Paradoks
Penolakan Filsafat
Analisis Epistemologis,
Ontologis, dan Praktis
Alihkan ke: Pengantar Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif fenomena
paradoksal dalam wacana filsafat, yaitu kenyataan bahwa upaya menolak filsafat
justru merupakan tindakan filosofis itu sendiri. Fenomena ini muncul dari klaim yang sering ditemukan di era modern
maupun kontemporer, bahwa filsafat tidak lagi relevan dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Paradoks tersebut mengandung
kontradiksi performatif, sebab pernyataan yang dimaksud pada dasarnya
menggunakan perangkat konseptual dan argumen filosofis yang sama dengan yang
hendak ditolaknya.
Kajian ini menggunakan pendekatan analitis dan kritis
dengan meninjau aspek epistemologis, ontologis, dan praktis. Dari sisi
epistemologis, artikel ini menegaskan bahwa setiap klaim pengetahuan, termasuk
klaim anti-filsafat, tetap membutuhkan asumsi filosofis seperti kriteria
kebenaran, validitas logika, dan batas pengetahuan. Dari sisi ontologis,
penolakan terhadap filsafat pada hakikatnya adalah klaim tentang ada dan tiada,
yang tidak bisa dilepaskan dari horizon metafisika. Bahkan ilmu pengetahuan
modern yang tampak bebas dari metafisika sesungguhnya tetap beroperasi dengan
asumsi ontologis tertentu, seperti prinsip kausalitas atau keyakinan terhadap
keteraturan kosmos. Sementara itu, dari sisi praktis, filsafat terbukti
memiliki relevansi dalam pendidikan, sains, teknologi, politik, hukum, dan
kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk refleksi normatif maupun kerangka etis
yang mengarahkan tindakan manusia.
Secara historis, artikel ini juga menyoroti perjalanan
panjang filsafat dari Yunani Kuno, tradisi Islam klasik, hingga modernitas dan
postmodernitas, yang menunjukkan bahwa meski filsafat berulang kali ditolak, ia
selalu hadir kembali dalam bentuk reinterpretasi dan kritik. Reinterpretasi
kontemporer, termasuk melalui pendekatan interdisipliner dan kritik postmodern,
memperlihatkan bahwa filsafat kini dipahami sebagai ruang dialog terbuka yang
menautkan ilmu pengetahuan, etika, dan kehidupan sosial. Dengan demikian,
filsafat tetap menjadi horizon berpikir manusia yang tak tergantikan, baik
dalam ranah akademik maupun praksis kehidupan.
Kesimpulan dari kajian ini menegaskan bahwa paradoks
penolakan filsafat justru mengukuhkan relevansi filsafat itu sendiri. Filsafat
bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan keniscayaan yang melekat
pada eksistensi manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya, merenung, dan
mencari makna. Dengan menyadari paradoks ini, manusia dapat memposisikan
filsafat bukan sebagai sesuatu yang perlu dihapus, melainkan sebagai panduan
reflektif yang mampu menavigasi kompleksitas pengetahuan dan kehidupan
kontemporer.
Kata kunci: filsafat,
paradoks penolakan, epistemologi, ontologi, metafisika, ilmu pengetahuan,
relevansi praktis.
PEMBAHASAN
Paradoks Penolakan Filsafat
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam
sejarah pemikiran manusia, filsafat sering kali menempati posisi yang
diperdebatkan: di satu sisi dianggap sebagai induk ilmu pengetahuan, sementara di
sisi lain kerap dinilai sudah tidak relevan di era perkembangan sains modern.
Banyak suara, khususnya sejak era positivisme logis abad ke-20, menyatakan
bahwa filsafat telah kehilangan tempatnya karena klaim-klaimnya tidak dapat
diverifikasi secara empiris.¹ Bahkan dalam diskursus publik kontemporer,
filsafat kerap dianggap sebagai aktivitas spekulatif yang tidak lagi memiliki
fungsi praktis.²
Namun
demikian, setiap kali seseorang mengatakan bahwa filsafat tidak diperlukan atau
tidak memiliki tempat, ia sejatinya sedang melakukan aktivitas filosofis. Klaim
“filsafat tidak berguna” memuat suatu penilaian epistemologis (tentang
pengetahuan mana yang sahih) sekaligus pernyataan ontologis (tentang ada atau
tidaknya peran filsafat dalam dunia pengetahuan).³ Dengan kata lain, menolak
filsafat sama dengan menggunakan filsafat sebagai instrumen untuk menolaknya.
Fenomena ini menghadirkan sebuah paradoks yang menarik untuk dikaji lebih jauh.
1.2.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang hendak dijawab dalam
kajian ini:
1)
Apa yang
dimaksud dengan klaim bahwa filsafat tidak dibutuhkan?
2)
Apakah
mungkin menolak filsafat tanpa melakukan aktivitas berfilsafat itu sendiri?
3)
Bagaimana
posisi filsafat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, baik secara historis
maupun epistemologis?
1.3.
Tujuan Penelitian
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menganalisis
paradoks penolakan filsafat melalui perspektif epistemologis, ontologis, dan
praktis.
2)
Menggali
hubungan historis dan konseptual antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
3)
Menunjukkan
relevansi filsafat dalam konteks kehidupan kontemporer, meski sering kali
dipandang tidak relevan.
1.4.
Metodologi Kajian
Pendekatan
yang digunakan dalam kajian ini bersifat analitis-kritis dengan tiga sudut
pandang utama:
1)
Epistemologis, yakni menelaah klaim-klaim pengetahuan yang mendasari penolakan
terhadap filsafat.
2)
Ontologis, yakni mengkaji keberadaan filsafat sebagai struktur berpikir yang
inheren dalam setiap aktivitas intelektual manusia.
3)
Praktis, yakni menyoroti fungsi dan peran filsafat dalam kehidupan nyata,
termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan, etika, dan kebudayaan.
Dengan
pendekatan ini, diharapkan dapat dibangun sebuah kerangka berpikir yang
menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar opsi tambahan dalam kehidupan
intelektual, melainkan suatu keniscayaan dalam setiap usaha manusia memahami realitas.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.
[2]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New
York: DK Publishing, 1998), 12–14.
[3]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 27–28.
2.
Konsep Dasar Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan
2.1.
Definisi Filsafat
Filsafat,
sejak zaman Yunani Kuno, dipahami sebagai upaya rasional untuk mencari
pengetahuan yang paling mendasar tentang kenyataan, pengetahuan, dan nilai.
Plato mendefinisikannya sebagai epistēmē yang mencari kebenaran
yang tetap, sementara Aristoteles melihat filsafat sebagai ilmu
tentang sebab dan prinsip yang pertama.¹ Dalam tradisi Islam,
al-Farabi menyebut filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu
sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia.² Secara umum, filsafat dapat
dipahami sebagai aktivitas berpikir reflektif, sistematis, kritis, dan rasional
mengenai persoalan mendasar yang tidak dapat dijawab hanya dengan metode
empiris.³
2.2.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan modern didefinisikan sebagai suatu sistem pengetahuan yang disusun
secara metodis dan didasarkan pada pengalaman empiris serta rasionalitas.⁴ Ciri
khas ilmu terletak pada metode ilmiahnya, yakni pengamatan, eksperimen,
formulasi hipotesis, verifikasi, dan teori.⁵ Auguste Comte, sebagai peletak dasar
positivisme, menekankan bahwa ilmu adalah pengetahuan positif yang hanya
berurusan dengan fakta yang dapat diobservasi dan diverifikasi.⁶ Dengan
demikian, ilmu pengetahuan bersifat terbuka terhadap koreksi, berkembang secara
kumulatif, dan diarahkan pada penjelasan serta prediksi fenomena.
2.3.
Hubungan Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan
Secara
historis, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Pada masa
Yunani Kuno, istilah philosophia mencakup seluruh bentuk
pencarian pengetahuan, termasuk matematika, fisika, dan etika.⁷ Bahkan
ilmu-ilmu modern yang kita kenal sekarang lahir dari rahim filsafat: fisika
dari filsafat alam, psikologi dari filsafat jiwa, sosiologi dari filsafat
sosial, dan sebagainya.⁸ Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan memperoleh
otonomi metodologis, tetapi tidak pernah sepenuhnya lepas dari filsafat, karena
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang dasar, batas, dan tujuan ilmu tetap
bersifat filosofis.⁹
Dari
perspektif epistemologis, filsafat berfungsi sebagai landasan kritis yang
menguji asumsi dasar ilmu, seperti validitas logika, konsep kebenaran, prinsip
kausalitas, dan objektivitas.¹⁰ Sementara dari perspektif praktis, filsafat memberi
kerangka etis dan normatif bagi penerapan ilmu, terutama pada ranah teknologi,
bioetika, dan kebijakan publik.¹¹ Dengan demikian, meskipun ilmu pengetahuan
berkembang dengan metode empirisnya, ia tetap memerlukan filsafat sebagai
refleksi atas asumsi dan implikasi yang mendasarinya.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.
[2]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, trans.
Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 59–61.
[3]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(London: Williams and Norgate, 1912), 1–3.
[4]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–12.
[6]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 5.
[7]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45.
[8]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New
York: DK Publishing, 1998), 20–22.
[9]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 2–4.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London:
Continuum, 1975), 265–270.
[11]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
28–29.
3.
Paradoks Penolakan Filsafat
3.1.
Logika Kontradiksi
Pernyataan bahwa “filsafat tidak dibutuhkan lagi”
atau “filsafat tidak memiliki tempat dalam perkembangan ilmu” mengandung
kontradiksi performatif (performative contradiction). Kontradiksi ini
terjadi ketika isi pernyataan seseorang bertentangan dengan tindakan yang
dilakukannya saat mengucapkan pernyataan itu sendiri.¹ Misalnya, jika seseorang
mengatakan “saya tidak bisa berbicara,” klaim tersebut gugur pada saat
ia mengucapkannya. Demikian pula, ketika seseorang menyatakan bahwa filsafat
tidak diperlukan, ia pada saat yang sama sedang melakukan tindakan filosofis:
menimbang nilai, mengemukakan argumen, dan mengambil posisi epistemologis.²
3.2.
Menolak Filsafat sebagai
Aktivitas Filosofis
Menolak
filsafat bukanlah tindakan yang netral, melainkan aktivitas yang memuat
premis-premis filosofis. Ketika seseorang berkata “filsafat tidak berguna,” ia:
·
Mengambil
posisi epistemologis tentang apa yang disebut berguna atau tidak berguna.³
·
Mengambil
posisi ontologis tentang ada atau tidak adanya tempat bagi filsafat dalam
struktur pengetahuan.⁴
·
Mengambil
posisi aksiologis mengenai nilai filsafat dalam kehidupan manusia.⁵
Dengan
demikian, penolakan filsafat hanya mungkin dipahami melalui kerangka filosofis. Alih-alih
meniadakan filsafat, penolakan tersebut justru membuktikan keberlanjutan
filsafat dalam wujud yang berbeda.
3.3.
Implikasi Epistemologis
Paradoks
penolakan filsafat juga menyingkap kenyataan bahwa filsafat tidak bisa
dihapuskan dari ranah pengetahuan manusia. Epistemologi menunjukkan bahwa setiap klaim
pengetahuan memerlukan dasar filosofis, seperti kriteria kebenaran, metode
validasi, dan batas-batas pengetahuan.⁶ Klaim anti-filsafat tanpa sadar
beroperasi dalam horizon filosofis yang tidak bisa dihindari. Dalam pengertian
ini, filsafat bersifat tak terhindarkan (inescapable): manusia tidak bisa
tidak berfilsafat.⁷
3.4.
Relevansi Paradoks dalam
Diskursus Kontemporer
Fenomena
ini juga terlihat dalam perdebatan ilmiah modern. Gerakan positivisme logis,
misalnya, berusaha menghapus metafisika dengan menekankan prinsip verifikasi
empiris. Namun, prinsip itu sendiri bersifat metafisis dan filosofis, karena
tidak bisa diverifikasi secara empiris.⁸ Dengan kata lain, kritik terhadap filsafat justru
menjadi filsafat itu sendiri. Inilah paradoks mendasar yang mengukuhkan posisi
filsafat dalam kehidupan intelektual manusia.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 42–43.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 27.
[3]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1945), 8.
[4]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
3–5.
[5]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary
and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966),
12–14.
[6]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston:
Northwestern University Press, 1970), 6–7.
[7]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 265–266.
[8]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.
4.
Perspektif Historis
4.1.
Filsafat sebagai Ibu Ilmu
Sejak
masa Yunani Kuno, filsafat dipandang sebagai induk dari segala bentuk
pengetahuan. Istilah philosophia digunakan untuk merujuk
pada keseluruhan pencarian rasional terhadap kebenaran, mencakup matematika,
logika, fisika, etika, hingga politik.¹ Plato melalui Republic
dan Timaeus
berusaha menyusun pandangan metafisik yang melandasi kosmologi dan etika,
sementara Aristoteles dalam Metaphysics dan Physics
meletakkan dasar-dasar ilmiah yang kelak berkembang menjadi sains modern.²
Dengan demikian, sejarah awal ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari kerangka filsafat.
4.2.
Peran Filsafat dalam
Tradisi Islam Klasik
Dalam
peradaban Islam, filsafat juga memainkan peran vital dalam pengembangan ilmu.
Al-Farabi menyusun hierarki ilmu yang menempatkan logika sebagai instrumen
universal berpikir.³ Ibn Sina mengembangkan filsafat alam dan metafisika yang
berpengaruh besar terhadap kedokteran, psikologi, dan kosmologi.⁴ Al-Ghazali,
meskipun kritis terhadap para filsuf, tetap menggunakan perangkat logika Aristotelian
dalam argumentasi teologisnya.⁵ Perkembangan ini menunjukkan bahwa bahkan
kritik terhadap filsafat pun tetap dilakukan dalam horizon filsafat.
4.3.
Penolakan terhadap Filsafat
dalam Sejarah Modern
Memasuki
era modern, muncul upaya untuk membatasi atau bahkan menyingkirkan filsafat.
Francis Bacon, misalnya, menekankan Novum Organum sebagai metode
induktif baru, menolak spekulasi metafisik yang dianggap tidak produktif bagi
ilmu.⁶ Pada abad ke-19, positivisme Auguste Comte secara eksplisit menyatakan
bahwa tahap metafisik adalah tahap yang harus dilampaui menuju tahap positif, di mana hanya ilmu
empiris yang sahih.⁷ Penolakan lebih radikal muncul pada abad ke-20 melalui
Lingkaran Wina dengan program positivisme logis, yang menganggap pernyataan
filosofis metafisik tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi.⁸
Namun
demikian, sejarah menunjukkan bahwa proyek-proyek penolakan tersebut selalu
melahirkan paradoks. Prinsip verifikasi, misalnya, yang digunakan untuk menolak
metafisika, pada dirinya sendiri merupakan prinsip filosofis yang tidak dapat
diverifikasi secara empiris.⁹ Dengan kata lain, upaya menyingkirkan filsafat justru memperlihatkan
keterikatan yang tak terhindarkan pada filsafat.
4.4.
Keterkaitan Tak Terpisahkan
Perjalanan
historis dari Yunani Kuno, peradaban Islam, hingga era modern menunjukkan bahwa
filsafat selalu hadir baik sebagai fondasi, inspirasi, maupun lawan dari ilmu
pengetahuan. Bahkan ketika filsafat ditolak, ia tetap menjadi kerangka dasar
bagi argumentasi ilmiah. Paradoks inilah yang membuktikan bahwa filsafat tidak hanya berfungsi sebagai
“ibu” ilmu, tetapi juga sebagai bayangan yang selalu menyertai
perkembangan ilmu itu sendiri.
Footnotes
[1]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45–47.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1–2.
[3]
Al-Farabi, Kitab Ihsa’ al-‘Ulum, trans. O.
Leaman (London: Routledge, 1985), 9–12.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge,
1992), 55–60.
[5]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 13–15.
[6]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H.
Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 41–43.
[7]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 6–8.
[8]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.
[9]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 34–36.
5.
Analisis Epistemologis
5.1.
Filsafat sebagai Refleksi
atas Ilmu
Epistemologi
sebagai cabang filsafat berfungsi mengkaji dasar, batas, dan validitas
pengetahuan. Ketika seseorang menyatakan bahwa filsafat tidak diperlukan, ia
sejatinya sedang membuat klaim epistemologis mengenai apa yang dapat dihitung
sebagai pengetahuan sahih.¹ Artinya, kritik terhadap filsafat sekalipun tidak
bisa dilepaskan dari kerangka epistemologis. Karl Popper menegaskan bahwa sains
selalu
berakar pada problem epistemologis, seperti masalah demarkasi antara sains dan
nonsains.² Maka, filsafat tetap hadir sebagai refleksi kritis atas ilmu,
meskipun sering diabaikan.
5.2.
Masalah Definisi Ilmu tanpa
Filsafat
Ilmu
pengetahuan modern sering dipahami sebagai sistem yang otonom dengan metodologi
tersendiri. Namun, definisi tentang apa itu “ilmu” bukanlah hasil
eksperimen, melainkan perumusan konseptual yang bersifat filosofis.³ Auguste
Comte dengan positivismenya, misalnya, merumuskan definisi ilmu berdasarkan
prinsip empirisme,
sementara Thomas Kuhn menunjukkan bahwa paradigma ilmu selalu dibentuk oleh
kerangka konseptual yang tidak sepenuhnya ilmiah dalam arti empiris.⁴ Dengan
demikian, bahkan definisi “ilmu” hanya dapat dipahami dalam horizon filsafat.
5.3.
Asumsi-Asumsi Filosofis
dalam Ilmu Pengetahuan
Setiap
bentuk ilmu pengetahuan beroperasi dengan asumsi-asumsi filosofis yang tidak
dapat dibuktikan secara empiris, tetapi tetap menjadi landasannya. Beberapa
contoh utama adalah:
·
Logika: Ilmu mengandaikan validitas prinsip nonkontradiksi dan deduksi
logis.⁵
·
Kausalitas: Ilmu berasumsi bahwa setiap fenomena memiliki sebab, meski David
Hume menunjukkan bahwa hubungan kausal tidak dapat diobservasi secara
langsung.⁶
·
Objektivitas: Ilmu mengandaikan adanya realitas independen yang dapat diketahui,
meskipun epistemologi kontemporer menunjukkan adanya konstruksi sosial dalam
ilmu.⁷
Tanpa
asumsi filosofis ini, sains tidak dapat berdiri. Sehingga, penolakan terhadap
filsafat sama dengan menolak fondasi yang menopang ilmu itu sendiri.
5.4.
Paradoks Epistemologis
Penolakan Filsafat
Klaim
bahwa filsafat tidak dibutuhkan sebenarnya menghasilkan paradoks epistemologis.
Pernyataan tersebut mengandaikan adanya kriteria pengetahuan (filsafat ilmu),
metodologi penilaian validitas (logika), dan evaluasi nilai pengetahuan
(aksiologi).⁸ Dengan demikian, setiap upaya menyingkirkan filsafat dari ranah
pengetahuan justru mempertegas peran sentral filsafat sebagai landasan epistemologis.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston:
Northwestern University Press, 1970), 6–8.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 40–45.
[3]
Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and
Limits (London: George Allen & Unwin, 1948), 3–5.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–12.
[5]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.3.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), 50–55.
[7]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.
[8]
Paul Feyerabend, Against Method (London:
Verso, 1975), 15–17.
6.
Analisis Ontologis dan Metafisis
6.1.
Keberadaan Filsafat dalam
Struktur Berpikir Manusia
Secara
ontologis, filsafat tidak hanya hadir sebagai disiplin akademis, tetapi juga
sebagai dimensi yang melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir (animal
rationale). Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah makhluk
yang selalu terdorong untuk mengetahui (to know), dan dorongan itu
melahirkan filsafat.¹ Oleh karena itu, bahkan penolakan terhadap filsafat
adalah ekspresi
dari modus eksistensial manusia yang berfilsafat.
6.2.
Ontologi Penolakan
Ketika
seseorang menyatakan bahwa “filsafat tidak ada gunanya,” ia sedang
mengajukan klaim ontologis: bahwa filsafat tidak memiliki tempat dalam struktur
realitas pengetahuan. Namun klaim itu sendiri sudah merupakan bentuk filsafat
ontologis, karena berusaha mendefinisikan apa yang ada (being)
dan apa yang tidak ada.² Heidegger menekankan bahwa filsafat adalah cara
manusia bertanya tentang Sein (ada), sehingga menolak
filsafat berarti menolak kemungkinan bertanya tentang ada itu sendiri—sebuah
tindakan yang tidak mungkin dilakukan tanpa mengandaikan “ada.”³
6.3.
Metafisika yang Terselubung
dalam Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan modern sering mengklaim kebebasannya dari metafisika. Namun pada
kenyataannya, ilmu tetap beroperasi dengan asumsi-asumsi metafisis. Misalnya:
·
Kosmologi
modern berasumsi tentang asal-usul alam semesta dan struktur realitas yang tak
dapat diverifikasi secara empiris penuh.⁴
·
Fisika
kuantum menghadirkan problem metafisis tentang determinisme dan
indeterminisme.⁵
·
Biologi
evolusioner memuat asumsi ontologis mengenai esensi kehidupan.⁶
Hal
ini menunjukkan bahwa metafisika tidak pernah benar-benar hilang, melainkan
hanya berubah bentuk. Setiap upaya menyingkirkan metafisika justru menegaskan
keberlanjutannya dalam horizon ilmiah.
6.4.
Implikasi Ontologis dari
Paradoks Penolakan
Paradoks
penolakan filsafat tidak hanya bersifat epistemologis, melainkan juga
ontologis. Menolak filsafat berarti menolak dimensi keberadaan manusia sebagai
makhluk yang bertanya. Metafisika, dalam pengertian ini, bukan sekadar cabang
filsafat, tetapi ekspresi mendasar dari eksistensi manusia yang selalu mencari
makna, tujuan, dan hakikat realitas.⁷ Dengan demikian, menyingkirkan filsafat
sama saja dengan
menyangkal dimensi terdalam dari eksistensi manusia itu sendiri.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.
[2]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: George Allen & Unwin, 1945), 9.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
[4]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand
Design (New York: Bantam Books, 2010), 29–31.
[5]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The
Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 40–42.
[6]
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker
(London: Penguin, 1986), 3–5.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 28–30.
7.
Kritik dan Reinterpretasi
Kontemporer
7.1.
Kritik terhadap Klaim “Ilmu
Bebas Filsafat”
Abad
ke-20 ditandai dengan berbagai upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari
filsafat. Positivisme logis, misalnya, menyatakan bahwa semua proposisi yang
tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah nonsens.¹ Namun, kritik datang
dari filsuf seperti Karl Popper, yang menunjukkan bahwa prinsip verifikasi
sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga kontradiktif.² Thomas Kuhn juga menegaskan
bahwa sains tidak pernah benar-benar bebas dari kerangka filosofis, karena
perkembangan ilmu selalu ditentukan oleh paradigma yang sarat dengan asumsi
konseptual dan historis.³
7.2.
Reinterpretasi Peran
Filsafat dalam Era Interdisipliner
Era
kontemporer menampilkan fenomena interdisipliner, di mana batas antara
filsafat, ilmu sosial, dan ilmu alam semakin cair. Filsafat ilmu tidak lagi
hanya menjadi kritik eksternal terhadap sains, tetapi juga menjadi mitra reflektif yang
mengkaji implikasi etis, epistemologis, dan ontologis dari penemuan ilmiah.⁴
Bioetika, misalnya, memperlihatkan bagaimana filsafat diperlukan untuk membingkai
perdebatan moral terkait teknologi medis.⁵ Demikian pula, filsafat teknologi
hadir untuk menganalisis dampak eksistensial dari perkembangan kecerdasan
buatan dan dunia digital.⁶
7.3.
Kritik Postmodern terhadap
Fondasionalisme
Pemikir
postmodern seperti Jean-François Lyotard menolak klaim filsafat modern tentang
narasi besar (grand narratives) dan fondasi
universal pengetahuan.⁷ Bagi Lyotard, pengetahuan kini tersebar dalam
wacana-wacana lokal yang plural dan tidak tunduk pada legitimasi tunggal. Hal
ini menantang filsafat tradisional, tetapi pada saat yang sama menegaskan
relevansi filsafat dalam mengkaji legitimasi pengetahuan. Jacques Derrida melalui
dekonstruksi juga menunjukkan bahwa setiap teks, termasuk teks filsafat, selalu
memuat kontradiksi internal yang membuka ruang interpretasi baru.⁸ Kritik
postmodern ini sekaligus memperluas cakrawala filsafat: dari mencari fondasi
tunggal menuju kesadaran akan pluralitas perspektif.
7.4.
Menuju Reinterpretasi
Filosofis yang Lebih Terbuka
Reinterpretasi
kontemporer tidak lagi memposisikan filsafat sebagai otoritas tunggal, tetapi
sebagai medan dialog kritis yang terbuka. Filsafat kini berfungsi sebagai
refleksi lintas disiplin, penghubung antara ilmu, seni, agama, dan kebudayaan.⁹
Paradoks penolakan filsafat dalam konteks kontemporer memperlihatkan bahwa
sekalipun filsafat dikritik, ditolak, atau didekonstruksi, ia tetap muncul
kembali sebagai horizon berpikir yang tak tergantikan. Dengan demikian,
filsafat tidak lagi dipahami sebagai sistem dogmatis, melainkan sebagai praktik refleksi
kritis yang selalu bisa ditafsir ulang sesuai kebutuhan zaman.¹⁰
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Victor Gollancz, 1936), 35–37.
[2]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The
Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 40–42.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[4]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013),
1–3.
[6]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 20–25.
[7]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[8]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
158–160.
[9]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 371–373.
[10]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.
8.
Relevansi Praktis Filsafat
8.1.
Filsafat dalam Pendidikan
Filsafat
memiliki peran praktis yang nyata dalam dunia pendidikan, terutama dalam
membentuk pola pikir kritis, reflektif, dan argumentatif. John Dewey menegaskan
bahwa pendidikan tanpa filsafat akan kehilangan arah, karena filsafat
memberikan kerangka reflektif atas tujuan, metode, dan makna belajar.¹ Dalam
konteks ini, filsafat membantu peserta didik mengembangkan critical
thinking, kemampuan berpikir logis, serta kepekaan etis.² Dengan
demikian, filsafat bukan sekadar wacana abstrak, melainkan landasan praktis bagi
pembentukan manusia yang rasional dan bertanggung jawab.
8.2.
Filsafat dalam Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan
sains dan teknologi modern menghadirkan problem etis dan epistemologis baru
yang menuntut refleksi filosofis. Bioetika, misalnya, berperan dalam menetapkan
batas moral penelitian genetika, rekayasa biologi, dan praktik medis.³ Demikian
pula, filsafat teknologi membantu kita memahami implikasi eksistensial dari kecerdasan buatan,
otomatisasi, dan era digital.⁴ Tanpa filsafat, ilmu pengetahuan berisiko
berkembang secara teknis tanpa mempertimbangkan dampak kemanusiaan dan
keberlanjutan.
8.3.
Filsafat dalam Kehidupan
Publik
Selain
pendidikan dan sains, filsafat juga relevan dalam kehidupan sosial, politik,
dan hukum. Konsep keadilan John Rawls, misalnya, memberikan kerangka normatif
bagi teori demokrasi dan hak asasi manusia.⁵ Dalam hukum, filsafat membantu membedakan antara legalitas
formal dan keadilan substantif.⁶ Bahkan dalam politik praktis, filsafat politik
diperlukan untuk menguji legitimasi kekuasaan, distribusi keadilan, dan
perlindungan terhadap kebebasan sipil.
8.4.
Filsafat sebagai Penuntun
Kehidupan
Lebih
jauh, filsafat juga berperan sebagai penuntun kehidupan sehari-hari. Tradisi
filsafat praktis, dari Stoikisme hingga eksistensialisme, menawarkan kerangka
reflektif untuk menghadapi penderitaan, kebebasan, dan keterbatasan manusia.⁷ Martha Nussbaum menekankan
bahwa filsafat dapat memperluas imajinasi moral manusia dan mengajarkan empati
yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial.⁸ Oleh karena itu, meskipun sering
dianggap abstrak, filsafat sesungguhnya memiliki dampak langsung terhadap cara
manusia menjalani hidupnya.
8.5.
Menjawab Paradoks Penolakan
Relevansi
praktis filsafat semakin terlihat justru ketika ada upaya menolaknya. Setiap
perdebatan mengenai etika teknologi, pendidikan, politik, dan hak asasi manusia
pada dasarnya adalah perdebatan filosofis. Paradoks penolakan filsafat membuktikan bahwa filsafat
tidak hanya bertahan dalam ruang akademis, melainkan hadir secara praktis dalam
setiap aspek kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 331–333.
[2]
Matthew Lipman, Thinking in Education
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18–20.
[3]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013),
2–4.
[4]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From
Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–37.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–5.
[6]
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge: Harvard University Press, 1977), 81–83.
[7]
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas
P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 12–15.
[8]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.
9.
Sintesis dan Refleksi Filosofis
9.1.
Filsafat sebagai
Keniscayaan dalam Berpikir
Dari
uraian sebelumnya terlihat bahwa filsafat bukan sekadar disiplin akademis yang dapat
ditinggalkan begitu saja, melainkan suatu keniscayaan dalam struktur berpikir
manusia. Aristoteles menyatakan bahwa manusia secara alami terdorong untuk mengetahui
(all men
by nature desire to know).¹ Dorongan ini adalah fondasi ontologis
yang membuat filsafat selalu hidup, bahkan ketika ia ditolak. Penolakan
terhadap filsafat hanyalah bentuk lain dari filsafat itu sendiri.
9.2.
Kesatuan Dimensi
Epistemologis dan Ontologis
Paradoks
penolakan filsafat dapat dipahami sebagai titik temu antara epistemologi dan
ontologi. Dari sisi epistemologis, setiap klaim pengetahuan membutuhkan refleksi
filosofis mengenai validitas, kebenaran, dan metodologi.² Dari sisi ontologis,
penolakan filsafat tetap mengandaikan suatu klaim tentang keberadaan dan
ketidakberadaan.³ Dengan demikian, epistemologi dan ontologi tidak dapat
dipisahkan: keduanya saling menopang dalam memastikan filsafat tetap relevan.
9.3.
Filsafat sebagai Refleksi
atas Kehidupan Praktis
Filsafat
bukan hanya abstraksi teoritis, tetapi juga praksis yang memberi arah bagi
kehidupan manusia. Para Stoik mengajarkan filsafat sebagai seni hidup, bukan
sekadar sistem teoritis.⁴ Demikian pula, dalam era modern, filsafat membantu
manusia menghadapi tantangan teknologi, politik, dan etika global.⁵ Dengan kata
lain, filsafat adalah refleksi mendalam yang menjembatani teori dan praktik,
antara abstraksi dan tindakan.
9.4.
Refleksi atas Paradoks
Penolakan
Paradoks
penolakan filsafat mengingatkan bahwa filsafat memiliki daya transformatif yang
melampaui batas-batas disiplin. Ia tidak hanya hadir dalam ruang akademik,
melainkan juga dalam bahasa sehari-hari, wacana politik, perdebatan etika, dan
bahkan dalam kritik terhadap dirinya sendiri.⁶ Refleksi ini menegaskan bahwa
filsafat tidak pernah benar-benar dapat dihapus, sebab ia melekat dalam cara
manusia mengajukan pertanyaan mendasar tentang hidup dan dunia.
9.5.
Menuju Integrasi Baru
Sintesis
dari pembahasan ini menunjukkan bahwa filsafat dapat dipahami sebagai horizon
terbuka yang terus direinterpretasi. Filsafat bukan sekadar warisan klasik, melainkan dinamika
pemikiran yang selalu “on going.”⁷ Dalam konteks kontemporer, filsafat
berfungsi sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan, etika, dan kehidupan
publik. Dengan menyadari paradoks penolakan filsafat, kita dapat mengakui peran
filsafat sebagai dimensi esensial dalam eksistensi manusia, sekaligus membuka
ruang bagi dialog lintas disiplin yang lebih inklusif dan produktif.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Hutchinson, 1959), 40–45.
[3]
Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics,
trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000),
3–5.
[4]
Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas
P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 5–7.
[5]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
28–30.
[6]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 371–373.
[7]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.
10.
Penutup
10.1.
Kesimpulan Umum
Pembahasan
mengenai paradoks penolakan filsafat menunjukkan bahwa filsafat bukanlah
sesuatu yang dapat dihapus begitu saja dari ruang intelektual manusia. Setiap
klaim yang berusaha menolak filsafat justru beroperasi dalam kerangka
filosofis, baik secara epistemologis, ontologis, maupun praktis. Aristoteles
telah menegaskan
bahwa dorongan untuk mengetahui adalah sifat kodrati manusia,¹ dan hal itu
menjadikan filsafat sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.
10.2.
Implikasi Akademis
Secara
akademis, filsafat tetap memegang peranan penting dalam mendasari ilmu
pengetahuan. Paradigma sains, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Kuhn, tidak
pernah sepenuhnya netral, melainkan sarat dengan asumsi filosofis.² Dengan
demikian, upaya menyingkirkan filsafat dari ilmu pengetahuan justru menimbulkan
kontradiksi internal. Filsafat ilmu, etika, dan logika tetap menjadi fondasi
bagi semua disiplin akademis yang berkembang di dunia modern.
10.3.
Implikasi Praktis
Dalam
ranah praktis, filsafat memberi arah dalam pendidikan, politik, hukum, hingga
kehidupan sehari-hari. Pemikiran John Rawls mengenai keadilan, misalnya,
berkontribusi pada perumusan teori demokrasi modern,³ sementara Martha Nussbaum
menegaskan pentingnya
filsafat dalam menumbuhkan empati dan imajinasi moral.⁴ Hal ini memperlihatkan
bahwa filsafat bukan hanya relevan secara teoretis, melainkan juga vital dalam
menjaga dimensi kemanusiaan di tengah perkembangan ilmu dan teknologi.
10.4.
Saran Kajian Lanjutan
Artikel
ini membuka peluang untuk kajian lebih lanjut mengenai bagaimana filsafat
berperan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti kecerdasan buatan,
krisis ekologi, dan globalisasi. Kajian interdisipliner antara filsafat, sains,
dan humaniora akan memperluas pemahaman kita tentang relevansi filsafat dalam
konteks baru. Dengan demikian, filsafat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi
juga panduan kritis untuk masa depan.
10.5.
Penegasan Akhir
Paradoks
penolakan filsafat membuktikan bahwa filsafat adalah keniscayaan. Ia dapat
ditolak, dikritik, bahkan direduksi, tetapi tidak pernah benar-benar dihapus. Seperti yang dikatakan
Heidegger, filsafat adalah usaha manusia untuk bertanya tentang ada,
dan selama manusia masih bertanya, filsafat akan selalu ada.⁵
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–5.
[4]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.
Daftar
Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon
Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Victor Gollancz.
Bacon, F. (1960). Novum organum (F. H. Anderson, Ed.).
Bobbs-Merrill.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of
biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.
Dawkins, R. (1986). The blind watchmaker. Penguin.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns
Hopkins University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.
Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Harvard University
Press.
Epictetus. (1983). The Enchiridion (N. P. White, Trans.).
Hackett.
Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.
Gadamer, H.-G. (1975). Truth and method. Continuum.
Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy, Vol. 1.
Cambridge University Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J.
Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1:
Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon
Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam
Books.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E.
Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried &
R. Polt, Trans.). Yale University Press.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern
science. Harper.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L.
Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and
transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University
Press.
Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth.
Indiana University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions.
University of Chicago Press.
Lipman, M. (2003). Thinking in education. Cambridge University
Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on
knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota
Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame
Press.
Magee, B. (1998). The story of philosophy. DK Publishing.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the
humanities. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development
approach. Harvard University Press.
Plato. (1997). Complete works (J. M. Cooper & D. S.
Hutchinson, Eds.). Hackett.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery.
Hutchinson.
Popper, K. R. (1963). Conjectures and refutations: The growth of
scientific knowledge. Routledge.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the
involuntary. Northwestern University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton
University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Williams and
Norgate.
Russell, B. (1945). History of Western philosophy. George Allen
& Unwin.
Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope and limits. George
Allen & Unwin.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.
Walzer, R. (Trans.). (1985). Al-Madina al-fadila (by Al-Farabi).
Clarendon Press.
Al-Farabi. (1985). Kitab ihsa’ al-‘ulum (O. Leaman, Trans.).
Routledge.
Al-Ghazali. (1997). Tahafut al-falasifa (M. E. Marmura, Trans.).
Brigham Young University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar