Berpikir atau Berbahasa Duluan?
Telaah Filsafat, Linguistik,
dan Sains Kognitif
Alihkan ke: Cara
Berpikir.
Abstrak
Pertanyaan klasik “mana yang lebih
dahulu, berpikir atau berbahasa?” telah menjadi topik perdebatan panjang
lintas disiplin ilmu, dari filsafat, linguistik, hingga neurosains dan
psikologi kognitif. Artikel ini mengkaji pertanyaan tersebut secara
komprehensif melalui telaah multidisipliner. Dari sudut pandang filsafat, para
pemikir seperti Plato, Aristoteles, dan Descartes memberikan argumentasi yang
beragam tentang keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Kajian linguistik dan
psikolinguistik memperlihatkan adanya dua kutub pemikiran utama: satu yang
memandang bahasa sebagai alat utama berpikir, dan satu lagi yang menempatkan
bahasa sebagai hasil dari proses mental yang lebih dalam. Sementara itu, temuan
dalam neurosains dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses kognitif dasar
dapat terjadi tanpa keterlibatan bahasa secara eksplisit, namun bahasa mampu
memperluas dan memfasilitasi struktur berpikir tingkat tinggi. Artikel ini juga
membahas implikasi teoretis dari masing-masing pandangan, serta menawarkan
pendekatan kompromi dan sintesis yang menunjukkan hubungan timbal balik antara
berpikir dan berbahasa dalam perkembangan dan fungsi manusia. Pada akhirnya,
alih-alih mempertentangkan keduanya secara biner, artikel ini mendorong
pemahaman integratif yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap relasi antara
bahasa dan pikiran.
Kata Kunci: berpikir,
bahasa, filsafat, linguistik, psikolinguistik, neurosains, kognisi, pikiran,
komunikasi, kesadaran.
PEMBAHASAN
Berpikir atau Berbahasa
Duluan? Telaah Filsafat, Linguistik, dan Sains Kognitif
1.
Pendahuluan
Pertanyaan klasik “mana yang lebih
dahulu, berpikir atau berbahasa?” merupakan teka-teki mendasar dalam lintas
disiplin ilmu yang telah menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah selama
berabad-abad. Dalam ranah
filsafat, pertanyaan ini berkaitan erat dengan problem relasi antara pikiran (mind)
dan simbol (language), antara ide yang bersifat internal dan ekspresinya
yang bersifat eksternal. Filosof Yunani kuno, seperti Plato, meyakini bahwa
pikiran merupakan entitas yang eksis secara mandiri dan mendahului ekspresi
linguistik; ide-ide adalah bentuk realitas yang bersifat universal dan tidak
bergantung pada bahasa tertentu.¹
Sementara itu, perkembangan linguistik
dan psikolinguistik modern justru memperlihatkan bahwa bahasa bukan sekadar
media komunikasi, melainkan struktur yang turut membentuk cara manusia memahami
realitas. Melalui hipotesis relativitas linguistik atau yang dikenal
sebagai hipotesis Sapir-Whorf, muncul pandangan bahwa bahasa tidak hanya
mencerminkan pikiran, melainkan turut memengaruhinya.² Dalam konteks ini, cara
seseorang berpikir sangat ditentukan oleh struktur bahasa yang ia gunakan,
seperti dalam perbedaan konseptual antara bahasa-bahasa yang memiliki atau
tidak memiliki sistem waktu gramatikal.
Namun, gagasan bahwa bahasa selalu
mendahului pikiran mendapat tantangan dari pendekatan kognitif dan neurosains
modern. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa proses berpikir dapat terjadi
bahkan tanpa keterlibatan bahasa secara eksplisit, seperti dalam bentuk
pemrosesan visual, emosi, intuisi, dan perencanaan tindakan motorik.³ Misalnya,
studi-studi pencitraan otak (fMRI) menunjukkan bahwa individu tetap dapat
melakukan aktivitas problem-solving bahkan ketika pusat bahasa di otaknya
terganggu, sebagaimana terjadi pada pasien afasia.⁴
Pertanyaan ini pun menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan dan
perkembangan anak. Apakah seorang anak dapat berpikir sebelum ia mampu
berbicara? Apakah bahasa diperlukan untuk membangun kesadaran diri dan konsep
logis? Teori perkembangan Vygotsky, misalnya, menunjukkan bahwa bahasa dan
pikiran awalnya berkembang secara terpisah pada anak-anak, lalu mengalami
interseksionalisasi yang menjadikan bahasa sebagai alat utama berpikir
abstrak.⁵
Karena itulah, menjawab pertanyaan “mana yang lebih dahulu, berpikir
atau berbahasa?” memerlukan pendekatan interdisipliner—melibatkan pemikiran
filsuf, ahli bahasa, psikolog, dan ahli neurosains. Artikel ini bertujuan untuk
mengkaji pertanyaan tersebut dari sudut pandang historis, teoretis, dan
empiris, demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Selain itu,
pemahaman terhadap relasi antara bahasa dan pikiran juga memiliki dampak besar
terhadap dunia pendidikan, pembelajaran bahasa, serta perkembangan artificial
intelligence yang meniru proses kognitif manusia.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 209–210.
[2]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality:
Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge,
MA: MIT Press, 1956), 212.
[3]
Steven Pinker, The Stuff of Thought: Language as a
Window into Human Nature (New York: Viking, 2007), 58–60.
[4]
Antonio R. Damasio, Descartes' Error: Emotion,
Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 116–118.
[5]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–59.
2.
Perspektif Filsafat:
Asal-usul Pertanyaan
Pertanyaan mengenai apakah berpikir
mendahului berbahasa atau sebaliknya merupakan salah satu perdebatan mendasar
dalam sejarah filsafat, terutama dalam kajian epistemologi dan filsafat bahasa.
Sejak zaman kuno, para filsuf telah mencoba menafsirkan hakikat pikiran dan
bahasa, serta hubungan keduanya terhadap kenyataan dan pengetahuan.
2.1.
Plato dan Dunia Ide:
Pikiran Mendahului Bahasa
Plato memulai salah satu fondasi
perdebatan ini melalui teorinya tentang dunia ide (world of forms),
di mana konsep-konsep universal seperti keadilan, kebaikan, dan kebenaran
diyakini eksis secara independen dari dunia fisik dan dari ekspresi bahasa
manusia.¹ Dalam dialog Theaetetus dan Cratylus, Plato berargumen
bahwa bahasa hanyalah alat yang tidak sempurna untuk meniru ide-ide abadi yang
telah ada di alam pikiran.² Dengan demikian, bagi Plato, pikiran — terutama
dalam bentuk intuisi intelektual — jelas mendahului bahasa.
2.2.
Aristoteles: Bahasa
sebagai Representasi Pikiran
Sementara Plato lebih menekankan eksistensi ide, Aristoteles
mengembangkan pandangan yang lebih empiris. Dalam De Interpretatione, ia
menyatakan bahwa kata-kata adalah simbol dari pengalaman batin, dan pengalaman
batin itu sendiri adalah salinan dari realitas.³ Ini mengisyaratkan bahwa
bahasa merepresentasikan pikiran, dan pikiran memiliki dasar dalam pengalaman
inderawi. Dalam pandangan ini, berpikir (yang berasal dari pengalaman)
merupakan prasyarat bagi munculnya bahasa.
2.3.
Descartes dan
Rasionalisme: Cogito sebagai Fondasi
Pada abad ke-17, René Descartes membawa kembali supremasi pikiran
melalui pernyataan terkenalnya: Cogito, ergo sum — Aku berpikir, maka
aku ada.⁴ Pikiran, bagi Descartes, adalah inti eksistensi, dan eksistensi
itu disadari bukan karena bahasa, tetapi karena kemampuan bernalar. Pikiran
bersifat privat dan independen dari bahasa. Bahkan, dalam konteks rasionalisme,
kebenaran dapat ditemukan melalui perenungan batin yang tidak selalu
membutuhkan ekspresi linguistik.
2.4.
Locke dan
Empirisisme: Pikiran dari Pengalaman
Berbeda dari Descartes, John Locke dalam An Essay Concerning Human
Understanding menyatakan bahwa pikiran manusia saat lahir adalah seperti tabula
rasa (kertas kosong), dan seluruh isi pikiran berasal dari pengalaman.⁵
Namun, bahasa tetap dianggap sebagai alat penting untuk mengelola dan
menyampaikan ide. Dalam kerangka ini, berpikir muncul dari pengalaman, dan
bahasa adalah bentuk kodifikasinya, bukan penyebabnya.
2.5.
Wittgenstein dan
Revolusi Linguistik dalam Filsafat
Pada abad ke-20, Ludwig Wittgenstein membawa pemikiran filsafat bahasa
ke level baru. Dalam karya awalnya, Tractatus Logico-Philosophicus, ia
mengembangkan teori bahwa struktur dunia dapat dipetakan melalui struktur
bahasa.⁶ Namun, dalam karya lanjutannya, Philosophical Investigations,
ia mengubah pandangannya secara radikal dan menyatakan bahwa makna adalah
hasil dari penggunaan bahasa dalam praktik kehidupan sehari-hari (meaning
is use).⁷ Ini membuka jalan bagi pemahaman bahwa berpikir manusia sangat
dipengaruhi — bahkan ditentukan — oleh bahasa dan konteks sosialnya.
Kesimpulan Sementara dalam Tradisi Filsafat
Dari uraian di atas, tampak bahwa tidak ada konsensus tunggal dalam
tradisi filsafat. Plato, Aristoteles, dan Descartes cenderung menempatkan
pikiran sebagai yang mendahului bahasa, meski dengan nuansa berbeda.
Sebaliknya, Wittgenstein — terutama dalam karya-karya akhir — menunjukkan bahwa
bahasa memiliki peran fundamental dalam membentuk pikiran. Hal ini menunjukkan
bahwa pertanyaan “mana yang lebih dahulu, berpikir atau berbahasa?” bukan
sekadar persoalan kronologis, tetapi berkaitan dengan cara manusia memahami
eksistensinya, membangun makna, dan mengakses realitas.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 209–210.
[2]
Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett
(Mineola, NY: Dover Publications, 2008), 383a–390e.
[3]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E.M.
Edghill, in The Works of Aristotle, ed. W.D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1908), 16a3–8.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[5]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
trans. C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), Proposition 1–2.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
3.
Kajian Linguistik
dan Psikolinguistik
Dalam disiplin linguistik dan
psikolinguistik, hubungan antara berpikir dan berbahasa tidak hanya menjadi
soal metafisik, tetapi juga menjadi objek studi empiris yang konkret. Kajian
dalam bidang ini bertujuan untuk memahami bagaimana bahasa dan pikiran saling
memengaruhi, apakah bahasa membentuk pikiran atau sebaliknya, dan bagaimana
proses kognitif mendasari produksi serta pemahaman bahasa.
3.1.
Hipotesis
Sapir-Whorf: Bahasa Membentuk Pikiran
Salah satu pendekatan paling
berpengaruh dalam kajian linguistik adalah hipotesis relativitas linguistik,
atau yang lebih dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf, yang menyatakan
bahwa struktur bahasa yang digunakan seseorang akan memengaruhi cara ia
berpikir dan memahami dunia. Edward Sapir berpendapat bahwa “dunia nyata
dibangun tak sadar berdasarkan kebiasaan bahasa komunitas kita.”¹ Benjamin Lee
Whorf kemudian mengembangkan lebih lanjut gagasan ini dengan menyatakan bahwa
perbedaan dalam struktur gramatikal antar bahasa menyebabkan perbedaan dalam
cara berpikir para penuturnya.²
Contohnya, bahasa-bahasa yang memiliki
sistem penanda waktu gramatikal yang ketat seperti bahasa Inggris mendorong
penuturnya untuk selalu membedakan antara masa lampau, kini, dan akan datang.
Sebaliknya, penutur bahasa Mandarin, yang tidak secara gramatikal memarkahi
waktu secara eksplisit, cenderung lebih fleksibel dalam menyusun orientasi
waktu.³ Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bahasa dapat mengarahkan kecenderungan
kognitif seseorang.
Namun, hipotesis ini bukan tanpa kritik. Penelitian modern menunjukkan
bahwa pengaruh bahasa terhadap pikiran lebih bersifat lemah dan kontekstual
dibandingkan klaim awal para pendukung Whorf.⁴ Meski demikian,
eksperimen-eksperimen kognitif belakangan ini kembali membangkitkan minat
terhadap validitas aspek-aspek tertentu dari relativitas linguistik, seperti
dalam pengamatan warna dan konsep spasial.
3.2.
Noam Chomsky dan
Tata Bahasa Universal: Pikiran Lebih Dahulu
Berbeda dari pendekatan relasional
seperti Sapir-Whorf, Noam Chomsky memperkenalkan teori yang mendukung gagasan
bahwa struktur berpikir mendahului bahasa. Melalui konsep tata bahasa
universal (universal grammar), Chomsky berpendapat bahwa kemampuan
berbahasa adalah bawaan (innate) dan seluruh manusia dilahirkan dengan
seperangkat aturan dasar yang memungkinkan mereka menguasai bahasa apapun.⁵ Hal
ini menunjukkan bahwa struktur kognitif telah tersedia sebelum anak benar-benar
menggunakan bahasa.
Chomsky berargumen bahwa kecepatan dan
kemiripan dalam pemerolehan bahasa anak tidak mungkin dijelaskan hanya oleh
input lingkungan. Anak-anak mampu menghasilkan kalimat baru yang belum pernah
mereka dengar sebelumnya, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas
berpikir dan memahami struktur sintaksis yang kompleks.⁶ Maka, menurut Chomsky,
pikiran mendahului bahasa, dan bahasa merupakan aktualisasi dari potensi
kognitif tersebut.
3.3. Pemerolehan
Bahasa dan Perkembangan Kognitif Anak
Kajian psikolinguistik menunjukkan bahwa dalam masa awal perkembangan, proses
berpikir dan bahasa saling memengaruhi secara bertahap. Teori Vygotsky
menawarkan pendekatan interaksional, menyatakan bahwa pada tahap awal, bahasa
eksternal (sosial) berfungsi sebagai alat komunikasi, lalu diinternalisasi
menjadi alat berpikir melalui proses yang disebut internal speech.⁷ Ini
berarti bahwa bahasa awalnya bersifat sosial, tetapi pada akhirnya menjadi
fondasi kognisi tingkat tinggi, seperti penalaran logis dan refleksi diri.
Studi perkembangan anak menunjukkan bahwa bayi sebelum menguasai bahasa
verbal telah memiliki kapasitas berpikir tertentu, seperti membedakan jumlah,
mengenali pola, dan merespons sebab-akibat.⁸ Dengan demikian, berpikir
nonverbal (pralinguistik) dapat dikatakan mendahului bahasa dalam perkembangan
ontogenetik manusia, meskipun keduanya kemudian berkembang secara sinergis.
3.4. Bahasa
sebagai Representasi Mental dan Simbolik
Dalam perkembangan linguistik kognitif, bahasa dipandang sebagai sistem
representasi simbolik dari pikiran. George Lakoff dan Mark Johnson dalam
karyanya Metaphors We Live By menunjukkan bahwa konsep-konsep abstrak
manusia sangat dipengaruhi oleh struktur linguistik metaforis yang dipakai
dalam keseharian.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa pikiran manusia tidak bebas dari
pengaruh bahasa — bahkan konstruksi kognitif yang tampak objektif bisa jadi
dibentuk oleh ekspresi linguistik yang digunakan.
Kesimpulan Sementara
Kajian linguistik dan psikolinguistik menunjukkan bahwa berpikir dan
berbahasa memiliki relasi yang kompleks. Ada cukup bukti bahwa berpikir dapat
mendahului bahasa dalam bentuk nonverbal dan bawaan, namun perkembangan
berpikir abstrak dan reflektif sangat dibantu dan difasilitasi oleh keberadaan
bahasa. Oleh karena itu, dalam perspektif linguistik modern, pertanyaan tentang
"mana yang lebih dulu" tidak selalu relevan secara kronologis,
melainkan harus dilihat sebagai interaksi timbal balik yang dinamis antara dua
sistem dalam diri manusia.
Footnotes
[1]
Edward Sapir, Selected Writings in Language,
Culture, and Personality, ed. David G. Mandelbaum (Berkeley: University of
California Press, 1949), 162.
[2]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality:
Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge,
MA: MIT Press, 1956), 212–214.
[3]
Keith Chen, “The Effect of Language on Economic
Behavior: Evidence from Savings Rates, Health Behaviors, and Retirement
Assets,” American Economic Review 103, no. 2 (2013): 690–731.
[4]
John A. Lucy, Language Diversity and Thought: A
Reformulation of the Linguistic Relativity Hypothesis (Cambridge: Cambridge
University Press, 1992), 38–42.
[5]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5.
[6]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New
York: Pantheon, 1975), 50.
[7]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 68–70.
[8]
Elizabeth Spelke, “Core Knowledge,” American
Psychologist 55, no. 11 (2000): 1233–1243.
[9]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live
By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.
4.
Perspektif
Neurosains dan Psikologi Kognitif
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan neurosains kognitif telah
memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara berpikir dan
berbahasa. Tidak lagi terbatas pada spekulasi filosofis, pertanyaan tentang
“mana yang lebih dahulu” kini dapat diselidiki secara empiris melalui
pencitraan otak, studi kasus neurologis, dan eksperimen psikologi kognitif.
Secara umum, temuan-temuan di bidang ini mengungkap bahwa berpikir dapat
terjadi tanpa bahasa, serta memperlihatkan kompleksitas hubungan timbal
balik antara kedua sistem ini.
4.1. Struktur
Otak: Bahasa dan Kognisi Tidak Identik
Penelitian neurologis telah mengidentifikasi bahwa area otak yang
bertanggung jawab atas bahasa — seperti Broca’s area dan Wernicke’s
area — merupakan bagian dari jaringan kortikal yang lebih luas. Namun,
banyak proses berpikir — seperti penalaran logis, pemecahan masalah, atau
pengambilan keputusan — justru melibatkan area lain seperti korteks
prefrontal dorsolateral, korteks parietal, dan korteks
orbitofrontal, yang tidak selalu terlibat dalam produksi bahasa.¹
Studi pencitraan otak (fMRI) menunjukkan bahwa seseorang dapat terlibat
dalam aktivitas berpikir kompleks tanpa aktivasi signifikan di pusat-pusat
bahasa.² Ini berarti bahwa berpikir — dalam banyak kasus — adalah aktivitas
mental yang lebih luas daripada sekadar berbahasa.
4.2. Kasus
Afasia: Bukti dari Gangguan Bahasa
Salah satu bukti paling kuat bahwa berpikir bisa berlangsung tanpa
bahasa datang dari studi terhadap pasien afasia — yaitu kondisi neurologis di
mana seseorang kehilangan atau mengalami gangguan dalam kemampuan berbahasa
akibat kerusakan otak. Meski kehilangan kemampuan berbicara atau memahami
bahasa, banyak pasien afasia masih mampu berpikir logis, menyelesaikan tugas
kognitif, dan memiliki kesadaran diri.³
Sebagai contoh, dalam studi yang dilakukan oleh Varley et al. (2005),
pasien dengan afasia agramatikal berat tetap menunjukkan kemampuan dalam
menyelesaikan soal matematika dan logika simbolik yang tidak memerlukan bahasa
verbal.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa berpikir logis dan berpikir bahasa dapat
berjalan secara independen.
4.3.
Studi pada Bayi dan
Hewan: Pikiran Nonverbal
Studi dalam psikologi perkembangan
menunjukkan bahwa bayi manusia memiliki kapasitas kognitif tertentu bahkan
sebelum menguasai bahasa. Elizabeth Spelke dan rekan-rekannya menemukan
bahwa bayi berusia beberapa bulan sudah dapat membedakan jumlah objek,
mengenali pola, dan memahami konsep sebab-akibat sederhana.⁵ Kemampuan ini
terjadi jauh sebelum anak mampu berbicara atau memahami kalimat verbal.
Selain itu, eksperimen dengan hewan
seperti simpanse, lumba-lumba, dan burung gagak menunjukkan bahwa makhluk
non-linguistik juga dapat menunjukkan perilaku berpikir, seperti
menggunakan alat, mengenali diri dalam cermin, dan membuat keputusan
berdasarkan ingatan dan prediksi.⁶ Jika bahasa verbal dianggap prasyarat mutlak
berpikir, maka kemampuan kognitif hewan semacam ini tidak mungkin terjadi —
namun nyatanya, kognisi nonverbal terbukti eksis dan adaptif.
4.4.
Pemikiran Visual,
Motorik, dan Emosional
Banyak proses berpikir manusia terjadi
secara visual-spasial, seperti dalam perencanaan gerakan, penggambaran
mental, atau navigasi ruang. Selain
itu, proses berpikir juga melibatkan komponen emosional, seperti intuisi
atau penilaian moral, yang tidak selalu melalui saluran verbal. Antonio Damasio
menekankan pentingnya “feeling of what happens” — bahwa kesadaran dan
pengambilan keputusan berkaitan erat dengan pemrosesan emosional, bukan
semata-mata bahasa.⁷
Kondisi seperti aphantasia (ketiadaan imajinasi visual) atau alexithymia
(kesulitan mengenali emosi) juga menunjukkan bahwa bentuk berpikir manusia
sangat beragam, dan tidak seluruhnya dapat direduksi menjadi bahasa verbal.
4.5.
Bahasa Dalam
Pikiran: Inner Speech dan Metakognisi
Meski berpikir dapat terjadi tanpa
bahasa, bahasa tetap memainkan peran penting dalam metakognisi —
berpikir tentang pikiran sendiri. Inner speech
(bicara batin) berperan dalam perencanaan, refleksi diri, dan kontrol emosi.
Vygotsky menyatakan bahwa bahasa sosial yang awalnya eksternal kemudian
diinternalisasi menjadi alat berpikir dalam diri, memungkinkan manusia untuk
menyusun rencana, mengevaluasi tindakan, dan merenungi nilai.⁸
Dengan kata lain, bahasa memperluas kapasitas berpikir melalui
kemampuan untuk memformulasikan, mengorganisasi, dan mengaudit pemikiran secara
sadar. Namun, ia bukan prasyarat keberadaan pikiran itu sendiri.
Kesimpulan Sementara
Dari perspektif neurosains dan psikologi kognitif, berpikir dan
berbahasa adalah dua sistem yang berbeda tetapi saling memengaruhi.
Berpikir dapat berlangsung secara nonverbal, sebagaimana dibuktikan oleh studi
fMRI, gangguan afasia, dan penelitian pada bayi serta hewan. Namun demikian,
bahasa memiliki fungsi penting dalam berpikir tingkat tinggi seperti
metakognisi, perencanaan strategis, dan refleksi moral. Oleh karena itu, dalam
kerangka ilmiah kontemporer, bahasa bukan asal-usul dari pikiran, tetapi salah
satu alat penting dalam pengembangan dan ekspresi pikiran manusia.
Footnotes
[1]
Michael S. Gazzaniga, The Ethical Brain (New
York: Dana Press, 2005), 19–21.
[2]
Marcel Adam Just et al., “Cortical Activation and
Synchronization During Sentence Comprehension in High-Functioning Autism:
Evidence of Underconnectivity,” Brain 127, no. 8 (2004): 1811–1821.
[3]
Brenda Rapp and Matthew Goldrick, “Disorders of Spoken
Word Production,” in The Oxford Handbook of Cognitive Neuroscience, vol.
2, eds. Kevin Ochsner and Stephen Kosslyn (Oxford: Oxford University Press,
2014), 185.
[4]
Rosemary Varley et al., “Agrammatic but Numerate,” Proceedings
of the National Academy of Sciences 102, no. 9 (2005): 3519–3524.
[5]
Elizabeth Spelke, “Core Knowledge,” American
Psychologist 55, no. 11 (2000): 1233–1243.
[6]
Frans de Waal, Are We Smart Enough to Know How
Smart Animals Are? (New York: W.W. Norton, 2016), 57–74.
[7]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body
and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace,
1999), 43–45.
[8]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–59.
5.
Argumen dan
Implikasi Teoretis
Pertanyaan mengenai apakah berpikir
mendahului bahasa atau sebaliknya bukan sekadar perdebatan konseptual,
melainkan memiliki implikasi luas dalam teori pengetahuan, pendidikan,
linguistik, dan bahkan pengembangan kecerdasan buatan. Berdasarkan telaah interdisipliner
dari filsafat, linguistik, dan neurosains, muncul sejumlah argumen utama yang
memperkaya pemahaman kita tentang hakikat kognisi manusia.
5.1.
Bahasa sebagai Alat
atau Fondasi Pikiran?
Salah satu argumen sentral dalam
diskursus ini adalah apakah bahasa berfungsi sebagai alat untuk
mengungkapkan pikiran yang telah terbentuk, ataukah justru merupakan fondasi
pembentuk pikiran itu sendiri. Perspektif rasionalistik seperti yang
dikemukakan Descartes dan Chomsky menunjukkan bahwa pikiran bersifat
independen dan mendahului bahasa.¹ Dalam kerangka ini, bahasa hanyalah
sistem simbol yang digunakan untuk mengeksternalisasi pemikiran.
Sebaliknya, pendekatan seperti yang
dikembangkan oleh Wittgenstein, Vygotsky, dan penganut hipotesis relativitas
linguistik menunjukkan bahwa bahasa tidak netral, melainkan membentuk cara
seseorang memaknai realitas.² Oleh karena itu, dalam konteks ini, bahasa
bukan hanya sekadar ekspresi, tetapi bagian esensial dari proses berpikir itu
sendiri.
5.2.
Apakah Berpikir
Tanpa Bahasa Memungkinkan?
Pertanyaan ini menjadi titik uji penting bagi banyak eksperimen
empiris. Seperti yang ditunjukkan oleh studi terhadap pasien afasia dan
penelitian perkembangan kognitif bayi, berpikir nonverbal memang
memungkinkan, bahkan mungkin mendahului atau berdiri sendiri tanpa
keterlibatan bahasa verbal.³ Namun, bentuk-bentuk berpikir semacam itu biasanya
bersifat konkret, visual, atau intuitif.
Yang menjadi perhatian adalah bahwa berpikir reflektif,
metakognitif, dan logis tampaknya sangat terbantu — bahkan tergantung —
pada kemampuan berbahasa. Vygotsky menyebut proses ini sebagai transformasi
dari bicara eksternal menjadi bicara internal, di mana bahasa memainkan
peran kunci dalam membentuk pikiran tingkat tinggi.⁴ Maka, meskipun berpikir
dapat terjadi tanpa bahasa, pengorganisasian pikiran yang kompleks cenderung
bergantung pada representasi linguistik.
5.3. Implikasi
untuk Pendidikan dan Pengembangan Intelektual
Dalam ranah pendidikan, perdebatan ini berdampak pada cara kita
merancang pendekatan pembelajaran. Jika berpikir dapat dikembangkan secara
nonverbal, maka pendekatan multisensori dan pembelajaran berbasis
tindakan (learning by doing) menjadi sangat relevan. Namun, jika bahasa
menjadi alat utama dalam perkembangan kognisi tinggi, maka penguatan keterampilan
berbahasa — membaca, menulis, berbicara — harus menjadi fokus utama dalam
pengembangan intelektual.
Sebagai contoh, banyak studi menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam
berpikir kritis sangat berkorelasi dengan kapasitas mereka dalam menggunakan
dan memahami bahasa akademik.⁵ Oleh karena itu, pendidikan yang mengabaikan
pembinaan kebahasaan pada dasarnya melemahkan fondasi berpikir reflektif siswa.
5.4.
Implikasi untuk
Studi Kecerdasan Buatan (AI)
Pertanyaan tentang relasi bahasa dan
pikiran juga menjadi fundamental dalam pengembangan Artificial Intelligence
(AI). Model-model AI yang canggih seperti GPT atau LLM (Large Language
Models) telah menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan bahasa yang sangat mirip
dengan manusia, namun perdebatan tetap terbuka: apakah mesin yang dapat
berbahasa berarti ia dapat berpikir?
John Searle melalui argumen Chinese
Room menyatakan bahwa simulasi bahasa tidak sama dengan pemahaman atau
pemikiran; sebuah sistem bisa memproses simbol tanpa mengerti maknanya.⁶
Dalam kerangka ini, berpikir tetap dianggap sebagai sesuatu yang lebih dalam
dari sekadar manipulasi bahasa. Namun, pendekatan kognitif lainnya berargumen
bahwa kemampuan memproses struktur linguistik kompleks dapat dianggap
sebagai bentuk pemikiran jika memenuhi kriteria fungsional tertentu.⁷
5.5.
Tantangan terhadap
Dikotomi: Relasi Simbiotik
Alih-alih memaksakan dikotomi antara
berpikir dan berbahasa, beberapa pemikir kontemporer mengusulkan bahwa keduanya
berkembang dalam relasi simbiotik. Misalnya, dalam pendekatan embodied
cognition, bahasa dianggap sebagai ekstensi dari tindakan tubuh dan interaksi
sosial, yang pada gilirannya membentuk struktur kognitif.⁸ Dengan demikian,
berpikir dan berbahasa adalah dua sisi dari proses adaptasi kognitif yang terus
berkembang melalui pengalaman, budaya, dan lingkungan.
Kesimpulan Sementara
Argumen-argumen teoretis yang
berkembang menunjukkan bahwa berpikir dan berbahasa bukanlah proses yang
berdiri sendiri secara mutlak, melainkan dua sistem yang berkembang secara
paralel dan saling memperkaya. Berpikir dapat mendahului bahasa dalam bentuk
dasar atau nonverbal, tetapi bahasa memainkan peran penting dalam membentuk dan
mengarahkan pikiran menuju bentuk-bentuk refleksi dan analisis yang lebih
tinggi. Oleh karena itu,
memahami relasi ini sangat penting dalam merancang sistem pendidikan,
pengembangan AI, dan pembinaan intelektual secara umum.
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New
York: Pantheon Books, 1975), 30–33.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[3]
Rosemary Varley et al., “Agrammatic but Numerate,” Proceedings
of the National Academy of Sciences 102, no. 9 (2005): 3519–3524.
[4]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 88–89.
[5]
Olga A. Vasilyeva et al., “The Role of Language in the
Development of Reasoning Skills in Children,” Developmental Psychology
52, no. 10 (2016): 1582–1593.
[6]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[7]
Margaret Boden, The Creative Mind: Myths and
Mechanisms (London: Routledge, 2004), 231–234.
[8]
George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the
Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York:
Basic Books, 1999), 76–80.
6.
Pendekatan Kompromi
dan Sintesis
Perdebatan klasik mengenai apakah
berpikir mendahului bahasa atau sebaliknya telah berlangsung selama
berabad-abad, melibatkan para filsuf, linguis, psikolog, dan ilmuwan kognitif.
Namun, dalam perkembangan mutakhir, sejumlah pendekatan kompromi dan sintesis
telah muncul guna menjembatani dua posisi ekstrem tersebut, yakni posisi mentalisme
(yang menempatkan pikiran mendahului bahasa) dan linguistik deterministik
(yang menganggap bahasa membentuk pikiran). Pendekatan-pendekatan ini berupaya membangun pemahaman yang lebih
integratif, transdisipliner, dan kontekstual.
6.1. Dualisme
Fungsional: Bahasa dan Pikiran sebagai Proses Saling Melengkapi
Salah satu pendekatan kompromi adalah melihat pikiran dan bahasa
sebagai dua sistem yang beroperasi secara ko-evolutif dan fungsional,
tanpa perlu dikonstruksikan dalam relasi kausal satu arah. Pikiran menyediakan
isi atau content, sedangkan bahasa menyediakan struktur atau form.
Dalam perspektif ini, bahasa tidak sepenuhnya membentuk pikiran, tetapi
mengatur, mengartikulasikan, dan menstabilkannya.¹
Sebagaimana dikemukakan oleh Jerry Fodor, pikiran manusia beroperasi
melalui suatu language of thought yang bersifat mentalistik dan
pra-verbal (dikenal juga sebagai mentalese), sementara bahasa alami
hanya menjadi sarana eksternal untuk menyampaikan struktur pikiran tersebut.²
Namun, keberadaan bahasa juga memungkinkan pemikiran menjadi lebih kompleks,
tersusun, dan dapat dibagikan secara sosial.
6.2.
Vygotsky dan Teori
Interaksional-Konstruktivistik
Lev Vygotsky menawarkan kerangka kompromi yang sangat berpengaruh dalam
psikologi perkembangan dan pendidikan. Menurutnya, bahasa awalnya berkembang
melalui interaksi sosial (berasal dari luar diri), lalu secara bertahap
diinternalisasi menjadi alat berpikir individual.³ Proses ini dikenal
sebagai interiorisasi, yang menegaskan bahwa bahasa dan berpikir tidak
terpisah, melainkan melalui dialektika perkembangan kognitif dan sosial.
Dengan demikian, berpikir bukan sepenuhnya produk bahasa, tetapi juga
tidak lepas dari konstruksi linguistik yang diasimilasi melalui interaksi
sosial. Sintesis semacam ini membuka ruang bagi pendekatan yang lebih holistik
dalam memahami hubungan antara lingkungan, bahasa, dan pikiran.
6.3.
Hipotesis
Relativitas Linguistik yang Diperhalus
Pendekatan sintesis juga tampak dalam
versi moderat dari hipotesis Sapir-Whorf atau relativitas linguistik,
yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi, tetapi tidak menentukan
secara mutlak struktur kognitif.⁴ Artinya, struktur bahasa yang kita
gunakan sehari-hari memang dapat membentuk kebiasaan berpikir tertentu, namun
bukan berarti membatasi kemampuan kita untuk berpikir di luar bahasa tersebut.
Penelitian kontemporer oleh Lera
Boroditsky menunjukkan bahwa penutur bahasa yang berbeda mempersepsi waktu,
ruang, dan objek dengan cara berbeda, namun tetap mampu memahami dan mengadopsi
sistem berpikir yang lain ketika dilatih atau diberikan konteks yang tepat.⁵
Temuan ini memperkuat pandangan bahwa relasi antara bahasa dan pikiran
bersifat fleksibel dan adaptif, bukan deterministik.
6.4.
Embodied Cognition:
Menyatukan Tubuh, Pikiran, dan Bahasa
Salah satu pendekatan sintesis yang
paling transformatif dalam kognisi modern adalah teori embodied cognition,
yang menyatakan bahwa pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan dari tubuh,
pengalaman sensorimotorik, dan interaksi sosial.⁶ Dalam kerangka ini,
pikiran tidak hanya berada di otak atau dalam bahasa, tetapi juga dalam
praktik, tindakan, dan persepsi tubuh manusia.
Misalnya, pemahaman terhadap konsep
“atas” atau “bawah” tidak hanya dibentuk oleh kata-kata, tetapi juga oleh
pengalaman sensoris tubuh dalam ruang.⁷ Oleh karena itu, berpikir dan berbahasa
adalah bagian dari sistem yang terletak dalam konteks biologis dan ekologis,
dan relasinya bukan linier, melainkan koeksistensial.
6.5.
Perspektif
Neurokognitif dan Konektivitas Otak
Temuan dalam bidang neurokognitif juga
menunjukkan bahwa berpikir dan berbahasa melibatkan jaringan otak yang
tumpang tindih, namun tidak identik. Aktivitas kognitif kompleks (misalnya
pengambilan keputusan atau berpikir reflektif) dapat terjadi dalam keadaan
pra-linguistik, tetapi keterlibatan bahasa memperluas kapasitas kognitif
tersebut.⁸ Studi neuroimaging menunjukkan keterkaitan antara area Broca (yang
mengatur bahasa) dan dorsolateral prefrontal cortex (yang berperan dalam
pengambilan keputusan dan fungsi eksekutif).⁹
Dari temuan ini, tampak bahwa otak manusia tidak memisahkan secara
ketat antara berpikir dan berbahasa, tetapi mengatur keduanya dalam sistem
konektivitas yang fleksibel.
Kesimpulan Sementara
Melalui berbagai pendekatan kompromi
dan sintesis, semakin jelas bahwa hubungan antara bahasa dan pikiran bukanlah
hubungan hierarkis yang sederhana, melainkan hubungan dinamis, timbal
balik, dan bergantung pada konteks biologis, sosial, dan kultural. Pendekatan-pendekatan ini
menegaskan pentingnya membangun kerangka teoretis yang inklusif dan
transdisipliner, untuk menghindari reduksionisme baik dari sisi linguistik
maupun kognitif.
Footnotes
[1]
Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind
Creates Language (New York: William Morrow, 1994), 56–59.
[2]
Jerry A. Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 27–30.
[3]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–74.
[4]
John A. Lucy, “Language Diversity and Thought: A
Reformulation of the Linguistic Relativity Hypothesis,” Cambridge Studies in
Linguistics 101 (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 8–10.
[5]
Lera Boroditsky, “How Language Shapes Thought,” Scientific
American 304, no. 2 (2011): 62–65.
[6]
George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the
Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York:
Basic Books, 1999), 3–7.
[7]
Raymond W. Gibbs, Embodiment and Cognitive Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 110–113.
[8]
Angela D. Friederici, “The Brain Basis of Language
Processing: From Structure to Function,” Physiological Reviews 91, no. 4
(2011): 1357–1392.
[9]
Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain:
Deciphering How the Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014),
89–93.
7.
Penutup
Pertanyaan fundamental tentang apakah
berpikir mendahului berbahasa atau sebaliknya bukan sekadar dilema akademik,
melainkan problem eksistensial yang menyentuh hakikat manusia sebagai makhluk
berpikir (homo cogitans) dan makhluk berbahasa (homo loquens).
Telaah lintas disiplin dari ranah filsafat, linguistik, hingga sains kognitif
menunjukkan bahwa jawaban atas persoalan ini tidak bisa direduksi pada dikotomi
sederhana.
Di satu sisi, pendekatan rasionalisme
kognitif, seperti yang diwakili Jerry Fodor dengan konsep mentalese,
menyatakan bahwa pikiran memiliki bentuk dasar yang independen dari bahasa
alami.¹ Di sisi lain, pendekatan relativisme linguistik, seperti yang
diajukan oleh Sapir dan Whorf, menekankan bahwa bahasa sangat memengaruhi
bahkan membatasi struktur kognitif manusia.² Keduanya memberikan kontribusi
penting namun belum memadai untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas hubungan
antara pikiran dan bahasa.
Dalam perkembangan mutakhir,
pendekatan-pendekatan sintesis telah muncul, seperti teori interaksional
Vygotsky yang menempatkan bahasa dan pikiran dalam hubungan dialektis:
pikiran membentuk bahasa, tetapi juga dibentuk oleh proses linguistik yang
berasal dari lingkungan sosial.³ Embodied cognition menambahkan bahwa
baik pikiran maupun bahasa adalah produk dari pengalaman tubuh dalam dunia
nyata, menekankan keterkaitan antara sensorimotorik, tindakan, dan representasi
simbolik.⁴
Selain itu, bukti-bukti dari neurosains
menegaskan bahwa area otak yang terlibat dalam bahasa dan berpikir memiliki
keterkaitan fungsional yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan secara tegas.
Aktivitas berpikir tinggi dapat terjadi tanpa bahasa, namun bahasa memungkinkan
ekspresi, refleksi, dan manipulasi abstraksi dengan cara yang lebih
sistematis.⁵
Dengan demikian, alih-alih menempatkan
berpikir dan berbahasa dalam urutan kronologis yang kaku, pendekatan yang lebih
tepat adalah memahami keduanya dalam relasi ko-evolutif dan ko-konstitutif.
Bahasa dan pikiran tidak
hanya saling mempengaruhi, tetapi juga saling membentuk secara dinamis seiring
perkembangan individu dan peradaban manusia. Pemahaman semacam ini memungkinkan
kita untuk menghindari bias reduksionistik sekaligus mengakui keragaman jalur
epistemologis manusia dalam membangun makna.
Secara praktis, implikasi dari sintesis ini mencakup pengembangan
pendidikan, terapi bahasa, kecerdasan buatan, dan bahkan filsafat eksistensial
manusia. Bagi dunia pendidikan, kesadaran akan keterkaitan berpikir dan bahasa
dapat mendorong strategi pembelajaran yang memperkuat refleksi metakognitif dan
ekspresi linguistik secara simultan. Bagi studi filsafat, pertanyaan ini tetap
terbuka sebagai pengingat akan kompleksitas kodrat manusia yang tak bisa
dipisahkan dari kata dan makna.
Footnotes
[1]
Jerry A. Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 27–30.
[2]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality:
Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge,
MA: MIT Press, 1956), 134–159.
[3]
Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans.
Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–118.
[4]
George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the
Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York:
Basic Books, 1999), 3–7.
[5]
Angela D. Friederici, “The Brain Basis of Language
Processing: From Structure to Function,” Physiological Reviews 91, no. 4
(2011): 1357–1392.
Daftar Pustaka
Fodor, J. A.
(1975). The language of thought. Harvard University Press.
Friederici, A. D.
(2011). The brain basis of language processing: From structure to function. Physiological
Reviews, 91(4), 1357–1392. https://doi.org/10.1152/physrev.00006.2011
Lakoff, G., &
Johnson, M. (1999). Philosophy in the flesh: The embodied mind and its
challenge to Western thought. Basic Books.
Vygotsky, L. S.
(1986). Thought and language (A. Kozulin, Trans.). MIT Press. (Original
work published 1934)
Whorf, B. L.
(1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf
(J. B. Carroll, Ed.). MIT Press.
Pinker, S. (1994).
The language instinct: How the mind creates language. William Morrow.
Chomsky, N.
(2006). Language and mind (3rd ed.). Cambridge University Press.
Saussure, F. de.
(2011). Course in general linguistics (W. Baskin, Trans.; P. Meisel
& H. Saussy, Eds.). Columbia University Press. (Original work published
1916)
Tomasello, M.
(2008). Origins of human communication. MIT Press.
Dennett, D. C.
(1991). Consciousness explained. Little, Brown and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar