Sabtu, 02 November 2024

KOMITMEN KEBANGSAAN

KOMITMEN KEBANGSAAN

(Realitas keragaman, Prinsip kemajemukan, dan Empat pilar kebangsaan)

 


1.                 Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keragaman yang tinggi, terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya. Dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki sekitar 1.300 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah (Badan Pusat Statistik, 2020). Di tengah keberagaman yang begitu kaya, komitmen kebangsaan menjadi fondasi yang penting untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan bahwa meskipun berbeda-beda, masyarakat Indonesia tetap satu dalam semangat kebangsaan.

Komitmen kebangsaan diperlukan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang seringkali menimbulkan pengaruh asing dan perubahan nilai di kalangan generasi muda. Realitas keragaman yang ada di Indonesia membawa peluang sekaligus tantangan, khususnya dalam mencegah potensi konflik yang mungkin muncul akibat perbedaan latar belakang sosial-budaya. Sebagai negara yang pluralistik, Indonesia harus mengedepankan prinsip kemajemukan yang mengakui, menghargai, dan mengakomodasi perbedaan tersebut tanpa menimbulkan diskriminasi. Dalam konteks ini, penting bagi setiap warga negara untuk memahami dan mengimplementasikan Empat Pilar Kebangsaan —Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika— yang menjadi dasar komitmen kebangsaan (Latif, 2011).

Namun, seiring perkembangan zaman, terdapat ancaman yang dapat menggerus rasa kebangsaan. Peningkatan penggunaan media sosial misalnya, membawa dampak baik dan buruk; di satu sisi, media sosial mempermudah komunikasi dan penyebaran informasi, namun di sisi lain, memicu persebaran informasi yang tidak benar atau hoaks yang berpotensi memecah belah persatuan (Rachmat, 2019). Kondisi ini memerlukan penguatan komitmen kebangsaan melalui pendidikan nilai-nilai kebangsaan dan kesadaran sosial.

Oleh karena itu, artikel ini akan mengkaji pentingnya komitmen kebangsaan dalam konteks realitas keragaman di Indonesia, prinsip kemajemukan sebagai fondasi persatuan, serta peran empat pilar kebangsaan dalam memperkuat komitmen ini. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus memperkuat ikatan kebangsaan dan menjaga persatuan di tengah arus perubahan zaman.

 

Referensi

-          Badan Pusat Statistik. (2020). "Statistik Indonesia: Beragam Data Sosial-Budaya."

-          Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

-          Rachmat, Jalaluddin. (2019). Komunikasi dan Kebangsaan di Era Digital. Jakarta: Mizan.

 

2.                 Realitas Keragaman di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan keragaman sosial dan budaya yang luar biasa. Keragaman ini tampak dari banyaknya suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa, dengan beberapa yang dominan seperti suku Jawa, Sunda, Batak, dan Minangkabau, namun banyak pula yang merupakan kelompok minoritas yang hanya tersebar di wilayah tertentu (BPS, 2020). Selain itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat keragaman bahasa tertinggi di dunia (Ananta, Arifin, & Hasbullah, 2015).

Keragaman ini tidak hanya terbatas pada aspek suku dan bahasa, tetapi juga meliputi agama dan kepercayaan. Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, di luar itu, terdapat pula berbagai aliran kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat adat, seperti Kaharingan di Kalimantan dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Dalam konteks ini, keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia memerlukan toleransi yang tinggi, karena perbedaan keyakinan dapat menjadi sumber kekayaan budaya, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik (Fakih, 2012).

Keragaman sosial dan budaya Indonesia berperan penting dalam pembentukan identitas nasional yang unik. Setiap kelompok etnis di Indonesia memiliki tradisi, adat istiadat, dan budaya yang khas, seperti upacara adat, tarian, pakaian tradisional, hingga sistem nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan memiliki tradisi pemakaman yang sangat khas, sementara suku Asmat di Papua terkenal dengan seni ukirnya yang unik dan mendalam (Hidayah, 2017). Keberagaman ini merupakan bagian integral dari kekayaan budaya nasional yang harus dijaga dan dilestarikan.

Namun, di balik keindahan keragaman ini, terdapat tantangan yang harus dihadapi. Keberagaman sering kali berpotensi menimbulkan konflik horizontal, terutama ketika terjadi kesenjangan sosial atau ketidakadilan. Contoh yang sering terjadi adalah konflik antar kelompok etnis atau agama yang dapat timbul akibat perbedaan kepentingan atau pemahaman yang kurang tepat tentang satu sama lain. Dalam kondisi inilah pentingnya komitmen kebangsaan untuk memperkuat persatuan, sehingga keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan.

Dengan memahami dan menerima realitas keragaman ini, masyarakat Indonesia diharapkan dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati perbedaan, dan bekerja sama dalam membangun bangsa. Melalui kerangka Bhinneka Tunggal Ika, keragaman di Indonesia seharusnya dapat menjadi sumber kekuatan yang memperkaya identitas nasional dan meningkatkan solidaritas di antara warganya.

 

Referensi

-          Ananta, A., Arifin, E.N., & Hasbullah, M.S. (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

-          Badan Pusat Statistik. (2020). "Statistik Indonesia: Beragam Data Sosial-Budaya."

-          Fakih, Mansour. (2012). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-          Hidayah, Zulyani. (2017). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

3.                 Prinsip Kemajemukan sebagai Fondasi Persatuan

Prinsip kemajemukan merupakan landasan penting bagi bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan di tengah keragaman budaya, agama, bahasa, dan suku bangsa. Kemajemukan bukan sekadar realitas, melainkan sebuah nilai yang telah melekat dalam tatanan sosial Indonesia sejak masa lalu. Prinsip ini mengajarkan setiap warga negara untuk menghormati dan mengapresiasi perbedaan sebagai kekayaan yang memperkaya kebudayaan nasional. Dalam konteks inilah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu," menjadi sangat relevan sebagai cerminan ideal kehidupan bermasyarakat di Indonesia (Geertz, 1960).

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia juga memainkan peran penting dalam menguatkan prinsip kemajemukan. Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” misalnya, mengakui adanya kebebasan beragama dan menghormati keyakinan setiap individu. Sementara itu, sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman, mendorong semangat gotong royong dan kerja sama di antara berbagai kelompok masyarakat. Pancasila menjadi perekat yang mengajarkan toleransi dan sikap saling menghargai dalam konteks kebhinekaan Indonesia (Kaelan, 2010).

Di sisi lain, prinsip kemajemukan dalam masyarakat Indonesia juga sejalan dengan pandangan multikulturalisme yang mengakui hak setiap kelompok untuk mempertahankan identitas budaya masing-masing tanpa adanya diskriminasi. Menurut ahli sosiologi Will Kymlicka, multikulturalisme merupakan pendekatan yang menghargai hak-hak budaya minoritas dan memungkinkan setiap kelompok untuk hidup berdampingan secara harmonis dalam satu negara (Kymlicka, 2001). Pandangan ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana kesetaraan dan keadilan sosial harus diperjuangkan di tengah pluralitas. Dengan demikian, kemajemukan di Indonesia bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi juga menyediakan ruang bagi keberagaman untuk tumbuh dan berkembang dalam kerangka persatuan.

Selain itu, prinsip kemajemukan juga dipelihara melalui berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung inklusivitas, seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan berpendapat, beragama, dan berbudaya bagi semua warga negara. Dalam konteks pendidikan, pemerintah juga menerapkan program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah, dengan tujuan menanamkan nilai-nilai toleransi, saling menghargai, dan mengakui keberagaman sejak usia dini (Wahid, 2017). Kebijakan-kebijakan ini merupakan upaya nyata untuk menjaga kemajemukan sebagai fondasi persatuan dan mencegah potensi konflik akibat kesalahpahaman atau prasangka antargolongan.

Namun, menjaga kemajemukan sebagai fondasi persatuan tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah adanya persebaran informasi yang keliru atau hoaks yang dapat memicu konflik. Di era digital saat ini, media sosial sering kali menjadi medium penyebaran berita yang tidak benar, yang berpotensi memperkeruh hubungan antarkelompok. Oleh karena itu, setiap warga negara harus memiliki kesadaran untuk menyaring informasi secara bijak serta mengedepankan sikap toleransi dan empati terhadap perbedaan.

Prinsip kemajemukan adalah modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Melalui penghormatan terhadap keberagaman, Indonesia dapat terus berkembang sebagai bangsa yang kuat, bersatu, dan harmonis. Dengan demikian, prinsip kemajemukan bukan hanya sekadar landasan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari identitas nasional yang terus diperkuat demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Referensi

-          Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

-          Kaelan. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

-          Kymlicka, Will. (2001). Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship. Oxford: Oxford University Press.

-          Wahid, Yenny. (2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid Foundation.

 

4.                 Empat Pilar Kebangsaan sebagai Dasar Komitmen

Empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, merupakan fondasi utama yang membangun komitmen kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keempat pilar ini menjadi panduan moral dan konstitusional bagi seluruh warga negara dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman. Mereka adalah hasil perjuangan panjang bangsa Indonesia dan refleksi dari nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dalam membangun negara yang kuat, adil, dan sejahtera (Latif, 2011).

4.1.            Pancasila: Ideologi dan Panduan Moral Bangsa

Sebagai dasar negara, Pancasila adalah sumber nilai yang memandu kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Lima sila dalam Pancasila mengandung prinsip-prinsip dasar yang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” menegaskan pentingnya keberagaman agama dan keyakinan, tetapi dalam semangat persatuan. Sementara sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menekankan pentingnya menjaga persatuan di tengah keberagaman. Pancasila bukan sekadar ideologi politik, tetapi juga panduan moral bagi setiap warga negara untuk hidup dalam damai dan saling menghormati perbedaan (Kaelan, 2010). Dalam konteks kemajemukan, Pancasila mendorong masyarakat untuk menerapkan toleransi, gotong royong, dan empati, yang menjadi pilar bagi persatuan bangsa.

4.2.            UUD 1945: Dasar Konstitusional dan Penegakan Hak Warga Negara

Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang mengatur hak-hak dan kewajiban warga negara, termasuk hak untuk hidup bebas dan bermartabat, yang mencakup kebebasan beragama, berpendapat, dan berbudaya. UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam menjalankan aktivitasnya tanpa diskriminasi. Pasal 28E UUD 1945, misalnya, menyatakan kebebasan bagi setiap warga negara untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, sementara Pasal 29 menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Dengan demikian, UUD 1945 bukan hanya sebagai hukum tertinggi, tetapi juga sebagai instrumen yang menjaga harmoni di tengah keberagaman bangsa Indonesia (Asshiddiqie, 2011).

4.3.            Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): Wujud Persatuan Wilayah dan Bangsa

Konsep NKRI merupakan bentuk nyata dari persatuan bangsa yang mencakup seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Sabang hingga Merauke. Bentuk negara kesatuan ini mencerminkan kesepakatan untuk membangun bangsa dalam satu wadah yang solid dan tidak terpecah-pecah. NKRI adalah perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah dari segala ancaman disintegrasi. Konsep NKRI sangat penting karena memastikan bahwa seluruh wilayah di Indonesia diikat dalam satu kesatuan yang sama, meskipun terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya (Darmaputera, 1985). NKRI menjadi pilar yang menguatkan komitmen bersama seluruh elemen bangsa untuk hidup dalam satu kesatuan dan menolak segala bentuk separatisme.

4.4.            Bhinneka Tunggal Ika: Prinsip Persatuan dalam Keberagaman

Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu," adalah semboyan yang menggambarkan semangat persatuan di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Ungkapan ini berasal dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14 dan menjadi simbol nasional yang menegaskan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah belah, tetapi adalah kekuatan yang menyatukan bangsa. Prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun masyarakat Indonesia berbeda dalam hal budaya, bahasa, dan agama, mereka tetap satu dalam visi kebangsaan yang sama. Bhinneka Tunggal Ika memperkuat persatuan di tengah perbedaan dan mendorong sikap saling menghargai sebagai kunci untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis (Mangunwijaya, 1994).

Keempat pilar kebangsaan ini berfungsi sebagai dasar komitmen kebangsaan yang mendalam dan berkesinambungan. Dengan menanamkan pemahaman tentang keempat pilar ini kepada generasi muda, diharapkan Indonesia dapat terus mempertahankan persatuan dan menghadapi berbagai tantangan globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan adalah panduan yang membantu masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan dengan damai, saling menghargai, dan berkontribusi pada kesejahteraan nasional.

 

Referensi

-          Asshiddiqie, Jimly. (2011). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

-          Darmaputera, Eka. (1985). Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society. Leiden: Brill.

-          Kaelan. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

-          Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

-          Mangunwijaya, Y.B. (1994). Menuju Negara Kebangsaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

 

5.                 Tantangan dan Upaya Mewujudkan Komitmen Kebangsaan

5.1.            Tantangan dalam Mewujudkan Komitmen Kebangsaan

Mewujudkan komitmen kebangsaan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tidaklah mudah. Tantangan-tantangan seperti intoleransi, penyebaran informasi yang tidak akurat (hoaks), serta ketimpangan sosial dan ekonomi sering kali mengancam persatuan bangsa. Setiap tantangan ini membutuhkan penanganan yang tepat dan melibatkan peran serta dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas.

5.1.1.      Tantangan Intoleransi dan Polarisasi Sosial

Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga komitmen kebangsaan adalah adanya sikap intoleransi yang berkembang di masyarakat. Intoleransi, baik yang terkait dengan perbedaan agama, etnis, maupun pandangan politik, dapat mengarah pada polarisasi sosial dan mengganggu keharmonisan. Laporan Setara Institute (2020) menunjukkan bahwa intoleransi agama dan kekerasan berbasis kepercayaan masih menjadi isu serius di beberapa daerah di Indonesia. Sikap intoleransi ini sering kali diperparah oleh kurangnya pemahaman akan pentingnya keberagaman dan semangat gotong royong.

5.1.2.      Penyebaran Hoaks dan Disinformasi

Di era digital, media sosial telah menjadi platform utama dalam menyebarkan informasi dengan cepat. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar akurat. Hoaks dan disinformasi sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat dan memicu konflik antarkelompok. Misalnya, isu-isu sensitif terkait agama atau etnisitas yang disebarluaskan tanpa verifikasi dapat memicu konflik horizontal. Hoaks seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan antarwarga negara, tetapi juga dapat merongrong kepercayaan terhadap institusi negara (Nugroho, 2018). Hal ini menunjukkan pentingnya literasi digital sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam menyaring informasi yang benar dan dapat dipercaya.

5.1.3.      Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi tantangan lain dalam mewujudkan komitmen kebangsaan. Ketimpangan ini sering kali memicu perasaan tidak adil di kalangan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Ketimpangan ini dapat berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan perpecahan di tengah masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) menunjukkan bahwa indeks gini di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan, terutama di daerah-daerah tertentu. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu memastikan distribusi pembangunan yang lebih merata sehingga seluruh masyarakat dapat merasakan manfaat pembangunan.

5.2.            Upaya dalam Mewujudkan Komitmen Kebangsaan

Untuk menghadapi tantangan-tantangan di atas, berbagai upaya perlu dilakukan, baik melalui pendidikan kebangsaan, peningkatan literasi digital, maupun penguatan kebijakan inklusif.

5.2.1.      Pendidikan Kebangsaan dan Multikulturalisme

Pendidikan memiliki peran sentral dalam menanamkan komitmen kebangsaan sejak usia dini. Pendidikan kebangsaan di sekolah-sekolah dapat membantu siswa memahami nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kurikulum yang mengedepankan multikulturalisme dan toleransi juga penting untuk mengajarkan siswa menghargai perbedaan dan mengembangkan empati (Wahid, 2017). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berupaya menerapkan pendidikan multikulturalisme melalui pelajaran-pelajaran yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan di sekolah-sekolah.

5.2.2.      Peningkatan Literasi Digital

Literasi digital menjadi sangat penting untuk melawan hoaks dan disinformasi yang tersebar luas di media sosial. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, bersama dengan berbagai organisasi masyarakat, telah menggalakkan program literasi digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menyaring informasi sebelum menyebarkannya. Literasi digital juga mengajarkan masyarakat cara memverifikasi informasi, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh hoaks yang dapat memecah belah persatuan bangsa (Heryanto, 2019).

5.2.3.      Penguatan Kebijakan Inklusif dan Pemerataan Pembangunan

Untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil serta program-program bantuan sosial yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan inklusif yang mencakup seluruh lapisan masyarakat dan memperhatikan keadilan sosial adalah kunci dalam meredakan ketimpangan dan meningkatkan kohesi sosial. Program seperti Dana Desa dan pembangunan daerah tertinggal diharapkan mampu mendorong pemerataan pembangunan sehingga seluruh masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan, merasakan manfaatnya (World Bank, 2020).

5.2.4.      Membangun Dialog Lintas Agama dan Budaya

Dialog antaragama dan budaya adalah pendekatan yang efektif dalam mengatasi sikap intoleransi. Melalui dialog, setiap pihak dapat saling memahami dan belajar tentang nilai-nilai yang dianut oleh kelompok lain. Beberapa organisasi masyarakat, seperti Wahid Foundation dan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), telah aktif mengadakan kegiatan dialog lintas agama untuk meningkatkan pemahaman antarwarga negara. Dengan memperbanyak ruang dialog, masyarakat dapat lebih saling mengenal dan menghargai perbedaan, sehingga memperkuat ikatan kebangsaan (Azra, 2007).

5.3.            Kesimpulan

Mewujudkan komitmen kebangsaan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam memang penuh tantangan, namun berbagai upaya nyata dari pemerintah dan masyarakat dapat membantu mengatasi hambatan ini. Pendidikan kebangsaan, literasi digital, pemerataan pembangunan, serta dialog lintas agama dan budaya adalah langkah-langkah konkret yang mendukung terwujudnya komitmen kebangsaan yang kokoh. Dengan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat, tantangan dalam menjaga persatuan dan kebhinekaan dapat dihadapi demi tercapainya cita-cita nasional.

 

Referensi

-          Azra, Azyumardi. (2007). Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta: Equinox Publishing.

-          Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Statistik Ketimpangan Sosial Ekonomi.

-          Heryanto, Ariel. (2019). The Social Media in Post-Reformasi Indonesia. Routledge.

-          Nugroho, Yanuar. (2018). Digital Divide and Its Challenges in Indonesia. Jakarta: Kominfo.

-          Setara Institute. (2020). Indeks Kota Toleran 2020. Jakarta: Setara Institute.

-          Wahid, Yenny. (2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid Foundation.

-          World Bank. (2020). Indonesia’s Economic Development Report.

 

6.                 Kesimpulan

Komitmen kebangsaan merupakan elemen vital dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang sangat beragam. Melalui realitas keragaman, prinsip kemajemukan, dan penerapan empat pilar kebangsaan —Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika— Indonesia memiliki landasan kuat untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan bersatu dalam perbedaan. Keempat pilar ini tidak hanya menjadi panduan hukum dan moral, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman dalam memperkokoh rasa persatuan di tengah keragaman budaya, agama, bahasa, dan etnis yang ada (Latif, 2011; Kaelan, 2010).

Namun, mewujudkan komitmen kebangsaan di Indonesia tidak terlepas dari tantangan. Intoleransi, penyebaran informasi yang tidak benar, serta ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi ancaman nyata bagi persatuan bangsa. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya yang komprehensif, mulai dari pendidikan kebangsaan yang menanamkan nilai-nilai Pancasila dan toleransi, hingga peningkatan literasi digital yang membantu masyarakat dalam menyaring informasi (Heryanto, 2019; Wahid, 2017).

Selain itu, penguatan kebijakan inklusif yang memastikan pemerataan pembangunan juga sangat penting untuk meredakan ketimpangan sosial. Pemerintah, masyarakat, dan semua elemen bangsa perlu berkolaborasi untuk menjaga dan mewujudkan komitmen kebangsaan melalui berbagai program yang memupuk semangat gotong royong, penghormatan terhadap keberagaman, dan kerja sama dalam membangun masa depan Indonesia (World Bank, 2020).

Secara keseluruhan, komitmen kebangsaan bukan hanya sebuah slogan, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pendidikan, dialog, maupun praktik toleransi. Dengan memperkuat kesadaran akan pentingnya keberagaman sebagai aset bangsa dan mengaplikasikan nilai-nilai kebangsaan dalam setiap aspek kehidupan, masyarakat Indonesia dapat bersama-sama mencapai visi besar persatuan yang mengedepankan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Seperti yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan adalah kekuatan, bukan penghalang bagi kemajuan bangsa.

 

Referensi

-          Heryanto, Ariel. (2019). The Social Media in Post-Reformasi Indonesia. Routledge.

-          Kaelan. (2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

-          Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

-          Wahid, Yenny. (2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid Foundation.

-          World Bank. (2020). Indonesia’s Economic Development Report.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar