Jumat, 02 Mei 2025

Mohisme dalam Filsafat Tingkok: Sejarah, Ajaran, dan Relevansinya di Era Modern

Mohisme dalam Filsafat Tingkok

Sejarah, Ajaran, dan Relevansinya di Era Modern


Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan Geografis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Mohisme (墨家) sebagai salah satu aliran penting dalam Filsafat Tiongkok klasik, dengan penekanan pada karakter etika utilitarian yang dikembangkan oleh pendirinya, Mozi (墨子). Dalam konteks sosial-politik Dinasti Zhou akhir dan masa Negara-Negara Berperang, Mohisme tampil sebagai gerakan intelektual yang menekankan rasionalitas, cinta universal (jian ai), dan penolakan terhadap perang agresif (fei gong) sebagai fondasi moral dan politik. Artikel ini mengulas pokok-pokok ajaran Mohisme, kontribusinya terhadap logika dan ilmu pengetahuan, serta perbandingannya dengan aliran-aliran lain seperti Konfusianisme, Legalism, dan Daoisme. Meski mengalami kemunduran akibat dominasi Konfusianisme pada era Dinasti Han, warisan pemikiran Mohis tetap hidup dalam bentuk nilai-nilai egalitarian dan rasional yang kini mendapatkan perhatian kembali dalam kajian filsafat global dan etika publik. Melalui pendekatan interdisipliner, artikel ini juga menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Mohisme dapat direvitalisasi untuk merespons tantangan moral kontemporer, seperti keadilan sosial, perdamaian global, dan etika lintas budaya.

Kata Kunci: Mohisme; Mozi; filsafat Tiongkok; cinta universal; etika utilitarian; logika klasik; keadilan sosial; anti-perang; etika global; filsafat perbandingan.


PEMBAHASAN

Mohisme dan Etika Utilitarianisme Awal dalam Filsafat Tiongkok


1.           Pendahuluan

Filsafat Tiongkok klasik berkembang dalam konteks sosial-politik yang sangat dinamis, terutama pada masa Dinasti Zhou akhir dan periode Negara-Negara Berperang (ca. abad ke-5 hingga ke-3 SM), ketika ketidakstabilan politik dan konflik militer mendorong lahirnya berbagai sistem pemikiran yang menawarkan solusi moral dan sosial bagi tatanan masyarakat. Dalam atmosfer intelektual yang dikenal sebagai Seratus Aliran Pemikiran (百家争, Bai Jia Zheng Ming), Mohisme (墨家, Mojia) menempati posisi penting sebagai aliran yang menawarkan etika rasional, praktis, dan egaliter sebagai alternatif dari dominasi Konfusianisme yang bersifat hierarkis dan berbasis tradisi leluhur¹.

Mohisme, yang didirikan oleh pemikir Mozi (墨子, ca. 470391 SM), dikenal karena gagasan utamanya tentang jian ai (兼愛), yaitu "cinta universal tanpa pembedaan", serta penolakannya terhadap perang agresif (fei gong, 非攻). Lebih dari sekadar ajaran moral, Mohisme mencakup prinsip-prinsip utilitarian awal yang mengevaluasi tindakan berdasarkan manfaat sosial secara kolektif, menjadikannya unik dalam lanskap filsafat Timur². Mozi dan para pengikutnya tidak hanya membahas filsafat dan etika, tetapi juga terlibat dalam sains terapan, seperti logika, teknik pertahanan kota, dan ilmu ukur, menjadikan Mohisme sebagai aliran yang sangat pragmatis dan ilmiah³.

Kendati demikian, pengaruh Mohisme mulai meredup pada masa Dinasti Han, terutama karena kebangkitan Konfusianisme sebagai ideologi negara. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, para filsuf modern dan sejarawan pemikiran Tiongkok mulai menghidupkan kembali diskursus tentang Mohisme, khususnya karena kesesuaiannya dengan nilai-nilai kontemporer seperti anti-diskriminasi, perdamaian, dan keadilan sosial⁴. Melalui kajian ini, penulis bertujuan untuk menyajikan pemahaman yang mendalam tentang sejarah, ajaran utama, dan signifikansi kontemporer Mohisme, khususnya dalam kaitannya dengan konsep etika utilitarian yang telah berkembang dalam wacana moral global.


Footnotes

[1]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 29–31.

[2]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[3]                Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 112–115.

[4]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 103–106.


2.           Biografi dan Latar Sosial Mozi (墨子)

Mozi (墨子, ca. 470391 SM) merupakan salah satu pemikir besar dalam sejarah filsafat Tiongkok klasik yang dikenal sebagai pendiri aliran Mohisme (墨家). Nama aslinya diperkirakan adalah Mo Di (墨翟), meskipun informasi biografisnya masih terbatas dan banyak berasal dari sumber-sumber yang ditulis jauh setelah masa hidupnya. Tidak seperti Konfusius yang berasal dari kalangan aristokrat rendah, Mozi diperkirakan berasal dari kelas pengrajin atau teknokrat, yang membentuk dasar pandangannya yang sangat pragmatis dan egaliter terhadap masyarakat¹.

Mozi hidup pada masa transisi dari Dinasti Zhou Barat menuju periode Negara-Negara Berperang, yaitu suatu era yang ditandai oleh kekacauan politik, perebutan kekuasaan antarnegara, serta keresahan sosial yang mendalam. Dalam konteks inilah Mozi mengembangkan ajarannya sebagai kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial, kemewahan para bangsawan, serta dominasi nilai-nilai ritual dan hierarki dalam Konfusianisme. Mozi menolak eksklusivitas moral berdasarkan hubungan keluarga dan menggantinya dengan prinsip jian ai (cinta universal), yang mendorong kesetaraan dalam perlakuan terhadap sesama².

Berbeda dengan Konfusius yang menekankan pada pemeliharaan tradisi, Mozi menganjurkan prinsip moral yang berorientasi pada hasil (konsekuensialisme) dan kepentingan kolektif. Ia juga sangat menentang peperangan yang tidak perlu dan pemborosan sumber daya untuk kegiatan ritual mewah seperti musik istana dan pemakaman besar-besaran, yang menurutnya tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat biasa³. Karena latar belakangnya yang teknis, Mozi dan para pengikutnya tidak hanya memberikan ajaran moral, tetapi juga dikenal sebagai insinyur militer yang merancang sistem pertahanan kota dan mesin perang. Karya mereka yang dikenal sebagai Mo Jing (墨經) memuat banyak unsur logika, ilmu ukur, serta teknik pertahanan.

Mozi juga membentuk kelompok intelektual yang terorganisir secara ketat dan bertugas menyebarkan ajarannya ke berbagai negara bagian. Para pengikut Mohisme disebut sebagai Mohist knights (墨者), yang berkeliling menawarkan jasa intelektual maupun teknis untuk negara-negara kecil dalam upaya mempertahankan diri dari invasi negara besar. Model ini mencerminkan komitmen Mozi pada nilai-nilai praktikalitas, keadilan sosial, dan perdamaian.

Dengan demikian, latar sosial Mozi yang berasal dari kalangan non-elit, serta pengalaman hidupnya di tengah kekacauan politik, secara signifikan membentuk dasar pemikirannya yang lebih demokratis dan teknokratis dibandingkan pemikir-pemikir lain pada zamannya. Karakter ini menjadikan Mohisme sebagai suatu alternatif rasional terhadap ortodoksi Konfusianisme yang mapan dan memperlihatkan kedalaman dimensi sosial dalam wacana filsafat Tiongkok klasik.


Footnotes

[1]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 44–46.

[2]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 98–101.

[3]                Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 110–113.

[4]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[5]                Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2005), 59–61.


3.           Pokok Ajaran Mohisme

Ajaran Mohisme yang dikembangkan oleh Mozi dan para pengikutnya merupakan sistem pemikiran etis dan sosial-politik yang radikal untuk zamannya. Tidak hanya menentang dominasi Konfusianisme, Mohisme juga menawarkan suatu kerangka moral berbasis manfaat kolektif yang mendekati bentuk awal utilitarianisme dalam sejarah pemikiran dunia. Inti ajarannya meliputi prinsip-prinsip cinta universal, anti-perang, kesederhanaan hidup, dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan sosial.

3.1.       Jian Ai (兼愛) – Cinta Universal

Prinsip jian ai atau “cinta yang tidak membeda-bedakan” merupakan fondasi moral utama dalam Mohisme. Mozi menolak etika Konfusianisme yang bersifat hierarkis dan nepotistik—seperti cinta istimewa kepada keluarga sendiri—dan menggantikannya dengan cinta yang merata kepada semua manusia. Menurut Mozi, konflik sosial dan perang terjadi karena manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, bukan kepentingan kolektif. Ia menyatakan bahwa perdamaian dapat tercapai apabila semua orang saling mencintai secara setara dan saling menguntungkan satu sama lain¹.

3.2.       Fei Gong (非攻) – Penolakan terhadap Perang Agresif

Salah satu aspek paling progresif dari ajaran Mohisme adalah penolakannya terhadap perang ofensif. Dalam bab "Fei Gong", Mozi menegaskan bahwa perang yang dilancarkan oleh negara besar terhadap negara kecil adalah bentuk ketidakadilan yang merugikan rakyat kedua belah pihak. Mozi bukan seorang pasifis mutlak, tetapi ia menekankan pembelaan diri dan menolak invasi. Ia juga mengembangkan teknologi pertahanan kota untuk membantu negara-negara kecil melindungi diri dari agresi negara besar².

3.3.       Shang Tong (尚同) – Keseragaman dalam Pemerintahan

Konsep shang tong atau "menghargai keseragaman" menekankan pentingnya kesatuan suara dalam masyarakat dan negara. Mozi percaya bahwa konflik sosial disebabkan oleh pandangan yang saling bertentangan. Oleh karena itu, diperlukan keseragaman nilai yang ditentukan oleh penguasa yang bijak dan diteruskan melalui struktur hierarki sosial. Walaupun tampak otoriter, ajaran ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas sosial dalam kondisi kekacauan politik pada masa itu³.

3.4.       Fei Le (非樂) dan Fei Ming (非命) – Penolakan terhadap Musik Ritual dan Takdir

Mozi mengecam praktik-praktik yang dianggap tidak produktif secara sosial seperti musik istana (fei le) dan keyakinan fatalistik terhadap nasib (fei ming). Ia memandang bahwa sumber daya yang digunakan untuk seni dan ritual dapat lebih bermanfaat jika digunakan untuk kebutuhan rakyat seperti pertanian atau pertahanan⁴. Dalam hal takdir, Mozi menolak pandangan bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh langit (Tian) dan sebaliknya menekankan tanggung jawab moral individu atas tindakannya.

3.5.       Etika Utilitarian – Penilaian Moral Berdasarkan Manfaat

Dalam keseluruhan sistemnya, Mozi menilai tindakan berdasarkan hasil akhirnya: apakah suatu tindakan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak. Ia menggunakan kriteria utilitarian berupa "keuntungan dan kerugian" (li dan hai) sebagai tolok ukur etika sosial. Jika suatu tindakan meningkatkan kesejahteraan umum dan mengurangi penderitaan, maka tindakan itu dianggap benar secara moral⁵. Inilah sebabnya para sarjana modern menganggap Mohisme sebagai bentuk awal utilitarianisme dalam filsafat moral dunia⁶.

3.6.       Penekanan pada Praktikalitas dan Teknologi

Selain bidang etika dan politik, Mohisme juga menaruh perhatian besar pada ilmu pengetahuan terapan. Mozi dan murid-muridnya menulis Mo Jing (墨經), sebuah teks yang mengandung elemen logika formal, mekanika, geometri, serta teknik militer. Mereka dikenal sebagai praktisi yang terlibat langsung dalam pembangunan pertahanan kota dan mengembangkan teori tentang gerak, gaya, dan materi, menjadikan Mohisme sebagai aliran yang tidak hanya spekulatif, tetapi juga empiris⁷.


Footnotes

[1]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[2]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 101–104.

[3]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 55–57.

[4]                Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 114–117.

[5]                Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2005), 63–65.

[6]                David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 245.

[7]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention: Apparatus, Theories and Gifts (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 48–50.


4.           Mohisme dalam Konteks Filsafat Tiongkok

Mohisme muncul dan berkembang dalam lanskap intelektual Tiongkok klasik yang dikenal sebagai periode Seratus Aliran Pemikiran (百家争, Bai Jia Zheng Ming) selama Dinasti Zhou akhir dan periode Negara-Negara Berperang (ca. abad ke-5 hingga ke-3 SM). Dalam periode ini, berbagai aliran filsafat berlomba menawarkan solusi atas krisis moral dan sosial yang melanda Tiongkok, dan Mohisme tampil sebagai salah satu alternatif paling berani dan sistematis terhadap dominasi pemikiran Konfusianisme.

4.1.       Perbandingan dengan Konfusianisme: Egalitarianisme vs. Hierarki Sosial

Kontras paling mencolok antara Mohisme dan Konfusianisme terletak pada pendekatan mereka terhadap hubungan sosial dan etika. Konfusianisme menekankan pada keteraturan moral melalui struktur sosial yang hierarkis, di mana cinta dan kewajiban didistribusikan secara berjenjang sesuai dengan kedekatan keluarga dan status sosial. Sebaliknya, Mozi menawarkan gagasan jian ai (cinta universal) yang menolak diskriminasi moral dan menekankan perlakuan setara terhadap semua orang¹. Mozi mengecam praktik istana dan upacara sebagai pemborosan yang tidak memberi manfaat nyata bagi rakyat, sedangkan Konfusianisme melihat ritual sebagai sarana penting untuk mengatur harmoni sosial².

Namun demikian, meskipun tampak radikal, kedua aliran memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan masyarakat yang harmonis dan adil. Perbedaannya lebih terletak pada strategi dan fondasi moralnya. Dalam hal ini, Mohisme cenderung lebih utilitarian dan pragmatis, sedangkan Konfusianisme bersifat normatif dan berbasis tradisi.

4.2.       Persinggungan dengan Legalism dan Daoisme

Mohisme juga berbagi beberapa karakteristik dengan Legalism, terutama dalam hal penekanannya pada ketertiban sosial dan perlunya struktur pemerintahan yang tegas. Kedua aliran ini menganggap bahwa perilaku manusia dapat dibentuk oleh kebijakan dan institusi, bukan hanya oleh pendidikan moral seperti dalam Konfusianisme³. Namun, Legalism jauh lebih menekankan pada kekuasaan negara dan hukuman, sedangkan Mohisme berfokus pada moralitas kolektif yang rasional.

Berbeda lagi dengan Daoisme, yang berkembang melalui ajaran Laozi dan Zhuangzi. Daoisme menyerukan kembali kepada alam, spontanitas, dan penarikan diri dari keterlibatan sosial-politik. Mozi justru mengadvokasi keterlibatan aktif dalam memperbaiki masyarakat melalui usaha moral dan teknis. Daoisme menghindari konstruksi sosial, sedangkan Mohisme membangun etika sosial rasional untuk reformasi politik⁴.

4.3.       Posisi dalam Tradisi Intelektual Tiongkok

Mohisme adalah satu dari sedikit aliran yang membentuk sistem filsafat lengkap, mencakup logika, epistemologi, politik, etika, dan bahkan teknik militer. Karya mereka dalam Mo Jing menunjukkan tingkat rasionalitas yang mendalam, mencakup klasifikasi logika, teori aksi dan reaksi, serta prinsip desain mekanik⁵. Hal ini menunjukkan bahwa Mohisme tidak hanya berfokus pada moralitas, tetapi juga mencoba menciptakan metodologi ilmiah untuk menilai kebijakan dan tindakan sosial. Dalam hal ini, Mohisme menempati posisi unik sebagai aliran filsafat teknokratik dalam sejarah Tiongkok.

Namun, meski begitu sistematis dan rasional, Mohisme mengalami kemunduran pada masa Dinasti Han karena dua hal utama: pertama, karena penguasa Han lebih menyukai Konfusianisme yang mendukung legitimasi kekuasaan feodal; kedua, karena keterlibatan praktis Mohisme dalam urusan militer dan teknologi dianggap tidak sejalan dengan orientasi metafisik dan moralistik zaman Han⁶.


Warisan Intelektual dan Pengaruh Tidak Langsung

Meski secara institusional hilang, prinsip-prinsip Mohisme tetap hidup secara laten dalam pemikiran rakyat dan budaya populer. Nilai-nilai kesederhanaan, keadilan sosial, dan penolakan terhadap kekuasaan yang semena-mena tetap menjadi bagian dari narasi moral masyarakat Tiongkok. Di era modern, para filsuf dan sejarawan kembali menggali pemikiran Mozi sebagai cikal bakal filsafat moral berbasis rasionalitas sosial dan keadilan distributif, menjadikannya relevan dalam wacana keadilan global dan etika publik⁷.


Footnotes

[1]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 98–104.

[2]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 60–63.

[3]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[4]                Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 109–114.

[5]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 49–52.

[6]                Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2005), 67–70.

[7]                David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 246–248.


5.           Mohisme dan Kontribusinya terhadap Ilmu Pengetahuan

Salah satu aspek paling menonjol dari Mohisme yang membedakannya dari aliran-aliran filsafat Tiongkok klasik lainnya adalah penekanan yang kuat pada rasionalitas, empirisme, dan aplikasi teknis dalam kehidupan sosial. Tidak sekadar aliran moral dan politik, Mohisme juga mewakili semangat ilmiah awal dalam peradaban Tiongkok, khususnya melalui karya mereka dalam bidang logika, mekanika, dan teknologi militer. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran Tiongkok kuno telah mengembangkan pendekatan sistematis terhadap ilmu pengetahuan jauh sebelum munculnya sains modern di Barat.

5.1.       Mo Jing (墨經): Fondasi Logika dan Fisika Awal

Kontribusi utama Mohisme terhadap ilmu pengetahuan terhimpun dalam karya monumental Mo Jing (墨經), sebuah teks yang merupakan ensiklopedia pemikiran rasional dan teknis. Dalam Mo Jing, terdapat pembahasan mengenai definisi, klasifikasi, serta hukum-hukum logika dasar yang menyerupai bentuk awal silogisme. Misalnya, Mozi membahas prinsip identitas, kontradiksi, dan analisis semantik atas proposisi—sebuah pencapaian langka dalam konteks filsafat Tiongkok tradisional¹.

Di samping itu, Mo Jing juga memuat penjelasan mengenai fenomena fisik seperti cahaya, bunyi, gaya, dan gerak. Mozi dan para pengikutnya menunjukkan minat yang besar terhadap hubungan kausal antara peristiwa dan mencatat pengamatan mereka dalam format yang hampir eksperimental. Misalnya, terdapat deskripsi mengenai refleksi cahaya, transmisi bunyi, dan prinsip keseimbangan gaya dalam struktur mekanis². Oleh karena itu, para peneliti modern sering mengakui Mo Jing sebagai cikal bakal ilmu logika dan mekanika dalam tradisi filsafat Tiongkok³.

5.2.       Rekayasa Militer dan Teknologi Pertahanan

Mozi juga dikenal sebagai insinyur militer yang sangat terampil. Ia dan para pengikutnya mengembangkan teknologi pertahanan kota yang sangat maju untuk zamannya, termasuk penggunaan menara pengintai, katapel, dan perangkat jebakan mekanis. Mohist bahkan membentuk kelompok teknokratik keliling—Mohist knights—yang menawarkan jasa pertahanan dan rekayasa kepada negara-negara kecil yang terancam serangan⁴.

Pengetahuan teknik mereka tidak semata-mata praktis, tetapi juga berbasis pada prinsip-prinsip fisika yang mereka rumuskan. Dalam pengembangan mesin perang, mereka mempertimbangkan hukum gaya dan momentum, serta struktur bahan yang efisien. Hal ini memperlihatkan keterpaduan antara filsafat moral Mohisme dan komitmennya terhadap sains dan teknologi sebagai sarana perlindungan kehidupan dan keadilan sosial⁵.

5.3.       Epistemologi Mohis: Kriteria Kebenaran Ilmiah

Mohisme juga menyumbangkan pendekatan epistemologis yang unik terhadap pengetahuan. Mozi mengembangkan tiga kriteria evaluasi terhadap kebenaran suatu ajaran: (1) Acuan kepada pengalaman orang-orang terdahulu (uji historis), (2) Penerimaan oleh masyarakat luas (uji kolektif), dan (3) Efektivitas dalam praktik (uji utilitas). Kriteria ini menunjukkan bahwa Mohisme telah mengantisipasi prinsip-prinsip dasar dalam metode ilmiah, seperti empirisme, verifikasi sosial, dan orientasi praktis⁶.

Ketiga kriteria ini tidak hanya digunakan untuk menilai teori etika dan kebijakan politik, tetapi juga dalam mengevaluasi klaim-klaim teknis. Artinya, bagi kaum Mohis, kebenaran bukanlah hasil intuisi metafisik atau wahyu spiritual, tetapi hasil dari pengamatan, rasionalitas, dan kebermanfaatan.


Warisan dalam Tradisi Ilmiah Tiongkok

Meskipun Mohisme sebagai institusi mengalami kemunduran sejak awal Dinasti Han, warisan ilmiahnya tetap menginspirasi perkembangan teknologi di Tiongkok. Banyak prinsip dalam Mo Jing kembali diadopsi oleh para insinyur dan teknokrat Dinasti Song berabad-abad kemudian. Penekanan Mohisme pada rasionalitas, manfaat sosial, dan efisiensi teknis membuatnya menjadi prototipe awal scientific humanism dalam tradisi Timur, dan membuka wacana tentang bagaimana filsafat dapat menyatu dengan teknologi untuk tujuan etis⁷.


Footnotes

[1]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[2]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 47–52.

[3]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 70–73.

[4]                Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 113–117.

[5]                Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2005), 65–68.

[6]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 104–107.

[7]                Joseph Needham, Science and Civilisation in China, Volume 2: History of Scientific Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1956), 72–75.


6.           Kemunduran dan Warisan Pemikiran Mohisme

Setelah mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-4 SM, Mohisme mengalami kemunduran yang cukup drastis dan secara bertahap terpinggirkan dari arus utama filsafat dan politik Tiongkok. Walaupun demikian, warisan pemikiran Mozi tetap memiliki jejak signifikan dalam sejarah intelektual Tiongkok dan bahkan mengalami revitalisasi dalam studi filsafat kontemporer, baik di Timur maupun Barat.

6.1.       Faktor Kemunduran Mohisme

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan merosotnya pengaruh Mohisme. Pertama, konsolidasi kekuasaan oleh Dinasti Qin (221–206 SM) dan kemudian Dinasti Han (206 SM–220 M) meminggirkan ajaran-ajaran yang tidak sejalan dengan legitimasi ideologis negara. Konfusianisme, yang menekankan kesetiaan hierarkis, ritual, dan stabilitas sosial, dianggap lebih cocok untuk mendukung sistem pemerintahan kekaisaran yang terpusat. Sebaliknya, Mohisme dengan ajaran cinta universal dan kritiknya terhadap perang dan kemewahan dianggap subversif terhadap tatanan kekuasaan⁽¹⁾.

Kedua, struktur Mohisme sebagai organisasi semi-militer yang terlibat aktif dalam pertahanan kota dan urusan teknis negara menyebabkan ia bergantung pada patronase politik dari negara-negara kecil. Ketika negara-negara kecil ditaklukkan atau diserap ke dalam kerajaan yang lebih besar, basis pendukung Mohisme secara institusional pun lenyap⁽²⁾.

Ketiga, karakter rasional dan utilitarian Mohisme bertentangan dengan orientasi metafisik dan spiritual yang mulai berkembang pada masa Han. Ajaran yang menolak ritual, musik, dan takdir dianggap terlalu kaku dan mengabaikan aspek emosional serta simbolis kehidupan manusia, yang justru mendapat tempat dalam filsafat-filsafat yang lebih berorientasi humanistik seperti Konfusianisme dan Daoisme⁽³⁾.

6.2.       Warisan Pemikiran dalam Budaya dan Ilmu Pengetahuan

Walaupun Mohisme sebagai institusi menghilang dari panggung sejarah, pengaruhnya tetap terasa dalam aspek-aspek tertentu kebudayaan Tiongkok. Prinsip jian ai (cinta universal) sering muncul dalam narasi moral rakyat dan cerita rakyat yang mengutamakan keadilan sosial. Di samping itu, pendekatan rasional dan teknokratik Mohisme memberikan inspirasi dalam tradisi keilmuan Tiongkok, terutama dalam bidang teknik dan logika⁽⁴⁾.

Pada masa Dinasti Song, muncul kembali minat terhadap penalaran logis dan sistematis yang sejalan dengan semangat Mohisme, meskipun tidak selalu secara eksplisit merujuk kepada Mozi. Para insinyur dan ilmuwan seperti Shen Kuo dan Su Song, yang dikenal karena pendekatan ilmiah mereka, menunjukkan bahwa warisan pemikiran teknis Mohis tidak sepenuhnya padam⁽⁵⁾.

6.3.       Revitalisasi Modern dan Studi Filsafat Perbandingan

Sejak abad ke-20, Mozi mulai mendapat perhatian kembali dalam kajian akademik, baik di Tiongkok maupun di dunia Barat. Para filsuf seperti Feng Youlan dan Hu Shi menekankan bahwa Mohisme adalah bagian integral dari kebangkitan rasionalitas dalam filsafat Tiongkok. Mozi diposisikan sebagai pemikir yang menonjolkan keadilan sosial dan logika—dua hal yang sangat relevan dalam etika publik dan filsafat moral modern⁽⁶⁾.

Selain itu, para ahli filsafat perbandingan juga mulai melihat Mohisme sebagai bentuk awal dari etika konsekuensialis atau bahkan utilitarianisme. Mozi dinilai telah menyusun suatu sistem etika berdasarkan manfaat umum dan penolakan terhadap penderitaan yang tidak perlu—sebuah pendekatan yang menemukan resonansi kuat dalam filsafat moral kontemporer seperti pemikiran Peter Singer dan John Stuart Mill⁽⁷⁾.

6.4.       Signifikansi Budaya dan Global Kontemporer

Dalam konteks global saat ini, nilai-nilai Mohisme seperti cinta universal, penolakan terhadap perang, dan penilaian moral berdasarkan dampak sosial memiliki potensi besar untuk diintegrasikan dalam wacana etika global, pendidikan multikultural, dan kebijakan publik. Warisan Mozi yang pernah dianggap usang, kini muncul kembali sebagai suara relevan yang menantang eksklusivisme moral dan mengusulkan pandangan dunia yang lebih rasional, egaliter, dan berorientasi pada keadilan sosial⁽⁸⁾.


Footnotes

[1]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 108–110.

[2]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[3]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 75–78.

[4]                Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 117–120.

[5]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 50–53.

[6]                Hu Shi, The Development of the Logical Method in Ancient China (New York: Paragon Book Gallery, 1963), 21–25.

[7]                David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 248–250.

[8]                Philip J. Ivanhoe, “Pluralism and Chinese Moral Traditions,” in Taking Confucian Ethics Seriously: Contemporary Theories and Applications, ed. Kam-por Yu, Julia Tao, and Philip J. Ivanhoe (Albany: SUNY Press, 2010), 89–91.


7.           Mohisme dalam Perspektif Kontemporer

Di tengah tantangan global seperti ketimpangan sosial, kekerasan atas nama negara, serta pencarian etika global yang inklusif dan rasional, ajaran Mohisme menunjukkan relevansinya kembali. Pemikiran Mozi yang selama berabad-abad terpinggirkan kini memperoleh tempat dalam diskursus filsafat moral, etika politik, dan teori keadilan kontemporer. Melalui pendekatan utilitarian yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif, Mohisme menawarkan kerangka etik yang dapat menjembatani nilai-nilai Timur dan Barat dalam merespons isu-isu kemanusiaan modern.

7.1.       Mohisme dan Etika Global: Cinta Universal dalam Dunia Multikultural

Konsep jian ai (兼愛), atau cinta universal tanpa pembedaan, sangat relevan dalam wacana etika global yang berupaya menanggapi krisis moral akibat eksklusivisme etnis, nasionalisme ekstrem, dan diskriminasi rasial. Di era di mana kesetaraan hak menjadi prinsip universal, ajaran Mozi mengenai perlakuan moral yang sama kepada semua manusia menegaskan pentingnya inklusivitas sebagai prinsip dasar kemanusiaan. Dalam hal ini, Mohisme memiliki resonansi dengan prinsip-prinsip impartial benevolence dalam etika kontemporer⁽¹⁾.

Etika Mohisme juga dapat dikaitkan dengan gagasan cosmopolitanism yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf seperti Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah, yang menekankan tanggung jawab moral lintas batas negara dan budaya. Mozi mengajarkan bahwa manusia harus menghindari egoisme kelompok (keluarga, negara, ras), dan mengedepankan sikap saling menguntungkan berdasarkan prinsip kesetaraan moral universal⁽²⁾.

7.2.       Mozi dan Utilitarianisme Modern: Titik Temu dengan Barat

Mozi dapat dianggap sebagai salah satu pelopor konsekuensialisme dalam sejarah etika dunia, karena ajarannya menilai moralitas tindakan berdasarkan hasil—apakah tindakan tersebut menghasilkan manfaat ( li) atau kerugian ( hai) bagi masyarakat. Ini membuatnya sejalan dengan etika utilitarian yang dikembangkan jauh kemudian oleh tokoh-tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Beberapa akademisi bahkan menyebut Mohisme sebagai bentuk proto-utilitarianism⁽³⁾.

Peter Singer, dalam kerangka etika utilitarian modern, mengemukakan pentingnya memaksimalkan kesejahteraan semua makhluk yang dapat merasakan penderitaan. Ajaran Mozi, dengan penekanan pada penghindaran penderitaan akibat perang dan ketidakadilan, memiliki substansi moral serupa, meskipun konteks kebudayaannya sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika konsekuensialis memiliki akar lintas budaya dan waktu⁽⁴⁾.

7.3.       Relevansi Sosial-Politik: Anti-Perang dan Keadilan Sosial

Dalam konteks geopolitik modern yang ditandai oleh konflik bersenjata, kolonialisme ekonomi, dan politik kekuasaan, prinsip fei gong (非攻)penolakan terhadap perang agresifmemiliki nilai yang sangat aktual. Mozi mengkritik negara-negara besar yang menyerang negara kecil demi ekspansi dan keuntungan, dan menyebut perang semacam itu sebagai ketidakadilan terhadap rakyat. Gagasan ini sangat relevan untuk wacana etika politik dan hubungan internasional masa kini, khususnya dalam konteks hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional⁽⁵⁾.

Lebih dari itu, penolakan Mohisme terhadap kemewahan yang tidak produktif dan penekanannya pada pemerintahan yang rasional dan bermanfaat bagi rakyat banyak, menawarkan inspirasi bagi sistem pemerintahan yang berbasis keadilan distributif dan efisiensi kebijakan publik. Dalam konteks ini, Mohisme dapat dilihat sebagai salah satu model etika politik berbasis welfare state dalam kebudayaan Timur⁽⁶⁾.

7.4.       Tantangan dalam Revitalisasi Mohisme

Meski demikian, ada tantangan dalam merekontekstualisasi Mohisme secara langsung ke dunia modern. Sistem sosial dan teknologi saat ini sangat berbeda dari zaman Mozi. Beberapa prinsipnya, seperti shang tong (keseragaman pendapat), dapat dianggap bermasalah dalam demokrasi pluralistik modern yang menghargai kebebasan berpikir. Oleh karena itu, perlu pendekatan hermeneutis yang kritis untuk mengadaptasi nilai-nilai Mohisme ke dalam kerangka kontemporer tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan hak individu⁽⁷⁾.

Namun, nilai-nilai dasar seperti rasionalitas, cinta universal, penolakan perang, dan evaluasi moral berdasarkan dampak sosial tetap memiliki tempat penting dalam filsafat global masa kini. Dengan demikian, Mohisme tidak hanya menjadi warisan filsafat kuno, tetapi juga sumber inspirasi etis yang relevan untuk masa depan dunia.


Footnotes

[1]                Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 120–123.

[2]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 7–9.

[3]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 103–106.

[4]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 17–19.

[5]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[6]                Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 78–81.

[7]                David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 251–253.


8.           Kesimpulan

Mohisme, sebagai salah satu aliran besar dalam sejarah filsafat Tiongkok kuno, telah menunjukkan karakter yang sangat khas dalam lanskap intelektual Asia Timur. Melalui ajaran-ajaran revolusioner Mozi mengenai cinta universal (jian ai), penolakan terhadap perang agresif (fei gong), serta etika berbasis manfaat kolektif, Mohisme membentuk suatu sistem filsafat yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga praktis dan aplikatif. Pemikiran Mozi menempatkan manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial, menekankan prinsip rasionalitas dan keadilan di atas keturunan, status, atau afiliasi politik¹.

Sebagai bentuk awal dari etika konsekuensialis, Mohisme memperlihatkan bahwa pemikiran moral yang berorientasi pada hasil dan manfaat bersama telah berkembang di luar tradisi Barat, bahkan lebih awal dari utilitarianisme Inggris modern. Dengan menggunakan parameter manfaat (li) dan kerugian (hai) sebagai ukuran moralitas, Mohisme memperkenalkan pendekatan yang bisa dikatakan sebagai bentuk proto-utilitarianisme, yang berbasis pada pertimbangan empiris dan sosial dalam menentukan kebenaran tindakan².

Selain sumbangsihnya dalam bidang etika, Mohisme juga berperan penting dalam perkembangan awal ilmu pengetahuan di Tiongkok. Melalui teks Mo Jing, kaum Mohis menyumbangkan prinsip-prinsip logika formal, studi kausalitas, serta penerapan teknis dalam bidang mekanika dan pertahanan militer³. Pendekatan mereka yang menggabungkan etika, politik, dan sains praktis menunjukkan kedalaman dan keluasan pemikiran Mohisme yang sering kali terabaikan dalam narasi sejarah intelektual dominan.

Kendati mengalami kemunduran pada masa Dinasti Han karena dominasi Konfusianisme dan perubahan orientasi spiritual masyarakat, warisan Mohisme tetap hidup dalam bentuk nilai-nilai egalitarianisme, rasionalisme, dan teknokratik yang muncul kembali dalam diskursus etika modern. Di era kontemporer, Mohisme mendapatkan revitalisasi karena kemampuannya menjawab isu-isu global seperti kesetaraan, perdamaian, dan keadilan sosial⁴.

Dalam konteks ini, Mohisme bukan sekadar peninggalan sejarah filsafat Tiongkok, melainkan sebuah sistem pemikiran yang patut dijadikan referensi lintas budaya dalam membangun etika global yang lebih manusiawi, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Sebagaimana dicatat oleh para filsuf modern, ajaran Mozi menawarkan alternatif filosofis yang sangat relevan bagi masa kini—baik sebagai kritik terhadap kekuasaan yang eksklusif, maupun sebagai tawaran etika moral yang menekankan tanggung jawab terhadap sesama manusia⁵.


Footnotes

[1]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 95–97.

[2]                Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.

[3]                Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 47–50.

[4]                Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 121–123.

[5]                David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 250–253.


Daftar Pustaka

Fraser, C. (2023). Mohism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition). Stanford University. https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/

Hansen, C. (1992). A Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. Oxford University Press.

Ivanhoe, P. J., & Van Norden, B. W. (Eds.). (2005). Readings in classical Chinese philosophy. Hackett Publishing Company.

Needham, J. (1956). Science and civilisation in China, Volume 2: History of scientific thought. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Sivin, N. (1995). Science and civilisation in China, Volume 5: Chemistry and chemical technology, Part 5: Spagyrical discovery and invention: Apparatus, theories and gifts. Cambridge University Press.

Van Norden, B. W. (2011). Introduction to classical Chinese philosophy. Hackett Publishing Company.

Wang, R. R. (2003). Mozi and the Mohist school: Rational ethics and political reform. In B. Mou (Ed.), Chinese philosophy in an era of globalization (pp. 109–123). State University of New York Press.

Wong, D. B. (2003). Comparative philosophy: Chinese and Western. In J. J. E. Gracia & T. B. Noone (Eds.), A companion to philosophy in the Middle Ages (pp. 245–253). Blackwell Publishing.

Yu, K.-P., Tao, J., & Ivanhoe, P. J. (Eds.). (2010). Taking Confucian ethics seriously: Contemporary theories and applications. State University of New York Press.

Hu, S. (1963). The development of the logical method in ancient China. Paragon Book Gallery.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar