Jumat, 02 Mei 2025

Legalism (法家, Fajia): Filsafat Ketertiban dan Kekuasaan dalam Tradisi Politik Tiongkok Kuno

Legalism (法家, Fajia)

Filsafat Ketertiban dan Kekuasaan dalam Tradisi Politik Tiongkok Kuno


Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan Geografis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang Legalism (法家, Fajia), salah satu aliran filsafat politik paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok kuno. Legalism berkembang dalam konteks kekacauan sosial-politik pada masa Periode Negara-Negara Berperang dan menawarkan pendekatan pragmatis terhadap pemerintahan melalui prinsip-prinsip fa (hukum), shu (teknik administrasi), dan shi (otoritas institusional). Artikel ini mengulas kontribusi para tokoh utama seperti Shang Yang, Shen Buhai, Shen Dao, dan Han Feizi, serta mengkaji penerapan praktis ajaran Legalist dalam reformasi negara Qin hingga berdirinya Dinasti Qin pada 221 SM. Selain itu, artikel ini menguraikan kritik-kritik dari Konfusianisme, Mohisme, dan Taoisme terhadap pendekatan Legalist yang dianggap terlalu represif dan tidak bermoral. Dalam konteks kontemporer, Legalism ditinjau ulang melalui lensa sistem politik modern Tiongkok, diskursus global tentang hukum dan kekuasaan, serta sebagai cikal bakal teori administrasi rasional. Artikel ini menyimpulkan bahwa meskipun Legalism efektif dalam menata struktur negara, penerapannya harus diimbangi dengan nilai-nilai etika agar kekuasaan tidak berujung pada despotisme.

Kata Kunci: Legalism; Filsafat Tiongkok Kuno; Hukum dan Kekuasaan; Shang Yang; Han Feizi; Qin; Rule by Law; Meritokrasi; Otoritarianisme; Diskursus Politik Kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Legalism (法家, Fajia) Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat Tiongkok kuno merupakan ladang pemikiran yang sangat kaya dan beragam, mencerminkan dinamika sosial-politik yang intens di era Zhou Timur, khususnya dalam masa Periode Negara-Negara Berperang (475–221 SM). Pada masa inilah muncul berbagai aliran pemikiran yang dikenal sebagai "Seratus Aliran Pemikiran" (baijia zhi yan, 百家之言), yang bersaing untuk menawarkan solusi atas kekacauan sosial, politik, dan moral yang melanda Tiongkok saat itu¹.

Salah satu aliran yang paling menonjol dari segi praktikalitas dan pengaruh institusional adalah Legalism (法家, Fajia). Berbeda dengan Konfusianisme yang menekankan moralitas, relasi sosial harmonis, dan kultivasi diri, Legalism justru menekankan pentingnya hukum yang ketat (fa), teknik administrasi (shu), dan kekuasaan institusional (shi) sebagai fondasi utama ketertiban negara². Aliran ini berpandangan bahwa manusia pada dasarnya egoistik dan cenderung mementingkan kepentingan pribadi; oleh karena itu, hanya sistem hukum yang objektif dan tak pandang bulu yang mampu mengendalikan perilaku masyarakat secara efektif³.

Legalism berkembang dalam konteks kebutuhan akan stabilitas dan sentralisasi kekuasaan, terutama ketika para penguasa feodal bersaing memperebutkan dominasi politik. Dalam kerangka ini, tokoh-tokoh seperti Shang Yang, Shen Buhai, dan Han Feizi menawarkan gagasan-gagasan yang berorientasi pada efisiensi pemerintahan dan ketundukan terhadap hukum sebagai jalan untuk membangun negara yang kuat⁴. Pemikiran mereka kemudian diadopsi oleh negara Qin dan menjadi ideologi dominan ketika Qin Shi Huang mendirikan kekaisaran pertama Tiongkok pada 221 SM⁵.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis perkembangan, prinsip-prinsip dasar, serta warisan filsafat Legalism. Selain itu, pembahasan ini juga menyoroti kritik terhadap Legalism dari sudut pandang aliran lain dan mengkaji kemungkinan relevansinya dalam diskursus politik kontemporer, terutama terkait dengan birokrasi modern dan bentuk-bentuk kekuasaan negara⁶. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya menyajikan tinjauan sejarah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan aktualitas Legalism dalam tatanan politik global masa kini.


Footnote

[1]                Robin D. S. Yates, “Early China: A Social and Cultural History” (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 142.

[2]                Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020), 193.

[3]                Herrlee G. Creel, Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 121–123.

[4]                A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 267–275.

[5]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 23.

[6]                Daniel A. Bell and Zhang Weiwei, “The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy”, Philosophy & Social Criticism 44, no. 4 (2018): 417–433.


2.           Konteks Historis Kelahiran Legalism

Legalism lahir dan berkembang dalam konteks pergolakan sosial-politik yang sangat intens di Tiongkok kuno, khususnya selama Periode Negara-Negara Berperang (Zhanguo shidai, 475–221 SM). Masa ini ditandai oleh keruntuhan struktur kekuasaan terpusat Dinasti Zhou dan munculnya negara-negara regional yang saling bersaing secara militer dan politik. Ketidakstabilan tersebut menciptakan kebutuhan mendesak akan sistem pemerintahan yang kuat dan terorganisir, serta tatanan hukum yang dapat menjamin kelangsungan negara⁽¹⁾.

Selama periode ini, para penguasa feodal mengalami tekanan besar untuk memperkuat militer, memobilisasi sumber daya ekonomi, dan menegakkan kekuasaan pusat. Konfusius (Kongzi) dan para pengikutnya menawarkan solusi melalui pembentukan tatanan moral dan etika yang harmonis, sementara Mohisme (墨家) mengajukan prinsip utilitarianisme dan universal love (jian ai) sebagai solusi atas konflik. Namun, Legalism muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan pendekatan moralistik yang dianggap terlalu idealis dan tidak efektif dalam situasi krisis⁽²⁾.

Para pemikir Legalism meyakini bahwa kekacauan dan kelemahan negara berasal dari sistem sosial yang terlalu longgar, aturan yang tidak ditegakkan dengan konsisten, dan dominasi para bangsawan yang tidak tunduk pada otoritas pusat. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya hukum (fa) yang tegas dan menyeluruh, teknik pemerintahan (shu) yang rasional, serta otoritas politik (shi) yang bersumber dari kekuasaan, bukan karakter pribadi⁽³⁾.

Shang Yang (商鞅), seorang reformator dari negara Qin, memainkan peran kunci dalam penerapan prinsip-prinsip Legalism secara sistematis. Ia memperkenalkan reformasi radikal seperti penghapusan hak istimewa kaum bangsawan, pemberlakuan sistem meritokrasi militer, serta penerapan hukum yang ketat dan impersonal⁽⁴⁾. Reformasi Shang Yang menunjukkan bagaimana Legalism tidak sekadar teori filsafat, melainkan juga doktrin politik praktis yang diarahkan untuk membangun negara kuat yang efisien dan terpusat.

Dalam kerangka ini, Legalism merepresentasikan respons realistik dan utilitarian terhadap kebutuhan zaman. Aliran ini menolak prinsip-prinsip normatif tradisional, dan sebagai gantinya, mengutamakan kebijakan politik yang fungsional dan rasional demi stabilitas negara. Tidak mengherankan bila kemudian negara Qin, yang paling konsisten menerapkan prinsip Legalism, mampu menaklukkan negara-negara saingannya dan menyatukan Tiongkok pada 221 SM⁽⁵⁾.

Dengan demikian, Legalism tumbuh dari realitas politik yang keras, dan menemukan justifikasi filosofisnya dalam upaya membentuk tatanan sosial yang tidak bergantung pada moralitas pribadi, melainkan pada struktur kekuasaan dan hukum yang objektif.


Footnote

[1]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 9–12.

[2]                Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in Early Chinese Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005), 61–62.

[3]                Herrlee G. Creel, The Origins of Statecraft in China, Volume 1: The Western Chou Empire (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 187–189.

[4]                A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 268–270.

[5]                Yuri Pines, The Everlasting Empire: The Political Culture of Ancient China and Its Imperial Legacy (Princeton: Princeton University Press, 2012), 43–45.


3.           Tokoh-Tokoh Utama Legalism

Filsafat Legalism tidak dibangun oleh satu individu, melainkan merupakan sintesis dari gagasan-gagasan beberapa pemikir besar yang hidup dalam Periode Negara-Negara Berperang. Masing-masing tokoh memberikan kontribusi yang khas dalam membentuk sistem pemikiran Legalism yang akhirnya dipakai sebagai dasar ideologis pemerintahan Dinasti Qin. Di antara tokoh-tokoh tersebut, empat yang paling berpengaruh adalah Shang Yang, Shen Buhai, Shen Dao, dan Han Feizi.

3.1.       Shang Yang (商鞅, wafat 338 SM)

Shang Yang dikenal sebagai arsitek utama reformasi politik di negara Qin. Ia menekankan pentingnya hukum (fa) yang tidak pandang bulu dan diterapkan secara ketat kepada semua lapisan masyarakat. Melalui serangkaian reformasi, seperti penerapan sistem meritokrasi militer, penghapusan hak istimewa bangsawan, dan pemindahan penduduk untuk tujuan kontrol sosial, Shang Yang mentransformasikan Qin menjadi negara yang kuat dan disiplin⁽¹⁾. Dalam Shang Jun Shu (商君), ia menyatakan bahwa hukum harus mengatur perilaku tanpa campur tangan perasaan pribadi penguasa⁽²⁾. Meskipun kemudian ia dihukum mati setelah kematian sang raja yang melindunginya, ide-idenya tetap menjadi tulang punggung sistem pemerintahan Qin.

3.2.       Shen Buhai (申不害, ca. 400–337 SM)

Shen Buhai dikenal sebagai perintis teori administrasi pemerintahan yang disebut shu (), yaitu teknik-teknik manajemen birokrasi yang rasional. Ia menekankan pentingnya evaluasi pejabat berdasarkan kinerja objektif (bukan moralitas), serta penggunaan mekanisme kontrol yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan⁽³⁾. Bagi Shen Buhai, penguasa ideal adalah figur pasif yang mengatur melalui sistem, bukan melalui keterlibatan langsung, sebuah konsep yang kemudian dikenal sebagai non-interference autocracy⁽⁴⁾.

3.3.       Shen Dao (慎到, ca. 350–275 SM)

Shen Dao mengembangkan konsep shi (), yakni otoritas atau kekuatan jabatan yang melekat pada posisi pemerintahan, bukan pada karakter individu. Ia berpendapat bahwa kekuasaan harus dilembagakan agar dapat mengatur masyarakat secara efektif. Dalam pandangannya, hukum dan struktur haruslah impersonal, karena manusia cenderung bertindak berdasarkan kepentingan pribadi⁽⁵⁾. Pemikirannya sangat berpengaruh dalam merumuskan konsep negara otoriter yang stabil melalui kekuasaan institusional.

3.4.       Han Feizi (韩非子, ca. 280–233 SM)

Han Feizi dianggap sebagai sistematisator utama dari ajaran Legalism. Dalam karya monumentalnya Han Feizi, ia menyatukan prinsip fa (hukum), shu (teknik), dan shi (otoritas) menjadi satu sistem pemerintahan yang utuh⁽⁶⁾. Berbeda dari para pendahulunya, Han Feizi menulis dengan gaya argumentatif yang logis dan tajam, menjadikannya sebagai bacaan wajib di kalangan elite Qin. Ia juga mengkritik keras idealisme Konfusianisme dan menegaskan bahwa negara hanya bisa stabil melalui pengawasan ketat dan sanksi tegas. Ironisnya, meskipun idenya diadopsi oleh Qin, ia sendiri wafat di penjara karena intrik politik dalam istana⁽⁷⁾.


Footnote

[1]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 19–22.

[2]                Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese Political Thought of the Warring States Era (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2009), 131.

[3]                Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 45–49.

[4]                Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in Early Chinese Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005), 67–70.

[5]                A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 276.

[6]                Han Feizi, Han Feizi: Basic Writings, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 2003), 17–25.

[7]                Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 322–326.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar Legalism

Filsafat Legalism (法家, Fajia) menawarkan kerangka konseptual pemerintahan yang berfokus pada hukum, teknik administrasi, dan otoritas politik sebagai fondasi utama bagi kestabilan negara. Berbeda dari aliran-aliran filsafat lain di Tiongkok kuno, Legalism menolak penggunaan moralitas pribadi sebagai standar pengelolaan negara. Sebaliknya, aliran ini menyusun pendekatan politik yang bersifat rasional, impersonal, dan sistemik untuk mengatur perilaku manusia yang dipandang pada dasarnya egoistik dan mementingkan diri sendiri⁽¹⁾. Tiga konsep kunci yang membentuk fondasi Legalism adalah Fa (), Shu (), dan Shi ().

4.1.       Fa (): Hukum sebagai Pilar Pemerintahan

Konsep fa merujuk pada hukum dan peraturan yang tegas, seragam, dan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali—termasuk pejabat dan bangsawan. Dalam pandangan Legalism, hukum harus bersifat eksplisit, publik, dan ditegakkan secara konsisten, tanpa mempertimbangkan status sosial, afiliasi personal, atau hubungan kekeluargaan⁽²⁾. Menurut Han Feizi, hukum yang impersonal adalah alat utama untuk menata masyarakat yang kompleks dan menjaga kewibawaan negara⁽³⁾. Oleh karena itu, keadilan dalam Legalism tidak bersumber dari belas kasihan atau kebijaksanaan pribadi, melainkan dari kepatuhan terhadap aturan yang sudah ditetapkan.

4.2.       Shu (): Teknik Administrasi dan Pengendalian Birokrasi

Seni pemerintahan atau shu mengacu pada seperangkat teknik untuk mengelola birokrasi dan pejabat negara secara efisien. Konsep ini dikembangkan terutama oleh Shen Buhai, yang menekankan pentingnya evaluasi kinerja objektif, sistem kontrol internal, dan metode pengawasan terselubung untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang⁽⁴⁾. Dalam sistem shu, penguasa harus menguasai informasi tanpa mengungkapkan dirinya, sehingga dapat memerintah secara efektif melalui struktur tanpa campur tangan langsung. Pendekatan ini membentuk cikal bakal apa yang kini disebut sebagai "otoritarianisme birokratik."

4.3.       Shi (): Kekuasaan sebagai Struktur, Bukan Pribadi

Shi berarti otoritas atau kekuatan institusional yang melekat pada posisi, bukan pada pribadi pemegang kekuasaan. Shen Dao adalah pemikir utama di balik konsep ini. Ia berpandangan bahwa stabilitas pemerintahan hanya dapat dicapai jika otoritas bersumber dari jabatan resmi dan bukan dari karisma atau kebajikan personal penguasa⁽⁵⁾. Dengan demikian, penguasa tidak perlu memiliki moralitas tinggi, tetapi harus mampu memanfaatkan sistem hukum dan administrasi untuk mengendalikan bawahannya.


Pandangan Antropologis: Manusia sebagai Makhluk Egoistik

Sebagai dasar dari seluruh sistemnya, Legalism menganut pandangan bahwa manusia secara kodrati cenderung mementingkan diri dan tidak dapat dipercaya untuk bertindak moral secara konsisten. Oleh sebab itu, hanya sistem yang kuat, tegas, dan impersonal yang dapat mengarahkan tindakan manusia ke arah yang diinginkan negara⁽⁶⁾. Hal ini berbanding terbalik dengan Konfusianisme yang menganggap manusia memiliki potensi kebaikan (ren) dan dapat dibina melalui teladan dan pendidikan.


Secara keseluruhan, prinsip-prinsip dasar Legalism membentuk suatu sistem filsafat politik yang pragmatis, rasional, dan terlepas dari nilai-nilai etis tradisional. Meskipun sering kali dipandang negatif karena asosiasinya dengan otoritarianisme dan represi, Legalism juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sistem hukum dan administrasi negara dalam sejarah Tiongkok.


Footnote

[1]                Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in Early Chinese Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005), 60–63.

[2]                A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 269–272.

[3]                Han Feizi, Han Feizi: Basic Writings, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 2003), 17–20.

[4]                Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 47–51.

[5]                Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 316–318.

[6]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 23–25.


5.           Penerapan Praktis dan Warisan Legalism

Legalism tidak hanya berdiri sebagai sistem filsafat teoritis, tetapi juga menjadi kekuatan penggerak dalam transformasi politik besar di Tiongkok kuno. Penerapannya paling menonjol terlihat dalam reformasi negara Qin dan pencapaian unifikasi Tiongkok di bawah Dinasti Qin pada tahun 221 SM, yang dipimpin oleh Qin Shi Huang. Di bawah pengaruh Legalism, negara Qin memformulasikan kebijakan-kebijakan sentralistik, efisien, dan represif yang menjadikan kekuasaan negara sebagai instrumen utama dalam menciptakan ketertiban sosial⁽¹⁾.

5.1.       Reformasi Shang Yang di Negara Qin

Shang Yang (商鞅), sebagai tokoh Legalism awal, menerapkan reformasi besar-besaran di negara Qin sejak 359 SM. Ia menghapus hak istimewa bangsawan feodal, membagi tanah untuk rakyat yang berprestasi dalam perang, dan memperkenalkan sistem meritokrasi militer. Ia juga menerapkan hukum pidana yang ketat serta sistem pengawasan sosial yang memungkinkan rakyat saling mengawasi dan melaporkan pelanggaran hukum⁽²⁾. Reformasi ini secara drastis meningkatkan efisiensi negara dan memodernisasi administrasi pemerintahan.

5.2.       Penerapan Sistem Legalist di Dinasti Qin

Ketika Qin Shi Huang menyatukan Tiongkok, ia menjadikan prinsip Legalism sebagai ideologi negara. Di bawah bimbingan perdana menteri Li Si, yang merupakan murid Han Feizi, Dinasti Qin mengadopsi sistem hukum seragam, standarisasi tulisan, ukuran, dan mata uang, serta memperkuat kontrol terhadap wilayah melalui birokrasi sentralistik yang kuat⁽³⁾. Walaupun efektif dalam konsolidasi kekuasaan, kebijakan-kebijakan ini sangat represif, termasuk pembakaran buku-buku non-Legalist dan penguburan hidup-hidup para sarjana Konfusian⁽⁴⁾.

5.3.       Aspek Positif dan Negatif Penerapan Legalism

Secara positif, Legalism berhasil menciptakan sistem administrasi yang efisien, memperkuat otoritas negara, dan memungkinkan penyatuan Tiongkok yang sebelumnya terpecah-pecah selama berabad-abad. Sistem hukum yang jelas dan universal juga meningkatkan kepastian hukum dalam masyarakat⁽⁵⁾. Namun, di sisi lain, penekanan berlebihan pada hukuman, pengawasan ketat, dan pengabaian nilai-nilai moral dan kemanusiaan menjadikan pemerintahan Qin sangat otoriter dan kejam, yang pada akhirnya memicu pemberontakan rakyat dan runtuhnya Dinasti Qin hanya 15 tahun setelah berdiri⁽⁶⁾.

5.4.       Warisan Legalism dalam Sejarah Politik Tiongkok

Meskipun Qin runtuh, banyak prinsip Legalism diadopsi dan disesuaikan oleh Dinasti Han (206 SM–220 M). Han tidak menolak Legalism sepenuhnya, tetapi mengombinasikannya dengan Konfusianisme—sebuah strategi sinergistik yang dikenal sebagai Legalist instrumentation with Confucian justifications⁽⁷⁾. Warisan Legalism terlihat dalam struktur birokrasi kekaisaran Tiongkok yang bertahan hingga abad ke-20, serta dalam praktik hukum dan administrasi negara modern Tiongkok.

Lebih jauh, Legalism telah membentuk fondasi bagi kecenderungan politik sentralistik dalam sejarah Tiongkok, dan terus menjadi bahan refleksi dalam diskusi tentang pemerintahan otoriter, efisiensi birokrasi, dan rule by law di era kontemporer⁽⁸⁾.


Footnote

[1]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 18–22.

[2]                Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese Political Thought of the Warring States Era (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2009), 135–138.

[3]                Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020), 199–201.

[4]                A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 270–274.

[5]                Herrlee G. Creel, Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 123–126.

[6]                Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 329–331.

[7]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1992), 379–381.

[8]                Daniel A. Bell, The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2015), 52–55.


6.           Kritik dan Perbandingan dengan Aliran Lain

Legalism, meskipun memberikan fondasi struktural bagi sistem pemerintahan yang kuat dan terpusat, tidak luput dari kritik tajam, baik pada masa kuno maupun dalam diskursus kontemporer. Sebagian besar kritik berasal dari aliran filsafat lain yang berkembang pada periode yang sama, terutama Konfusianisme, Mohisme, dan Taoisme, yang menawarkan pendekatan berbeda terhadap pemerintahan, etika, dan relasi sosial.

6.1.       Kritik dari Konfusianisme: Moralitas sebagai Dasar Pemerintahan

Konfusianisme, yang dipelopori oleh Kongzi (Confucius) dan diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Mencius (Mengzi) dan Xunzi, secara eksplisit menentang pendekatan Legalist yang dianggap terlalu mekanistik dan represif. Konfusianisme menekankan bahwa pemerintahan yang ideal haruslah berlandaskan pada kebajikan (, ren), keharmonisan sosial, dan keteladanan moral pemimpin. Mencius berargumen bahwa sifat dasar manusia pada dasarnya baik dan bisa dibina melalui pendidikan serta pengaruh lingkungan yang positif⁽¹⁾. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan dan hukuman yang berlebihan sebagaimana diterapkan oleh para Legalist dianggap sebagai bentuk kegagalan moral dalam mengelola masyarakat⁽²⁾.

Namun, Xunzi yang lebih realistis dalam pandangannya tentang manusia (ia beranggapan bahwa sifat dasar manusia itu jahat) tetap tidak mendukung prinsip Legalist. Ia tetap berpegang bahwa perubahan perilaku harus dilakukan melalui pendidikan moral dan ritual sosial, bukan melalui ancaman dan penghukuman⁽³⁾. Ini menunjukkan bahwa meskipun Konfusianisme mengenali potensi negatif manusia, solusinya tetap bersifat etis, bukan teknokratis.

6.2.       Kritik dari Mohisme: Utilitarianisme dan Keadilan Sosial

Mohisme, yang dipelopori oleh Mozi, memberikan kritik yang berbeda terhadap Legalism. Ia menolak baik pendekatan ritualistik Konfusianisme maupun pendekatan koersif Legalism. Mohisme menekankan prinsip jian ai (兼愛), atau cinta universal, serta konsep keadilan sosial berbasis manfaat kolektif. Dalam konteks ini, Legalism dianggap terlalu menekankan kontrol negara dan gagal mengembangkan semangat solidaritas antarindividu⁽⁴⁾. Bagi Mohisme, tujuan utama pemerintahan adalah meminimalisir penderitaan dan memaksimalkan kesejahteraan rakyat—suatu pendekatan utilitarian yang menghindari kekerasan struktural seperti yang terlihat dalam praktik Legalist.

6.3.       Kritik dari Taoisme: Penolakan terhadap Intervensi dan Hukum Buatan

Taoisme, khususnya sebagaimana diajarkan oleh Laozi dan Zhuangzi, secara filosofis menolak prinsip dasar Legalism. Taoisme menekankan keterpaduan dengan Dao ()hukum alam yang tidak tertulis, dan menilai bahwa intervensi manusia, terutama dalam bentuk hukum dan regulasi, justru menciptakan ketidakseimbangan dan penderitaan⁽⁵⁾. Laozi dalam Dao De Jing mengajukan prinsip wu wei (無為), atau bertindak tanpa memaksakan kehendak, yang berlawanan langsung dengan pendekatan Legalist yang sangat proaktif dan koersif dalam mengatur masyarakat⁽⁶⁾. Zhuangzi menambahkan bahwa kebebasan individu dan ketidakterikatan terhadap struktur formal lebih sesuai dengan kodrat alamiah manusia⁽⁷⁾.

6.4.       Perbandingan Paradigmatik

Perbedaan prinsip antara Legalism dan aliran filsafat Tiongkok lainnya seperti Konfusianisme, Mohisme, dan Taoisme dapat dijabarkan sebagai berikut:

·                     Pandangan tentang Hakikat Manusia

Legalism: Menganggap manusia secara kodrati egoistik dan cenderung bertindak demi kepentingan pribadi; karena itu, perlu dikendalikan dengan hukum yang tegas.

Konfusianisme: Meyakini bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi kebaikan (ren) yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral dan keteladanan.

Mohisme: Mengambil posisi netral terhadap sifat dasar manusia, namun menekankan bahwa manusia harus diarahkan untuk mencapai manfaat kolektif.

Taoisme: Mempercayai bahwa sebagian manusia dapat hidup harmonis secara alamiah jika tidak terganggu oleh sistem buatan dan aturan eksternal.

·                     Instrumen Utama dalam Pemerintahan

Legalism: Mengandalkan hukum positif (fa), teknik administrasi (shu), dan kekuasaan institusional (shi) sebagai alat kontrol sosial.

Konfusianisme: Menyandarkan pemerintahan pada moralitas, etika pribadi, dan keteladanan pemimpin sebagai bentuk pengaruh tanpa paksaan.

Mohisme: Mengedepankan prinsip jian ai (cinta universal) dan keadilan yang berbasis pada manfaat umum serta efisiensi sosial.

Taoisme: Menolak intervensi aktif pemerintah; lebih memilih prinsip wu wei (non-intervensi) untuk membiarkan alam dan masyarakat berkembang sesuai kodratnya.

·                     Tujuan Akhir dari Pemerintahan

Legalism: Fokus utama adalah menciptakan ketertiban, stabilitas, dan kepatuhan terhadap negara melalui sistem yang kuat.

Konfusianisme: Bertujuan membentuk masyarakat yang harmonis, penuh rasa hormat, dan teratur berdasarkan etika relasional.

Mohisme: Memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan pengurangan penderitaan melalui kebijakan yang fungsional.

Taoisme: Menekankan pencapaian kesesuaian dengan Dao (jalan alam semesta), yakni keadaan bebas, tidak memaksa, dan seimbang secara alami.


Perbandingan ini memperlihatkan bahwa Legalism menempati spektrum paling teknokratik dan struktural, sementara aliran lain lebih menekankan pendekatan moral, sosial, atau spiritual terhadap tatanan masyarakat.


Footnote

[1]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 93–96.

[2]                Mencius, Mengzi, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin Books, 1970), 131–135.

[3]                Xunzi, Basic Writings, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 2003), 87–90.

[4]                Angus C. Graham, Later Mohist Logic, Ethics and Science (Hong Kong: Chinese University Press, 1978), 34–38.

[5]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1992), 212–217.

[6]                Laozi, Dao De Jing, trans. D. C. Lau (London: Penguin Books, 1963), chs. 17, 57.

[7]                Zhuangzi, The Book of Chuang Tzu, trans. Martin Palmer (London: Penguin Books, 1996), 37–41.


7.           Relevansi dan Interpretasi Kontemporer Legalism

Meskipun lahir lebih dari dua milenium lalu, warisan intelektual Legalism (法家, Fajia) masih terus bergema dalam diskursus politik dan pemerintahan kontemporer, baik di Tiongkok maupun dalam pembicaraan global tentang otoritarianisme, birokrasi, dan supremasi hukum. Legalism dianggap sebagai salah satu fondasi historis dari pola pemerintahan terpusat yang telah mendominasi peradaban Tiongkok sejak era kekaisaran⁽¹⁾.

7.1.       Legalism dan Politik Tiongkok Modern

Beberapa pengamat menilai bahwa praktik-praktik pemerintahan modern di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), terutama dalam hal penguatan negara, pengawasan sosial, dan penegakan hukum secara ketat, menunjukkan kemiripan struktural dengan prinsip-prinsip Legalism. Daniel A. Bell dan Zhang Weiwei, dalam analisis mereka mengenai China Model, menggarisbawahi bahwa sistem meritokrasi politik yang ketat, pemusatan kekuasaan pada elit terlatih, serta penekanan pada stabilitas nasional, dapat dilihat sebagai bentuk revitalisasi Legalist dalam bentuk kontemporer⁽²⁾.

Walaupun tidak secara eksplisit mengklaim Legalism sebagai sumber inspirasional resmi, sejumlah kebijakan Partai Komunis Tiongkok dalam dekade terakhir—seperti kampanye anti-korupsi yang keras, digitalisasi pengawasan warga, dan sentralisasi otoritas negara—dapat ditafsirkan sebagai penerapan prinsip-prinsip fa (aturan tegas) dan shu (manajemen efektif), yang telah dirumuskan sejak era Shang Yang dan Han Feizi⁽³⁾.

7.2.       Perdebatan antara Rule of Law dan Rule by Law

Dalam konteks filsafat hukum, Legalism sering dikritik karena mengusung konsep rule by law alih-alih rule of law. Dalam rule by law, hukum diperlakukan sebagai alat negara untuk menertibkan rakyat, sementara dalam rule of law, hukum berdiri di atas dan mengatur negara itu sendiri. Kritik ini menjadi penting dalam perdebatan internasional mengenai supremasi hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi liberal⁽⁴⁾.

Legalism memberikan pelajaran penting tentang bahaya penggunaan hukum yang tidak dibarengi oleh prinsip keadilan substantif. Ketika hukum tidak didasarkan pada nilai moral atau partisipasi rakyat, maka ia dapat menjadi sarana represi yang sah secara formal namun zalim secara moral⁽⁵⁾.

7.3.       Legalism sebagai Model Efisiensi Birokratik

Selain dalam konteks politik otoriter, Legalism juga menjadi rujukan dalam studi administrasi publik. Konsep shu yang dikembangkan Shen Buhai, mengenai teknik pengelolaan birokrasi berdasarkan evaluasi objektif dan prinsip meritokrasi, menginspirasi model-model manajemen modern yang menekankan efisiensi, akuntabilitas, dan profesionalisme⁽⁶⁾.

Legalism, dalam aspek ini, bisa dipandang sebagai cikal bakal teori manajemen birokrasi yang dikembangkan Max Weber, meskipun tanpa fondasi liberal-demokratik. Sistem seleksi pejabat melalui ujian dan penilaian kinerja telah menjadi ciri khas birokrasi Tiongkok sejak Dinasti Han dan masih terlihat dalam sistem seleksi elite politik di RRT⁽⁷⁾.

7.4.       Refleksi Etis dan Wacana Global

Di luar Tiongkok, Legalism sering menjadi objek refleksi dalam diskusi tentang batas antara keamanan dan kebebasan, serta antara stabilitas dan keadilan. Di era di mana negara-negara menghadapi tantangan terorisme, pandemik, dan disinformasi digital, muncul kecenderungan global untuk mengadopsi langkah-langkah pengendalian yang ketat, yang secara struktural menyerupai pendekatan Legalist⁽⁸⁾.

Pertanyaannya adalah: sejauh mana negara boleh menggunakan kekuasaan hukum demi stabilitas, tanpa melanggar hak individu? Legalism memberikan kerangka teoretis yang relevan, tetapi juga peringatan historis mengenai bahaya absolutisme hukum yang tidak berbasis etika.


Footnote

[1]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 19–25.

[2]                Daniel A. Bell and Zhang Weiwei, “The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy”, Philosophy & Social Criticism 44, no. 4 (2018): 417–433.

[3]                Yuri Pines, The Everlasting Empire: The Political Culture of Ancient China and Its Imperial Legacy (Princeton: Princeton University Press, 2012), 161–164.

[4]                Randall Peerenboom, China’s Long March Toward Rule of Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 8–11.

[5]                Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020), 202–205.

[6]                Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 55–58.

[7]                Pierre-Etienne Will and R. Bin Wong, Nourish the People: The State Civilian Granary System in China, 1650–1850 (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1991), 23–26.

[8]                Eric Schmidt and Jared Cohen, The New Digital Age: Reshaping the Future of People, Nations and Business (New York: Knopf, 2013), 154–157.


8.           Kesimpulan

Legalism (法家, Fajia) merupakan salah satu aliran filsafat paling berpengaruh dalam sejarah intelektual dan politik Tiongkok kuno. Berbeda dengan aliran-aliran besar lainnya seperti Konfusianisme dan Taoisme, Legalism menyuguhkan pendekatan pragmatis, struktural, dan impersonal terhadap persoalan ketertiban sosial dan stabilitas negara. Dengan menekankan pentingnya hukum (fa), teknik administrasi (shu), dan kekuasaan institusional (shi), Legalism menawarkan model pemerintahan yang efisien, terpusat, dan tahan terhadap pergantian individu penguasa⁽¹⁾.

Kekuatan utama Legalism terletak pada kemampuannya menginstitusionalisasi kekuasaan negara dan merumuskan perangkat hukum yang objektif sebagai dasar relasi antara pemerintah dan rakyat. Kontribusi ini terbukti efektif dalam konteks negara Qin yang berhasil menyatukan Tiongkok pada 221 SM melalui penerapan prinsip-prinsip Legalist secara sistemik⁽²⁾. Namun, keberhasilan tersebut dibayangi oleh dampak negatif seperti represi ekstrem, pengabaian nilai-nilai moral, dan kegagalan dalam membangun legitimasi sosial jangka panjang. Dinasti Qin runtuh hanya 15 tahun setelah didirikan, menjadi pengingat bahwa efektivitas administratif tanpa dukungan moral dan sosial dapat berujung pada ketidakstabilan politik⁽³⁾.

Dalam lintasan sejarah selanjutnya, warisan Legalism tidak sepenuhnya ditinggalkan. Dinasti Han, misalnya, mengadopsi pendekatan hibrid yang memadukan struktur Legalist dengan etika Konfusianis, menciptakan model pemerintahan yang lebih stabil dan adaptif⁽⁴⁾. Bahkan hingga masa modern, prinsip-prinsip Legalist seperti meritokrasi, efisiensi birokrasi, dan supremasi aturan tetap hidup dalam berbagai bentuk di Tiongkok maupun dalam pemikiran politik global.

Namun demikian, Legalism juga memunculkan tantangan etis yang relevan hingga kini: bagaimana menyeimbangkan ketertiban dan keadilan, kekuasaan dan kebebasan, hukum dan moralitas. Kritik yang ditujukan pada Legalism dari aliran filsafat lain menegaskan pentingnya pendekatan holistik dalam pemerintahan yang tidak hanya menata struktur, tetapi juga memelihara dimensi kemanusiaan dan etika⁽⁵⁾.

Oleh karena itu, memahami Legalism bukan hanya berarti menelaah warisan kuno, tetapi juga merefleksikan ulang dinamika hubungan antara negara, hukum, dan rakyat di era modern. Dalam dunia yang diwarnai oleh ketegangan antara demokrasi dan otoritarianisme, Legalism tetap menjadi bahan perenungan penting bagi siapa pun yang ingin memahami kekuasaan—baik untuk memanfaatkannya, membatasinya, maupun mengendalikannya secara adil.


Footnote

[1]                Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020), 193–199.

[2]                Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese Political Thought of the Warring States Era (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2009), 140–145.

[3]                Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 29–31.

[4]                Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 331–334.

[5]                Daniel A. Bell, The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2015), 102–107.


Daftar Pustaka

Bell, D. A. (2015). The China model: Political meritocracy and the limits of democracy. Princeton University Press.

Bell, D. A., & Zhang, W. (2018). The China model: Political meritocracy and the limits of democracy. Philosophy & Social Criticism, 44(4), 417–433. https://doi.org/10.1177/0191453718757653

Creel, H. G. (1953). Chinese thought from Confucius to Mao Tse-tung. University of Chicago Press.

Creel, H. G. (1974). Shen Pu-Hai: A Chinese political philosopher of the fourth century B.C. University of Chicago Press.

Graham, A. C. (1989). Disputers of the Tao: Philosophical argument in ancient China. Open Court.

Graham, A. C. (1978). Later Mohist logic, ethics and science. Chinese University Press.

Goldin, P. R. (2005). After Confucius: Studies in early Chinese philosophy. University of Hawai‘i Press.

Goldin, P. R. (2020). The art of Chinese philosophy: Eight classical texts and how to read them. Princeton University Press.

Hansen, C. (1992). A Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. Oxford University Press.

Han Feizi. (2003). Han Feizi: Basic writings (B. Watson, Trans.). Columbia University Press.

Laozi. (1963). Tao te ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.

Lewis, M. E. (2007). The early Chinese empires: Qin and Han. Belknap Press of Harvard University Press.

Mencius. (1970). Mengzi (D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.

Peerenboom, R. (2002). China’s long march toward rule of law. Cambridge University Press.

Pines, Y. (2009). Envisioning eternal empire: Chinese political thought of the Warring States era. University of Hawai‘i Press.

Pines, Y. (2012). The everlasting empire: The political culture of ancient China and its imperial legacy. Princeton University Press.

Schmidt, E., & Cohen, J. (2013). The new digital age: Reshaping the future of people, nations and business. Knopf.

Schwartz, B. I. (1985). The world of thought in ancient China. Belknap Press of Harvard University Press.

Van Norden, B. W. (2011). Introduction to classical Chinese philosophy. Hackett Publishing Company.

Will, P.-E., & Wong, R. B. (1991). Nourish the people: The state civilian granary system in China, 1650–1850. University of Michigan Press.

Zhuangzi. (1996). The book of Chuang Tzu (M. Palmer, Trans.). Penguin Books.

Xunzi. (2003). Basic writings (B. Watson, Trans.). Columbia University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar