Legalism (法家, Fajia)
Filsafat Ketertiban dan Kekuasaan dalam Tradisi Politik
Tiongkok Kuno
Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan
Geografis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
Legalism (法家, Fajia), salah satu aliran filsafat politik paling berpengaruh
dalam sejarah Tiongkok kuno. Legalism berkembang dalam konteks kekacauan
sosial-politik pada masa Periode Negara-Negara Berperang dan menawarkan
pendekatan pragmatis terhadap pemerintahan melalui prinsip-prinsip fa
(hukum), shu (teknik administrasi), dan shi (otoritas
institusional). Artikel ini mengulas kontribusi para tokoh utama seperti Shang
Yang, Shen Buhai, Shen Dao, dan Han Feizi, serta mengkaji penerapan praktis
ajaran Legalist dalam reformasi negara Qin hingga berdirinya Dinasti Qin pada
221 SM. Selain itu, artikel ini menguraikan kritik-kritik dari Konfusianisme,
Mohisme, dan Taoisme terhadap pendekatan Legalist yang dianggap terlalu
represif dan tidak bermoral. Dalam konteks kontemporer, Legalism ditinjau ulang
melalui lensa sistem politik modern Tiongkok, diskursus global tentang hukum
dan kekuasaan, serta sebagai cikal bakal teori administrasi rasional. Artikel
ini menyimpulkan bahwa meskipun Legalism efektif dalam menata struktur negara,
penerapannya harus diimbangi dengan nilai-nilai etika agar kekuasaan tidak
berujung pada despotisme.
Kata Kunci: Legalism; Filsafat Tiongkok Kuno; Hukum dan
Kekuasaan; Shang Yang; Han Feizi; Qin; Rule by Law; Meritokrasi;
Otoritarianisme; Diskursus Politik Kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Legalism (法家, Fajia) Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat Tiongkok kuno merupakan ladang pemikiran
yang sangat kaya dan beragam, mencerminkan dinamika sosial-politik yang intens
di era Zhou Timur, khususnya dalam masa Periode Negara-Negara
Berperang (475–221 SM). Pada masa inilah muncul berbagai aliran pemikiran
yang dikenal sebagai "Seratus Aliran Pemikiran" (baijia zhi
yan, 百家之言), yang
bersaing untuk menawarkan solusi atas kekacauan sosial, politik, dan moral yang
melanda Tiongkok saat itu¹.
Salah satu aliran yang paling menonjol dari segi
praktikalitas dan pengaruh institusional adalah Legalism (法家, Fajia).
Berbeda dengan Konfusianisme yang menekankan moralitas, relasi sosial harmonis,
dan kultivasi diri, Legalism justru menekankan pentingnya hukum yang ketat (fa),
teknik administrasi (shu), dan kekuasaan institusional (shi)
sebagai fondasi utama ketertiban negara². Aliran ini berpandangan bahwa manusia
pada dasarnya egoistik dan cenderung mementingkan kepentingan pribadi; oleh
karena itu, hanya sistem hukum yang objektif dan tak pandang bulu yang mampu
mengendalikan perilaku masyarakat secara efektif³.
Legalism berkembang dalam konteks kebutuhan akan
stabilitas dan sentralisasi kekuasaan, terutama ketika para penguasa feodal
bersaing memperebutkan dominasi politik. Dalam kerangka ini, tokoh-tokoh
seperti Shang Yang, Shen Buhai, dan Han Feizi menawarkan gagasan-gagasan yang
berorientasi pada efisiensi pemerintahan dan ketundukan terhadap hukum sebagai
jalan untuk membangun negara yang kuat⁴. Pemikiran mereka kemudian diadopsi
oleh negara Qin dan menjadi ideologi dominan ketika Qin Shi Huang mendirikan
kekaisaran pertama Tiongkok pada 221 SM⁵.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara
sistematis perkembangan, prinsip-prinsip dasar, serta warisan filsafat
Legalism. Selain itu, pembahasan ini juga menyoroti kritik terhadap Legalism
dari sudut pandang aliran lain dan mengkaji kemungkinan relevansinya dalam
diskursus politik kontemporer, terutama terkait dengan birokrasi modern dan
bentuk-bentuk kekuasaan negara⁶. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya
menyajikan tinjauan sejarah, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan
aktualitas Legalism dalam tatanan politik global masa kini.
Footnote
[1]
Robin D. S. Yates, “Early China: A Social and
Cultural History” (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 142.
[2]
Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy:
Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University
Press, 2020), 193.
[3]
Herrlee G. Creel, Chinese Thought from Confucius
to Mao Tse-tung (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 121–123.
[4]
A. C. Graham, Disputers of the Tao:
Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989),
267–275.
[5]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires:
Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press,
2007), 23.
[6]
Daniel A. Bell and Zhang Weiwei, “The China
Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy”, Philosophy
& Social Criticism 44, no. 4 (2018): 417–433.
2.
Konteks Historis Kelahiran Legalism
Legalism lahir dan berkembang dalam konteks
pergolakan sosial-politik yang sangat intens di Tiongkok kuno, khususnya selama
Periode Negara-Negara Berperang (Zhanguo shidai, 475–221 SM). Masa ini
ditandai oleh keruntuhan struktur kekuasaan terpusat Dinasti Zhou dan munculnya
negara-negara regional yang saling bersaing secara militer dan politik.
Ketidakstabilan tersebut menciptakan kebutuhan mendesak akan sistem
pemerintahan yang kuat dan terorganisir, serta tatanan hukum yang dapat
menjamin kelangsungan negara⁽¹⁾.
Selama periode ini, para penguasa feodal mengalami
tekanan besar untuk memperkuat militer, memobilisasi sumber daya ekonomi, dan
menegakkan kekuasaan pusat. Konfusius (Kongzi) dan para pengikutnya menawarkan
solusi melalui pembentukan tatanan moral dan etika yang harmonis, sementara
Mohisme (墨家) mengajukan
prinsip utilitarianisme dan universal love (jian ai) sebagai solusi atas
konflik. Namun, Legalism muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan pendekatan moralistik
yang dianggap terlalu idealis dan tidak efektif dalam situasi krisis⁽²⁾.
Para pemikir Legalism meyakini bahwa kekacauan dan
kelemahan negara berasal dari sistem sosial yang terlalu longgar, aturan yang
tidak ditegakkan dengan konsisten, dan dominasi para bangsawan yang tidak
tunduk pada otoritas pusat. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya hukum
(fa) yang tegas dan menyeluruh, teknik pemerintahan (shu) yang
rasional, serta otoritas politik (shi) yang bersumber dari kekuasaan,
bukan karakter pribadi⁽³⁾.
Shang Yang (商鞅), seorang reformator dari negara Qin, memainkan
peran kunci dalam penerapan prinsip-prinsip Legalism secara sistematis. Ia
memperkenalkan reformasi radikal seperti penghapusan hak istimewa kaum
bangsawan, pemberlakuan sistem meritokrasi militer, serta penerapan hukum yang
ketat dan impersonal⁽⁴⁾. Reformasi Shang Yang menunjukkan bagaimana Legalism
tidak sekadar teori filsafat, melainkan juga doktrin politik praktis yang
diarahkan untuk membangun negara kuat yang efisien dan terpusat.
Dalam kerangka ini, Legalism
merepresentasikan respons realistik dan utilitarian terhadap kebutuhan zaman.
Aliran ini menolak prinsip-prinsip normatif tradisional, dan sebagai gantinya,
mengutamakan kebijakan politik yang fungsional dan rasional demi stabilitas
negara. Tidak mengherankan bila kemudian negara Qin, yang paling konsisten
menerapkan prinsip Legalism, mampu menaklukkan negara-negara saingannya dan
menyatukan Tiongkok pada 221 SM⁽⁵⁾.
Dengan demikian, Legalism tumbuh dari realitas politik
yang keras, dan menemukan justifikasi filosofisnya dalam upaya membentuk
tatanan sosial yang tidak bergantung pada moralitas pribadi, melainkan pada
struktur kekuasaan dan hukum yang objektif.
Footnote
[1]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires:
Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press,
2007), 9–12.
[2]
Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in
Early Chinese Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005),
61–62.
[3]
Herrlee G. Creel, The Origins of Statecraft in
China, Volume 1: The Western Chou Empire (Chicago: University of Chicago
Press, 1970), 187–189.
[4]
A. C. Graham, Disputers of the Tao:
Philosophical Argument in Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989),
268–270.
[5]
Yuri Pines, The Everlasting Empire: The
Political Culture of Ancient China and Its Imperial Legacy (Princeton:
Princeton University Press, 2012), 43–45.
3.
Tokoh-Tokoh Utama Legalism
Filsafat Legalism
tidak dibangun oleh satu individu, melainkan merupakan sintesis dari
gagasan-gagasan beberapa pemikir besar yang hidup dalam Periode
Negara-Negara Berperang. Masing-masing tokoh memberikan kontribusi
yang khas dalam membentuk sistem pemikiran Legalism yang akhirnya dipakai
sebagai dasar ideologis pemerintahan Dinasti Qin. Di antara tokoh-tokoh
tersebut, empat yang paling berpengaruh adalah Shang Yang, Shen
Buhai, Shen Dao, dan Han
Feizi.
3.1. Shang Yang (商鞅,
wafat 338 SM)
Shang Yang dikenal
sebagai arsitek utama reformasi politik di negara Qin. Ia menekankan pentingnya
hukum (fa)
yang tidak pandang bulu dan diterapkan secara ketat kepada semua lapisan
masyarakat. Melalui serangkaian reformasi, seperti penerapan sistem meritokrasi
militer, penghapusan hak istimewa bangsawan, dan pemindahan penduduk untuk
tujuan kontrol sosial, Shang Yang mentransformasikan Qin menjadi negara yang
kuat dan disiplin⁽¹⁾. Dalam Shang Jun Shu (商君书), ia
menyatakan bahwa hukum harus mengatur perilaku tanpa campur tangan perasaan
pribadi penguasa⁽²⁾. Meskipun kemudian ia dihukum mati setelah kematian sang
raja yang melindunginya, ide-idenya tetap menjadi tulang punggung sistem
pemerintahan Qin.
3.2. Shen Buhai (申不害,
ca. 400–337 SM)
Shen Buhai dikenal
sebagai perintis teori administrasi pemerintahan yang disebut shu
(術),
yaitu teknik-teknik manajemen birokrasi yang rasional. Ia menekankan pentingnya
evaluasi pejabat berdasarkan kinerja objektif (bukan moralitas), serta
penggunaan mekanisme kontrol yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan
kekuasaan⁽³⁾. Bagi Shen Buhai, penguasa ideal adalah figur pasif yang mengatur melalui
sistem, bukan melalui keterlibatan langsung, sebuah konsep yang kemudian
dikenal sebagai non-interference autocracy⁽⁴⁾.
3.3. Shen Dao (慎到,
ca. 350–275 SM)
Shen Dao
mengembangkan konsep shi (勢),
yakni otoritas atau kekuatan jabatan yang melekat pada posisi pemerintahan,
bukan pada karakter individu. Ia berpendapat bahwa kekuasaan harus dilembagakan
agar dapat mengatur masyarakat secara efektif. Dalam pandangannya, hukum dan
struktur haruslah impersonal, karena manusia cenderung bertindak berdasarkan
kepentingan pribadi⁽⁵⁾. Pemikirannya sangat berpengaruh dalam merumuskan konsep
negara otoriter yang stabil melalui kekuasaan institusional.
3.4. Han Feizi (韩非子, ca. 280–233 SM)
Han Feizi dianggap
sebagai sistematisator utama dari ajaran Legalism. Dalam karya monumentalnya Han
Feizi, ia menyatukan prinsip fa (hukum), shu
(teknik), dan shi (otoritas) menjadi satu sistem
pemerintahan yang utuh⁽⁶⁾. Berbeda dari para pendahulunya, Han Feizi menulis
dengan gaya argumentatif yang logis dan tajam, menjadikannya sebagai bacaan
wajib di kalangan elite Qin. Ia juga mengkritik keras idealisme Konfusianisme
dan menegaskan bahwa negara hanya bisa stabil melalui pengawasan ketat dan
sanksi tegas. Ironisnya, meskipun idenya diadopsi oleh Qin, ia sendiri wafat di
penjara karena intrik politik dalam istana⁽⁷⁾.
Footnote
[1]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 19–22.
[2]
Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese Political Thought
of the Warring States Era (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2009),
131.
[3]
Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of
the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
45–49.
[4]
Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in Early Chinese
Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005), 67–70.
[5]
A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in
Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 276.
[6]
Han Feizi, Han Feizi: Basic Writings, trans. Burton Watson (New
York: Columbia University Press, 2003), 17–25.
[7]
Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 322–326.
4.
Prinsip-Prinsip Dasar Legalism
Filsafat Legalism (法家,
Fajia)
menawarkan kerangka konseptual pemerintahan yang berfokus pada hukum,
teknik
administrasi, dan otoritas politik sebagai
fondasi utama bagi kestabilan negara. Berbeda dari aliran-aliran filsafat lain
di Tiongkok kuno, Legalism menolak penggunaan moralitas pribadi sebagai standar
pengelolaan negara. Sebaliknya, aliran ini menyusun pendekatan politik yang
bersifat rasional, impersonal, dan sistemik untuk mengatur perilaku manusia
yang dipandang pada dasarnya egoistik dan mementingkan diri sendiri⁽¹⁾. Tiga
konsep kunci yang membentuk fondasi Legalism adalah Fa (法),
Shu (術),
dan Shi (勢).
4.1. Fa (法):
Hukum sebagai Pilar Pemerintahan
Konsep fa
merujuk pada hukum dan peraturan yang tegas, seragam, dan berlaku untuk semua
orang tanpa kecuali—termasuk pejabat dan bangsawan. Dalam pandangan Legalism,
hukum harus bersifat eksplisit, publik, dan ditegakkan secara konsisten, tanpa
mempertimbangkan status sosial, afiliasi personal, atau hubungan
kekeluargaan⁽²⁾. Menurut Han Feizi, hukum yang impersonal adalah alat utama
untuk menata masyarakat yang kompleks dan menjaga kewibawaan negara⁽³⁾. Oleh
karena itu, keadilan dalam Legalism tidak bersumber dari belas kasihan atau
kebijaksanaan pribadi, melainkan dari kepatuhan terhadap aturan yang sudah
ditetapkan.
4.2. Shu (術):
Teknik Administrasi dan Pengendalian Birokrasi
Seni
pemerintahan atau shu mengacu pada seperangkat teknik
untuk mengelola birokrasi dan pejabat negara secara efisien. Konsep ini
dikembangkan terutama oleh Shen Buhai, yang menekankan pentingnya evaluasi
kinerja objektif, sistem kontrol internal, dan metode pengawasan terselubung
untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang⁽⁴⁾. Dalam sistem shu,
penguasa harus menguasai informasi tanpa mengungkapkan dirinya, sehingga dapat
memerintah secara efektif melalui struktur tanpa campur tangan langsung.
Pendekatan ini membentuk cikal bakal apa yang kini disebut sebagai
"otoritarianisme birokratik."
4.3. Shi (勢):
Kekuasaan sebagai Struktur, Bukan Pribadi
Shi
berarti otoritas atau kekuatan institusional yang melekat pada posisi, bukan
pada pribadi pemegang kekuasaan. Shen Dao adalah pemikir utama di balik konsep
ini. Ia berpandangan bahwa stabilitas pemerintahan hanya dapat dicapai jika
otoritas bersumber dari jabatan resmi dan bukan dari karisma atau kebajikan personal
penguasa⁽⁵⁾. Dengan demikian, penguasa tidak perlu memiliki moralitas tinggi,
tetapi harus mampu memanfaatkan sistem hukum dan administrasi untuk
mengendalikan bawahannya.
Pandangan Antropologis: Manusia sebagai Makhluk Egoistik
Sebagai dasar dari
seluruh sistemnya, Legalism menganut pandangan bahwa manusia secara kodrati
cenderung mementingkan diri dan tidak dapat dipercaya untuk bertindak moral
secara konsisten. Oleh sebab itu, hanya sistem yang kuat, tegas, dan impersonal
yang dapat mengarahkan tindakan manusia ke arah yang diinginkan negara⁽⁶⁾. Hal
ini berbanding terbalik dengan Konfusianisme yang menganggap manusia memiliki
potensi kebaikan (ren) dan dapat dibina melalui
teladan dan pendidikan.
Secara keseluruhan,
prinsip-prinsip dasar Legalism membentuk suatu sistem filsafat politik yang
pragmatis, rasional, dan terlepas dari nilai-nilai etis tradisional. Meskipun
sering kali dipandang negatif karena asosiasinya dengan otoritarianisme dan
represi, Legalism juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sistem
hukum dan administrasi negara dalam sejarah Tiongkok.
Footnote
[1]
Paul R. Goldin, After Confucius: Studies in Early Chinese
Philosophy (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2005), 60–63.
[2]
A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in
Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 269–272.
[3]
Han Feizi, Han Feizi: Basic Writings, trans. Burton Watson
(New York: Columbia University Press, 2003), 17–20.
[4]
Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of
the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
47–51.
[5]
Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 316–318.
[6]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 23–25.
5.
Penerapan Praktis dan Warisan Legalism
Legalism tidak hanya
berdiri sebagai sistem filsafat teoritis, tetapi juga menjadi kekuatan
penggerak dalam transformasi politik besar di Tiongkok kuno. Penerapannya
paling menonjol terlihat dalam reformasi negara Qin dan pencapaian unifikasi
Tiongkok di bawah Dinasti Qin pada tahun 221 SM, yang dipimpin oleh Qin Shi
Huang. Di bawah pengaruh Legalism, negara Qin memformulasikan kebijakan-kebijakan
sentralistik, efisien, dan represif yang menjadikan kekuasaan negara sebagai
instrumen utama dalam menciptakan ketertiban sosial⁽¹⁾.
5.1. Reformasi Shang Yang di Negara Qin
Shang Yang (商鞅),
sebagai tokoh Legalism awal, menerapkan reformasi besar-besaran di negara Qin
sejak 359 SM. Ia menghapus hak istimewa bangsawan feodal, membagi tanah untuk
rakyat yang berprestasi dalam perang, dan memperkenalkan sistem meritokrasi
militer. Ia juga menerapkan hukum pidana yang ketat serta sistem pengawasan
sosial yang memungkinkan rakyat saling mengawasi dan melaporkan pelanggaran
hukum⁽²⁾. Reformasi ini secara drastis meningkatkan efisiensi negara dan
memodernisasi administrasi pemerintahan.
5.2. Penerapan Sistem Legalist di Dinasti Qin
Ketika Qin Shi Huang
menyatukan Tiongkok, ia menjadikan prinsip Legalism sebagai ideologi negara. Di
bawah bimbingan perdana menteri Li Si, yang merupakan murid Han Feizi, Dinasti
Qin mengadopsi sistem hukum seragam, standarisasi tulisan, ukuran, dan mata uang,
serta memperkuat kontrol terhadap wilayah melalui birokrasi sentralistik yang
kuat⁽³⁾. Walaupun efektif dalam konsolidasi kekuasaan, kebijakan-kebijakan ini
sangat represif, termasuk pembakaran buku-buku non-Legalist dan penguburan
hidup-hidup para sarjana Konfusian⁽⁴⁾.
5.3. Aspek Positif dan Negatif Penerapan Legalism
Secara positif,
Legalism berhasil menciptakan sistem administrasi yang efisien, memperkuat
otoritas negara, dan memungkinkan penyatuan Tiongkok yang sebelumnya
terpecah-pecah selama berabad-abad. Sistem hukum yang jelas dan universal juga
meningkatkan kepastian hukum dalam masyarakat⁽⁵⁾. Namun, di sisi lain,
penekanan berlebihan pada hukuman, pengawasan ketat, dan pengabaian nilai-nilai
moral dan kemanusiaan menjadikan pemerintahan Qin sangat otoriter dan kejam,
yang pada akhirnya memicu pemberontakan rakyat dan runtuhnya Dinasti Qin hanya
15 tahun setelah berdiri⁽⁶⁾.
5.4. Warisan Legalism dalam Sejarah Politik Tiongkok
Meskipun Qin runtuh,
banyak prinsip Legalism diadopsi dan disesuaikan oleh Dinasti Han (206 SM–220
M). Han tidak menolak Legalism sepenuhnya, tetapi mengombinasikannya dengan
Konfusianisme—sebuah strategi sinergistik yang dikenal sebagai Legalist
instrumentation with Confucian justifications⁽⁷⁾. Warisan Legalism
terlihat dalam struktur birokrasi kekaisaran Tiongkok yang bertahan hingga abad
ke-20, serta dalam praktik hukum dan administrasi negara modern Tiongkok.
Lebih jauh, Legalism
telah membentuk fondasi bagi kecenderungan politik sentralistik dalam sejarah
Tiongkok, dan terus menjadi bahan refleksi dalam diskusi tentang pemerintahan
otoriter, efisiensi birokrasi, dan rule by law di era kontemporer⁽⁸⁾.
Footnote
[1]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 18–22.
[2]
Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese Political Thought
of the Warring States Era (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2009),
135–138.
[3]
Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical
Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020),
199–201.
[4]
A. C. Graham, Disputers of the Tao: Philosophical Argument in
Ancient China (La Salle, IL: Open Court, 1989), 270–274.
[5]
Herrlee G. Creel, Chinese Thought from Confucius to Mao Tse-tung
(Chicago: University of Chicago Press, 1953), 123–126.
[6]
Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in Ancient China
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1985), 329–331.
[7]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1992), 379–381.
[8]
Daniel A. Bell, The China Model: Political Meritocracy and the
Limits of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2015), 52–55.
6.
Kritik dan Perbandingan dengan Aliran Lain
Legalism, meskipun memberikan
fondasi struktural bagi sistem pemerintahan yang kuat dan terpusat, tidak luput
dari kritik tajam, baik pada masa kuno maupun dalam diskursus kontemporer.
Sebagian besar kritik berasal dari aliran filsafat lain yang berkembang pada
periode yang sama, terutama Konfusianisme, Mohisme,
dan Taoisme,
yang menawarkan pendekatan berbeda terhadap pemerintahan, etika, dan relasi
sosial.
6.1. Kritik dari Konfusianisme: Moralitas sebagai Dasar
Pemerintahan
Konfusianisme, yang
dipelopori oleh Kongzi (Confucius) dan diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti
Mencius (Mengzi) dan Xunzi, secara eksplisit menentang pendekatan Legalist yang
dianggap terlalu mekanistik dan represif. Konfusianisme menekankan bahwa
pemerintahan yang ideal haruslah berlandaskan pada kebajikan (仁, ren),
keharmonisan sosial, dan keteladanan moral pemimpin. Mencius berargumen bahwa
sifat dasar manusia pada dasarnya baik dan bisa dibina melalui pendidikan serta
pengaruh lingkungan yang positif⁽¹⁾. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan dan
hukuman yang berlebihan sebagaimana diterapkan oleh para Legalist dianggap
sebagai bentuk kegagalan moral dalam mengelola masyarakat⁽²⁾.
Namun, Xunzi yang
lebih realistis dalam pandangannya tentang manusia (ia beranggapan bahwa sifat
dasar manusia itu jahat) tetap tidak mendukung prinsip Legalist. Ia tetap
berpegang bahwa perubahan perilaku harus dilakukan melalui pendidikan moral dan
ritual sosial, bukan melalui ancaman dan penghukuman⁽³⁾. Ini menunjukkan bahwa
meskipun Konfusianisme mengenali potensi negatif manusia, solusinya tetap
bersifat etis, bukan teknokratis.
6.2. Kritik dari Mohisme: Utilitarianisme dan Keadilan
Sosial
Mohisme, yang
dipelopori oleh Mozi, memberikan kritik yang berbeda terhadap Legalism. Ia
menolak baik pendekatan ritualistik Konfusianisme maupun pendekatan koersif
Legalism. Mohisme menekankan prinsip jian ai (兼愛),
atau cinta universal, serta konsep keadilan sosial berbasis manfaat kolektif.
Dalam konteks ini, Legalism dianggap terlalu menekankan kontrol negara dan
gagal mengembangkan semangat solidaritas antarindividu⁽⁴⁾. Bagi Mohisme, tujuan
utama pemerintahan adalah meminimalisir penderitaan dan memaksimalkan
kesejahteraan rakyat—suatu pendekatan utilitarian yang menghindari kekerasan
struktural seperti yang terlihat dalam praktik Legalist.
6.3. Kritik dari Taoisme: Penolakan terhadap Intervensi
dan Hukum Buatan
Taoisme, khususnya
sebagaimana diajarkan oleh Laozi dan Zhuangzi, secara filosofis menolak prinsip
dasar Legalism. Taoisme menekankan keterpaduan dengan Dao
(道)—hukum alam yang tidak tertulis,
dan menilai bahwa intervensi manusia, terutama dalam bentuk hukum dan regulasi,
justru menciptakan ketidakseimbangan dan penderitaan⁽⁵⁾. Laozi dalam Dao De Jing mengajukan prinsip wu wei
(無為),
atau bertindak tanpa memaksakan kehendak, yang berlawanan langsung dengan
pendekatan Legalist yang sangat proaktif dan koersif dalam mengatur
masyarakat⁽⁶⁾. Zhuangzi menambahkan bahwa kebebasan individu dan
ketidakterikatan terhadap struktur formal lebih sesuai dengan kodrat alamiah
manusia⁽⁷⁾.
6.4. Perbandingan Paradigmatik
Perbedaan prinsip antara
Legalism dan aliran filsafat Tiongkok lainnya seperti Konfusianisme, Mohisme,
dan Taoisme dapat dijabarkan sebagai berikut:
·
Pandangan tentang Hakikat
Manusia
Legalism:
Menganggap manusia secara kodrati egoistik dan cenderung bertindak demi
kepentingan pribadi; karena itu, perlu dikendalikan dengan hukum yang tegas.
Konfusianisme:
Meyakini bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi kebaikan (ren)
yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral dan keteladanan.
Mohisme:
Mengambil posisi netral terhadap sifat dasar manusia, namun menekankan bahwa
manusia harus diarahkan untuk mencapai manfaat kolektif.
Taoisme:
Mempercayai bahwa sebagian manusia dapat hidup harmonis secara alamiah jika
tidak terganggu oleh sistem buatan dan aturan eksternal.
·
Instrumen Utama dalam
Pemerintahan
Legalism:
Mengandalkan hukum positif (fa), teknik administrasi (shu),
dan kekuasaan institusional (shi) sebagai alat kontrol sosial.
Konfusianisme:
Menyandarkan pemerintahan pada moralitas, etika pribadi, dan keteladanan
pemimpin sebagai bentuk pengaruh tanpa paksaan.
Mohisme:
Mengedepankan prinsip jian ai (cinta universal) dan keadilan yang
berbasis pada manfaat umum serta efisiensi sosial.
Taoisme:
Menolak intervensi aktif pemerintah; lebih memilih prinsip wu wei
(non-intervensi) untuk membiarkan alam dan masyarakat berkembang sesuai
kodratnya.
·
Tujuan Akhir dari
Pemerintahan
Legalism:
Fokus utama adalah menciptakan ketertiban, stabilitas, dan kepatuhan terhadap
negara melalui sistem yang kuat.
Konfusianisme:
Bertujuan membentuk masyarakat yang harmonis, penuh rasa hormat, dan teratur
berdasarkan etika relasional.
Mohisme:
Memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan pengurangan penderitaan melalui
kebijakan yang fungsional.
Taoisme:
Menekankan pencapaian kesesuaian dengan Dao (jalan alam semesta),
yakni keadaan bebas, tidak memaksa, dan seimbang secara alami.
Perbandingan ini
memperlihatkan bahwa Legalism menempati spektrum paling teknokratik dan
struktural, sementara aliran lain lebih menekankan pendekatan moral, sosial,
atau spiritual terhadap tatanan masyarakat.
Footnote
[1]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 93–96.
[2]
Mencius, Mengzi, trans. D. C. Lau (Harmondsworth: Penguin
Books, 1970), 131–135.
[3]
Xunzi, Basic Writings, trans. Burton Watson (New York:
Columbia University Press, 2003), 87–90.
[4]
Angus C. Graham, Later Mohist Logic, Ethics and Science (Hong
Kong: Chinese University Press, 1978), 34–38.
[5]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1992), 212–217.
[6]
Laozi, Dao De Jing, trans. D. C. Lau (London: Penguin Books,
1963), chs. 17, 57.
[7]
Zhuangzi, The Book of Chuang Tzu, trans. Martin Palmer (London:
Penguin Books, 1996), 37–41.
7.
Relevansi dan Interpretasi Kontemporer Legalism
Meskipun lahir lebih
dari dua milenium lalu, warisan intelektual Legalism (法家, Fajia)
masih terus bergema dalam diskursus politik dan pemerintahan kontemporer, baik
di Tiongkok maupun dalam pembicaraan global tentang otoritarianisme, birokrasi,
dan supremasi hukum. Legalism dianggap sebagai salah satu fondasi historis dari
pola pemerintahan terpusat yang telah mendominasi peradaban Tiongkok sejak era
kekaisaran⁽¹⁾.
7.1. Legalism dan Politik Tiongkok Modern
Beberapa pengamat
menilai bahwa praktik-praktik pemerintahan modern di Republik Rakyat Tiongkok
(RRT), terutama dalam hal penguatan negara, pengawasan sosial, dan penegakan
hukum secara ketat, menunjukkan kemiripan struktural dengan prinsip-prinsip
Legalism. Daniel A. Bell dan Zhang Weiwei, dalam analisis mereka mengenai China
Model, menggarisbawahi bahwa sistem meritokrasi politik yang ketat,
pemusatan kekuasaan pada elit terlatih, serta penekanan pada stabilitas nasional,
dapat dilihat sebagai bentuk revitalisasi Legalist dalam bentuk kontemporer⁽²⁾.
Walaupun tidak
secara eksplisit mengklaim Legalism sebagai sumber inspirasional resmi,
sejumlah kebijakan Partai Komunis Tiongkok dalam dekade terakhir—seperti
kampanye anti-korupsi yang keras, digitalisasi pengawasan warga, dan
sentralisasi otoritas negara—dapat ditafsirkan sebagai penerapan
prinsip-prinsip fa (aturan tegas) dan shu
(manajemen efektif), yang telah dirumuskan sejak era Shang Yang dan Han
Feizi⁽³⁾.
7.2. Perdebatan antara Rule of Law dan Rule by Law
Dalam konteks
filsafat hukum, Legalism sering dikritik karena mengusung konsep rule by
law alih-alih rule of law. Dalam rule by
law, hukum diperlakukan sebagai alat negara untuk menertibkan
rakyat, sementara dalam rule of law, hukum berdiri di atas
dan mengatur negara itu sendiri. Kritik ini menjadi penting dalam perdebatan
internasional mengenai supremasi hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi
liberal⁽⁴⁾.
Legalism memberikan
pelajaran penting tentang bahaya penggunaan hukum yang tidak dibarengi oleh
prinsip keadilan substantif. Ketika hukum tidak didasarkan pada nilai moral
atau partisipasi rakyat, maka ia dapat menjadi sarana represi yang sah secara
formal namun zalim secara moral⁽⁵⁾.
7.3. Legalism sebagai Model Efisiensi Birokratik
Selain dalam konteks
politik otoriter, Legalism juga menjadi rujukan dalam studi administrasi
publik. Konsep shu yang dikembangkan Shen Buhai,
mengenai teknik pengelolaan birokrasi berdasarkan evaluasi objektif dan prinsip
meritokrasi, menginspirasi model-model manajemen modern yang menekankan
efisiensi, akuntabilitas, dan profesionalisme⁽⁶⁾.
Legalism, dalam
aspek ini, bisa dipandang sebagai cikal bakal teori manajemen birokrasi yang
dikembangkan Max Weber, meskipun tanpa fondasi liberal-demokratik. Sistem
seleksi pejabat melalui ujian dan penilaian kinerja telah menjadi ciri khas
birokrasi Tiongkok sejak Dinasti Han dan masih terlihat dalam sistem seleksi
elite politik di RRT⁽⁷⁾.
7.4. Refleksi Etis dan Wacana Global
Di luar Tiongkok,
Legalism sering menjadi objek refleksi dalam diskusi tentang batas antara
keamanan dan kebebasan, serta antara stabilitas dan keadilan. Di era di mana
negara-negara menghadapi tantangan terorisme, pandemik, dan disinformasi
digital, muncul kecenderungan global untuk mengadopsi langkah-langkah
pengendalian yang ketat, yang secara struktural menyerupai pendekatan
Legalist⁽⁸⁾.
Pertanyaannya
adalah: sejauh mana negara boleh menggunakan kekuasaan hukum demi stabilitas,
tanpa melanggar hak individu? Legalism memberikan kerangka teoretis yang
relevan, tetapi juga peringatan historis mengenai bahaya absolutisme hukum yang
tidak berbasis etika.
Footnote
[1]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires: Qin and Han
(Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 19–25.
[2]
Daniel A. Bell and Zhang Weiwei, “The China Model: Political
Meritocracy and the Limits of Democracy”, Philosophy & Social
Criticism 44, no. 4 (2018): 417–433.
[3]
Yuri Pines, The Everlasting Empire: The Political Culture of
Ancient China and Its Imperial Legacy (Princeton: Princeton University
Press, 2012), 161–164.
[4]
Randall Peerenboom, China’s Long March Toward Rule of Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 8–11.
[5]
Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy: Eight Classical
Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University Press, 2020),
202–205.
[6]
Herrlee G. Creel, Shen Pu-Hai: A Chinese Political Philosopher of
the Fourth Century B.C. (Chicago: University of Chicago Press, 1974),
55–58.
[7]
Pierre-Etienne Will and R. Bin Wong, Nourish the People: The State
Civilian Granary System in China, 1650–1850 (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1991), 23–26.
[8]
Eric Schmidt and Jared Cohen, The New Digital Age: Reshaping the
Future of People, Nations and Business (New York: Knopf, 2013), 154–157.
8.
Kesimpulan
Legalism (法家, Fajia) merupakan salah satu aliran
filsafat paling berpengaruh dalam sejarah intelektual dan politik Tiongkok
kuno. Berbeda dengan aliran-aliran besar lainnya seperti Konfusianisme dan
Taoisme, Legalism menyuguhkan pendekatan pragmatis, struktural, dan impersonal
terhadap persoalan ketertiban sosial dan stabilitas negara. Dengan menekankan
pentingnya hukum (fa), teknik administrasi (shu), dan kekuasaan
institusional (shi), Legalism menawarkan model pemerintahan yang
efisien, terpusat, dan tahan terhadap pergantian individu penguasa⁽¹⁾.
Kekuatan utama Legalism terletak pada kemampuannya
menginstitusionalisasi kekuasaan negara dan merumuskan perangkat hukum yang
objektif sebagai dasar relasi antara pemerintah dan rakyat. Kontribusi ini
terbukti efektif dalam konteks negara Qin yang berhasil menyatukan Tiongkok
pada 221 SM melalui penerapan prinsip-prinsip Legalist secara sistemik⁽²⁾.
Namun, keberhasilan tersebut dibayangi oleh dampak negatif seperti represi
ekstrem, pengabaian nilai-nilai moral, dan kegagalan dalam membangun legitimasi
sosial jangka panjang. Dinasti Qin runtuh hanya 15 tahun setelah didirikan,
menjadi pengingat bahwa efektivitas administratif tanpa dukungan moral dan
sosial dapat berujung pada ketidakstabilan politik⁽³⁾.
Dalam lintasan sejarah selanjutnya, warisan
Legalism tidak sepenuhnya ditinggalkan. Dinasti Han, misalnya, mengadopsi
pendekatan hibrid yang memadukan struktur Legalist dengan etika Konfusianis,
menciptakan model pemerintahan yang lebih stabil dan adaptif⁽⁴⁾. Bahkan hingga
masa modern, prinsip-prinsip Legalist seperti meritokrasi, efisiensi birokrasi,
dan supremasi aturan tetap hidup dalam berbagai bentuk di Tiongkok maupun dalam
pemikiran politik global.
Namun demikian, Legalism juga memunculkan tantangan
etis yang relevan hingga kini: bagaimana menyeimbangkan ketertiban dan
keadilan, kekuasaan dan kebebasan, hukum dan moralitas. Kritik yang ditujukan
pada Legalism dari aliran filsafat lain menegaskan pentingnya pendekatan
holistik dalam pemerintahan yang tidak hanya menata struktur, tetapi juga
memelihara dimensi kemanusiaan dan etika⁽⁵⁾.
Oleh karena itu, memahami Legalism bukan hanya
berarti menelaah warisan kuno, tetapi juga merefleksikan ulang dinamika
hubungan antara negara, hukum, dan rakyat di era modern. Dalam dunia yang
diwarnai oleh ketegangan antara demokrasi dan otoritarianisme, Legalism tetap
menjadi bahan perenungan penting bagi siapa pun yang ingin memahami
kekuasaan—baik untuk memanfaatkannya, membatasinya, maupun mengendalikannya
secara adil.
Footnote
[1]
Paul R. Goldin, The Art of Chinese Philosophy:
Eight Classical Texts and How to Read Them (Princeton: Princeton University
Press, 2020), 193–199.
[2]
Yuri Pines, Envisioning Eternal Empire: Chinese
Political Thought of the Warring States Era (Honolulu: University of
Hawai‘i Press, 2009), 140–145.
[3]
Mark Edward Lewis, The Early Chinese Empires:
Qin and Han (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press,
2007), 29–31.
[4]
Benjamin I. Schwartz, The World of Thought in
Ancient China (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press,
1985), 331–334.
[5]
Daniel A. Bell, The China Model: Political
Meritocracy and the Limits of Democracy (Princeton: Princeton University
Press, 2015), 102–107.
Daftar Pustaka
Bell, D. A. (2015). The
China model: Political meritocracy and the limits of democracy. Princeton
University Press.
Bell, D. A., & Zhang,
W. (2018). The China model: Political meritocracy and the limits of democracy. Philosophy
& Social Criticism, 44(4), 417–433. https://doi.org/10.1177/0191453718757653
Creel, H. G. (1953). Chinese
thought from Confucius to Mao Tse-tung. University of Chicago Press.
Creel, H. G. (1974). Shen
Pu-Hai: A Chinese political philosopher of the fourth century B.C.
University of Chicago Press.
Graham, A. C. (1989). Disputers
of the Tao: Philosophical argument in ancient China. Open Court.
Graham, A. C. (1978). Later
Mohist logic, ethics and science. Chinese University Press.
Goldin, P. R. (2005). After
Confucius: Studies in early Chinese philosophy. University of Hawai‘i
Press.
Goldin, P. R. (2020). The
art of Chinese philosophy: Eight classical texts and how to read them.
Princeton University Press.
Hansen, C. (1992). A
Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. Oxford
University Press.
Han Feizi. (2003). Han
Feizi: Basic writings (B. Watson, Trans.). Columbia University Press.
Laozi. (1963). Tao te
ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.
Lewis, M. E. (2007). The
early Chinese empires: Qin and Han. Belknap Press of Harvard University
Press.
Mencius. (1970). Mengzi
(D. C. Lau, Trans.). Penguin Books.
Peerenboom, R. (2002). China’s
long march toward rule of law. Cambridge University Press.
Pines, Y. (2009). Envisioning
eternal empire: Chinese political thought of the Warring States era.
University of Hawai‘i Press.
Pines, Y. (2012). The
everlasting empire: The political culture of ancient China and its imperial
legacy. Princeton University Press.
Schmidt, E., & Cohen,
J. (2013). The new digital age: Reshaping the future of people, nations and
business. Knopf.
Schwartz, B. I. (1985). The
world of thought in ancient China. Belknap Press of Harvard University
Press.
Van Norden, B. W. (2011). Introduction
to classical Chinese philosophy. Hackett Publishing Company.
Will, P.-E., & Wong, R.
B. (1991). Nourish the people: The state civilian granary system in China,
1650–1850. University of Michigan Press.
Zhuangzi. (1996). The
book of Chuang Tzu (M. Palmer, Trans.). Penguin Books.
Xunzi. (2003). Basic
writings (B. Watson, Trans.). Columbia University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar