The Stanford Prison Experiment
Kekuasaan, Peran Sosial, dan Batas Moralitas
Alihkan ke: Psikologi,
Moralitas.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap
Stanford Prison Experiment (SPE) yang dilakukan oleh Philip Zimbardo
pada tahun 1971 sebagai salah satu eksperimen paling berpengaruh dan
kontroversial dalam sejarah psikologi sosial. SPE bertujuan untuk
mengeksplorasi pengaruh peran sosial, struktur kekuasaan, dan isolasi terhadap
perilaku manusia dalam lingkungan yang dilembagakan secara ketat. Melalui
analisis atas desain eksperimen, dinamika psikologis partisipan, serta
implikasi sosial dan moral dari temuan tersebut, artikel ini menyoroti
pentingnya konteks situasional dalam membentuk tindakan individu. Lebih lanjut,
artikel ini juga membahas berbagai kritik metodologis dan etis terhadap
eksperimen, serta reinterpretasi kontemporer melalui studi ulang seperti BBC
Prison Study dan temuan investigatif baru. Warisan dari SPE, baik dalam
ranah akademik, kebijakan publik, maupun kesadaran etis, menjadi landasan
reflektif untuk memahami batas moralitas manusia dalam sistem kekuasaan. Dengan
demikian, artikel ini tidak hanya merekonstruksi sejarah SPE, tetapi juga
menempatkannya dalam diskursus kritis yang relevan hingga saat ini.
Kata Kunci: Stanford Prison Experiment, psikologi sosial,
kekuasaan, peran sosial, deindividuasi, etika penelitian, situasionalisme,
eksperimen manusia
PEMBAHASAN
Studi Komprehensif atas Stanford Prison Experiment
(1971)
1.
Pendahuluan
Perilaku manusia dalam konteks kekuasaan dan peran
sosial telah lama menjadi subjek utama dalam kajian psikologi sosial. Salah
satu eksperimen paling kontroversial dan berpengaruh yang mengeksplorasi
dinamika ini adalah Stanford Prison Experiment (SPE) yang dilakukan oleh
Philip Zimbardo pada tahun 1971 di Universitas Stanford. Dalam
eksperimen ini, Zimbardo dan timnya merekayasa lingkungan penjara semu dan
merekrut dua puluh empat relawan laki-laki untuk memainkan peran sebagai "sipir"
dan "tahanan". Meskipun dirancang untuk berlangsung selama dua
minggu, eksperimen dihentikan hanya dalam waktu enam hari karena eskalasi
kekerasan psikologis dan perilaku abusif yang mengejutkan, baik dari pihak “sipir”
maupun “tahanan”.¹
Eksperimen ini membuka ruang refleksi yang mendalam
mengenai bagaimana situasi sosial dan struktur kekuasaan dapat
mengubah perilaku individu secara drastis, bahkan dalam waktu yang relatif
singkat. Temuan dari SPE menunjukkan bahwa individu dapat dengan mudah kehilangan
rasa moralitas dan identitas personal ketika terbenam dalam peran sosial
tertentu yang didukung oleh legitimasi struktural dan harapan institusional.²
Hal ini menjadi bukti konkret bahwa perilaku menyimpang atau kejam tidak
semata-mata berasal dari kepribadian individual yang rusak, tetapi dapat muncul
sebagai produk dari sistem dan konteks sosial tertentu—a phenomenon yang
kemudian disebut Zimbardo sebagai “the Lucifer Effect.”³
Penelitian ini juga memicu perdebatan luas terkait etika
eksperimen psikologis, baik dari sisi perlakuan terhadap partisipan maupun
intervensi (atau justru ketiadaannya) dari peneliti terhadap proses eksperimen.
Stanford Prison Experiment menjadi salah satu contoh paling nyata dari
bagaimana penelitian ilmiah dapat melampaui batas moral jika tidak
diawasi oleh prinsip etis yang ketat.⁴ Akibat dari eksperimen ini, standar dan
regulasi dalam riset psikologi manusia mengalami reformasi signifikan, termasuk
penguatan peran lembaga peninjau etik (Institutional Review Boards) dalam mengkaji
potensi risiko psikologis pada partisipan.⁵
Dalam konteks kontemporer, SPE tidak hanya dikenang
sebagai eksperimen akademik, tetapi juga sebagai metafora sosial terhadap
relasi kuasa, penindasan, dan ketaatan dalam berbagai sistem, mulai dari penjara,
militer, hingga institusi pendidikan dan birokrasi. Kajian ini penting untuk
terus ditelaah secara kritis agar masyarakat memahami sejauh mana situasi
dapat membentuk perilaku, serta bagaimana menjaga akuntabilitas dan batas
moral dalam sistem sosial yang hierarkis.
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect:
Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007),
21–27.
[2]
Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo,
“Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of
Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 69–97.
[3]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 211.
[4]
Diana Baumrind, “Review of Zimbardo’s Stanford
Prison Experiment,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.
[5]
Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human
Experimentation in the Twentieth Century,” in The Oxford Handbook of the
History of Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press,
2011), 441–459.
2.
Konteks
Historis dan Ilmiah
Stanford Prison Experiment (SPE) tidak muncul dalam
ruang hampa. Eksperimen ini lahir dalam lanskap intelektual dan sosial yang
sangat dipengaruhi oleh ketegangan ideologis, gejolak budaya, serta
perkembangan teori psikologi sosial pasca-Perang Dunia II. Dekade 1960-an dan
awal 1970-an di Amerika Serikat ditandai oleh meningkatnya ketidakpercayaan
terhadap otoritas, baik dalam konteks pemerintahan, militer, maupun institusi
akademik. Isu-isu seperti perang Vietnam, gerakan hak-hak sipil,
dan protes mahasiswa membentuk semangat zaman (zeitgeist) yang mendorong
banyak ilmuwan sosial untuk mengkaji kembali hubungan antara individu, struktur
kekuasaan, dan perilaku moral.¹
Dalam disiplin psikologi, SPE merupakan kelanjutan
dari sebuah tradisi penelitian eksperimental yang mengkaji ketaatan dan
konformitas. Sebelumnya, Solomon Asch telah menunjukkan bagaimana
individu cenderung menyesuaikan pendapatnya dengan kelompok meskipun
bertentangan dengan persepsi pribadinya.² Sementara itu, Stanley Milgram
melalui eksperimen terkenal tentang ketaatan di awal 1960-an mengungkapkan
betapa jauhnya individu bersedia mengikuti perintah otoritas, bahkan jika
perintah tersebut mengakibatkan penderitaan orang lain.³ Penelitian Milgram
menjadi salah satu landasan penting yang menginspirasi Zimbardo untuk merancang
eksperimen penjara sebagai upaya menginvestigasi bukan hanya ketaatan terhadap
otoritas eksternal, tetapi juga transformasi internal yang terjadi ketika seseorang
menjalani peran sosial yang dilembagakan.
Zimbardo, seorang profesor psikologi sosial di
Stanford University, memiliki ketertarikan mendalam terhadap kekuatan
situasional (situational power) dalam membentuk perilaku. Ia mengembangkan
pendekatan yang berbeda dari teori disposisional yang dominan sebelumnya, yakni
gagasan bahwa perilaku semata-mata merupakan hasil dari sifat bawaan atau
kepribadian.⁴ Sebaliknya, Zimbardo ingin menekankan bahwa individu yang
tampaknya “baik” sekalipun dapat bertindak secara kejam apabila
ditempatkan dalam sistem yang memberi legitimasi terhadap dominasi, anonimitas,
dan ketimpangan kekuasaan. Stanford Prison Experiment dirancang untuk menguji
secara empiris sejauh mana konteks sosial dapat mendefinisikan ulang batas moralitas
seseorang.
Selain latar ilmiah, eksperimen ini juga
dipengaruhi oleh fenomena sosial yang lebih luas. Di masa itu, laporan mengenai
kekerasan di penjara-penjara Amerika menjadi sorotan nasional. Insiden
pemberontakan di Penjara Attica (1971) dan kritik terhadap perlakuan terhadap
narapidana memperkuat urgensi untuk memahami psikologi kekuasaan dalam sistem
pemasyarakatan.⁵ SPE dianggap sebagai simulasi mikro dari kondisi penjara
nyata, tetapi dengan kontrol eksperimental untuk mempelajari proses dehumanisasi
dalam skala yang dapat diobservasi secara sistematis.
Dengan demikian, Stanford Prison Experiment berada
di persimpangan antara kekhawatiran etis masyarakat, perdebatan
akademik tentang perilaku manusia, dan praktik eksperimental dalam ilmu
psikologi sosial. Pemahaman akan konteks historis dan ilmiah ini penting
untuk menilai baik kontribusi maupun keterbatasan eksperimen secara adil dan
kritis.
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding
How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 9–13.
[2]
Solomon E. Asch, “Opinions and Social Pressure,” Scientific
American 193, no. 5 (1955): 31–35.
[3]
Stanley Milgram, Obedience to Authority: An
Experimental View (New York: Harper & Row, 1974), 1–10.
[4]
Craig Haney and Philip Zimbardo, “The Past and
Future of U.S. Prison Policy: Twenty-Five Years After the Stanford Prison
Experiment,” American Psychologist 53, no. 7 (1998): 709–727.
[5]
Heather Ann Thompson, Blood in the Water: The
Attica Prison Uprising of 1971 and Its Legacy (New York: Pantheon Books,
2016), 45–58.
3.
Desain
dan Metodologi Eksperimen
Stanford Prison Experiment (SPE) dirancang sebagai
studi laboratorium yang bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh peran sosial
dan struktur kekuasaan terhadap perilaku individu dalam lingkungan penjara
simulatif. Eksperimen ini menggunakan pendekatan simulasi eksperimental
(experimental simulation), di mana para partisipan tidak hanya diminta untuk
memerankan peran tertentu, tetapi juga ditempatkan dalam kondisi yang semirip
mungkin dengan realitas institusional, sehingga memungkinkan munculnya reaksi
psikologis yang autentik.¹
3.1.
Rekrutmen dan
Seleksi Partisipan
Partisipan eksperimen direkrut melalui iklan di
surat kabar lokal Palo Alto, yang menawarkan bayaran sebesar $15 per hari untuk
berpartisipasi dalam studi psikologi sosial tentang “kehidupan di penjara.”
Dari sekitar 75 pelamar, 24 pria muda dipilih berdasarkan hasil wawancara dan
pemeriksaan psikologis yang menyatakan mereka sehat secara fisik dan mental,
serta bebas dari catatan kriminal.² Mereka sebagian besar merupakan mahasiswa
kulit putih kelas menengah, dianggap mewakili populasi “normal” dalam
masyarakat. Para partisipan kemudian dibagi secara acak ke dalam dua
kelompok: "sipir" (guards) dan "tahanan"
(prisoners), masing-masing berjumlah 9 orang aktif dengan cadangan.
3.2.
Setting Eksperimen
dan Implementasi Peran
Eksperimen dilakukan di ruang bawah tanah Gedung
Psikologi Universitas Stanford, yang diubah menjadi penjara semu dengan
sel-sel kecil, ruang pengawasan, dan area administratif.³ Setiap “tahanan”
dijemput secara nyata oleh polisi Palo Alto, diborgol, dibawa ke kantor
kepolisian, dan diproses secara administratif, termasuk pengambilan sidik jari
dan foto mugshot, sebelum dikirim ke “penjara” eksperimental. Mereka
kemudian diberikan pakaian seragam tahanan, diberi nomor identitas, dan dicabut
nama asli mereka sebagai bagian dari proses deindividuasi.⁴
Sebaliknya, “sipir” diberi seragam militer,
tongkat pemukul kayu, peluit, dan kacamata hitam reflektif untuk menciptakan
jarak psikologis dengan “tahanan.” Tidak ada instruksi eksplisit tentang
cara bertindak, selain imbauan untuk menjaga ketertiban dan tidak
menggunakan kekerasan fisik langsung.⁵ Instruksi terbuka ini memberi ruang
bagi interpretasi bebas yang justru mempercepat eskalasi penyalahgunaan
kekuasaan.
3.3.
Prosedur Eksperimen
Eksperimen dirancang berlangsung selama dua
minggu penuh, namun hanya berjalan enam hari karena eskalasi cepat
dalam intensitas psikologis dan kekerasan simbolik yang timbul. Dalam waktu
singkat, para “sipir” menunjukkan perilaku otoriter, represif, dan manipulatif,
termasuk menjatuhkan hukuman sewenang-wenang, mengatur jadwal tidur, menahan
hak-hak dasar, dan mempermalukan “tahanan” di depan umum.⁶ Sebaliknya,
para “tahanan” menunjukkan gejala stres akut, gangguan emosional, bahkan
kehancuran psikologis, termasuk menangis, keputusasaan, dan rasa kehilangan
identitas.
Eksperimen dihentikan lebih awal setelah intervensi
dari Christina Maslach, seorang psikolog muda sekaligus calon istri
Zimbardo saat itu, yang mengecam kekejaman eksperimen tersebut setelah
menyaksikannya secara langsung. Maslach mempertanyakan bagaimana para peneliti
dapat membiarkan perilaku tidak manusiawi itu terus berlangsung atas nama “ilmu
pengetahuan.”⁷ Reaksinya memaksa Zimbardo untuk menghentikan eksperimen
pada hari keenam.
3.4.
Peran Ganda Zimbardo
Penting dicatat bahwa Zimbardo sendiri tidak hanya
berperan sebagai peneliti, tetapi juga bertindak sebagai “superintendent”
penjara, peran yang membuatnya terlibat secara langsung dalam dinamika
sosial yang berkembang. Peran ganda ini menimbulkan konflik kepentingan, karena
ia menjadi terlalu terlibat secara emosional dan gagal menjaga jarak ilmiah
yang diperlukan untuk melakukan evaluasi objektif dan melindungi partisipan
dari bahaya psikologis.⁸
Secara metodologis, meskipun eksperimen ini
memberikan wawasan yang kuat mengenai perubahan perilaku dalam sistem sosial
tertutup, ia juga menuai kritik atas validitas internal dan eksternal.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa partisipan hanya “berakting”
berdasarkan ekspektasi sosial, bukan menunjukkan transformasi psikologis yang
otentik. Namun demikian, intensitas pengalaman emosional yang ditunjukkan oleh
banyak partisipan menunjukkan bahwa batas antara peran dan realitas menjadi
sangat kabur.⁹
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect:
Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007),
53–57.
[2]
Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo,
“Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of
Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 70–71.
[3]
Ibid., 72.
[4]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 61–62.
[5]
Ibid., 58–59.
[6]
Haney, Banks, and Zimbardo, “Interpersonal
Dynamics,” 73–75.
[7]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 160–163.
[8]
Diana Baumrind, “Review of Zimbardo’s Stanford
Prison Experiment,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.
[9]
Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Questioning
the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.
4.
Temuan
dan Peristiwa Kunci Selama Eksperimen
Stanford Prison Experiment (SPE) dengan cepat
mengungkap dinamika psikologis yang ekstrem ketika individu ditempatkan dalam
situasi sosial yang penuh hierarki, isolasi, dan ketimpangan kekuasaan. Temuan
utama eksperimen ini menyoroti bagaimana peran sosial yang dilembagakan
dapat mengubah perilaku individu secara radikal, bahkan dalam waktu singkat.¹
Meskipun eksperimen dirancang berlangsung selama dua minggu, kenyataan yang
muncul mendorong penghentian pada hari keenam karena dampak psikologis
yang sangat mengkhawatirkan pada para partisipan, baik “tahanan” maupun
“sipir.”
4.1.
Eskalasi Kekuasaan
dan Perilaku Otoriter
Seiring berjalannya eksperimen, para “sipir”
mulai menunjukkan perilaku yang semakin represif, dominatif, dan pada beberapa
titik, kejam. Dalam tempo kurang dari 48 jam, beberapa sipir mulai menerapkan hukuman-hukuman
arbitrer, seperti menyuruh tahanan melakukan push-up, menahan hak makan,
atau menutup akses ke toilet, yang digantikan dengan ember di dalam sel.²
Beberapa sipir bahkan menikmati kekuasaan mereka, mempermalukan tahanan,
menyuruh mereka menyanyikan lagu-lagu hina, dan memaksa mereka mengulang nomor
identitas mereka secara terus-menerus sebagai bentuk dehumanisasi.
Menurut Zimbardo, fenomena ini mencerminkan apa
yang ia sebut sebagai “pergeseran peran menjadi identitas” (role
internalization), di mana para sipir berhenti “bermain peran” dan
mulai benar-benar menjalani peran kekuasaan secara psikologis.³ Kacamata hitam
reflektif, seragam, dan kebebasan bertindak tanpa pengawasan eksternal
memperkuat anonimitas dan hilangnya akuntabilitas personal, dua kondisi
yang diyakini memicu deindividuasi.⁴
4.2.
Reaksi Psikologis Para
“Tahanan”
Sementara itu, para “tahanan” mengalami
dampak psikologis yang mengkhawatirkan. Dalam waktu singkat, banyak di antara
mereka menunjukkan gejala kecemasan, depresi, ketakutan, dan kepasrahan
ekstrem. Salah satu tahanan, yang dikenal dengan nomor 8612, menunjukkan
gangguan emosional yang parah pada hari kedua dan meminta keluar. Setelah
awalnya ditolak karena dianggap “berpura-pura,” ia kemudian mengalami psikosis
reaktif dan akhirnya dilepaskan.⁵
Dalam peristiwa lain, terjadi bentuk “pemberontakan”
pada hari kedua, ketika tahanan mendorong tempat tidur melawan pintu sel dan
menolak instruksi sipir. Sebagai respons, sipir menggunakan strategi divide et
impera dengan mengklasifikasikan tahanan menjadi “baik” dan “buruk,”
menciptakan konflik internal dan menghancurkan solidaritas di antara mereka.⁶
Tahanan juga mulai menginternalisasi status inferior mereka; sebagian
mulai patuh secara otomatis, sementara yang lain mengalami kehancuran identitas
hingga menangis, menyerah, atau menarik diri sepenuhnya dari interaksi sosial.
4.3.
Titik Balik dan
Penghentian Eksperimen
Titik balik terjadi ketika Christina Maslach,
seorang psikolog yang diundang untuk mengamati eksperimen, menyaksikan langsung
kondisi para tahanan dan mengkritik keras dehumanisasi yang terjadi. Ia
mempertanyakan integritas moral dari eksperimen dan menyatakan bahwa “apa
yang kalian lakukan ini tidak manusiawi.”⁷ Reaksi Maslach membuka kesadaran
Zimbardo sendiri yang saat itu begitu larut dalam peran sebagai “superintendent”
hingga kehilangan objektivitas sebagai ilmuwan.
Sebagai akibatnya, Zimbardo menghentikan eksperimen
pada hari ke-6, jauh lebih awal dari yang direncanakan.⁸ Momen ini
menjadi krusial dalam sejarah ilmu psikologi sosial, tidak hanya karena dampak
eksperimennya, tetapi juga karena menyoroti pentingnya refleksi etis dalam
praktik ilmiah.
4.4.
Kesimpulan Empiris:
Situasi vs Disposisi
Temuan empiris utama dari SPE mendukung hipotesis
bahwa situasi sosial yang kuat dapat mengalahkan karakter individual,
terutama ketika struktur tersebut menciptakan kondisi anonim, tidak seimbang,
dan terisolasi. Hal ini memperkuat pendekatan situasionalis dalam
psikologi sosial, yakni pandangan bahwa perilaku tidak selalu mencerminkan
kepribadian bawaan, tetapi sangat ditentukan oleh konteks dan ekspektasi
sosial.⁹
Studi ini juga menjadi contoh ekstrem bagaimana
sistem yang dirancang secara tidak etis dapat menumbuhkan potensi destruktif
dalam diri individu biasa. Dalam kata-kata Zimbardo, “the line between good
and evil is permeable, and almost anyone can be induced to cross it when
pressured by situational forces.”¹⁰
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect:
Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007),
197–208.
[2]
Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo,
“Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of
Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 73–75.
[3]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 211–215.
[4]
Ibid., 112–115.
[5]
Ibid., 133–135.
[6]
Haney, Banks, and Zimbardo, “Interpersonal
Dynamics,” 76–78.
[7]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 160–162.
[8]
Ibid., 163–165.
[9]
Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Questioning
the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.
[10]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 211.
5.
Analisis
Psikologis
Stanford Prison Experiment (SPE) menjadi bukti
eksperimental bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kekuatan
situasional, terutama ketika individu menjalani peran-peran sosial yang
sarat dengan struktur kekuasaan, ekspektasi, dan ketimpangan otoritas. Dari
sudut pandang psikologi sosial, SPE memperlihatkan bagaimana sistem sosial yang
represif dapat membentuk perilaku individu melalui proses deindividuasi,
konformitas, dan internalisasi peran.¹
5.1.
Deindividuasi dan
Hilangnya Identitas Personal
Salah satu proses psikologis utama yang diamati
dalam SPE adalah deindividuasi, yaitu keadaan di mana individu
kehilangan rasa identitas diri dan akuntabilitas pribadi ketika berada dalam
kelompok atau sistem sosial tertentu. Dalam eksperimen ini, proses
deindividuasi terjadi melalui serangkaian mekanisme simbolik: tahanan diberi
nomor sebagai pengganti nama, dipaksa mengenakan seragam identik, dan dikontrol
secara penuh oleh sipir.² Sebaliknya, sipir mengenakan kacamata hitam reflektif
yang menyamarkan ekspresi mereka dan memberi jarak emosional terhadap subjek yang
mereka kontrol.³
Zimbardo berargumen bahwa hilangnya identitas
personal ini membuat para partisipan lebih mudah menyerap dan mengeksekusi
peran sosial tanpa menyadari dampak moral dari tindakan mereka.⁴ Ketika
tanggung jawab personal dilebur ke dalam sistem, individu merasa tidak lagi
bertanggung jawab atas akibat perilaku mereka, sebuah kondisi yang menciptakan
potensi besar untuk penyalahgunaan kekuasaan.
5.2.
Internalisasi Peran
dan Konformitas Struktural
SPE juga menunjukkan bagaimana peran sosial yang
dilembagakan dapat diinternalisasi, tidak hanya secara perilaku tetapi juga
secara psikologis. Para “sipir” tidak diberi instruksi khusus mengenai
cara memperlakukan tahanan, tetapi justru menunjukkan perilaku otoriter dan
represif yang meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sejalan dengan teori
konformitas struktural, yakni gagasan bahwa individu cenderung menyesuaikan
perilaku mereka dengan norma peran yang diasosiasikan dengan status sosial
tertentu, bahkan jika norma itu tidak diekspresikan secara eksplisit.⁵
Konsep ini memiliki kemiripan dengan eksperimen
Milgram tentang ketaatan terhadap otoritas, yang menunjukkan bahwa banyak
orang bersedia menyakiti orang lain jika diperintahkan oleh otoritas yang sah.⁶
Dalam SPE, struktur institusional dan simbol otoritas menciptakan kondisi
psikologis serupa, di mana sipir merasa “berhak” atau bahkan “wajib”
bertindak secara keras demi mempertahankan ketertiban.
5.3.
Efek Lucifer: Dari
Orang Biasa ke Pelaku Kekerasan
Zimbardo kemudian mengembangkan gagasan “Lucifer
Effect”, yakni transformasi psikologis di mana orang biasa berubah menjadi
pelaku kekerasan ketika berada dalam sistem sosial yang korup atau tidak
beretika.⁷ Dalam SPE, para partisipan tidak memiliki riwayat kepribadian
antisosial, tetapi menjadi pelaku perilaku merendahkan dan menyiksa dalam waktu
singkat. Efek ini memperkuat klaim bahwa konteks sosial dapat lebih menentukan
tindakan moral seseorang daripada sifat atau nilai personal yang dimilikinya.
Lucifer Effect juga menyoroti mekanisme
rasionalisasi moral, di mana pelaku kekerasan membenarkan tindakan mereka
melalui narasi institusional seperti “saya hanya menjalankan tugas,”
atau “mereka pantas diperlakukan seperti itu.”⁸ Mekanisme ini
memperjelas bagaimana kekuasaan dapat menutupi tanggung jawab moral personal
dan menciptakan ilusi pembenaran etis terhadap tindakan yang secara objektif
destruktif.
5.4.
Implikasi terhadap
Psikologi Sosial dan Moralitas
Secara teoretis, SPE memperkuat pendekatan situasionalis
dalam psikologi sosial yang menantang pandangan disposisional bahwa perilaku
manusia terutama ditentukan oleh sifat atau kepribadian bawaan.⁹ Eksperimen ini
juga membuka ruang diskusi dalam bidang psikologi moral, khususnya
tentang bagaimana moralitas dapat ditanggalkan dalam sistem yang mendukung
ketimpangan kekuasaan dan ketundukan tanpa kritik.
Dalam konteks yang lebih luas, SPE mengilustrasikan
apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “banalitas kejahatan”, yaitu
bahwa kejahatan besar tidak selalu dilakukan oleh orang jahat dalam pengertian
psikopatologis, melainkan oleh individu biasa yang tunduk pada struktur
kekuasaan dan menanggalkan tanggung jawab etisnya.¹⁰
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect:
Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007),
212–218.
[2]
Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo,
“Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of
Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 72–74.
[3]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 112–113.
[4]
Ibid., 217–219.
[5]
Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Rethinking the
Psychology of Tyranny: The BBC Prison Study,” British Journal of Social
Psychology 45, no. 1 (2006): 15–40.
[6]
Stanley Milgram, Obedience to Authority: An
Experimental View (New York: Harper & Row, 1974), 35–47.
[7]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 445–460.
[8]
Ibid., 441.
[9]
Ross, Lee, and Richard E. Nisbett, The Person
and the Situation: Perspectives of Social Psychology (Philadelphia: Temple
University Press, 1991), 4–7.
[10]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report
on the Banality of Evil (New York: Penguin Books, 2006), 135–137.
6.
Kritik
dan Kontroversi
Meskipun Stanford
Prison Experiment (SPE) secara luas dianggap sebagai salah satu eksperimen
paling mencolok dalam sejarah psikologi sosial, eksperimen ini juga menuai kritik
tajam dari berbagai kalangan, baik dalam hal etika
penelitian, validitas metodologis, maupun interpretasi
hasilnya. Seiring waktu, SPE menjadi subjek perdebatan yang
intens terkait batas antara penelitian ilmiah yang sah dan praktik
eksperimental yang melanggar hak-hak partisipan.
6.1.
Kritik Etis:
Eksperimen atau Eksploitasi?
Salah satu kritik
paling awal dan berpengaruh datang dari psikolog Diana
Baumrind, yang menilai bahwa Zimbardo gagal melindungi
partisipan dari tekanan emosional dan psikologis yang ekstrem.
Ia berpendapat bahwa Zimbardo, sebagai peneliti, telah mengabaikan
prinsip dasar etika eksperimen, termasuk hak partisipan untuk
mengundurkan diri tanpa tekanan dan tanggung jawab peneliti untuk melakukan
intervensi atas penderitaan yang nyata.¹ Dalam pandangan Baumrind, pembiaran
terhadap perilaku menyimpang sipir bukanlah bagian dari observasi netral,
melainkan kelalaian yang membahayakan kesejahteraan
manusia.
Selain itu, peran
ganda Zimbardo sebagai pengawas penjara (superintendent) dan peneliti
menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Ketika seorang tahanan ingin
keluar dari eksperimen, ia diperlakukan sebagai “narapidana sungguhan”
dan dibujuk untuk tetap tinggal, alih-alih diperlakukan sebagai subjek
eksperimen yang berhak untuk mundur kapan saja.² Kritik ini kemudian menjadi
landasan penting dalam reformasi kode etik penelitian psikologi,
termasuk penguatan prinsip informed consent dan keberadaan Institutional
Review Boards (IRBs).
6.2.
Kritik Metodologis:
Apakah Partisipan “Berakting”?
Selain kritik etis,
banyak ahli mempertanyakan validitas ilmiah dari SPE. Penelitian
lanjutan oleh Ben Blum, yang mengakses arsip
dan wawancara eksklusif dengan mantan partisipan, menemukan bahwa beberapa
sipir merasa tekanan dari Zimbardo untuk
bersikap kasar dan dominan, yang berarti bahwa perilaku mereka bukan sepenuhnya
spontan, tetapi didorong oleh ekspektasi eksperimental.³
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah eksperimen tersebut
mengamati reaksi alami terhadap peran sosial, atau hanya hasil
dari arahan terselubung dari penyelenggara.
Selanjutnya, kritik
juga datang dari Stephen Reicher dan Alex Haslam,
yang mencoba mereplikasi eksperimen melalui BBC Prison Study (2001). Dalam
studi tersebut, partisipan tidak menunjukkan perilaku kekerasan yang ekstrem,
bahkan membentuk sistem pemerintahan demokratis di awal eksperimen.⁴ Temuan ini
menunjukkan bahwa konteks sosial yang lebih luas,
norma yang tersedia, serta kepemimpinan peneliti dapat sangat memengaruhi hasil
eksperimen sejenis, sehingga mengurangi reliabilitas SPE sebagai model
universal perilaku manusia dalam kondisi kekuasaan.
6.3.
Kritik
Interpretatif: Terlalu Menyederhanakan Kompleksitas Moral
Beberapa kritikus
juga berpendapat bahwa Zimbardo terlalu menekankan kekuatan situasional,
dan mengabaikan
kapasitas individu untuk melakukan resistensi moral.⁵ Dalam eksperimen
SPE, tidak semua sipir menjadi kejam—beberapa menunjukkan sikap pasif atau
bahkan canggung dalam menghadapi perlakuan keras terhadap tahanan. Namun,
Zimbardo cenderung menyoroti perilaku yang ekstrem untuk memperkuat narasinya
tentang Lucifer
Effect.
Pandangan ini
menyiratkan bahaya determinisme sosial yang menghapuskan agensi moral individu,
seolah-olah manusia tidak memiliki daya tahan terhadap pengaruh sistem.
Beberapa filsuf moral dan psikolog menekankan pentingnya faktor
kepribadian, nilai, dan kesadaran moral dalam menganalisis
perilaku dalam sistem represif.⁶ Kritik ini menunjukkan perlunya pendekatan
yang lebih seimbang antara kekuatan struktur dan kapasitas individu untuk
bertindak secara etis dalam situasi ekstrem.
6.4.
Pengaruh Budaya
Populer dan Penyalahgunaan Interpretasi
SPE telah banyak
diangkat dalam film dokumenter, drama, dan literatur populer,
namun interpretasi publik terhadap eksperimen ini sering kali menyederhanakan
atau mendramatisasi temuan aslinya. Representasi semacam ini berisiko
memperkuat mitos bahwa manusia pada dasarnya “jahat” ketika diberi kekuasaan,
tanpa mempertimbangkan kompleksitas sistemik, motivasi personal, dan
struktur etis.⁷ Oleh karena itu, para akademisi menekankan
perlunya kehati-hatian dalam menyebarkan narasi
eksperimen ini, agar tidak dijadikan pembenaran terhadap
kekerasan institusional atau praktik dehumanisasi dalam sistem nyata seperti
militer dan penjara.
Footnotes
[1]
Diana Baumrind, “Some Thoughts on Ethics of Research: After Reading
Milgram’s ‘Behavioral Study of Obedience’ and Zimbardo’s ‘Stanford Prison
Experiment’,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.
[2]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good
People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 156–160.
[3]
Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62.
[4]
Alex Haslam and Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny:
The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1
(2006): 15–40.
[5]
John Sabini, Maury Silver, and Philip Bonanno, “Situational and
Dispositional Determinants of Behavior: Experimental Simulations in the
Classroom,” Teaching of Psychology 8, no. 4 (1981): 195–198.
[6]
Alfie Kohn, “Resisting What ‘Everybody Knows’: Challenging the Stanford
Prison Experiment,” Phi Delta Kappan 100, no. 7 (2019): 46–51.
[7]
Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to
Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal
of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.
7.
Warisan
dan Pengaruh Eksperimen
Stanford Prison Experiment (SPE) meninggalkan jejak
yang mendalam tidak hanya dalam dunia akademik psikologi sosial, tetapi juga
dalam praktik etika penelitian, kebijakan pemasyarakatan, pendidikan moral,
serta budaya populer. Meskipun penuh kontroversi, eksperimen ini tetap menjadi
rujukan penting dalam memahami dampak sistem sosial terhadap perilaku
individu, khususnya dalam konteks kekuasaan, kepatuhan, dan dehumanisasi.
7.1.
Reformasi Etika
dalam Penelitian Psikologi
Salah satu dampak paling signifikan dari SPE adalah
pengaruhnya terhadap penguatan standar etika dalam penelitian eksperimen
manusia. Setelah SPE dan eksperimen-eksperimen sejenis seperti Milgram,
komunitas ilmiah semakin menyadari perlunya pengawasan ketat terhadap
eksperimen yang melibatkan tekanan psikologis tinggi. Hal ini berkontribusi
pada pembentukan dan penguatan Institutional Review Boards (IRBs) di
berbagai universitas dan lembaga penelitian.¹ Peneliti kini diwajibkan untuk
menginformasikan risiko secara transparan, menghormati hak partisipan untuk
mundur, serta meminimalisasi potensi kerugian psikologis selama studi
berlangsung.
7.2.
Pengaruh terhadap
Studi Penjara dan Kebijakan Pemasyarakatan
SPE juga menjadi referensi penting dalam diskusi
tentang reformasi sistem pemasyarakatan. Eksperimen ini menggarisbawahi
bagaimana struktur penjara dapat menciptakan hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang dan menumbuhkan potensi kekerasan, bahkan pada individu yang
sebelumnya tidak menunjukkan kecenderungan antisosial.² Temuan SPE menjadi
argumen bagi para aktivis dan kriminolog dalam mendorong pembatasan
kekuasaan sipir, peningkatan akuntabilitas lembaga pemasyarakatan,
serta pelatihan etis bagi petugas penjara.
Studi ini juga sering dikaitkan dengan insiden nyata,
seperti skandal penyiksaan tahanan di Penjara Abu Ghraib oleh tentara Amerika
Serikat. Dalam kasus tersebut, para penjaga militer secara sistematis menyiksa
dan mempermalukan tahanan Irak, menunjukkan pola yang hampir identik dengan
yang terjadi dalam SPE.³ Zimbardo sendiri secara aktif memberikan testimoni
dalam kasus ini dan menegaskan bahwa sistemlah—bukan hanya individulah—yang
memungkinkan perilaku tidak manusiawi berkembang.
7.3.
Pengaruh terhadap
Pendidikan dan Kesadaran Moral
Dalam ranah pendidikan, SPE telah menjadi bahan
ajar standar dalam mata kuliah psikologi sosial, etika penelitian, dan
filsafat moral di berbagai institusi pendidikan tinggi. Eksperimen ini
digunakan sebagai studi kasus untuk mengeksplorasi konflik antara otoritas
dan hati nurani, serta memperkenalkan konsep-konsep penting seperti deindividuasi,
ketaatan, dan internalisasi peran.⁴ Banyak pendidik menggunakan
SPE untuk menantang asumsi peserta didik bahwa hanya “orang jahat” yang mampu
melakukan kekejaman, dan menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, siapa pun
bisa tergelincir secara moral.
7.4.
Representasi dalam
Budaya Populer dan Kesadaran Publik
SPE juga memiliki resonansi budaya yang luas,
muncul dalam berbagai bentuk media seperti film, dokumenter, novel, dan
pertunjukan teater. Di antaranya, film The Stanford Prison Experiment (2015),
yang disusun berdasarkan catatan asli eksperimen, membawa kisah ini ke khalayak
yang lebih luas dan memicu perdebatan baru tentang makna dan interpretasinya.⁵
Representasi ini memperkuat citra SPE sebagai ikon eksperimental dari
potensi destruktif kekuasaan tanpa batas.
Namun demikian, penyebaran narasi SPE dalam media
populer sering kali menyederhanakan kompleksitas ilmiahnya dan
mengabaikan kritik akademik yang valid. Beberapa kalangan memperingatkan bahwa
glorifikasi atau dramatisasi eksperimen dapat memperkuat determinisme sosial
yang pesimistis dan mengaburkan ruang bagi refleksi moral dan resistensi
individu.⁶
7.5.
Relevansi
Kontemporer dan Kritik Lanjutan
Warisan SPE tetap relevan di tengah diskursus
kontemporer tentang kekuasaan, penegakan hukum, dan hak asasi manusia.
Eksperimen ini menjadi cermin untuk mengevaluasi praktik-praktik kekuasaan
dalam lembaga modern, termasuk militer, kepolisian, dan sistem pendidikan yang
hierarkis. Dalam konteks dunia yang terus bergulat dengan penyalahgunaan kekuasaan
dan pelanggaran HAM, SPE terus digunakan sebagai bahan refleksi tentang tanggung
jawab etis dalam struktur sosial.
Di sisi lain, peningkatan minat pada replikasi
dan reinterpretasi ulang terhadap eksperimen ini juga menunjukkan bahwa
warisan ilmiah SPE bukan sesuatu yang statis. Para peneliti kontemporer seperti
Haslam dan Reicher menunjukkan bahwa sistem sosial yang memungkinkan perlawanan
kolektif dan norma moral yang kuat dapat menghambat kekejaman.⁷ Hal ini
memperkaya diskusi dan memperluas pemahaman tentang kondisi sosial apa yang
memicu atau mencegah perilaku destruktif.
Footnotes
[1]
Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human
Experimentation in the Twentieth Century,” dalam The Oxford Handbook of the
History of Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press,
2011), 451–453.
[2]
Craig Haney dan Philip Zimbardo, “The Past and
Future of U.S. Prison Policy: Twenty-Five Years After the Stanford Prison
Experiment,” American Psychologist 53, no. 7 (1998): 709–727.
[3]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect:
Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007),
403–430.
[4]
David Myers, Social Psychology, 13th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2019), 372–374.
[5]
The Stanford Prison Experiment, directed by Kyle Patrick
Alvarez (IFC Films, 2015), film.
[6]
Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and
Disobedience to Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British
Journal of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.
[7]
Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Questioning the
Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.
8.
Reinterpretasi
dan Studi Ulang
Seiring berjalannya
waktu, Stanford Prison Experiment (SPE) tidak hanya dipelajari sebagai
eksperimen ikonik, tetapi juga menjadi subjek bagi upaya reinterpretasi
kritis dan studi ulang metodologis.
Gelombang kritik ilmiah dan kemajuan dalam etika penelitian telah mendorong
banyak akademisi untuk mengevaluasi ulang validitas, generalisasi, dan makna filosofis
dari temuan SPE. Dalam perkembangan ini, eksperimen Zimbardo beralih dari
sekadar “bukti eksperimen” menjadi medan perdebatan mengenai bagaimana
kita memahami kekuasaan, peran sosial, dan potensi moral manusia.
8.1.
Studi Ulang oleh
Haslam dan Reicher: BBC Prison Study (2001)
Salah satu replikasi
paling terkenal adalah BBC Prison Study (BPS) yang
dilakukan oleh Stephen Reicher dan Alex
Haslam pada tahun 2001. Berbeda dari SPE, eksperimen ini
dilakukan dalam pengawasan etika yang ketat dan didokumentasikan secara terbuka
melalui siaran televisi. Dalam studi ini, partisipan dibagi menjadi “sipir”
dan “tahanan”, tetapi tidak muncul kekejaman yang sama seperti dalam
SPE. Sebaliknya, para tahanan membentuk struktur kolektif dan
menantang otoritas, hingga akhirnya memunculkan bentuk pemerintahan
alternatif.¹
Hasil ini
menunjukkan bahwa perilaku otoriter tidak otomatis muncul dari
struktur peran, tetapi sangat dipengaruhi oleh identifikasi
sosial, legitimasi otoritas, dan dinamika kelompok.² Haslam dan
Reicher berargumen bahwa Zimbardo secara aktif membentuk dinamika
eksperimen dengan memberi arahan kepada sipir agar bersikap
tegas, sehingga eksperimen tidak sekadar observasional melainkan juga
intervensionis.³ Studi ini menggugurkan pandangan bahwa kekuasaan selalu
menghasilkan kekejaman, dan membuka ruang baru bagi teori konstruksi
identitas sosial sebagai kerangka alternatif memahami perilaku
kelompok.
8.2.
Temuan Arsip dan
Wawancara Ulang: “The Lifespan of a Lie”
Kritik terhadap
keabsahan eksperimen juga diperkuat oleh temuan jurnalis investigatif Ben Blum
dalam artikelnya “The Lifespan of a Lie” (2018).
Berdasarkan wawancara dengan mantan partisipan dan rekaman arsip yang tidak
dipublikasikan, Blum mengungkap bahwa sejumlah sipir mengaku diminta oleh peneliti
untuk bertindak keras demi mendramatisasi eksperimen.⁴
Pernyataan ini menggugurkan asumsi bahwa perilaku kejam muncul secara spontan
dari kondisi eksperimental.
Selain itu, Blum
juga menyoroti bahwa narasi tentang “tahanan yang mengalami gangguan
psikologis” tidak selalu didasarkan pada evaluasi medis independen,
melainkan lebih pada penilaian subjektif dan kebutuhan naratif dari
eksperimen.⁵ Temuan ini semakin memperkuat pandangan bahwa SPE
lebih menyerupai performa eksperimental yang dikendalikan,
ketimbang studi ilmiah yang benar-benar netral dan bebas dari manipulasi.
8.3.
Debat Metodologis:
Spontanitas atau Skenario Tertulis?
Banyak kritikus
mempertanyakan apakah SPE merupakan eksperimen observasional yang sahih,
ataukah rekayasa situasional yang
sengaja diarahkan. Dalam salah satu wawancara, Zimbardo sendiri mengakui bahwa
ia memberi tahu para sipir bahwa mereka harus “menjaga ketertiban dengan
segala cara yang diperlukan, kecuali kekerasan fisik,” sebuah pernyataan
yang secara implisit mengundang tindakan represif.⁶
Hal ini bertentangan dengan klaim awal bahwa para partisipan bertindak
sepenuhnya atas inisiatif mereka sendiri.
Kritik ini telah
mendorong perdebatan tentang perbedaan antara observasi dan provokasi dalam
penelitian eksperimen sosial. Beberapa ahli menyarankan agar
eksperimen seperti SPE dikaji ulang dalam kategori drama
sosial terstruktur ketimbang studi eksperimental murni.⁷ Dalam
hal ini, SPE tetap memiliki nilai pedagogis, tetapi bukan sebagai cermin
perilaku manusia universal, melainkan sebagai simulasi terbatas yang
dipengaruhi oleh desain, framing, dan otoritas penyelenggara.
8.4.
Pemikiran Kritis
Kontemporer: Relevansi dan Keterbatasan
Reinterpretasi SPE
tidak serta-merta menolak seluruh nilai dari eksperimen tersebut. Sebaliknya,
banyak akademisi berpendapat bahwa SPE tetap relevan sebagai refleksi
etis dan pedagogis, khususnya dalam menggambarkan bagaimana norma-norma
institusional dapat melumpuhkan resistensi moral individu.⁸
Namun demikian, temuan dan narasi eksperimen ini tidak dapat dianggap sebagai representasi
universal dari perilaku manusia dalam semua konteks kekuasaan.
Dengan munculnya
pendekatan baru seperti teori identitas sosial, psikologi
resistensi, dan kajian kekuasaan deliberatif,
SPE ditempatkan kembali dalam peta sejarah psikologi sosial bukan sebagai
eksperimen definitif, tetapi sebagai sumbu debat tentang batas eksperimen manusia
dan tanggung jawab moral peneliti.⁹
Footnotes
[1]
Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny:
The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1
(2006): 15–40.
[2]
Ibid., 20–22.
[3]
Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Questioning the Stanford Prison
Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.
[4]
Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62.
[5]
Ibid.
[6]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People
Turn Evil (New York: Random House, 2007), 57–60.
[7]
Gina Perry, The Lost Boys: Inside Muzafer Sherif’s Robbers Cave
Experiment (New York: Scribe, 2018), 255–259.
[8]
David Myers, Social Psychology, 13th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2019), 377–379.
[9]
Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to
Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal
of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.
9.
Kesimpulan
Stanford Prison
Experiment (SPE) tetap menjadi salah satu eksperimen paling kontroversial dan
berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial. Ia menjadi simbol kuat dari
bagaimana kekuatan situasional dan struktur
sosial yang represif mampu mengubah perilaku individu yang pada
dasarnya “normal” menjadi pelaku kekejaman dan penindasan dalam waktu
yang relatif singkat.¹ Dalam konteks ini, SPE telah membuka mata dunia ilmiah
dan masyarakat luas terhadap bahaya laten yang tersembunyi di balik
legitimasi kekuasaan, terutama ketika kontrol moral dan
akuntabilitas dilepaskan dari sistem sosial.
Secara teoritis,
eksperimen ini memperkuat pendekatan situasionalis yang menekankan
bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, peran yang
dilembagakan, dan tekanan struktural, sering kali melebihi kekuatan disposisi
atau karakter pribadi.² Namun demikian, temuan ini bukan tanpa kontroversi.
Kritik terhadap validitas, metodologi, dan etika eksperimen mendorong
reinterpretasi mendalam yang menantang narasi awal Zimbardo. Penelitian ulang,
seperti BBC Prison Study, dan temuan
investigatif dari Ben Blum, menunjukkan bahwa peran
aktif peneliti dalam membentuk kondisi eksperimen telah
mengaburkan klaim netralitas ilmiah SPE.³
Dari sisi etika, SPE
menjadi momentum penting dalam perkembangan regulasi eksperimen manusia.
Tragedi psikologis yang dialami para partisipan mendorong komunitas ilmiah
untuk merumuskan standar etis yang lebih ketat,
termasuk prinsip informed consent, hak untuk mundur
kapan saja, serta keharusan lembaga pengawas etika dalam setiap eksperimen
psikologi sosial.⁴ Dalam konteks ini, warisan SPE tidak hanya terletak pada
temuan empirisnya, tetapi juga pada perubahan sistemik dalam etika penelitian.
Di ranah kebijakan
publik, SPE telah digunakan untuk menyoroti kekerasan sistemik dalam institusi seperti
penjara, militer, dan kepolisian, serta menjadi rujukan dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan di Abu Ghraib.⁵
Zimbardo sendiri mengartikulasikan hal ini melalui konsep "Lucifer
Effect", yang menunjukkan bahwa batas antara kebaikan dan
kejahatan bersifat cair, dan bahwa sistemlah yang sering kali mendorong orang
untuk menyeberangi batas tersebut.⁶
Namun demikian,
konsensus akademik saat ini menekankan bahwa konteks sosial bukan satu-satunya faktor
determinan, dan bahwa individu tetap memiliki kapasitas untuk
resistensi moral, kendati berada dalam sistem yang menindas.⁷ Pandangan ini
mengajak kita untuk menyeimbangkan pemahaman antara pengaruh
sistemik dan tanggung jawab personal, serta mengakui bahwa
pilihan moral tetap mungkin diambil dalam situasi ekstrem.
Dengan demikian,
warisan Stanford Prison Experiment sebaiknya tidak dibaca secara tunggal
sebagai bukti bahwa manusia mudah menjadi jahat, tetapi juga sebagai peringatan
bahwa desain
sosial yang buruk dapat menghancurkan batas moral, dan bahwa kesadaran
etis serta refleksi kritis sangat diperlukan dalam setiap sistem kekuasaan.
SPE adalah cermin, bukan model absolut—ia mencerminkan potensi kegelapan yang
muncul bukan dari individu itu sendiri, tetapi dari struktur yang menciptakan
dan memeliharanya.
Footnotes
[1]
Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good
People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–219.
[2]
Lee Ross dan Richard E. Nisbett, The Person and the Situation:
Perspectives of Social Psychology (Philadelphia: Temple University Press,
1991), 4–9.
[3]
Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62;
Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny: The BBC
Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1 (2006):
15–40.
[4]
Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human Experimentation in
the Twentieth Century,” dalam The Oxford Handbook of the History of
Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press, 2011),
451–453.
[5]
Zimbardo, The Lucifer Effect, 403–430.
[6]
Ibid., 445–450.
[7]
Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to
Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal
of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.
Daftar Pustaka
Baumrind, D. (1972). Some
thoughts on ethics of research: After reading Milgram’s “Behavioral study of
obedience” and Zimbardo’s “Stanford prison experiment.” American
Psychologist, 27(10), 997–1006. https://doi.org/10.1037/h0033777
Blum, B. (2018, June). The
lifespan of a lie. Medium. https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62
Gibson, S. (2019).
Discourse, defensiveness and disobedience to authority: The Milgram and
Zimbardo legacies reconsidered. British Journal of Social Psychology, 58(1),
1–20. https://doi.org/10.1111/bjso.12236
Haney, C., Banks, C., &
Zimbardo, P. (1973). Interpersonal dynamics in a simulated prison. International
Journal of Criminology and Penology, 1(1), 69–97.
Haney, C., & Zimbardo,
P. (1998). The past and future of U.S. prison policy: Twenty-five years after
the Stanford prison experiment. American Psychologist, 53(7), 709–727.
https://doi.org/10.1037/0003-066X.53.7.709
Haslam, S. A., &
Reicher, S. D. (2006). Rethinking the psychology of tyranny: The BBC prison
study. British Journal of Social Psychology, 45(1), 15–40. https://doi.org/10.1348/014466605X48998
Haslam, S. A., &
Reicher, S. D. (2008). Questioning the Stanford prison experiment. The
Psychologist, 21(9), 688–691.
Kohn, A. (2019). Resisting
what “everybody knows”: Challenging the Stanford prison experiment. Phi
Delta Kappan, 100(7), 46–51. https://doi.org/10.1177/0031721719841345
Lederer, S. E. (2011).
Research without limits: Human experimentation in the twentieth century. In M.
Jackson (Ed.), The Oxford handbook of the history of medicine (pp.
441–459). Oxford University Press.
Milgram, S. (1974). Obedience
to authority: An experimental view. Harper & Row.
Myers, D. G. (2019). Social
psychology (13th ed.). McGraw-Hill Education.
Perry, G. (2018). The
lost boys: Inside Muzafer Sherif’s Robbers Cave experiment. Scribe.
Reicher, S. D., &
Haslam, S. A. (2006). The psychology of tyranny. Scientific American Mind,
17(3), 22–29.
Ross, L., & Nisbett, R.
E. (1991). The person and the situation: Perspectives of social psychology.
Temple University Press.
Sabini, J., Silver, M.,
& Bonanno, P. (1981). Situational and dispositional determinants of
behavior: Experimental simulations in the classroom. Teaching of
Psychology, 8(4), 195–198. https://doi.org/10.1207/s15328023top0804_8
The Stanford Prison Experiment
[Film]. (2015). In K. P. Alvarez (Director), The Stanford prison experiment.
IFC Films.
Zimbardo, P. G. (2007). The
Lucifer effect: Understanding how good people turn evil. Random House.