Objek Material Filsafat
Hakikat, Ruang Lingkup, dan Relevansinya dalam Kajian
Filsafat Kontemporer
Alihkan ke: Objek Kajian Filsafat.
Abstrak
Kajian ini membahas secara komprehensif tentang objek
material filsafat, yaitu segala sesuatu yang menjadi bahan kajian filsafat,
mulai dari realitas metafisik hingga persoalan kontemporer seperti teknologi,
ekologi, dan identitas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
hakikat dan klasifikasi objek material filsafat, membedakannya dari objek
formal, serta menelusuri peranannya dalam pembentukan cabang-cabang filsafat
dan perkembangannya di era modern. Dengan pendekatan deskriptif-analitis dan
studi pustaka terhadap karya-karya filsuf klasik dan kontemporer, tulisan ini
menegaskan bahwa objek material filsafat bersifat dinamis, kontekstual, dan
terbuka terhadap perubahan realitas sosial dan ilmiah. Artikel ini juga
menggarisbawahi tantangan dan perluasan objek material di tengah
interdisipliner ilmu dan krisis eksistensial manusia modern. Dengan demikian,
refleksi terhadap objek material filsafat menjadi kunci untuk mempertahankan
relevansi dan vitalitas filsafat sebagai medan pemikiran kritis dan normatif
dalam dunia yang terus berubah.
Kata Kunci: Objek material filsafat; objek formal; cabang
filsafat; dinamika filsafat kontemporer; filsafat interdisipliner; realitas;
makna; eksistensi.
PEMBAHASAN
Menelusuri Objek Material Filsafat
1.
Pendahuluan
Filsafat, sebagai
disiplin ilmu yang paling mendasar dan menyeluruh, tidak hanya bertujuan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai eksistensi, pengetahuan,
nilai, dan realitas, tetapi juga menyusun kerangka berpikir sistematis terhadap
segala aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek pokok dalam studi filsafat
adalah pemahaman terhadap objek kajian, yang secara
tradisional diklasifikasikan menjadi dua bagian utama: objek
material dan objek formal. Keduanya memiliki
kedudukan penting dalam membedakan filsafat dari ilmu pengetahuan lain serta
dalam menentukan arah dan corak pendekatan berpikir filosofis terhadap
realitas.
Objek material
filsafat merujuk pada apa yang dikaji oleh filsafat,
yakni realitas atau keberadaan pada umumnya, termasuk manusia, alam semesta,
pengetahuan, nilai, dan Tuhan. Objek material ini bersifat sangat luas dan menyeluruh
karena mencakup segala sesuatu yang ada dan mungkin ada (ens). Filsuf Indonesia
seperti Kaelan menekankan bahwa objek material filsafat adalah “segala
sesuatu yang ada” yang menjadi bahan renungan mendalam untuk dicari
maknanya secara rasional dan sistematis.1 Filsafat tidak membatasi
dirinya hanya pada aspek-aspek empiris dari realitas, melainkan mencoba
menyelami hakikat terdalam dari realitas itu sendiri, baik yang konkret maupun
yang abstrak.
Pentingnya kajian
terhadap objek material dalam filsafat dapat dilihat dalam bagaimana manusia,
misalnya, menjadi subjek eksplorasi dari berbagai cabang filsafat seperti
filsafat manusia, etika, dan eksistensialisme. Di sisi lain, realitas alam dan
semesta menjadi perhatian utama dalam filsafat alam dan filsafat kosmologi.
Pendekatan seperti ini membedakan filsafat dari sains yang lebih bersifat
partikular dan empirik. Harold H. Titus dan Marilyn Smith menyatakan bahwa
filsafat adalah "usaha sistematik untuk memahami hubungan manusia
dengan alam semesta,"_2 dan pemahaman ini hanya dapat
diperoleh dengan terlebih dahulu mengenali objek-objek material yang menjadi
pusat perhatian filsafat.
Dalam ranah filsafat
kontemporer, pembahasan tentang objek material semakin diperluas dan diperdalam
seiring berkembangnya isu-isu global dan kemajuan teknologi. Misalnya, filsafat
kini tidak hanya mengkaji manusia dalam kerangka metafisik atau moral, tetapi
juga dalam konteks sosial-politik, ekologi, bahkan digital. Hal ini menunjukkan
bahwa refleksi filsafat terhadap objek materialnya bersifat dinamis dan terbuka
terhadap perubahan zaman. Sebagaimana dijelaskan oleh K. Bertens, bahwa objek
material filsafat tidak terbatas pada apa yang dikaji secara tradisional,
melainkan turut menyesuaikan dengan persoalan-persoalan aktual dalam kehidupan
manusia masa kini.3
Artikel ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang objek material
filsafat, meliputi definisi, klasifikasi, dan peranannya dalam cabang-cabang
filsafat. Selain itu, akan ditelaah pula relevansi objek material ini dalam
dinamika pemikiran filsafat kontemporer, termasuk tantangan-tantangan
interdisipliner yang mengaburkan batas antara filsafat dan ilmu lainnya. Dengan
pendekatan deskriptif-analitis dan telaah literatur yang kredibel, diharapkan
pembahasan ini dapat memberikan kontribusi akademik terhadap pemahaman filsafat
sebagai disiplin reflektif dan fundamental.
Footnotes
[1]
Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.
[2]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy,
9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 5.
[3]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 14.
2.
Definisi Objek Material Filsafat
Dalam studi
filsafat, konsep tentang objek kajian menjadi hal
fundamental yang membedakan filsafat dari disiplin ilmu lainnya. Secara umum,
filsafat memiliki dua objek kajian utama: objek material dan objek
formal. Objek material merujuk pada apa yang dikaji oleh filsafat,
sedangkan objek formal menunjuk pada cara atau sudut pandang filsafat
dalam mengkaji objek tersebut.1 Pemahaman yang tepat mengenai objek
material filsafat sangat penting karena menentukan keluasan dan kedalaman
cakupan refleksi filosofis.
2.1.
Pengertian Umum Objek Material Filsafat
Objek material dalam
filsafat dipahami sebagai segala sesuatu yang menjadi bahan kajian,
atau dengan kata lain, realitas yang ada (being atau ens).
Kaelan menyatakan bahwa objek material filsafat adalah “segala sesuatu yang
ada, baik yang tampak (fisik) maupun tidak tampak (metafisik), yang
menjadi bahan perenungan mendalam secara rasional dan sistematis.”_2
Dalam pengertian ini, filsafat tidak membatasi dirinya hanya pada hal-hal yang
empiris, tetapi mencakup pula aspek transenden dan metafisik seperti Tuhan,
jiwa, atau nilai moral.
Ahmad Tafsir
menegaskan bahwa objek material filsafat bersifat komprehensif
dan universal, mencakup semua hal yang bisa dipikirkan oleh
akal manusia. Ia mencontohkan bahwa baik manusia, alam semesta, Tuhan, maupun
nilai-nilai moral, semuanya bisa dijadikan bahan kajian filsafat karena termasuk
ke dalam "yang ada."_3
2.2.
Objek Material Filsafat vs. Objek Material Ilmu
Lain
Berbeda dengan ilmu
pengetahuan yang memiliki objek material yang terbatas dan khusus (misalnya,
biologi mengkaji makhluk hidup, fisika mengkaji benda dan energi), filsafat memiliki
objek
material yang bersifat menyeluruh dan tidak terbatas pada satu jenis realitas
tertentu. Harold H. Titus menekankan bahwa filsafat mencoba
mengkaji “realitas sebagai keseluruhan,”_4 bukan sekadar
aspek-aspek tertentu dari realitas sebagaimana dilakukan ilmu-ilmu parsial.
Oleh karena itu, filsafat sering kali disebut sebagai ilmu universal (universalis
scientia) atau mother of sciences karena mampu
mencakup dan menilai secara reflektif keseluruhan bidang keilmuan.
Dalam konteks ini,
objek material filsafat tidak hanya luas tetapi juga fleksibel.
Ia mampu menyesuaikan diri dengan kompleksitas perkembangan pemikiran dan
realitas. Filsafat dapat membahas manusia dari sisi ontologis, epistemologis,
etis, dan estetis sekaligus, yang tidak mungkin dilakukan oleh ilmu empiris
yang cenderung sektoral.
2.3.
Konteks Historis Pengembangan Konsep Objek
Material
Konsep objek
material filsafat telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno. Para filsuf
pra-Sokrates seperti Thales dan Anaximandros berupaya memahami prinsip dasar
dari segala yang ada (arche), yang menandai kesadaran
awal terhadap pentingnya apa yang dikaji dalam filsafat.
Kemudian Plato dan Aristoteles menyempurnakan pandangan ini dengan membedakan
antara realitas indrawi dan realitas ideal, serta menyusun sistematika
pengkajian terhadap entitas-entitas yang ada.5
Di era modern dan
kontemporer, filsafat mulai memperluas cakupan objek materialnya dengan
menjangkau dimensi-dimensi baru seperti struktur kesadaran (fenomenologi),
eksistensi individual (eksistensialisme), serta struktur kekuasaan dan budaya
(post-strukturalisme). Hal ini memperlihatkan bahwa objek material filsafat
bersifat dinamis dan terbuka, berkembang
sesuai dengan tantangan zaman dan konteks sosial-intelektual.
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple,
rev. ed. (New York: Doubleday, 1993), 4.
[2]
Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.
[3]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 13.
[4]
Harold H. Titus dan Marilyn S. Smith, Living Issues in Philosophy,
9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 5.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 25–47.
3.
Klasifikasi Objek Material dalam Filsafat
Objek material
filsafat memiliki cakupan yang sangat luas, karena filsafat pada hakikatnya
membahas segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Namun
demikian, dalam tradisi pemikiran filsafat, objek material ini dapat
diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang menjadi
pusat perhatian dan kajian para filsuf. Klasifikasi ini juga mencerminkan
diferensiasi internal dalam filsafat sebagai ilmu, yang melahirkan berbagai
cabang atau disiplin filsafat. Masing-masing cabang tersebut memiliki fokus
objek material tersendiri yang menjadi dasar refleksi kritis dan sistematiknya.
3.1.
Realitas dan Keberadaan (Ontologi/Metafisika)
Salah satu objek
material paling mendasar dalam filsafat adalah realitas sebagai "yang ada"
(being, ens).
Cabang filsafat yang mengkaji hal ini dikenal sebagai ontologi
atau metafisika
umum. Ontologi mempersoalkan hakikat dan struktur dari segala
sesuatu yang eksis, serta membedakan antara eksistensi dan esensi, bentuk dan
materi, aktualitas dan potensialitas.1 Aristoteles menyebut ilmu ini
sebagai "filsafat pertama" (prote philosophia), karena menjadi
dasar bagi seluruh sistem pengetahuan filsafat.2 Dalam kajian
kontemporer, persoalan keberadaan terus berkembang dengan pendekatan-pendekatan
baru seperti ontologi eksistensial dalam eksistensialisme dan ontologi
fenomenologis dalam pemikiran Heidegger.3
3.2.
Manusia dan Keinsanan (Filsafat Manusia)
Manusia sebagai
makhluk yang sadar, bebas, dan rasional juga menjadi salah satu objek material
penting dalam filsafat. Kajian ini melahirkan filsafat manusia, yang
menyelidiki hakikat manusia, asal-usulnya, eksistensinya, kebebasannya, serta
relasinya dengan alam, Tuhan, dan masyarakat.4 Dalam sejarahnya,
pemikiran tentang manusia telah berkembang dari pandangan klasik yang memandang
manusia sebagai animal rationale, hingga pandangan
eksistensialis yang menekankan kebebasan radikal dan subjektivitas manusia
(misalnya dalam pemikiran Sartre dan Kierkegaard).5
3.3.
Nilai dan Moralitas (Etika/Filsafat Moral)
Objek material
berikutnya adalah nilai, terutama nilai baik dan
buruk dalam tindakan manusia. Kajian ini tergolong dalam etika
atau filsafat
moral. Etika berupaya merumuskan prinsip-prinsip normatif bagi
tindakan manusia serta membahas dasar dan sumber nilai moral. Menurut Bertens,
filsafat moral merupakan refleksi kritis terhadap perilaku manusia berdasarkan
kebebasan, tanggung jawab, dan martabat manusia sebagai subjek moral.6
Cabang ini juga membedakan antara etika normatif, etika terapan, dan metaetika
sebagai pendekatan-pendekatan dalam memahami nilai moral secara sistematis.
3.4.
Pengetahuan (Epistemologi)
Objek material
filsafat juga mencakup pengetahuan itu sendiri—yakni
apa itu pengetahuan, bagaimana pengetahuan diperoleh, dan apa batas-batasnya.
Cabang filsafat yang membahas ini dikenal sebagai epistemologi.
Dalam epistemologi, para filsuf mempertanyakan keabsahan sumber pengetahuan
(indera, akal, intuisi), kriteria kebenaran, serta relasi antara subjek dan
objek pengetahuan.7 Sejak Descartes hingga Kant, dan berlanjut dalam
wacana filsafat analitik maupun filsafat kontinental, epistemologi terus
menjadi bidang sentral dalam refleksi filosofis modern.
3.5.
Tuhan dan Ketuhanan (Filsafat
Ketuhanan/Teodice)
Filsafat juga
mengkaji Tuhan sebagai realitas transendental tertinggi.
Objek material ini menjadi fokus dalam filsafat ketuhanan (philosophy
of religion). Para filsuf mengkaji eksistensi Tuhan, atribut-atribut ketuhanan,
relasi antara Tuhan dan dunia, serta persoalan teodise (kejahatan dan
penderitaan). Kajian ini berbeda dari teologi karena menggunakan pendekatan
rasional-filosofis, bukan wahyu atau otoritas agama.8
Argumen-argumen klasik seperti kosmologis, teleologis, dan ontologis telah
dikembangkan sejak era Yunani hingga kini untuk mendukung atau mengkritisi keberadaan
Tuhan.
3.6.
Masyarakat dan Negara (Filsafat Sosial dan
Politik)
Objek material lain
yang juga sangat penting dalam filsafat adalah masyarakat dan negara. Dalam filsafat
sosial dan politik, manusia dipahami sebagai makhluk
sosial-politik (zoon politikon) yang hidup dalam
tatanan bersama. Filsafat politik membahas keadilan, kekuasaan, hukum,
kebebasan, hak asasi, serta struktur institusi sosial dan pemerintahan.9
Pemikiran Plato tentang negara ideal, Locke tentang hak individu, hingga Rawls
tentang keadilan distributif, semuanya merupakan kontribusi besar dalam
pengembangan objek material ini dalam ranah politik.
3.7.
Seni dan Keindahan (Filsafat Estetika)
Terakhir, filsafat
juga mengkaji keindahan dan seni sebagai
bagian dari pengalaman manusia. Cabang ini dikenal sebagai estetika,
yang merefleksikan makna seni, sumber keindahan, dan hubungan antara bentuk,
ekspresi, serta perasaan estetis. Estetika tidak hanya membahas seni secara
teknis, tetapi juga mengkaji dimensi ontologis, epistemologis, dan moral dari
pengalaman artistik.10
Footnotes
[1]
Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 25.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 98–105.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 22–36.
[4]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 147–150.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 26–29.
[6]
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2005), 13–14.
[7]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2011), 3–15.
[8]
William L. Rowe, “Philosophy of Religion,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta.
[9]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–5.
[10]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of
Criticism (New York: Harcourt, 1958), 1–10.
4.
Perbandingan Objek Material dan Objek Formal
dalam Filsafat
Untuk memahami
metode dan ruang lingkup kajian filsafat secara utuh, penting untuk membedakan
antara dua jenis objek dalam filsafat, yaitu objek material dan objek
formal. Keduanya saling melengkapi dan memiliki fungsi yang
berbeda namun esensial dalam struktur berpikir filsafat.
4.1.
Pengertian Objek Material dan Objek Formal
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, objek material filsafat adalah apa yang
dikaji oleh filsafat, yaitu segala sesuatu yang ada
(realitas sebagai “yang ada” dalam arti seluas-luasnya), termasuk
manusia, alam, Tuhan, nilai, pengetahuan, dan sebagainya.1 Objek
material ini bersifat luas, menyeluruh, dan tidak terbatas pada satu entitas
tertentu. Dengan kata lain, segala sesuatu yang bisa direnungkan oleh akal
manusia dapat menjadi objek material filsafat.
Sementara itu, objek
formal adalah cara atau sudut pandang
filsafat dalam mengkaji objek tersebut. Objek formal menentukan bagaimana
filsafat melihat, menelaah, dan menafsirkan objek materialnya.2
Titus dan Smith menjelaskan bahwa filsafat tidak hanya tertarik pada fakta atau
data empiris tentang sesuatu, melainkan pada makna terdalam, prinsip-prinsip pertama, dan
keterkaitan rasional antar realitas.3 Inilah yang
membedakan filsafat dari ilmu empiris seperti fisika, biologi, atau sosiologi,
yang sekalipun mungkin mengkaji objek yang sama, namun dari sudut pandang dan
dengan metode yang berbeda.
4.2.
Contoh Perbandingan Konkrit
Perbedaan antara
objek material dan objek formal dapat dijelaskan melalui contoh konkret.
Misalnya, manusia adalah objek material
yang dikaji baik oleh biologi, psikologi, maupun filsafat. Namun:
·
Biologi mempelajari manusia
dari aspek anatomi dan fisiologinya.
·
Psikologi menelaah perilaku
dan proses mental manusia.
·
Filsafat, melalui filsafat
manusia, mempersoalkan hakikat manusia: Apa arti
menjadi manusia? Apa itu kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab moral?4
Dalam hal ini, objek
materialnya sama (manusia), tetapi objek
formalnya berbeda. Filsafat meninjau manusia dengan cara yang
lebih reflektif, kritis, dan holistik, tidak hanya berdasarkan observasi
empiris, tetapi juga melalui penalaran konseptual dan spekulatif.
Demikian pula, dalam
membahas alam semesta, ilmu fisika mungkin menelaah hukum gravitasi dan
struktur molekul, sedangkan filsafat alam menanyakan: Mengapa
sesuatu ada dan bukan tidak ada? Apakah alam ini memiliki tujuan? Apakah
hukum-hukum alam bersifat mutlak?_5
4.3.
Signifikansi Perbedaan Objek Formal
Perbedaan objek
formal ini menjelaskan mengapa filsafat tetap relevan dan tidak
tergantikan meskipun berbagai cabang ilmu pengetahuan telah
berkembang pesat. Filsafat berfungsi sebagai refleksi metateoritis terhadap
ilmu-ilmu lain, serta mengkaji fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis
dari ilmu tersebut.6
K. Bertens
menegaskan bahwa filsafat bersifat kritis, radikal, dan menyeluruh karena objek
formalnya memungkinkan untuk mengkaji hal-hal sampai pada akar terdalamnya
(radix).7 Hal ini membuat filsafat tidak hanya berperan sebagai
pencari kebenaran teoritis, tetapi juga sebagai penuntun nilai dan makna bagi
kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20.
[2]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 15.
[3]
Harold H. Titus dan Marilyn Smith, Living Issues in Philosophy,
9th ed. (New York: Oxford University Press, 2008), 4.
[4]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 6–7.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 80.
[6]
Cornelio Fabro, “The Notion of Participation,” The New
Scholasticism 26, no. 2 (1952): 131–165.
[7]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 12.
5.
Relevansi Objek Material dalam Perkembangan
Cabang Filsafat
Objek material dalam
filsafat tidak hanya berfungsi sebagai titik awal refleksi, tetapi juga
berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan berbagai cabang
filsafat. Perbedaan fokus terhadap objek material melahirkan
diversifikasi tematik dalam filsafat, memungkinkan filsafat untuk menanggapi
dinamika realitas dan perubahan zaman. Oleh karena itu, memahami relevansi
objek material berarti memahami bagaimana filsafat terus memperluas horison
pemikirannya serta menyesuaikan diri dengan tantangan intelektual dan sosial
yang senantiasa berubah.
5.1.
Diversifikasi Objek Material sebagai Dasar
Pembentukan Cabang Filsafat
Sejak zaman Yunani
Kuno, filsafat telah menunjukkan keterbukaannya terhadap beragam aspek realitas
sebagai objek material. Perhatian Thales terhadap air sebagai unsur dasar
realitas, atau refleksi Socrates tentang kebajikan dan manusia, menunjukkan
bagaimana orientasi terhadap objek material dapat memunculkan fokus kajian
tertentu.1 Aristoteles sendiri secara eksplisit membagi filsafat ke
dalam cabang-cabang seperti metafisika, etika,
dan logika,
berdasarkan perbedaan dalam objek material dan tujuan refleksi.2
Dalam perkembangan
berikutnya, perhatian mendalam terhadap objek seperti pengetahuan,
keindahan,
masyarakat,
atau kebebasan
manusia mendorong lahirnya epistemologi, estetika,
filsafat
sosial, dan filsafat eksistensial.
Masing-masing cabang tersebut mengembangkan pendekatan yang khas terhadap objek
material yang menjadi pusat perhatiannya, sekaligus memperkaya keseluruhan
spektrum kajian filsafat.
5.2.
Perkembangan Konseptual Objek Material dari
Klasik hingga Kontemporer
Relevansi objek
material juga tercermin dalam transformasi konseptual yang
terjadi sepanjang sejarah filsafat. Misalnya, konsep tentang “manusia”
sebagai objek material dalam filsafat klasik sering kali dipahami secara
universal dan esensialis—misalnya dalam gagasan animal rationale menurut
Aristoteles. Namun dalam filsafat kontemporer, konsep ini mengalami pergeseran
menuju pendekatan yang lebih partikular, historis, dan eksistensial,
sebagaimana terlihat dalam pemikiran Martin Heidegger, yang menekankan Dasein
sebagai keberadaan yang menafsirkan keberadaannya sendiri.3
Demikian pula, objek
material seperti “masyarakat” mengalami perluasan dimensi analisis dari
teori politik normatif (seperti dalam pemikiran Plato atau Hobbes), ke arah
kritik ideologi, struktur kekuasaan, dan relasi diskursif, sebagaimana
dikembangkan oleh filsuf-filsuf post-strukturalis seperti Michel Foucault.4
Transformasi ini
menunjukkan bahwa filsafat bersifat responsif terhadap realitas
baru dengan cara mengevaluasi kembali dan mereformulasi objek
materialnya, sekaligus mengembangkan cabang atau paradigma baru sebagai
konsekuensinya.
5.3.
Interkoneksi antara Objek Material dan Isu-Isu
Kontemporer
Dalam dunia
kontemporer, kompleksitas realitas sosial, politik, teknologi, dan ekologis
menghadirkan tantangan baru yang menuntut ekspansi terhadap objek material
filsafat. Isu-isu seperti krisis lingkungan, kecerdasan
buatan (AI), bioetika, hingga keadilan
global memunculkan objek-objek baru dalam filsafat, dan
mendorong kelahiran cabang seperti filsafat lingkungan, filsafat
teknologi, dan filsafat feminis.
Menurut Holmes
Rolston III, dalam konteks filsafat lingkungan, objek material filsafat tidak
lagi hanya manusia dan moralitas individual, tetapi mencakup spesies,
ekosistem, dan keberlanjutan ekologis secara keseluruhan.5 Sementara
itu, dalam filsafat teknologi, pemikiran seperti yang dikembangkan oleh Don
Ihde mengkaji hubungan manusia dengan teknologi bukan semata sebagai alat,
melainkan sebagai mediasi yang memengaruhi struktur kesadaran dan cara manusia
memahami dunia.6
Ini menunjukkan
bahwa objek
material tidak bersifat statis, melainkan terbuka
terhadap perluasan konseptual dan aktualisasi baru seiring
kemunculan fenomena-fenomena baru dalam kehidupan manusia.
5.4.
Fungsi Normatif dan Kritis dari Objek Material
Objek material filsafat
juga memainkan peran normatif dan kritis dalam menghadirkan refleksi terhadap nilai,
makna,
dan tujuan
eksistensial manusia. Dalam hal ini, filsafat tidak hanya
menjelaskan realitas, tetapi juga mempertanyakannya secara mendalam untuk
menemukan makna-makna terdalam dari kehidupan dan keberadaan. Jean-Paul Sartre,
misalnya, memusatkan objek material filsafat pada kebebasan manusia dan
tanggung jawab eksistensialnya dalam dunia yang absurd.7 Filsafat
feminis mengalihkan fokus objek material dari abstraksi universal menjadi
pengalaman konkret kaum tertindas dan tubuh sebagai locus pengalaman
sosial-politik.8
Perluasan dan
pendalaman terhadap objek material inilah yang memungkinkan filsafat untuk
tetap menjadi medan pemikiran yang relevan, tajam, dan visioner dalam setiap
zaman.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece
and Rome (New York: Image Books, 1993), 17–25.
[2]
Aristoteles, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
689–692.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–47.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–30.
[5]
Holmes Rolston III, “Environmental Ethics: Values in and Duties to the
Natural World,” in The Oxford Handbook of Environmental Ethics, ed.
Stephen M. Gardiner and Allen Thompson (Oxford: Oxford University Press, 2017),
58–74.
[6]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 23–41.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 483–492.
[8]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), xxiii–xxx.
6.
Tantangan dan Dinamika Objek Material Filsafat
di Era Modern
Objek material
filsafat, sebagaimana telah dikaji dalam bagian-bagian sebelumnya, bersifat
dinamis dan adaptif terhadap perubahan konteks zaman. Di era modern dan
kontemporer, filsafat menghadapi tantangan baru yang bersumber dari perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya global, dan krisis eksistensial manusia
modern. Semua perubahan ini tidak hanya menuntut filsafat untuk
menyesuaikan kembali metode dan pendekatannya, tetapi juga meninjau ulang
cakupan dan orientasi objek material yang menjadi pusat perhatiannya. Dengan
demikian, objek material filsafat di era modern mengalami
perluasan, rekontekstualisasi, dan bahkan transformasi radikal.
6.1.
Perluasan Objek Material akibat Kemajuan Sains
dan Teknologi
Salah satu tantangan
utama dalam era modern adalah interseksi antara filsafat dan ilmu-ilmu
positif, khususnya sains dan teknologi. Kemajuan dalam bidang
neurobiologi, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan kosmologi menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan filosofis baru yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi
juga praktis dan etis. Hal ini mendorong filsafat untuk tidak hanya mengkaji
objek-objek klasik seperti keberadaan, pengetahuan, atau moralitas, tetapi juga
objek-objek baru seperti kesadaran buatan, identitas digital, rekayasa
genetika, dan tanggung jawab ekologis global.
Luciano Floridi,
dalam pengembangan Philosophy of Information,
menunjukkan bahwa manusia kini hidup dalam infosfera, sebuah ruang
eksistensial yang didominasi oleh informasi digital sebagai realitas baru.1
Akibatnya, objek material filsafat tidak lagi hanya “yang ada secara fisik,”
tetapi juga mencakup realitas virtual dan sistem informasi yang memengaruhi
kesadaran dan tindakan manusia.
6.2.
Rekontekstualisasi Objek Material melalui
Perspektif Interdisipliner
Filsafat kontemporer
juga mengalami tantangan dalam bentuk desakan interdisipliner, yang
mengaburkan batas-batas antara filsafat dan bidang-bidang lain seperti
antropologi, sosiologi, linguistik, studi budaya, dan bahkan seni.
Pendekatan-pendekatan seperti filsafat post-strukturalis, hermeneutika
kontemporer, dan filsafat kritis memperluas objek material
filsafat ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap berada di luar jangkauan
tradisional filsafat akademik.
Sebagai contoh,
Michel Foucault memperkenalkan pendekatan genealogis untuk menganalisis
kekuasaan, pengetahuan, dan tubuh manusia sebagai konstruksi diskursif dalam
sejarah tertentu, sehingga menjadikan diskursus dan praktik sosial
sebagai objek material filsafat yang sah.2 Ini menandakan pergeseran
dari filsafat sebagai refleksi metafisik menjadi filsafat sebagai kritik
terhadap struktur sosial dan relasi kuasa.
6.3.
Fragmentasi dan Dekonstruksi Objek Material
oleh Filsafat Postmodern
Di sisi lain,
filsafat pascamodern menantang eksistensi objek material sebagai sesuatu yang
utuh, universal, dan stabil. Jacques Derrida, melalui
pendekatan deconstruction,
menunjukkan bahwa setiap objek atau konsep filosofis selalu dibentuk oleh
oposisi biner yang tidak stabil, serta ditentukan oleh konteks bahasa dan
penundaan makna (différance).3 Dalam
konteks ini, objek material filsafat menjadi tidak lagi pasti dan tetap,
melainkan terfragmentasi, terbuka, dan senantiasa
tertunda dalam pemaknaannya.
Filsafat feminis,
postkolonial, dan queer juga turut mempersoalkan objek-objek material dominan
dalam sejarah filsafat Barat, seperti "manusia rasional",
"kebenaran universal", atau "subjek netral".
Mereka menggantinya dengan pengalaman partikular, tubuh yang
terpinggirkan, dan perspektif minoritas, sehingga memperluas
dimensi objek material ke wilayah yang lebih kontekstual dan pluralistik.4
6.4.
Krisis Makna dan Tuntutan Rehumanisasi Objek Material
Di tengah kemajuan
teknologi dan globalisasi yang masif, filsafat juga dihadapkan pada krisis
eksistensial dalam bentuk dehumanisasi, alienasi, dan
kekosongan makna hidup. Oleh karena itu, filsafat kontemporer dipanggil untuk merehumanisasi
objek materialnya, dengan kembali memberi perhatian pada
pengalaman manusia yang otentik, relasi etis antar-subjek, serta dimensi
spiritualitas dan kebermaknaan hidup.
Charles Taylor,
dalam karyanya Sources of the Self, menegaskan
bahwa proyek modernitas yang menekankan rasionalitas dan individualisme telah
menghasilkan subjek yang terpisah dari akar-akar spiritual dan komunitas nilai,
sehingga mengharuskan filsafat untuk menghidupkan kembali pencarian makna
sebagai objek kajian utama.5
Footnotes
[1]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 5–15.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 3–17.
[3]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–294.
[4]
Linda Alcoff, “The Problem of Speaking for Others,” Cultural
Critique, no. 20 (1991): 5–32.
[5]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–30.
7.
Kesimpulan
Kajian tentang objek
material filsafat merupakan langkah awal yang sangat penting
dalam memahami bagaimana filsafat bekerja sebagai disiplin ilmu reflektif,
radikal, dan menyeluruh. Sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian
sebelumnya, objek material filsafat adalah
segala sesuatu yang ada, baik dalam bentuk fisik maupun
metafisik, konkret maupun abstrak. Objek ini menjadi titik pangkal seluruh
perenungan filosofis karena ia menyediakan “bahan mentah” yang diproses oleh
filsafat melalui pendekatan rasional, kritis, dan sistematis.1
Distingsi antara objek
material dan objek formal filsafat
menunjukkan bahwa keunikan filsafat terletak bukan pada objeknya yang
eksklusif, melainkan pada sudut pandangnya dalam mengkaji objek tersebut.2
Objek material filsafat bersifat luas, lintas tema, dan universal, tetapi
pendekatan filosofis menempatkannya dalam kerangka pencarian makna terdalam,
keutuhan hakikat, dan prinsip-prinsip pertama (principia prima) yang melampaui
pendekatan empiris atau teknis sebagaimana lazim dalam ilmu positif.
Pembahasan mengenai klasifikasi
objek material filsafat juga menegaskan bahwa setiap cabang
filsafat berkembang berdasarkan fokus tematik tertentu yang secara historis dan
sistematis membentuk ruang-ruang perenungan baru. Filsafat metafisika mengkaji
realitas sebagai being, filsafat manusia menelaah
hakikat eksistensi manusia, filsafat moral mengupas nilai dan norma, dan
epistemologi mendalami struktur serta batas-batas pengetahuan manusia.3
Perkembangan ini mencerminkan keragaman wajah filsafat yang terus hidup dan
adaptif dalam membaca zaman.
Dalam perkembangan
filsafat kontemporer, objek material tidak lagi terbatas pada
entitas klasik seperti manusia, alam, atau Tuhan, tetapi telah mengalami
perluasan hingga mencakup realitas sosial, ekologis, teknologi digital, hingga
tubuh dan identitas kultural. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat
bukan sekadar warisan teoritis, melainkan medan pemikiran yang
terus berevolusi dan berkontribusi pada pembentukan kesadaran kritis manusia
modern.4
Namun demikian,
dinamika ini juga membawa tantangan baru. Munculnya
postmodernisme, kritik terhadap universalisme Barat, serta disrupsi akibat
teknologi menuntut filsafat untuk terus meninjau ulang objek-objek materialnya,
bahkan untuk bersikap lebih inklusif dan kontekstual.5 Interseksi
antara filsafat dan disiplin lain seperti ilmu komputer, ekologi, serta studi
gender dan postkolonialitas memperlihatkan bahwa filsafat kini berada dalam era
yang plural, transdisipliner, dan menuntut sensitivitas baru terhadap
kompleksitas realitas global.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kajian terhadap objek material filsafat tidak hanya
penting untuk memahami struktur internal filsafat itu sendiri,
tetapi juga esensial untuk meneguhkan peran filsafat dalam menanggapi
realitas kontemporer yang semakin kompleks dan multivokal. Di
tengah krisis makna dan fragmentasi nilai dewasa ini, pengenalan yang mendalam
terhadap objek material filsafat dapat menjadi pijakan reflektif untuk
membangun kembali orientasi intelektual dan moral manusia sebagai subjek
berpikir yang otonom dan bertanggung jawab.6
Footnotes
[1]
Kaelan, Filsafat Umum (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 20–21.
[2]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 15.
[3]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001),
11–14.
[4]
Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple
(New York: Doubleday, 1993), 6–9.
[5]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–282.
[6]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 3–30.
Daftar Pustaka
Alcoff, L. (1991). The
problem of speaking for others. Cultural Critique, (20), 5–32. https://doi.org/10.2307/1354221
Aristotle. (2001). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle
(pp. 689–692). Modern Library.
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Beardsley, M. C. (1958). Aesthetics:
Problems in the philosophy of criticism. Harcourt.
Bertens, K. (2001). Pengantar
filsafat. Gramedia.
Bertens, K. (2005). Etika.
Gramedia.
Copleston, F. (1993). A
history of philosophy, Vol. I: Greece and Rome. Image Books.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Floridi, L. (2011). The
philosophy of information. Oxford University Press.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Ihde, D. (1990). Technology
and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.
Kaelan. (2013). Filsafat
umum. Paradigma.
Popkin, R. H., &
Stroll, A. (1993). Philosophy made simple (Rev. ed.). Doubleday.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Rolston, H. III. (2017).
Environmental ethics: Values in and duties to the natural world. In S. M.
Gardiner & A. Thompson (Eds.), The Oxford handbook of environmental
ethics (pp. 58–74). Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1992). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Tafsir, A. (2000). Filsafat
umum: Akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Remaja Rosdakarya.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Titus, H. H., & Smith,
M. S. (2008). Living issues in philosophy (9th ed.). Oxford University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar