Rabu, 27 November 2024

Filsafat adalah Ibu dari Semua Ilmu Pengetahuan

Filsafat adalah Ibu dari Semua Ilmu Pengetahuan

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.

Filsafat Alam, Filsafat Logika, Filsafat Jiwa, Filsafat Moral, Filsafat Politik.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran filsafat sebagai fondasi awal dan pengarah utama perkembangan ilmu pengetahuan dari masa klasik hingga era modern. Berangkat dari akar historis di peradaban Yunani dan dunia Islam, artikel ini menunjukkan bahwa berbagai cabang ilmu pengetahuan modern—seperti fisika, biologi, psikologi, dan logika—berasal dari refleksi filosofis yang mendalam. Di masa modern, meskipun ilmu pengetahuan berkembang secara spesifik dan teknis, filsafat tetap diperlukan sebagai kerangka epistemologis, etis, dan metodologis. Artikel ini juga mengkritik pandangan yang menilai filsafat tidak lagi relevan, serta menegaskan urgensinya dalam merespons tantangan sains dan teknologi kontemporer, seperti bioetika, krisis lingkungan, dan kecerdasan buatan. Dengan pendekatan analitis dan historis, artikel ini menyimpulkan bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan harus berjalan beriringan demi membentuk peradaban yang tidak hanya canggih secara teknologi, tetapi juga bijak secara moral dan reflektif secara intelektual.

Kata Kunci: Filsafat, ilmu pengetahuan, sejarah ilmu, filsafat Islam, metode ilmiah, etika sains, falsifiabilitas, relevansi filsafat, paradigma ilmu.


PEMBAHASAN

Filsafat adalah Ibu dari Semua Ilmu Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Ungkapan “filsafat adalah ibu dari semua ilmu” (philosophy is the mother of all sciences) bukanlah sekadar metafora puitis, melainkan refleksi historis dan epistemologis yang mengakar kuat dalam sejarah peradaban manusia. Dalam perjalanannya, berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini—seperti fisika, kimia, biologi, psikologi, bahkan matematika—awalnya muncul dari rahim filsafat. Para pemikir awal seperti Thales, Pythagoras, Plato, dan Aristoteles tidak membedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan sebagaimana yang kita pahami sekarang; seluruh pencarian terhadap kebenaran, hakikat alam semesta, dan realitas manusia mereka rangkum dalam satu istilah: philosophia, yang secara harfiah berarti “cinta akan kebijaksanaan.”¹

Dalam konteks sejarah, filsafat memainkan peran sentral sebagai akar dari metode berpikir ilmiah. Aristoteles, misalnya, tidak hanya mengembangkan cabang logika dan metafisika, tetapi juga merintis studi-studi sistematis tentang alam, hewan, dan masyarakat yang kelak berkembang menjadi ilmu-ilmu khusus.² Karena itu, bagi para pemikir klasik, tidak ada dikotomi antara filsafat dan sains; keduanya merupakan aktivitas intelektual untuk memahami realitas secara rasional dan mendalam.

Seiring berkembangnya zaman, terutama sejak masa Pencerahan dan Revolusi Ilmiah, muncul kecenderungan untuk memisahkan filsafat dari sains. Hal ini didorong oleh munculnya metode empiris dan penekanan pada observasi serta eksperimen yang dianggap lebih objektif dan "bebas nilai" dibanding pendekatan spekulatif filsafat.³ Meski demikian, banyak ilmuwan dan filsuf modern menyadari bahwa sains tidak bisa berdiri sendiri tanpa fondasi filosofis. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa yang membuat suatu teori ilmiah sahih?, bagaimana struktur pengetahuan terbentuk?, atau apa batas-batas validitas sains? tetap menjadi wilayah kajian filsafat ilmu.⁴

Di era modern yang sarat dengan kemajuan teknologi, kecanggihan kecerdasan buatan, dan kompleksitas etika biomedis, filsafat kembali menemukan relevansinya sebagai pengarah, pengontrol, dan pengkritik perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menegaskan bahwa meskipun ilmu telah berkembang secara spesifik dan otonom, filsafat tetap memainkan peran sebagai fondasi epistemologis dan etis dari seluruh dinamika keilmuan.

Dengan memahami kembali relasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan, kita tidak hanya belajar dari masa lalu, tetapi juga mempersiapkan kerangka berpikir kritis dan komprehensif dalam menghadapi tantangan masa depan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana filsafat menjadi fondasi awal ilmu pengetahuan, perannya dalam peradaban Islam dan Barat, hingga urgensi keberadaannya dalam konteks keilmuan masa kini.


Footnotes

[1]                Will Durant, The Story of Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1926), 1–3.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–15.

[3]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 275–280.

[4]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 27–35.


2.           Pengertian Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

2.1.       Pengertian Filsafat

Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, yang terdiri dari dua kata: philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Dengan demikian, filsafat secara harfiah berarti “cinta akan kebijaksanaan.”¹ Namun dalam pengertian terminologis, filsafat adalah usaha manusia secara rasional, sistematis, dan kritis untuk memahami hakikat realitas, eksistensi, pengetahuan, nilai, pikiran, dan bahasa.

Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab terdalam dari segala sesuatu, melalui akal budi manusia dan bukan semata-mata melalui pengalaman indrawi.² Ia menganggap filsafat sebagai upaya manusia untuk mencari “pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri,” tanpa motivasi praktis atau ekonomis.³ Definisi ini menunjukkan bahwa filsafat merupakan bentuk refleksi tertinggi manusia terhadap hakikat kehidupan dan realitas di sekitarnya.

Dalam tradisi Islam klasik, filsafat disebut dengan istilah falsafah, yang dipelajari dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Al-Farabi, misalnya, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang bertujuan mengenal hakikat sesuatu menurut kemampuan manusia sejauh mungkin.⁴ Di sini terlihat bahwa filsafat, dalam pandangan para pemikir Muslim, adalah jembatan antara wahyu dan akal, antara pengetahuan ilahiah dan pengetahuan rasional.

2.2.       Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (science) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengetahuan yang disusun secara logis dan didasarkan pada metode ilmiah, yang mencakup observasi, eksperimen, pengukuran, dan penarikan kesimpulan berdasarkan bukti empiris. Ilmu bertujuan untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam secara objektif dan dapat diverifikasi.⁵

George F. Kneller menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan bertumpu pada dua hal utama: keinginan untuk mengetahui dan metode untuk mengetahui.⁶ Dengan demikian, ilmu tidak hanya berisi kumpulan fakta, tetapi juga suatu cara berpikir dan pendekatan terhadap kenyataan. Ilmu modern berkembang dengan menekankan verifikasi empiris, pengukuran kuantitatif, dan generalisasi berdasarkan hukum alam.

Namun demikian, di balik keobjektifan ilmu terdapat asumsi-asumsi filosofis mendasar, seperti keberadaan realitas yang teratur, keterpercayaan indera manusia, dan validitas logika.⁷ Tanpa landasan filsafat, ilmu akan kehilangan arah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa itu kebenaran? Dari mana kita tahu bahwa suatu metode sahih? atau Apa batas-batas etis dari eksperimen ilmiah?

2.3.       Perbedaan dan Keterkaitan Antara Filsafat dan Ilmu

Meski memiliki objek kajian dan metode yang berbeda, filsafat dan ilmu pengetahuan saling berkaitan erat. Filsafat cenderung bersifat spekulatif, reflektif, dan menyeluruh (holistik), sedangkan ilmu bersifat spesifik, empiris, dan terfokus pada aspek-aspek tertentu dari realitas.⁸

Namun demikian, hampir semua cabang ilmu berakar dari cabang-cabang filsafat klasik:

·                     Ilmu alam berasal dari filsafat alam (natural philosophy)

·                     Ilmu logika dan matematika dikembangkan dari cabang filsafat logika

·                     Psikologi berasal dari filsafat jiwa

·                     Ilmu sosial dan etika bersumber dari filsafat moral dan politik

Thomas S. Kuhn menekankan bahwa setiap paradigma ilmiah dibentuk oleh kerangka filosofis tertentu—mengenai apa yang disebut “data,” apa yang dianggap sebagai “masalah,” dan bagaimana teori diuji.⁹ Oleh karena itu, meskipun ilmu pengetahuan modern telah berkembang secara mandiri, filsafat tetap menjadi kerangka reflektif yang mengarahkan dan mengkaji dasar-dasar pengetahuan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Will Durant, The Story of Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1926), 1.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 10–12.

[3]                Bertrand Russell, The History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 94.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 132.

[5]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 4–5.

[6]                George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 11.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 16–18.

[8]                Samuel Enoch Stumpf and James Fieser, Philosophy: History and Problems (New York: McGraw-Hill, 2008), 5–7.

[9]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 9–11.


3.           Sejarah Awal: Filsafat Sebagai Asal Usul Ilmu

Dalam sejarah intelektual umat manusia, filsafat menduduki posisi fundamental sebagai akar dari seluruh cabang ilmu pengetahuan. Sebelum istilah "sains" atau science muncul sebagai disiplin yang berdiri sendiri, seluruh usaha manusia untuk memahami dunia—baik melalui refleksi rasional maupun pengamatan alam—termasuk dalam ranah filsafat. Filsafat pada masa Yunani Kuno adalah “ilmu pengetahuan umum” yang mencakup segala jenis pertanyaan tentang eksistensi, alam semesta, logika, dan moralitas.¹

3.1.       Masa Yunani Kuno: Awal Peradaban Rasional

Perintis tradisi filosofis dunia Barat adalah para filsuf Yunani seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes, yang dikenal sebagai filsuf pra-Sokratik. Mereka berusaha mencari hakikat dasar dari semua realitas (arche) secara rasional, bukan mitologis. Thales, misalnya, menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari air, suatu pandangan yang menandai peralihan dari mitos ke logos—dari penjelasan mitologis menuju pemikiran rasional.²

Selanjutnya, Pythagoras mengembangkan pemikiran matematis dan menghubungkannya dengan keteraturan alam semesta, suatu bentuk awal dari pendekatan ilmiah terhadap realitas.³ Namun, Socrates, Plato, dan Aristoteleslah yang menempatkan filsafat pada puncak awal perkembangan ilmu. Socrates menekankan pentingnya berpikir kritis dan dialog untuk mencari kebenaran moral, sementara Plato mengembangkan teori ide dan dualisme realitas yang berpengaruh luas.⁴

Aristoteles adalah figur penting dalam konteks hubungan antara filsafat dan ilmu. Ia tidak hanya merumuskan logika formal sebagai alat berpikir ilmiah, tetapi juga menulis karya-karya sistematis tentang biologi, fisika, metafisika, etika, dan politik.⁵ Baginya, semua cabang ilmu merupakan bagian dari filsafat, yang diklasifikasikan menjadi tiga jenis: filsafat teoretis (fisika, matematika, dan metafisika), filsafat praktis (etika dan politik), dan filsafat produktif (seni dan teknik).⁶ Ini menegaskan bahwa dalam dunia Yunani kuno, filsafat bukan sekadar refleksi, tetapi merupakan dasar konseptual bagi semua ilmu.

3.2.       Filsafat Sebagai Kerangka Ilmiah

Filsafat, khususnya melalui logika dan epistemologi, membentuk kerangka berpikir ilmiah yang menjadi dasar lahirnya metode ilmiah di kemudian hari. Aristoteles mengembangkan prinsip deduksi logis dan syllogism, yang kelak menjadi bagian dari metode berpikir ilmiah selama berabad-abad.⁷ Bahkan dalam ilmu-ilmu alam seperti fisika dan biologi, Aristoteles memperkenalkan pengamatan sistematis, klasifikasi, dan analisis sebab-akibat (kausalitas) sebagai pendekatan ilmiah terhadap fenomena.⁸

Menurut Bertrand Russell, sains awalnya muncul sebagai bagian dari filsafat karena saat itu manusia belum memiliki cukup data empiris untuk membedakan keduanya.⁹ Maka, pertanyaan-pertanyaan ilmiah seperti apa penyebab gerhana?, apa hakikat materi?, atau bagaimana struktur alam semesta?, semua dibahas oleh para filsuf dalam kerangka metafisika dan kosmologi.

3.3.       Peran Institusi Akademik: Akademia dan Lyceum

Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Plato (Akademia) dan Aristoteles (Lyceum) menjadi cikal bakal sistem pendidikan tinggi dan pusat pengembangan ilmu. Di Akademia, Plato mengajarkan filsafat dalam kaitannya dengan matematika dan astronomi; di Lyceum, Aristoteles mengembangkan program pengamatan dan penelitian sistematis.¹⁰ Filsafat dalam konteks ini bukan sekadar spekulasi abstrak, tetapi fondasi intelektual yang melahirkan disiplin-disiplin ilmu.


Kesimpulan Sementara

Dari uraian di atas, jelas bahwa filsafat adalah fondasi awal dari ilmu pengetahuan, baik dari segi isi maupun metode. Para pemikir besar pada masa awal tidak memisahkan filsafat dari ilmu; keduanya adalah satu kesatuan dalam upaya memahami realitas secara menyeluruh. Oleh karena itu, memahami sejarah filsafat berarti juga memahami akar dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 3–5.

[2]                Bertrand Russell, The History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 24–25.

[3]                Will Durant, The Story of Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1926), 9–10.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 108–110.

[5]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–17.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), 174.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 21.

[8]                Peter Adamson, A History of Philosophy Without Any Gaps: Classical Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2014), 185.

[9]                Bertrand Russell, The History of Western Philosophy, 13.

[10]             Julia Annas, Ancient Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 40–42.


4.           Filsafat dan Perkembangan Ilmu dalam Dunia Islam

Peradaban Islam pada abad pertengahan memainkan peran penting dalam mewarisi, mengembangkan, dan melanjutkan tradisi filsafat yang sebelumnya dibangun oleh peradaban Yunani. Lebih dari sekadar penerus, para filsuf Muslim mengintegrasikan filsafat dengan nilai-nilai keislaman dan menghasilkan sintesis unik yang mendorong lahirnya berbagai cabang ilmu pengetahuan secara sistematis.¹ Filsafat dalam dunia Islam bukan hanya kajian teoretis semata, tetapi menjadi fondasi bagi pengembangan ilmu-ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, bahkan teologi.

4.1.       Gerakan Penerjemahan dan Awal Kebangkitan Intelektual

Kebangkitan intelektual dalam dunia Islam diawali oleh gerakan besar penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, khususnya di era Khalifah al-Ma’mun (abad ke-9 M), yang mendirikan Bayt al-Hikmah di Baghdad.² Karya-karya Aristoteles, Plato, Galen, dan Pythagoras diterjemahkan dan dipelajari secara luas, menjadi pijakan awal perkembangan filsafat dan ilmu dalam Islam.³

Dalam suasana ini, muncul tokoh-tokoh besar yang tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mengembangkan teori-teori ilmiah baru dengan pendekatan rasional dan filosofis. Para pemikir ini tidak melihat filsafat sebagai ancaman terhadap agama, tetapi sebagai alat bantu untuk memahami wahyu secara lebih mendalam dan rasional.

4.2.       Tokoh-Tokoh Filsuf Muslim dan Kontribusinya terhadap Ilmu

1)                  Al-Kindi (w. 873 M)

Al-Kindi dikenal sebagai "filsuf Arab pertama". Ia menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan Islam, melainkan merupakan jalan untuk memahami hikmah Allah dalam ciptaan-Nya.⁴ Al-Kindi menulis ratusan risalah dalam berbagai bidang seperti fisika, kedokteran, matematika, dan logika.⁵

2)                  Al-Farabi (w. 950 M)

Al-Farabi mengembangkan sistem filsafat yang menggabungkan metafisika Aristoteles dan teori kenabian dalam Islam. Ia juga menulis tentang logika, etika, musik, dan politik. Dalam Al-Madina al-Fadilah, Al-Farabi menjelaskan pandangannya tentang masyarakat ideal yang dipimpin oleh orang bijak (filsuf atau nabi), menandakan bahwa filsafat harus berperan dalam membentuk tatanan sosial.⁶

3)                  Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M)

Ibn Sina adalah tokoh monumental dalam filsafat dan ilmu. Karyanya Al-Shifa' (The Book of Healing) mencakup logika, ilmu alam, psikologi, dan metafisika. Dalam bidang kedokteran, Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan utama di Eropa selama berabad-abad.⁷ Ibn Sina menekankan pentingnya akal dalam memahami realitas, termasuk realitas ilahiah.

4)                  Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M)

Ibn Rushd menjadi pembela rasionalisme dan komentator utama karya Aristoteles. Dalam Tahafut al-Tahafut, ia menjawab kritik al-Ghazali terhadap filsafat dan membela penggunaan akal sebagai sarana memahami syariat.⁸ Gagasannya banyak memengaruhi pemikiran Eropa, terutama dalam Renaissance dan kelahiran skolastik Latin.

4.3.       Hubungan Filsafat dan Teologi (Kalam)

Filsafat dalam Islam tidak berkembang tanpa tantangan. Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik keras para filsuf seperti Ibn Sina, terutama dalam persoalan-persoalan metafisika yang dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.⁹ Meski demikian, Al-Ghazali sendiri adalah ahli filsafat yang menggunakan logika dan epistemologi dalam Ihya Ulum al-Din dan Maqasid al-Falasifah, menandakan bahwa ia tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi menentang pemikiran yang melampaui batas wahyu.¹⁰

Ketegangan antara filsafat dan teologi ini justru memperkaya dinamika keilmuan Islam dan menunjukkan adanya dialog intelektual yang kritis namun konstruktif antara akal dan iman.

4.4.       Integrasi Filsafat dan Ilmu dalam Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam klasik, ilmu pengetahuan diklasifikasikan menjadi dua:

·                     Ilmu-naqliyyah (berbasis wahyu): seperti tafsir, hadis, fikih, dan kalam

·                     Ilmu-‘aqliyyah (berbasis akal): seperti filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan astronomi.¹¹

Kedua jenis ilmu ini berkembang beriringan dan saling menguatkan, tidak dipertentangkan secara mutlak. Karena itu, filsafat berperan sebagai fondasi bagi ilmu rasional, baik dalam hal metodologi, logika, maupun kerangka konseptual.


Kesimpulan Sementara

Perkembangan ilmu dalam dunia Islam menunjukkan bahwa filsafat bukanlah “barang asing” dalam tradisi keilmuan Islam. Sebaliknya, ia adalah pilar penting yang menopang perkembangan sains, kedokteran, astronomi, dan matematika dalam peradaban Islam klasik. Penggabungan antara wahyu dan akal yang dilakukan oleh para filsuf Muslim membuktikan bahwa filsafat dapat menjadi jembatan antara agama dan ilmu, bukan penghalang. Warisan ini memberikan kontribusi besar tidak hanya bagi dunia Islam, tetapi juga bagi Eropa dan dunia modern.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 5.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 11–14.

[3]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 30.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 90.

[5]                Nasr, Science and Civilization in Islam, 45.

[6]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 117.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 5–10.

[8]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 64.

[9]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–7.

[10]             Frank Griffel, Al-Ghazali's Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 22–24.

[11]             Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 50.


5.           Ilmu Pengetahuan Modern dan Emansipasi dari Filsafat

Seiring berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan mengalami transformasi besar dari kerangka spekulatif-filosofis menuju pendekatan empiris dan teknis. Periode ini, yang dikenal sebagai Revolusi Ilmiah pada abad ke-16 dan 17 M, menandai awal dari apa yang disebut sebagai emansipasi ilmu dari filsafat. Meskipun filsafat tetap menjadi akar epistemologis, sains modern mulai berkembang secara lebih independen, dengan penekanan kuat pada observasi, eksperimen, dan metode kuantitatif.

5.1.       Revolusi Ilmiah dan Munculnya Metode Empiris

Tokoh-tokoh seperti Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei, Johannes Kepler, dan Isaac Newton memainkan peran penting dalam merombak pandangan lama yang berbasis pada otoritas Aristotelian dan geosentrisme Ptolemeus.¹ Galileo, misalnya, memadukan eksperimen sistematis dengan matematika untuk menyusun hukum gerak, yang menjauhkan ilmu dari spekulasi metafisik dan lebih mendekatkannya pada realitas terukur.²

Pergeseran ini ditandai dengan kelahiran metode ilmiah modern, yang menekankan hipotesis, observasi, verifikasi empiris, dan pengulangan.³ Metode ini dikodifikasikan secara formal oleh ilmuwan seperti Francis Bacon, yang dalam Novum Organum menolak logika silogistik tradisional dan menawarkan induksi eksperimental sebagai pendekatan ilmiah yang lebih kuat.⁴

5.2.       Rasionalisme, Empirisme, dan Pembentukan Ilmu Modern

Pada masa yang sama, muncul dua aliran besar filsafat modern yang turut memengaruhi arah sains: rasionalisme dan empirisme. Tokoh-tokoh rasionalis seperti René Descartes menekankan penggunaan akal sebagai alat utama dalam mencapai pengetahuan, sedangkan kaum empiris seperti John Locke dan David Hume meyakini bahwa semua pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi.⁵

Descartes, misalnya, dalam Discours de la Méthode, menyarankan keraguan metodis sebagai fondasi untuk pengetahuan yang pasti. Ia juga mengembangkan geometri analitik dan menyusun pendekatan deduktif yang berpengaruh besar dalam perkembangan matematika dan fisika.⁶ Namun, sumbangan empirisme terhadap metode observasional sains juga signifikan—khususnya dalam menyusun prinsip validasi ilmiah berdasarkan pengalaman yang dapat diulangi dan diukur.

5.3.       Positivisme dan Pemisahan Sains dari Metafisika

Pada abad ke-19, pemisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan semakin menguat dengan munculnya aliran positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam Cours de philosophie positive, Comte menyatakan bahwa umat manusia telah melalui tiga tahap perkembangan intelektual: teologis, metafisik, dan positif (ilmiah).⁷ Menurutnya, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sah disebut “ilmu,” sedangkan spekulasi metafisik dianggap tidak relevan.

Positivisme mendorong sekularisasi ilmu pengetahuan, menjauhkannya dari pertimbangan nilai, etika, dan metafisika. Hal ini menjadikan ilmu modern tampak “netral,” objektif, dan bebas dari panduan filosofis atau teologis.⁸ Namun, pendekatan ini kemudian dikritik karena mengabaikan dimensi filosofis dan etis dari praktik ilmiah.

5.4.       Dampak Emansipasi Ilmu dari Filsafat

Emansipasi ilmu dari filsafat memang membawa banyak kemajuan—terutama dalam bidang teknologi, kedokteran, industri, dan komunikasi. Namun, pemisahan total antara filsafat dan ilmu menimbulkan beberapa persoalan serius:

·                     Reduksionisme ilmiah, yang hanya mengakui realitas material dan menolak dimensi spiritual atau moral.⁹

·                     Krisis makna, karena sains tidak lagi memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial seperti untuk apa pengetahuan ini digunakan? atau apa dampaknya bagi umat manusia?

·                     Kebutaan etis, ketika teknologi berkembang tanpa kendali moral, seperti dalam kasus senjata nuklir, eksperimen genetik, dan kecerdasan buatan.¹⁰

Tokoh-tokoh filsuf ilmu seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, dan Paul Feyerabend mengingatkan bahwa ilmu bukanlah aktivitas yang bebas nilai, melainkan selalu dipengaruhi oleh paradigma, asumsi filosofis, dan konteks sosial.¹¹ Kuhn, dalam The Structure of Scientific Revolutions, bahkan menegaskan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu bersifat linier dan objektif, melainkan melalui perubahan paradigma yang bersifat revolusioner dan seringkali dipengaruhi faktor non-ilmiah.¹²


Kesimpulan Sementara

Perkembangan ilmu pengetahuan modern memang menunjukkan keberhasilan luar biasa dalam aspek teknis dan praktis, namun emansipasi ilmu dari filsafat juga meninggalkan “lubang eksistensial” dalam kerangka keilmuan. Meskipun sains dapat menjawab bagaimana sesuatu bekerja, filsafat tetap diperlukan untuk menjawab mengapa dan untuk apa hal itu dilakukan. Oleh karena itu, hubungan antara filsafat dan ilmu tidak seharusnya diputus, melainkan perlu direkonstruksi dalam kerangka saling melengkapi.


Footnotes

[1]                Richard S. Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 1–3.

[2]                Stillman Drake, Galileo: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 18–21.

[3]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 19.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding (Oxford: Clarendon Press, 1857), I.4–5.

[5]                Bertrand Russell, The History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 553–560.

[6]                René Descartes, Discourse on the Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18–24.

[7]                Auguste Comte, The Course in Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: Routledge, 1974), 11–13.

[8]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 501.

[9]                Mary Midgley, Science and Poetry (London: Routledge, 2001), 19–21.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–10.

[11]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 40–45.

[12]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–55.


6.           Relevansi Filsafat dalam Dunia Ilmu Saat Ini

Meskipun ilmu pengetahuan modern telah mengalami spesialisasi dan sering kali berjalan secara otonom, peran filsafat tetap vital dalam mengawal arah, metode, dan tujuan ilmu. Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh kemajuan teknologi, kompleksitas sosial, serta problematika etika dan lingkungan, filsafat kembali menunjukkan relevansi esensialnya. Filsafat berfungsi sebagai penyelaras, pengkritik, dan pengarah perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak kehilangan dimensi manusiawinya.

6.1.       Filsafat Ilmu: Mendasari dan Mengkritisi Ilmu

Filsafat ilmu (philosophy of science) merupakan bidang filsafat yang secara langsung mengkaji dasar-dasar konseptual, metodologis, dan epistemologis ilmu. Pertanyaan-pertanyaan seperti Apa yang membedakan ilmu dari non-ilmu?, Apa kriteria kebenaran ilmiah?, atau Bagaimana perubahan teori terjadi dalam sains? adalah bagian dari wilayah kajian ini.

Karl Popper, misalnya, mengemukakan prinsip falsifiabilitas sebagai kriteria utama teori ilmiah. Menurutnya, teori yang tidak bisa diuji dan berpotensi disanggah secara empiris tidak termasuk dalam wilayah ilmu.¹ Gagasan ini membantu membedakan antara sains sejati dan pseudoscience. Sementara itu, Thomas Kuhn menyoroti pentingnya paradigma dalam struktur ilmu. Ia menunjukkan bahwa perubahan ilmiah tidak selalu bersifat kumulatif, tetapi sering berupa revolusi yang menggantikan kerangka berpikir sebelumnya.²

Kedua tokoh ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas dari pengaruh filsafat. Bahkan, struktur dan dinamika perkembangan ilmu tidak dapat dipahami secara utuh tanpa pertimbangan filosofis.

6.2.       Etika Ilmu dan Teknologi: Panduan Moral dalam Kemajuan Sains

Kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa manfaat besar, tetapi juga menciptakan dilema moral dan konsekuensi etis yang tidak bisa dijawab oleh sains itu sendiri. Dalam hal ini, filsafat, khususnya etika terapan, menjadi rambu penting. Contohnya dapat dilihat pada bidang:

·                     Bioetika: terkait dengan transplantasi organ, rekayasa genetika, euthanasia, dan kloning.

·                     Etika lingkungan: berkaitan dengan tanggung jawab manusia terhadap krisis iklim dan ekosistem.

·                     Etika kecerdasan buatan (AI ethics): mempertanyakan implikasi moral dari penggunaan teknologi AI, pengawasan digital, dan otomatisasi kerja.³

Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, mengingatkan bahwa teknologi modern menimbulkan dampak jangka panjang terhadap generasi masa depan, sehingga keputusan ilmiah tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab etis.⁴

6.3.       Filsafat sebagai Penjaga Keutuhan Pandangan Dunia

Filsafat juga memberikan kerangka pandangan dunia (worldview) yang luas dan menyeluruh, di luar batasan disiplin-disiplin ilmu yang sering kali terfragmentasi. Ia membantu manusia merumuskan makna, tujuan, dan nilai dari pengetahuan yang dikumpulkan oleh sains. Sains mungkin bisa menjelaskan bagaimana kehidupan terbentuk, tetapi filsafat mempertanyakan untuk apa manusia hidup.⁵

Dalam dunia akademik yang semakin pragmatis dan teknokratis, filsafat hadir sebagai pengingat bahwa pengetahuan harus diorientasikan kepada kebijaksanaan (wisdom), bukan sekadar efisiensi atau keuntungan.⁶ Pandangan ini mendorong dialog antarilmu, menghidupkan semangat interdisipliner, dan membuka ruang refleksi yang kritis dan humanistik.

6.4.       Filsafat dan Pendidikan Ilmiah

Filsafat juga memainkan peran strategis dalam pendidikan ilmu pengetahuan, terutama dalam mengembangkan kecakapan berpikir kritis, logis, dan reflektif. George F. Kneller menekankan bahwa pendidikan tanpa dasar filosofis cenderung dangkal, sebab tidak mengajarkan cara berpikir, melainkan hanya mengajarkan isi pengetahuan.⁷ Oleh karena itu, integrasi filsafat dalam kurikulum sains sangat penting untuk membentuk ilmuwan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga sadar akan implikasi sosial dan etis dari pekerjaannya.


Kesimpulan Sementara

Filsafat tetap menjadi elemen esensial dalam dinamika ilmu pengetahuan modern. Ia bukan lagi sekadar “ibu” dari ilmu yang telah melahirkan, tetapi juga pengasuh dan pengarah dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu itu sendiri. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, kolaborasi antara filsafat dan ilmu bukan saja bermanfaat, tetapi juga sangat diperlukan demi membangun peradaban yang lebih bijaksana, adil, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–39.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 6–10.

[3]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 23–26.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 4–6.

[5]                Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 51–53.

[6]                Jürgen Mittelstraß, “The Future of Philosophy in the Age of Science,” European Review, vol. 17, no. 1 (2009): 3–10.

[7]                George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Wiley & Sons, 1971), 18–20.


7.           Kritik terhadap Pandangan "Filsafat Tidak Relevan"

Dalam era dominasi teknologi dan sains terapan, sering terdengar klaim bahwa filsafat tidak lagi relevan. Pandangan ini muncul dari anggapan bahwa filsafat adalah spekulatif, tidak praktis, dan tidak menghasilkan solusi konkret seperti yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan modern. Bahkan tokoh sains seperti Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa “filsafat telah mati” karena tidak mampu mengikuti perkembangan sains mutakhir.¹ Namun, klaim semacam ini telah dikritik secara tajam oleh banyak pemikir dan filsuf kontemporer yang melihat bahwa filsafat tetap memiliki peran fundamental dalam membentuk kerangka pemikiran ilmiah, etika, dan peradaban.

7.1.       Kekeliruan Memahami Fungsi Filsafat

Anggapan bahwa filsafat tidak berguna seringkali didasarkan pada pemahaman yang sempit terhadap fungsi filsafat. Filsafat bukanlah ilmu praktis yang memberikan jawaban teknis, tetapi merupakan ilmu reflektif yang mempertanyakan dasar-dasar dari pengetahuan, keberadaan, dan nilai.² Ia tidak bersaing dengan sains dalam menjelaskan fenomena empiris, tetapi mendasari mengapa dan bagaimana kita bisa memahami sesuatu secara rasional dan bermakna.

Bertrand Russell menyatakan bahwa filsafat tidak menjanjikan kepastian seperti matematika atau fisika, tetapi justru membuka ruang luas untuk kebebasan berpikir dan pelebaran wawasan intelektual.³ Tanpa filsafat, ilmu akan cenderung bersifat sempit, reduksionis, dan kehilangan dimensi nilai serta makna.

7.2.       Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan: Masih Dibutuhkan

Meskipun ilmu modern telah berkembang menjadi sangat spesifik dan teknis, ia tetap memerlukan filsafat sebagai landasan epistemologis dan metodologis. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa perubahan besar dalam ilmu pengetahuan terjadi bukan hanya karena data baru, tetapi karena pergeseran paradigma—kerangka berpikir yang bersifat filosofis.⁴

Karl Popper juga menegaskan bahwa pengujian hipotesis ilmiah dan kriteria demarkasi antara ilmu dan non-ilmu adalah pertanyaan filosofis, bukan ilmiah dalam arti teknis.⁵ Tanpa filsafat, ilmu tidak akan memiliki alat untuk mengoreksi dirinya sendiri dan dapat terjebak dalam dogmatisme.

7.3.       Peran Etika dan Filsafat Moral di Era Teknologi

Kemajuan teknologi tanpa panduan moral dapat mengarah pada dehumanisasi dan bahaya etis. Bioetika, etika AI, dan etika lingkungan merupakan cabang yang justru berkembang karena dorongan refleksi filosofis terhadap realitas kontemporer. Filsuf seperti Hans Jonas mengingatkan bahwa dalam dunia yang semakin digerakkan oleh teknologi, tanggung jawab etis harus menjadi bagian integral dari keputusan ilmiah.⁶

Jika filsafat dianggap tidak relevan, maka siapa yang akan mempertanyakan:

·                     Apakah boleh manusia merekayasa genetika sesukanya?

·                     Apakah penggunaan AI dalam militer bermoral?

·                     Apa batas kewenangan negara dalam mengontrol data pribadi warga?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh data atau algoritma, tetapi menuntut pemikiran filosofis yang mendalam.

7.4.       Filsafat sebagai Penjaga Rasionalitas dan Kemanusiaan

Filsafat juga berperan sebagai penjaga rasionalitas, terutama dalam menghadapi arus informasi, hoaks, dan polarisasi pandangan dunia. Melalui kajian logika, epistemologi, dan etika, filsafat melatih kemampuan berpikir kritis dan reflektif, yang sangat diperlukan di era banjir informasi dan post-truth.⁷

Martha Nussbaum bahkan menyatakan bahwa masyarakat yang mengabaikan filsafat dan humaniora akan menghasilkan warga yang tidak mampu berpikir mandiri dan tidak memiliki empati sosial.⁸ Dalam konteks ini, filsafat menjadi bagian dari “pembebasan manusia” dari belenggu ideologi sempit dan cara berpikir mekanistik.


Kesimpulan Sementara

Pandangan bahwa filsafat tidak relevan adalah sebuah kekeliruan konseptual dan historis. Justru di tengah kompleksitas zaman modern, filsafat semakin dibutuhkan untuk menyediakan kerangka reflektif, etis, dan rasional bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebijakan publik. Ia bukan pesaing sains, melainkan partner intelektual yang memastikan bahwa sains tetap manusiawi, bermakna, dan berorientasi pada kebaikan bersama.


Footnotes

[1]                Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 5.

[2]                Julian Baggini, The Pig That Wants to Be Eaten: 100 Experiments for the Armchair Philosopher (London: Granta Books, 2005), 1–3.

[3]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 90–91.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 77–90.

[5]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 40–45.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–10.

[7]                Stephen Toulmin, Return to Reason (Cambridge: Harvard University Press, 2001), 23–25.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–18.


8.           Kesimpulan

Sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan menunjukkan dengan sangat jelas bahwa filsafat merupakan fondasi awal dari segala bentuk pencarian ilmiah. Mulai dari masa Yunani Kuno, ketika filsuf-filsuf seperti Thales dan Aristoteles merumuskan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakikat alam semesta, hingga zaman keemasan Islam yang memperlihatkan integrasi harmonis antara filsafat, wahyu, dan ilmu—filsafat telah memainkan peran sebagai “ibu dari ilmu pengetahuan.”¹

Meskipun sejak Revolusi Ilmiah ilmu pengetahuan mulai berkembang secara mandiri dan membangun metodenya sendiri yang bersifat empiris dan eksperimental, filsafat tetap memberikan kerangka konseptual dan kritik metodologis yang esensial.² Kontribusi pemikir seperti Descartes, Bacon, Popper, dan Kuhn membuktikan bahwa pemisahan total antara filsafat dan ilmu pengetahuan tidak pernah benar-benar terjadi. Ilmu tetap membutuhkan filsafat untuk menjawab pertanyaan mendasar seputar metodologi, validitas, tujuan, dan tanggung jawab etis.

Di era modern dan kontemporer, ketika sains dan teknologi berkembang sangat cepat, relevansi filsafat justru semakin meningkat. Kompleksitas problematika bioetika, krisis lingkungan, kecerdasan buatan, serta isu-isu kemanusiaan yang muncul akibat perkembangan sains menuntut kehadiran refleksi filosofis yang jernih dan kritis.³ Filsafat hadir tidak hanya sebagai pengingat batas-batas etis dan epistemologis ilmu, tetapi juga sebagai penunjuk arah bagi peradaban agar tidak terjerumus dalam bahaya dehumanisasi dan kehilangan makna.

Lebih dari itu, filsafat berperan besar dalam membentuk kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan transdisipliner—kompetensi yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan dan pengambilan keputusan kebijakan publik.⁴ Filsafat memberikan visi yang melampaui sekadar data dan efisiensi, yakni visi tentang kebijaksanaan, keadilan, dan kemanusiaan yang utuh.

Karenanya, pernyataan bahwa “filsafat tidak lagi relevan” merupakan bentuk penyederhanaan yang menyesatkan. Justru di tengah tantangan global yang semakin kompleks, filsafat dan ilmu pengetahuan harus kembali berjalan beriringan. Ilmu tanpa filsafat akan kehilangan nilai, dan filsafat tanpa ilmu akan kehilangan realitas.⁵ Keduanya harus saling menyempurnakan demi membangun peradaban yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga matang secara etis dan bijak secara intelektual.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 5–10.

[2]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 3–6.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 1–5.

[4]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 47–51.

[5]                Jürgen Mittelstraß, “The Future of Philosophy in the Age of Science,” European Review, vol. 17, no. 1 (2009): 3–10.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2014). Classical philosophy: A history of philosophy without any gaps. Oxford University Press.

Annas, J. (2000). Ancient philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.

Bacon, F. (1857). Novum organum (J. Spedding, Trans.). Clarendon Press. (Original work published 1620)

Baggini, J. (2005). The pig that wants to be eaten: 100 experiments for the armchair philosopher. Granta Books.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. 1: Greece and Rome. Image Books.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1637)

Drake, S. (2001). Galileo: A very short introduction. Oxford University Press.

Durant, W. (1926). The story of philosophy. Simon and Schuster.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford University Press.

Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An introduction to the philosophy of science. University of Chicago Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali's philosophical theology. Oxford University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society. Routledge.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kenny, A. (2004). Ancient philosophy. Oxford University Press.

Kneller, G. F. (1971). Introduction to the philosophy of education. John Wiley & Sons.

Kuhn, T. S. (1996). The structure of scientific revolutions (3rd ed.). University of Chicago Press.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Clarendon Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Midgley, M. (2001). Science and poetry. Routledge.

Mittelstraß, J. (2009). The future of philosophy in the age of science. European Review, 17(1), 3–10. https://doi.org/10.1017/S1062798709000025

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1934)

Rosenthal, F. (1975). The classical heritage in Islam. Routledge & Kegan Paul.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Russell, B. (1946). The history of western philosophy. George Allen & Unwin.

Tarnas, R. (1991). The passion of the western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine Books.

Toulmin, S. (2001). Return to reason. Harvard University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Westfall, R. S. (1971). The construction of modern science: Mechanisms and mechanics. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar