Jumat, 03 Januari 2025

Konsep Berpikir Sejarah: Konsep Diakronik, Sinkronik, Ruang, dan Waktu dalam Kajian Sejarah

Konsep Berpikir Sejarah

Konsep Diakronik, Sinkronik, Ruang, dan Waktu dalam Kajian Sejarah


Alihkan ke: Konsep Berpikir Diakronik, Konsep Berpikir Sinkronik, Konsep Ruang Waktu Sejarah.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep-konsep dasar dalam kajian sejarah, yaitu berpikir diakronik, sinkronik, serta pemahaman terhadap ruang dan waktu sebagai kerangka analisis historis. Berpikir diakronik menekankan pentingnya urutan kronologis dalam memahami proses perubahan dan kesinambungan sejarah, sedangkan berpikir sinkronik berfokus pada analisis struktur sosial dalam satu periode waktu tertentu. Sementara itu, ruang dan waktu tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan urutan kejadian, tetapi sebagai unsur kontekstual yang membentuk makna dan dinamika peristiwa sejarah. Artikel ini juga menggarisbawahi pentingnya integrasi keempat konsep tersebut untuk menghasilkan kajian sejarah yang utuh, kritis, dan kontekstual. Dengan pendekatan ini, sejarah tidak hanya menjadi narasi masa lalu, tetapi juga menjadi instrumen pembentukan kesadaran historis dalam kehidupan masyarakat dan dunia pendidikan. Penulisan ini merujuk pada literatur-literatur akademik yang kredibel untuk menjamin keilmiahan dan validitas pembahasan.

Kata Kunci: Sejarah, Diakronik, Sinkronik, Ruang, Waktu, Kesadaran Historis, Pendidikan Sejarah.


PEMBAHASAN

Konsep Diakronik, Sinkronik, Ruang, dan Waktu dalam Kajian Sejarah


1.           Pendahuluan

Sejarah bukan sekadar catatan peristiwa masa lalu, melainkan cermin yang merefleksikan dinamika kehidupan manusia dalam ruang dan waktu. Dalam pengertian akademik, sejarah merupakan ilmu yang mempelajari perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan manusia sepanjang masa. E.H. Carr menyatakan bahwa sejarah adalah suatu proses dialog antara masa kini dan masa lalu, di mana sejarawan berperan aktif dalam menginterpretasikan fakta sejarah berdasarkan sudut pandangnya sendiri.¹ Pernyataan ini menunjukkan bahwa memahami sejarah tidak cukup hanya dengan mengetahui fakta, melainkan juga dengan memahami cara berpikir yang digunakan untuk mengkonstruksi makna dari fakta-fakta tersebut.

Dalam konteks pendidikan, sejarah berperan strategis dalam membentuk kesadaran historis, jati diri bangsa, dan karakter peserta didik. Kurikulum Merdeka menekankan pentingnya berpikir kritis dan reflektif dalam mempelajari sejarah, agar peserta didik tidak hanya mengetahui “apa yang terjadi”, tetapi juga memahami “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa itu terjadi.² Oleh karena itu, penguasaan terhadap konsep dasar dalam berpikir sejarah seperti diakronik, sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu menjadi sangat penting.

Berpikir sejarah memerlukan pendekatan yang khas dan tidak bisa disamakan dengan disiplin ilmu lain. Sartono Kartodirdjo menekankan bahwa sejarah sebagai ilmu memiliki struktur logika dan metode tersendiri, di antaranya berpikir kronologis (diakronik) yang menekankan urutan waktu, serta berpikir sinkronik yang menekankan analisis struktural pada suatu periode tertentu.³ Pendekatan ini menolong kita untuk memahami sejarah bukan hanya sebagai rangkaian kejadian, melainkan sebagai pola hubungan sebab-akibat, proses perubahan, dan konfigurasi sosial dalam suatu kurun waktu dan tempat tertentu.

Kesadaran akan pentingnya ruang dan waktu juga menjadi ciri khas pendekatan sejarah. Dimensi ruang tidak hanya merujuk pada lokasi geografis, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya, dan politik yang memengaruhi jalannya peristiwa sejarah. Sementara itu, waktu dalam sejarah bukanlah waktu matematis, melainkan waktu manusiawi yang mengandung makna, nilai, dan narasi.⁴ Dengan kata lain, pemahaman terhadap ruang dan waktu secara historis membantu kita melihat realitas secara lebih kontekstual dan bermakna.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengupas secara komprehensif konsep-konsep berpikir kronologis (diakronik), sinkronik, serta ruang dan waktu dalam kajian sejarah. Diharapkan, pembahasan ini dapat memperluas wawasan pembaca tentang cara kerja ilmu sejarah dan memperkuat kesadaran historis dalam memahami masa lalu untuk membangun masa depan.


Footnotes

[1]                E.H. Carr, What is History? (New York: Vintage Books, 1961), 30.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Panduan Guru Sejarah Indonesia Kelas X (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 14.

[4]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 17.


2.           Sejarah sebagai Ilmu dan Cara Berpikir

Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan memiliki objek, metode, dan cara berpikir tersendiri yang membedakannya dari ilmu-ilmu lainnya. Sebagai ilmu, sejarah mempelajari manusia dan masyarakat dalam konteks waktu dan ruang, dengan fokus pada perubahan yang terjadi secara berkesinambungan dari masa lalu menuju masa kini. Hal ini menjadikan sejarah sebagai ilmu tentang waktu yang memanusiakan, sebagaimana ditegaskan Kuntowijoyo bahwa sejarah bukan hanya peristiwa yang telah berlalu, melainkan suatu proses yang memiliki makna dan relevansi bagi kehidupan masa kini.¹

Ciri utama ilmu sejarah terletak pada fokusnya terhadap perubahan dan keberlanjutan. Dalam perspektif ilmiah, sejarah tidak semata-mata mencatat kejadian, tetapi juga menganalisis sebab, proses, dan akibat dari suatu peristiwa.² Sejarawan dituntut untuk menyusun narasi yang logis dan teruji berdasarkan bukti-bukti sejarah (data empirik) yang dapat diverifikasi. Pendekatan ini menjadikan sejarah sebagai ilmu yang bersifat empiris dan interpretatif sekaligus.

Namun, tidak seperti ilmu-ilmu alam yang bersifat eksak dan bisa diuji melalui eksperimen berulang, sejarah bersifat idiografis, yaitu berusaha memahami dan menjelaskan kejadian yang unik, individual, dan terjadi satu kali dalam waktu tertentu.³ Oleh karena itu, sejarah tidak memberikan hukum-hukum umum yang berlaku universal, tetapi menawarkan pemahaman kontekstual terhadap dinamika manusia dan masyarakat.

Selain sebagai ilmu, sejarah juga merupakan cara berpikir yang khas, yang disebut dengan berpikir historis. Cara berpikir ini mengajak kita untuk melihat suatu peristiwa dalam konteks waktu dan ruang, memahami latar belakang, dinamika internal, serta dampak dari peristiwa tersebut.⁴ Dalam praktiknya, cara berpikir sejarah menggabungkan pendekatan diakronik, yang melihat suatu peristiwa secara kronologis dan memanjang dalam waktu, dengan pendekatan sinkronik, yang menganalisis struktur sosial, budaya, atau ekonomi pada satu kurun waktu tertentu.⁵

Sebagai cara berpikir, sejarah juga menuntut kritis dan reflektif, yakni kemampuan untuk mengevaluasi sumber, membandingkan sudut pandang, dan mengambil pelajaran dari masa lalu untuk memahami persoalan masa kini. Hal ini sangat penting dalam konteks pendidikan, karena dengan berpikir historis, siswa tidak hanya diajak menghafal fakta, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) seperti analisis, sintesis, dan evaluasi.⁶

Dengan demikian, memahami sejarah tidak cukup hanya dengan mengetahui “apa yang terjadi”, tetapi juga perlu memahami “bagaimana” dan “mengapa” peristiwa itu terjadi, serta “apa maknanya” bagi masa kini. Inilah yang menjadikan sejarah tidak hanya berguna untuk mengetahui masa lalu, tetapi juga relevan sebagai bekal menghadapi masa depan.


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 27.

[2]                Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 45.

[3]                Nugroho Notosusanto, Sejarah sebagai Ilmu, Budaya, dan Pendidikan (Jakarta: UI Press, 1979), 10.

[4]                Peter N. Stearns, Meaning over Memory: Recasting the Teaching of Culture and History (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993), 3.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 17.

[6]                Wineburg, Sam, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 488–499.


3.            Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik)

Dalam kajian sejarah, berpikir kronologis atau diakronik merupakan pendekatan fundamental yang memungkinkan kita memahami peristiwa secara berurutan sesuai dengan alur waktu. Secara etimologis, istilah diakronik berasal dari bahasa Yunani: dia berarti “melalui” dan chronos berarti “waktu”.⁽¹⁾ Dengan demikian, berpikir diakronik berarti menelusuri suatu peristiwa secara runtut dari waktu ke waktu, untuk melihat proses perubahan, perkembangan, maupun kesinambungan yang terjadi.

Berpikir diakronik merupakan ciri khas pendekatan sejarah karena sejarah pada dasarnya adalah ilmu tentang waktu. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sejarah bukan hanya berkisah tentang kejadian yang telah lalu, tetapi tentang proses yang terjadi dalam lintasan waktu, sehingga hanya dapat dipahami secara utuh bila dikaji secara kronologis.⁽²⁾ Pendekatan ini menempatkan peristiwa dalam urutan temporal, memperlihatkan sebab-akibat serta saling keterkaitan antarperistiwa dari waktu ke waktu.

Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan diakronik memiliki beberapa karakteristik utama: (1) memanjang dalam waktu, (2) bersifat prosesual, dan (3) menunjukkan perkembangan atau perubahan dari suatu fenomena sejarah.⁽³⁾ Contohnya dapat dilihat dalam kajian mengenai proses menuju kemerdekaan Indonesia, yang tidak hanya dipahami sebagai peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 1945, melainkan sebagai rangkaian panjang perjuangan mulai dari perlawanan lokal terhadap kolonialisme, kebangkitan nasional, pendudukan Jepang, hingga pembentukan BPUPKI dan PPKI.⁽⁴⁾ Dengan pendekatan diakronik, kita dapat menelusuri bagaimana ide-ide kemerdekaan tumbuh, berkembang, dan pada akhirnya mencapai puncaknya dalam peristiwa Proklamasi.

Berpikir kronologis juga membantu membangun kerangka sebab-akibat (kausalitas), yang menjadi salah satu prinsip penting dalam kajian sejarah. Dengan menelusuri urutan peristiwa, seorang sejarawan dapat menunjukkan bagaimana suatu tindakan atau keputusan pada masa lalu memicu reaksi tertentu yang berujung pada perubahan signifikan.⁽⁵⁾ Misalnya, kebijakan politik etis Belanda yang memperluas akses pendidikan bagi pribumi, pada akhirnya melahirkan generasi intelektual yang menjadi pelopor pergerakan nasional.

Meskipun sangat penting, pendekatan diakronik juga memiliki keterbatasan. Ia cenderung melihat sejarah sebagai alur linier dan fokus pada kronologi, sehingga bisa mengabaikan struktur sosial, ekonomi, atau budaya yang turut memengaruhi peristiwa dalam satu kurun waktu.⁽⁶⁾ Untuk itu, pendekatan ini sering dilengkapi dengan pendekatan sinkronik, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Dengan demikian, berpikir kronologis (diakronik) merupakan pendekatan penting dalam memahami dinamika sejarah sebagai suatu proses. Ia tidak hanya membantu menyusun peristiwa secara logis dan teratur, tetapi juga memperlihatkan bagaimana sejarah merupakan rangkaian tindakan manusia dalam menghadapi tantangan zamannya.


Footnotes

[1]                Edi Sedyawati, “Diakronik dan Sinkronik dalam Ilmu Sejarah,” Jurnal Humaniora 5, no. 1 (1993): 12.

[2]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 48.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 27.

[4]                Taufik Abdullah, ed., Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 145–162.

[5]                Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 87.

[6]                Peter N. Stearns, Why Study History? (Boston: American Historical Association, 1998), 4.


4.           Konsep Berpikir Sinkronik

Berbeda dengan pendekatan diakronik yang menelusuri perubahan dan perkembangan suatu peristiwa dari masa ke masa, pendekatan sinkronik dalam kajian sejarah berfokus pada struktur dan kondisi suatu peristiwa pada satu kurun waktu tertentu, tanpa terlalu memperhatikan urutan kronologisnya. Kata sinkronik berasal dari bahasa Yunani syn (bersama) dan chronos (waktu), yang berarti melihat peristiwa dalam irisan waktu yang sama untuk memahami pola, sistem, dan interaksi sosial yang terjadi.¹

Dalam praktiknya, berpikir sinkronik digunakan untuk menganalisis struktur sosial, politik, ekonomi, atau budaya dalam satu periode tertentu. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi dan antropologi struktural, yang menekankan pentingnya melihat bagaimana unsur-unsur dalam masyarakat saling berinteraksi dalam satu sistem.² Dengan berpikir sinkronik, sejarawan tidak hanya menelusuri “apa yang terjadi sebelumnya dan sesudahnya”, tetapi lebih tertarik pada “apa yang sedang terjadi” dan “bagaimana hubungan antarunsur pada saat itu”.

Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa pendekatan sinkronik dalam sejarah sangat berguna untuk menyelidiki aspek-aspek struktural dari suatu masyarakat, seperti sistem pemerintahan, pola mata pencaharian, stratifikasi sosial, atau kehidupan keagamaan dalam satu masa tertentu.³ Misalnya, untuk memahami struktur masyarakat kerajaan Majapahit pada abad ke-14, pendekatan sinkronik memungkinkan kita untuk menganalisis struktur birokrasi, sistem agraria, hubungan antarkelas sosial, serta norma-norma budaya yang berlaku dalam periode tersebut.

Pendekatan ini juga sangat membantu dalam memahami kompleksitas peristiwa sejarah secara horizontal. Artinya, sejarawan dapat membandingkan berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam ruang yang luas pada waktu yang sama. Sebagai contoh, analisis sinkronik terhadap Indonesia pada tahun 1945 tidak hanya mencakup peristiwa proklamasi kemerdekaan, tetapi juga dinamika sosial masyarakat, konflik ideologi, peran pemuda, dan respons internasional terhadap kemerdekaan.⁴

Selain itu, berpikir sinkronik memungkinkan kita untuk lebih objektif dan analitis dalam melihat peristiwa sejarah karena tidak terjebak pada narasi tunggal yang linier.⁵ Ini menjadi penting dalam pembelajaran sejarah modern yang menekankan pentingnya berpikir kritis dan kontekstual.

Namun demikian, berpikir sinkronik juga memiliki keterbatasan. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek kronologis dan dinamika perubahan waktu, sehingga kurang tepat bila digunakan untuk menjelaskan proses sejarah yang bersifat evolutif atau transformatif.⁶ Oleh karena itu, pendekatan sinkronik paling efektif digunakan secara komplementer dengan pendekatan diakronik, agar pemahaman terhadap sejarah menjadi lebih utuh dan menyeluruh.

Dengan demikian, berpikir sinkronik memberikan perspektif yang penting dalam kajian sejarah, terutama dalam memahami kondisi sosial dan struktur masyarakat pada waktu tertentu. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya analisis sejarah, tetapi juga membantu dalam mengembangkan keterampilan berpikir sistematis dan multidimensional.


Footnotes

[1]                Edi Sedyawati, “Diakronik dan Sinkronik dalam Ilmu Sejarah,” Jurnal Humaniora 5, no. 1 (1993): 15.

[2]                Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 27–30.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 33.

[4]                Taufik Abdullah, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah, vol. 7 (Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2012), 101–115.

[5]                Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity Press, 2004), 41.

[6]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 62.


5.           Konsep Ruang dan Waktu dalam Sejarah

Dalam ilmu sejarah, konsep ruang dan waktu merupakan dua dimensi utama yang membingkai peristiwa masa lalu. Kedua konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai latar tempat dan urutan kejadian, tetapi juga menjadi unsur esensial dalam membentuk pemahaman kontekstual terhadap dinamika kehidupan manusia. Sejarawan tidak dapat memahami suatu peristiwa secara utuh tanpa memperhatikan di mana (ruang) dan kapan (waktu) peristiwa itu terjadi.

5.1.       Konsep Waktu dalam Sejarah

Waktu dalam sejarah bukanlah waktu matematis sebagaimana digunakan dalam fisika, melainkan waktu manusiawi yang mengandung nilai, makna, dan narasi.⁽¹⁾ Menurut Kuntowijoyo, waktu dalam sejarah adalah lintasan kehidupan manusia yang mengandung intensitas pengalaman, sehingga tidak bisa dipahami hanya dalam kerangka kronologis, tetapi harus ditafsirkan berdasarkan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.⁽²⁾

Sejarawan Prancis, Fernand Braudel, membedakan tiga lapisan waktu dalam sejarah: waktu geografis (longue durée), waktu sosial-ekonomi (conjonctures), dan waktu peristiwa (événementielle).⁽³⁾ Pendekatan ini menekankan bahwa sejarah tidak hanya berisi peristiwa singkat seperti peperangan atau pergantian kekuasaan, tetapi juga mencakup pola-pola jangka panjang seperti perubahan struktur sosial dan mentalitas kolektif.

Dengan demikian, pemahaman terhadap waktu dalam sejarah tidak cukup hanya dengan mencatat “tanggal” terjadinya suatu peristiwa, tetapi juga melibatkan pemahaman tentang konteks sejarah, seperti perubahan nilai, pola pikir, dan sistem sosial dalam periode tersebut. Hal ini menjadikan waktu sebagai unsur yang hidup dan dinamis dalam narasi sejarah.

5.2.       Konsep Ruang dalam Sejarah

Sementara itu, ruang dalam sejarah merujuk pada lokasi geografis dan kondisi spasial tempat peristiwa terjadi. Namun, ruang sejarah tidak hanya dipahami secara fisik, melainkan juga secara sosiokultural dan politis. Ruang mencakup lingkungan tempat manusia berinteraksi, membentuk kebudayaan, dan menciptakan struktur sosial tertentu.⁽⁴⁾

Menurut Sartono Kartodirdjo, ruang dalam sejarah bersifat interaktif, karena peristiwa sejarah selalu dipengaruhi oleh kondisi geografis, hubungan antarwilayah, dan persebaran kekuasaan.⁽⁵⁾ Misalnya, letak strategis kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka memengaruhi kekuatan maritim dan peranannya dalam perdagangan internasional. Studi sejarah yang mengabaikan ruang akan kehilangan pemahaman terhadap aspek geografis yang membentuk realitas historis.

Konsep ruang juga berkaitan erat dengan identitas dan kekuasaan. Sejarawan seperti Doreen Massey dan Edward Said menekankan bahwa ruang adalah konstruksi sosial yang memengaruhi persepsi dan relasi antar kelompok manusia.⁽⁶⁾ Dalam konteks kolonialisme, misalnya, pembentukan wilayah-wilayah administratif oleh penjajah tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga politis dan ideologis.

5.3.       Interaksi Ruang dan Waktu dalam Kajian Sejarah

Konsep ruang dan waktu dalam sejarah tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan membentuk konteks historis yang spesifik. Sebuah peristiwa sejarah hanya dapat dipahami secara menyeluruh jika kita mengetahui kapan peristiwa itu terjadi dan di mana ia berlangsung, serta bagaimana ruang dan waktu tersebut memengaruhi jalannya peristiwa.

Contohnya, perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pasca-1945 terjadi dalam ruang geografis yang beragam—dari kota besar hingga pedesaan—dan dalam waktu historis yang penuh ketegangan internasional pasca-Perang Dunia II. Memahami sejarah tanpa memperhatikan ruang dan waktu akan membuat analisis menjadi ahistoris dan kurang bermakna.⁽⁷⁾

Dengan demikian, menguasai konsep ruang dan waktu dalam sejarah adalah kunci untuk menyusun narasi sejarah yang kontekstual, kritis, dan bermakna. Hal ini juga penting dalam pendidikan sejarah, karena mendorong siswa untuk tidak hanya menghafal fakta, tetapi juga memahami dinamika yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3.

[2]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 60–61.

[3]                Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 25–29.

[4]                Peter Burke, The Fabrication of Louis XIV (New Haven: Yale University Press, 1992), 17.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 38.

[6]                Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), 78; Doreen Massey, For Space (London: SAGE Publications, 2005), 9.

[7]                Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 89–90.


6.           Integrasi Pendekatan Diakronik, Sinkronik, Ruang dan Waktu

Kajian sejarah yang komprehensif tidak cukup jika hanya mengandalkan satu pendekatan saja. Untuk memperoleh pemahaman yang utuh terhadap peristiwa masa lalu, seorang sejarawan harus mengintegrasikan pendekatan diakronik, sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu dalam analisisnya. Integrasi ini memungkinkan kita untuk memahami proses perubahan yang terjadi dalam rentang waktu tertentu (diakronik), sekaligus menganalisis kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik pada waktu tertentu secara mendalam (sinkronik), dalam konteks lokasi dan lingkungan yang memengaruhi jalannya peristiwa (ruang dan waktu).

6.1.       Sinergi antara Diakronik dan Sinkronik

Berpikir diakronik membantu kita menelusuri urutan peristiwa dan melihat dinamika perubahan dari waktu ke waktu. Namun, untuk memahami kompleksitas yang terjadi dalam satu periode tertentu, pendekatan sinkronik diperlukan agar fokus tidak hanya pada urutan, melainkan pada struktur internal masyarakat pada masa tersebut. Louis Gottschalk menyatakan bahwa sejarah yang baik adalah sejarah yang mampu menyatukan narasi proses (diakronik) dengan analisis struktur (sinkronik).¹

Sebagai contoh, untuk memahami Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pendekatan diakronik membantu menelusuri proses panjang mulai dari perlawanan terhadap kolonialisme, kebangkitan nasional, hingga pendudukan Jepang. Sementara itu, pendekatan sinkronik memungkinkan kita menelaah struktur sosial-politik yang ada saat itu: ketegangan antarkelompok, peran pemuda, militer Jepang, dan dinamika diplomasi internasional.² Integrasi keduanya menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual.

6.2.       Peran Ruang dan Waktu sebagai Konteks Historis

Dimensi ruang dan waktu memperkaya pendekatan diakronik dan sinkronik dengan memberikan konteks geografis dan temporal yang spesifik. Waktu memberikan kerangka kronologis dan interpretatif untuk melihat perkembangan dan intensitas peristiwa, sedangkan ruang memberikan latar tempat yang menunjukkan bagaimana kondisi fisik dan sosial suatu wilayah memengaruhi jalannya sejarah.³

Dalam sejarah lokal, misalnya, studi tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme Belanda tidak cukup hanya dilihat sebagai kronologi peperangan (diakronik) atau struktur perlawanan rakyat (sinkronik), tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi geografis Aceh yang bergunung dan terpencil, serta identitas keagamaan masyarakat yang memperkuat semangat jihad fi sabilillah.⁴

Integrasi dimensi ruang-waktu juga terlihat dalam pendekatan sejarawan Annales, seperti yang dikembangkan oleh Fernand Braudel, yang membagi analisis sejarah ke dalam lapisan waktu dan menekankan pentingnya faktor geografis dalam membentuk struktur sosial dan ekonomi suatu masyarakat.⁵

6.3.       Implikasi dalam Pendidikan dan Penulisan Sejarah

Dalam konteks pendidikan, integrasi pendekatan-pendekatan ini sangat penting untuk mendorong peserta didik agar mampu berpikir komprehensif, kritis, dan kontekstual. Dengan menggabungkan dimensi diakronik, sinkronik, ruang, dan waktu, siswa tidak hanya dituntut menghafal nama dan tanggal, tetapi diajak menganalisis sebab-akibat, struktur masyarakat, serta memahami konteks ruang dan waktu dari suatu peristiwa sejarah.⁶

Selain itu, penulisan sejarah yang menggabungkan pendekatan-pendekatan tersebut akan menghasilkan narasi yang lebih kaya dan mendalam, tidak bersifat simplistis, serta mampu merepresentasikan kompleksitas realitas sejarah.⁷ Inilah arah yang dikembangkan oleh sejarawan kontemporer, yang tidak lagi hanya berkutat pada tokoh besar dan peristiwa politik, tetapi juga pada sejarah sosial, budaya, ekonomi, dan lokalitas.


Kesimpulan Sementara

Mengintegrasikan pendekatan diakronik, sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu dalam kajian sejarah bukan hanya meningkatkan akurasi dan kedalaman analisis, tetapi juga memperkuat fungsi sejarah sebagai sarana pembentukan pemahaman kritis terhadap kehidupan manusia. Dalam dunia pendidikan dan penulisan sejarah, sinergi ini sangat krusial agar sejarah tidak menjadi sekadar pelajaran hafalan, melainkan sarana membangun kesadaran historis dan refleksi masa depan.


Footnotes

[1]                Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 95.

[2]                Taufik Abdullah, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah, vol. 7 (Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2012), 123–140.

[3]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 60–63.

[4]                Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 1858–1898 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969), 45–56.

[5]                Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 29–36.

[6]                Sam Wineburg, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 488–499.

[7]                Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity Press, 2004), 54.


7.           Penutup

Pemahaman terhadap konsep berpikir diakronik, sinkronik, serta ruang dan waktu dalam kajian sejarah merupakan fondasi penting dalam membangun pendekatan ilmiah dan kritis terhadap peristiwa masa lalu. Keempat unsur ini saling melengkapi dan membentuk kerangka analisis yang utuh, yang tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa, bagaimana, dan dalam konteks apa peristiwa itu berlangsung.

Berpikir diakronik memberikan landasan untuk memahami proses perubahan dan kesinambungan sejarah dalam alur waktu yang logis dan kronologis. Melalui pendekatan ini, sejarah ditampilkan sebagai suatu narasi yang bergerak dari masa ke masa, menelusuri benang merah antara sebab dan akibat.¹ Di sisi lain, berpikir sinkronik memungkinkan kita menelaah struktur internal dan pola hubungan sosial dalam satu periode tertentu secara mendalam, sehingga memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi masyarakat pada waktu tersebut.²

Sementara itu, dimensi ruang dan waktu berfungsi sebagai bingkai kontekstual yang tidak terpisahkan dari setiap peristiwa sejarah. Waktu memberikan irama dan urutan bagi narasi sejarah, sedangkan ruang menampilkan arena fisik dan sosial tempat interaksi manusia berlangsung.³ Kombinasi antara waktu sebagai proses dan ruang sebagai wadah sosial menghasilkan pemahaman sejarah yang tidak statis, tetapi dinamis dan kontekstual.

Dengan mengintegrasikan seluruh pendekatan ini, kajian sejarah menjadi lebih analitis, reflektif, dan bermakna. Sejarawan dan pembelajar sejarah tidak hanya terpaku pada deretan tanggal dan nama tokoh, melainkan terdorong untuk menggali makna di balik setiap kejadian, memahami struktur yang membentuk masyarakat, serta melihat keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.⁴ Hal ini juga menjadikan sejarah sebagai ilmu yang relevan dalam kehidupan modern, karena membuka ruang untuk memahami identitas, mengambil pelajaran dari pengalaman kolektif, dan membentuk masa depan yang lebih baik.

Dalam konteks pendidikan, pemahaman terhadap konsep-konsep dasar berpikir sejarah menjadi bekal penting untuk membentuk kesadaran historis peserta didik. Kesadaran ini bukan hanya berarti mengetahui apa yang pernah terjadi, tetapi juga memahami bagaimana sejarah bekerja dan bagaimana ia dapat digunakan untuk merespons tantangan zaman.⁵ Dengan demikian, sejarah bukan sekadar pelajaran tentang masa lalu, tetapi juga panduan untuk bertindak bijak di masa kini dan masa depan.

Sebagaimana dikatakan sejarawan John Tosh, “History is not the past itself, but the act of interpreting the past.”⁶ Maka, tugas kita sebagai penulis, pengajar, dan pembelajar sejarah adalah memahami dan mengajarkan cara berpikir sejarah dengan pendekatan yang tepat—diakronik, sinkronik, serta sadar ruang dan waktu—agar sejarah tidak mati dalam buku, tetapi hidup dalam kesadaran kolektif umat manusia.


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 52.

[2]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 33–35.

[3]                Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 29.

[4]                Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity Press, 2004), 64.

[5]                Sam Wineburg, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 491.

[6]                John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Methods and New Directions in the Study of History, 6th ed. (New York: Routledge, 2015), 2.


Daftar Pustaka

Abdullah, T. (Ed.). (2012). Indonesia dalam arus sejarah (Vol. 7). Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Braudel, F. (1980). On history (S. Matthews, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Burke, P. (1992). The fabrication of Louis XIV. New Haven: Yale University Press.

Burke, P. (2004). What is cultural history? Cambridge: Polity Press.

Carr, E. H. (1961). What is history? New York: Vintage Books.

Gottschalk, L. (1950). Understanding history: A primer of historical method. New York: Alfred A. Knopf.

Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Buku panduan guru Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kuntowijoyo. (2005). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Massey, D. (2005). For space. London: SAGE Publications.

Notosusanto, N. (1979). Sejarah sebagai ilmu, budaya, dan pendidikan. Jakarta: UI Press.

Reid, A. (1969). The contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain 1858–1898. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Said, E. (1993). Culture and imperialism. New York: Knopf.

Sedyawati, E. (1993). Diakronik dan sinkronik dalam ilmu sejarah. Jurnal Humaniora, 5(1), 11–18.

Stearns, P. N. (1993). Meaning over memory: Recasting the teaching of culture and history. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Stearns, P. N. (1998). Why study history? Boston: American Historical Association.

Tosh, J. (2015). The pursuit of history: Aims, methods and new directions in the study of history (6th ed.). New York: Routledge.

Wineburg, S. (1999). Historical thinking and other unnatural acts. Phi Delta Kappan, 80(7), 488–499.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar