Sabtu, 09 November 2024

Objek Material Filsafat: Hakikat, Ruang Lingkup, dan Relevansinya dalam Kajian Filsafat Kontemporer

Objek Material Filsafat

Hakikat, Ruang Lingkup, dan Relevansinya dalam Kajian Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Objek Kajian Filsafat.


Abstrak

Kajian ini membahas secara komprehensif tentang objek material filsafat, yaitu segala sesuatu yang menjadi bahan kajian filsafat, mulai dari realitas metafisik hingga persoalan kontemporer seperti teknologi, ekologi, dan identitas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hakikat dan klasifikasi objek material filsafat, membedakannya dari objek formal, serta menelusuri peranannya dalam pembentukan cabang-cabang filsafat dan perkembangannya di era modern. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan studi pustaka terhadap karya-karya filsuf klasik dan kontemporer, tulisan ini menegaskan bahwa objek material filsafat bersifat dinamis, kontekstual, dan terbuka terhadap perubahan realitas sosial dan ilmiah. Artikel ini juga menggarisbawahi tantangan dan perluasan objek material di tengah interdisipliner ilmu dan krisis eksistensial manusia modern. Dengan demikian, refleksi terhadap objek material filsafat menjadi kunci untuk mempertahankan relevansi dan vitalitas filsafat sebagai medan pemikiran kritis dan normatif dalam dunia yang terus berubah.

Kata Kunci: Objek material filsafat; objek formal; cabang filsafat; dinamika filsafat kontemporer; filsafat interdisipliner; realitas; makna; eksistensi.


PEMBAHASAN

Menelusuri Objek Material Filsafat


1.           Pendahuluan

Filsafat, sebagai disiplin ilmu yang paling mendasar dan menyeluruh, tidak hanya bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi, pengetahuan, nilai, dan realitas, tetapi juga menyusun kerangka berpikir sistematis terhadap segala aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek pokok dalam studi filsafat adalah pemahaman terhadap objek kajian, yang secara tradisional diklasifikasikan menjadi dua bagian utama: objek material dan objek formal. Keduanya memiliki kedudukan penting dalam membedakan filsafat dari ilmu pengetahuan lain serta dalam menentukan arah dan corak pendekatan berpikir filosofis terhadap realitas.

Objek material filsafat merujuk pada apa yang dikaji oleh filsafat, yakni realitas atau keberadaan pada umumnya, termasuk manusia, alam semesta, pengetahuan, nilai, dan Tuhan. Objek material ini bersifat sangat luas dan menyeluruh karena mencakup segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (ens). Filsuf Indonesia seperti Kaelan menekankan bahwa objek material filsafat adalah “segala sesuatu yang ada” yang menjadi bahan renungan mendalam untuk dicari maknanya secara rasional dan sistematis.1 Filsafat tidak membatasi dirinya hanya pada aspek-aspek empiris dari realitas, melainkan mencoba menyelami hakikat terdalam dari realitas itu sendiri, baik yang konkret maupun yang abstrak.

Pentingnya kajian terhadap objek material dalam filsafat dapat dilihat dalam bagaimana manusia, misalnya, menjadi subjek eksplorasi dari berbagai cabang filsafat seperti filsafat manusia, etika, dan eksistensialisme. Di sisi lain, realitas alam dan semesta menjadi perhatian utama dalam filsafat alam dan filsafat kosmologi. Pendekatan seperti ini membedakan filsafat dari sains yang lebih bersifat partikular dan empirik. Harold H. Titus dan Marilyn Smith menyatakan bahwa filsafat adalah "usaha sistematik untuk memahami hubungan manusia dengan alam semesta,"_2 dan pemahaman ini hanya dapat diperoleh dengan terlebih dahulu mengenali objek-objek material yang menjadi pusat perhatian filsafat.

Dalam ranah filsafat kontemporer, pembahasan tentang objek material semakin diperluas dan diperdalam seiring berkembangnya isu-isu global dan kemajuan teknologi. Misalnya, filsafat kini tidak hanya mengkaji manusia dalam kerangka metafisik atau moral, tetapi juga dalam konteks sosial-politik, ekologi, bahkan digital. Hal ini menunjukkan bahwa refleksi filsafat terhadap objek materialnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan zaman. Sebagaimana dijelaskan oleh K. Bertens, bahwa objek material filsafat tidak terbatas pada apa yang dikaji secara tradisional, melainkan turut menyesuaikan dengan persoalan-persoalan aktual dalam kehidupan manusia masa kini.3

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang objek material filsafat, meliputi definisi, klasifikasi, dan peranannya dalam cabang-cabang filsafat. Selain itu, akan ditelaah pula relevansi objek material ini dalam dinamika pemikiran filsafat kontemporer, termasuk tantangan-tantangan interdisipliner yang mengaburkan batas antara filsafat dan ilmu lainnya. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan telaah literatur yang kredibel, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi akademik terhadap pemahaman filsafat sebagai disiplin reflektif dan fundamental.


Footnotes

[1]                Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.

[2]                Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 5.

[3]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 14.


2.           Definisi Objek Material Filsafat

Dalam studi filsafat, konsep tentang objek kajian menjadi hal fundamental yang membedakan filsafat dari disiplin ilmu lainnya. Secara umum, filsafat memiliki dua objek kajian utama: objek material dan objek formal. Objek material merujuk pada apa yang dikaji oleh filsafat, sedangkan objek formal menunjuk pada cara atau sudut pandang filsafat dalam mengkaji objek tersebut.1 Pemahaman yang tepat mengenai objek material filsafat sangat penting karena menentukan keluasan dan kedalaman cakupan refleksi filosofis.

2.1.       Pengertian Umum Objek Material Filsafat

Objek material dalam filsafat dipahami sebagai segala sesuatu yang menjadi bahan kajian, atau dengan kata lain, realitas yang ada (being atau ens). Kaelan menyatakan bahwa objek material filsafat adalah “segala sesuatu yang ada, baik yang tampak (fisik) maupun tidak tampak (metafisik), yang menjadi bahan perenungan mendalam secara rasional dan sistematis.”_2 Dalam pengertian ini, filsafat tidak membatasi dirinya hanya pada hal-hal yang empiris, tetapi mencakup pula aspek transenden dan metafisik seperti Tuhan, jiwa, atau nilai moral.

Ahmad Tafsir menegaskan bahwa objek material filsafat bersifat komprehensif dan universal, mencakup semua hal yang bisa dipikirkan oleh akal manusia. Ia mencontohkan bahwa baik manusia, alam semesta, Tuhan, maupun nilai-nilai moral, semuanya bisa dijadikan bahan kajian filsafat karena termasuk ke dalam "yang ada."_3

2.2.       Objek Material Filsafat vs. Objek Material Ilmu Lain

Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang memiliki objek material yang terbatas dan khusus (misalnya, biologi mengkaji makhluk hidup, fisika mengkaji benda dan energi), filsafat memiliki objek material yang bersifat menyeluruh dan tidak terbatas pada satu jenis realitas tertentu. Harold H. Titus menekankan bahwa filsafat mencoba mengkaji “realitas sebagai keseluruhan,”_4 bukan sekadar aspek-aspek tertentu dari realitas sebagaimana dilakukan ilmu-ilmu parsial. Oleh karena itu, filsafat sering kali disebut sebagai ilmu universal (universalis scientia) atau mother of sciences karena mampu mencakup dan menilai secara reflektif keseluruhan bidang keilmuan.

Dalam konteks ini, objek material filsafat tidak hanya luas tetapi juga fleksibel. Ia mampu menyesuaikan diri dengan kompleksitas perkembangan pemikiran dan realitas. Filsafat dapat membahas manusia dari sisi ontologis, epistemologis, etis, dan estetis sekaligus, yang tidak mungkin dilakukan oleh ilmu empiris yang cenderung sektoral.

2.3.       Konteks Historis Pengembangan Konsep Objek Material

Konsep objek material filsafat telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno. Para filsuf pra-Sokrates seperti Thales dan Anaximandros berupaya memahami prinsip dasar dari segala yang ada (arche), yang menandai kesadaran awal terhadap pentingnya apa yang dikaji dalam filsafat. Kemudian Plato dan Aristoteles menyempurnakan pandangan ini dengan membedakan antara realitas indrawi dan realitas ideal, serta menyusun sistematika pengkajian terhadap entitas-entitas yang ada.5

Di era modern dan kontemporer, filsafat mulai memperluas cakupan objek materialnya dengan menjangkau dimensi-dimensi baru seperti struktur kesadaran (fenomenologi), eksistensi individual (eksistensialisme), serta struktur kekuasaan dan budaya (post-strukturalisme). Hal ini memperlihatkan bahwa objek material filsafat bersifat dinamis dan terbuka, berkembang sesuai dengan tantangan zaman dan konteks sosial-intelektual.


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple, rev. ed. (New York: Doubleday, 1993), 4.

[2]                Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.

[3]                Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 13.

[4]                Harold H. Titus dan Marilyn S. Smith, Living Issues in Philosophy, 9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 5.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 25–47.


3.           Klasifikasi Objek Material dalam Filsafat

Objek material filsafat memiliki cakupan yang sangat luas, karena filsafat pada hakikatnya membahas segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Namun demikian, dalam tradisi pemikiran filsafat, objek material ini dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang menjadi pusat perhatian dan kajian para filsuf. Klasifikasi ini juga mencerminkan diferensiasi internal dalam filsafat sebagai ilmu, yang melahirkan berbagai cabang atau disiplin filsafat. Masing-masing cabang tersebut memiliki fokus objek material tersendiri yang menjadi dasar refleksi kritis dan sistematiknya.

3.1.       Realitas dan Keberadaan (Ontologi/Metafisika)

Salah satu objek material paling mendasar dalam filsafat adalah realitas sebagai "yang ada" (being, ens). Cabang filsafat yang mengkaji hal ini dikenal sebagai ontologi atau metafisika umum. Ontologi mempersoalkan hakikat dan struktur dari segala sesuatu yang eksis, serta membedakan antara eksistensi dan esensi, bentuk dan materi, aktualitas dan potensialitas.1 Aristoteles menyebut ilmu ini sebagai "filsafat pertama" (prote philosophia), karena menjadi dasar bagi seluruh sistem pengetahuan filsafat.2 Dalam kajian kontemporer, persoalan keberadaan terus berkembang dengan pendekatan-pendekatan baru seperti ontologi eksistensial dalam eksistensialisme dan ontologi fenomenologis dalam pemikiran Heidegger.3

3.2.       Manusia dan Keinsanan (Filsafat Manusia)

Manusia sebagai makhluk yang sadar, bebas, dan rasional juga menjadi salah satu objek material penting dalam filsafat. Kajian ini melahirkan filsafat manusia, yang menyelidiki hakikat manusia, asal-usulnya, eksistensinya, kebebasannya, serta relasinya dengan alam, Tuhan, dan masyarakat.4 Dalam sejarahnya, pemikiran tentang manusia telah berkembang dari pandangan klasik yang memandang manusia sebagai animal rationale, hingga pandangan eksistensialis yang menekankan kebebasan radikal dan subjektivitas manusia (misalnya dalam pemikiran Sartre dan Kierkegaard).5

3.3.       Nilai dan Moralitas (Etika/Filsafat Moral)

Objek material berikutnya adalah nilai, terutama nilai baik dan buruk dalam tindakan manusia. Kajian ini tergolong dalam etika atau filsafat moral. Etika berupaya merumuskan prinsip-prinsip normatif bagi tindakan manusia serta membahas dasar dan sumber nilai moral. Menurut Bertens, filsafat moral merupakan refleksi kritis terhadap perilaku manusia berdasarkan kebebasan, tanggung jawab, dan martabat manusia sebagai subjek moral.6 Cabang ini juga membedakan antara etika normatif, etika terapan, dan metaetika sebagai pendekatan-pendekatan dalam memahami nilai moral secara sistematis.

3.4.       Pengetahuan (Epistemologi)

Objek material filsafat juga mencakup pengetahuan itu sendiri—yakni apa itu pengetahuan, bagaimana pengetahuan diperoleh, dan apa batas-batasnya. Cabang filsafat yang membahas ini dikenal sebagai epistemologi. Dalam epistemologi, para filsuf mempertanyakan keabsahan sumber pengetahuan (indera, akal, intuisi), kriteria kebenaran, serta relasi antara subjek dan objek pengetahuan.7 Sejak Descartes hingga Kant, dan berlanjut dalam wacana filsafat analitik maupun filsafat kontinental, epistemologi terus menjadi bidang sentral dalam refleksi filosofis modern.

3.5.       Tuhan dan Ketuhanan (Filsafat Ketuhanan/Teodice)

Filsafat juga mengkaji Tuhan sebagai realitas transendental tertinggi. Objek material ini menjadi fokus dalam filsafat ketuhanan (philosophy of religion). Para filsuf mengkaji eksistensi Tuhan, atribut-atribut ketuhanan, relasi antara Tuhan dan dunia, serta persoalan teodise (kejahatan dan penderitaan). Kajian ini berbeda dari teologi karena menggunakan pendekatan rasional-filosofis, bukan wahyu atau otoritas agama.8 Argumen-argumen klasik seperti kosmologis, teleologis, dan ontologis telah dikembangkan sejak era Yunani hingga kini untuk mendukung atau mengkritisi keberadaan Tuhan.

3.6.       Masyarakat dan Negara (Filsafat Sosial dan Politik)

Objek material lain yang juga sangat penting dalam filsafat adalah masyarakat dan negara. Dalam filsafat sosial dan politik, manusia dipahami sebagai makhluk sosial-politik (zoon politikon) yang hidup dalam tatanan bersama. Filsafat politik membahas keadilan, kekuasaan, hukum, kebebasan, hak asasi, serta struktur institusi sosial dan pemerintahan.9 Pemikiran Plato tentang negara ideal, Locke tentang hak individu, hingga Rawls tentang keadilan distributif, semuanya merupakan kontribusi besar dalam pengembangan objek material ini dalam ranah politik.

3.7.       Seni dan Keindahan (Filsafat Estetika)

Terakhir, filsafat juga mengkaji keindahan dan seni sebagai bagian dari pengalaman manusia. Cabang ini dikenal sebagai estetika, yang merefleksikan makna seni, sumber keindahan, dan hubungan antara bentuk, ekspresi, serta perasaan estetis. Estetika tidak hanya membahas seni secara teknis, tetapi juga mengkaji dimensi ontologis, epistemologis, dan moral dari pengalaman artistik.10


Footnotes

[1]                Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 25.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 98–105.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 22–36.

[4]                Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 147–150.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 26–29.

[6]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2005), 13–14.

[7]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 3–15.

[8]                William L. Rowe, “Philosophy of Religion,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta.

[9]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[10]             Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of Criticism (New York: Harcourt, 1958), 1–10.


4.           Perbandingan Objek Material dan Objek Formal dalam Filsafat

Untuk memahami metode dan ruang lingkup kajian filsafat secara utuh, penting untuk membedakan antara dua jenis objek dalam filsafat, yaitu objek material dan objek formal. Keduanya saling melengkapi dan memiliki fungsi yang berbeda namun esensial dalam struktur berpikir filsafat.

4.1.       Pengertian Objek Material dan Objek Formal

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, objek material filsafat adalah apa yang dikaji oleh filsafat, yaitu segala sesuatu yang ada (realitas sebagai “yang ada” dalam arti seluas-luasnya), termasuk manusia, alam, Tuhan, nilai, pengetahuan, dan sebagainya.1 Objek material ini bersifat luas, menyeluruh, dan tidak terbatas pada satu entitas tertentu. Dengan kata lain, segala sesuatu yang bisa direnungkan oleh akal manusia dapat menjadi objek material filsafat.

Sementara itu, objek formal adalah cara atau sudut pandang filsafat dalam mengkaji objek tersebut. Objek formal menentukan bagaimana filsafat melihat, menelaah, dan menafsirkan objek materialnya.2 Titus dan Smith menjelaskan bahwa filsafat tidak hanya tertarik pada fakta atau data empiris tentang sesuatu, melainkan pada makna terdalam, prinsip-prinsip pertama, dan keterkaitan rasional antar realitas.3 Inilah yang membedakan filsafat dari ilmu empiris seperti fisika, biologi, atau sosiologi, yang sekalipun mungkin mengkaji objek yang sama, namun dari sudut pandang dan dengan metode yang berbeda.

4.2.       Contoh Perbandingan Konkrit

Perbedaan antara objek material dan objek formal dapat dijelaskan melalui contoh konkret. Misalnya, manusia adalah objek material yang dikaji baik oleh biologi, psikologi, maupun filsafat. Namun:

·                     Biologi mempelajari manusia dari aspek anatomi dan fisiologinya.

·                     Psikologi menelaah perilaku dan proses mental manusia.

·                     Filsafat, melalui filsafat manusia, mempersoalkan hakikat manusia: Apa arti menjadi manusia? Apa itu kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab moral?4

Dalam hal ini, objek materialnya sama (manusia), tetapi objek formalnya berbeda. Filsafat meninjau manusia dengan cara yang lebih reflektif, kritis, dan holistik, tidak hanya berdasarkan observasi empiris, tetapi juga melalui penalaran konseptual dan spekulatif.

Demikian pula, dalam membahas alam semesta, ilmu fisika mungkin menelaah hukum gravitasi dan struktur molekul, sedangkan filsafat alam menanyakan: Mengapa sesuatu ada dan bukan tidak ada? Apakah alam ini memiliki tujuan? Apakah hukum-hukum alam bersifat mutlak?_5

4.3.       Signifikansi Perbedaan Objek Formal

Perbedaan objek formal ini menjelaskan mengapa filsafat tetap relevan dan tidak tergantikan meskipun berbagai cabang ilmu pengetahuan telah berkembang pesat. Filsafat berfungsi sebagai refleksi metateoritis terhadap ilmu-ilmu lain, serta mengkaji fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari ilmu tersebut.6

K. Bertens menegaskan bahwa filsafat bersifat kritis, radikal, dan menyeluruh karena objek formalnya memungkinkan untuk mengkaji hal-hal sampai pada akar terdalamnya (radix).7 Hal ini membuat filsafat tidak hanya berperan sebagai pencari kebenaran teoritis, tetapi juga sebagai penuntun nilai dan makna bagi kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.

[2]                Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 15.

[3]                Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy, 9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 4.

[4]                Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 6–7.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 80.

[6]                Cornelio Fabro, “The Notion of Participation,” The New Scholasticism 26, no. 2 (1952): 131–165.

[7]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 12.


5.           Relevansi Objek Material dalam Perkembangan Cabang Filsafat

Objek material dalam filsafat tidak hanya berfungsi sebagai titik awal refleksi, tetapi juga berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan berbagai cabang filsafat. Perbedaan fokus terhadap objek material melahirkan diversifikasi tematik dalam filsafat, memungkinkan filsafat untuk menanggapi dinamika realitas dan perubahan zaman. Oleh karena itu, memahami relevansi objek material berarti memahami bagaimana filsafat terus memperluas horison pemikirannya serta menyesuaikan diri dengan tantangan intelektual dan sosial yang senantiasa berubah.

5.1.       Diversifikasi Objek Material sebagai Dasar Pembentukan Cabang Filsafat

Sejak zaman Yunani Kuno, filsafat telah menunjukkan keterbukaannya terhadap beragam aspek realitas sebagai objek material. Perhatian Thales terhadap air sebagai unsur dasar realitas, atau refleksi Socrates tentang kebajikan dan manusia, menunjukkan bagaimana orientasi terhadap objek material dapat memunculkan fokus kajian tertentu.1 Aristoteles sendiri secara eksplisit membagi filsafat ke dalam cabang-cabang seperti metafisika, etika, dan logika, berdasarkan perbedaan dalam objek material dan tujuan refleksi.2

Dalam perkembangan berikutnya, perhatian mendalam terhadap objek seperti pengetahuan, keindahan, masyarakat, atau kebebasan manusia mendorong lahirnya epistemologi, estetika, filsafat sosial, dan filsafat eksistensial. Masing-masing cabang tersebut mengembangkan pendekatan yang khas terhadap objek material yang menjadi pusat perhatiannya, sekaligus memperkaya keseluruhan spektrum kajian filsafat.

5.2.       Perkembangan Konseptual Objek Material dari Klasik hingga Kontemporer

Relevansi objek material juga tercermin dalam transformasi konseptual yang terjadi sepanjang sejarah filsafat. Misalnya, konsep tentang “manusia” sebagai objek material dalam filsafat klasik sering kali dipahami secara universal dan esensialis—misalnya dalam gagasan animal rationale menurut Aristoteles. Namun dalam filsafat kontemporer, konsep ini mengalami pergeseran menuju pendekatan yang lebih partikular, historis, dan eksistensial, sebagaimana terlihat dalam pemikiran Martin Heidegger, yang menekankan Dasein sebagai keberadaan yang menafsirkan keberadaannya sendiri.3

Demikian pula, objek material seperti “masyarakat” mengalami perluasan dimensi analisis dari teori politik normatif (seperti dalam pemikiran Plato atau Hobbes), ke arah kritik ideologi, struktur kekuasaan, dan relasi diskursif, sebagaimana dikembangkan oleh filsuf-filsuf post-strukturalis seperti Michel Foucault.4

Transformasi ini menunjukkan bahwa filsafat bersifat responsif terhadap realitas baru dengan cara mengevaluasi kembali dan mereformulasi objek materialnya, sekaligus mengembangkan cabang atau paradigma baru sebagai konsekuensinya.

5.3.       Interkoneksi antara Objek Material dan Isu-Isu Kontemporer

Dalam dunia kontemporer, kompleksitas realitas sosial, politik, teknologi, dan ekologis menghadirkan tantangan baru yang menuntut ekspansi terhadap objek material filsafat. Isu-isu seperti krisis lingkungan, kecerdasan buatan (AI), bioetika, hingga keadilan global memunculkan objek-objek baru dalam filsafat, dan mendorong kelahiran cabang seperti filsafat lingkungan, filsafat teknologi, dan filsafat feminis.

Menurut Holmes Rolston III, dalam konteks filsafat lingkungan, objek material filsafat tidak lagi hanya manusia dan moralitas individual, tetapi mencakup spesies, ekosistem, dan keberlanjutan ekologis secara keseluruhan.5 Sementara itu, dalam filsafat teknologi, pemikiran seperti yang dikembangkan oleh Don Ihde mengkaji hubungan manusia dengan teknologi bukan semata sebagai alat, melainkan sebagai mediasi yang memengaruhi struktur kesadaran dan cara manusia memahami dunia.6

Ini menunjukkan bahwa objek material tidak bersifat statis, melainkan terbuka terhadap perluasan konseptual dan aktualisasi baru seiring kemunculan fenomena-fenomena baru dalam kehidupan manusia.

5.4.       Fungsi Normatif dan Kritis dari Objek Material

Objek material filsafat juga memainkan peran normatif dan kritis dalam menghadirkan refleksi terhadap nilai, makna, dan tujuan eksistensial manusia. Dalam hal ini, filsafat tidak hanya menjelaskan realitas, tetapi juga mempertanyakannya secara mendalam untuk menemukan makna-makna terdalam dari kehidupan dan keberadaan. Jean-Paul Sartre, misalnya, memusatkan objek material filsafat pada kebebasan manusia dan tanggung jawab eksistensialnya dalam dunia yang absurd.7 Filsafat feminis mengalihkan fokus objek material dari abstraksi universal menjadi pengalaman konkret kaum tertindas dan tubuh sebagai locus pengalaman sosial-politik.8

Perluasan dan pendalaman terhadap objek material inilah yang memungkinkan filsafat untuk tetap menjadi medan pemikiran yang relevan, tajam, dan visioner dalam setiap zaman.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 17–25.

[2]                Aristoteles, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 689–692.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–47.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–30.

[5]                Holmes Rolston III, “Environmental Ethics: Values in and Duties to the Natural World,” in The Oxford Handbook of Environmental Ethics, ed. Stephen M. Gardiner and Allen Thompson (Oxford: Oxford University Press, 2017), 58–74.

[6]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 23–41.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 483–492.

[8]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), xxiii–xxx.


6.           Tantangan dan Dinamika Objek Material Filsafat di Era Modern

Objek material filsafat, sebagaimana telah dikaji dalam bagian-bagian sebelumnya, bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan konteks zaman. Di era modern dan kontemporer, filsafat menghadapi tantangan baru yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya global, dan krisis eksistensial manusia modern. Semua perubahan ini tidak hanya menuntut filsafat untuk menyesuaikan kembali metode dan pendekatannya, tetapi juga meninjau ulang cakupan dan orientasi objek material yang menjadi pusat perhatiannya. Dengan demikian, objek material filsafat di era modern mengalami perluasan, rekontekstualisasi, dan bahkan transformasi radikal.

6.1.       Perluasan Objek Material akibat Kemajuan Sains dan Teknologi

Salah satu tantangan utama dalam era modern adalah interseksi antara filsafat dan ilmu-ilmu positif, khususnya sains dan teknologi. Kemajuan dalam bidang neurobiologi, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan kosmologi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan filosofis baru yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis dan etis. Hal ini mendorong filsafat untuk tidak hanya mengkaji objek-objek klasik seperti keberadaan, pengetahuan, atau moralitas, tetapi juga objek-objek baru seperti kesadaran buatan, identitas digital, rekayasa genetika, dan tanggung jawab ekologis global.

Luciano Floridi, dalam pengembangan Philosophy of Information, menunjukkan bahwa manusia kini hidup dalam infosfera, sebuah ruang eksistensial yang didominasi oleh informasi digital sebagai realitas baru.1 Akibatnya, objek material filsafat tidak lagi hanya “yang ada secara fisik,” tetapi juga mencakup realitas virtual dan sistem informasi yang memengaruhi kesadaran dan tindakan manusia.

6.2.       Rekontekstualisasi Objek Material melalui Perspektif Interdisipliner

Filsafat kontemporer juga mengalami tantangan dalam bentuk desakan interdisipliner, yang mengaburkan batas-batas antara filsafat dan bidang-bidang lain seperti antropologi, sosiologi, linguistik, studi budaya, dan bahkan seni. Pendekatan-pendekatan seperti filsafat post-strukturalis, hermeneutika kontemporer, dan filsafat kritis memperluas objek material filsafat ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap berada di luar jangkauan tradisional filsafat akademik.

Sebagai contoh, Michel Foucault memperkenalkan pendekatan genealogis untuk menganalisis kekuasaan, pengetahuan, dan tubuh manusia sebagai konstruksi diskursif dalam sejarah tertentu, sehingga menjadikan diskursus dan praktik sosial sebagai objek material filsafat yang sah.2 Ini menandakan pergeseran dari filsafat sebagai refleksi metafisik menjadi filsafat sebagai kritik terhadap struktur sosial dan relasi kuasa.

6.3.       Fragmentasi dan Dekonstruksi Objek Material oleh Filsafat Postmodern

Di sisi lain, filsafat pascamodern menantang eksistensi objek material sebagai sesuatu yang utuh, universal, dan stabil. Jacques Derrida, melalui pendekatan deconstruction, menunjukkan bahwa setiap objek atau konsep filosofis selalu dibentuk oleh oposisi biner yang tidak stabil, serta ditentukan oleh konteks bahasa dan penundaan makna (différance).3 Dalam konteks ini, objek material filsafat menjadi tidak lagi pasti dan tetap, melainkan terfragmentasi, terbuka, dan senantiasa tertunda dalam pemaknaannya.

Filsafat feminis, postkolonial, dan queer juga turut mempersoalkan objek-objek material dominan dalam sejarah filsafat Barat, seperti "manusia rasional", "kebenaran universal", atau "subjek netral". Mereka menggantinya dengan pengalaman partikular, tubuh yang terpinggirkan, dan perspektif minoritas, sehingga memperluas dimensi objek material ke wilayah yang lebih kontekstual dan pluralistik.4

6.4.       Krisis Makna dan Tuntutan Rehumanisasi Objek Material

Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi yang masif, filsafat juga dihadapkan pada krisis eksistensial dalam bentuk dehumanisasi, alienasi, dan kekosongan makna hidup. Oleh karena itu, filsafat kontemporer dipanggil untuk merehumanisasi objek materialnya, dengan kembali memberi perhatian pada pengalaman manusia yang otentik, relasi etis antar-subjek, serta dimensi spiritualitas dan kebermaknaan hidup.

Charles Taylor, dalam karyanya Sources of the Self, menegaskan bahwa proyek modernitas yang menekankan rasionalitas dan individualisme telah menghasilkan subjek yang terpisah dari akar-akar spiritual dan komunitas nilai, sehingga mengharuskan filsafat untuk menghidupkan kembali pencarian makna sebagai objek kajian utama.5


Footnotes

[1]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 5–15.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 3–17.

[3]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.

[4]                Linda Alcoff, “The Problem of Speaking for Others,” Cultural Critique, no. 20 (1991): 5–32.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–30.


7.           Kesimpulan

Kajian tentang objek material filsafat merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memahami bagaimana filsafat bekerja sebagai disiplin ilmu reflektif, radikal, dan menyeluruh. Sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik dalam bentuk fisik maupun metafisik, konkret maupun abstrak. Objek ini menjadi titik pangkal seluruh perenungan filosofis karena ia menyediakan “bahan mentah” yang diproses oleh filsafat melalui pendekatan rasional, kritis, dan sistematis.1

Distingsi antara objek material dan objek formal filsafat menunjukkan bahwa keunikan filsafat terletak bukan pada objeknya yang eksklusif, melainkan pada sudut pandangnya dalam mengkaji objek tersebut.2 Objek material filsafat bersifat luas, lintas tema, dan universal, tetapi pendekatan filosofis menempatkannya dalam kerangka pencarian makna terdalam, keutuhan hakikat, dan prinsip-prinsip pertama (principia prima) yang melampaui pendekatan empiris atau teknis sebagaimana lazim dalam ilmu positif.

Pembahasan mengenai klasifikasi objek material filsafat juga menegaskan bahwa setiap cabang filsafat berkembang berdasarkan fokus tematik tertentu yang secara historis dan sistematis membentuk ruang-ruang perenungan baru. Filsafat metafisika mengkaji realitas sebagai being, filsafat manusia menelaah hakikat eksistensi manusia, filsafat moral mengupas nilai dan norma, dan epistemologi mendalami struktur serta batas-batas pengetahuan manusia.3 Perkembangan ini mencerminkan keragaman wajah filsafat yang terus hidup dan adaptif dalam membaca zaman.

Dalam perkembangan filsafat kontemporer, objek material tidak lagi terbatas pada entitas klasik seperti manusia, alam, atau Tuhan, tetapi telah mengalami perluasan hingga mencakup realitas sosial, ekologis, teknologi digital, hingga tubuh dan identitas kultural. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar warisan teoritis, melainkan medan pemikiran yang terus berevolusi dan berkontribusi pada pembentukan kesadaran kritis manusia modern.4

Namun demikian, dinamika ini juga membawa tantangan baru. Munculnya postmodernisme, kritik terhadap universalisme Barat, serta disrupsi akibat teknologi menuntut filsafat untuk terus meninjau ulang objek-objek materialnya, bahkan untuk bersikap lebih inklusif dan kontekstual.5 Interseksi antara filsafat dan disiplin lain seperti ilmu komputer, ekologi, serta studi gender dan postkolonialitas memperlihatkan bahwa filsafat kini berada dalam era yang plural, transdisipliner, dan menuntut sensitivitas baru terhadap kompleksitas realitas global.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap objek material filsafat tidak hanya penting untuk memahami struktur internal filsafat itu sendiri, tetapi juga esensial untuk meneguhkan peran filsafat dalam menanggapi realitas kontemporer yang semakin kompleks dan multivokal. Di tengah krisis makna dan fragmentasi nilai dewasa ini, pengenalan yang mendalam terhadap objek material filsafat dapat menjadi pijakan reflektif untuk membangun kembali orientasi intelektual dan moral manusia sebagai subjek berpikir yang otonom dan bertanggung jawab.6


Footnotes

[1]                Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20–21.

[2]                Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 15.

[3]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 11–14.

[4]                Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 6–9.

[5]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–282.

[6]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–30.


Daftar Pustaka

Alcoff, L. (1991). The problem of speaking for others. Cultural Critique, (20), 5–32. https://doi.org/10.2307/1354221

Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 689–692). Modern Library.

Audi, R. (2011). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Beardsley, M. C. (1958). Aesthetics: Problems in the philosophy of criticism. Harcourt.

Bertens, K. (2001). Pengantar filsafat. Gramedia.

Bertens, K. (2005). Etika. Gramedia.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. I: Greece and Rome. Image Books.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Kaelan. (2013). Filsafat umum. Paradigma.

Popkin, R. H., & Stroll, A. (1993). Philosophy made simple (Rev. ed.). Doubleday.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rolston, H. III. (2017). Environmental ethics: Values in and duties to the natural world. In S. M. Gardiner & A. Thompson (Eds.), The Oxford handbook of environmental ethics (pp. 58–74). Oxford University Press.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Tafsir, A. (2000). Filsafat umum: Akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Remaja Rosdakarya.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Titus, H. H., & Smith, M. S. (2008). Living issues in philosophy (9th ed.). Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar