Kamis, 21 November 2024

Filsafat Pendidikan: Fondasi Konseptual, Nilai, dan Implikasinya dalam Praktik Pendidikan Kontemporer

Filsafat Pendidikan

Fondasi Konseptual, Nilai, dan Implikasinya dalam Praktik Pendidikan Kontemporer


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.

Filsafat Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan, Filosofi Pendidikan Holistik, Filsafat Pendidikan Progresif.


Abstrak

Artikel ini mengkaji filsafat pendidikan sebagai fondasi konseptual, normatif, dan kritis dalam sistem pendidikan, khususnya dalam menghadapi tantangan global dan lokal di era kontemporer. Melalui pendekatan filosofis yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, artikel ini menjelaskan bagaimana filsafat pendidikan memberi arah terhadap perumusan tujuan pendidikan, pengembangan kurikulum, dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Pembahasan meliputi pengertian dan ruang lingkup filsafat pendidikan, ragam aliran pemikiran seperti perennialisme, esensialisme, progresivisme, rekonstruksionisme, dan filsafat pendidikan Islam, serta kontribusinya terhadap visi dan praktik pendidikan yang humanistik dan transformatif. Relevansi filsafat pendidikan ditekankan dalam upaya membangun kesadaran kritis, mengintegrasikan nilai-nilai lokal seperti Pancasila dengan dinamika global, serta merancang pendidikan yang tidak hanya teknokratis, tetapi juga etis dan berkeadaban. Artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan tidak hanya penting secara teoretis, tetapi sangat urgen sebagai kerangka reflektif dalam mengarahkan masa depan pendidikan yang lebih bermakna dan berkeadilan.

Kata Kunci: Filsafat pendidikan, nilai, kurikulum, pendidikan kontemporer, humanisme, epistemologi, aksiologi, pendidikan Islam, Pancasila, pendidikan kritis.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat Pendidikan Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Pendidikan merupakan proses yang tidak hanya berkaitan dengan transfer pengetahuan, tetapi juga melibatkan pembentukan karakter, pengembangan potensi manusia, dan penanaman nilai-nilai moral serta sosial. Dalam konteks tersebut, filsafat hadir sebagai fondasi konseptual yang mendasari segala pemikiran, perencanaan, dan praktik pendidikan. Filsafat pendidikan menjadi cabang filsafat yang mengkaji secara kritis tentang hakikat pendidikan, tujuan yang ingin dicapai, isi atau kurikulum yang harus diajarkan, serta metode dan strategi pengajaran yang relevan dalam membentuk manusia seutuhnya.

Keberadaan filsafat pendidikan menjadi sangat krusial, terutama ketika pendidikan dihadapkan pada tantangan perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan tuntutan globalisasi yang terus berkembang. Dalam menghadapi realitas ini, sistem pendidikan memerlukan dasar yang kokoh agar tidak sekadar mengikuti arus pragmatisme, tetapi mampu berdiri di atas landasan nilai dan pemikiran yang terarah. Seperti dikatakan oleh John Dewey, pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, melainkan pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebuah proses pembentukan yang berlangsung terus-menerus dan memerlukan orientasi filosofis yang jelas agar tidak kehilangan arah dalam transformasinya¹.

Lebih lanjut, filsafat pendidikan juga memainkan peran sebagai penuntun normatif, memberikan arah tentang nilai-nilai apa yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan. Aksiologi sebagai cabang dari filsafat, misalnya, membantu para pendidik untuk memahami pentingnya nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab dalam konteks pengajaran dan pembelajaran². Selain itu, epistemologi pendidikan mendorong guru dan siswa untuk mengembangkan cara berpikir kritis terhadap pengetahuan, termasuk dalam menilai validitas sumber belajar, metode ilmiah, dan logika berpikir dalam memperoleh kebenaran³.

Di tengah kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh ketimpangan sosial, krisis identitas, serta degradasi moral, pendidikan dituntut untuk tidak sekadar mencetak individu yang kompeten secara teknis, melainkan juga berintegritas secara etis. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan tidak boleh bersifat “banking system” atau sekadar mentransfer informasi secara satu arah, melainkan harus menjadi upaya pembebasan yang menghidupkan kesadaran kritis peserta didik terhadap realitas sosial⁴. Dalam konteks ini, filsafat pendidikan memberikan perspektif yang memungkinkan pendidikan untuk tetap manusiawi dan relevan dalam menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan.

Dengan demikian, urgensi filsafat pendidikan bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis. Ia berfungsi sebagai fondasi penalaran dalam menyusun kurikulum, membentuk kebijakan pendidikan, dan merancang strategi pedagogis yang berakar pada nilai-nilai humanistik. Oleh karena itu, memahami filsafat pendidikan secara komprehensif adalah langkah awal yang penting bagi siapa pun yang terlibat dalam dunia pendidikan—baik sebagai guru, pengambil kebijakan, maupun akademisi.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76.

[2]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 44–45.

[3]                Robin Barrow dan Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 58.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan merupakan salah satu cabang filsafat terapan yang membahas secara mendalam tentang hakikat, tujuan, dan proses pendidikan. Secara etimologis, kata “filsafat” berasal dari bahasa Yunani philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), sehingga filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Dalam konteks pendidikan, filsafat tidak sekadar menjadi telaah teoretis, tetapi menjadi dasar normatif dan kritis dalam merancang, mengevaluasi, dan merefleksikan segala aktivitas pendidikan.

Menurut Nel Noddings, filsafat pendidikan adalah upaya sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pendidikan: “Apa tujuan pendidikan?” “Apa yang harus diajarkan?” “Siapa yang berhak menentukan isi pendidikan?” “Bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung?”_¹. Filsafat pendidikan, dengan demikian, bertindak sebagai pedoman reflektif yang menuntun setiap keputusan pendidikan agar selaras dengan prinsip-prinsip rasionalitas, nilai, dan kemanusiaan.

John Dewey, seorang tokoh besar dalam filsafat pragmatisme, menekankan bahwa filsafat pendidikan bukan hanya mengenai spekulasi teoretis, tetapi juga praktik sosial yang nyata. Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah proses rekonstruksi pengalaman secara berkelanjutan untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam kehidupan sosial². Dengan demikian, filsafat pendidikan menyatukan teori dan praktik, membentuk visi tentang manusia dan masyarakat yang diinginkan melalui kegiatan belajar-mengajar.

Dalam Islam, filsafat pendidikan juga menempati posisi penting. Al-Ghazali, misalnya, memandang pendidikan sebagai proses penyucian jiwa dan pembentukan akhlak yang mulia. Ia menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat (al-‘ilm al-nafi’) dan proses pembelajaran yang membawa manusia menuju kedekatan dengan Allah³. Demikian pula, Ibnu Sina membedakan antara pendidikan anak dan pendidikan orang dewasa, serta mengembangkan sistematika pengajaran yang sesuai dengan fase perkembangan psikologis manusia⁴. Perspektif ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan memiliki dimensi spiritual dan moral yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam.

Adapun ruang lingkup filsafat pendidikan mencakup tiga dimensi utama filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi, yang masing-masing memberikan kerangka dalam memahami aspek-aspek fundamental pendidikan:

·                     Ontologi pendidikan membahas hakikat manusia, hakikat belajar, dan realitas yang menjadi objek pendidikan. Pertanyaan seperti “Apa itu manusia?”, “Apa hakikat perkembangan?” merupakan bagian dari kajian ontologis.

·                     Epistemologi pendidikan menyangkut bagaimana pengetahuan diperoleh, divalidasi, dan diajarkan. Ini meliputi teori belajar, metode pengajaran, dan hubungan antara guru dan siswa dalam proses memperoleh pengetahuan.

·                     Aksiologi pendidikan membahas nilai-nilai apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan, seperti kebajikan, keadilan, dan kemanusiaan. Di sinilah filsafat pendidikan berperan dalam menentukan nilai yang harus ditanamkan melalui pendidikan formal maupun nonformal⁵.

Secara keseluruhan, filsafat pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai landasan teoretis, tetapi juga sebagai instrumen evaluatif dan transformatif yang memungkinkan sistem pendidikan berkembang secara bermakna dan berkeadilan. Ruang lingkupnya yang luas memungkinkan pengkajian yang mendalam tentang semua aspek pendidikan—dari persoalan kurikulum, strategi pembelajaran, evaluasi, hingga relasi antara peserta didik dan masyarakat.


Footnotes

[1]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 1–5.

[2]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76–78.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 36–38.

[4]                Ibnu Sina, Risalah fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 20–22.

[5]                Robin Barrow dan Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 49–52.


3.           Aliran-Aliran dalam Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan tidak bersifat tunggal; ia berkembang dalam berbagai aliran pemikiran yang mencerminkan pandangan berbeda tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan, metode belajar, serta hubungan antara guru dan peserta didik. Aliran-aliran ini memberikan kerangka teoretis yang mendalam bagi para pendidik dan pembuat kebijakan dalam merancang sistem pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat.

3.1.       Perennialisme

Perennialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang berakar pada pandangan klasik, terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan harus berfokus pada nilai-nilai universal dan kebenaran abadi yang tidak terpengaruh oleh perubahan zaman. Tujuan pendidikan menurut perennialisme adalah membentuk manusia yang rasional dan bermoral melalui penguasaan terhadap karya-karya agung (great books) dan prinsip-prinsip logika serta etika⁽¹⁾.

Dalam praktiknya, pendekatan perennialis menekankan disiplin intelektual yang tinggi dan kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran klasik seperti filsafat, matematika, sastra, dan ilmu pengetahuan dasar. Guru berperan sebagai pengarah dalam proses intelektual, bukan sekadar fasilitator.

3.2.       Esensialisme

Berbeda dengan perennialisme yang menekankan nilai-nilai abadi, esensialisme lebih berfokus pada kebutuhan praktis masyarakat modern. Esensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan progresif, dengan menekankan pentingnya penguasaan dasar-dasar akademik seperti membaca, menulis, matematika, dan sains sebagai inti dari kurikulum⁽²⁾. Tujuannya adalah membentuk individu yang mampu beradaptasi dan produktif dalam lingkungan sosial dan ekonomi yang kompleks.

Menurut William C. Bagley, salah satu tokoh esensialisme, pendidikan harus bersifat objektif, terstruktur, dan berorientasi pada hasil, dengan guru sebagai otoritas utama dalam kelas yang menanamkan pengetahuan dan disiplin⁽³⁾.

3.3.       Progresivisme

Progresivisme berakar pada filsafat pragmatisme, terutama dari pemikiran John Dewey. Aliran ini menekankan pentingnya pengalaman dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan bukanlah transmisi informasi, melainkan proses aktif yang berpusat pada siswa dan dunia nyata. Dalam progresivisme, siswa didorong untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan terlibat dalam pembelajaran yang bermakna⁽⁴⁾.

Progresivisme menolak sistem pendidikan yang otoriter dan dogmatis. Ia lebih menekankan dialog, kerja sama, dan fleksibilitas kurikulum. Guru berperan sebagai pembimbing yang memfasilitasi eksplorasi siswa terhadap lingkungan dan persoalan sosial yang dihadapi.

3.4.       Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme adalah aliran pendidikan yang sangat menekankan peran pendidikan dalam menciptakan perubahan sosial. Tokohnya seperti George Counts dan Theodore Brameld melihat pendidikan sebagai alat untuk merekonstruksi masyarakat menuju keadilan sosial dan kemanusiaan yang lebih baik⁽⁵⁾. Pendidikan dalam perspektif ini tidak netral, tetapi bersifat transformatif dan ideologis.

Kurikulum rekonstruksionis memuat isu-isu kontemporer seperti kemiskinan, ketimpangan, rasialisme, dan kerusakan lingkungan. Tujuannya adalah membangun kesadaran kritis dan komitmen etis siswa terhadap perubahan struktural dalam masyarakat.

3.5.       Eksistensialisme

Eksistensialisme dalam pendidikan menekankan kebebasan individu, subjektivitas, dan tanggung jawab personal. Tokoh seperti Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Martin Buber memandang bahwa pendidikan harus membantu peserta didik menemukan makna hidup mereka sendiri dalam dunia yang absurd dan penuh pilihan⁽⁶⁾.

Dalam praktik pendidikan eksistensialis, guru tidak mendiktekan nilai atau kebenaran mutlak, melainkan membuka ruang dialog dan refleksi eksistensial. Kurikulum bersifat terbuka dan fleksibel, disesuaikan dengan minat dan keunikan siswa.

3.6.       Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menilai kebenaran berdasarkan kegunaannya dalam kehidupan nyata. Dalam pendidikan, pragmatisme menekankan pembelajaran berbasis pengalaman, eksperimen, dan refleksi. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah proses kehidupan, bukan persiapan untuk hidup⁽⁷⁾. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi miniature society tempat siswa belajar melalui interaksi sosial dan pemecahan masalah.

Pendidikan pragmatis bersifat demokratis dan terbuka terhadap perubahan. Ia menolak absolutisme pengetahuan dan mendorong peserta didik untuk aktif dalam membentuk pemahaman mereka sendiri terhadap dunia.

3.7.       Filsafat Pendidikan Islam

Dalam konteks Islam, filsafat pendidikan mengintegrasikan antara wahyu dan akal, spiritualitas dan rasionalitas. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah pembentukan insan kamil—manusia paripurna yang seimbang antara aspek jasmani, akal, dan ruhani⁽⁸⁾.

Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas menekankan bahwa pendidikan adalah proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), penanaman adab, dan pengetahuan yang menuntun manusia kepada kebenaran ilahiyah. Dalam pandangan Al-Attas, pendidikan Islam bertujuan untuk “menghasilkan manusia baik, bukan semata-mata warga negara yang baik”⁽⁹⁾.


Footnotes

[1]                Robert M. Hutchins, The Conflict in Education in a Democratic Society (New York: Harper & Brothers, 1953), 66–67.

[2]                H. J. Perkinson, The Imperfect Panacea: American Faith in Education 1865–1965 (New York: McGraw-Hill, 1968), 132.

[3]                William C. Bagley, Education and Emergent Man (New York: Thomas Y. Crowell, 1934), 42.

[4]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–26.

[5]                George S. Counts, Dare the School Build a New Social Order? (New York: John Day Company, 1932), 5–7.

[6]                David E. Cooper, Existentialism: A Reconstruction (Oxford: Blackwell, 1990), 88–90.

[7]                John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916), 76.

[8]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 38.

[9]                Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 15.


4.           Dimensi Epistemologis Filsafat Pendidikan

Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang asal-usul, sifat, batas, dan validitas pengetahuan, memegang peranan penting dalam filsafat pendidikan. Dimensi epistemologis memberikan kerangka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam dunia pendidikan: Apa itu pengetahuan? Bagaimana pengetahuan diperoleh dan divalidasi? Bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan kepada peserta didik? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berimplikasi langsung pada kurikulum, metode pengajaran, dan pendekatan pembelajaran di kelas.

Dalam tradisi filsafat Barat, epistemologi telah berkembang sejak masa Yunani kuno. Plato, misalnya, membedakan antara doxa (opini) dan episteme (pengetahuan sejati), dan menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mengarahkan jiwa manusia keluar dari dunia bayang-bayang menuju cahaya kebenaran⁽¹⁾. Pandangan ini menekankan bahwa pendidikan harus mencerdaskan akal untuk mencapai bentuk pengetahuan yang lebih tinggi. Sementara itu, John Locke dalam empirismenya memandang bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi, dan pikiran manusia ibarat tabula rasa—lembar kosong yang diisi oleh pengalaman⁽²⁾. Pandangan ini mendasari banyak pendekatan pedagogis modern yang menekankan pembelajaran berbasis pengalaman.

Dalam konteks filsafat pendidikan, pendekatan epistemologis membantu menjelaskan bagaimana pengetahuan seharusnya diajarkan dan dipahami. Dua pendekatan besar sering menjadi rujukan: pendekatan objektivis dan pendekatan konstruktivis. Pendekatan objektivis berpandangan bahwa pengetahuan bersifat tetap, universal, dan dapat ditransfer dari guru ke murid. Sementara pendekatan konstruktivis meyakini bahwa pengetahuan dibentuk secara aktif oleh individu berdasarkan interaksi mereka dengan lingkungan sosial dan budaya⁽³⁾.

Jean Piaget, seorang tokoh penting dalam psikologi dan epistemologi genetik, menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif yang melibatkan asimilasi dan akomodasi terhadap informasi baru. Dalam perspektif ini, anak bukan penerima pasif, melainkan subjek aktif yang membentuk pemahamannya sendiri⁽⁴⁾. Sementara itu, Lev Vygotsky, dengan teori sociocultural learning, menekankan bahwa konstruksi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan budaya, serta pentingnya zone of proximal development (ZPD)⁽⁵⁾. Pendekatan ini kemudian menjadi landasan bagi praktik pendidikan kolaboratif dan dialogis.

Dalam tradisi Islam, epistemologi pendidikan juga memiliki akar yang mendalam. Sumber utama pengetahuan adalah wahyu (al-Qur’an), akal, dan pengalaman. Al-Ghazali menempatkan intuisi spiritual (kasyf) sebagai bentuk pengetahuan tertinggi, yang diperoleh melalui penyucian jiwa dan pendekatan kepada Tuhan⁽⁶⁾. Ibnu Khaldun juga menekankan pentingnya akal dan metode ilmiah dalam membentuk pemahaman terhadap dunia empiris, tanpa mengabaikan sumber wahyu⁽⁷⁾. Pandangan ini memberikan dasar epistemologis bagi sistem pendidikan Islam yang seimbang antara rasionalitas dan spiritualitas.

Implikasi epistemologis dalam pendidikan sangat signifikan. Pilihan pendekatan epistemologis akan menentukan bagaimana kurikulum disusun, bagaimana guru berperan, dan bagaimana siswa diposisikan dalam proses pembelajaran. Jika guru dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran (epistemologi objektif), maka model pembelajarannya akan bersifat satu arah dan dogmatis. Sebaliknya, jika pengetahuan dianggap sebagai konstruksi sosial dan individual, maka pembelajaran akan bersifat partisipatif, kontekstual, dan reflektif.

Dalam dunia pendidikan kontemporer, kombinasi pendekatan epistemologis sering digunakan untuk menjawab tantangan zaman. Penggunaan teknologi informasi, misalnya, telah melahirkan bentuk-bentuk pengetahuan baru yang menuntut fleksibilitas dalam pendekatan epistemologis. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap dimensi epistemologi dalam filsafat pendidikan menjadi syarat penting bagi pendidik dan pembuat kebijakan dalam merancang sistem pendidikan yang adaptif, relevan, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 186–187.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1996), 33–36.

[3]                Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 65–66.

[4]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, trans. Margaret Cook (New York: International Universities Press, 1952), 12–14.

[5]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, eds. Michael Cole et al. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–91.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 45–46.

[7]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 350–352.


5.           Dimensi Aksiologis Filsafat Pendidikan

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai—baik nilai moral, etika, estetika, maupun nilai-nilai sosial yang melekat dalam tindakan manusia. Dalam konteks filsafat pendidikan, aksiologi berperan penting dalam menentukan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak ditanamkan, serta etika dalam proses pembelajaran dan hubungan antar individu di dalam lingkungan pendidikan. Tanpa dasar aksiologis yang kuat, pendidikan berisiko menjadi instrumen teknokratis yang hampa dari makna moral dan arah etik.

Menurut Nel Noddings, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga peduli dan bermoral. Ia menekankan pentingnya ethics of care dalam pendidikan, yaitu pendekatan yang menempatkan kasih sayang, perhatian, dan tanggung jawab sebagai inti relasi antara guru dan siswa¹. Perspektif ini mencerminkan dimensi aksiologis yang menjadikan pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter dan pembinaan manusia seutuhnya.

Tujuan pendidikan tidak pernah netral secara nilai. Setiap sistem pendidikan selalu memuat muatan nilai tertentu—entah eksplisit maupun implisit. Dalam sistem liberal, pendidikan cenderung menekankan pada nilai kebebasan individu dan otonomi berpikir. Dalam sistem sosialis, nilai-nilai seperti kolektivitas, keadilan sosial, dan solidaritas lebih dikedepankan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pilihan pedagogis dan kebijakan pendidikan senantiasa berakar pada keyakinan nilai tertentu².

Dalam konteks Indonesia, dimensi aksiologis pendidikan sangat terkait dengan falsafah Pancasila, yang menekankan nilai Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan musyawarah. Nilai-nilai ini seharusnya menjadi fondasi dalam pembentukan kurikulum, strategi pembelajaran, dan pembinaan peserta didik agar memiliki jati diri kebangsaan yang kuat dan mampu berkontribusi secara etis dalam masyarakat³.

Aksiologi pendidikan juga menjangkau pada aspek keadilan dan inklusivitas. Bagaimana pendidikan memperlakukan siswa dari latar belakang yang berbeda? Apakah sistem pendidikan mencerminkan nilai keadilan sosial, atau justru mereproduksi ketimpangan? Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan tradisional sebagai bersifat "menindas" karena tidak memungkinkan peserta didik untuk berpikir kritis dan membebaskan diri dari struktur dominasi. Baginya, pendidikan harus menjadi praktik pembebasan—proses sadar nilai yang menumbuhkan kesetaraan dan keberdayaan⁴.

Dari sudut pandang filsafat Islam, dimensi aksiologis pendidikan menekankan pentingnya pembentukan adab, bukan sekadar pengetahuan (ilmu). Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan yang benar adalah penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, sehingga peserta didik bukan hanya mengetahui apa yang benar, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk melakukan yang benar⁵. Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran esensial dalam membentuk kesalehan pribadi dan sosial.

Secara praktis, dimensi aksiologis ini menjadi dasar dalam:

·                     Menentukan visi dan misi pendidikan,

·                     Merancang kurikulum berbasis nilai,

·                     Mengembangkan pendidikan karakter,

·                     Membangun relasi etis dalam komunitas pendidikan, dan

·                     Merumuskan standar evaluasi yang tidak hanya menilai kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan moral.

Dalam era globalisasi dan krisis nilai dewasa ini, semakin nyata bahwa pendidikan tidak cukup hanya mengembangkan kompetensi intelektual dan keterampilan teknis. Ia harus menyentuh dimensi terdalam dari kemanusiaan: kesadaran etis, tanggung jawab sosial, dan keberanian moral. Oleh karena itu, penguatan aksiologi pendidikan merupakan kebutuhan mendesak agar pendidikan tetap bermakna, kontekstual, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 181–183.

[2]                Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 83–85.

[3]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galangpress, 2004), 17–19.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–73.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 9–10.


6.           Peran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Kurikulum

Filsafat pendidikan memiliki peran mendasar dalam proses pengembangan kurikulum karena ia menyediakan kerangka konseptual dan normatif yang menuntun arah, isi, dan strategi pendidikan. Kurikulum bukan sekadar daftar mata pelajaran atau rencana pembelajaran teknis, tetapi merupakan manifestasi dari serangkaian pilihan nilai, asumsi tentang hakikat pengetahuan, tujuan pendidikan, serta pandangan tentang manusia dan masyarakat yang ingin dibentuk. Oleh karena itu, setiap sistem kurikulum, baik yang eksplisit maupun implisit, selalu berpijak pada landasan filosofis tertentu.

Menurut George F. Kneller, filsafat pendidikan berfungsi sebagai dasar ideologis dan logis dari kurikulum, yang menjawab pertanyaan: apa yang harus diajarkan, mengapa diajarkan, dan bagaimana cara mengajarkannya¹. Dalam pengertian ini, filsafat menentukan arah pendidikan yang hendak dicapai dan mempengaruhi pemilihan isi serta metode pengajaran yang sesuai. Misalnya, jika suatu sistem pendidikan mengadopsi pandangan pragmatis, maka kurikulumnya cenderung menekankan pada pengalaman nyata, pemecahan masalah, dan pendekatan interdisipliner.

Aliran filsafat seperti perennialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme memiliki implikasi langsung terhadap desain kurikulum. Perennialisme dan esensialisme mendorong kurikulum yang bersifat akademis, menekankan penguasaan terhadap pengetahuan klasik dan kemampuan berpikir logis. Sebaliknya, progresivisme dan rekonstruksionisme mendorong kurikulum yang bersifat dinamis, kontekstual, dan responsif terhadap realitas sosial⁽²⁾. Ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan bukan hanya memengaruhi isi kurikulum, tetapi juga karakter, struktur, dan pendekatan pedagogisnya.

Selain itu, filsafat pendidikan juga berperan dalam menentukan tujuan kurikulum. Tujuan pendidikan yang bersifat behavioristik, humanistik, atau transformatif mencerminkan dasar filosofis yang berbeda. Misalnya, tujuan untuk membentuk manusia yang kompeten secara teknis mungkin berakar pada positivisme; sedangkan tujuan untuk membentuk pribadi yang beradab dan bermoral menunjukkan pengaruh filsafat humanistik atau spiritualistik⁽³⁾. Di sinilah filsafat pendidikan menyediakan kriteria normatif untuk mengevaluasi apakah tujuan pendidikan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, filsafat pendidikan nasional didasarkan pada Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Pancasila memberikan nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman dalam pengembangan kurikulum nasional: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial⁽⁴⁾. Nilai-nilai ini termanifestasi dalam kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter, sikap kebangsaan, dan kepedulian sosial.

Dalam filsafat pendidikan Islam, kurikulum dipandang sebagai sarana untuk membentuk insan kamil—manusia paripurna yang memiliki keselarasan antara akal, hati, dan tindakan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan bahwa tujuan utama kurikulum dalam pendidikan Islam adalah untuk menanamkan adab dan membedakan antara ilmu yang benar dengan yang palsu⁽⁵⁾. Dengan demikian, setiap komponen kurikulum harus disusun berdasarkan hierarki pengetahuan yang diorientasikan pada kebenaran ilahiyah, bukan sekadar keahlian duniawi.

Dalam praktiknya, pengembangan kurikulum berbasis filsafat pendidikan mencakup:

·                     Penentuan visi dan misi pendidikan yang mencerminkan nilai filosofis tertentu,

·                     Pemilihan konten dan struktur materi berdasarkan pandangan tentang apa yang dianggap penting untuk diketahui siswa,

·                     Perancangan strategi pedagogis yang selaras dengan pandangan tentang cara terbaik manusia belajar,

·                     Penerapan sistem evaluasi yang tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi juga proses pembentukan nilai dan karakter siswa.

Dengan demikian, filsafat pendidikan bukan hanya menjadi acuan awal dalam perumusan kurikulum, tetapi terus berperan dalam proses refleksi dan evaluasi kurikulum agar senantiasa relevan, humanistik, dan transformatif di tengah dinamika sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan.


Footnotes

[1]                George F. Kneller, Foundations of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 78–80.

[2]                H. A. Ozmon and S. M. Craver, Philosophical Foundations of Education, 9th ed. (Boston: Pearson, 2011), 131–136.

[3]                Robin Barrow and Ronald Woods, An Introduction to Philosophy of Education, 4th ed. (London: Routledge, 2006), 96–98.

[4]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galangpress, 2004), 27.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 12–14.


7.           Filsafat Pendidikan dalam Konteks Global dan Lokal

Dalam era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi, mobilitas informasi, dan integrasi ekonomi, pendidikan mengalami transformasi besar-besaran baik dalam bentuk, isi, maupun tujuannya. Filsafat pendidikan, dalam konteks ini, dituntut untuk memberikan arah normatif dan refleksi kritis terhadap berbagai dinamika global sekaligus tetap menjaga relevansi terhadap nilai-nilai lokal. Oleh karena itu, pemikiran filsafat pendidikan tidak hanya berlaku dalam ruang akademik semata, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer, baik di tingkat global maupun lokal.

7.1.       Filsafat Pendidikan dalam Konteks Global

Globalisasi telah membawa perubahan dalam orientasi pendidikan di berbagai negara. Standarisasi kurikulum, kompetisi global, dan tuntutan efisiensi dalam dunia kerja membuat pendidikan semakin diarahkan untuk mencetak individu yang marketable secara internasional. Fenomena ini mendorong pendidikan ke arah neoliberalisasi, di mana nilai ekonomi mendominasi orientasi kebijakan pendidikan⁽¹⁾. Dalam kerangka ini, filsafat pendidikan perlu hadir sebagai kekuatan korektif yang menolak reduksi pendidikan menjadi sekadar alat produksi ekonomi.

Henry A. Giroux menyuarakan perlunya “pendidikan kritis” yang membekali peserta didik dengan kemampuan untuk memahami realitas sosial secara reflektif, membebaskan diri dari struktur dominasi, dan berpartisipasi dalam perubahan sosial⁽²⁾. Pandangan ini menggarisbawahi pentingnya filsafat pendidikan sebagai instrumen pembebasan (liberatory education) yang tidak tunduk pada tekanan globalisasi yang homogen dan pragmatis.

Selain itu, dalam konteks global, terdapat tantangan besar berupa krisis lingkungan, migrasi besar-besaran, konflik budaya, serta ancaman terhadap identitas dan spiritualitas manusia. Semua ini menuntut pendidikan untuk mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme, keberlanjutan, dan spiritualitas global, yang hanya dapat dirumuskan melalui pendekatan filosofis yang mendalam dan lintas disiplin⁽³⁾.

7.2.       Filsafat Pendidikan dalam Konteks Lokal (Indonesia)

Sementara itu, dalam konteks lokal, pendidikan di Indonesia menghadapi kompleksitas tersendiri: ketimpangan akses dan mutu pendidikan, lemahnya literasi kritis, komersialisasi lembaga pendidikan, serta tantangan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan di tengah derasnya arus budaya global. Dalam hal ini, filsafat pendidikan berperan penting untuk menjaga jati diri bangsa melalui internalisasi nilai-nilai luhur lokal yang tertuang dalam falsafah Pancasila, tradisi keislaman, dan kearifan budaya Nusantara.

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki potensi filosofis yang kuat dalam membentuk kurikulum dan praksis pendidikan. Nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan sosial, dan musyawarah mengandung prinsip-prinsip pedagogis yang humanistik, demokratis, dan holistik⁽⁴⁾. Sayangnya, dalam praktiknya, nilai-nilai ini sering kali terpinggirkan oleh pendekatan teknokratis dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu, filsafat pendidikan nasional harus dikembangkan sebagai kekuatan etis dan ideologis yang menjiwai setiap kebijakan pendidikan.

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, filsafat pendidikan Islam berperan penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, intelektual, dan sosial. Pendidikan tidak hanya bertujuan membentuk manusia yang cakap secara duniawi, tetapi juga sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Hal ini tercermin dalam konsep pendidikan tauhidi yang menempatkan seluruh aktivitas pendidikan dalam kerangka penghambaan kepada Tuhan dan pemuliaan martabat manusia⁽⁵⁾.

7.3.       Dialektika Global-Lokal dalam Pendidikan

Tantangan utama pendidikan saat ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap nilai-nilai global dan pelestarian nilai-nilai lokal. Proses ini dikenal dengan istilah glokalisasi—yakni mengintegrasikan dinamika global ke dalam konteks lokal secara kritis. Dalam kerangka ini, filsafat pendidikan berfungsi sebagai “jembatan reflektif” yang menimbang mana nilai global yang dapat diadopsi tanpa menghilangkan akar budaya dan kearifan lokal.

Pendidikan yang berlandaskan filsafat tidak akan terjebak dalam dikotomi sempit antara modernitas dan tradisi, tetapi justru akan memfasilitasi dialog antarnilai untuk melahirkan sistem pendidikan yang inklusif, kontekstual, dan berkeadilan. Oleh sebab itu, diperlukan perumusan paradigma filsafat pendidikan yang transformatif—yang tidak hanya responsif terhadap perkembangan zaman, tetapi juga berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                Stephen J. Ball, Education PLC: Understanding Private Sector Participation in Public Sector Education (London: Routledge, 2007), 33–35.

[2]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Continuum, 2011), 4–6.

[3]                Michael Peters, Tina Besley, and Daniel Araya, The Global Financial Crisis and Educational Policy Reform (New York: Peter Lang, 2010), 91–94.

[4]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 27–30.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 13–14.


8.           Relevansi Filsafat Pendidikan di Era Kontemporer

Di tengah kompleksitas kehidupan modern yang ditandai oleh percepatan teknologi, perubahan nilai sosial, krisis ekologi, dan fragmentasi identitas, filsafat pendidikan kembali menjadi kebutuhan mendesak. Dunia pendidikan tidak dapat lagi dijalankan semata-mata atas dasar efisiensi teknis dan target kuantitatif, tetapi harus berakar pada landasan filosofis yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apa makna pendidikan? Untuk siapa pendidikan dijalankan? Nilai apa yang harus dikembangkan? Inilah yang menjadikan filsafat pendidikan sangat relevan di era kontemporer.

Filsafat pendidikan memberikan arah dan makna dalam dunia yang semakin instrumental. Dalam sistem pendidikan yang cenderung terdorong oleh logika pasar dan teknologi, terdapat bahaya bahwa pendidikan akan tereduksi menjadi sekadar sarana memproduksi tenaga kerja terampil, bukan pembentukan manusia seutuhnya⁽¹⁾. Filsafat pendidikan hadir untuk mengingatkan kembali bahwa pendidikan adalah proses pemanusiaan (humanisasi) yang harus berakar pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Henry A. Giroux menekankan bahwa pendidikan tidak pernah netral secara ideologis. Ia adalah medan pertarungan makna, tempat berbagai kepentingan dan nilai dipertarungkan. Oleh karena itu, pendidikan harus dibingkai oleh kesadaran kritis dan refleksi filosofis agar tidak menjadi alat dominasi struktur kekuasaan atau kepentingan ekonomi global⁽²⁾. Filsafat pendidikan dalam konteks ini memberikan perangkat konseptual bagi peserta didik dan pendidik untuk mengembangkan daya nalar kritis dan sikap etis terhadap realitas yang dihadapi.

Relevansi filsafat pendidikan juga tampak dalam kemampuannya untuk menanggapi krisis nilai dan identitas di era digital. Masyarakat global saat ini menghadapi gelombang dehumanisasi akibat dominasi media sosial, konsumsi informasi instan, dan degradasi empati sosial. Filsafat pendidikan menantang para pendidik untuk mengembangkan kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang menumbuhkan kepekaan etis, kemampuan berpikir mendalam (deep thinking), serta orientasi spiritual dan ekologis yang kuat⁽³⁾.

Dalam konteks Indonesia, filsafat pendidikan sangat relevan untuk merespons tantangan-tantangan lokal seperti radikalisme, dekadensi moral, ketimpangan pendidikan, serta krisis karakter generasi muda. Pendidikan yang hanya menekankan pada aspek kognitif telah terbukti gagal dalam membentuk generasi yang berintegritas dan bertanggung jawab secara sosial. Filsafat pendidikan, melalui pendekatan aksiologis dan etikanya, menawarkan landasan untuk membangun sistem pendidikan yang berkarakter, humanis, dan inklusif⁽⁴⁾.

Lebih jauh, filsafat pendidikan juga berperan dalam memperkuat agency (daya pengaruh dan partisipasi) para guru. Guru bukanlah sekadar pelaksana kurikulum, tetapi merupakan subjek reflektif yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan visi pendidikan yang kontekstual dan bermakna. Dalam kerangka ini, filsafat pendidikan mengajak guru untuk terus bertanya, merenung, dan mengkaji ulang praktik-praktik pedagogisnya dengan perspektif yang kritis dan etis⁽⁵⁾.

Di tengah tantangan kecerdasan buatan (AI), pendidikan berbasis data, dan pembelajaran digital, filsafat pendidikan dibutuhkan untuk memastikan bahwa teknologi tetap dikendalikan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa kerangka filosofis yang kuat, teknologi berpotensi menjauhkan pendidikan dari maknanya yang sejati. Oleh karena itu, filsafat pendidikan bertugas mengawasi, mengarahkan, dan mengontekstualisasikan inovasi teknologi agar selaras dengan tujuan luhur pendidikan.

Dengan demikian, filsafat pendidikan bukanlah ilmu masa lalu yang usang, melainkan panduan intelektual dan moral yang sangat dibutuhkan dalam menyusun masa depan pendidikan yang lebih bermakna, adil, dan manusiawi. Ia bukan sekadar teori, melainkan alat untuk membebaskan manusia dari ketidaksadaran dan ketertundukan terhadap struktur sosial yang tidak adil.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–10.

[2]                Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New York: Continuum, 2011), 14–16.

[3]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 187–189.

[4]                Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galangpress, 2004), 32–35.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage (Lanham: Rowman & Littlefield, 1998), 24–26.


9.           Simpulan

Filsafat pendidikan bukan sekadar cabang filsafat yang bersifat spekulatif atau teoretis, melainkan sebuah perangkat intelektual dan normatif yang sangat vital bagi pengembangan sistem pendidikan yang bermakna, bernilai, dan berkeadaban. Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, filsafat pendidikan mampu memberikan landasan yang kokoh terhadap berbagai elemen pendidikan seperti kurikulum, metode pembelajaran, peran pendidik, hingga tujuan pendidikan itu sendiri.

Dari perspektif historis maupun kontemporer, filsafat pendidikan telah menunjukkan perannya sebagai penjaga arah dan makna pendidikan di tengah berbagai tantangan zaman—mulai dari industrialisasi, globalisasi, neoliberalisme, hingga era digital dan kecerdasan buatan. Filsafat pendidikan memberikan kesadaran kritis terhadap reduksi pendidikan menjadi alat ekonomi semata, dan menegaskan kembali pendidikan sebagai proses pemanusiaan yang mendalam⁽¹⁾.

Berbagai aliran dalam filsafat pendidikan seperti perennialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme telah memberikan kerangka konseptual yang beragam dalam memahami hakikat pendidikan. Masing-masing menawarkan pandangan tentang bagaimana manusia seharusnya dididik, apa yang harus diajarkan, dan bagaimana cara mencapainya. Sementara itu, filsafat pendidikan Islam memberikan dimensi spiritual dan transendental yang memperkaya cakrawala pendidikan melalui penekanan pada adab, kesatuan ilmu, dan tujuan hidup yang berorientasi pada kebenaran ilahiyah⁽²⁾.

Filsafat pendidikan juga sangat relevan dalam pengembangan kurikulum yang tidak hanya responsif terhadap kebutuhan pasar kerja, tetapi juga berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Nilai-nilai lokal seperti Pancasila serta warisan budaya dan keislaman di Indonesia harus terus dikontekstualisasikan dalam kerangka global agar tidak tercerabut dari akar jati diri bangsa⁽³⁾.

Di era kontemporer yang sarat akan krisis makna, filsafat pendidikan menjadi penting dalam membekali peserta didik—dan juga pendidik—dengan orientasi nilai yang kuat, kemampuan berpikir kritis, serta kepekaan etis dalam menghadapi persoalan-persoalan kompleks yang tidak bisa dijawab semata dengan teknokrasi dan instrumen ekonomi. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan; pendidikan yang menumbuhkan kesadaran untuk mengubah dunia secara manusiawi dan berkeadilan⁽⁴⁾.

Akhirnya, filsafat pendidikan harus terus dihidupkan dalam ruang akademik, ruang kebijakan, dan terutama ruang kelas. Ia adalah napas yang memberi arah, nilai, dan makna terhadap seluruh proses pendidikan. Tanpa filsafat, pendidikan akan kehilangan jiwa; ia mungkin tetap berjalan, tetapi tak lagi tahu ke mana dan untuk apa ia menuju⁽⁵⁾.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–19.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 11–13.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 31–34.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81–82.

[5]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 190.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Ghazali. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 1). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Ball, S. J. (2007). Education PLC: Understanding private sector participation in public sector education. London: Routledge.

Barrow, R., & Woods, R. (2006). An introduction to philosophy of education (4th ed.). London: Routledge.

Counts, G. S. (1932). Dare the school build a new social order? New York: John Day Company.

Cooper, D. E. (1990). Existentialism: A reconstruction. Oxford: Blackwell.

Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang memiskinkan. Yogyakarta: Galangpress.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York: Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Macmillan.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Giroux, H. A. (2011). On critical pedagogy. New York: Continuum.

Hutchins, R. M. (1953). The conflict in education in a democratic society. New York: Harper & Brothers.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Ibnu Sina. (1992). Risalah fi al-Tarbiyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kneller, G. F. (1971). Foundations of education. New York: John Wiley & Sons.

Locke, J. (1996). An essay concerning human understanding (K. P. Winkler, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing Company. (Original work published 1690)

Noddings, N. (2007). Philosophy of education (2nd ed.). Boulder, CO: Westview Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Ozmon, H. A., & Craver, S. M. (2011). Philosophical foundations of education (9th ed.). Boston, MA: Pearson.

Peters, M. A., Besley, T., & Araya, D. (2010). The global financial crisis and educational policy reform. New York: Peter Lang.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children (M. Cook, Trans.). New York: International Universities Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing Company.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes (M. Cole et al., Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar