Filsafat Sosial
Landasan Konseptual, Perkembangan Historis, dan
Relevansi dalam Konteks Sosial Kontemporer
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif cabang
filsafat sosial sebagai refleksi normatif dan kritis atas kehidupan manusia
dalam masyarakat. Dimulai dengan pengenalan terhadap definisi dan ruang lingkup
filsafat sosial, kajian ini kemudian menelusuri perkembangan historisnya sejak
era Yunani Kuno hingga era kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas global,
teknologi digital, dan pluralitas identitas. Artikel ini juga menyoroti
tema-tema pokok filsafat sosial, seperti keadilan sosial, kebebasan dan
otoritas, dominasi struktural, serta kritik terhadap ideologi dan kekuasaan.
Selanjutnya, artikel ini mengulas kontribusi tokoh-tokoh sentral seperti Plato,
Karl Marx, John Rawls, Jürgen Habermas, Nancy Fraser, dan Michel Foucault yang
membentuk kerangka pemikiran dalam wacana sosial-filosofis. Dengan pendekatan
analitik yang mencakup liberalisme, komunitarianisme, Marxisme, feminisme,
post-strukturalisme, dan keadilan global, artikel ini menunjukkan bahwa
filsafat sosial tetap relevan sebagai perangkat konseptual untuk memahami dan
mengarahkan transformasi sosial di tengah tantangan kontemporer seperti
ketimpangan global, krisis ekologi, dan disrupsi teknologi. Melalui filsafat
sosial, masyarakat didorong untuk membangun struktur sosial yang lebih adil,
inklusif, dan beradab.
Kata Kunci: Filsafat sosial, keadilan, kebebasan, tokoh
filsafat, pendekatan normatif, kritik ideologi, globalisasi, emansipasi sosial,
keadilan ekologis, transformasi masyarakat.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Sosial Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat sosial merupakan salah satu cabang
filsafat yang membahas secara mendalam persoalan-persoalan fundamental mengenai
kehidupan bersama dalam masyarakat, struktur sosial, keadilan, kekuasaan,
norma, dan nilai-nilai yang membentuk tatanan sosial. Ia hadir sebagai refleksi
kritis terhadap relasi manusia dalam komunitas serta terhadap
institusi-institusi yang menopang kehidupan sosial seperti negara, hukum,
ekonomi, dan kebudayaan. Dalam konteks ini, filsafat sosial tidak sekadar
menjadi kajian teoritis yang abstrak, tetapi juga mengandung unsur praksis
dalam rangka merumuskan transformasi sosial yang lebih adil dan beradab.
Akar historis filsafat sosial dapat ditelusuri
sejak masa Yunani Kuno, ketika Plato dan Aristoteles mulai menggagas hubungan
antara individu dan negara, serta pentingnya keadilan dalam tatanan sosial.
Plato dalam The Republic mengemukakan bahwa masyarakat ideal adalah
masyarakat yang tersusun secara hirarkis berdasarkan keadilan dan keutamaan
moral, sementara Aristoteles dalam Politics menegaskan bahwa manusia
adalah zoon politikon atau makhluk yang kodratnya hanya dapat
terealisasi dalam kehidupan bernegara.1 Pemikiran-pemikiran awal ini
menjadi fondasi bagi perkembangan refleksi sosial dalam filsafat hingga masa
modern.
Perkembangan modernisasi, industrialisasi, dan
kapitalisme di Eropa kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih
kompleks terkait ketimpangan sosial, eksploitasi kelas, dan dominasi ideologi.
Di sinilah filsafat sosial mengalami transformasi signifikan, terutama dalam
karya-karya Karl Marx yang mengkritik relasi produksi kapitalistik sebagai
sumber alienasi dan ketidakadilan sosial.2 Filsafat sosial kemudian
berkembang bukan hanya sebagai alat pemahaman terhadap realitas sosial, tetapi
juga sebagai instrumen kritik ideologis terhadap struktur yang menindas.
Di abad ke-20 dan 21, pemikiran filsafat sosial
semakin diperkaya dengan pendekatan interdisipliner, baik dari teori kritis
Mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Habermas, maupun dari wacana
keadilan global dan multikulturalisme seperti yang dikembangkan oleh John
Rawls, Nancy Fraser, dan Amartya Sen.3 Pendekatan-pendekatan ini
memberikan ruang bagi filsafat sosial untuk terus relevan dalam menjawab
problem-problem kontemporer seperti marginalisasi, ketimpangan ekonomi global,
krisis demokrasi, hingga tantangan ekologis.
Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara sistematis aspek-aspek mendasar dari filsafat sosial, mulai
dari landasan konseptual, perkembangan historis, tokoh-tokoh penting, hingga
relevansi praktisnya dalam menjawab tantangan sosial saat ini. Dengan
pendekatan filosofis yang berpijak pada analisis normatif dan refleksi kritis,
diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman yang lebih
komprehensif terhadap filsafat sosial dan potensinya sebagai kekuatan
intelektual dalam membentuk masyarakat yang adil, setara, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992); Aristotle, Politics,
trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998).
[2]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964).
[3]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984); John Rawls, A
Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971); Nancy
Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist”
Condition (New York: Routledge, 1997); Amartya Sen, Development as
Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999).
2.
Definisi
dan Ruang Lingkup Filsafat Sosial
Filsafat sosial adalah cabang filsafat yang
berfokus pada analisis normatif dan kritis terhadap struktur, relasi, dan
institusi sosial dalam kehidupan manusia. Ia membahas pertanyaan-pertanyaan
fundamental mengenai keadilan sosial, kebebasan individu, otoritas politik,
distribusi kekayaan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab kolektif. Sebagai
disiplin filosofis, filsafat sosial berusaha memahami serta mengevaluasi secara
mendalam norma dan nilai yang mendasari praktik sosial dan kehidupan bersama
dalam suatu masyarakat.
Menurut James H. Nichols Jr., filsafat sosial
adalah refleksi sistematis mengenai aspek-aspek dasar kehidupan sosial yang
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh ilmu sosial empiris. Ia menekankan bahwa
filsafat sosial tidak hanya mendeskripsikan fakta sosial, tetapi mengevaluasi
secara etis dan normatif bagaimana seharusnya struktur sosial dibentuk dan
dipertahankan.1 Oleh karena itu, filsafat sosial berkaitan erat
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa makna keadilan dalam masyarakat
pluralistik? Bagaimana kekuasaan seharusnya dibatasi? Apakah kesetaraan dapat
dicapai dalam kerangka kebebasan individu?
Di sisi lain, menurut Andrew Heywood, filsafat
sosial dapat dibedakan dari ilmu sosial karena ia tidak berangkat dari
observasi empiris semata, melainkan dari upaya mendalam untuk memahami
nilai-nilai normatif yang membentuk realitas sosial.2 Ilmu sosial
seperti sosiologi, antropologi, atau ilmu politik menganalisis bagaimana
masyarakat bekerja, sedangkan filsafat sosial mengevaluasi apakah dan
bagaimana masyarakat seharusnya bekerja berdasarkan prinsip moral dan
rasionalitas.
Ruang lingkup filsafat sosial mencakup sejumlah
aspek penting. Pertama, ontologi sosial, yaitu refleksi tentang
eksistensi dan struktur entitas sosial seperti institusi, norma, dan identitas
kolektif.3 Kedua, epistemologi sosial, yang membahas
bagaimana pengetahuan sosial terbentuk, termasuk relasi antara kekuasaan dan
kebenaran, seperti yang dikembangkan oleh Michel Foucault.4 Ketiga, etika
sosial, yang menyelidiki prinsip-prinsip moral yang mendasari tindakan
sosial, hak, dan tanggung jawab dalam kehidupan kolektif.
Filsafat sosial juga sering kali berdialog dengan
berbagai perspektif ideologis dan teoritis, seperti liberalisme, sosialisme,
feminisme, komunitarianisme, dan teori kritis. Masing-masing pendekatan ini
menawarkan pandangan yang berbeda mengenai struktur ideal masyarakat dan relasi
antar warganya. Misalnya, teori keadilan John Rawls menekankan pentingnya
kesetaraan dalam kerangka kebebasan dasar yang adil, sedangkan pendekatan
feminis seperti yang ditawarkan oleh Iris Marion Young menggarisbawahi
pentingnya pengakuan terhadap perbedaan dan penghapusan dominasi struktural.5
Dengan demikian, filsafat sosial bukan sekadar
refleksi spekulatif tentang masyarakat, tetapi juga merupakan usaha sistematis
untuk membangun prinsip-prinsip normatif yang dapat digunakan sebagai dasar
evaluasi terhadap ketimpangan sosial, penindasan, dan praktik-praktik eksklusi
yang sering terjadi dalam tatanan sosial modern. Keberadaannya menjadi penting
terutama dalam era globalisasi dan disrupsi teknologi, di mana struktur sosial
mengalami transformasi cepat yang memerlukan penilaian etis dan rasional secara
mendalam.
Footnotes
[1]
James H. Nichols Jr., Social Philosophy: A
Critical Introduction (New York: Macmillan, 1970), 15–18.
[2]
Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction,
6th ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2017), 21–24.
[3]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 3–5.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books,
1980), 109–133.
[5]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 15–25.
3.
Perkembangan
Historis Filsafat Sosial
Perkembangan
filsafat sosial tidak dapat dilepaskan dari dinamika historis masyarakat
manusia itu sendiri. Ia tumbuh dan berkembang seiring dengan munculnya
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang struktur kehidupan kolektif, relasi
antar individu, dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Dari zaman
Yunani Kuno hingga era kontemporer, filsafat sosial telah mengalami
transformasi konseptual yang luas—dari pemikiran politik normatif hingga teori
kritis dan post-strukturalisme.
3.1. Zaman Klasik: Filsafat Sosial sebagai Filsafat
Politik
Cikal bakal filsafat
sosial dapat ditemukan dalam filsafat politik klasik, terutama dalam
karya-karya Plato dan Aristoteles.
Plato dalam The Republic menggambarkan struktur
negara ideal yang diatur oleh para filsuf-raja dan didasarkan pada prinsip
keadilan, di mana setiap individu menjalankan peran sosialnya secara harmonis.1
Sementara itu, Aristoteles dalam Politics menyatakan bahwa manusia
adalah zoon
politikon (makhluk sosial-politik) yang hanya dapat mencapai
kesempurnaan moral melalui kehidupan dalam polis.2 Pemikiran mereka
menekankan pentingnya struktur sosial yang adil dan teratur sebagai syarat bagi
pencapaian kebajikan dan kebaikan bersama (common good).
3.2. Abad Pertengahan: Integrasi Sosial dan Teologi
Pada Abad
Pertengahan, filsafat sosial dipengaruhi kuat oleh teologi Kristen, khususnya
melalui pemikiran Agustinus dan Thomas
Aquinas. Agustinus menekankan dualitas antara Civitas
Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia),
dengan menyatakan bahwa tatanan sosial duniawi hanya akan sempurna dalam
kesatuan dengan nilai-nilai spiritual ilahi.3 Thomas Aquinas,
melalui sintesis antara Aristotelianisme dan doktrin Kristen, mengembangkan
konsep hukum alam (lex naturalis) sebagai dasar
moralitas sosial dan politik.4 Pada periode ini, tatanan sosial
dipahami sebagai refleksi dari kehendak Tuhan, dengan fokus pada hierarki dan
harmoni sosial dalam kerangka iman.
3.3. Zaman Modern: Kontrak Sosial dan Kritik terhadap Otoritas
Memasuki era modern,
revolusi ilmiah dan pencerahan mendorong lahirnya teori-teori kontrak sosial
yang mereformulasi hubungan antara individu dan negara. Tokoh-tokoh seperti Thomas
Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques
Rousseau meletakkan fondasi baru bagi filsafat sosial dengan
mengandaikan adanya perjanjian hipotetis yang melahirkan masyarakat politik.5
Hobbes dalam Leviathan menekankan perlunya
kekuasaan absolut untuk menghindari state of nature yang anarkis,
sementara Locke menekankan hak milik dan kebebasan individu sebagai dasar
legitimasi politik. Rousseau dalam The Social Contract justru
menekankan kehendak umum (general will) sebagai sumber utama
legitimasi sosial, yang harus menjamin kebebasan kolektif.
Periode ini juga
menyaksikan bangkitnya kritik sosial terhadap ketimpangan ekonomi dan sistem
kapitalisme, yang puncaknya diwujudkan dalam filsafat Karl
Marx. Marx mengembangkan analisis materialisme historis yang
menjelaskan dinamika sosial sebagai hasil dari konflik kelas dalam relasi
produksi.6 Filsafat sosial dalam perspektif Marx bersifat
revolusioner—tidak hanya untuk memahami dunia, tetapi untuk mengubahnya.
3.4. Abad ke-20: Teori Kritis dan Pluralitas Perspektif
Abad ke-20 menandai
lahirnya Mazhab Frankfurt, yang menjadi
tonggak penting dalam sejarah filsafat sosial modern. Tokoh-tokoh seperti Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert
Marcuse mengembangkan teori kritis sebagai bentuk
filsafat sosial yang tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berfungsi
sebagai kritik ideologis terhadap masyarakat industri modern, rasionalitas
teknokratis, dan budaya massa.7 Dalam konteks ini, filsafat sosial
dipahami sebagai alat emansipasi yang menganalisis bentuk-bentuk dominasi
tersembunyi dalam struktur sosial.
Sementara itu, Jürgen
Habermas memperkenalkan konsep tindakan komunikatif sebagai dasar
bagi teori masyarakat yang rasional dan demokratis. Habermas berusaha
menggabungkan filsafat sosial dengan teori komunikasi, di mana legitimasi
sosial muncul dari diskursus publik yang bebas dan argumentatif.8
3.5. Era Kontemporer: Multikulturalisme, Globalisasi,
dan Keadilan Global
Di era kontemporer,
filsafat sosial memperluas cakupannya ke dalam isu-isu seperti multikulturalisme,
gender,
ekologi,
dan keadilan
global. Nancy Fraser mengembangkan
teori keadilan yang bersifat multidimensi—mencakup redistribusi ekonomi,
pengakuan budaya, dan partisipasi politik.9 Amartya
Sen dan Martha Nussbaum memperkenalkan
pendekatan capabilities
yang berfokus pada pemberdayaan individu sebagai subjek sosial yang
bermartabat.10 Perkembangan globalisasi dan disrupsi teknologi pun
mendorong filsafat sosial untuk mengkaji ulang struktur sosial dalam kerangka
lintas budaya dan transnasional.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing Company, 1992), 103–131.
[2]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing Company, 1998), 1–7.
[3]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the
English Dominican Province (Notre Dame, IN: Christian Classics, 1947), I–II, Q.
94.
[5]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988); Thomas Hobbes, Leviathan,
ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1991); Jean-Jacques
Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London:
Penguin Books, 1968).
[6]
Karl Marx, The Communist Manifesto, trans. Samuel Moore (New
York: International Publishers, 1948); idem, Capital: Volume 1, trans.
Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990).
[7]
Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, trans.
Matthew J. O'Connell (New York: Continuum, 1982); Theodor W. Adorno and Max
Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott
(Stanford: Stanford University Press, 2002).
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.
[9]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[10]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–110; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–45.
4.
Tema-Tema
Pokok dalam Filsafat Sosial
Filsafat sosial
sebagai cabang filsafat terapan tidak berdiri di atas spekulasi kosong,
melainkan berpijak pada realitas kehidupan sosial yang kompleks dan sarat
konflik. Ia mengeksplorasi dan mengkritisi berbagai dimensi kehidupan bersama
dalam masyarakat, dari relasi kuasa hingga norma-norma keadilan. Tema-tema
pokok dalam filsafat sosial mencerminkan upaya intelektual untuk merumuskan
prinsip-prinsip normatif yang mampu menopang tatanan sosial yang adil,
inklusif, dan bermartabat. Berikut ini adalah beberapa tema sentral dalam
kajian filsafat sosial:
4.1. Keadilan Sosial
Isu keadilan sosial
menjadi fondasi utama dalam filsafat sosial. Filsuf seperti John
Rawls mengembangkan gagasan tentang “keadilan sebagai
fairness,” di mana prinsip-prinsip keadilan harus disusun dari posisi asal
yang adil (original
position) dengan tirai ketidaktahuan (veil of ignorance).1
Rawls menekankan bahwa ketimpangan hanya dapat diterima jika memberikan
keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan. Sebagai respons
terhadap Rawls, Robert Nozick dalam Anarchy,
State, and Utopia justru mengusung pendekatan libertarian, yang
menolak redistribusi sebagai pelanggaran terhadap hak kepemilikan individu.2
Selain keadilan
distributif, filsafat sosial kontemporer juga menyoroti keadilan
pengakuan dan keadilan partisipatif, seperti
yang dikembangkan oleh Nancy Fraser. Ia menekankan
bahwa keadilan tidak hanya menyangkut distribusi ekonomi, tetapi juga mencakup
pengakuan budaya dan akses terhadap partisipasi politik yang setara.3
4.2. Kebebasan dan Otoritas
Tema kebebasan dalam
filsafat sosial tidak hanya dipahami secara negatif (bebas dari paksaan),
tetapi juga secara positif, yaitu kapasitas untuk mengaktualisasikan diri dalam
kehidupan sosial.4 Dalam konteks ini, filsafat sosial membahas
batas-batas kebebasan individu ketika berhadapan dengan otoritas politik,
institusi sosial, dan kepentingan kolektif. Diskursus klasik tentang kebebasan
dan negara dapat ditemukan dalam pemikiran Hobbes, Locke,
dan Rousseau,
yang kemudian diperluas oleh filsuf modern seperti Isaiah
Berlin dalam konsep “dua konsep kebebasan”—kebebasan
negatif dan positif.5
4.3. Kesetaraan dan Dominasi
Filsafat sosial juga
mengkaji ketimpangan sosial yang muncul dari dominasi sistemik, baik
berdasarkan kelas, gender,
ras,
maupun orientasi
seksual. Karl Marx memandang struktur
ekonomi sebagai sumber utama ketimpangan, yang kemudian diangkat dan
dikembangkan lebih lanjut dalam teori-teori feminis, postkolonial,
dan antirasis.6
Iris
Marion Young mengajukan model keadilan yang tidak hanya
berbasis distribusi, tetapi juga memperhatikan dimensi dominasi struktural dan
marginalisasi sosial yang bersifat institusional.7 Dalam pandangan
ini, struktur sosial yang tampak “netral” sering kali menyembunyikan relasi
kuasa yang eksklusif dan opresif terhadap kelompok tertentu.
4.4. Institusi Sosial dan Moralitas
Filsafat sosial
menelaah institusi-institusi seperti keluarga, pendidikan,
agama,
dan negara
sebagai arena artikulasi nilai dan norma moral. Pemikiran Émile
Durkheim, meskipun berasal dari sosiologi, menjadi relevan
dalam filsafat sosial karena ia melihat bahwa moralitas bukan sekadar produk
individu, tetapi hasil dari kesadaran kolektif yang dilembagakan.8
Di sisi lain, Charles Taylor menekankan
pentingnya pengakuan terhadap identitas moral individu dalam masyarakat modern
yang pluralistik, serta peran institusi dalam membentuk horizon makna.9
4.5. Kritik terhadap Ideologi dan Struktur Kekuasaan
Filsafat sosial juga
berfungsi sebagai kritik terhadap ideologi dan struktur kekuasaan
yang menyamarkan relasi dominasi sebagai sesuatu yang alamiah atau tak
terelakkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Adorno
dan Horkheimer
menunjukkan bagaimana budaya massa dalam masyarakat kapitalis modern berfungsi
sebagai instrumen hegemoni ideologis yang melumpuhkan kesadaran kritis.10
Kontribusi Michel Foucault menambah dimensi
genealogis pada analisis kekuasaan, dengan menunjukkan bahwa pengetahuan,
praktik sosial, dan relasi kekuasaan saling membentuk dalam jaringan diskursif
yang kompleks.11
Dengan demikian,
tema-tema pokok dalam filsafat sosial tidak berdiri secara terpisah, tetapi
saling berkaitan dalam menjelaskan dinamika sosial secara utuh. Keadilan,
kebebasan, kesetaraan, institusi sosial, dan kritik ideologis merupakan
instrumen filsafat untuk menggali, mengevaluasi, dan—bila perlu—menggugat
tatanan yang tidak manusiawi dalam kehidupan sosial kontemporer.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 118–123.
[2]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–182.
[3]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[4]
Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty?” dalam Philosophy
and the Human Sciences: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 211–229.
[5]
Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Clarendon
Press, 1958), 7–15.
[6]
Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London:
Penguin Classics, 1990), 125–150.
[7]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.
[8]
Émile Durkheim, The Division of Labor in Society, trans. W.D.
Halls (New York: Free Press, 1997), 129–146.
[9]
Charles Taylor, The Politics of Recognition, dalam Amy Gutmann
(ed.), Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994), 25–73.
[10]
Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–136.
[11]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.
5.
Tokoh-Tokoh
Sentral dalam Filsafat Sosial
Perkembangan
filsafat sosial tidak dapat dilepaskan dari kontribusi para pemikir besar yang menawarkan
fondasi konseptual, kritik tajam terhadap struktur sosial, serta alternatif
normatif bagi tatanan masyarakat. Masing-masing tokoh membawa perspektif
filosofis yang khas dan mencerminkan kondisi sosial-historis pada zamannya.
Berikut ini adalah beberapa tokoh sentral yang membentuk dan memperkaya wacana
filsafat sosial:
5.1. Plato: Negara Ideal dan Kehendak Keadilan
Plato adalah salah
satu filsuf pertama yang secara sistematis merumuskan konsep keadilan sosial
melalui model negara ideal dalam The Republic. Ia membagi masyarakat
ke dalam tiga kelas utama—penguasa, penjaga, dan produsen—yang masing-masing
menjalankan peran sesuai dengan sifat alaminya. Keadilan menurut Plato adalah
keadaan harmonis di mana setiap kelas menjalankan tugasnya tanpa melampaui
batasnya.1 Pemikirannya menjadi dasar normatif bagi filsafat sosial
dalam menilai struktur dan fungsi sosial dari perspektif moral.
5.2. Karl Marx: Kritik Kapitalisme dan Teori Kelas
Karl Marx adalah
tokoh paling berpengaruh dalam tradisi filsafat sosial kritis. Dalam
karya-karya seperti The Communist Manifesto dan Capital,
Marx menelaah struktur masyarakat kapitalis dan mengidentifikasi konflik kelas
sebagai kekuatan pendorong dalam sejarah sosial.2 Menurut Marx,
eksploitasi kaum buruh oleh kaum borjuis melalui sistem kepemilikan alat
produksi menciptakan alienasi dan ketimpangan struktural. Oleh karena itu,
filsafat sosial dalam pandangannya tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga
transformatif—mendorong perubahan revolusioner menuju masyarakat tanpa kelas.3
5.3. John Rawls: Teori Keadilan sebagai Fairness
John Rawls adalah
figur sentral dalam filsafat politik dan sosial abad ke-20. Dalam A Theory
of Justice, Rawls memperkenalkan konsep original position dan veil of
ignorance sebagai mekanisme hipotetis untuk menentukan prinsip
keadilan yang adil dan rasional.4 Ia merumuskan dua prinsip
keadilan: kebebasan dasar yang setara dan ketimpangan sosial-ekonomi yang hanya
sah jika menguntungkan pihak paling tidak beruntung (difference
principle). Pemikirannya memberikan landasan moral bagi teori
keadilan sosial dalam sistem liberal-demokratis modern.
5.4. Jürgen Habermas: Rasionalitas Komunikatif dan
Diskursus Publik
Jürgen Habermas,
penerus tradisi Mazhab Frankfurt, mengembangkan teori tindakan komunikatif sebagai
dasar normatif bagi masyarakat demokratis. Ia menolak reduksi rasionalitas
menjadi sekadar instrumen teknis dan menekankan pentingnya rasionalitas
komunikatif—yaitu interaksi yang didasarkan pada argumentasi terbuka dan saling
pengertian.5 Dalam pandangannya, legitimasi sosial hanya dapat
dicapai jika keputusan politik bersumber dari proses diskursus yang inklusif
dan bebas dominasi. Teori ini menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena
deliberatif dalam masyarakat modern.6
5.5. Nancy Fraser: Keadilan Multidimensi dan Emansipasi
Sosial
Nancy Fraser adalah
pemikir kontemporer yang berkontribusi besar dalam memperluas cakupan filsafat
sosial melalui pendekatan multidimensi terhadap keadilan. Ia menolak reduksi
keadilan pada distribusi ekonomi semata, dan menekankan pentingnya dimensi recognition
(pengakuan identitas budaya) dan representation (partisipasi
politik) dalam mewujudkan keadilan sosial.7 Fraser juga
mengembangkan kritik terhadap neoliberalisme global yang memperdalam
ketidaksetaraan dalam skala transnasional. Karyanya memberikan landasan
konseptual untuk memperjuangkan emansipasi yang interseksional dan
transformatif.
5.6. Michel Foucault: Kekuasaan, Diskursus, dan
Pengetahuan
Michel Foucault
mengubah arah filsafat sosial melalui analisis genealogis terhadap kekuasaan
dan institusi sosial. Ia berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat
represif, tetapi juga produktif—membentuk identitas, norma, dan struktur
pengetahuan.8 Dalam Discipline and Punish, Foucault
mengkaji bagaimana sistem penjara dan disiplin sosial menciptakan subjek yang
tunduk melalui mekanisme pengawasan dan normalisasi.9 Kontribusinya
memperluas cakupan filsafat sosial ke dalam ranah bahasa, tubuh, dan diskursus
sebagai medan kekuasaan yang subtil namun menentukan.
Tokoh-tokoh ini,
meskipun berbeda pendekatan dan konteks historisnya, memiliki satu kesamaan:
mereka menempatkan manusia sebagai makhluk sosial yang eksistensinya senantiasa
dibentuk oleh relasi kekuasaan, struktur ekonomi, norma budaya, dan institusi
politik. Melalui analisis kritis dan refleksi normatif, mereka memberikan
sumbangsih intelektual yang mendalam dalam memahami dan merancang ulang
kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis:
Hackett Publishing Company, 1992), 103–131.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto,
trans. Samuel Moore (New York: International Publishers, 1948), 14–21.
[3]
Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London:
Penguin Classics, 1990), 125–180.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 118–123.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.
[6]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg
(Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 291–328.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[8]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
119–133.
[9]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.
6.
Pendekatan-Pendekatan
dalam Filsafat Sosial
Filsafat sosial
tidak dapat direduksi pada satu aliran pemikiran tunggal. Ia berkembang dalam
lintasan yang plural dan multidisipliner, dipengaruhi oleh tradisi metafisika,
etika, politik, ekonomi, hingga teori kritis budaya. Setiap pendekatan dalam
filsafat sosial menawarkan lensa teoritis tertentu dalam memahami realitas
sosial dan menetapkan prinsip normatif bagi kehidupan bersama. Berikut ini
adalah pendekatan-pendekatan utama yang menjadi pilar dalam diskursus filsafat
sosial kontemporer:
6.1. Pendekatan Normatif dan Deskriptif
Dua pendekatan
paling dasar dalam filsafat sosial adalah pendekatan normatif
dan deskriptif.
Pendekatan normatif berupaya merumuskan nilai-nilai ideal mengenai bagaimana
masyarakat seharusnya
disusun, sementara pendekatan deskriptif bertujuan menjelaskan bagaimana
masyarakat sebenarnya
berfungsi.1 Pendekatan normatif banyak dijumpai dalam teori
keadilan, teori hak, dan filsafat politik liberal, sedangkan pendekatan
deskriptif digunakan dalam analisis empiris terhadap institusi sosial,
kekuasaan, dan struktur ekonomi.
Namun, banyak filsuf
sosial, seperti Jürgen Habermas, berupaya
melampaui dikotomi ini dengan menggabungkan analisis deskriptif atas kondisi
sosial dengan prinsip normatif emansipatoris.2 Dalam pandangan ini,
teori sosial harus mampu mengungkap realitas dominasi sekaligus memberikan
dasar moral untuk mengubahnya.
6.2. Liberalisme dan Komunitarianisme
Liberalisme
merupakan pendekatan dominan dalam filsafat sosial modern, terutama melalui
gagasan kebebasan individu, hak-hak asasi, dan keadilan distributif. Tokoh
utama pendekatan ini adalah John Rawls, yang menekankan
keadilan sebagai fairness dalam masyarakat demokratis.3
Sebagai kritik
terhadap liberalisme, muncul pendekatan komunitarianisme yang
menegaskan pentingnya nilai-nilai bersama, tradisi komunitas, dan keterikatan
sosial dalam membentuk identitas moral individu. Filsuf seperti Michael
Sandel dan Alasdair MacIntyre mengkritik
liberalisme karena terlalu menekankan otonomi individual dan mengabaikan
dimensi relasional manusia.4
Komunitarianisme
menegaskan bahwa identitas moral tidak dapat dipahami secara atomistik, tetapi
selalu terbentuk dalam konteks sosial dan historis yang konkret.
6.3. Sosialisme dan Marxisme Kritis
Pendekatan sosialis
dan Marxis
menempatkan keadilan ekonomi dan kesetaraan sebagai isu sentral dalam filsafat
sosial. Karl Marx merumuskan bahwa
relasi produksi kapitalis menciptakan alienasi dan eksploitasi, sehingga
pembebasan sosial hanya dapat dicapai melalui transformasi struktural.5
Dalam tradisi teori
kritis, terutama Mazhab Frankfurt, pemikiran
Marx dikembangkan secara reflektif dengan memadukan filsafat Hegelian, teori
budaya, dan psikoanalisis. Herbert Marcuse misalnya,
mengkritik masyarakat industri modern karena telah menciptakan kebutuhan semu
dan kesadaran palsu yang menumpulkan potensi emansipatoris individu.6
6.4. Feminisme dan Interseksionalitas
Pendekatan feminisme
dalam filsafat sosial menyoroti dimensi patriarki dan subordinasi gender dalam
struktur sosial. Iris Marion Young mengembangkan
teori keadilan yang tidak hanya menyasar redistribusi ekonomi, tetapi juga
memperhatikan eksklusi sosial, marginalisasi, dan kekerasan simbolik yang
dialami perempuan dan kelompok minoritas.7
Dalam perkembangan
lebih lanjut, pendekatan interseksional menekankan bahwa
identitas gender, ras, kelas, dan orientasi seksual saling beririsan dalam
menciptakan pola dominasi yang kompleks. bell hooks dan Kimberlé
Crenshaw menunjukkan bahwa struktur kekuasaan tidak dapat
dianalisis hanya berdasarkan satu dimensi identitas, melainkan harus melalui
kerangka multi-opresi yang terintegrasi.8
6.5. Post-strukturalisme dan Postmodernisme
Pendekatan post-strukturalis,
seperti yang dikembangkan oleh Michel Foucault dan Judith
Butler, menggeser fokus filsafat sosial dari struktur
ekonomi-politik ke medan diskursif dan praktik-praktik subjektivasi. Foucault
menolak gagasan kekuasaan sebagai sesuatu yang bersifat sentralistik dan
represif, dan justru melihatnya sebagai jaringan produktif yang hadir dalam
praktik sehari-hari.9
Sementara itu,
Butler mengkritik konsep identitas yang esensialis, dan mengembangkan teori
performativitas gender yang memperlihatkan bagaimana norma-norma sosial direproduksi
secara tidak sadar melalui tindakan dan bahasa.10 Pendekatan ini
menyumbang pada pemahaman bahwa relasi sosial dibentuk oleh mekanisme simbolik
dan bukan hanya oleh institusi formal.
6.6. Pendekatan Postkolonial dan Keadilan Global
Filsafat sosial
kontemporer juga menyerap pendekatan postkolonial yang mengkritik
warisan kolonialisme dalam struktur global. Tokoh seperti Gayatri
Chakravorty Spivak dan Frantz Fanon mengeksplorasi
bagaimana kekuasaan kolonial membentuk identitas dan inferiorisasi budaya melalui
mekanisme wacana dan kekerasan simbolik.11
Dalam dimensi
global, Amartya Sen dan Martha
Nussbaum mengembangkan pendekatan capability yang menekankan keadilan
sebagai pengembangan kapasitas dasar manusia secara global, bukan semata
redistribusi material.12 Pendekatan ini memperluas filsafat sosial
ke ranah pembangunan internasional, hak global, dan solidaritas lintas batas
negara.
Dengan demikian,
pendekatan-pendekatan dalam filsafat sosial memperlihatkan keragaman orientasi
teoritis yang saling memperkaya. Dari liberalisme hingga postkolonialisme, dari
Marxisme hingga feminisme, masing-masing pendekatan mengarahkan perhatian pada
aspek-aspek berbeda dari ketimpangan sosial, relasi kuasa, dan cita-cita
keadilan. Keragaman ini tidak menunjukkan fragmentasi, melainkan kekayaan
refleksi filosofis dalam menjawab tantangan sosial yang senantiasa berubah.
Footnotes
[1]
David Boucher and Paul Kelly, Political Thinkers: From Socrates to
the Present, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2017), 5–9.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 118–123.
[4]
Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982); Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981).
[5]
Karl Marx, Capital: Volume 1, trans. Ben Fowkes (London:
Penguin Classics, 1990), 125–180.
[6]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press,
1964), 1–33.
[7]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.
[8]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity
Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review
43, no. 6 (1991): 1241–1299; bell hooks, Ain’t I a Woman: Black Women and
Feminism (Boston: South End Press, 1981).
[9]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 23–72.
[10]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 1–33.
[11]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004); Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the
Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed.
Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press,
1988), 271–313.
[12]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–110; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–45.
7.
Relevansi
Filsafat Sosial dalam Konteks Kontemporer
Filsafat sosial,
dengan kerangka normatif dan kritisnya, memainkan peran yang semakin penting
dalam merespons kompleksitas realitas sosial abad ke-21. Dunia kontemporer
ditandai oleh dinamika yang simultan—kemajuan teknologi dan digitalisasi di
satu sisi, serta ketimpangan sosial, krisis lingkungan, dan disintegrasi nilai
di sisi lain. Dalam situasi ini, filsafat sosial menawarkan perangkat reflektif
dan analitis untuk menilai struktur masyarakat, menata ulang etika kolektif,
dan membangun visi sosial yang inklusif dan berkeadilan.
7.1. Menjawab Tantangan Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Globalisasi dan
liberalisasi ekonomi telah memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan
miskin, baik di dalam negara maupun antarnegara. Thomas
Piketty menunjukkan bahwa kapitalisme kontemporer cenderung
menciptakan konsentrasi kekayaan yang eksponensial dan tidak merata, yang
mengancam prinsip keadilan sosial.1 Dalam konteks ini, filsafat
sosial berperan penting dalam mengkaji legitimasi moral dari struktur
distribusi kekayaan dan menyusun alternatif model kebijakan yang lebih
egaliter.
Amartya
Sen melalui pendekatan capability menekankan bahwa
keadilan tidak cukup hanya diukur dari tingkat pendapatan, tetapi dari
kemampuan nyata individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.2
Filsafat sosial dengan demikian membuka ruang evaluasi yang lebih mendalam
terhadap makna kesejahteraan dan kebebasan dalam konteks kontemporer.
7.2. Krisis Demokrasi dan Peran Ruang Publik
Meningkatnya
populisme, polarisasi politik, serta disinformasi di era digital telah
menggerus kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Filsafat sosial
melalui konsep Jürgen Habermas tentang diskursus
publik dan rasionalitas komunikatif menyoroti
pentingnya ruang deliberatif yang terbuka, setara, dan bebas dari distorsi
dominasi untuk menjaga legitimasi demokratis.3 Dalam masyarakat yang
semakin terdigitalisasi, refleksi filosofis diperlukan untuk memastikan bahwa
teknologi tidak hanya mempercepat informasi, tetapi juga memperdalam kapasitas
warganegara untuk berdialog dan berpartisipasi secara kritis.
7.3. Multikulturalisme, Identitas, dan Pengakuan
Kehidupan sosial
kontemporer juga ditandai oleh meningkatnya keberagaman etnis, budaya, agama,
dan gender. Hal ini menimbulkan tantangan baru terkait integrasi sosial,
kebijakan inklusif, dan pengakuan identitas. Charles Taylor menegaskan bahwa
pengakuan terhadap identitas kolektif merupakan kebutuhan mendasar manusia
dalam membentuk harga diri dan partisipasi sosial.4 Dalam hal ini,
filsafat sosial berkontribusi dalam merumuskan prinsip-prinsip etis untuk
kehidupan bersama yang menghargai perbedaan tanpa terjebak dalam relativisme.
Nancy
Fraser menambahkan bahwa pengakuan kultural harus dibarengi
dengan redistribusi ekonomi dan partisipasi politik agar keadilan sosial
benar-benar komprehensif.5 Konsep keadilan multidimensi ini menjadi
sangat relevan dalam merancang kebijakan publik pada masyarakat plural dan
kompleks.
7.4. Krisis Ekologis dan Tanggung Jawab Kolektif
Perubahan iklim,
degradasi lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam telah menjadi isu global
yang memerlukan pendekatan etis yang mendalam. Filsafat sosial memberi
kontribusi melalui pendekatan environmental justice, yang
memandang kerusakan lingkungan bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga
sebagai bentuk ketimpangan sosial.6
Robyn
Eckersley dan pemikir-pemikir ekofeminisme menekankan bahwa
kerusakan alam berkaitan erat dengan pola dominasi patriarkis dan kapitalistik
terhadap bumi dan kelompok rentan.7 Dengan demikian, filsafat sosial
memperluas cakupan tanggung jawab etis dari relasi antar manusia ke relasi
manusia dengan alam.
7.5. Teknologi, Algoritma, dan Etika Sosial Baru
Transformasi digital
dan kecerdasan buatan telah mengubah secara mendasar cara manusia
berkomunikasi, bekerja, dan membentuk identitas. Dalam konteks ini, filsafat
sosial menjadi penting untuk menilai dampak etis dari penggunaan algoritma, data
surveillance, dan otomatisasi terhadap kebebasan individu dan
struktur sosial.
Shoshana
Zuboff memperkenalkan konsep surveillance capitalism, yaitu
model ekonomi yang mengeksploitasi data perilaku untuk keuntungan pasar, sering
kali tanpa persetujuan sadar dari pengguna.8 Filsafat sosial dapat
memberikan kerangka normatif untuk menilai ulang hak privasi, kendali atas
data, dan keadilan digital dalam era informasi.
Melalui
kontribusinya terhadap analisis ketimpangan, keadilan ekologis, pengakuan
identitas, serta etika teknologi, filsafat sosial berfungsi sebagai kompas
normatif dan reflektif dalam navigasi masyarakat kontemporer yang kompleks. Ia
tidak hanya mengkritik realitas, tetapi juga menawarkan horizon etis bagi masa
depan yang lebih manusiawi, demokratis, dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 1–39.
[2]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–110.
[3]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge, MA:
MIT Press, 1996), 291–328.
[4]
Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of
Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton University Press,
1994), 25–73.
[5]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[6]
David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories,
Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 34–56.
[7]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: SUNY Press, 1992), 91–113.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 70–104.
8.
Simpulan
Filsafat sosial merupakan cabang filsafat yang
tidak hanya berorientasi pada kontemplasi teoretis, tetapi juga berakar pada
realitas sosial yang konkret. Sepanjang sejarahnya, filsafat sosial telah
menunjukkan daya reflektif dan transformatif dalam membaca dinamika masyarakat,
mulai dari gagasan keadilan Plato, kritik kapitalisme Marx, hingga teori
keadilan Rawls dan pendekatan multidimensi keadilan oleh Nancy Fraser.1
Keberagaman pendekatan ini menandai kekayaan intelektual yang dimiliki filsafat
sosial, yang terus berevolusi seiring perubahan zaman.
Sebagai suatu disiplin, filsafat sosial tidak
berdiri dalam ruang hampa. Ia lahir dari kegelisahan terhadap ketimpangan
sosial, ketidakadilan struktural, marginalisasi identitas, serta tantangan etis
yang ditimbulkan oleh globalisasi dan teknologi. Dalam era kontemporer, di mana
masyarakat mengalami fragmentasi identitas, erosi nilai-nilai komunal, dan
dominasi struktur ekonomi-politik global, filsafat sosial hadir sebagai medan
kritik dan penyusunan ulang tatanan sosial berdasarkan prinsip-prinsip
rasionalitas, partisipasi, dan emansipasi.2
Kontribusi filsafat sosial dapat diringkas dalam
tiga fungsi utama. Pertama, fungsi analitik, yaitu dengan mengurai
struktur sosial dan relasi kekuasaan secara konseptual, baik dari sisi
institusi maupun praksis sosial.3 Kedua, fungsi normatif,
yakni menyusun kerangka etis mengenai bagaimana masyarakat yang adil, setara,
dan inklusif seharusnya dibentuk. Ketiga, fungsi kritis-emansipatoris,
yaitu mengungkap ideologi yang menutupi ketidakadilan dan menawarkan alternatif
transformatif yang berpihak pada kelompok rentan.
Dengan perangkat reflektifnya, filsafat sosial
memungkinkan manusia untuk tidak sekadar menjadi agen pasif dalam arus
perubahan sosial, melainkan sebagai subjek yang sadar, kritis, dan mampu
membayangkan struktur sosial yang lebih etis dan manusiawi. Dalam pandangan Habermas,
masyarakat yang demokratis hanya mungkin terwujud apabila didasarkan pada
rasionalitas komunikatif yang menjunjung dialog, transparansi, dan keterlibatan
aktif warga negara.4 Hal ini menegaskan bahwa filsafat sosial memiliki
peran penting dalam memelihara semangat deliberatif dalam ruang publik.
Di tengah tantangan kontemporer seperti ketimpangan
digital, disinformasi, perubahan iklim, hingga eksklusi sosial yang berbasis
ras, gender, dan kelas, filsafat sosial tidak kehilangan relevansi. Sebaliknya,
ia justru semakin dibutuhkan untuk menilai arah peradaban dan mengarahkan
kebijakan sosial ke arah yang lebih berkeadaban dan berkeadilan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Amartya Sen, “The idea of justice is not about
perfect institutions, but about reducing injustice through public reasoning.”5
Oleh karena itu, filsafat sosial bukan sekadar
tradisi pemikiran, tetapi merupakan praksis pembebasan yang bertumpu pada daya
nalar kritis dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Dalam masyarakat yang
semakin plural dan kompleks, filsafat sosial hadir sebagai pemandu etis untuk
mewujudkan dunia yang lebih inklusif, reflektif, dan berorientasi pada
kesejahteraan bersama.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 118–123; Karl Marx, Capital: Volume 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 125–180; Nancy Fraser, Justice
Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition
(New York: Routledge, 1997), 11–39.
[2]
Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the
Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1994), 25–73.
[3]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of
Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–45.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 1–42.
[5]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 19.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Original work published 1947)
Aquinas, T. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Christian Classics.
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Hackett Publishing Company.
Berlin, I. (1958). Two concepts of liberty.
Clarendon Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins:
Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford
Law Review, 43(6), 1241–1299.
Durkheim, É. (1997). The division of labor in
society (W. D. Halls, Trans.). Free Press. (Original work published 1893)
Eckersley, R. (1992). Environmentalism and
political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New
York Press.
Fanon, F. (2004). The wretched of the earth
(R. Philcox, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961)
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1975)
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Heywood, A. (2017). Political ideologies: An
introduction (6th ed.). Palgrave Macmillan.
hooks, b. (1981). Ain’t I a woman: Black women
and feminism. South End Press.
Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected
essays (M. J. O'Connell, Trans.). Continuum.
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
MacIntyre, A. (1981). After virtue. University
of Notre Dame Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional man.
Beacon Press.
Marx, K. (1990). Capital: Volume 1 (B.
Fowkes, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1867)
Marx, K., & Engels, F. (1948). The communist
manifesto (S. Moore, Trans.). International Publishers. (Original work
published 1848)
Nichols, J. H. (1970). Social philosophy: A
critical introduction. Macmillan.
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing Company.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)
Sanders, M. (1982). Liberalism and the limits of
justice. Cambridge University Press.
Schlosberg, D. (2007). Defining environmental
justice: Theories, movements, and nature. Oxford University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap
Press of Harvard University Press.
Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In
C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of
culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Taylor, C. (1985). What’s wrong with negative
liberty? In Philosophy and the human sciences: Philosophical papers, Vol. 2
(pp. 211–229). Cambridge University Press.
Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In
A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the politics of recognition
(pp. 25–73). Princeton University Press.
Tuomela, R. (2002). The philosophy of social
practices: A collective acceptance view. Cambridge University Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar