Kecerdasan, Kepintaran, dan Kepandaian
Kajian Kritis atas Definisi, Relevansi, dan
Implikasinya dalam Pendidikan dan Karir
Alihkan ke: Cara
Berpikir dan Peran Filsafat dalam Pembentukannya.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian kritis terhadap tiga
konsep fundamental yang kerap digunakan secara tumpang tindih dalam wacana
pendidikan dan sosial: kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian.
Melalui pendekatan etimologis, terminologis, dan konseptual, artikel ini
membedah perbedaan mendasar di antara ketiganya serta relevansinya dalam proses
pembelajaran, sistem evaluasi akademik, pengembangan karir, dan pembentukan
karakter. Kecerdasan diidentifikasi sebagai potensi kognitif dasar, kepintaran
sebagai kemampuan adaptif dan strategis dalam situasi nyata, dan kepandaian
sebagai hasil akumulatif dari pelatihan serta kebijaksanaan dalam bertindak.
Pembahasan menunjukkan bahwa ketiga istilah ini memiliki hubungan interdependen
namun tetap dapat dibedakan secara fungsional. Artikel ini menyoroti pentingnya
reformulasi paradigma pendidikan dan kebijakan penilaian yang lebih inklusif
dan manusiawi, yang tidak hanya mengedepankan kecerdasan akademik, tetapi juga
mengakomodasi berbagai bentuk kepintaran dan kepandaian yang relevan dengan
kehidupan nyata. Implikasi teoretis dan praktis dari kajian ini diuraikan dalam
empat ranah utama: desain kurikulum, sistem evaluasi, pengembangan sumber daya
manusia, dan pendidikan karakter. Dengan demikian, artikel ini menawarkan
kerangka konseptual alternatif untuk memahami potensi manusia secara lebih utuh
dan berkeadilan.
Kata Kunci: Kecerdasan; Kepintaran; Kepandaian; Pendidikan;
Evaluasi; Pengembangan Karir; Pendidikan Karakter; Psikologi Kognitif; Multiple
Intelligences; Successful Intelligence.
PEMBAHASAN
Menelisik Konsep Kecerdasan, Kepintaran, dan Kepandaian
1.
Pendahuluan
Dalam berbagai
diskusi seputar pendidikan, karir, dan pengembangan individu, istilah-istilah
seperti kecerdasan,
kepintaran,
dan kepandaian
sering digunakan secara bergantian, seolah-olah ketiganya memiliki makna yang
identik. Padahal, secara etimologis dan terminologis, ketiga istilah tersebut
memiliki akar makna, ruang lingkup, serta implikasi yang berbeda dalam praksis
sosial dan akademik. Kebingungan ini tidak hanya terjadi di kalangan awam,
tetapi juga dalam praktik pendidikan formal yang seringkali menyederhanakan
indikator keberhasilan siswa hanya pada satu dimensi kognitif belaka—yakni
kecerdasan yang direduksi dalam bentuk nilai atau skor IQ (Intelligence
Quotient).¹
Konsepsi tradisional
tentang kecerdasan telah lama didominasi oleh pendekatan psikometrik yang
menekankan pada kemampuan logika-matematis dan linguistik.² Namun, perkembangan
teori-teori kontemporer, seperti Multiple Intelligences oleh Howard
Gardner, menggeser paradigma tersebut dengan menyatakan bahwa kecerdasan
bersifat majemuk dan multidimensional.³ Hal ini membuka ruang diskusi baru
tentang bagaimana kepintaran dan kepandaian
seharusnya diposisikan dalam pemahaman yang lebih utuh tentang potensi manusia.
Gardner bahkan menekankan bahwa seseorang bisa saja unggul dalam kecerdasan
interpersonal atau musikal, namun memiliki kapasitas logis yang rendah—dan
sebaliknya.⁴
Di sisi lain,
istilah kepintaran
dan kepandaian
sering kali diasosiasikan secara pragmatis dengan kecakapan atau keberhasilan
dalam menghadapi situasi nyata. Kepintaran lebih merujuk pada kemampuan untuk
berpikir cepat dan menemukan solusi praktis, sementara kepandaian sering
dikaitkan dengan keterampilan yang dihasilkan dari pengalaman dan pelatihan
berulang, bahkan menyentuh dimensi kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan.⁵
Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah ketiga istilah tersebut bersifat
sinonim, ataukah masing-masing memiliki struktur konseptual yang independen
namun saling melengkapi?
Kajian ini berangkat
dari kebutuhan untuk membongkar lapisan-lapisan konseptual yang menyelimuti
istilah-istilah tersebut secara kritis. Tujuannya bukan hanya untuk memahami
batas-batas semantik dan epistemologis dari istilah “kecerdasan”, “kepintaran”,
dan “kepandaian”, melainkan juga untuk melihat relevansi dan
implikasinya dalam desain pembelajaran, pengukuran capaian akademik, hingga
pemetaan karir. Sebab dalam era yang ditandai oleh kompleksitas dan disrupsi, seperti
Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, pendekatan tunggal terhadap kecerdasan
tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan keberhasilan seseorang di bidang
akademik maupun profesional.⁶
Melalui pendekatan
multidisipliner yang memadukan kajian linguistik, psikologi kognitif, dan teori
pendidikan, artikel ini akan membahas secara sistematis perbedaan, keterkaitan,
dan relevansi antara kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian dalam konteks
kehidupan modern. Diharapkan, hasil kajian ini dapat memberikan kontribusi
signifikan terhadap reformulasi paradigma pendidikan dan penilaian potensi
manusia secara lebih komprehensif dan adil.
Footnotes
[1]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 34.
[2]
Robert J. Sternberg, The Triarchic Mind: A New Theory of Human
Intelligence (New York: Viking, 1988), 7–10.
[3]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), xvii–xx.
[4]
Ibid., 45–70.
[5]
John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath, 1910), 90–93.
[6]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 12–15.
2.
Kajian Etimologis
Pemahaman terhadap
konsep “kecerdasan”, “kepintaran”, dan “kepandaian” harus
dimulai dari penelusuran etimologis. Etimologi tidak hanya membantu melacak
asal-usul kata, tetapi juga membuka cakrawala semantik dan kultural yang
melatarbelakangi pembentukan makna dari istilah-istilah tersebut. Kajian ini
penting untuk membedakan penggunaan ketiganya dalam tataran konseptual maupun
pragmatis.
2.1.
Asal-usul Kata “Kecerdasan”
Kata kecerdasan
dalam bahasa Indonesia berasal dari akar kata cerdas, yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tajam pikiran, cepat mengerti,
dan pandai menyesuaikan diri.”¹ Kata cerdas sendiri diduga berasal dari
akar bahasa Sanskerta atau Melayu Kuno, meskipun dalam bentuk modernnya
mengalami perluasan makna dalam pengaruh kolonial dan pendidikan Barat. Dalam
konteks bahasa Inggris, padanan kata intelligence berasal dari bahasa
Latin intelligere,
yang bermakna “memahami, menangkap, membedakan.”²
Makna dasar dari intelligere
merupakan gabungan dari kata inter (antar) dan legere
(memilih, memungut), sehingga secara harfiah berarti “kemampuan untuk
memilih atau membedakan secara mental.”³ Ini mengindikasikan bahwa
kecerdasan sejak awal dimaknai sebagai proses mental yang kompleks, mencakup
penalaran, pemahaman, dan analisis. Dalam kerangka ini, kecerdasan
diasosiasikan dengan kapasitas intelektual seseorang dalam menangani informasi
secara abstrak.
2.2.
Asal-usul Kata “Kepintaran”
Berbeda dari kecerdasan,
istilah kepintaran berakar dari kata
dasar pintar,
yang dalam KBBI didefinisikan sebagai “cepat mengerti, cerdik, pandai.”⁴
Istilah ini mengandung nuansa praktis dan adaptif, sering dikaitkan dengan
kecakapan dalam memecahkan masalah sehari-hari. Secara historis, kata pintar
merupakan bentuk penyerapan atau penyesuaian dari kata dalam bahasa Portugis pintado
(yang dilukis atau dihias), meskipun dalam konteks lokal lebih mungkin berasal
dari penambahan awalan pi- terhadap kata ntar
atau bentuk akar lokal lainnya.⁵
Kepintaran sering
diasosiasikan dengan kecerdikan atau kelicinan berpikir, yang memungkinkan
seseorang merespons cepat terhadap situasi praktis tanpa harus bergantung pada
perhitungan logis yang rumit. Dalam istilah Inggris, padanannya bisa berupa cleverness
atau smartness,
yang menekankan aspek kecakapan strategis dan responsif.⁶
2.3.
Asal-usul Kata “Kepandaian”
Kata kepandaian
berasal dari akar kata pandai, yang dalam KBBI dimaknai
sebagai “mampu melakukan sesuatu; terampil; ahli.”⁷ Kata ini sangat
berkaitan dengan aspek keterampilan dan pengalaman. Dalam beberapa dialek
Melayu, pandai
bahkan berarti “tukang”
atau “ahli dalam bidang tertentu,” menunjukkan bahwa kepandaian memiliki
akar yang kuat dalam praktik, bukan semata-mata teori.
Secara semantik, kepandaian
menunjukkan hasil dari proses pembelajaran jangka panjang dan pelatihan yang
konsisten, sering melibatkan dimensi moral dan sosial. Dalam bahasa Inggris,
padanannya sering diartikan sebagai skillfulness, wisdom,
atau expertise,
tergantung konteksnya.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa kepandaian bukan hanya soal
mengetahui, tetapi juga soal kebijaksanaan dalam bertindak dan
mengimplementasikan pengetahuan secara efektif.
2.4.
Analisis Linguistik Komparatif
Secara etimologis dan semantik, istilah kecerdasan,
kepintaran, dan kepandaian menunjukkan dimensi makna yang berbeda
meskipun kerap digunakan secara tumpang tindih dalam praktik sehari-hari.
Perbedaan ini mencerminkan nuansa konseptual yang penting untuk dipahami dalam
konteks pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia.
Secara garis besar, perbedaan ketiganya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
·
Kecerdasan (intelligence)
Kecerdasan mengacu pada
kemampuan kognitif yang bersifat abstrak, seperti daya pikir, penalaran logis,
pemahaman konsep, dan analisis. Istilah ini lazim digunakan dalam konteks
psikometri dan teorisasi intelektual, seperti pengukuran IQ dan teori
kecerdasan jamak. Kecerdasan umumnya dipandang sebagai potensi bawaan atau
kapasitas dasar seseorang dalam memproses informasi.
·
Kepintaran (cleverness/smartness)
Kepintaran lebih
menekankan pada kemampuan adaptif dan responsif dalam situasi nyata. Pintar
tidak selalu identik dengan cerdas, karena seseorang bisa saja tidak unggul
dalam logika formal, tetapi sangat cakap dalam menemukan solusi praktis,
bersikap strategis, dan menangkap peluang dengan cepat. Kepintaran sering
dilihat sebagai kecakapan kontekstual yang bersifat spontan.
·
Kepandaian (skillfulness/wisdom)
Kepandaian mencerminkan
kemampuan yang berkembang melalui pengalaman, latihan, dan pembelajaran
terus-menerus. Pandai menunjukkan penguasaan terhadap suatu bidang atau
keterampilan, baik bersifat teknis maupun sosial. Selain itu, istilah ini juga
mengandung unsur kebijaksanaan dalam bertindak, yang tidak selalu tampak dalam
kecerdasan atau kepintaran.
Ketiga istilah ini memiliki posisi konseptual yang
relatif independen namun saling melengkapi. Dalam praktiknya, seseorang bisa
saja memiliki kecerdasan tinggi secara teoritis, namun belum tentu pintar dalam
berinteraksi sosial atau pandai dalam menerapkan ilmunya secara nyata. Demikian
pula, seseorang yang tampak pandai di bidang tertentu belum tentu memiliki
kecerdasan akademik tinggi, tetapi memiliki keterampilan dan kebijaksanaan
hasil pengalaman hidup.
Pemahaman terhadap perbedaan ini penting, terutama
dalam menyusun kurikulum, merancang sistem evaluasi, dan menetapkan indikator
kesuksesan yang tidak melulu bertumpu pada kecerdasan dalam pengertian sempit.
Pendekatan multidimensional terhadap potensi manusia memungkinkan terciptanya
sistem pendidikan dan sosial yang lebih adil, inklusif, dan menghargai
keragaman kemampuan individu.
Footnotes
[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2023), s.v.
“cerdas.”
[2]
Harper, Douglas. “Intelligence,” in Online Etymology Dictionary,
accessed May 30, 2025, https://www.etymonline.com/word/intelligence.
[3]
Ibid.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi V, s.v. “pintar.”
[5]
Charles C. Muller, Malay–English Etymological Dictionary
(Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2010), 214.
[6]
Oxford English Dictionary, s.v. “clever” and “smart,” accessed May 30,
2025, https://www.oed.com/.
[7]
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi V, s.v. “pandai.”
[8]
Merriam-Webster
Dictionary, s.v. “skillful,” “wise,” and “expertise,” accessed May 30, 2025, https://www.merriam-webster.com/.
3.
Definisi Terminologis dan Perspektif Konseptual
Setelah menelusuri
akar etimologis dari istilah “kecerdasan,” “kepintaran,” dan “kepandaian,”
pembahasan ini beralih ke pemaknaan terminologis dan konseptual
dari ketiganya dalam disiplin ilmu kontemporer, khususnya psikologi,
pendidikan, dan linguistik. Penjelasan terminologis sangat penting karena
setiap istilah tidak hanya membawa makna linguistik, tetapi juga beban
epistemologis yang mempengaruhi cara kita menilai potensi, prestasi, dan
perkembangan manusia dalam berbagai konteks.
3.1.
Kecerdasan (Intelligence)
Dalam literatur
psikologi, “kecerdasan” secara terminologis didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan serta keterampilan,
mencakup aspek berpikir abstrak, penalaran logis, pemecahan masalah, dan
pembelajaran cepat.¹ Psikolog klasik seperti Charles Spearman memperkenalkan
konsep general
intelligence (faktor “g”)—yakni satu bentuk
kecerdasan umum yang mendasari segala aktivitas kognitif manusia.²
Namun, definisi
tunggal ini kemudian ditantang oleh pendekatan pluralistik seperti yang
dikembangkan oleh Howard Gardner melalui teorinya tentang Multiple
Intelligences. Gardner menyatakan bahwa kecerdasan tidak bersifat
tunggal, melainkan terdiri dari berbagai jenis seperti kecerdasan linguistik,
logika-matematis, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal,
naturalistik, dan eksistensial.³ Pandangan ini merevolusi paradigma pendidikan
dengan menegaskan bahwa tidak ada satu ukuran baku yang mampu menilai seluruh
potensi kognitif individu.
Selain itu, konsep
kecerdasan juga mengalami ekspansi dalam ranah emosional dan spiritual. Daniel
Goleman, misalnya, mengembangkan gagasan tentang Emotional Intelligence (EQ), yakni
kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang
lain.⁴ Disusul oleh konsep Spiritual Intelligence (SQ) yang
dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan spiritual mencerminkan
kapasitas untuk memahami makna hidup, tujuan, dan nilai-nilai transenden.⁵
Dengan demikian,
kecerdasan bukanlah sekadar kemampuan kognitif, melainkan kumpulan daya yang
kompleks dan multidimensional yang menjadi fondasi bagi berbagai bentuk
kemampuan lainnya.
3.2.
Kepintaran (Cleverness/ Smartness)
Berbeda dengan
kecerdasan yang bersifat struktural dan cenderung teoretis, “kepintaran”
lebih bersifat kontekstual dan aplikatif. Dalam psikologi populer dan
sosiologi, kepintaran sering kali diartikan sebagai kemampuan
untuk berpikir cepat, menemukan solusi praktis, dan beradaptasi dengan
lingkungan secara efektif.⁶ Istilah ini sering kali dikaitkan
dengan street-smart
atau kecakapan hidup sehari-hari yang tidak selalu dapat diukur oleh ujian
formal.
Menurut David
Perkins, kepintaran dapat dipahami sebagai bagian dari apa yang ia sebut
sebagai practical
intelligence, yaitu kemampuan untuk menavigasi masalah-masalah
dunia nyata yang tidak selalu bersifat akademis.⁷ Orang pintar bisa saja tidak
memiliki IQ yang tinggi, tetapi mampu bertindak tepat dalam situasi genting,
membaca kondisi sosial dengan tajam, dan memanfaatkan peluang dengan cerdas.
Dalam konteks pendidikan, siswa pintar kerap dikenali melalui strategi
belajarnya yang adaptif, bukan semata-mata hasil ujian.
Kepintaran memiliki
dimensi pragmatis yang kuat, dan sering dianggap sebagai bentuk kemampuan “memanfaatkan
kecerdasan” dalam bentuk yang aplikatif dan strategis. Istilah ini juga
mengandung nuansa improvisasi, kreatif, dan oportunistik yang menjadikannya
relevan dalam dunia kerja dan kehidupan sosial.
3.3.
Kepandaian (Wisdom/ Skillfulness)
“Kepandaian”
dalam terminologi konseptual berkaitan erat dengan penguasaan
keterampilan dan kebijaksanaan bertindak, baik yang bersumber
dari pembelajaran formal maupun pengalaman hidup.⁸ Dalam filsafat klasik, khususnya
Aristotelian, kepandaian mendekati konsep phronesis, yakni kebijaksanaan
praktis yang lahir dari keseimbangan antara pengetahuan, pengalaman, dan
moralitas.⁹
Secara lebih
kontemporer, psikolog Robert Sternberg mengembangkan teori balance
theory of wisdom, yang mendefinisikan kebijaksanaan sebagai
kemampuan untuk menyeimbangkan kepentingan pribadi, sosial, dan etis dalam
pengambilan keputusan.¹⁰ Dalam kerangka ini, kepandaian mencakup bukan hanya
keahlian teknis (skill), tetapi juga sensitivitas terhadap nilai dan etika.
Orang pandai bukan hanya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi
juga tahu kapan,
bagaimana,
dan mengapa
sesuatu harus dilakukan.
Kepandaian juga
dapat dimaknai sebagai integrasi antara kecerdasan dan kepintaran dalam bentuk
kemampuan terlatih, yang terus disempurnakan melalui refleksi dan praktik.
Dalam dunia pendidikan dan karir, kepandaian sering menjadi indikator dari
profesionalisme, kematangan, dan tanggung jawab.
3.4.
Perbandingan Perspektif Konseptual
Ketiga istilah
tersebut—kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian—memiliki struktur konsep yang
berbeda namun saling terhubung secara fungsional. Secara umum:
·
Kecerdasan
mencerminkan potensi dasar atau kapasitas mental individu.
·
Kepintaran
menggambarkan kecakapan dalam menerapkan kecerdasan dalam situasi nyata secara
adaptif.
·
Kepandaian
merupakan hasil akumulatif dari pelatihan, pengalaman, dan pemaknaan reflektif
terhadap pengetahuan dan kehidupan.
Pemahaman yang
mendalam terhadap perbedaan ini menjadi sangat penting, tidak hanya dalam konteks
akademik, tetapi juga dalam perumusan kebijakan pendidikan dan strategi
pengembangan SDM. Pengekangan makna pada salah satu istilah saja dapat
berimplikasi terhadap penyempitan cara pandang dalam menilai potensi manusia
secara menyeluruh.
Footnotes
[1]
Robert J. Sternberg, Intelligence: A Brief History (Malden:
Blackwell Publishing, 2010), 5.
[2]
Charles Spearman, “General Intelligence, Objectively Determined and
Measured,” The American Journal of Psychology 15, no. 2 (1904):
201–292.
[3]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 6–9.
[4]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 43–45.
[5]
Danah Zohar and Ian Marshall, Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence (London: Bloomsbury, 2000), 4–6.
[6]
Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York:
Little, Brown and Company, 2008), 101–106.
[7]
David Perkins, Outsmarting IQ: The Emerging Science of Learnable
Intelligence (New York: Free Press, 1995), 34.
[8]
John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath, 1910), 91.
[9]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1140b–1141a.
[10]
Robert J. Sternberg, “A Balance Theory of Wisdom,” Review of
General Psychology 8, no. 4 (2004): 347–365.
4.
Relevansi Konseptual dalam Konteks Sosial dan
Pendidikan
Perbedaan konseptual
antara kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian tidak semata-mata bersifat
akademik atau terminologis. Ketiganya memiliki implikasi yang sangat nyata
dalam berbagai sektor kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan,
pembelajaran, evaluasi akademik, dan pengembangan karir. Dalam konteks sosial,
cara masyarakat memahami dan menggunakan istilah-istilah tersebut turut
memengaruhi pola pengakuan terhadap potensi dan prestasi individu. Pemaknaan
yang sempit atau bias terhadap salah satu dimensi saja berpotensi menciptakan
ketimpangan dalam akses terhadap kesempatan belajar dan berkembang.
4.1.
Dalam Pembelajaran dan Proses Pendidikan
Relevansi pertama
dapat dilihat dalam konteks pembelajaran formal di lingkungan pendidikan.
Selama ini, paradigma pendidikan konvensional cenderung mengutamakan kecerdasan
logika-matematis dan kecerdasan linguistik, sebagaimana
dijadikan tolok ukur dalam ujian nasional atau sistem evaluasi akademik
lainnya.¹ Hal ini menyebabkan peserta didik yang unggul dalam kecerdasan
interpersonal, kinestetik, musikal, atau naturalistik kurang mendapat pengakuan
setara. Teori Multiple Intelligences oleh Howard
Gardner menegaskan bahwa pendekatan pembelajaran harus mengakomodasi keragaman
kecerdasan siswa agar pembelajaran menjadi lebih inklusif dan memberdayakan.²
Dalam proses
pembelajaran itu sendiri, kepintaran memainkan peran yang
signifikan dalam membentuk strategi belajar. Siswa pintar biasanya mampu
membaca situasi belajar, memanfaatkan sumber daya yang tersedia, dan menyusun
pendekatan yang efektif sesuai gaya belajarnya.³ Dengan kata lain, kepintaran
bukan hanya mencerminkan isi pengetahuan, melainkan juga cara strategis dalam
mengakses, menyerap, dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam konteks
nyata.
Adapun kepandaian
menjadi indikator penting terhadap proses internalisasi dan stabilisasi
keterampilan. Siswa yang pandai bukan sekadar mereka yang tahu jawaban benar,
tetapi mereka yang mampu menggunakan pengetahuan tersebut dalam berbagai
konteks dan menyelesaikan masalah dengan cara yang bijaksana dan efektif.⁴
Dalam konteks inilah, pendidikan karakter dan nilai-nilai moral terintegrasi
dengan pembelajaran kognitif dan vokasional.
4.2.
Dalam Penilaian Akademik dan Sistem Evaluasi
Relevansi berikutnya
muncul dalam ranah evaluasi dan penilaian akademik.
Sistem pendidikan formal, baik di Indonesia maupun di banyak negara lain, masih
sangat bertumpu pada pengukuran kecerdasan dalam bentuk angka: nilai rapor,
hasil tes standar, atau peringkat kelas.⁵ Akibatnya, siswa yang tidak
menunjukkan “kecerdasan akademik” konvensional dianggap gagal, meskipun
mungkin memiliki kepintaran adaptif dan kepandaian praktis yang tinggi.
Psikolog Robert
Sternberg mengkritik penilaian akademik yang hanya menilai "apa yang
mudah untuk diuji" dan mengabaikan "apa yang benar-benar
penting untuk kehidupan."⁶ Ia mengajukan konsep triarchic
theory of intelligence, yang mencakup tiga aspek: analitis
(berkaitan dengan kecerdasan tradisional), kreatif (berkaitan dengan
kepintaran), dan praktis (berkaitan dengan kepandaian). Evaluasi pendidikan,
menurut Sternberg, harus mencerminkan ketiga dimensi ini agar adil dan
menyeluruh.
Oleh karena itu,
sistem evaluasi yang baik perlu mempertimbangkan indikator yang lebih luas,
termasuk kemampuan strategis (pintar), aplikasi keterampilan (pandai), dan
integritas moral. Hal ini akan membantu mendukung perkembangan siswa secara
menyeluruh, bukan hanya sebagai individu yang mampu menjawab soal, tetapi juga
sebagai pribadi yang siap menghadapi kompleksitas hidup.
4.3.
Dalam Karir dan Dunia Kerja
Ketiga konsep ini
juga memiliki relevansi besar dalam pengembangan karir dan dunia profesional.
Dunia kerja saat ini tidak hanya menuntut kecerdasan akademik, tetapi lebih
menekankan pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah nyata, beradaptasi dengan
cepat, bekerja sama dalam tim, dan membuat keputusan yang bijak di bawah
tekanan.⁷
Penelitian World
Economic Forum menunjukkan bahwa keterampilan yang paling dibutuhkan di abad
ke-21 meliputi pemikiran kritis, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah
kompleks, dan kecerdasan emosional—yang kesemuanya tidak semata-mata berasal
dari kecerdasan kognitif, tetapi juga dari kepintaran dan kepandaian sosial.⁸
Maka, seseorang yang cerdas secara akademik belum tentu sukses dalam dunia
kerja jika tidak dibarengi dengan kepintaran sosial dan kepandaian praktis.
Dalam praktiknya,
perusahaan besar cenderung menilai calon karyawan dari kombinasi kecerdasan
teknis, kepintaran strategis, dan kepandaian dalam mengelola hubungan serta
menyikapi konflik. Dengan demikian, pendidikan yang hanya berfokus pada
pencapaian akademik berpotensi menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja
secara holistik.
4.4.
Dalam Pembentukan Karakter dan Etika
Relevansi terakhir
muncul dalam dimensi pembentukan karakter dan etika.
Kepintaran dan kepandaian membawa beban moral yang tidak selalu dijumpai dalam
pengukuran kecerdasan formal. Dalam kehidupan nyata, banyak orang yang cerdas
secara intelektual, namun menggunakan kecerdasannya untuk tujuan manipulatif
atau destruktif. Dalam hal ini, kepandaian yang sejati harus mengandung unsur
kebijaksanaan (wisdom), yang melibatkan nilai, empati, dan tanggung jawab
sosial.⁹
Pendidikan karakter,
seperti yang ditekankan dalam berbagai kebijakan pendidikan nasional, harus
diintegrasikan dengan pembelajaran akademik untuk memastikan bahwa kepandaian
yang dikembangkan adalah kepandaian yang etis. Pendidikan sejatinya bukan hanya
membentuk individu yang “tahu,” tetapi juga “mampu” dan “bijak”
dalam menggunakan pengetahuannya bagi kebaikan bersama.¹⁰
Footnotes
[1]
Howard Gardner, The Disciplined Mind: What All Students Should
Understand (New York: Simon & Schuster, 1999), 23–26.
[2]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 6–9.
[3]
David G. Myers, Psychology in Everyday Life, 5th ed. (New
York: Worth Publishers, 2020), 87–88.
[4]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–26.
[5]
Linda Darling-Hammond et al., Assessment and Teaching of 21st
Century Skills (Dordrecht: Springer, 2012), 14–17.
[6]
Robert J. Sternberg, Successful Intelligence (New York: Plume,
1997), 10–13.
[7]
Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the
Future (New York: Riverhead Books, 2005), 32.
[8]
World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2020 (Geneva:
WEF, 2020), 36–39.
[9]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 77.
[10]
Kemendikbudristek, Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di
Sekolah, edisi revisi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2019), 4–6.
5.
Independensi dan Relasi: Apakah Tiga Konsep Ini
Saling Bergantung?
Setelah membahas
definisi dan relevansi masing-masing istilah, pertanyaan krusial yang muncul
adalah: apakah kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian
merupakan entitas yang independen ataukah saling bergantung satu sama lain?
Kajian ini tidak hanya berperan dalam menjernihkan kekeliruan semantik, tetapi
juga penting dalam mengembangkan sistem pendidikan dan penilaian yang lebih
adil serta kontekstual.
5.1.
Analisis Interdependensi Konseptual
Secara konseptual,
ketiganya memang dapat dibedakan. Kecerdasan merujuk pada kapasitas
kognitif atau potensi mental yang bersifat dasar; kepintaran pada kemampuan
menerapkan kecerdasan secara strategis dan adaptif dalam kehidupan sehari-hari;
sementara kepandaian
menyiratkan kompetensi yang diperoleh dari latihan, pengalaman, dan refleksi
yang konsisten.¹
Namun demikian,
ketiganya tidak berada dalam ruang hampa. Seorang individu yang cerdas
secara kognitif berpeluang untuk menjadi
pintar, sejauh ia mampu menyerap dan menerapkan pengetahuan
secara kontekstual.² Demikian pula, kepandaian dalam bidang tertentu
sering kali dibangun dari fondasi kecerdasan dan diperkuat oleh kepintaran
dalam menggunakan strategi yang tepat. Oleh sebab itu, terdapat hubungan saling
melengkapi antara ketiganya, meskipun tidak bersifat
deterministik.
Psikolog Robert
Sternberg menyebut fenomena ini sebagai interaksi antara analitik, kreatif, dan praktis
dalam triarchic
theory of intelligence.³ Menurutnya, orang yang sukses tidak semata-mata
karena satu jenis kecerdasan, tetapi karena sinergi antara kemampuan berpikir
logis (analitik), menghasilkan ide (kreatif), dan menyelesaikan masalah
kehidupan nyata (praktis). Dengan kata lain, kecerdasan dapat menjadi dasar,
kepintaran sebagai strategi, dan kepandaian sebagai hasil aktual.
5.2.
Perspektif Psikologi Kognitif dan Pendidikan
Dalam kerangka
psikologi kognitif, kecerdasan seringkali dilihat sebagai kapasitas umum
(g-factor) yang relatif stabil, sedangkan kepintaran lebih bersifat situasional
dan fluktuatif, bergantung pada konteks dan pengalaman belajar.⁴ Kepintaran
memungkinkan seseorang yang tidak memiliki skor IQ tinggi untuk tetap tampil
efektif dalam situasi sosial atau profesional tertentu, karena ia cakap dalam
memilih cara terbaik untuk bertindak.
Kepandaian, dari
sisi lain, dianggap sebagai bentuk kecakapan terinternalisasi,
hasil dari pengalaman reflektif dan pelatihan berulang, yang kerap kali
dikaitkan dengan tacit knowledge—pengetahuan yang
tidak mudah diungkapkan secara verbal, tetapi tampak dalam tindakan nyata.⁵
Penelitian yang dilakukan oleh Michael Polanyi menunjukkan bahwa pengetahuan
semacam ini bersifat intuitif dan muncul melalui praktik yang mendalam, bukan
semata-mata dari pembelajaran teoretis.⁶
Implikasi bagi
pendidikan sangat penting. Kurikulum dan asesmen tidak dapat hanya berorientasi
pada pengukuran kecerdasan abstrak, melainkan juga harus menciptakan ruang
untuk mengembangkan kepintaran strategis dan kepandaian praktis siswa. Seorang
siswa dengan nilai IQ tinggi belum tentu akan menjadi pekerja yang baik atau
warga negara yang bertanggung jawab tanpa adanya integrasi nilai dan pengalaman
dalam pembelajaran.
5.3.
Studi Ilustratif dan Kasus-Kasus Sosial
Contoh dari dunia
nyata menunjukkan bahwa relasi antara ketiga konsep ini tidak selalu
linier. Albert Einstein, misalnya, dikenal karena kecerdasannya
dalam bidang teori relativitas, tetapi dalam kehidupan sosial ia tergolong
lamban dan kerap disebut kurang “pintar” dalam berinteraksi sosial.⁷
Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Steve Jobs atau Elon Musk mungkin tidak
mencapai skor IQ tertinggi, tetapi menunjukkan tingkat kepintaran tinggi dalam
mengambil risiko, membaca pasar, dan menciptakan produk disruptif.
Sementara itu, dalam
konteks lokal, banyak pengrajin, petani, atau teknisi di pedesaan yang tidak
mengenyam pendidikan formal tinggi, tetapi menunjukkan kepandaian luar biasa
dalam menyelesaikan masalah teknis dan mengambil keputusan yang bijak dalam
situasi kompleks. Pengetahuan dan keterampilan mereka tumbuh dari pengalaman
hidup yang panjang—sebuah contoh nyata bahwa kepandaian tidak selalu bergantung
pada kecerdasan
formal.⁸
5.4.
Implikasi Teoretis: Sinergi, Bukan Hierarki
Berdasarkan kajian
konseptual dan empiris di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan,
kepintaran, dan kepandaian bukanlah hierarki vertikal,
melainkan jaringan horizontal yang saling menguatkan. Menilai individu hanya
dari satu dimensi—misalnya kecerdasan logis atau nilai akademik—adalah bentuk
reduksionisme yang tidak mencerminkan kompleksitas manusia seutuhnya.
Konsekuensinya,
pendidikan yang efektif bukan hanya yang meningkatkan kapasitas intelektual
peserta didik, tetapi juga yang mengembangkan strategi berpikir praktis
(kepintaran) dan kebijaksanaan dalam bertindak (kepandaian). Pendidikan seperti
ini menciptakan generasi yang tidak hanya tahu banyak, tetapi juga mampu
menyikapi dunia dengan tanggap dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity
Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 12–13.
[2]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 45.
[3]
Robert J. Sternberg, Successful Intelligence (New York: Plume,
1997), 20–22.
[4]
Linda S. Gottfredson, “Why g Matters: The Complexity of Everyday Life,”
Intelligence 24, no. 1 (1997): 79–132.
[5]
Michael Eraut, “Non-Formal Learning and Tacit Knowledge in Professional
Work,” British Journal of Educational Psychology 70, no. 1 (2000):
113–136.
[6]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of
Chicago Press, 1966), 4–5.
[7]
Walter Isaacson, Einstein: His Life and Universe (New York:
Simon & Schuster, 2007), 195–198.
[8]
James C. Scott, Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve
the Human Condition Have Failed (New Haven: Yale University Press, 1998),
316–318.
6.
Implikasi Teoretis dan Praktis
Kajian konseptual
mengenai kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian tidak hanya menghasilkan
pemahaman yang lebih tajam terhadap dinamika kognitif dan afektif manusia,
tetapi juga membawa dampak signifikan terhadap pengembangan teori pendidikan
dan praktik kebijakan di berbagai bidang. Implikasi ini dapat dilihat dalam empat
ranah utama: (1) desain kurikulum dan strategi pembelajaran, (2) reformulasi
kebijakan penilaian pendidikan, (3) pengembangan karir dan manajemen SDM, serta
(4) perancangan model pendidikan karakter yang integral.
6.1.
Implikasi bagi Kurikulum dan Desain
Pembelajaran
Pemahaman bahwa
kecerdasan bukan satu-satunya indikator kemampuan seseorang telah mendorong
kebutuhan untuk merancang kurikulum yang inklusif, fleksibel, dan multidemensional.
Teori Multiple
Intelligences yang dikembangkan oleh Howard Gardner telah menjadi
rujukan utama dalam mendesain pembelajaran berbasis kekuatan individu.¹ Dengan
mengakomodasi berbagai jenis kecerdasan—logis, linguistik, musikal,
interpersonal, kinestetik, naturalistik, dan lainnya—pendidikan tidak hanya
berfokus pada kemampuan akademik sempit, tetapi juga merayakan keberagaman
potensi.
Model ini mendorong
guru untuk menyusun strategi pembelajaran yang mengembangkan kepintaran
adaptif dan kepandaian aplikatif, bukan
sekadar mengukur hafalan atau logika formal. Pembelajaran berbasis proyek,
kolaborasi, simulasi, dan pemecahan masalah kontekstual adalah beberapa
pendekatan yang mendukung keberhasilan transformasi ini.² Dalam hal ini, peran
guru berubah dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator dan mentor
dalam pengembangan berbagai jenis kompetensi.
6.2.
Implikasi bagi Kebijakan Pendidikan dan Sistem
Evaluasi
Secara praktis,
sistem evaluasi pendidikan juga perlu direformulasi agar mampu menilai siswa
secara utuh, bukan hanya berdasarkan skor ujian standar.
Penilaian yang hanya mengukur kecerdasan logika dan linguistik seringkali gagal
menangkap dimensi kepintaran dan kepandaian peserta didik yang bersifat
kontekstual dan praktis.³
Sebagai respons,
berbagai model penilaian alternatif telah dikembangkan, seperti portofolio,
asesmen autentik, self-assessment, dan peer
review, yang lebih mencerminkan kemampuan aplikatif, reflektif,
dan interpersonal.⁴ Sistem seperti ini memungkinkan guru melihat bagaimana
siswa memecahkan masalah nyata, bekerja sama dalam tim, serta mengambil
keputusan etis—dimensi yang erat kaitannya dengan kepintaran dan kepandaian
sosial.
Robert Sternberg
menyatakan bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mengukur
dan mengembangkan “successful intelligence”, yaitu kombinasi
dari kecerdasan analitik, kreatif, dan praktis.⁵ Kebijakan pendidikan yang
didasarkan pada model ini cenderung lebih berhasil dalam menyiapkan peserta
didik untuk menghadapi tantangan dunia nyata yang kompleks dan dinamis.
6.3.
Implikasi bagi Konseling Karir dan Pengembangan
SDM
Dalam dunia kerja,
implikasi pembeda antara kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian menjadi sangat
nyata dalam praktik rekrutmen, penempatan kerja, dan pelatihan SDM.
Studi-studi dari World Economic Forum dan McKinsey Global Institute menegaskan
bahwa soft
skills seperti komunikasi, empati, kecerdikan menyelesaikan
masalah, dan kemampuan adaptasi kini lebih diprioritaskan dibanding sekadar
skor akademik.⁶
Kepintaran menjadi
kualitas penting dalam menjalankan strategi kerja, membangun relasi, dan
mengelola konflik. Sementara kepandaian mencerminkan kemampuan seseorang menginternalisasi
nilai dan menerapkan pengetahuan dalam situasi kompleks secara bertanggung
jawab. Individu yang hanya cerdas secara intelektual namun
tidak pandai bekerja dalam tim atau tidak pintar menyesuaikan diri dengan
dinamika organisasi berpotensi gagal dalam kariernya.
Karena itu, program
konseling karir dan pelatihan kepribadian di institusi pendidikan tinggi dan
perusahaan perlu mengintegrasikan ketiga aspek tersebut. Pendekatan competency-based
yang mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap menjadi semakin relevan
dalam membentuk SDM unggul.⁷
6.4.
Implikasi bagi Pendidikan Karakter dan Etika
Sosial
Akhirnya, implikasi
penting juga muncul dalam pendidikan karakter dan pembangunan etika sosial. Kepandaian
sejati mencakup dimensi kebijaksanaan, yakni kemampuan
mengambil keputusan yang tidak hanya benar secara logis, tetapi juga tepat
secara moral. Martha Nussbaum menekankan pentingnya pengembangan moral
imagination dalam pendidikan untuk membentuk warga negara yang
tidak hanya pintar, tetapi juga peduli dan bertanggung jawab.⁸
Dalam konteks ini,
pembelajaran yang bersifat humanistik dan transformatif sangat diperlukan.
Model pembelajaran reflektif, dialogis, dan berbasis nilai mendorong peserta
didik untuk menyeimbangkan pengetahuan dengan nurani. Hal ini sejalan dengan
konsep phronesis
dalam filsafat Aristoteles, yakni kebijaksanaan praktis yang mencakup
intelektualitas dan etika.⁹
Pendidikan yang
mengintegrasikan kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian secara simultan akan
melahirkan individu yang cerdas dalam berpikir, pintar dalam menyikapi
persoalan, dan pandai dalam bertindak—yakni manusia utuh yang
mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.
Footnotes
[1]
Howard Gardner, The Disciplined Mind: What All Students Should
Understand (New York: Simon & Schuster, 1999), 45–46.
[2]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd
ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 13–16.
[3]
Linda Darling-Hammond, The Right to Learn: A Blueprint for Creating
Schools That Work (San Francisco: Jossey-Bass, 1997), 82.
[4]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
[5]
Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity
Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 143.
[6]
World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2020 (Geneva:
WEF, 2020), 28.
[7]
McKinsey & Company, Defining the Skills Citizens Will Need in
the Future World of Work (McKinsey Global Institute, 2021), 4–5.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 85.
[9]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1141b.
7.
Penutup
Kajian kritis
terhadap konsep kecerdasan, kepintaran,
dan kepandaian
mengungkap bahwa ketiga istilah ini bukan sekadar sinonim yang dapat
dipertukarkan secara bebas, melainkan mewakili konstruksi kognitif,
kontekstual, dan praktis yang memiliki karakteristik, peran, dan relevansi
berbeda dalam kehidupan manusia. Masing-masing konsep memiliki dimensi
etimologis, terminologis, dan fungsional yang unik: kecerdasan sebagai
kapasitas intelektual dasar, kepintaran sebagai strategi adaptif dalam
menyikapi situasi nyata, dan kepandaian sebagai hasil akumulatif dari
pengalaman, pelatihan, serta kebijaksanaan dalam bertindak.¹
Pemahaman terhadap
distingsi tersebut sangat penting dalam membentuk paradigma baru dalam dunia
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Sistem pendidikan yang terlalu
berfokus pada aspek kognitif—seperti skor IQ, nilai akademik, dan hasil ujian
standar—berisiko mengabaikan potensi besar individu yang mungkin lebih menonjol
dalam aspek kepintaran pragmatis atau kepandaian praktis.² Howard Gardner telah
menegaskan bahwa manusia memiliki berbagai bentuk kecerdasan, dan semua bentuk
ini layak untuk dikenali dan dikembangkan secara proporsional.³
Lebih jauh,
integrasi antara kecerdasan, kepintaran, dan kepandaian membentuk fondasi bagi
individu yang tidak hanya mampu berpikir secara logis, tetapi juga dapat bertindak
secara efektif dan bijaksana dalam situasi nyata.⁴ Dalam konteks karir dan
kehidupan sosial, keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh satu aspek
semata, melainkan oleh sinergi ketiganya. Seorang profesional yang hanya
mengandalkan kecerdasan teoritis namun tidak memiliki kepintaran strategis atau
kepandaian emosional dalam berinteraksi sosial, sangat mungkin gagal di dunia
kerja yang kompleks dan kompetitif.⁵
Dengan demikian,
artikel ini merekomendasikan agar:
·
Pendidikan formal perlu
mendesain kurikulum dan penilaian yang menghargai ragam kemampuan, bukan hanya
aspek akademik;
·
Konseling karir dan
pelatihan SDM mengadopsi pendekatan holistik berbasis kompetensi;
·
Pendidikan karakter
diintegrasikan ke dalam pembelajaran sebagai upaya membentuk individu yang
cerdas, pintar, sekaligus pandai dalam hidup bermasyarakat.
Akhirnya, pemahaman
mendalam terhadap relasi dan distingsi antara kecerdasan, kepintaran, dan
kepandaian memungkinkan masyarakat untuk membangun sistem yang lebih adil dan
manusiawi—yang mengakui bahwa potensi manusia tidak bersifat tunggal, melainkan
plural, kontekstual, dan berkembang secara terus-menerus sepanjang hayat.⁶
Footnotes
[1]
Robert J. Sternberg, Wisdom, Intelligence, and Creativity
Synthesized (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 15–17.
[2]
Linda Darling-Hammond, The Flat World and Education: How America’s
Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College
Press, 2010), 102–104.
[3]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 9–11.
[4]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 62.
[5]
World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2020 (Geneva:
WEF, 2020), 28.
[6]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 21–22.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work
published ca. 350 B.C.E.)
Black, P., & Wiliam, D.
(1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education:
Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102
Darling-Hammond, L. (1997).
The right to learn: A blueprint for creating schools that work.
Jossey-Bass.
Darling-Hammond, L. (2010).
The flat world and education: How America’s commitment to equity will
determine our future. Teachers College Press.
Dewey, J. (1910). How
we think. D.C. Heath and Company.
Dewey, J. (1938). Experience
and education. Macmillan.
Gardner, H. (1983). Frames
of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.
Gardner, H. (1999). The
disciplined mind: What all students should understand. Simon &
Schuster.
Gladwell, M. (2008). Outliers:
The story of success. Little, Brown and Company.
Goleman, D. (1995). Emotional
intelligence: Why it can matter more than IQ. Bantam Books.
Gottfredson, L. S. (1997).
Why g matters: The complexity of everyday life. Intelligence, 24(1),
79–132. https://doi.org/10.1016/S0160-2896(97)90014-3
Isaacson, W. (2007). Einstein:
His life and universe. Simon & Schuster.
Kemendikbudristek. (2019). Panduan
implementasi pendidikan karakter di sekolah (Edisi revisi). Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
McKinsey & Company.
(2021). Defining the skills citizens will need in the future world of work.
McKinsey Global Institute. https://www.mckinsey.com/
Merriam-Webster. (n.d.). Skillful,
wise, expertise. In Merriam-Webster.com dictionary.
Retrieved May 30, 2025, from https://www.merriam-webster.com/
Muller, C. C. (2010). Malay–English
etymological dictionary. Penerbit Universiti Malaya.
Myers, D. G. (2020). Psychology
in everyday life (5th ed.). Worth Publishers.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Oxford English Dictionary.
(n.d.). Clever, smart. Retrieved May 30, 2025, from https://www.oed.com/
Perkins, D. (1995). Outsmarting
IQ: The emerging science of learnable intelligence. Free Press.
Polanyi, M. (1966). The
tacit dimension. University of Chicago Press.
Scott, J. C. (1998). Seeing
like a state: How certain schemes to improve the human condition have failed.
Yale University Press.
Spearman, C. (1904).
General intelligence, objectively determined and measured. The American
Journal of Psychology, 15(2), 201–292. https://doi.org/10.2307/1412107
Sternberg, R. J. (1997). Successful
intelligence. Plume.
Sternberg, R. J. (2003). Wisdom,
intelligence, and creativity synthesized. Cambridge University Press.
Sternberg, R. J. (2004). A
balance theory of wisdom. Review of General Psychology, 8(4), 347–365.
https://doi.org/10.1037/1089-2680.8.4.347
Wiggins, G., & McTighe,
J. (2005). Understanding by design (2nd ed.). ASCD.
World Economic Forum.
(2020). The future of jobs report 2020. World Economic Forum. https://www.weforum.org/
Zohar, D., & Marshall,
I. (2000). Spiritual intelligence: The ultimate intelligence.
Bloomsbury Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar