Objek Formal Filsafat
Perspektif Epistemologis, Metodologis, dan
Signifikansinya dalam Diskursus Ilmu
Alihkan ke: Objek Kajian Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep objek
formal filsafat sebagai unsur epistemologis dan metodologis yang mendasar
dalam pembentukan karakter ilmiah filsafat. Objek formal tidak hanya membedakan
filsafat dari cabang ilmu lainnya, tetapi juga membentuk pendekatan reflektif,
rasional, dan normatif terhadap realitas. Melalui telaah historis yang mencakup
tradisi klasik Aristoteles, skolastisisme abad pertengahan, hingga pemikiran
modern dan kontemporer seperti Kant, Habermas, dan Nasr, artikel ini menyoroti
bagaimana objek formal mengalami evolusi makna dan peran. Setiap cabang
filsafat—metafisika, etika, logika, filsafat ilmu, hingga filsafat
politik—memiliki objek formal tersendiri yang menentukan orientasi analisis
terhadap objek materialnya. Di tengah krisis epistemologis dan fragmentasi ilmu
pengetahuan modern, objek formal filsafat menjadi instrumen krusial untuk
merefleksikan, mengkritisi, dan mengarahkan diskursus keilmuan dan kemanusiaan
secara menyeluruh. Artikel ini juga menekankan relevansi objek formal dalam
pengembangan kajian interdisipliner, khususnya dalam bioetika, filsafat
lingkungan, dan filsafat teknologi, dengan tetap menegaskan kedudukan filsafat
sebagai ilmu reflektif yang menjaga integritas rasionalitas dan nilai dalam
peradaban kontemporer.
Kata Kunci: Objek formal, filsafat, epistemologi, metodologi,
ilmu, refleksi kritis, interdisipliner, rasionalitas, filsafat kontemporer.
PEMBAHASAN
Menyingkap Objek Formal Filsafat
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi
keilmuan, filsafat menempati posisi istimewa sebagai suatu bentuk pengetahuan
yang berusaha menelaah realitas secara radikal, mendasar, dan menyeluruh.
Kekhasan pendekatan filsafat dalam menelaah berbagai aspek realitas tidak
semata-mata terletak pada apa yang dikaji (objek
material), melainkan juga pada bagaimana cara filsafat
mengkaji objek tersebut, yang dalam terminologi keilmuan disebut sebagai objek
formal. Perbedaan antara objek material dan objek formal
merupakan aspek mendasar dalam epistemologi filsafat karena hal ini turut
menentukan karakter dan arah pendekatan metodologis suatu ilmu, termasuk
filsafat sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Louis O. Kattsoff, “filsafat
tidak hanya tertarik pada benda atau peristiwa, tetapi pada makna terdalam dan
struktur realitas itu sendiri, yang ditelaah dari sudut pandang reflektif dan
kritis.”_¹
Konsep objek formal
memiliki kedudukan penting dalam membedakan filsafat dari disiplin ilmu
lainnya. Satu objek material yang sama dapat dikaji oleh berbagai cabang ilmu
dengan pendekatan yang berbeda berdasarkan objek formalnya. Contohnya, manusia
dapat menjadi objek material bagi biologi (ditinjau dari segi fisiologis), bagi
sosiologi (dalam konteks relasi sosial), dan bagi filsafat (dalam rangka
memahami eksistensi, kesadaran, dan tanggung jawab moralnya). Dalam konteks
ini, filsafat menyoroti realitas manusia bukan dari aspek lahiriahnya semata,
tetapi dari dimensi esensial, metafisik, dan normatifnya.²
Secara konseptual,
objek formal dapat dipahami sebagai sudut atau cara pandang khusus yang
digunakan suatu ilmu dalam menelaah objek materialnya. Dalam filsafat, objek
formal ini berwujud pada pendekatan rasional, kritis, sistematis, dan reflektif
terhadap seluruh segi realitas, baik yang bersifat konkret maupun abstrak.³
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap objek formal filsafat menjadi elemen
esensial dalam mengenali bagaimana filsafat berbeda dari ilmu alam, ilmu
sosial, maupun teologi, baik dari segi metode, pendekatan, maupun tujuan
akhirnya.
Dalam konteks
sejarah intelektual, konsep objek formal telah mengalami perkembangan yang
signifikan sejak masa filsafat Yunani Klasik. Aristoteles, misalnya,
memperkenalkan kategori causa formalis (penyebab
formal) yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep objek formal dalam sistematika
ilmu.⁴ Pandangan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf
skolastik seperti Thomas Aquinas yang menegaskan pentingnya objek formal dalam
membedakan antara teologi suci dan filsafat rasional.⁵ Perkembangan ini
menunjukkan bahwa konsep objek formal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
senantiasa mengalami evolusi seiring dengan dinamika perkembangan pemikiran filsafat.
Seiring masuknya
filsafat ke dalam konteks modern dan kontemporer, terutama melalui pemikiran
para filsuf seperti Immanuel Kant, Edmund Husserl, hingga para pemikir filsafat
analitik dan kontinental, objek formal tidak hanya berfungsi sebagai alat pembeda
metodologis, tetapi juga menjadi fondasi epistemologis yang menentukan
validitas, rasionalitas, dan koherensi dari suatu argumen filosofis.⁶ Di
sinilah pentingnya kajian terhadap objek formal filsafat, bukan hanya sebagai
topik konseptual, melainkan juga sebagai jembatan antara tradisi berpikir
klasik dan tantangan zaman kontemporer.
Melalui artikel ini,
penulis akan membahas secara mendalam tentang pengertian, peran, dan relevansi
objek formal filsafat dalam dimensi epistemologis dan metodologis. Penjelasan
akan diuraikan berdasarkan sumber-sumber primer maupun sekunder yang kredibel
dari tradisi filsafat Timur dan Barat, sehingga diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang utuh dan kontekstual tentang bagaimana filsafat berfungsi
sebagai ilmu yang unik dan fundamental dalam wacana keilmuan.
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 6.
[2]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001),
12–14.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 21.
[4]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
688–689.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 2, in The Summa
Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican
Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), 85–90.
2.
Konsep Dasar Objek Formal dalam Epistemologi
Filsafat
Dalam epistemologi
filsafat, istilah objek formal merupakan komponen
krusial dalam membedakan antara disiplin ilmu satu dengan yang lain. Secara
terminologis, objek formal dapat dipahami
sebagai “cara pandang” atau sudut telaah yang digunakan
dalam meninjau objek material tertentu.¹ Jika objek material menjelaskan apa
yang dikaji, maka objek formal menjelaskan bagaimana suatu objek itu dikaji
secara sistematis. Oleh karena itu, dua atau lebih ilmu dapat memiliki objek
material yang sama, tetapi berbeda dalam cara menelaahnya, yang membuatnya
menjadi disiplin yang terpisah.
Kattsoff menyatakan
bahwa filsafat sebagai ilmu tidak hanya berurusan dengan benda atau kejadian
sebagaimana adanya, tetapi berusaha menyelidiki makna dan asas-asas terdalam
dari kenyataan tersebut melalui proses refleksi rasional dan kritis.² Dalam
konteks ini, objek formal filsafat adalah pendekatan kritis-reflektif
terhadap segala sesuatu, yakni cara pandang yang menyoal dasar, sebab, dan
makna dari eksistensi.³ Berbeda dengan ilmu empiris yang hanya mengandalkan
observasi dan eksperimentasi, filsafat memeriksa hal-hal sampai pada akar
rasional dan metafisiknya.
Pembedaan antara
objek material dan objek formal menjadi dasar dalam strukturisasi pengetahuan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan ilmiah dapat dianalisis
berdasarkan dua dimensi: objek material (apa yang dikaji) dan objek formal
(dari sudut mana objek itu dikaji).⁴ Misalnya, jika manusia
sebagai entitas adalah objek material, maka:
·
Biologi
mengkajinya dari sudut biologis-fisiologis,
·
Sosiologi
meninjaunya dari sisi relasi sosial,
·
Psikologi
mendekatinya dari aspek kejiwaan,
·
Sedangkan filsafat
mengkajinya dari dimensi eksistensial, rasional, dan metafisik.
Objek formal
filsafat adalah keseluruhan realitas yang dipandang dalam terang akal dan
melalui pertanyaan-pertanyaan fundamental: apa yang ada? bagaimana saya tahu? apa yang
seharusnya dilakukan? Hal ini menjadikan filsafat memiliki karakter
menyeluruh (holistik), karena ia tidak membatasi dirinya pada satu aspek
realitas, melainkan mempersoalkan seluruh struktur dan makna dari eksistensi
itu sendiri.⁵
Objek formal juga
memiliki implikasi metodologis. Karena pendekatannya bersifat rasional, kritis,
dan spekulatif, maka metode yang digunakan dalam filsafat mencakup deduksi
logis, analisis konseptual, hingga refleksi fenomenologis. Hal ini berbeda dari
pendekatan ilmiah-empiris yang menekankan verifikasi atau falsifikasi melalui
pengamatan inderawi.⁶ Dengan demikian, pemahaman akan objek formal filsafat
memberikan landasan epistemologis untuk memahami karakter
unik filsafat sebagai ilmu normatif dan reflektif, bukan hanya
deskriptif dan eksplanatif seperti ilmu alam.
Dalam konteks
kontemporer, filsuf seperti Karl-Otto Apel dan Jürgen Habermas menekankan
pentingnya reflektivitas
rasional sebagai fondasi objek formal filsafat dalam menjawab
tantangan modernitas dan kritik terhadap rasionalitas instrumental.⁷ Dengan
kata lain, objek formal tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berkaitan
erat dengan misi etis dan emansipatoris filsafat dalam membimbing rasio manusia
menuju pencerahan dan otonomi moral.
Sebagai penutup dari
bagian ini, dapat ditegaskan bahwa objek formal filsafat bukan sekadar aspek
teknis dalam struktur ilmu, melainkan inti dari proses berfilsafat itu sendiri.
Objek formal memungkinkan filsafat untuk mempertanyakan, menafsirkan, dan
merumuskan prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasar bagi pengetahuan,
nilai, dan tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.
Footnotes
[1]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 12.
[2]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 6.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 10–12.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995), 64–66.
[5]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1959), 5–6.
[6]
Richard Rorty, “Philosophy and the Mirror of Nature,” Critical
Inquiry 6, no. 4 (1980): 679–692.
[7]
Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy
(London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 15–19.
3.
Sejarah Perkembangan Konsep Objek Formal dalam
Tradisi Filsafat
Konsep objek formal
dalam filsafat tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi
intelektual yang panjang sejak era filsafat klasik Yunani hingga era modern dan
kontemporer. Sejarah perkembangan gagasan ini menunjukkan bagaimana para filsuf
dari berbagai zaman merumuskan pendekatan epistemologis dan metodologis
terhadap objek kajian mereka. Pemahaman terhadap sejarah ini penting untuk
menelusuri akar filosofis dari cara berpikir ilmiah dan membedakan karakter
filsafat dari disiplin lainnya.
3.1.
Filsafat Klasik Yunani: Aristoteles dan Causa
Formalis
Gagasan awal
mengenai pembedaan antara bentuk dan materi dalam pengetahuan dapat ditelusuri
pada filsuf besar Yunani, Aristoteles. Dalam karya Metaphysics,
ia memperkenalkan empat penyebab (causae) untuk menjelaskan keberadaan sesuatu:
causa materialis, causa formalis, causa efficiens, dan causa finalis. Dari
keempatnya, causa formalis mengacu pada
bentuk atau struktur esensial yang menjadikan sesuatu sebagai apa adanya.¹
Konsep causa
formalis ini menjadi landasan awal bagi perkembangan pengertian
objek
formal, yakni bahwa sesuatu tidak hanya ditentukan oleh materi
pembentuknya, tetapi juga oleh bentuk atau strukturnya yang khas. Meskipun
Aristoteles belum menggunakan istilah “objek formal” secara eksplisit
dalam konteks epistemologi ilmu, namun idenya
tentang “form” sebagai prinsip intelligibilitas
menjadi akar penting bagi pengembangan struktur keilmuan dalam tradisi
skolastik dan modern.²
3.2.
Filsafat Abad Pertengahan: Skolastisisme dan
Distingsi Ilmiah
Konsep objek formal
mengalami sistematisasi yang lebih matang dalam tradisi filsafat
skolastik, terutama dalam karya Thomas Aquinas dan para
teolog-filsuf abad pertengahan. Dalam Summa Theologiae, Aquinas
menyatakan bahwa ilmu-ilmu berbeda satu sama lain bukan karena objek
materialnya, melainkan karena cara atau sudut pandang penelaahannya—yaitu objek
formalnya.³ Misalnya, Tuhan adalah objek material baik dalam
teologi maupun dalam filsafat, namun dalam teologi Ia ditinjau berdasarkan
wahyu, sedangkan dalam filsafat berdasarkan akal. Dengan demikian, objek
formal menjadi kriteria pembeda ilmiah di antara cabang-cabang
pengetahuan.
Aquinas juga
menjelaskan bahwa setiap ilmu memiliki lumen proprium (cahaya khas)
yang memampukannya melihat objek dalam terang tertentu.⁴ Konsep ini identik
dengan pengertian objek formal sebagai cara pandang atau kerangka interpretatif
yang melekat pada masing-masing disiplin. Pendekatan ini sangat memengaruhi
struktur kurikulum universitas abad pertengahan di Eropa, yang mengklasifikasikan
ilmu-ilmu berdasarkan logika objek formalnya, bukan sekadar objek material.
3.3.
Filsafat Modern: Rasionalisme, Empirisme, dan
Immanuel Kant
Memasuki era filsafat
modern, diskursus tentang objek formal mengalami pergeseran
arah, terutama dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang syarat-syarat
kemungkinan pengetahuan. Immanuel Kant, dalam Critique
of Pure Reason, membalik arah filsafat dengan mengajukan pertanyaan
bukan tentang bagaimana pengetahuan menyesuaikan diri dengan objek, tetapi
bagaimana objek menyesuaikan diri dengan struktur pikiran.⁵ Kant memperkenalkan
kategori-kategori apriori (seperti ruang dan waktu) sebagai bentuk (form) dari
pengalaman yang memungkinkan pengetahuan. Dengan demikian, objek formal dalam
epistemologi modern dapat dimaknai sebagai struktur internal rasio yang
membentuk pengalaman kita akan dunia.
Pemikiran Kant
mengakibatkan pergeseran radikal dalam pemahaman objek formal, dari sesuatu
yang bersifat eksternal dan metodologis menjadi struktur konstitutif pengetahuan itu sendiri.
Filsuf setelah Kant seperti Fichte, Hegel,
dan para pemikir fenomenologis seperti Husserl, melanjutkan arah ini
dengan menjadikan kesadaran sebagai pusat pembentukan makna dan pengetahuan.⁶
3.4.
Perkembangan Kontemporer: Filsafat Analitik dan
Kritis
Dalam abad ke-20,
aliran filsafat
analitik memperkaya diskursus objek formal dengan fokus pada analisis
bahasa, terutama bagaimana makna terbentuk melalui struktur
linguistik. Bertrand Russell dan Ludwig
Wittgenstein menegaskan bahwa filsafat harus menganalisis bentuk
logis dari proposisi, bukan substansi metafisiknya.⁷ Dalam konteks ini, objek
formal diidentifikasi dengan struktur logis atau gramatika dari pemikiran.
Sementara itu, filsafat
kritis seperti yang dikembangkan oleh Jürgen
Habermas dan Karl-Otto Apel menekankan peran
objek formal dalam struktur komunikasi rasional. Mereka memperkenalkan konsep “pretensi
kebenaran” dan “situasi ideal wacana” sebagai landasan normatif yang
menjadi kerangka (objek formal) bagi validitas pengetahuan dan tindakan.⁸
Pendekatan ini menunjukkan bahwa objek formal juga berfungsi sebagai penjamin
legitimasi dan rasionalitas dalam proses diskursif.
Kesimpulan Sementara
Dari Aristoteles
hingga Habermas, sejarah pemikiran tentang objek formal menunjukkan bahwa
filsafat senantiasa merefleksikan cara pandang yang mendasari
struktur pengetahuan. Objek formal bukan hanya sebuah konsep teknis dalam
taksonomi ilmu, melainkan sebuah kunci epistemologis dan metodologis dalam
memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi, dibedakan,
dan disahkan. Memahami evolusi historis konsep ini membantu
kita membaca ulang posisi filsafat dalam percakapan ilmu pengetahuan masa kini.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
689.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 250.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 2, in The
Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English
Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).
[4]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 62–64.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), 41–43.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 44–46.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 42–47.
4.
Ragam Objek Formal dalam Cabang-Cabang Filsafat
Filsafat sebagai
disiplin induk pengetahuan memiliki cakupan kajian yang sangat luas dan
multidimensional. Untuk memudahkan pendekatan sistematis, filsafat dibagi ke
dalam berbagai cabang, masing-masing dengan objek formal khas yang menjadi
sudut pandang analisis terhadap objek material tertentu. Meskipun objek
materialnya dapat tumpang tindih, perbedaan dalam pendekatan metodologis dan
epistemologis menjadikan setiap cabang memiliki kekhasan telaah yang
membedakannya satu sama lain.¹
4.1.
Filsafat Metafisika: Objek Formal tentang
Keberadaan sebagai Keberadaan
Metafisika merupakan
cabang filsafat yang paling mendasar, karena menyelidiki hakikat realitas
secara total dan mendalam. Objek material metafisika adalah realitas
secara keseluruhan, sedangkan objek formalnya adalah eksistensi
sebagai eksistensi (ens qua ens), yakni apa yang
membuat sesuatu itu ada.²
Aristoteles menyebut
metafisika sebagai first philosophy karena ia menelaah
prinsip-prinsip pertama dari keberadaan, bukan melalui observasi empiris,
tetapi melalui refleksi spekulatif atas keberadaan itu sendiri.³ Dalam
pengertian ini, metafisika tidak membatasi diri pada entitas konkret, tetapi
menjangkau aspek ontologis dan esensial dari segala sesuatu.
4.2.
Filsafat Etika: Objek Formal tentang Nilai dan
Tindakan Moral
Etika (filsafat
moral) menyoroti perilaku manusia sebagai objek material,
namun dari sudut pandang normatif, yaitu apa yang seharusnya
dilakukan menurut pertimbangan rasional mengenai kebaikan dan keburukan.⁴ Objek
formal etika adalah nilai moral, yang tidak dapat
diobservasi secara empiris, tetapi dianalisis melalui prinsip-prinsip normatif
seperti tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan.⁵
Immanuel Kant,
misalnya, menyatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang didasarkan pada
kehendak baik dan prinsip kewajiban (imperatif kategoris), bukan sekadar pada
hasil atau konsekuensinya.⁶ Dalam hal ini, objek formal etika bersifat preskriptif
dan rasional
normatif.
4.3.
Filsafat Logika: Objek Formal tentang Bentuk
dan Validitas Berpikir
Filsafat logika
mengkaji proses berpikir manusia sebagai
objek material, namun dari sudut pandang struktur dan validitas argumen.
Objek formal logika adalah hubungan inferensial antara
proposisi, bukan isi empirisnya.⁷
Logika tidak menilai
benar-salahnya isi argumen secara faktual, melainkan apakah konklusi
secara valid mengikuti dari premis-premis yang diajukan. Dalam logika simbolik
atau matematis, hal ini diungkapkan dalam bentuk formal yang ketat, seperti
silogisme dan aturan inferensi.⁸ Oleh karena itu, logika menjadi alat
fundamental dalam semua kajian filosofis.
4.4.
Filsafat Ilmu: Objek Formal tentang
Rasionalitas dan Struktur Pengetahuan Ilmiah
Filsafat ilmu
berurusan dengan pengetahuan ilmiah sebagai
objek material, namun ditinjau dari aspek metodologis, epistemologis, dan ontologis
yang mendasari ilmu itu sendiri.⁹ Objek formalnya adalah struktur
rasionalitas ilmiah, seperti validitas teori, metode observasi,
konsep verifikasi dan falsifikasi, serta nilai objektivitas dan netralitas
dalam sains.
Karl Popper,
misalnya, mengusulkan falsifiabilitas sebagai kriteria rasional bagi teori
ilmiah, menempatkan rasionalitas sebagai objek formal utama dalam evaluasi
klaim ilmiah.¹⁰ Dengan demikian, filsafat ilmu menjadi refleksi kritis terhadap
struktur dan klaim kebenaran dalam ilmu pengetahuan.
4.5.
Filsafat Politik: Objek Formal tentang
Kekuasaan, Keadilan, dan Institusi Sosial
Dalam filsafat
politik, objek materialnya adalah masyarakat, negara, dan institusi politik,
namun objek formalnya adalah nilai-nilai politik normatif
seperti keadilan, kekuasaan, legitimasi, dan kebebasan.¹¹
Plato, dalam Republic,
menyoroti keadilan sebagai prinsip sentral dari struktur negara yang ideal.
Sementara itu, filsuf modern seperti John Rawls memformulasikan keadilan
distributif berdasarkan prinsip kesetaraan dan kebebasan dalam struktur
sosial.¹² Objek formal filsafat politik karenanya bersifat reflektif-normatif
atas relasi kuasa dalam masyarakat.
4.6.
Filsafat Bahasa, Estetika, dan Cabang Lainnya
Selain lima cabang
utama di atas, filsafat juga berkembang dalam berbagai subdisiplin lain seperti
filsafat
bahasa, yang menelaah struktur makna dan relasi antara bahasa
dan realitas; filsafat estetika, yang
mengkaji pengalaman keindahan dan seni dari sudut nilai-nilai ekspresif dan
simbolik; serta filsafat agama, yang membahas
aspek keyakinan, wahyu, dan transendensi dari sudut rasional reflektif.
Masing-masing memiliki objek material yang khas, namun ditelaah dengan objek
formal sesuai orientasi cabangnya.¹³
Kesimpulan Sementara
Objek formal
memungkinkan filsafat untuk mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap
objek yang serupa. Perbedaan sudut pandang inilah yang membentuk identitas
setiap cabang filsafat sebagai medan eksplorasi intelektual yang otonom dan
mendalam. Melalui keragaman objek formal, filsafat menunjukkan karakter reflektifnya
dalam menangkap kompleksitas realitas dari berbagai aspek yang tidak dapat
dijangkau oleh ilmu positif semata.
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 12–15.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
689–691.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 277–278.
[4]
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2000), 3–4.
[5]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 1–5.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–13.
[7]
Irving M. Copi, Introduction to Logic, 11th ed. (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2001), 5–8.
[8]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 3–5.
[9]
Stephen Toulmin, The Philosophy of Science: An Introduction
(London: Hutchinson, 1953), 10–12.
[10]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Hutchinson, 1959), 40–43.
[11]
Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, 4th ed.
(New York: Palgrave Macmillan, 2012), 13–16.
[12]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 52–56.
[13]
Richard Shusterman, The End of Aesthetic Experience
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1–3.
5.
Peran Objek Formal dalam Menentukan Karakter
Ilmiah Filsafat
Pemahaman mengenai objek
formal tidak hanya penting dalam membedakan cabang-cabang
filsafat, tetapi juga merupakan kunci untuk memahami karakter
ilmiah filsafat itu sendiri. Filsafat, meskipun tidak bersifat
empiris seperti ilmu-ilmu alam, tetap memenuhi syarat sebagai disiplin ilmiah
dalam pengertian rasional, sistematis, kritis, dan metodologis.¹ Dalam hal ini,
objek formal berfungsi sebagai landasan epistemologis yang
menentukan bagaimana filsafat menjalankan proses penyelidikannya terhadap
realitas secara mendalam dan fundamental.
5.1.
Objek Formal sebagai Penentu Pendekatan dan
Metode Filsafat
Objek formal
menentukan pendekatan filosofis terhadap
objek material yang dikaji. Dalam konteks ini, filsafat mengadopsi pendekatan
reflektif-rasional, bukan eksperimental.² Sebagai contoh,
ketika filsafat membahas “manusia”, yang dilihat bukanlah manusia
sebagai organisme biologis (sebagaimana dalam ilmu biologi), tetapi eksistensinya
sebagai makhluk sadar, bermoral, dan bebas. Objek formal ini menuntut
penggunaan metode berpikir deduktif, analisis konseptual, dan refleksi kritis
yang khas dalam tradisi filosofis.³
Sebagaimana
dijelaskan oleh Stephen Toulmin, filsafat berbeda dari sains bukan karena tidak
ilmiah, tetapi karena “jenis pertanyaan dan struktur penalarannya
menyasar aspek rasionalitas dan prinsip-prinsip, bukan generalisasi empiris.”_⁴
Dengan kata lain, karakter ilmiah filsafat terletak pada ketepatan
logika dan kekuatan argumentasi, bukan pada observasi
laboratorium.
5.2.
Objektivitas dalam Filsafat: Rasionalitas
sebagai Tolok Ukur Ilmiah
Objek formal
filsafat juga mengatur standar objektivitas yang
digunakan dalam penilaian argumen dan teori. Jika dalam ilmu alam objektivitas
ditentukan oleh replikasi empiris, dalam filsafat objektivitas diwujudkan
melalui koherensi logis, konsistensi internal, dan
kekuatan justifikasi rasional.⁵
Hal ini ditegaskan
oleh Karl Popper, yang menyatakan bahwa filsafat berperan penting dalam
memberikan kerangka rasional bagi sains, terutama dalam merumuskan
prinsip-prinsip metodologis seperti falsifiabilitas dan demarkasi antara sains
dan nonsains.⁶ Maka, walaupun filsafat tidak menghasilkan pengetahuan empirik,
ia tetap ilmiah karena tunduk pada rasionalitas dan kritik terbuka.
Dalam konteks ini, objek
formal filsafat adalah struktur kebernalaran itu sendiri, yakni
bagaimana suatu klaim dapat dibenarkan melalui prinsip non-kontradiksi, deduksi
logis, dan konsistensi sistematis.⁷ Dengan demikian, filsafat memiliki standar
validitas internal yang menjamin integritas ilmiahnya.
5.3.
Peran Objek Formal dalam Menentukan Otonomi dan
Interdisiplinaritas Filsafat
Objek formal turut
menentukan otonomi filsafat sebagai ilmu,
karena ia memberikan cara pandang khas yang membedakan filsafat dari disiplin
lain, meskipun objek materialnya bisa sama.⁸ Misalnya, filsafat politik
mengkaji negara bukan sebagai institusi semata, melainkan dari sudut pandang
nilai keadilan, legitimasi, dan kebebasan.
Namun demikian,
objek formal filsafat yang bersifat reflektif dan universal juga membuka
peluang bagi interdisiplinaritas, yakni
keterbukaan untuk berdialog dengan ilmu lain tanpa kehilangan identitasnya.⁹
Hal ini tampak dalam cabang seperti filsafat sains, bioetika, dan filsafat
teknologi, di mana filsafat menawarkan analisis kritis atas nilai-nilai dan
asumsi dasar yang tersembunyi dalam praktik ilmiah dan teknologi modern.
Dengan kata lain,
objek formal menjadikan filsafat bersifat komprehensif dan transdisipliner,
sehingga mampu memediasi dan mengevaluasi klaim-klaim ilmiah dari berbagai
perspektif.¹⁰
5.4.
Filsafat sebagai “Ilmu Pertama”: Justifikasi
Metodologis melalui Objek Formal
Sejak masa
Aristoteles, filsafat telah disebut sebagai scientia prima atau ilmu
pertama, karena ia membahas prinsip-prinsip dasar dari semua
bentuk pengetahuan.¹¹ Peran ini hanya dapat dijalankan karena filsafat memiliki
objek formal yang bersifat metadisipliner, yakni refleksi
atas dasar-dasar logika, epistemologi, dan ontologi dari ilmu itu sendiri.
Fungsi ini tetap
relevan dalam konteks kontemporer, ketika berbagai ilmu mengalami spesialisasi
ekstrem dan fragmentasi. Melalui objek formalnya, filsafat mampu bertanya: Apa
dasar validitas ilmiah? Apa batas-batas etis dari pengetahuan? Apa makna
kemajuan teknologi bagi martabat manusia?¹² Pertanyaan-pertanyaan semacam ini
hanya mungkin diajukan oleh suatu disiplin yang berpijak pada objek formal yang
bersifat fundamental dan lintas sektor.
Kesimpulan Sementara
Objek formal
merupakan unsur konstitutif dari karakter ilmiah filsafat. Ia menentukan
pendekatan, validitas, metodologi, dan otonomi filsafat sebagai ilmu yang
rasional, kritis, dan normatif. Tanpa pemahaman terhadap objek formal, filsafat
akan kehilangan arah epistemologisnya dan gagal membedakan dirinya dari bentuk
pengetahuan lainnya. Dalam dunia yang semakin terdiferensiasi, objek formal
filsafat berperan sebagai kompas intelektual yang menjaga integritas,
keterbukaan, dan kedalaman refleksi manusia terhadap realitas.
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 6–9.
[2]
K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001),
13–15.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 20–21.
[4]
Stephen Toulmin, The Philosophy of Science: An Introduction
(London: Hutchinson, 1953), 5–7.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 45.
[6]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 1963), 50–52.
[7]
Irving M. Copi and Carl Cohen, Introduction to Logic, 13th ed.
(New York: Pearson, 2009), 15–18.
[8]
Etienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (San
Francisco: Ignatius Press, 1999), 112–113.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 82–83.
[10]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 12–14.
[11]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941),
689.
[12]
John H. Evans, “The Epistemology of Interdisciplinarity in Bioethics,” The
American Journal of Bioethics 12, no. 2 (2012): 30–32.
6.
Relevansi Konsep Objek Formal dalam Kajian
Filsafat Kontemporer
Dalam dinamika
filsafat kontemporer, konsep objek formal tetap memegang
posisi sentral dalam membingkai pendekatan reflektif terhadap realitas,
khususnya di tengah perkembangan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan
transformasi sosial-budaya global. Di tengah kecenderungan fragmentasi pengetahuan
dan dominasi pendekatan empiris-instrumental, objek formal menjadi kunci untuk
mempertahankan identitas metodologis filsafat
dan menjembatani diskursus antar-disipliner secara kritis dan konstruktif.¹
6.1.
Menanggapi Fragmentasi Ilmu dan Krisis
Epistemologis
Perkembangan ilmu
pengetahuan modern ditandai oleh spesialisasi ekstrem dan diferensiasi cabang
ilmu, yang menyebabkan fragmentasi epistemologis serta
terputusnya relasi antara pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan.² Dalam
konteks ini, objek formal filsafat—yang bersifat reflektif, holistik, dan
normatif—berperan sebagai alat integratif yang dapat mengkaji
kembali dasar-dasar epistemologis, ontologis, dan aksiologis dari seluruh
bentuk pengetahuan.
Jean-François
Lyotard dalam The Postmodern Condition menekankan
bahwa narasi besar sains modern telah kehilangan otoritas epistemiknya,
sehingga dibutuhkan refleksi filosofis yang meninjau ulang legitimasi dan
tujuan pengetahuan itu sendiri.³ Dalam hal ini, filsafat hadir melalui objek
formalnya sebagai bentuk kritik terhadap fundasi
pengetahuan dan rekonstruksi atas legitimasi rasionalitas.
6.2.
Reaktualisasi Objek Formal dalam Filsafat
Bahasa dan Analitik
Aliran filsafat
analitik kontemporer, yang berkembang di dunia Anglo-Saxon,
telah memperluas cakupan penggunaan objek formal dalam analisis bahasa, logika,
dan struktur argumen. Filsuf seperti Ludwig Wittgenstein dalam fase kedua
pemikirannya menegaskan bahwa makna suatu ekspresi bahasa tidak semata-mata
bergantung pada rujukan eksternal, melainkan pada aturan
penggunaannya dalam permainan bahasa tertentu (language
games).⁴
Dalam konteks ini,
objek formal filsafat ditransformasikan menjadi analisis terhadap struktur
konseptual dan praksis linguistik, yang bersifat internal dan
kontekstual.⁵ Pendekatan ini tetap menjaga semangat filosofis untuk menyelidiki
realitas dari sudut formal yang tidak bersifat empiris, tetapi logis dan
semantik.
6.3.
Filsafat Kontinental dan Objek Formal
Kritis-Emansipatoris
Dalam tradisi filsafat
kontinental, konsep objek formal mengambil bentuk pendekatan kritis-emansipatoris
terhadap realitas sosial dan struktur ideologis. Para filsuf dari Mazhab
Frankfurt seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Jürgen Habermas
menggunakan objek formal filsafat untuk mengungkap struktur dominasi dan represi yang
tersembunyi di balik sistem politik, ekonomi, dan budaya.⁶
Habermas, dalam The
Theory of Communicative Action, mengembangkan pendekatan diskursif
yang menjadikan rasionalitas komunikatif sebagai objek formal filsafat sosial.⁷
Dengan demikian, filsafat tidak hanya menelaah konsep-konsep abstrak, tetapi
turut serta dalam praksis sosial melalui kritik ideologi, etika diskursif, dan
rasionalitas publik.
6.4.
Relevansi dalam Filsafat Islam dan Filsafat
Timur Kontemporer
Dalam konteks
filsafat Islam kontemporer, objek formal juga digunakan untuk mereaktualisasi
warisan intelektual klasik secara kritis terhadap tantangan modernitas. Seyyed
Hossein Nasr, misalnya, menekankan pentingnya perspektif
metafisik-tradisional dalam memahami realitas sebagai satu kesatuan yang sakral
dan terintegrasi.⁸ Objek formal filsafat dalam pendekatan ini adalah prinsip-prinsip
transenden dan tatanan kosmik yang menolak reduksionisme
materialistik.⁹
Nasr mengkritik
filsafat modern yang terlalu menekankan pada rasionalisme teknis dan menyerukan
kembali kearifan perennial sebagai
kerangka filosofis alternatif. Dalam hal ini, objek formal berfungsi sebagai alat
pemulihan integritas spiritual dan pemaknaan mendalam atas
eksistensi manusia.¹⁰
6.5.
Aplikasi Interdisipliner: Etika Terapan,
Filsafat Teknologi, dan Bioetika
Objek formal
filsafat juga sangat relevan dalam berbagai kajian interdisipliner, seperti
filsafat
teknologi, bioetika, dan etika
lingkungan. Dalam ranah ini, filsafat tidak bersaing dengan
ilmu-ilmu positif, tetapi menyuplai kerangka normatif dan analisis kritis
yang tidak dimiliki oleh pendekatan teknis.
Sebagai contoh,
dalam bioetika,
pertanyaan tentang status moral embrio, euthanasia, atau teknologi rekayasa
genetik tidak dapat dijawab melalui data biologis semata, tetapi memerlukan
pendekatan filosofis dengan objek formal berupa nilai kehidupan, martabat manusia, dan tanggung
jawab etis.¹¹ Hal serupa terjadi dalam filsafat teknologi, di
mana filsafat mengkaji teknologi bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai fenomena
eksistensial yang membentuk cara berada manusia di dunia,
sebagaimana dipaparkan oleh Martin Heidegger.¹²
Kesimpulan Sementara
Objek formal tetap
menjadi komponen fundamental dalam kajian filsafat kontemporer karena ia
memungkinkan filsafat untuk tetap relevan, reflektif, dan responsif
terhadap perubahan zaman. Melalui objek formalnya, filsafat tidak hanya
mempertanyakan realitas, tetapi juga memediasi nilai, makna, dan arah tindakan
manusia dalam masyarakat yang semakin kompleks. Maka, dalam era
yang penuh ambiguitas dan krisis makna, filsafat melalui objek formalnya hadir
sebagai penuntun rasional dan normatif bagi peradaban.
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 14.
[2]
Jürgen Mittelstrass, “The Unity of Science as a Working Hypothesis,” Studies
in History and Philosophy of Science Part A 28, no. 4 (1997): 463–474.
[3]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§ 23, 43.
[5]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1973), 34–36.
[6]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 95–99.
[7]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 25–29.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 47–52.
[9]
Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC
International Group, 2001), 27–30.
[10]
Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press,
1993), 9–11.
[11]
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Christian Virtues
in Medical Practice (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996),
1–7.
[12]
Martin Heidegger, “The Question Concerning Technology,” in The
Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 3–35.
7.
Simpulan dan Refleksi Penutup
Objek formal
merupakan unsur konstitutif yang tidak terpisahkan dari struktur epistemologis
filsafat. Ia bukan sekadar dimensi teknis dalam pembagian cabang-cabang
keilmuan, melainkan fondasi metodologis yang menentukan cara
filsafat memahami, mendekati, dan menafsirkan realitas.
Sebagaimana dikemukakan oleh Louis O. Kattsoff, filsafat membedakan dirinya
dari ilmu lain bukan karena objek materialnya, melainkan karena kedalaman cara
pandang yang digunakannya dalam menelaah realitas secara rasional dan
reflektif.¹
Sepanjang pembahasan
artikel ini, telah dijelaskan bahwa objek formal:
·
Menentukan sudut
pandang analisis terhadap objek material;
·
Menjadi pembeda
metodologis antar cabang ilmu dan antar cabang filsafat itu
sendiri;
·
Mendasari karakter
ilmiah filsafat sebagai ilmu normatif dan rasional;
·
Mewujudkan fungsi
kritis dan emansipatoris filsafat dalam menghadapi tantangan
kontemporer;
·
Berperan dalam membangun
dialog interdisipliner melalui kerangka reflektif dan normatif
yang ditawarkannya.
Dari perspektif
sejarah, konsep objek formal telah mengalami perkembangan signifikan—dari
Aristoteles dengan causa formalis dan upaya
sistematisasi skolastik dalam klasifikasi ilmu, hingga refleksi-transendental
Immanuel Kant, serta penerapannya dalam kritik ideologis dan linguistik pada
pemikiran kontemporer seperti Habermas, Wittgenstein, dan Nasr.² Evolusi ini
menunjukkan bahwa filsafat senantiasa relevan karena ia terus mengadaptasi dan
menerapkan objek formalnya dalam konteks historis dan kebudayaan yang
senantiasa berubah.
Dalam dunia modern
yang ditandai oleh reduksionisme saintifik, fragmentasi
ilmu, dan relativisme nilai, objek formal
filsafat menawarkan alat untuk merekonstruksi arah berpikir dan bertindak
manusia berdasarkan prinsip-prinsip yang bersifat fundamental,
rasional, dan bernilai universal.³ Hal ini penting mengingat
kecenderungan banyak ilmu kontemporer untuk menjauh dari pertanyaan-pertanyaan
dasar yang bersifat ontologis, epistemologis, dan etis.
Relevansi objek
formal semakin nyata dalam penerapan filsafat pada bidang-bidang baru seperti
bioetika, filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi, di mana filsafat
bertugas meninjau ulang orientasi nilai dari kemajuan ilmu dan teknologi
modern.⁴ Dalam konteks ini, filsafat berperan bukan sebagai oposisi terhadap
ilmu, melainkan sebagai mitra reflektif yang mengawal arah kemajuan agar tetap berpijak pada
martabat manusia dan keharmonisan kosmos.
Sebagaimana
dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr, “filsafat sejati tidak pernah sekadar
analisis rasional, melainkan upaya untuk memahami struktur realitas sebagai
manifestasi kebenaran yang lebih tinggi.”_⁵ Dalam pengertian ini, objek
formal menjadi jembatan antara dimensi rasional dan dimensi transenden dalam
upaya manusia memahami hakikatnya sendiri dan tempatnya dalam jagat raya.
Dengan demikian,
pemahaman yang mendalam terhadap objek formal filsafat bukan hanya penting bagi
keilmuan itu sendiri, tetapi juga menjadi penentu arah perkembangan peradaban,
karena melalui filsafat dan objek formalnya, manusia diajak untuk tidak hanya
berpikir tentang dunia, tetapi juga tentang apa arti berpikir itu sendiri.
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1967), 6–7.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 21–25; Immanuel Kant, Critique of
Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press,
1965), 85–90; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 25–30.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 67–69.
[4]
Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Christian Virtues
in Medical Practice (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996),
1–5; Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–15.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 33.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1941). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle
(pp. 681–926). Random House.
Bertens, K. (2000). Etika.
Gramedia.
Bertens, K. (2001). Pengantar
filsafat. Gramedia.
Copleston, F. (1993). A
history of philosophy: Volume 1—Greece and Rome. Image Books.
Copi, I. M., & Cohen,
C. (2009). Introduction to logic (13th ed.). Pearson.
Dummett, M. (1973). Frege:
Philosophy of language. Harvard University Press.
Evans, J. H. (2012). The
epistemology of interdisciplinarity in bioethics. The American Journal of
Bioethics, 12(2), 30–32. https://doi.org/10.1080/15265161.2011.652796
Gilson, E. (1994). The
Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame
Press.
Gilson, E. (1999). The
unity of philosophical experience. Ignatius Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge
and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action: Volume 1. Reason and the rationalization of
society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row.
Heywood, A. (2012). Political
theory: An introduction (4th ed.). Palgrave Macmillan.
Horkheimer, M., &
Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Kant, I. (1965). Critique
of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kattsoff, L. O. (1967). Elements
of philosophy: An introduction. Barnes & Noble.
Lyotard, J.-F. (1984). The
postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B.
Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
Mittelstrass, J. (1997).
The unity of science as a working hypothesis. Studies in History and
Philosophy of Science Part A, 28(4), 463–474. https://doi.org/10.1016/S0039-3681(97)00025-0
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1993). The
need for a sacred science. State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2001). Islam
and the plight of modern man. ABC International Group.
Pellegrino, E. D., &
Thomasma, D. C. (1996). The Christian virtues in medical practice.
Georgetown University Press.
Popper, K. R. (1959). The
logic of scientific discovery. Hutchinson.
Popper, K. R. (1963). Conjectures
and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1959). The
problems of philosophy. Oxford University Press.
Shusterman, R. (1997). The
end of aesthetic experience. Cambridge University Press.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Suriasumantri, J. S.
(1995). Ilmu dalam perspektif. Yayasan Obor Indonesia.
Toulmin, S. (1953). The
philosophy of science: An introduction. Hutchinson.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar