Sabtu, 30 November 2024

Kajian Etika dan Moral dalam Penamaan Bantuan Pemerintah: Studi Kasus Bantuan Wapres Gibran

 Kajian Etika dan Moral dalam Penamaan Bantuan Pemerintah: Studi Kasus Bantuan Wapres Gibran


1.                 Pendahuluan

Banjir yang melanda Jakarta pada November 2024 telah menyebabkan genangan di 51 Rukun Tetangga (RT) di berbagai wilayah, terutama akibat luapan Kali Ciliwung dan curah hujan tinggi.[1]  Sebagai respons, pemerintah menyalurkan bantuan kepada warga terdampak. Namun, penamaan bantuan tersebut sebagai "Bantuan Wapres Gibran" menuai kritik dari publik.[2]

Kritik ini berfokus pada penggunaan nama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada bantuan yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sumbernya berasal dari pajak rakyat. Publik mempertanyakan etika di balik personalisasi bantuan pemerintah, mengingat dana yang digunakan adalah milik publik, bukan pribadi pejabat.[3]

Isu ini menyoroti pentingnya kajian etika dan moral dalam praktik pemerintahan, khususnya terkait atribusi dan personalisasi program yang didanai oleh uang rakyat. Penamaan bantuan dengan nama pejabat dapat menimbulkan persepsi bahwa bantuan tersebut berasal dari individu tersebut, bukan dari pemerintah yang menggunakan dana publik. Hal ini berpotensi mengaburkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana publik.

Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai praktik semacam ini dari perspektif etika dan moral, untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah tetap sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dan tidak merusak kepercayaan publik.


2.                 Bantuan Pemerintah: Tanggung Jawab atau Publikasi Pribadi?

Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana, termasuk memberikan bantuan kepada korban bencana alam seperti banjir. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi masyarakat dari dampak bencana dan menjamin pemenuhan hak-hak mereka secara adil sesuai standar pelayanan minimum.[4]

Dana yang digunakan untuk bantuan tersebut biasanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sumber utamanya adalah pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Oleh karena itu, bantuan yang disalurkan merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mengelola dana publik untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam situasi darurat.

Namun, ketika bantuan yang didanai oleh APBN diberi label dengan nama seorang pejabat, seperti "Bantuan Wapres Gibran," muncul pertanyaan mengenai etika dan moralitas tindakan tersebut. Penamaan semacam ini dapat menimbulkan kesan bahwa bantuan tersebut berasal dari dana pribadi pejabat yang bersangkutan, padahal sebenarnya menggunakan dana publik. Hal ini berpotensi mengaburkan peran pemerintah sebagai institusi dan mengarah pada personalisasi program pemerintah, yang seharusnya bersifat kolektif dan impersonal.

Dari perspektif etika pemerintahan, tindakan tersebut dapat dianggap melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas. Etika pemerintahan menuntut agar pejabat publik menjalankan tugasnya dengan integritas, tanpa memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau pencitraan. Memanfaatkan program bantuan publik untuk promosi pribadi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menimbulkan kecurigaan akan adanya motif politis di balik penyaluran bantuan.[5]

Selain itu, personalisasi bantuan pemerintah dapat menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi bantuan. Masyarakat mungkin menganggap bahwa bantuan tersebut hanya ditujukan untuk kelompok tertentu yang mendukung pejabat tersebut, sehingga menimbulkan perpecahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pejabat publik untuk menjaga netralitas dan memastikan bahwa bantuan disalurkan secara adil dan merata kepada semua yang membutuhkan, tanpa adanya unsur personalisasi atau politisasi.


3.                 Perspektif Etika dan Moral dalam Penamaan Bantuan

Penamaan bantuan pemerintah dengan nama pejabat, seperti "Bantuan Wapres Gibran," menimbulkan pertanyaan etis mengenai personalisasi program yang didanai oleh dana publik. Dari perspektif etika pemerintahan, tindakan semacam ini dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip good governance, yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pelayanan publik.[6]

Etika pemerintahan mengharuskan pejabat publik untuk menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Memanfaatkan program bantuan publik untuk promosi pribadi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menimbulkan kecurigaan akan adanya motif politis di balik penyaluran bantuan.[7]

Selain itu, personalisasi bantuan pemerintah dapat menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi bantuan. Masyarakat mungkin menganggap bahwa bantuan tersebut hanya ditujukan untuk kelompok tertentu yang mendukung pejabat tersebut, sehingga menimbulkan perpecahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pejabat publik untuk menjaga netralitas dan memastikan bahwa bantuan disalurkan secara adil dan merata kepada semua yang membutuhkan, tanpa adanya unsur personalisasi atau politisasi.


4.                 Implikasi Penamaan terhadap Kepercayaan Publik

Penamaan bantuan pemerintah dengan nama pejabat, seperti "Bantuan Wapres Gibran," dapat menimbulkan implikasi signifikan terhadap kepercayaan publik. Tindakan semacam ini berpotensi memicu persepsi bahwa bantuan tersebut digunakan sebagai alat politik atau pencitraan pribadi, yang pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan netralitas pemerintah.

Politisasi dan personalisasi bantuan sosial dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Ketika bantuan yang seharusnya didistribusikan secara adil kepada mereka yang membutuhkan digunakan untuk kepentingan politik atau personal, hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan kecurigaan di kalangan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Yanu Endar Prasetyo, politisasi bantuan sosial dapat mengubah program yang dimaksudkan untuk kesejahteraan menjadi alat pengaruh politik, yang merongrong nilai-nilai demokrasi. [8]

Lebih lanjut, personalisasi bantuan pemerintah dapat menciptakan kesan bahwa bantuan tersebut berasal dari dana pribadi pejabat, padahal sebenarnya didanai oleh anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat. Hal ini dapat mengaburkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana publik, yang esensial dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bantuan dapat menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi legitimasi pemerintah di mata masyarakat. [9]

Untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa bantuan didistribusikan secara adil dan transparan, tanpa adanya unsur politisasi atau personalisasi. Penerapan prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, dapat membantu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Studi menunjukkan bahwa praktik good governance memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap kepercayaan publik. [10]


5.                 Pandangan Hukum dan Administrasi Publik

Penamaan bantuan pemerintah dengan nama pejabat, seperti "Bantuan Wapres Gibran," menimbulkan pertanyaan dari perspektif hukum dan administrasi publik. Secara hukum, penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanggulangan bencana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana mengatur bahwa dana penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN harus digunakan sesuai dengan tahapan penanggulangan bencana, yaitu prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.[11]

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa dana tersebut dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan untuk mendukung serta melengkapi dana penanggulangan bencana yang memadai dan berkelanjutan.[12] Peraturan ini tidak memberikan ruang bagi personalisasi atau atribusi kepada individu tertentu dalam penyaluran bantuan yang didanai oleh APBN.

Dari perspektif administrasi publik, etika dalam pelayanan publik menekankan pentingnya integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Penamaan bantuan dengan nama pejabat dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip tersebut, karena berpotensi menciptakan kesan bahwa bantuan tersebut berasal dari dana pribadi pejabat, padahal didanai oleh uang rakyat. Hal ini dapat mengaburkan akuntabilitas institusional dan menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Menurut Yofitri Heny Wahyuli, etika administrasi publik berfungsi sebagai pedoman moral yang membantu menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.[13]

Lebih lanjut, personalisasi bantuan pemerintah dapat menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Etika administrasi publik mengharuskan pejabat publik untuk menghindari tindakan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, penting bagi pejabat publik untuk memastikan bahwa penyaluran bantuan dilakukan secara profesional dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau pencitraan. Penerapan etika administrasi publik yang baik akan mendorong terciptanya good governance dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.[14]


6.                 Rekomendasi untuk Praktik yang Lebih Etis dan Profesional

Untuk memastikan penyaluran bantuan pemerintah berjalan secara etis dan profesional, serta menghindari politisasi atau personalisasi yang dapat merusak kepercayaan publik, beberapa rekomendasi dapat diterapkan:

1)                 Transparansi dalam Penyaluran Bantuan:

Pemerintah harus menyediakan informasi yang jelas dan terbuka mengenai sumber dana, mekanisme distribusi, dan kriteria penerima bantuan. Transparansi ini memungkinkan masyarakat untuk memahami proses penyaluran bantuan dan memastikan bahwa bantuan tersebut sampai kepada yang berhak. Menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pedoman Distribusi Bantuan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana, transparansi dalam distribusi bantuan logistik dan peralatan sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dan kepercayaan publik.[15]

2)                 Penggunaan Label yang Netral:

Bantuan yang didanai oleh APBN sebaiknya diberi label yang mencerminkan institusi pemerintah secara keseluruhan, bukan individu tertentu. Misalnya, menggunakan istilah "Bantuan Pemerintah untuk Korban Banjir" lebih tepat daripada mencantumkan nama pejabat tertentu. Hal ini mencegah kesan bahwa bantuan tersebut berasal dari dana pribadi pejabat dan menjaga netralitas pemerintah.

3)                 Penerapan Etika Administrasi Publik:

Pejabat publik harus mematuhi prinsip-prinsip etika dalam administrasi publik, seperti integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme. Etika pemerintahan berfungsi sebagai pedoman moral yang membantu menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.[16] Dengan menerapkan etika pemerintahan, pemerintah dapat menghindari praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan kepentingan publik.[17]

4)                 Pengawasan dan Evaluasi Independen:

Melibatkan lembaga independen untuk mengawasi dan mengevaluasi proses penyaluran bantuan dapat memastikan bahwa bantuan disalurkan sesuai dengan ketentuan dan tanpa bias. Pengawasan ini juga membantu mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa bantuan mencapai sasaran yang tepat.

5)                 Pendidikan dan Pelatihan bagi Aparatur Negara:

Memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai etika pemerintahan dan pentingnya netralitas dalam pelayanan publik kepada aparatur negara dapat meningkatkan kesadaran dan kompetensi mereka dalam menjalankan tugas secara profesional. Investasi dalam infrastruktur dan pelatihan pegawai publik akan memberikan kontribusi positif terhadap kualitas layanan publik.[17]

Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi tersebut, pemerintah dapat memastikan bahwa penyaluran bantuan dilakukan secara etis, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah tetap terjaga.


7.                 Kesimpulan

Penamaan bantuan pemerintah dengan nama pejabat, seperti "Bantuan Wapres Gibran," menimbulkan pertanyaan etis dan moral terkait personalisasi program yang didanai oleh dana publik. Tindakan semacam ini dapat mengaburkan peran institusional pemerintah dan menciptakan kesan bahwa bantuan tersebut berasal dari individu tertentu, bukan dari pemerintah sebagai representasi kolektif rakyat. Dari perspektif etika pemerintahan, hal ini dapat dianggap melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas yang esensial dalam administrasi publik. [18]

Implikasi dari personalisasi bantuan semacam ini terhadap kepercayaan publik sangat signifikan. Masyarakat dapat menilai bahwa bantuan tersebut digunakan sebagai alat politik atau pencitraan pribadi, yang pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan mereka terhadap integritas dan netralitas pemerintah. Untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa bantuan didistribusikan secara adil dan transparan, tanpa adanya unsur politisasi atau personalisasi. [19]

Dari sudut pandang hukum dan administrasi publik, penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bantuan bencana harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menekankan pada transparansi, akuntabilitas, dan netralitas dalam penyalurannya. Penamaan bantuan dengan nama pejabat dapat dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta penyalahgunaan wewenang. [20]

Untuk mencegah terjadinya hal-hal serupa di masa depan, beberapa rekomendasi dapat diterapkan, antara lain: memastikan transparansi dalam penyaluran bantuan, menggunakan label yang netral, menerapkan etika administrasi publik secara konsisten, melibatkan pengawasan dan evaluasi independen, serta memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai etika pemerintahan kepada aparatur negara. Dengan demikian, pemerintah dapat menjalankan fungsinya secara profesional dan menjaga kepercayaan publik. [21]

Referensi:

[1]              Tirto.id. "Titik Lokasi Banjir Jakarta Hari Ini 2024 dan Penyebabnya." Diakses pada 1 Desember 2024, dari https://tirto.id/berita-titik-lokasi-banjir-jakarta-hari-ini-2024-penyebabnya-g6fP.

[2]              Suara.com. "Menilik Isi Bansos dari Gibran Buat Korban Banjir, Kini Label Bantuan Wapres Ramai Disorot." Diakses pada 1 Desember 2024, dari https://www.suara.com/lifestyle/2024/11/30/162737/menilik-isi-bansos-dari-gibran-buat-korban-banjir-kini-label-bantuan-wapres-ramai-disorot.

[3]              Warta Kota. "Viral Gibran Sebar Bantuan ke Korban Banjir, Netizen Bandingkan dengan Anies, Dianggap Tak Beretika." Diakses pada 1 Desember 2024, dari https://wartakota.tribunnews.com/2024/11/30/viral-gibran-sebar-bantuan-ke-korban-banjir-netizen-bandingkan-dengan-anies-dianggap-tak-beretika.

[4]              Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Details/39901/uu-no-24-tahun-2007?utm_source=chatgpt.com

[5]              "Etika Pemerintahan: Prinsip dan Penerapannya dalam Administrasi Publik." https://diklatpemerintah.id/etika-pemerintahan-prinsip-dan-penerapannya-dalam-administrasi-publik/?utm_source=chatgpt.com

[6]              Marsuki. "Etika Jabatan dan Aparatur Sipil Negara dalam Prinsip-Prinsip Good Governance." https://media.neliti.com/media/publications/284707-etika-jabatan-dan-aparatur-sipil-negara-c6d40ebe.pdf

[7]              "Etika Pemerintahan: Prinsip dan Penerapannya dalam Administrasi Publik." https://diklatpemerintah.id/etika-pemerintahan-prinsip-dan-penerapannya-dalam-administrasi-publik/

[8]              Yanu Endar Prasetyo. "Bahaya Politisasi dan Personalisasi Bansos." https://kumparan.com/yanu-prasetyo/bahaya-politisasi-dan-personalisasi-bansos-21xzXnqYzbh

[9]              Entin Sriani Muslim. "Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik." https://media.neliti.com/media/publications/241816-transparansi-dan-akuntabilitas-dalam-pel-1c438131.pdf

[10]          Soewito et al. "Strategi Meningkatkan Kepercayaan Publik di Indonesia: Peran Good Governance dan E-Government." https://jurnal.ubl.ac.id/index.php/jak/article/view/3046

[11]          Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4834/pp-no-22-tahun-2008

[12]          Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/175273/perpres-no-75-tahun-2021

[13]          Yofitri Heny Wahyuli. "Etika Administrasi Publik dalam Penyelenggaraan Tata Kelola di Indonesia." https://jurnal.uns.ac.id/spirit-publik/article/download/50810/pdf

[14]          "Etika Pemerintahan: Prinsip dan Penerapannya dalam Administrasi Publik." https://diklatpemerintah.id/etika-pemerintahan-prinsip-dan-penerapannya-dalam-administrasi-publik/

[15]          Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pedoman Distribusi Bantuan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/217033/perka-bnpb-no-18-tahun-2010

[16]          "Etika Pemerintahan: Prinsip dan Penerapannya dalam Administrasi Publik." https://diklatpemerintah.id/etika-pemerintahan-prinsip-dan-penerapannya-dalam-administrasi-publik/

[17]          "Etika Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Layanan Publik Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Kepercayaan Masyarakat." https://journal.ummat.ac.id/index.php/lago/article/download/16267/pdf

[18]          "Etika Pemerintahan: Prinsip dan Penerapannya dalam Administrasi Publik." https://diklatpemerintah.id/etika-pemerintahan-prinsip-dan-penerapannya-dalam-administrasi-publik/

[19]          Soewito et al. "Strategi Meningkatkan Kepercayaan Publik di Indonesia: Peran Good Governance dan E-Government." https://jurnal.ubl.ac.id/index.php/jak/article/view/3046

[20]          Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4834/pp-no-22-tahun-2008

[21]              Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pedoman Distribusi Bantuan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/217033/perka-bnpb-no-18-tahun-2010


Lampiran

Berikut adalah daftar buku rujukan yang relevan untuk menganalisis fenomena "Penamaan Bantuan Pemerintah: Studi Kasus Bantuan Wapres Gibran":

Daftar Buku Rujukan

1)        Dwiyanto, Agus.

Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Buku ini menjelaskan prinsip-prinsip good governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas, yang relevan dalam analisis pengelolaan bantuan pemerintah.

2)        Torfing, Jacob, dan Eva Sørensen.

Theories of Democratic Network Governance.

London: Palgrave Macmillan, 2016.

Buku ini membahas dinamika hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam governance, termasuk penggunaan dana publik dan akuntabilitas.

3)        Chapman, Richard.

Ethics in Public Service.

London: Routledge, 1993.

Buku ini memberikan wawasan tentang pentingnya etika dalam administrasi publik, termasuk isu personalisasi kebijakan publik.

4)        Frederickson, H. George, dan Richard K. Ghere.

Ethics in Public Management.

New York: M.E. Sharpe, 2005.

Buku ini membahas berbagai isu etika dalam pengelolaan publik, termasuk tantangan transparansi dan konflik kepentingan.

5)        Denhardt, Janet V., dan Robert B. Denhardt.

The New Public Service: Serving, Not Steering.

New York: Routledge, 2015.

Buku ini mengeksplorasi konsep pelayanan publik modern yang menekankan pada kolaborasi dan pengabdian masyarakat, tanpa politisasi.

6)        Fukuyama, Francis.

Political Order and Political Decay.

New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014.

Buku ini memberikan analisis mendalam tentang bagaimana institusi publik dapat mengalami politisasi yang merusak legitimasi mereka.

7)        Bevir, Mark.

Governance: A Very Short Introduction.

Oxford: Oxford University Press, 2012.

Buku ini menjelaskan konsep dasar governance dan bagaimana pemerintah dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara transparan dan etis.

8)        Klitgaard, Robert.

Controlling Corruption.

Berkeley: University of California Press, 1991.

Buku ini memberikan wawasan tentang bagaimana mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang, yang relevan dalam kasus personalisasi bantuan.

9)        Nasution, Adnan G.

Hukum Administrasi Negara.

Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Buku ini memberikan dasar hukum dalam administrasi negara, termasuk penggunaan dana publik dan akuntabilitas pejabat negara.

10)    Siddiquee, Noore Alam.

Public Management and Governance in Malaysia: Trends and Transformations.

London: Routledge, 2013.

Buku ini mengeksplorasi dinamika pengelolaan publik, termasuk etika, dalam konteks pemerintahan Asia Tenggara, yang dapat memberikan perspektif perbandingan.

Buku-buku tersebut dapat menjadi rujukan yang berguna untuk memperdalam analisis fenomena penamaan bantuan pemerintah dan dampaknya terhadap etika, kepercayaan publik, dan tata kelola pemerintahan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar