Konsep Berpikir Sejarah
Konsep Diakronik, Sinkronik, Ruang, dan Waktu dalam
Kajian Sejarah
Alihkan ke: Konsep Berpikir Diakronik,
Konsep Berpikir Sinkronik, Konsep Ruang Waktu Sejarah.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep-konsep
dasar dalam kajian sejarah, yaitu berpikir diakronik, sinkronik, serta
pemahaman terhadap ruang dan waktu sebagai kerangka analisis historis. Berpikir
diakronik menekankan pentingnya urutan kronologis dalam memahami proses
perubahan dan kesinambungan sejarah, sedangkan berpikir sinkronik berfokus pada
analisis struktur sosial dalam satu periode waktu tertentu. Sementara itu,
ruang dan waktu tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan urutan kejadian,
tetapi sebagai unsur kontekstual yang membentuk makna dan dinamika peristiwa
sejarah. Artikel ini juga menggarisbawahi pentingnya integrasi keempat konsep
tersebut untuk menghasilkan kajian sejarah yang utuh, kritis, dan kontekstual.
Dengan pendekatan ini, sejarah tidak hanya menjadi narasi masa lalu, tetapi
juga menjadi instrumen pembentukan kesadaran historis dalam kehidupan
masyarakat dan dunia pendidikan. Penulisan ini merujuk pada literatur-literatur
akademik yang kredibel untuk menjamin keilmiahan dan validitas pembahasan.
Kata Kunci: Sejarah, Diakronik, Sinkronik, Ruang, Waktu,
Kesadaran Historis, Pendidikan Sejarah.
PEMBAHASAN
Konsep Diakronik, Sinkronik, Ruang, dan Waktu dalam
Kajian Sejarah
1.
Pendahuluan
Sejarah bukan sekadar catatan
peristiwa masa lalu, melainkan cermin yang merefleksikan dinamika kehidupan
manusia dalam ruang dan waktu. Dalam pengertian akademik, sejarah merupakan
ilmu yang mempelajari perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan manusia
sepanjang masa. E.H. Carr menyatakan bahwa sejarah adalah suatu proses dialog
antara masa kini dan masa lalu, di mana sejarawan berperan aktif dalam
menginterpretasikan fakta sejarah berdasarkan sudut pandangnya sendiri.¹
Pernyataan ini menunjukkan bahwa memahami sejarah tidak cukup hanya dengan
mengetahui fakta, melainkan juga dengan memahami cara berpikir yang digunakan
untuk mengkonstruksi makna dari fakta-fakta tersebut.
Dalam konteks pendidikan,
sejarah berperan strategis dalam membentuk kesadaran historis, jati diri
bangsa, dan karakter peserta didik. Kurikulum Merdeka menekankan pentingnya
berpikir kritis dan reflektif dalam mempelajari sejarah, agar peserta didik
tidak hanya mengetahui “apa yang terjadi”, tetapi juga memahami
“mengapa” dan “bagaimana” peristiwa itu terjadi.² Oleh karena itu,
penguasaan terhadap konsep dasar dalam berpikir sejarah seperti diakronik,
sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu menjadi sangat penting.
Berpikir sejarah memerlukan
pendekatan yang khas dan tidak bisa disamakan dengan disiplin ilmu lain.
Sartono Kartodirdjo menekankan bahwa sejarah sebagai ilmu memiliki struktur
logika dan metode tersendiri, di antaranya berpikir kronologis (diakronik) yang
menekankan urutan waktu, serta berpikir sinkronik yang menekankan analisis
struktural pada suatu periode tertentu.³ Pendekatan ini menolong kita untuk
memahami sejarah bukan hanya sebagai rangkaian kejadian, melainkan sebagai pola
hubungan sebab-akibat, proses perubahan, dan konfigurasi sosial dalam suatu
kurun waktu dan tempat tertentu.
Kesadaran akan pentingnya
ruang dan waktu juga menjadi ciri khas pendekatan sejarah. Dimensi ruang tidak
hanya merujuk pada lokasi geografis, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya,
dan politik yang memengaruhi jalannya peristiwa sejarah. Sementara itu, waktu
dalam sejarah bukanlah waktu matematis, melainkan waktu manusiawi yang
mengandung makna, nilai, dan narasi.⁴ Dengan kata lain, pemahaman terhadap
ruang dan waktu secara historis membantu kita melihat realitas secara lebih
kontekstual dan bermakna.
Dengan latar belakang
tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengupas secara komprehensif
konsep-konsep berpikir kronologis (diakronik), sinkronik, serta ruang dan waktu
dalam kajian sejarah. Diharapkan, pembahasan ini dapat memperluas wawasan
pembaca tentang cara kerja ilmu sejarah dan memperkuat kesadaran historis dalam
memahami masa lalu untuk membangun masa depan.
Footnotes
[1]
E.H. Carr, What is History? (New York: Vintage Books, 1961),
30.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku
Panduan Guru Sejarah Indonesia Kelas X (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
5.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 14.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 17.
2.
Sejarah sebagai Ilmu dan Cara Berpikir
Sejarah sebagai cabang ilmu
pengetahuan memiliki objek, metode, dan cara berpikir tersendiri yang
membedakannya dari ilmu-ilmu lainnya. Sebagai ilmu, sejarah mempelajari manusia
dan masyarakat dalam konteks waktu dan ruang, dengan fokus pada perubahan yang
terjadi secara berkesinambungan dari masa lalu menuju masa kini. Hal ini
menjadikan sejarah sebagai ilmu tentang waktu yang memanusiakan, sebagaimana
ditegaskan Kuntowijoyo bahwa sejarah bukan hanya peristiwa yang telah berlalu,
melainkan suatu proses yang memiliki makna dan relevansi bagi kehidupan masa
kini.¹
Ciri utama ilmu sejarah
terletak pada fokusnya terhadap perubahan dan
keberlanjutan. Dalam perspektif ilmiah, sejarah tidak
semata-mata mencatat kejadian, tetapi juga menganalisis sebab, proses, dan
akibat dari suatu peristiwa.² Sejarawan dituntut untuk menyusun narasi yang
logis dan teruji berdasarkan bukti-bukti sejarah (data empirik) yang dapat
diverifikasi. Pendekatan ini menjadikan sejarah sebagai ilmu yang bersifat
empiris dan interpretatif sekaligus.
Namun, tidak seperti ilmu-ilmu
alam yang bersifat eksak dan bisa diuji melalui eksperimen berulang, sejarah
bersifat idiografis, yaitu
berusaha memahami dan menjelaskan kejadian yang unik, individual, dan terjadi
satu kali dalam waktu tertentu.³ Oleh karena itu, sejarah tidak memberikan
hukum-hukum umum yang berlaku universal, tetapi menawarkan pemahaman
kontekstual terhadap dinamika manusia dan masyarakat.
Selain sebagai ilmu, sejarah
juga merupakan cara berpikir yang khas,
yang disebut dengan berpikir historis. Cara berpikir ini mengajak kita untuk
melihat suatu peristiwa dalam konteks waktu dan ruang, memahami latar belakang,
dinamika internal, serta dampak dari peristiwa tersebut.⁴ Dalam praktiknya,
cara berpikir sejarah menggabungkan pendekatan diakronik, yang melihat
suatu peristiwa secara kronologis dan memanjang dalam waktu, dengan pendekatan sinkronik,
yang menganalisis struktur sosial, budaya, atau ekonomi pada satu kurun waktu
tertentu.⁵
Sebagai cara berpikir,
sejarah juga menuntut kritis dan reflektif,
yakni kemampuan untuk mengevaluasi sumber, membandingkan sudut pandang, dan
mengambil pelajaran dari masa lalu untuk memahami persoalan masa kini. Hal ini
sangat penting dalam konteks pendidikan, karena dengan berpikir historis, siswa
tidak hanya diajak menghafal fakta, tetapi juga mengembangkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (HOTS) seperti analisis, sintesis, dan
evaluasi.⁶
Dengan demikian, memahami
sejarah tidak cukup hanya dengan mengetahui “apa yang terjadi”, tetapi
juga perlu memahami “bagaimana” dan “mengapa” peristiwa itu
terjadi, serta “apa maknanya” bagi masa kini. Inilah yang menjadikan
sejarah tidak hanya berguna untuk mengetahui masa lalu, tetapi juga relevan
sebagai bekal menghadapi masa depan.
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 27.
[2]
Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical
Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 45.
[3]
Nugroho Notosusanto, Sejarah sebagai Ilmu, Budaya, dan Pendidikan
(Jakarta: UI Press, 1979), 10.
[4]
Peter N. Stearns, Meaning over Memory: Recasting the Teaching of
Culture and History (Chapel Hill: University of North Carolina Press,
1993), 3.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 17.
[6]
Wineburg, Sam, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi
Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 488–499.
3.
Konsep
Berpikir Kronologis (Diakronik)
Dalam kajian sejarah,
berpikir kronologis atau diakronik merupakan pendekatan fundamental yang
memungkinkan kita memahami peristiwa secara berurutan sesuai dengan alur waktu.
Secara etimologis, istilah diakronik berasal dari bahasa Yunani: dia
berarti “melalui” dan chronos berarti “waktu”.⁽¹⁾ Dengan demikian,
berpikir diakronik berarti menelusuri suatu peristiwa secara runtut dari waktu
ke waktu, untuk melihat proses perubahan, perkembangan, maupun kesinambungan
yang terjadi.
Berpikir diakronik merupakan
ciri khas pendekatan sejarah karena sejarah pada dasarnya adalah ilmu tentang
waktu. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sejarah bukan hanya berkisah tentang
kejadian yang telah lalu, tetapi tentang proses yang terjadi dalam
lintasan waktu, sehingga hanya dapat dipahami secara utuh bila dikaji secara
kronologis.⁽²⁾ Pendekatan ini menempatkan peristiwa dalam urutan temporal,
memperlihatkan sebab-akibat serta saling keterkaitan antarperistiwa dari waktu
ke waktu.
Menurut Sartono Kartodirdjo,
pendekatan diakronik memiliki beberapa karakteristik utama: (1) memanjang dalam
waktu, (2) bersifat prosesual, dan (3) menunjukkan perkembangan atau perubahan
dari suatu fenomena sejarah.⁽³⁾ Contohnya dapat dilihat dalam kajian mengenai
proses menuju kemerdekaan Indonesia, yang tidak hanya dipahami sebagai
peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 1945, melainkan sebagai rangkaian
panjang perjuangan mulai dari perlawanan lokal terhadap kolonialisme,
kebangkitan nasional, pendudukan Jepang, hingga pembentukan BPUPKI dan PPKI.⁽⁴⁾
Dengan pendekatan diakronik, kita dapat menelusuri bagaimana ide-ide
kemerdekaan tumbuh, berkembang, dan pada akhirnya mencapai puncaknya dalam
peristiwa Proklamasi.
Berpikir kronologis juga
membantu membangun kerangka sebab-akibat (kausalitas), yang menjadi salah satu
prinsip penting dalam kajian sejarah. Dengan menelusuri urutan peristiwa,
seorang sejarawan dapat menunjukkan bagaimana suatu tindakan atau keputusan
pada masa lalu memicu reaksi tertentu yang berujung pada perubahan
signifikan.⁽⁵⁾ Misalnya, kebijakan politik etis Belanda yang memperluas akses
pendidikan bagi pribumi, pada akhirnya melahirkan generasi intelektual yang
menjadi pelopor pergerakan nasional.
Meskipun sangat penting,
pendekatan diakronik juga memiliki keterbatasan. Ia cenderung melihat sejarah
sebagai alur linier dan fokus pada kronologi, sehingga bisa mengabaikan
struktur sosial, ekonomi, atau budaya yang turut memengaruhi peristiwa dalam
satu kurun waktu.⁽⁶⁾ Untuk itu, pendekatan ini sering dilengkapi dengan
pendekatan sinkronik, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Dengan demikian, berpikir
kronologis (diakronik) merupakan pendekatan penting dalam memahami dinamika
sejarah sebagai suatu proses. Ia tidak hanya membantu menyusun peristiwa secara
logis dan teratur, tetapi juga memperlihatkan bagaimana sejarah merupakan
rangkaian tindakan manusia dalam menghadapi tantangan zamannya.
Footnotes
[1]
Edi Sedyawati, “Diakronik dan Sinkronik dalam Ilmu Sejarah,” Jurnal
Humaniora 5, no. 1 (1993): 12.
[2]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 48.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 27.
[4]
Taufik Abdullah, ed., Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan
Proklamasi Kemerdekaan (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 145–162.
[5]
Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical
Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 87.
[6]
Peter N. Stearns, Why Study History? (Boston: American
Historical Association, 1998), 4.
4.
Konsep Berpikir Sinkronik
Berbeda dengan pendekatan
diakronik yang menelusuri perubahan dan perkembangan suatu peristiwa dari masa
ke masa, pendekatan sinkronik dalam kajian
sejarah berfokus pada struktur dan kondisi suatu peristiwa pada
satu kurun waktu tertentu, tanpa terlalu memperhatikan urutan
kronologisnya. Kata sinkronik berasal dari bahasa Yunani syn
(bersama) dan chronos (waktu), yang berarti melihat peristiwa dalam irisan
waktu yang sama untuk memahami pola, sistem, dan interaksi sosial yang
terjadi.¹
Dalam praktiknya, berpikir
sinkronik digunakan untuk menganalisis struktur sosial, politik,
ekonomi, atau budaya dalam satu periode tertentu. Pendekatan
ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi
dan antropologi struktural, yang menekankan pentingnya melihat bagaimana
unsur-unsur dalam masyarakat saling berinteraksi dalam satu sistem.² Dengan
berpikir sinkronik, sejarawan tidak hanya menelusuri “apa yang terjadi
sebelumnya dan sesudahnya”, tetapi lebih tertarik pada “apa yang sedang
terjadi” dan “bagaimana hubungan antarunsur pada saat itu”.
Sartono Kartodirdjo
menyebutkan bahwa pendekatan sinkronik dalam sejarah sangat berguna untuk menyelidiki
aspek-aspek struktural dari suatu masyarakat, seperti sistem pemerintahan, pola
mata pencaharian, stratifikasi sosial, atau kehidupan keagamaan dalam satu masa
tertentu.³ Misalnya, untuk memahami struktur masyarakat kerajaan Majapahit pada
abad ke-14, pendekatan sinkronik memungkinkan kita untuk menganalisis struktur
birokrasi, sistem agraria, hubungan antarkelas sosial, serta norma-norma budaya
yang berlaku dalam periode tersebut.
Pendekatan ini juga sangat
membantu dalam memahami kompleksitas peristiwa sejarah secara
horizontal. Artinya, sejarawan dapat membandingkan berbagai
aspek kehidupan masyarakat dalam ruang yang luas pada waktu yang sama. Sebagai
contoh, analisis sinkronik terhadap Indonesia pada tahun 1945 tidak hanya
mencakup peristiwa proklamasi kemerdekaan, tetapi juga dinamika sosial
masyarakat, konflik ideologi, peran pemuda, dan respons internasional terhadap
kemerdekaan.⁴
Selain itu, berpikir
sinkronik memungkinkan kita untuk lebih objektif dan analitis
dalam melihat peristiwa sejarah karena tidak terjebak pada narasi tunggal yang
linier.⁵ Ini menjadi penting dalam pembelajaran sejarah modern yang menekankan
pentingnya berpikir kritis dan kontekstual.
Namun demikian, berpikir
sinkronik juga memiliki keterbatasan. Pendekatan ini cenderung mengabaikan
aspek kronologis dan dinamika perubahan waktu, sehingga kurang tepat bila
digunakan untuk menjelaskan proses sejarah yang bersifat evolutif atau
transformatif.⁶ Oleh karena itu, pendekatan sinkronik paling efektif digunakan
secara komplementer dengan pendekatan diakronik, agar pemahaman terhadap
sejarah menjadi lebih utuh dan menyeluruh.
Dengan demikian, berpikir
sinkronik memberikan perspektif yang penting dalam kajian sejarah, terutama
dalam memahami kondisi sosial dan struktur masyarakat pada waktu tertentu.
Pendekatan ini tidak hanya memperkaya analisis sejarah, tetapi juga membantu
dalam mengembangkan keterampilan berpikir sistematis dan multidimensional.
Footnotes
[1]
Edi Sedyawati, “Diakronik dan Sinkronik dalam Ilmu Sejarah,” Jurnal
Humaniora 5, no. 1 (1993): 15.
[2]
Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago:
University of Chicago Press, 1980), 27–30.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 33.
[4]
Taufik Abdullah, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah, vol. 7
(Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2012), 101–115.
[5]
Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity
Press, 2004), 41.
[6]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 62.
5.
Konsep Ruang dan Waktu dalam Sejarah
Dalam ilmu sejarah, konsep ruang
dan waktu merupakan dua dimensi utama yang membingkai peristiwa
masa lalu. Kedua konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai latar tempat dan
urutan kejadian, tetapi juga menjadi unsur esensial dalam membentuk pemahaman
kontekstual terhadap dinamika kehidupan manusia. Sejarawan tidak dapat memahami
suatu peristiwa secara utuh tanpa memperhatikan di mana (ruang) dan kapan
(waktu) peristiwa itu terjadi.
5.1.
Konsep Waktu dalam Sejarah
Waktu
dalam sejarah bukanlah waktu matematis sebagaimana digunakan dalam fisika,
melainkan waktu manusiawi yang
mengandung nilai, makna, dan narasi.⁽¹⁾ Menurut Kuntowijoyo, waktu dalam
sejarah adalah lintasan kehidupan manusia yang mengandung intensitas pengalaman,
sehingga tidak bisa dipahami hanya dalam kerangka kronologis, tetapi harus
ditafsirkan berdasarkan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.⁽²⁾
Sejarawan Prancis, Fernand
Braudel, membedakan tiga lapisan waktu dalam sejarah: waktu geografis
(longue durée), waktu sosial-ekonomi (conjonctures), dan waktu
peristiwa (événementielle).⁽³⁾ Pendekatan ini menekankan bahwa sejarah
tidak hanya berisi peristiwa singkat seperti peperangan atau pergantian
kekuasaan, tetapi juga mencakup pola-pola jangka panjang seperti perubahan
struktur sosial dan mentalitas kolektif.
Dengan demikian, pemahaman
terhadap waktu dalam sejarah tidak cukup hanya dengan mencatat “tanggal”
terjadinya suatu peristiwa, tetapi juga melibatkan pemahaman tentang konteks
sejarah, seperti perubahan nilai, pola pikir, dan sistem sosial dalam
periode tersebut. Hal ini menjadikan waktu sebagai unsur yang hidup dan dinamis
dalam narasi sejarah.
5.2.
Konsep Ruang dalam Sejarah
Sementara itu, ruang
dalam sejarah merujuk pada lokasi geografis dan kondisi spasial tempat
peristiwa terjadi. Namun, ruang sejarah tidak hanya dipahami secara fisik,
melainkan juga secara sosiokultural dan politis.
Ruang mencakup lingkungan tempat manusia berinteraksi, membentuk kebudayaan,
dan menciptakan struktur sosial tertentu.⁽⁴⁾
Menurut Sartono Kartodirdjo,
ruang dalam sejarah bersifat interaktif, karena peristiwa sejarah
selalu dipengaruhi oleh kondisi geografis, hubungan antarwilayah, dan
persebaran kekuasaan.⁽⁵⁾ Misalnya, letak strategis kerajaan Sriwijaya di Selat
Malaka memengaruhi kekuatan maritim dan peranannya dalam perdagangan
internasional. Studi sejarah yang mengabaikan ruang akan kehilangan pemahaman
terhadap aspek geografis yang membentuk realitas historis.
Konsep ruang juga berkaitan
erat dengan identitas dan kekuasaan. Sejarawan seperti Doreen Massey dan Edward
Said menekankan bahwa ruang adalah konstruksi sosial yang memengaruhi persepsi
dan relasi antar kelompok manusia.⁽⁶⁾ Dalam konteks kolonialisme, misalnya,
pembentukan wilayah-wilayah administratif oleh penjajah tidak hanya bersifat
geografis, tetapi juga politis dan ideologis.
5.3.
Interaksi Ruang dan Waktu dalam Kajian Sejarah
Konsep ruang dan waktu dalam
sejarah tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling berkaitan dan membentuk konteks historis
yang spesifik. Sebuah peristiwa sejarah hanya dapat dipahami secara menyeluruh
jika kita mengetahui kapan peristiwa itu terjadi dan di mana ia berlangsung,
serta bagaimana ruang dan waktu tersebut memengaruhi jalannya peristiwa.
Contohnya, perjuangan rakyat
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pasca-1945 terjadi dalam ruang
geografis yang beragam—dari kota besar hingga pedesaan—dan dalam waktu historis
yang penuh ketegangan internasional pasca-Perang Dunia II. Memahami sejarah
tanpa memperhatikan ruang dan waktu akan membuat analisis menjadi ahistoris dan
kurang bermakna.⁽⁷⁾
Dengan demikian, menguasai
konsep ruang dan waktu dalam sejarah adalah kunci untuk menyusun narasi sejarah
yang kontekstual, kritis, dan bermakna. Hal ini juga penting dalam pendidikan
sejarah, karena mendorong siswa untuk tidak hanya menghafal fakta, tetapi juga
memahami dinamika yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, Vol. 1, trans. Kathleen
McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3.
[2]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 60–61.
[3]
Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago:
University of Chicago Press, 1980), 25–29.
[4]
Peter Burke, The Fabrication of Louis XIV (New Haven: Yale
University Press, 1992), 17.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 38.
[6]
Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993),
78; Doreen Massey, For Space (London: SAGE Publications, 2005), 9.
[7]
Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 89–90.
6.
Integrasi Pendekatan Diakronik, Sinkronik,
Ruang dan Waktu
Kajian sejarah yang
komprehensif tidak cukup jika hanya mengandalkan satu pendekatan saja. Untuk
memperoleh pemahaman yang utuh terhadap peristiwa masa lalu, seorang sejarawan
harus mengintegrasikan pendekatan diakronik,
sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu dalam analisisnya.
Integrasi ini memungkinkan kita untuk memahami proses perubahan
yang terjadi dalam rentang waktu tertentu (diakronik), sekaligus menganalisis kondisi
sosial, ekonomi, budaya, dan politik pada waktu tertentu secara
mendalam (sinkronik), dalam konteks lokasi dan lingkungan
yang memengaruhi jalannya peristiwa (ruang dan waktu).
6.1.
Sinergi antara Diakronik dan Sinkronik
Berpikir diakronik membantu
kita menelusuri urutan peristiwa dan melihat dinamika perubahan dari waktu ke
waktu. Namun, untuk memahami kompleksitas yang terjadi dalam satu periode
tertentu, pendekatan sinkronik diperlukan agar fokus tidak hanya pada urutan,
melainkan pada struktur internal masyarakat pada masa
tersebut. Louis Gottschalk menyatakan bahwa sejarah yang baik
adalah sejarah yang mampu menyatukan narasi proses (diakronik) dengan analisis
struktur (sinkronik).¹
Sebagai contoh, untuk
memahami Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun
1945, pendekatan diakronik membantu menelusuri proses panjang
mulai dari perlawanan terhadap kolonialisme, kebangkitan nasional, hingga
pendudukan Jepang. Sementara itu, pendekatan sinkronik memungkinkan kita
menelaah struktur sosial-politik yang ada saat itu: ketegangan antarkelompok,
peran pemuda, militer Jepang, dan dinamika diplomasi internasional.² Integrasi
keduanya menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual.
6.2.
Peran Ruang dan Waktu sebagai Konteks Historis
Dimensi ruang dan waktu
memperkaya pendekatan diakronik dan sinkronik dengan memberikan konteks
geografis dan temporal yang spesifik. Waktu memberikan kerangka
kronologis dan interpretatif untuk melihat perkembangan dan intensitas
peristiwa, sedangkan ruang memberikan latar tempat yang menunjukkan bagaimana kondisi
fisik dan sosial suatu wilayah memengaruhi jalannya sejarah.³
Dalam sejarah lokal,
misalnya, studi tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme Belanda
tidak cukup hanya dilihat sebagai kronologi peperangan (diakronik) atau
struktur perlawanan rakyat (sinkronik), tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi
geografis Aceh yang bergunung dan terpencil, serta identitas
keagamaan masyarakat yang memperkuat semangat jihad fi
sabilillah.⁴
Integrasi dimensi ruang-waktu
juga terlihat dalam pendekatan sejarawan Annales, seperti yang dikembangkan
oleh Fernand Braudel, yang membagi analisis sejarah ke dalam lapisan waktu dan
menekankan pentingnya faktor geografis dalam membentuk struktur sosial dan
ekonomi suatu masyarakat.⁵
6.3.
Implikasi dalam Pendidikan dan Penulisan
Sejarah
Dalam konteks pendidikan,
integrasi pendekatan-pendekatan ini sangat penting untuk mendorong peserta
didik agar mampu berpikir komprehensif, kritis, dan kontekstual.
Dengan menggabungkan dimensi diakronik, sinkronik, ruang, dan waktu, siswa
tidak hanya dituntut menghafal nama dan tanggal, tetapi diajak menganalisis
sebab-akibat, struktur masyarakat, serta memahami konteks ruang dan waktu dari
suatu peristiwa sejarah.⁶
Selain itu, penulisan sejarah
yang menggabungkan pendekatan-pendekatan tersebut akan menghasilkan narasi yang
lebih kaya dan mendalam, tidak bersifat simplistis, serta mampu
merepresentasikan kompleksitas realitas sejarah.⁷ Inilah arah yang dikembangkan
oleh sejarawan kontemporer, yang tidak lagi hanya berkutat pada tokoh besar dan
peristiwa politik, tetapi juga pada sejarah sosial, budaya, ekonomi, dan
lokalitas.
Kesimpulan Sementara
Mengintegrasikan pendekatan
diakronik, sinkronik, serta dimensi ruang dan waktu dalam kajian sejarah bukan
hanya meningkatkan akurasi dan kedalaman analisis, tetapi juga memperkuat
fungsi sejarah sebagai sarana pembentukan pemahaman kritis terhadap kehidupan manusia.
Dalam dunia pendidikan dan penulisan sejarah, sinergi ini sangat krusial agar
sejarah tidak menjadi sekadar pelajaran hafalan, melainkan sarana membangun
kesadaran historis dan refleksi masa depan.
Footnotes
[1]
Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical
Method (New York: Alfred A. Knopf, 1950), 95.
[2]
Taufik Abdullah, ed., Indonesia dalam Arus Sejarah, vol. 7
(Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2012), 123–140.
[3]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 60–63.
[4]
Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands
and Britain 1858–1898 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969),
45–56.
[5]
Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago:
University of Chicago Press, 1980), 29–36.
[6]
Sam Wineburg, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi
Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 488–499.
[7]
Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity
Press, 2004), 54.
7.
Penutup
Pemahaman terhadap konsep berpikir
diakronik, sinkronik, serta ruang dan waktu dalam kajian sejarah
merupakan fondasi penting dalam membangun pendekatan ilmiah dan kritis terhadap
peristiwa masa lalu. Keempat unsur ini saling melengkapi dan membentuk kerangka
analisis yang utuh, yang tidak hanya menjelaskan apa yang terjadi,
tetapi juga mengapa, bagaimana, dan dalam konteks apa
peristiwa itu berlangsung.
Berpikir diakronik
memberikan landasan untuk memahami proses perubahan dan kesinambungan sejarah
dalam alur waktu yang logis dan kronologis. Melalui pendekatan ini, sejarah
ditampilkan sebagai suatu narasi yang bergerak dari masa ke masa, menelusuri
benang merah antara sebab dan akibat.¹ Di sisi lain, berpikir sinkronik
memungkinkan kita menelaah struktur internal dan pola hubungan sosial dalam
satu periode tertentu secara mendalam, sehingga memberikan gambaran menyeluruh
tentang kondisi masyarakat pada waktu tersebut.²
Sementara itu, dimensi ruang
dan waktu berfungsi sebagai bingkai kontekstual yang tidak
terpisahkan dari setiap peristiwa sejarah. Waktu memberikan irama dan urutan
bagi narasi sejarah, sedangkan ruang menampilkan arena fisik dan sosial tempat
interaksi manusia berlangsung.³ Kombinasi antara waktu sebagai proses
dan ruang sebagai wadah sosial menghasilkan pemahaman sejarah yang
tidak statis, tetapi dinamis dan kontekstual.
Dengan mengintegrasikan
seluruh pendekatan ini, kajian sejarah menjadi lebih analitis,
reflektif, dan bermakna. Sejarawan dan pembelajar sejarah tidak
hanya terpaku pada deretan tanggal dan nama tokoh, melainkan terdorong untuk
menggali makna di balik setiap kejadian, memahami struktur yang membentuk
masyarakat, serta melihat keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa
depan.⁴ Hal ini juga menjadikan sejarah sebagai ilmu yang relevan dalam
kehidupan modern, karena membuka ruang untuk memahami identitas, mengambil
pelajaran dari pengalaman kolektif, dan membentuk masa depan yang lebih baik.
Dalam konteks pendidikan,
pemahaman terhadap konsep-konsep dasar berpikir sejarah menjadi bekal penting
untuk membentuk kesadaran historis
peserta didik. Kesadaran ini bukan hanya berarti mengetahui apa yang pernah
terjadi, tetapi juga memahami bagaimana sejarah bekerja dan bagaimana ia dapat
digunakan untuk merespons tantangan zaman.⁵ Dengan demikian, sejarah bukan
sekadar pelajaran tentang masa lalu, tetapi juga panduan untuk bertindak bijak
di masa kini dan masa depan.
Sebagaimana dikatakan
sejarawan John Tosh, “History is not the past itself, but the act of
interpreting the past.”⁶ Maka, tugas kita sebagai penulis, pengajar, dan
pembelajar sejarah adalah memahami dan mengajarkan cara berpikir sejarah dengan
pendekatan yang tepat—diakronik, sinkronik, serta sadar ruang dan waktu—agar
sejarah tidak mati dalam buku, tetapi hidup dalam kesadaran kolektif umat
manusia.
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang,
2005), 52.
[2]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 33–35.
[3]
Fernand Braudel, On History, trans. Sarah Matthews (Chicago:
University of Chicago Press, 1980), 29.
[4]
Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity
Press, 2004), 64.
[5]
Sam Wineburg, “Historical Thinking and Other Unnatural Acts,” Phi
Delta Kappan 80, no. 7 (1999): 491.
[6]
John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Methods and New Directions
in the Study of History, 6th ed. (New York: Routledge, 2015), 2.
Daftar Pustaka
Abdullah, T. (Ed.). (2012). Indonesia dalam arus
sejarah (Vol. 7). Jakarta: Kemendikbud dan Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Braudel, F. (1980). On history (S. Matthews,
Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Burke, P. (1992). The fabrication of Louis XIV.
New Haven: Yale University Press.
Burke, P. (2004). What is cultural history?
Cambridge: Polity Press.
Carr, E. H. (1961). What is history? New
York: Vintage Books.
Gottschalk, L. (1950). Understanding history: A
primer of historical method. New York: Alfred A. Knopf.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan ilmu sosial
dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022). Buku panduan guru Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta:
Kemendikbudristek.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar ilmu sejarah.
Yogyakarta: Bentang.
Massey, D. (2005). For space. London: SAGE
Publications.
Notosusanto, N. (1979). Sejarah sebagai ilmu,
budaya, dan pendidikan. Jakarta: UI Press.
Reid, A. (1969). The contest for North Sumatra:
Atjeh, the Netherlands and Britain 1858–1898. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol.
1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). Chicago: University of Chicago
Press.
Said, E. (1993). Culture and imperialism.
New York: Knopf.
Sedyawati, E. (1993). Diakronik dan sinkronik dalam
ilmu sejarah. Jurnal Humaniora, 5(1), 11–18.
Stearns, P. N. (1993). Meaning over memory:
Recasting the teaching of culture and history. Chapel Hill: University of
North Carolina Press.
Stearns, P. N. (1998). Why study history?
Boston: American Historical Association.
Tosh, J. (2015). The pursuit of history: Aims,
methods and new directions in the study of history (6th ed.). New York:
Routledge.
Wineburg, S. (1999). Historical thinking and other
unnatural acts. Phi Delta Kappan, 80(7), 488–499.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar