KOMITMEN KEBANGSAAN
(Realitas
keragaman, Prinsip kemajemukan, dan Empat pilar kebangsaan)
1.
Pendahuluan
Indonesia
dikenal sebagai negara dengan tingkat keragaman yang tinggi, terdiri dari
berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya. Dengan lebih dari 17.000 pulau,
Indonesia memiliki sekitar 1.300 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah (Badan
Pusat Statistik, 2020). Di tengah keberagaman yang begitu kaya,
komitmen kebangsaan menjadi fondasi yang penting untuk mempertahankan persatuan
dan kesatuan bangsa. Hal ini sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan bahwa meskipun
berbeda-beda, masyarakat Indonesia tetap satu dalam semangat kebangsaan.
Komitmen
kebangsaan diperlukan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang seringkali
menimbulkan pengaruh asing dan perubahan nilai di kalangan generasi muda.
Realitas keragaman yang ada di Indonesia membawa peluang sekaligus tantangan,
khususnya dalam mencegah potensi konflik yang mungkin muncul akibat perbedaan
latar belakang sosial-budaya. Sebagai negara yang pluralistik, Indonesia harus
mengedepankan prinsip kemajemukan yang mengakui, menghargai, dan mengakomodasi
perbedaan tersebut tanpa menimbulkan diskriminasi. Dalam konteks ini, penting
bagi setiap warga negara untuk memahami dan mengimplementasikan Empat
Pilar Kebangsaan —Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika— yang
menjadi dasar komitmen kebangsaan (Latif, 2011).
Namun,
seiring perkembangan zaman, terdapat ancaman yang dapat menggerus rasa
kebangsaan. Peningkatan penggunaan media sosial misalnya, membawa dampak baik
dan buruk; di satu sisi, media sosial mempermudah komunikasi dan penyebaran
informasi, namun di sisi lain, memicu persebaran informasi yang tidak benar
atau hoaks yang berpotensi memecah belah persatuan (Rachmat,
2019). Kondisi ini memerlukan penguatan komitmen kebangsaan melalui pendidikan
nilai-nilai kebangsaan dan kesadaran sosial.
Oleh karena
itu, artikel ini akan mengkaji pentingnya komitmen kebangsaan dalam konteks
realitas keragaman di Indonesia, prinsip kemajemukan sebagai fondasi persatuan,
serta peran empat pilar kebangsaan dalam memperkuat komitmen ini. Dengan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek ini, diharapkan masyarakat
Indonesia dapat terus memperkuat ikatan kebangsaan dan menjaga persatuan di
tengah arus perubahan zaman.
Referensi
-
Badan Pusat Statistik.
(2020). "Statistik Indonesia: Beragam Data Sosial-Budaya."
-
Latif, Yudi. (2011).
Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Rachmat, Jalaluddin.
(2019). Komunikasi dan Kebangsaan di Era Digital. Jakarta: Mizan.
2.
Realitas Keragaman di Indonesia
Indonesia
merupakan negara dengan keragaman sosial dan budaya yang luar biasa. Keragaman
ini tampak dari banyaknya suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya yang tersebar
di berbagai wilayah Nusantara. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia
memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa, dengan beberapa yang dominan seperti
suku Jawa, Sunda, Batak, dan Minangkabau, namun banyak pula yang merupakan
kelompok minoritas yang hanya tersebar di wilayah tertentu (BPS,
2020). Selain itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 700 bahasa daerah,
menjadikannya salah satu negara dengan tingkat keragaman bahasa tertinggi di
dunia (Ananta, Arifin, & Hasbullah,
2015).
Keragaman ini
tidak hanya terbatas pada aspek suku dan bahasa, tetapi juga meliputi agama dan
kepercayaan. Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, di luar itu, terdapat pula
berbagai aliran kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat adat, seperti
Kaharingan di Kalimantan dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Dalam konteks ini,
keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia memerlukan toleransi yang tinggi,
karena perbedaan keyakinan dapat menjadi sumber kekayaan budaya, tetapi juga
berpotensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik (Fakih,
2012).
Keragaman
sosial dan budaya Indonesia berperan penting dalam pembentukan identitas
nasional yang unik. Setiap kelompok etnis di Indonesia memiliki tradisi, adat
istiadat, dan budaya yang khas, seperti upacara adat, tarian, pakaian
tradisional, hingga sistem nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Misalnya, masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan memiliki tradisi pemakaman yang
sangat khas, sementara suku Asmat di Papua terkenal dengan seni ukirnya yang unik
dan mendalam (Hidayah, 2017). Keberagaman ini merupakan bagian
integral dari kekayaan budaya nasional yang harus dijaga dan dilestarikan.
Namun, di
balik keindahan keragaman ini, terdapat tantangan yang harus dihadapi.
Keberagaman sering kali berpotensi menimbulkan konflik horizontal, terutama
ketika terjadi kesenjangan sosial atau ketidakadilan. Contoh yang sering
terjadi adalah konflik antar kelompok etnis atau agama yang dapat timbul akibat
perbedaan kepentingan atau pemahaman yang kurang tepat tentang satu sama lain.
Dalam kondisi inilah pentingnya komitmen kebangsaan untuk memperkuat persatuan,
sehingga keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan.
Dengan
memahami dan menerima realitas keragaman ini, masyarakat Indonesia diharapkan
dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati perbedaan, dan
bekerja sama dalam membangun bangsa. Melalui kerangka Bhinneka Tunggal Ika,
keragaman di Indonesia seharusnya dapat menjadi sumber kekuatan yang memperkaya
identitas nasional dan meningkatkan solidaritas di antara warganya.
Referensi
-
Ananta, A., Arifin,
E.N., & Hasbullah, M.S. (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
-
Badan Pusat Statistik.
(2020). "Statistik Indonesia: Beragam Data Sosial-Budaya."
-
Fakih, Mansour.
(2012). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
-
Hidayah, Zulyani. (2017). Ensiklopedi
Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
3.
Prinsip Kemajemukan sebagai Fondasi
Persatuan
Prinsip
kemajemukan merupakan landasan penting bagi bangsa Indonesia dalam menjaga
persatuan di tengah keragaman budaya, agama, bahasa, dan suku bangsa.
Kemajemukan bukan sekadar realitas, melainkan sebuah nilai yang telah melekat
dalam tatanan sosial Indonesia sejak masa lalu. Prinsip ini mengajarkan setiap
warga negara untuk menghormati dan mengapresiasi perbedaan sebagai kekayaan
yang memperkaya kebudayaan nasional. Dalam konteks inilah semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu,"
menjadi sangat relevan sebagai cerminan ideal kehidupan bermasyarakat di Indonesia
(Geertz, 1960).
Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia juga memainkan peran penting dalam menguatkan
prinsip kemajemukan. Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” misalnya,
mengakui adanya kebebasan beragama dan menghormati keyakinan setiap individu.
Sementara itu, sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menekankan pentingnya
persatuan dalam keberagaman, mendorong semangat gotong royong dan kerja sama di
antara berbagai kelompok masyarakat. Pancasila menjadi perekat yang mengajarkan
toleransi dan sikap saling menghargai dalam konteks kebhinekaan Indonesia (Kaelan,
2010).
Di sisi lain,
prinsip kemajemukan dalam masyarakat Indonesia juga sejalan dengan pandangan
multikulturalisme yang mengakui hak setiap kelompok untuk mempertahankan
identitas budaya masing-masing tanpa adanya diskriminasi. Menurut ahli
sosiologi Will Kymlicka, multikulturalisme merupakan pendekatan yang menghargai
hak-hak budaya minoritas dan memungkinkan setiap kelompok untuk hidup
berdampingan secara harmonis dalam satu negara (Kymlicka, 2001).
Pandangan ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana kesetaraan dan
keadilan sosial harus diperjuangkan di tengah pluralitas. Dengan demikian,
kemajemukan di Indonesia bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi juga
menyediakan ruang bagi keberagaman untuk tumbuh dan berkembang dalam kerangka
persatuan.
Selain itu,
prinsip kemajemukan juga dipelihara melalui berbagai kebijakan pemerintah yang
mendukung inklusivitas, seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan berpendapat, beragama, dan berbudaya
bagi semua warga negara. Dalam konteks pendidikan, pemerintah juga menerapkan
program pendidikan multikultural di sekolah-sekolah, dengan tujuan menanamkan
nilai-nilai toleransi, saling menghargai, dan mengakui keberagaman sejak usia
dini (Wahid, 2017). Kebijakan-kebijakan ini merupakan upaya nyata
untuk menjaga kemajemukan sebagai fondasi persatuan dan mencegah potensi
konflik akibat kesalahpahaman atau prasangka antargolongan.
Namun,
menjaga kemajemukan sebagai fondasi persatuan tidak lepas dari berbagai
tantangan. Salah satu tantangan utama adalah adanya persebaran informasi yang
keliru atau hoaks yang dapat memicu konflik. Di era digital saat ini, media
sosial sering kali menjadi medium penyebaran berita yang tidak benar, yang
berpotensi memperkeruh hubungan antarkelompok. Oleh karena itu, setiap warga
negara harus memiliki kesadaran untuk menyaring informasi secara bijak serta
mengedepankan sikap toleransi dan empati terhadap perbedaan.
Prinsip
kemajemukan adalah modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Melalui penghormatan terhadap keberagaman, Indonesia dapat terus berkembang
sebagai bangsa yang kuat, bersatu, dan harmonis. Dengan demikian, prinsip
kemajemukan bukan hanya sekadar landasan sosial, tetapi juga menjadi bagian
dari identitas nasional yang terus diperkuat demi menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa.
Referensi
-
Geertz, Clifford.
(1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.
-
Kaelan. (2010). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
-
Kymlicka, Will.
(2001). Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and
Citizenship. Oxford: Oxford University Press.
-
Wahid, Yenny.
(2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid
Foundation.
4.
Empat Pilar Kebangsaan sebagai Dasar
Komitmen
Empat Pilar
Kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika,
merupakan fondasi utama yang membangun komitmen kebangsaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keempat pilar ini menjadi panduan moral
dan konstitusional bagi seluruh warga negara dalam menjaga persatuan dan
kesatuan di tengah keberagaman. Mereka adalah hasil perjuangan panjang bangsa
Indonesia dan refleksi dari nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dalam
membangun negara yang kuat, adil, dan sejahtera (Latif, 2011).
4.1.
Pancasila: Ideologi
dan Panduan Moral Bangsa
Sebagai dasar
negara, Pancasila adalah sumber nilai yang memandu kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Lima sila dalam Pancasila mengandung prinsip-prinsip
dasar yang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Sila pertama, “Ketuhanan
yang Maha Esa,” menegaskan pentingnya keberagaman agama dan keyakinan,
tetapi dalam semangat persatuan. Sementara sila ketiga, “Persatuan Indonesia,”
menekankan pentingnya menjaga persatuan di tengah keberagaman. Pancasila bukan
sekadar ideologi politik, tetapi juga panduan moral bagi setiap warga negara
untuk hidup dalam damai dan saling menghormati perbedaan (Kaelan,
2010). Dalam konteks kemajemukan, Pancasila mendorong masyarakat untuk
menerapkan toleransi, gotong royong, dan empati, yang menjadi pilar bagi
persatuan bangsa.
4.2.
UUD 1945: Dasar
Konstitusional dan Penegakan Hak Warga Negara
Undang-Undang
Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang mengatur hak-hak dan kewajiban
warga negara, termasuk hak untuk hidup bebas dan bermartabat, yang mencakup
kebebasan beragama, berpendapat, dan berbudaya. UUD 1945 menjamin bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama dalam menjalankan aktivitasnya tanpa
diskriminasi. Pasal 28E UUD 1945, misalnya, menyatakan kebebasan bagi setiap
warga negara untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, sementara
Pasal 29 menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya. Dengan demikian, UUD 1945 bukan hanya sebagai hukum tertinggi,
tetapi juga sebagai instrumen yang menjaga harmoni di tengah keberagaman bangsa
Indonesia (Asshiddiqie, 2011).
4.3.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI): Wujud Persatuan Wilayah dan Bangsa
Konsep NKRI
merupakan bentuk nyata dari persatuan bangsa yang mencakup seluruh wilayah
Nusantara, mulai dari Sabang hingga Merauke. Bentuk negara kesatuan ini
mencerminkan kesepakatan untuk membangun bangsa dalam satu wadah yang solid dan
tidak terpecah-pecah. NKRI adalah perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk
menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah dari segala ancaman disintegrasi.
Konsep NKRI sangat penting karena memastikan bahwa seluruh wilayah di Indonesia
diikat dalam satu kesatuan yang sama, meskipun terdiri dari berbagai suku,
agama, dan budaya (Darmaputera, 1985). NKRI menjadi pilar yang
menguatkan komitmen bersama seluruh elemen bangsa untuk hidup dalam satu
kesatuan dan menolak segala bentuk separatisme.
4.4.
Bhinneka Tunggal
Ika: Prinsip Persatuan dalam Keberagaman
Bhinneka
Tunggal Ika, yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu,"
adalah semboyan yang menggambarkan semangat persatuan di tengah keberagaman
yang ada di Indonesia. Ungkapan ini berasal dari kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular pada abad ke-14 dan menjadi simbol nasional yang menegaskan bahwa
perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah belah, tetapi adalah kekuatan yang
menyatukan bangsa. Prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun masyarakat Indonesia
berbeda dalam hal budaya, bahasa, dan agama, mereka tetap satu dalam visi
kebangsaan yang sama. Bhinneka Tunggal Ika memperkuat persatuan di tengah
perbedaan dan mendorong sikap saling menghargai sebagai kunci untuk membangun
kehidupan bersama yang harmonis (Mangunwijaya, 1994).
Keempat pilar
kebangsaan ini berfungsi sebagai dasar komitmen kebangsaan yang mendalam dan
berkesinambungan. Dengan menanamkan pemahaman tentang keempat pilar ini kepada
generasi muda, diharapkan Indonesia dapat terus mempertahankan persatuan dan
menghadapi berbagai tantangan globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai yang
terkandung dalam empat pilar kebangsaan adalah panduan yang membantu masyarakat
Indonesia untuk hidup berdampingan dengan damai, saling menghargai, dan
berkontribusi pada kesejahteraan nasional.
Referensi
-
Asshiddiqie, Jimly. (2011).
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
-
Darmaputera, Eka. (1985).
Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society.
Leiden: Brill.
-
Kaelan. (2010). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
-
Latif, Yudi. (2011).
Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Mangunwijaya, Y.B. (1994).
Menuju Negara Kebangsaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
5.
Tantangan dan Upaya Mewujudkan
Komitmen Kebangsaan
5.1.
Tantangan dalam Mewujudkan
Komitmen Kebangsaan
Mewujudkan
komitmen kebangsaan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tidaklah mudah.
Tantangan-tantangan seperti intoleransi, penyebaran informasi yang tidak akurat
(hoaks), serta ketimpangan sosial dan ekonomi sering kali mengancam
persatuan bangsa. Setiap tantangan ini membutuhkan penanganan yang tepat dan
melibatkan peran serta dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat
luas.
5.1.1.
Tantangan
Intoleransi dan Polarisasi Sosial
Salah satu
tantangan terbesar dalam menjaga komitmen kebangsaan adalah adanya sikap
intoleransi yang berkembang di masyarakat. Intoleransi, baik yang terkait
dengan perbedaan agama, etnis, maupun pandangan politik, dapat mengarah pada
polarisasi sosial dan mengganggu keharmonisan. Laporan Setara Institute
(2020) menunjukkan bahwa intoleransi agama dan kekerasan berbasis kepercayaan
masih menjadi isu serius di beberapa daerah di Indonesia. Sikap intoleransi ini
sering kali diperparah oleh kurangnya pemahaman akan pentingnya keberagaman dan
semangat gotong royong.
5.1.2.
Penyebaran Hoaks dan
Disinformasi
Di era
digital, media sosial telah menjadi platform utama dalam menyebarkan informasi
dengan cepat. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar akurat. Hoaks dan
disinformasi sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat dan memicu
konflik antarkelompok. Misalnya, isu-isu sensitif terkait agama atau etnisitas
yang disebarluaskan tanpa verifikasi dapat memicu konflik horizontal. Hoaks
seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan antarwarga negara, tetapi juga
dapat merongrong kepercayaan terhadap institusi negara (Nugroho,
2018). Hal ini menunjukkan pentingnya literasi digital sebagai upaya untuk
membantu masyarakat dalam menyaring informasi yang benar dan dapat dipercaya.
5.1.3.
Ketimpangan Sosial
dan Ekonomi
Ketimpangan
sosial dan ekonomi menjadi tantangan lain dalam mewujudkan komitmen kebangsaan.
Ketimpangan ini sering kali memicu perasaan tidak adil di kalangan masyarakat,
terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Ketimpangan ini dapat
berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan perpecahan di tengah masyarakat. Data
dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) menunjukkan bahwa indeks gini di
Indonesia masih menunjukkan ketimpangan, terutama di daerah-daerah tertentu.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu memastikan distribusi
pembangunan yang lebih merata sehingga seluruh masyarakat dapat merasakan
manfaat pembangunan.
5.2.
Upaya dalam
Mewujudkan Komitmen Kebangsaan
Untuk
menghadapi tantangan-tantangan di atas, berbagai upaya perlu dilakukan, baik
melalui pendidikan kebangsaan, peningkatan literasi digital, maupun penguatan
kebijakan inklusif.
5.2.1.
Pendidikan
Kebangsaan dan Multikulturalisme
Pendidikan
memiliki peran sentral dalam menanamkan komitmen kebangsaan sejak usia dini.
Pendidikan kebangsaan di sekolah-sekolah dapat membantu siswa memahami
nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kurikulum yang mengedepankan
multikulturalisme dan toleransi juga penting untuk mengajarkan siswa menghargai
perbedaan dan mengembangkan empati (Wahid, 2017). Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berupaya
menerapkan pendidikan multikulturalisme melalui pelajaran-pelajaran yang
mengajarkan nilai-nilai kebangsaan di sekolah-sekolah.
5.2.2.
Peningkatan Literasi
Digital
Literasi
digital menjadi sangat penting untuk melawan hoaks dan disinformasi yang
tersebar luas di media sosial. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan
Informatika, bersama dengan berbagai organisasi masyarakat, telah menggalakkan
program literasi digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya menyaring informasi sebelum menyebarkannya. Literasi digital juga
mengajarkan masyarakat cara memverifikasi informasi, sehingga mereka tidak
mudah terpengaruh oleh hoaks yang dapat memecah belah persatuan bangsa (Heryanto,
2019).
5.2.3.
Penguatan Kebijakan
Inklusif dan Pemerataan Pembangunan
Untuk
mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, pemerintah telah melakukan berbagai
upaya, termasuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil serta
program-program bantuan sosial yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan inklusif yang mencakup seluruh lapisan masyarakat dan memperhatikan
keadilan sosial adalah kunci dalam meredakan ketimpangan dan meningkatkan
kohesi sosial. Program seperti Dana Desa dan pembangunan daerah tertinggal
diharapkan mampu mendorong pemerataan pembangunan sehingga seluruh masyarakat,
baik di perkotaan maupun pedesaan, merasakan manfaatnya (World Bank,
2020).
5.2.4.
Membangun Dialog
Lintas Agama dan Budaya
Dialog
antaragama dan budaya adalah pendekatan yang efektif dalam mengatasi sikap
intoleransi. Melalui dialog, setiap pihak dapat saling memahami dan belajar
tentang nilai-nilai yang dianut oleh kelompok lain. Beberapa organisasi
masyarakat, seperti Wahid Foundation dan Lembaga Persahabatan Ormas Islam
(LPOI), telah aktif mengadakan kegiatan dialog lintas agama untuk meningkatkan
pemahaman antarwarga negara. Dengan memperbanyak ruang dialog, masyarakat dapat
lebih saling mengenal dan menghargai perbedaan, sehingga memperkuat ikatan
kebangsaan (Azra, 2007).
5.3.
Kesimpulan
Mewujudkan
komitmen kebangsaan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam memang penuh
tantangan, namun berbagai upaya nyata dari pemerintah dan masyarakat dapat
membantu mengatasi hambatan ini. Pendidikan kebangsaan, literasi digital,
pemerataan pembangunan, serta dialog lintas agama dan budaya adalah
langkah-langkah konkret yang mendukung terwujudnya komitmen kebangsaan yang
kokoh. Dengan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat, tantangan dalam
menjaga persatuan dan kebhinekaan dapat dihadapi demi tercapainya cita-cita
nasional.
Referensi
-
Azra, Azyumardi.
(2007). Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context.
Jakarta: Equinox Publishing.
-
Badan Pusat Statistik
(BPS). (2021). Statistik Ketimpangan Sosial Ekonomi.
-
Heryanto, Ariel.
(2019). The Social Media in Post-Reformasi Indonesia. Routledge.
-
Nugroho, Yanuar.
(2018). Digital Divide and Its Challenges in Indonesia. Jakarta:
Kominfo.
-
Setara Institute.
(2020). Indeks Kota Toleran 2020. Jakarta: Setara Institute.
-
Wahid, Yenny.
(2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid
Foundation.
-
World Bank. (2020). Indonesia’s
Economic Development Report.
6.
Kesimpulan
Komitmen
kebangsaan merupakan elemen vital dalam menjaga persatuan dan keutuhan bangsa
Indonesia yang sangat beragam. Melalui realitas keragaman, prinsip kemajemukan,
dan penerapan empat pilar kebangsaan —Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika— Indonesia memiliki landasan kuat untuk menciptakan masyarakat yang
harmonis dan bersatu dalam perbedaan. Keempat pilar ini tidak hanya menjadi
panduan hukum dan moral, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman dalam
memperkokoh rasa persatuan di tengah keragaman budaya, agama, bahasa, dan etnis
yang ada (Latif, 2011; Kaelan, 2010).
Namun,
mewujudkan komitmen kebangsaan di Indonesia tidak terlepas dari tantangan.
Intoleransi, penyebaran informasi yang tidak benar, serta ketimpangan sosial dan
ekonomi menjadi ancaman nyata bagi persatuan bangsa. Untuk mengatasi
tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya yang komprehensif, mulai dari
pendidikan kebangsaan yang menanamkan nilai-nilai Pancasila dan toleransi,
hingga peningkatan literasi digital yang membantu masyarakat dalam menyaring
informasi (Heryanto, 2019; Wahid, 2017).
Selain itu,
penguatan kebijakan inklusif yang memastikan pemerataan pembangunan juga sangat
penting untuk meredakan ketimpangan sosial. Pemerintah, masyarakat, dan semua
elemen bangsa perlu berkolaborasi untuk menjaga dan mewujudkan komitmen
kebangsaan melalui berbagai program yang memupuk semangat gotong royong,
penghormatan terhadap keberagaman, dan kerja sama dalam membangun masa depan
Indonesia (World Bank, 2020).
Secara
keseluruhan, komitmen kebangsaan bukan hanya sebuah slogan, tetapi harus
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pendidikan, dialog,
maupun praktik toleransi. Dengan memperkuat kesadaran akan pentingnya
keberagaman sebagai aset bangsa dan mengaplikasikan nilai-nilai kebangsaan
dalam setiap aspek kehidupan, masyarakat Indonesia dapat bersama-sama mencapai
visi besar persatuan yang mengedepankan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan
bagi semua. Seperti yang tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika,
perbedaan adalah kekuatan, bukan penghalang bagi kemajuan bangsa.
Referensi
-
Heryanto, Ariel.
(2019). The Social Media in Post-Reformasi Indonesia. Routledge.
-
Kaelan. (2010). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
-
Latif, Yudi. (2011).
Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
sebagai Dasar Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
-
Wahid, Yenny.
(2017). Multikulturalisme dan Pluralisme di Indonesia. Jakarta: Wahid
Foundation.
-
World Bank. (2020). Indonesia’s
Economic Development Report.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar