Senin, 01 Desember 2025

Masalah Makna (Meaning): Dari Referensi hingga Penggunaan

Masalah Makna (Meaning)

Dari Referensi hingga Penggunaan


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif salah satu isu sentral dalam filsafat bahasa, yakni masalah makna (meaning), dengan menelusuri akar historis, dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta relevansinya dalam konteks sosial dan digital kontemporer. Pembahasan diawali dengan telaah genealogis dari pemikiran Plato dan Aristoteles hingga perkembangan analitik modern pada Frege, Russell, dan Wittgenstein, yang menandai pergeseran paradigma dari makna sebagai representasi menuju makna sebagai penggunaan. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi berbagai teori utama tentang makna—meliputi teori referensial, mentalistik, verifikatif, penggunaan bahasa, serta teori pragmatik dan semiotik—beserta kritik-kritiknya.

Kajian ini menunjukkan bahwa makna bukanlah entitas statis atau tunggal, melainkan fenomena multidimensional yang menggabungkan hubungan antara tanda, pikiran, dan konteks sosial. Ontologisnya, makna bersifat relasional dan intersubjektif; epistemologisnya, ia dipahami melalui proses interpretasi dan interaksi; sedangkan aksiologisnya, makna memiliki nilai moral dan fungsi komunikatif dalam membangun pemahaman antarmanusia. Dalam era digital dan globalisasi komunikasi, makna menghadapi tantangan baru berupa disinformasi, fragmentasi semantik, serta algoritmisasi simbol, namun sekaligus membuka peluang bagi pembentukan dialog lintas budaya yang lebih luas.

Sebagai sintesis, artikel ini menawarkan konsepsi humanistik tentang makna, yang menempatkan bahasa sebagai medium eksistensial manusia untuk mencipta, memahami, dan berbagi dunia bersama. Makna, dalam kerangka humanistik, bukan sekadar hasil dari sistem tanda, tetapi ruang etis tempat manusia saling mengakui, berdialog, dan menegakkan martabat kemanusiaannya.

Kata Kunci: Filsafat Bahasa; Makna; Referensi; Penggunaan Bahasa; Semantik; Pragmatik; Hermeneutik; Humanisme; Komunikasi; Era Digital.


PEMBAHASAN

Masalah Makna (Meaning) dalam Filsafat Bahasa


1.           Pendahuluan

Masalah makna (meaning) menempati posisi sentral dalam filsafat bahasa karena ia menyentuh inti dari seluruh aktivitas berpikir, berbicara, dan memahami dunia. Sejak awal, filsafat bahasa berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang dimaksud dengan makna sebuah kata atau kalimat? Pertanyaan ini bukan sekadar linguistik, tetapi bersifat filosofis karena berhubungan dengan bagaimana manusia mengonseptualisasi realitas dan menstrukturkan pengetahuannya melalui bahasa. Ludwig Wittgenstein, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang ini, menegaskan bahwa “batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku.”¹ Ungkapan ini menunjukkan bahwa makna bukan hanya persoalan tanda linguistik, melainkan juga persoalan tentang cara manusia hadir dan memahami dunia.

Filsafat bahasa modern muncul pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap persoalan makna yang tidak dapat diselesaikan oleh logika formal maupun psikologi tradisional. Gottlob Frege, melalui konsep Sinn (sense) dan Bedeutung (reference), berusaha membedakan antara makna yang dipahami oleh pikiran dan acuan yang menunjuk pada objek di dunia.² Perbedaan ini membuka jalan bagi analisis makna yang lebih sistematis dan memungkinkan pembahasan tentang bagaimana kalimat mengandung kebenaran atau kesalahan. Bertrand Russell kemudian melanjutkan gagasan ini dengan teori deskripsi yang berupaya menyingkap hubungan logis antara bahasa dan realitas eksternal.³ Sementara itu, pada tahap selanjutnya, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menggugat pandangan semantik tradisional tersebut dengan menekankan bahwa makna tidak terletak pada representasi mental atau hubungan kata-objek, melainkan pada penggunaannya dalam language games kehidupan sehari-hari.⁴

Persoalan makna tidak hanya relevan bagi para filsuf logika, tetapi juga bagi linguistik, psikologi kognitif, antropologi, dan teori komunikasi. Dalam linguistik, makna menjadi dasar bagi analisis semantik dan pragmatik yang menjelaskan bagaimana konteks memengaruhi interpretasi ujaran.⁵ Dalam psikologi kognitif, makna dikaji sebagai proses mental yang menghubungkan simbol dengan konsep dalam pikiran manusia.⁶ Dalam antropologi dan ilmu sosial, makna dipahami sebagai konstruksi budaya yang membentuk cara pandang dan tindakan manusia dalam masyarakat.⁷ Dengan demikian, pembahasan makna mencakup lintas dimensi—logis, mental, sosial, dan kultural—yang saling berkelindan.

Isu makna juga memiliki implikasi etis dan eksistensial. Pemahaman terhadap makna bahasa menentukan cara manusia berkomunikasi, menafsirkan pesan, dan membangun kesepahaman. Dalam konteks kehidupan sosial yang sarat perbedaan, kemampuan menegosiasikan makna secara terbuka menjadi dasar bagi dialog yang inklusif dan humanistik.⁸ Oleh karena itu, penelitian filosofis mengenai makna tidak berhenti pada analisis semantik, tetapi juga menuntun manusia untuk memahami bahasa sebagai medium kebermaknaan hidup bersama.

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis permasalahan makna dalam filsafat bahasa, mencakup dimensi ontologis (hakikat makna), epistemologis (cara mengetahui makna), aksiologis (nilai dan fungsi makna), serta relevansinya dalam konteks sosial dan digital kontemporer. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih integral dan humanistik tentang makna sebagai inti dari eksistensi linguistik manusia.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 68.

[2]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[3]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 20–25.

[5]                John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 1–15.

[6]                George Lakoff, Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 36–48.

[7]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87–108.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Masalah makna memiliki akar yang dalam dalam sejarah filsafat, bahkan sebelum istilah filsafat bahasa muncul secara formal. Perjalanan konseptualnya memperlihatkan transformasi dari pandangan metafisik menuju analisis logis, dan akhirnya ke arah pragmatik serta hermeneutik. Secara genealogis, diskursus tentang makna berkembang seiring dengan perubahan paradigma tentang bahasa itu sendiri—dari sekadar alat representasi menjadi medium eksistensial manusia dalam dunia.

2.1.       Filsafat Klasik: Makna sebagai Representasi Ide

Dalam filsafat Yunani klasik, Plato menempatkan makna dalam kerangka metafisis, di mana kata-kata dianggap menunjuk pada ide-ide abadi di dunia bentuk (realm of forms).¹ Dalam dialog Cratylus, ia mempertanyakan apakah hubungan antara nama dan hal yang dinamai bersifat alamiah (physis) atau konvensional (nomos).² Aristoteles kemudian menolak pandangan idealistik Plato dengan menegaskan bahwa makna timbul dari hubungan antara suara (phonē), pikiran (pathē tēs psychēs), dan benda di dunia.³ Dengan demikian, Aristoteles memperkenalkan struktur triadik antara tanda, pikiran, dan objek yang menjadi cikal bakal analisis semantik di kemudian hari.

2.2.       Filsafat Modern: Makna sebagai Ide Mental dan Representasi Subjektif

Memasuki era modern, filsafat bahasa berkembang dalam konteks epistemologi baru yang dipengaruhi oleh empirisme dan rasionalisme. John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa kata adalah tanda dari ide dalam pikiran, dan komunikasi terjadi ketika orang menukar ide melalui simbol linguistik.⁴ Pandangan ini memperkuat tradisi mentalistik bahwa makna bersumber dari representasi internal manusia. Namun, pendekatan ini menimbulkan problem subjektivitas: bagaimana memastikan bahwa ide dalam pikiran satu individu identik dengan ide orang lain?

Gottfried Wilhelm Leibniz berupaya mengatasi problem tersebut dengan mengusulkan proyek characteristica universalis—bahasa simbolik universal yang memungkinkan penggambaran logis dari semua konsep.⁵ Usaha ini menjadi inspirasi bagi logika simbolik modern dan semantik formal abad ke-20. Di sisi lain, pandangan empiris David Hume memperdalam analisis psikologis makna dengan menekankan bahwa makna berakar pada kesan (impression) dan asosiasi ide, bukan pada realitas eksternal yang tetap.⁶

2.3.       Abad ke-19: Dari Psikologisme ke Logika Analitik

Perdebatan tentang makna mengalami perubahan radikal pada akhir abad ke-19 ketika filsafat beralih dari psikologisme menuju logika analitik. Gottlob Frege menolak pendekatan mentalistik dengan membedakan antara sense (Sinn) dan reference (Bedeutung).⁷ Baginya, makna bukan sekadar apa yang ada dalam pikiran pembicara, melainkan struktur objektif yang dapat dianalisis secara logis. Perbedaan ini menjadi tonggak bagi teori semantik modern, karena membuka kemungkinan untuk menilai kebenaran proposisi berdasarkan bentuk logisnya.

Bertrand Russell melanjutkan warisan Frege dengan teori deskripsi (theory of descriptions), yang menjelaskan bagaimana bahasa dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak ada secara faktual—misalnya “Raja Prancis yang botak.”⁸ Russell berupaya mengaitkan makna dengan analisis proposisional yang ketat, menempatkan logika sebagai fondasi bagi klarifikasi makna linguistik.

2.4.       Abad ke-20: Pergeseran ke Arah Penggunaan Bahasa

Revolusi konseptual terjadi dengan Ludwig Wittgenstein. Dalam fase awal (Tractatus Logico-Philosophicus), ia mengikuti jejak Frege dan Russell, menganggap bahasa sebagai cermin realitas, di mana makna ditentukan oleh korespondensi antara kalimat dan dunia.⁹ Namun, dalam karya keduanya, Philosophical Investigations, Wittgenstein menolak pendekatan representasional tersebut dan mengajukan teori penggunaan (use theory of meaning): makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam language game.¹⁰ Dengan demikian, makna tidak bersifat statis dan logis semata, melainkan sosial dan kontekstual.

Perubahan ini memengaruhi filsafat analitik, pragmatik, dan semiotika. Charles Sanders Peirce mengembangkan semiotik triadik (tanda–objek–interpretant) yang menunjukkan bahwa makna lahir melalui proses interpretasi tanpa akhir (semiosis).¹¹ Sementara itu, filsuf kontinental seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer memandang makna sebagai peristiwa pemahaman (Verstehen) yang terjadi dalam lingkaran hermeneutik antara subjek dan dunia.¹²

2.5.       Genealogi Kontemporer: Makna sebagai Proses Sosial dan Diskursif

Memasuki abad ke-20 akhir hingga kini, persoalan makna meluas ke ranah sosial dan kultural. Ferdinand de Saussure menegaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer dan makna muncul dari perbedaan (difference), bukan dari referensi langsung.¹³ Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh strukturalisme dan poststrukturalisme (misalnya Derrida) yang menyoroti ketidakstabilan makna dan permainan tanda (différance).¹⁴

Dengan demikian, genealogi masalah makna memperlihatkan pergeseran dari representational meaning (makna sebagai cerminan dunia), menuju functional meaning (makna sebagai penggunaan), hingga constructive meaning (makna sebagai hasil interpretasi sosial). Evolusi ini menandakan bahwa makna bukan entitas tetap, melainkan jaringan dinamis antara simbol, konteks, dan manusia yang menggunakannya.


Footnotes

[1]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–385e.

[2]                Ibid., 390d–394e.

[3]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–16b8.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.

[5]                G. W. Leibniz, Discourse on Metaphysics and Other Essays, trans. Daniel Garber and Roger Ariew (Indianapolis: Hackett Publishing, 1991), 57–63.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.

[7]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[8]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[9]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[11]             Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.228–2.231.

[12]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.

[13]             Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1983), 67–72.

[14]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–27.


3.           Ontologi: Hakikat dan Status Realitas Makna

Pertanyaan ontologis tentang makna berfokus pada apa yang dimaksud dengan “makna itu sendiri”—apakah ia merupakan entitas objektif yang berdiri sendiri, konstruksi mental dalam pikiran manusia, ataukah hasil interaksi sosial yang terus berubah. Dalam konteks filsafat bahasa, problem ontologis ini menjadi inti dari seluruh perdebatan semantik, karena ia menentukan status realitas dari apa yang disebut “arti” (meaning), baik dalam konteks kata, kalimat, maupun wacana.

3.1.       Makna sebagai Entitas Ideal dan Transendental

Dalam tradisi rasionalis dan idealis, makna sering dipahami sebagai entitas non-material yang eksis secara independen dari pengalaman individual. Gottlob Frege, misalnya, mengemukakan bahwa setiap ekspresi linguistik memiliki dua aspek: Sinn (sense) dan Bedeutung (reference).¹ Sense merupakan makna yang ditangkap oleh pikiran dan bersifat universal, sedangkan reference menunjuk pada objek aktual di dunia. Dengan demikian, Sinn bersifat ideal dan tidak tergantung pada keadaan psikologis pembicara, melainkan menjadi struktur logis yang objektif dan dapat diakses oleh siapa pun yang memahami bahasa tersebut.²

Pandangan Frege ini berakar pada metafisika Platonik yang menempatkan makna sebagai realitas ide—suatu dunia ideal yang menjadi sumber dari kebenaran proposisional.³ Dalam kerangka ini, makna bukanlah sesuatu yang berubah-ubah, tetapi memiliki eksistensi transendental yang menjamin stabilitas komunikasi dan pengetahuan. Teori ini banyak memengaruhi aliran filsafat analitik awal dan menjadi dasar bagi semantik logis modern.

3.2.       Makna sebagai Fakta Mental dan Konstruksi Psikologis

Berlawanan dengan pendekatan idealistik, tradisi empiris dan psikologis melihat makna sebagai fenomena mental. John Locke menegaskan bahwa “kata-kata adalah tanda ide,”⁴ yang berarti bahwa makna suatu kata adalah ide yang dihubungkan dengan pengalaman sensorik dan reflektif individu. Dalam model ini, makna berakar pada kesadaran subjek dan merupakan produk asosiasi mental.

Namun, pendekatan ini menimbulkan problem epistemologis dan ontologis: jika makna bersifat subjektif, bagaimana mungkin komunikasi antarindividu bisa berhasil? Gottlob Frege sendiri mengkritik pandangan ini karena meniadakan kemungkinan objektivitas semantik.⁵ Meskipun demikian, gagasan bahwa makna adalah konstruksi mental tetap bertahan dalam teori kognitif kontemporer, seperti dalam pemikiran George Lakoff dan Mark Johnson yang melihat makna sebagai hasil dari struktur konseptual tubuh dan pengalaman manusia (embodied meaning).⁶

Dalam konteks ini, makna bersifat emergen: ia lahir dari hubungan antara struktur pikiran dan pengalaman dunia. Realitas makna tidak sepenuhnya berada “di luar” maupun “di dalam,” tetapi di antara keduanya—dalam jaringan konseptual yang membentuk cara manusia memahami kenyataan.

3.3.       Makna sebagai Produk Sosial dan Praktik Diskursif

Pendekatan pragmatik dan sosial memandang makna sebagai produk aktivitas manusia dalam konteks sosial. Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menolak pandangan esensialis dan menyatakan bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa.”⁷ Dengan demikian, makna tidak memiliki status ontologis yang tetap; ia bukan entitas metafisik, melainkan fungsi dari praktik sosial-linguistik.

John L. Austin dan John Searle kemudian mengembangkan gagasan ini melalui teori tindak tutur (speech act theory), yang menegaskan bahwa makna adalah tindakan yang dilakukan melalui ujaran.⁸ Setiap ucapan memiliki daya ilokusi dan perlokusi yang mengubah dunia sosial. Makna, karenanya, tidak terletak pada relasi kata–objek, melainkan pada konsekuensi tindakan dan konteks pemakaian bahasa.

Dalam perspektif sosiologis dan hermeneutik, makna muncul melalui proses interpretatif yang bersifat dialogis. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa makna adalah “peristiwa” (Ereignis) yang terjadi ketika subjek dan teks saling berinteraksi dalam lingkaran pemahaman (hermeneutic circle).⁹ Ini menunjukkan bahwa makna tidak “ada” secara substansial, tetapi “terjadi” dalam perjumpaan antara penafsir dan dunia teks. Jacques Derrida bahkan lebih radikal dengan mengatakan bahwa makna selalu tertunda dan tidak pernah hadir sepenuhnya (différance).¹⁰


Sintesis Ontologis: Makna sebagai Fenomena Relasional

Dari ketiga arah di atas—idealis, mentalistik, dan sosial—dapat disimpulkan bahwa makna memiliki sifat relasional. Ia bukan substansi yang berdiri sendiri, tetapi eksis dalam hubungan: antara tanda dan referen, antara pikiran dan dunia, antara individu dan masyarakat. Charles Sanders Peirce merumuskan hal ini dalam semiotik triadik, di mana makna lahir dari hubungan antara sign, object, dan interpretant.¹¹ Dalam skema ini, realitas makna tidak bersifat statis melainkan prosesual, selalu bergerak melalui rantai interpretasi tak berhingga (semiosis).

Oleh karena itu, dalam perspektif ontologis kontemporer, makna dapat dipahami sebagai fenomena emergen yang muncul dari interaksi antara struktur simbolik, pengalaman subjektif, dan konteks sosial. Ia tidak sepenuhnya ideal maupun empiris, melainkan bersifat intersubjektif—hidup di ruang antara kesadaran individu dan jaringan simbolik masyarakat.

Dengan demikian, ontologi makna mengarah pada pandangan non-reduksionistik: makna adalah fenomena multidimensional yang menyatukan dunia ide, pengalaman, dan komunikasi manusia. Dalam kerangka humanistik, makna menjadi jembatan antara realitas dan interpretasi, antara fakta dan nilai, antara bahasa dan eksistensi.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[2]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 56–60.

[3]                Plato, Phaedo, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1977), 78–82.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.

[5]                Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 45.

[6]                George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[8]                J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–8; John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.

[10]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–27.

[11]             Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.228–2.231.


4.           Epistemologi: Sumber, Akses, dan Pemahaman Makna

Persoalan epistemologis dalam filsafat bahasa berkaitan dengan pertanyaan: bagaimana manusia mengetahui dan memahami makna bahasa? Jika ontologi menyoal hakikat eksistensial makna, maka epistemologi berfokus pada proses kognitif, logis, dan sosial yang memungkinkan pengetahuan tentang makna itu terjadi. Masalah ini tidak hanya melibatkan hubungan antara bahasa dan pikiran, tetapi juga antara bahasa dan dunia—yakni bagaimana tanda-tanda linguistik mengandung, menyampaikan, serta menstrukturkan pengetahuan manusia.

4.1.       Sumber Pengetahuan tentang Makna: Pengalaman, Konvensi, dan Konteks

Terdapat tiga sumber utama dalam pengetahuan makna: pengalaman, konvensi sosial, dan konteks penggunaan. Kaum empiris seperti John Locke berpendapat bahwa makna berasal dari pengalaman inderawi dan reflektif, di mana kata menjadi tanda bagi ide-ide yang terbentuk melalui proses pengamatan.¹ Dengan demikian, pengetahuan tentang makna bergantung pada kemampuan individu dalam mengasosiasikan simbol dengan pengalaman nyata.

Namun, empirisisme semacam ini dikritik oleh pendekatan konvensionalis yang menegaskan bahwa makna tidak bersumber dari pengalaman individual, melainkan dari kesepakatan sosial yang membentuk sistem bahasa. Ferdinand de Saussure menekankan bahwa makna timbul karena perbedaan (difference) antar-tanda dalam suatu sistem linguistik, bukan karena hubungan langsung dengan realitas eksternal.² Artinya, makna diketahui melalui pemahaman terhadap struktur bahasa itu sendiri, bukan melalui rujukan empiris.

Lebih jauh, Ludwig Wittgenstein memperluas pandangan ini dengan menunjukkan bahwa makna tidak dapat dilepaskan dari konteks penggunaan.³ Ia menegaskan bahwa mengetahui makna berarti mengetahui bagaimana suatu kata digunakan dalam berbagai permainan bahasa (language games).⁴ Dengan demikian, sumber pengetahuan makna bersifat praktis dan intersubjektif: makna tidak ditemukan secara introspektif, tetapi dipelajari dalam interaksi sosial.

4.2.       Mekanisme Akses terhadap Makna: Pemahaman dan Interpretasi

Akses terhadap makna melibatkan dua mekanisme epistemologis utama: pemahaman (understanding) dan interpretasi (interpretation). Pemahaman merupakan kemampuan untuk menautkan bentuk linguistik dengan makna yang dimaksud secara konvensional, sedangkan interpretasi melibatkan penyesuaian terhadap konteks dan niat pembicara.⁵

Donald Davidson, dalam teori interpretasi radikalnya, menyatakan bahwa memahami makna suatu ujaran berarti mampu menafsirkan kebenaran proposisi yang dikandungnya dalam konteks komunikasi yang terbuka.⁶ Dengan demikian, pengetahuan makna bukanlah sekadar pengetahuan semantik statis, tetapi hasil dari proses inferensial yang dinamis, di mana penutur dan pendengar bersama-sama membangun makna melalui prinsip rasionalitas dan koherensi.⁷

Hans-Georg Gadamer memperluas gagasan ini dalam kerangka hermeneutik dengan mengatakan bahwa setiap pemahaman adalah interpretasi, dan setiap interpretasi selalu melibatkan pra-pemahaman (Vorverständnis) yang berasal dari horizon historis dan kultural penafsir.⁸ Ini berarti, pengetahuan tentang makna selalu bersifat historis dan dialogis—makna dipahami melalui pertemuan antara horizon penafsir dan horizon teks.

4.3.       Makna, Pikiran, dan Dunia: Antara Kognisi dan Representasi

Epistemologi makna juga bergulat dengan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Dalam teori representasional klasik, makna dianggap sebagai jembatan antara kata dan realitas, di mana pikiran berfungsi sebagai wadah representasi simbolik.⁹ Namun, pendekatan kognitif kontemporer menolak pandangan ini dengan menekankan bahwa makna bukan sekadar representasi pasif, melainkan konstruksi aktif yang dibentuk melalui pengalaman sensorimotor dan struktur konseptual tubuh manusia.¹⁰

George Lakoff dan Mark Johnson, dalam teori embodied cognition, menegaskan bahwa memahami makna berarti memahami pola metaforis yang berakar pada pengalaman jasmaniah.¹¹ Misalnya, konsep “naik” dan “turun” dalam bahasa tidak netral, tetapi mencerminkan pengalaman fisik manusia dalam ruang. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang makna tidak bisa dilepaskan dari kondisi eksistensial manusia sebagai makhluk ber-tubuh dan ber-dunia.

Di sisi lain, Wilfrid Sellars menolak pandangan “mitos data” yang menganggap makna dapat diketahui secara langsung dari pengalaman, dan menegaskan bahwa setiap pengetahuan linguistik selalu bersifat normatif, karena berada dalam “ruang alasan” (space of reasons) yang ditentukan oleh aturan sosial.¹² Artinya, memahami makna bukan sekadar proses persepsi, melainkan proses rasional yang tunduk pada norma inferensial dalam praktik diskursif.

4.4.       Dimensi Intersubjektif dalam Pemahaman Makna

Pengetahuan makna bersifat intersubjektif, karena tidak ada individu yang dapat menciptakan makna secara otonom. Jürgen Habermas menegaskan bahwa pemahaman makna terjadi dalam tindakan komunikasi yang berorientasi pada saling pengertian (Verständigung).¹³ Melalui komunikasi rasional, peserta diskursus menegosiasikan makna dengan merujuk pada tiga klaim validitas: kebenaran, ketepatan normatif, dan kejujuran ekspresif.¹⁴

Dengan demikian, makna diketahui melalui proses dialogis, bukan melalui subjektivitas tertutup. Dalam interaksi sosial, manusia tidak hanya menafsirkan tanda, tetapi juga menegaskan keabsahan maknanya dalam konteks etis dan sosial. Pemahaman makna menjadi bagian dari rasionalitas komunikatif yang membentuk kehidupan bersama.


Sintesis Epistemologis: Makna sebagai Proses Interpretatif yang Terbuka

Secara epistemologis, makna bukanlah sesuatu yang dapat diketahui secara mutlak, melainkan hasil dari proses interpretatif yang terus diperbarui. Ia bergantung pada konteks, niat, pengalaman, dan struktur bahasa yang digunakan. Pemahaman terhadap makna merupakan hasil interaksi antara struktur simbolik, kapasitas kognitif, dan kondisi sosial-kultural.

Dengan demikian, pengetahuan tentang makna bersifat terbuka dan revisibel. Ia berkembang melalui dialog, pembelajaran, dan refleksi kritis. Dalam perspektif humanistik, pengetahuan makna menjadi bentuk kesadaran reflektif manusia atas dunia dan sesamanya—sebuah proses yang tidak pernah selesai, karena makna selalu dapat ditafsirkan ulang dalam horizon pengalaman baru.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.

[2]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1983), 67–72.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[4]                Ibid., §23.

[5]                Paul Grice, “Meaning,” The Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[6]                Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 125–143.

[7]                Ibid., 153.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 269–273.

[9]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Williams and Norgate, 1912), 43–47.

[10]             Mark Johnson, The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 10–15.

[11]             George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.

[12]             Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 76–78.

[13]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[14]             Ibid., 326–330.


5.           Aksiologi: Nilai, Fungsi, dan Tujuan Makna dalam Komunikasi

Aksiologi dalam konteks filsafat bahasa menyoroti nilai (value), fungsi, dan tujuan dari makna dalam kehidupan manusia. Jika ontologi menanyakan apa itu makna dan epistemologi menelaah bagaimana makna diketahui, maka aksiologi bertanya untuk apa makna itu ada dan berfungsi. Makna tidak berdiri dalam ruang hampa; ia menjadi fondasi bagi komunikasi, moralitas, dan kebersamaan manusia. Dalam kerangka ini, makna dipahami bukan hanya sebagai struktur semantik, tetapi juga sebagai fenomena etis dan eksistensial yang menghubungkan individu dengan dunia dan sesamanya.

5.1.       Nilai Intrinsik Makna: Fondasi Pemahaman dan Kemanusiaan

Makna memiliki nilai intrinsik karena ia memungkinkan manusia memahami dirinya dan dunia. Melalui bahasa yang bermakna, manusia menafsirkan pengalaman, mengartikulasikan pikiran, dan meneguhkan eksistensinya. Wilhelm von Humboldt menyebut bahasa sebagai “energeia,” yakni aktivitas kreatif yang terus membentuk pandangan dunia manusia (Weltanschauung).¹ Dalam perspektif ini, makna bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana pembentukan identitas dan kesadaran diri.

Nilai makna juga terletak pada kemampuannya menciptakan shared understanding—pemahaman bersama yang menjadi dasar bagi kehidupan sosial.² Tanpa makna yang dipertukarkan dan disepakati, tidak mungkin ada pengertian, kerja sama, atau kebudayaan. Dengan demikian, makna memegang peran moral-filosofis sebagai kondisi kemungkinan bagi intersubjektivitas manusia.³

5.2.       Fungsi Komunikatif Makna: Dari Representasi ke Interaksi

Fungsi utama makna terletak pada perannya dalam komunikasi. Dalam kerangka klasik, makna dianggap sebagai representasi dari dunia; kata dan kalimat berfungsi untuk menyatakan sesuatu. Namun, teori tindak tutur (speech act theory) yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle menunjukkan bahwa makna tidak hanya merepresentasikan, tetapi juga melakukan sesuatu.⁴ Ujaran seperti “Saya berjanji” atau “Saya menamai kapal ini” tidak menggambarkan keadaan, tetapi menciptakan realitas sosial baru.

Dengan demikian, fungsi makna bersifat performatif dan transformatif. Ia memungkinkan tindakan sosial yang sah secara linguistik. John Searle menambahkan bahwa tindak tutur membawa kekuatan ilokusi yang bergantung pada aturan konstitutif dalam bahasa.⁵ Artinya, makna menjadi sarana tindakan—ia berfungsi sebagai medium perubahan sosial melalui bahasa.

Selain itu, dalam pandangan pragmatik modern, makna juga berfungsi sebagai sarana untuk menegosiasikan maksud dan membangun kesepahaman. Paul Grice mengemukakan prinsip kerja sama (cooperative principle), bahwa makna komunikasi bergantung pada niat pembicara dan inferensi pendengar.⁶ Makna tidak sekadar dikirim, tetapi disimpulkan melalui konteks dan tujuan komunikasi.

5.3.       Tujuan Etis Makna: Menuju Pemahaman dan Keterbukaan

Secara aksiologis, tujuan akhir makna adalah membangun pemahaman (understanding) dan keterbukaan (openness). Dalam filsafat hermeneutik, Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa makna hanya dapat terwujud dalam dialog yang tulus, di mana setiap pihak terbuka terhadap horizon pemahaman yang lain.⁷ Dengan demikian, makna berfungsi sebagai ruang etis yang memediasi perbedaan dan memungkinkan terjadinya rekonsiliasi interpretatif antarindividu maupun antarbudaya.

Jürgen Habermas melanjutkan ide ini dalam teori tindakan komunikatifnya, dengan menegaskan bahwa tujuan utama komunikasi bermakna bukanlah dominasi atau persuasi, melainkan pemahaman rasional (rational understanding).⁸ Dalam komunikasi ideal, setiap peserta diskursus diharapkan mengajukan klaim makna yang dapat diuji kebenarannya melalui argumentasi rasional dan tanpa paksaan.⁹ Maka, makna bukan sekadar hasil semantik, tetapi juga hasil etis—ia mencerminkan kesediaan manusia untuk saling memahami secara bebas dan setara.

Makna, dengan demikian, memiliki dimensi normatif. Ia bukan hanya deskriptif terhadap dunia, melainkan juga preskriptif terhadap bagaimana manusia seharusnya berbicara dan bertindak.¹⁰ Komunikasi yang bermakna menuntut kejujuran, kejelasan, dan tanggung jawab moral, sebab setiap makna yang diucapkan berpotensi membentuk realitas sosial.

5.4.       Dimensi Eksistensial dan Humanistik Makna

Makna juga bernilai secara eksistensial karena menjadi medium bagi manusia untuk menemukan arti hidupnya. Viktor Frankl, dalam logoterapinya, menyatakan bahwa pencarian makna merupakan motivasi terdalam manusia; kehilangan makna berarti kehilangan arah eksistensi.¹¹ Dalam konteks bahasa, hal ini menunjukkan bahwa komunikasi bermakna adalah sarana untuk membangun makna hidup bersama. Bahasa yang kehilangan makna—seperti dalam propaganda, manipulasi, atau ujaran kebencian—mereduksi martabat manusia karena mengubah kata menjadi instrumen kekuasaan.

Dari perspektif humanistik, makna memiliki fungsi etis untuk meneguhkan kemanusiaan. Bahasa yang bermakna adalah bahasa yang membuka ruang bagi empati dan dialog, bukan yang menutup perbedaan. Dalam arti ini, makna bukan hanya entitas linguistik, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap kebenaran dan keadilan dalam komunikasi.


Sintesis Aksiologis: Makna sebagai Ruang Etika Komunikatif

Secara sintetik, aksiologi makna mengarah pada pemahaman bahwa makna adalah nilai dan tujuan komunikasi manusia itu sendiri. Ia memiliki fungsi ganda: pertama, sebagai sarana epistemik untuk memahami dunia; kedua, sebagai sarana etis untuk membangun kehidupan bersama yang bermartabat. Nilai makna terletak pada kemampuannya menghubungkan antara dimensi rasional dan moral, antara kognisi dan empati.

Dalam kerangka humanistik, makna bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga sarana hidup bersama. Ia mengandung nilai kebebasan (karena memungkinkan ekspresi), kebenaran (karena membuka pemahaman), dan keadilan (karena menegaskan kesetaraan dalam komunikasi). Dengan demikian, setiap makna yang diucapkan memikul tanggung jawab etis terhadap kebenaran dan kemanusiaan yang dikandungnya.


Footnotes

[1]                Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 54–59.

[2]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 102–107.

[3]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 22–25.

[4]                J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–8.

[5]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.

[6]                Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 371–378.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[9]                Ibid., 326–330.

[10]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 29–34.

[11]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 97–105.


6.           Dimensi Sosial, Kultural, dan Kontekstual Makna

Makna bukanlah entitas yang eksis secara terisolasi dalam pikiran atau sistem logika semata; ia selalu terjalin dalam jaringan sosial, kultural, dan kontekstual tempat bahasa itu digunakan. Bahasa adalah praktik sosial yang diatur oleh norma, nilai, dan relasi kekuasaan, sehingga makna menjadi refleksi dari struktur sosial yang melahirkannya. Dalam filsafat bahasa kontemporer, dimensi sosial dan kultural makna menegaskan bahwa memahami bahasa berarti memahami dunia sosial yang melandasinya.

6.1.       Bahasa sebagai Fenomena Sosial

Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics menekankan bahwa bahasa (langue) merupakan sistem sosial, bukan ciptaan individual.¹ Ia menolak pandangan mentalistik bahwa makna hanya ada dalam kesadaran pribadi, dan menegaskan bahwa bahasa berfungsi melalui struktur kolektif yang dipertahankan oleh komunitas penutur. Makna, karenanya, tidak dapat dipahami di luar jaringan sosial yang membentuknya.

Emile Durkheim menambahkan bahwa bahasa memiliki peran sosial yang mirip dengan institusi moral—ia menjadi sarana yang memungkinkan terbentuknya solidaritas sosial.² Dengan berbagi simbol dan makna yang sama, individu dapat berpartisipasi dalam kehidupan kolektif. Bahasa, dalam hal ini, adalah medium pembentukan realitas sosial sebagaimana ditegaskan juga oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann bahwa “realitas sosial dikonstruksi secara simbolik melalui bahasa.”³

Hal ini berarti bahwa makna tidak hanya dihasilkan melalui pikiran, tetapi juga melalui interaksi sosial. Ia merupakan hasil konsensus dan negosiasi yang berkelanjutan, yang menegaskan bahwa bahasa bersifat intersubjektif—yakni selalu melibatkan kesadaran bersama dan pengakuan timbal balik.

6.2.       Dimensi Kultural: Makna sebagai Produk Simbolik dan Interpretatif

Makna juga memiliki dimensi kultural yang mendalam. Clifford Geertz menggambarkan budaya sebagai “jaring-jaring makna” yang dipintal oleh manusia sendiri.⁴ Menurutnya, tugas ilmu sosial adalah menafsirkan makna yang terkandung dalam simbol-simbol budaya tersebut. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana utama bagi ekspresi dan transmisi kebudayaan, karena melalui bahasa, manusia menafsirkan realitas dan memberi makna pada pengalaman hidupnya.

Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, melalui hipotesis relativitas linguistiknya, mengemukakan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara berpikir dan melihat dunia.⁵ Bahasa-bahasa yang berbeda mencerminkan worldview yang berbeda pula, sehingga makna suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks kulturalnya. Misalnya, kata “waktu,” “kehormatan,” atau “kebebasan” memiliki konotasi dan implikasi yang berbeda dalam budaya Barat, Timur, atau masyarakat adat.

Dalam konteks ini, makna adalah konstruksi simbolik yang berakar pada nilai dan praktik budaya tertentu. Ia tidak bersifat universal, melainkan plural—beraneka sesuai dengan horizon budaya dan pengalaman manusia yang beragam. Pandangan ini memperluas pemahaman filsafat bahasa dengan menegaskan dimensi antropologis makna.

6.3.       Konteks Sosial dan Kekuasaan dalam Pembentukan Makna

Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge menegaskan bahwa makna tidak pernah netral, karena ia selalu dikonstruksi dalam rezim wacana (discourse) yang diatur oleh relasi kekuasaan.⁶ Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga instrumen dominasi. Melalui wacana, suatu masyarakat menentukan apa yang boleh dikatakan, siapa yang boleh berbicara, dan bagaimana sesuatu dapat bermakna.⁷

Pierre Bourdieu memperkuat analisis ini dengan konsep linguistic capital, yaitu kekuatan simbolik yang melekat pada penggunaan bahasa tertentu.⁸ Menurutnya, makna suatu ujaran bergantung pada posisi sosial penuturnya dan struktur kekuasaan yang mengatur interaksi linguistik. Bahasa formal, akademik, atau birokratik memiliki legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dialek atau bentuk bahasa lokal, yang sering kali termarjinalkan.⁹

Dengan demikian, makna bersifat politis. Ia merefleksikan dan sekaligus memproduksi struktur kekuasaan sosial. Dalam kerangka ini, filsafat bahasa memiliki tanggung jawab kritis untuk membongkar bagaimana makna digunakan untuk mempertahankan atau menantang dominasi.

6.4.       Konteks Komunikatif dan Pragmatik: Makna sebagai Tindakan Kontekstual

Dimensi kontekstual makna berkaitan erat dengan pragmatik, yakni cabang filsafat bahasa yang menelaah hubungan antara makna dan situasi penggunaan. H. P. Grice menunjukkan bahwa makna komunikatif tidak dapat dipahami hanya dari makna literal, tetapi harus mempertimbangkan niat pembicara (speaker’s intention) dan inferensi pendengar.¹⁰ Makna aktual suatu ujaran, seperti “Cuacanya panas,” dapat berubah tergantung konteks: bisa menjadi keluhan, ajakan, atau pernyataan netral.

Dell Hymes menambahkan konsep ethnography of communication yang menekankan pentingnya memahami konteks sosial-budaya dalam setiap praktik komunikasi.¹¹ Dalam setiap masyarakat, terdapat aturan-aturan tak tertulis yang mengatur kapan, bagaimana, dan kepada siapa seseorang boleh berbicara. Pelanggaran terhadap aturan kontekstual ini dapat menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan konflik sosial.

Dengan demikian, makna bersifat kontekstual ganda: ia tergantung pada konteks linguistik (apa yang dikatakan) dan konteks sosial (siapa yang mengatakan, kepada siapa, dalam situasi apa).¹² Hal ini menegaskan bahwa memahami makna berarti memahami situasi komunikasi sebagai praktik sosial yang terletak dalam ruang budaya dan sejarah tertentu.

6.5.       Makna di Era Global dan Digital: Hibriditas dan Fragmentasi

Dalam masyarakat global kontemporer, makna menjadi semakin cair dan plural. Interaksi lintas budaya dan penggunaan teknologi digital menciptakan bentuk-bentuk komunikasi baru yang melampaui batas geografis dan bahasa. Roland Robertson menyebut fenomena ini sebagai glocalization, yakni pertemuan antara global dan lokal dalam produksi makna.¹³

Di ruang digital, makna sering kali ditentukan oleh algoritme, visualisasi, dan jaringan sosial. Jean Baudrillard bahkan menyebut bahwa dalam budaya simulacra, makna telah kehilangan referensi nyata dan berubah menjadi “hiperrealitas”—suatu dunia tanda yang meniru tanpa rujukan.¹⁴ Artinya, makna kini semakin ditentukan oleh sirkulasi simbol daripada oleh hubungan langsung dengan realitas.

Namun, dinamika ini juga membuka peluang bagi pembentukan makna yang lebih demokratis dan partisipatif. Melalui media sosial, individu dari berbagai latar dapat berpartisipasi dalam penciptaan makna bersama. Ini menegaskan bahwa makna selalu menjadi medan dialektis antara kekuasaan dan kebebasan, antara struktur sosial dan agensi manusia.


Sintesis: Makna sebagai Produk Relasional dan Kontekstual

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna merupakan produk relasional yang lahir dari interaksi antara individu, budaya, dan struktur sosial. Ia bersifat dinamis—senantiasa dibentuk, ditafsirkan, dan dinegosiasikan dalam konteks historis dan sosial tertentu.

Dalam perspektif humanistik, dimensi sosial dan kultural makna menegaskan pentingnya dialog dan empati antarbudaya. Makna sejati bukanlah yang menyingkirkan perbedaan, tetapi yang membuka ruang pemahaman dalam keberagaman. Dengan demikian, filsafat bahasa berperan bukan hanya untuk menjelaskan bagaimana bahasa bekerja, tetapi juga bagaimana bahasa dapat menumbuhkan pengertian, kebebasan, dan keadilan di antara manusia.


Footnotes

[1]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Roy Harris (Chicago: Open Court, 1983), 68–72.

[2]                Émile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, trans. Karen E. Fields (New York: Free Press, 1995), 418–421.

[3]                Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 54–59.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[5]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace & Company, 1921), 207–214; Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (London: Routledge, 1972), 49–54.

[7]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.

[8]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.

[9]                Ibid., 48–52.

[10]             H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[11]             Dell Hymes, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 44–50.

[12]             Deborah Tannen, Talking Voices: Repetition, Dialogue, and Imagery in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 15–18.

[13]             Roland Robertson, “Glocalization: Time–Space and Homogeneity–Heterogeneity,” in Global Modernities, ed. Mike Featherstone, Scott Lash, and Roland Robertson (London: Sage Publications, 1995), 25–44.

[14]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


7.           Teori-Teori Utama tentang Makna

Dalam perjalanan panjang filsafat bahasa, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana makna muncul, bekerja, dan dipahami. Setiap teori menyoroti aspek tertentu dari hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Secara umum, teori-teori tentang makna dapat dikategorikan ke dalam lima aliran utama: teori referensial, teori ideasional (atau mentalistik), teori verifikasi dan konteks, teori penggunaan bahasa (use theory), serta teori pragmatik dan semiotik modern.

7.1.       Teori Referensial (Referential Theory of Meaning)

Teori referensial merupakan salah satu teori tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat bahasa. Ia berpandangan bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh hubungannya dengan objek atau keadaan di dunia yang dirujuknya (reference).¹ Dengan kata lain, kata bermakna karena menunjuk kepada sesuatu. Aristoteles telah mengisyaratkan prinsip ini dalam De Interpretatione, di mana kata dipahami sebagai simbol dari pengalaman mental yang mengacu pada hal-hal di dunia nyata.²

Pandangan ini dikembangkan lebih sistematis oleh Gottlob Frege melalui pembedaan antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference).³ Sense menjelaskan cara suatu objek dihadirkan dalam pikiran, sedangkan reference menunjuk pada objek aktualnya. Teori ini menjelaskan, misalnya, bagaimana dua ekspresi seperti “Bintang Fajar” dan “Bintang Senja” dapat memiliki acuan yang sama (planet Venus) tetapi makna yang berbeda. Bertrand Russell kemudian memperluas teori ini melalui teori deskripsi, yang menyatakan bahwa nama-nama tertentu tidak memiliki makna langsung, melainkan merupakan singkatan dari deskripsi yang lebih kompleks.⁴

Kritik terhadap teori referensial datang dari para pragmatis dan filsuf analitik kemudian, yang menilai bahwa teori ini gagal menjelaskan makna kata-kata yang tidak memiliki referen konkret seperti “unicorn” atau “keadilan.”⁵ Selain itu, teori ini juga cenderung mengabaikan dimensi sosial dan kontekstual dari bahasa.

7.2.       Teori Ideasional atau Mentalistik

Teori ideasional berakar pada tradisi empirisme dan psikologisme modern, terutama pada pemikiran John Locke. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa kata-kata adalah “tanda dari ide” dalam pikiran manusia.⁶ Makna, dengan demikian, bersifat mental: ia adalah ide atau representasi yang diasosiasikan dengan simbol linguistik.

Pandangan ini menempatkan individu sebagai pusat sumber makna. Komunikasi terjadi ketika pembicara dan pendengar memiliki ide yang sama di balik kata yang digunakan. David Hume melanjutkan pandangan ini dengan menjelaskan bahwa makna muncul dari asosiasi ide yang dibentuk melalui pengalaman sensoris.⁷

Namun, teori ini mendapat kritik keras dari Frege dan Wittgenstein awal, yang menilai bahwa makna tidak dapat direduksi pada representasi mental, sebab makna bersifat publik, bukan privat.⁸ Jika makna hanyalah ide dalam pikiran seseorang, maka komunikasi antarindividu menjadi mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa ide yang dimaksud sama bagi setiap orang.

7.3.       Teori Verifikasi dan Konteks (Logical Positivism and Verification Theory)

Pada awal abad ke-20, mazhab positivisme logis dari Lingkaran Wina (Vienna Circle) memperkenalkan teori verifikasi sebagai kriteria makna. Menurut teori ini, makna suatu pernyataan bergantung pada kemampuannya untuk diverifikasi secara empiris.⁹ Kalimat yang tidak dapat diuji oleh pengalaman indrawi dianggap tidak bermakna, seperti pernyataan metafisis atau teologis.

Rudolf Carnap, tokoh utama aliran ini, berpendapat bahwa analisis makna harus dilakukan melalui analisis logis terhadap struktur bahasa.¹⁰ Dengan demikian, teori verifikasi menekankan pentingnya konteks observasi dan kebenaran empiris dalam menentukan makna.

Namun, teori ini dikritik karena terlalu sempit dan menyingkirkan dimensi pragmatik dan normatif bahasa. Karl Popper menentang prinsip verifikasi dengan menggantinya dengan falsifikasi,¹¹ sementara W. V. O. Quine menunjukkan bahwa makna tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem kepercayaan dan konteks bahasa (the web of belief).¹²

7.4.       Teori Penggunaan Bahasa (Use Theory of Meaning)

Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations melakukan revolusi konseptual dengan menyatakan bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa.”¹³ Dengan demikian, makna tidak terletak pada hubungan antara kata dan objek (seperti dalam teori referensial), melainkan pada cara kata digunakan dalam praktik sosial tertentu.

Dalam kerangka ini, bahasa dilihat sebagai serangkaian “permainan bahasa” (language games), di mana setiap permainan memiliki aturan tersendiri.¹⁴ Misalnya, makna pernyataan “Saya janji” bergantung pada praktik sosial janji itu sendiri. Makna bersifat normatif dan kontekstual, karena ditentukan oleh aturan penggunaan dalam komunitas linguistik.

Pandangan Wittgenstein ini membuka jalan bagi pendekatan pragmatis dan sosiolinguistik. Makna bukanlah entitas tetap, melainkan aktivitas yang dinamis.¹⁵ Teori ini juga menginspirasi filsuf-filsuf seperti J. L. Austin dan John Searle dalam teori tindak tutur, yang menekankan bahwa berbicara berarti bertindak.¹⁶

7.5.       Teori Pragmatik dan Semiotik Modern

Pendekatan kontemporer terhadap makna berkembang melalui teori pragmatik dan semiotik. Charles Sanders Peirce memperkenalkan model semiotik triadik yang terdiri atas tanda (sign), objek (object), dan penafsir (interpretant).¹⁷ Menurut Peirce, makna bukanlah hasil dari hubungan langsung antara tanda dan objek, tetapi muncul dari proses interpretasi yang tak berujung (semiosis).¹⁸

John L. Austin dan John Searle mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory) untuk menjelaskan bahwa makna suatu ujaran tergantung pada tindakannya: locutionary act (apa yang dikatakan), illocutionary act (apa yang dilakukan melalui ucapan), dan perlocutionary act (efek dari ucapan tersebut).¹⁹ Dalam perspektif ini, makna bersifat performatif—bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu, tetapi juga menciptakan realitas sosial.

Selain itu, pendekatan pascastrukturalis seperti Jacques Derrida memperluas semiotik dengan menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan tidak pernah hadir secara utuh (différance).²⁰ Makna, dalam pandangan ini, bersifat terbuka, plural, dan selalu bergantung pada penundaan serta perbedaan antar-tanda.


Sintesis dan Perbandingan Kritis

Kelima teori di atas memberikan kontribusi berbeda terhadap pemahaman makna. Teori referensial menekankan hubungan makna dengan dunia eksternal; teori ideasional melihat makna sebagai representasi mental; teori verifikasi menekankan dimensi empiris dan logis; teori penggunaan bahasa menggarisbawahi aspek sosial dan normatif; sedangkan teori pragmatik dan semiotik menegaskan sifat tindakan dan interpretatif dari makna.

Dari sudut pandang integratif, makna dapat dipahami sebagai fenomena multidimensional yang mencakup:

·                     Dimensi representasional (hubungan dengan realitas),

·                     Dimensi kognitif (hubungan dengan pikiran),

·                     Dimensi sosial (hubungan dengan pengguna dan komunitas), dan

·                     Dimensi pragmatik (hubungan dengan tindakan dan konteks).

Dengan demikian, teori-teori makna bukanlah sistem yang saling meniadakan, melainkan lapisan-lapisan penjelasan yang saling melengkapi dalam memahami kompleksitas hubungan antara bahasa, dunia, dan manusia.


Footnotes

[1]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–16b8.

[2]                Ibid.

[3]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 11–14.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.

[7]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.

[8]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 56–60.

[9]                Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review 45, no. 4 (1936): 339–369.

[10]             Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study in Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 7–10.

[11]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 38–41.

[12]             W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 26–31.

[13]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[14]             Ibid., §§19–23.

[15]             Saul Kripke, Wittgenstein on Rules and Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 11–14.

[16]             J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–8; John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.

[17]             Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.228–2.231.

[18]             Ibid., 2.302.

[19]             Austin, How to Do Things with Words, 94–101.

[20]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–27.


8.           Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama

Diskursus tentang makna dalam filsafat bahasa tidak hanya diwarnai oleh upaya teoritis untuk menjelaskan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia, tetapi juga oleh kritik mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar dari teori-teori yang telah mapan. Kritik ini muncul baik dari dalam tradisi analitik maupun dari perspektif hermeneutik, pragmatis, dan poststrukturalis. Dengan menganalisis keterbatasan tiap pendekatan, bagian ini menyoroti arah korektif dan reflektif dalam memahami hakikat makna secara lebih komprehensif dan humanistik.

8.1.       Kritik terhadap Teori Referensial: Reduksionisme dan Krisis Representasi

Teori referensial dikritik karena cenderung mereduksi makna menjadi hubungan sempit antara kata dan objek. Ludwig Wittgenstein dalam fase keduanya menolak pandangan bahwa makna adalah representasi dunia (picture theory of meaning), dengan alasan bahwa bahasa tidak selalu berfungsi untuk menunjuk, tetapi juga untuk bertindak, bertanya, berjanji, atau bermain.¹

Selain itu, teori referensial gagal menjelaskan makna dari ekspresi yang tidak memiliki referen nyata seperti “Pegasus” atau “keadilan.”² Kritik ini kemudian diperkuat oleh para filsuf postmodern seperti Richard Rorty yang menilai bahwa model representasional semacam ini terlalu positivistik dan mengabaikan peran konteks historis serta sosial dalam pembentukan makna.³

Dalam kerangka epistemologis, teori ini juga dianggap mengasumsikan hubungan langsung dan transparan antara bahasa dan realitas, padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh Michel Foucault, setiap bahasa selalu membentuk “rezim kebenaran” tertentu yang memediasi relasi antara kata dan dunia.⁴ Makna, karenanya, bukanlah cermin realitas, melainkan hasil konstruksi diskursif yang historis dan relasional.

8.2.       Kritik terhadap Teori Ideasional (Mentalistik): Subjektivitas dan Solipsisme

Teori mentalistik yang melihat makna sebagai ide dalam pikiran individu dikritik karena menghasilkan implikasi solipsistik—seolah makna bersifat privat dan tidak dapat diverifikasi secara publik. Frege menyebut pendekatan ini “psikologisme,” dan menegaskan bahwa makna harus bersifat objektif agar komunikasi bisa terjadi.⁵

Wittgenstein dalam Philosophical Investigations mengembangkan argumen menentang kemungkinan adanya “bahasa privat.”⁶ Jika makna ditentukan oleh sensasi pribadi, maka tidak ada kriteria untuk membedakan antara benar atau salah dalam penggunaannya. Bahasa, bagi Wittgenstein, selalu bersifat publik, karena aturan makna ditentukan oleh praktik sosial, bukan oleh isi kesadaran individual.⁷

Selain itu, teori mentalistik juga gagal menjelaskan peran struktur sosial dan budaya dalam pembentukan makna. Dalam konteks kontemporer, para kognitivis seperti George Lakoff memperbaikinya dengan menegaskan bahwa makna memang berakar pada pengalaman mental, tetapi bersifat embodied—yakni tertanam dalam tubuh, budaya, dan interaksi duniawi manusia.⁸

8.3.       Kritik terhadap Teori Verifikasi: Positivisme dan Reduksionisme Empiris

Teori verifikasi dari kaum positivis logis dikritik karena mereduksi makna pada kriteria empiris yang sempit. Karl Popper menunjukkan bahwa tidak semua proposisi bermakna dapat diverifikasi, terutama yang bersifat universal; sebaliknya, ia hanya dapat difalsifikasi.⁹ Kritik ini menggoyahkan prinsip utama positivisme logis, yang akhirnya runtuh karena gagal menjelaskan bahasa ilmiah itu sendiri.

W. V. O. Quine kemudian melanjutkan kritik ini dengan menolak adanya perbedaan mutlak antara analitik dan sintetis, serta menunjukkan bahwa makna suatu proposisi selalu bergantung pada keseluruhan sistem keyakinan yang lebih luas (the web of belief).¹⁰ Hal ini menandakan bahwa makna tidak pernah berdiri sendiri secara logis, tetapi selalu bersifat holistik dan kontekstual.

Dalam perspektif hermeneutik, teori verifikasi juga dipandang mengabaikan dimensi interpretatif bahasa. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa makna tidak bisa diverifikasi secara empiris, karena ia selalu “terjadi” dalam dialog historis antara subjek dan tradisi.¹¹

8.4.       Kritik terhadap Teori Penggunaan Bahasa: Relativisme dan Ambiguitas Aturan

Meskipun teori penggunaan bahasa Wittgenstein berhasil memperluas makna ke ranah praksis sosial, pendekatan ini juga menghadapi kritik serius. Saul Kripke menyoroti paradoks aturan (rule-following paradox): bagaimana seseorang dapat dikatakan mengikuti aturan jika makna aturan itu sendiri bergantung pada praktik sosial yang tidak pernah memiliki dasar tetap.¹² Dengan kata lain, teori penggunaan berisiko jatuh ke dalam relativisme semantik, karena setiap “permainan bahasa” bisa memiliki kebenarannya sendiri tanpa standar universal.

John Searle juga mengingatkan bahwa tidak semua makna dapat dijelaskan melalui praktik sosial semata; beberapa bentuk makna, seperti dalam logika dan matematika, memerlukan struktur internal yang independen dari konteks sosial.¹³

Selain itu, pendekatan ini dianggap kurang memberikan perhatian pada dimensi kekuasaan dalam praktik bahasa. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa penggunaan bahasa tidak netral, melainkan terikat pada struktur sosial yang menentukan legitimasi dan otoritas makna.¹⁴

8.5.       Kritik terhadap Teori Pragmatik dan Semiotik Modern: Ketakstabilan dan Ketakterhinggaan Makna

Pendekatan pragmatik dan semiotik modern, meskipun berhasil menyoroti dinamika sosial dan interpretatif makna, sering dikritik karena cenderung menolak kemungkinan stabilitas makna. Jacques Derrida, melalui konsep différance, menegaskan bahwa makna selalu tertunda dan bergeser tanpa akhir.¹⁵ Namun, pandangan ini juga menimbulkan problem epistemologis—jika makna selalu tertunda, maka komunikasi bermakna menjadi mustahil, karena setiap interpretasi akan melahirkan interpretasi baru yang tak berujung.

Charles Sanders Peirce sendiri menyadari problem ini dengan memperkenalkan konsep final interpretant, yaitu pemahaman ideal yang dapat dicapai dalam proses semiosis tak terbatas.¹⁶ Namun, pendekatan ini tetap dianggap terlalu teoretis dan abstrak untuk menjelaskan makna dalam konteks sosial konkret.

Dari perspektif etika komunikasi, teori semiotik yang ekstrem bisa berisiko meniadakan tanggung jawab penutur, karena makna dipandang sepenuhnya cair dan bebas dari komitmen kebenaran.¹⁷ Hal ini menimbulkan kebutuhan akan teori makna yang tetap menghargai kebebasan interpretasi tanpa mengorbankan komitmen terhadap kejujuran dan keterbukaan.


Sintesis Kritis: Menuju Pemahaman Makna yang Integral

Kritik-kritik di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan seluruh kompleksitas makna. Teori referensial gagal menangkap konteks sosial; teori mentalistik terjebak dalam subjektivitas; teori verifikasi mengabaikan dimensi interpretatif; teori penggunaan menghadapi relativisme; dan teori semiotik modern cenderung kehilangan pijakan etis.

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih integral diperlukan—suatu pandangan yang memadukan dimensi semantik, pragmatik, sosial, dan etis dari makna. Makna bukan hanya cerminan dunia atau konstruksi sosial, melainkan proses dinamis yang terjadi di antara manusia melalui dialog yang terbuka. Dalam kerangka humanistik, kritik terhadap teori-teori makna bukanlah penolakan terhadap teori itu sendiri, tetapi usaha untuk mengembalikannya pada fungsi dasarnya: membangun komunikasi yang bermakna, adil, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.

[2]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[3]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 12–15.

[4]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1994), 54–60.

[5]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[6]                Wittgenstein, Philosophical Investigations, §243–255.

[7]                Ibid., §256–261.

[8]                George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 38–41.

[10]             W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 26–31.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.

[12]             Saul Kripke, Wittgenstein on Rules and Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 11–14.

[13]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 134–138.

[14]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.

[15]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–27.

[16]             Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.303–2.308.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.


9.           Relevansi Kontemporer: Makna di Era Digital dan Komunikasi Global

Perkembangan teknologi digital dan globalisasi komunikasi telah mengubah secara mendasar cara manusia memproduksi, menyebarkan, dan menafsirkan makna. Jika dalam filsafat bahasa klasik makna dipahami dalam konteks ujaran tatap muka dan komunitas linguistik terbatas, maka di era digital, makna beredar secara masif, lintas budaya, dan sering kali tanpa konteks yang stabil. Transformasi ini menimbulkan tantangan baru dalam memahami dimensi semantik, etis, dan sosial dari makna di dunia yang saling terhubung melalui jaringan.

9.1.       Transformasi Digital dan Perubahan Paradigma Makna

Era digital menandai pergeseran dari komunikasi berbasis ujaran langsung menuju komunikasi berbasis simbol digital dan algoritmik. Makna kini tidak hanya dihasilkan oleh manusia, tetapi juga oleh sistem teknologi yang memediasi dan memodifikasi pesan. Lev Manovich menyebut fenomena ini sebagai cultural algorithmization, yaitu proses di mana logika algoritme membentuk produksi dan persebaran makna budaya.¹

Dalam konteks media sosial, makna tidak lagi stabil atau dikontrol oleh satu sumber, melainkan muncul dari interaksi dinamis antara pengguna, platform, dan algoritme. Jean Baudrillard menyebut kondisi ini sebagai simulacra—situasi di mana tanda-tanda tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi saling meniru hingga menciptakan “hiperrealitas.”² Makna dalam ruang digital menjadi “terlepas” dari dunia nyata dan sering kali menjadi permainan citra, narasi, dan emosi yang berulang tanpa rujukan ontologis yang jelas.

Selain itu, perkembangan Artificial Intelligence (AI) dan Natural Language Processing (NLP) juga memperluas dimensi epistemologis makna. Mesin kini dapat “memahami” dan “menghasilkan” bahasa melalui model statistik, tetapi tanpa kesadaran atau intensi manusia.³ Hal ini memunculkan pertanyaan filosofis baru: apakah makna dapat eksis tanpa subjek penafsir yang sadar?

9.2.       Globalisasi Komunikasi dan Hibriditas Makna

Dalam era globalisasi, makna mengalami percampuran lintas budaya dan bahasa yang intens. Roland Robertson menyebut fenomena ini sebagai glocalization, di mana proses global dan lokal saling berinteraksi dalam membentuk makna baru.⁴ Kata, simbol, dan ekspresi budaya memperoleh konotasi berbeda ketika berpindah lintas konteks sosial. Contohnya, simbol-simbol budaya populer seperti emoji atau meme memiliki arti yang berubah-ubah tergantung pada komunitas dan ruang digital tempatnya digunakan.

Homi K. Bhabha, dalam konsep cultural hybridity, menegaskan bahwa pertemuan antarbudaya melahirkan “ruang ketiga” (third space)—sebuah arena di mana makna dinegosiasikan dan diciptakan kembali.⁵ Dalam ruang ini, identitas dan makna tidak lagi bersifat esensial, melainkan terbentuk secara dialogis dan interaktif. Pandangan ini penting dalam memahami bagaimana komunikasi global menantang konsep makna yang homogen dan statis.

Namun, globalisasi juga menghadirkan ketegangan antara universalisme dan partikularisme. Bahasa global seperti Inggris atau simbol-simbol digital sering mendominasi ruang komunikasi, menggeser bahasa-bahasa lokal dan cara berpikir tradisional.⁶ Maka, filsafat bahasa kontemporer perlu mempertimbangkan dimensi keadilan linguistik dan etika komunikasi lintas budaya.

9.3.       Makna dan Krisis Komunikasi Digital

Salah satu tantangan terbesar di era digital adalah krisis makna akibat banjir informasi dan manipulasi simbolik. Umberto Eco menyebut fenomena ini sebagai “inflasi tanda,” ketika produksi simbol begitu melimpah hingga kehilangan daya referensialnya.⁷ Makna menjadi dangkal, digantikan oleh noise yang mengaburkan kebenaran.

Fenomena disinformation dan fake news menegaskan bahwa dalam dunia digital, makna tidak hanya dikomunikasikan tetapi juga dikonstruksi untuk kepentingan ideologis dan politik.⁸ Michel Foucault telah mengingatkan bahwa setiap wacana membawa relasi kekuasaan—dan dalam konteks digital, kekuasaan ini dijalankan melalui algoritme dan media yang menentukan apa yang dianggap bermakna atau tidak.⁹

Selain itu, fenomena echo chambers mempersempit horizon makna karena individu hanya berinteraksi dengan informasi yang mengonfirmasi pandangan mereka sendiri. Akibatnya, komunikasi kehilangan fungsi dialogisnya, berubah menjadi monolog kolektif yang memperkuat polarisasi sosial.¹⁰

9.4.       Makna, Etika, dan Tanggung Jawab Komunikatif di Era Digital

Dalam konteks etis, makna di era digital menuntut tanggung jawab baru. Jürgen Habermas menegaskan bahwa komunikasi yang rasional dan bermakna mensyaratkan keterbukaan, kejujuran, dan saling pengertian.¹¹ Namun, dalam ruang digital yang ditandai oleh anonimitas dan kecepatan, prinsip-prinsip ini sering kali terabaikan. Bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya dan berubah menjadi instrumen persuasi, provokasi, atau manipulasi emosional.

Karenanya, diperlukan etika digital yang berorientasi pada makna sebagai medium pengertian bukan sekadar alat ekspresi.¹² Dalam konteks ini, filsafat bahasa harus berperan aktif dalam menumbuhkan literasi semantik—kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan memverifikasi makna di tengah arus informasi yang padat dan tidak selalu dapat dipercaya.

Makna yang etis di era digital adalah makna yang memelihara kemanusiaan, menghormati perbedaan, dan menolak penyalahgunaan bahasa sebagai instrumen kekuasaan atau disinformasi.¹³


Relevansi Humanistik: Makna sebagai Ruang Dialog Global

Meskipun dunia digital cenderung mendesentralisasi makna, ia juga membuka peluang bagi pembentukan pemahaman lintas batas. Melalui platform digital, masyarakat global kini dapat berdialog, bertukar perspektif, dan menciptakan bentuk-bentuk baru dari solidaritas semantik. Filsafat bahasa humanistik menekankan bahwa makna sejati muncul bukan dari dominasi simbolik, tetapi dari intersubjectivity—ruang di mana manusia saling mendengar dan menafsirkan dengan empati.¹⁴

Dengan demikian, makna di era digital tidak seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang hilang, melainkan sebagai sesuatu yang terus dinegosiasikan dalam konteks baru. Tantangan utamanya bukan bagaimana menjaga makna agar tetap “murni,” tetapi bagaimana menggunakannya secara bijak, kritis, dan etis di tengah kompleksitas globalisasi dan teknologi.


Footnotes

[1]                Lev Manovich, Software Takes Command (New York: Bloomsbury Academic, 2013), 45–48.

[2]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[3]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 89–92.

[4]                Roland Robertson, “Glocalization: Time–Space and Homogeneity–Heterogeneity,” in Global Modernities, ed. Mike Featherstone, Scott Lash, and Roland Robertson (London: Sage Publications, 1995), 25–44.

[5]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 36–39.

[6]                Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 11–15.

[7]                Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1976), 54–57.

[8]                Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 16–18.

[9]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.

[10]             Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 87–92.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[12]             Rafael Capurro, “Digital Ethics,” in The Handbook of Information and Computer Ethics, ed. Kenneth Einar Himma and Herman T. Tavani (Hoboken, NJ: Wiley, 2008), 187–205.

[13]             Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.

[14]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 22–25.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Makna

Setelah menelusuri dimensi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial dari makna, muncul kebutuhan untuk menyusun suatu sintesis filosofis yang lebih utuh—yakni memahami makna sebagai fenomena yang tidak hanya bersifat linguistik dan logis, tetapi juga eksistensial, etis, dan humanistik. Konsepsi humanistik tentang makna berupaya menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh proses pemaknaan: bukan sekadar sebagai pengguna tanda, melainkan sebagai makhluk penafsir (homo interpretans) yang secara aktif membangun dunia bersama melalui bahasa, dialog, dan pengertian.

10.1.    Integrasi Dimensi Semantik, Pragmatik, dan Etis

Konsepsi humanistik tentang makna berangkat dari kesadaran bahwa makna tidak dapat direduksi pada satu dimensi tunggal. Secara semantik, makna menjembatani hubungan antara bahasa dan realitas; secara pragmatik, ia mengekspresikan tindakan dan niat manusia dalam konteks sosial; dan secara etis, ia menjadi dasar bagi komunikasi yang bertanggung jawab dan bermartabat.

Dalam pandangan Ludwig Wittgenstein, bahasa tidak lagi dilihat sebagai cermin dunia, melainkan sebagai aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari (form of life).¹ Dengan demikian, makna tidak berada “di dalam” kata, melainkan dalam praktik penggunaannya oleh manusia yang hidup dalam dunia bersama. Pandangan ini membuka ruang bagi pendekatan humanistik yang menempatkan makna sebagai bagian dari eksistensi manusia yang komunikatif.

Jürgen Habermas melanjutkan pandangan tersebut dalam teori tindakan komunikatifnya dengan menekankan bahwa makna hanya dapat terwujud dalam komunikasi yang berorientasi pada saling pengertian (Verständigung), bukan dominasi.² Dalam konteks ini, makna menjadi sarana etis untuk menghubungkan manusia melalui dialog rasional yang terbuka dan jujur. Maka, makna tidak sekadar menjelaskan dunia, tetapi juga membangun dunia bersama melalui interaksi yang bermakna.

10.2.    Makna sebagai Proses Intersubjektif dan Dialogis

Konsepsi humanistik menolak pandangan bahwa makna merupakan entitas tetap, objektif, atau sepenuhnya subjektif. Sebaliknya, makna dipahami sebagai hasil proses intersubjektif—yakni pertemuan antara kesadaran individu dengan kesadaran orang lain dalam ruang dialog. Martin Buber dalam I and Thou menegaskan bahwa makna sejati hanya muncul dalam relasi “Aku–Engkau,” bukan “Aku–Itu.”³ Dalam hubungan yang dialogis ini, bahasa berfungsi bukan untuk menguasai, tetapi untuk menghadirkan dan mengakui keberadaan orang lain.

Hans-Georg Gadamer memperluas gagasan tersebut melalui hermeneutika filosofisnya, bahwa pemahaman makna selalu melibatkan fusion of horizons—peleburan cakrawala antara penafsir dan yang ditafsirkan.⁴ Artinya, makna bukan hasil dari satu subjek tunggal, melainkan hasil dialog terus-menerus antara sejarah, tradisi, dan pengalaman manusia. Di sinilah bahasa berfungsi sebagai ruang keterbukaan (openness) terhadap yang lain.

Dalam konteks ini, makna menjadi bentuk solidaritas epistemologis: manusia saling berbagi dunia melalui simbol-simbol yang mereka maknai bersama. Dengan demikian, pemahaman makna merupakan tindakan etis, karena mengandaikan pengakuan terhadap keberagaman perspektif dan martabat penutur lain.

10.3.    Makna sebagai Fenomena Eksistensial dan Kreatif

Makna juga harus dipahami dalam dimensi eksistensial. Viktor E. Frankl menegaskan bahwa pencarian makna merupakan dorongan paling fundamental dalam kehidupan manusia.⁵ Dalam logoterapi, kehilangan makna berarti kehilangan orientasi eksistensial. Di sinilah bahasa memainkan peran penting: ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medium di mana manusia menafsirkan penderitaan, harapan, dan tujuan hidupnya.

Bahasa menjadi ruang kreatif tempat manusia memberi bentuk pada pengalaman eksistensial. Paul Ricoeur menyebut proses ini sebagai metaphorical redescriptions—yakni kemampuan bahasa untuk membentuk kembali realitas melalui imajinasi dan narasi.⁶ Melalui simbol dan cerita, manusia tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga menata dan menebusnya. Dalam arti ini, makna bersifat produktif: ia tidak hanya dipahami, tetapi juga diciptakan.

10.4.    Makna dan Tanggung Jawab dalam Era Digital

Konsepsi humanistik tentang makna juga menuntut tanggung jawab baru di era komunikasi digital. Ketika bahasa kehilangan kedalaman dan berubah menjadi sekadar instrumen ekspresi cepat atau provokasi emosional, filsafat bahasa humanistik mengingatkan bahwa setiap makna memiliki konsekuensi etis.

Charles Ess menegaskan bahwa etika digital yang berakar pada humanisme harus menjaga makna sebagai ruang empati dan refleksi, bukan manipulasi.⁷ Bahasa digital, meskipun ringkas dan visual, tetap merupakan medium moral—setiap simbol, komentar, atau narasi membawa potensi untuk memperkuat atau merusak nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks ini, makna yang humanistik adalah makna yang membangun kesadaran kritis dan solidaritas global. Ia tidak berhenti pada level semantik, tetapi berkembang menjadi praksis etis yang menumbuhkan pengertian dan tanggung jawab bersama di ruang komunikasi modern.

10.5.    Menuju Konsepsi Humanistik: Makna sebagai Ruang Kemanusiaan

Sintesis filosofis tentang makna akhirnya bermuara pada pandangan bahwa makna adalah bentuk tertinggi dari eksistensi manusia sebagai makhluk komunikatif dan reflektif. Makna bukan hanya sesuatu yang dipahami, tetapi sesuatu yang dihidupi. Melalui bahasa, manusia membangun dunia simbolik tempat nilai, kebenaran, dan keindahan diwujudkan.

Konsepsi humanistik ini menegaskan bahwa makna harus dipelihara dalam tiga prinsip utama:

·                     Keterbukaan — mengakui pluralitas interpretasi tanpa kehilangan orientasi kebenaran.

·                     Empati — mengandaikan kemampuan memahami dan menghormati pandangan orang lain.

·                     Tanggung jawab — mengakui bahwa setiap makna yang diungkapkan berdampak pada kehidupan bersama.

Dengan demikian, filsafat bahasa tidak berhenti pada analisis logis atau struktural, tetapi berkembang menjadi etika komunikasi dan ontologi kemanusiaan. Makna, dalam pengertian humanistik, adalah jantung dari dialog eksistensial manusia—tempat di mana bahasa menjadi jembatan antara pengetahuan dan kasih, antara pemahaman dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[2]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[3]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 22–25.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 97–105.

[6]                Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (London: Routledge, 1978), 5–7.

[7]                Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.


11.       Kesimpulan

Masalah makna (meaning) dalam filsafat bahasa merupakan tema sentral yang menyingkap hakikat manusia sebagai makhluk berbahasa, berpikir, dan berkomunikasi. Sejak masa Yunani kuno hingga era digital kontemporer, refleksi filosofis tentang makna telah mengalami perkembangan dari pandangan representasional menuju perspektif pragmatik, hermeneutik, dan humanistik. Setiap fase perkembangan ini menambah lapisan pemahaman baru tentang bagaimana manusia menghubungkan bahasa, pikiran, dan dunia dalam upaya memahami diri dan realitasnya.

11.1.    Rekapitulasi Historis dan Konseptual

Secara historis, perdebatan tentang makna berakar pada persoalan klasik antara Plato dan Aristoteles mengenai apakah hubungan antara nama dan benda bersifat alamiah atau konvensional.¹ Tradisi modern kemudian memperdalam persoalan ini dengan pendekatan epistemologis, seperti yang dilakukan John Locke dan David Hume, yang menempatkan makna sebagai ide dalam pikiran manusia.² Namun, pendekatan mentalistik ini segera dikritik oleh Gottlob Frege dan Bertrand Russell yang menegaskan dimensi logis dan objektif makna melalui teori sense dan reference

Memasuki abad ke-20, pergeseran paradigma terjadi dengan munculnya pandangan Wittgenstein, yang memandang makna bukan sebagai hubungan statis antara kata dan dunia, melainkan sebagai fungsi dari penggunaannya dalam language games.⁴ Pandangan ini membuka jalan bagi teori pragmatik dan tindakan tutur (Austin dan Searle) serta pendekatan semiotik (Peirce) yang menekankan dimensi sosial dan interpretatif makna.⁵

Dengan demikian, sejarah refleksi tentang makna menunjukkan evolusi dari pendekatan ontologis dan epistemologis menuju pemahaman yang lebih dinamis, kontekstual, dan komunikatif. Filsafat bahasa modern menegaskan bahwa makna bukanlah entitas yang “ditemukan,” tetapi sesuatu yang “diciptakan” melalui interaksi manusia dan dunia simboliknya.

11.2.    Sintesis Ontologis dan Epistemologis

Ontologisnya, makna bukanlah objek metafisik yang berdiri sendiri, melainkan realitas relasional yang hidup di antara tanda, pemakai, dan konteks sosialnya.⁶ Epistemologisnya, makna tidak diperoleh melalui intuisi murni, tetapi melalui proses interpretatif yang melibatkan pengalaman, kebiasaan, dan kesepakatan sosial. Gadamer menegaskan bahwa pemahaman makna selalu bersifat historis dan dialogis—terjadi dalam pertemuan antara horizon penafsir dan teks.⁷

Dalam konteks ini, pengetahuan tentang makna bersifat terbuka dan revisibel: ia terus berubah mengikuti perkembangan bahasa, budaya, dan situasi komunikasi manusia. Hal ini menggarisbawahi bahwa bahasa tidak hanya alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga medium untuk membentuk realitas dan kesadaran manusia.

11.3.    Dimensi Aksiologis dan Sosial: Makna sebagai Nilai dan Tanggung Jawab

Dari sisi aksiologis, makna memiliki nilai intrinsik sebagai sarana pembentukan pengertian, kejujuran, dan kemanusiaan. Habermas menegaskan bahwa komunikasi yang bermakna mensyaratkan rasionalitas komunikatif—yaitu keterbukaan terhadap argumentasi dan keinginan untuk mencapai saling pengertian, bukan sekadar kemenangan retoris.⁸ Bahasa yang bermakna dengan demikian menjadi ruang etika tempat manusia belajar mendengarkan, menanggapi, dan menghargai yang lain.

Secara sosial, makna merupakan konstruksi kolektif yang lahir dari interaksi, budaya, dan struktur kekuasaan.⁹ Ia mencerminkan cara manusia membentuk realitas sosial melalui wacana. Karena itu, tanggung jawab terhadap makna juga berarti tanggung jawab terhadap kebenaran dan keadilan dalam komunikasi. Filsafat bahasa humanistik menolak reduksi bahasa menjadi instrumen dominasi, propaganda, atau manipulasi, dan menegaskan peran bahasa sebagai sarana pembebasan dan pengertian antar manusia.¹⁰

11.4.    Relevansi Kontemporer: Tantangan di Era Digital dan Global

Di era digital, makna menghadapi krisis akibat banjir informasi dan komodifikasi simbol.¹¹ Media digital mempercepat penyebaran makna tetapi juga memperlemah kedalamannya; bahasa menjadi dangkal dan sering kehilangan konteks. Fenomena disinformation dan echo chambers menandakan bahwa makna kini mudah dimanipulasi oleh algoritme dan kepentingan politik.¹²

Namun, ruang digital juga membuka peluang baru bagi partisipasi dan pembentukan makna secara global. Dalam konteks ini, makna perlu dipahami sebagai proses dialogis lintas budaya yang menuntut literasi semantik dan etika komunikasi global. Filsafat bahasa di abad ke-21 harus mengajarkan manusia untuk berpikir reflektif, kritis, dan empatik dalam mengelola makna yang beredar di ruang publik digital.¹³


Kesimpulan Humanistik: Makna sebagai Jembatan Kemanusiaan

Akhirnya, seluruh pembahasan filsafat bahasa tentang makna bermuara pada kesadaran bahwa makna adalah jantung eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Melalui makna, manusia mengatasi keterpisahan, menemukan arah hidup, dan membangun dunia bersama. Dalam kerangka humanistik, makna bukan sekadar kategori semantik, melainkan tindakan eksistensial—sebuah proses menjadi manusia melalui bahasa.

Makna mengandung nilai kebebasan karena memungkinkan ekspresi diri; nilai kebenaran karena memungkinkan pemahaman; dan nilai keadilan karena memungkinkan pengakuan terhadap sesama.¹⁴ Dengan demikian, makna sejati bukan hanya “apa yang dikatakan,” tetapi “bagaimana manusia hidup di dalam kata.”

Filsafat bahasa humanistik menutup lingkaran refleksi ini dengan seruan etis: bahwa menjaga makna berarti menjaga kemanusiaan itu sendiri. Bahasa yang kehilangan makna adalah bahasa yang kehilangan nurani; sebaliknya, bahasa yang bermakna adalah bahasa yang menghadirkan pengertian, kebijaksanaan, dan cinta.¹⁵


Footnotes

[1]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–385e.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.

[3]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50; Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[5]                J. L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–8; Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1931), 2.228–2.231.

[6]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 56–60.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.

[9]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.

[10]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.

[11]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[12]             Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 87–92.

[13]             Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.

[14]             Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (London: Routledge, 1978), 5–7.

[15]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 22–25.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). Ann Arbor: University of Michigan Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. New York: Routledge.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality. New York: Anchor Books.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. London: Routledge.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.

Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles Scribner’s Sons.

Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A study in semantics and modal logic. Chicago: University of Chicago Press.

Capurro, R. (2008). Digital ethics. In K. E. Himma & H. T. Tavani (Eds.), The handbook of information and computer ethics (pp. 187–205). Hoboken, NJ: Wiley.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of language. London: Duckworth.

Durkheim, É. (1995). The elementary forms of the religious life (K. E. Fields, Trans.). New York: Free Press.

Eco, U. (1976). A theory of semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Ess, C. (2014). Digital media ethics. Cambridge: Polity Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). London: Routledge.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. New York: Vintage Books.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Boston: Beacon Press.

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Grice, H. P. (1957). Meaning. The Philosophical Review, 66(3), 377–388.

Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41–58). New York: Academic Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Humboldt, W. von. (1988). On language: The diversity of human language-structure and its influence on the mental development of mankind (P. Heath, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Johnson, M. (1987). The body in the mind: The bodily basis of meaning, imagination, and reason. Chicago: University of Chicago Press.

Kripke, S. (1982). Wittgenstein on rules and private language. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Lakoff, G. (1987). Women, fire, and dangerous things: What categories reveal about the mind. Chicago: University of Chicago Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. Chicago: University of Chicago Press.

Leibniz, G. W. (1991). Discourse on metaphysics and other essays (D. Garber & R. Ariew, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Lyons, J. (1977). Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.

Manovich, L. (2013). Software takes command. New York: Bloomsbury Academic.

Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles Sanders Peirce (C. Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Plato. (1998). Cratylus (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Hutchinson.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. Cambridge, MA: MIT Press.

Ricoeur, P. (1978). The rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in language (R. Czerny, Trans.). London: Routledge.

Robertson, R. (1995). Glocalization: Time–space and homogeneity–heterogeneity. In M. Featherstone, S. Lash, & R. Robertson (Eds.), Global modernities (pp. 25–44). London: Sage Publications.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. London: Williams and Norgate.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace & Company.

Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The Philosophical Review, 45(4), 339–369.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Sellars, W. (1997). Empiricism and the philosophy of mind. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton: Princeton University Press.

Tannen, D. (1989). Talking voices: Repetition, dialogue, and imagery in conversational discourse. Cambridge: Cambridge University Press.

Thiong’o, N. wa. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature. London: James Currey.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Strasbourg: Council of Europe.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf. Cambridge, MA: MIT Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan Paul.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar