Minggu, 24 November 2024

Filsafat Sosial: Landasan Konseptual, Perkembangan Historis, dan Relevansi dalam Konteks Sosial Kontemporer

Filsafat Sosial

Landasan Konseptual, Perkembangan Historis, dan Relevansi dalam Konteks Sosial Kontemporer


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif cabang filsafat sosial sebagai refleksi normatif dan kritis atas kehidupan manusia dalam masyarakat. Dimulai dengan pengenalan terhadap definisi dan ruang lingkup filsafat sosial, kajian ini kemudian menelusuri perkembangan historisnya sejak era Yunani Kuno hingga era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas global, teknologi digital, dan pluralitas identitas. Artikel ini juga menyoroti tema-tema pokok filsafat sosial, seperti keadilan sosial, kebebasan dan otoritas, dominasi struktural, serta kritik terhadap ideologi dan kekuasaan. Selanjutnya, artikel ini mengulas kontribusi tokoh-tokoh sentral seperti Plato, Karl Marx, John Rawls, Jürgen Habermas, Nancy Fraser, dan Michel Foucault yang membentuk kerangka pemikiran dalam wacana sosial-filosofis. Dengan pendekatan analitik yang mencakup liberalisme, komunitarianisme, Marxisme, feminisme, post-strukturalisme, dan keadilan global, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat sosial tetap relevan sebagai perangkat konseptual untuk memahami dan mengarahkan transformasi sosial di tengah tantangan kontemporer seperti ketimpangan global, krisis ekologi, dan disrupsi teknologi. Melalui filsafat sosial, masyarakat didorong untuk membangun struktur sosial yang lebih adil, inklusif, dan beradab.

Kata Kunci: Filsafat sosial, keadilan, kebebasan, tokoh filsafat, pendekatan normatif, kritik ideologi, globalisasi, emansipasi sosial, keadilan ekologis, transformasi masyarakat.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Sosial Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat sosial merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas secara mendalam persoalan-persoalan fundamental mengenai kehidupan bersama dalam masyarakat, struktur sosial, keadilan, kekuasaan, norma, dan nilai-nilai yang membentuk tatanan sosial. Ia hadir sebagai refleksi kritis terhadap relasi manusia dalam komunitas serta terhadap institusi-institusi yang menopang kehidupan sosial seperti negara, hukum, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam konteks ini, filsafat sosial tidak sekadar menjadi kajian teoritis yang abstrak, tetapi juga mengandung unsur praksis dalam rangka merumuskan transformasi sosial yang lebih adil dan beradab.

Akar historis filsafat sosial dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, ketika Plato dan Aristoteles mulai menggagas hubungan antara individu dan negara, serta pentingnya keadilan dalam tatanan sosial. Plato dalam The Republic mengemukakan bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang tersusun secara hirarkis berdasarkan keadilan dan keutamaan moral, sementara Aristoteles dalam Politics menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon atau makhluk yang kodratnya hanya dapat terealisasi dalam kehidupan bernegara.1 Pemikiran-pemikiran awal ini menjadi fondasi bagi perkembangan refleksi sosial dalam filsafat hingga masa modern.

Perkembangan modernisasi, industrialisasi, dan kapitalisme di Eropa kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih kompleks terkait ketimpangan sosial, eksploitasi kelas, dan dominasi ideologi. Di sinilah filsafat sosial mengalami transformasi signifikan, terutama dalam karya-karya Karl Marx yang mengkritik relasi produksi kapitalistik sebagai sumber alienasi dan ketidakadilan sosial.2 Filsafat sosial kemudian berkembang bukan hanya sebagai alat pemahaman terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai instrumen kritik ideologis terhadap struktur yang menindas.

Di abad ke-20 dan 21, pemikiran filsafat sosial semakin diperkaya dengan pendekatan interdisipliner, baik dari teori kritis Mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Habermas, maupun dari wacana keadilan global dan multikulturalisme seperti yang dikembangkan oleh John Rawls, Nancy Fraser, dan Amartya Sen.3 Pendekatan-pendekatan ini memberikan ruang bagi filsafat sosial untuk terus relevan dalam menjawab problem-problem kontemporer seperti marginalisasi, ketimpangan ekonomi global, krisis demokrasi, hingga tantangan ekologis.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis aspek-aspek mendasar dari filsafat sosial, mulai dari landasan konseptual, perkembangan historis, tokoh-tokoh penting, hingga relevansi praktisnya dalam menjawab tantangan sosial saat ini. Dengan pendekatan filosofis yang berpijak pada analisis normatif dan refleksi kritis, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap filsafat sosial dan potensinya sebagai kekuatan intelektual dalam membentuk masyarakat yang adil, setara, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992); Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998).

[2]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964).

[3]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984); John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971); Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997); Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999).


2.           Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Sosial

Filsafat sosial adalah cabang filsafat yang berfokus pada analisis normatif dan kritis terhadap struktur, relasi, dan institusi sosial dalam kehidupan manusia. Ia membahas pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai keadilan sosial, kebebasan individu, otoritas politik, distribusi kekayaan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab kolektif. Sebagai disiplin filosofis, filsafat sosial berusaha memahami serta mengevaluasi secara mendalam norma dan nilai yang mendasari praktik sosial dan kehidupan bersama dalam suatu masyarakat.

Menurut James H. Nichols Jr., filsafat sosial adalah refleksi sistematis mengenai aspek-aspek dasar kehidupan sosial yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh ilmu sosial empiris. Ia menekankan bahwa filsafat sosial tidak hanya mendeskripsikan fakta sosial, tetapi mengevaluasi secara etis dan normatif bagaimana seharusnya struktur sosial dibentuk dan dipertahankan.1 Oleh karena itu, filsafat sosial berkaitan erat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa makna keadilan dalam masyarakat pluralistik? Bagaimana kekuasaan seharusnya dibatasi? Apakah kesetaraan dapat dicapai dalam kerangka kebebasan individu?

Di sisi lain, menurut Andrew Heywood, filsafat sosial dapat dibedakan dari ilmu sosial karena ia tidak berangkat dari observasi empiris semata, melainkan dari upaya mendalam untuk memahami nilai-nilai normatif yang membentuk realitas sosial.2 Ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, atau ilmu politik menganalisis bagaimana masyarakat bekerja, sedangkan filsafat sosial mengevaluasi apakah dan bagaimana masyarakat seharusnya bekerja berdasarkan prinsip moral dan rasionalitas.

Ruang lingkup filsafat sosial mencakup sejumlah aspek penting. Pertama, ontologi sosial, yaitu refleksi tentang eksistensi dan struktur entitas sosial seperti institusi, norma, dan identitas kolektif.3 Kedua, epistemologi sosial, yang membahas bagaimana pengetahuan sosial terbentuk, termasuk relasi antara kekuasaan dan kebenaran, seperti yang dikembangkan oleh Michel Foucault.4 Ketiga, etika sosial, yang menyelidiki prinsip-prinsip moral yang mendasari tindakan sosial, hak, dan tanggung jawab dalam kehidupan kolektif.

Filsafat sosial juga sering kali berdialog dengan berbagai perspektif ideologis dan teoritis, seperti liberalisme, sosialisme, feminisme, komunitarianisme, dan teori kritis. Masing-masing pendekatan ini menawarkan pandangan yang berbeda mengenai struktur ideal masyarakat dan relasi antar warganya. Misalnya, teori keadilan John Rawls menekankan pentingnya kesetaraan dalam kerangka kebebasan dasar yang adil, sedangkan pendekatan feminis seperti yang ditawarkan oleh Iris Marion Young menggarisbawahi pentingnya pengakuan terhadap perbedaan dan penghapusan dominasi struktural.5

Dengan demikian, filsafat sosial bukan sekadar refleksi spekulatif tentang masyarakat, tetapi juga merupakan usaha sistematis untuk membangun prinsip-prinsip normatif yang dapat digunakan sebagai dasar evaluasi terhadap ketimpangan sosial, penindasan, dan praktik-praktik eksklusi yang sering terjadi dalam tatanan sosial modern. Keberadaannya menjadi penting terutama dalam era globalisasi dan disrupsi teknologi, di mana struktur sosial mengalami transformasi cepat yang memerlukan penilaian etis dan rasional secara mendalam.


Footnotes

[1]                James H. Nichols Jr., Social Philosophy: A Critical Introduction (New York: Macmillan, 1970), 15–18.

[2]                Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction, 6th ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2017), 21–24.

[3]                Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 3–5.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 109–133.

[5]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 15–25.


3.           Perkembangan Historis Filsafat Sosial

Perkembangan filsafat sosial tidak dapat dilepaskan dari dinamika historis masyarakat manusia itu sendiri. Ia tumbuh dan berkembang seiring dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang struktur kehidupan kolektif, relasi antar individu, dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Dari zaman Yunani Kuno hingga era kontemporer, filsafat sosial telah mengalami transformasi konseptual yang luas—dari pemikiran politik normatif hingga teori kritis dan post-strukturalisme.

3.1.       Zaman Klasik: Filsafat Sosial sebagai Filsafat Politik

Cikal bakal filsafat sosial dapat ditemukan dalam filsafat politik klasik, terutama dalam karya-karya Plato dan Aristoteles. Plato dalam The Republic menggambarkan struktur negara ideal yang diatur oleh para filsuf-raja dan didasarkan pada prinsip keadilan, di mana setiap individu menjalankan peran sosialnya secara harmonis.1 Sementara itu, Aristoteles dalam Politics menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk sosial-politik) yang hanya dapat mencapai kesempurnaan moral melalui kehidupan dalam polis.2 Pemikiran mereka menekankan pentingnya struktur sosial yang adil dan teratur sebagai syarat bagi pencapaian kebajikan dan kebaikan bersama (common good).

3.2.       Abad Pertengahan: Integrasi Sosial dan Teologi

Pada Abad Pertengahan, filsafat sosial dipengaruhi kuat oleh teologi Kristen, khususnya melalui pemikiran Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus menekankan dualitas antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia), dengan menyatakan bahwa tatanan sosial duniawi hanya akan sempurna dalam kesatuan dengan nilai-nilai spiritual ilahi.3 Thomas Aquinas, melalui sintesis antara Aristotelianisme dan doktrin Kristen, mengembangkan konsep hukum alam (lex naturalis) sebagai dasar moralitas sosial dan politik.4 Pada periode ini, tatanan sosial dipahami sebagai refleksi dari kehendak Tuhan, dengan fokus pada hierarki dan harmoni sosial dalam kerangka iman.

3.3.       Zaman Modern: Kontrak Sosial dan Kritik terhadap Otoritas

Memasuki era modern, revolusi ilmiah dan pencerahan mendorong lahirnya teori-teori kontrak sosial yang mereformulasi hubungan antara individu dan negara. Tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau meletakkan fondasi baru bagi filsafat sosial dengan mengandaikan adanya perjanjian hipotetis yang melahirkan masyarakat politik.5 Hobbes dalam Leviathan menekankan perlunya kekuasaan absolut untuk menghindari state of nature yang anarkis, sementara Locke menekankan hak milik dan kebebasan individu sebagai dasar legitimasi politik. Rousseau dalam The Social Contract justru menekankan kehendak umum (general will) sebagai sumber utama legitimasi sosial, yang harus menjamin kebebasan kolektif.

Periode ini juga menyaksikan bangkitnya kritik sosial terhadap ketimpangan ekonomi dan sistem kapitalisme, yang puncaknya diwujudkan dalam filsafat Karl Marx. Marx mengembangkan analisis materialisme historis yang menjelaskan dinamika sosial sebagai hasil dari konflik kelas dalam relasi produksi.6 Filsafat sosial dalam perspektif Marx bersifat revolusioner—tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi untuk mengubahnya.

3.4.       Abad ke-20: Teori Kritis dan Pluralitas Perspektif

Abad ke-20 menandai lahirnya Mazhab Frankfurt, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat sosial modern. Tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert Marcuse mengembangkan teori kritis sebagai bentuk filsafat sosial yang tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berfungsi sebagai kritik ideologis terhadap masyarakat industri modern, rasionalitas teknokratis, dan budaya massa.7 Dalam konteks ini, filsafat sosial dipahami sebagai alat emansipasi yang menganalisis bentuk-bentuk dominasi tersembunyi dalam struktur sosial.

Sementara itu, Jürgen Habermas memperkenalkan konsep tindakan komunikatif sebagai dasar bagi teori masyarakat yang rasional dan demokratis. Habermas berusaha menggabungkan filsafat sosial dengan teori komunikasi, di mana legitimasi sosial muncul dari diskursus publik yang bebas dan argumentatif.8

3.5.       Era Kontemporer: Multikulturalisme, Globalisasi, dan Keadilan Global

Di era kontemporer, filsafat sosial memperluas cakupannya ke dalam isu-isu seperti multikulturalisme, gender, ekologi, dan keadilan global. Nancy Fraser mengembangkan teori keadilan yang bersifat multidimensi—mencakup redistribusi ekonomi, pengakuan budaya, dan partisipasi politik.9 Amartya Sen dan Martha Nussbaum memperkenalkan pendekatan capabilities yang berfokus pada pemberdayaan individu sebagai subjek sosial yang bermartabat.10 Perkembangan globalisasi dan disrupsi teknologi pun mendorong filsafat sosial untuk mengkaji ulang struktur sosial dalam kerangka lintas budaya dan transnasional.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 103–131.

[2]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), 1–7.

[3]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (Notre Dame, IN: Christian Classics, 1947), I–II, Q. 94.

[5]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988); Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1991); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968).

[6]                Karl Marx, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 1948); idem, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990).

[7]                Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, trans. Matthew J. O'Connell (New York: Continuum, 1982); Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002).

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.

[9]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–110; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–45.


4.           Tema-Tema Pokok dalam Filsafat Sosial

Filsafat sosial sebagai cabang filsafat terapan tidak berdiri di atas spekulasi kosong, melainkan berpijak pada realitas kehidupan sosial yang kompleks dan sarat konflik. Ia mengeksplorasi dan mengkritisi berbagai dimensi kehidupan bersama dalam masyarakat, dari relasi kuasa hingga norma-norma keadilan. Tema-tema pokok dalam filsafat sosial mencerminkan upaya intelektual untuk merumuskan prinsip-prinsip normatif yang mampu menopang tatanan sosial yang adil, inklusif, dan bermartabat. Berikut ini adalah beberapa tema sentral dalam kajian filsafat sosial:

4.1.       Keadilan Sosial

Isu keadilan sosial menjadi fondasi utama dalam filsafat sosial. Filsuf seperti John Rawls mengembangkan gagasan tentang “keadilan sebagai fairness,” di mana prinsip-prinsip keadilan harus disusun dari posisi asal yang adil (original position) dengan tirai ketidaktahuan (veil of ignorance).1 Rawls menekankan bahwa ketimpangan hanya dapat diterima jika memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan. Sebagai respons terhadap Rawls, Robert Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia justru mengusung pendekatan libertarian, yang menolak redistribusi sebagai pelanggaran terhadap hak kepemilikan individu.2

Selain keadilan distributif, filsafat sosial kontemporer juga menyoroti keadilan pengakuan dan keadilan partisipatif, seperti yang dikembangkan oleh Nancy Fraser. Ia menekankan bahwa keadilan tidak hanya menyangkut distribusi ekonomi, tetapi juga mencakup pengakuan budaya dan akses terhadap partisipasi politik yang setara.3

4.2.       Kebebasan dan Otoritas

Tema kebebasan dalam filsafat sosial tidak hanya dipahami secara negatif (bebas dari paksaan), tetapi juga secara positif, yaitu kapasitas untuk mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial.4 Dalam konteks ini, filsafat sosial membahas batas-batas kebebasan individu ketika berhadapan dengan otoritas politik, institusi sosial, dan kepentingan kolektif. Diskursus klasik tentang kebebasan dan negara dapat ditemukan dalam pemikiran Hobbes, Locke, dan Rousseau, yang kemudian diperluas oleh filsuf modern seperti Isaiah Berlin dalam konsep “dua konsep kebebasan”—kebebasan negatif dan positif.5

4.3.       Kesetaraan dan Dominasi

Filsafat sosial juga mengkaji ketimpangan sosial yang muncul dari dominasi sistemik, baik berdasarkan kelas, gender, ras, maupun orientasi seksual. Karl Marx memandang struktur ekonomi sebagai sumber utama ketimpangan, yang kemudian diangkat dan dikembangkan lebih lanjut dalam teori-teori feminis, postkolonial, dan antirasis.6

Iris Marion Young mengajukan model keadilan yang tidak hanya berbasis distribusi, tetapi juga memperhatikan dimensi dominasi struktural dan marginalisasi sosial yang bersifat institusional.7 Dalam pandangan ini, struktur sosial yang tampak “netral” sering kali menyembunyikan relasi kuasa yang eksklusif dan opresif terhadap kelompok tertentu.

4.4.       Institusi Sosial dan Moralitas

Filsafat sosial menelaah institusi-institusi seperti keluarga, pendidikan, agama, dan negara sebagai arena artikulasi nilai dan norma moral. Pemikiran Émile Durkheim, meskipun berasal dari sosiologi, menjadi relevan dalam filsafat sosial karena ia melihat bahwa moralitas bukan sekadar produk individu, tetapi hasil dari kesadaran kolektif yang dilembagakan.8 Di sisi lain, Charles Taylor menekankan pentingnya pengakuan terhadap identitas moral individu dalam masyarakat modern yang pluralistik, serta peran institusi dalam membentuk horizon makna.9

4.5.       Kritik terhadap Ideologi dan Struktur Kekuasaan

Filsafat sosial juga berfungsi sebagai kritik terhadap ideologi dan struktur kekuasaan yang menyamarkan relasi dominasi sebagai sesuatu yang alamiah atau tak terelakkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Adorno dan Horkheimer menunjukkan bagaimana budaya massa dalam masyarakat kapitalis modern berfungsi sebagai instrumen hegemoni ideologis yang melumpuhkan kesadaran kritis.10 Kontribusi Michel Foucault menambah dimensi genealogis pada analisis kekuasaan, dengan menunjukkan bahwa pengetahuan, praktik sosial, dan relasi kekuasaan saling membentuk dalam jaringan diskursif yang kompleks.11


Dengan demikian, tema-tema pokok dalam filsafat sosial tidak berdiri secara terpisah, tetapi saling berkaitan dalam menjelaskan dinamika sosial secara utuh. Keadilan, kebebasan, kesetaraan, institusi sosial, dan kritik ideologis merupakan instrumen filsafat untuk menggali, mengevaluasi, dan—bila perlu—menggugat tatanan yang tidak manusiawi dalam kehidupan sosial kontemporer.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.

[2]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–182.

[3]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[4]                Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” dalam Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 211–229.

[5]                Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon Press, 1958), 7–15.

[6]                Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 125–150.

[7]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.

[8]                Émile Durkheim, The Division of Labor in Society, trans. W.D. Halls (New York: Free Press, 1997), 129–146.

[9]                Charles Taylor, The Politics of Recognition, dalam Amy Gutmann (ed.), Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[10]             Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–136.

[11]             Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.


5.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Filsafat Sosial

Perkembangan filsafat sosial tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para pemikir besar yang menawarkan fondasi konseptual, kritik tajam terhadap struktur sosial, serta alternatif normatif bagi tatanan masyarakat. Masing-masing tokoh membawa perspektif filosofis yang khas dan mencerminkan kondisi sosial-historis pada zamannya. Berikut ini adalah beberapa tokoh sentral yang membentuk dan memperkaya wacana filsafat sosial:

5.1.       Plato: Negara Ideal dan Kehendak Keadilan

Plato adalah salah satu filsuf pertama yang secara sistematis merumuskan konsep keadilan sosial melalui model negara ideal dalam The Republic. Ia membagi masyarakat ke dalam tiga kelas utama—penguasa, penjaga, dan produsen—yang masing-masing menjalankan peran sesuai dengan sifat alaminya. Keadilan menurut Plato adalah keadaan harmonis di mana setiap kelas menjalankan tugasnya tanpa melampaui batasnya.1 Pemikirannya menjadi dasar normatif bagi filsafat sosial dalam menilai struktur dan fungsi sosial dari perspektif moral.

5.2.       Karl Marx: Kritik Kapitalisme dan Teori Kelas

Karl Marx adalah tokoh paling berpengaruh dalam tradisi filsafat sosial kritis. Dalam karya-karya seperti The Communist Manifesto dan Capital, Marx menelaah struktur masyarakat kapitalis dan mengidentifikasi konflik kelas sebagai kekuatan pendorong dalam sejarah sosial.2 Menurut Marx, eksploitasi kaum buruh oleh kaum borjuis melalui sistem kepemilikan alat produksi menciptakan alienasi dan ketimpangan struktural. Oleh karena itu, filsafat sosial dalam pandangannya tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga transformatif—mendorong perubahan revolusioner menuju masyarakat tanpa kelas.3

5.3.       John Rawls: Teori Keadilan sebagai Fairness

John Rawls adalah figur sentral dalam filsafat politik dan sosial abad ke-20. Dalam A Theory of Justice, Rawls memperkenalkan konsep original position dan veil of ignorance sebagai mekanisme hipotetis untuk menentukan prinsip keadilan yang adil dan rasional.4 Ia merumuskan dua prinsip keadilan: kebebasan dasar yang setara dan ketimpangan sosial-ekonomi yang hanya sah jika menguntungkan pihak paling tidak beruntung (difference principle). Pemikirannya memberikan landasan moral bagi teori keadilan sosial dalam sistem liberal-demokratis modern.

5.4.       Jürgen Habermas: Rasionalitas Komunikatif dan Diskursus Publik

Jürgen Habermas, penerus tradisi Mazhab Frankfurt, mengembangkan teori tindakan komunikatif sebagai dasar normatif bagi masyarakat demokratis. Ia menolak reduksi rasionalitas menjadi sekadar instrumen teknis dan menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif—yaitu interaksi yang didasarkan pada argumentasi terbuka dan saling pengertian.5 Dalam pandangannya, legitimasi sosial hanya dapat dicapai jika keputusan politik bersumber dari proses diskursus yang inklusif dan bebas dominasi. Teori ini menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena deliberatif dalam masyarakat modern.6

5.5.       Nancy Fraser: Keadilan Multidimensi dan Emansipasi Sosial

Nancy Fraser adalah pemikir kontemporer yang berkontribusi besar dalam memperluas cakupan filsafat sosial melalui pendekatan multidimensi terhadap keadilan. Ia menolak reduksi keadilan pada distribusi ekonomi semata, dan menekankan pentingnya dimensi recognition (pengakuan identitas budaya) dan representation (partisipasi politik) dalam mewujudkan keadilan sosial.7 Fraser juga mengembangkan kritik terhadap neoliberalisme global yang memperdalam ketidaksetaraan dalam skala transnasional. Karyanya memberikan landasan konseptual untuk memperjuangkan emansipasi yang interseksional dan transformatif.

5.6.       Michel Foucault: Kekuasaan, Diskursus, dan Pengetahuan

Michel Foucault mengubah arah filsafat sosial melalui analisis genealogis terhadap kekuasaan dan institusi sosial. Ia berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif—membentuk identitas, norma, dan struktur pengetahuan.8 Dalam Discipline and Punish, Foucault mengkaji bagaimana sistem penjara dan disiplin sosial menciptakan subjek yang tunduk melalui mekanisme pengawasan dan normalisasi.9 Kontribusinya memperluas cakupan filsafat sosial ke dalam ranah bahasa, tubuh, dan diskursus sebagai medan kekuasaan yang subtil namun menentukan.


Tokoh-tokoh ini, meskipun berbeda pendekatan dan konteks historisnya, memiliki satu kesamaan: mereka menempatkan manusia sebagai makhluk sosial yang eksistensinya senantiasa dibentuk oleh relasi kekuasaan, struktur ekonomi, norma budaya, dan institusi politik. Melalui analisis kritis dan refleksi normatif, mereka memberikan sumbangsih intelektual yang mendalam dalam memahami dan merancang ulang kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 103–131.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 1948), 14–21.

[3]                Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 125–180.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.

[6]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 291–328.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[8]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 119–133.

[9]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.


6.           Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat Sosial

Filsafat sosial tidak dapat direduksi pada satu aliran pemikiran tunggal. Ia berkembang dalam lintasan yang plural dan multidisipliner, dipengaruhi oleh tradisi metafisika, etika, politik, ekonomi, hingga teori kritis budaya. Setiap pendekatan dalam filsafat sosial menawarkan lensa teoritis tertentu dalam memahami realitas sosial dan menetapkan prinsip normatif bagi kehidupan bersama. Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan utama yang menjadi pilar dalam diskursus filsafat sosial kontemporer:

6.1.       Pendekatan Normatif dan Deskriptif

Dua pendekatan paling dasar dalam filsafat sosial adalah pendekatan normatif dan deskriptif. Pendekatan normatif berupaya merumuskan nilai-nilai ideal mengenai bagaimana masyarakat seharusnya disusun, sementara pendekatan deskriptif bertujuan menjelaskan bagaimana masyarakat sebenarnya berfungsi.1 Pendekatan normatif banyak dijumpai dalam teori keadilan, teori hak, dan filsafat politik liberal, sedangkan pendekatan deskriptif digunakan dalam analisis empiris terhadap institusi sosial, kekuasaan, dan struktur ekonomi.

Namun, banyak filsuf sosial, seperti Jürgen Habermas, berupaya melampaui dikotomi ini dengan menggabungkan analisis deskriptif atas kondisi sosial dengan prinsip normatif emansipatoris.2 Dalam pandangan ini, teori sosial harus mampu mengungkap realitas dominasi sekaligus memberikan dasar moral untuk mengubahnya.

6.2.       Liberalisme dan Komunitarianisme

Liberalisme merupakan pendekatan dominan dalam filsafat sosial modern, terutama melalui gagasan kebebasan individu, hak-hak asasi, dan keadilan distributif. Tokoh utama pendekatan ini adalah John Rawls, yang menekankan keadilan sebagai fairness dalam masyarakat demokratis.3

Sebagai kritik terhadap liberalisme, muncul pendekatan komunitarianisme yang menegaskan pentingnya nilai-nilai bersama, tradisi komunitas, dan keterikatan sosial dalam membentuk identitas moral individu. Filsuf seperti Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre mengkritik liberalisme karena terlalu menekankan otonomi individual dan mengabaikan dimensi relasional manusia.4

Komunitarianisme menegaskan bahwa identitas moral tidak dapat dipahami secara atomistik, tetapi selalu terbentuk dalam konteks sosial dan historis yang konkret.

6.3.       Sosialisme dan Marxisme Kritis

Pendekatan sosialis dan Marxis menempatkan keadilan ekonomi dan kesetaraan sebagai isu sentral dalam filsafat sosial. Karl Marx merumuskan bahwa relasi produksi kapitalis menciptakan alienasi dan eksploitasi, sehingga pembebasan sosial hanya dapat dicapai melalui transformasi struktural.5

Dalam tradisi teori kritis, terutama Mazhab Frankfurt, pemikiran Marx dikembangkan secara reflektif dengan memadukan filsafat Hegelian, teori budaya, dan psikoanalisis. Herbert Marcuse misalnya, mengkritik masyarakat industri modern karena telah menciptakan kebutuhan semu dan kesadaran palsu yang menumpulkan potensi emansipatoris individu.6

6.4.       Feminisme dan Interseksionalitas

Pendekatan feminisme dalam filsafat sosial menyoroti dimensi patriarki dan subordinasi gender dalam struktur sosial. Iris Marion Young mengembangkan teori keadilan yang tidak hanya menyasar redistribusi ekonomi, tetapi juga memperhatikan eksklusi sosial, marginalisasi, dan kekerasan simbolik yang dialami perempuan dan kelompok minoritas.7

Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan interseksional menekankan bahwa identitas gender, ras, kelas, dan orientasi seksual saling beririsan dalam menciptakan pola dominasi yang kompleks. bell hooks dan Kimberlé Crenshaw menunjukkan bahwa struktur kekuasaan tidak dapat dianalisis hanya berdasarkan satu dimensi identitas, melainkan harus melalui kerangka multi-opresi yang terintegrasi.8

6.5.       Post-strukturalisme dan Postmodernisme

Pendekatan post-strukturalis, seperti yang dikembangkan oleh Michel Foucault dan Judith Butler, menggeser fokus filsafat sosial dari struktur ekonomi-politik ke medan diskursif dan praktik-praktik subjektivasi. Foucault menolak gagasan kekuasaan sebagai sesuatu yang bersifat sentralistik dan represif, dan justru melihatnya sebagai jaringan produktif yang hadir dalam praktik sehari-hari.9

Sementara itu, Butler mengkritik konsep identitas yang esensialis, dan mengembangkan teori performativitas gender yang memperlihatkan bagaimana norma-norma sosial direproduksi secara tidak sadar melalui tindakan dan bahasa.10 Pendekatan ini menyumbang pada pemahaman bahwa relasi sosial dibentuk oleh mekanisme simbolik dan bukan hanya oleh institusi formal.

6.6.       Pendekatan Postkolonial dan Keadilan Global

Filsafat sosial kontemporer juga menyerap pendekatan postkolonial yang mengkritik warisan kolonialisme dalam struktur global. Tokoh seperti Gayatri Chakravorty Spivak dan Frantz Fanon mengeksplorasi bagaimana kekuasaan kolonial membentuk identitas dan inferiorisasi budaya melalui mekanisme wacana dan kekerasan simbolik.11

Dalam dimensi global, Amartya Sen dan Martha Nussbaum mengembangkan pendekatan capability yang menekankan keadilan sebagai pengembangan kapasitas dasar manusia secara global, bukan semata redistribusi material.12 Pendekatan ini memperluas filsafat sosial ke ranah pembangunan internasional, hak global, dan solidaritas lintas batas negara.


Dengan demikian, pendekatan-pendekatan dalam filsafat sosial memperlihatkan keragaman orientasi teoritis yang saling memperkaya. Dari liberalisme hingga postkolonialisme, dari Marxisme hingga feminisme, masing-masing pendekatan mengarahkan perhatian pada aspek-aspek berbeda dari ketimpangan sosial, relasi kuasa, dan cita-cita keadilan. Keragaman ini tidak menunjukkan fragmentasi, melainkan kekayaan refleksi filosofis dalam menjawab tantangan sosial yang senantiasa berubah.


Footnotes

[1]                David Boucher and Paul Kelly, Political Thinkers: From Socrates to the Present, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–9.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123.

[4]                Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982); Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981).

[5]                Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 125–180.

[6]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 1–33.

[7]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.

[8]                Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299; bell hooks, Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism (Boston: South End Press, 1981).

[9]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.

[10]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 1–33.

[11]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004); Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[12]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–110; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–45.


7.           Relevansi Filsafat Sosial dalam Konteks Kontemporer

Filsafat sosial, dengan kerangka normatif dan kritisnya, memainkan peran yang semakin penting dalam merespons kompleksitas realitas sosial abad ke-21. Dunia kontemporer ditandai oleh dinamika yang simultan—kemajuan teknologi dan digitalisasi di satu sisi, serta ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan disintegrasi nilai di sisi lain. Dalam situasi ini, filsafat sosial menawarkan perangkat reflektif dan analitis untuk menilai struktur masyarakat, menata ulang etika kolektif, dan membangun visi sosial yang inklusif dan berkeadilan.

7.1.       Menjawab Tantangan Ketimpangan Sosial-Ekonomi

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, baik di dalam negara maupun antarnegara. Thomas Piketty menunjukkan bahwa kapitalisme kontemporer cenderung menciptakan konsentrasi kekayaan yang eksponensial dan tidak merata, yang mengancam prinsip keadilan sosial.1 Dalam konteks ini, filsafat sosial berperan penting dalam mengkaji legitimasi moral dari struktur distribusi kekayaan dan menyusun alternatif model kebijakan yang lebih egaliter.

Amartya Sen melalui pendekatan capability menekankan bahwa keadilan tidak cukup hanya diukur dari tingkat pendapatan, tetapi dari kemampuan nyata individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.2 Filsafat sosial dengan demikian membuka ruang evaluasi yang lebih mendalam terhadap makna kesejahteraan dan kebebasan dalam konteks kontemporer.

7.2.       Krisis Demokrasi dan Peran Ruang Publik

Meningkatnya populisme, polarisasi politik, serta disinformasi di era digital telah menggerus kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Filsafat sosial melalui konsep Jürgen Habermas tentang diskursus publik dan rasionalitas komunikatif menyoroti pentingnya ruang deliberatif yang terbuka, setara, dan bebas dari distorsi dominasi untuk menjaga legitimasi demokratis.3 Dalam masyarakat yang semakin terdigitalisasi, refleksi filosofis diperlukan untuk memastikan bahwa teknologi tidak hanya mempercepat informasi, tetapi juga memperdalam kapasitas warganegara untuk berdialog dan berpartisipasi secara kritis.

7.3.       Multikulturalisme, Identitas, dan Pengakuan

Kehidupan sosial kontemporer juga ditandai oleh meningkatnya keberagaman etnis, budaya, agama, dan gender. Hal ini menimbulkan tantangan baru terkait integrasi sosial, kebijakan inklusif, dan pengakuan identitas. Charles Taylor menegaskan bahwa pengakuan terhadap identitas kolektif merupakan kebutuhan mendasar manusia dalam membentuk harga diri dan partisipasi sosial.4 Dalam hal ini, filsafat sosial berkontribusi dalam merumuskan prinsip-prinsip etis untuk kehidupan bersama yang menghargai perbedaan tanpa terjebak dalam relativisme.

Nancy Fraser menambahkan bahwa pengakuan kultural harus dibarengi dengan redistribusi ekonomi dan partisipasi politik agar keadilan sosial benar-benar komprehensif.5 Konsep keadilan multidimensi ini menjadi sangat relevan dalam merancang kebijakan publik pada masyarakat plural dan kompleks.

7.4.       Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab Kolektif

Perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam telah menjadi isu global yang memerlukan pendekatan etis yang mendalam. Filsafat sosial memberi kontribusi melalui pendekatan environmental justice, yang memandang kerusakan lingkungan bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga sebagai bentuk ketimpangan sosial.6

Robyn Eckersley dan pemikir-pemikir ekofeminisme menekankan bahwa kerusakan alam berkaitan erat dengan pola dominasi patriarkis dan kapitalistik terhadap bumi dan kelompok rentan.7 Dengan demikian, filsafat sosial memperluas cakupan tanggung jawab etis dari relasi antar manusia ke relasi manusia dengan alam.

7.5.       Teknologi, Algoritma, dan Etika Sosial Baru

Transformasi digital dan kecerdasan buatan telah mengubah secara mendasar cara manusia berkomunikasi, bekerja, dan membentuk identitas. Dalam konteks ini, filsafat sosial menjadi penting untuk menilai dampak etis dari penggunaan algoritma, data surveillance, dan otomatisasi terhadap kebebasan individu dan struktur sosial.

Shoshana Zuboff memperkenalkan konsep surveillance capitalism, yaitu model ekonomi yang mengeksploitasi data perilaku untuk keuntungan pasar, sering kali tanpa persetujuan sadar dari pengguna.8 Filsafat sosial dapat memberikan kerangka normatif untuk menilai ulang hak privasi, kendali atas data, dan keadilan digital dalam era informasi.


Melalui kontribusinya terhadap analisis ketimpangan, keadilan ekologis, pengakuan identitas, serta etika teknologi, filsafat sosial berfungsi sebagai kompas normatif dan reflektif dalam navigasi masyarakat kontemporer yang kompleks. Ia tidak hanya mengkritik realitas, tetapi juga menawarkan horizon etis bagi masa depan yang lebih manusiawi, demokratis, dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–39.

[2]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–110.

[3]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 291–328.

[4]                Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[5]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[6]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 34–56.

[7]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 91–113.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 70–104.


8.           Simpulan

Filsafat sosial merupakan cabang filsafat yang tidak hanya berorientasi pada kontemplasi teoretis, tetapi juga berakar pada realitas sosial yang konkret. Sepanjang sejarahnya, filsafat sosial telah menunjukkan daya reflektif dan transformatif dalam membaca dinamika masyarakat, mulai dari gagasan keadilan Plato, kritik kapitalisme Marx, hingga teori keadilan Rawls dan pendekatan multidimensi keadilan oleh Nancy Fraser.1 Keberagaman pendekatan ini menandai kekayaan intelektual yang dimiliki filsafat sosial, yang terus berevolusi seiring perubahan zaman.

Sebagai suatu disiplin, filsafat sosial tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia lahir dari kegelisahan terhadap ketimpangan sosial, ketidakadilan struktural, marginalisasi identitas, serta tantangan etis yang ditimbulkan oleh globalisasi dan teknologi. Dalam era kontemporer, di mana masyarakat mengalami fragmentasi identitas, erosi nilai-nilai komunal, dan dominasi struktur ekonomi-politik global, filsafat sosial hadir sebagai medan kritik dan penyusunan ulang tatanan sosial berdasarkan prinsip-prinsip rasionalitas, partisipasi, dan emansipasi.2

Kontribusi filsafat sosial dapat diringkas dalam tiga fungsi utama. Pertama, fungsi analitik, yaitu dengan mengurai struktur sosial dan relasi kekuasaan secara konseptual, baik dari sisi institusi maupun praksis sosial.3 Kedua, fungsi normatif, yakni menyusun kerangka etis mengenai bagaimana masyarakat yang adil, setara, dan inklusif seharusnya dibentuk. Ketiga, fungsi kritis-emansipatoris, yaitu mengungkap ideologi yang menutupi ketidakadilan dan menawarkan alternatif transformatif yang berpihak pada kelompok rentan.

Dengan perangkat reflektifnya, filsafat sosial memungkinkan manusia untuk tidak sekadar menjadi agen pasif dalam arus perubahan sosial, melainkan sebagai subjek yang sadar, kritis, dan mampu membayangkan struktur sosial yang lebih etis dan manusiawi. Dalam pandangan Habermas, masyarakat yang demokratis hanya mungkin terwujud apabila didasarkan pada rasionalitas komunikatif yang menjunjung dialog, transparansi, dan keterlibatan aktif warga negara.4 Hal ini menegaskan bahwa filsafat sosial memiliki peran penting dalam memelihara semangat deliberatif dalam ruang publik.

Di tengah tantangan kontemporer seperti ketimpangan digital, disinformasi, perubahan iklim, hingga eksklusi sosial yang berbasis ras, gender, dan kelas, filsafat sosial tidak kehilangan relevansi. Sebaliknya, ia justru semakin dibutuhkan untuk menilai arah peradaban dan mengarahkan kebijakan sosial ke arah yang lebih berkeadaban dan berkeadilan. Sebagaimana dinyatakan oleh Amartya Sen, “The idea of justice is not about perfect institutions, but about reducing injustice through public reasoning.”5

Oleh karena itu, filsafat sosial bukan sekadar tradisi pemikiran, tetapi merupakan praksis pembebasan yang bertumpu pada daya nalar kritis dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Dalam masyarakat yang semakin plural dan kompleks, filsafat sosial hadir sebagai pemandu etis untuk mewujudkan dunia yang lebih inklusif, reflektif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 118–123; Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 125–180; Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[2]                Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[3]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.

[5]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 19.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Christian Classics.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing Company.

Berlin, I. (1958). Two concepts of liberty. Clarendon Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299.

Durkheim, É. (1997). The division of labor in society (W. D. Halls, Trans.). Free Press. (Original work published 1893)

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New York Press.

Fanon, F. (2004). The wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961)

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Heywood, A. (2017). Political ideologies: An introduction (6th ed.). Palgrave Macmillan.

hooks, b. (1981). Ain’t I a woman: Black women and feminism. South End Press.

Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected essays (M. J. O'Connell, Trans.). Continuum.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man. Beacon Press.

Marx, K. (1990). Capital: Volume 1 (B. Fowkes, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1867)

Marx, K., & Engels, F. (1948). The communist manifesto (S. Moore, Trans.). International Publishers. (Original work published 1848)

Nichols, J. H. (1970). Social philosophy: A critical introduction. Macmillan.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing Company.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)

Sanders, M. (1982). Liberalism and the limits of justice. Cambridge University Press.

Schlosberg, D. (2007). Defining environmental justice: Theories, movements, and nature. Oxford University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap Press of Harvard University Press.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Taylor, C. (1985). What’s wrong with negative liberty? In Philosophy and the human sciences: Philosophical papers, Vol. 2 (pp. 211–229). Cambridge University Press.

Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the politics of recognition (pp. 25–73). Princeton University Press.

Tuomela, R. (2002). The philosophy of social practices: A collective acceptance view. Cambridge University Press.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar