Mohisme dalam Filsafat Tingkok
Sejarah, Ajaran, dan Relevansinya di Era Modern
Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan
Geografis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Mohisme (墨家) sebagai
salah satu aliran penting dalam Filsafat Tiongkok klasik, dengan penekanan pada
karakter etika utilitarian yang dikembangkan oleh pendirinya, Mozi (墨子). Dalam
konteks sosial-politik Dinasti Zhou akhir dan masa Negara-Negara Berperang,
Mohisme tampil sebagai gerakan intelektual yang menekankan rasionalitas, cinta
universal (jian ai), dan penolakan terhadap perang agresif (fei gong)
sebagai fondasi moral dan politik. Artikel ini mengulas pokok-pokok ajaran
Mohisme, kontribusinya terhadap logika dan ilmu pengetahuan, serta
perbandingannya dengan aliran-aliran lain seperti Konfusianisme, Legalism, dan
Daoisme. Meski mengalami kemunduran akibat dominasi Konfusianisme pada era
Dinasti Han, warisan pemikiran Mohis tetap hidup dalam bentuk nilai-nilai
egalitarian dan rasional yang kini mendapatkan perhatian kembali dalam kajian
filsafat global dan etika publik. Melalui pendekatan interdisipliner, artikel
ini juga menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Mohisme dapat direvitalisasi
untuk merespons tantangan moral kontemporer, seperti keadilan sosial,
perdamaian global, dan etika lintas budaya.
Kata Kunci: Mohisme; Mozi; filsafat Tiongkok; cinta universal;
etika utilitarian; logika klasik; keadilan sosial; anti-perang; etika global;
filsafat perbandingan.
PEMBAHASAN
Mohisme dan Etika Utilitarianisme Awal dalam Filsafat
Tiongkok
1.
Pendahuluan
Filsafat Tiongkok
klasik berkembang dalam konteks sosial-politik yang sangat dinamis, terutama
pada masa Dinasti Zhou akhir dan periode Negara-Negara Berperang (ca. abad ke-5
hingga ke-3 SM), ketika ketidakstabilan politik dan konflik militer mendorong lahirnya
berbagai sistem pemikiran yang menawarkan solusi moral dan sosial bagi tatanan
masyarakat. Dalam atmosfer intelektual yang dikenal sebagai Seratus
Aliran Pemikiran (百家争鸣, Bai Jia Zheng Ming), Mohisme (墨家,
Mojia)
menempati posisi penting sebagai aliran yang menawarkan etika rasional,
praktis, dan egaliter sebagai alternatif dari dominasi Konfusianisme yang
bersifat hierarkis dan berbasis tradisi leluhur¹.
Mohisme, yang
didirikan oleh pemikir Mozi (墨子, ca. 470–391 SM), dikenal karena gagasan utamanya tentang jian ai
(兼愛),
yaitu "cinta universal tanpa pembedaan", serta penolakannya
terhadap perang agresif (fei gong, 非攻).
Lebih dari sekadar ajaran moral, Mohisme mencakup prinsip-prinsip utilitarian
awal yang mengevaluasi tindakan berdasarkan manfaat sosial secara kolektif,
menjadikannya unik dalam lanskap filsafat Timur². Mozi dan para pengikutnya
tidak hanya membahas filsafat dan etika, tetapi juga terlibat dalam sains
terapan, seperti logika, teknik pertahanan kota, dan ilmu ukur, menjadikan
Mohisme sebagai aliran yang sangat pragmatis dan ilmiah³.
Kendati demikian,
pengaruh Mohisme mulai meredup pada masa Dinasti Han, terutama karena
kebangkitan Konfusianisme sebagai ideologi negara. Namun, dalam beberapa dekade
terakhir, para filsuf modern dan sejarawan pemikiran Tiongkok mulai
menghidupkan kembali diskursus tentang Mohisme, khususnya karena kesesuaiannya
dengan nilai-nilai kontemporer seperti anti-diskriminasi, perdamaian, dan
keadilan sosial⁴. Melalui kajian ini, penulis bertujuan untuk menyajikan pemahaman
yang mendalam tentang sejarah, ajaran utama, dan signifikansi kontemporer
Mohisme, khususnya dalam kaitannya dengan konsep etika utilitarian yang telah
berkembang dalam wacana moral global.
Footnotes
[1]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 29–31.
[2]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[3]
Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese
Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press,
2003), 112–115.
[4]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 103–106.
2.
Biografi dan Latar Sosial Mozi (墨子)
Mozi (墨子,
ca. 470–391 SM)
merupakan salah satu pemikir besar dalam sejarah filsafat Tiongkok klasik yang
dikenal sebagai pendiri aliran Mohisme (墨家). Nama aslinya
diperkirakan adalah Mo Di (墨翟), meskipun informasi biografisnya
masih terbatas dan banyak berasal dari sumber-sumber yang ditulis jauh setelah
masa hidupnya. Tidak seperti Konfusius yang berasal dari kalangan aristokrat
rendah, Mozi diperkirakan berasal dari kelas pengrajin atau teknokrat, yang
membentuk dasar pandangannya yang sangat pragmatis dan egaliter terhadap
masyarakat¹.
Mozi hidup pada masa
transisi dari Dinasti Zhou Barat menuju periode Negara-Negara Berperang, yaitu
suatu era yang ditandai oleh kekacauan politik, perebutan kekuasaan
antarnegara, serta keresahan sosial yang mendalam. Dalam konteks inilah Mozi
mengembangkan ajarannya sebagai kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial,
kemewahan para bangsawan, serta dominasi nilai-nilai ritual dan hierarki dalam
Konfusianisme. Mozi menolak eksklusivitas moral berdasarkan hubungan keluarga
dan menggantinya dengan prinsip jian ai (cinta universal), yang
mendorong kesetaraan dalam perlakuan terhadap sesama².
Berbeda dengan
Konfusius yang menekankan pada pemeliharaan tradisi, Mozi menganjurkan prinsip
moral yang berorientasi pada hasil (konsekuensialisme) dan kepentingan
kolektif. Ia juga sangat menentang peperangan yang tidak perlu dan pemborosan
sumber daya untuk kegiatan ritual mewah seperti musik istana dan pemakaman
besar-besaran, yang menurutnya tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat
biasa³. Karena latar belakangnya yang teknis, Mozi dan para pengikutnya tidak
hanya memberikan ajaran moral, tetapi juga dikenal sebagai insinyur militer
yang merancang sistem pertahanan kota dan mesin perang. Karya mereka yang
dikenal sebagai Mo Jing (墨經)
memuat banyak unsur logika, ilmu ukur, serta teknik pertahanan⁴.
Mozi juga membentuk
kelompok intelektual yang terorganisir secara ketat dan bertugas menyebarkan
ajarannya ke berbagai negara bagian. Para pengikut Mohisme disebut sebagai Mohist
knights (墨者), yang berkeliling menawarkan jasa
intelektual maupun teknis untuk negara-negara kecil dalam upaya mempertahankan
diri dari invasi negara besar⁵.
Model ini mencerminkan komitmen Mozi pada nilai-nilai praktikalitas, keadilan
sosial, dan perdamaian.
Dengan demikian,
latar sosial Mozi yang berasal dari kalangan non-elit, serta pengalaman
hidupnya di tengah kekacauan politik, secara signifikan membentuk dasar
pemikirannya yang lebih demokratis dan teknokratis dibandingkan pemikir-pemikir
lain pada zamannya. Karakter ini menjadikan Mohisme sebagai suatu alternatif
rasional terhadap ortodoksi Konfusianisme yang mapan dan memperlihatkan
kedalaman dimensi sosial dalam wacana filsafat Tiongkok klasik.
Footnotes
[1]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 44–46.
[2]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 98–101.
[3]
Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese
Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press,
2003), 110–113.
[4]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[5]
Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in
Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
2005), 59–61.
3.
Pokok Ajaran Mohisme
Ajaran Mohisme yang
dikembangkan oleh Mozi dan para pengikutnya merupakan sistem pemikiran etis dan
sosial-politik yang radikal untuk zamannya. Tidak hanya menentang dominasi
Konfusianisme, Mohisme juga menawarkan suatu kerangka moral berbasis manfaat
kolektif yang mendekati bentuk awal utilitarianisme dalam sejarah
pemikiran dunia. Inti ajarannya meliputi prinsip-prinsip cinta universal,
anti-perang, kesederhanaan hidup, dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan
sosial.
3.1.
Jian Ai (兼愛) – Cinta Universal
Prinsip jian ai
atau “cinta yang tidak membeda-bedakan” merupakan fondasi moral utama
dalam Mohisme. Mozi menolak etika Konfusianisme yang bersifat hierarkis dan
nepotistik—seperti cinta istimewa kepada keluarga sendiri—dan menggantikannya
dengan cinta yang merata kepada semua manusia. Menurut Mozi, konflik sosial dan
perang terjadi karena manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompok, bukan kepentingan kolektif. Ia menyatakan bahwa perdamaian dapat
tercapai apabila semua orang saling mencintai secara setara dan saling
menguntungkan satu sama lain¹.
3.2.
Fei Gong (非攻) – Penolakan terhadap Perang Agresif
Salah satu aspek
paling progresif dari ajaran Mohisme adalah penolakannya terhadap perang
ofensif. Dalam bab "Fei Gong", Mozi menegaskan bahwa perang
yang dilancarkan oleh negara besar terhadap negara kecil adalah bentuk
ketidakadilan yang merugikan rakyat kedua belah pihak. Mozi bukan seorang
pasifis mutlak, tetapi ia menekankan pembelaan diri dan menolak invasi. Ia juga
mengembangkan teknologi pertahanan kota untuk membantu negara-negara kecil
melindungi diri dari agresi negara besar².
3.3.
Shang Tong (尚同) – Keseragaman dalam Pemerintahan
Konsep shang
tong atau "menghargai keseragaman" menekankan
pentingnya kesatuan suara dalam masyarakat dan negara. Mozi percaya bahwa
konflik sosial disebabkan oleh pandangan yang saling bertentangan. Oleh karena
itu, diperlukan keseragaman nilai yang ditentukan oleh penguasa yang bijak dan
diteruskan melalui struktur hierarki sosial. Walaupun tampak otoriter, ajaran
ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas sosial dalam kondisi kekacauan
politik pada masa itu³.
3.4.
Fei Le (非樂) dan Fei Ming (非命) – Penolakan terhadap Musik Ritual dan Takdir
Mozi mengecam
praktik-praktik yang dianggap tidak produktif secara sosial seperti musik
istana (fei le)
dan keyakinan fatalistik terhadap nasib (fei ming). Ia memandang bahwa
sumber daya yang digunakan untuk seni dan ritual dapat lebih bermanfaat jika
digunakan untuk kebutuhan rakyat seperti pertanian atau pertahanan⁴. Dalam hal
takdir, Mozi menolak pandangan bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh langit
(Tian)
dan sebaliknya menekankan tanggung jawab moral individu atas tindakannya.
3.5.
Etika Utilitarian – Penilaian Moral Berdasarkan
Manfaat
Dalam keseluruhan
sistemnya, Mozi menilai tindakan berdasarkan hasil akhirnya: apakah suatu
tindakan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak. Ia menggunakan
kriteria utilitarian berupa "keuntungan dan kerugian" (li
dan hai)
sebagai tolok ukur etika sosial. Jika suatu tindakan meningkatkan kesejahteraan
umum dan mengurangi penderitaan, maka tindakan itu dianggap benar secara
moral⁵. Inilah sebabnya para sarjana modern menganggap Mohisme sebagai bentuk
awal utilitarianisme dalam filsafat moral dunia⁶.
3.6.
Penekanan pada Praktikalitas dan Teknologi
Selain bidang etika
dan politik, Mohisme juga menaruh perhatian besar pada ilmu pengetahuan
terapan. Mozi dan murid-muridnya menulis Mo Jing (墨經),
sebuah teks yang mengandung elemen logika formal, mekanika, geometri, serta
teknik militer. Mereka dikenal sebagai praktisi yang terlibat langsung dalam
pembangunan pertahanan kota dan mengembangkan teori tentang gerak, gaya, dan
materi, menjadikan Mohisme sebagai aliran yang tidak hanya spekulatif, tetapi
juga empiris⁷.
Footnotes
[1]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[2]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 101–104.
[3]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 55–57.
[4]
Robin R. Wang, “Mozi: Logician, Engineer, and Ethical Thinker,” in Chinese
Philosophy in an Era of Globalization, ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press,
2003), 114–117.
[5]
Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in
Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
2005), 63–65.
[6]
David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A
Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and
Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 245.
[7]
Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5:
Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention:
Apparatus, Theories and Gifts (Cambridge: Cambridge University Press,
1995), 48–50.
4.
Mohisme dalam Konteks Filsafat Tiongkok
Mohisme muncul dan
berkembang dalam lanskap intelektual Tiongkok klasik yang dikenal sebagai
periode Seratus
Aliran Pemikiran (百家争鸣, Bai Jia Zheng Ming) selama Dinasti
Zhou akhir dan periode Negara-Negara Berperang (ca. abad ke-5 hingga ke-3 SM).
Dalam periode ini, berbagai aliran filsafat berlomba menawarkan solusi atas
krisis moral dan sosial yang melanda Tiongkok, dan Mohisme tampil sebagai salah
satu alternatif paling berani dan sistematis terhadap dominasi pemikiran
Konfusianisme.
4.1.
Perbandingan dengan Konfusianisme:
Egalitarianisme vs. Hierarki Sosial
Kontras paling
mencolok antara Mohisme dan Konfusianisme terletak pada pendekatan mereka
terhadap hubungan sosial dan etika. Konfusianisme menekankan pada keteraturan
moral melalui struktur sosial yang hierarkis, di mana cinta dan kewajiban
didistribusikan secara berjenjang sesuai dengan kedekatan keluarga dan status sosial.
Sebaliknya, Mozi menawarkan gagasan jian ai (cinta universal) yang
menolak diskriminasi moral dan menekankan perlakuan setara terhadap semua
orang¹. Mozi mengecam praktik istana dan upacara sebagai pemborosan yang tidak
memberi manfaat nyata bagi rakyat, sedangkan Konfusianisme melihat ritual
sebagai sarana penting untuk mengatur harmoni sosial².
Namun demikian,
meskipun tampak radikal, kedua aliran memiliki tujuan yang sama, yaitu
menciptakan masyarakat yang harmonis dan adil. Perbedaannya lebih terletak pada
strategi dan fondasi moralnya. Dalam hal ini, Mohisme cenderung lebih
utilitarian dan pragmatis, sedangkan Konfusianisme bersifat normatif dan
berbasis tradisi.
4.2.
Persinggungan dengan Legalism dan Daoisme
Mohisme juga berbagi
beberapa karakteristik dengan Legalism, terutama dalam hal penekanannya pada
ketertiban sosial dan perlunya struktur pemerintahan yang tegas. Kedua aliran
ini menganggap bahwa perilaku manusia dapat dibentuk oleh kebijakan dan
institusi, bukan hanya oleh pendidikan moral seperti dalam Konfusianisme³.
Namun, Legalism jauh lebih menekankan pada kekuasaan negara dan hukuman,
sedangkan Mohisme berfokus pada moralitas kolektif yang rasional.
Berbeda lagi dengan
Daoisme, yang berkembang melalui ajaran Laozi dan Zhuangzi. Daoisme menyerukan
kembali kepada alam, spontanitas, dan penarikan diri dari keterlibatan
sosial-politik. Mozi justru mengadvokasi keterlibatan aktif dalam memperbaiki
masyarakat melalui usaha moral dan teknis. Daoisme menghindari konstruksi
sosial, sedangkan Mohisme membangun etika sosial rasional untuk reformasi
politik⁴.
4.3.
Posisi dalam Tradisi Intelektual Tiongkok
Mohisme adalah satu
dari sedikit aliran yang membentuk sistem filsafat lengkap, mencakup
logika, epistemologi, politik, etika, dan bahkan teknik militer. Karya mereka
dalam Mo Jing
menunjukkan tingkat rasionalitas yang mendalam, mencakup klasifikasi logika,
teori aksi dan reaksi, serta prinsip desain mekanik⁵. Hal ini menunjukkan bahwa
Mohisme tidak hanya berfokus pada moralitas, tetapi juga mencoba menciptakan
metodologi ilmiah untuk menilai kebijakan dan tindakan sosial. Dalam hal ini,
Mohisme menempati posisi unik sebagai aliran filsafat teknokratik dalam
sejarah Tiongkok.
Namun, meski begitu
sistematis dan rasional, Mohisme mengalami kemunduran pada masa Dinasti Han
karena dua hal utama: pertama, karena penguasa Han lebih menyukai Konfusianisme
yang mendukung legitimasi kekuasaan feodal; kedua, karena keterlibatan praktis
Mohisme dalam urusan militer dan teknologi dianggap tidak sejalan dengan
orientasi metafisik dan moralistik zaman Han⁶.
Warisan Intelektual dan Pengaruh Tidak Langsung
Meski secara
institusional hilang, prinsip-prinsip Mohisme tetap hidup secara laten dalam
pemikiran rakyat dan budaya populer. Nilai-nilai kesederhanaan, keadilan
sosial, dan penolakan terhadap kekuasaan yang semena-mena tetap menjadi bagian
dari narasi moral masyarakat Tiongkok. Di era modern, para filsuf dan sejarawan
kembali menggali pemikiran Mozi sebagai cikal bakal filsafat moral berbasis
rasionalitas sosial dan keadilan distributif, menjadikannya relevan dalam
wacana keadilan global dan etika publik⁷.
Footnotes
[1]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 98–104.
[2]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 60–63.
[3]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[4]
Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and
Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization,
ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 109–114.
[5]
Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5:
Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 49–52.
[6]
Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in
Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
2005), 67–70.
[7]
David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A
Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and
Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 246–248.
5.
Mohisme dan Kontribusinya terhadap Ilmu
Pengetahuan
Salah satu aspek
paling menonjol dari Mohisme yang membedakannya dari aliran-aliran filsafat
Tiongkok klasik lainnya adalah penekanan yang kuat pada rasionalitas,
empirisme, dan aplikasi teknis dalam kehidupan sosial. Tidak sekadar aliran
moral dan politik, Mohisme juga mewakili semangat ilmiah awal dalam peradaban
Tiongkok, khususnya melalui karya mereka dalam bidang logika, mekanika, dan
teknologi militer. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran Tiongkok kuno telah
mengembangkan pendekatan sistematis terhadap ilmu pengetahuan jauh sebelum
munculnya sains modern di Barat.
5.1.
Mo Jing (墨經): Fondasi Logika dan Fisika Awal
Kontribusi utama
Mohisme terhadap ilmu pengetahuan terhimpun dalam karya monumental Mo Jing
(墨經),
sebuah teks yang merupakan ensiklopedia pemikiran rasional dan teknis. Dalam Mo Jing,
terdapat pembahasan mengenai definisi, klasifikasi, serta hukum-hukum logika
dasar yang menyerupai bentuk awal silogisme. Misalnya, Mozi membahas prinsip
identitas, kontradiksi, dan analisis semantik atas proposisi—sebuah pencapaian
langka dalam konteks filsafat Tiongkok tradisional¹.
Di samping itu, Mo Jing
juga memuat penjelasan mengenai fenomena fisik seperti cahaya, bunyi, gaya, dan
gerak. Mozi dan para pengikutnya menunjukkan minat yang besar terhadap hubungan
kausal antara peristiwa dan mencatat pengamatan mereka dalam format yang hampir
eksperimental. Misalnya, terdapat deskripsi mengenai refleksi cahaya, transmisi
bunyi, dan prinsip keseimbangan gaya dalam struktur mekanis². Oleh karena itu,
para peneliti modern sering mengakui Mo Jing sebagai cikal bakal ilmu
logika dan mekanika dalam tradisi filsafat Tiongkok³.
5.2.
Rekayasa Militer dan Teknologi Pertahanan
Mozi juga dikenal
sebagai insinyur militer yang sangat terampil. Ia dan para pengikutnya
mengembangkan teknologi pertahanan kota yang sangat maju untuk zamannya,
termasuk penggunaan menara pengintai, katapel, dan perangkat jebakan mekanis.
Mohist bahkan membentuk kelompok teknokratik keliling—Mohist
knights—yang menawarkan jasa pertahanan dan rekayasa kepada
negara-negara kecil yang terancam serangan⁴.
Pengetahuan teknik
mereka tidak semata-mata praktis, tetapi juga berbasis pada prinsip-prinsip
fisika yang mereka rumuskan. Dalam pengembangan mesin perang, mereka
mempertimbangkan hukum gaya dan momentum, serta struktur bahan yang efisien.
Hal ini memperlihatkan keterpaduan antara filsafat moral Mohisme dan komitmennya
terhadap sains dan teknologi sebagai sarana perlindungan kehidupan dan keadilan
sosial⁵.
5.3.
Epistemologi Mohis: Kriteria Kebenaran Ilmiah
Mohisme juga
menyumbangkan pendekatan epistemologis yang unik terhadap pengetahuan. Mozi
mengembangkan tiga kriteria evaluasi terhadap kebenaran suatu ajaran: (1) Acuan
kepada pengalaman orang-orang terdahulu (uji historis), (2) Penerimaan
oleh masyarakat luas (uji kolektif), dan (3) Efektivitas
dalam praktik (uji utilitas). Kriteria ini menunjukkan bahwa
Mohisme telah mengantisipasi prinsip-prinsip dasar dalam metode ilmiah, seperti
empirisme, verifikasi sosial, dan orientasi praktis⁶.
Ketiga kriteria ini
tidak hanya digunakan untuk menilai teori etika dan kebijakan politik, tetapi
juga dalam mengevaluasi klaim-klaim teknis. Artinya, bagi kaum Mohis, kebenaran
bukanlah hasil intuisi metafisik atau wahyu spiritual, tetapi hasil dari
pengamatan, rasionalitas, dan kebermanfaatan.
Warisan dalam Tradisi Ilmiah Tiongkok
Meskipun Mohisme
sebagai institusi mengalami kemunduran sejak awal Dinasti Han, warisan
ilmiahnya tetap menginspirasi perkembangan teknologi di Tiongkok. Banyak
prinsip dalam Mo Jing kembali diadopsi oleh para
insinyur dan teknokrat Dinasti Song berabad-abad kemudian. Penekanan Mohisme
pada rasionalitas, manfaat sosial, dan efisiensi teknis membuatnya menjadi
prototipe awal scientific humanism dalam tradisi
Timur, dan membuka wacana tentang bagaimana filsafat dapat menyatu dengan
teknologi untuk tujuan etis⁷.
Footnotes
[1]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[2]
Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5:
Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 47–52.
[3]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 70–73.
[4]
Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and
Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization,
ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 113–117.
[5]
Philip J. Ivanhoe and Bryan W. Van Norden, eds., Readings in Classical
Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2005),
65–68.
[6]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 104–107.
[7]
Joseph Needham, Science and Civilisation in China, Volume 2:
History of Scientific Thought (Cambridge: Cambridge University Press,
1956), 72–75.
6.
Kemunduran dan Warisan Pemikiran Mohisme
Setelah mencapai
puncak pengaruhnya pada abad ke-4 SM, Mohisme mengalami kemunduran yang cukup
drastis dan secara bertahap terpinggirkan dari arus utama filsafat dan politik
Tiongkok. Walaupun demikian, warisan pemikiran Mozi tetap memiliki jejak
signifikan dalam sejarah intelektual Tiongkok dan bahkan mengalami revitalisasi
dalam studi filsafat kontemporer, baik di Timur maupun Barat.
6.1.
Faktor Kemunduran Mohisme
Terdapat beberapa
faktor utama yang menyebabkan merosotnya pengaruh Mohisme. Pertama, konsolidasi
kekuasaan oleh Dinasti Qin (221–206 SM) dan kemudian Dinasti Han (206 SM–220 M)
meminggirkan ajaran-ajaran yang tidak sejalan dengan legitimasi ideologis
negara. Konfusianisme, yang menekankan kesetiaan hierarkis, ritual, dan
stabilitas sosial, dianggap lebih cocok untuk mendukung sistem pemerintahan
kekaisaran yang terpusat. Sebaliknya, Mohisme dengan ajaran cinta universal dan
kritiknya terhadap perang dan kemewahan dianggap subversif terhadap tatanan
kekuasaan⁽¹⁾.
Kedua, struktur
Mohisme sebagai organisasi semi-militer yang terlibat aktif dalam pertahanan
kota dan urusan teknis negara menyebabkan ia bergantung pada patronase politik
dari negara-negara kecil. Ketika negara-negara kecil ditaklukkan atau diserap
ke dalam kerajaan yang lebih besar, basis pendukung Mohisme secara
institusional pun lenyap⁽²⁾.
Ketiga, karakter
rasional dan utilitarian Mohisme bertentangan dengan orientasi metafisik dan
spiritual yang mulai berkembang pada masa Han. Ajaran yang menolak ritual,
musik, dan takdir dianggap terlalu kaku dan mengabaikan aspek emosional serta
simbolis kehidupan manusia, yang justru mendapat tempat dalam filsafat-filsafat
yang lebih berorientasi humanistik seperti Konfusianisme dan Daoisme⁽³⁾.
6.2.
Warisan Pemikiran dalam Budaya dan Ilmu
Pengetahuan
Walaupun Mohisme
sebagai institusi menghilang dari panggung sejarah, pengaruhnya tetap terasa
dalam aspek-aspek tertentu kebudayaan Tiongkok. Prinsip jian ai
(cinta universal) sering muncul dalam narasi moral rakyat dan cerita rakyat
yang mengutamakan keadilan sosial. Di samping itu, pendekatan rasional dan
teknokratik Mohisme memberikan inspirasi dalam tradisi keilmuan Tiongkok,
terutama dalam bidang teknik dan logika⁽⁴⁾.
Pada masa Dinasti
Song, muncul kembali minat terhadap penalaran logis dan sistematis yang sejalan
dengan semangat Mohisme, meskipun tidak selalu secara eksplisit merujuk kepada
Mozi. Para insinyur dan ilmuwan seperti Shen Kuo dan Su Song, yang dikenal
karena pendekatan ilmiah mereka, menunjukkan bahwa warisan pemikiran teknis
Mohis tidak sepenuhnya padam⁽⁵⁾.
6.3.
Revitalisasi Modern dan Studi Filsafat
Perbandingan
Sejak abad ke-20,
Mozi mulai mendapat perhatian kembali dalam kajian akademik, baik di Tiongkok
maupun di dunia Barat. Para filsuf seperti Feng Youlan dan Hu Shi menekankan
bahwa Mohisme adalah bagian integral dari kebangkitan rasionalitas dalam
filsafat Tiongkok. Mozi diposisikan sebagai pemikir yang menonjolkan keadilan
sosial dan logika—dua hal yang sangat relevan dalam etika publik dan filsafat
moral modern⁽⁶⁾.
Selain itu, para
ahli filsafat perbandingan juga mulai melihat Mohisme sebagai bentuk awal dari
etika konsekuensialis atau bahkan utilitarianisme. Mozi dinilai telah menyusun
suatu sistem etika berdasarkan manfaat umum dan penolakan terhadap penderitaan
yang tidak perlu—sebuah pendekatan yang menemukan resonansi kuat dalam filsafat
moral kontemporer seperti pemikiran Peter Singer dan John Stuart Mill⁽⁷⁾.
6.4.
Signifikansi Budaya dan Global Kontemporer
Dalam konteks global
saat ini, nilai-nilai Mohisme seperti cinta universal, penolakan terhadap
perang, dan penilaian moral berdasarkan dampak sosial memiliki potensi besar
untuk diintegrasikan dalam wacana etika global, pendidikan multikultural, dan
kebijakan publik. Warisan Mozi yang pernah dianggap usang, kini muncul kembali
sebagai suara relevan yang menantang eksklusivisme moral dan mengusulkan
pandangan dunia yang lebih rasional, egaliter, dan berorientasi pada keadilan
sosial⁽⁸⁾.
Footnotes
[1]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 108–110.
[2]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[3]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 75–78.
[4]
Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and
Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization,
ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 117–120.
[5]
Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5:
Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 50–53.
[6]
Hu Shi, The Development of the Logical Method in Ancient China
(New York: Paragon Book Gallery, 1963), 21–25.
[7]
David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A
Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and
Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 248–250.
[8]
Philip J. Ivanhoe, “Pluralism and Chinese Moral Traditions,” in Taking
Confucian Ethics Seriously: Contemporary Theories and Applications, ed.
Kam-por Yu, Julia Tao, and Philip J. Ivanhoe (Albany: SUNY Press, 2010), 89–91.
7.
Mohisme dalam Perspektif Kontemporer
Di tengah tantangan
global seperti ketimpangan sosial, kekerasan atas nama negara, serta pencarian
etika global yang inklusif dan rasional, ajaran Mohisme menunjukkan
relevansinya kembali. Pemikiran Mozi yang selama berabad-abad terpinggirkan
kini memperoleh tempat dalam diskursus filsafat moral, etika politik, dan teori
keadilan kontemporer. Melalui pendekatan utilitarian yang berorientasi pada
kesejahteraan kolektif, Mohisme menawarkan kerangka etik yang dapat
menjembatani nilai-nilai Timur dan Barat dalam merespons isu-isu kemanusiaan
modern.
7.1.
Mohisme dan Etika Global: Cinta Universal dalam
Dunia Multikultural
Konsep jian ai
(兼愛),
atau cinta universal tanpa pembedaan, sangat relevan dalam wacana etika global
yang berupaya menanggapi krisis moral akibat eksklusivisme etnis, nasionalisme
ekstrem, dan diskriminasi rasial. Di era di mana kesetaraan hak menjadi prinsip
universal, ajaran Mozi mengenai perlakuan moral yang sama kepada semua manusia
menegaskan pentingnya inklusivitas sebagai prinsip dasar kemanusiaan. Dalam hal
ini, Mohisme memiliki resonansi dengan prinsip-prinsip impartial
benevolence dalam etika kontemporer⁽¹⁾.
Etika Mohisme juga
dapat dikaitkan dengan gagasan cosmopolitanism yang dikembangkan
oleh filsuf-filsuf seperti Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah, yang
menekankan tanggung jawab moral lintas batas negara dan budaya. Mozi
mengajarkan bahwa manusia harus menghindari egoisme kelompok (keluarga, negara,
ras), dan mengedepankan sikap saling menguntungkan berdasarkan prinsip
kesetaraan moral universal⁽²⁾.
7.2.
Mozi dan Utilitarianisme Modern: Titik Temu
dengan Barat
Mozi dapat dianggap
sebagai salah satu pelopor konsekuensialisme dalam sejarah etika dunia, karena
ajarannya menilai moralitas tindakan berdasarkan hasil—apakah tindakan tersebut
menghasilkan manfaat (利 li)
atau kerugian (害 hai) bagi masyarakat. Ini
membuatnya sejalan dengan etika utilitarian yang dikembangkan jauh kemudian
oleh tokoh-tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Beberapa
akademisi bahkan menyebut Mohisme sebagai bentuk proto-utilitarianism⁽³⁾.
Peter Singer, dalam
kerangka etika utilitarian modern, mengemukakan pentingnya memaksimalkan
kesejahteraan semua makhluk yang dapat merasakan penderitaan. Ajaran Mozi,
dengan penekanan pada penghindaran penderitaan akibat perang dan ketidakadilan,
memiliki substansi moral serupa, meskipun konteks kebudayaannya sangat berbeda.
Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika konsekuensialis memiliki akar lintas
budaya dan waktu⁽⁴⁾.
7.3.
Relevansi Sosial-Politik: Anti-Perang dan
Keadilan Sosial
Dalam konteks
geopolitik modern yang ditandai oleh konflik bersenjata, kolonialisme ekonomi,
dan politik kekuasaan, prinsip fei gong (非攻)—penolakan terhadap perang
agresif—memiliki
nilai yang sangat aktual. Mozi mengkritik negara-negara besar yang menyerang
negara kecil demi ekspansi dan keuntungan, dan menyebut perang semacam itu
sebagai ketidakadilan terhadap rakyat. Gagasan ini sangat relevan untuk wacana
etika politik dan hubungan internasional masa kini, khususnya dalam konteks
hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional⁽⁵⁾.
Lebih dari itu,
penolakan Mohisme terhadap kemewahan yang tidak produktif dan penekanannya pada
pemerintahan yang rasional dan bermanfaat bagi rakyat banyak, menawarkan
inspirasi bagi sistem pemerintahan yang berbasis keadilan distributif dan
efisiensi kebijakan publik. Dalam konteks ini, Mohisme dapat dilihat sebagai
salah satu model etika politik berbasis welfare state dalam kebudayaan
Timur⁽⁶⁾.
7.4.
Tantangan dalam Revitalisasi Mohisme
Meski demikian, ada
tantangan dalam merekontekstualisasi Mohisme secara langsung ke dunia modern.
Sistem sosial dan teknologi saat ini sangat berbeda dari zaman Mozi. Beberapa
prinsipnya, seperti shang tong (keseragaman pendapat),
dapat dianggap bermasalah dalam demokrasi pluralistik modern yang menghargai
kebebasan berpikir. Oleh karena itu, perlu pendekatan hermeneutis yang kritis
untuk mengadaptasi nilai-nilai Mohisme ke dalam kerangka kontemporer tanpa mengorbankan
prinsip demokrasi dan hak individu⁽⁷⁾.
Namun, nilai-nilai
dasar seperti rasionalitas, cinta universal, penolakan perang, dan evaluasi
moral berdasarkan dampak sosial tetap memiliki tempat penting dalam filsafat
global masa kini. Dengan demikian, Mohisme tidak hanya menjadi warisan filsafat
kuno, tetapi juga sumber inspirasi etis yang relevan untuk masa depan dunia.
Footnotes
[1]
Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and
Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization,
ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 120–123.
[2]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 7–9.
[3]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 103–106.
[4]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 17–19.
[5]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[6]
Chad Hansen, A Daoist Theory of Chinese Thought: A Philosophical
Interpretation (New York: Oxford University Press, 1992), 78–81.
[7]
David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A
Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and
Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 251–253.
8.
Kesimpulan
Mohisme, sebagai
salah satu aliran besar dalam sejarah filsafat Tiongkok kuno, telah menunjukkan
karakter yang sangat khas dalam lanskap intelektual Asia Timur. Melalui
ajaran-ajaran revolusioner Mozi mengenai cinta universal (jian ai),
penolakan terhadap perang agresif (fei gong), serta etika berbasis
manfaat kolektif, Mohisme membentuk suatu sistem filsafat yang tidak hanya
bersifat normatif, tetapi juga praktis dan aplikatif. Pemikiran Mozi
menempatkan manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan sosial, menekankan prinsip rasionalitas dan keadilan di atas
keturunan, status, atau afiliasi politik¹.
Sebagai bentuk awal
dari etika konsekuensialis, Mohisme memperlihatkan bahwa pemikiran moral yang
berorientasi pada hasil dan manfaat bersama telah berkembang di luar tradisi
Barat, bahkan lebih awal dari utilitarianisme Inggris modern. Dengan
menggunakan parameter manfaat (li) dan kerugian (hai)
sebagai ukuran moralitas, Mohisme memperkenalkan pendekatan yang bisa dikatakan
sebagai bentuk proto-utilitarianisme, yang
berbasis pada pertimbangan empiris dan sosial dalam menentukan kebenaran
tindakan².
Selain sumbangsihnya
dalam bidang etika, Mohisme juga berperan penting dalam perkembangan awal ilmu
pengetahuan di Tiongkok. Melalui teks Mo Jing, kaum Mohis menyumbangkan
prinsip-prinsip logika formal, studi kausalitas, serta penerapan teknis dalam
bidang mekanika dan pertahanan militer³. Pendekatan mereka yang menggabungkan
etika, politik, dan sains praktis menunjukkan kedalaman dan keluasan pemikiran
Mohisme yang sering kali terabaikan dalam narasi sejarah intelektual dominan.
Kendati mengalami
kemunduran pada masa Dinasti Han karena dominasi Konfusianisme dan perubahan
orientasi spiritual masyarakat, warisan Mohisme tetap hidup dalam bentuk
nilai-nilai egalitarianisme, rasionalisme, dan teknokratik yang muncul kembali
dalam diskursus etika modern. Di era kontemporer, Mohisme mendapatkan
revitalisasi karena kemampuannya menjawab isu-isu global seperti kesetaraan,
perdamaian, dan keadilan sosial⁴.
Dalam konteks ini,
Mohisme bukan sekadar peninggalan sejarah filsafat Tiongkok, melainkan sebuah
sistem pemikiran yang patut dijadikan referensi lintas budaya dalam membangun
etika global yang lebih manusiawi, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan
bersama. Sebagaimana dicatat oleh para filsuf modern, ajaran Mozi menawarkan
alternatif filosofis yang sangat relevan bagi masa kini—baik sebagai kritik
terhadap kekuasaan yang eksklusif, maupun sebagai tawaran etika moral yang
menekankan tanggung jawab terhadap sesama manusia⁵.
Footnotes
[1]
Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 95–97.
[2]
Chris Fraser, “Mohism,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta, Spring 2023 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/.
[3]
Nathan Sivin, Science and Civilisation in China, Volume 5:
Chemistry and Chemical Technology, Part 5: Spagyrical Discovery and Invention
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 47–50.
[4]
Robin R. Wang, “Mozi and the Mohist School: Rational Ethics and
Political Reform,” in Chinese Philosophy in an Era of Globalization,
ed. Bo Mou (Albany: SUNY Press, 2003), 121–123.
[5]
David B. Wong, “Comparative Philosophy: Chinese and Western,” in A
Companion to Philosophy in the Middle Ages, ed. Jorge J.E. Gracia and
Timothy B. Noone (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2003), 250–253.
Daftar Pustaka
Fraser, C. (2023). Mohism.
In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring
2023 Edition). Stanford University. https://plato.stanford.edu/archives/spr2023/entries/mohism/
Hansen, C. (1992). A
Daoist theory of Chinese thought: A philosophical interpretation. Oxford
University Press.
Ivanhoe, P. J., & Van
Norden, B. W. (Eds.). (2005). Readings in classical Chinese philosophy.
Hackett Publishing Company.
Needham, J. (1956). Science
and civilisation in China, Volume 2: History of scientific thought.
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Sivin, N. (1995). Science
and civilisation in China, Volume 5: Chemistry and chemical technology, Part 5:
Spagyrical discovery and invention: Apparatus, theories and gifts.
Cambridge University Press.
Van Norden, B. W. (2011). Introduction
to classical Chinese philosophy. Hackett Publishing Company.
Wang, R. R. (2003). Mozi
and the Mohist school: Rational ethics and political reform. In B. Mou (Ed.), Chinese
philosophy in an era of globalization (pp. 109–123). State University of
New York Press.
Wong, D. B. (2003).
Comparative philosophy: Chinese and Western. In J. J. E. Gracia & T. B.
Noone (Eds.), A companion to philosophy in the Middle Ages (pp.
245–253). Blackwell Publishing.
Yu, K.-P., Tao, J., &
Ivanhoe, P. J. (Eds.). (2010). Taking Confucian ethics seriously:
Contemporary theories and applications. State University of New York
Press.
Hu, S. (1963). The
development of the logical method in ancient China. Paragon Book Gallery.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar