Sabtu, 09 November 2024

Objek Formal Filsafat: Perspektif Epistemologis, Metodologis, dan Signifikansinya dalam Diskursus Ilmu

Objek Formal Filsafat

Perspektif Epistemologis, Metodologis, dan Signifikansinya dalam Diskursus Ilmu


Alihkan ke: Objek Kajian Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep objek formal filsafat sebagai unsur epistemologis dan metodologis yang mendasar dalam pembentukan karakter ilmiah filsafat. Objek formal tidak hanya membedakan filsafat dari cabang ilmu lainnya, tetapi juga membentuk pendekatan reflektif, rasional, dan normatif terhadap realitas. Melalui telaah historis yang mencakup tradisi klasik Aristoteles, skolastisisme abad pertengahan, hingga pemikiran modern dan kontemporer seperti Kant, Habermas, dan Nasr, artikel ini menyoroti bagaimana objek formal mengalami evolusi makna dan peran. Setiap cabang filsafat—metafisika, etika, logika, filsafat ilmu, hingga filsafat politik—memiliki objek formal tersendiri yang menentukan orientasi analisis terhadap objek materialnya. Di tengah krisis epistemologis dan fragmentasi ilmu pengetahuan modern, objek formal filsafat menjadi instrumen krusial untuk merefleksikan, mengkritisi, dan mengarahkan diskursus keilmuan dan kemanusiaan secara menyeluruh. Artikel ini juga menekankan relevansi objek formal dalam pengembangan kajian interdisipliner, khususnya dalam bioetika, filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi, dengan tetap menegaskan kedudukan filsafat sebagai ilmu reflektif yang menjaga integritas rasionalitas dan nilai dalam peradaban kontemporer.

Kata Kunci: Objek formal, filsafat, epistemologi, metodologi, ilmu, refleksi kritis, interdisipliner, rasionalitas, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Menyingkap Objek Formal Filsafat


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi keilmuan, filsafat menempati posisi istimewa sebagai suatu bentuk pengetahuan yang berusaha menelaah realitas secara radikal, mendasar, dan menyeluruh. Kekhasan pendekatan filsafat dalam menelaah berbagai aspek realitas tidak semata-mata terletak pada apa yang dikaji (objek material), melainkan juga pada bagaimana cara filsafat mengkaji objek tersebut, yang dalam terminologi keilmuan disebut sebagai objek formal. Perbedaan antara objek material dan objek formal merupakan aspek mendasar dalam epistemologi filsafat karena hal ini turut menentukan karakter dan arah pendekatan metodologis suatu ilmu, termasuk filsafat sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Louis O. Kattsoff, “filsafat tidak hanya tertarik pada benda atau peristiwa, tetapi pada makna terdalam dan struktur realitas itu sendiri, yang ditelaah dari sudut pandang reflektif dan kritis.”_¹

Konsep objek formal memiliki kedudukan penting dalam membedakan filsafat dari disiplin ilmu lainnya. Satu objek material yang sama dapat dikaji oleh berbagai cabang ilmu dengan pendekatan yang berbeda berdasarkan objek formalnya. Contohnya, manusia dapat menjadi objek material bagi biologi (ditinjau dari segi fisiologis), bagi sosiologi (dalam konteks relasi sosial), dan bagi filsafat (dalam rangka memahami eksistensi, kesadaran, dan tanggung jawab moralnya). Dalam konteks ini, filsafat menyoroti realitas manusia bukan dari aspek lahiriahnya semata, tetapi dari dimensi esensial, metafisik, dan normatifnya.²

Secara konseptual, objek formal dapat dipahami sebagai sudut atau cara pandang khusus yang digunakan suatu ilmu dalam menelaah objek materialnya. Dalam filsafat, objek formal ini berwujud pada pendekatan rasional, kritis, sistematis, dan reflektif terhadap seluruh segi realitas, baik yang bersifat konkret maupun abstrak.³ Oleh sebab itu, pemahaman terhadap objek formal filsafat menjadi elemen esensial dalam mengenali bagaimana filsafat berbeda dari ilmu alam, ilmu sosial, maupun teologi, baik dari segi metode, pendekatan, maupun tujuan akhirnya.

Dalam konteks sejarah intelektual, konsep objek formal telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak masa filsafat Yunani Klasik. Aristoteles, misalnya, memperkenalkan kategori causa formalis (penyebab formal) yang menjadi cikal bakal lahirnya konsep objek formal dalam sistematika ilmu.⁴ Pandangan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas yang menegaskan pentingnya objek formal dalam membedakan antara teologi suci dan filsafat rasional.⁵ Perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep objek formal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi senantiasa mengalami evolusi seiring dengan dinamika perkembangan pemikiran filsafat.

Seiring masuknya filsafat ke dalam konteks modern dan kontemporer, terutama melalui pemikiran para filsuf seperti Immanuel Kant, Edmund Husserl, hingga para pemikir filsafat analitik dan kontinental, objek formal tidak hanya berfungsi sebagai alat pembeda metodologis, tetapi juga menjadi fondasi epistemologis yang menentukan validitas, rasionalitas, dan koherensi dari suatu argumen filosofis.⁶ Di sinilah pentingnya kajian terhadap objek formal filsafat, bukan hanya sebagai topik konseptual, melainkan juga sebagai jembatan antara tradisi berpikir klasik dan tantangan zaman kontemporer.

Melalui artikel ini, penulis akan membahas secara mendalam tentang pengertian, peran, dan relevansi objek formal filsafat dalam dimensi epistemologis dan metodologis. Penjelasan akan diuraikan berdasarkan sumber-sumber primer maupun sekunder yang kredibel dari tradisi filsafat Timur dan Barat, sehingga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh dan kontekstual tentang bagaimana filsafat berfungsi sebagai ilmu yang unik dan fundamental dalam wacana keilmuan.


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 6.

[2]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 12–14.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 21.

[4]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 688–689.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 2, in The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), 85–90.


2.           Konsep Dasar Objek Formal dalam Epistemologi Filsafat

Dalam epistemologi filsafat, istilah objek formal merupakan komponen krusial dalam membedakan antara disiplin ilmu satu dengan yang lain. Secara terminologis, objek formal dapat dipahami sebagai “cara pandang” atau sudut telaah yang digunakan dalam meninjau objek material tertentu.¹ Jika objek material menjelaskan apa yang dikaji, maka objek formal menjelaskan bagaimana suatu objek itu dikaji secara sistematis. Oleh karena itu, dua atau lebih ilmu dapat memiliki objek material yang sama, tetapi berbeda dalam cara menelaahnya, yang membuatnya menjadi disiplin yang terpisah.

Kattsoff menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu tidak hanya berurusan dengan benda atau kejadian sebagaimana adanya, tetapi berusaha menyelidiki makna dan asas-asas terdalam dari kenyataan tersebut melalui proses refleksi rasional dan kritis.² Dalam konteks ini, objek formal filsafat adalah pendekatan kritis-reflektif terhadap segala sesuatu, yakni cara pandang yang menyoal dasar, sebab, dan makna dari eksistensi.³ Berbeda dengan ilmu empiris yang hanya mengandalkan observasi dan eksperimentasi, filsafat memeriksa hal-hal sampai pada akar rasional dan metafisiknya.

Pembedaan antara objek material dan objek formal menjadi dasar dalam strukturisasi pengetahuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan ilmiah dapat dianalisis berdasarkan dua dimensi: objek material (apa yang dikaji) dan objek formal (dari sudut mana objek itu dikaji).⁴ Misalnya, jika manusia sebagai entitas adalah objek material, maka:

·                     Biologi mengkajinya dari sudut biologis-fisiologis,

·                     Sosiologi meninjaunya dari sisi relasi sosial,

·                     Psikologi mendekatinya dari aspek kejiwaan,

·                     Sedangkan filsafat mengkajinya dari dimensi eksistensial, rasional, dan metafisik.

Objek formal filsafat adalah keseluruhan realitas yang dipandang dalam terang akal dan melalui pertanyaan-pertanyaan fundamental: apa yang ada? bagaimana saya tahu? apa yang seharusnya dilakukan? Hal ini menjadikan filsafat memiliki karakter menyeluruh (holistik), karena ia tidak membatasi dirinya pada satu aspek realitas, melainkan mempersoalkan seluruh struktur dan makna dari eksistensi itu sendiri.⁵

Objek formal juga memiliki implikasi metodologis. Karena pendekatannya bersifat rasional, kritis, dan spekulatif, maka metode yang digunakan dalam filsafat mencakup deduksi logis, analisis konseptual, hingga refleksi fenomenologis. Hal ini berbeda dari pendekatan ilmiah-empiris yang menekankan verifikasi atau falsifikasi melalui pengamatan inderawi.⁶ Dengan demikian, pemahaman akan objek formal filsafat memberikan landasan epistemologis untuk memahami karakter unik filsafat sebagai ilmu normatif dan reflektif, bukan hanya deskriptif dan eksplanatif seperti ilmu alam.

Dalam konteks kontemporer, filsuf seperti Karl-Otto Apel dan Jürgen Habermas menekankan pentingnya reflektivitas rasional sebagai fondasi objek formal filsafat dalam menjawab tantangan modernitas dan kritik terhadap rasionalitas instrumental.⁷ Dengan kata lain, objek formal tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berkaitan erat dengan misi etis dan emansipatoris filsafat dalam membimbing rasio manusia menuju pencerahan dan otonomi moral.

Sebagai penutup dari bagian ini, dapat ditegaskan bahwa objek formal filsafat bukan sekadar aspek teknis dalam struktur ilmu, melainkan inti dari proses berfilsafat itu sendiri. Objek formal memungkinkan filsafat untuk mempertanyakan, menafsirkan, dan merumuskan prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasar bagi pengetahuan, nilai, dan tindakan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.


Footnotes

[1]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 12.

[2]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 6.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 10–12.

[4]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 64–66.

[5]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1959), 5–6.

[6]                Richard Rorty, “Philosophy and the Mirror of Nature,” Critical Inquiry 6, no. 4 (1980): 679–692.

[7]                Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1980), 15–19.


3.           Sejarah Perkembangan Konsep Objek Formal dalam Tradisi Filsafat

Konsep objek formal dalam filsafat tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil evolusi intelektual yang panjang sejak era filsafat klasik Yunani hingga era modern dan kontemporer. Sejarah perkembangan gagasan ini menunjukkan bagaimana para filsuf dari berbagai zaman merumuskan pendekatan epistemologis dan metodologis terhadap objek kajian mereka. Pemahaman terhadap sejarah ini penting untuk menelusuri akar filosofis dari cara berpikir ilmiah dan membedakan karakter filsafat dari disiplin lainnya.

3.1.       Filsafat Klasik Yunani: Aristoteles dan Causa Formalis

Gagasan awal mengenai pembedaan antara bentuk dan materi dalam pengetahuan dapat ditelusuri pada filsuf besar Yunani, Aristoteles. Dalam karya Metaphysics, ia memperkenalkan empat penyebab (causae) untuk menjelaskan keberadaan sesuatu: causa materialis, causa formalis, causa efficiens, dan causa finalis. Dari keempatnya, causa formalis mengacu pada bentuk atau struktur esensial yang menjadikan sesuatu sebagai apa adanya.¹

Konsep causa formalis ini menjadi landasan awal bagi perkembangan pengertian objek formal, yakni bahwa sesuatu tidak hanya ditentukan oleh materi pembentuknya, tetapi juga oleh bentuk atau strukturnya yang khas. Meskipun Aristoteles belum menggunakan istilah “objek formal” secara eksplisit dalam konteks epistemologi ilmu, namun idenya tentang “form” sebagai prinsip intelligibilitas menjadi akar penting bagi pengembangan struktur keilmuan dalam tradisi skolastik dan modern.²

3.2.       Filsafat Abad Pertengahan: Skolastisisme dan Distingsi Ilmiah

Konsep objek formal mengalami sistematisasi yang lebih matang dalam tradisi filsafat skolastik, terutama dalam karya Thomas Aquinas dan para teolog-filsuf abad pertengahan. Dalam Summa Theologiae, Aquinas menyatakan bahwa ilmu-ilmu berbeda satu sama lain bukan karena objek materialnya, melainkan karena cara atau sudut pandang penelaahannya—yaitu objek formalnya.³ Misalnya, Tuhan adalah objek material baik dalam teologi maupun dalam filsafat, namun dalam teologi Ia ditinjau berdasarkan wahyu, sedangkan dalam filsafat berdasarkan akal. Dengan demikian, objek formal menjadi kriteria pembeda ilmiah di antara cabang-cabang pengetahuan.

Aquinas juga menjelaskan bahwa setiap ilmu memiliki lumen proprium (cahaya khas) yang memampukannya melihat objek dalam terang tertentu.⁴ Konsep ini identik dengan pengertian objek formal sebagai cara pandang atau kerangka interpretatif yang melekat pada masing-masing disiplin. Pendekatan ini sangat memengaruhi struktur kurikulum universitas abad pertengahan di Eropa, yang mengklasifikasikan ilmu-ilmu berdasarkan logika objek formalnya, bukan sekadar objek material.

3.3.       Filsafat Modern: Rasionalisme, Empirisme, dan Immanuel Kant

Memasuki era filsafat modern, diskursus tentang objek formal mengalami pergeseran arah, terutama dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang syarat-syarat kemungkinan pengetahuan. Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason, membalik arah filsafat dengan mengajukan pertanyaan bukan tentang bagaimana pengetahuan menyesuaikan diri dengan objek, tetapi bagaimana objek menyesuaikan diri dengan struktur pikiran.⁵ Kant memperkenalkan kategori-kategori apriori (seperti ruang dan waktu) sebagai bentuk (form) dari pengalaman yang memungkinkan pengetahuan. Dengan demikian, objek formal dalam epistemologi modern dapat dimaknai sebagai struktur internal rasio yang membentuk pengalaman kita akan dunia.

Pemikiran Kant mengakibatkan pergeseran radikal dalam pemahaman objek formal, dari sesuatu yang bersifat eksternal dan metodologis menjadi struktur konstitutif pengetahuan itu sendiri. Filsuf setelah Kant seperti Fichte, Hegel, dan para pemikir fenomenologis seperti Husserl, melanjutkan arah ini dengan menjadikan kesadaran sebagai pusat pembentukan makna dan pengetahuan.⁶

3.4.       Perkembangan Kontemporer: Filsafat Analitik dan Kritis

Dalam abad ke-20, aliran filsafat analitik memperkaya diskursus objek formal dengan fokus pada analisis bahasa, terutama bagaimana makna terbentuk melalui struktur linguistik. Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein menegaskan bahwa filsafat harus menganalisis bentuk logis dari proposisi, bukan substansi metafisiknya.⁷ Dalam konteks ini, objek formal diidentifikasi dengan struktur logis atau gramatika dari pemikiran.

Sementara itu, filsafat kritis seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel menekankan peran objek formal dalam struktur komunikasi rasional. Mereka memperkenalkan konsep “pretensi kebenaran” dan “situasi ideal wacana” sebagai landasan normatif yang menjadi kerangka (objek formal) bagi validitas pengetahuan dan tindakan.⁸ Pendekatan ini menunjukkan bahwa objek formal juga berfungsi sebagai penjamin legitimasi dan rasionalitas dalam proses diskursif.


Kesimpulan Sementara

Dari Aristoteles hingga Habermas, sejarah pemikiran tentang objek formal menunjukkan bahwa filsafat senantiasa merefleksikan cara pandang yang mendasari struktur pengetahuan. Objek formal bukan hanya sebuah konsep teknis dalam taksonomi ilmu, melainkan sebuah kunci epistemologis dan metodologis dalam memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksi, dibedakan, dan disahkan. Memahami evolusi historis konsep ini membantu kita membaca ulang posisi filsafat dalam percakapan ilmu pengetahuan masa kini.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 689.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 250.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 1, a. 2, in The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[4]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1994), 62–64.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), 41–43.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 44–46.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 42–47.


4.           Ragam Objek Formal dalam Cabang-Cabang Filsafat

Filsafat sebagai disiplin induk pengetahuan memiliki cakupan kajian yang sangat luas dan multidimensional. Untuk memudahkan pendekatan sistematis, filsafat dibagi ke dalam berbagai cabang, masing-masing dengan objek formal khas yang menjadi sudut pandang analisis terhadap objek material tertentu. Meskipun objek materialnya dapat tumpang tindih, perbedaan dalam pendekatan metodologis dan epistemologis menjadikan setiap cabang memiliki kekhasan telaah yang membedakannya satu sama lain.¹

4.1.       Filsafat Metafisika: Objek Formal tentang Keberadaan sebagai Keberadaan

Metafisika merupakan cabang filsafat yang paling mendasar, karena menyelidiki hakikat realitas secara total dan mendalam. Objek material metafisika adalah realitas secara keseluruhan, sedangkan objek formalnya adalah eksistensi sebagai eksistensi (ens qua ens), yakni apa yang membuat sesuatu itu ada.²

Aristoteles menyebut metafisika sebagai first philosophy karena ia menelaah prinsip-prinsip pertama dari keberadaan, bukan melalui observasi empiris, tetapi melalui refleksi spekulatif atas keberadaan itu sendiri.³ Dalam pengertian ini, metafisika tidak membatasi diri pada entitas konkret, tetapi menjangkau aspek ontologis dan esensial dari segala sesuatu.

4.2.       Filsafat Etika: Objek Formal tentang Nilai dan Tindakan Moral

Etika (filsafat moral) menyoroti perilaku manusia sebagai objek material, namun dari sudut pandang normatif, yaitu apa yang seharusnya dilakukan menurut pertimbangan rasional mengenai kebaikan dan keburukan.⁴ Objek formal etika adalah nilai moral, yang tidak dapat diobservasi secara empiris, tetapi dianalisis melalui prinsip-prinsip normatif seperti tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan.⁵

Immanuel Kant, misalnya, menyatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang didasarkan pada kehendak baik dan prinsip kewajiban (imperatif kategoris), bukan sekadar pada hasil atau konsekuensinya.⁶ Dalam hal ini, objek formal etika bersifat preskriptif dan rasional normatif.

4.3.       Filsafat Logika: Objek Formal tentang Bentuk dan Validitas Berpikir

Filsafat logika mengkaji proses berpikir manusia sebagai objek material, namun dari sudut pandang struktur dan validitas argumen. Objek formal logika adalah hubungan inferensial antara proposisi, bukan isi empirisnya.⁷

Logika tidak menilai benar-salahnya isi argumen secara faktual, melainkan apakah konklusi secara valid mengikuti dari premis-premis yang diajukan. Dalam logika simbolik atau matematis, hal ini diungkapkan dalam bentuk formal yang ketat, seperti silogisme dan aturan inferensi.⁸ Oleh karena itu, logika menjadi alat fundamental dalam semua kajian filosofis.

4.4.       Filsafat Ilmu: Objek Formal tentang Rasionalitas dan Struktur Pengetahuan Ilmiah

Filsafat ilmu berurusan dengan pengetahuan ilmiah sebagai objek material, namun ditinjau dari aspek metodologis, epistemologis, dan ontologis yang mendasari ilmu itu sendiri.⁹ Objek formalnya adalah struktur rasionalitas ilmiah, seperti validitas teori, metode observasi, konsep verifikasi dan falsifikasi, serta nilai objektivitas dan netralitas dalam sains.

Karl Popper, misalnya, mengusulkan falsifiabilitas sebagai kriteria rasional bagi teori ilmiah, menempatkan rasionalitas sebagai objek formal utama dalam evaluasi klaim ilmiah.¹⁰ Dengan demikian, filsafat ilmu menjadi refleksi kritis terhadap struktur dan klaim kebenaran dalam ilmu pengetahuan.

4.5.       Filsafat Politik: Objek Formal tentang Kekuasaan, Keadilan, dan Institusi Sosial

Dalam filsafat politik, objek materialnya adalah masyarakat, negara, dan institusi politik, namun objek formalnya adalah nilai-nilai politik normatif seperti keadilan, kekuasaan, legitimasi, dan kebebasan.¹¹

Plato, dalam Republic, menyoroti keadilan sebagai prinsip sentral dari struktur negara yang ideal. Sementara itu, filsuf modern seperti John Rawls memformulasikan keadilan distributif berdasarkan prinsip kesetaraan dan kebebasan dalam struktur sosial.¹² Objek formal filsafat politik karenanya bersifat reflektif-normatif atas relasi kuasa dalam masyarakat.

4.6.       Filsafat Bahasa, Estetika, dan Cabang Lainnya

Selain lima cabang utama di atas, filsafat juga berkembang dalam berbagai subdisiplin lain seperti filsafat bahasa, yang menelaah struktur makna dan relasi antara bahasa dan realitas; filsafat estetika, yang mengkaji pengalaman keindahan dan seni dari sudut nilai-nilai ekspresif dan simbolik; serta filsafat agama, yang membahas aspek keyakinan, wahyu, dan transendensi dari sudut rasional reflektif. Masing-masing memiliki objek material yang khas, namun ditelaah dengan objek formal sesuai orientasi cabangnya.¹³


Kesimpulan Sementara

Objek formal memungkinkan filsafat untuk mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap objek yang serupa. Perbedaan sudut pandang inilah yang membentuk identitas setiap cabang filsafat sebagai medan eksplorasi intelektual yang otonom dan mendalam. Melalui keragaman objek formal, filsafat menunjukkan karakter reflektifnya dalam menangkap kompleksitas realitas dari berbagai aspek yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu positif semata.


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 12–15.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 689–691.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 277–278.

[4]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2000), 3–4.

[5]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–5.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 12–13.

[7]                Irving M. Copi, Introduction to Logic, 11th ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2001), 5–8.

[8]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 3–5.

[9]                Stephen Toulmin, The Philosophy of Science: An Introduction (London: Hutchinson, 1953), 10–12.

[10]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–43.

[11]             Andrew Heywood, Political Theory: An Introduction, 4th ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2012), 13–16.

[12]             John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–56.

[13]             Richard Shusterman, The End of Aesthetic Experience (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 1–3.


5.           Peran Objek Formal dalam Menentukan Karakter Ilmiah Filsafat

Pemahaman mengenai objek formal tidak hanya penting dalam membedakan cabang-cabang filsafat, tetapi juga merupakan kunci untuk memahami karakter ilmiah filsafat itu sendiri. Filsafat, meskipun tidak bersifat empiris seperti ilmu-ilmu alam, tetap memenuhi syarat sebagai disiplin ilmiah dalam pengertian rasional, sistematis, kritis, dan metodologis.¹ Dalam hal ini, objek formal berfungsi sebagai landasan epistemologis yang menentukan bagaimana filsafat menjalankan proses penyelidikannya terhadap realitas secara mendalam dan fundamental.

5.1.       Objek Formal sebagai Penentu Pendekatan dan Metode Filsafat

Objek formal menentukan pendekatan filosofis terhadap objek material yang dikaji. Dalam konteks ini, filsafat mengadopsi pendekatan reflektif-rasional, bukan eksperimental.² Sebagai contoh, ketika filsafat membahas “manusia”, yang dilihat bukanlah manusia sebagai organisme biologis (sebagaimana dalam ilmu biologi), tetapi eksistensinya sebagai makhluk sadar, bermoral, dan bebas. Objek formal ini menuntut penggunaan metode berpikir deduktif, analisis konseptual, dan refleksi kritis yang khas dalam tradisi filosofis.³

Sebagaimana dijelaskan oleh Stephen Toulmin, filsafat berbeda dari sains bukan karena tidak ilmiah, tetapi karena “jenis pertanyaan dan struktur penalarannya menyasar aspek rasionalitas dan prinsip-prinsip, bukan generalisasi empiris.”_⁴ Dengan kata lain, karakter ilmiah filsafat terletak pada ketepatan logika dan kekuatan argumentasi, bukan pada observasi laboratorium.

5.2.       Objektivitas dalam Filsafat: Rasionalitas sebagai Tolok Ukur Ilmiah

Objek formal filsafat juga mengatur standar objektivitas yang digunakan dalam penilaian argumen dan teori. Jika dalam ilmu alam objektivitas ditentukan oleh replikasi empiris, dalam filsafat objektivitas diwujudkan melalui koherensi logis, konsistensi internal, dan kekuatan justifikasi rasional.⁵

Hal ini ditegaskan oleh Karl Popper, yang menyatakan bahwa filsafat berperan penting dalam memberikan kerangka rasional bagi sains, terutama dalam merumuskan prinsip-prinsip metodologis seperti falsifiabilitas dan demarkasi antara sains dan nonsains.⁶ Maka, walaupun filsafat tidak menghasilkan pengetahuan empirik, ia tetap ilmiah karena tunduk pada rasionalitas dan kritik terbuka.

Dalam konteks ini, objek formal filsafat adalah struktur kebernalaran itu sendiri, yakni bagaimana suatu klaim dapat dibenarkan melalui prinsip non-kontradiksi, deduksi logis, dan konsistensi sistematis.⁷ Dengan demikian, filsafat memiliki standar validitas internal yang menjamin integritas ilmiahnya.

5.3.       Peran Objek Formal dalam Menentukan Otonomi dan Interdisiplinaritas Filsafat

Objek formal turut menentukan otonomi filsafat sebagai ilmu, karena ia memberikan cara pandang khas yang membedakan filsafat dari disiplin lain, meskipun objek materialnya bisa sama.⁸ Misalnya, filsafat politik mengkaji negara bukan sebagai institusi semata, melainkan dari sudut pandang nilai keadilan, legitimasi, dan kebebasan.

Namun demikian, objek formal filsafat yang bersifat reflektif dan universal juga membuka peluang bagi interdisiplinaritas, yakni keterbukaan untuk berdialog dengan ilmu lain tanpa kehilangan identitasnya.⁹ Hal ini tampak dalam cabang seperti filsafat sains, bioetika, dan filsafat teknologi, di mana filsafat menawarkan analisis kritis atas nilai-nilai dan asumsi dasar yang tersembunyi dalam praktik ilmiah dan teknologi modern.

Dengan kata lain, objek formal menjadikan filsafat bersifat komprehensif dan transdisipliner, sehingga mampu memediasi dan mengevaluasi klaim-klaim ilmiah dari berbagai perspektif.¹⁰

5.4.       Filsafat sebagai “Ilmu Pertama”: Justifikasi Metodologis melalui Objek Formal

Sejak masa Aristoteles, filsafat telah disebut sebagai scientia prima atau ilmu pertama, karena ia membahas prinsip-prinsip dasar dari semua bentuk pengetahuan.¹¹ Peran ini hanya dapat dijalankan karena filsafat memiliki objek formal yang bersifat metadisipliner, yakni refleksi atas dasar-dasar logika, epistemologi, dan ontologi dari ilmu itu sendiri.

Fungsi ini tetap relevan dalam konteks kontemporer, ketika berbagai ilmu mengalami spesialisasi ekstrem dan fragmentasi. Melalui objek formalnya, filsafat mampu bertanya: Apa dasar validitas ilmiah? Apa batas-batas etis dari pengetahuan? Apa makna kemajuan teknologi bagi martabat manusia?¹² Pertanyaan-pertanyaan semacam ini hanya mungkin diajukan oleh suatu disiplin yang berpijak pada objek formal yang bersifat fundamental dan lintas sektor.


Kesimpulan Sementara

Objek formal merupakan unsur konstitutif dari karakter ilmiah filsafat. Ia menentukan pendekatan, validitas, metodologi, dan otonomi filsafat sebagai ilmu yang rasional, kritis, dan normatif. Tanpa pemahaman terhadap objek formal, filsafat akan kehilangan arah epistemologisnya dan gagal membedakan dirinya dari bentuk pengetahuan lainnya. Dalam dunia yang semakin terdiferensiasi, objek formal filsafat berperan sebagai kompas intelektual yang menjaga integritas, keterbukaan, dan kedalaman refleksi manusia terhadap realitas.


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 6–9.

[2]                K. Bertens, Pengantar Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2001), 13–15.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 20–21.

[4]                Stephen Toulmin, The Philosophy of Science: An Introduction (London: Hutchinson, 1953), 5–7.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 45.

[6]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 50–52.

[7]                Irving M. Copi and Carl Cohen, Introduction to Logic, 13th ed. (New York: Pearson, 2009), 15–18.

[8]                Etienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (San Francisco: Ignatius Press, 1999), 112–113.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 82–83.

[10]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 12–14.

[11]             Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Random House, 1941), 689.

[12]             John H. Evans, “The Epistemology of Interdisciplinarity in Bioethics,” The American Journal of Bioethics 12, no. 2 (2012): 30–32.


6.           Relevansi Konsep Objek Formal dalam Kajian Filsafat Kontemporer

Dalam dinamika filsafat kontemporer, konsep objek formal tetap memegang posisi sentral dalam membingkai pendekatan reflektif terhadap realitas, khususnya di tengah perkembangan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi sosial-budaya global. Di tengah kecenderungan fragmentasi pengetahuan dan dominasi pendekatan empiris-instrumental, objek formal menjadi kunci untuk mempertahankan identitas metodologis filsafat dan menjembatani diskursus antar-disipliner secara kritis dan konstruktif.¹

6.1.       Menanggapi Fragmentasi Ilmu dan Krisis Epistemologis

Perkembangan ilmu pengetahuan modern ditandai oleh spesialisasi ekstrem dan diferensiasi cabang ilmu, yang menyebabkan fragmentasi epistemologis serta terputusnya relasi antara pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan.² Dalam konteks ini, objek formal filsafat—yang bersifat reflektif, holistik, dan normatif—berperan sebagai alat integratif yang dapat mengkaji kembali dasar-dasar epistemologis, ontologis, dan aksiologis dari seluruh bentuk pengetahuan.

Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition menekankan bahwa narasi besar sains modern telah kehilangan otoritas epistemiknya, sehingga dibutuhkan refleksi filosofis yang meninjau ulang legitimasi dan tujuan pengetahuan itu sendiri.³ Dalam hal ini, filsafat hadir melalui objek formalnya sebagai bentuk kritik terhadap fundasi pengetahuan dan rekonstruksi atas legitimasi rasionalitas.

6.2.       Reaktualisasi Objek Formal dalam Filsafat Bahasa dan Analitik

Aliran filsafat analitik kontemporer, yang berkembang di dunia Anglo-Saxon, telah memperluas cakupan penggunaan objek formal dalam analisis bahasa, logika, dan struktur argumen. Filsuf seperti Ludwig Wittgenstein dalam fase kedua pemikirannya menegaskan bahwa makna suatu ekspresi bahasa tidak semata-mata bergantung pada rujukan eksternal, melainkan pada aturan penggunaannya dalam permainan bahasa tertentu (language games).⁴

Dalam konteks ini, objek formal filsafat ditransformasikan menjadi analisis terhadap struktur konseptual dan praksis linguistik, yang bersifat internal dan kontekstual.⁵ Pendekatan ini tetap menjaga semangat filosofis untuk menyelidiki realitas dari sudut formal yang tidak bersifat empiris, tetapi logis dan semantik.

6.3.       Filsafat Kontinental dan Objek Formal Kritis-Emansipatoris

Dalam tradisi filsafat kontinental, konsep objek formal mengambil bentuk pendekatan kritis-emansipatoris terhadap realitas sosial dan struktur ideologis. Para filsuf dari Mazhab Frankfurt seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Jürgen Habermas menggunakan objek formal filsafat untuk mengungkap struktur dominasi dan represi yang tersembunyi di balik sistem politik, ekonomi, dan budaya.⁶

Habermas, dalam The Theory of Communicative Action, mengembangkan pendekatan diskursif yang menjadikan rasionalitas komunikatif sebagai objek formal filsafat sosial.⁷ Dengan demikian, filsafat tidak hanya menelaah konsep-konsep abstrak, tetapi turut serta dalam praksis sosial melalui kritik ideologi, etika diskursif, dan rasionalitas publik.

6.4.       Relevansi dalam Filsafat Islam dan Filsafat Timur Kontemporer

Dalam konteks filsafat Islam kontemporer, objek formal juga digunakan untuk mereaktualisasi warisan intelektual klasik secara kritis terhadap tantangan modernitas. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menekankan pentingnya perspektif metafisik-tradisional dalam memahami realitas sebagai satu kesatuan yang sakral dan terintegrasi.⁸ Objek formal filsafat dalam pendekatan ini adalah prinsip-prinsip transenden dan tatanan kosmik yang menolak reduksionisme materialistik.⁹

Nasr mengkritik filsafat modern yang terlalu menekankan pada rasionalisme teknis dan menyerukan kembali kearifan perennial sebagai kerangka filosofis alternatif. Dalam hal ini, objek formal berfungsi sebagai alat pemulihan integritas spiritual dan pemaknaan mendalam atas eksistensi manusia.¹⁰

6.5.       Aplikasi Interdisipliner: Etika Terapan, Filsafat Teknologi, dan Bioetika

Objek formal filsafat juga sangat relevan dalam berbagai kajian interdisipliner, seperti filsafat teknologi, bioetika, dan etika lingkungan. Dalam ranah ini, filsafat tidak bersaing dengan ilmu-ilmu positif, tetapi menyuplai kerangka normatif dan analisis kritis yang tidak dimiliki oleh pendekatan teknis.

Sebagai contoh, dalam bioetika, pertanyaan tentang status moral embrio, euthanasia, atau teknologi rekayasa genetik tidak dapat dijawab melalui data biologis semata, tetapi memerlukan pendekatan filosofis dengan objek formal berupa nilai kehidupan, martabat manusia, dan tanggung jawab etis.¹¹ Hal serupa terjadi dalam filsafat teknologi, di mana filsafat mengkaji teknologi bukan sekadar sebagai alat, melainkan sebagai fenomena eksistensial yang membentuk cara berada manusia di dunia, sebagaimana dipaparkan oleh Martin Heidegger.¹²


Kesimpulan Sementara

Objek formal tetap menjadi komponen fundamental dalam kajian filsafat kontemporer karena ia memungkinkan filsafat untuk tetap relevan, reflektif, dan responsif terhadap perubahan zaman. Melalui objek formalnya, filsafat tidak hanya mempertanyakan realitas, tetapi juga memediasi nilai, makna, dan arah tindakan manusia dalam masyarakat yang semakin kompleks. Maka, dalam era yang penuh ambiguitas dan krisis makna, filsafat melalui objek formalnya hadir sebagai penuntun rasional dan normatif bagi peradaban.


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 14.

[2]                Jürgen Mittelstrass, “The Unity of Science as a Working Hypothesis,” Studies in History and Philosophy of Science Part A 28, no. 4 (1997): 463–474.

[3]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§ 23, 43.

[5]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 34–36.

[6]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 95–99.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 25–29.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 47–52.

[9]                Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 2001), 27–30.

[10]             Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 9–11.

[11]             Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Christian Virtues in Medical Practice (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996), 1–7.

[12]             Martin Heidegger, “The Question Concerning Technology,” in The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.


7.           Simpulan dan Refleksi Penutup

Objek formal merupakan unsur konstitutif yang tidak terpisahkan dari struktur epistemologis filsafat. Ia bukan sekadar dimensi teknis dalam pembagian cabang-cabang keilmuan, melainkan fondasi metodologis yang menentukan cara filsafat memahami, mendekati, dan menafsirkan realitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Louis O. Kattsoff, filsafat membedakan dirinya dari ilmu lain bukan karena objek materialnya, melainkan karena kedalaman cara pandang yang digunakannya dalam menelaah realitas secara rasional dan reflektif.¹

Sepanjang pembahasan artikel ini, telah dijelaskan bahwa objek formal:

·                     Menentukan sudut pandang analisis terhadap objek material;

·                     Menjadi pembeda metodologis antar cabang ilmu dan antar cabang filsafat itu sendiri;

·                     Mendasari karakter ilmiah filsafat sebagai ilmu normatif dan rasional;

·                     Mewujudkan fungsi kritis dan emansipatoris filsafat dalam menghadapi tantangan kontemporer;

·                     Berperan dalam membangun dialog interdisipliner melalui kerangka reflektif dan normatif yang ditawarkannya.

Dari perspektif sejarah, konsep objek formal telah mengalami perkembangan signifikan—dari Aristoteles dengan causa formalis dan upaya sistematisasi skolastik dalam klasifikasi ilmu, hingga refleksi-transendental Immanuel Kant, serta penerapannya dalam kritik ideologis dan linguistik pada pemikiran kontemporer seperti Habermas, Wittgenstein, dan Nasr.² Evolusi ini menunjukkan bahwa filsafat senantiasa relevan karena ia terus mengadaptasi dan menerapkan objek formalnya dalam konteks historis dan kebudayaan yang senantiasa berubah.

Dalam dunia modern yang ditandai oleh reduksionisme saintifik, fragmentasi ilmu, dan relativisme nilai, objek formal filsafat menawarkan alat untuk merekonstruksi arah berpikir dan bertindak manusia berdasarkan prinsip-prinsip yang bersifat fundamental, rasional, dan bernilai universal.³ Hal ini penting mengingat kecenderungan banyak ilmu kontemporer untuk menjauh dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang bersifat ontologis, epistemologis, dan etis.

Relevansi objek formal semakin nyata dalam penerapan filsafat pada bidang-bidang baru seperti bioetika, filsafat lingkungan, dan filsafat teknologi, di mana filsafat bertugas meninjau ulang orientasi nilai dari kemajuan ilmu dan teknologi modern.⁴ Dalam konteks ini, filsafat berperan bukan sebagai oposisi terhadap ilmu, melainkan sebagai mitra reflektif yang mengawal arah kemajuan agar tetap berpijak pada martabat manusia dan keharmonisan kosmos.

Sebagaimana dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr, “filsafat sejati tidak pernah sekadar analisis rasional, melainkan upaya untuk memahami struktur realitas sebagai manifestasi kebenaran yang lebih tinggi.”_⁵ Dalam pengertian ini, objek formal menjadi jembatan antara dimensi rasional dan dimensi transenden dalam upaya manusia memahami hakikatnya sendiri dan tempatnya dalam jagat raya.

Dengan demikian, pemahaman yang mendalam terhadap objek formal filsafat bukan hanya penting bagi keilmuan itu sendiri, tetapi juga menjadi penentu arah perkembangan peradaban, karena melalui filsafat dan objek formalnya, manusia diajak untuk tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga tentang apa arti berpikir itu sendiri.


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1967), 6–7.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 21–25; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), 85–90; Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 25–30.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 67–69.

[4]                Edmund D. Pellegrino and David C. Thomasma, The Christian Virtues in Medical Practice (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996), 1–5; Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–15.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 33.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1941). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Random House.

Bertens, K. (2000). Etika. Gramedia.

Bertens, K. (2001). Pengantar filsafat. Gramedia.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume 1—Greece and Rome. Image Books.

Copi, I. M., & Cohen, C. (2009). Introduction to logic (13th ed.). Pearson.

Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of language. Harvard University Press.

Evans, J. H. (2012). The epistemology of interdisciplinarity in bioethics. The American Journal of Bioethics, 12(2), 30–32. https://doi.org/10.1080/15265161.2011.652796

Gilson, E. (1994). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Gilson, E. (1999). The unity of philosophical experience. Ignatius Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Volume 1. Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heywood, A. (2012). Political theory: An introduction (4th ed.). Palgrave Macmillan.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1965). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kattsoff, L. O. (1967). Elements of philosophy: An introduction. Barnes & Noble.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Mittelstrass, J. (1997). The unity of science as a working hypothesis. Studies in History and Philosophy of Science Part A, 28(4), 463–474. https://doi.org/10.1016/S0039-3681(97)00025-0

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). The need for a sacred science. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2001). Islam and the plight of modern man. ABC International Group.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1996). The Christian virtues in medical practice. Georgetown University Press.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Popper, K. R. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1959). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Shusterman, R. (1997). The end of aesthetic experience. Cambridge University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Suriasumantri, J. S. (1995). Ilmu dalam perspektif. Yayasan Obor Indonesia.

Toulmin, S. (1953). The philosophy of science: An introduction. Hutchinson.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar