Senin, 01 Desember 2025

Masalah Rujukan (Reference): Dari Deskripsi hingga Teori Penyebab Kausal dan Perspektif Humanistik

Masalah Rujukan (Reference)

Dari Deskripsi hingga Teori Penyebab Kausal dan Perspektif Humanistik


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif masalah rujukan (reference) sebagai salah satu isu sentral dalam filsafat bahasa, dengan menelusuri aspek historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosialnya. Melalui kajian sistematis terhadap teori-teori utama—mulai dari teori deskriptif Frege dan Russell, teori non-deskriptif Strawson, teori kausal Kripke dan Putnam, hingga teori kontekstual dan pragmatik modern—tulisan ini menunjukkan bahwa rujukan bukan hanya hubungan logis antara kata dan dunia, tetapi juga fenomena eksistensial dan sosial yang mencerminkan cara manusia memahami serta menamai realitas.

Pembahasan aksiologis menyoroti nilai epistemik, etis, dan sosial dari rujukan, terutama perannya dalam membangun pengetahuan dan tanggung jawab moral terhadap kebenaran representasi. Dimensi sosial, politik, dan kultural mengungkap bagaimana bahasa berfungsi sebagai medan kekuasaan dan pembentukan identitas, sementara kritik terhadap teori-teori klasik menegaskan perlunya pendekatan yang lebih integratif dan humanistik.

Dalam konteks kontemporer, artikel ini menyoroti krisis rujukan di era digital—terutama akibat kemunculan simulacra, kecerdasan buatan, dan algoritma media sosial yang mengubah cara manusia berhubungan dengan makna. Melalui sintesis filosofis, artikel ini menawarkan konsepsi humanistik tentang rujukan, yang memahami bahasa sebagai medium eksistensial, dialogis, dan etis tempat manusia membangun relasi dengan dunia dan sesamanya. Rujukan yang humanistik tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga memperjuangkan keterbukaan, keadilan makna, dan tanggung jawab dalam komunikasi global.

Kata Kunci: Rujukan, Filsafat Bahasa, Makna, Kebenaran, Konteks, Humanisme, Etika Komunikasi, Realitas, Digitalitas, Intersubjektivitas.


PEMBAHASAN

Masalah Rujukan (Reference) dalam Filsafat Bahasa


1.           Pendahuluan

Masalah rujukan (reference) merupakan salah satu isu paling fundamental dan persisten dalam filsafat bahasa, yang menyinggung hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Setiap kali seseorang menggunakan kata, nama, atau kalimat, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana tanda linguistik tersebut “mengarah” kepada sesuatu di dunia? Dengan kata lain, bagaimana mungkin suatu kata menunjuk kepada objek, peristiwa, atau konsep tertentu dan bukan kepada yang lain? Persoalan ini tidak hanya menyentuh dimensi semantik bahasa, tetapi juga menggugat dasar epistemologis dan ontologis dari hubungan antara manusia dan dunia yang diungkapkan melalui bahasa. Sejak awal abad ke-20, perdebatan mengenai rujukan menjadi titik temu antara logika, linguistik, dan metafisika, serta menjadi medan kontestasi antara berbagai mazhab dalam filsafat analitik maupun hermeneutik.¹

Dalam filsafat klasik, persoalan rujukan telah muncul dalam bentuk yang sederhana, terutama ketika Plato mengajukan pertanyaan tentang bagaimana nama-nama berkaitan dengan ide atau bentuk yang ideal dalam Cratylus.² Sementara Aristoteles menegaskan bahwa bahasa memiliki fungsi representasional terhadap kenyataan, tetapi representasi itu selalu dimediasi oleh kategori dan bentuk pikiran manusia.³ Gagasan tentang hubungan antara bahasa dan dunia ini kemudian dikembangkan secara radikal pada masa modern oleh para filsuf analitik seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein. Mereka berupaya menjelaskan struktur logis bahasa serta hubungan antara makna (sense) dan rujukan (reference) dengan tingkat presisi yang lebih tinggi. Frege, misalnya, membedakan antara Sinn (makna) dan Bedeutung (rujukan) sebagai dua aspek berbeda dari tanda linguistik: yang pertama menunjuk pada cara penyajian (mode of presentation), sedangkan yang kedua menunjuk pada objek aktual di dunia.⁴

Permasalahan ini semakin kompleks ketika kita berhadapan dengan fenomena bahasa sehari-hari. Bagaimana kita menjelaskan kalimat seperti “Pegasus adalah seekor kuda bersayap”? Kalimat ini tampak bermakna, tetapi objek yang dirujuk (Pegasus) tidak benar-benar ada.⁵ Begitu pula ketika dua nama berbeda menunjuk pada entitas yang sama—seperti “Bintang Fajar” dan “Bintang Senja”, yang keduanya merujuk pada planet Venus—kita berhadapan dengan masalah identitas rujukan yang tidak sejalan dengan perbedaan makna linguistik.⁶ Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa rujukan bukan sekadar persoalan relasi langsung antara kata dan objek, tetapi juga melibatkan dimensi konseptual, historis, dan sosial dari penggunaan bahasa.

Dengan demikian, masalah rujukan memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan filsafat bahasa. Ia menjadi dasar bagi teori makna, teori kebenaran, dan teori komunikasi. Jika bahasa tidak mampu secara stabil merujuk pada realitas, maka semua bentuk proposisi, pengetahuan, dan komunikasi manusia akan kehilangan fondasinya.⁷ Oleh karena itu, penyelidikan terhadap rujukan bukan hanya usaha linguistik atau logis, tetapi juga refleksi filosofis atas bagaimana manusia memahami dan menamai dunia. Melalui bahasa, manusia tidak hanya menunjuk pada sesuatu yang eksternal, tetapi juga mengonstruksi realitas simbolik yang menjadi bagian dari pengalaman sosialnya.

Dalam konteks kontemporer, terutama di era digital dan komunikasi global, masalah rujukan menjadi semakin rumit. Istilah-istilah seperti hashtag, avatar, metadata, dan hyperlink memperluas konsep rujukan ke dalam ruang maya, di mana tanda-tanda tidak lagi merujuk langsung kepada objek fisik, melainkan kepada representasi digital atau jaringan makna yang saling terhubung.⁸ Dalam kondisi ini, pertanyaan klasik tentang rujukan memperoleh relevansi baru: apakah rujukan digital masih mengacu pada realitas objektif, ataukah ia sekadar menciptakan lapisan representasi yang otonom?

Kajian ini bertujuan untuk menelusuri akar historis, landasan konseptual, serta perkembangan teori-teori utama tentang rujukan dalam filsafat bahasa, mulai dari teori deskriptif hingga teori kausal dan konteks pragmatik modern. Selain itu, pembahasan ini akan memperluas cakupan analisisnya dengan meninjau dimensi aksiologis, sosial, dan kultural dari rujukan, serta menawarkan sintesis humanistik yang menempatkan rujukan bukan hanya sebagai persoalan logika, tetapi juga sebagai ekspresi dari hubungan manusia yang sadar akan dunia dan sesamanya. Dengan cara ini, masalah rujukan akan dilihat sebagai jantung dari refleksi filosofis tentang makna, kebenaran, dan komunikasi manusia.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 12–15.

[2]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.

[3]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.

[4]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[5]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[6]                Ibid., 480.

[7]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1 (1967): 304–323.

[8]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–103.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Masalah Rujukan

Masalah rujukan dalam filsafat bahasa memiliki akar historis yang panjang, berawal dari refleksi metafisik dan logis pada masa Yunani Kuno hingga mencapai bentuk konseptual yang sistematis dalam filsafat analitik abad ke-20. Perkembangan historis ini menunjukkan bahwa persoalan bagaimana bahasa “menunjuk” pada sesuatu di dunia bukanlah persoalan linguistik semata, melainkan juga persoalan ontologis dan epistemologis yang berkaitan dengan struktur realitas dan cara manusia mengetahui serta mengartikulasikannya melalui simbol.¹ Dengan menelusuri genealoginya, dapat dipahami bagaimana perubahan paradigma tentang bahasa mencerminkan perubahan pandangan tentang hubungan antara pikiran, dunia, dan pengetahuan.

2.1.       Masa Yunani Kuno: Dari Nominalisme ke Realisme Bahasa

Dalam tradisi Yunani Kuno, perdebatan mengenai rujukan pertama kali muncul dalam dialog Cratylus karya Plato. Di dalamnya, Socrates mempertanyakan apakah nama-nama memiliki hubungan “alami” dengan benda yang dinamai ataukah hubungan tersebut hanya hasil konvensi sosial.² Cratylus dan Hermogenes mewakili dua posisi ekstrem: yang pertama menganggap nama memiliki keterkaitan alamiah (physis), sedangkan yang kedua berpendapat bahwa penamaan sepenuhnya bersifat konvensional (nomos). Plato sendiri mengambil posisi yang lebih moderat: nama berfungsi untuk “menyampaikan esensi” (ousia) benda, tetapi hubungan itu dimediasi oleh ide-ide universal.³ Dengan demikian, rujukan tidak pernah langsung kepada objek fisik, melainkan melalui dunia ide.

Aristoteles melanjutkan perdebatan ini dengan pendekatan yang lebih empiris dan logis. Dalam De Interpretatione, ia menegaskan bahwa kata-kata adalah simbol dari konsep dalam jiwa, sedangkan konsep-konsep tersebut merupakan gambar (likenesses) dari hal-hal di dunia nyata.⁴ Dengan kata lain, hubungan rujukan bersifat triadik: antara dunia eksternal, pikiran, dan bahasa. Pandangan ini menjadi dasar bagi teori representasi linguistik yang berpengaruh dalam filsafat skolastik abad pertengahan.

2.2.       Masa Pertengahan: Tradisi Skolastik dan Realisme Konseptual

Filsafat abad pertengahan mengembangkan persoalan rujukan dalam konteks perdebatan antara kaum realis, nominalis, dan konseptualis. Thomas Aquinas, misalnya, mempertahankan pandangan bahwa bahasa merepresentasikan realitas karena konsep-konsep manusia mencerminkan bentuk-bentuk universal yang memang ada dalam realitas ciptaan.⁵ Sementara itu, William of Ockham, melalui prinsip razor-nya yang terkenal, menolak entitas universal di luar pikiran dan menegaskan bahwa istilah umum hanya berfungsi sebagai tanda linguistik yang mengacu pada individu.⁶ Pandangan nominalistik ini mempersempit hubungan rujukan menjadi relasi antara istilah dan individu partikular, tanpa memerlukan entitas metafisis universal. Debat antara kaum realis dan nominalis inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi analisis semantik modern.

2.3.       Masa Modern: Dari Rasionalisme ke Empirisisme Linguistik

Memasuki era modern, perhatian terhadap bahasa sebagai medium pengetahuan semakin meningkat. John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa kata-kata adalah tanda-tanda dari ide-ide dalam pikiran, bukan dari benda-benda itu sendiri.⁷ Ia menolak pandangan bahwa ada hubungan langsung antara bahasa dan dunia, sebab rujukan bahasa tergantung pada representasi mental individu. Pemikiran ini menandai pergeseran dari ontologi realis menuju psikologisme linguistik, di mana rujukan menjadi masalah epistemologis: bagaimana ide-ide kita merepresentasikan dunia.

Pada abad ke-19, perhatian terhadap logika formal membuka jalan bagi analisis baru tentang rujukan. Gottlob Frege adalah tokoh kunci yang menolak reduksi psikologistik dan memperkenalkan distingsi antara Sinn (makna) dan Bedeutung (rujukan).⁸ Menurut Frege, makna sebuah ekspresi adalah cara penyajiannya (mode of presentation) terhadap suatu objek, sedangkan rujukan adalah objek yang dimaksud oleh ekspresi tersebut. Dengan demikian, dua ungkapan yang memiliki makna berbeda dapat merujuk pada objek yang sama (misalnya “Bintang Fajar” dan “Bintang Senja” yang keduanya menunjuk pada Venus).⁹ Frege menegaskan bahwa rujukan bersifat objektif dan independen dari kondisi psikologis pengguna bahasa.

2.4.       Abad ke-20: Pergeseran Paradigma dalam Filsafat Analitik

Masalah rujukan mencapai tahap baru dalam karya Bertrand Russell dan para filsuf analitik awal abad ke-20. Dalam esainya yang berpengaruh On Denoting (1905), Russell memperkenalkan teori deskripsi definitif untuk menjelaskan bagaimana kalimat yang tampaknya merujuk pada entitas non-eksisten (“Raja Prancis saat ini botak”) tetap dapat memiliki makna logis tanpa mengandaikan keberadaan objek tersebut.¹⁰ Dengan memformalkan bahasa alami ke dalam bentuk logika, Russell berupaya menghindari paradoks semantik dan menjelaskan rujukan melalui struktur proposisional.

Namun, teori Russell menghadapi kritik dari P. F. Strawson yang berpendapat bahwa rujukan bukanlah fungsi logis, melainkan tindakan linguistik yang bergantung pada konteks dan niat pembicara.¹¹ Kritik ini membuka jalan bagi perkembangan teori pragmatik dan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy), yang kemudian dikembangkan oleh J. L. Austin dan Ludwig Wittgenstein periode akhir. Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menolak pandangan representasional tentang bahasa dan menggantinya dengan konsep “permainan bahasa” (language games), di mana makna dan rujukan ditentukan oleh aturan penggunaan sosial, bukan oleh korespondensi metafisis dengan dunia.¹²

Akhirnya, Saul Kripke dan Hilary Putnam pada paruh kedua abad ke-20 memperkenalkan teori kausal rujukan, yang menolak teori deskriptif Frege-Russell dan menekankan bahwa hubungan antara nama dan objek bersifat historis dan kausal.¹³ Sebuah nama merujuk kepada objek tertentu karena adanya rantai komunikasi yang menghubungkan penggunaan awal nama itu dengan penggunaan berikutnya di masyarakat. Dengan demikian, rujukan tidak ditentukan oleh deskripsi mental, melainkan oleh sejarah sosial bahasa itu sendiri.


Signifikansi Historis

Dari pergeseran historis ini dapat disimpulkan bahwa masalah rujukan mencerminkan dinamika antara tiga kutub: dunia (objek), pikiran (subjek), dan bahasa (tanda). Pergeseran dari pandangan idealis menuju pandangan naturalis, dari deskriptif menuju kausal, menunjukkan upaya filsafat untuk menemukan keseimbangan antara dimensi logis dan sosial bahasa. Dengan menelusuri akar-akar ini, kita dapat memahami bahwa persoalan rujukan bukan hanya masalah semantik, melainkan juga cermin dari evolusi pemikiran manusia tentang relasi antara pengetahuan dan kenyataan.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 21–25.

[2]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.

[3]                Ibid., 390c–394e.

[4]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.13.1.

[6]                William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The Franciscan Institute, 1974), I.14.

[7]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), III.2.2.

[8]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[9]                Ibid., 27–30.

[10]             Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[11]             P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.

[12]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§65.

[13]             Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980); Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.


3.           Ontologi: Hakikat Rujukan dan Hubungan Bahasa–Realitas

Masalah rujukan dalam filsafat bahasa tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan ontologis tentang hakikat relasi antara bahasa dan realitas. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah hubungan antara kata dan dunia bersifat langsung, konvensional, mental, atau kausal? Ontologi rujukan menyingkap cara manusia menghubungkan simbol linguistik dengan eksistensi di luar bahasa, sekaligus menyoal status keberadaan dari objek-objek yang dirujuk, baik yang nyata maupun yang fiktif.¹ Dengan demikian, membahas rujukan secara ontologis berarti menelusuri bagaimana bahasa menegakkan jembatan antara tanda dan dunia, serta bagaimana realitas memperoleh “kehadiran” melalui simbol.

3.1.       Relasi Ontologis antara Bahasa, Pikiran, dan Dunia

Dalam sejarah filsafat, hubungan antara bahasa dan realitas sering digambarkan sebagai segitiga relasional antara sign, thought, dan thing.² Model klasik ini terlihat jelas dalam teori representasi Aristoteles: kata-kata mewakili konsep dalam pikiran, dan konsep tersebut merepresentasikan benda di dunia.³ Relasi ini kemudian dipertegas oleh para skolastik seperti Thomas Aquinas, yang memandang bahasa sebagai instrumen yang merefleksikan tatanan ontologis ciptaan Tuhan.⁴ Namun, dengan munculnya pandangan nominalistik seperti William of Ockham, hubungan tersebut dipandang bukan sebagai refleksi realitas objektif, melainkan sebagai hasil dari sistem tanda yang konvensional dan arbitrer.⁵

Dalam pandangan modern, hubungan bahasa–realitas tidak lagi dipahami sebagai korespondensi sederhana, melainkan sebagai konstruksi simbolik. Ferdinand de Saussure menggeser fokus dari hubungan eksternal antara kata dan objek menjadi hubungan internal dalam sistem tanda.⁶ Menurut Saussure, makna (dan dengan demikian juga rujukan) muncul dari diferensiasi dalam sistem bahasa itu sendiri—kata tidak menunjuk pada benda secara langsung, tetapi memperoleh makna dari perbedaan dengan kata lain. Dengan demikian, realitas linguistik menjadi mandiri dari realitas eksternal, dan rujukan dianggap sebagai efek struktur, bukan sebagai hubungan ontologis langsung.

3.2.       Rujukan sebagai Relasi Eksistensial dan Logis

Dalam tradisi filsafat analitik, terutama melalui karya Gottlob Frege, persoalan ontologi rujukan mengalami formalisasi yang ketat. Frege membedakan antara Sinn (makna) dan Bedeutung (rujukan) untuk menghindari reduksi psikologis terhadap arti.⁷ Menurutnya, rujukan adalah entitas objektif yang ditunjuk oleh ekspresi linguistik—misalnya, nama “Venus” merujuk pada planet yang ada secara aktual, sementara Sinn-nya adalah cara penyajian planet itu (sebagai “Bintang Fajar” atau “Bintang Senja”).⁸ Dengan demikian, rujukan memiliki status ontologis yang independen dari pikiran individu, karena ia berakar pada dunia objektif yang dapat diidentifikasi secara logis.

Sebaliknya, Bertrand Russell menolak gagasan bahwa setiap ekspresi linguistik harus memiliki rujukan aktual. Dalam On Denoting (1905), ia menunjukkan bahwa kalimat seperti “Raja Prancis saat ini botak” tidak memiliki rujukan karena entitas yang disebut tidak eksis.⁹ Namun, menurut Russell, proposisi semacam itu tetap bermakna karena dapat dianalisis secara logis menjadi klaim tentang eksistensi dan predikasi.¹⁰ Pandangan ini mengimplikasikan bahwa rujukan tidak selalu mengandaikan keberadaan ontologis, tetapi bergantung pada struktur proposisional dan logika eksistensial yang menyertainya.

Pertanyaan tentang non-existent entities (entitas yang tidak ada) kemudian diangkat kembali oleh Alexius Meinong, yang berpendapat bahwa setiap objek yang dapat dipikirkan memiliki “menjadi-secara-objektif” (Gegenstandsein) meskipun tidak eksis secara empiris.¹¹ Pandangan Meinong ini menantang realisme semantik Frege–Russell dan membuka jalan bagi perdebatan ontologis tentang status fiksi, mitos, dan entitas abstrak dalam bahasa.

3.3.       Ontologi Nama Diri dan Istilah Umum

Dalam dimensi ontologis, persoalan rujukan sering dikaitkan dengan dua jenis ekspresi linguistik: proper names (nama diri) dan general terms (istilah umum). Nama diri tampak merujuk langsung kepada individu tertentu, sedangkan istilah umum merujuk kepada kelas atau kategori.¹² Frege dan Russell menganggap nama diri memiliki fungsi deskriptif, yakni nama dapat dipahami sebagai singkatan dari deskripsi yang mengidentifikasi individu tersebut. Namun, teori ini dikritik oleh Saul Kripke dalam Naming and Necessity (1980), yang berargumen bahwa nama diri bersifat rigid designator—yakni menunjuk kepada individu yang sama di setiap dunia yang mungkin (possible worlds), terlepas dari deskripsi yang melekat padanya.¹³ Dengan demikian, hubungan ontologis antara nama dan objek bersifat kausal dan historis, bukan konseptual atau deskriptif.

Hilary Putnam memperluas gagasan ini dalam teori eksternalisme semantik. Ia menekankan bahwa rujukan istilah umum (seperti “air” atau “emas”) tidak ditentukan hanya oleh keadaan mental pembicara, melainkan oleh kondisi eksternal dan komunitas linguistik yang lebih luas.¹⁴ Rujukan, dalam pandangan ini, bersifat sosial dan material: ia tergantung pada interaksi manusia dengan dunia empiris dan struktur ilmiah yang mendefinisikan objek-objek tersebut. Ontologi rujukan, dengan demikian, menjadi relasi intersubjektif yang terbentuk dalam jaringan sosial-epistemik manusia.

3.4.       Bahasa, Realitas, dan Keberadaan Fiktif

Salah satu tantangan ontologis terbesar dalam teori rujukan adalah menjelaskan status keberadaan dari entitas yang tidak nyata—seperti tokoh fiksi, konsep metaforis, atau makhluk mitologis. Ketika seseorang mengatakan “Sherlock Holmes tinggal di Baker Street,” secara linguistik pernyataan itu tampak merujuk, tetapi secara ontologis objeknya tidak ada.¹⁵ Frege dan Russell berusaha menghindari komitmen terhadap keberadaan semacam itu dengan menolak bahwa kalimat semacam ini benar-benar merujuk. Namun, pandangan fenomenologis dan hermeneutik menilai bahwa rujukan fiktif tetap memiliki realitas makna: entitas tersebut “ada” dalam horizon kesadaran dan dunia teks.¹⁶ Dalam pengertian ini, rujukan bukan sekadar hubungan antara kata dan benda, tetapi antara makna dan pengalaman.

3.5.       Ontologi Rujukan dalam Perspektif Kontemporer

Dalam ontologi kontemporer, terutama yang dipengaruhi oleh pragmatisme dan filsafat fenomenologi, rujukan tidak lagi dianggap sebagai relasi representasional yang statis, melainkan sebagai peristiwa kebermaknaan yang terjadi dalam interaksi. Heidegger, misalnya, dalam Being and Time menolak pandangan representasional tentang bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah “rumah ada” (das Haus des Seins).¹⁷ Artinya, rujukan tidak berdiri di luar eksistensi, melainkan merupakan cara ada itu sendiri menyingkapkan dirinya melalui bahasa.

Dengan demikian, hakikat ontologis rujukan bukan hanya persoalan tentang “apa” yang dirujuk, tetapi juga tentang “bagaimana” keberadaan menjadi dapat dikatakan. Bahasa tidak semata mencerminkan dunia, melainkan turut membentuk horizon pemahaman manusia atas realitas. Perspektif ini mengarahkan kita menuju konsepsi humanistik tentang rujukan, di mana bahasa menjadi medium eksistensial yang memungkinkan manusia hadir dan berelasi dengan dunia serta sesamanya.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 41–45.

[2]                Ogden, Charles K., and I. A. Richards, The Meaning of Meaning (New York: Harcourt, Brace & World, 1923), 11–15.

[3]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.13.1.

[5]                William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The Franciscan Institute, 1974), I.14.

[6]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 67–71.

[7]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[8]                Ibid., 27–30.

[9]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[10]             Ibid., 481–484.

[11]             Alexius Meinong, Über Gegenstandstheorie (Leipzig: Barth, 1904), 8–12.

[12]             Peter Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics (London: Methuen, 1959), 178–184.

[13]             Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–53.

[14]             Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.

[15]             John Searle, “The Logical Status of Fictional Discourse,” New Literary History 6, no. 2 (1975): 319–332.

[16]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 74–78.

[17]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–212.


4.           Epistemologi: Bagaimana Kita Mengetahui Objek Rujukan?

Pertanyaan epistemologis dalam masalah rujukan berfokus pada bagaimana manusia mengetahui objek yang dirujuk oleh bahasa, dan melalui mekanisme apa hubungan antara pikiran, tanda, dan dunia terbentuk. Bila bagian ontologis menelaah “apa” yang dirujuk dan “bagaimana” keberadaannya, maka bagian epistemologis menelusuri “bagaimana kita tahu” bahwa kata atau nama tertentu benar-benar menunjuk kepada sesuatu.¹ Persoalan ini menjadi jantung dari filsafat bahasa karena menyangkut keabsahan pengetahuan linguistik dan komunikasi manusia secara umum.

Epistemologi rujukan menuntut pemahaman tentang bagaimana subjek mengenal dan menetapkan relasi antara simbol linguistik dan entitas dunia eksternal. Dalam konteks ini, perdebatan melibatkan aspek mental, kontekstual, serta sosial dari proses penentuan makna dan rujukan.

4.1.       Rujukan dan Pengetahuan Linguistik

Dalam tradisi empiris modern, John Locke menegaskan bahwa pengetahuan linguistik bersumber dari pengalaman dan ide-ide dalam pikiran.² Bahasa berfungsi sebagai tanda (signs) bagi ide-ide yang telah terbentuk melalui pengalaman inderawi, dan karena itu rujukan terhadap dunia luar bergantung pada kesesuaian antara ide dan objek. Namun, pandangan ini menghadapi kritik karena mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap representasi mental yang bersifat subjektif.

Immanuel Kant kemudian menegaskan bahwa pengetahuan tidak sekadar hasil dari pengalaman inderawi, melainkan juga ditentukan oleh kategori apriori dalam rasio manusia.³ Dengan demikian, rujukan tidak terjadi secara pasif melalui persepsi, tetapi merupakan hasil sintesis aktif antara struktur pikiran dan data empiris. Dalam kerangka ini, bahasa menjadi medium yang memediasi struktur konseptual manusia terhadap realitas fenomenal.

Bagi para filsuf analitik, pengetahuan linguistik tentang rujukan dapat dijelaskan melalui hubungan antara makna dan penggunaan. Ludwig Wittgenstein, dalam Philosophical Investigations, menolak pandangan bahwa makna adalah hasil dari asosiasi mental antara kata dan objek; ia menegaskan bahwa “makna adalah penggunaan dalam bahasa” (meaning is use).⁴ Artinya, kita mengetahui objek rujukan bukan melalui representasi mental privat, tetapi melalui praktik sosial di mana kata digunakan dalam konteks tertentu. Dengan demikian, epistemologi rujukan bersifat intersubjektif: pengetahuan tentang apa yang dirujuk diperoleh dalam konteks komunikasi sosial, bukan dalam kesadaran individual yang terisolasi.

4.2.       Peran Konteks dan Niat dalam Penentuan Rujukan

Salah satu kemajuan penting dalam pemahaman epistemologis rujukan berasal dari teori tindak tutur (speech act theory) dan pragmatik. J. L. Austin dan H. P. Grice menegaskan bahwa makna dan rujukan suatu ujaran tidak dapat dipahami tanpa memperhitungkan niat pembicara dan konteks situasional.⁵ Dalam kerangka ini, rujukan bukan semata relasi statis antara kata dan objek, tetapi tindakan linguistik yang bergantung pada tujuan komunikatif.

P. F. Strawson memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa “merujuk” adalah aktivitas manusia yang memerlukan niat (intention) untuk menunjuk sesuatu, dan keberhasilan rujukan tergantung pada keberhasilan audiens memahami niat itu.⁶ Dengan demikian, pengetahuan tentang objek rujukan bukanlah hasil inferensi logis belaka, tetapi hasil partisipasi dalam praktik komunikasi di mana pembicara dan pendengar berbagi pemahaman tentang konteks dan tujuan ujaran.

Dalam teori pragmatik modern, Herbert Paul Grice mengembangkan konsep “makna pembicara” (speaker’s meaning) yang menekankan bahwa pemahaman terhadap rujukan tergantung pada inferensi bersama antara pembicara dan pendengar.⁷ Artinya, untuk mengetahui objek rujukan, pendengar harus mampu mengenali niat komunikatif pembicara, dan ini hanya mungkin jika keduanya berbagi sistem norma dan konvensi linguistik yang sama.

4.3.       Proses Kognitif dan Persepsi dalam Pengetahuan Rujukan

Dari perspektif kognitif, mengetahui objek rujukan memerlukan proses mental yang menghubungkan persepsi dengan simbol linguistik. John Searle, dalam Intentionality (1983), menyebut bahwa setiap tindakan linguistik memiliki struktur intensional, yaitu diarahkan kepada sesuatu di dunia.⁸ Proses ini melibatkan kesadaran yang menujukan perhatian kepada objek melalui tanda, sehingga rujukan dapat dipahami sebagai bentuk “arah kesadaran” (directedness of consciousness).

Dalam konteks ini, kesalahan rujukan—seperti ketika seseorang salah mengenali atau salah menafsirkan objek—menunjukkan bahwa pengetahuan tentang rujukan selalu bersifat fallibilis dan kontekstual. Kita mengetahui objek rujukan bukan melalui hubungan langsung antara kata dan benda, tetapi melalui proses inferensial yang melibatkan persepsi, memori, dan interpretasi. Hal ini menegaskan bahwa epistemologi rujukan bersifat empiris sekaligus interpretatif.

4.4.       Ambiguitas dan Ketidakpastian dalam Pengetahuan Rujukan

Epistemologi rujukan juga dihadapkan pada masalah ambiguitas linguistik. Satu kata atau frasa dapat memiliki lebih dari satu rujukan tergantung pada konteks penggunaannya. Misalnya, kata “bank” dapat merujuk pada lembaga keuangan atau tepian sungai. Ketika kita memahami ujaran seperti “Saya duduk di bank,” kita menafsirkan rujukannya berdasarkan konteks pragmatik, bukan hanya makna leksikal.⁹

Hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang rujukan tidak bersifat deterministik, melainkan probabilistik dan kontekstual. Keterlibatan interpretasi menunjukkan bahwa rujukan adalah hasil interaksi antara sistem linguistik, lingkungan kognitif, dan dinamika sosial. Dalam hal ini, filsafat pragmatik kontemporer melihat rujukan sebagai bentuk pengetahuan situasional yang terus dinegosiasikan di antara para pengguna bahasa.¹⁰

Ambiguitas juga mencerminkan keterbatasan epistemik manusia: kita tidak selalu memiliki akses penuh terhadap realitas yang dimaksud. Seperti yang ditegaskan oleh Donald Davidson, pemahaman makna dan rujukan bergantung pada prinsip kebenaran dan koherensi dalam komunikasi; dengan kata lain, kita mengetahui apa yang dirujuk melalui kemampuan kita menafsirkan ujaran sebagai bagian dari sistem keyakinan yang rasional.¹¹

4.5.       Epistemologi Rujukan sebagai Pengetahuan Intersubjektif

Pada tingkat yang lebih luas, pengetahuan tentang objek rujukan tidak mungkin dipisahkan dari dimensi sosial bahasa. Michael Dummett menyatakan bahwa makna dan rujukan hanya dapat dipahami dalam kerangka praktik linguistik publik.¹² Dengan demikian, mengetahui objek rujukan berarti berbagi kemampuan untuk menggunakan tanda dalam sistem sosial yang sama.

Hilary Putnam menambahkan bahwa proses mengetahui rujukan tidak terletak sepenuhnya dalam pikiran individu, tetapi juga dalam komunitas linguistik dan lingkungan eksternal yang membentuk acuan istilah tersebut—sebuah posisi yang dikenal sebagai semantic externalism.¹³ Oleh karena itu, epistemologi rujukan bersifat ganda: ia berakar pada struktur kognitif individu, tetapi diwujudkan dan divalidasi dalam jaringan sosial yang lebih luas.

Dengan demikian, mengetahui objek rujukan bukanlah sekadar persoalan persepsi atau penalaran logis, melainkan proses hermeneutik yang berlangsung dalam ruang komunikasi manusia. Melalui interaksi simbolik, manusia membangun pengetahuan bersama tentang dunia, sekaligus menegaskan peran bahasa sebagai sarana utama untuk mengungkap, menafsirkan, dan memahami realitas.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 63–67.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), III.2.2–5.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A50–B75.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[5]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 94–108.

[6]                P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.

[7]                H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[8]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 8–12.

[9]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 116–120.

[10]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 75–79.

[11]             Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–328.

[12]             Michael Dummett, The Seas of Language (Oxford: Oxford University Press, 1993), 22–25.

[13]             Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.


5.           Teori-Teori Utama tentang Rujukan

Masalah rujukan telah melahirkan sejumlah teori besar dalam filsafat bahasa yang berupaya menjelaskan bagaimana kata, nama, atau ekspresi linguistik menunjuk kepada sesuatu di dunia. Seiring perkembangan filsafat analitik dan semantik modern, teori-teori ini tidak hanya berfungsi untuk memahami struktur bahasa, tetapi juga untuk menjelaskan bagaimana manusia berpikir, mengenali, dan berkomunikasi tentang realitas. Secara historis, empat pendekatan utama menonjol dalam diskursus ini: teori deskriptif, teori non-deskriptif atau teori penggunaan, teori kausal, dan teori kontekstual-pragmatik

5.1.       Teori Deskriptif (Frege–Russell): Rujukan sebagai Kandungan Makna

Teori deskriptif merupakan pendekatan klasik yang lahir dari tradisi semantik logis, terutama dalam karya Gottlob Frege dan Bertrand Russell. Frege membedakan antara Sinn (makna) dan Bedeutung (rujukan), dengan menyatakan bahwa ekspresi linguistik memiliki dua aspek: cara penyajian (mode of presentation) dan objek yang ditunjuk.² Menurut Frege, makna dari suatu nama adalah deskripsi yang memungkinkan kita mengidentifikasi objek yang dirujuk. Misalnya, nama “Venus” dapat diartikan melalui deskripsi seperti “planet yang paling terang pada waktu fajar dan senja.”³ Dengan demikian, seseorang mengetahui rujukan nama tersebut karena mengetahui deskripsi yang melekat padanya.

Bertrand Russell memperluas pendekatan ini melalui teori deskripsi definitif (theory of definite descriptions). Dalam artikelnya “On Denoting” (1905), Russell berusaha menjelaskan kalimat yang tampaknya bermakna tetapi merujuk pada entitas yang tidak ada, seperti “Raja Prancis saat ini botak.”⁴ Menurut Russell, kalimat semacam itu tidak benar-benar mengandung nama yang menunjuk pada suatu objek, melainkan merupakan struktur logis yang menyatakan proposisi eksistensial. Ia menulis bahwa “setiap deskripsi dapat dianalisis menjadi bentuk logis yang terdiri dari kuantor eksistensial dan predikasi.”⁵ Dengan cara ini, Russell menghindari komitmen ontologis terhadap entitas fiktif atau non-eksisten.

Kelebihan teori deskriptif terletak pada presisi logisnya—ia memungkinkan analisis semantik yang konsisten dan formal. Namun, teori ini dikritik karena menimbulkan paradoks ketika diterapkan pada penggunaan bahasa sehari-hari. Misalnya, jika seseorang tidak mengetahui deskripsi yang benar tentang “Aristoteles,” apakah ia berarti tidak merujuk pada Aristoteles?⁶ Kritik inilah yang memunculkan teori alternatif pada pertengahan abad ke-20.

5.2.       Teori Non-Deskriptif dan Kritik Strawson: Rujukan sebagai Tindakan Linguistik

P. F. Strawson menolak pandangan Russell dengan menyatakan bahwa rujukan bukanlah fungsi logis dari kalimat, melainkan tindakan linguistik yang dilakukan oleh pembicara dalam konteks komunikasi.⁷ Dalam esainya “On Referring” (1950), ia menegaskan bahwa ungkapan seperti “Raja Prancis saat ini botak” bukanlah kalimat yang salah, melainkan kalimat yang gagal dalam rujukan karena tidak ada entitas yang sesuai di dunia.⁸ Dengan demikian, rujukan bukanlah sesuatu yang inheren dalam ekspresi linguistik, melainkan aktivitas yang bergantung pada niat dan konteks.

Strawson memperkenalkan perbedaan penting antara “merujuk” (to refer) dan “menyebut” (to mention). Seseorang dapat menggunakan nama atau frasa tertentu tanpa keberhasilan merujuk, karena rujukan memerlukan partisipasi aktif dari pembicara dan pemahaman dari pendengar.⁹ Dalam konteks ini, teori Strawson membuka jalan bagi pengembangan pragmatik linguistik dan teori tindak tutur (speech act theory), yang menekankan bahwa makna dan rujukan ditentukan oleh penggunaan sosial bahasa, bukan oleh bentuk logis semata.

5.3.       Teori Kausal (Kripke–Putnam): Rujukan sebagai Rantai Sejarah dan Hubungan Dunia

Teori kausal muncul pada akhir abad ke-20 sebagai reaksi terhadap keterbatasan teori deskriptif. Saul Kripke dalam Naming and Necessity (1980) menolak pandangan bahwa nama diri merujuk melalui deskripsi.¹⁰ Menurut Kripke, nama diri bersifat rigid designator, yaitu menunjuk pada objek yang sama di semua dunia yang mungkin (possible worlds).¹¹ Misalnya, nama “Aristoteles” tetap merujuk kepada orang yang sama, bahkan jika dalam dunia yang mungkin ia tidak menjadi murid Plato atau penulis Metaphysics. Rujukan nama ditentukan bukan oleh deskripsi, melainkan oleh “penamaan awal” (initial baptism) dan rantai kausal komunikasi yang menghubungkan penggunaan nama tersebut dari satu individu ke individu lain.¹²

Hilary Putnam mengembangkan teori ini untuk istilah umum melalui konsep semantic externalism. Dalam artikelnya “The Meaning of ‘Meaning’” (1975), Putnam menegaskan bahwa makna dan rujukan istilah tidak hanya ditentukan oleh keadaan mental pembicara, tetapi juga oleh lingkungan eksternal dan komunitas linguistik.¹³ Contohnya, istilah “air” merujuk pada substansi H₂O, bukan pada cairan apa pun yang tampak serupa, karena komunitas ilmiah telah menentukan acuannya melalui investigasi empiris.¹⁴ Dengan demikian, rujukan bersifat sosial dan eksternal, bukan subjektif.

Teori kausal memberikan dasar realistis bagi semantik modern karena menegaskan keterhubungan antara bahasa dan dunia fisik melalui sejarah dan interaksi sosial. Namun, ia juga dikritik karena kurang memperhitungkan dinamika perubahan makna dan konteks pragmatis yang menyertai penggunaan bahasa sehari-hari.¹⁵

5.4.       Teori Kontekstual dan Pragmatik Modern: Rujukan sebagai Fenomena Sosial-Interaktif

Perkembangan selanjutnya dalam filsafat bahasa menunjukkan bahwa tidak ada teori tunggal yang mampu sepenuhnya menjelaskan rujukan tanpa memperhitungkan konteks sosial dan pragmatik. Teori kontekstual menekankan bahwa rujukan merupakan hasil interaksi antara struktur bahasa, niat pembicara, serta situasi komunikasi.¹⁶

Dalam kerangka pragmatik modern, H. P. Grice dan Dan Sperber & Deirdre Wilson menegaskan bahwa proses penentuan rujukan bergantung pada inferensi dan relevansi.¹⁷ Pendengar menafsirkan ujaran dengan mempertimbangkan konteks dan niat pembicara, bukan hanya makna literal dari kata. Misalnya, ketika seseorang berkata “dia ada di sana,” pemahaman tentang siapa “dia” dan di mana “sana” bergantung sepenuhnya pada situasi komunikasi yang sedang berlangsung.

Selain itu, teori kontekstual juga menyoroti peran budaya, norma sosial, dan kekuasaan dalam membentuk sistem rujukan. Pierre Bourdieu, misalnya, melihat bahasa sebagai praktik sosial yang sarat dengan relasi dominasi, sehingga rujukan tidak pernah netral, melainkan merupakan produk dari struktur sosial yang menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk menamai dunia.¹⁸ Dalam perspektif ini, epistemologi dan aksiologi rujukan menjadi saling berkaitan: mengetahui dan menamai dunia berarti juga berpartisipasi dalam konstruksi sosial realitas.


Sintesis Perbandingan antara Teori-Teori Rujukan

Keempat teori utama tersebut menampilkan pendekatan yang berbeda terhadap hubungan antara bahasa dan realitas:

·                     Teori Deskriptif (Frege, Russell)

Karakteristik: Rujukan ditentukan oleh deskripsi makna atau ciri-ciri yang melekat pada objek.

Fokus: Analisis logis dan semantik formal.

Ciri Utama:

Menekankan hubungan antara makna (sense) dan rujukan (reference).

Menghindari komitmen terhadap entitas fiktif dengan analisis logika proposisional.

Menjelaskan makna melalui deskripsi definitif.

·                     Teori Non-Deskriptif (Strawson)

Karakteristik: Rujukan dipahami sebagai tindakan linguistik, bukan hubungan logis.

Fokus: Dimensi pragmatik dan intensi pembicara.

Ciri Utama:

þ) Menekankan peran konteks dan niat dalam menentukan rujukan.

þ) Membeda antara “menyebut” dan “merujuk.”

þ) Gagal rujukan tidak membuat kalimat salah, tetapi menunjukkan kegagalan tindakan linguistik.

·                     Teori Kausal (Kripke, Putnam)

Karakteristik: Rujukan ditentukan oleh rantai sejarah penamaan dan faktor eksternal.

Fokus: Realisme semantik dan hubungan dunia eksternal.

Ciri Utama:

þ) Nama diri bersifat rigid designator (menunjuk objek yang sama di semua dunia mungkin).

þ) Penamaan awal (initial baptism) menentukan acuan yang diwariskan melalui rantai kausal.

þ) Lingkungan sosial dan ilmiah memengaruhi acuan istilah umum (misalnya “air” = H₂O).

·                     Teori Kontekstual dan Pragmatik (Grice, Bourdieu, Sperber & Wilson)

Karakteristik: Rujukan dipahami sebagai fenomena sosial-interaktif yang bergantung pada konteks.

Fokus: Dimensi sosial, kultural, dan hermeneutik dari komunikasi.

Ciri Utama:

þ) Rujukan bergantung pada inferensi dan relevansi dalam komunikasi.

þ) Menekankan interaksi antara niat pembicara dan interpretasi pendengar.

þ) Bahasa dipahami sebagai praktik sosial yang mengandung relasi kekuasaan (Bourdieu).

Dari perbandingan tersebut, tampak bahwa setiap teori menawarkan dimensi penjelasan yang berbeda. Jika teori deskriptif menekankan aspek logis dari rujukan, teori kausal menekankan dimensi faktual dan historis, sedangkan teori kontekstual menyoroti dimensi sosial dan interaktif. Dalam perkembangannya, banyak filsuf kontemporer berupaya menggabungkan elemen-elemen dari teori-teori ini untuk membentuk pendekatan yang lebih holistik, seperti yang dilakukan oleh John Searle dan David Kaplan yang memadukan aspek semantik dan pragmatik dalam teori indeksikalitas dan intensionalitas.¹⁹

Dengan demikian, teori-teori rujukan tidak hanya membahas bagaimana bahasa menunjuk pada dunia, tetapi juga bagaimana manusia memahami, membentuk, dan berinteraksi dengan realitas melalui simbol-simbol linguistik. Dalam konteks inilah, rujukan menjadi bukan sekadar fenomena semantik, melainkan refleksi epistemologis dan sosial dari keberadaan manusia yang berbahasa.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 75–80.

[2]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[3]                Ibid., 28–30.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                Ibid., 481–483.

[6]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 25–28.

[7]                P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.

[8]                Ibid., 325–326.

[9]                Ibid., 339.

[10]             Kripke, Naming and Necessity, 48–53.

[11]             Ibid., 54–57.

[12]             Ibid., 91–96.

[13]             Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.

[14]             Ibid., 225–230.

[15]             Gareth Evans, The Varieties of Reference (Oxford: Oxford University Press, 1982), 312–318.

[16]             Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 119–125.

[17]             H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58; Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 74–79.

[18]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.

[19]             David Kaplan, “Demonstratives,” in Themes from Kaplan, ed. Joseph Almog, John Perry, and Howard Wettstein (Oxford: Oxford University Press, 1989), 481–563; John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–20.


6.           Aksiologi: Nilai dan Fungsi Filosofis Rujukan

Kajian aksiologis mengenai rujukan berupaya menyingkap nilai, fungsi, dan signifikansi etis serta epistemik dari relasi antara bahasa dan dunia. Jika dimensi ontologis membahas apa itu rujukan dan dimensi epistemologis menjelaskan bagaimana kita mengetahui objek rujukan, maka aksiologi bertanya: untuk apa rujukan itu penting? dan nilai apa yang terkandung dalam kemampuan manusia untuk merujuk? Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis semantik, tetapi juga dengan fungsi eksistensial dan moral bahasa dalam kehidupan manusia.¹

6.1.       Nilai Epistemik: Rujukan sebagai Fondasi Pengetahuan

Kemampuan bahasa untuk merujuk pada dunia merupakan syarat dasar bagi terbentuknya pengetahuan. Tanpa rujukan, proposisi tidak dapat diuji kebenarannya, dan komunikasi tidak dapat diverifikasi. Dalam kerangka filsafat analitik, Donald Davidson menegaskan bahwa “pemahaman makna bergantung pada kemampuan menilai kebenaran kalimat,” yang pada gilirannya mensyaratkan hubungan yang benar antara ujaran dan dunia.² Dengan demikian, nilai epistemik rujukan terletak pada perannya dalam menjamin korespondensi antara bahasa dan realitas.

Lebih jauh, Frege dan Russell menganggap rujukan sebagai dasar bagi objektivitas pengetahuan: setiap ekspresi linguistik harus memiliki acuan yang jelas agar proposisi dapat bernilai benar atau salah.³ Ketepatan rujukan menjadi bentuk tanggung jawab epistemik, sebab setiap klaim yang tidak dapat ditelusuri acuannya kehilangan statusnya sebagai pengetahuan yang sahih. Dalam konteks ini, rujukan tidak sekadar fungsi logis, tetapi juga norma kognitif yang mengatur klaim kebenaran dalam diskursus manusia.⁴

6.2.       Nilai Etis dan Komunikatif: Rujukan sebagai Tanggung Jawab Bahasa

Selain bernilai epistemik, rujukan juga memiliki nilai etis. Dalam setiap tindak komunikasi, kemampuan menunjuk kepada realitas menuntut kejujuran representasional. Ketika pembicara menggunakan bahasa untuk merujuk pada sesuatu yang tidak ada, ia berpotensi menciptakan kesesatan atau manipulasi makna. Hal ini ditegaskan oleh Jürgen Habermas dalam Theory of Communicative Action, bahwa klaim kebenaran dalam komunikasi selalu mengandaikan validity claim terhadap realitas objektif.⁵ Oleh karena itu, rujukan mengandung dimensi moral: ia menuntut keterbukaan dan kejujuran dalam representasi dunia.

Dalam konteks sosial-politik, penyimpangan rujukan dapat melahirkan praktik dominasi simbolik. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuknya secara sosial.⁶ Ketika suatu kelompok memiliki kekuasaan untuk menentukan acuan istilah tertentu—misalnya dalam politik penamaan etnis, gender, atau ideologi—maka ia mengendalikan realitas sosial itu sendiri. Maka, tindakan merujuk bukanlah kegiatan netral, melainkan tindakan normatif yang berdampak pada struktur kesadaran dan kekuasaan masyarakat.

6.3.       Nilai Sosial: Rujukan dan Pembentukan Pengetahuan Bersama

Rujukan juga memiliki fungsi sosial sebagai sarana membangun shared reference atau pengetahuan bersama. John Searle, melalui teori intentionality dan collective intentionality, menjelaskan bahwa realitas sosial dibangun melalui kesepakatan kolektif mengenai acuan tertentu.⁷ Misalnya, uang, hukum, atau simbol nasional memperoleh makna dan rujukan karena disepakati dalam komunitas linguistik. Dalam pengertian ini, rujukan berfungsi sebagai dasar dari realitas sosial itu sendiri.

Melalui rujukan bersama, manusia membangun dunia intersubjektif yang memungkinkan kerja sama, institusi, dan kebudayaan. Bahasa tidak hanya menamai benda, tetapi juga mengkonstruksi relasi sosial yang mempersatukan pengalaman manusia.⁸ Dengan demikian, nilai sosial rujukan terletak pada perannya dalam memelihara kesalingpahaman (mutual understanding) dan keberlangsungan komunikasi yang bermakna.

6.4.       Nilai Hermeneutik dan Eksistensial: Rujukan sebagai Mediasi Pemahaman Dunia

Dalam tradisi fenomenologi dan hermeneutik, rujukan dipahami bukan semata sebagai hubungan logis, tetapi sebagai peristiwa pemahaman (event of understanding). Martin Heidegger menyatakan bahwa bahasa adalah “rumah bagi ada” (die Sprache ist das Haus des Seins), tempat di mana keberadaan menyingkapkan dirinya kepada manusia.⁹ Artinya, melalui bahasa dan rujukan, manusia tidak hanya menunjuk kepada objek, tetapi juga mengalami dunia secara eksistensial.

Hans-Georg Gadamer menambahkan bahwa setiap tindakan menamai atau merujuk adalah bagian dari proses hermeneutik: kita menafsirkan realitas melalui horizon pemahaman yang selalu terbuka dan historis.¹⁰ Dalam kerangka ini, nilai rujukan tidak hanya terletak pada kebenaran empirisnya, tetapi juga pada kemampuannya membuka dialog antara subjek dan dunia. Ia memungkinkan manusia untuk menghayati makna keberadaan melalui simbol dan bahasa.

6.5.       Nilai Etis-Kritis di Era Digital: Rujukan dan Tanggung Jawab Informasional

Di era digital, masalah rujukan memperoleh relevansi baru. Informasi digital tidak selalu merujuk langsung kepada realitas fisik, tetapi kepada representasi—gambar, data, algoritma—yang dapat dimanipulasi.¹¹ Luciano Floridi menegaskan bahwa dalam “infosfer” (lingkungan informasi), rujukan tidak lagi sekadar persoalan semantik, tetapi juga etika informasi.¹² Setiap tindakan merujuk, menyebarkan, atau menamai sesuatu di ruang digital membawa implikasi moral: apakah informasi itu benar, sahih, dan dapat dipertanggungjawabkan?

Dalam konteks ini, nilai aksiologis rujukan bergeser dari sekadar kebenaran epistemik menuju keadilan informasi dan integritas komunikasi. Manusia digital dituntut untuk memelihara keterhubungan yang jujur antara tanda dan realitas, agar tidak terjebak dalam hiperrealitas yang penuh distorsi.¹³ Maka, rujukan yang etis adalah rujukan yang transparan, dapat diverifikasi, dan berakar pada tanggung jawab manusia untuk mengomunikasikan dunia secara benar.


Fungsi Filosofis Rujukan

Secara filosofis, rujukan memiliki tiga fungsi utama:

1)                  Fungsi ontologis – menjembatani antara dunia simbolik dan dunia real.

2)                  Fungsi epistemologis – memungkinkan verifikasi kebenaran dan pembentukan pengetahuan.

3)                  Fungsi aksiologis – menjamin kejujuran, keadilan, dan kebermaknaan dalam komunikasi manusia.

Ketiga fungsi ini memperlihatkan bahwa rujukan bukan hanya persoalan teknis dalam semantik, melainkan inti dari relasi manusia dengan dunia. Dalam setiap tindakan berbahasa, manusia tidak hanya menunjuk kepada sesuatu, tetapi juga menegaskan dirinya sebagai makhluk yang mampu mengenal, memahami, dan menghargai realitas.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 97–100.

[2]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1 (1967): 304–323.

[3]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–104.

[6]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.

[7]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 22–27.

[8]                Ibid., 52–56.

[9]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–212.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.

[11]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.

[12]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96–103.

[13]             Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects, trans. Erik Butler (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.


7.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural dalam Masalah Rujukan

Masalah rujukan tidak hanya berkaitan dengan persoalan logis dan semantik, tetapi juga dengan struktur sosial dan kekuasaan simbolik yang menentukan bagaimana bahasa bekerja di dunia nyata. Bahasa bukanlah sistem tanda yang netral; ia beroperasi dalam jaringan relasi sosial yang kompleks, di mana proses penamaan (naming) dan perujukan (referencing) berfungsi sebagai alat pengorganisasian makna, identitas, dan realitas sosial.¹ Dengan demikian, memahami rujukan dalam dimensi sosial, politik, dan kultural berarti menelusuri bagaimana bahasa menjadi arena perebutan makna, legitimasi, dan kekuasaan di masyarakat.

7.1.       Bahasa dan Kekuasaan: Siapa yang Menentukan Rujukan?

Dalam masyarakat, rujukan tidak ditentukan semata oleh aturan semantik, tetapi juga oleh struktur otoritas simbolik. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk “menciptakan realitas sosial” karena ia membawa otoritas dari posisi sosial pembicara.² Ketika seorang pejabat negara, pemimpin agama, atau tokoh budaya menggunakan istilah tertentu untuk menamai suatu fenomena, maka istilah tersebut memperoleh legitimasi sosial yang berbeda dibandingkan jika diucapkan oleh individu biasa.

Proses ini disebut Bourdieu sebagai performative power of language—kekuatan untuk menjadikan sesuatu “nyata” melalui penamaan yang sah.³ Misalnya, ketika negara menyebut sekelompok orang “teroris” atau “pahlawan”, istilah tersebut bukan sekadar deskripsi, tetapi tindakan politik yang membentuk persepsi publik dan kebijakan sosial. Dengan demikian, rujukan dapat berfungsi sebagai instrumen kontrol simbolik dan dominasi ideologis.

7.2.       Politik Penamaan dan Identitas Sosial

Bahasa berperan sentral dalam pembentukan identitas sosial. Proses penamaan etnis, gender, agama, atau kelas sosial mencerminkan relasi kuasa yang mengatur siapa yang berhak mendefinisikan siapa.⁴ Gayatri Chakravorty Spivak, dalam kritik pascakolonialnya, menegaskan bahwa praktik representasi Barat terhadap dunia Timur menciptakan subaltern—kelompok yang tidak memiliki suara dalam menentukan rujukan atas diri mereka sendiri.⁵ Artinya, rujukan dapat menjadi bentuk penindasan epistemik ketika nama, kategori, dan label yang digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok tidak berasal dari mereka, melainkan dipaksakan dari luar.

Hal yang sama terlihat dalam studi feminis. Simone de Beauvoir menulis bahwa perempuan tidak didefinisikan berdasarkan dirinya sendiri, melainkan selalu “dalam relasi dengan laki-laki,” sebagai “yang lain” (the Other).⁶ Dengan demikian, rujukan terhadap identitas perempuan telah lama ditentukan oleh sistem patriarkal yang mendominasi bahasa dan budaya. Perjuangan feminisme dapat dilihat sebagai upaya merebut kembali hak untuk menamai diri sendiri dan mendefinisikan pengalaman hidup dari sudut pandang perempuan.

7.3.       Rujukan dalam Wacana Publik dan Media

Di era modern, media massa dan komunikasi digital menjadi arena utama di mana rujukan sosial diproduksi dan disebarluaskan. Roland Barthes menggambarkan bagaimana sistem semiotik dalam budaya populer membentuk mitologi modern—yakni makna-makna yang tampak alami tetapi sesungguhnya hasil konstruksi ideologis.⁷ Misalnya, istilah “kemajuan,” “modernitas,” atau “kebebasan” sering digunakan dalam wacana politik untuk membenarkan agenda tertentu, padahal rujukan istilah tersebut selalu kontekstual dan penuh kepentingan.

Dalam dunia digital, kekuatan rujukan semakin didominasi oleh algoritma. Kata kunci, hashtags, dan metadata menentukan visibilitas makna dalam ruang publik maya.⁸ Fenomena ini menciptakan bentuk baru dari politik rujukan, di mana makna dan realitas dikendalikan oleh logika mesin dan ekonomi atensi (attention economy). Platform digital seperti X (Twitter), TikTok, atau YouTube mengatur apa yang “nyata” di mata publik dengan menentukan apa yang muncul di linimasa.⁹ Akibatnya, rujukan tidak lagi bersumber dari otoritas manusia, melainkan dari sistem otomatis yang memperkuat popularitas atas kebenaran.

7.4.       Dimensi Kultural: Rujukan dan Relativitas Makna

Dalam ranah kultural, rujukan tidak dapat dilepaskan dari konteks tradisi, nilai, dan simbol kolektif. Clifford Geertz menunjukkan bahwa makna dan rujukan selalu bersifat lokal, karena manusia menafsirkan dunia melalui “jaringan makna” (webs of significance) yang mereka sendiri tenun.¹⁰ Sebuah istilah dapat memiliki acuan berbeda tergantung pada budaya yang menggunakannya. Misalnya, konsep “tanah” dalam budaya agraris bukan hanya benda fisik, melainkan simbol spiritual, genealogis, dan eksistensial.¹¹

Perbedaan budaya ini menunjukkan bahwa rujukan bukan hanya hasil representasi semantik, tetapi juga praktik kultural yang merefleksikan sistem nilai. Dalam masyarakat multikultural, perbedaan cara merujuk terhadap hal-hal tertentu sering menjadi sumber konflik makna, tetapi juga peluang untuk dialog lintas budaya. Oleh karena itu, pendekatan hermeneutik lintas budaya diperlukan agar komunikasi global tidak sekadar berbagi tanda, melainkan berbagi pemahaman atas dunia yang berbeda.¹²

7.5.       Rujukan dalam Wacana Digital dan Krisis Realitas

Era digital menandai krisis baru dalam hubungan antara bahasa dan realitas. Jean Baudrillard menyebut kondisi ini sebagai simulacra—suatu keadaan di mana tanda-tanda tidak lagi merujuk pada kenyataan, melainkan pada tanda-tanda lain yang menciptakan realitas semu (hyperreality).¹³ Dalam konteks ini, rujukan kehilangan stabilitas ontologisnya: gambar, data, dan narasi tidak lagi menunjuk pada dunia empiris, tetapi pada sistem representasi yang otonom.

Fenomena deepfake, misinformasi, dan “realitas buatan” menunjukkan bahwa manusia kini hidup dalam dunia di mana kejelasan rujukan menjadi problem etis dan epistemologis.¹⁴ Menurut Byung-Chul Han, masyarakat digital mengubah makna kebenaran menjadi sekadar “viralitas.”¹⁵ Maka, mempertahankan kejujuran rujukan dalam dunia informasi adalah tantangan moral dan intelektual abad ke-21.


Dimensi Humanistik: Rujukan sebagai Dialog dan Pengakuan

Dalam perspektif humanistik, rujukan memiliki makna yang melampaui relasi semantik dan politik. Ia menjadi sarana pengakuan (recognition) antar-subjek. Emmanuel Levinas menekankan bahwa bahasa yang sejati adalah bahasa yang “mengarah kepada yang lain,” bukan sekadar menunjuk objek, tetapi membuka hubungan etis dengan orang lain.¹⁶ Rujukan dalam pengertian ini adalah bentuk tanggung jawab manusia terhadap eksistensi yang dihadapinya: ketika kita menamai sesuatu, kita sekaligus mengakui keberadaannya.

Maka, dimensi sosial dan kultural rujukan dapat dipahami sebagai ruang dialog intersubjektif. Bahasa memungkinkan manusia tidak hanya berbicara tentang dunia, tetapi juga bersama dunia dan sesamanya. Dalam ruang ini, rujukan berfungsi bukan sebagai alat kontrol, melainkan sebagai sarana membangun pemahaman, solidaritas, dan penghargaan terhadap keberagaman makna.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 125–129.

[2]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.

[3]                Ibid., 46–50.

[4]                Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London: Sage, 1997), 13–74.

[5]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[6]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 26–27.

[7]                Roland Barthes, Mythologies, trans. Annette Lavers (New York: Hill and Wang, 1972), 109–115.

[8]                José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–9.

[9]                Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 21–28.

[10]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–10.

[11]             Ibid., 120–125.

[12]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 18–22.

[13]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[14]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 351–355.

[15]             Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects, trans. Erik Butler (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.

[16]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.


8.           Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama

Masalah rujukan dalam filsafat bahasa, meskipun telah dibahas secara mendalam oleh berbagai teori besar—deskriptif, non-deskriptif, kausal, dan kontekstual—masih menyisakan sejumlah persoalan filosofis yang belum terselesaikan. Setiap teori menawarkan kerangka penjelasan yang kuat, namun juga menghadapi kritik dari segi konsistensi logis, kecukupan semantik, serta relevansi pragmatik dan sosialnya. Bagian ini akan menguraikan beberapa kritik utama terhadap teori-teori tersebut untuk menunjukkan kompleksitas hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia.

8.1.       Kritik terhadap Teori Deskriptif: Masalah Identitas dan Non-eksistensi

Teori deskriptif yang dikembangkan oleh Frege dan Russell dikritik karena menganggap bahwa rujukan ditentukan oleh deskripsi yang melekat pada ekspresi linguistik.¹ Namun, Saul Kripke menunjukkan bahwa pendekatan ini gagal menjelaskan bagaimana suatu nama tetap merujuk pada objek yang sama meskipun deskripsi yang melekat padanya keliru atau berubah.² Misalnya, jika seseorang salah mengira bahwa Aristoteles bukan guru Alexander Agung, nama “Aristoteles” tetap merujuk kepada orang yang sama. Artinya, rujukan nama tidak bergantung pada kebenaran deskripsi.

Selain itu, teori deskriptif tidak dapat menangani pernyataan yang melibatkan entitas non-eksisten seperti “Pegasus” atau “Sherlock Holmes.”³ Jika rujukan ditentukan oleh deskripsi, maka kalimat tersebut seharusnya tidak bermakna, padahal dalam praktik komunikasi manusia tetap dapat memahami dan berdiskusi tentang entitas fiktif. Kritik ini menegaskan bahwa teori deskriptif terlalu mengandalkan korespondensi logis, sehingga gagal menangkap dimensi penggunaan dan fungsi bahasa yang lebih luas.⁴

8.2.       Kritik terhadap Teori Non-Deskriptif (Strawson): Ketidakjelasan antara Intensi dan Referensi

Pandangan Strawson bahwa rujukan merupakan tindakan linguistik kontekstual memperluas analisis ke ranah pragmatik, namun juga menimbulkan ambiguitas epistemologis.⁵ Kritik utama diarahkan pada ketergantungannya terhadap intention atau niat pembicara. Jika rujukan sepenuhnya bergantung pada niat, bagaimana pendengar dapat memastikan apa yang dimaksud, terutama dalam konteks komunikasi yang ambigu atau impersonal (misalnya dalam teks tertulis atau berita)?⁶

Donald Davidson menegaskan bahwa makna dan rujukan tidak dapat direduksi pada niat subjektif pembicara, sebab pemahaman makna membutuhkan struktur objektif bahasa yang memungkinkan interpretasi bersama.⁷ Dengan demikian, teori Strawson cenderung melemahkan objektivitas semantik karena menggeser pusat makna ke dalam kesadaran individual, sehingga mengancam kemungkinan komunikasi yang intersubjektif.

Selain itu, teori ini gagal menjelaskan bagaimana sistem rujukan bekerja dalam konteks sosial yang luas—misalnya, bagaimana istilah ilmiah atau hukum mempertahankan konsistensinya meskipun digunakan oleh banyak pembicara dengan niat yang berbeda-beda.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa intensionalitas tidak dapat menjadi dasar tunggal bagi teori rujukan.

8.3.       Kritik terhadap Teori Kausal (Kripke–Putnam): Masalah Perubahan dan Fleksibilitas Makna

Teori kausal yang dikembangkan oleh Kripke dan Putnam memberikan penjelasan yang kuat mengenai stabilitas rujukan, namun justru dikritik karena terlalu menekankan aspek historis dan eksternal. Hilary Putnam sendiri kemudian mengakui bahwa teori kausal menghadapi kesulitan menjelaskan perubahan rujukan dalam dinamika bahasa.⁹ Bagaimana mungkin suatu istilah yang awalnya merujuk pada objek tertentu dapat bergeser acuannya seiring perkembangan sains atau budaya? Misalnya, istilah “planet” yang dahulu mencakup Pluto, kini tidak lagi, akibat redefinisi ilmiah.¹⁰

Selain itu, teori kausal dianggap mengabaikan peran kognitif dan interpretatif pengguna bahasa. Gareth Evans menunjukkan bahwa rujukan tidak semata hasil dari rantai kausal historis, tetapi juga bergantung pada kemampuan konseptual individu untuk mengenali dan menyesuaikan penggunaan istilah.¹¹ Pandangan murni kausal tidak dapat menjelaskan situasi di mana seseorang menggunakan nama tanpa koneksi kausal langsung (misalnya, dalam pembacaan teks kuno atau komunikasi melalui media digital).¹²

Dengan kata lain, teori kausal bersifat terlalu deterministik dan kurang memperhatikan dinamika makna yang muncul dari interaksi sosial dan kultural. Ia cenderung memisahkan bahasa dari kesadaran dan konteks, padahal dalam praktiknya, rujukan selalu dinegosiasikan melalui komunikasi manusia yang hidup.

8.4.       Kritik terhadap Teori Kontekstual dan Pragmatik: Masalah Relativitas Makna

Teori kontekstual dan pragmatik modern menekankan pentingnya konteks, niat, dan situasi sosial dalam penentuan rujukan.¹³ Namun, teori ini justru dikritik karena membuka peluang relativisme makna. Jika makna dan rujukan sepenuhnya bergantung pada konteks, maka bagaimana menjamin stabilitas semantik lintas situasi dan budaya? John Searle mengingatkan bahwa terlalu menekankan konteks dapat mengaburkan batas antara rujukan literal dan metaforis, sehingga komunikasi dapat kehilangan kejelasan normatifnya.¹⁴

Selain itu, pendekatan kontekstual menghadapi tantangan dalam menjelaskan kesepakatan intersubjektif. Jika setiap komunitas linguistik memiliki sistem rujukan yang berbeda, maka bagaimana mungkin terjadi komunikasi global yang bermakna? Masalah ini menjadi semakin kompleks dalam era digital, di mana konteks komunikasi tidak lagi bersifat lokal atau stabil.¹⁵

Kritik lainnya datang dari pendekatan kognitif yang menilai teori kontekstual terlalu menekankan faktor eksternal (situasi sosial), dan kurang memperhatikan struktur mental yang memungkinkan manusia mengenali dan menafsirkan rujukan.¹⁶ Dengan demikian, meskipun teori ini berhasil menjelaskan fleksibilitas bahasa, ia tetap menghadapi risiko fragmentasi makna dalam komunikasi multikultural dan multidigital.


Kritik Filosofis Umum: Reduksionisme dan Kehilangan Dimensi Humanistik

Secara keseluruhan, keempat teori utama tersebut—meski memiliki kontribusi besar terhadap analisis semantik dan logika bahasa—masih bersifat reduksionistik, karena cenderung memisahkan aspek kognitif, sosial, dan etis dari pemahaman tentang rujukan.¹⁷ Filsafat analitik tradisional sering menganggap bahasa sebagai sistem representasi netral, padahal dalam kenyataannya, bahasa selalu terlibat dalam praksis sosial dan moral.

Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer mengkritik pendekatan representasional semacam ini, dengan menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat menunjuk dunia, tetapi ruang di mana dunia menjadi dapat dipahami.¹⁸ Dengan demikian, teori-teori rujukan klasik gagal menangkap makna eksistensial bahasa sebagai bentuk keterbukaan manusia terhadap keberadaan.

Dalam konteks kontemporer, kritik ini diperluas oleh para filsuf poststrukturalis seperti Jacques Derrida, yang menunjukkan bahwa rujukan selalu tertunda (différance) dan tidak pernah hadir sepenuhnya dalam kata.¹⁹ Dengan demikian, setiap usaha untuk menstabilkan rujukan adalah ilusi metafisis yang mengabaikan sifat dinamis dan terbuka dari bahasa.

Dari perspektif humanistik, kritik terhadap teori-teori utama ini menekankan perlunya memahami rujukan tidak hanya sebagai hubungan semantik, tetapi juga sebagai aktivitas moral dan komunikatif yang menegaskan keberadaan manusia sebagai makhluk dialogis dan penafsir.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[2]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 45–52.

[3]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[4]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 83–85.

[5]                P. F. Strawson, “On Referring,” Mind 59, no. 235 (1950): 320–344.

[6]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 108–112.

[7]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3–4 (1973): 313–328.

[8]                Michael Dummett, The Seas of Language (Oxford: Oxford University Press, 1993), 22–25.

[9]                Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.

[10]             Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science without Legend, Objectivity without Illusions (Oxford: Oxford University Press, 1993), 56–58.

[11]             Gareth Evans, The Varieties of Reference (Oxford: Oxford University Press, 1982), 319–324.

[12]             Ibid., 325–328.

[13]             H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[14]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 123–126.

[15]             José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 5–9.

[16]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 75–79.

[17]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 20–25.

[18]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.

[19]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–67.


9.           Relevansi Kontemporer: Rujukan di Era Digital dan Komunikasi Global

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi global telah membawa perubahan radikal terhadap cara manusia memaknai dan menggunakan bahasa. Di era digital, rujukan tidak lagi bekerja semata sebagai hubungan langsung antara kata dan dunia, melainkan sebagai jaringan makna yang terdistribusi, dinamis, dan sering kali terlepas dari realitas empiris.¹ Internet, media sosial, dan kecerdasan buatan telah menciptakan ekosistem semantik baru di mana makna dan rujukan dimediasi oleh algoritma, data, dan representasi digital. Dengan demikian, problem rujukan kini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga teknologis, etis, dan politis.

9.1.       Transformasi Konsep Rujukan dalam Ekosistem Digital

Dalam konteks digital, rujukan mengalami perubahan ontologis: dari sistem relasi antara tanda dan objek menjadi sistem relasi antar-tanda. Jean Baudrillard menyebut kondisi ini sebagai simulacra—dunia di mana tanda-tanda tidak lagi menunjuk kepada realitas, melainkan saling merujuk satu sama lain, menciptakan hyperreality.² Misalnya, gambar-gambar di media sosial sering kali tidak lagi merepresentasikan kehidupan nyata, melainkan membentuk realitas baru yang otonom dan performatif.

Fenomena ini menggeser cara kita memahami “referensi”: kata, gambar, dan simbol kini lebih sering menunjuk pada data daripada pada benda.³ Dalam infosfer—istilah yang diperkenalkan oleh Luciano Floridi—setiap tindakan linguistik meninggalkan jejak digital yang berfungsi sebagai rujukan dalam jaringan informasi global.⁴ Dengan demikian, rujukan tidak lagi terikat pada konteks fisik, melainkan beroperasi dalam ruang informasi yang dapat dimanipulasi, direplikasi, dan diproyeksikan tanpa batas.

Dalam konteks ini, pertanyaan filosofis klasik “apa yang dirujuk oleh kata?” bertransformasi menjadi “bagaimana data menunjuk kepada makna?”—sebuah problem epistemologis baru yang menuntut redefinisi hubungan antara tanda, informasi, dan realitas.

9.2.       Krisis Representasi dan Tantangan Etis dalam Era Digital

Salah satu dampak paling signifikan dari digitalisasi adalah krisis rujukan terhadap realitas. Representasi visual dan tekstual di dunia maya sering kali diputus dari sumber aslinya. Deepfake, kecerdasan buatan generatif, dan manipulasi informasi telah menciptakan kondisi di mana batas antara yang nyata dan yang simulatif menjadi kabur.⁵ Hal ini mengancam integritas epistemik dari bahasa dan komunikasi, karena kebenaran dan rujukan dapat dipalsukan dengan mudah.

Shoshana Zuboff menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme pengawasan” (surveillance capitalism), di mana data pribadi manusia dijadikan komoditas dan makna dikonstruksi berdasarkan algoritma ekonomi.⁶ Rujukan kehilangan dimensi etisnya karena tanda-tanda digital tidak lagi menunjuk pada realitas, melainkan dimanfaatkan untuk memanipulasi persepsi dan perilaku. Maka, krisis rujukan di era digital adalah juga krisis kejujuran representasional—yakni hilangnya transparansi antara bahasa, pengetahuan, dan dunia.

9.3.       Rujukan dalam Komunikasi Global dan Lintas Budaya

Globalisasi komunikasi membawa tantangan baru dalam hal rujukan lintas bahasa dan budaya. Makna kata atau simbol yang sama dapat berbeda secara radikal dalam konteks sosial yang berlainan.⁷ Clifford Geertz menunjukkan bahwa interpretasi makna sangat bergantung pada webs of significance yang bersifat lokal dan historis.⁸ Namun, dalam ruang global yang serba cepat dan digital, perbedaan konteks ini sering diabaikan, sehingga terjadi gesekan semantik antarbudaya.

Sebagai contoh, istilah seperti “demokrasi,” “kebebasan,” atau “modernitas” sering digunakan dalam wacana global tanpa memperhatikan perbedaan historis dan kultural dalam pemaknaannya.⁹ Akibatnya, bahasa global (terutama bahasa Inggris digital) cenderung menjadi alat hegemonik yang mendikte rujukan universal. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan rujukan di era global bukan hanya teknis, tetapi juga politik makna—siapa yang berhak menentukan acuan global bagi konsep-konsep utama yang membentuk kehidupan bersama umat manusia.¹⁰

9.4.       Rujukan dan Kecerdasan Buatan (AI): Antara Makna dan Algoritma

Perkembangan kecerdasan buatan telah memperluas dimensi problem rujukan ke ranah mesin. Sistem AI, seperti large language models, dapat menghasilkan teks, gambar, atau narasi yang tampak bermakna, tetapi tanpa rujukan yang jelas terhadap dunia aktual.¹¹ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah mesin benar-benar “memahami” objek rujukan, atau sekadar memanipulasi simbol berdasarkan pola statistik?

Hubungan antara makna dan rujukan dalam konteks AI menegaskan kembali pandangan Ludwig Wittgenstein bahwa makna tergantung pada penggunaan (meaning is use).¹² AI tidak memiliki pengalaman dunia, sehingga “rujukan” yang dihasilkannya bersifat derivatif—bergantung pada data manusia sebelumnya. Dengan demikian, muncul kebutuhan akan etika algoritmik yang menjamin keakuratan dan tanggung jawab dalam representasi digital.¹³ Jika tidak, rujukan di era kecerdasan buatan akan menjadi simulasi makna tanpa landasan epistemik atau etis.

9.5.       Politik Digital dan Hegemoni Semantik

Rujukan di dunia digital juga memiliki dimensi politik yang kuat. Algoritma media sosial berperan menentukan apa yang “muncul” dalam ruang publik digital, dan dengan demikian, apa yang dianggap nyata. Safiya Umoja Noble menunjukkan bahwa mesin pencari seperti Google tidak netral—mereka membentuk persepsi sosial melalui prioritisasi hasil pencarian yang bias terhadap ras, gender, dan ideologi.¹⁴ Dengan demikian, rujukan digital adalah hasil dari politik representasi algoritmik, bukan sekadar cerminan dunia objektif.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam era global, kontrol atas makna dan rujukan telah berpindah dari lembaga tradisional (seperti akademia atau media) ke korporasi teknologi.¹⁵ Maka, pertanyaan filosofis tentang rujukan kini menjadi juga pertanyaan politis: siapa yang memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang tampak benar, relevan, dan bermakna di dunia digital?

9.6.       Etika Rujukan dan Humanisme Digital

Menghadapi krisis rujukan dalam era global dan digital, muncul kebutuhan untuk merumuskan etika rujukan humanistik—sebuah pendekatan yang menekankan tanggung jawab moral dan kesadaran reflektif dalam penggunaan bahasa dan simbol. Luciano Floridi mengajukan prinsip informational ethics, yakni bahwa setiap tindakan informasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas realitas dan integritas makna.¹⁶ Dalam kerangka ini, merujuk secara etis berarti menjaga keterhubungan antara tanda dan dunia dengan cara yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab.

Selain itu, pendekatan hermeneutik kontemporer (seperti Paul Ricoeur) menegaskan pentingnya interpretasi yang dialogis dalam memahami makna global.¹⁷ Dunia digital tidak dapat dihindari, tetapi harus dihumanisasi melalui praktik komunikasi yang mengakui keberagaman konteks dan pengalaman. Dengan demikian, rujukan bukan lagi sekadar hubungan semantik, melainkan tindakan etis yang meneguhkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang menafsir dan berbagi dunia secara bermakna.


Penutup: Menuju Ekologi Rujukan yang Etis dan Intersubjektif

Rujukan di era digital dan globalisasi menuntut pendekatan baru yang bersifat ekologis dan intersubjektif. Ekologis, karena sistem bahasa kini terjalin dengan jaringan teknologi dan informasi yang luas; intersubjektif, karena pemaknaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas global yang plural dan dinamis.

Di tengah derasnya arus data dan simulasi, filsafat rujukan memperoleh kembali relevansinya sebagai refleksi atas makna kebenaran, representasi, dan tanggung jawab. Menjaga keutuhan rujukan berarti menjaga hubungan antara bahasa dan dunia agar tetap berakar pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 145–149.

[2]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.

[3]                Vilém Flusser, Into the Universe of Technical Images, trans. Nancy Ann Roth (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2011), 23–28.

[4]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 94–99.

[5]                Hany Farid, Fake Photos: The Digital Manipulation of Media Images (Cambridge, MA: MIT Press, 2023), 11–15.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 351–355.

[7]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 47–52.

[8]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–10.

[9]                Stuart Hall, “The Work of Representation,” in Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, ed. Stuart Hall (London: Sage, 1997), 13–74.

[10]             Walter Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 85–92.

[11]             Emily M. Bender and Alexander Koller, “Climbing towards NLU: On Meaning, Form, and Understanding in the Age of Data,” Proceedings of ACL 2020 (Association for Computational Linguistics, 2020): 5185–5198.

[12]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–§49.

[13]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 112–115.

[14]             Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 21–28.

[15]             Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2017), 44–48.

[16]             Luciano Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 72–76.

[17]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 137–141.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Rujukan

Persoalan rujukan dalam filsafat bahasa, setelah melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial, memperlihatkan bahwa hubungan antara bahasa dan realitas bukanlah sekadar persoalan teknis-semantik, melainkan juga persoalan eksistensial dan etis. Seluruh teori yang telah dibahas—baik deskriptif, kausal, maupun kontekstual—mencerminkan upaya manusia untuk menjelaskan bagaimana kata dapat menunjuk dunia, tetapi sering kali melupakan hakikat manusia sebagai subjek yang berbahasa dan menafsir.¹ Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sintesis humanistik, yang menempatkan rujukan bukan semata sebagai hubungan logis antara tanda dan objek, melainkan sebagai peristiwa dialogis antara manusia, bahasa, dan dunia.

10.1.    Dari Representasi ke Relasi: Bahasa sebagai Peristiwa Humanistik

Teori-teori rujukan klasik cenderung menempatkan bahasa sebagai sistem representasi dunia, di mana kata berfungsi seperti cermin yang merefleksikan realitas. Namun, perspektif humanistik menolak pandangan representasional yang reduksionistik ini. Ludwig Wittgenstein, dalam fase akhir pemikirannya, menegaskan bahwa makna bukanlah cerminan dunia, tetapi “cara kita hidup di dalamnya” melalui permainan bahasa (language games).² Artinya, rujukan tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan praksis—ia terjadi dalam konteks tindakan manusia.

Dengan demikian, bahasa bukan sekadar alat untuk menunjuk, tetapi juga medium eksistensi tempat manusia menyingkapkan dirinya dan dunianya.³ Martin Heidegger menyebut bahasa sebagai das Haus des Seins—“rumah bagi ada.”⁴ Dalam rumah ini, manusia tidak hanya menyebut benda-benda, tetapi menyingkap makna dari keberadaannya. Rujukan, dalam pengertian ini, adalah cara manusia hadir dalam dunia melalui bahasa. Ia bukan hubungan eksternal antara kata dan objek, melainkan peristiwa kebermaknaan yang menghubungkan eksistensi manusia dengan realitas yang dihadapi.

10.2.    Rujukan sebagai Aktivitas Intersubjektif dan Etis

Pendekatan humanistik terhadap rujukan menegaskan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari relasi antar-manusia. Emmanuel Levinas memandang bahwa bahasa adalah bentuk tanggung jawab etis terhadap yang lain (the Other).⁵ Setiap tindakan menamai atau merujuk merupakan pengakuan terhadap eksistensi yang lain, suatu pertemuan yang bersifat dialogis, bukan dominatif. Dengan demikian, rujukan mengandung dimensi moral: ia tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga memediasi hubungan antar-subjek yang saling mengakui.

Dalam konteks ini, Jürgen Habermas menambahkan bahwa rujukan hanya bermakna ketika terikat pada tindakan komunikatif yang berorientasi pada pemahaman bersama (mutual understanding).⁶ Bahasa yang merujuk secara benar bukanlah bahasa yang sekadar koheren secara logis, tetapi yang memenuhi syarat kebenaran, kejujuran, dan ketepatan dalam konteks sosial. Maka, rujukan yang humanistik adalah rujukan yang berakar pada komunikasi etis—di mana kebenaran tidak terpisah dari tanggung jawab manusia dalam berbicara dan memahami.

10.3.    Humanisme Hermeneutik: Rujukan sebagai Penyingkapan Makna

Konsepsi humanistik tentang rujukan juga dapat ditemukan dalam tradisi hermeneutik, terutama melalui karya Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur. Gadamer menegaskan bahwa setiap bentuk bahasa adalah peristiwa penyingkapan (Offenbarung) yang terjadi dalam dialog antara penafsir dan teks, atau antara manusia dan dunia.⁷ Rujukan, dalam arti ini, tidak menunjuk pada sesuatu yang “ditemukan” secara eksternal, tetapi “ditafsirkan” dalam konteks sejarah dan horizon pengalaman manusia.

Paul Ricoeur melanjutkan pandangan ini dengan menekankan bahwa bahasa mengandung daya produktif yang menciptakan dunia baru melalui simbol dan metafora.⁸ Ketika manusia merujuk pada sesuatu, ia sebenarnya membangun dunia makna yang melampaui sekadar representasi empiris. Maka, rujukan menjadi bagian dari proses eksistensial di mana manusia menafsir dan memaknai keberadaannya. Humanisme hermeneutik ini menolak dualisme antara kata dan benda, serta menggantikannya dengan hubungan triadik: manusia–bahasa–makna dunia.

10.4.    Dimensi Sosial-Humanistik: Rujukan sebagai Konstruksi Bersama

Rujukan humanistik tidak dapat dipahami di luar konteks sosial dan budaya. Seperti ditegaskan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial dibentuk melalui proses “institusionalisasi makna” yang dilakukan secara kolektif.⁹ Bahasa berfungsi sebagai mekanisme utama dalam konstruksi dunia sosial, sehingga rujukan tidak pernah bersifat individual, melainkan hasil negosiasi dan kesepakatan bersama dalam komunitas linguistik.

Dengan demikian, rujukan memiliki nilai sosial yang emansipatoris: ia memungkinkan manusia membangun dunia bersama melalui komunikasi yang saling mengakui. Dalam era globalisasi, pemahaman ini semakin relevan, karena rujukan tidak lagi dimonopoli oleh satu budaya atau sistem bahasa. Rujukan yang humanistik harus bersifat dialogis dan lintas-budaya, membuka ruang bagi perbedaan makna tanpa mengorbankan pemahaman bersama.

10.5.    Rujukan dan Humanisme Digital

Dalam konteks dunia digital, rujukan humanistik menghadapi tantangan baru. Teknologi algoritmik telah menggantikan sebagian besar fungsi manusia dalam memproses makna dan informasi, sehingga muncul risiko dehumanisasi bahasa.¹⁰ Jika rujukan dikelola oleh sistem otomatis yang tidak memiliki kesadaran etis, maka makna dapat direduksi menjadi sekadar data yang dikomodifikasi.

Humanisme digital yang dikemukakan oleh Luciano Floridi menawarkan jalan tengah: manusia harus menjadi “penjaga makna” di tengah banjir informasi.¹¹ Ini berarti mempertahankan tanggung jawab moral atas representasi dan rujukan yang dihasilkan oleh teknologi. Dengan cara ini, rujukan dapat dipahami sebagai aktivitas manusia yang tidak hanya menginformasikan dunia, tetapi juga memanusiakan teknologi melalui etika komunikasi dan transparansi informasi.

10.6.    Menuju Konsepsi Integratif: Rujukan sebagai Kesatuan Semantik, Etik, dan Eksistensial

Dari seluruh uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa konsepsi humanistik tentang rujukan bersifat integratif dan menekankan tiga dimensi utama:

1)             Dimensi semantik – rujukan sebagai hubungan makna antara tanda dan dunia yang diartikulasikan secara rasional dan komunikatif.

2)             Dimensi etis – rujukan sebagai tindakan tanggung jawab terhadap kebenaran, kejujuran, dan pengakuan atas keberadaan yang lain.

3)             Dimensi eksistensial – rujukan sebagai cara manusia menyingkap dan menafsirkan keberadaan melalui bahasa.

Dengan demikian, filsafat rujukan yang humanistik bukan sekadar sistem teori tentang tanda, tetapi suatu pandangan hidup tentang bagaimana manusia hadir, memahami, dan berelasi dengan dunia melalui bahasa. Rujukan menjadi sarana utama bagi manusia untuk menegakkan keutuhan antara pikiran, komunikasi, dan keberadaan.


Penutup: Rujukan sebagai Jalan Menuju Pemahaman Diri dan Dunia

Akhirnya, konsepsi humanistik tentang rujukan mengembalikan bahasa ke fungsinya yang paling mendasar: mempertemukan manusia dengan dunia dan sesamanya. Setiap tindakan merujuk adalah tindakan memahami, dan setiap pemahaman adalah bentuk keterbukaan terhadap realitas. Melalui rujukan yang etis, komunikatif, dan reflektif, manusia tidak hanya mengenal dunia, tetapi juga mengenal dirinya sebagai makhluk yang mampu berpikir, berbicara, dan mencipta makna.

Rujukan humanistik adalah rujukan yang berjiwa—ia hidup dalam dialog, tumbuh dalam pemahaman bersama, dan menegakkan martabat manusia di tengah kompleksitas bahasa dan teknologi.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 165–170.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.

[3]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 14–18.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–212.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–104.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.

[8]                Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto: University of Toronto Press, 1977), 302–307.

[9]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 58–61.

[10]             Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital Prospects, trans. Erik Butler (Cambridge, MA: MIT Press, 2017), 55–58.

[11]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 125–129.


11.       Kesimpulan

Masalah rujukan (reference) menempati posisi sentral dalam filsafat bahasa karena menyentuh inti dari hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Sejak masa Yunani Kuno hingga era digital, persoalan tentang bagaimana kata menunjuk pada sesuatu di dunia telah menjadi sumber refleksi yang melahirkan beragam teori, mulai dari teori deskriptif Frege dan Russell, teori kausal Kripke dan Putnam, hingga pendekatan pragmatik dan kontekstual modern.¹ Namun, di balik keragaman teoritis itu, terdapat satu benang merah: upaya manusia memahami cara bahasa menghubungkan kesadaran dengan dunia—sebuah usaha epistemologis, ontologis, dan sekaligus eksistensial.

Secara ontologis, rujukan menunjukkan bahwa bahasa tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berakar pada realitas yang ingin dipahami dan diungkapkan manusia. Bahasa memungkinkan dunia menjadi hadir dalam kesadaran, menjembatani jarak antara subjek dan objek.² Namun, rujukan bukanlah hubungan mekanis atau reflektif semata, karena setiap bentuk penunjukan linguistik selalu dimediasi oleh struktur makna, konteks sosial, dan niat komunikatif manusia. Dengan kata lain, rujukan adalah peristiwa kebermaknaan—bukan sekadar mekanisme logis, melainkan juga fenomena hermeneutik dan intersubjektif yang terjadi di dalam kehidupan manusia yang berbahasa.³

Secara epistemologis, rujukan menjadi dasar bagi segala bentuk pengetahuan dan komunikasi. Kemampuan manusia untuk menyebut, menunjuk, dan mengidentifikasi sesuatu di dunia merupakan fondasi bagi penciptaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.⁴ Tanpa rujukan yang stabil dan dapat diverifikasi, pengetahuan kehilangan arah, dan komunikasi kehilangan makna. Oleh karena itu, tanggung jawab epistemik dalam menjaga kejelasan dan kejujuran rujukan adalah bagian dari tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk rasional dan komunikatif.⁵

Dari segi aksiologis, rujukan memiliki nilai etis dan sosial yang mendalam. Bahasa yang benar dalam merujuk bukan hanya soal keakuratan logis, tetapi juga soal tanggung jawab etis terhadap realitas dan sesama. Dalam masyarakat, cara manusia menamai dan merujuk sesuatu mencerminkan sistem nilai, kekuasaan, serta struktur sosial yang berlaku.⁶ Karena itu, refleksi filosofis tentang rujukan juga merupakan refleksi tentang kebebasan dan keadilan simbolik: siapa yang memiliki hak untuk menamai dunia, dan bagaimana nama-nama itu digunakan untuk membangun atau menindas.⁷

Dalam konteks sosial, politik, dan budaya, rujukan berperan sebagai alat pembentuk realitas sosial. Bahasa tidak sekadar menggambarkan dunia, tetapi turut menciptakannya.⁸ Ketika makna dikontrol oleh kekuasaan politik atau algoritma digital, rujukan dapat kehilangan sifatnya yang dialogis dan humanistik. Fenomena disinformation dan hyperreality menandakan krisis rujukan di era modern, di mana tanda-tanda lebih sering merujuk pada simulasi daripada kenyataan.⁹ Oleh sebab itu, dalam era komunikasi global dan digital, filsafat rujukan memperoleh kembali relevansinya: ia menjadi dasar bagi upaya menjaga integritas informasi, kejujuran representasi, dan keadilan semantik dalam ruang publik dunia maya.¹⁰

Secara sintesis, konsepsi humanistik tentang rujukan menegaskan bahwa bahasa bukan hanya alat representasi, melainkan medium eksistensi dan relasi. Rujukan adalah tindakan dialogis yang menyingkap dunia, menghubungkan manusia dengan sesamanya, dan membuka ruang bagi pemahaman yang lebih luas.¹¹ Perspektif ini menyatukan pandangan semantik, pragmatik, dan etis dalam satu kerangka integratif yang menempatkan manusia sebagai pusat dari aktivitas bermakna. Dengan demikian, rujukan bukan hanya fenomena linguistik, tetapi juga ekspresi kemanusiaan—sebuah cara manusia untuk menghadirkan dunia melalui simbol yang penuh makna.

Akhirnya, filsafat rujukan mengingatkan kita bahwa setiap kali kita menamai sesuatu, kita tidak hanya menunjuk pada benda atau konsep, tetapi juga menegaskan cara kita memahami dan menghuni dunia. Rujukan yang benar bukan hanya yang tepat secara logis, melainkan juga yang jujur secara moral, terbuka terhadap perbedaan, dan berakar pada kesadaran dialogis manusia. Dalam semangat ini, konsepsi humanistik tentang rujukan menjadi bukan sekadar teori bahasa, melainkan juga etika komunikasi dan filsafat keberadaan—suatu upaya untuk menegakkan makna di tengah dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi.


Footnotes

[1]                Michael Devitt and Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 21–25.

[2]                Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), 16a3–19b.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 401–405.

[4]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1 (1967): 304–323.

[5]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–104.

[6]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–44.

[7]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[8]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (New York: Anchor Books, 1966), 58–61.

[9]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–7.

[10]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96–103.

[11]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 137–141.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1984). On interpretation (E. M. Edghill, Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle (Vol. 1, pp. 16a3–19b). Princeton University Press.

Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers, Trans.). Hill and Wang.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Polity Press.

Davidson, D. (1967). Truth and meaning. Synthese, 17(1), 304–323.

Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica, 27(3–4), 313–328.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Devitt, M., & Sterelny, K. (1999). Language and reality: An introduction to the philosophy of language. MIT Press.

Dummett, M. (1993). The seas of language. Oxford University Press.

Evans, G. (1982). The varieties of reference. Oxford University Press.

Farid, H. (2023). Fake photos: The digital manipulation of media images. MIT Press.

Floridi, L. (2010). Information: A very short introduction. Oxford University Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41–58). Academic Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hall, S. (1997). The work of representation. In S. Hall (Ed.), Representation: Cultural representations and signifying practices (pp. 13–74). Sage.

Han, B.-C. (2017). In the swarm: Digital prospects (E. Butler, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Kaplan, D. (1989). Demonstratives. In J. Almog, J. Perry, & H. Wettstein (Eds.), Themes from Kaplan (pp. 481–563). Oxford University Press.

Kitcher, P. (1993). The advancement of science: Science without legend, objectivity without illusions. Oxford University Press.

Kripke, S. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge University Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Mignolo, W. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.

Putnam, H. (1975). The meaning of “meaning.” In Mind, language and reality: Philosophical papers, Vol. 2 (pp. 215–271). Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1977). The rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in language (R. Czerny, Trans.). University of Toronto Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. Free Press.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance: Communication and cognition. Blackwell.

Srnicek, N. (2017). Platform capitalism. Polity Press.

Strawson, P. F. (1950). On referring. Mind, 59(235), 320–344.

Taylor, C. (2016). The language animal: The full shape of the human linguistic capacity. Harvard University Press.

van Dijck, J. (2013). The culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar