Masalah Makna (Meaning)
Dari Referensi hingga Penggunaan
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif salah satu
isu sentral dalam filsafat bahasa, yakni masalah makna (meaning), dengan
menelusuri akar historis, dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta
relevansinya dalam konteks sosial dan digital kontemporer. Pembahasan diawali
dengan telaah genealogis dari pemikiran Plato dan Aristoteles hingga
perkembangan analitik modern pada Frege, Russell, dan Wittgenstein, yang
menandai pergeseran paradigma dari makna sebagai representasi menuju
makna sebagai penggunaan. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi
berbagai teori utama tentang makna—meliputi teori referensial, mentalistik, verifikatif,
penggunaan bahasa, serta teori pragmatik dan semiotik—beserta kritik-kritiknya.
Kajian ini menunjukkan bahwa makna bukanlah entitas
statis atau tunggal, melainkan fenomena multidimensional yang menggabungkan
hubungan antara tanda, pikiran, dan konteks sosial. Ontologisnya, makna
bersifat relasional dan intersubjektif; epistemologisnya, ia dipahami melalui
proses interpretasi dan interaksi; sedangkan aksiologisnya, makna memiliki
nilai moral dan fungsi komunikatif dalam membangun pemahaman antarmanusia.
Dalam era digital dan globalisasi komunikasi, makna menghadapi tantangan baru
berupa disinformasi, fragmentasi semantik, serta algoritmisasi simbol, namun
sekaligus membuka peluang bagi pembentukan dialog lintas budaya yang lebih
luas.
Sebagai sintesis, artikel ini menawarkan konsepsi humanistik
tentang makna, yang menempatkan bahasa sebagai medium eksistensial manusia
untuk mencipta, memahami, dan berbagi dunia bersama. Makna, dalam kerangka
humanistik, bukan sekadar hasil dari sistem tanda, tetapi ruang etis tempat
manusia saling mengakui, berdialog, dan menegakkan martabat kemanusiaannya.
Kata Kunci: Filsafat Bahasa; Makna; Referensi; Penggunaan
Bahasa; Semantik; Pragmatik; Hermeneutik; Humanisme; Komunikasi; Era Digital.
PEMBAHASAN
Masalah Makna (Meaning) dalam Filsafat Bahasa
1.
Pendahuluan
Masalah makna (meaning)
menempati posisi sentral dalam filsafat bahasa karena ia menyentuh inti dari
seluruh aktivitas berpikir, berbicara, dan memahami dunia. Sejak awal, filsafat
bahasa berupaya menjawab pertanyaan mendasar: apa yang dimaksud dengan makna
sebuah kata atau kalimat? Pertanyaan ini bukan sekadar linguistik, tetapi
bersifat filosofis karena berhubungan dengan bagaimana manusia
mengonseptualisasi realitas dan menstrukturkan pengetahuannya melalui bahasa.
Ludwig Wittgenstein, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang ini,
menegaskan bahwa “batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku.”¹
Ungkapan ini menunjukkan bahwa makna bukan hanya persoalan tanda linguistik,
melainkan juga persoalan tentang cara manusia hadir dan memahami dunia.
Filsafat bahasa modern muncul
pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap persoalan makna yang tidak dapat
diselesaikan oleh logika formal maupun psikologi tradisional. Gottlob Frege,
melalui konsep Sinn (sense) dan Bedeutung (reference), berusaha
membedakan antara makna yang dipahami oleh pikiran dan acuan yang menunjuk pada
objek di dunia.² Perbedaan ini membuka jalan bagi analisis makna yang lebih
sistematis dan memungkinkan pembahasan tentang bagaimana kalimat mengandung
kebenaran atau kesalahan. Bertrand Russell kemudian melanjutkan gagasan ini
dengan teori deskripsi yang berupaya menyingkap hubungan logis antara bahasa
dan realitas eksternal.³ Sementara itu, pada tahap selanjutnya, Wittgenstein
dalam Philosophical Investigations menggugat pandangan semantik
tradisional tersebut dengan menekankan bahwa makna tidak terletak pada
representasi mental atau hubungan kata-objek, melainkan pada penggunaannya
dalam language games kehidupan sehari-hari.⁴
Persoalan makna tidak hanya
relevan bagi para filsuf logika, tetapi juga bagi linguistik, psikologi
kognitif, antropologi, dan teori komunikasi. Dalam linguistik, makna menjadi
dasar bagi analisis semantik dan pragmatik yang menjelaskan bagaimana konteks memengaruhi
interpretasi ujaran.⁵ Dalam psikologi kognitif, makna dikaji sebagai proses
mental yang menghubungkan simbol dengan konsep dalam pikiran manusia.⁶ Dalam
antropologi dan ilmu sosial, makna dipahami sebagai konstruksi budaya yang
membentuk cara pandang dan tindakan manusia dalam masyarakat.⁷ Dengan demikian,
pembahasan makna mencakup lintas dimensi—logis, mental, sosial, dan
kultural—yang saling berkelindan.
Isu makna juga memiliki
implikasi etis dan eksistensial. Pemahaman terhadap makna bahasa menentukan
cara manusia berkomunikasi, menafsirkan pesan, dan membangun kesepahaman. Dalam
konteks kehidupan sosial yang sarat perbedaan, kemampuan menegosiasikan makna
secara terbuka menjadi dasar bagi dialog yang inklusif dan humanistik.⁸ Oleh
karena itu, penelitian filosofis mengenai makna tidak berhenti pada analisis
semantik, tetapi juga menuntun manusia untuk memahami bahasa sebagai medium
kebermaknaan hidup bersama.
Artikel ini bertujuan untuk
menguraikan secara sistematis permasalahan makna dalam filsafat bahasa,
mencakup dimensi ontologis (hakikat makna), epistemologis (cara mengetahui
makna), aksiologis (nilai dan fungsi makna), serta relevansinya dalam konteks
sosial dan digital kontemporer. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih integral dan humanistik tentang makna
sebagai inti dari eksistensi linguistik manusia.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), 68.
[2]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 20–25.
[5]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977), 1–15.
[6]
George Lakoff, Women, Fire, and Dangerous
Things: What Categories Reveal about the Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1987), 36–48.
[7]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 87–108.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Masalah makna memiliki akar
yang dalam dalam sejarah filsafat, bahkan sebelum istilah filsafat
bahasa muncul secara formal. Perjalanan konseptualnya
memperlihatkan transformasi dari pandangan metafisik menuju analisis logis, dan
akhirnya ke arah pragmatik serta hermeneutik. Secara genealogis, diskursus
tentang makna berkembang seiring dengan perubahan paradigma tentang bahasa itu
sendiri—dari sekadar alat representasi menjadi medium eksistensial manusia
dalam dunia.
2.1.
Filsafat Klasik: Makna sebagai Representasi Ide
Dalam filsafat Yunani klasik,
Plato menempatkan makna dalam kerangka metafisis, di mana kata-kata dianggap
menunjuk pada ide-ide abadi di dunia bentuk (realm of forms).¹
Dalam dialog Cratylus, ia mempertanyakan
apakah hubungan antara nama dan hal yang dinamai bersifat alamiah (physis)
atau konvensional (nomos).² Aristoteles kemudian
menolak pandangan idealistik Plato dengan menegaskan bahwa makna timbul dari
hubungan antara suara (phonē), pikiran (pathē
tēs psychēs), dan benda di dunia.³ Dengan demikian, Aristoteles
memperkenalkan struktur triadik antara tanda, pikiran, dan objek yang menjadi
cikal bakal analisis semantik di kemudian hari.
2.2.
Filsafat Modern: Makna sebagai Ide Mental dan
Representasi Subjektif
Memasuki era modern, filsafat
bahasa berkembang dalam konteks epistemologi baru yang dipengaruhi oleh
empirisme dan rasionalisme. John Locke dalam An Essay Concerning
Human Understanding menegaskan bahwa kata adalah tanda dari ide
dalam pikiran, dan komunikasi terjadi ketika orang menukar ide melalui simbol
linguistik.⁴ Pandangan ini memperkuat tradisi mentalistik bahwa makna bersumber
dari representasi internal manusia. Namun, pendekatan ini menimbulkan problem
subjektivitas: bagaimana memastikan bahwa ide dalam pikiran satu individu
identik dengan ide orang lain?
Gottfried Wilhelm Leibniz
berupaya mengatasi problem tersebut dengan mengusulkan proyek characteristica
universalis—bahasa simbolik universal yang memungkinkan
penggambaran logis dari semua konsep.⁵ Usaha ini menjadi inspirasi bagi logika
simbolik modern dan semantik formal abad ke-20. Di sisi lain, pandangan empiris
David Hume memperdalam analisis psikologis makna dengan menekankan bahwa makna
berakar pada kesan (impression) dan asosiasi ide,
bukan pada realitas eksternal yang tetap.⁶
2.3.
Abad ke-19: Dari Psikologisme ke Logika
Analitik
Perdebatan tentang makna
mengalami perubahan radikal pada akhir abad ke-19 ketika filsafat beralih dari
psikologisme menuju logika analitik. Gottlob Frege menolak pendekatan
mentalistik dengan membedakan antara sense (Sinn)
dan reference (Bedeutung).⁷
Baginya, makna bukan sekadar apa yang ada dalam pikiran pembicara, melainkan
struktur objektif yang dapat dianalisis secara logis. Perbedaan ini menjadi
tonggak bagi teori semantik modern, karena membuka kemungkinan untuk menilai
kebenaran proposisi berdasarkan bentuk logisnya.
Bertrand Russell melanjutkan
warisan Frege dengan teori deskripsi (theory of descriptions),
yang menjelaskan bagaimana bahasa dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak
ada secara faktual—misalnya “Raja Prancis yang botak.”⁸ Russell berupaya
mengaitkan makna dengan analisis proposisional yang ketat, menempatkan logika
sebagai fondasi bagi klarifikasi makna linguistik.
2.4.
Abad ke-20: Pergeseran ke Arah Penggunaan
Bahasa
Revolusi konseptual terjadi
dengan Ludwig Wittgenstein. Dalam fase awal (Tractatus
Logico-Philosophicus), ia mengikuti jejak Frege dan Russell,
menganggap bahasa sebagai cermin realitas, di mana makna ditentukan oleh
korespondensi antara kalimat dan dunia.⁹ Namun, dalam karya keduanya, Philosophical
Investigations, Wittgenstein menolak pendekatan representasional
tersebut dan mengajukan teori penggunaan (use theory of meaning):
makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam language game.¹⁰
Dengan demikian, makna tidak bersifat statis dan logis semata, melainkan sosial
dan kontekstual.
Perubahan ini memengaruhi
filsafat analitik, pragmatik, dan semiotika. Charles Sanders Peirce
mengembangkan semiotik triadik (tanda–objek–interpretant) yang menunjukkan
bahwa makna lahir melalui proses interpretasi tanpa akhir (semiosis).¹¹
Sementara itu, filsuf kontinental seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg
Gadamer memandang makna sebagai peristiwa pemahaman (Verstehen)
yang terjadi dalam lingkaran hermeneutik antara subjek dan dunia.¹²
2.5.
Genealogi Kontemporer: Makna sebagai Proses
Sosial dan Diskursif
Memasuki abad ke-20 akhir
hingga kini, persoalan makna meluas ke ranah sosial dan kultural. Ferdinand de
Saussure menegaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer dan makna
muncul dari perbedaan (difference), bukan dari
referensi langsung.¹³ Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh strukturalisme
dan poststrukturalisme (misalnya Derrida) yang menyoroti ketidakstabilan makna
dan permainan tanda (différance).¹⁴
Dengan demikian, genealogi
masalah makna memperlihatkan pergeseran dari representational
meaning (makna sebagai cerminan dunia), menuju functional
meaning (makna sebagai penggunaan), hingga constructive
meaning (makna sebagai hasil interpretasi sosial). Evolusi ini
menandakan bahwa makna bukan entitas tetap, melainkan jaringan dinamis antara
simbol, konteks, dan manusia yang menggunakannya.
Footnotes
[1]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 383a–385e.
[2]
Ibid., 390d–394e.
[3]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press,
1963), 16a3–16b8.
[4]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.
[5]
G. W. Leibniz, Discourse on
Metaphysics and Other Essays, trans.
Daniel Garber and Roger Ariew (Indianapolis: Hackett Publishing, 1991), 57–63.
[6]
David Hume, A Treatise of Human
Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.
[7]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[8]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[9]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K.
Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[11]
Charles Sanders Peirce, Collected
Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 2.228–2.231.
[12]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.
[13]
Ferdinand de Saussure, Course
in General Linguistics, trans. Roy
Harris (Chicago: Open Court, 1983), 67–72.
[14]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 23–27.
3.
Ontologi:
Hakikat dan Status Realitas Makna
Pertanyaan ontologis tentang
makna berfokus pada apa yang dimaksud dengan
“makna itu sendiri”—apakah ia merupakan entitas objektif yang berdiri sendiri,
konstruksi mental dalam pikiran manusia, ataukah hasil interaksi sosial yang
terus berubah. Dalam konteks filsafat bahasa, problem ontologis ini menjadi
inti dari seluruh perdebatan semantik, karena ia menentukan status realitas
dari apa yang disebut “arti” (meaning),
baik dalam konteks kata, kalimat, maupun wacana.
3.1.
Makna sebagai Entitas Ideal dan Transendental
Dalam tradisi rasionalis dan
idealis, makna sering dipahami sebagai entitas non-material yang eksis secara
independen dari pengalaman individual. Gottlob Frege, misalnya, mengemukakan
bahwa setiap ekspresi linguistik memiliki dua aspek: Sinn
(sense) dan Bedeutung (reference).¹ Sense
merupakan makna yang ditangkap oleh pikiran dan bersifat universal, sedangkan reference
menunjuk pada objek aktual di dunia. Dengan demikian, Sinn
bersifat ideal dan tidak tergantung pada keadaan psikologis pembicara,
melainkan menjadi struktur logis yang objektif dan dapat diakses oleh siapa pun
yang memahami bahasa tersebut.²
Pandangan Frege ini berakar
pada metafisika Platonik yang menempatkan makna sebagai realitas
ide—suatu dunia ideal yang menjadi sumber dari kebenaran
proposisional.³ Dalam kerangka ini, makna bukanlah sesuatu yang berubah-ubah,
tetapi memiliki eksistensi transendental yang menjamin stabilitas komunikasi
dan pengetahuan. Teori ini banyak memengaruhi aliran filsafat analitik awal dan
menjadi dasar bagi semantik logis modern.
3.2.
Makna sebagai Fakta Mental dan Konstruksi
Psikologis
Berlawanan dengan pendekatan
idealistik, tradisi empiris dan psikologis melihat makna sebagai fenomena
mental. John Locke menegaskan bahwa “kata-kata adalah tanda ide,”⁴ yang
berarti bahwa makna suatu kata adalah ide yang dihubungkan dengan pengalaman
sensorik dan reflektif individu. Dalam model ini, makna berakar pada kesadaran
subjek dan merupakan produk asosiasi mental.
Namun, pendekatan ini
menimbulkan problem epistemologis dan ontologis: jika makna bersifat subjektif,
bagaimana mungkin komunikasi antarindividu bisa berhasil? Gottlob Frege sendiri
mengkritik pandangan ini karena meniadakan kemungkinan objektivitas semantik.⁵
Meskipun demikian, gagasan bahwa makna adalah konstruksi mental tetap bertahan
dalam teori kognitif kontemporer, seperti dalam pemikiran George Lakoff dan
Mark Johnson yang melihat makna sebagai hasil dari struktur konseptual tubuh
dan pengalaman manusia (embodied meaning).⁶
Dalam konteks ini, makna
bersifat emergen: ia lahir dari hubungan antara struktur pikiran dan pengalaman
dunia. Realitas makna tidak sepenuhnya berada “di luar” maupun “di
dalam,” tetapi di antara keduanya—dalam jaringan konseptual yang membentuk
cara manusia memahami kenyataan.
3.3.
Makna sebagai Produk Sosial dan Praktik
Diskursif
Pendekatan pragmatik dan
sosial memandang makna sebagai produk aktivitas manusia dalam konteks sosial.
Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
menolak pandangan esensialis dan menyatakan bahwa “makna sebuah kata adalah
penggunaannya dalam bahasa.”⁷ Dengan demikian, makna tidak memiliki status
ontologis yang tetap; ia bukan entitas metafisik, melainkan fungsi dari praktik
sosial-linguistik.
John L. Austin dan John
Searle kemudian mengembangkan gagasan ini melalui teori tindak tutur (speech
act theory), yang menegaskan bahwa makna adalah tindakan yang
dilakukan melalui ujaran.⁸ Setiap ucapan memiliki daya ilokusi dan perlokusi
yang mengubah dunia sosial. Makna, karenanya, tidak terletak pada relasi
kata–objek, melainkan pada konsekuensi tindakan dan konteks pemakaian bahasa.
Dalam perspektif sosiologis
dan hermeneutik, makna muncul melalui proses interpretatif yang bersifat
dialogis. Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa makna adalah “peristiwa” (Ereignis)
yang terjadi ketika subjek dan teks saling berinteraksi dalam lingkaran
pemahaman (hermeneutic circle).⁹ Ini
menunjukkan bahwa makna tidak “ada” secara substansial, tetapi “terjadi”
dalam perjumpaan antara penafsir dan dunia teks. Jacques Derrida bahkan lebih
radikal dengan mengatakan bahwa makna selalu tertunda dan tidak pernah hadir
sepenuhnya (différance).¹⁰
Sintesis Ontologis: Makna sebagai Fenomena
Relasional
Dari ketiga arah di
atas—idealis, mentalistik, dan sosial—dapat disimpulkan bahwa makna memiliki
sifat relasional. Ia bukan substansi yang berdiri sendiri, tetapi eksis dalam
hubungan: antara tanda dan referen, antara pikiran dan dunia, antara individu
dan masyarakat. Charles Sanders Peirce merumuskan hal ini dalam semiotik
triadik, di mana makna lahir dari hubungan antara sign, object,
dan interpretant.¹¹ Dalam skema ini, realitas makna tidak
bersifat statis melainkan prosesual, selalu bergerak melalui rantai
interpretasi tak berhingga (semiosis).
Oleh karena itu, dalam
perspektif ontologis kontemporer, makna dapat dipahami sebagai fenomena
emergen yang muncul dari interaksi antara struktur simbolik,
pengalaman subjektif, dan konteks sosial. Ia tidak sepenuhnya ideal maupun
empiris, melainkan bersifat intersubjektif—hidup di ruang antara kesadaran
individu dan jaringan simbolik masyarakat.
Dengan demikian, ontologi
makna mengarah pada pandangan non-reduksionistik: makna adalah fenomena
multidimensional yang menyatukan dunia ide, pengalaman, dan komunikasi manusia.
Dalam kerangka humanistik, makna menjadi jembatan antara realitas dan
interpretasi, antara fakta dan nilai, antara bahasa dan eksistensi.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[2]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1973),
56–60.
[3]
Plato, Phaedo, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1977), 78–82.
[4]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.
[5]
Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 45.
[6]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–6.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[8]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J. O. Urmson (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 6–8; John R. Searle, Speech
Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.
[9]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.
[10]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 23–27.
[11]
Charles Sanders Peirce, Collected
Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 2.228–2.231.
4.
Epistemologi:
Sumber, Akses, dan Pemahaman Makna
Persoalan epistemologis dalam
filsafat bahasa berkaitan dengan pertanyaan: bagaimana manusia
mengetahui dan memahami makna bahasa? Jika ontologi menyoal hakikat
eksistensial makna, maka epistemologi berfokus pada proses kognitif, logis, dan
sosial yang memungkinkan pengetahuan tentang makna itu terjadi. Masalah ini
tidak hanya melibatkan hubungan antara bahasa dan pikiran, tetapi juga antara
bahasa dan dunia—yakni bagaimana tanda-tanda linguistik mengandung,
menyampaikan, serta menstrukturkan pengetahuan manusia.
4.1.
Sumber Pengetahuan tentang Makna: Pengalaman,
Konvensi, dan Konteks
Terdapat tiga sumber utama
dalam pengetahuan makna: pengalaman, konvensi sosial, dan konteks penggunaan.
Kaum empiris seperti John Locke berpendapat bahwa makna berasal dari pengalaman
inderawi dan reflektif, di mana kata menjadi tanda bagi ide-ide yang terbentuk
melalui proses pengamatan.¹ Dengan demikian, pengetahuan tentang makna bergantung
pada kemampuan individu dalam mengasosiasikan simbol dengan pengalaman nyata.
Namun, empirisisme semacam
ini dikritik oleh pendekatan konvensionalis yang menegaskan bahwa makna tidak
bersumber dari pengalaman individual, melainkan dari kesepakatan sosial yang
membentuk sistem bahasa. Ferdinand de Saussure menekankan bahwa makna timbul
karena perbedaan (difference) antar-tanda dalam
suatu sistem linguistik, bukan karena hubungan langsung dengan realitas
eksternal.² Artinya, makna diketahui melalui pemahaman terhadap struktur bahasa
itu sendiri, bukan melalui rujukan empiris.
Lebih jauh, Ludwig
Wittgenstein memperluas pandangan ini dengan menunjukkan bahwa makna tidak
dapat dilepaskan dari konteks penggunaan.³ Ia menegaskan bahwa mengetahui makna
berarti mengetahui bagaimana suatu kata digunakan dalam berbagai permainan
bahasa (language games).⁴ Dengan demikian, sumber
pengetahuan makna bersifat praktis dan intersubjektif: makna tidak ditemukan
secara introspektif, tetapi dipelajari dalam interaksi sosial.
4.2.
Mekanisme Akses terhadap Makna: Pemahaman dan
Interpretasi
Akses terhadap makna
melibatkan dua mekanisme epistemologis utama: pemahaman (understanding)
dan interpretasi (interpretation).
Pemahaman merupakan kemampuan untuk menautkan bentuk linguistik dengan makna
yang dimaksud secara konvensional, sedangkan interpretasi melibatkan
penyesuaian terhadap konteks dan niat pembicara.⁵
Donald Davidson, dalam teori
interpretasi radikalnya, menyatakan bahwa memahami makna suatu ujaran berarti
mampu menafsirkan kebenaran proposisi yang dikandungnya dalam konteks
komunikasi yang terbuka.⁶ Dengan demikian, pengetahuan makna bukanlah sekadar
pengetahuan semantik statis, tetapi hasil dari proses inferensial yang dinamis,
di mana penutur dan pendengar bersama-sama membangun makna melalui prinsip
rasionalitas dan koherensi.⁷
Hans-Georg Gadamer memperluas
gagasan ini dalam kerangka hermeneutik dengan mengatakan bahwa setiap pemahaman
adalah interpretasi, dan setiap interpretasi selalu melibatkan pra-pemahaman
(Vorverständnis) yang berasal dari horizon historis
dan kultural penafsir.⁸ Ini berarti, pengetahuan tentang makna selalu bersifat
historis dan dialogis—makna dipahami melalui pertemuan antara horizon penafsir
dan horizon teks.
4.3.
Makna, Pikiran, dan Dunia: Antara Kognisi dan
Representasi
Epistemologi makna juga
bergulat dengan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Dalam teori
representasional klasik, makna dianggap sebagai jembatan antara kata dan
realitas, di mana pikiran berfungsi sebagai wadah representasi simbolik.⁹
Namun, pendekatan kognitif kontemporer menolak pandangan ini dengan menekankan
bahwa makna bukan sekadar representasi pasif, melainkan konstruksi aktif yang
dibentuk melalui pengalaman sensorimotor dan struktur konseptual tubuh
manusia.¹⁰
George Lakoff dan Mark
Johnson, dalam teori embodied cognition,
menegaskan bahwa memahami makna berarti memahami pola metaforis yang berakar
pada pengalaman jasmaniah.¹¹ Misalnya, konsep “naik” dan “turun”
dalam bahasa tidak netral, tetapi mencerminkan pengalaman fisik manusia dalam
ruang. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang makna tidak bisa
dilepaskan dari kondisi eksistensial manusia sebagai makhluk ber-tubuh dan
ber-dunia.
Di sisi lain, Wilfrid Sellars
menolak pandangan “mitos data” yang menganggap makna dapat diketahui secara
langsung dari pengalaman, dan menegaskan bahwa setiap pengetahuan linguistik
selalu bersifat normatif, karena berada dalam “ruang alasan” (space
of reasons) yang ditentukan oleh aturan sosial.¹² Artinya, memahami
makna bukan sekadar proses persepsi, melainkan proses rasional yang tunduk pada
norma inferensial dalam praktik diskursif.
4.4.
Dimensi Intersubjektif dalam Pemahaman Makna
Pengetahuan makna bersifat
intersubjektif, karena tidak ada individu yang dapat menciptakan makna secara
otonom. Jürgen Habermas menegaskan bahwa pemahaman makna terjadi dalam tindakan
komunikasi yang berorientasi pada saling pengertian (Verständigung).¹³
Melalui komunikasi rasional, peserta diskursus menegosiasikan makna dengan
merujuk pada tiga klaim validitas: kebenaran, ketepatan normatif, dan kejujuran
ekspresif.¹⁴
Dengan demikian, makna
diketahui melalui proses dialogis, bukan melalui subjektivitas tertutup. Dalam
interaksi sosial, manusia tidak hanya menafsirkan tanda, tetapi juga menegaskan
keabsahan maknanya dalam konteks etis dan sosial. Pemahaman makna menjadi
bagian dari rasionalitas komunikatif yang membentuk kehidupan bersama.
Sintesis Epistemologis: Makna sebagai Proses
Interpretatif yang Terbuka
Secara epistemologis, makna
bukanlah sesuatu yang dapat diketahui secara mutlak, melainkan hasil dari
proses interpretatif yang terus diperbarui. Ia bergantung pada konteks, niat,
pengalaman, dan struktur bahasa yang digunakan. Pemahaman terhadap makna
merupakan hasil interaksi antara struktur simbolik, kapasitas kognitif, dan
kondisi sosial-kultural.
Dengan demikian, pengetahuan
tentang makna bersifat terbuka dan revisibel. Ia berkembang melalui dialog,
pembelajaran, dan refleksi kritis. Dalam perspektif humanistik, pengetahuan
makna menjadi bentuk kesadaran reflektif manusia atas dunia dan
sesamanya—sebuah proses yang tidak pernah selesai, karena makna selalu dapat
ditafsirkan ulang dalam horizon pengalaman baru.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.
[2]
Ferdinand de Saussure, Course
in General Linguistics, trans. Roy
Harris (Chicago: Open Court, 1983), 67–72.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[4]
Ibid., §23.
[5]
Paul Grice, “Meaning,” The
Philosophical Review 66, no. 3
(1957): 377–388.
[6]
Donald Davidson, Inquiries into Truth
and Interpretation (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 125–143.
[7]
Ibid., 153.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 269–273.
[9]
Bertrand Russell, The Problems of
Philosophy (London: Williams and
Norgate, 1912), 43–47.
[10]
Mark Johnson, The Body in the Mind:
The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 10–15.
[11]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–6.
[12]
Wilfrid Sellars, Empiricism and the
Philosophy of Mind (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1997), 76–78.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[14]
Ibid., 326–330.
5.
Aksiologi:
Nilai, Fungsi, dan Tujuan Makna dalam Komunikasi
Aksiologi dalam konteks
filsafat bahasa menyoroti nilai (value), fungsi, dan tujuan
dari makna dalam kehidupan manusia. Jika ontologi menanyakan apa
itu makna dan epistemologi menelaah bagaimana makna
diketahui, maka aksiologi bertanya untuk apa makna itu ada
dan berfungsi. Makna tidak berdiri dalam ruang hampa; ia menjadi
fondasi bagi komunikasi, moralitas, dan kebersamaan manusia. Dalam kerangka
ini, makna dipahami bukan hanya sebagai struktur semantik, tetapi juga sebagai
fenomena etis dan eksistensial yang menghubungkan individu dengan dunia dan
sesamanya.
5.1.
Nilai Intrinsik Makna: Fondasi Pemahaman dan
Kemanusiaan
Makna memiliki nilai
intrinsik karena ia memungkinkan manusia memahami dirinya dan dunia. Melalui
bahasa yang bermakna, manusia menafsirkan pengalaman, mengartikulasikan
pikiran, dan meneguhkan eksistensinya. Wilhelm von Humboldt menyebut bahasa
sebagai “energeia,” yakni aktivitas kreatif yang terus membentuk
pandangan dunia manusia (Weltanschauung).¹ Dalam
perspektif ini, makna bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana pembentukan
identitas dan kesadaran diri.
Nilai makna juga terletak
pada kemampuannya menciptakan shared understanding—pemahaman
bersama yang menjadi dasar bagi kehidupan sosial.² Tanpa makna yang
dipertukarkan dan disepakati, tidak mungkin ada pengertian, kerja sama, atau
kebudayaan. Dengan demikian, makna memegang peran moral-filosofis sebagai
kondisi kemungkinan bagi intersubjektivitas manusia.³
5.2.
Fungsi Komunikatif Makna: Dari Representasi ke
Interaksi
Fungsi utama makna terletak
pada perannya dalam komunikasi. Dalam kerangka klasik, makna dianggap sebagai
representasi dari dunia; kata dan kalimat berfungsi untuk menyatakan
sesuatu. Namun, teori tindak tutur (speech act theory)
yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle menunjukkan bahwa makna
tidak hanya merepresentasikan, tetapi juga melakukan
sesuatu.⁴ Ujaran seperti “Saya berjanji” atau “Saya menamai
kapal ini” tidak menggambarkan keadaan, tetapi menciptakan realitas sosial
baru.
Dengan demikian, fungsi makna
bersifat performatif dan transformatif. Ia memungkinkan tindakan sosial yang
sah secara linguistik. John Searle menambahkan bahwa tindak tutur membawa
kekuatan ilokusi yang bergantung pada aturan konstitutif dalam bahasa.⁵
Artinya, makna menjadi sarana tindakan—ia berfungsi sebagai medium perubahan sosial
melalui bahasa.
Selain itu, dalam pandangan
pragmatik modern, makna juga berfungsi sebagai sarana untuk menegosiasikan
maksud dan membangun kesepahaman. Paul Grice mengemukakan prinsip kerja sama (cooperative
principle), bahwa makna komunikasi bergantung pada niat pembicara
dan inferensi pendengar.⁶ Makna tidak sekadar dikirim, tetapi disimpulkan
melalui konteks dan tujuan komunikasi.
5.3.
Tujuan Etis Makna: Menuju Pemahaman dan
Keterbukaan
Secara aksiologis, tujuan
akhir makna adalah membangun pemahaman (understanding)
dan keterbukaan (openness). Dalam filsafat
hermeneutik, Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa makna hanya dapat terwujud
dalam dialog yang tulus, di mana setiap pihak terbuka terhadap horizon
pemahaman yang lain.⁷ Dengan demikian, makna berfungsi sebagai ruang etis yang
memediasi perbedaan dan memungkinkan terjadinya rekonsiliasi interpretatif
antarindividu maupun antarbudaya.
Jürgen Habermas melanjutkan
ide ini dalam teori tindakan komunikatifnya, dengan menegaskan bahwa tujuan
utama komunikasi bermakna bukanlah dominasi atau persuasi, melainkan pemahaman
rasional (rational understanding).⁸
Dalam komunikasi ideal, setiap peserta diskursus diharapkan mengajukan klaim
makna yang dapat diuji kebenarannya melalui argumentasi rasional dan tanpa paksaan.⁹
Maka, makna bukan sekadar hasil semantik, tetapi juga hasil etis—ia
mencerminkan kesediaan manusia untuk saling memahami secara bebas dan setara.
Makna, dengan demikian,
memiliki dimensi normatif. Ia bukan hanya deskriptif terhadap dunia, melainkan juga
preskriptif terhadap bagaimana manusia seharusnya berbicara dan bertindak.¹⁰
Komunikasi yang bermakna menuntut kejujuran, kejelasan, dan tanggung jawab
moral, sebab setiap makna yang diucapkan berpotensi membentuk realitas sosial.
5.4.
Dimensi Eksistensial dan Humanistik Makna
Makna juga bernilai secara
eksistensial karena menjadi medium bagi manusia untuk menemukan arti hidupnya.
Viktor Frankl, dalam logoterapinya, menyatakan bahwa pencarian makna merupakan
motivasi terdalam manusia; kehilangan makna berarti kehilangan arah
eksistensi.¹¹ Dalam konteks bahasa, hal ini menunjukkan bahwa komunikasi
bermakna adalah sarana untuk membangun makna hidup bersama. Bahasa yang
kehilangan makna—seperti dalam propaganda, manipulasi, atau ujaran kebencian—mereduksi
martabat manusia karena mengubah kata menjadi instrumen kekuasaan.
Dari perspektif humanistik,
makna memiliki fungsi etis untuk meneguhkan kemanusiaan. Bahasa yang bermakna
adalah bahasa yang membuka ruang bagi empati dan dialog, bukan yang menutup perbedaan.
Dalam arti ini, makna bukan hanya entitas linguistik, tetapi juga tanggung
jawab moral terhadap kebenaran dan keadilan dalam komunikasi.
Sintesis Aksiologis: Makna sebagai Ruang Etika
Komunikatif
Secara sintetik, aksiologi
makna mengarah pada pemahaman bahwa makna adalah nilai dan tujuan komunikasi
manusia itu sendiri. Ia memiliki fungsi ganda: pertama, sebagai sarana
epistemik untuk memahami dunia; kedua, sebagai sarana etis untuk membangun
kehidupan bersama yang bermartabat. Nilai makna terletak pada kemampuannya
menghubungkan antara dimensi rasional dan moral, antara kognisi dan empati.
Dalam kerangka humanistik,
makna bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga sarana hidup bersama. Ia
mengandung nilai kebebasan (karena memungkinkan ekspresi), kebenaran (karena
membuka pemahaman), dan keadilan (karena menegaskan kesetaraan dalam
komunikasi). Dengan demikian, setiap makna yang diucapkan memikul tanggung
jawab etis terhadap kebenaran dan kemanusiaan yang dikandungnya.
Footnotes
[1]
Wilhelm von Humboldt, On
Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the
Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 54–59.
[2]
Charles Taylor, The Language Animal:
The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016),
102–107.
[3]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1970), 22–25.
[4]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J. O. Urmson (Oxford: Clarendon
Press, 1962), 6–8.
[5]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.
[6]
Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 371–378.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[9]
Ibid., 326–330.
[10]
Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 29–34.
[11]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon
Press, 2006), 97–105.
6.
Dimensi
Sosial, Kultural, dan Kontekstual Makna
Makna bukanlah entitas yang
eksis secara terisolasi dalam pikiran atau sistem logika semata; ia selalu
terjalin dalam jaringan sosial, kultural, dan kontekstual tempat bahasa itu
digunakan. Bahasa adalah praktik sosial yang diatur oleh norma, nilai, dan
relasi kekuasaan, sehingga makna menjadi refleksi dari struktur sosial yang
melahirkannya. Dalam filsafat bahasa kontemporer, dimensi sosial dan kultural
makna menegaskan bahwa memahami bahasa berarti memahami dunia sosial yang
melandasinya.
6.1.
Bahasa sebagai Fenomena Sosial
Ferdinand de Saussure dalam Course
in General Linguistics menekankan bahwa bahasa (langue)
merupakan sistem sosial, bukan ciptaan individual.¹ Ia menolak pandangan
mentalistik bahwa makna hanya ada dalam kesadaran pribadi, dan menegaskan bahwa
bahasa berfungsi melalui struktur kolektif yang dipertahankan oleh komunitas
penutur. Makna, karenanya, tidak dapat dipahami di luar jaringan sosial yang
membentuknya.
Emile Durkheim menambahkan
bahwa bahasa memiliki peran sosial yang mirip dengan institusi moral—ia menjadi
sarana yang memungkinkan terbentuknya solidaritas sosial.² Dengan berbagi
simbol dan makna yang sama, individu dapat berpartisipasi dalam kehidupan kolektif.
Bahasa, dalam hal ini, adalah medium pembentukan realitas sosial sebagaimana
ditegaskan juga oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann bahwa “realitas
sosial dikonstruksi secara simbolik melalui bahasa.”³
Hal ini berarti bahwa makna
tidak hanya dihasilkan melalui pikiran, tetapi juga melalui interaksi sosial.
Ia merupakan hasil konsensus dan negosiasi yang berkelanjutan, yang menegaskan
bahwa bahasa bersifat intersubjektif—yakni selalu
melibatkan kesadaran bersama dan pengakuan timbal balik.
6.2.
Dimensi Kultural: Makna sebagai Produk Simbolik
dan Interpretatif
Makna juga memiliki dimensi
kultural yang mendalam. Clifford Geertz menggambarkan budaya sebagai “jaring-jaring
makna” yang dipintal oleh manusia sendiri.⁴ Menurutnya, tugas ilmu sosial
adalah menafsirkan makna yang terkandung dalam simbol-simbol budaya tersebut.
Dengan demikian, bahasa menjadi sarana utama bagi ekspresi dan transmisi
kebudayaan, karena melalui bahasa, manusia menafsirkan realitas dan memberi
makna pada pengalaman hidupnya.
Edward Sapir dan Benjamin Lee
Whorf, melalui hipotesis relativitas linguistiknya, mengemukakan bahwa struktur
bahasa memengaruhi cara berpikir dan melihat dunia.⁵ Bahasa-bahasa yang berbeda
mencerminkan worldview yang berbeda pula,
sehingga makna suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks kulturalnya.
Misalnya, kata “waktu,” “kehormatan,” atau “kebebasan”
memiliki konotasi dan implikasi yang berbeda dalam budaya Barat, Timur, atau
masyarakat adat.
Dalam konteks ini, makna
adalah konstruksi simbolik yang berakar pada nilai dan praktik budaya tertentu.
Ia tidak bersifat universal, melainkan plural—beraneka sesuai dengan horizon
budaya dan pengalaman manusia yang beragam. Pandangan ini memperluas pemahaman
filsafat bahasa dengan menegaskan dimensi antropologis makna.
6.3.
Konteks Sosial dan Kekuasaan dalam Pembentukan
Makna
Michel Foucault dalam The
Archaeology of Knowledge menegaskan bahwa makna tidak pernah
netral, karena ia selalu dikonstruksi dalam rezim wacana (discourse)
yang diatur oleh relasi kekuasaan.⁶ Bahasa bukan hanya alat komunikasi,
melainkan juga instrumen dominasi. Melalui wacana, suatu masyarakat menentukan
apa yang boleh dikatakan, siapa yang boleh berbicara, dan bagaimana sesuatu
dapat bermakna.⁷
Pierre Bourdieu memperkuat
analisis ini dengan konsep linguistic capital, yaitu
kekuatan simbolik yang melekat pada penggunaan bahasa tertentu.⁸ Menurutnya,
makna suatu ujaran bergantung pada posisi sosial penuturnya dan struktur
kekuasaan yang mengatur interaksi linguistik. Bahasa formal, akademik, atau
birokratik memiliki legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dialek
atau bentuk bahasa lokal, yang sering kali termarjinalkan.⁹
Dengan demikian, makna
bersifat politis. Ia merefleksikan dan sekaligus memproduksi struktur kekuasaan
sosial. Dalam kerangka ini, filsafat bahasa memiliki tanggung jawab kritis
untuk membongkar bagaimana makna digunakan untuk mempertahankan atau menantang
dominasi.
6.4.
Konteks Komunikatif dan Pragmatik: Makna
sebagai Tindakan Kontekstual
Dimensi kontekstual makna
berkaitan erat dengan pragmatik, yakni cabang filsafat bahasa yang menelaah
hubungan antara makna dan situasi penggunaan. H. P. Grice menunjukkan bahwa
makna komunikatif tidak dapat dipahami hanya dari makna literal, tetapi harus
mempertimbangkan niat pembicara (speaker’s intention) dan
inferensi pendengar.¹⁰ Makna aktual suatu ujaran, seperti “Cuacanya panas,”
dapat berubah tergantung konteks: bisa menjadi keluhan, ajakan, atau pernyataan
netral.
Dell Hymes menambahkan konsep
ethnography of communication yang menekankan
pentingnya memahami konteks sosial-budaya dalam setiap praktik komunikasi.¹¹
Dalam setiap masyarakat, terdapat aturan-aturan tak tertulis yang mengatur
kapan, bagaimana, dan kepada siapa seseorang boleh berbicara. Pelanggaran
terhadap aturan kontekstual ini dapat menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan
konflik sosial.
Dengan demikian, makna
bersifat kontekstual ganda: ia tergantung pada konteks linguistik (apa yang
dikatakan) dan konteks sosial (siapa yang mengatakan, kepada siapa, dalam
situasi apa).¹² Hal ini menegaskan bahwa memahami makna berarti memahami
situasi komunikasi sebagai praktik sosial yang terletak dalam ruang budaya dan
sejarah tertentu.
6.5.
Makna di Era Global dan Digital: Hibriditas dan
Fragmentasi
Dalam masyarakat global
kontemporer, makna menjadi semakin cair dan plural. Interaksi lintas budaya dan
penggunaan teknologi digital menciptakan bentuk-bentuk komunikasi baru yang
melampaui batas geografis dan bahasa. Roland Robertson menyebut fenomena ini
sebagai glocalization, yakni pertemuan antara global dan
lokal dalam produksi makna.¹³
Di ruang digital, makna
sering kali ditentukan oleh algoritme, visualisasi, dan jaringan sosial. Jean
Baudrillard bahkan menyebut bahwa dalam budaya simulacra,
makna telah kehilangan referensi nyata dan berubah menjadi “hiperrealitas”—suatu
dunia tanda yang meniru tanpa rujukan.¹⁴ Artinya, makna kini semakin ditentukan
oleh sirkulasi simbol daripada oleh hubungan langsung dengan realitas.
Namun, dinamika ini juga
membuka peluang bagi pembentukan makna yang lebih demokratis dan partisipatif.
Melalui media sosial, individu dari berbagai latar dapat berpartisipasi dalam
penciptaan makna bersama. Ini menegaskan bahwa makna selalu menjadi medan
dialektis antara kekuasaan dan kebebasan, antara struktur sosial dan agensi
manusia.
Sintesis: Makna sebagai Produk Relasional dan
Kontekstual
Dari seluruh uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa makna merupakan produk relasional yang lahir dari
interaksi antara individu, budaya, dan struktur sosial. Ia bersifat
dinamis—senantiasa dibentuk, ditafsirkan, dan dinegosiasikan dalam konteks
historis dan sosial tertentu.
Dalam perspektif humanistik,
dimensi sosial dan kultural makna menegaskan pentingnya dialog dan empati
antarbudaya. Makna sejati bukanlah yang menyingkirkan perbedaan, tetapi yang
membuka ruang pemahaman dalam keberagaman. Dengan demikian, filsafat bahasa
berperan bukan hanya untuk menjelaskan bagaimana bahasa bekerja, tetapi juga
bagaimana bahasa dapat menumbuhkan pengertian, kebebasan, dan keadilan di
antara manusia.
Footnotes
[1]
Ferdinand de Saussure, Course
in General Linguistics, trans. Roy
Harris (Chicago: Open Court, 1983), 68–72.
[2]
Émile Durkheim, The Elementary Forms of
the Religious Life, trans. Karen E.
Fields (New York: Free Press, 1995), 418–421.
[3]
Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The
Social Construction of Reality (New
York: Anchor Books, 1966), 54–59.
[4]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–6.
[5]
Edward Sapir, Language: An
Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace & Company, 1921), 207–214; Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin
Lee Whorf (Cambridge, MA: MIT Press,
1956), 212–214.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of
Knowledge, trans. A. M. Sheridan
Smith (London: Routledge, 1972), 49–54.
[7]
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–135.
[8]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.
[9]
Ibid., 48–52.
[10]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58.
[11]
Dell Hymes, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 44–50.
[12]
Deborah Tannen, Talking Voices:
Repetition, Dialogue, and Imagery in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 15–18.
[13]
Roland Robertson, “Glocalization: Time–Space and
Homogeneity–Heterogeneity,” in Global
Modernities, ed. Mike Featherstone,
Scott Lash, and Roland Robertson (London: Sage Publications, 1995), 25–44.
[14]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
7.
Teori-Teori
Utama tentang Makna
Dalam perjalanan panjang
filsafat bahasa, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
makna muncul, bekerja, dan dipahami. Setiap teori menyoroti aspek tertentu dari
hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Secara umum, teori-teori tentang
makna dapat dikategorikan ke dalam lima aliran utama: teori referensial, teori
ideasional (atau mentalistik), teori verifikasi dan konteks, teori penggunaan
bahasa (use theory), serta teori pragmatik dan semiotik
modern.
7.1.
Teori Referensial (Referential Theory of
Meaning)
Teori referensial merupakan
salah satu teori tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat bahasa.
Ia berpandangan bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh hubungannya
dengan objek atau keadaan di dunia yang dirujuknya (reference).¹
Dengan kata lain, kata bermakna karena menunjuk kepada sesuatu. Aristoteles
telah mengisyaratkan prinsip ini dalam De Interpretatione,
di mana kata dipahami sebagai simbol dari pengalaman mental yang mengacu pada
hal-hal di dunia nyata.²
Pandangan ini dikembangkan
lebih sistematis oleh Gottlob Frege melalui pembedaan antara Sinn
(sense) dan Bedeutung (reference).³ Sense
menjelaskan cara suatu objek dihadirkan dalam pikiran, sedangkan reference
menunjuk pada objek aktualnya. Teori ini menjelaskan, misalnya, bagaimana dua
ekspresi seperti “Bintang Fajar” dan “Bintang Senja” dapat
memiliki acuan yang sama (planet Venus) tetapi makna yang berbeda. Bertrand
Russell kemudian memperluas teori ini melalui teori deskripsi, yang menyatakan
bahwa nama-nama tertentu tidak memiliki makna langsung, melainkan merupakan
singkatan dari deskripsi yang lebih kompleks.⁴
Kritik terhadap teori
referensial datang dari para pragmatis dan filsuf analitik kemudian, yang
menilai bahwa teori ini gagal menjelaskan makna kata-kata yang tidak memiliki
referen konkret seperti “unicorn” atau “keadilan.”⁵ Selain itu,
teori ini juga cenderung mengabaikan dimensi sosial dan kontekstual dari
bahasa.
7.2.
Teori Ideasional atau Mentalistik
Teori ideasional berakar pada
tradisi empirisme dan psikologisme modern, terutama pada pemikiran John Locke.
Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke
menegaskan bahwa kata-kata adalah “tanda dari ide” dalam pikiran
manusia.⁶ Makna, dengan demikian, bersifat mental: ia adalah ide atau
representasi yang diasosiasikan dengan simbol linguistik.
Pandangan ini menempatkan
individu sebagai pusat sumber makna. Komunikasi terjadi ketika pembicara dan
pendengar memiliki ide yang sama di balik kata yang digunakan. David Hume
melanjutkan pandangan ini dengan menjelaskan bahwa makna muncul dari asosiasi
ide yang dibentuk melalui pengalaman sensoris.⁷
Namun, teori ini mendapat
kritik keras dari Frege dan Wittgenstein awal, yang menilai bahwa makna tidak
dapat direduksi pada representasi mental, sebab makna bersifat publik, bukan
privat.⁸ Jika makna hanyalah ide dalam pikiran seseorang, maka komunikasi
antarindividu menjadi mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa ide yang
dimaksud sama bagi setiap orang.
7.3.
Teori Verifikasi dan Konteks (Logical
Positivism and Verification Theory)
Pada awal abad ke-20, mazhab
positivisme logis dari Lingkaran Wina (Vienna Circle) memperkenalkan teori
verifikasi sebagai kriteria makna. Menurut teori ini, makna suatu pernyataan
bergantung pada kemampuannya untuk diverifikasi secara empiris.⁹ Kalimat yang
tidak dapat diuji oleh pengalaman indrawi dianggap tidak bermakna, seperti
pernyataan metafisis atau teologis.
Rudolf Carnap, tokoh utama
aliran ini, berpendapat bahwa analisis makna harus dilakukan melalui analisis
logis terhadap struktur bahasa.¹⁰ Dengan demikian, teori verifikasi menekankan
pentingnya konteks observasi dan kebenaran empiris dalam menentukan makna.
Namun, teori ini dikritik
karena terlalu sempit dan menyingkirkan dimensi pragmatik dan normatif bahasa.
Karl Popper menentang prinsip verifikasi dengan menggantinya dengan
falsifikasi,¹¹ sementara W. V. O. Quine menunjukkan bahwa makna tidak dapat
dipisahkan dari keseluruhan sistem kepercayaan dan konteks bahasa (the
web of belief).¹²
7.4.
Teori Penggunaan Bahasa (Use Theory of Meaning)
Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations melakukan revolusi konseptual dengan menyatakan
bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa.”¹³ Dengan
demikian, makna tidak terletak pada hubungan antara kata dan objek (seperti
dalam teori referensial), melainkan pada cara kata digunakan dalam praktik
sosial tertentu.
Dalam kerangka ini, bahasa
dilihat sebagai serangkaian “permainan bahasa” (language
games), di mana setiap permainan memiliki aturan tersendiri.¹⁴
Misalnya, makna pernyataan “Saya janji” bergantung pada praktik sosial
janji itu sendiri. Makna bersifat normatif dan kontekstual, karena ditentukan
oleh aturan penggunaan dalam komunitas linguistik.
Pandangan Wittgenstein ini
membuka jalan bagi pendekatan pragmatis dan sosiolinguistik. Makna bukanlah
entitas tetap, melainkan aktivitas yang dinamis.¹⁵ Teori ini juga menginspirasi
filsuf-filsuf seperti J. L. Austin dan John Searle dalam teori tindak tutur,
yang menekankan bahwa berbicara berarti bertindak.¹⁶
7.5.
Teori Pragmatik dan Semiotik Modern
Pendekatan kontemporer
terhadap makna berkembang melalui teori pragmatik dan semiotik. Charles Sanders
Peirce memperkenalkan model semiotik triadik yang terdiri atas tanda (sign),
objek (object), dan penafsir (interpretant).¹⁷
Menurut Peirce, makna bukanlah hasil dari hubungan langsung antara tanda dan
objek, tetapi muncul dari proses interpretasi yang tak berujung (semiosis).¹⁸
John L. Austin dan John
Searle mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory)
untuk menjelaskan bahwa makna suatu ujaran tergantung pada tindakannya: locutionary
act (apa yang dikatakan), illocutionary act
(apa yang dilakukan melalui ucapan), dan perlocutionary act
(efek dari ucapan tersebut).¹⁹ Dalam perspektif ini, makna bersifat
performatif—bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu, tetapi juga menciptakan
realitas sosial.
Selain itu, pendekatan
pascastrukturalis seperti Jacques Derrida memperluas semiotik dengan
menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan tidak pernah hadir secara utuh (différance).²⁰
Makna, dalam pandangan ini, bersifat terbuka, plural, dan selalu bergantung
pada penundaan serta perbedaan antar-tanda.
Sintesis dan Perbandingan Kritis
Kelima teori di atas
memberikan kontribusi berbeda terhadap pemahaman makna. Teori referensial
menekankan hubungan makna dengan dunia eksternal; teori ideasional melihat
makna sebagai representasi mental; teori verifikasi menekankan dimensi empiris
dan logis; teori penggunaan bahasa menggarisbawahi aspek sosial dan normatif;
sedangkan teori pragmatik dan semiotik menegaskan sifat tindakan dan
interpretatif dari makna.
Dari sudut pandang
integratif, makna dapat dipahami sebagai fenomena multidimensional yang
mencakup:
·
Dimensi
representasional (hubungan dengan realitas),
·
Dimensi
kognitif (hubungan dengan pikiran),
·
Dimensi
sosial (hubungan dengan pengguna dan komunitas), dan
·
Dimensi
pragmatik (hubungan dengan tindakan dan konteks).
Dengan demikian, teori-teori
makna bukanlah sistem yang saling meniadakan, melainkan lapisan-lapisan
penjelasan yang saling melengkapi dalam memahami kompleksitas hubungan antara
bahasa, dunia, dan manusia.
Footnotes
[1]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press,
1963), 16a3–16b8.
[2]
Ibid.
[3]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[5]
A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Gollancz, 1936),
11–14.
[6]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407.
[7]
David Hume, A Treatise of Human
Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.
[8]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1973),
56–60.
[9]
Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review
45, no. 4 (1936): 339–369.
[10]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity:
A Study in Semantics and Modal Logic
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 7–10.
[11]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson,
1959), 38–41.
[12]
W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 26–31.
[13]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[14]
Ibid., §§19–23.
[15]
Saul Kripke, Wittgenstein on Rules
and Private Language (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1982), 11–14.
[16]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J. O. Urmson (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 6–8; John R. Searle, Speech
Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.
[17]
Charles Sanders Peirce, Collected
Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 2.228–2.231.
[18]
Ibid., 2.302.
[19]
Austin, How to Do Things with
Words, 94–101.
[20]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 23–27.
8.
Kritik
terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Diskursus tentang makna dalam
filsafat bahasa tidak hanya diwarnai oleh upaya teoritis untuk menjelaskan
hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia, tetapi juga oleh kritik mendalam
terhadap asumsi-asumsi dasar dari teori-teori yang telah mapan. Kritik ini
muncul baik dari dalam tradisi analitik maupun dari perspektif hermeneutik,
pragmatis, dan poststrukturalis. Dengan menganalisis keterbatasan tiap
pendekatan, bagian ini menyoroti arah korektif dan reflektif dalam memahami
hakikat makna secara lebih komprehensif dan humanistik.
8.1.
Kritik terhadap Teori Referensial:
Reduksionisme dan Krisis Representasi
Teori referensial dikritik
karena cenderung mereduksi makna menjadi hubungan sempit antara kata dan objek.
Ludwig Wittgenstein dalam fase keduanya menolak pandangan bahwa makna adalah
representasi dunia (picture theory of meaning),
dengan alasan bahwa bahasa tidak selalu berfungsi untuk menunjuk, tetapi juga
untuk bertindak, bertanya, berjanji, atau bermain.¹
Selain itu, teori referensial
gagal menjelaskan makna dari ekspresi yang tidak memiliki referen nyata seperti
“Pegasus” atau “keadilan.”² Kritik ini kemudian diperkuat oleh
para filsuf postmodern seperti Richard Rorty yang menilai bahwa model
representasional semacam ini terlalu positivistik dan mengabaikan peran konteks
historis serta sosial dalam pembentukan makna.³
Dalam kerangka epistemologis,
teori ini juga dianggap mengasumsikan hubungan langsung dan transparan antara
bahasa dan realitas, padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh Michel Foucault,
setiap bahasa selalu membentuk “rezim kebenaran” tertentu yang memediasi
relasi antara kata dan dunia.⁴ Makna, karenanya, bukanlah cermin realitas,
melainkan hasil konstruksi diskursif yang historis dan relasional.
8.2.
Kritik terhadap Teori Ideasional (Mentalistik):
Subjektivitas dan Solipsisme
Teori mentalistik yang
melihat makna sebagai ide dalam pikiran individu dikritik karena menghasilkan
implikasi solipsistik—seolah makna bersifat privat dan tidak dapat diverifikasi
secara publik. Frege menyebut pendekatan ini “psikologisme,” dan
menegaskan bahwa makna harus bersifat objektif agar komunikasi bisa terjadi.⁵
Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations mengembangkan argumen menentang kemungkinan adanya “bahasa
privat.”⁶ Jika makna ditentukan oleh sensasi pribadi, maka tidak ada
kriteria untuk membedakan antara benar atau salah dalam penggunaannya. Bahasa,
bagi Wittgenstein, selalu bersifat publik, karena aturan makna ditentukan oleh
praktik sosial, bukan oleh isi kesadaran individual.⁷
Selain itu, teori mentalistik
juga gagal menjelaskan peran struktur sosial dan budaya dalam pembentukan
makna. Dalam konteks kontemporer, para kognitivis seperti George Lakoff
memperbaikinya dengan menegaskan bahwa makna memang berakar pada pengalaman
mental, tetapi bersifat embodied—yakni tertanam dalam
tubuh, budaya, dan interaksi duniawi manusia.⁸
8.3.
Kritik terhadap Teori Verifikasi: Positivisme
dan Reduksionisme Empiris
Teori verifikasi dari kaum
positivis logis dikritik karena mereduksi makna pada kriteria empiris yang
sempit. Karl Popper menunjukkan bahwa tidak semua proposisi bermakna dapat
diverifikasi, terutama yang bersifat universal; sebaliknya, ia hanya dapat
difalsifikasi.⁹ Kritik ini menggoyahkan prinsip utama positivisme logis, yang
akhirnya runtuh karena gagal menjelaskan bahasa ilmiah itu sendiri.
W. V. O. Quine kemudian
melanjutkan kritik ini dengan menolak adanya perbedaan mutlak antara analitik
dan sintetis, serta menunjukkan bahwa makna suatu proposisi selalu bergantung
pada keseluruhan sistem keyakinan yang lebih luas (the web of belief).¹⁰
Hal ini menandakan bahwa makna tidak pernah berdiri sendiri secara logis,
tetapi selalu bersifat holistik dan kontekstual.
Dalam perspektif hermeneutik,
teori verifikasi juga dipandang mengabaikan dimensi interpretatif bahasa.
Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa makna tidak bisa diverifikasi secara
empiris, karena ia selalu “terjadi” dalam dialog historis antara subjek
dan tradisi.¹¹
8.4.
Kritik terhadap Teori Penggunaan Bahasa:
Relativisme dan Ambiguitas Aturan
Meskipun teori penggunaan
bahasa Wittgenstein berhasil memperluas makna ke ranah praksis sosial,
pendekatan ini juga menghadapi kritik serius. Saul Kripke menyoroti paradoks
aturan (rule-following paradox): bagaimana seseorang dapat
dikatakan mengikuti aturan jika makna aturan itu sendiri bergantung pada
praktik sosial yang tidak pernah memiliki dasar tetap.¹² Dengan kata lain,
teori penggunaan berisiko jatuh ke dalam relativisme semantik, karena setiap “permainan
bahasa” bisa memiliki kebenarannya sendiri tanpa standar universal.
John Searle juga mengingatkan
bahwa tidak semua makna dapat dijelaskan melalui praktik sosial semata;
beberapa bentuk makna, seperti dalam logika dan matematika, memerlukan struktur
internal yang independen dari konteks sosial.¹³
Selain itu, pendekatan ini
dianggap kurang memberikan perhatian pada dimensi kekuasaan dalam praktik
bahasa. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa penggunaan bahasa tidak netral,
melainkan terikat pada struktur sosial yang menentukan legitimasi dan otoritas
makna.¹⁴
8.5.
Kritik terhadap Teori Pragmatik dan Semiotik
Modern: Ketakstabilan dan Ketakterhinggaan Makna
Pendekatan pragmatik dan
semiotik modern, meskipun berhasil menyoroti dinamika sosial dan interpretatif
makna, sering dikritik karena cenderung menolak kemungkinan stabilitas makna.
Jacques Derrida, melalui konsep différance, menegaskan bahwa
makna selalu tertunda dan bergeser tanpa akhir.¹⁵ Namun, pandangan ini juga
menimbulkan problem epistemologis—jika makna selalu tertunda, maka komunikasi
bermakna menjadi mustahil, karena setiap interpretasi akan melahirkan
interpretasi baru yang tak berujung.
Charles Sanders Peirce
sendiri menyadari problem ini dengan memperkenalkan konsep final
interpretant, yaitu pemahaman ideal yang dapat dicapai dalam proses
semiosis tak terbatas.¹⁶ Namun, pendekatan ini tetap dianggap terlalu teoretis
dan abstrak untuk menjelaskan makna dalam konteks sosial konkret.
Dari perspektif etika
komunikasi, teori semiotik yang ekstrem bisa berisiko meniadakan tanggung jawab
penutur, karena makna dipandang sepenuhnya cair dan bebas dari komitmen
kebenaran.¹⁷ Hal ini menimbulkan kebutuhan akan teori makna yang tetap
menghargai kebebasan interpretasi tanpa mengorbankan komitmen terhadap
kejujuran dan keterbukaan.
Sintesis Kritis: Menuju Pemahaman Makna yang
Integral
Kritik-kritik di atas
menunjukkan bahwa tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan seluruh
kompleksitas makna. Teori referensial gagal menangkap konteks sosial; teori mentalistik
terjebak dalam subjektivitas; teori verifikasi mengabaikan dimensi
interpretatif; teori penggunaan menghadapi relativisme; dan teori semiotik
modern cenderung kehilangan pijakan etis.
Oleh karena itu, pendekatan
yang lebih integral diperlukan—suatu pandangan yang memadukan dimensi semantik,
pragmatik, sosial, dan etis dari makna. Makna bukan hanya cerminan dunia atau
konstruksi sosial, melainkan proses dinamis yang terjadi di antara manusia
melalui dialog yang terbuka. Dalam kerangka humanistik, kritik terhadap
teori-teori makna bukanlah penolakan terhadap teori itu sendiri, tetapi usaha
untuk mengembalikannya pada fungsi dasarnya: membangun komunikasi yang
bermakna, adil, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.
[2]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[3]
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 12–15.
[4]
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences
(New York: Vintage Books, 1994), 54–60.
[5]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[6]
Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §243–255.
[7]
Ibid., §256–261.
[8]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–6.
[9]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Hutchinson,
1959), 38–41.
[10]
W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 26–31.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.
[12]
Saul Kripke, Wittgenstein on Rules
and Private Language (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1982), 11–14.
[13]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 134–138.
[14]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.
[15]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 23–27.
[16]
Charles Sanders Peirce, Collected
Papers of Charles Sanders Peirce,
ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1931), 2.303–2.308.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
9.
Relevansi
Kontemporer: Makna di Era Digital dan Komunikasi Global
Perkembangan teknologi
digital dan globalisasi komunikasi telah mengubah secara mendasar cara manusia
memproduksi, menyebarkan, dan menafsirkan makna. Jika dalam filsafat bahasa
klasik makna dipahami dalam konteks ujaran tatap muka dan komunitas linguistik
terbatas, maka di era digital, makna beredar secara masif, lintas budaya, dan
sering kali tanpa konteks yang stabil. Transformasi ini menimbulkan tantangan
baru dalam memahami dimensi semantik, etis, dan sosial dari makna di dunia yang
saling terhubung melalui jaringan.
9.1.
Transformasi Digital dan Perubahan Paradigma
Makna
Era digital menandai
pergeseran dari komunikasi berbasis ujaran langsung menuju komunikasi berbasis
simbol digital dan algoritmik. Makna kini tidak hanya dihasilkan oleh manusia,
tetapi juga oleh sistem teknologi yang memediasi dan memodifikasi pesan. Lev
Manovich menyebut fenomena ini sebagai cultural
algorithmization, yaitu proses di mana logika algoritme membentuk
produksi dan persebaran makna budaya.¹
Dalam konteks media sosial,
makna tidak lagi stabil atau dikontrol oleh satu sumber, melainkan muncul dari
interaksi dinamis antara pengguna, platform, dan algoritme. Jean Baudrillard
menyebut kondisi ini sebagai simulacra—situasi di mana
tanda-tanda tidak lagi merujuk pada realitas, tetapi saling meniru hingga menciptakan
“hiperrealitas.”² Makna dalam ruang digital menjadi “terlepas”
dari dunia nyata dan sering kali menjadi permainan citra, narasi, dan emosi
yang berulang tanpa rujukan ontologis yang jelas.
Selain itu, perkembangan Artificial
Intelligence (AI) dan Natural Language
Processing (NLP) juga memperluas dimensi epistemologis makna. Mesin
kini dapat “memahami” dan “menghasilkan” bahasa melalui model
statistik, tetapi tanpa kesadaran atau intensi manusia.³ Hal ini memunculkan
pertanyaan filosofis baru: apakah makna dapat eksis tanpa subjek penafsir yang
sadar?
9.2.
Globalisasi Komunikasi dan Hibriditas Makna
Dalam era globalisasi, makna
mengalami percampuran lintas budaya dan bahasa yang intens. Roland Robertson
menyebut fenomena ini sebagai glocalization, di mana proses
global dan lokal saling berinteraksi dalam membentuk makna baru.⁴ Kata, simbol,
dan ekspresi budaya memperoleh konotasi berbeda ketika berpindah lintas konteks
sosial. Contohnya, simbol-simbol budaya populer seperti emoji atau meme
memiliki arti yang berubah-ubah tergantung pada komunitas dan ruang digital
tempatnya digunakan.
Homi K. Bhabha, dalam konsep cultural
hybridity, menegaskan bahwa pertemuan antarbudaya melahirkan “ruang
ketiga” (third space)—sebuah arena di
mana makna dinegosiasikan dan diciptakan kembali.⁵ Dalam ruang ini, identitas
dan makna tidak lagi bersifat esensial, melainkan terbentuk secara dialogis dan
interaktif. Pandangan ini penting dalam memahami bagaimana komunikasi global
menantang konsep makna yang homogen dan statis.
Namun, globalisasi juga
menghadirkan ketegangan antara universalisme dan partikularisme. Bahasa global
seperti Inggris atau simbol-simbol digital sering mendominasi ruang komunikasi,
menggeser bahasa-bahasa lokal dan cara berpikir tradisional.⁶ Maka, filsafat
bahasa kontemporer perlu mempertimbangkan dimensi keadilan linguistik dan etika
komunikasi lintas budaya.
9.3.
Makna dan Krisis Komunikasi Digital
Salah satu tantangan terbesar
di era digital adalah krisis makna akibat banjir informasi dan manipulasi
simbolik. Umberto Eco menyebut fenomena ini sebagai “inflasi tanda,”
ketika produksi simbol begitu melimpah hingga kehilangan daya referensialnya.⁷
Makna menjadi dangkal, digantikan oleh noise yang
mengaburkan kebenaran.
Fenomena disinformation
dan fake news menegaskan bahwa dalam dunia digital,
makna tidak hanya dikomunikasikan tetapi juga dikonstruksi untuk kepentingan
ideologis dan politik.⁸ Michel Foucault telah mengingatkan bahwa setiap wacana
membawa relasi kekuasaan—dan dalam konteks digital, kekuasaan ini dijalankan
melalui algoritme dan media yang menentukan apa yang dianggap bermakna atau
tidak.⁹
Selain itu, fenomena echo
chambers mempersempit horizon makna karena individu hanya
berinteraksi dengan informasi yang mengonfirmasi pandangan mereka sendiri. Akibatnya,
komunikasi kehilangan fungsi dialogisnya, berubah menjadi monolog kolektif yang
memperkuat polarisasi sosial.¹⁰
9.4.
Makna, Etika, dan Tanggung Jawab Komunikatif di
Era Digital
Dalam konteks etis, makna di
era digital menuntut tanggung jawab baru. Jürgen Habermas menegaskan bahwa
komunikasi yang rasional dan bermakna mensyaratkan keterbukaan, kejujuran, dan
saling pengertian.¹¹ Namun, dalam ruang digital yang ditandai oleh anonimitas
dan kecepatan, prinsip-prinsip ini sering kali terabaikan. Bahasa kehilangan
fungsi komunikatifnya dan berubah menjadi instrumen persuasi, provokasi, atau
manipulasi emosional.
Karenanya, diperlukan etika
digital yang berorientasi pada makna sebagai medium pengertian
bukan sekadar alat ekspresi.¹² Dalam
konteks ini, filsafat bahasa harus berperan aktif dalam menumbuhkan literasi
semantik—kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan memverifikasi makna di
tengah arus informasi yang padat dan tidak selalu dapat dipercaya.
Makna yang etis di era
digital adalah makna yang memelihara kemanusiaan, menghormati perbedaan, dan
menolak penyalahgunaan bahasa sebagai instrumen kekuasaan atau disinformasi.¹³
Relevansi Humanistik: Makna sebagai Ruang
Dialog Global
Meskipun dunia digital
cenderung mendesentralisasi makna, ia juga membuka peluang bagi pembentukan
pemahaman lintas batas. Melalui platform digital, masyarakat global kini dapat
berdialog, bertukar perspektif, dan menciptakan bentuk-bentuk baru dari
solidaritas semantik. Filsafat bahasa humanistik menekankan bahwa makna sejati
muncul bukan dari dominasi simbolik, tetapi dari intersubjectivity—ruang
di mana manusia saling mendengar dan menafsirkan dengan empati.¹⁴
Dengan demikian, makna di era
digital tidak seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang hilang, melainkan
sebagai sesuatu yang terus dinegosiasikan dalam konteks baru. Tantangan
utamanya bukan bagaimana menjaga makna agar tetap “murni,” tetapi
bagaimana menggunakannya secara bijak, kritis, dan etis di tengah kompleksitas
globalisasi dan teknologi.
Footnotes
[1]
Lev Manovich, Software Takes Command (New York: Bloomsbury Academic, 2013), 45–48.
[2]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[3]
Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 89–92.
[4]
Roland Robertson, “Glocalization: Time–Space and
Homogeneity–Heterogeneity,” in Global
Modernities, ed. Mike Featherstone,
Scott Lash, and Roland Robertson (London: Sage Publications, 1995), 25–44.
[5]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 36–39.
[6]
Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind:
The Politics of Language in African Literature (London: James Currey, 1986), 11–15.
[7]
Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1976), 54–57.
[8]
Claire Wardle and Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for
Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 16–18.
[9]
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–135.
[10]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided
Democracy in the Age of Social Media
(Princeton: Princeton University Press, 2017), 87–92.
[11]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[12]
Rafael Capurro, “Digital Ethics,” in The
Handbook of Information and Computer Ethics, ed. Kenneth Einar Himma and Herman T. Tavani (Hoboken, NJ: Wiley,
2008), 187–205.
[13]
Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.
[14]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1970), 22–25.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik
tentang Makna
Setelah menelusuri dimensi
historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial dari makna, muncul
kebutuhan untuk menyusun suatu sintesis filosofis yang lebih utuh—yakni
memahami makna sebagai fenomena yang tidak hanya bersifat linguistik dan logis,
tetapi juga eksistensial, etis, dan humanistik. Konsepsi humanistik tentang
makna berupaya menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh proses pemaknaan:
bukan sekadar sebagai pengguna tanda, melainkan sebagai makhluk penafsir (homo
interpretans) yang secara aktif membangun dunia bersama melalui
bahasa, dialog, dan pengertian.
10.1.
Integrasi Dimensi Semantik, Pragmatik, dan Etis
Konsepsi humanistik tentang
makna berangkat dari kesadaran bahwa makna tidak dapat direduksi pada satu
dimensi tunggal. Secara semantik, makna
menjembatani hubungan antara bahasa dan realitas; secara pragmatik,
ia mengekspresikan tindakan dan niat manusia dalam konteks sosial; dan secara etis,
ia menjadi dasar bagi komunikasi yang bertanggung jawab dan bermartabat.
Dalam pandangan Ludwig
Wittgenstein, bahasa tidak lagi dilihat sebagai cermin dunia, melainkan sebagai
aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari (form of life).¹
Dengan demikian, makna tidak berada “di dalam” kata, melainkan dalam
praktik penggunaannya oleh manusia yang hidup dalam dunia bersama. Pandangan
ini membuka ruang bagi pendekatan humanistik yang menempatkan makna sebagai
bagian dari eksistensi manusia yang komunikatif.
Jürgen Habermas melanjutkan
pandangan tersebut dalam teori tindakan komunikatifnya dengan menekankan bahwa
makna hanya dapat terwujud dalam komunikasi yang berorientasi pada saling
pengertian (Verständigung), bukan
dominasi.² Dalam konteks ini, makna menjadi sarana etis untuk menghubungkan
manusia melalui dialog rasional yang terbuka dan jujur. Maka, makna tidak
sekadar menjelaskan dunia, tetapi juga membangun dunia bersama melalui
interaksi yang bermakna.
10.2.
Makna sebagai Proses Intersubjektif dan
Dialogis
Konsepsi humanistik menolak
pandangan bahwa makna merupakan entitas tetap, objektif, atau sepenuhnya
subjektif. Sebaliknya, makna dipahami sebagai hasil proses intersubjektif—yakni
pertemuan antara kesadaran individu dengan kesadaran orang lain dalam ruang
dialog. Martin Buber dalam I and Thou menegaskan bahwa
makna sejati hanya muncul dalam relasi “Aku–Engkau,” bukan “Aku–Itu.”³
Dalam hubungan yang dialogis ini, bahasa berfungsi bukan untuk menguasai,
tetapi untuk menghadirkan dan mengakui keberadaan orang lain.
Hans-Georg Gadamer memperluas
gagasan tersebut melalui hermeneutika filosofisnya, bahwa pemahaman makna selalu
melibatkan fusion of horizons—peleburan
cakrawala antara penafsir dan yang ditafsirkan.⁴ Artinya, makna bukan hasil
dari satu subjek tunggal, melainkan hasil dialog terus-menerus antara sejarah,
tradisi, dan pengalaman manusia. Di sinilah bahasa berfungsi sebagai ruang
keterbukaan (openness) terhadap yang lain.
Dalam konteks ini, makna
menjadi bentuk solidaritas epistemologis: manusia saling berbagi dunia melalui
simbol-simbol yang mereka maknai bersama. Dengan demikian, pemahaman makna
merupakan tindakan etis, karena mengandaikan pengakuan terhadap keberagaman
perspektif dan martabat penutur lain.
10.3.
Makna sebagai Fenomena Eksistensial dan Kreatif
Makna juga harus dipahami
dalam dimensi eksistensial. Viktor E. Frankl menegaskan bahwa pencarian makna
merupakan dorongan paling fundamental dalam kehidupan manusia.⁵ Dalam
logoterapi, kehilangan makna berarti kehilangan orientasi eksistensial. Di
sinilah bahasa memainkan peran penting: ia bukan sekadar alat komunikasi,
tetapi juga medium di mana manusia menafsirkan penderitaan, harapan, dan tujuan
hidupnya.
Bahasa menjadi ruang kreatif
tempat manusia memberi bentuk pada pengalaman eksistensial. Paul Ricoeur
menyebut proses ini sebagai metaphorical redescriptions—yakni
kemampuan bahasa untuk membentuk kembali realitas melalui imajinasi dan
narasi.⁶ Melalui simbol dan cerita, manusia tidak hanya menjelaskan dunia,
tetapi juga menata dan menebusnya. Dalam arti ini, makna bersifat produktif: ia
tidak hanya dipahami, tetapi juga diciptakan.
10.4.
Makna dan Tanggung Jawab dalam Era Digital
Konsepsi humanistik tentang
makna juga menuntut tanggung jawab baru di era komunikasi digital. Ketika
bahasa kehilangan kedalaman dan berubah menjadi sekadar instrumen ekspresi
cepat atau provokasi emosional, filsafat bahasa humanistik mengingatkan bahwa
setiap makna memiliki konsekuensi etis.
Charles Ess menegaskan bahwa
etika digital yang berakar pada humanisme harus menjaga makna sebagai ruang
empati dan refleksi, bukan manipulasi.⁷ Bahasa digital, meskipun ringkas dan
visual, tetap merupakan medium moral—setiap simbol, komentar, atau narasi
membawa potensi untuk memperkuat atau merusak nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks ini, makna yang
humanistik adalah makna yang membangun kesadaran kritis dan solidaritas global.
Ia tidak berhenti pada level semantik, tetapi berkembang menjadi praksis etis
yang menumbuhkan pengertian dan tanggung jawab bersama di ruang komunikasi
modern.
10.5.
Menuju Konsepsi Humanistik: Makna sebagai Ruang
Kemanusiaan
Sintesis filosofis tentang
makna akhirnya bermuara pada pandangan bahwa makna adalah bentuk tertinggi dari
eksistensi manusia sebagai makhluk komunikatif dan reflektif. Makna bukan hanya
sesuatu yang dipahami, tetapi sesuatu yang
dihidupi. Melalui bahasa, manusia membangun dunia
simbolik tempat nilai, kebenaran, dan keindahan diwujudkan.
Konsepsi humanistik ini
menegaskan bahwa makna harus dipelihara dalam tiga prinsip utama:
·
Keterbukaan
— mengakui pluralitas interpretasi tanpa kehilangan orientasi kebenaran.
·
Empati
— mengandaikan kemampuan memahami dan menghormati pandangan orang lain.
·
Tanggung
jawab — mengakui bahwa setiap makna yang diungkapkan berdampak
pada kehidupan bersama.
Dengan demikian, filsafat
bahasa tidak berhenti pada analisis logis atau struktural, tetapi berkembang
menjadi etika komunikasi dan ontologi kemanusiaan. Makna, dalam pengertian
humanistik, adalah jantung dari dialog eksistensial manusia—tempat di mana
bahasa menjadi jembatan antara pengetahuan dan kasih, antara pemahaman dan
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[2]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[3]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1970), 22–25.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston:
Beacon Press, 2006), 97–105.
[6]
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (London: Routledge, 1978), 5–7.
[7]
Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.
11. Kesimpulan
Masalah makna (meaning)
dalam filsafat bahasa merupakan tema sentral yang menyingkap hakikat manusia
sebagai makhluk berbahasa, berpikir, dan berkomunikasi. Sejak masa Yunani kuno
hingga era digital kontemporer, refleksi filosofis tentang makna telah
mengalami perkembangan dari pandangan representasional menuju perspektif
pragmatik, hermeneutik, dan humanistik. Setiap fase perkembangan ini menambah
lapisan pemahaman baru tentang bagaimana manusia menghubungkan bahasa, pikiran,
dan dunia dalam upaya memahami diri dan realitasnya.
11.1.
Rekapitulasi Historis dan Konseptual
Secara historis, perdebatan
tentang makna berakar pada persoalan klasik antara Plato dan Aristoteles
mengenai apakah hubungan antara nama dan benda bersifat alamiah atau konvensional.¹
Tradisi modern kemudian memperdalam persoalan ini dengan pendekatan
epistemologis, seperti yang dilakukan John Locke dan David Hume, yang
menempatkan makna sebagai ide dalam pikiran manusia.² Namun, pendekatan
mentalistik ini segera dikritik oleh Gottlob Frege dan Bertrand Russell yang
menegaskan dimensi logis dan objektif makna melalui teori sense
dan reference.³
Memasuki abad ke-20,
pergeseran paradigma terjadi dengan munculnya pandangan Wittgenstein, yang
memandang makna bukan sebagai hubungan statis antara kata dan dunia, melainkan
sebagai fungsi dari penggunaannya dalam language games.⁴
Pandangan ini membuka jalan bagi teori pragmatik dan tindakan tutur (Austin dan
Searle) serta pendekatan semiotik (Peirce) yang menekankan dimensi sosial dan
interpretatif makna.⁵
Dengan demikian, sejarah
refleksi tentang makna menunjukkan evolusi dari pendekatan ontologis dan
epistemologis menuju pemahaman yang lebih dinamis, kontekstual, dan
komunikatif. Filsafat bahasa modern menegaskan bahwa makna bukanlah entitas
yang “ditemukan,” tetapi sesuatu yang “diciptakan” melalui interaksi
manusia dan dunia simboliknya.
11.2.
Sintesis Ontologis dan Epistemologis
Ontologisnya, makna bukanlah
objek metafisik yang berdiri sendiri, melainkan realitas relasional yang hidup
di antara tanda, pemakai, dan konteks sosialnya.⁶ Epistemologisnya, makna tidak
diperoleh melalui intuisi murni, tetapi melalui proses interpretatif yang
melibatkan pengalaman, kebiasaan, dan kesepakatan sosial. Gadamer menegaskan
bahwa pemahaman makna selalu bersifat historis dan dialogis—terjadi dalam
pertemuan antara horizon penafsir dan teks.⁷
Dalam konteks ini,
pengetahuan tentang makna bersifat terbuka dan revisibel: ia terus berubah
mengikuti perkembangan bahasa, budaya, dan situasi komunikasi manusia. Hal ini
menggarisbawahi bahwa bahasa tidak hanya alat untuk menyampaikan informasi,
tetapi juga medium untuk membentuk realitas dan kesadaran manusia.
11.3.
Dimensi Aksiologis dan Sosial: Makna sebagai
Nilai dan Tanggung Jawab
Dari sisi aksiologis, makna
memiliki nilai intrinsik sebagai sarana pembentukan pengertian, kejujuran, dan
kemanusiaan. Habermas menegaskan bahwa komunikasi yang bermakna mensyaratkan
rasionalitas komunikatif—yaitu keterbukaan terhadap argumentasi dan keinginan
untuk mencapai saling pengertian, bukan sekadar kemenangan retoris.⁸ Bahasa
yang bermakna dengan demikian menjadi ruang etika tempat manusia belajar
mendengarkan, menanggapi, dan menghargai yang lain.
Secara sosial, makna
merupakan konstruksi kolektif yang lahir dari interaksi, budaya, dan struktur
kekuasaan.⁹ Ia mencerminkan cara manusia membentuk realitas sosial melalui
wacana. Karena itu, tanggung jawab terhadap makna juga berarti tanggung jawab
terhadap kebenaran dan keadilan dalam komunikasi. Filsafat bahasa humanistik
menolak reduksi bahasa menjadi instrumen dominasi, propaganda, atau manipulasi,
dan menegaskan peran bahasa sebagai sarana pembebasan dan pengertian antar
manusia.¹⁰
11.4.
Relevansi Kontemporer: Tantangan di Era Digital
dan Global
Di era digital, makna menghadapi
krisis akibat banjir informasi dan komodifikasi simbol.¹¹ Media digital
mempercepat penyebaran makna tetapi juga memperlemah kedalamannya; bahasa
menjadi dangkal dan sering kehilangan konteks. Fenomena disinformation
dan echo chambers menandakan bahwa makna kini mudah
dimanipulasi oleh algoritme dan kepentingan politik.¹²
Namun, ruang digital juga
membuka peluang baru bagi partisipasi dan pembentukan makna secara global.
Dalam konteks ini, makna perlu dipahami sebagai proses dialogis lintas budaya
yang menuntut literasi semantik dan etika komunikasi global. Filsafat bahasa di
abad ke-21 harus mengajarkan manusia untuk berpikir reflektif, kritis, dan
empatik dalam mengelola makna yang beredar di ruang publik digital.¹³
Kesimpulan Humanistik: Makna sebagai Jembatan
Kemanusiaan
Akhirnya, seluruh pembahasan
filsafat bahasa tentang makna bermuara pada kesadaran bahwa makna adalah
jantung eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Melalui makna,
manusia mengatasi keterpisahan, menemukan arah hidup, dan membangun dunia
bersama. Dalam kerangka humanistik, makna bukan sekadar kategori semantik,
melainkan tindakan eksistensial—sebuah proses menjadi manusia melalui bahasa.
Makna mengandung nilai
kebebasan karena memungkinkan ekspresi diri; nilai kebenaran karena
memungkinkan pemahaman; dan nilai keadilan karena memungkinkan pengakuan
terhadap sesama.¹⁴ Dengan demikian, makna sejati bukan hanya “apa yang
dikatakan,” tetapi “bagaimana manusia hidup di dalam kata.”
Filsafat bahasa humanistik
menutup lingkaran refleksi ini dengan seruan etis: bahwa menjaga makna berarti
menjaga kemanusiaan itu sendiri. Bahasa yang kehilangan makna adalah bahasa
yang kehilangan nurani; sebaliknya, bahasa yang bermakna adalah bahasa yang
menghadirkan pengertian, kebijaksanaan, dan cinta.¹⁵
Footnotes
[1]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 383a–385e.
[2]
John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding, ed. Peter H.
Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 402–407; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 15–20.
[3]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50; Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56
(1905): 479–493.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[5]
J. L. Austin, How to Do Things with
Words, ed. J. O. Urmson (Oxford:
Clarendon Press, 1962), 6–8; Charles Sanders Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, ed. Charles Hartshorne and Paul Weiss (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1931), 2.228–2.231.
[6]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1973),
56–60.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 266–278.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–312.
[9]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–40.
[10]
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–135.
[11]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[12]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided
Democracy in the Age of Social Media
(Princeton: Princeton University Press, 2017), 87–92.
[13]
Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 64–68.
[14]
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor:
Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (London: Routledge, 1978), 5–7.
[15]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1970), 22–25.
Daftar Pustaka
Austin, J. L. (1962). How to do things with words (J. O. Urmson, Ed.). Oxford:
Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). Ann
Arbor: University of Michigan Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in
contemporary ethics. New York: Routledge.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality.
New York: Anchor Books.
Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. London: Routledge.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M.
Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.
Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). New York: Charles
Scribner’s Sons.
Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A study in semantics and modal logic.
Chicago: University of Chicago Press.
Capurro, R. (2008). Digital ethics. In K. E. Himma & H. T. Tavani (Eds.), The
handbook of information and computer ethics (pp. 187–205). Hoboken, NJ:
Wiley.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns
Hopkins University Press.
Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of language. London: Duckworth.
Durkheim, É. (1995). The elementary forms of the religious life (K. E.
Fields, Trans.). New York: Free Press.
Eco, U. (1976). A theory of semiotics. Bloomington: Indiana University
Press.
Ess, C. (2014). Digital media ethics. Cambridge: Polity Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford: Oxford University
Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith,
Trans.). London: Routledge.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings,
1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.
Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences.
New York: Vintage Books.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Boston:
Beacon Press.
Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und
philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall,
Trans.). New York: Continuum.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.
Grice, H. P. (1957). Meaning. The Philosophical Review, 66(3), 377–388.
Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax
and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41–58). New York: Academic Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy,
Trans.). Boston: Beacon Press.
Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.).
Oxford: Clarendon Press.
Humboldt, W. von. (1988). On language: The diversity of human language-structure and
its influence on the mental development of mankind (P. Heath, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Johnson, M. (1987). The body in the mind: The bodily basis of meaning,
imagination, and reason. Chicago: University of Chicago Press.
Kripke, S. (1982). Wittgenstein on rules and private language. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Lakoff, G. (1987). Women, fire, and dangerous things: What categories reveal
about the mind. Chicago: University of Chicago Press.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. Chicago:
University of Chicago Press.
Leibniz, G. W. (1991). Discourse on metaphysics and other essays (D. Garber
& R. Ariew, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch,
Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Lyons, J. (1977). Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Manovich, L. (2013). Software takes command. New York: Bloomsbury Academic.
Peirce, C. S. (1931). Collected papers of Charles Sanders Peirce (C.
Hartshorne & P. Weiss, Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Plato. (1998). Cratylus (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Hutchinson.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object. Cambridge, MA: MIT Press.
Ricoeur, P. (1978). The rule of metaphor: Multi-disciplinary studies of the
creation of meaning in language (R. Czerny, Trans.). London: Routledge.
Robertson, R. (1995). Glocalization: Time–space and homogeneity–heterogeneity. In M.
Featherstone, S. Lash, & R. Robertson (Eds.), Global modernities
(pp. 25–44). London: Sage Publications.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton:
Princeton University Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy. London: Williams and
Norgate.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New
York: Harcourt, Brace & Company.
Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The Philosophical Review, 45(4),
339–369.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language.
Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind.
Cambridge: Cambridge University Press.
Sellars, W. (1997). Empiricism and the philosophy of mind. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media.
Princeton: Princeton University Press.
Tannen, D. (1989). Talking voices: Repetition, dialogue, and imagery in
conversational discourse. Cambridge: Cambridge University Press.
Thiong’o, N. wa. (1986). Decolonising the mind: The politics of language in African literature.
London: James Currey.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an
interdisciplinary framework for research and policy making. Strasbourg:
Council of Europe.
Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of
Benjamin Lee Whorf. Cambridge, MA: MIT Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.).
London: Routledge & Kegan Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe,
Trans.). Oxford: Blackwell.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar