Masalah Rujukan (Reference)
Dari Deskripsi hingga Teori Penyebab Kausal dan
Perspektif Humanistik
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif masalah
rujukan (reference) sebagai salah satu isu sentral dalam filsafat bahasa, dengan
menelusuri aspek historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosialnya.
Melalui kajian sistematis terhadap teori-teori utama—mulai dari teori
deskriptif Frege dan Russell, teori non-deskriptif Strawson, teori kausal
Kripke dan Putnam, hingga teori kontekstual dan pragmatik modern—tulisan ini
menunjukkan bahwa rujukan bukan hanya hubungan logis antara kata dan dunia,
tetapi juga fenomena eksistensial dan sosial yang mencerminkan cara manusia
memahami serta menamai realitas.
Pembahasan aksiologis menyoroti nilai epistemik,
etis, dan sosial dari rujukan, terutama perannya dalam membangun pengetahuan
dan tanggung jawab moral terhadap kebenaran representasi. Dimensi sosial,
politik, dan kultural mengungkap bagaimana bahasa berfungsi sebagai medan kekuasaan
dan pembentukan identitas, sementara kritik terhadap teori-teori klasik
menegaskan perlunya pendekatan yang lebih integratif dan humanistik.
Dalam konteks kontemporer, artikel ini menyoroti
krisis rujukan di era digital—terutama akibat kemunculan simulacra,
kecerdasan buatan, dan algoritma media sosial yang mengubah cara manusia
berhubungan dengan makna. Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan konsepsi
humanistik tentang rujukan, yang memahami bahasa sebagai medium
eksistensial, dialogis, dan etis tempat manusia membangun relasi dengan dunia
dan sesamanya. Rujukan yang humanistik tidak hanya mencari kebenaran, tetapi
juga memperjuangkan keterbukaan, keadilan makna, dan tanggung jawab dalam
komunikasi global.
Kata Kunci: Rujukan,
Filsafat Bahasa, Makna, Kebenaran, Konteks, Humanisme, Etika Komunikasi,
Realitas, Digitalitas, Intersubjektivitas.
PEMBAHASAN
Masalah Rujukan (Reference) dalam Filsafat Bahasa
1.
Pendahuluan
Masalah rujukan (reference) merupakan salah
satu isu paling fundamental dan persisten dalam filsafat bahasa, yang
menyinggung hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Setiap kali
seseorang menggunakan kata, nama, atau kalimat, muncul pertanyaan mendasar:
bagaimana tanda linguistik tersebut “mengarah” kepada sesuatu di dunia?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin suatu kata menunjuk kepada objek,
peristiwa, atau konsep tertentu dan bukan kepada yang lain? Persoalan ini tidak
hanya menyentuh dimensi semantik bahasa, tetapi juga menggugat dasar epistemologis
dan ontologis dari hubungan antara manusia dan dunia yang diungkapkan melalui
bahasa. Sejak awal abad ke-20, perdebatan mengenai rujukan menjadi titik temu
antara logika, linguistik, dan metafisika, serta menjadi medan kontestasi
antara berbagai mazhab dalam filsafat analitik maupun hermeneutik.¹
Dalam filsafat klasik, persoalan rujukan telah
muncul dalam bentuk yang sederhana, terutama ketika Plato mengajukan pertanyaan
tentang bagaimana nama-nama berkaitan dengan ide atau bentuk yang ideal dalam Cratylus.²
Sementara Aristoteles menegaskan bahwa bahasa memiliki fungsi representasional
terhadap kenyataan, tetapi representasi itu selalu dimediasi oleh kategori dan
bentuk pikiran manusia.³ Gagasan tentang hubungan antara bahasa dan dunia ini
kemudian dikembangkan secara radikal pada masa modern oleh para filsuf analitik
seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein. Mereka
berupaya menjelaskan struktur logis bahasa serta hubungan antara makna (sense)
dan rujukan (reference) dengan tingkat presisi yang lebih tinggi. Frege,
misalnya, membedakan antara Sinn (makna) dan Bedeutung (rujukan)
sebagai dua aspek berbeda dari tanda linguistik: yang pertama menunjuk pada
cara penyajian (mode of presentation), sedangkan yang kedua menunjuk
pada objek aktual di dunia.⁴
Permasalahan ini semakin kompleks ketika kita
berhadapan dengan fenomena bahasa sehari-hari. Bagaimana kita menjelaskan
kalimat seperti “Pegasus adalah seekor kuda bersayap”? Kalimat ini
tampak bermakna, tetapi objek yang dirujuk (Pegasus) tidak benar-benar ada.⁵
Begitu pula ketika dua nama berbeda menunjuk pada entitas yang sama—seperti “Bintang
Fajar” dan “Bintang Senja”, yang keduanya merujuk pada planet
Venus—kita berhadapan dengan masalah identitas rujukan yang tidak sejalan
dengan perbedaan makna linguistik.⁶ Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa
rujukan bukan sekadar persoalan relasi langsung antara kata dan objek, tetapi
juga melibatkan dimensi konseptual, historis, dan sosial dari penggunaan
bahasa.
Dengan demikian, masalah rujukan memiliki implikasi
yang sangat luas bagi keseluruhan filsafat bahasa. Ia menjadi dasar bagi teori
makna, teori kebenaran, dan teori komunikasi. Jika bahasa tidak mampu secara
stabil merujuk pada realitas, maka semua bentuk proposisi, pengetahuan, dan
komunikasi manusia akan kehilangan fondasinya.⁷ Oleh karena itu, penyelidikan
terhadap rujukan bukan hanya usaha linguistik atau logis, tetapi juga refleksi
filosofis atas bagaimana manusia memahami dan menamai dunia. Melalui bahasa,
manusia tidak hanya menunjuk pada sesuatu yang eksternal, tetapi juga
mengonstruksi realitas simbolik yang menjadi bagian dari pengalaman sosialnya.
Dalam konteks kontemporer, terutama di era digital
dan komunikasi global, masalah rujukan menjadi semakin rumit. Istilah-istilah
seperti hashtag, avatar, metadata, dan hyperlink
memperluas konsep rujukan ke dalam ruang maya, di mana tanda-tanda tidak lagi
merujuk langsung kepada objek fisik, melainkan kepada representasi digital atau
jaringan makna yang saling terhubung.⁸ Dalam kondisi ini, pertanyaan klasik
tentang rujukan memperoleh relevansi baru: apakah rujukan digital masih mengacu
pada realitas objektif, ataukah ia sekadar menciptakan lapisan representasi
yang otonom?
Kajian ini bertujuan untuk menelusuri akar
historis, landasan konseptual, serta perkembangan teori-teori utama tentang
rujukan dalam filsafat bahasa, mulai dari teori deskriptif hingga teori kausal
dan konteks pragmatik modern. Selain itu, pembahasan ini akan memperluas
cakupan analisisnya dengan meninjau dimensi aksiologis, sosial, dan kultural
dari rujukan, serta menawarkan sintesis humanistik yang menempatkan rujukan
bukan hanya sebagai persoalan logika, tetapi juga sebagai ekspresi dari
hubungan manusia yang sadar akan dunia dan sesamanya. Dengan cara ini, masalah
rujukan akan dilihat sebagai jantung dari refleksi filosofis tentang makna,
kebenaran, dan komunikasi manusia.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and
Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT
Press, 1999), 12–15.
[2]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.
[3]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M.
Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.
[4]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[5]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[6]
Ibid., 480.
[7]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 1 (1967): 304–323.
[8]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–103.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Masalah
Rujukan
Masalah rujukan
dalam filsafat bahasa memiliki akar historis yang panjang, berawal dari
refleksi metafisik dan logis pada masa Yunani Kuno hingga mencapai bentuk
konseptual yang sistematis dalam filsafat analitik abad ke-20. Perkembangan
historis ini menunjukkan bahwa persoalan bagaimana bahasa “menunjuk” pada
sesuatu di dunia bukanlah persoalan linguistik semata, melainkan juga persoalan
ontologis dan epistemologis yang berkaitan dengan struktur realitas dan cara
manusia mengetahui serta mengartikulasikannya melalui simbol.¹ Dengan
menelusuri genealoginya, dapat dipahami bagaimana perubahan paradigma tentang
bahasa mencerminkan perubahan pandangan tentang hubungan antara pikiran, dunia,
dan pengetahuan.
2.1. Masa Yunani Kuno: Dari Nominalisme ke Realisme
Bahasa
Dalam tradisi Yunani
Kuno, perdebatan mengenai rujukan pertama kali muncul dalam dialog Cratylus
karya Plato. Di dalamnya, Socrates mempertanyakan apakah nama-nama memiliki
hubungan “alami” dengan benda yang dinamai ataukah hubungan tersebut
hanya hasil konvensi sosial.² Cratylus dan Hermogenes
mewakili dua posisi ekstrem: yang pertama menganggap nama memiliki keterkaitan
alamiah (physis),
sedangkan yang kedua berpendapat bahwa penamaan sepenuhnya bersifat
konvensional (nomos). Plato sendiri mengambil
posisi yang lebih moderat: nama berfungsi untuk “menyampaikan esensi”
(ousia)
benda, tetapi hubungan itu dimediasi oleh ide-ide universal.³ Dengan demikian,
rujukan tidak pernah langsung kepada objek fisik, melainkan melalui dunia ide.
Aristoteles
melanjutkan perdebatan ini dengan pendekatan yang lebih empiris dan logis.
Dalam De
Interpretatione, ia menegaskan bahwa kata-kata adalah simbol dari
konsep dalam jiwa, sedangkan konsep-konsep tersebut merupakan gambar (likenesses)
dari hal-hal di dunia nyata.⁴ Dengan kata lain, hubungan rujukan bersifat
triadik: antara dunia eksternal, pikiran, dan bahasa. Pandangan ini menjadi
dasar bagi teori representasi linguistik yang berpengaruh dalam filsafat
skolastik abad pertengahan.
2.2. Masa Pertengahan: Tradisi Skolastik dan Realisme
Konseptual
Filsafat abad
pertengahan mengembangkan persoalan rujukan dalam konteks perdebatan antara
kaum realis, nominalis, dan konseptualis. Thomas Aquinas, misalnya,
mempertahankan pandangan bahwa bahasa merepresentasikan realitas karena
konsep-konsep manusia mencerminkan bentuk-bentuk universal yang memang ada
dalam realitas ciptaan.⁵ Sementara itu, William of Ockham, melalui prinsip razor-nya
yang terkenal, menolak entitas universal di luar pikiran dan menegaskan bahwa
istilah umum hanya berfungsi sebagai tanda linguistik yang mengacu pada
individu.⁶ Pandangan nominalistik ini mempersempit hubungan rujukan menjadi
relasi antara istilah dan individu partikular, tanpa memerlukan entitas
metafisis universal. Debat antara kaum realis dan nominalis inilah yang
kemudian menjadi fondasi bagi analisis semantik modern.
2.3. Masa Modern: Dari Rasionalisme ke Empirisisme
Linguistik
Memasuki era modern,
perhatian terhadap bahasa sebagai medium pengetahuan semakin meningkat. John
Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding
menegaskan bahwa kata-kata adalah tanda-tanda dari ide-ide dalam pikiran, bukan
dari benda-benda itu sendiri.⁷ Ia menolak pandangan bahwa ada hubungan langsung
antara bahasa dan dunia, sebab rujukan bahasa tergantung pada representasi
mental individu. Pemikiran ini menandai pergeseran dari ontologi realis menuju
psikologisme linguistik, di mana rujukan menjadi masalah epistemologis:
bagaimana ide-ide kita merepresentasikan dunia.
Pada abad ke-19,
perhatian terhadap logika formal membuka jalan bagi analisis baru tentang
rujukan. Gottlob Frege adalah tokoh kunci yang menolak reduksi psikologistik
dan memperkenalkan distingsi antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan).⁸ Menurut Frege, makna sebuah ekspresi adalah cara penyajiannya (mode of
presentation) terhadap suatu objek, sedangkan rujukan adalah objek
yang dimaksud oleh ekspresi tersebut. Dengan demikian, dua ungkapan yang
memiliki makna berbeda dapat merujuk pada objek yang sama (misalnya “Bintang
Fajar” dan “Bintang Senja” yang keduanya menunjuk pada Venus).⁹
Frege menegaskan bahwa rujukan bersifat objektif dan independen dari kondisi
psikologis pengguna bahasa.
2.4. Abad ke-20: Pergeseran Paradigma dalam Filsafat
Analitik
Masalah rujukan
mencapai tahap baru dalam karya Bertrand Russell dan para filsuf analitik awal
abad ke-20. Dalam esainya yang berpengaruh On Denoting (1905), Russell
memperkenalkan teori deskripsi definitif untuk menjelaskan bagaimana kalimat
yang tampaknya merujuk pada entitas non-eksisten (“Raja Prancis saat ini
botak”) tetap dapat memiliki makna logis tanpa mengandaikan keberadaan
objek tersebut.¹⁰ Dengan memformalkan bahasa alami ke dalam bentuk logika,
Russell berupaya menghindari paradoks semantik dan menjelaskan rujukan melalui
struktur proposisional.
Namun, teori Russell
menghadapi kritik dari P. F. Strawson yang berpendapat bahwa rujukan bukanlah
fungsi logis, melainkan tindakan linguistik yang bergantung pada konteks dan
niat pembicara.¹¹ Kritik ini membuka jalan bagi perkembangan teori pragmatik
dan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy), yang
kemudian dikembangkan oleh J. L. Austin dan Ludwig Wittgenstein periode akhir.
Dalam Philosophical
Investigations, Wittgenstein menolak pandangan representasional
tentang bahasa dan menggantinya dengan konsep “permainan bahasa” (language
games), di mana makna dan rujukan ditentukan oleh aturan penggunaan
sosial, bukan oleh korespondensi metafisis dengan dunia.¹²
Akhirnya, Saul
Kripke dan Hilary Putnam pada paruh kedua abad ke-20 memperkenalkan teori
kausal rujukan, yang menolak teori deskriptif Frege-Russell dan
menekankan bahwa hubungan antara nama dan objek bersifat historis dan kausal.¹³
Sebuah nama merujuk kepada objek tertentu karena adanya rantai komunikasi yang
menghubungkan penggunaan awal nama itu dengan penggunaan berikutnya di
masyarakat. Dengan demikian, rujukan tidak ditentukan oleh deskripsi mental,
melainkan oleh sejarah sosial bahasa itu sendiri.
Signifikansi Historis
Dari pergeseran
historis ini dapat disimpulkan bahwa masalah rujukan mencerminkan dinamika
antara tiga kutub: dunia (objek), pikiran (subjek), dan bahasa (tanda).
Pergeseran dari pandangan idealis menuju pandangan naturalis, dari deskriptif
menuju kausal, menunjukkan upaya filsafat untuk menemukan keseimbangan antara
dimensi logis dan sosial bahasa. Dengan menelusuri akar-akar ini, kita dapat
memahami bahwa persoalan rujukan bukan hanya masalah semantik, melainkan juga
cermin dari evolusi pemikiran manusia tentang relasi antara pengetahuan dan
kenyataan.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 21–25.
[2]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 383a–390e.
[3]
Ibid., 390c–394e.
[4]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 16a3–19b.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I.13.1.
[6]
William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The
Franciscan Institute, 1974), I.14.
[7]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), III.2.2.
[8]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[9]
Ibid., 27–30.
[10]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[11]
P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§65.
[13]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980);
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
215–271.
3.
Ontologi: Hakikat Rujukan dan Hubungan
Bahasa–Realitas
Masalah rujukan
dalam filsafat bahasa tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan ontologis tentang
hakikat relasi antara bahasa dan realitas. Pertanyaan mendasar yang muncul
adalah: apakah hubungan antara kata dan dunia bersifat langsung, konvensional,
mental, atau kausal? Ontologi rujukan menyingkap cara manusia menghubungkan
simbol linguistik dengan eksistensi di luar bahasa, sekaligus menyoal status
keberadaan dari objek-objek yang dirujuk, baik yang nyata maupun yang fiktif.¹
Dengan demikian, membahas rujukan secara ontologis berarti menelusuri bagaimana
bahasa menegakkan jembatan antara tanda dan dunia, serta bagaimana realitas
memperoleh “kehadiran” melalui simbol.
3.1. Relasi Ontologis antara Bahasa, Pikiran, dan Dunia
Dalam sejarah
filsafat, hubungan antara bahasa dan realitas sering digambarkan sebagai
segitiga relasional antara sign, thought, dan thing.²
Model klasik ini terlihat jelas dalam teori representasi Aristoteles: kata-kata
mewakili konsep dalam pikiran, dan konsep tersebut merepresentasikan benda di
dunia.³ Relasi ini kemudian dipertegas oleh para skolastik seperti Thomas
Aquinas, yang memandang bahasa sebagai instrumen yang merefleksikan tatanan
ontologis ciptaan Tuhan.⁴ Namun, dengan munculnya pandangan nominalistik
seperti William of Ockham, hubungan tersebut dipandang bukan sebagai refleksi
realitas objektif, melainkan sebagai hasil dari sistem tanda yang konvensional
dan arbitrer.⁵
Dalam pandangan
modern, hubungan bahasa–realitas tidak lagi dipahami sebagai korespondensi
sederhana, melainkan sebagai konstruksi simbolik. Ferdinand de Saussure
menggeser fokus dari hubungan eksternal antara kata dan objek menjadi hubungan
internal dalam sistem tanda.⁶ Menurut Saussure, makna (dan dengan demikian juga
rujukan) muncul dari diferensiasi dalam sistem bahasa itu sendiri—kata tidak
menunjuk pada benda secara langsung, tetapi memperoleh makna dari perbedaan
dengan kata lain. Dengan demikian, realitas linguistik menjadi mandiri dari
realitas eksternal, dan rujukan dianggap sebagai efek struktur, bukan sebagai
hubungan ontologis langsung.
3.2. Rujukan sebagai Relasi Eksistensial dan Logis
Dalam tradisi
filsafat analitik, terutama melalui karya Gottlob Frege, persoalan ontologi
rujukan mengalami formalisasi yang ketat. Frege membedakan antara Sinn
(makna) dan Bedeutung (rujukan) untuk
menghindari reduksi psikologis terhadap arti.⁷ Menurutnya, rujukan adalah
entitas objektif yang ditunjuk oleh ekspresi linguistik—misalnya, nama “Venus”
merujuk pada planet yang ada secara aktual, sementara Sinn-nya
adalah cara penyajian planet itu (sebagai “Bintang Fajar” atau “Bintang
Senja”).⁸ Dengan demikian, rujukan memiliki status ontologis yang
independen dari pikiran individu, karena ia berakar pada dunia objektif yang
dapat diidentifikasi secara logis.
Sebaliknya, Bertrand
Russell menolak gagasan bahwa setiap ekspresi linguistik harus memiliki rujukan
aktual. Dalam On Denoting (1905), ia menunjukkan
bahwa kalimat seperti “Raja Prancis saat ini botak” tidak memiliki
rujukan karena entitas yang disebut tidak eksis.⁹ Namun, menurut Russell,
proposisi semacam itu tetap bermakna karena dapat dianalisis secara logis
menjadi klaim tentang eksistensi dan predikasi.¹⁰ Pandangan ini
mengimplikasikan bahwa rujukan tidak selalu mengandaikan keberadaan ontologis,
tetapi bergantung pada struktur proposisional dan logika eksistensial yang
menyertainya.
Pertanyaan tentang non-existent
entities (entitas yang tidak ada) kemudian diangkat kembali oleh
Alexius Meinong, yang berpendapat bahwa setiap objek yang dapat dipikirkan
memiliki “menjadi-secara-objektif” (Gegenstandsein) meskipun tidak
eksis secara empiris.¹¹ Pandangan Meinong ini menantang realisme semantik
Frege–Russell dan membuka jalan bagi perdebatan ontologis tentang status fiksi,
mitos, dan entitas abstrak dalam bahasa.
3.3. Ontologi Nama Diri dan Istilah Umum
Dalam dimensi
ontologis, persoalan rujukan sering dikaitkan dengan dua jenis ekspresi
linguistik: proper names (nama diri) dan general
terms (istilah umum). Nama diri tampak merujuk langsung kepada
individu tertentu, sedangkan istilah umum merujuk kepada kelas atau kategori.¹²
Frege dan Russell menganggap nama diri memiliki fungsi deskriptif, yakni nama
dapat dipahami sebagai singkatan dari deskripsi yang mengidentifikasi individu
tersebut. Namun, teori ini dikritik oleh Saul Kripke dalam Naming
and Necessity (1980), yang berargumen bahwa nama diri bersifat
rigid designator—yakni menunjuk kepada individu yang sama di setiap dunia yang
mungkin (possible
worlds), terlepas dari deskripsi yang melekat padanya.¹³ Dengan
demikian, hubungan ontologis antara nama dan objek bersifat kausal dan
historis, bukan konseptual atau deskriptif.
Hilary Putnam
memperluas gagasan ini dalam teori eksternalisme semantik. Ia menekankan bahwa
rujukan istilah umum (seperti “air” atau “emas”) tidak ditentukan
hanya oleh keadaan mental pembicara, melainkan oleh kondisi eksternal dan
komunitas linguistik yang lebih luas.¹⁴ Rujukan, dalam pandangan ini, bersifat
sosial dan material: ia tergantung pada interaksi manusia dengan dunia empiris
dan struktur ilmiah yang mendefinisikan objek-objek tersebut. Ontologi rujukan,
dengan demikian, menjadi relasi intersubjektif yang terbentuk dalam jaringan
sosial-epistemik manusia.
3.4. Bahasa, Realitas, dan Keberadaan Fiktif
Salah satu tantangan
ontologis terbesar dalam teori rujukan adalah menjelaskan status keberadaan
dari entitas yang tidak nyata—seperti tokoh fiksi, konsep metaforis, atau
makhluk mitologis. Ketika seseorang mengatakan “Sherlock Holmes tinggal di
Baker Street,” secara linguistik pernyataan itu tampak merujuk, tetapi
secara ontologis objeknya tidak ada.¹⁵ Frege dan Russell berusaha menghindari
komitmen terhadap keberadaan semacam itu dengan menolak bahwa kalimat semacam
ini benar-benar merujuk. Namun, pandangan fenomenologis dan hermeneutik menilai
bahwa rujukan fiktif tetap memiliki realitas makna: entitas tersebut “ada”
dalam horizon kesadaran dan dunia teks.¹⁶ Dalam pengertian ini, rujukan bukan
sekadar hubungan antara kata dan benda, tetapi antara makna dan pengalaman.
3.5. Ontologi Rujukan dalam Perspektif Kontemporer
Dalam ontologi
kontemporer, terutama yang dipengaruhi oleh pragmatisme dan filsafat
fenomenologi, rujukan tidak lagi dianggap sebagai relasi representasional yang
statis, melainkan sebagai peristiwa kebermaknaan yang terjadi dalam interaksi.
Heidegger, misalnya, dalam Being and Time menolak pandangan
representasional tentang bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah “rumah
ada” (das Haus
des Seins).¹⁷ Artinya, rujukan tidak berdiri di luar eksistensi,
melainkan merupakan cara ada itu sendiri menyingkapkan
dirinya melalui bahasa.
Dengan demikian,
hakikat ontologis rujukan bukan hanya persoalan tentang “apa” yang
dirujuk, tetapi juga tentang “bagaimana” keberadaan menjadi dapat
dikatakan. Bahasa tidak semata mencerminkan dunia, melainkan turut membentuk
horizon pemahaman manusia atas realitas. Perspektif ini mengarahkan kita menuju
konsepsi humanistik tentang rujukan, di mana bahasa menjadi medium eksistensial
yang memungkinkan manusia hadir dan berelasi dengan dunia serta sesamanya.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 41–45.
[2]
Ogden, Charles K., and I. A. Richards, The Meaning of Meaning
(New York: Harcourt, Brace & World, 1923), 11–15.
[3]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University
Press, 1984), 16a3–19b.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I.13.1.
[5]
William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The
Franciscan Institute, 1974), I.14.
[6]
Ferdinand de Saussure, Course
in General Linguistics, trans. Wade
Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 67–71.
[7]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[8]
Ibid., 27–30.
[9]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[10]
Ibid., 481–484.
[11]
Alexius Meinong, Über Gegenstandstheorie (Leipzig: Barth, 1904), 8–12.
[12]
Peter Strawson, Individuals: An Essay
in Descriptive Metaphysics (London:
Methuen, 1959), 178–184.
[13]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980),
48–53.
[14]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
215–271.
[15]
John Searle, “The Logical Status of Fictional Discourse,” New Literary History
6, no. 2 (1975): 319–332.
[16]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David
Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 74–78.
[17]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 210–212.
4.
Epistemologi: Bagaimana Kita Mengetahui Objek
Rujukan?
Pertanyaan
epistemologis dalam masalah rujukan berfokus pada bagaimana manusia mengetahui
objek yang dirujuk oleh bahasa, dan melalui mekanisme apa hubungan antara
pikiran, tanda, dan dunia terbentuk. Bila bagian ontologis menelaah “apa”
yang dirujuk dan “bagaimana” keberadaannya, maka bagian epistemologis
menelusuri “bagaimana kita tahu” bahwa kata atau nama tertentu
benar-benar menunjuk kepada sesuatu.¹ Persoalan ini menjadi jantung dari
filsafat bahasa karena menyangkut keabsahan pengetahuan linguistik dan
komunikasi manusia secara umum.
Epistemologi rujukan
menuntut pemahaman tentang bagaimana subjek mengenal dan menetapkan relasi
antara simbol linguistik dan entitas dunia eksternal. Dalam konteks ini,
perdebatan melibatkan aspek mental, kontekstual, serta sosial dari proses
penentuan makna dan rujukan.
4.1. Rujukan dan Pengetahuan Linguistik
Dalam tradisi
empiris modern, John Locke menegaskan bahwa pengetahuan linguistik bersumber
dari pengalaman dan ide-ide dalam pikiran.² Bahasa berfungsi sebagai tanda (signs)
bagi ide-ide yang telah terbentuk melalui pengalaman inderawi, dan karena itu
rujukan terhadap dunia luar bergantung pada kesesuaian antara ide dan objek.
Namun, pandangan ini menghadapi kritik karena mengasumsikan bahwa setiap
individu memiliki akses yang sama terhadap representasi mental yang bersifat
subjektif.
Immanuel Kant
kemudian menegaskan bahwa pengetahuan tidak sekadar hasil dari pengalaman
inderawi, melainkan juga ditentukan oleh kategori apriori dalam rasio manusia.³
Dengan demikian, rujukan tidak terjadi secara pasif melalui persepsi, tetapi
merupakan hasil sintesis aktif antara struktur pikiran dan data empiris. Dalam
kerangka ini, bahasa menjadi medium yang memediasi struktur konseptual manusia
terhadap realitas fenomenal.
Bagi para filsuf
analitik, pengetahuan linguistik tentang rujukan dapat dijelaskan melalui
hubungan antara makna dan penggunaan. Ludwig Wittgenstein, dalam Philosophical
Investigations, menolak pandangan bahwa makna adalah hasil dari
asosiasi mental antara kata dan objek; ia menegaskan bahwa “makna adalah
penggunaan dalam bahasa” (meaning is use).⁴ Artinya, kita
mengetahui objek rujukan bukan melalui representasi mental privat, tetapi
melalui praktik sosial di mana kata digunakan dalam konteks tertentu. Dengan
demikian, epistemologi rujukan bersifat intersubjektif: pengetahuan tentang apa
yang dirujuk diperoleh dalam konteks komunikasi sosial, bukan dalam kesadaran
individual yang terisolasi.
4.2. Peran Konteks dan Niat dalam Penentuan Rujukan
Salah satu kemajuan
penting dalam pemahaman epistemologis rujukan berasal dari teori tindak tutur (speech
act theory) dan pragmatik. J. L. Austin dan H. P. Grice menegaskan
bahwa makna dan rujukan suatu ujaran tidak dapat dipahami tanpa memperhitungkan
niat pembicara dan konteks situasional.⁵ Dalam kerangka ini, rujukan bukan
semata relasi statis antara kata dan objek, tetapi tindakan linguistik yang
bergantung pada tujuan komunikatif.
P. F. Strawson
memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa “merujuk” adalah
aktivitas manusia yang memerlukan niat (intention) untuk menunjuk sesuatu,
dan keberhasilan rujukan tergantung pada keberhasilan audiens memahami niat
itu.⁶ Dengan demikian, pengetahuan tentang objek rujukan bukanlah hasil
inferensi logis belaka, tetapi hasil partisipasi dalam praktik komunikasi di
mana pembicara dan pendengar berbagi pemahaman tentang konteks dan tujuan
ujaran.
Dalam teori
pragmatik modern, Herbert Paul Grice mengembangkan konsep “makna pembicara”
(speaker’s
meaning) yang menekankan bahwa pemahaman terhadap rujukan
tergantung pada inferensi bersama antara pembicara dan pendengar.⁷ Artinya,
untuk mengetahui objek rujukan, pendengar harus mampu mengenali niat
komunikatif pembicara, dan ini hanya mungkin jika keduanya berbagi sistem norma
dan konvensi linguistik yang sama.
4.3. Proses Kognitif dan Persepsi dalam Pengetahuan
Rujukan
Dari perspektif
kognitif, mengetahui objek rujukan memerlukan proses mental yang menghubungkan
persepsi dengan simbol linguistik. John Searle, dalam Intentionality
(1983), menyebut bahwa setiap tindakan linguistik memiliki struktur
intensional, yaitu diarahkan kepada sesuatu di dunia.⁸ Proses ini melibatkan
kesadaran yang menujukan perhatian kepada objek melalui tanda, sehingga rujukan
dapat dipahami sebagai bentuk “arah kesadaran” (directedness
of consciousness).
Dalam konteks ini,
kesalahan rujukan—seperti ketika seseorang salah mengenali atau salah
menafsirkan objek—menunjukkan bahwa pengetahuan tentang rujukan selalu bersifat
fallibilis dan kontekstual. Kita mengetahui objek rujukan bukan melalui
hubungan langsung antara kata dan benda, tetapi melalui proses inferensial yang
melibatkan persepsi, memori, dan interpretasi. Hal ini menegaskan bahwa
epistemologi rujukan bersifat empiris sekaligus interpretatif.
4.4. Ambiguitas dan Ketidakpastian dalam Pengetahuan
Rujukan
Epistemologi rujukan
juga dihadapkan pada masalah ambiguitas linguistik. Satu kata atau frasa dapat
memiliki lebih dari satu rujukan tergantung pada konteks penggunaannya.
Misalnya, kata “bank” dapat merujuk pada lembaga keuangan atau tepian
sungai. Ketika kita memahami ujaran seperti “Saya duduk di bank,” kita
menafsirkan rujukannya berdasarkan konteks pragmatik, bukan hanya makna
leksikal.⁹
Hal ini
memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang rujukan tidak bersifat deterministik,
melainkan probabilistik dan kontekstual. Keterlibatan interpretasi menunjukkan
bahwa rujukan adalah hasil interaksi antara sistem linguistik, lingkungan
kognitif, dan dinamika sosial. Dalam hal ini, filsafat pragmatik kontemporer
melihat rujukan sebagai bentuk pengetahuan situasional yang terus dinegosiasikan
di antara para pengguna bahasa.¹⁰
Ambiguitas juga
mencerminkan keterbatasan epistemik manusia: kita tidak selalu memiliki akses
penuh terhadap realitas yang dimaksud. Seperti yang ditegaskan oleh Donald
Davidson, pemahaman makna dan rujukan bergantung pada prinsip kebenaran dan
koherensi dalam komunikasi; dengan kata lain, kita mengetahui apa yang dirujuk
melalui kemampuan kita menafsirkan ujaran sebagai bagian dari sistem keyakinan
yang rasional.¹¹
4.5. Epistemologi Rujukan sebagai Pengetahuan Intersubjektif
Pada tingkat yang
lebih luas, pengetahuan tentang objek rujukan tidak mungkin dipisahkan dari
dimensi sosial bahasa. Michael Dummett menyatakan bahwa makna dan rujukan hanya
dapat dipahami dalam kerangka praktik linguistik publik.¹² Dengan demikian,
mengetahui objek rujukan berarti berbagi kemampuan untuk menggunakan tanda
dalam sistem sosial yang sama.
Hilary Putnam
menambahkan bahwa proses mengetahui rujukan tidak terletak sepenuhnya dalam
pikiran individu, tetapi juga dalam komunitas linguistik dan lingkungan
eksternal yang membentuk acuan istilah tersebut—sebuah posisi yang dikenal
sebagai semantic
externalism.¹³ Oleh karena itu, epistemologi rujukan bersifat
ganda: ia berakar pada struktur kognitif individu, tetapi diwujudkan dan
divalidasi dalam jaringan sosial yang lebih luas.
Dengan demikian,
mengetahui objek rujukan bukanlah sekadar persoalan persepsi atau penalaran
logis, melainkan proses hermeneutik yang berlangsung dalam ruang komunikasi
manusia. Melalui interaksi simbolik, manusia membangun pengetahuan bersama
tentang dunia, sekaligus menegaskan peran bahasa sebagai sarana utama untuk
mengungkap, menafsirkan, dan memahami realitas.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 63–67.
[2]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), III.2.2–5.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998), A50–B75.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[5]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1962), 94–108.
[6]
P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.
[7]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic
Press, 1975), 41–58.
[8]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 8–12.
[9]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
116–120.
[10]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 75–79.
[11]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–328.
[12]
Michael Dummett, The Seas of Language (Oxford: Oxford University Press, 1993), 22–25.
[13]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
215–271.
5.
Teori-Teori Utama tentang Rujukan
Masalah rujukan telah
melahirkan sejumlah teori besar dalam filsafat bahasa yang berupaya menjelaskan
bagaimana kata, nama, atau ekspresi linguistik menunjuk kepada sesuatu di
dunia. Seiring perkembangan filsafat analitik dan semantik modern, teori-teori
ini tidak hanya berfungsi untuk memahami struktur bahasa, tetapi juga untuk
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, mengenali, dan berkomunikasi tentang
realitas. Secara historis, empat pendekatan utama menonjol dalam diskursus ini:
teori deskriptif, teori
non-deskriptif atau teori penggunaan, teori
kausal, dan teori kontekstual-pragmatik.¹
5.1. Teori Deskriptif (Frege–Russell): Rujukan sebagai
Kandungan Makna
Teori deskriptif merupakan
pendekatan klasik yang lahir dari tradisi semantik logis, terutama dalam karya
Gottlob Frege dan Bertrand Russell. Frege membedakan antara Sinn
(makna) dan Bedeutung (rujukan), dengan
menyatakan bahwa ekspresi linguistik memiliki dua aspek: cara penyajian (mode
of presentation) dan objek yang ditunjuk.² Menurut Frege, makna
dari suatu nama adalah deskripsi yang memungkinkan kita mengidentifikasi objek
yang dirujuk. Misalnya, nama “Venus” dapat diartikan melalui deskripsi
seperti “planet yang paling terang pada waktu fajar dan senja.”³ Dengan
demikian, seseorang mengetahui rujukan nama tersebut karena mengetahui
deskripsi yang melekat padanya.
Bertrand Russell memperluas
pendekatan ini melalui teori deskripsi definitif
(theory of definite descriptions). Dalam artikelnya “On
Denoting” (1905), Russell berusaha menjelaskan kalimat yang tampaknya bermakna
tetapi merujuk pada entitas yang tidak ada, seperti “Raja Prancis saat ini
botak.”⁴ Menurut Russell, kalimat semacam itu tidak benar-benar mengandung
nama yang menunjuk pada suatu objek, melainkan merupakan struktur logis yang
menyatakan proposisi eksistensial. Ia menulis bahwa “setiap deskripsi dapat
dianalisis menjadi bentuk logis yang terdiri dari kuantor eksistensial dan
predikasi.”⁵ Dengan cara ini, Russell menghindari komitmen ontologis
terhadap entitas fiktif atau non-eksisten.
Kelebihan teori deskriptif
terletak pada presisi logisnya—ia memungkinkan analisis semantik yang konsisten
dan formal. Namun, teori ini dikritik karena menimbulkan paradoks ketika
diterapkan pada penggunaan bahasa sehari-hari. Misalnya, jika seseorang tidak
mengetahui deskripsi yang benar tentang “Aristoteles,” apakah ia berarti
tidak merujuk pada Aristoteles?⁶ Kritik inilah yang memunculkan teori
alternatif pada pertengahan abad ke-20.
5.2. Teori Non-Deskriptif dan Kritik Strawson: Rujukan
sebagai Tindakan Linguistik
P. F. Strawson
menolak pandangan Russell dengan menyatakan bahwa rujukan bukanlah fungsi logis
dari kalimat, melainkan tindakan linguistik yang dilakukan oleh pembicara dalam
konteks komunikasi.⁷ Dalam esainya “On Referring” (1950), ia menegaskan
bahwa ungkapan seperti “Raja Prancis saat ini botak” bukanlah kalimat
yang salah, melainkan kalimat yang gagal dalam rujukan karena tidak ada entitas
yang sesuai di dunia.⁸ Dengan demikian, rujukan bukanlah sesuatu yang inheren
dalam ekspresi linguistik, melainkan aktivitas yang bergantung pada niat dan
konteks.
Strawson
memperkenalkan perbedaan penting antara “merujuk” (to refer)
dan “menyebut” (to mention). Seseorang dapat
menggunakan nama atau frasa tertentu tanpa keberhasilan merujuk, karena rujukan
memerlukan partisipasi aktif dari pembicara dan pemahaman dari pendengar.⁹
Dalam konteks ini, teori Strawson membuka jalan bagi pengembangan pragmatik
linguistik dan teori tindak tutur (speech act theory), yang menekankan
bahwa makna dan rujukan ditentukan oleh penggunaan sosial bahasa, bukan oleh
bentuk logis semata.
5.3. Teori Kausal (Kripke–Putnam): Rujukan sebagai
Rantai Sejarah dan Hubungan Dunia
Teori kausal muncul
pada akhir abad ke-20 sebagai reaksi terhadap keterbatasan teori deskriptif.
Saul Kripke dalam Naming and Necessity (1980) menolak
pandangan bahwa nama diri merujuk melalui deskripsi.¹⁰ Menurut Kripke, nama
diri bersifat rigid designator, yaitu menunjuk
pada objek yang sama di semua dunia yang mungkin (possible worlds).¹¹ Misalnya, nama
“Aristoteles” tetap merujuk kepada orang yang sama, bahkan jika dalam
dunia yang mungkin ia tidak menjadi murid Plato atau penulis Metaphysics.
Rujukan nama ditentukan bukan oleh deskripsi, melainkan oleh “penamaan awal”
(initial
baptism) dan rantai kausal komunikasi yang menghubungkan penggunaan
nama tersebut dari satu individu ke individu lain.¹²
Hilary Putnam
mengembangkan teori ini untuk istilah umum melalui konsep semantic
externalism. Dalam artikelnya “The Meaning of ‘Meaning’”
(1975), Putnam menegaskan bahwa makna dan rujukan istilah tidak hanya
ditentukan oleh keadaan mental pembicara, tetapi juga oleh lingkungan eksternal
dan komunitas linguistik.¹³ Contohnya, istilah “air” merujuk pada
substansi H₂O, bukan pada cairan apa pun yang tampak serupa, karena komunitas
ilmiah telah menentukan acuannya melalui investigasi empiris.¹⁴ Dengan
demikian, rujukan bersifat sosial dan eksternal, bukan subjektif.
Teori kausal
memberikan dasar realistis bagi semantik modern karena menegaskan keterhubungan
antara bahasa dan dunia fisik melalui sejarah dan interaksi sosial. Namun, ia
juga dikritik karena kurang memperhitungkan dinamika perubahan makna dan
konteks pragmatis yang menyertai penggunaan bahasa sehari-hari.¹⁵
5.4. Teori Kontekstual dan Pragmatik Modern: Rujukan
sebagai Fenomena Sosial-Interaktif
Perkembangan
selanjutnya dalam filsafat bahasa menunjukkan bahwa tidak ada teori tunggal
yang mampu sepenuhnya menjelaskan rujukan tanpa memperhitungkan konteks sosial
dan pragmatik. Teori kontekstual menekankan bahwa rujukan merupakan hasil interaksi
antara struktur bahasa, niat pembicara, serta situasi komunikasi.¹⁶
Dalam kerangka
pragmatik modern, H. P. Grice dan Dan Sperber & Deirdre Wilson menegaskan
bahwa proses penentuan rujukan bergantung pada inferensi dan relevansi.¹⁷
Pendengar menafsirkan ujaran dengan mempertimbangkan konteks dan niat
pembicara, bukan hanya makna literal dari kata. Misalnya, ketika seseorang
berkata “dia ada di sana,” pemahaman tentang siapa “dia”
dan di mana “sana” bergantung sepenuhnya pada situasi komunikasi yang sedang
berlangsung.
Selain itu, teori
kontekstual juga menyoroti peran budaya, norma sosial, dan kekuasaan dalam
membentuk sistem rujukan. Pierre Bourdieu, misalnya, melihat bahasa sebagai
praktik sosial yang sarat dengan relasi dominasi, sehingga rujukan tidak pernah
netral, melainkan merupakan produk dari struktur sosial yang menentukan siapa
yang memiliki otoritas untuk menamai dunia.¹⁸ Dalam perspektif ini,
epistemologi dan aksiologi rujukan menjadi saling berkaitan: mengetahui dan
menamai dunia berarti juga berpartisipasi dalam konstruksi sosial realitas.
Sintesis Perbandingan antara Teori-Teori Rujukan
Keempat teori utama tersebut
menampilkan pendekatan yang berbeda terhadap hubungan antara bahasa dan
realitas:
·
Teori Deskriptif (Frege, Russell)
Karakteristik: Rujukan
ditentukan oleh deskripsi makna atau ciri-ciri yang melekat pada objek.
Fokus: Analisis
logis dan semantik formal.
Ciri Utama:
Menekankan
hubungan antara makna (sense) dan rujukan (reference).
Menghindari komitmen
terhadap entitas fiktif dengan analisis logika proposisional.
Menjelaskan
makna melalui deskripsi definitif.
·
Teori Non-Deskriptif (Strawson)
Karakteristik: Rujukan
dipahami sebagai tindakan linguistik, bukan hubungan logis.
Fokus: Dimensi
pragmatik dan intensi pembicara.
Ciri Utama:
þ) Menekankan peran konteks dan niat dalam
menentukan rujukan.
þ) Membeda antara “menyebut” dan “merujuk.”
þ) Gagal rujukan tidak membuat kalimat salah, tetapi
menunjukkan kegagalan tindakan linguistik.
·
Teori Kausal (Kripke, Putnam)
Karakteristik: Rujukan
ditentukan oleh rantai sejarah penamaan dan faktor eksternal.
Fokus: Realisme
semantik dan hubungan dunia eksternal.
Ciri Utama:
þ) Nama diri bersifat rigid designator
(menunjuk objek yang sama di semua dunia mungkin).
þ) Penamaan awal (initial baptism) menentukan
acuan yang diwariskan melalui rantai kausal.
þ) Lingkungan sosial dan ilmiah memengaruhi acuan
istilah umum (misalnya “air” = H₂O).
·
Teori Kontekstual dan Pragmatik (Grice, Bourdieu, Sperber & Wilson)
Karakteristik: Rujukan
dipahami sebagai fenomena sosial-interaktif yang bergantung pada konteks.
Fokus: Dimensi
sosial, kultural, dan hermeneutik dari komunikasi.
Ciri Utama:
þ) Rujukan bergantung pada inferensi dan relevansi
dalam komunikasi.
þ) Menekankan interaksi antara niat pembicara dan
interpretasi pendengar.
þ) Bahasa dipahami sebagai praktik sosial yang
mengandung relasi kekuasaan (Bourdieu).
Dari perbandingan
tersebut, tampak bahwa setiap teori menawarkan dimensi penjelasan yang berbeda.
Jika teori deskriptif menekankan aspek logis dari rujukan, teori kausal
menekankan dimensi faktual dan historis, sedangkan teori kontekstual menyoroti
dimensi sosial dan interaktif. Dalam perkembangannya, banyak filsuf kontemporer
berupaya menggabungkan elemen-elemen dari teori-teori ini untuk membentuk
pendekatan yang lebih holistik, seperti yang dilakukan oleh John Searle dan
David Kaplan yang memadukan aspek semantik dan pragmatik dalam teori
indeksikalitas dan intensionalitas.¹⁹
Dengan demikian,
teori-teori rujukan tidak hanya membahas bagaimana bahasa menunjuk pada dunia,
tetapi juga bagaimana manusia memahami, membentuk, dan berinteraksi dengan
realitas melalui simbol-simbol linguistik. Dalam konteks inilah, rujukan
menjadi bukan sekadar fenomena semantik, melainkan refleksi epistemologis dan
sosial dari keberadaan manusia yang berbahasa.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 75–80.
[2]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
Ibid., 28–30.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[5]
Ibid., 481–483.
[6]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980),
25–28.
[7]
P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.
[8]
Ibid., 325–326.
[9]
Ibid., 339.
[10]
Kripke, Naming and Necessity, 48–53.
[11]
Ibid., 54–57.
[12]
Ibid., 91–96.
[13]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
215–271.
[14]
Ibid., 225–230.
[15]
Gareth Evans, The Varieties of
Reference (Oxford: Oxford University
Press, 1982), 312–318.
[16]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
119–125.
[17]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58; Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 74–79.
[18]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.
[19]
David Kaplan, “Demonstratives,” in Themes
from Kaplan, ed. Joseph Almog, John
Perry, and Howard Wettstein (Oxford: Oxford University Press, 1989), 481–563;
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–20.
6.
Aksiologi: Nilai dan Fungsi Filosofis Rujukan
Kajian aksiologis
mengenai rujukan berupaya menyingkap nilai, fungsi,
dan signifikansi
etis serta epistemik dari relasi antara bahasa dan dunia. Jika
dimensi ontologis membahas apa itu rujukan dan dimensi epistemologis
menjelaskan bagaimana kita mengetahui objek rujukan,
maka aksiologi bertanya: untuk apa rujukan itu penting? dan nilai
apa yang terkandung dalam kemampuan manusia untuk merujuk? Dengan
demikian, pembahasan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis semantik,
tetapi juga dengan fungsi eksistensial dan moral
bahasa dalam kehidupan manusia.¹
6.1. Nilai Epistemik: Rujukan sebagai Fondasi
Pengetahuan
Kemampuan bahasa
untuk merujuk pada dunia merupakan syarat dasar bagi terbentuknya pengetahuan. Tanpa
rujukan, proposisi tidak dapat diuji kebenarannya, dan komunikasi tidak dapat
diverifikasi. Dalam kerangka filsafat analitik, Donald Davidson menegaskan
bahwa “pemahaman makna bergantung pada kemampuan menilai kebenaran kalimat,”
yang pada gilirannya mensyaratkan hubungan yang benar antara ujaran dan dunia.²
Dengan demikian, nilai epistemik rujukan terletak pada perannya dalam menjamin
korespondensi antara bahasa dan realitas.
Lebih jauh, Frege
dan Russell menganggap rujukan sebagai dasar bagi objektivitas pengetahuan:
setiap ekspresi linguistik harus memiliki acuan yang jelas agar proposisi dapat
bernilai benar atau salah.³ Ketepatan rujukan menjadi bentuk tanggung jawab
epistemik, sebab setiap klaim yang tidak dapat ditelusuri acuannya kehilangan statusnya
sebagai pengetahuan yang sahih. Dalam konteks ini, rujukan tidak sekadar fungsi
logis, tetapi juga norma kognitif yang mengatur
klaim kebenaran dalam diskursus manusia.⁴
6.2. Nilai Etis dan Komunikatif: Rujukan sebagai
Tanggung Jawab Bahasa
Selain bernilai
epistemik, rujukan juga memiliki nilai etis. Dalam setiap tindak
komunikasi, kemampuan menunjuk kepada realitas menuntut kejujuran
representasional. Ketika pembicara menggunakan bahasa untuk merujuk pada
sesuatu yang tidak ada, ia berpotensi menciptakan kesesatan atau manipulasi
makna. Hal ini ditegaskan oleh Jürgen Habermas dalam Theory
of Communicative Action, bahwa klaim kebenaran dalam komunikasi
selalu mengandaikan validity claim terhadap realitas
objektif.⁵ Oleh karena itu, rujukan mengandung dimensi moral: ia menuntut
keterbukaan dan kejujuran dalam representasi dunia.
Dalam konteks
sosial-politik, penyimpangan rujukan dapat melahirkan praktik dominasi
simbolik. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya
merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuknya secara sosial.⁶ Ketika
suatu kelompok memiliki kekuasaan untuk menentukan acuan istilah
tertentu—misalnya dalam politik penamaan etnis, gender, atau ideologi—maka ia
mengendalikan realitas sosial itu sendiri. Maka, tindakan merujuk bukanlah
kegiatan netral, melainkan tindakan normatif yang berdampak pada struktur
kesadaran dan kekuasaan masyarakat.
6.3. Nilai Sosial: Rujukan dan Pembentukan Pengetahuan
Bersama
Rujukan juga
memiliki fungsi sosial sebagai sarana
membangun shared
reference atau pengetahuan bersama. John Searle, melalui teori intentionality
dan collective
intentionality, menjelaskan bahwa realitas sosial dibangun melalui
kesepakatan kolektif mengenai acuan tertentu.⁷ Misalnya, uang, hukum, atau
simbol nasional memperoleh makna dan rujukan karena disepakati dalam komunitas
linguistik. Dalam pengertian ini, rujukan berfungsi sebagai dasar dari realitas
sosial itu sendiri.
Melalui rujukan
bersama, manusia membangun dunia intersubjektif yang memungkinkan kerja sama,
institusi, dan kebudayaan. Bahasa tidak hanya menamai benda, tetapi juga
mengkonstruksi relasi sosial yang mempersatukan pengalaman manusia.⁸ Dengan
demikian, nilai sosial rujukan terletak pada perannya dalam memelihara
kesalingpahaman (mutual understanding) dan keberlangsungan
komunikasi yang bermakna.
6.4. Nilai Hermeneutik dan Eksistensial: Rujukan sebagai
Mediasi Pemahaman Dunia
Dalam tradisi
fenomenologi dan hermeneutik, rujukan dipahami bukan semata sebagai hubungan
logis, tetapi sebagai peristiwa pemahaman (event of
understanding). Martin Heidegger menyatakan bahwa bahasa adalah “rumah
bagi ada” (die Sprache ist das Haus des Seins),
tempat di mana keberadaan menyingkapkan dirinya kepada manusia.⁹ Artinya,
melalui bahasa dan rujukan, manusia tidak hanya menunjuk kepada objek, tetapi
juga mengalami dunia secara eksistensial.
Hans-Georg Gadamer
menambahkan bahwa setiap tindakan menamai atau merujuk adalah bagian dari
proses hermeneutik: kita menafsirkan realitas melalui horizon pemahaman yang
selalu terbuka dan historis.¹⁰ Dalam kerangka ini, nilai rujukan tidak hanya
terletak pada kebenaran empirisnya, tetapi juga pada kemampuannya membuka
dialog antara subjek dan dunia. Ia memungkinkan manusia untuk menghayati makna
keberadaan melalui simbol dan bahasa.
6.5. Nilai Etis-Kritis di Era Digital: Rujukan dan
Tanggung Jawab Informasional
Di era digital,
masalah rujukan memperoleh relevansi baru. Informasi digital tidak selalu
merujuk langsung kepada realitas fisik, tetapi kepada representasi—gambar,
data, algoritma—yang dapat dimanipulasi.¹¹ Luciano Floridi menegaskan bahwa
dalam “infosfer” (lingkungan informasi), rujukan tidak lagi sekadar
persoalan semantik, tetapi juga etika informasi.¹² Setiap tindakan merujuk,
menyebarkan, atau menamai sesuatu di ruang digital membawa implikasi moral:
apakah informasi itu benar, sahih, dan dapat dipertanggungjawabkan?
Dalam konteks ini,
nilai aksiologis rujukan bergeser dari sekadar kebenaran epistemik menuju keadilan
informasi dan integritas komunikasi. Manusia
digital dituntut untuk memelihara keterhubungan yang jujur antara tanda dan
realitas, agar tidak terjebak dalam hiperrealitas yang penuh distorsi.¹³ Maka,
rujukan yang etis adalah rujukan yang transparan, dapat diverifikasi, dan
berakar pada tanggung jawab manusia untuk mengomunikasikan dunia secara benar.
Fungsi Filosofis Rujukan
Secara filosofis,
rujukan memiliki tiga fungsi utama:
1)
Fungsi ontologis
– menjembatani antara dunia simbolik dan dunia real.
2)
Fungsi epistemologis
– memungkinkan verifikasi kebenaran dan pembentukan pengetahuan.
3)
Fungsi aksiologis
– menjamin kejujuran, keadilan, dan kebermaknaan dalam komunikasi manusia.
Ketiga fungsi ini
memperlihatkan bahwa rujukan bukan hanya persoalan teknis dalam semantik,
melainkan inti dari relasi manusia dengan dunia. Dalam setiap tindakan berbahasa,
manusia tidak hanya menunjuk kepada sesuatu, tetapi juga menegaskan dirinya
sebagai makhluk yang mampu mengenal, memahami, dan menghargai realitas.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 97–100.
[2]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1
(1967): 304–323.
[3]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–104.
[6]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and Matthew
Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.
[7]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 22–27.
[8]
Ibid., 52–56.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 210–212.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.
[11]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.
[12]
Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 96–103.
[13]
Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects, trans. Erik Butler
(Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.
7.
Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural dalam
Masalah Rujukan
Masalah rujukan
tidak hanya berkaitan dengan persoalan logis dan semantik, tetapi juga dengan struktur
sosial dan kekuasaan simbolik yang menentukan bagaimana bahasa
bekerja di dunia nyata. Bahasa bukanlah sistem tanda yang netral; ia beroperasi
dalam jaringan relasi sosial yang kompleks, di mana proses penamaan (naming)
dan perujukan (referencing) berfungsi sebagai alat
pengorganisasian makna, identitas, dan realitas sosial.¹ Dengan demikian,
memahami rujukan dalam dimensi sosial, politik, dan kultural berarti menelusuri
bagaimana bahasa menjadi arena perebutan makna, legitimasi, dan kekuasaan di
masyarakat.
7.1. Bahasa dan Kekuasaan: Siapa yang Menentukan
Rujukan?
Dalam masyarakat,
rujukan tidak ditentukan semata oleh aturan semantik, tetapi juga oleh struktur
otoritas simbolik. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa bahasa
memiliki kekuatan untuk “menciptakan realitas sosial” karena ia membawa
otoritas dari posisi sosial pembicara.² Ketika seorang pejabat negara, pemimpin
agama, atau tokoh budaya menggunakan istilah tertentu untuk menamai suatu
fenomena, maka istilah tersebut memperoleh legitimasi sosial yang berbeda
dibandingkan jika diucapkan oleh individu biasa.
Proses ini disebut
Bourdieu sebagai performative power of language—kekuatan
untuk menjadikan sesuatu “nyata” melalui penamaan yang sah.³ Misalnya,
ketika negara menyebut sekelompok orang “teroris” atau “pahlawan”,
istilah tersebut bukan sekadar deskripsi, tetapi tindakan politik yang
membentuk persepsi publik dan kebijakan sosial. Dengan demikian, rujukan dapat
berfungsi sebagai instrumen kontrol simbolik dan dominasi ideologis.
7.2. Politik Penamaan dan Identitas Sosial
Bahasa berperan
sentral dalam pembentukan identitas sosial. Proses penamaan etnis, gender,
agama, atau kelas sosial mencerminkan relasi kuasa yang mengatur siapa yang
berhak mendefinisikan siapa.⁴ Gayatri Chakravorty Spivak, dalam kritik
pascakolonialnya, menegaskan bahwa praktik representasi Barat terhadap dunia
Timur menciptakan subaltern—kelompok yang tidak
memiliki suara dalam menentukan rujukan atas diri mereka sendiri.⁵ Artinya,
rujukan dapat menjadi bentuk penindasan epistemik ketika nama, kategori, dan
label yang digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok tidak berasal dari mereka,
melainkan dipaksakan dari luar.
Hal yang sama
terlihat dalam studi feminis. Simone de Beauvoir menulis bahwa perempuan tidak
didefinisikan berdasarkan dirinya sendiri, melainkan selalu “dalam relasi
dengan laki-laki,” sebagai “yang lain” (the
Other).⁶ Dengan demikian, rujukan terhadap identitas perempuan
telah lama ditentukan oleh sistem patriarkal yang mendominasi bahasa dan
budaya. Perjuangan feminisme dapat dilihat sebagai upaya merebut kembali hak
untuk menamai diri sendiri dan mendefinisikan pengalaman hidup dari sudut
pandang perempuan.
7.3. Rujukan dalam Wacana Publik dan Media
Di era modern, media
massa dan komunikasi digital menjadi arena utama di mana rujukan sosial
diproduksi dan disebarluaskan. Roland Barthes menggambarkan bagaimana sistem
semiotik dalam budaya populer membentuk mitologi modern—yakni makna-makna
yang tampak alami tetapi sesungguhnya hasil konstruksi ideologis.⁷ Misalnya,
istilah “kemajuan,” “modernitas,” atau “kebebasan” sering
digunakan dalam wacana politik untuk membenarkan agenda tertentu, padahal
rujukan istilah tersebut selalu kontekstual dan penuh kepentingan.
Dalam dunia digital,
kekuatan rujukan semakin didominasi oleh algoritma. Kata kunci, hashtags,
dan metadata
menentukan visibilitas makna dalam ruang publik maya.⁸ Fenomena ini menciptakan
bentuk baru dari politik rujukan, di mana makna dan realitas dikendalikan oleh
logika mesin dan ekonomi atensi (attention economy). Platform
digital seperti X (Twitter), TikTok, atau YouTube mengatur apa yang “nyata”
di mata publik dengan menentukan apa yang muncul di linimasa.⁹ Akibatnya,
rujukan tidak lagi bersumber dari otoritas manusia, melainkan dari sistem
otomatis yang memperkuat popularitas atas kebenaran.
7.4. Dimensi Kultural: Rujukan dan Relativitas Makna
Dalam ranah
kultural, rujukan tidak dapat dilepaskan dari konteks tradisi, nilai, dan
simbol kolektif. Clifford Geertz menunjukkan bahwa makna dan rujukan selalu
bersifat lokal, karena manusia menafsirkan dunia melalui “jaringan makna”
(webs of
significance) yang mereka sendiri tenun.¹⁰ Sebuah istilah dapat
memiliki acuan berbeda tergantung pada budaya yang menggunakannya. Misalnya,
konsep “tanah” dalam budaya agraris bukan hanya benda fisik, melainkan
simbol spiritual, genealogis, dan eksistensial.¹¹
Perbedaan budaya ini
menunjukkan bahwa rujukan bukan hanya hasil representasi semantik, tetapi juga praktik
kultural yang merefleksikan sistem nilai. Dalam masyarakat
multikultural, perbedaan cara merujuk terhadap hal-hal tertentu sering menjadi
sumber konflik makna, tetapi juga peluang untuk dialog lintas budaya. Oleh
karena itu, pendekatan hermeneutik lintas budaya diperlukan agar komunikasi
global tidak sekadar berbagi tanda, melainkan berbagi pemahaman atas dunia yang
berbeda.¹²
7.5. Rujukan dalam Wacana Digital dan Krisis Realitas
Era digital menandai
krisis baru dalam hubungan antara bahasa dan realitas. Jean Baudrillard
menyebut kondisi ini sebagai simulacra—suatu keadaan di mana
tanda-tanda tidak lagi merujuk pada kenyataan, melainkan pada tanda-tanda lain
yang menciptakan realitas semu (hyperreality).¹³ Dalam konteks ini,
rujukan kehilangan stabilitas ontologisnya: gambar, data, dan narasi tidak lagi
menunjuk pada dunia empiris, tetapi pada sistem representasi yang otonom.
Fenomena deepfake,
misinformasi, dan “realitas buatan” menunjukkan bahwa manusia kini hidup
dalam dunia di mana kejelasan rujukan menjadi problem etis dan epistemologis.¹⁴
Menurut Byung-Chul Han, masyarakat digital mengubah makna kebenaran menjadi
sekadar “viralitas.”¹⁵ Maka, mempertahankan kejujuran rujukan dalam dunia
informasi adalah tantangan moral dan intelektual abad ke-21.
Dimensi Humanistik: Rujukan sebagai Dialog dan Pengakuan
Dalam perspektif
humanistik, rujukan memiliki makna yang melampaui relasi semantik dan politik.
Ia menjadi sarana pengakuan (recognition) antar-subjek. Emmanuel
Levinas menekankan bahwa bahasa yang sejati adalah bahasa yang “mengarah
kepada yang lain,” bukan sekadar menunjuk objek, tetapi membuka hubungan
etis dengan orang lain.¹⁶ Rujukan dalam pengertian ini adalah bentuk tanggung
jawab manusia terhadap eksistensi yang dihadapinya: ketika kita menamai
sesuatu, kita sekaligus mengakui keberadaannya.
Maka, dimensi sosial
dan kultural rujukan dapat dipahami sebagai ruang dialog intersubjektif.
Bahasa memungkinkan manusia tidak hanya berbicara tentang dunia, tetapi juga bersama
dunia dan sesamanya. Dalam ruang ini, rujukan berfungsi bukan sebagai alat
kontrol, melainkan sebagai sarana membangun pemahaman, solidaritas, dan
penghargaan terhadap keberagaman makna.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 125–129.
[2]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.
[3]
Ibid., 46–50.
[4]
Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices, ed. Stuart Hall (London:
Sage, 1997), 13–74.
[5]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana:
University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[6]
Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. Constance Borde
and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 26–27.
[7]
Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang,
1972), 109–115.
[8]
José van Dijck, The Culture of
Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–9.
[9]
Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 21–28.
[10]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–10.
[11]
Ibid., 120–125.
[12]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 18–22.
[13]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[14]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 351–355.
[15]
Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects, trans. Erik Butler
(Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.
[16]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
8.
Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Masalah rujukan
dalam filsafat bahasa, meskipun telah dibahas secara mendalam oleh berbagai
teori besar—deskriptif, non-deskriptif, kausal, dan kontekstual—masih
menyisakan sejumlah persoalan filosofis yang belum terselesaikan. Setiap teori
menawarkan kerangka penjelasan yang kuat, namun juga menghadapi kritik dari
segi konsistensi
logis, kecukupan semantik, serta relevansi pragmatik dan sosialnya.
Bagian ini akan menguraikan beberapa kritik utama terhadap teori-teori tersebut
untuk menunjukkan kompleksitas hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia.
8.1. Kritik terhadap Teori Deskriptif: Masalah Identitas
dan Non-eksistensi
Teori deskriptif
yang dikembangkan oleh Frege dan Russell dikritik karena menganggap bahwa rujukan
ditentukan oleh deskripsi yang melekat pada ekspresi linguistik.¹ Namun, Saul
Kripke menunjukkan bahwa pendekatan ini gagal menjelaskan bagaimana suatu nama
tetap merujuk pada objek yang sama meskipun deskripsi yang melekat padanya
keliru atau berubah.² Misalnya, jika seseorang salah mengira bahwa Aristoteles
bukan guru Alexander Agung, nama “Aristoteles” tetap merujuk kepada
orang yang sama. Artinya, rujukan nama tidak bergantung pada kebenaran
deskripsi.
Selain itu, teori
deskriptif tidak dapat menangani pernyataan yang melibatkan entitas
non-eksisten seperti “Pegasus” atau “Sherlock Holmes.”³ Jika
rujukan ditentukan oleh deskripsi, maka kalimat tersebut seharusnya tidak
bermakna, padahal dalam praktik komunikasi manusia tetap dapat memahami dan
berdiskusi tentang entitas fiktif. Kritik ini menegaskan bahwa teori deskriptif
terlalu mengandalkan korespondensi logis, sehingga gagal menangkap dimensi
penggunaan dan fungsi bahasa yang lebih luas.⁴
8.2. Kritik terhadap Teori Non-Deskriptif (Strawson):
Ketidakjelasan antara Intensi dan Referensi
Pandangan Strawson
bahwa rujukan merupakan tindakan linguistik kontekstual memperluas analisis ke
ranah pragmatik, namun juga menimbulkan ambiguitas epistemologis.⁵ Kritik utama
diarahkan pada ketergantungannya terhadap intention atau niat pembicara. Jika
rujukan sepenuhnya bergantung pada niat, bagaimana pendengar dapat memastikan
apa yang dimaksud, terutama dalam konteks komunikasi yang ambigu atau
impersonal (misalnya dalam teks tertulis atau berita)?⁶
Donald Davidson
menegaskan bahwa makna dan rujukan tidak dapat direduksi pada niat subjektif
pembicara, sebab pemahaman makna membutuhkan struktur objektif bahasa yang
memungkinkan interpretasi bersama.⁷ Dengan demikian, teori Strawson cenderung
melemahkan objektivitas semantik karena menggeser pusat makna ke dalam
kesadaran individual, sehingga mengancam kemungkinan komunikasi yang
intersubjektif.
Selain itu, teori
ini gagal menjelaskan bagaimana sistem rujukan bekerja dalam konteks sosial
yang luas—misalnya, bagaimana istilah ilmiah atau hukum mempertahankan
konsistensinya meskipun digunakan oleh banyak pembicara dengan niat yang
berbeda-beda.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa intensionalitas tidak dapat menjadi
dasar tunggal bagi teori rujukan.
8.3. Kritik terhadap Teori Kausal (Kripke–Putnam):
Masalah Perubahan dan Fleksibilitas Makna
Teori kausal yang
dikembangkan oleh Kripke dan Putnam memberikan penjelasan yang kuat mengenai
stabilitas rujukan, namun justru dikritik karena terlalu menekankan aspek
historis dan eksternal. Hilary Putnam sendiri kemudian mengakui bahwa teori
kausal menghadapi kesulitan menjelaskan perubahan rujukan dalam dinamika
bahasa.⁹ Bagaimana mungkin suatu istilah yang awalnya merujuk pada objek
tertentu dapat bergeser acuannya seiring perkembangan sains atau budaya?
Misalnya, istilah “planet” yang dahulu mencakup Pluto, kini tidak lagi,
akibat redefinisi ilmiah.¹⁰
Selain itu, teori
kausal dianggap mengabaikan peran kognitif dan interpretatif pengguna bahasa.
Gareth Evans menunjukkan bahwa rujukan tidak semata hasil dari rantai kausal
historis, tetapi juga bergantung pada kemampuan konseptual individu untuk
mengenali dan menyesuaikan penggunaan istilah.¹¹ Pandangan murni kausal tidak
dapat menjelaskan situasi di mana seseorang menggunakan nama tanpa koneksi
kausal langsung (misalnya, dalam pembacaan teks kuno atau komunikasi melalui
media digital).¹²
Dengan kata lain,
teori kausal bersifat terlalu deterministik dan kurang memperhatikan dinamika
makna yang muncul dari interaksi sosial dan kultural. Ia cenderung memisahkan
bahasa dari kesadaran dan konteks, padahal dalam praktiknya, rujukan selalu
dinegosiasikan melalui komunikasi manusia yang hidup.
8.4. Kritik terhadap Teori Kontekstual dan Pragmatik:
Masalah Relativitas Makna
Teori kontekstual
dan pragmatik modern menekankan pentingnya konteks, niat, dan situasi sosial
dalam penentuan rujukan.¹³ Namun, teori ini justru dikritik karena membuka
peluang relativisme makna. Jika makna
dan rujukan sepenuhnya bergantung pada konteks, maka bagaimana menjamin stabilitas
semantik lintas situasi dan budaya? John Searle mengingatkan bahwa terlalu
menekankan konteks dapat mengaburkan batas antara rujukan literal dan
metaforis, sehingga komunikasi dapat kehilangan kejelasan normatifnya.¹⁴
Selain itu,
pendekatan kontekstual menghadapi tantangan dalam menjelaskan kesepakatan
intersubjektif. Jika setiap komunitas linguistik memiliki
sistem rujukan yang berbeda, maka bagaimana mungkin terjadi komunikasi global
yang bermakna? Masalah ini menjadi semakin kompleks dalam era digital, di mana
konteks komunikasi tidak lagi bersifat lokal atau stabil.¹⁵
Kritik lainnya
datang dari pendekatan kognitif yang menilai teori kontekstual terlalu
menekankan faktor eksternal (situasi sosial), dan kurang memperhatikan struktur
mental yang memungkinkan manusia mengenali dan menafsirkan rujukan.¹⁶ Dengan
demikian, meskipun teori ini berhasil menjelaskan fleksibilitas bahasa, ia
tetap menghadapi risiko fragmentasi makna dalam komunikasi multikultural dan
multidigital.
Kritik Filosofis Umum: Reduksionisme dan Kehilangan Dimensi Humanistik
Secara keseluruhan,
keempat teori utama tersebut—meski memiliki kontribusi besar terhadap analisis
semantik dan logika bahasa—masih bersifat reduksionistik, karena
cenderung memisahkan aspek kognitif, sosial, dan etis dari pemahaman tentang
rujukan.¹⁷ Filsafat analitik tradisional sering menganggap bahasa sebagai
sistem representasi netral, padahal dalam kenyataannya, bahasa selalu terlibat
dalam praksis sosial dan moral.
Martin Heidegger dan
Hans-Georg Gadamer mengkritik pendekatan representasional semacam ini, dengan
menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat menunjuk dunia, tetapi ruang di mana
dunia menjadi dapat dipahami.¹⁸ Dengan demikian, teori-teori rujukan klasik
gagal menangkap makna eksistensial bahasa sebagai bentuk keterbukaan manusia
terhadap keberadaan.
Dalam konteks
kontemporer, kritik ini diperluas oleh para filsuf poststrukturalis seperti
Jacques Derrida, yang menunjukkan bahwa rujukan selalu tertunda (différance)
dan tidak pernah hadir sepenuhnya dalam kata.¹⁹ Dengan demikian, setiap usaha
untuk menstabilkan rujukan adalah ilusi metafisis yang mengabaikan sifat
dinamis dan terbuka dari bahasa.
Dari perspektif
humanistik, kritik terhadap teori-teori utama ini menekankan perlunya memahami
rujukan tidak hanya sebagai hubungan semantik, tetapi juga sebagai aktivitas
moral dan komunikatif yang menegaskan keberadaan manusia sebagai makhluk
dialogis dan penafsir.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[2]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980),
45–52.
[3]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[4]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 83–85.
[5]
P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.
[6]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
108–112.
[7]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 313–328.
[8]
Michael Dummett, The Seas of Language (Oxford: Oxford University Press, 1993), 22–25.
[9]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
215–271.
[10]
Philip Kitcher, The Advancement of
Science: Science without Legend, Objectivity without Illusions (Oxford: Oxford University Press, 1993), 56–58.
[11]
Gareth Evans, The Varieties of
Reference (Oxford: Oxford University
Press, 1982), 319–324.
[12]
Ibid., 325–328.
[13]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58.
[14]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 123–126.
[15]
José van Dijck, The Culture of
Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–9.
[16]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 75–79.
[17]
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 20–25.
[18]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.
[19]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 62–67.
9.
Relevansi Kontemporer: Rujukan di Era Digital
dan Komunikasi Global
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi global telah membawa perubahan radikal
terhadap cara manusia memaknai dan menggunakan bahasa. Di era digital, rujukan
tidak lagi bekerja semata sebagai hubungan langsung antara kata dan dunia,
melainkan sebagai jaringan makna yang terdistribusi,
dinamis, dan sering kali terlepas dari realitas empiris.¹ Internet, media
sosial, dan kecerdasan buatan telah menciptakan ekosistem semantik baru di mana
makna dan rujukan dimediasi oleh algoritma, data, dan representasi digital.
Dengan demikian, problem rujukan kini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi
juga teknologis,
etis, dan politis.
9.1. Transformasi Konsep Rujukan dalam Ekosistem Digital
Dalam konteks
digital, rujukan mengalami perubahan ontologis: dari sistem relasi antara tanda
dan objek menjadi sistem relasi antar-tanda. Jean Baudrillard menyebut kondisi
ini sebagai simulacra—dunia di mana tanda-tanda
tidak lagi menunjuk kepada realitas, melainkan saling merujuk satu sama lain,
menciptakan hyperreality.² Misalnya,
gambar-gambar di media sosial sering kali tidak lagi merepresentasikan
kehidupan nyata, melainkan membentuk realitas baru yang otonom dan performatif.
Fenomena ini
menggeser cara kita memahami “referensi”: kata, gambar, dan simbol kini lebih
sering menunjuk pada data daripada pada benda.³ Dalam infosfer—istilah
yang diperkenalkan oleh Luciano Floridi—setiap tindakan linguistik meninggalkan
jejak digital yang berfungsi sebagai rujukan dalam jaringan informasi global.⁴
Dengan demikian, rujukan tidak lagi terikat pada konteks fisik, melainkan
beroperasi dalam ruang informasi yang dapat dimanipulasi, direplikasi, dan
diproyeksikan tanpa batas.
Dalam konteks ini,
pertanyaan filosofis klasik “apa yang dirujuk oleh kata?”
bertransformasi menjadi “bagaimana data menunjuk kepada makna?”—sebuah
problem epistemologis baru yang menuntut redefinisi hubungan antara tanda,
informasi, dan realitas.
9.2. Krisis Representasi dan Tantangan Etis dalam Era
Digital
Salah satu dampak
paling signifikan dari digitalisasi adalah krisis rujukan terhadap realitas.
Representasi visual dan tekstual di dunia maya sering kali diputus dari sumber
aslinya. Deepfake, kecerdasan buatan generatif, dan manipulasi informasi telah
menciptakan kondisi di mana batas antara yang nyata dan yang simulatif menjadi
kabur.⁵ Hal ini mengancam integritas epistemik dari bahasa dan komunikasi,
karena kebenaran dan rujukan dapat dipalsukan dengan mudah.
Shoshana Zuboff
menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme pengawasan” (surveillance
capitalism), di mana data pribadi manusia dijadikan komoditas dan
makna dikonstruksi berdasarkan algoritma ekonomi.⁶ Rujukan kehilangan dimensi
etisnya karena tanda-tanda digital tidak lagi menunjuk pada realitas, melainkan
dimanfaatkan untuk memanipulasi persepsi dan perilaku. Maka, krisis rujukan di
era digital adalah juga krisis kejujuran representasional—yakni
hilangnya transparansi antara bahasa, pengetahuan, dan dunia.
9.3. Rujukan dalam Komunikasi Global dan Lintas Budaya
Globalisasi
komunikasi membawa tantangan baru dalam hal rujukan lintas bahasa dan budaya.
Makna kata atau simbol yang sama dapat berbeda secara radikal dalam konteks
sosial yang berlainan.⁷ Clifford Geertz menunjukkan bahwa interpretasi makna
sangat bergantung pada webs of significance yang bersifat
lokal dan historis.⁸ Namun, dalam ruang global yang serba cepat dan digital,
perbedaan konteks ini sering diabaikan, sehingga terjadi gesekan
semantik antarbudaya.
Sebagai contoh,
istilah seperti “demokrasi,” “kebebasan,” atau “modernitas”
sering digunakan dalam wacana global tanpa memperhatikan perbedaan historis dan
kultural dalam pemaknaannya.⁹ Akibatnya, bahasa global (terutama bahasa Inggris
digital) cenderung menjadi alat hegemonik yang mendikte rujukan universal. Hal
ini menunjukkan bahwa persoalan rujukan di era global bukan hanya teknis,
tetapi juga politik makna—siapa yang berhak
menentukan acuan global bagi konsep-konsep utama yang membentuk kehidupan
bersama umat manusia.¹⁰
9.4. Rujukan dan Kecerdasan Buatan (AI): Antara Makna
dan Algoritma
Perkembangan
kecerdasan buatan telah memperluas dimensi problem rujukan ke ranah mesin.
Sistem AI, seperti large language models, dapat
menghasilkan teks, gambar, atau narasi yang tampak bermakna, tetapi tanpa
rujukan yang jelas terhadap dunia aktual.¹¹ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan
mendasar: apakah mesin benar-benar “memahami” objek rujukan, atau
sekadar memanipulasi simbol berdasarkan pola statistik?
Hubungan antara
makna dan rujukan dalam konteks AI menegaskan kembali pandangan Ludwig
Wittgenstein bahwa makna tergantung pada penggunaan (meaning
is use).¹² AI tidak memiliki pengalaman dunia, sehingga “rujukan”
yang dihasilkannya bersifat derivatif—bergantung pada data manusia sebelumnya.
Dengan demikian, muncul kebutuhan akan etika algoritmik yang menjamin
keakuratan dan tanggung jawab dalam representasi digital.¹³ Jika tidak, rujukan
di era kecerdasan buatan akan menjadi simulasi makna tanpa landasan epistemik
atau etis.
9.5. Politik Digital dan Hegemoni Semantik
Rujukan di dunia
digital juga memiliki dimensi politik yang kuat. Algoritma media sosial
berperan menentukan apa yang “muncul” dalam ruang publik digital, dan
dengan demikian, apa yang dianggap nyata. Safiya Umoja Noble menunjukkan bahwa
mesin pencari seperti Google tidak netral—mereka membentuk persepsi sosial
melalui prioritisasi hasil pencarian yang bias terhadap ras, gender, dan
ideologi.¹⁴ Dengan demikian, rujukan digital adalah hasil dari politik
representasi algoritmik, bukan sekadar cerminan dunia objektif.
Fenomena ini
memperlihatkan bahwa dalam era global, kontrol atas makna dan rujukan telah
berpindah dari lembaga tradisional (seperti akademia atau media) ke korporasi
teknologi.¹⁵ Maka, pertanyaan filosofis tentang rujukan kini
menjadi juga pertanyaan politis: siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan
apa yang tampak benar, relevan, dan bermakna di dunia digital?
9.6. Etika Rujukan dan Humanisme Digital
Menghadapi krisis
rujukan dalam era global dan digital, muncul kebutuhan untuk merumuskan etika
rujukan humanistik—sebuah pendekatan yang menekankan tanggung
jawab moral dan kesadaran reflektif dalam penggunaan bahasa dan simbol. Luciano
Floridi mengajukan prinsip informational ethics, yakni bahwa
setiap tindakan informasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas
realitas dan integritas makna.¹⁶ Dalam kerangka ini, merujuk secara etis
berarti menjaga keterhubungan antara tanda dan dunia dengan cara yang jujur,
transparan, dan bertanggung jawab.
Selain itu,
pendekatan hermeneutik kontemporer (seperti Paul Ricoeur) menegaskan pentingnya
interpretasi
yang dialogis dalam memahami makna global.¹⁷ Dunia digital tidak
dapat dihindari, tetapi harus dihumanisasi melalui praktik komunikasi yang
mengakui keberagaman konteks dan pengalaman. Dengan demikian, rujukan bukan
lagi sekadar hubungan semantik, melainkan tindakan etis yang meneguhkan
eksistensi manusia sebagai makhluk yang menafsir dan berbagi dunia secara
bermakna.
Penutup: Menuju Ekologi Rujukan yang Etis dan Intersubjektif
Rujukan di era
digital dan globalisasi menuntut pendekatan baru yang bersifat ekologis
dan intersubjektif. Ekologis, karena sistem bahasa kini
terjalin dengan jaringan teknologi dan informasi yang luas; intersubjektif,
karena pemaknaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas global yang plural dan
dinamis.
Di tengah derasnya
arus data dan simulasi, filsafat rujukan memperoleh kembali relevansinya sebagai refleksi atas makna
kebenaran, representasi, dan tanggung jawab. Menjaga keutuhan rujukan berarti
menjaga hubungan antara bahasa dan dunia agar tetap berakar pada nilai-nilai
kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 145–149.
[2]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.
[3]
Vilém Flusser, Into the Universe of
Technical Images, trans. Nancy Ann
Roth (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2011), 23–28.
[4]
Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 94–99.
[5]
Hany Farid, Fake Photos: The
Digital Manipulation of Media Images
(Cambridge, MA: MIT Press, 2023), 11–15.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 351–355.
[7]
Edward Sapir, Language: An
Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace, 1921), 47–52.
[8]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–10.
[9]
Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices, ed. Stuart Hall (London:
Sage, 1997), 13–74.
[10]
Walter Mignolo, The Darker Side of
Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 85–92.
[11]
Emily M. Bender and Alexander Koller, “Climbing towards NLU: On
Meaning, Form, and Understanding in the Age of Data,” Proceedings of ACL 2020
(Association for Computational Linguistics, 2020): 5185–5198.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§49.
[13]
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 112–115.
[14]
Safiya Umoja Noble, Algorithms
of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 21–28.
[15]
Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2017), 44–48.
[16]
Luciano Floridi, Information: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 72–76.
[17]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press,
1991), 137–141.
10.
Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik
tentang Rujukan
Persoalan rujukan
dalam filsafat bahasa, setelah melalui analisis historis, ontologis,
epistemologis, aksiologis, dan sosial, memperlihatkan bahwa hubungan antara
bahasa dan realitas bukanlah sekadar persoalan teknis-semantik, melainkan juga
persoalan eksistensial dan etis. Seluruh
teori yang telah dibahas—baik deskriptif, kausal, maupun
kontekstual—mencerminkan upaya manusia untuk menjelaskan bagaimana kata dapat
menunjuk dunia, tetapi sering kali melupakan hakikat manusia sebagai subjek yang berbahasa
dan menafsir.¹ Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sintesis
humanistik, yang menempatkan rujukan bukan semata sebagai
hubungan logis antara tanda dan objek, melainkan sebagai peristiwa
dialogis antara manusia, bahasa, dan dunia.
10.1. Dari Representasi ke Relasi: Bahasa sebagai
Peristiwa Humanistik
Teori-teori rujukan
klasik cenderung menempatkan bahasa sebagai sistem representasi dunia, di mana
kata berfungsi seperti cermin yang merefleksikan realitas. Namun, perspektif
humanistik menolak pandangan representasional yang reduksionistik ini. Ludwig
Wittgenstein, dalam fase akhir pemikirannya, menegaskan bahwa makna bukanlah
cerminan dunia, tetapi “cara kita hidup di dalamnya” melalui permainan
bahasa (language
games).² Artinya, rujukan tidak bersifat statis, melainkan dinamis
dan praksis—ia terjadi dalam konteks tindakan manusia.
Dengan demikian,
bahasa bukan sekadar alat untuk menunjuk, tetapi juga medium
eksistensi tempat manusia menyingkapkan dirinya dan dunianya.³
Martin Heidegger menyebut bahasa sebagai das Haus des Seins—“rumah
bagi ada.”⁴ Dalam rumah ini, manusia tidak hanya menyebut benda-benda,
tetapi menyingkap makna dari keberadaannya. Rujukan, dalam pengertian ini,
adalah cara
manusia hadir dalam dunia melalui bahasa. Ia bukan hubungan
eksternal antara kata dan objek, melainkan peristiwa kebermaknaan yang
menghubungkan eksistensi manusia dengan realitas yang dihadapi.
10.2. Rujukan sebagai Aktivitas Intersubjektif dan Etis
Pendekatan humanistik
terhadap rujukan menegaskan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari relasi
antar-manusia. Emmanuel Levinas memandang bahwa bahasa adalah bentuk tanggung
jawab etis terhadap yang lain (the
Other).⁵ Setiap tindakan menamai atau merujuk merupakan pengakuan
terhadap eksistensi yang lain, suatu pertemuan yang bersifat dialogis, bukan
dominatif. Dengan demikian, rujukan mengandung dimensi moral: ia tidak hanya
menjelaskan dunia, tetapi juga memediasi hubungan antar-subjek yang saling
mengakui.
Dalam konteks ini,
Jürgen Habermas menambahkan bahwa rujukan hanya bermakna ketika terikat pada tindakan
komunikatif yang berorientasi pada pemahaman bersama (mutual
understanding).⁶ Bahasa yang merujuk secara benar bukanlah bahasa
yang sekadar koheren secara logis, tetapi yang memenuhi syarat kebenaran,
kejujuran, dan ketepatan dalam konteks sosial. Maka, rujukan yang humanistik
adalah rujukan yang berakar pada komunikasi etis—di mana kebenaran tidak
terpisah dari tanggung jawab manusia dalam berbicara dan memahami.
10.3. Humanisme Hermeneutik: Rujukan sebagai Penyingkapan
Makna
Konsepsi humanistik
tentang rujukan juga dapat ditemukan dalam tradisi hermeneutik, terutama
melalui karya Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur. Gadamer menegaskan bahwa
setiap bentuk bahasa adalah peristiwa penyingkapan (Offenbarung) yang terjadi dalam
dialog antara penafsir dan teks, atau antara manusia dan dunia.⁷ Rujukan, dalam
arti ini, tidak menunjuk pada sesuatu yang “ditemukan” secara eksternal, tetapi
“ditafsirkan” dalam konteks sejarah dan horizon pengalaman manusia.
Paul Ricoeur
melanjutkan pandangan ini dengan menekankan bahwa bahasa mengandung daya
produktif yang menciptakan dunia baru melalui simbol dan metafora.⁸ Ketika
manusia merujuk pada sesuatu, ia sebenarnya membangun dunia makna yang melampaui
sekadar representasi empiris. Maka, rujukan menjadi bagian dari proses
eksistensial di mana manusia menafsir dan memaknai keberadaannya. Humanisme
hermeneutik ini menolak dualisme antara kata dan benda, serta menggantikannya
dengan hubungan triadik: manusia–bahasa–makna dunia.
10.4. Dimensi Sosial-Humanistik: Rujukan sebagai
Konstruksi Bersama
Rujukan humanistik
tidak dapat dipahami di luar konteks sosial dan budaya. Seperti ditegaskan oleh
Peter Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial dibentuk melalui proses “institusionalisasi
makna” yang dilakukan secara kolektif.⁹ Bahasa berfungsi sebagai mekanisme
utama dalam konstruksi dunia sosial, sehingga rujukan tidak pernah bersifat
individual, melainkan hasil negosiasi dan kesepakatan bersama dalam komunitas
linguistik.
Dengan demikian,
rujukan memiliki nilai sosial yang emansipatoris:
ia memungkinkan manusia membangun dunia bersama melalui komunikasi yang saling
mengakui. Dalam era globalisasi, pemahaman ini semakin relevan, karena rujukan
tidak lagi dimonopoli oleh satu budaya atau sistem bahasa. Rujukan yang
humanistik harus bersifat dialogis dan lintas-budaya, membuka ruang bagi
perbedaan makna tanpa mengorbankan pemahaman bersama.
10.5. Rujukan dan Humanisme Digital
Dalam konteks dunia
digital, rujukan humanistik menghadapi tantangan baru. Teknologi algoritmik
telah menggantikan sebagian besar fungsi manusia dalam memproses makna dan
informasi, sehingga muncul risiko dehumanisasi bahasa.¹⁰ Jika
rujukan dikelola oleh sistem otomatis yang tidak memiliki kesadaran etis, maka
makna dapat direduksi menjadi sekadar data yang dikomodifikasi.
Humanisme digital
yang dikemukakan oleh Luciano Floridi menawarkan jalan tengah: manusia harus
menjadi “penjaga makna” di tengah banjir informasi.¹¹ Ini berarti
mempertahankan tanggung jawab moral atas representasi dan rujukan yang
dihasilkan oleh teknologi. Dengan cara ini, rujukan dapat dipahami sebagai
aktivitas manusia yang tidak hanya menginformasikan dunia, tetapi juga memanusiakan
teknologi melalui etika komunikasi dan transparansi informasi.
10.6. Menuju Konsepsi Integratif: Rujukan sebagai
Kesatuan Semantik, Etik, dan Eksistensial
Dari seluruh uraian
di atas, dapat dirumuskan bahwa konsepsi humanistik tentang rujukan bersifat integratif
dan menekankan tiga dimensi utama:
1)
Dimensi semantik
– rujukan sebagai hubungan makna antara tanda dan dunia yang diartikulasikan
secara rasional dan komunikatif.
2)
Dimensi etis
– rujukan sebagai tindakan tanggung jawab terhadap kebenaran, kejujuran, dan
pengakuan atas keberadaan yang lain.
3)
Dimensi eksistensial
– rujukan sebagai cara manusia menyingkap dan menafsirkan keberadaan melalui
bahasa.
Dengan demikian,
filsafat rujukan yang humanistik bukan sekadar sistem teori tentang tanda,
tetapi suatu pandangan hidup tentang bagaimana manusia hadir, memahami, dan berelasi
dengan dunia melalui bahasa. Rujukan menjadi sarana utama bagi
manusia untuk menegakkan keutuhan antara pikiran, komunikasi, dan keberadaan.
Penutup: Rujukan sebagai Jalan Menuju Pemahaman Diri dan Dunia
Akhirnya, konsepsi
humanistik tentang rujukan mengembalikan bahasa ke fungsinya yang paling
mendasar: mempertemukan manusia dengan dunia dan sesamanya. Setiap tindakan
merujuk adalah tindakan memahami, dan setiap pemahaman adalah bentuk
keterbukaan terhadap realitas. Melalui rujukan yang etis, komunikatif, dan
reflektif, manusia tidak hanya mengenal dunia, tetapi juga mengenal dirinya
sebagai makhluk yang mampu berpikir, berbicara, dan mencipta makna.
Rujukan humanistik
adalah rujukan
yang berjiwa—ia hidup dalam dialog, tumbuh dalam pemahaman
bersama, dan menegakkan martabat manusia di tengah kompleksitas bahasa dan
teknologi.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 165–170.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.
[3]
Charles Taylor, The Language Animal:
The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 14–18.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 210–212.
[5]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–104.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.
[8]
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto: University of Toronto
Press, 1977), 302–307.
[9]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The
Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 58–61.
[10]
Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects, trans. Erik Butler
(Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.
[11]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 125–129.
11.
Kesimpulan
Masalah rujukan (reference) menempati posisi
sentral dalam filsafat bahasa karena menyentuh inti dari hubungan antara bahasa,
pikiran, dan realitas. Sejak masa Yunani Kuno hingga era digital, persoalan
tentang bagaimana kata menunjuk pada sesuatu di dunia telah menjadi sumber
refleksi yang melahirkan beragam teori, mulai dari teori deskriptif Frege dan
Russell, teori kausal Kripke dan Putnam, hingga pendekatan pragmatik dan
kontekstual modern.¹ Namun, di balik keragaman teoritis itu, terdapat satu
benang merah: upaya manusia memahami cara bahasa menghubungkan kesadaran
dengan dunia—sebuah usaha epistemologis, ontologis, dan sekaligus
eksistensial.
Secara ontologis, rujukan menunjukkan bahwa bahasa
tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berakar pada realitas yang ingin
dipahami dan diungkapkan manusia. Bahasa memungkinkan dunia menjadi hadir dalam
kesadaran, menjembatani jarak antara subjek dan objek.² Namun, rujukan bukanlah
hubungan mekanis atau reflektif semata, karena setiap bentuk penunjukan
linguistik selalu dimediasi oleh struktur makna, konteks sosial, dan niat
komunikatif manusia. Dengan kata lain, rujukan adalah peristiwa kebermaknaan—bukan
sekadar mekanisme logis, melainkan juga fenomena hermeneutik dan intersubjektif
yang terjadi di dalam kehidupan manusia yang berbahasa.³
Secara epistemologis, rujukan menjadi dasar bagi
segala bentuk pengetahuan dan komunikasi. Kemampuan manusia untuk menyebut,
menunjuk, dan mengidentifikasi sesuatu di dunia merupakan fondasi bagi
penciptaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.⁴ Tanpa rujukan yang
stabil dan dapat diverifikasi, pengetahuan kehilangan arah, dan komunikasi
kehilangan makna. Oleh karena itu, tanggung jawab epistemik dalam menjaga
kejelasan dan kejujuran rujukan adalah bagian dari tanggung jawab moral manusia
sebagai makhluk rasional dan komunikatif.⁵
Dari segi aksiologis, rujukan memiliki nilai etis
dan sosial yang mendalam. Bahasa yang benar dalam merujuk bukan hanya soal
keakuratan logis, tetapi juga soal tanggung jawab etis terhadap realitas
dan sesama. Dalam masyarakat, cara manusia menamai dan merujuk sesuatu
mencerminkan sistem nilai, kekuasaan, serta struktur sosial yang berlaku.⁶
Karena itu, refleksi filosofis tentang rujukan juga merupakan refleksi tentang kebebasan
dan keadilan simbolik: siapa yang memiliki hak untuk menamai dunia, dan
bagaimana nama-nama itu digunakan untuk membangun atau menindas.⁷
Dalam konteks sosial, politik, dan budaya, rujukan
berperan sebagai alat pembentuk realitas sosial. Bahasa tidak sekadar
menggambarkan dunia, tetapi turut menciptakannya.⁸ Ketika makna dikontrol oleh
kekuasaan politik atau algoritma digital, rujukan dapat kehilangan sifatnya
yang dialogis dan humanistik. Fenomena disinformation dan hyperreality
menandakan krisis rujukan di era modern, di mana tanda-tanda lebih sering
merujuk pada simulasi daripada kenyataan.⁹ Oleh sebab itu, dalam era komunikasi
global dan digital, filsafat rujukan memperoleh kembali relevansinya: ia
menjadi dasar bagi upaya menjaga integritas informasi, kejujuran representasi,
dan keadilan semantik dalam ruang publik dunia maya.¹⁰
Secara sintesis, konsepsi humanistik tentang
rujukan menegaskan bahwa bahasa bukan hanya alat representasi, melainkan
medium eksistensi dan relasi. Rujukan adalah tindakan dialogis yang menyingkap
dunia, menghubungkan manusia dengan sesamanya, dan membuka ruang bagi pemahaman
yang lebih luas.¹¹ Perspektif ini menyatukan pandangan semantik, pragmatik, dan
etis dalam satu kerangka integratif yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
aktivitas bermakna. Dengan demikian, rujukan bukan hanya fenomena linguistik,
tetapi juga ekspresi kemanusiaan—sebuah cara manusia untuk menghadirkan
dunia melalui simbol yang penuh makna.
Akhirnya, filsafat rujukan mengingatkan kita bahwa
setiap kali kita menamai sesuatu, kita tidak hanya menunjuk pada benda atau
konsep, tetapi juga menegaskan cara kita memahami dan menghuni dunia.
Rujukan yang benar bukan hanya yang tepat secara logis, melainkan juga yang jujur
secara moral, terbuka terhadap perbedaan, dan berakar pada kesadaran dialogis
manusia. Dalam semangat ini, konsepsi humanistik tentang rujukan menjadi bukan
sekadar teori bahasa, melainkan juga etika komunikasi dan filsafat
keberadaan—suatu upaya untuk menegakkan makna di tengah dunia yang semakin
kompleks dan terfragmentasi.
Footnotes
[1]
Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and
Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT
Press, 1999), 21–25.
[2]
Aristotle, On Interpretation, trans. E. M.
Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.
[4]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 1 (1967): 304–323.
[5]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
99–104.
[6]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.
[7]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern
Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson
and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[8]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New
York: Anchor Books, 1966), 58–61.
[9]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–7.
[10]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 96–103.
[11]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston:
Northwestern University Press, 1991), 137–141.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1984). On
interpretation (E. M. Edghill, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The
complete works of Aristotle (Vol. 1, pp. 16a3–19b). Princeton
University Press.
Barthes, R. (1972). Mythologies
(A. Lavers, Trans.). Hill and Wang.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan
Press.
Beauvoir, S. de. (2011). The
second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage
Books.
Berger, P. L., &
Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A
treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.
Bourdieu, P. (1991). Language
and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Polity
Press.
Davidson, D. (1967). Truth
and meaning. Synthese, 17(1), 304–323.
Davidson, D. (1973).
Radical interpretation. Dialectica, 27(3–4), 313–328.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University
Press.
Devitt, M., & Sterelny,
K. (1999). Language and reality: An introduction to
the philosophy of language. MIT Press.
Dummett, M. (1993). The
seas of language. Oxford University Press.
Evans, G. (1982). The
varieties of reference. Oxford University Press.
Farid, H. (2023). Fake
photos: The digital manipulation of media images. MIT Press.
Floridi, L. (2010). Information:
A very short introduction. Oxford University Press.
Floridi, L. (2011). The
philosophy of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Frege, G. (1892). Über Sinn
und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und
philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Grice, H. P. (1975). Logic
and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax
and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41–58). Academic Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.).
Beacon Press.
Hall, S. (1997). The work
of representation. In S. Hall (Ed.), Representation:
Cultural representations and signifying practices (pp. 13–74).
Sage.
Han, B.-C. (2017). In
the swarm: Digital prospects (E. Butler, Trans.). MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper &
Row.
Kaplan, D. (1989).
Demonstratives. In J. Almog, J. Perry, & H. Wettstein (Eds.), Themes
from Kaplan (pp. 481–563). Oxford University Press.
Kitcher, P. (1993). The
advancement of science: Science without legend, objectivity without illusions.
Oxford University Press.
Kripke, S. (1980). Naming
and necessity. Harvard University Press.
Levinson, S. C. (1983). Pragmatics.
Cambridge University Press.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne
University Press.
Mignolo, W. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options.
Duke University Press.
Noble, S. U. (2018). Algorithms
of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.
Putnam, H. (1975). The
meaning of “meaning.” In Mind, language and reality: Philosophical
papers, Vol. 2 (pp. 215–271). Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1977). The
rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in
language (R. Czerny, Trans.). University of Toronto Press.
Ricoeur, P. (1991). From
text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B.
Thompson, Trans.). Northwestern University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1905). On
denoting. Mind, 14(56), 479–493.
Sapir, E. (1921). Language:
An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace.
Searle, J. R. (1979). Expression
and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge
University Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality:
An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1995). The
construction of social reality. Free Press.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism
and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of
Illinois Press.
Sperber, D., & Wilson,
D. (1986). Relevance: Communication and cognition.
Blackwell.
Srnicek, N. (2017). Platform
capitalism. Polity Press.
Strawson, P. F. (1950). On
referring. Mind, 59(235), 320–344.
Taylor, C. (2016). The
language animal: The full shape of the human linguistic capacity.
Harvard University Press.
van Dijck, J. (2013). The
culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford
University Press.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting.
Oxford University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism. PublicAffairs.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar