Sabtu, 31 Mei 2025

The Stanford Prison Experiment: Kekuasaan, Peran Sosial, dan Batas Moralitas

The Stanford Prison Experiment

Kekuasaan, Peran Sosial, dan Batas Moralitas


Alihkan ke: Psikologi, Moralitas.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif terhadap Stanford Prison Experiment (SPE) yang dilakukan oleh Philip Zimbardo pada tahun 1971 sebagai salah satu eksperimen paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah psikologi sosial. SPE bertujuan untuk mengeksplorasi pengaruh peran sosial, struktur kekuasaan, dan isolasi terhadap perilaku manusia dalam lingkungan yang dilembagakan secara ketat. Melalui analisis atas desain eksperimen, dinamika psikologis partisipan, serta implikasi sosial dan moral dari temuan tersebut, artikel ini menyoroti pentingnya konteks situasional dalam membentuk tindakan individu. Lebih lanjut, artikel ini juga membahas berbagai kritik metodologis dan etis terhadap eksperimen, serta reinterpretasi kontemporer melalui studi ulang seperti BBC Prison Study dan temuan investigatif baru. Warisan dari SPE, baik dalam ranah akademik, kebijakan publik, maupun kesadaran etis, menjadi landasan reflektif untuk memahami batas moralitas manusia dalam sistem kekuasaan. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya merekonstruksi sejarah SPE, tetapi juga menempatkannya dalam diskursus kritis yang relevan hingga saat ini.

Kata Kunci: Stanford Prison Experiment, psikologi sosial, kekuasaan, peran sosial, deindividuasi, etika penelitian, situasionalisme, eksperimen manusia


PEMBAHASAN

Studi Komprehensif atas Stanford Prison Experiment (1971)



1.           Pendahuluan

Perilaku manusia dalam konteks kekuasaan dan peran sosial telah lama menjadi subjek utama dalam kajian psikologi sosial. Salah satu eksperimen paling kontroversial dan berpengaruh yang mengeksplorasi dinamika ini adalah Stanford Prison Experiment (SPE) yang dilakukan oleh Philip Zimbardo pada tahun 1971 di Universitas Stanford. Dalam eksperimen ini, Zimbardo dan timnya merekayasa lingkungan penjara semu dan merekrut dua puluh empat relawan laki-laki untuk memainkan peran sebagai "sipir" dan "tahanan". Meskipun dirancang untuk berlangsung selama dua minggu, eksperimen dihentikan hanya dalam waktu enam hari karena eskalasi kekerasan psikologis dan perilaku abusif yang mengejutkan, baik dari pihak “sipir” maupun “tahanan”.¹

Eksperimen ini membuka ruang refleksi yang mendalam mengenai bagaimana situasi sosial dan struktur kekuasaan dapat mengubah perilaku individu secara drastis, bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Temuan dari SPE menunjukkan bahwa individu dapat dengan mudah kehilangan rasa moralitas dan identitas personal ketika terbenam dalam peran sosial tertentu yang didukung oleh legitimasi struktural dan harapan institusional.² Hal ini menjadi bukti konkret bahwa perilaku menyimpang atau kejam tidak semata-mata berasal dari kepribadian individual yang rusak, tetapi dapat muncul sebagai produk dari sistem dan konteks sosial tertentu—a phenomenon yang kemudian disebut Zimbardo sebagai “the Lucifer Effect.”³

Penelitian ini juga memicu perdebatan luas terkait etika eksperimen psikologis, baik dari sisi perlakuan terhadap partisipan maupun intervensi (atau justru ketiadaannya) dari peneliti terhadap proses eksperimen. Stanford Prison Experiment menjadi salah satu contoh paling nyata dari bagaimana penelitian ilmiah dapat melampaui batas moral jika tidak diawasi oleh prinsip etis yang ketat.⁴ Akibat dari eksperimen ini, standar dan regulasi dalam riset psikologi manusia mengalami reformasi signifikan, termasuk penguatan peran lembaga peninjau etik (Institutional Review Boards) dalam mengkaji potensi risiko psikologis pada partisipan.⁵

Dalam konteks kontemporer, SPE tidak hanya dikenang sebagai eksperimen akademik, tetapi juga sebagai metafora sosial terhadap relasi kuasa, penindasan, dan ketaatan dalam berbagai sistem, mulai dari penjara, militer, hingga institusi pendidikan dan birokrasi. Kajian ini penting untuk terus ditelaah secara kritis agar masyarakat memahami sejauh mana situasi dapat membentuk perilaku, serta bagaimana menjaga akuntabilitas dan batas moral dalam sistem sosial yang hierarkis.


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 21–27.

[2]                Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 69–97.

[3]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 211.

[4]                Diana Baumrind, “Review of Zimbardo’s Stanford Prison Experiment,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.

[5]                Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human Experimentation in the Twentieth Century,” in The Oxford Handbook of the History of Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press, 2011), 441–459.


2.           Konteks Historis dan Ilmiah

Stanford Prison Experiment (SPE) tidak muncul dalam ruang hampa. Eksperimen ini lahir dalam lanskap intelektual dan sosial yang sangat dipengaruhi oleh ketegangan ideologis, gejolak budaya, serta perkembangan teori psikologi sosial pasca-Perang Dunia II. Dekade 1960-an dan awal 1970-an di Amerika Serikat ditandai oleh meningkatnya ketidakpercayaan terhadap otoritas, baik dalam konteks pemerintahan, militer, maupun institusi akademik. Isu-isu seperti perang Vietnam, gerakan hak-hak sipil, dan protes mahasiswa membentuk semangat zaman (zeitgeist) yang mendorong banyak ilmuwan sosial untuk mengkaji kembali hubungan antara individu, struktur kekuasaan, dan perilaku moral.¹

Dalam disiplin psikologi, SPE merupakan kelanjutan dari sebuah tradisi penelitian eksperimental yang mengkaji ketaatan dan konformitas. Sebelumnya, Solomon Asch telah menunjukkan bagaimana individu cenderung menyesuaikan pendapatnya dengan kelompok meskipun bertentangan dengan persepsi pribadinya.² Sementara itu, Stanley Milgram melalui eksperimen terkenal tentang ketaatan di awal 1960-an mengungkapkan betapa jauhnya individu bersedia mengikuti perintah otoritas, bahkan jika perintah tersebut mengakibatkan penderitaan orang lain.³ Penelitian Milgram menjadi salah satu landasan penting yang menginspirasi Zimbardo untuk merancang eksperimen penjara sebagai upaya menginvestigasi bukan hanya ketaatan terhadap otoritas eksternal, tetapi juga transformasi internal yang terjadi ketika seseorang menjalani peran sosial yang dilembagakan.

Zimbardo, seorang profesor psikologi sosial di Stanford University, memiliki ketertarikan mendalam terhadap kekuatan situasional (situational power) dalam membentuk perilaku. Ia mengembangkan pendekatan yang berbeda dari teori disposisional yang dominan sebelumnya, yakni gagasan bahwa perilaku semata-mata merupakan hasil dari sifat bawaan atau kepribadian.⁴ Sebaliknya, Zimbardo ingin menekankan bahwa individu yang tampaknya “baik” sekalipun dapat bertindak secara kejam apabila ditempatkan dalam sistem yang memberi legitimasi terhadap dominasi, anonimitas, dan ketimpangan kekuasaan. Stanford Prison Experiment dirancang untuk menguji secara empiris sejauh mana konteks sosial dapat mendefinisikan ulang batas moralitas seseorang.

Selain latar ilmiah, eksperimen ini juga dipengaruhi oleh fenomena sosial yang lebih luas. Di masa itu, laporan mengenai kekerasan di penjara-penjara Amerika menjadi sorotan nasional. Insiden pemberontakan di Penjara Attica (1971) dan kritik terhadap perlakuan terhadap narapidana memperkuat urgensi untuk memahami psikologi kekuasaan dalam sistem pemasyarakatan.⁵ SPE dianggap sebagai simulasi mikro dari kondisi penjara nyata, tetapi dengan kontrol eksperimental untuk mempelajari proses dehumanisasi dalam skala yang dapat diobservasi secara sistematis.

Dengan demikian, Stanford Prison Experiment berada di persimpangan antara kekhawatiran etis masyarakat, perdebatan akademik tentang perilaku manusia, dan praktik eksperimental dalam ilmu psikologi sosial. Pemahaman akan konteks historis dan ilmiah ini penting untuk menilai baik kontribusi maupun keterbatasan eksperimen secara adil dan kritis.


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 9–13.

[2]                Solomon E. Asch, “Opinions and Social Pressure,” Scientific American 193, no. 5 (1955): 31–35.

[3]                Stanley Milgram, Obedience to Authority: An Experimental View (New York: Harper & Row, 1974), 1–10.

[4]                Craig Haney and Philip Zimbardo, “The Past and Future of U.S. Prison Policy: Twenty-Five Years After the Stanford Prison Experiment,” American Psychologist 53, no. 7 (1998): 709–727.

[5]                Heather Ann Thompson, Blood in the Water: The Attica Prison Uprising of 1971 and Its Legacy (New York: Pantheon Books, 2016), 45–58.


3.           Desain dan Metodologi Eksperimen

Stanford Prison Experiment (SPE) dirancang sebagai studi laboratorium yang bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh peran sosial dan struktur kekuasaan terhadap perilaku individu dalam lingkungan penjara simulatif. Eksperimen ini menggunakan pendekatan simulasi eksperimental (experimental simulation), di mana para partisipan tidak hanya diminta untuk memerankan peran tertentu, tetapi juga ditempatkan dalam kondisi yang semirip mungkin dengan realitas institusional, sehingga memungkinkan munculnya reaksi psikologis yang autentik.¹

3.1.       Rekrutmen dan Seleksi Partisipan

Partisipan eksperimen direkrut melalui iklan di surat kabar lokal Palo Alto, yang menawarkan bayaran sebesar $15 per hari untuk berpartisipasi dalam studi psikologi sosial tentang “kehidupan di penjara.” Dari sekitar 75 pelamar, 24 pria muda dipilih berdasarkan hasil wawancara dan pemeriksaan psikologis yang menyatakan mereka sehat secara fisik dan mental, serta bebas dari catatan kriminal.² Mereka sebagian besar merupakan mahasiswa kulit putih kelas menengah, dianggap mewakili populasi “normal” dalam masyarakat. Para partisipan kemudian dibagi secara acak ke dalam dua kelompok: "sipir" (guards) dan "tahanan" (prisoners), masing-masing berjumlah 9 orang aktif dengan cadangan.

3.2.       Setting Eksperimen dan Implementasi Peran

Eksperimen dilakukan di ruang bawah tanah Gedung Psikologi Universitas Stanford, yang diubah menjadi penjara semu dengan sel-sel kecil, ruang pengawasan, dan area administratif.³ Setiap “tahanan” dijemput secara nyata oleh polisi Palo Alto, diborgol, dibawa ke kantor kepolisian, dan diproses secara administratif, termasuk pengambilan sidik jari dan foto mugshot, sebelum dikirim ke “penjara” eksperimental. Mereka kemudian diberikan pakaian seragam tahanan, diberi nomor identitas, dan dicabut nama asli mereka sebagai bagian dari proses deindividuasi.⁴

Sebaliknya, “sipir” diberi seragam militer, tongkat pemukul kayu, peluit, dan kacamata hitam reflektif untuk menciptakan jarak psikologis dengan “tahanan.” Tidak ada instruksi eksplisit tentang cara bertindak, selain imbauan untuk menjaga ketertiban dan tidak menggunakan kekerasan fisik langsung.⁵ Instruksi terbuka ini memberi ruang bagi interpretasi bebas yang justru mempercepat eskalasi penyalahgunaan kekuasaan.

3.3.       Prosedur Eksperimen

Eksperimen dirancang berlangsung selama dua minggu penuh, namun hanya berjalan enam hari karena eskalasi cepat dalam intensitas psikologis dan kekerasan simbolik yang timbul. Dalam waktu singkat, para “sipir” menunjukkan perilaku otoriter, represif, dan manipulatif, termasuk menjatuhkan hukuman sewenang-wenang, mengatur jadwal tidur, menahan hak-hak dasar, dan mempermalukan “tahanan” di depan umum.⁶ Sebaliknya, para “tahanan” menunjukkan gejala stres akut, gangguan emosional, bahkan kehancuran psikologis, termasuk menangis, keputusasaan, dan rasa kehilangan identitas.

Eksperimen dihentikan lebih awal setelah intervensi dari Christina Maslach, seorang psikolog muda sekaligus calon istri Zimbardo saat itu, yang mengecam kekejaman eksperimen tersebut setelah menyaksikannya secara langsung. Maslach mempertanyakan bagaimana para peneliti dapat membiarkan perilaku tidak manusiawi itu terus berlangsung atas nama “ilmu pengetahuan.”⁷ Reaksinya memaksa Zimbardo untuk menghentikan eksperimen pada hari keenam.

3.4.       Peran Ganda Zimbardo

Penting dicatat bahwa Zimbardo sendiri tidak hanya berperan sebagai peneliti, tetapi juga bertindak sebagai “superintendent” penjara, peran yang membuatnya terlibat secara langsung dalam dinamika sosial yang berkembang. Peran ganda ini menimbulkan konflik kepentingan, karena ia menjadi terlalu terlibat secara emosional dan gagal menjaga jarak ilmiah yang diperlukan untuk melakukan evaluasi objektif dan melindungi partisipan dari bahaya psikologis.⁸

Secara metodologis, meskipun eksperimen ini memberikan wawasan yang kuat mengenai perubahan perilaku dalam sistem sosial tertutup, ia juga menuai kritik atas validitas internal dan eksternal. Beberapa peneliti berpendapat bahwa partisipan hanya “berakting” berdasarkan ekspektasi sosial, bukan menunjukkan transformasi psikologis yang otentik. Namun demikian, intensitas pengalaman emosional yang ditunjukkan oleh banyak partisipan menunjukkan bahwa batas antara peran dan realitas menjadi sangat kabur.⁹


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 53–57.

[2]                Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 70–71.

[3]                Ibid., 72.

[4]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 61–62.

[5]                Ibid., 58–59.

[6]                Haney, Banks, and Zimbardo, “Interpersonal Dynamics,” 73–75.

[7]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 160–163.

[8]                Diana Baumrind, “Review of Zimbardo’s Stanford Prison Experiment,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.

[9]                Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Questioning the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.


4.           Temuan dan Peristiwa Kunci Selama Eksperimen

Stanford Prison Experiment (SPE) dengan cepat mengungkap dinamika psikologis yang ekstrem ketika individu ditempatkan dalam situasi sosial yang penuh hierarki, isolasi, dan ketimpangan kekuasaan. Temuan utama eksperimen ini menyoroti bagaimana peran sosial yang dilembagakan dapat mengubah perilaku individu secara radikal, bahkan dalam waktu singkat.¹ Meskipun eksperimen dirancang berlangsung selama dua minggu, kenyataan yang muncul mendorong penghentian pada hari keenam karena dampak psikologis yang sangat mengkhawatirkan pada para partisipan, baik “tahanan” maupun “sipir.”

4.1.       Eskalasi Kekuasaan dan Perilaku Otoriter

Seiring berjalannya eksperimen, para “sipir” mulai menunjukkan perilaku yang semakin represif, dominatif, dan pada beberapa titik, kejam. Dalam tempo kurang dari 48 jam, beberapa sipir mulai menerapkan hukuman-hukuman arbitrer, seperti menyuruh tahanan melakukan push-up, menahan hak makan, atau menutup akses ke toilet, yang digantikan dengan ember di dalam sel.² Beberapa sipir bahkan menikmati kekuasaan mereka, mempermalukan tahanan, menyuruh mereka menyanyikan lagu-lagu hina, dan memaksa mereka mengulang nomor identitas mereka secara terus-menerus sebagai bentuk dehumanisasi.

Menurut Zimbardo, fenomena ini mencerminkan apa yang ia sebut sebagai “pergeseran peran menjadi identitas” (role internalization), di mana para sipir berhenti “bermain peran” dan mulai benar-benar menjalani peran kekuasaan secara psikologis.³ Kacamata hitam reflektif, seragam, dan kebebasan bertindak tanpa pengawasan eksternal memperkuat anonimitas dan hilangnya akuntabilitas personal, dua kondisi yang diyakini memicu deindividuasi.⁴

4.2.       Reaksi Psikologis Para “Tahanan”

Sementara itu, para “tahanan” mengalami dampak psikologis yang mengkhawatirkan. Dalam waktu singkat, banyak di antara mereka menunjukkan gejala kecemasan, depresi, ketakutan, dan kepasrahan ekstrem. Salah satu tahanan, yang dikenal dengan nomor 8612, menunjukkan gangguan emosional yang parah pada hari kedua dan meminta keluar. Setelah awalnya ditolak karena dianggap “berpura-pura,” ia kemudian mengalami psikosis reaktif dan akhirnya dilepaskan.⁵

Dalam peristiwa lain, terjadi bentuk “pemberontakan” pada hari kedua, ketika tahanan mendorong tempat tidur melawan pintu sel dan menolak instruksi sipir. Sebagai respons, sipir menggunakan strategi divide et impera dengan mengklasifikasikan tahanan menjadi “baik” dan “buruk,” menciptakan konflik internal dan menghancurkan solidaritas di antara mereka.⁶ Tahanan juga mulai menginternalisasi status inferior mereka; sebagian mulai patuh secara otomatis, sementara yang lain mengalami kehancuran identitas hingga menangis, menyerah, atau menarik diri sepenuhnya dari interaksi sosial.

4.3.       Titik Balik dan Penghentian Eksperimen

Titik balik terjadi ketika Christina Maslach, seorang psikolog yang diundang untuk mengamati eksperimen, menyaksikan langsung kondisi para tahanan dan mengkritik keras dehumanisasi yang terjadi. Ia mempertanyakan integritas moral dari eksperimen dan menyatakan bahwa “apa yang kalian lakukan ini tidak manusiawi.”⁷ Reaksi Maslach membuka kesadaran Zimbardo sendiri yang saat itu begitu larut dalam peran sebagai “superintendent” hingga kehilangan objektivitas sebagai ilmuwan.

Sebagai akibatnya, Zimbardo menghentikan eksperimen pada hari ke-6, jauh lebih awal dari yang direncanakan.⁸ Momen ini menjadi krusial dalam sejarah ilmu psikologi sosial, tidak hanya karena dampak eksperimennya, tetapi juga karena menyoroti pentingnya refleksi etis dalam praktik ilmiah.

4.4.       Kesimpulan Empiris: Situasi vs Disposisi

Temuan empiris utama dari SPE mendukung hipotesis bahwa situasi sosial yang kuat dapat mengalahkan karakter individual, terutama ketika struktur tersebut menciptakan kondisi anonim, tidak seimbang, dan terisolasi. Hal ini memperkuat pendekatan situasionalis dalam psikologi sosial, yakni pandangan bahwa perilaku tidak selalu mencerminkan kepribadian bawaan, tetapi sangat ditentukan oleh konteks dan ekspektasi sosial.⁹

Studi ini juga menjadi contoh ekstrem bagaimana sistem yang dirancang secara tidak etis dapat menumbuhkan potensi destruktif dalam diri individu biasa. Dalam kata-kata Zimbardo, “the line between good and evil is permeable, and almost anyone can be induced to cross it when pressured by situational forces.”¹⁰


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 197–208.

[2]                Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 73–75.

[3]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 211–215.

[4]                Ibid., 112–115.

[5]                Ibid., 133–135.

[6]                Haney, Banks, and Zimbardo, “Interpersonal Dynamics,” 76–78.

[7]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 160–162.

[8]                Ibid., 163–165.

[9]                Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Questioning the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.

[10]             Zimbardo, The Lucifer Effect, 211.


5.           Analisis Psikologis

Stanford Prison Experiment (SPE) menjadi bukti eksperimental bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kekuatan situasional, terutama ketika individu menjalani peran-peran sosial yang sarat dengan struktur kekuasaan, ekspektasi, dan ketimpangan otoritas. Dari sudut pandang psikologi sosial, SPE memperlihatkan bagaimana sistem sosial yang represif dapat membentuk perilaku individu melalui proses deindividuasi, konformitas, dan internalisasi peran

5.1.       Deindividuasi dan Hilangnya Identitas Personal

Salah satu proses psikologis utama yang diamati dalam SPE adalah deindividuasi, yaitu keadaan di mana individu kehilangan rasa identitas diri dan akuntabilitas pribadi ketika berada dalam kelompok atau sistem sosial tertentu. Dalam eksperimen ini, proses deindividuasi terjadi melalui serangkaian mekanisme simbolik: tahanan diberi nomor sebagai pengganti nama, dipaksa mengenakan seragam identik, dan dikontrol secara penuh oleh sipir.² Sebaliknya, sipir mengenakan kacamata hitam reflektif yang menyamarkan ekspresi mereka dan memberi jarak emosional terhadap subjek yang mereka kontrol.³

Zimbardo berargumen bahwa hilangnya identitas personal ini membuat para partisipan lebih mudah menyerap dan mengeksekusi peran sosial tanpa menyadari dampak moral dari tindakan mereka.⁴ Ketika tanggung jawab personal dilebur ke dalam sistem, individu merasa tidak lagi bertanggung jawab atas akibat perilaku mereka, sebuah kondisi yang menciptakan potensi besar untuk penyalahgunaan kekuasaan.

5.2.       Internalisasi Peran dan Konformitas Struktural

SPE juga menunjukkan bagaimana peran sosial yang dilembagakan dapat diinternalisasi, tidak hanya secara perilaku tetapi juga secara psikologis. Para “sipir” tidak diberi instruksi khusus mengenai cara memperlakukan tahanan, tetapi justru menunjukkan perilaku otoriter dan represif yang meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sejalan dengan teori konformitas struktural, yakni gagasan bahwa individu cenderung menyesuaikan perilaku mereka dengan norma peran yang diasosiasikan dengan status sosial tertentu, bahkan jika norma itu tidak diekspresikan secara eksplisit.⁵

Konsep ini memiliki kemiripan dengan eksperimen Milgram tentang ketaatan terhadap otoritas, yang menunjukkan bahwa banyak orang bersedia menyakiti orang lain jika diperintahkan oleh otoritas yang sah.⁶ Dalam SPE, struktur institusional dan simbol otoritas menciptakan kondisi psikologis serupa, di mana sipir merasa “berhak” atau bahkan “wajib” bertindak secara keras demi mempertahankan ketertiban.

5.3.       Efek Lucifer: Dari Orang Biasa ke Pelaku Kekerasan

Zimbardo kemudian mengembangkan gagasan “Lucifer Effect”, yakni transformasi psikologis di mana orang biasa berubah menjadi pelaku kekerasan ketika berada dalam sistem sosial yang korup atau tidak beretika.⁷ Dalam SPE, para partisipan tidak memiliki riwayat kepribadian antisosial, tetapi menjadi pelaku perilaku merendahkan dan menyiksa dalam waktu singkat. Efek ini memperkuat klaim bahwa konteks sosial dapat lebih menentukan tindakan moral seseorang daripada sifat atau nilai personal yang dimilikinya.

Lucifer Effect juga menyoroti mekanisme rasionalisasi moral, di mana pelaku kekerasan membenarkan tindakan mereka melalui narasi institusional seperti “saya hanya menjalankan tugas,” atau “mereka pantas diperlakukan seperti itu.”⁸ Mekanisme ini memperjelas bagaimana kekuasaan dapat menutupi tanggung jawab moral personal dan menciptakan ilusi pembenaran etis terhadap tindakan yang secara objektif destruktif.

5.4.       Implikasi terhadap Psikologi Sosial dan Moralitas

Secara teoretis, SPE memperkuat pendekatan situasionalis dalam psikologi sosial yang menantang pandangan disposisional bahwa perilaku manusia terutama ditentukan oleh sifat atau kepribadian bawaan.⁹ Eksperimen ini juga membuka ruang diskusi dalam bidang psikologi moral, khususnya tentang bagaimana moralitas dapat ditanggalkan dalam sistem yang mendukung ketimpangan kekuasaan dan ketundukan tanpa kritik.

Dalam konteks yang lebih luas, SPE mengilustrasikan apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “banalitas kejahatan”, yaitu bahwa kejahatan besar tidak selalu dilakukan oleh orang jahat dalam pengertian psikopatologis, melainkan oleh individu biasa yang tunduk pada struktur kekuasaan dan menanggalkan tanggung jawab etisnya.¹⁰


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 212–218.

[2]                Craig Haney, Curtis Banks, and Philip Zimbardo, “Interpersonal Dynamics in a Simulated Prison,” International Journal of Criminology and Penology 1, no. 1 (1973): 72–74.

[3]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 112–113.

[4]                Ibid., 217–219.

[5]                Alex Haslam and Stephen D. Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny: The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1 (2006): 15–40.

[6]                Stanley Milgram, Obedience to Authority: An Experimental View (New York: Harper & Row, 1974), 35–47.

[7]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 445–460.

[8]                Ibid., 441.

[9]                Ross, Lee, and Richard E. Nisbett, The Person and the Situation: Perspectives of Social Psychology (Philadelphia: Temple University Press, 1991), 4–7.

[10]             Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Penguin Books, 2006), 135–137.


6.           Kritik dan Kontroversi

Meskipun Stanford Prison Experiment (SPE) secara luas dianggap sebagai salah satu eksperimen paling mencolok dalam sejarah psikologi sosial, eksperimen ini juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, baik dalam hal etika penelitian, validitas metodologis, maupun interpretasi hasilnya. Seiring waktu, SPE menjadi subjek perdebatan yang intens terkait batas antara penelitian ilmiah yang sah dan praktik eksperimental yang melanggar hak-hak partisipan.

6.1.       Kritik Etis: Eksperimen atau Eksploitasi?

Salah satu kritik paling awal dan berpengaruh datang dari psikolog Diana Baumrind, yang menilai bahwa Zimbardo gagal melindungi partisipan dari tekanan emosional dan psikologis yang ekstrem. Ia berpendapat bahwa Zimbardo, sebagai peneliti, telah mengabaikan prinsip dasar etika eksperimen, termasuk hak partisipan untuk mengundurkan diri tanpa tekanan dan tanggung jawab peneliti untuk melakukan intervensi atas penderitaan yang nyata.¹ Dalam pandangan Baumrind, pembiaran terhadap perilaku menyimpang sipir bukanlah bagian dari observasi netral, melainkan kelalaian yang membahayakan kesejahteraan manusia.

Selain itu, peran ganda Zimbardo sebagai pengawas penjara (superintendent) dan peneliti menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Ketika seorang tahanan ingin keluar dari eksperimen, ia diperlakukan sebagai “narapidana sungguhan” dan dibujuk untuk tetap tinggal, alih-alih diperlakukan sebagai subjek eksperimen yang berhak untuk mundur kapan saja.² Kritik ini kemudian menjadi landasan penting dalam reformasi kode etik penelitian psikologi, termasuk penguatan prinsip informed consent dan keberadaan Institutional Review Boards (IRBs).

6.2.       Kritik Metodologis: Apakah Partisipan “Berakting”?

Selain kritik etis, banyak ahli mempertanyakan validitas ilmiah dari SPE. Penelitian lanjutan oleh Ben Blum, yang mengakses arsip dan wawancara eksklusif dengan mantan partisipan, menemukan bahwa beberapa sipir merasa tekanan dari Zimbardo untuk bersikap kasar dan dominan, yang berarti bahwa perilaku mereka bukan sepenuhnya spontan, tetapi didorong oleh ekspektasi eksperimental.³ Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah eksperimen tersebut mengamati reaksi alami terhadap peran sosial, atau hanya hasil dari arahan terselubung dari penyelenggara.

Selanjutnya, kritik juga datang dari Stephen Reicher dan Alex Haslam, yang mencoba mereplikasi eksperimen melalui BBC Prison Study (2001). Dalam studi tersebut, partisipan tidak menunjukkan perilaku kekerasan yang ekstrem, bahkan membentuk sistem pemerintahan demokratis di awal eksperimen.⁴ Temuan ini menunjukkan bahwa konteks sosial yang lebih luas, norma yang tersedia, serta kepemimpinan peneliti dapat sangat memengaruhi hasil eksperimen sejenis, sehingga mengurangi reliabilitas SPE sebagai model universal perilaku manusia dalam kondisi kekuasaan.

6.3.       Kritik Interpretatif: Terlalu Menyederhanakan Kompleksitas Moral

Beberapa kritikus juga berpendapat bahwa Zimbardo terlalu menekankan kekuatan situasional, dan mengabaikan kapasitas individu untuk melakukan resistensi moral.⁵ Dalam eksperimen SPE, tidak semua sipir menjadi kejam—beberapa menunjukkan sikap pasif atau bahkan canggung dalam menghadapi perlakuan keras terhadap tahanan. Namun, Zimbardo cenderung menyoroti perilaku yang ekstrem untuk memperkuat narasinya tentang Lucifer Effect.

Pandangan ini menyiratkan bahaya determinisme sosial yang menghapuskan agensi moral individu, seolah-olah manusia tidak memiliki daya tahan terhadap pengaruh sistem. Beberapa filsuf moral dan psikolog menekankan pentingnya faktor kepribadian, nilai, dan kesadaran moral dalam menganalisis perilaku dalam sistem represif.⁶ Kritik ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih seimbang antara kekuatan struktur dan kapasitas individu untuk bertindak secara etis dalam situasi ekstrem.

6.4.       Pengaruh Budaya Populer dan Penyalahgunaan Interpretasi

SPE telah banyak diangkat dalam film dokumenter, drama, dan literatur populer, namun interpretasi publik terhadap eksperimen ini sering kali menyederhanakan atau mendramatisasi temuan aslinya. Representasi semacam ini berisiko memperkuat mitos bahwa manusia pada dasarnya “jahat” ketika diberi kekuasaan, tanpa mempertimbangkan kompleksitas sistemik, motivasi personal, dan struktur etis.⁷ Oleh karena itu, para akademisi menekankan perlunya kehati-hatian dalam menyebarkan narasi eksperimen ini, agar tidak dijadikan pembenaran terhadap kekerasan institusional atau praktik dehumanisasi dalam sistem nyata seperti militer dan penjara.


Footnotes

[1]                Diana Baumrind, “Some Thoughts on Ethics of Research: After Reading Milgram’s ‘Behavioral Study of Obedience’ and Zimbardo’s ‘Stanford Prison Experiment’,” American Psychologist 27, no. 10 (1972): 997–1006.

[2]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 156–160.

[3]                Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62.

[4]                Alex Haslam and Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny: The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1 (2006): 15–40.

[5]                John Sabini, Maury Silver, and Philip Bonanno, “Situational and Dispositional Determinants of Behavior: Experimental Simulations in the Classroom,” Teaching of Psychology 8, no. 4 (1981): 195–198.

[6]                Alfie Kohn, “Resisting What ‘Everybody Knows’: Challenging the Stanford Prison Experiment,” Phi Delta Kappan 100, no. 7 (2019): 46–51.

[7]                Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.


7.           Warisan dan Pengaruh Eksperimen

Stanford Prison Experiment (SPE) meninggalkan jejak yang mendalam tidak hanya dalam dunia akademik psikologi sosial, tetapi juga dalam praktik etika penelitian, kebijakan pemasyarakatan, pendidikan moral, serta budaya populer. Meskipun penuh kontroversi, eksperimen ini tetap menjadi rujukan penting dalam memahami dampak sistem sosial terhadap perilaku individu, khususnya dalam konteks kekuasaan, kepatuhan, dan dehumanisasi.

7.1.       Reformasi Etika dalam Penelitian Psikologi

Salah satu dampak paling signifikan dari SPE adalah pengaruhnya terhadap penguatan standar etika dalam penelitian eksperimen manusia. Setelah SPE dan eksperimen-eksperimen sejenis seperti Milgram, komunitas ilmiah semakin menyadari perlunya pengawasan ketat terhadap eksperimen yang melibatkan tekanan psikologis tinggi. Hal ini berkontribusi pada pembentukan dan penguatan Institutional Review Boards (IRBs) di berbagai universitas dan lembaga penelitian.¹ Peneliti kini diwajibkan untuk menginformasikan risiko secara transparan, menghormati hak partisipan untuk mundur, serta meminimalisasi potensi kerugian psikologis selama studi berlangsung.

7.2.       Pengaruh terhadap Studi Penjara dan Kebijakan Pemasyarakatan

SPE juga menjadi referensi penting dalam diskusi tentang reformasi sistem pemasyarakatan. Eksperimen ini menggarisbawahi bagaimana struktur penjara dapat menciptakan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dan menumbuhkan potensi kekerasan, bahkan pada individu yang sebelumnya tidak menunjukkan kecenderungan antisosial.² Temuan SPE menjadi argumen bagi para aktivis dan kriminolog dalam mendorong pembatasan kekuasaan sipir, peningkatan akuntabilitas lembaga pemasyarakatan, serta pelatihan etis bagi petugas penjara.

Studi ini juga sering dikaitkan dengan insiden nyata, seperti skandal penyiksaan tahanan di Penjara Abu Ghraib oleh tentara Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, para penjaga militer secara sistematis menyiksa dan mempermalukan tahanan Irak, menunjukkan pola yang hampir identik dengan yang terjadi dalam SPE.³ Zimbardo sendiri secara aktif memberikan testimoni dalam kasus ini dan menegaskan bahwa sistemlah—bukan hanya individulah—yang memungkinkan perilaku tidak manusiawi berkembang.

7.3.       Pengaruh terhadap Pendidikan dan Kesadaran Moral

Dalam ranah pendidikan, SPE telah menjadi bahan ajar standar dalam mata kuliah psikologi sosial, etika penelitian, dan filsafat moral di berbagai institusi pendidikan tinggi. Eksperimen ini digunakan sebagai studi kasus untuk mengeksplorasi konflik antara otoritas dan hati nurani, serta memperkenalkan konsep-konsep penting seperti deindividuasi, ketaatan, dan internalisasi peran.⁴ Banyak pendidik menggunakan SPE untuk menantang asumsi peserta didik bahwa hanya “orang jahat” yang mampu melakukan kekejaman, dan menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, siapa pun bisa tergelincir secara moral.

7.4.       Representasi dalam Budaya Populer dan Kesadaran Publik

SPE juga memiliki resonansi budaya yang luas, muncul dalam berbagai bentuk media seperti film, dokumenter, novel, dan pertunjukan teater. Di antaranya, film The Stanford Prison Experiment (2015), yang disusun berdasarkan catatan asli eksperimen, membawa kisah ini ke khalayak yang lebih luas dan memicu perdebatan baru tentang makna dan interpretasinya.⁵ Representasi ini memperkuat citra SPE sebagai ikon eksperimental dari potensi destruktif kekuasaan tanpa batas.

Namun demikian, penyebaran narasi SPE dalam media populer sering kali menyederhanakan kompleksitas ilmiahnya dan mengabaikan kritik akademik yang valid. Beberapa kalangan memperingatkan bahwa glorifikasi atau dramatisasi eksperimen dapat memperkuat determinisme sosial yang pesimistis dan mengaburkan ruang bagi refleksi moral dan resistensi individu.⁶

7.5.       Relevansi Kontemporer dan Kritik Lanjutan

Warisan SPE tetap relevan di tengah diskursus kontemporer tentang kekuasaan, penegakan hukum, dan hak asasi manusia. Eksperimen ini menjadi cermin untuk mengevaluasi praktik-praktik kekuasaan dalam lembaga modern, termasuk militer, kepolisian, dan sistem pendidikan yang hierarkis. Dalam konteks dunia yang terus bergulat dengan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM, SPE terus digunakan sebagai bahan refleksi tentang tanggung jawab etis dalam struktur sosial.

Di sisi lain, peningkatan minat pada replikasi dan reinterpretasi ulang terhadap eksperimen ini juga menunjukkan bahwa warisan ilmiah SPE bukan sesuatu yang statis. Para peneliti kontemporer seperti Haslam dan Reicher menunjukkan bahwa sistem sosial yang memungkinkan perlawanan kolektif dan norma moral yang kuat dapat menghambat kekejaman.⁷ Hal ini memperkaya diskusi dan memperluas pemahaman tentang kondisi sosial apa yang memicu atau mencegah perilaku destruktif.


Footnotes

[1]                Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human Experimentation in the Twentieth Century,” dalam The Oxford Handbook of the History of Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press, 2011), 451–453.

[2]                Craig Haney dan Philip Zimbardo, “The Past and Future of U.S. Prison Policy: Twenty-Five Years After the Stanford Prison Experiment,” American Psychologist 53, no. 7 (1998): 709–727.

[3]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 403–430.

[4]                David Myers, Social Psychology, 13th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 372–374.

[5]                The Stanford Prison Experiment, directed by Kyle Patrick Alvarez (IFC Films, 2015), film.

[6]                Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.

[7]                Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Questioning the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.


8.           Reinterpretasi dan Studi Ulang

Seiring berjalannya waktu, Stanford Prison Experiment (SPE) tidak hanya dipelajari sebagai eksperimen ikonik, tetapi juga menjadi subjek bagi upaya reinterpretasi kritis dan studi ulang metodologis. Gelombang kritik ilmiah dan kemajuan dalam etika penelitian telah mendorong banyak akademisi untuk mengevaluasi ulang validitas, generalisasi, dan makna filosofis dari temuan SPE. Dalam perkembangan ini, eksperimen Zimbardo beralih dari sekadar “bukti eksperimen” menjadi medan perdebatan mengenai bagaimana kita memahami kekuasaan, peran sosial, dan potensi moral manusia.

8.1.       Studi Ulang oleh Haslam dan Reicher: BBC Prison Study (2001)

Salah satu replikasi paling terkenal adalah BBC Prison Study (BPS) yang dilakukan oleh Stephen Reicher dan Alex Haslam pada tahun 2001. Berbeda dari SPE, eksperimen ini dilakukan dalam pengawasan etika yang ketat dan didokumentasikan secara terbuka melalui siaran televisi. Dalam studi ini, partisipan dibagi menjadi “sipir” dan “tahanan”, tetapi tidak muncul kekejaman yang sama seperti dalam SPE. Sebaliknya, para tahanan membentuk struktur kolektif dan menantang otoritas, hingga akhirnya memunculkan bentuk pemerintahan alternatif.¹

Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku otoriter tidak otomatis muncul dari struktur peran, tetapi sangat dipengaruhi oleh identifikasi sosial, legitimasi otoritas, dan dinamika kelompok.² Haslam dan Reicher berargumen bahwa Zimbardo secara aktif membentuk dinamika eksperimen dengan memberi arahan kepada sipir agar bersikap tegas, sehingga eksperimen tidak sekadar observasional melainkan juga intervensionis.³ Studi ini menggugurkan pandangan bahwa kekuasaan selalu menghasilkan kekejaman, dan membuka ruang baru bagi teori konstruksi identitas sosial sebagai kerangka alternatif memahami perilaku kelompok.

8.2.       Temuan Arsip dan Wawancara Ulang: “The Lifespan of a Lie”

Kritik terhadap keabsahan eksperimen juga diperkuat oleh temuan jurnalis investigatif Ben Blum dalam artikelnya “The Lifespan of a Lie” (2018). Berdasarkan wawancara dengan mantan partisipan dan rekaman arsip yang tidak dipublikasikan, Blum mengungkap bahwa sejumlah sipir mengaku diminta oleh peneliti untuk bertindak keras demi mendramatisasi eksperimen.⁴ Pernyataan ini menggugurkan asumsi bahwa perilaku kejam muncul secara spontan dari kondisi eksperimental.

Selain itu, Blum juga menyoroti bahwa narasi tentang “tahanan yang mengalami gangguan psikologis” tidak selalu didasarkan pada evaluasi medis independen, melainkan lebih pada penilaian subjektif dan kebutuhan naratif dari eksperimen.⁵ Temuan ini semakin memperkuat pandangan bahwa SPE lebih menyerupai performa eksperimental yang dikendalikan, ketimbang studi ilmiah yang benar-benar netral dan bebas dari manipulasi.

8.3.       Debat Metodologis: Spontanitas atau Skenario Tertulis?

Banyak kritikus mempertanyakan apakah SPE merupakan eksperimen observasional yang sahih, ataukah rekayasa situasional yang sengaja diarahkan. Dalam salah satu wawancara, Zimbardo sendiri mengakui bahwa ia memberi tahu para sipir bahwa mereka harus “menjaga ketertiban dengan segala cara yang diperlukan, kecuali kekerasan fisik,” sebuah pernyataan yang secara implisit mengundang tindakan represif.⁶ Hal ini bertentangan dengan klaim awal bahwa para partisipan bertindak sepenuhnya atas inisiatif mereka sendiri.

Kritik ini telah mendorong perdebatan tentang perbedaan antara observasi dan provokasi dalam penelitian eksperimen sosial. Beberapa ahli menyarankan agar eksperimen seperti SPE dikaji ulang dalam kategori drama sosial terstruktur ketimbang studi eksperimental murni.⁷ Dalam hal ini, SPE tetap memiliki nilai pedagogis, tetapi bukan sebagai cermin perilaku manusia universal, melainkan sebagai simulasi terbatas yang dipengaruhi oleh desain, framing, dan otoritas penyelenggara.

8.4.       Pemikiran Kritis Kontemporer: Relevansi dan Keterbatasan

Reinterpretasi SPE tidak serta-merta menolak seluruh nilai dari eksperimen tersebut. Sebaliknya, banyak akademisi berpendapat bahwa SPE tetap relevan sebagai refleksi etis dan pedagogis, khususnya dalam menggambarkan bagaimana norma-norma institusional dapat melumpuhkan resistensi moral individu.⁸ Namun demikian, temuan dan narasi eksperimen ini tidak dapat dianggap sebagai representasi universal dari perilaku manusia dalam semua konteks kekuasaan.

Dengan munculnya pendekatan baru seperti teori identitas sosial, psikologi resistensi, dan kajian kekuasaan deliberatif, SPE ditempatkan kembali dalam peta sejarah psikologi sosial bukan sebagai eksperimen definitif, tetapi sebagai sumbu debat tentang batas eksperimen manusia dan tanggung jawab moral peneliti.⁹


Footnotes

[1]                Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny: The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1 (2006): 15–40.

[2]                Ibid., 20–22.

[3]                Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Questioning the Stanford Prison Experiment,” Psychologist 21, no. 9 (2008): 688–691.

[4]                Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62.

[5]                Ibid.

[6]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 57–60.

[7]                Gina Perry, The Lost Boys: Inside Muzafer Sherif’s Robbers Cave Experiment (New York: Scribe, 2018), 255–259.

[8]                David Myers, Social Psychology, 13th ed. (New York: McGraw-Hill, 2019), 377–379.

[9]                Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.


9.           Kesimpulan

Stanford Prison Experiment (SPE) tetap menjadi salah satu eksperimen paling kontroversial dan berpengaruh dalam sejarah psikologi sosial. Ia menjadi simbol kuat dari bagaimana kekuatan situasional dan struktur sosial yang represif mampu mengubah perilaku individu yang pada dasarnya “normal” menjadi pelaku kekejaman dan penindasan dalam waktu yang relatif singkat.¹ Dalam konteks ini, SPE telah membuka mata dunia ilmiah dan masyarakat luas terhadap bahaya laten yang tersembunyi di balik legitimasi kekuasaan, terutama ketika kontrol moral dan akuntabilitas dilepaskan dari sistem sosial.

Secara teoritis, eksperimen ini memperkuat pendekatan situasionalis yang menekankan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, peran yang dilembagakan, dan tekanan struktural, sering kali melebihi kekuatan disposisi atau karakter pribadi.² Namun demikian, temuan ini bukan tanpa kontroversi. Kritik terhadap validitas, metodologi, dan etika eksperimen mendorong reinterpretasi mendalam yang menantang narasi awal Zimbardo. Penelitian ulang, seperti BBC Prison Study, dan temuan investigatif dari Ben Blum, menunjukkan bahwa peran aktif peneliti dalam membentuk kondisi eksperimen telah mengaburkan klaim netralitas ilmiah SPE.³

Dari sisi etika, SPE menjadi momentum penting dalam perkembangan regulasi eksperimen manusia. Tragedi psikologis yang dialami para partisipan mendorong komunitas ilmiah untuk merumuskan standar etis yang lebih ketat, termasuk prinsip informed consent, hak untuk mundur kapan saja, serta keharusan lembaga pengawas etika dalam setiap eksperimen psikologi sosial.⁴ Dalam konteks ini, warisan SPE tidak hanya terletak pada temuan empirisnya, tetapi juga pada perubahan sistemik dalam etika penelitian.

Di ranah kebijakan publik, SPE telah digunakan untuk menyoroti kekerasan sistemik dalam institusi seperti penjara, militer, dan kepolisian, serta menjadi rujukan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan di Abu Ghraib.⁵ Zimbardo sendiri mengartikulasikan hal ini melalui konsep "Lucifer Effect", yang menunjukkan bahwa batas antara kebaikan dan kejahatan bersifat cair, dan bahwa sistemlah yang sering kali mendorong orang untuk menyeberangi batas tersebut.⁶

Namun demikian, konsensus akademik saat ini menekankan bahwa konteks sosial bukan satu-satunya faktor determinan, dan bahwa individu tetap memiliki kapasitas untuk resistensi moral, kendati berada dalam sistem yang menindas.⁷ Pandangan ini mengajak kita untuk menyeimbangkan pemahaman antara pengaruh sistemik dan tanggung jawab personal, serta mengakui bahwa pilihan moral tetap mungkin diambil dalam situasi ekstrem.

Dengan demikian, warisan Stanford Prison Experiment sebaiknya tidak dibaca secara tunggal sebagai bukti bahwa manusia mudah menjadi jahat, tetapi juga sebagai peringatan bahwa desain sosial yang buruk dapat menghancurkan batas moral, dan bahwa kesadaran etis serta refleksi kritis sangat diperlukan dalam setiap sistem kekuasaan. SPE adalah cermin, bukan model absolut—ia mencerminkan potensi kegelapan yang muncul bukan dari individu itu sendiri, tetapi dari struktur yang menciptakan dan memeliharanya.


Footnotes

[1]                Philip G. Zimbardo, The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (New York: Random House, 2007), 211–219.

[2]                Lee Ross dan Richard E. Nisbett, The Person and the Situation: Perspectives of Social Psychology (Philadelphia: Temple University Press, 1991), 4–9.

[3]                Ben Blum, “The Lifespan of a Lie,” Medium, June 2018, https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62; Alex Haslam dan Stephen Reicher, “Rethinking the Psychology of Tyranny: The BBC Prison Study,” British Journal of Social Psychology 45, no. 1 (2006): 15–40.

[4]                Susan E. Lederer, “Research Without Limits: Human Experimentation in the Twentieth Century,” dalam The Oxford Handbook of the History of Medicine, ed. Mark Jackson (Oxford: Oxford University Press, 2011), 451–453.

[5]                Zimbardo, The Lucifer Effect, 403–430.

[6]                Ibid., 445–450.

[7]                Stephen Gibson, “Discourse, Defensiveness and Disobedience to Authority: The Milgram and Zimbardo Legacies Reconsidered,” British Journal of Social Psychology 58, no. 1 (2019): 1–20.


Daftar Pustaka

Baumrind, D. (1972). Some thoughts on ethics of research: After reading Milgram’s “Behavioral study of obedience” and Zimbardo’s “Stanford prison experiment.” American Psychologist, 27(10), 997–1006. https://doi.org/10.1037/h0033777

Blum, B. (2018, June). The lifespan of a lie. Medium. https://medium.com/s/trustissues/the-lifespan-of-a-lie-d869212b1f62

Gibson, S. (2019). Discourse, defensiveness and disobedience to authority: The Milgram and Zimbardo legacies reconsidered. British Journal of Social Psychology, 58(1), 1–20. https://doi.org/10.1111/bjso.12236

Haney, C., Banks, C., & Zimbardo, P. (1973). Interpersonal dynamics in a simulated prison. International Journal of Criminology and Penology, 1(1), 69–97.

Haney, C., & Zimbardo, P. (1998). The past and future of U.S. prison policy: Twenty-five years after the Stanford prison experiment. American Psychologist, 53(7), 709–727. https://doi.org/10.1037/0003-066X.53.7.709

Haslam, S. A., & Reicher, S. D. (2006). Rethinking the psychology of tyranny: The BBC prison study. British Journal of Social Psychology, 45(1), 15–40. https://doi.org/10.1348/014466605X48998

Haslam, S. A., & Reicher, S. D. (2008). Questioning the Stanford prison experiment. The Psychologist, 21(9), 688–691.

Kohn, A. (2019). Resisting what “everybody knows”: Challenging the Stanford prison experiment. Phi Delta Kappan, 100(7), 46–51. https://doi.org/10.1177/0031721719841345

Lederer, S. E. (2011). Research without limits: Human experimentation in the twentieth century. In M. Jackson (Ed.), The Oxford handbook of the history of medicine (pp. 441–459). Oxford University Press.

Milgram, S. (1974). Obedience to authority: An experimental view. Harper & Row.

Myers, D. G. (2019). Social psychology (13th ed.). McGraw-Hill Education.

Perry, G. (2018). The lost boys: Inside Muzafer Sherif’s Robbers Cave experiment. Scribe.

Reicher, S. D., & Haslam, S. A. (2006). The psychology of tyranny. Scientific American Mind, 17(3), 22–29.

Ross, L., & Nisbett, R. E. (1991). The person and the situation: Perspectives of social psychology. Temple University Press.

Sabini, J., Silver, M., & Bonanno, P. (1981). Situational and dispositional determinants of behavior: Experimental simulations in the classroom. Teaching of Psychology, 8(4), 195–198. https://doi.org/10.1207/s15328023top0804_8

The Stanford Prison Experiment [Film]. (2015). In K. P. Alvarez (Director), The Stanford prison experiment. IFC Films.

Zimbardo, P. G. (2007). The Lucifer effect: Understanding how good people turn evil. Random House.