikulum, kompetisi global, dan tuntutan efisiensi dalam dunia kerja membuat
pendidikan semakin diarahkan untuk mencetak individu yang marketable
secara internasional. Fenomena ini mendorong pendidikan ke arah neoliberalisasi,
di mana nilai ekonomi mendominasi orientasi kebijakan pendidikan⁽¹⁾. Dalam
kerangka ini, filsafat pendidikan perlu hadir sebagai kekuatan korektif yang
menolak reduksi pendidikan menjadi sekadar alat produksi ekonomi.
Henry A. Giroux
menyuarakan perlunya “pendidikan kritis” yang membekali peserta didik dengan
kemampuan untuk memahami realitas sosial secara reflektif, membebaskan diri
dari struktur dominasi, dan berpartisipasi dalam perubahan sosial⁽²⁾. Pandangan
ini menggarisbawahi pentingnya filsafat pendidikan sebagai instrumen pembebasan
(liberatory
education) yang tidak tunduk pada tekanan globalisasi yang homogen
dan pragmatis.
Selain itu, dalam
konteks global, terdapat tantangan besar berupa krisis lingkungan, migrasi
besar-besaran, konflik budaya, serta ancaman terhadap identitas dan
spiritualitas manusia. Semua ini menuntut pendidikan untuk mengembangkan
nilai-nilai multikulturalisme, keberlanjutan, dan
spiritualitas global, yang hanya dapat dirumuskan melalui
pendekatan filosofis yang mendalam dan lintas disiplin⁽³⁾.
7.2.
Filsafat Pendidikan dalam Konteks Lokal
(Indonesia)
Sementara itu, dalam
konteks lokal, pendidikan di Indonesia menghadapi kompleksitas tersendiri:
ketimpangan akses dan mutu pendidikan, lemahnya literasi kritis, komersialisasi
lembaga pendidikan, serta tantangan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan di
tengah derasnya arus budaya global. Dalam hal ini, filsafat pendidikan berperan
penting untuk menjaga jati diri bangsa melalui
internalisasi nilai-nilai luhur lokal yang tertuang dalam falsafah Pancasila,
tradisi keislaman, dan kearifan budaya Nusantara.
Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki potensi filosofis
yang kuat dalam membentuk kurikulum dan praksis pendidikan. Nilai-nilai seperti
ketuhanan, kemanusiaan, keadilan sosial, dan musyawarah mengandung
prinsip-prinsip pedagogis yang humanistik, demokratis, dan holistik⁽⁴⁾.
Sayangnya, dalam praktiknya, nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh
pendekatan teknokratis dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu, filsafat
pendidikan nasional harus dikembangkan sebagai kekuatan etis dan ideologis yang
menjiwai setiap kebijakan pendidikan.
Dalam konteks
pendidikan Islam di Indonesia, filsafat pendidikan Islam berperan penting dalam
mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, intelektual, dan sosial. Pendidikan
tidak hanya bertujuan membentuk manusia yang cakap secara duniawi, tetapi juga
sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Hal
ini tercermin dalam konsep pendidikan tauhidi yang menempatkan seluruh
aktivitas pendidikan dalam kerangka penghambaan kepada Tuhan dan pemuliaan
martabat manusia⁽⁵⁾.
7.3.
Dialektika Global-Lokal dalam Pendidikan
Tantangan utama
pendidikan saat ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keterbukaan
terhadap nilai-nilai global dan pelestarian nilai-nilai lokal. Proses ini
dikenal dengan istilah glokalisasi—yakni
mengintegrasikan dinamika global ke dalam konteks lokal secara kritis. Dalam
kerangka ini, filsafat pendidikan berfungsi sebagai “jembatan reflektif”
yang menimbang mana nilai global yang dapat diadopsi tanpa menghilangkan akar
budaya dan kearifan lokal.
Pendidikan yang
berlandaskan filsafat tidak akan terjebak dalam dikotomi sempit antara
modernitas dan tradisi, tetapi justru akan memfasilitasi dialog antarnilai
untuk melahirkan sistem pendidikan yang inklusif, kontekstual, dan berkeadilan.
Oleh sebab itu, diperlukan perumusan paradigma filsafat pendidikan yang
transformatif—yang tidak hanya responsif terhadap perkembangan zaman, tetapi
juga berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal yang hidup dalam
masyarakat.
Footnotes
[1]
Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector Participation
in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 33–35.
[2]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Continuum,
2011), 4–6.
[3]
Michael Peters, Tina Besley, and Daniel Araya, The Global Financial
Crisis and Educational Policy Reform (New York: Peter Lang, 2010), 91–94.
[4]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
27–30.
[5]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 13–14.
8.
Relevansi
Filsafat Pendidikan di Era Kontemporer
Di tengah
kompleksitas kehidupan modern yang ditandai oleh percepatan teknologi,
perubahan nilai sosial, krisis ekologi, dan fragmentasi identitas, filsafat
pendidikan kembali menjadi kebutuhan mendesak. Dunia pendidikan tidak dapat
lagi dijalankan semata-mata atas dasar efisiensi teknis dan target kuantitatif,
tetapi harus berakar pada landasan filosofis yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apa makna pendidikan? Untuk siapa pendidikan
dijalankan? Nilai apa yang harus dikembangkan? Inilah yang
menjadikan filsafat pendidikan sangat relevan di era kontemporer.
Filsafat pendidikan
memberikan arah dan makna dalam dunia yang semakin instrumental. Dalam sistem
pendidikan yang cenderung terdorong oleh logika pasar dan teknologi, terdapat
bahaya bahwa pendidikan akan tereduksi menjadi sekadar sarana memproduksi
tenaga kerja terampil, bukan pembentukan manusia seutuhnya⁽¹⁾. Filsafat
pendidikan hadir untuk mengingatkan kembali bahwa pendidikan adalah proses
pemanusiaan (humanisasi) yang harus berakar pada
nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Henry A. Giroux
menekankan bahwa pendidikan tidak pernah netral secara ideologis. Ia adalah
medan pertarungan makna, tempat berbagai kepentingan dan nilai dipertarungkan.
Oleh karena itu, pendidikan harus dibingkai oleh kesadaran kritis dan refleksi
filosofis agar tidak menjadi alat dominasi struktur kekuasaan atau kepentingan
ekonomi global⁽²⁾. Filsafat pendidikan dalam konteks ini memberikan perangkat
konseptual bagi peserta didik dan pendidik untuk mengembangkan daya nalar
kritis dan sikap etis terhadap realitas yang dihadapi.
Relevansi filsafat
pendidikan juga tampak dalam kemampuannya untuk menanggapi krisis nilai dan
identitas di era digital. Masyarakat global saat ini menghadapi gelombang dehumanisasi
akibat dominasi media sosial, konsumsi informasi instan, dan degradasi empati
sosial. Filsafat pendidikan menantang para pendidik untuk mengembangkan
kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang menumbuhkan kepekaan etis, kemampuan
berpikir mendalam (deep thinking), serta orientasi
spiritual dan ekologis yang kuat⁽³⁾.
Dalam konteks
Indonesia, filsafat pendidikan sangat relevan untuk merespons
tantangan-tantangan lokal seperti radikalisme, dekadensi moral, ketimpangan
pendidikan, serta krisis karakter generasi muda. Pendidikan yang hanya
menekankan pada aspek kognitif telah terbukti gagal dalam membentuk generasi
yang berintegritas dan bertanggung jawab secara sosial. Filsafat pendidikan,
melalui pendekatan aksiologis dan etikanya, menawarkan landasan untuk membangun
sistem pendidikan yang berkarakter, humanis, dan inklusif⁽⁴⁾.
Lebih jauh, filsafat
pendidikan juga berperan dalam memperkuat agency (daya pengaruh dan
partisipasi) para guru. Guru bukanlah sekadar pelaksana kurikulum, tetapi
merupakan subjek reflektif yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan
visi pendidikan yang kontekstual dan bermakna. Dalam kerangka ini, filsafat
pendidikan mengajak guru untuk terus bertanya, merenung, dan mengkaji ulang
praktik-praktik pedagogisnya dengan perspektif yang kritis dan etis⁽⁵⁾.
Di tengah tantangan
kecerdasan buatan (AI), pendidikan berbasis data, dan pembelajaran digital,
filsafat pendidikan dibutuhkan untuk memastikan bahwa teknologi tetap
dikendalikan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa kerangka filosofis yang kuat,
teknologi berpotensi menjauhkan pendidikan dari maknanya yang sejati. Oleh
karena itu, filsafat pendidikan bertugas mengawasi, mengarahkan, dan
mengontekstualisasikan inovasi teknologi agar selaras dengan tujuan luhur
pendidikan.
Dengan demikian,
filsafat pendidikan bukanlah ilmu masa lalu yang usang, melainkan panduan
intelektual dan moral yang sangat dibutuhkan dalam menyusun masa depan
pendidikan yang lebih bermakna, adil, dan manusiawi. Ia bukan sekadar teori,
melainkan alat untuk membebaskan manusia dari ketidaksadaran dan ketertundukan
terhadap struktur sosial yang tidak adil.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–10.
[2]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Continuum,
2011), 14–16.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2007), 187–189.
[4]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 32–35.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic
Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 24–26.
9.
Simpulan
Filsafat pendidikan
bukan sekadar cabang filsafat yang bersifat spekulatif atau teoretis, melainkan
sebuah perangkat intelektual dan normatif yang sangat vital bagi pengembangan
sistem pendidikan yang bermakna, bernilai, dan berkeadaban. Melalui pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, filsafat pendidikan mampu memberikan
landasan yang kokoh terhadap berbagai elemen pendidikan seperti kurikulum,
metode pembelajaran, peran pendidik, hingga tujuan pendidikan itu sendiri.
Dari perspektif
historis maupun kontemporer, filsafat pendidikan telah menunjukkan perannya
sebagai penjaga arah dan makna pendidikan di tengah berbagai tantangan
zaman—mulai dari industrialisasi, globalisasi, neoliberalisme, hingga era
digital dan kecerdasan buatan. Filsafat pendidikan memberikan kesadaran kritis
terhadap reduksi pendidikan menjadi alat ekonomi semata, dan menegaskan kembali
pendidikan sebagai proses pemanusiaan yang mendalam⁽¹⁾.
Berbagai aliran
dalam filsafat pendidikan seperti perennialisme, esensialisme, progresivisme,
dan rekonstruksionisme telah memberikan kerangka konseptual yang beragam dalam
memahami hakikat pendidikan. Masing-masing menawarkan pandangan tentang bagaimana
manusia seharusnya dididik, apa yang harus diajarkan, dan bagaimana cara
mencapainya. Sementara itu, filsafat pendidikan Islam memberikan dimensi
spiritual dan transendental yang memperkaya cakrawala pendidikan melalui
penekanan pada adab, kesatuan ilmu, dan tujuan hidup yang berorientasi pada
kebenaran ilahiyah⁽²⁾.
Filsafat pendidikan
juga sangat relevan dalam pengembangan kurikulum yang tidak hanya responsif
terhadap kebutuhan pasar kerja, tetapi juga berpihak pada nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Nilai-nilai lokal
seperti Pancasila serta warisan budaya dan keislaman di Indonesia harus terus
dikontekstualisasikan dalam kerangka global agar tidak tercerabut dari akar
jati diri bangsa⁽³⁾.
Di era kontemporer
yang sarat akan krisis makna, filsafat pendidikan menjadi penting dalam
membekali peserta didik—dan juga pendidik—dengan orientasi nilai yang kuat,
kemampuan berpikir kritis, serta kepekaan etis dalam menghadapi
persoalan-persoalan kompleks yang tidak bisa dijawab semata dengan teknokrasi
dan instrumen ekonomi. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan sejati adalah
pendidikan yang membebaskan; pendidikan yang menumbuhkan kesadaran untuk
mengubah dunia secara manusiawi dan berkeadilan⁽⁴⁾.
Akhirnya, filsafat
pendidikan harus terus dihidupkan dalam ruang akademik, ruang kebijakan, dan
terutama ruang kelas. Ia adalah napas yang memberi arah, nilai, dan makna
terhadap seluruh proses pendidikan. Tanpa filsafat, pendidikan akan kehilangan
jiwa; ia mungkin tetap berjalan, tetapi tak lagi tahu ke mana dan untuk apa ia
menuju⁽⁵⁾.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–19.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1991), 11–13.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
31–34.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 81–82.
[5]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2007), 190.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of
education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol.
1). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Ball, S. J. (2007). Education PLC: Understanding
private sector participation in public sector education. London: Routledge.
Barrow, R., & Woods, R. (2006). An
introduction to philosophy of education (4th ed.). London: Routledge.
Counts, G. S. (1932). Dare the school build a
new social order? New York: John Day Company.
Cooper, D. E. (1990). Existentialism: A
reconstruction. Oxford: Blackwell.
Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang
memiskinkan. Yogyakarta: Galangpress.
Dewey, J. (1916). Democracy and education: An
introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience and education.
New York: Macmillan.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics,
democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy.
New York: Continuum.
Hutchins, R. M. (1953). The conflict in
education in a democratic society. New York: Harper & Brothers.
Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Ibnu Sina. (1992). Risalah fi al-Tarbiyah.
Beirut: Dar al-Fikr.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Kneller, G. F. (1971). Foundations of education.
New York: John Wiley & Sons.
Locke, J. (1996). An essay concerning human
understanding (K. P. Winkler, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing
Company. (Original work published 1690)
Noddings, N. (2007). Philosophy of education
(2nd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Ozmon, H. A., & Craver, S. M. (2011). Philosophical
foundations of education (9th ed.). Boston, MA: Pearson.
Peters, M. A., Besley, T., & Araya, D. (2010). The
global financial crisis and educational policy reform. New York: Peter
Lang.
Piaget, J. (1952). The origins of intelligence
in children (M. Cook, Trans.). New York: International Universities Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes (M. Cole et al., Eds.).
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar