Senin, 08 September 2025

Paradoks Penolakan Filsafat: Analisis Epistemologis, Ontologis, dan Praktis

Paradoks Penolakan Filsafat

Analisis Epistemologis, Ontologis, dan Praktis


Alihkan ke: Pengantar Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif fenomena paradoksal dalam wacana filsafat, yaitu kenyataan bahwa upaya menolak filsafat justru merupakan tindakan filosofis itu sendiri. Fenomena ini muncul dari klaim yang sering ditemukan di era modern maupun kontemporer, bahwa filsafat tidak lagi relevan dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Paradoks tersebut mengandung kontradiksi performatif, sebab pernyataan yang dimaksud pada dasarnya menggunakan perangkat konseptual dan argumen filosofis yang sama dengan yang hendak ditolaknya.

Kajian ini menggunakan pendekatan analitis dan kritis dengan meninjau aspek epistemologis, ontologis, dan praktis. Dari sisi epistemologis, artikel ini menegaskan bahwa setiap klaim pengetahuan, termasuk klaim anti-filsafat, tetap membutuhkan asumsi filosofis seperti kriteria kebenaran, validitas logika, dan batas pengetahuan. Dari sisi ontologis, penolakan terhadap filsafat pada hakikatnya adalah klaim tentang ada dan tiada, yang tidak bisa dilepaskan dari horizon metafisika. Bahkan ilmu pengetahuan modern yang tampak bebas dari metafisika sesungguhnya tetap beroperasi dengan asumsi ontologis tertentu, seperti prinsip kausalitas atau keyakinan terhadap keteraturan kosmos. Sementara itu, dari sisi praktis, filsafat terbukti memiliki relevansi dalam pendidikan, sains, teknologi, politik, hukum, dan kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk refleksi normatif maupun kerangka etis yang mengarahkan tindakan manusia.

Secara historis, artikel ini juga menyoroti perjalanan panjang filsafat dari Yunani Kuno, tradisi Islam klasik, hingga modernitas dan postmodernitas, yang menunjukkan bahwa meski filsafat berulang kali ditolak, ia selalu hadir kembali dalam bentuk reinterpretasi dan kritik. Reinterpretasi kontemporer, termasuk melalui pendekatan interdisipliner dan kritik postmodern, memperlihatkan bahwa filsafat kini dipahami sebagai ruang dialog terbuka yang menautkan ilmu pengetahuan, etika, dan kehidupan sosial. Dengan demikian, filsafat tetap menjadi horizon berpikir manusia yang tak tergantikan, baik dalam ranah akademik maupun praksis kehidupan.

Kesimpulan dari kajian ini menegaskan bahwa paradoks penolakan filsafat justru mengukuhkan relevansi filsafat itu sendiri. Filsafat bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan keniscayaan yang melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya, merenung, dan mencari makna. Dengan menyadari paradoks ini, manusia dapat memposisikan filsafat bukan sebagai sesuatu yang perlu dihapus, melainkan sebagai panduan reflektif yang mampu menavigasi kompleksitas pengetahuan dan kehidupan kontemporer.

Kata kunci: filsafat, paradoks penolakan, epistemologi, ontologi, metafisika, ilmu pengetahuan, relevansi praktis.


PEMBAHASAN

Paradoks Penolakan Filsafat


1.          Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah pemikiran manusia, filsafat sering kali menempati posisi yang diperdebatkan: di satu sisi dianggap sebagai induk ilmu pengetahuan, sementara di sisi lain kerap dinilai sudah tidak relevan di era perkembangan sains modern. Banyak suara, khususnya sejak era positivisme logis abad ke-20, menyatakan bahwa filsafat telah kehilangan tempatnya karena klaim-klaimnya tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹ Bahkan dalam diskursus publik kontemporer, filsafat kerap dianggap sebagai aktivitas spekulatif yang tidak lagi memiliki fungsi praktis.²

Namun demikian, setiap kali seseorang mengatakan bahwa filsafat tidak diperlukan atau tidak memiliki tempat, ia sejatinya sedang melakukan aktivitas filosofis. Klaim “filsafat tidak berguna” memuat suatu penilaian epistemologis (tentang pengetahuan mana yang sahih) sekaligus pernyataan ontologis (tentang ada atau tidaknya peran filsafat dalam dunia pengetahuan).³ Dengan kata lain, menolak filsafat sama dengan menggunakan filsafat sebagai instrumen untuk menolaknya. Fenomena ini menghadirkan sebuah paradoks yang menarik untuk dikaji lebih jauh.

1.2.      Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang hendak dijawab dalam kajian ini:

1)                 Apa yang dimaksud dengan klaim bahwa filsafat tidak dibutuhkan?

2)                 Apakah mungkin menolak filsafat tanpa melakukan aktivitas berfilsafat itu sendiri?

3)                 Bagaimana posisi filsafat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, baik secara historis maupun epistemologis?

1.3.      Tujuan Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                 Menganalisis paradoks penolakan filsafat melalui perspektif epistemologis, ontologis, dan praktis.

2)                 Menggali hubungan historis dan konseptual antara filsafat dan ilmu pengetahuan.

3)                 Menunjukkan relevansi filsafat dalam konteks kehidupan kontemporer, meski sering kali dipandang tidak relevan.

1.4.      Metodologi Kajian

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini bersifat analitis-kritis dengan tiga sudut pandang utama:

1)                 Epistemologis, yakni menelaah klaim-klaim pengetahuan yang mendasari penolakan terhadap filsafat.

2)                 Ontologis, yakni mengkaji keberadaan filsafat sebagai struktur berpikir yang inheren dalam setiap aktivitas intelektual manusia.

3)                 Praktis, yakni menyoroti fungsi dan peran filsafat dalam kehidupan nyata, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan, etika, dan kebudayaan.

Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat dibangun sebuah kerangka berpikir yang menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar opsi tambahan dalam kehidupan intelektual, melainkan suatu keniscayaan dalam setiap usaha manusia memahami realitas.


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.

[2]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 1998), 12–14.

[3]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 27–28.


2.          Konsep Dasar Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

2.1.      Definisi Filsafat

Filsafat, sejak zaman Yunani Kuno, dipahami sebagai upaya rasional untuk mencari pengetahuan yang paling mendasar tentang kenyataan, pengetahuan, dan nilai. Plato mendefinisikannya sebagai epistēmē yang mencari kebenaran yang tetap, sementara Aristoteles melihat filsafat sebagai ilmu tentang sebab dan prinsip yang pertama.¹ Dalam tradisi Islam, al-Farabi menyebut filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia.² Secara umum, filsafat dapat dipahami sebagai aktivitas berpikir reflektif, sistematis, kritis, dan rasional mengenai persoalan mendasar yang tidak dapat dijawab hanya dengan metode empiris.³

2.2.      Definisi Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern didefinisikan sebagai suatu sistem pengetahuan yang disusun secara metodis dan didasarkan pada pengalaman empiris serta rasionalitas.⁴ Ciri khas ilmu terletak pada metode ilmiahnya, yakni pengamatan, eksperimen, formulasi hipotesis, verifikasi, dan teori.⁵ Auguste Comte, sebagai peletak dasar positivisme, menekankan bahwa ilmu adalah pengetahuan positif yang hanya berurusan dengan fakta yang dapat diobservasi dan diverifikasi.⁶ Dengan demikian, ilmu pengetahuan bersifat terbuka terhadap koreksi, berkembang secara kumulatif, dan diarahkan pada penjelasan serta prediksi fenomena.

2.3.      Hubungan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Secara historis, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Pada masa Yunani Kuno, istilah philosophia mencakup seluruh bentuk pencarian pengetahuan, termasuk matematika, fisika, dan etika.⁷ Bahkan ilmu-ilmu modern yang kita kenal sekarang lahir dari rahim filsafat: fisika dari filsafat alam, psikologi dari filsafat jiwa, sosiologi dari filsafat sosial, dan sebagainya.⁸ Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan memperoleh otonomi metodologis, tetapi tidak pernah sepenuhnya lepas dari filsafat, karena pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang dasar, batas, dan tujuan ilmu tetap bersifat filosofis.⁹

Dari perspektif epistemologis, filsafat berfungsi sebagai landasan kritis yang menguji asumsi dasar ilmu, seperti validitas logika, konsep kebenaran, prinsip kausalitas, dan objektivitas.¹⁰ Sementara dari perspektif praktis, filsafat memberi kerangka etis dan normatif bagi penerapan ilmu, terutama pada ranah teknologi, bioetika, dan kebijakan publik.¹¹ Dengan demikian, meskipun ilmu pengetahuan berkembang dengan metode empirisnya, ia tetap memerlukan filsafat sebagai refleksi atas asumsi dan implikasi yang mendasarinya.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.

[2]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 59–61.

[3]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 1–3.

[4]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–12.

[6]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 5.

[7]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45.

[8]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 1998), 20–22.

[9]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 2–4.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London: Continuum, 1975), 265–270.

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 28–29.


3.          Paradoks Penolakan Filsafat

3.1.      Logika Kontradiksi

Pernyataan bahwa “filsafat tidak dibutuhkan lagi” atau “filsafat tidak memiliki tempat dalam perkembangan ilmu” mengandung kontradiksi performatif (performative contradiction). Kontradiksi ini terjadi ketika isi pernyataan seseorang bertentangan dengan tindakan yang dilakukannya saat mengucapkan pernyataan itu sendiri.¹ Misalnya, jika seseorang mengatakan “saya tidak bisa berbicara,” klaim tersebut gugur pada saat ia mengucapkannya. Demikian pula, ketika seseorang menyatakan bahwa filsafat tidak diperlukan, ia pada saat yang sama sedang melakukan tindakan filosofis: menimbang nilai, mengemukakan argumen, dan mengambil posisi epistemologis.²

3.2.      Menolak Filsafat sebagai Aktivitas Filosofis

Menolak filsafat bukanlah tindakan yang netral, melainkan aktivitas yang memuat premis-premis filosofis. Ketika seseorang berkatafilsafat tidak berguna,” ia:

·                     Mengambil posisi epistemologis tentang apa yang disebut berguna atau tidak berguna.³

·                     Mengambil posisi ontologis tentang ada atau tidak adanya tempat bagi filsafat dalam struktur pengetahuan.⁴

·                     Mengambil posisi aksiologis mengenai nilai filsafat dalam kehidupan manusia.⁵

Dengan demikian, penolakan filsafat hanya mungkin dipahami melalui kerangka filosofis. Alih-alih meniadakan filsafat, penolakan tersebut justru membuktikan keberlanjutan filsafat dalam wujud yang berbeda.

3.3.      Implikasi Epistemologis

Paradoks penolakan filsafat juga menyingkap kenyataan bahwa filsafat tidak bisa dihapuskan dari ranah pengetahuan manusia. Epistemologi menunjukkan bahwa setiap klaim pengetahuan memerlukan dasar filosofis, seperti kriteria kebenaran, metode validasi, dan batas-batas pengetahuan.⁶ Klaim anti-filsafat tanpa sadar beroperasi dalam horizon filosofis yang tidak bisa dihindari. Dalam pengertian ini, filsafat bersifat tak terhindarkan (inescapable): manusia tidak bisa tidak berfilsafat.⁷

3.4.      Relevansi Paradoks dalam Diskursus Kontemporer

Fenomena ini juga terlihat dalam perdebatan ilmiah modern. Gerakan positivisme logis, misalnya, berusaha menghapus metafisika dengan menekankan prinsip verifikasi empiris. Namun, prinsip itu sendiri bersifat metafisis dan filosofis, karena tidak bisa diverifikasi secara empiris.⁸ Dengan kata lain, kritik terhadap filsafat justru menjadi filsafat itu sendiri. Inilah paradoks mendasar yang mengukuhkan posisi filsafat dalam kehidupan intelektual manusia.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 42–43.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 27.

[3]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1945), 8.

[4]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 3–5.

[5]                Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 12–14.

[6]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 6–7.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 265–266.

[8]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.


4.          Perspektif Historis

4.1.      Filsafat sebagai Ibu Ilmu

Sejak masa Yunani Kuno, filsafat dipandang sebagai induk dari segala bentuk pengetahuan. Istilah philosophia digunakan untuk merujuk pada keseluruhan pencarian rasional terhadap kebenaran, mencakup matematika, logika, fisika, etika, hingga politik.¹ Plato melalui Republic dan Timaeus berusaha menyusun pandangan metafisik yang melandasi kosmologi dan etika, sementara Aristoteles dalam Metaphysics dan Physics meletakkan dasar-dasar ilmiah yang kelak berkembang menjadi sains modern.² Dengan demikian, sejarah awal ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka filsafat.

4.2.      Peran Filsafat dalam Tradisi Islam Klasik

Dalam peradaban Islam, filsafat juga memainkan peran vital dalam pengembangan ilmu. Al-Farabi menyusun hierarki ilmu yang menempatkan logika sebagai instrumen universal berpikir.³ Ibn Sina mengembangkan filsafat alam dan metafisika yang berpengaruh besar terhadap kedokteran, psikologi, dan kosmologi.⁴ Al-Ghazali, meskipun kritis terhadap para filsuf, tetap menggunakan perangkat logika Aristotelian dalam argumentasi teologisnya.⁵ Perkembangan ini menunjukkan bahwa bahkan kritik terhadap filsafat pun tetap dilakukan dalam horizon filsafat.

4.3.      Penolakan terhadap Filsafat dalam Sejarah Modern

Memasuki era modern, muncul upaya untuk membatasi atau bahkan menyingkirkan filsafat. Francis Bacon, misalnya, menekankan Novum Organum sebagai metode induktif baru, menolak spekulasi metafisik yang dianggap tidak produktif bagi ilmu.⁶ Pada abad ke-19, positivisme Auguste Comte secara eksplisit menyatakan bahwa tahap metafisik adalah tahap yang harus dilampaui menuju tahap positif, di mana hanya ilmu empiris yang sahih.⁷ Penolakan lebih radikal muncul pada abad ke-20 melalui Lingkaran Wina dengan program positivisme logis, yang menganggap pernyataan filosofis metafisik tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi.⁸

Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa proyek-proyek penolakan tersebut selalu melahirkan paradoks. Prinsip verifikasi, misalnya, yang digunakan untuk menolak metafisika, pada dirinya sendiri merupakan prinsip filosofis yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁹ Dengan kata lain, upaya menyingkirkan filsafat justru memperlihatkan keterikatan yang tak terhindarkan pada filsafat.

4.4.      Keterkaitan Tak Terpisahkan

Perjalanan historis dari Yunani Kuno, peradaban Islam, hingga era modern menunjukkan bahwa filsafat selalu hadir baik sebagai fondasi, inspirasi, maupun lawan dari ilmu pengetahuan. Bahkan ketika filsafat ditolak, ia tetap menjadi kerangka dasar bagi argumentasi ilmiah. Paradoks inilah yang membuktikan bahwa filsafat tidak hanya berfungsi sebagai “ibu” ilmu, tetapi juga sebagai bayangan yang selalu menyertai perkembangan ilmu itu sendiri.


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45–47.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1–2.

[3]                Al-Farabi, Kitab Ihsa’ al-‘Ulum, trans. O. Leaman (London: Routledge, 1985), 9–12.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 55–60.

[5]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 1997), 13–15.

[6]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Fulton H. Anderson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1960), 41–43.

[7]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, trans. Harriet Martineau (London: George Bell, 1896), 6–8.

[8]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 31–35.

[9]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 34–36.


5.          Analisis Epistemologis

5.1.      Filsafat sebagai Refleksi atas Ilmu

Epistemologi sebagai cabang filsafat berfungsi mengkaji dasar, batas, dan validitas pengetahuan. Ketika seseorang menyatakan bahwa filsafat tidak diperlukan, ia sejatinya sedang membuat klaim epistemologis mengenai apa yang dapat dihitung sebagai pengetahuan sahih.¹ Artinya, kritik terhadap filsafat sekalipun tidak bisa dilepaskan dari kerangka epistemologis. Karl Popper menegaskan bahwa sains selalu berakar pada problem epistemologis, seperti masalah demarkasi antara sains dan nonsains.² Maka, filsafat tetap hadir sebagai refleksi kritis atas ilmu, meskipun sering diabaikan.

5.2.      Masalah Definisi Ilmu tanpa Filsafat

Ilmu pengetahuan modern sering dipahami sebagai sistem yang otonom dengan metodologi tersendiri. Namun, definisi tentang apa itu “ilmu” bukanlah hasil eksperimen, melainkan perumusan konseptual yang bersifat filosofis.³ Auguste Comte dengan positivismenya, misalnya, merumuskan definisi ilmu berdasarkan prinsip empirisme, sementara Thomas Kuhn menunjukkan bahwa paradigma ilmu selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang tidak sepenuhnya ilmiah dalam arti empiris.⁴ Dengan demikian, bahkan definisi “ilmu” hanya dapat dipahami dalam horizon filsafat.

5.3.      Asumsi-Asumsi Filosofis dalam Ilmu Pengetahuan

Setiap bentuk ilmu pengetahuan beroperasi dengan asumsi-asumsi filosofis yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi tetap menjadi landasannya. Beberapa contoh utama adalah:

·                     Logika: Ilmu mengandaikan validitas prinsip nonkontradiksi dan deduksi logis.⁵

·                     Kausalitas: Ilmu berasumsi bahwa setiap fenomena memiliki sebab, meski David Hume menunjukkan bahwa hubungan kausal tidak dapat diobservasi secara langsung.⁶

·                     Objektivitas: Ilmu mengandaikan adanya realitas independen yang dapat diketahui, meskipun epistemologi kontemporer menunjukkan adanya konstruksi sosial dalam ilmu.⁷

Tanpa asumsi filosofis ini, sains tidak dapat berdiri. Sehingga, penolakan terhadap filsafat sama dengan menolak fondasi yang menopang ilmu itu sendiri.

5.4.      Paradoks Epistemologis Penolakan Filsafat

Klaim bahwa filsafat tidak dibutuhkan sebenarnya menghasilkan paradoks epistemologis. Pernyataan tersebut mengandaikan adanya kriteria pengetahuan (filsafat ilmu), metodologi penilaian validitas (logika), dan evaluasi nilai pengetahuan (aksiologi).⁸ Dengan demikian, setiap upaya menyingkirkan filsafat dari ranah pengetahuan justru mempertegas peran sentral filsafat sebagai landasan epistemologis.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 6–8.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–45.

[3]                Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits (London: George Allen & Unwin, 1948), 3–5.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 10–12.

[5]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IV.3.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 50–55.

[7]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.

[8]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 15–17.


6.          Analisis Ontologis dan Metafisis

6.1.      Keberadaan Filsafat dalam Struktur Berpikir Manusia

Secara ontologis, filsafat tidak hanya hadir sebagai disiplin akademis, tetapi juga sebagai dimensi yang melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir (animal rationale). Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu terdorong untuk mengetahui (to know), dan dorongan itu melahirkan filsafat.¹ Oleh karena itu, bahkan penolakan terhadap filsafat adalah ekspresi dari modus eksistensial manusia yang berfilsafat.

6.2.      Ontologi Penolakan

Ketika seseorang menyatakan bahwa “filsafat tidak ada gunanya,” ia sedang mengajukan klaim ontologis: bahwa filsafat tidak memiliki tempat dalam struktur realitas pengetahuan. Namun klaim itu sendiri sudah merupakan bentuk filsafat ontologis, karena berusaha mendefinisikan apa yang ada (being) dan apa yang tidak ada.² Heidegger menekankan bahwa filsafat adalah cara manusia bertanya tentang Sein (ada), sehingga menolak filsafat berarti menolak kemungkinan bertanya tentang ada itu sendiri—sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan tanpa mengandaikan “ada.”³

6.3.      Metafisika yang Terselubung dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern sering mengklaim kebebasannya dari metafisika. Namun pada kenyataannya, ilmu tetap beroperasi dengan asumsi-asumsi metafisis. Misalnya:

·                     Kosmologi modern berasumsi tentang asal-usul alam semesta dan struktur realitas yang tak dapat diverifikasi secara empiris penuh.⁴

·                     Fisika kuantum menghadirkan problem metafisis tentang determinisme dan indeterminisme.⁵

·                     Biologi evolusioner memuat asumsi ontologis mengenai esensi kehidupan.⁶

Hal ini menunjukkan bahwa metafisika tidak pernah benar-benar hilang, melainkan hanya berubah bentuk. Setiap upaya menyingkirkan metafisika justru menegaskan keberlanjutannya dalam horizon ilmiah.

6.4.      Implikasi Ontologis dari Paradoks Penolakan

Paradoks penolakan filsafat tidak hanya bersifat epistemologis, melainkan juga ontologis. Menolak filsafat berarti menolak dimensi keberadaan manusia sebagai makhluk yang bertanya. Metafisika, dalam pengertian ini, bukan sekadar cabang filsafat, tetapi ekspresi mendasar dari eksistensi manusia yang selalu mencari makna, tujuan, dan hakikat realitas.⁷ Dengan demikian, menyingkirkan filsafat sama saja dengan menyangkal dimensi terdalam dari eksistensi manusia itu sendiri.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.

[2]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1945), 9.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.

[4]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 29–31.

[5]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 40–42.

[6]                Richard Dawkins, The Blind Watchmaker (London: Penguin, 1986), 3–5.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 28–30.


7.          Kritik dan Reinterpretasi Kontemporer

7.1.      Kritik terhadap Klaim “Ilmu Bebas Filsafat”

Abad ke-20 ditandai dengan berbagai upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari filsafat. Positivisme logis, misalnya, menyatakan bahwa semua proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah nonsens.¹ Namun, kritik datang dari filsuf seperti Karl Popper, yang menunjukkan bahwa prinsip verifikasi sendiri tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga kontradiktif.² Thomas Kuhn juga menegaskan bahwa sains tidak pernah benar-benar bebas dari kerangka filosofis, karena perkembangan ilmu selalu ditentukan oleh paradigma yang sarat dengan asumsi konseptual dan historis.³

7.2.      Reinterpretasi Peran Filsafat dalam Era Interdisipliner

Era kontemporer menampilkan fenomena interdisipliner, di mana batas antara filsafat, ilmu sosial, dan ilmu alam semakin cair. Filsafat ilmu tidak lagi hanya menjadi kritik eksternal terhadap sains, tetapi juga menjadi mitra reflektif yang mengkaji implikasi etis, epistemologis, dan ontologis dari penemuan ilmiah.⁴ Bioetika, misalnya, memperlihatkan bagaimana filsafat diperlukan untuk membingkai perdebatan moral terkait teknologi medis.⁵ Demikian pula, filsafat teknologi hadir untuk menganalisis dampak eksistensial dari perkembangan kecerdasan buatan dan dunia digital.⁶

7.3.      Kritik Postmodern terhadap Fondasionalisme

Pemikir postmodern seperti Jean-François Lyotard menolak klaim filsafat modern tentang narasi besar (grand narratives) dan fondasi universal pengetahuan.⁷ Bagi Lyotard, pengetahuan kini tersebar dalam wacana-wacana lokal yang plural dan tidak tunduk pada legitimasi tunggal. Hal ini menantang filsafat tradisional, tetapi pada saat yang sama menegaskan relevansi filsafat dalam mengkaji legitimasi pengetahuan. Jacques Derrida melalui dekonstruksi juga menunjukkan bahwa setiap teks, termasuk teks filsafat, selalu memuat kontradiksi internal yang membuka ruang interpretasi baru.⁸ Kritik postmodern ini sekaligus memperluas cakrawala filsafat: dari mencari fondasi tunggal menuju kesadaran akan pluralitas perspektif.

7.4.      Menuju Reinterpretasi Filosofis yang Lebih Terbuka

Reinterpretasi kontemporer tidak lagi memposisikan filsafat sebagai otoritas tunggal, tetapi sebagai medan dialog kritis yang terbuka. Filsafat kini berfungsi sebagai refleksi lintas disiplin, penghubung antara ilmu, seni, agama, dan kebudayaan.⁹ Paradoks penolakan filsafat dalam konteks kontemporer memperlihatkan bahwa sekalipun filsafat dikritik, ditolak, atau didekonstruksi, ia tetap muncul kembali sebagai horizon berpikir yang tak tergantikan. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipahami sebagai sistem dogmatis, melainkan sebagai praktik refleksi kritis yang selalu bisa ditafsir ulang sesuai kebutuhan zaman.¹⁰


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz, 1936), 35–37.

[2]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 40–42.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[4]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.

[5]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 1–3.

[6]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 20–25.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[8]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–160.

[9]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 371–373.

[10]             Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.


8.          Relevansi Praktis Filsafat

8.1.      Filsafat dalam Pendidikan

Filsafat memiliki peran praktis yang nyata dalam dunia pendidikan, terutama dalam membentuk pola pikir kritis, reflektif, dan argumentatif. John Dewey menegaskan bahwa pendidikan tanpa filsafat akan kehilangan arah, karena filsafat memberikan kerangka reflektif atas tujuan, metode, dan makna belajar.¹ Dalam konteks ini, filsafat membantu peserta didik mengembangkan critical thinking, kemampuan berpikir logis, serta kepekaan etis.² Dengan demikian, filsafat bukan sekadar wacana abstrak, melainkan landasan praktis bagi pembentukan manusia yang rasional dan bertanggung jawab.

8.2.      Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan sains dan teknologi modern menghadirkan problem etis dan epistemologis baru yang menuntut refleksi filosofis. Bioetika, misalnya, berperan dalam menetapkan batas moral penelitian genetika, rekayasa biologi, dan praktik medis.³ Demikian pula, filsafat teknologi membantu kita memahami implikasi eksistensial dari kecerdasan buatan, otomatisasi, dan era digital.⁴ Tanpa filsafat, ilmu pengetahuan berisiko berkembang secara teknis tanpa mempertimbangkan dampak kemanusiaan dan keberlanjutan.

8.3.      Filsafat dalam Kehidupan Publik

Selain pendidikan dan sains, filsafat juga relevan dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Konsep keadilan John Rawls, misalnya, memberikan kerangka normatif bagi teori demokrasi dan hak asasi manusia.⁵ Dalam hukum, filsafat membantu membedakan antara legalitas formal dan keadilan substantif.⁶ Bahkan dalam politik praktis, filsafat politik diperlukan untuk menguji legitimasi kekuasaan, distribusi keadilan, dan perlindungan terhadap kebebasan sipil.

8.4.      Filsafat sebagai Penuntun Kehidupan

Lebih jauh, filsafat juga berperan sebagai penuntun kehidupan sehari-hari. Tradisi filsafat praktis, dari Stoikisme hingga eksistensialisme, menawarkan kerangka reflektif untuk menghadapi penderitaan, kebebasan, dan keterbatasan manusia.⁷ Martha Nussbaum menekankan bahwa filsafat dapat memperluas imajinasi moral manusia dan mengajarkan empati yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial.⁸ Oleh karena itu, meskipun sering dianggap abstrak, filsafat sesungguhnya memiliki dampak langsung terhadap cara manusia menjalani hidupnya.

8.5.      Menjawab Paradoks Penolakan

Relevansi praktis filsafat semakin terlihat justru ketika ada upaya menolaknya. Setiap perdebatan mengenai etika teknologi, pendidikan, politik, dan hak asasi manusia pada dasarnya adalah perdebatan filosofis. Paradoks penolakan filsafat membuktikan bahwa filsafat tidak hanya bertahan dalam ruang akademis, melainkan hadir secara praktis dalam setiap aspek kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 331–333.

[2]                Matthew Lipman, Thinking in Education (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 18–20.

[3]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 2–4.

[4]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–37.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[6]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 81–83.

[7]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 12–15.

[8]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.


9.          Sintesis dan Refleksi Filosofis

9.1.      Filsafat sebagai Keniscayaan dalam Berpikir

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa filsafat bukan sekadar disiplin akademis yang dapat ditinggalkan begitu saja, melainkan suatu keniscayaan dalam struktur berpikir manusia. Aristoteles menyatakan bahwa manusia secara alami terdorong untuk mengetahui (all men by nature desire to know).¹ Dorongan ini adalah fondasi ontologis yang membuat filsafat selalu hidup, bahkan ketika ia ditolak. Penolakan terhadap filsafat hanyalah bentuk lain dari filsafat itu sendiri.

9.2.      Kesatuan Dimensi Epistemologis dan Ontologis

Paradoks penolakan filsafat dapat dipahami sebagai titik temu antara epistemologi dan ontologi. Dari sisi epistemologis, setiap klaim pengetahuan membutuhkan refleksi filosofis mengenai validitas, kebenaran, dan metodologi.² Dari sisi ontologis, penolakan filsafat tetap mengandaikan suatu klaim tentang keberadaan dan ketidakberadaan.³ Dengan demikian, epistemologi dan ontologi tidak dapat dipisahkan: keduanya saling menopang dalam memastikan filsafat tetap relevan.

9.3.      Filsafat sebagai Refleksi atas Kehidupan Praktis

Filsafat bukan hanya abstraksi teoritis, tetapi juga praksis yang memberi arah bagi kehidupan manusia. Para Stoik mengajarkan filsafat sebagai seni hidup, bukan sekadar sistem teoritis.⁴ Demikian pula, dalam era modern, filsafat membantu manusia menghadapi tantangan teknologi, politik, dan etika global.⁵ Dengan kata lain, filsafat adalah refleksi mendalam yang menjembatani teori dan praktik, antara abstraksi dan tindakan.

9.4.      Refleksi atas Paradoks Penolakan

Paradoks penolakan filsafat mengingatkan bahwa filsafat memiliki daya transformatif yang melampaui batas-batas disiplin. Ia tidak hanya hadir dalam ruang akademik, melainkan juga dalam bahasa sehari-hari, wacana politik, perdebatan etika, dan bahkan dalam kritik terhadap dirinya sendiri.⁶ Refleksi ini menegaskan bahwa filsafat tidak pernah benar-benar dapat dihapus, sebab ia melekat dalam cara manusia mengajukan pertanyaan mendasar tentang hidup dan dunia.

9.5.      Menuju Integrasi Baru

Sintesis dari pembahasan ini menunjukkan bahwa filsafat dapat dipahami sebagai horizon terbuka yang terus direinterpretasi. Filsafat bukan sekadar warisan klasik, melainkan dinamika pemikiran yang selalu “on going.”⁷ Dalam konteks kontemporer, filsafat berfungsi sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan, etika, dan kehidupan publik. Dengan menyadari paradoks penolakan filsafat, kita dapat mengakui peran filsafat sebagai dimensi esensial dalam eksistensi manusia, sekaligus membuka ruang bagi dialog lintas disiplin yang lebih inklusif dan produktif.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–45.

[3]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2000), 3–5.

[4]                Epictetus, The Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 5–7.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 28–30.

[6]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 371–373.

[7]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 42–44.


10.      Penutup

10.1.   Kesimpulan Umum

Pembahasan mengenai paradoks penolakan filsafat menunjukkan bahwa filsafat bukanlah sesuatu yang dapat dihapus begitu saja dari ruang intelektual manusia. Setiap klaim yang berusaha menolak filsafat justru beroperasi dalam kerangka filosofis, baik secara epistemologis, ontologis, maupun praktis. Aristoteles telah menegaskan bahwa dorongan untuk mengetahui adalah sifat kodrati manusia,¹ dan hal itu menjadikan filsafat sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.

10.2.   Implikasi Akademis

Secara akademis, filsafat tetap memegang peranan penting dalam mendasari ilmu pengetahuan. Paradigma sains, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Kuhn, tidak pernah sepenuhnya netral, melainkan sarat dengan asumsi filosofis.² Dengan demikian, upaya menyingkirkan filsafat dari ilmu pengetahuan justru menimbulkan kontradiksi internal. Filsafat ilmu, etika, dan logika tetap menjadi fondasi bagi semua disiplin akademis yang berkembang di dunia modern.

10.3.   Implikasi Praktis

Dalam ranah praktis, filsafat memberi arah dalam pendidikan, politik, hukum, hingga kehidupan sehari-hari. Pemikiran John Rawls mengenai keadilan, misalnya, berkontribusi pada perumusan teori demokrasi modern,³ sementara Martha Nussbaum menegaskan pentingnya filsafat dalam menumbuhkan empati dan imajinasi moral.⁴ Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat bukan hanya relevan secara teoretis, melainkan juga vital dalam menjaga dimensi kemanusiaan di tengah perkembangan ilmu dan teknologi.

10.4.   Saran Kajian Lanjutan

Artikel ini membuka peluang untuk kajian lebih lanjut mengenai bagaimana filsafat berperan dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti kecerdasan buatan, krisis ekologi, dan globalisasi. Kajian interdisipliner antara filsafat, sains, dan humaniora akan memperluas pemahaman kita tentang relevansi filsafat dalam konteks baru. Dengan demikian, filsafat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga panduan kritis untuk masa depan.

10.5.   Penegasan Akhir

Paradoks penolakan filsafat membuktikan bahwa filsafat adalah keniscayaan. Ia dapat ditolak, dikritik, bahkan direduksi, tetapi tidak pernah benar-benar dihapus. Seperti yang dikatakan Heidegger, filsafat adalah usaha manusia untuk bertanya tentang ada, dan selama manusia masih bertanya, filsafat akan selalu ada.⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I.1.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 66–71.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[4]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 25–28.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Victor Gollancz.

Bacon, F. (1960). Novum organum (F. H. Anderson, Ed.). Bobbs-Merrill.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.

Dawkins, R. (1986). The blind watchmaker. Penguin.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Harvard University Press.

Epictetus. (1983). The Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Gadamer, H.-G. (1975). Truth and method. Continuum.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy, Vol. 1. Cambridge University Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (2000). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Lipman, M. (2003). Thinking in education. Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Magee, B. (1998). The story of philosophy. DK Publishing.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Plato. (1997). Complete works (J. M. Cooper & D. S. Hutchinson, Eds.). Hackett.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Popper, K. R. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the involuntary. Northwestern University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Williams and Norgate.

Russell, B. (1945). History of Western philosophy. George Allen & Unwin.

Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope and limits. George Allen & Unwin.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Walzer, R. (Trans.). (1985). Al-Madina al-fadila (by Al-Farabi). Clarendon Press.

Al-Farabi. (1985). Kitab ihsa’ al-‘ulum (O. Leaman, Trans.). Routledge.

Al-Ghazali. (1997). Tahafut al-falasifa (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar