Filsafat adalah Ibu dari Semua Ilmu Pengetahuan
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Ilmu
Pengetahuan.
Filsafat Alam, Filsafat Logika, Filsafat Jiwa, Filsafat
Moral, Filsafat Politik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
filsafat sebagai fondasi awal dan pengarah utama perkembangan ilmu pengetahuan
dari masa klasik hingga era modern. Berangkat dari akar historis di peradaban
Yunani dan dunia Islam, artikel ini menunjukkan bahwa berbagai cabang ilmu
pengetahuan modern—seperti fisika, biologi, psikologi, dan logika—berasal dari
refleksi filosofis yang mendalam. Di masa modern, meskipun ilmu pengetahuan
berkembang secara spesifik dan teknis, filsafat tetap diperlukan sebagai
kerangka epistemologis, etis, dan metodologis. Artikel ini juga mengkritik
pandangan yang menilai filsafat tidak lagi relevan, serta menegaskan urgensinya
dalam merespons tantangan sains dan teknologi kontemporer, seperti bioetika,
krisis lingkungan, dan kecerdasan buatan. Dengan pendekatan analitis dan
historis, artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan harus
berjalan beriringan demi membentuk peradaban yang tidak hanya canggih secara
teknologi, tetapi juga bijak secara moral dan reflektif secara intelektual.
Kata Kunci: Filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah ilmu, filsafat
Islam, metode ilmiah, etika sains, falsifiabilitas, relevansi filsafat,
paradigma ilmu.
PEMBAHASAN
Filsafat adalah Ibu dari Semua Ilmu Pengetahuan
1.
Pendahuluan
Ungkapan “filsafat
adalah ibu dari semua ilmu” (philosophy is the mother of all
sciences) bukanlah sekadar metafora puitis, melainkan refleksi historis dan
epistemologis yang mengakar kuat dalam sejarah peradaban manusia. Dalam
perjalanannya, berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang saat
ini—seperti fisika, kimia, biologi, psikologi, bahkan matematika—awalnya muncul
dari rahim filsafat. Para pemikir awal seperti Thales, Pythagoras, Plato, dan
Aristoteles tidak membedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan sebagaimana
yang kita pahami sekarang; seluruh pencarian terhadap kebenaran, hakikat alam
semesta, dan realitas manusia mereka rangkum dalam satu istilah: philosophia,
yang secara harfiah berarti “cinta akan kebijaksanaan.”¹
Dalam konteks sejarah,
filsafat memainkan peran sentral sebagai akar dari metode berpikir ilmiah.
Aristoteles, misalnya, tidak hanya mengembangkan cabang logika dan metafisika,
tetapi juga merintis studi-studi sistematis tentang alam, hewan, dan masyarakat
yang kelak berkembang menjadi ilmu-ilmu khusus.² Karena itu, bagi para pemikir
klasik, tidak ada dikotomi antara filsafat dan sains; keduanya merupakan
aktivitas intelektual untuk memahami realitas secara rasional dan mendalam.
Seiring berkembangnya zaman,
terutama sejak masa Pencerahan dan Revolusi Ilmiah, muncul kecenderungan untuk
memisahkan filsafat dari sains. Hal ini didorong oleh munculnya metode empiris
dan penekanan pada observasi serta eksperimen yang dianggap lebih objektif dan "bebas
nilai" dibanding pendekatan spekulatif filsafat.³ Meski demikian,
banyak ilmuwan dan filsuf modern menyadari bahwa sains tidak bisa berdiri
sendiri tanpa fondasi filosofis. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa
yang membuat suatu teori ilmiah sahih?, bagaimana struktur pengetahuan
terbentuk?, atau apa batas-batas validitas sains? tetap menjadi
wilayah kajian filsafat ilmu.⁴
Di era modern yang sarat
dengan kemajuan teknologi, kecanggihan kecerdasan buatan, dan kompleksitas
etika biomedis, filsafat kembali menemukan relevansinya sebagai pengarah,
pengontrol, dan pengkritik perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menegaskan
bahwa meskipun ilmu telah berkembang secara spesifik dan otonom, filsafat tetap
memainkan peran sebagai fondasi epistemologis dan etis dari seluruh dinamika
keilmuan.
Dengan memahami kembali
relasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan, kita tidak hanya belajar dari masa
lalu, tetapi juga mempersiapkan kerangka berpikir kritis dan komprehensif dalam
menghadapi tantangan masa depan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam
bagaimana filsafat menjadi fondasi awal ilmu pengetahuan, perannya dalam
peradaban Islam dan Barat, hingga urgensi keberadaannya dalam konteks keilmuan
masa kini.
Footnotes
[1]
Will Durant, The Story of Philosophy (New York:
Simon and Schuster, 1926), 1–3.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–15.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New
York: Ballantine Books, 1991), 275–280.
[4]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 27–35.
2.
Pengertian
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
2.1.
Pengertian Filsafat
Secara etimologis, kata filsafat
berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, yang terdiri dari dua
kata: philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Dengan
demikian, filsafat secara harfiah berarti “cinta akan kebijaksanaan.”¹
Namun dalam pengertian terminologis, filsafat adalah usaha manusia secara
rasional, sistematis, dan kritis untuk memahami hakikat realitas, eksistensi,
pengetahuan, nilai, pikiran, dan bahasa.
Menurut Aristoteles, filsafat
adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab terdalam dari segala sesuatu, melalui
akal budi manusia dan bukan semata-mata melalui pengalaman indrawi.² Ia
menganggap filsafat sebagai upaya manusia untuk mencari “pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri,” tanpa motivasi praktis atau ekonomis.³ Definisi
ini menunjukkan bahwa filsafat merupakan bentuk refleksi tertinggi manusia
terhadap hakikat kehidupan dan realitas di sekitarnya.
Dalam tradisi Islam klasik,
filsafat disebut dengan istilah falsafah, yang dipelajari dan
dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.
Al-Farabi, misalnya, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang bertujuan
mengenal hakikat sesuatu menurut kemampuan manusia sejauh mungkin.⁴ Di sini
terlihat bahwa filsafat, dalam pandangan para pemikir Muslim, adalah jembatan
antara wahyu dan akal, antara pengetahuan ilahiah dan pengetahuan rasional.
2.2.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan (science)
secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengetahuan yang disusun
secara logis dan didasarkan pada metode ilmiah, yang mencakup observasi,
eksperimen, pengukuran, dan penarikan kesimpulan berdasarkan bukti empiris.
Ilmu bertujuan untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam secara objektif dan
dapat diverifikasi.⁵
George F. Kneller menjelaskan
bahwa ilmu pengetahuan bertumpu pada dua hal utama: keinginan untuk mengetahui
dan metode untuk mengetahui.⁶ Dengan demikian, ilmu tidak hanya berisi kumpulan
fakta, tetapi juga suatu cara berpikir dan pendekatan terhadap kenyataan. Ilmu
modern berkembang dengan menekankan verifikasi empiris, pengukuran kuantitatif,
dan generalisasi berdasarkan hukum alam.
Namun demikian, di balik
keobjektifan ilmu terdapat asumsi-asumsi filosofis mendasar, seperti keberadaan
realitas yang teratur, keterpercayaan indera manusia, dan validitas logika.⁷
Tanpa landasan filsafat, ilmu akan kehilangan arah dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa itu kebenaran? Dari
mana kita tahu bahwa suatu metode sahih? atau Apa batas-batas etis
dari eksperimen ilmiah?
2.3.
Perbedaan dan Keterkaitan Antara Filsafat dan
Ilmu
Meski memiliki objek kajian
dan metode yang berbeda, filsafat dan ilmu pengetahuan saling berkaitan erat.
Filsafat cenderung bersifat spekulatif, reflektif, dan menyeluruh (holistik),
sedangkan ilmu bersifat spesifik, empiris, dan terfokus pada aspek-aspek
tertentu dari realitas.⁸
Namun demikian, hampir semua
cabang ilmu berakar dari cabang-cabang filsafat klasik:
·
Ilmu alam berasal dari
filsafat alam (natural philosophy)
·
Ilmu logika dan matematika
dikembangkan dari cabang filsafat logika
·
Psikologi berasal dari
filsafat jiwa
·
Ilmu sosial dan etika
bersumber dari filsafat moral dan politik
Thomas S. Kuhn menekankan bahwa
setiap paradigma ilmiah dibentuk oleh kerangka filosofis tertentu—mengenai apa
yang disebut “data,” apa yang dianggap sebagai “masalah,” dan
bagaimana teori diuji.⁹ Oleh karena itu, meskipun ilmu pengetahuan modern telah
berkembang secara mandiri, filsafat tetap menjadi kerangka reflektif yang
mengarahkan dan mengkaji dasar-dasar pengetahuan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Will Durant, The Story of Philosophy (New York:
Simon and Schuster, 1926), 1.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 10–12.
[3]
Bertrand Russell, The History of Western Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1946), 94.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 132.
[5]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003),
4–5.
[6]
George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education
(New York: John Wiley & Sons, 1971), 11.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 16–18.
[8]
Samuel Enoch Stumpf and James Fieser, Philosophy: History and Problems
(New York: McGraw-Hill, 2008), 5–7.
[9]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 9–11.
3.
Sejarah
Awal: Filsafat Sebagai Asal Usul Ilmu
Dalam sejarah intelektual
umat manusia, filsafat menduduki posisi fundamental sebagai akar dari
seluruh cabang ilmu pengetahuan. Sebelum istilah "sains"
atau science muncul sebagai disiplin yang berdiri sendiri, seluruh
usaha manusia untuk memahami dunia—baik melalui refleksi rasional maupun
pengamatan alam—termasuk dalam ranah filsafat. Filsafat pada masa Yunani Kuno
adalah “ilmu pengetahuan umum” yang mencakup segala jenis pertanyaan
tentang eksistensi, alam semesta, logika, dan moralitas.¹
3.1.
Masa Yunani Kuno: Awal Peradaban Rasional
Perintis tradisi filosofis
dunia Barat adalah para filsuf Yunani seperti Thales, Anaximandros,
dan Anaximenes, yang dikenal sebagai filsuf pra-Sokratik.
Mereka berusaha mencari hakikat dasar dari semua realitas (arche)
secara rasional, bukan mitologis. Thales, misalnya, menyatakan bahwa segala
sesuatu berasal dari air, suatu pandangan yang menandai peralihan dari mitos ke
logos—dari penjelasan mitologis menuju pemikiran rasional.²
Selanjutnya, Pythagoras
mengembangkan pemikiran matematis dan menghubungkannya dengan keteraturan alam
semesta, suatu bentuk awal dari pendekatan ilmiah terhadap realitas.³ Namun, Socrates,
Plato, dan Aristoteleslah yang menempatkan
filsafat pada puncak awal perkembangan ilmu. Socrates menekankan pentingnya
berpikir kritis dan dialog untuk mencari kebenaran moral, sementara Plato
mengembangkan teori ide dan dualisme realitas yang berpengaruh luas.⁴
Aristoteles adalah figur
penting dalam konteks hubungan antara filsafat dan ilmu. Ia tidak hanya
merumuskan logika formal sebagai alat berpikir ilmiah, tetapi
juga menulis karya-karya sistematis tentang biologi, fisika,
metafisika, etika, dan politik.⁵ Baginya, semua cabang ilmu merupakan
bagian dari filsafat, yang diklasifikasikan menjadi tiga jenis: filsafat
teoretis (fisika, matematika, dan metafisika), filsafat praktis (etika dan
politik), dan filsafat produktif (seni dan teknik).⁶ Ini menegaskan bahwa dalam
dunia Yunani kuno, filsafat bukan sekadar refleksi, tetapi merupakan
dasar konseptual bagi semua ilmu.
3.2.
Filsafat Sebagai Kerangka Ilmiah
Filsafat, khususnya melalui
logika dan epistemologi, membentuk kerangka berpikir ilmiah yang menjadi dasar
lahirnya metode ilmiah di kemudian hari. Aristoteles mengembangkan prinsip deduksi
logis dan syllogism, yang kelak menjadi bagian dari metode
berpikir ilmiah selama berabad-abad.⁷ Bahkan dalam ilmu-ilmu alam seperti
fisika dan biologi, Aristoteles memperkenalkan pengamatan sistematis,
klasifikasi, dan analisis sebab-akibat (kausalitas) sebagai pendekatan ilmiah
terhadap fenomena.⁸
Menurut Bertrand Russell,
sains awalnya muncul sebagai bagian dari filsafat karena saat itu manusia belum
memiliki cukup data empiris untuk membedakan keduanya.⁹ Maka,
pertanyaan-pertanyaan ilmiah seperti apa penyebab gerhana?, apa
hakikat materi?, atau bagaimana struktur alam semesta?, semua
dibahas oleh para filsuf dalam kerangka metafisika dan kosmologi.
3.3.
Peran Institusi Akademik: Akademia dan Lyceum
Lembaga-lembaga pendidikan
yang didirikan oleh Plato (Akademia) dan Aristoteles (Lyceum) menjadi cikal
bakal sistem pendidikan tinggi dan pusat pengembangan ilmu. Di Akademia, Plato
mengajarkan filsafat dalam kaitannya dengan matematika dan astronomi; di
Lyceum, Aristoteles mengembangkan program pengamatan dan penelitian
sistematis.¹⁰ Filsafat dalam konteks ini bukan sekadar spekulasi abstrak,
tetapi fondasi intelektual yang melahirkan disiplin-disiplin ilmu.
Kesimpulan Sementara
Dari uraian di atas, jelas
bahwa filsafat adalah fondasi awal dari ilmu pengetahuan, baik
dari segi isi maupun metode. Para pemikir besar pada masa awal tidak memisahkan
filsafat dari ilmu; keduanya adalah satu kesatuan dalam upaya memahami realitas
secara menyeluruh. Oleh karena itu, memahami sejarah filsafat berarti juga
memahami akar dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 3–5.
[2]
Bertrand Russell, The History of Western Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1946), 24–25.
[3]
Will Durant, The Story of Philosophy (New York:
Simon and Schuster, 1926), 9–10.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and
Rome (New York: Image Books, 1993), 108–110.
[5]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–17.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2004), 174.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 21.
[8]
Peter Adamson, A History of Philosophy Without Any Gaps:
Classical Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2014), 185.
[9]
Bertrand Russell, The History of Western Philosophy,
13.
[10]
Julia Annas, Ancient Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 40–42.
4.
Filsafat
dan Perkembangan Ilmu dalam Dunia Islam
Peradaban Islam pada abad
pertengahan memainkan peran penting dalam mewarisi, mengembangkan, dan
melanjutkan tradisi filsafat yang sebelumnya dibangun oleh peradaban Yunani.
Lebih dari sekadar penerus, para filsuf Muslim mengintegrasikan filsafat dengan
nilai-nilai keislaman dan menghasilkan sintesis unik yang mendorong lahirnya
berbagai cabang ilmu pengetahuan secara sistematis.¹ Filsafat dalam dunia Islam
bukan hanya kajian teoretis semata, tetapi menjadi fondasi bagi pengembangan
ilmu-ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, bahkan teologi.
4.1.
Gerakan Penerjemahan dan Awal Kebangkitan
Intelektual
Kebangkitan intelektual dalam
dunia Islam diawali oleh gerakan besar penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,
khususnya di era Khalifah al-Ma’mun (abad ke-9 M), yang mendirikan Bayt
al-Hikmah di Baghdad.² Karya-karya Aristoteles, Plato, Galen, dan
Pythagoras diterjemahkan dan dipelajari secara luas, menjadi pijakan awal
perkembangan filsafat dan ilmu dalam Islam.³
Dalam suasana ini, muncul
tokoh-tokoh besar yang tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mengembangkan
teori-teori ilmiah baru dengan pendekatan rasional dan filosofis. Para
pemikir ini tidak melihat filsafat sebagai ancaman terhadap agama, tetapi
sebagai alat bantu untuk memahami wahyu secara lebih mendalam dan rasional.
4.2.
Tokoh-Tokoh Filsuf Muslim dan Kontribusinya
terhadap Ilmu
1)
Al-Kindi (w. 873 M)
Al-Kindi dikenal sebagai "filsuf
Arab pertama". Ia menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan
Islam, melainkan merupakan jalan untuk memahami hikmah Allah dalam
ciptaan-Nya.⁴ Al-Kindi menulis ratusan risalah dalam berbagai bidang seperti
fisika, kedokteran, matematika, dan logika.⁵
2)
Al-Farabi (w. 950 M)
Al-Farabi mengembangkan sistem
filsafat yang menggabungkan metafisika Aristoteles dan teori kenabian dalam
Islam. Ia juga menulis tentang logika, etika, musik, dan politik. Dalam Al-Madina
al-Fadilah, Al-Farabi menjelaskan pandangannya tentang masyarakat ideal
yang dipimpin oleh orang bijak (filsuf atau nabi), menandakan bahwa filsafat
harus berperan dalam membentuk tatanan sosial.⁶
3)
Ibn Sina (Avicenna, w.
1037 M)
Ibn Sina adalah tokoh monumental
dalam filsafat dan ilmu. Karyanya Al-Shifa' (The Book of Healing)
mencakup logika, ilmu alam, psikologi, dan metafisika. Dalam bidang kedokteran,
Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan utama di Eropa selama
berabad-abad.⁷ Ibn Sina menekankan pentingnya akal dalam memahami realitas,
termasuk realitas ilahiah.
4)
Ibn Rushd (Averroes, w.
1198 M)
Ibn Rushd menjadi pembela
rasionalisme dan komentator utama karya Aristoteles. Dalam Tahafut
al-Tahafut, ia menjawab kritik al-Ghazali terhadap filsafat dan membela
penggunaan akal sebagai sarana memahami syariat.⁸ Gagasannya banyak memengaruhi
pemikiran Eropa, terutama dalam Renaissance dan kelahiran skolastik Latin.
4.3.
Hubungan Filsafat dan Teologi (Kalam)
Filsafat dalam Islam tidak
berkembang tanpa tantangan. Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Tahafut
al-Falasifah mengkritik keras para filsuf seperti Ibn Sina, terutama dalam
persoalan-persoalan metafisika yang dianggap bertentangan dengan doktrin
Islam.⁹ Meski demikian, Al-Ghazali sendiri adalah ahli filsafat yang
menggunakan logika dan epistemologi dalam Ihya Ulum al-Din dan Maqasid
al-Falasifah, menandakan bahwa ia tidak menolak filsafat secara
keseluruhan, tetapi menentang pemikiran yang melampaui batas wahyu.¹⁰
Ketegangan antara filsafat
dan teologi ini justru memperkaya dinamika keilmuan Islam dan menunjukkan
adanya dialog intelektual yang kritis namun konstruktif antara
akal dan iman.
4.4.
Integrasi Filsafat dan Ilmu dalam Tradisi Islam
Dalam tradisi Islam klasik,
ilmu pengetahuan diklasifikasikan menjadi dua:
·
Ilmu-naqliyyah
(berbasis wahyu): seperti tafsir, hadis, fikih, dan kalam
·
Ilmu-‘aqliyyah
(berbasis akal): seperti filsafat, logika, matematika,
kedokteran, dan astronomi.¹¹
Kedua jenis ilmu ini
berkembang beriringan dan saling menguatkan, tidak
dipertentangkan secara mutlak. Karena itu, filsafat berperan sebagai fondasi
bagi ilmu rasional, baik dalam hal metodologi, logika, maupun kerangka
konseptual.
Kesimpulan Sementara
Perkembangan ilmu dalam dunia
Islam menunjukkan bahwa filsafat bukanlah “barang asing” dalam tradisi keilmuan
Islam. Sebaliknya, ia adalah pilar penting yang menopang perkembangan
sains, kedokteran, astronomi, dan matematika dalam peradaban Islam
klasik. Penggabungan antara wahyu dan akal yang dilakukan oleh para filsuf
Muslim membuktikan bahwa filsafat dapat menjadi jembatan antara agama
dan ilmu, bukan penghalang. Warisan ini memberikan kontribusi besar
tidak hanya bagi dunia Islam, tetapi juga bagi Eropa dan dunia modern.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 5.
[2]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society
(London: Routledge, 1998), 11–14.
[3]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 30.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 90.
[5]
Nasr, Science and Civilization in Islam,
45.
[6]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
117.
[7]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006),
5–10.
[8]
Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy
(Oxford: Clarendon Press, 1988), 64.
[9]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000),
3–7.
[10]
Frank Griffel, Al-Ghazali's Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 22–24.
[11]
Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam
(London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 50.
5.
Ilmu
Pengetahuan Modern dan Emansipasi dari Filsafat
Seiring berkembangnya zaman,
ilmu pengetahuan mengalami transformasi besar dari kerangka
spekulatif-filosofis menuju pendekatan empiris dan teknis. Periode ini, yang
dikenal sebagai Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan 17 M,
menandai awal dari apa yang disebut sebagai emansipasi ilmu dari
filsafat. Meskipun filsafat tetap menjadi akar epistemologis, sains
modern mulai berkembang secara lebih independen, dengan penekanan kuat pada observasi,
eksperimen, dan metode kuantitatif.
5.1.
Revolusi Ilmiah dan Munculnya Metode Empiris
Tokoh-tokoh seperti Nicolaus
Copernicus, Galileo Galilei, Johannes Kepler, dan Isaac Newton
memainkan peran penting dalam merombak pandangan lama yang berbasis pada
otoritas Aristotelian dan geosentrisme Ptolemeus.¹ Galileo, misalnya, memadukan
eksperimen sistematis dengan matematika untuk menyusun hukum gerak, yang
menjauhkan ilmu dari spekulasi metafisik dan lebih mendekatkannya pada realitas
terukur.²
Pergeseran ini ditandai
dengan kelahiran metode ilmiah modern, yang menekankan
hipotesis, observasi, verifikasi empiris, dan pengulangan.³ Metode ini
dikodifikasikan secara formal oleh ilmuwan seperti Francis Bacon,
yang dalam Novum Organum menolak logika silogistik tradisional dan
menawarkan induksi eksperimental sebagai pendekatan ilmiah
yang lebih kuat.⁴
5.2.
Rasionalisme, Empirisme, dan Pembentukan Ilmu
Modern
Pada masa yang sama, muncul
dua aliran besar filsafat modern yang turut memengaruhi arah sains: rasionalisme
dan empirisme. Tokoh-tokoh rasionalis seperti René
Descartes menekankan penggunaan akal sebagai alat utama dalam mencapai
pengetahuan, sedangkan kaum empiris seperti John Locke dan David
Hume meyakini bahwa semua pengetahuan bersumber dari pengalaman
inderawi.⁵
Descartes, misalnya, dalam Discours
de la Méthode, menyarankan keraguan metodis sebagai fondasi untuk
pengetahuan yang pasti. Ia juga mengembangkan geometri analitik dan menyusun
pendekatan deduktif yang berpengaruh besar dalam perkembangan matematika dan
fisika.⁶ Namun, sumbangan empirisme terhadap metode observasional sains juga
signifikan—khususnya dalam menyusun prinsip validasi ilmiah berdasarkan
pengalaman yang dapat diulangi dan diukur.
5.3.
Positivisme dan Pemisahan Sains dari Metafisika
Pada abad ke-19, pemisahan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan semakin menguat dengan munculnya aliran
positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam
Cours de philosophie positive, Comte menyatakan bahwa umat manusia
telah melalui tiga tahap perkembangan intelektual: teologis, metafisik, dan
positif (ilmiah).⁷ Menurutnya, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui metode
ilmiah yang sah disebut “ilmu,” sedangkan spekulasi metafisik dianggap
tidak relevan.
Positivisme mendorong sekularisasi
ilmu pengetahuan, menjauhkannya dari pertimbangan nilai, etika, dan
metafisika. Hal ini menjadikan ilmu modern tampak “netral,” objektif,
dan bebas dari panduan filosofis atau teologis.⁸ Namun, pendekatan ini kemudian
dikritik karena mengabaikan dimensi filosofis dan etis dari praktik ilmiah.
5.4.
Dampak Emansipasi Ilmu dari Filsafat
Emansipasi ilmu dari filsafat
memang membawa banyak kemajuan—terutama dalam bidang teknologi, kedokteran,
industri, dan komunikasi. Namun, pemisahan total antara filsafat dan
ilmu menimbulkan beberapa persoalan serius:
·
Reduksionisme
ilmiah, yang hanya mengakui realitas material dan menolak
dimensi spiritual atau moral.⁹
·
Krisis
makna, karena sains tidak lagi memberikan jawaban atas
pertanyaan eksistensial seperti untuk apa pengetahuan ini digunakan?
atau apa
dampaknya bagi umat manusia?
·
Kebutaan
etis, ketika teknologi berkembang tanpa kendali moral, seperti
dalam kasus senjata nuklir, eksperimen genetik, dan kecerdasan buatan.¹⁰
Tokoh-tokoh filsuf ilmu
seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, dan Paul
Feyerabend mengingatkan bahwa ilmu bukanlah aktivitas yang
bebas nilai, melainkan selalu dipengaruhi oleh paradigma, asumsi
filosofis, dan konteks sosial.¹¹ Kuhn, dalam The Structure of Scientific
Revolutions, bahkan menegaskan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu
bersifat linier dan objektif, melainkan melalui perubahan paradigma yang
bersifat revolusioner dan seringkali dipengaruhi faktor non-ilmiah.¹²
Kesimpulan Sementara
Perkembangan ilmu pengetahuan
modern memang menunjukkan keberhasilan luar biasa dalam aspek teknis
dan praktis, namun emansipasi ilmu dari filsafat juga meninggalkan
“lubang eksistensial” dalam kerangka keilmuan. Meskipun sains dapat menjawab bagaimana
sesuatu bekerja, filsafat tetap diperlukan untuk menjawab mengapa
dan untuk apa hal itu dilakukan. Oleh karena itu, hubungan
antara filsafat dan ilmu tidak seharusnya diputus, melainkan perlu
direkonstruksi dalam kerangka saling melengkapi.
Footnotes
[1]
Richard S. Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms
and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 1–3.
[2]
Stillman Drake, Galileo: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 18–21.
[3]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003),
19.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James
Spedding (Oxford: Clarendon Press, 1857), I.4–5.
[5]
Bertrand Russell, The History of Western Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1946), 553–560.
[6]
René Descartes, Discourse on the Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18–24.
[7]
Auguste Comte, The Course in Positive Philosophy,
trans. Harriet Martineau (London: Routledge, 1974), 11–13.
[8]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 501.
[9]
Mary Midgley, Science and Poetry (London:
Routledge, 2001), 19–21.
[10]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 7–10.
[11]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 40–45.
[12]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–55.
6.
Relevansi
Filsafat dalam Dunia Ilmu Saat Ini
Meskipun ilmu pengetahuan
modern telah mengalami spesialisasi dan sering kali berjalan secara otonom,
peran filsafat tetap vital dalam mengawal arah, metode, dan tujuan ilmu. Dalam
dunia kontemporer yang ditandai oleh kemajuan teknologi, kompleksitas sosial,
serta problematika etika dan lingkungan, filsafat kembali menunjukkan relevansi
esensialnya. Filsafat berfungsi sebagai penyelaras,
pengkritik, dan pengarah perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak
kehilangan dimensi manusiawinya.
6.1.
Filsafat Ilmu: Mendasari dan Mengkritisi Ilmu
Filsafat ilmu (philosophy
of science) merupakan bidang filsafat yang secara langsung mengkaji
dasar-dasar konseptual, metodologis, dan epistemologis ilmu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti Apa yang membedakan ilmu dari non-ilmu?,
Apa kriteria kebenaran ilmiah?, atau Bagaimana perubahan teori
terjadi dalam sains? adalah bagian dari wilayah kajian ini.
Karl Popper, misalnya,
mengemukakan prinsip falsifiabilitas sebagai kriteria utama
teori ilmiah. Menurutnya, teori yang tidak bisa diuji dan berpotensi disanggah
secara empiris tidak termasuk dalam wilayah ilmu.¹ Gagasan ini membantu
membedakan antara sains sejati dan pseudoscience. Sementara itu, Thomas Kuhn
menyoroti pentingnya paradigma dalam struktur ilmu. Ia
menunjukkan bahwa perubahan ilmiah tidak selalu bersifat kumulatif, tetapi
sering berupa revolusi yang menggantikan kerangka berpikir sebelumnya.²
Kedua tokoh ini membuktikan
bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas dari pengaruh filsafat. Bahkan, struktur dan
dinamika perkembangan ilmu tidak dapat dipahami secara utuh tanpa pertimbangan
filosofis.
6.2.
Etika Ilmu dan Teknologi: Panduan Moral dalam
Kemajuan Sains
Kemajuan ilmu dan teknologi
telah membawa manfaat besar, tetapi juga menciptakan dilema moral
dan konsekuensi etis yang tidak bisa dijawab oleh sains itu
sendiri. Dalam hal ini, filsafat, khususnya etika terapan,
menjadi rambu penting. Contohnya dapat dilihat pada bidang:
·
Bioetika:
terkait dengan transplantasi organ, rekayasa genetika, euthanasia, dan kloning.
·
Etika
lingkungan: berkaitan dengan tanggung jawab manusia terhadap
krisis iklim dan ekosistem.
·
Etika
kecerdasan buatan (AI ethics): mempertanyakan implikasi moral
dari penggunaan teknologi AI, pengawasan digital, dan otomatisasi kerja.³
Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, mengingatkan bahwa teknologi modern
menimbulkan dampak jangka panjang terhadap generasi masa depan, sehingga
keputusan ilmiah tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab etis.⁴
6.3.
Filsafat sebagai Penjaga Keutuhan Pandangan
Dunia
Filsafat juga memberikan kerangka
pandangan dunia (worldview) yang luas dan menyeluruh, di luar batasan
disiplin-disiplin ilmu yang sering kali terfragmentasi. Ia membantu manusia
merumuskan makna, tujuan, dan nilai dari pengetahuan yang
dikumpulkan oleh sains. Sains mungkin bisa menjelaskan bagaimana kehidupan
terbentuk, tetapi filsafat mempertanyakan untuk apa manusia hidup.⁵
Dalam dunia akademik yang
semakin pragmatis dan teknokratis, filsafat hadir sebagai pengingat bahwa pengetahuan
harus diorientasikan kepada kebijaksanaan (wisdom), bukan sekadar efisiensi
atau keuntungan.⁶ Pandangan ini mendorong dialog antarilmu,
menghidupkan semangat interdisipliner, dan membuka ruang refleksi yang kritis
dan humanistik.
6.4.
Filsafat dan Pendidikan Ilmiah
Filsafat juga memainkan peran
strategis dalam pendidikan ilmu pengetahuan, terutama dalam mengembangkan kecakapan
berpikir kritis, logis, dan reflektif. George F. Kneller menekankan
bahwa pendidikan tanpa dasar filosofis cenderung dangkal, sebab tidak
mengajarkan cara berpikir, melainkan hanya mengajarkan isi pengetahuan.⁷ Oleh
karena itu, integrasi filsafat dalam kurikulum sains sangat penting untuk membentuk
ilmuwan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga sadar akan implikasi
sosial dan etis dari pekerjaannya.
Kesimpulan Sementara
Filsafat tetap menjadi elemen
esensial dalam dinamika ilmu pengetahuan modern. Ia bukan lagi sekadar
“ibu” dari ilmu yang telah melahirkan, tetapi juga pengasuh dan
pengarah dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu itu sendiri. Di
tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, kolaborasi antara filsafat dan
ilmu bukan saja bermanfaat, tetapi juga sangat diperlukan demi membangun
peradaban yang lebih bijaksana, adil, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–39.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 6–10.
[3]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical
Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press,
2016), 23–26.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 4–6.
[5]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press,
1997), 51–53.
[6]
Jürgen Mittelstraß, “The Future of Philosophy in the Age of Science,” European
Review, vol. 17, no. 1 (2009): 3–10.
[7]
George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education
(New York: John Wiley & Sons, 1971), 18–20.
7.
Kritik
terhadap Pandangan "Filsafat Tidak Relevan"
Dalam era dominasi teknologi
dan sains terapan, sering terdengar klaim bahwa filsafat tidak lagi
relevan. Pandangan ini muncul dari anggapan bahwa filsafat adalah
spekulatif, tidak praktis, dan tidak menghasilkan solusi konkret seperti yang
dilakukan oleh ilmu pengetahuan modern. Bahkan tokoh sains seperti Stephen
Hawking pernah menyatakan bahwa “filsafat telah mati” karena tidak
mampu mengikuti perkembangan sains mutakhir.¹ Namun, klaim semacam ini telah
dikritik secara tajam oleh banyak pemikir dan filsuf kontemporer yang
melihat bahwa filsafat tetap memiliki peran fundamental dalam membentuk
kerangka pemikiran ilmiah, etika, dan peradaban.
7.1.
Kekeliruan Memahami Fungsi Filsafat
Anggapan bahwa filsafat tidak
berguna seringkali didasarkan pada pemahaman yang sempit terhadap fungsi
filsafat. Filsafat bukanlah ilmu praktis yang memberikan jawaban teknis, tetapi
merupakan ilmu reflektif yang mempertanyakan dasar-dasar dari pengetahuan,
keberadaan, dan nilai.² Ia tidak bersaing dengan sains dalam menjelaskan
fenomena empiris, tetapi mendasari mengapa dan bagaimana kita
bisa memahami sesuatu secara rasional dan bermakna.
Bertrand Russell menyatakan
bahwa filsafat tidak menjanjikan kepastian seperti matematika atau fisika,
tetapi justru membuka ruang luas untuk kebebasan berpikir dan pelebaran wawasan
intelektual.³ Tanpa filsafat, ilmu akan cenderung bersifat sempit,
reduksionis, dan kehilangan dimensi nilai serta makna.
7.2.
Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan: Masih
Dibutuhkan
Meskipun ilmu modern telah
berkembang menjadi sangat spesifik dan teknis, ia tetap memerlukan
filsafat sebagai landasan epistemologis dan metodologis. Thomas Kuhn
menunjukkan bahwa perubahan besar dalam ilmu pengetahuan terjadi bukan hanya
karena data baru, tetapi karena pergeseran paradigma—kerangka berpikir yang
bersifat filosofis.⁴
Karl Popper juga menegaskan
bahwa pengujian hipotesis ilmiah dan kriteria demarkasi antara ilmu dan
non-ilmu adalah pertanyaan filosofis, bukan ilmiah dalam arti teknis.⁵
Tanpa filsafat, ilmu tidak akan memiliki alat untuk mengoreksi dirinya sendiri
dan dapat terjebak dalam dogmatisme.
7.3.
Peran Etika dan Filsafat Moral di Era Teknologi
Kemajuan teknologi tanpa
panduan moral dapat mengarah pada dehumanisasi dan bahaya etis.
Bioetika, etika AI, dan etika lingkungan merupakan cabang yang justru berkembang
karena dorongan refleksi filosofis terhadap realitas kontemporer. Filsuf
seperti Hans Jonas mengingatkan bahwa dalam dunia yang semakin digerakkan oleh
teknologi, tanggung jawab etis harus menjadi bagian integral dari keputusan
ilmiah.⁶
Jika filsafat dianggap tidak
relevan, maka siapa yang akan mempertanyakan:
·
Apakah boleh manusia
merekayasa genetika sesukanya?
·
Apakah penggunaan AI dalam
militer bermoral?
·
Apa batas kewenangan negara
dalam mengontrol data pribadi warga?
Pertanyaan-pertanyaan ini
tidak bisa dijawab oleh data atau algoritma, tetapi menuntut pemikiran
filosofis yang mendalam.
7.4.
Filsafat sebagai Penjaga Rasionalitas dan
Kemanusiaan
Filsafat juga berperan
sebagai penjaga rasionalitas, terutama dalam menghadapi arus
informasi, hoaks, dan polarisasi pandangan dunia. Melalui kajian logika,
epistemologi, dan etika, filsafat melatih kemampuan berpikir kritis dan
reflektif, yang sangat diperlukan di era banjir informasi dan post-truth.⁷
Martha Nussbaum bahkan
menyatakan bahwa masyarakat yang mengabaikan filsafat dan humaniora akan
menghasilkan warga yang tidak mampu berpikir mandiri dan tidak memiliki empati
sosial.⁸ Dalam konteks ini, filsafat menjadi bagian dari “pembebasan
manusia” dari belenggu ideologi sempit dan cara berpikir mekanistik.
Kesimpulan Sementara
Pandangan bahwa filsafat
tidak relevan adalah sebuah kekeliruan konseptual dan historis.
Justru di tengah kompleksitas zaman modern, filsafat semakin dibutuhkan untuk menyediakan
kerangka reflektif, etis, dan rasional bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan kebijakan publik. Ia bukan pesaing sains, melainkan partner
intelektual yang memastikan bahwa sains tetap manusiawi, bermakna, dan
berorientasi pada kebaikan bersama.
Footnotes
[1]
Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam
Books, 2010), 5.
[2]
Julian Baggini, The Pig That Wants to Be Eaten: 100 Experiments
for the Armchair Philosopher (London: Granta Books, 2005), 1–3.
[3]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1912), 90–91.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 77–90.
[5]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 40–45.
[6]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 6–10.
[7]
Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge:
Harvard University Press, 2001), 23–25.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–18.
8.
Kesimpulan
Sejarah dan perkembangan ilmu
pengetahuan menunjukkan dengan sangat jelas bahwa filsafat merupakan
fondasi awal dari segala bentuk pencarian ilmiah. Mulai dari masa
Yunani Kuno, ketika filsuf-filsuf seperti Thales dan Aristoteles merumuskan
pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat alam semesta, hingga zaman keemasan
Islam yang memperlihatkan integrasi harmonis antara filsafat, wahyu, dan
ilmu—filsafat telah memainkan peran sebagai “ibu dari ilmu pengetahuan.”¹
Meskipun sejak Revolusi
Ilmiah ilmu pengetahuan mulai berkembang secara mandiri dan membangun metodenya
sendiri yang bersifat empiris dan eksperimental, filsafat tetap memberikan kerangka
konseptual dan kritik metodologis yang esensial.² Kontribusi pemikir
seperti Descartes, Bacon, Popper, dan Kuhn membuktikan bahwa pemisahan total
antara filsafat dan ilmu pengetahuan tidak pernah benar-benar terjadi. Ilmu
tetap membutuhkan filsafat untuk menjawab pertanyaan mendasar seputar metodologi,
validitas, tujuan, dan tanggung jawab etis.
Di era modern dan
kontemporer, ketika sains dan teknologi berkembang sangat cepat, relevansi
filsafat justru semakin meningkat. Kompleksitas problematika bioetika,
krisis lingkungan, kecerdasan buatan, serta isu-isu kemanusiaan yang muncul
akibat perkembangan sains menuntut kehadiran refleksi filosofis yang jernih dan
kritis.³ Filsafat hadir tidak hanya sebagai pengingat batas-batas etis dan
epistemologis ilmu, tetapi juga sebagai penunjuk arah bagi peradaban agar tidak
terjerumus dalam bahaya dehumanisasi dan kehilangan makna.
Lebih dari itu, filsafat
berperan besar dalam membentuk kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan
transdisipliner—kompetensi yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dan
pengambilan keputusan kebijakan publik.⁴ Filsafat memberikan visi yang
melampaui sekadar data dan efisiensi, yakni visi tentang
kebijaksanaan, keadilan, dan kemanusiaan yang utuh.
Karenanya, pernyataan bahwa “filsafat
tidak lagi relevan” merupakan bentuk penyederhanaan yang menyesatkan.
Justru di tengah tantangan global yang semakin kompleks, filsafat dan
ilmu pengetahuan harus kembali berjalan beriringan. Ilmu tanpa
filsafat akan kehilangan nilai, dan filsafat tanpa ilmu akan kehilangan
realitas.⁵ Keduanya harus saling menyempurnakan demi membangun peradaban yang
tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga matang secara etis dan bijak
secara intelektual.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 5–10.
[2]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003),
3–6.
[3]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of
an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 1–5.
[4]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 47–51.
[5]
Jürgen Mittelstraß, “The Future of Philosophy in the Age of Science,” European
Review, vol. 17, no. 1 (2009): 3–10.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2014). Classical philosophy: A
history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.
Annas, J. (2000). Ancient philosophy: A very
short introduction. Oxford University Press.
Bacon, F. (1857). Novum organum (J.
Spedding, Trans.). Clarendon Press. (Original work published 1620)
Baggini, J. (2005). The pig that wants to be
eaten: 100 experiments for the armchair philosopher. Granta Books.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome. Image Books.
Descartes, R. (1998). Discourse on the method
(D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1637)
Drake, S. (2001). Galileo: A very short introduction.
Oxford University Press.
Durant, W. (1926). The story of philosophy.
Simon and Schuster.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.
Gaukroger, S. (2006). The emergence of a
scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford
University Press.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An
introduction to the philosophy of science. University of Chicago Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali's philosophical
theology. Oxford University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society.
Routledge.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kenny, A. (2004). Ancient philosophy. Oxford
University Press.
Kneller, G. F. (1971). Introduction to the
philosophy of education. John Wiley & Sons.
Kuhn, T. S. (1996). The structure of scientific
revolutions (3rd ed.). University of Chicago Press.
Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy.
Clarendon Press.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Midgley, M. (2001). Science and poetry.
Routledge.
Mittelstraß, J. (2009). The future of philosophy in
the age of science. European Review, 17(1), 3–10. https://doi.org/10.1017/S1062798709000025
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Popper, K. R. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge. (Original work published 1934)
Rosenthal, F. (1975). The classical heritage in
Islam. Routledge & Kegan Paul.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Russell, B. (1946). The history of western
philosophy. George Allen & Unwin.
Tarnas, R. (1991). The passion of the western
mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine
Books.
Toulmin, S. (2001). Return to reason.
Harvard University Press.
Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A
philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.
Westfall, R. S. (1971). The construction of
modern science: Mechanisms and mechanics. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar