Jumat, 25 Juli 2025

Berpikir atau Berbahasa Duluan? Telaah Filsafat, Linguistik, dan Sains Kognitif

Berpikir atau Berbahasa Duluan?

Telaah Filsafat, Linguistik, dan Sains Kognitif


Alihkan ke: Cara Berpikir.


Abstrak

Pertanyaan klasik “mana yang lebih dahulu, berpikir atau berbahasa?” telah menjadi topik perdebatan panjang lintas disiplin ilmu, dari filsafat, linguistik, hingga neurosains dan psikologi kognitif. Artikel ini mengkaji pertanyaan tersebut secara komprehensif melalui telaah multidisipliner. Dari sudut pandang filsafat, para pemikir seperti Plato, Aristoteles, dan Descartes memberikan argumentasi yang beragam tentang keterkaitan antara pikiran dan bahasa. Kajian linguistik dan psikolinguistik memperlihatkan adanya dua kutub pemikiran utama: satu yang memandang bahasa sebagai alat utama berpikir, dan satu lagi yang menempatkan bahasa sebagai hasil dari proses mental yang lebih dalam. Sementara itu, temuan dalam neurosains dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses kognitif dasar dapat terjadi tanpa keterlibatan bahasa secara eksplisit, namun bahasa mampu memperluas dan memfasilitasi struktur berpikir tingkat tinggi. Artikel ini juga membahas implikasi teoretis dari masing-masing pandangan, serta menawarkan pendekatan kompromi dan sintesis yang menunjukkan hubungan timbal balik antara berpikir dan berbahasa dalam perkembangan dan fungsi manusia. Pada akhirnya, alih-alih mempertentangkan keduanya secara biner, artikel ini mendorong pemahaman integratif yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap relasi antara bahasa dan pikiran.

Kata Kunci: berpikir, bahasa, filsafat, linguistik, psikolinguistik, neurosains, kognisi, pikiran, komunikasi, kesadaran.


PEMBAHASAN

Berpikir atau Berbahasa Duluan? Telaah Filsafat, Linguistik, dan Sains Kognitif


1.           Pendahuluan

Pertanyaan klasik “mana yang lebih dahulu, berpikir atau berbahasa?” merupakan teka-teki mendasar dalam lintas disiplin ilmu yang telah menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah selama berabad-abad. Dalam ranah filsafat, pertanyaan ini berkaitan erat dengan problem relasi antara pikiran (mind) dan simbol (language), antara ide yang bersifat internal dan ekspresinya yang bersifat eksternal. Filosof Yunani kuno, seperti Plato, meyakini bahwa pikiran merupakan entitas yang eksis secara mandiri dan mendahului ekspresi linguistik; ide-ide adalah bentuk realitas yang bersifat universal dan tidak bergantung pada bahasa tertentu.¹

Sementara itu, perkembangan linguistik dan psikolinguistik modern justru memperlihatkan bahwa bahasa bukan sekadar media komunikasi, melainkan struktur yang turut membentuk cara manusia memahami realitas. Melalui hipotesis relativitas linguistik atau yang dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf, muncul pandangan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan pikiran, melainkan turut memengaruhinya.² Dalam konteks ini, cara seseorang berpikir sangat ditentukan oleh struktur bahasa yang ia gunakan, seperti dalam perbedaan konseptual antara bahasa-bahasa yang memiliki atau tidak memiliki sistem waktu gramatikal.

Namun, gagasan bahwa bahasa selalu mendahului pikiran mendapat tantangan dari pendekatan kognitif dan neurosains modern. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa proses berpikir dapat terjadi bahkan tanpa keterlibatan bahasa secara eksplisit, seperti dalam bentuk pemrosesan visual, emosi, intuisi, dan perencanaan tindakan motorik.³ Misalnya, studi-studi pencitraan otak (fMRI) menunjukkan bahwa individu tetap dapat melakukan aktivitas problem-solving bahkan ketika pusat bahasa di otaknya terganggu, sebagaimana terjadi pada pasien afasia.⁴

Pertanyaan ini pun menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak. Apakah seorang anak dapat berpikir sebelum ia mampu berbicara? Apakah bahasa diperlukan untuk membangun kesadaran diri dan konsep logis? Teori perkembangan Vygotsky, misalnya, menunjukkan bahwa bahasa dan pikiran awalnya berkembang secara terpisah pada anak-anak, lalu mengalami interseksionalisasi yang menjadikan bahasa sebagai alat utama berpikir abstrak.⁵

Karena itulah, menjawab pertanyaan “mana yang lebih dahulu, berpikir atau berbahasa?” memerlukan pendekatan interdisipliner—melibatkan pemikiran filsuf, ahli bahasa, psikolog, dan ahli neurosains. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pertanyaan tersebut dari sudut pandang historis, teoretis, dan empiris, demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Selain itu, pemahaman terhadap relasi antara bahasa dan pikiran juga memiliki dampak besar terhadap dunia pendidikan, pembelajaran bahasa, serta perkembangan artificial intelligence yang meniru proses kognitif manusia.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 209–210.

[2]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212.

[3]                Steven Pinker, The Stuff of Thought: Language as a Window into Human Nature (New York: Viking, 2007), 58–60.

[4]                Antonio R. Damasio, Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1994), 116–118.

[5]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–59.


2.           Perspektif Filsafat: Asal-usul Pertanyaan

Pertanyaan mengenai apakah berpikir mendahului berbahasa atau sebaliknya merupakan salah satu perdebatan mendasar dalam sejarah filsafat, terutama dalam kajian epistemologi dan filsafat bahasa. Sejak zaman kuno, para filsuf telah mencoba menafsirkan hakikat pikiran dan bahasa, serta hubungan keduanya terhadap kenyataan dan pengetahuan.

2.1.       Plato dan Dunia Ide: Pikiran Mendahului Bahasa

Plato memulai salah satu fondasi perdebatan ini melalui teorinya tentang dunia ide (world of forms), di mana konsep-konsep universal seperti keadilan, kebaikan, dan kebenaran diyakini eksis secara independen dari dunia fisik dan dari ekspresi bahasa manusia.¹ Dalam dialog Theaetetus dan Cratylus, Plato berargumen bahwa bahasa hanyalah alat yang tidak sempurna untuk meniru ide-ide abadi yang telah ada di alam pikiran.² Dengan demikian, bagi Plato, pikiran — terutama dalam bentuk intuisi intelektual — jelas mendahului bahasa.

2.2.       Aristoteles: Bahasa sebagai Representasi Pikiran

Sementara Plato lebih menekankan eksistensi ide, Aristoteles mengembangkan pandangan yang lebih empiris. Dalam De Interpretatione, ia menyatakan bahwa kata-kata adalah simbol dari pengalaman batin, dan pengalaman batin itu sendiri adalah salinan dari realitas.³ Ini mengisyaratkan bahwa bahasa merepresentasikan pikiran, dan pikiran memiliki dasar dalam pengalaman inderawi. Dalam pandangan ini, berpikir (yang berasal dari pengalaman) merupakan prasyarat bagi munculnya bahasa.

2.3.       Descartes dan Rasionalisme: Cogito sebagai Fondasi

Pada abad ke-17, RenĂ© Descartes membawa kembali supremasi pikiran melalui pernyataan terkenalnya: Cogito, ergo sumAku berpikir, maka aku ada.⁴ Pikiran, bagi Descartes, adalah inti eksistensi, dan eksistensi itu disadari bukan karena bahasa, tetapi karena kemampuan bernalar. Pikiran bersifat privat dan independen dari bahasa. Bahkan, dalam konteks rasionalisme, kebenaran dapat ditemukan melalui perenungan batin yang tidak selalu membutuhkan ekspresi linguistik.

2.4.       Locke dan Empirisisme: Pikiran dari Pengalaman

Berbeda dari Descartes, John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menyatakan bahwa pikiran manusia saat lahir adalah seperti tabula rasa (kertas kosong), dan seluruh isi pikiran berasal dari pengalaman.⁵ Namun, bahasa tetap dianggap sebagai alat penting untuk mengelola dan menyampaikan ide. Dalam kerangka ini, berpikir muncul dari pengalaman, dan bahasa adalah bentuk kodifikasinya, bukan penyebabnya.

2.5.       Wittgenstein dan Revolusi Linguistik dalam Filsafat

Pada abad ke-20, Ludwig Wittgenstein membawa pemikiran filsafat bahasa ke level baru. Dalam karya awalnya, Tractatus Logico-Philosophicus, ia mengembangkan teori bahwa struktur dunia dapat dipetakan melalui struktur bahasa.⁶ Namun, dalam karya lanjutannya, Philosophical Investigations, ia mengubah pandangannya secara radikal dan menyatakan bahwa makna adalah hasil dari penggunaan bahasa dalam praktik kehidupan sehari-hari (meaning is use).⁷ Ini membuka jalan bagi pemahaman bahwa berpikir manusia sangat dipengaruhi — bahkan ditentukan — oleh bahasa dan konteks sosialnya.


Kesimpulan Sementara dalam Tradisi Filsafat

Dari uraian di atas, tampak bahwa tidak ada konsensus tunggal dalam tradisi filsafat. Plato, Aristoteles, dan Descartes cenderung menempatkan pikiran sebagai yang mendahului bahasa, meski dengan nuansa berbeda. Sebaliknya, Wittgenstein — terutama dalam karya-karya akhir — menunjukkan bahwa bahasa memiliki peran fundamental dalam membentuk pikiran. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan “mana yang lebih dahulu, berpikir atau berbahasa?” bukan sekadar persoalan kronologis, tetapi berkaitan dengan cara manusia memahami eksistensinya, membangun makna, dan mengakses realitas.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 209–210.

[2]                Plato, Cratylus, trans. Benjamin Jowett (Mineola, NY: Dover Publications, 2008), 383a–390e.

[3]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E.M. Edghill, in The Works of Aristotle, ed. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), 16a3–8.

[4]                RenĂ© Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[5]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book II, Chapter I.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), Proposition 1–2.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.


3.           Kajian Linguistik dan Psikolinguistik

Dalam disiplin linguistik dan psikolinguistik, hubungan antara berpikir dan berbahasa tidak hanya menjadi soal metafisik, tetapi juga menjadi objek studi empiris yang konkret. Kajian dalam bidang ini bertujuan untuk memahami bagaimana bahasa dan pikiran saling memengaruhi, apakah bahasa membentuk pikiran atau sebaliknya, dan bagaimana proses kognitif mendasari produksi serta pemahaman bahasa.

3.1.       Hipotesis Sapir-Whorf: Bahasa Membentuk Pikiran

Salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam kajian linguistik adalah hipotesis relativitas linguistik, atau yang lebih dikenal sebagai hipotesis Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa struktur bahasa yang digunakan seseorang akan memengaruhi cara ia berpikir dan memahami dunia. Edward Sapir berpendapat bahwa “dunia nyata dibangun tak sadar berdasarkan kebiasaan bahasa komunitas kita.”¹ Benjamin Lee Whorf kemudian mengembangkan lebih lanjut gagasan ini dengan menyatakan bahwa perbedaan dalam struktur gramatikal antar bahasa menyebabkan perbedaan dalam cara berpikir para penuturnya.²

Contohnya, bahasa-bahasa yang memiliki sistem penanda waktu gramatikal yang ketat seperti bahasa Inggris mendorong penuturnya untuk selalu membedakan antara masa lampau, kini, dan akan datang. Sebaliknya, penutur bahasa Mandarin, yang tidak secara gramatikal memarkahi waktu secara eksplisit, cenderung lebih fleksibel dalam menyusun orientasi waktu.³ Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bahasa dapat mengarahkan kecenderungan kognitif seseorang.

Namun, hipotesis ini bukan tanpa kritik. Penelitian modern menunjukkan bahwa pengaruh bahasa terhadap pikiran lebih bersifat lemah dan kontekstual dibandingkan klaim awal para pendukung Whorf.⁴ Meski demikian, eksperimen-eksperimen kognitif belakangan ini kembali membangkitkan minat terhadap validitas aspek-aspek tertentu dari relativitas linguistik, seperti dalam pengamatan warna dan konsep spasial.

3.2.       Noam Chomsky dan Tata Bahasa Universal: Pikiran Lebih Dahulu

Berbeda dari pendekatan relasional seperti Sapir-Whorf, Noam Chomsky memperkenalkan teori yang mendukung gagasan bahwa struktur berpikir mendahului bahasa. Melalui konsep tata bahasa universal (universal grammar), Chomsky berpendapat bahwa kemampuan berbahasa adalah bawaan (innate) dan seluruh manusia dilahirkan dengan seperangkat aturan dasar yang memungkinkan mereka menguasai bahasa apapun.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa struktur kognitif telah tersedia sebelum anak benar-benar menggunakan bahasa.

Chomsky berargumen bahwa kecepatan dan kemiripan dalam pemerolehan bahasa anak tidak mungkin dijelaskan hanya oleh input lingkungan. Anak-anak mampu menghasilkan kalimat baru yang belum pernah mereka dengar sebelumnya, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas berpikir dan memahami struktur sintaksis yang kompleks.⁶ Maka, menurut Chomsky, pikiran mendahului bahasa, dan bahasa merupakan aktualisasi dari potensi kognitif tersebut.

3.3.       Pemerolehan Bahasa dan Perkembangan Kognitif Anak

Kajian psikolinguistik menunjukkan bahwa dalam masa awal perkembangan, proses berpikir dan bahasa saling memengaruhi secara bertahap. Teori Vygotsky menawarkan pendekatan interaksional, menyatakan bahwa pada tahap awal, bahasa eksternal (sosial) berfungsi sebagai alat komunikasi, lalu diinternalisasi menjadi alat berpikir melalui proses yang disebut internal speech.⁷ Ini berarti bahwa bahasa awalnya bersifat sosial, tetapi pada akhirnya menjadi fondasi kognisi tingkat tinggi, seperti penalaran logis dan refleksi diri.

Studi perkembangan anak menunjukkan bahwa bayi sebelum menguasai bahasa verbal telah memiliki kapasitas berpikir tertentu, seperti membedakan jumlah, mengenali pola, dan merespons sebab-akibat.⁸ Dengan demikian, berpikir nonverbal (pralinguistik) dapat dikatakan mendahului bahasa dalam perkembangan ontogenetik manusia, meskipun keduanya kemudian berkembang secara sinergis.

3.4.       Bahasa sebagai Representasi Mental dan Simbolik

Dalam perkembangan linguistik kognitif, bahasa dipandang sebagai sistem representasi simbolik dari pikiran. George Lakoff dan Mark Johnson dalam karyanya Metaphors We Live By menunjukkan bahwa konsep-konsep abstrak manusia sangat dipengaruhi oleh struktur linguistik metaforis yang dipakai dalam keseharian.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa pikiran manusia tidak bebas dari pengaruh bahasa — bahkan konstruksi kognitif yang tampak objektif bisa jadi dibentuk oleh ekspresi linguistik yang digunakan.


Kesimpulan Sementara

Kajian linguistik dan psikolinguistik menunjukkan bahwa berpikir dan berbahasa memiliki relasi yang kompleks. Ada cukup bukti bahwa berpikir dapat mendahului bahasa dalam bentuk nonverbal dan bawaan, namun perkembangan berpikir abstrak dan reflektif sangat dibantu dan difasilitasi oleh keberadaan bahasa. Oleh karena itu, dalam perspektif linguistik modern, pertanyaan tentang "mana yang lebih dulu" tidak selalu relevan secara kronologis, melainkan harus dilihat sebagai interaksi timbal balik yang dinamis antara dua sistem dalam diri manusia.


Footnotes

[1]                Edward Sapir, Selected Writings in Language, Culture, and Personality, ed. David G. Mandelbaum (Berkeley: University of California Press, 1949), 162.

[2]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.

[3]                Keith Chen, “The Effect of Language on Economic Behavior: Evidence from Savings Rates, Health Behaviors, and Retirement Assets,” American Economic Review 103, no. 2 (2013): 690–731.

[4]                John A. Lucy, Language Diversity and Thought: A Reformulation of the Linguistic Relativity Hypothesis (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 38–42.

[5]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5.

[6]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon, 1975), 50.

[7]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 68–70.

[8]                Elizabeth Spelke, “Core Knowledge,” American Psychologist 55, no. 11 (2000): 1233–1243.

[9]                George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–6.


4.           Perspektif Neurosains dan Psikologi Kognitif

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan neurosains kognitif telah memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara berpikir dan berbahasa. Tidak lagi terbatas pada spekulasi filosofis, pertanyaan tentang “mana yang lebih dahulu” kini dapat diselidiki secara empiris melalui pencitraan otak, studi kasus neurologis, dan eksperimen psikologi kognitif. Secara umum, temuan-temuan di bidang ini mengungkap bahwa berpikir dapat terjadi tanpa bahasa, serta memperlihatkan kompleksitas hubungan timbal balik antara kedua sistem ini.

4.1.       Struktur Otak: Bahasa dan Kognisi Tidak Identik

Penelitian neurologis telah mengidentifikasi bahwa area otak yang bertanggung jawab atas bahasa — seperti Broca’s area dan Wernicke’s area — merupakan bagian dari jaringan kortikal yang lebih luas. Namun, banyak proses berpikir — seperti penalaran logis, pemecahan masalah, atau pengambilan keputusan — justru melibatkan area lain seperti korteks prefrontal dorsolateral, korteks parietal, dan korteks orbitofrontal, yang tidak selalu terlibat dalam produksi bahasa

Studi pencitraan otak (fMRI) menunjukkan bahwa seseorang dapat terlibat dalam aktivitas berpikir kompleks tanpa aktivasi signifikan di pusat-pusat bahasa.² Ini berarti bahwa berpikir — dalam banyak kasus — adalah aktivitas mental yang lebih luas daripada sekadar berbahasa.

4.2.       Kasus Afasia: Bukti dari Gangguan Bahasa

Salah satu bukti paling kuat bahwa berpikir bisa berlangsung tanpa bahasa datang dari studi terhadap pasien afasia — yaitu kondisi neurologis di mana seseorang kehilangan atau mengalami gangguan dalam kemampuan berbahasa akibat kerusakan otak. Meski kehilangan kemampuan berbicara atau memahami bahasa, banyak pasien afasia masih mampu berpikir logis, menyelesaikan tugas kognitif, dan memiliki kesadaran diri

Sebagai contoh, dalam studi yang dilakukan oleh Varley et al. (2005), pasien dengan afasia agramatikal berat tetap menunjukkan kemampuan dalam menyelesaikan soal matematika dan logika simbolik yang tidak memerlukan bahasa verbal.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa berpikir logis dan berpikir bahasa dapat berjalan secara independen.

4.3.       Studi pada Bayi dan Hewan: Pikiran Nonverbal

Studi dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa bayi manusia memiliki kapasitas kognitif tertentu bahkan sebelum menguasai bahasa. Elizabeth Spelke dan rekan-rekannya menemukan bahwa bayi berusia beberapa bulan sudah dapat membedakan jumlah objek, mengenali pola, dan memahami konsep sebab-akibat sederhana.⁵ Kemampuan ini terjadi jauh sebelum anak mampu berbicara atau memahami kalimat verbal.

Selain itu, eksperimen dengan hewan seperti simpanse, lumba-lumba, dan burung gagak menunjukkan bahwa makhluk non-linguistik juga dapat menunjukkan perilaku berpikir, seperti menggunakan alat, mengenali diri dalam cermin, dan membuat keputusan berdasarkan ingatan dan prediksi.⁶ Jika bahasa verbal dianggap prasyarat mutlak berpikir, maka kemampuan kognitif hewan semacam ini tidak mungkin terjadi — namun nyatanya, kognisi nonverbal terbukti eksis dan adaptif.

4.4.       Pemikiran Visual, Motorik, dan Emosional

Banyak proses berpikir manusia terjadi secara visual-spasial, seperti dalam perencanaan gerakan, penggambaran mental, atau navigasi ruang. Selain itu, proses berpikir juga melibatkan komponen emosional, seperti intuisi atau penilaian moral, yang tidak selalu melalui saluran verbal. Antonio Damasio menekankan pentingnya “feeling of what happens” — bahwa kesadaran dan pengambilan keputusan berkaitan erat dengan pemrosesan emosional, bukan semata-mata bahasa.⁷

Kondisi seperti aphantasia (ketiadaan imajinasi visual) atau alexithymia (kesulitan mengenali emosi) juga menunjukkan bahwa bentuk berpikir manusia sangat beragam, dan tidak seluruhnya dapat direduksi menjadi bahasa verbal.

4.5.       Bahasa Dalam Pikiran: Inner Speech dan Metakognisi

Meski berpikir dapat terjadi tanpa bahasa, bahasa tetap memainkan peran penting dalam metakognisi — berpikir tentang pikiran sendiri. Inner speech (bicara batin) berperan dalam perencanaan, refleksi diri, dan kontrol emosi. Vygotsky menyatakan bahwa bahasa sosial yang awalnya eksternal kemudian diinternalisasi menjadi alat berpikir dalam diri, memungkinkan manusia untuk menyusun rencana, mengevaluasi tindakan, dan merenungi nilai.⁸

Dengan kata lain, bahasa memperluas kapasitas berpikir melalui kemampuan untuk memformulasikan, mengorganisasi, dan mengaudit pemikiran secara sadar. Namun, ia bukan prasyarat keberadaan pikiran itu sendiri.


Kesimpulan Sementara

Dari perspektif neurosains dan psikologi kognitif, berpikir dan berbahasa adalah dua sistem yang berbeda tetapi saling memengaruhi. Berpikir dapat berlangsung secara nonverbal, sebagaimana dibuktikan oleh studi fMRI, gangguan afasia, dan penelitian pada bayi serta hewan. Namun demikian, bahasa memiliki fungsi penting dalam berpikir tingkat tinggi seperti metakognisi, perencanaan strategis, dan refleksi moral. Oleh karena itu, dalam kerangka ilmiah kontemporer, bahasa bukan asal-usul dari pikiran, tetapi salah satu alat penting dalam pengembangan dan ekspresi pikiran manusia.


Footnotes

[1]                Michael S. Gazzaniga, The Ethical Brain (New York: Dana Press, 2005), 19–21.

[2]                Marcel Adam Just et al., “Cortical Activation and Synchronization During Sentence Comprehension in High-Functioning Autism: Evidence of Underconnectivity,” Brain 127, no. 8 (2004): 1811–1821.

[3]                Brenda Rapp and Matthew Goldrick, “Disorders of Spoken Word Production,” in The Oxford Handbook of Cognitive Neuroscience, vol. 2, eds. Kevin Ochsner and Stephen Kosslyn (Oxford: Oxford University Press, 2014), 185.

[4]                Rosemary Varley et al., “Agrammatic but Numerate,” Proceedings of the National Academy of Sciences 102, no. 9 (2005): 3519–3524.

[5]                Elizabeth Spelke, “Core Knowledge,” American Psychologist 55, no. 11 (2000): 1233–1243.

[6]                Frans de Waal, Are We Smart Enough to Know How Smart Animals Are? (New York: W.W. Norton, 2016), 57–74.

[7]                Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 43–45.

[8]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–59.


5.           Argumen dan Implikasi Teoretis

Pertanyaan mengenai apakah berpikir mendahului bahasa atau sebaliknya bukan sekadar perdebatan konseptual, melainkan memiliki implikasi luas dalam teori pengetahuan, pendidikan, linguistik, dan bahkan pengembangan kecerdasan buatan. Berdasarkan telaah interdisipliner dari filsafat, linguistik, dan neurosains, muncul sejumlah argumen utama yang memperkaya pemahaman kita tentang hakikat kognisi manusia.

5.1.       Bahasa sebagai Alat atau Fondasi Pikiran?

Salah satu argumen sentral dalam diskursus ini adalah apakah bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran yang telah terbentuk, ataukah justru merupakan fondasi pembentuk pikiran itu sendiri. Perspektif rasionalistik seperti yang dikemukakan Descartes dan Chomsky menunjukkan bahwa pikiran bersifat independen dan mendahului bahasa.¹ Dalam kerangka ini, bahasa hanyalah sistem simbol yang digunakan untuk mengeksternalisasi pemikiran.

Sebaliknya, pendekatan seperti yang dikembangkan oleh Wittgenstein, Vygotsky, dan penganut hipotesis relativitas linguistik menunjukkan bahwa bahasa tidak netral, melainkan membentuk cara seseorang memaknai realitas.² Oleh karena itu, dalam konteks ini, bahasa bukan hanya sekadar ekspresi, tetapi bagian esensial dari proses berpikir itu sendiri.

5.2.       Apakah Berpikir Tanpa Bahasa Memungkinkan?

Pertanyaan ini menjadi titik uji penting bagi banyak eksperimen empiris. Seperti yang ditunjukkan oleh studi terhadap pasien afasia dan penelitian perkembangan kognitif bayi, berpikir nonverbal memang memungkinkan, bahkan mungkin mendahului atau berdiri sendiri tanpa keterlibatan bahasa verbal.³ Namun, bentuk-bentuk berpikir semacam itu biasanya bersifat konkret, visual, atau intuitif.

Yang menjadi perhatian adalah bahwa berpikir reflektif, metakognitif, dan logis tampaknya sangat terbantu — bahkan tergantung — pada kemampuan berbahasa. Vygotsky menyebut proses ini sebagai transformasi dari bicara eksternal menjadi bicara internal, di mana bahasa memainkan peran kunci dalam membentuk pikiran tingkat tinggi.⁴ Maka, meskipun berpikir dapat terjadi tanpa bahasa, pengorganisasian pikiran yang kompleks cenderung bergantung pada representasi linguistik.

5.3.       Implikasi untuk Pendidikan dan Pengembangan Intelektual

Dalam ranah pendidikan, perdebatan ini berdampak pada cara kita merancang pendekatan pembelajaran. Jika berpikir dapat dikembangkan secara nonverbal, maka pendekatan multisensori dan pembelajaran berbasis tindakan (learning by doing) menjadi sangat relevan. Namun, jika bahasa menjadi alat utama dalam perkembangan kognisi tinggi, maka penguatan keterampilan berbahasa — membaca, menulis, berbicara — harus menjadi fokus utama dalam pengembangan intelektual.

Sebagai contoh, banyak studi menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam berpikir kritis sangat berkorelasi dengan kapasitas mereka dalam menggunakan dan memahami bahasa akademik.⁵ Oleh karena itu, pendidikan yang mengabaikan pembinaan kebahasaan pada dasarnya melemahkan fondasi berpikir reflektif siswa.

5.4.       Implikasi untuk Studi Kecerdasan Buatan (AI)

Pertanyaan tentang relasi bahasa dan pikiran juga menjadi fundamental dalam pengembangan Artificial Intelligence (AI). Model-model AI yang canggih seperti GPT atau LLM (Large Language Models) telah menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan bahasa yang sangat mirip dengan manusia, namun perdebatan tetap terbuka: apakah mesin yang dapat berbahasa berarti ia dapat berpikir?

John Searle melalui argumen Chinese Room menyatakan bahwa simulasi bahasa tidak sama dengan pemahaman atau pemikiran; sebuah sistem bisa memproses simbol tanpa mengerti maknanya.⁶ Dalam kerangka ini, berpikir tetap dianggap sebagai sesuatu yang lebih dalam dari sekadar manipulasi bahasa. Namun, pendekatan kognitif lainnya berargumen bahwa kemampuan memproses struktur linguistik kompleks dapat dianggap sebagai bentuk pemikiran jika memenuhi kriteria fungsional tertentu.⁷

5.5.       Tantangan terhadap Dikotomi: Relasi Simbiotik

Alih-alih memaksakan dikotomi antara berpikir dan berbahasa, beberapa pemikir kontemporer mengusulkan bahwa keduanya berkembang dalam relasi simbiotik. Misalnya, dalam pendekatan embodied cognition, bahasa dianggap sebagai ekstensi dari tindakan tubuh dan interaksi sosial, yang pada gilirannya membentuk struktur kognitif.⁸ Dengan demikian, berpikir dan berbahasa adalah dua sisi dari proses adaptasi kognitif yang terus berkembang melalui pengalaman, budaya, dan lingkungan.


Kesimpulan Sementara

Argumen-argumen teoretis yang berkembang menunjukkan bahwa berpikir dan berbahasa bukanlah proses yang berdiri sendiri secara mutlak, melainkan dua sistem yang berkembang secara paralel dan saling memperkaya. Berpikir dapat mendahului bahasa dalam bentuk dasar atau nonverbal, tetapi bahasa memainkan peran penting dalam membentuk dan mengarahkan pikiran menuju bentuk-bentuk refleksi dan analisis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, memahami relasi ini sangat penting dalam merancang sistem pendidikan, pengembangan AI, dan pembinaan intelektual secara umum.


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 30–33.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[3]                Rosemary Varley et al., “Agrammatic but Numerate,” Proceedings of the National Academy of Sciences 102, no. 9 (2005): 3519–3524.

[4]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 88–89.

[5]                Olga A. Vasilyeva et al., “The Role of Language in the Development of Reasoning Skills in Children,” Developmental Psychology 52, no. 10 (2016): 1582–1593.

[6]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[7]                Margaret Boden, The Creative Mind: Myths and Mechanisms (London: Routledge, 2004), 231–234.

[8]                George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York: Basic Books, 1999), 76–80.


6.           Pendekatan Kompromi dan Sintesis

Perdebatan klasik mengenai apakah berpikir mendahului bahasa atau sebaliknya telah berlangsung selama berabad-abad, melibatkan para filsuf, linguis, psikolog, dan ilmuwan kognitif. Namun, dalam perkembangan mutakhir, sejumlah pendekatan kompromi dan sintesis telah muncul guna menjembatani dua posisi ekstrem tersebut, yakni posisi mentalisme (yang menempatkan pikiran mendahului bahasa) dan linguistik deterministik (yang menganggap bahasa membentuk pikiran). Pendekatan-pendekatan ini berupaya membangun pemahaman yang lebih integratif, transdisipliner, dan kontekstual.

6.1.       Dualisme Fungsional: Bahasa dan Pikiran sebagai Proses Saling Melengkapi

Salah satu pendekatan kompromi adalah melihat pikiran dan bahasa sebagai dua sistem yang beroperasi secara ko-evolutif dan fungsional, tanpa perlu dikonstruksikan dalam relasi kausal satu arah. Pikiran menyediakan isi atau content, sedangkan bahasa menyediakan struktur atau form. Dalam perspektif ini, bahasa tidak sepenuhnya membentuk pikiran, tetapi mengatur, mengartikulasikan, dan menstabilkannya

Sebagaimana dikemukakan oleh Jerry Fodor, pikiran manusia beroperasi melalui suatu language of thought yang bersifat mentalistik dan pra-verbal (dikenal juga sebagai mentalese), sementara bahasa alami hanya menjadi sarana eksternal untuk menyampaikan struktur pikiran tersebut.² Namun, keberadaan bahasa juga memungkinkan pemikiran menjadi lebih kompleks, tersusun, dan dapat dibagikan secara sosial.

6.2.       Vygotsky dan Teori Interaksional-Konstruktivistik

Lev Vygotsky menawarkan kerangka kompromi yang sangat berpengaruh dalam psikologi perkembangan dan pendidikan. Menurutnya, bahasa awalnya berkembang melalui interaksi sosial (berasal dari luar diri), lalu secara bertahap diinternalisasi menjadi alat berpikir individual.³ Proses ini dikenal sebagai interiorisasi, yang menegaskan bahwa bahasa dan berpikir tidak terpisah, melainkan melalui dialektika perkembangan kognitif dan sosial.

Dengan demikian, berpikir bukan sepenuhnya produk bahasa, tetapi juga tidak lepas dari konstruksi linguistik yang diasimilasi melalui interaksi sosial. Sintesis semacam ini membuka ruang bagi pendekatan yang lebih holistik dalam memahami hubungan antara lingkungan, bahasa, dan pikiran.

6.3.       Hipotesis Relativitas Linguistik yang Diperhalus

Pendekatan sintesis juga tampak dalam versi moderat dari hipotesis Sapir-Whorf atau relativitas linguistik, yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi, tetapi tidak menentukan secara mutlak struktur kognitif.⁴ Artinya, struktur bahasa yang kita gunakan sehari-hari memang dapat membentuk kebiasaan berpikir tertentu, namun bukan berarti membatasi kemampuan kita untuk berpikir di luar bahasa tersebut.

Penelitian kontemporer oleh Lera Boroditsky menunjukkan bahwa penutur bahasa yang berbeda mempersepsi waktu, ruang, dan objek dengan cara berbeda, namun tetap mampu memahami dan mengadopsi sistem berpikir yang lain ketika dilatih atau diberikan konteks yang tepat.⁵ Temuan ini memperkuat pandangan bahwa relasi antara bahasa dan pikiran bersifat fleksibel dan adaptif, bukan deterministik.

6.4.       Embodied Cognition: Menyatukan Tubuh, Pikiran, dan Bahasa

Salah satu pendekatan sintesis yang paling transformatif dalam kognisi modern adalah teori embodied cognition, yang menyatakan bahwa pikiran dan bahasa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, pengalaman sensorimotorik, dan interaksi sosial.⁶ Dalam kerangka ini, pikiran tidak hanya berada di otak atau dalam bahasa, tetapi juga dalam praktik, tindakan, dan persepsi tubuh manusia.

Misalnya, pemahaman terhadap konsep “atas” atau “bawah” tidak hanya dibentuk oleh kata-kata, tetapi juga oleh pengalaman sensoris tubuh dalam ruang.⁷ Oleh karena itu, berpikir dan berbahasa adalah bagian dari sistem yang terletak dalam konteks biologis dan ekologis, dan relasinya bukan linier, melainkan koeksistensial.

6.5.       Perspektif Neurokognitif dan Konektivitas Otak

Temuan dalam bidang neurokognitif juga menunjukkan bahwa berpikir dan berbahasa melibatkan jaringan otak yang tumpang tindih, namun tidak identik. Aktivitas kognitif kompleks (misalnya pengambilan keputusan atau berpikir reflektif) dapat terjadi dalam keadaan pra-linguistik, tetapi keterlibatan bahasa memperluas kapasitas kognitif tersebut.⁸ Studi neuroimaging menunjukkan keterkaitan antara area Broca (yang mengatur bahasa) dan dorsolateral prefrontal cortex (yang berperan dalam pengambilan keputusan dan fungsi eksekutif).⁹

Dari temuan ini, tampak bahwa otak manusia tidak memisahkan secara ketat antara berpikir dan berbahasa, tetapi mengatur keduanya dalam sistem konektivitas yang fleksibel.


Kesimpulan Sementara

Melalui berbagai pendekatan kompromi dan sintesis, semakin jelas bahwa hubungan antara bahasa dan pikiran bukanlah hubungan hierarkis yang sederhana, melainkan hubungan dinamis, timbal balik, dan bergantung pada konteks biologis, sosial, dan kultural. Pendekatan-pendekatan ini menegaskan pentingnya membangun kerangka teoretis yang inklusif dan transdisipliner, untuk menghindari reduksionisme baik dari sisi linguistik maupun kognitif.


Footnotes

[1]                Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates Language (New York: William Morrow, 1994), 56–59.

[2]                Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 27–30.

[3]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 57–74.

[4]                John A. Lucy, “Language Diversity and Thought: A Reformulation of the Linguistic Relativity Hypothesis,” Cambridge Studies in Linguistics 101 (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 8–10.

[5]                Lera Boroditsky, “How Language Shapes Thought,” Scientific American 304, no. 2 (2011): 62–65.

[6]                George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York: Basic Books, 1999), 3–7.

[7]                Raymond W. Gibbs, Embodiment and Cognitive Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 110–113.

[8]                Angela D. Friederici, “The Brain Basis of Language Processing: From Structure to Function,” Physiological Reviews 91, no. 4 (2011): 1357–1392.

[9]                Stanislas Dehaene, Consciousness and the Brain: Deciphering How the Brain Codes Our Thoughts (New York: Viking, 2014), 89–93.


7.           Penutup

Pertanyaan fundamental tentang apakah berpikir mendahului berbahasa atau sebaliknya bukan sekadar dilema akademik, melainkan problem eksistensial yang menyentuh hakikat manusia sebagai makhluk berpikir (homo cogitans) dan makhluk berbahasa (homo loquens). Telaah lintas disiplin dari ranah filsafat, linguistik, hingga sains kognitif menunjukkan bahwa jawaban atas persoalan ini tidak bisa direduksi pada dikotomi sederhana.

Di satu sisi, pendekatan rasionalisme kognitif, seperti yang diwakili Jerry Fodor dengan konsep mentalese, menyatakan bahwa pikiran memiliki bentuk dasar yang independen dari bahasa alami.¹ Di sisi lain, pendekatan relativisme linguistik, seperti yang diajukan oleh Sapir dan Whorf, menekankan bahwa bahasa sangat memengaruhi bahkan membatasi struktur kognitif manusia.² Keduanya memberikan kontribusi penting namun belum memadai untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas hubungan antara pikiran dan bahasa.

Dalam perkembangan mutakhir, pendekatan-pendekatan sintesis telah muncul, seperti teori interaksional Vygotsky yang menempatkan bahasa dan pikiran dalam hubungan dialektis: pikiran membentuk bahasa, tetapi juga dibentuk oleh proses linguistik yang berasal dari lingkungan sosial.³ Embodied cognition menambahkan bahwa baik pikiran maupun bahasa adalah produk dari pengalaman tubuh dalam dunia nyata, menekankan keterkaitan antara sensorimotorik, tindakan, dan representasi simbolik.⁴

Selain itu, bukti-bukti dari neurosains menegaskan bahwa area otak yang terlibat dalam bahasa dan berpikir memiliki keterkaitan fungsional yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan secara tegas. Aktivitas berpikir tinggi dapat terjadi tanpa bahasa, namun bahasa memungkinkan ekspresi, refleksi, dan manipulasi abstraksi dengan cara yang lebih sistematis.⁵

Dengan demikian, alih-alih menempatkan berpikir dan berbahasa dalam urutan kronologis yang kaku, pendekatan yang lebih tepat adalah memahami keduanya dalam relasi ko-evolutif dan ko-konstitutif. Bahasa dan pikiran tidak hanya saling mempengaruhi, tetapi juga saling membentuk secara dinamis seiring perkembangan individu dan peradaban manusia. Pemahaman semacam ini memungkinkan kita untuk menghindari bias reduksionistik sekaligus mengakui keragaman jalur epistemologis manusia dalam membangun makna.

Secara praktis, implikasi dari sintesis ini mencakup pengembangan pendidikan, terapi bahasa, kecerdasan buatan, dan bahkan filsafat eksistensial manusia. Bagi dunia pendidikan, kesadaran akan keterkaitan berpikir dan bahasa dapat mendorong strategi pembelajaran yang memperkuat refleksi metakognitif dan ekspresi linguistik secara simultan. Bagi studi filsafat, pertanyaan ini tetap terbuka sebagai pengingat akan kompleksitas kodrat manusia yang tak bisa dipisahkan dari kata dan makna.


Footnotes

[1]                Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 27–30.

[2]                Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed. John B. Carroll (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134–159.

[3]                Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 94–118.

[4]                George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York: Basic Books, 1999), 3–7.

[5]                Angela D. Friederici, “The Brain Basis of Language Processing: From Structure to Function,” Physiological Reviews 91, no. 4 (2011): 1357–1392.


Daftar Pustaka

Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.

Friederici, A. D. (2011). The brain basis of language processing: From structure to function. Physiological Reviews, 91(4), 1357–1392. https://doi.org/10.1152/physrev.00006.2011

Lakoff, G., & Johnson, M. (1999). Philosophy in the flesh: The embodied mind and its challenge to Western thought. Basic Books.

Vygotsky, L. S. (1986). Thought and language (A. Kozulin, Trans.). MIT Press. (Original work published 1934)

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings of Benjamin Lee Whorf (J. B. Carroll, Ed.). MIT Press.

Pinker, S. (1994). The language instinct: How the mind creates language. William Morrow.

Chomsky, N. (2006). Language and mind (3rd ed.). Cambridge University Press.

Saussure, F. de. (2011). Course in general linguistics (W. Baskin, Trans.; P. Meisel & H. Saussy, Eds.). Columbia University Press. (Original work published 1916)

Tomasello, M. (2008). Origins of human communication. MIT Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Company.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar