Senin, 01 Desember 2025

Tindakan Tuturan (Speech Acts): Antara Makna, Niat, dan Konteks

Tindakan Tuturan (Speech Acts)

Antara Makna, Niat, dan Konteks


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori tindakan tuturan (speech act theory) dalam kerangka filsafat bahasa, dengan menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya serta relevansi humanistiknya di era kontemporer. Berawal dari pemikiran J. L. Austin dan John R. Searle, teori ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya instrumen representasi realitas, melainkan juga sarana tindakan yang menciptakan realitas sosial. Melalui konsep tindakan lokusi, ilokusi, dan perlokusi, ujaran dipahami sebagai aktivitas performatif yang mengandung niat (intention), kekuatan sosial (illocutionary force), dan akibat pragmatik.

Pembahasan ontologis menegaskan bahwa ujaran memiliki dimensi tindakan yang membentuk tatanan sosial dan institusional. Sementara aspek epistemologis menunjukkan bahwa makna tuturan tidak dapat dilepaskan dari niat pembicara, konteks sosial, serta pengetahuan bersama antara subjek komunikasi. Dari segi aksiologis, tindakan tuturan mengandung nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas, menjadikannya landasan bagi etika komunikasi dan kehidupan sosial.

Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap teori klasik, termasuk dari Jacques Derrida yang menyoroti sifat iterability ujaran, Judith Butler yang menafsirkan performativitas dalam konteks politik bahasa dan identitas, serta Jürgen Habermas yang mengembangkan konsep tindakan komunikatif berbasis rasionalitas dialogis. Dalam konteks kontemporer, teori ini tetap relevan untuk memahami fenomena komunikasi digital, ujaran kebencian, dan interaksi manusia–AI, sekaligus membuka jalan menuju filsafat bahasa humanistik—yakni pandangan yang menempatkan bahasa sebagai ruang moral, sosial, dan eksistensial tempat manusia saling mengakui dan membangun dunia bersama.

Kata Kunci: Filsafat bahasa, tindakan tuturan, makna, niat, konteks, etika komunikasi, performativitas, humanisme, rasionalitas komunikatif, intersubjektivitas.


PEMBAHASAN

Tindakan Tuturan (Speech Acts) dalam Filsafat Bahasa


1.           Pendahuluan

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi, melainkan juga sebagai sarana untuk bertindak di dunia. Ketika seseorang mengucapkan kalimat seperti “Saya berjanji akan datang besok”, ia tidak sekadar menyampaikan proposisi, melainkan melakukan suatu tindakan — yakni berjanji. Inilah inti dari filsafat tindakan tuturan (speech act philosophy), sebuah pendekatan yang merevolusi cara kita memahami bahasa dan makna. John L. Austin dalam kuliahnya yang termasyhur, How to Do Things with Words (1962), menegaskan bahwa berbicara adalah suatu bentuk tindakan, bukan hanya deskripsi dunia, melainkan intervensi di dalamnya.¹

Lahirnya teori tindakan tuturan merupakan reaksi terhadap pandangan sempit dalam filsafat analitik awal yang menganggap bahasa semata sebagai representasi logis dari realitas.² Positivisme logis, misalnya, menilai bahwa makna kalimat tergantung pada kemampuannya diverifikasi secara empiris.³ Namun, Austin dan para penerusnya seperti John R. Searle menolak reduksi semacam itu. Mereka berpendapat bahwa banyak bentuk ujaran—seperti janji, perintah, permintaan, atau deklarasi—tidak dapat diukur dengan kriteria benar atau salah, melainkan harus dipahami dari fungsi tindakannya.⁴ Dengan demikian, speech acts membuka jalan bagi analisis pragmatis terhadap bahasa, yang menekankan penggunaan (use) daripada struktur semata.⁵

Lebih jauh lagi, teori ini memunculkan pertanyaan filosofis mendalam: bagaimana ujaran dapat melakukan sesuatu? Apa yang membuat kata-kata mampu mengubah status sosial, menciptakan kewajiban moral, atau bahkan menimbulkan akibat hukum? Misalnya, ketika seorang pejabat berkata, “Dengan ini saya nyatakan pernikahan kalian sah,” ucapan itu menciptakan realitas baru melalui otoritas dan konvensi sosial.⁶ Fenomena inilah yang menunjukkan bahwa makna tidak dapat dilepaskan dari niat pembicara (intention) dan konteks sosial tempat ujaran itu diucapkan.⁷

Dalam konteks yang lebih luas, teori tindakan tuturan mengandung implikasi bagi etika komunikasi, politik bahasa, serta kajian budaya. Ujaran bukan hanya sarana penyampaian pesan, tetapi juga instrumen kekuasaan, identitas, dan tanggung jawab sosial.⁸ Oleh karena itu, memahami tindakan tuturan berarti memahami hakikat interaksi manusia sebagai makhluk komunikatif yang membentuk dan dibentuk oleh bahasa.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara komprehensif hakikat tindakan tuturan dalam perspektif filsafat bahasa. Pembahasan akan mencakup dasar historis dan genealogis kemunculan teori ini, analisis ontologis dan epistemologis tentang makna dan niat dalam ujaran, dimensi aksiologis dan sosial dari komunikasi verbal, serta kritik dan relevansi kontemporernya. Akhirnya, melalui pendekatan humanistik, tulisan ini berupaya menafsirkan tindakan tuturan tidak semata sebagai struktur linguistik, tetapi sebagai ekspresi moral dan eksistensial manusia yang hidup dalam dialog.


Footnotes

[1]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[2]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (London: Duckworth, 1973), 10–12.

[3]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 33.

[4]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.

[5]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[6]                Austin, How to Do Things with Words, 45–46.

[7]                Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 87–91.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Teori tindakan tuturan (speech act theory) tidak lahir secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari perkembangan panjang dalam filsafat bahasa abad ke-20. Akar genealogisnya dapat ditelusuri melalui pergulatan antara dua arus besar dalam filsafat analitik: positivisme logis dan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy). Kedua tradisi ini memiliki tujuan yang sama—memahami makna dan fungsi bahasa—namun berangkat dari paradigma yang berbeda.

Pada paruh pertama abad ke-20, aliran positivisme logis yang dipelopori oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) mendominasi filsafat bahasa. Tokoh-tokohnya seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan A. J. Ayer menekankan bahwa makna suatu pernyataan bergantung pada kemungkinannya untuk diverifikasi secara empiris.¹ Pandangan ini menegaskan kriteria verifiabilitas sebagai syarat makna: hanya proposisi yang dapat diuji secara ilmiah yang bermakna, sedangkan pernyataan metafisis, etis, atau religius dianggap nonsens.² Dengan demikian, fungsi bahasa direduksi menjadi sekadar alat untuk menyatakan fakta tentang dunia.

Namun, pendekatan tersebut segera dikritik oleh Ludwig Wittgenstein dalam karyanya Philosophical Investigations (1953), yang menandai peralihan dari “Wittgenstein muda” (positivistik) ke “Wittgenstein tua” (pragmatis).³ Ia menolak gagasan bahwa bahasa memiliki struktur logis tunggal yang mencerminkan realitas. Sebaliknya, Wittgenstein memperkenalkan konsep language-games—bahasa sebagai permainan sosial dengan aturan-aturan yang bervariasi sesuai konteks penggunaannya.⁴ Dalam kerangka ini, makna tidak lagi dipandang sebagai korespondensi antara kata dan benda, melainkan sebagai hasil dari praktik sosial dan kebiasaan berbahasa (forms of life).⁵ Pemikiran inilah yang membuka jalan bagi pemahaman bahwa berbicara adalah melakukan sesuatu dalam konteks sosial tertentu.

Gagasan Wittgenstein tentang penggunaan bahasa secara fungsional kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh J. L. Austin, filsuf dari Universitas Oxford, melalui serangkaian kuliahnya yang diterbitkan pasca kematiannya dengan judul How to Do Things with Words (1962).⁶ Austin menolak pemisahan tajam antara pernyataan (statements) yang “deskriptif” dan ujaran yang “performatif”. Menurutnya, ketika seseorang berkata “Saya berjanji”, “Saya menamai kapal ini…”, atau “Saya menyatakan pernikahan ini sah”, ujaran tersebut bukanlah deskripsi fakta, tetapi tindakan yang menciptakan atau mengubah realitas sosial.⁷ Di sinilah lahir ide kunci: to say something is to do something.

Austin membedakan tiga lapisan tindakan dalam setiap ujaran: (1) tindakan lokusi (locutionary act) yakni tindakan mengucapkan sesuatu, (2) tindakan ilokusi (illocutionary act) yakni tindakan yang dilakukan dalam mengucapkan sesuatu (misalnya berjanji, memerintah, bertanya), dan (3) tindakan perlokusi (perlocutionary act) yakni dampak yang dihasilkan oleh ujaran terhadap pendengar (seperti meyakinkan, menakut-nakuti, atau menghibur).⁸ Pembagian ini kemudian menjadi fondasi bagi teori pragmatik modern.

Pemikiran Austin dikembangkan lebih lanjut oleh John R. Searle, yang memperkuat dimensi sistematis dan logis teori tersebut. Dalam Speech Acts (1969), Searle mengklasifikasikan tindakan tuturan menjadi lima kategori utama: assertives, directives, commissives, expressives, dan declarations.⁹ Ia juga menegaskan bahwa makna ujaran tidak dapat dilepaskan dari niat pembicara (speaker’s intention) dan aturan konstitutif (constitutive rules) yang menentukan kapan suatu tindakan tuturan sah atau tidak.¹⁰ Dengan demikian, bahasa tidak hanya tunduk pada tata bahasa (syntax), tetapi juga pada norma sosial dan institusional.

Dalam konteks yang lebih luas, genealoginya juga terkait dengan perkembangan pragmatisme Amerika, terutama pemikiran Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, yang menekankan hubungan antara makna, tindakan, dan konsekuensi.¹¹ Tradisi ini memperkaya filsafat bahasa dengan dimensi praksis, menggeser fokus dari struktur ke fungsi, dari makna ideal ke makna yang hidup dalam tindakan.

Dengan demikian, teori tindakan tuturan merupakan hasil sintesis dari beberapa arus intelektual: logika analitik, kritik terhadap positivisme, dan pragmatisme sosial. Ia menandai pergeseran paradigma dalam filsafat bahasa—dari representational turn menuju pragmatic turn—yang menempatkan bahasa sebagai kegiatan sosial yang aktif, dinamis, dan sarat makna.¹²


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–34.

[2]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Chicago: Open Court, 2003 [1928]), 47–52.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§65–67.

[4]                Ibid., §23.

[5]                Ibid., §241.

[6]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 1–3.

[7]                Ibid., 5–6.

[8]                Ibid., 108–109.

[9]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–23.

[10]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 35–38.

[11]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 162–165.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 70–75.


3.           Ontologi Tindakan Tuturan

Ontologi tindakan tuturan berangkat dari pertanyaan mendasar: apa hakikat tindakan tuturan itu sendiri? Apakah ujaran hanyalah rangkaian simbol linguistik, ataukah ia merupakan bentuk tindakan yang secara ontologis memiliki eksistensi dalam dunia sosial? Dalam konteks ini, teori tindakan tuturan (speech act theory) memperluas batas ontologi bahasa dengan menempatkan ujaran bukan semata sebagai representasi dunia, melainkan sebagai peristiwa tindakan yang menciptakan efek dan realitas baru.¹

3.1.       Ujaran sebagai Tindakan: “To Say Is to Do

J. L. Austin menolak pandangan klasik yang menganggap kalimat hanyalah sarana untuk menyatakan proposisi yang benar atau salah. Dalam kuliah-kuliahnya yang dikumpulkan dalam How to Do Things with Words, ia menegaskan bahwa banyak ujaran dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat diuji kebenarannya, tetapi justru melakukan sesuatu.² Ketika seseorang berkata “Saya berjanji akan datang” atau “Saya menamai kapal ini Queen Elizabeth”, ujaran tersebut bukanlah deskripsi, melainkan tindakan performatif—ia menjadi tindakan itu sendiri.³

Dengan demikian, ujaran tidak semata “menggambarkan dunia”, tetapi mengubahnya. Austin menyebut bahwa melalui bahasa, manusia dapat membuat realitas sosial menjadi ada, baik itu dalam bentuk janji, perintah, maupun deklarasi hukum.⁴ Dalam pengertian ini, bahasa memiliki status ontologis yang sejajar dengan tindakan fisik: ia adalah bentuk tindakan simbolik yang sahih dan efektif di dunia sosial.

3.2.       Struktur Ontologis: Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Austin membedakan tiga lapisan ontologis dalam setiap tindak tutur:

(1)               Tindakan lokusi (locutionary act)—yakni tindakan mengucapkan sesuatu dengan makna tertentu;

(2)               Tindakan ilokusi (illocutionary act)—yakni tindakan yang dilakukan melalui pengucapan tersebut (seperti berjanji, bertanya, atau memerintah); dan

(3)               Tindakan perlokusi (perlocutionary act)—yakni efek atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh ujaran itu terhadap pendengar (misalnya meyakinkan, menakut-nakuti, atau menghibur).⁵

Klasifikasi ini mengungkap dimensi ontologis tindakan tuturan sebagai proses berlapis, di mana bahasa, niat, dan akibat saling berjalin. Tindakan tuturan bukanlah sekadar peristiwa linguistik, tetapi juga realitas tindakan yang memiliki efek kausal dan sosial.⁶

3.3.       Ilokusi dan Kekuatan Tindakan

Dalam konteks ilokusi, Austin memperkenalkan gagasan tentang illocutionary force—daya tindakan yang melekat pada suatu ujaran.⁷ Daya ini menentukan apa yang sedang dilakukan ketika seseorang berbicara: apakah ia sedang berjanji, menyatakan, memerintah, atau mengumumkan sesuatu. John R. Searle kemudian menyempurnakan ide ini dengan mengembangkan lima kategori utama tindakan ilokusi: assertives, directives, commissives, expressives, dan declarations.⁸ Setiap kategori menunjukkan dimensi ontologis yang berbeda dari bahasa sebagai tindakan. Misalnya, ketika seseorang berkata “Saya berjanji,” tindakan tersebut menciptakan kewajiban moral baru yang tidak ada sebelumnya—suatu bentuk penciptaan realitas normatif melalui ujaran.⁹

Searle juga menekankan bahwa tindakan tuturan tunduk pada apa yang disebutnya sebagai aturan konstitutif (constitutive rules), yaitu aturan yang menciptakan kemungkinan tindakan itu sendiri.¹⁰ Aturan semacam ini tidak hanya mengatur perilaku (seperti aturan regulatif), tetapi justru membentuk praktik sosial tertentu. Contohnya, pernyataan “Saya menjatuhkan hukuman” hanya sah jika diucapkan oleh seseorang dengan otoritas hukum tertentu dalam konteks yang tepat.¹¹ Dengan demikian, ontologi tindakan tuturan tidak dapat dilepaskan dari konteks institusional dan sosial yang memberinya makna dan validitas.

3.4.       Bahasa, Intensi, dan Realitas Sosial

Hakikat tindakan tuturan juga berkaitan erat dengan intensi pembicara (speaker’s intention).¹² Makna tindakan tuturan tidak hanya bergantung pada bentuk linguistik, tetapi pada niat yang mendasarinya. Dengan kata lain, ujaran memperoleh eksistensinya melalui tindakan mental yang terarah kepada orang lain.¹³ Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia, melainkan menjadi sarana intersubjektif untuk menciptakan dunia sosial yang baru.

Selain itu, dimensi ontologis tindakan tuturan mencakup hubungan erat antara bahasa dan realitas sosial. Setiap ujaran yang sah berakar pada aturan sosial yang diakui secara kolektif.¹⁴ Oleh sebab itu, tindakan tuturan bukanlah tindakan individu yang solipsistik, melainkan tindakan sosial yang eksistensinya ditentukan oleh pengakuan dan penerimaan bersama.¹⁵ Dengan kata lain, to speak berarti to act together dalam horizon sosial tertentu.


Kesimpulan Ontologis

Dari perspektif ontologis, tindakan tuturan memperlihatkan bahwa bahasa adalah modus tindakan yang khas manusia. Ia berada di persimpangan antara intensi, konvensi, dan konteks. Bahasa bukan entitas pasif, melainkan aktivitas eksistensial yang secara performatif membentuk realitas sosial.¹⁶ Melalui teori ini, filsafat bahasa menegaskan kembali bahwa berbicara adalah bertindak—dan melalui tindakan berbahasa, manusia terus mencipta, menegaskan, dan menata dunianya.


Footnotes

[1]                Barry Smith, “Towards a History of Speech Act Theory,” in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the Philosophy of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter, 1990), 29–30.

[2]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[3]                Ibid., 12–13.

[4]                Ibid., 45–47.

[5]                Ibid., 108–109.

[6]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 25–27.

[7]                Austin, How to Do Things with Words, 99–100.

[8]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.

[9]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 30–31.

[10]             Ibid., 33–35.

[11]             Searle, Speech Acts, 54–56.

[12]             Paul Grice, “Utterer’s Meaning and Intention,” Philosophical Review 78, no. 2 (1969): 147–177.

[13]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 11–14.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 82–85.

[15]             Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 67–69.

[16]             Austin, How to Do Things with Words, 147.


4.           Epistemologi Tindakan Tuturan

Epistemologi tindakan tuturan berupaya menjawab pertanyaan: bagaimana kita mengetahui makna, maksud, dan kebenaran dari suatu tindakan berbahasa? Jika ontologi tindakan tuturan menyoroti hakikat ujaran sebagai tindakan yang menciptakan realitas sosial, maka epistemologi berfokus pada cara memahami dan menafsirkan makna ujaran itu sendiri—yakni hubungan antara intensi pembicara (speaker’s intention), konvensi linguistik, dan konteks situasional.¹

4.1.       Dari Makna Literal ke Makna Pragmatik

Dalam tradisi filsafat bahasa awal, makna sering dipahami sebagai hubungan antara tanda dan objek, sebagaimana dirumuskan oleh pendekatan semantik referensial.² Namun, teori tindakan tuturan menggeser perhatian dari makna literal ke makna pragmatik. Menurut J. L. Austin, memahami ujaran bukan hanya menafsirkan arti katanya, tetapi juga mengetahui apa yang dilakukan pembicara dengan kata-kata itu.³

Dengan demikian, pemahaman atas tindakan tuturan menuntut pengetahuan tentang ilokusi—yakni maksud tindakan yang terkandung di balik ujaran.⁴ Misalnya, ketika seseorang berkata “Di sini panas sekali,” kalimat itu mungkin bukan sekadar pernyataan fakta, tetapi bisa juga merupakan permintaan implisit untuk membuka jendela. Dalam hal ini, pendengar harus menafsirkan maksud tersebut melalui inferensi pragmatik, bukan melalui makna literal.⁵

4.2.       Intensi Pembicara dan Inferensi Pendengar

John R. Searle menegaskan bahwa pemahaman terhadap ujaran bergantung pada pengenalan terhadap intensi pembicara (speaker’s meaning).⁶ Artinya, pengetahuan tentang makna tidak bersifat mekanis, tetapi inferensial. Pendengar menafsirkan ujaran dengan mempertimbangkan apa yang dimaksudkan pembicara melalui konvensi sosial yang berlaku.⁷

Pandangan ini mengingatkan pada teori meaning milik Paul Grice, yang membedakan antara natural meaning (“A berarti B secara kausal”) dan non-natural meaning (“A berarti B karena pembicara bermaksud agar pendengar memahami sesuatu”).⁸ Bagi Grice, komunikasi yang bermakna terjadi ketika pembicara berniat agar pendengar mengenali niat tersebut, dan pendengar benar-benar mengenalinya.⁹ Proses ini bersifat epistemik karena mengandaikan pengetahuan timbal balik antara pembicara dan pendengar dalam suatu konteks bersama (shared background).¹⁰

4.3.       Konteks sebagai Kondisi Pengetahuan Pragmatik

Epistemologi tindakan tuturan juga tidak dapat dilepaskan dari konteks—baik konteks situasional, sosial, maupun budaya. Konteks berfungsi sebagai kondisi pengetahuan yang memungkinkan seseorang memahami maksud ujaran secara benar.¹¹ Tanpa konteks, tindakan tuturan kehilangan kekuatannya karena makna ilokusi tidak dapat diidentifikasi.

Searle menjelaskan bahwa setiap tindakan tuturan memiliki kondisi kesiapan (preparatory conditions), kondisi ketulusan (sincerity conditions), dan kondisi esensial (essential conditions) yang semuanya ditentukan oleh konteks sosial.¹² Sebagai contoh, janji hanya bermakna jika pembicara memiliki kemampuan dan niat untuk menepatinya, dan pendengar menganggap ujaran itu sah dalam situasi yang relevan.¹³ Oleh karena itu, memahami tindakan tuturan berarti memahami struktur epistemik yang tertanam dalam praktik sosial dan norma komunikasi.¹⁴

4.4.       Kebenaran, Keberhasilan, dan Validitas Ujaran

Dalam ranah epistemologi, tindakan tuturan tidak dinilai berdasarkan kriteria benar-salah seperti proposisi, melainkan berdasarkan kriteria berhasil-gagal (felicity conditions).¹⁵ Sebuah tindakan tuturan dinilai berhasil jika semua kondisi sosial dan psikologis yang menyertainya terpenuhi. Misalnya, perintah dianggap berhasil jika pendengar memahami dan bersedia melaksanakannya; janji dianggap berhasil jika pembicara sungguh-sungguh bermaksud menepatinya.¹⁶

Jürgen Habermas memperluas kerangka epistemik ini melalui teori tindakan komunikatif. Ia menegaskan bahwa setiap ujaran mengandung klaim validitas yang dapat diuji melalui rasionalitas intersubjektif: klaim kebenaran (truth), ketulusan (sincerity), dan ketepatan normatif (rightness).¹⁷ Dengan demikian, pengetahuan dalam tindakan tuturan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga etis dan sosial.

4.5.       Epistemologi Interpersonal: Makna sebagai Pengakuan Timbal Balik

Tindakan tuturan pada akhirnya berakar pada relasi epistemik antara subjek yang berbicara dan mendengar. Pemahaman makna tidak terjadi secara soliter, melainkan dalam konteks pengakuan timbal balik.¹⁸ Dengan mengenali intensi orang lain, seseorang sekaligus mengakui eksistensi dan otonominya sebagai subjek komunikatif.¹⁹ Dalam hal ini, epistemologi tindakan tuturan menunjukkan dimensi dialogis dari pengetahuan: mengetahui berarti berpartisipasi dalam dunia bersama yang diciptakan oleh bahasa.²⁰


Footnotes

[1]                Barry Smith, “Towards a History of Speech Act Theory,” in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the Philosophy of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter, 1990), 31–33.

[2]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[3]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 5–6.

[4]                Ibid., 108–109.

[5]                Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 25–28.

[6]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[7]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 12–13.

[8]                Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[9]                Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 91–93.

[10]             Searle, Intentionality, 25–27.

[11]             Charles W. Morris, Signs, Language, and Behavior (New York: Prentice-Hall, 1946), 77–80.

[12]             Searle, Speech Acts, 57–61.

[13]             John R. Searle and Daniel Vanderveken, Foundations of Illocutionary Logic (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 13–15.

[14]             Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.

[15]             Austin, How to Do Things with Words, 14–15.

[16]             Ibid., 44–45.

[17]             Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 22–24.

[18]             Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 69–71.

[19]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition (Cambridge: Polity Press, 1995), 110–113.

[20]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 383–386.


5.           Aksiologi: Nilai dan Fungsi Komunikatif

Jika ontologi tindakan tuturan membahas hakikat ujaran sebagai tindakan yang menciptakan realitas sosial, maka dimensi aksiologinya menyoroti nilai dan fungsi etis dari tindakan berbahasa dalam kehidupan manusia. Bahasa bukan hanya alat representasi pengetahuan, tetapi juga medium tanggung jawab moral, relasi sosial, dan pembentukan nilai.¹ Melalui tindakan tuturan, manusia tidak sekadar bertukar informasi, melainkan mengikat diri dalam janji, menegaskan otoritas, atau mengafirmasi keberadaan orang lain. Dengan demikian, tindakan tuturan memiliki makna aksiologis yang mendalam: ia menubuh dalam ruang etika dan intersubjektivitas.

5.1.       Dimensi Etis dalam Berbahasa

Dalam setiap tindakan tuturan, terkandung nilai moral berupa kejujuran, ketulusan, dan tanggung jawab komunikatif.² Austin menegaskan bahwa ujaran hanya “berhasil” (felicitous) bila diucapkan dengan niat yang tulus dan dalam situasi yang sesuai.³ Misalnya, janji yang diucapkan tanpa kesungguhan bukan hanya gagal secara performatif, tetapi juga merupakan pelanggaran etika komunikasi.⁴

John R. Searle melanjutkan gagasan ini dengan menekankan adanya sincerity condition sebagai prasyarat tindakan tuturan yang sah.⁵ Artinya, tindakan berbahasa memiliki nilai intrinsik berupa komitmen moral terhadap makna yang diucapkan. Dalam konteks ini, bahasa bukan instrumen netral, melainkan ekspresi niat baik (good will) pembicara terhadap pendengar.⁶ Dengan kata lain, berbicara adalah tindakan yang menuntut integritas moral.

5.2.       Fungsi Sosial Tindakan Tuturan

Tindakan tuturan juga berfungsi sebagai mekanisme pembentuk ikatan sosial. Ketika seseorang berjanji, memberi perintah, atau mengucapkan selamat, ia sedang menciptakan relasi sosial yang baru.⁷ Dengan demikian, tindakan tuturan menjadi sarana pembentukan we-intentions—yakni kesadaran kolektif bahwa suatu tindakan dilakukan bersama dan untuk bersama.⁸

Menurut Jürgen Habermas, bahasa adalah medium rasionalitas komunikatif yang mengandaikan saling pengakuan dan saling pengertian.⁹ Melalui tindakan ilokusi seperti berjanji atau menyetujui, subjek berpartisipasi dalam tatanan sosial yang didasarkan pada kesepakatan dan kepercayaan.¹⁰ Dengan demikian, nilai utama tindakan tuturan terletak pada kemampuannya menegakkan komunikasi yang berbasis konsensus, bukan dominasi.¹¹

5.3.       Bahasa sebagai Tanggung Jawab Sosial

Aksiologi tindakan tuturan juga berkaitan dengan tanggung jawab sosial. Dalam ruang publik, ujaran dapat memperkuat atau menghancurkan kepercayaan kolektif.¹² Setiap ujaran publik—seperti pernyataan pejabat, deklarasi politik, atau pernyataan hukum—memiliki konsekuensi normatif dan etis yang nyata.¹³ Oleh karena itu, tindakan tuturan tidak boleh dipandang sekadar sebagai sarana ekspresi personal, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap keutuhan komunikasi.¹⁴

Judith Butler dalam Excitable Speech menunjukkan bahwa ujaran dapat bersifat produktif sekaligus destruktif: ia dapat mencipta subjek, tetapi juga melukai dan menindas.¹⁵ Dengan demikian, nilai tindakan tuturan tidak hanya ditentukan oleh niat pembicara, tetapi juga oleh dampaknya terhadap martabat dan hak orang lain.¹⁶ Dalam kerangka ini, ujaran mengandung dimensi etika performatif yang menuntut kepekaan terhadap relasi kuasa dan kerentanan manusia.¹⁷

5.4.       Fungsi Komunikatif dan Nilai Humanistik

Pada tingkat yang lebih fundamental, tindakan tuturan memiliki fungsi humanistik: ia memungkinkan manusia bertemu dalam ruang komunikasi yang saling mengakui.¹⁸ Habermas menafsirkan komunikasi yang ideal sebagai kondisi di mana setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, mendengar, dan menanggapi tanpa paksaan.¹⁹ Tindakan tuturan yang etis, dengan demikian, berfungsi untuk membangun komunitas wicara (speech community) yang berlandaskan pada kejujuran dan empati.

Dalam konteks ini, nilai tertinggi dari tindakan tuturan bukan hanya keberhasilan komunikatif, melainkan terciptanya pemahaman intersubjektif—suatu bentuk kebenaran yang lahir dari dialog.²⁰ Bahasa menjadi jembatan moral yang menghubungkan manusia sebagai makhluk rasional sekaligus etis.²¹


Kesimpulan Aksiologis

Secara aksiologis, tindakan tuturan mengandung nilai ganda: nilai instrumental sebagai sarana komunikasi dan nilai intrinsik sebagai perwujudan tanggung jawab moral dan sosial.²² Melalui ujaran, manusia tidak hanya berbicara tentang dunia, tetapi juga menegakkan dunia bersama—dunia yang diikat oleh janji, kepercayaan, dan solidaritas.²³ Maka, tindakan tuturan adalah fondasi etika komunikasi humanistik, di mana makna dan nilai saling menyatu dalam praktik hidup bersama.²⁴


Footnotes

[1]                Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 5–7.

[2]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 14–16.

[3]                Ibid., 15–17.

[4]                Ibid., 44–45.

[5]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 57–59.

[6]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 42–44.

[7]                Austin, How to Do Things with Words, 108–110.

[8]                Tuomela, The Philosophy of Social Practices, 70–72.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[10]             Ibid., 91–93.

[11]             Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.

[12]             John R. Searle, Making the Social World: The Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010), 96–98.

[13]             Ibid., 102–103.

[14]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 95–97.

[15]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.

[16]             Ibid., 25–28.

[17]             Ibid., 42–44.

[18]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 385–387.

[19]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, 49–50.

[20]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 155–158.

[21]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 66–68.

[22]             Searle, Expression and Meaning, 58–60.

[23]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 99–100.

[24]             Austin, How to Do Things with Words, 147–148.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural

Tindakan tuturan tidak hanya beroperasi di ranah linguistik dan psikologis, tetapi juga berakar dalam struktur sosial, politik, dan kultural tempat bahasa digunakan. Dalam kerangka ini, setiap ujaran tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, norma, dan praktik sosial yang melegitimasinya. Bahasa bukan sistem netral; ia adalah arena di mana makna dinegosiasikan, identitas dibentuk, dan relasi kekuasaan dijalankan.¹

6.1.       Bahasa sebagai Praktik Sosial

Sejak Wittgenstein memperkenalkan konsep language-games, bahasa dipahami sebagai bagian dari praktik sosial yang kompleks.² Makna ujaran tidak terletak pada struktur internalnya, melainkan pada penggunaannya dalam konteks sosial tertentu.³ Ketika seseorang berjanji, memerintah, atau mengkritik, ia sedang melakukan tindakan yang diatur oleh norma sosial dan ekspektasi kultural. Dengan demikian, tindakan tuturan adalah praktik sosial performatif—ia membentuk tatanan interaksi yang diakui dan direproduksi oleh komunitas bahasa.⁴

John R. Searle kemudian memperluas konsep ini dengan menunjukkan bahwa tindakan tuturan berperan dalam pembentukan institusi sosial.⁵ Melalui apa yang disebutnya sebagai status function declarations, manusia menciptakan realitas sosial—seperti uang, perkawinan, atau hukum—melalui ujaran yang diakui secara kolektif.⁶ Pernyataan “Saya nyatakan Anda suami dan istri” bukan sekadar kalimat, tetapi tindakan institusional yang menegaskan tatanan sosial.⁷ Dengan kata lain, tindakan tuturan adalah mekanisme dasar pembentukan realitas intersubjektif yang memungkinkan kehidupan bersama.

6.2.       Kekuasaan dan Politik Bahasa

Dalam dimensi politik, bahasa menjadi sarana produksi dan reproduksi kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa ujaran (discourse) selalu terkait dengan rezim pengetahuan dan kekuasaan yang menentukan siapa yang boleh berbicara, apa yang dapat dikatakan, dan dalam konteks apa sesuatu menjadi sah untuk diucapkan.⁸ Melalui kontrol terhadap ujaran, masyarakat mengatur struktur legitimasi dan otoritas. Pernyataan seorang pejabat negara, misalnya, memiliki kekuatan performatif yang berbeda dibandingkan ujaran warga biasa karena didukung oleh struktur kekuasaan institusional.⁹

Judith Butler kemudian mengembangkan konsep ini dalam konteks teori gender dan politik bahasa. Dalam karyanya Excitable Speech, Butler menegaskan bahwa ujaran bukan hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga memproduksi subjek dan identitas.¹⁰ Ia memperkenalkan gagasan tentang performativity—yakni bahwa identitas sosial, termasuk gender, dibentuk melalui pengulangan tindakan tutur yang diatur secara normatif.¹¹ Dengan demikian, ujaran berfungsi sebagai mekanisme politik yang membentuk tubuh sosial dan menentukan siapa yang diakui atau disingkirkan dalam tatanan budaya.¹²

6.3.       Dimensi Kultural dan Interkultural

Setiap tindakan tuturan juga mengandung nilai-nilai budaya yang melekat pada konteksnya. Clifford Geertz menekankan bahwa bahasa adalah sistem simbolik yang mengandung “makna-makna kultural yang terperangkap dalam jaring interpretasi manusia.”¹³ Dalam masyarakat yang berbeda, bentuk tindak tutur—seperti cara memberi salam, memohon maaf, atau menolak—menunjukkan sistem nilai dan norma yang berbeda pula.

Dalam masyarakat Timur, misalnya, ujaran sering diatur oleh prinsip kesopanan dan hierarki sosial (politeness and hierarchy), sementara dalam masyarakat Barat lebih menekankan kesetaraan dan kejelasan.¹⁴ Fenomena ini menunjukkan bahwa tindakan tuturan bersifat relatif-kultural: kekuatan dan maknanya tidak universal, melainkan ditentukan oleh konvensi lokal dan tradisi komunikasi.¹⁵ Karenanya, memahami tindakan tuturan dalam konteks lintas budaya menuntut kepekaan hermeneutik terhadap simbol dan nilai yang mengaturnya.¹⁶

6.4.       Bahasa, Ideologi, dan Resistensi

Bahasa juga merupakan arena ideologis di mana makna dapat ditantang dan diubah. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa setiap ujaran adalah bentuk investasi simbolik yang berhubungan dengan modal linguistik—yakni nilai sosial dari gaya bicara dan posisi pembicara dalam medan sosial.¹⁷ Mereka yang memiliki “otoritas simbolik” (seperti politisi, guru, atau pemuka agama) memiliki kemampuan untuk menentukan makna dan mempengaruhi persepsi publik.¹⁸ Namun, di sisi lain, tindakan tuturan juga dapat menjadi sarana resistensi: ujaran dapat dipakai untuk menantang struktur kekuasaan melalui bentuk-bentuk counter-discourse.¹⁹

Habermas menempatkan dimensi ini dalam kerangka tindakan komunikatif—yakni bahwa rasionalitas sejati muncul ketika bahasa digunakan secara bebas dari dominasi dan manipulasi.²⁰ Dalam konteks sosial dan politik, tindakan tuturan idealnya menjadi sarana deliberatif yang memungkinkan partisipasi setara dan rasionalitas publik.²¹ Maka, tindakan tuturan bukan sekadar cermin realitas sosial, tetapi juga alat untuk mengubahnya melalui praktik komunikasi yang emansipatoris.²²


Sintesis Sosiokultural: Bahasa sebagai Ruang Solidaritas

Secara sosial dan kultural, tindakan tuturan adalah ekspresi dari ko-eksistensi manusia—tempat di mana identitas, nilai, dan kekuasaan berkelindan. Bahasa menciptakan ruang interaksi yang memediasi antara individu dan masyarakat, antara kekuasaan dan kebebasan, antara tradisi dan inovasi.²³ Dalam arti ini, tindakan tuturan memiliki fungsi ganda: ia sekaligus mereproduksi tatanan sosial dan membuka kemungkinan transformasi.²⁴

Bahasa sebagai tindakan sosial menuntut sikap etis dan reflektif: menyadari bahwa setiap ujaran membawa dampak pada orang lain.²⁵ Dalam konteks global dan multikultural, tindakan tuturan yang sensitif terhadap perbedaan dan kerentanan menjadi dasar bagi komunikasi yang humanistik dan inklusif.²⁶


Footnotes

[1]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–39.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[3]                Ibid., §241.

[4]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 108–110.

[5]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 27–29.

[6]                Ibid., 35–36.

[7]                Ibid., 42–43.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 216–219.

[9]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 93–95.

[10]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.

[11]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–25.

[12]             Butler, Excitable Speech, 32–33.

[13]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5.

[14]             Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 45–47.

[15]             Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language and Social Life,” in Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1972), 38–41.

[16]             Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 62–64.

[17]             Bourdieu, Language and Symbolic Power, 43–45.

[18]             Ibid., 55–56.

[19]             Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), 19–21.

[20]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[21]             Ibid., 96–99.

[22]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 41–44.

[23]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 383–386.

[24]             John R. Searle, Making the Social World: The Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010), 120–122.

[25]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 67–69.

[26]             Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 105–107.


7.           Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama

Meskipun teori tindakan tuturan (speech act theory) yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John R. Searle memberikan kontribusi besar bagi filsafat bahasa dan pragmatik modern, teori ini tidak luput dari berbagai kritik. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah: mulai dari dekonstruksionisme poststruktural, pragmatik kognitif, hingga teori sosial dan linguistik kritis. Perdebatan ini menyoroti keterbatasan model klasik dalam menjelaskan kompleksitas bahasa sebagai praktik sosial yang dinamis, ambigu, dan penuh kekuasaan.¹

7.1.       Kritik Dekonstruktif: Jacques Derrida dan Problematika Konteks

Kritik paling terkenal terhadap Austin datang dari Jacques Derrida melalui esainya Signature, Event, Context (1972).² Derrida menilai bahwa konsep “konteks” dalam teori tindakan tuturan Austin terlalu sempit dan menekankan kehadiran (presence) pembicara serta keutuhan situasi komunikatif.³ Bagi Derrida, setiap ujaran selalu mengandung sifat iterability—yakni kemampuan untuk diulang dalam konteks berbeda tanpa kehilangan fungsinya.⁴ Dengan demikian, makna tidak pernah stabil, karena setiap pengulangan menciptakan kemungkinan penyimpangan dari maksud awal pembicara.

Menurut Derrida, Austin gagal melihat bahwa performativitas bahasa tidak membutuhkan niat pembicara sebagai pusat makna.⁵ Justru ketidakhadiran, perbedaan, dan pengulangan merupakan kondisi kemungkinan bagi komunikasi itu sendiri. Kritik ini menggoyahkan fondasi epistemik teori tindakan tuturan klasik yang menempatkan intensi sebagai dasar makna.⁶ Dalam pandangan dekonstruktif, tindakan tuturan bukan peristiwa tertutup yang dikendalikan oleh subjek, melainkan fenomena terbuka yang tak pernah sepenuhnya dapat dikontrol.⁷

7.2.       Kritik Pragmatik dan Sosiolinguistik: Relevansi dan Variabilitas Konteks

Selain dari Derrida, teori tindakan tuturan juga dikritik oleh kalangan pragmatis dan sosiolinguistik karena kecenderungannya mengabaikan variabilitas konteks dan faktor sosial.⁸ Geoffrey Leech dan Stephen Levinson, misalnya, menekankan bahwa ujaran tidak dapat dianalisis hanya dari maksud pembicara, tetapi juga dari norma kesopanan (politeness) dan strategi komunikasi yang dipengaruhi oleh budaya.⁹ Dalam interaksi lintas budaya, bentuk tindak tutur yang sama dapat memiliki nilai sosial dan etika yang berbeda.¹⁰

Relevan juga teori Relevance dari Dan Sperber dan Deirdre Wilson yang mengkritik pendekatan Searle karena terlalu bergantung pada aturan formal.¹¹ Mereka berargumen bahwa pemahaman ujaran tidak hanya didasarkan pada konvensi, tetapi pada prinsip kognitif: manusia secara alami mencari makna yang paling relevan dalam konteks tertentu.¹² Dengan demikian, teori tindakan tuturan klasik dianggap kurang fleksibel untuk menjelaskan dinamika komunikasi yang bergantung pada inferensi dan pragmatik kognitif.¹³

7.3.       Kritik Feminisme dan Politik Bahasa: Judith Butler dan Performatifitas Sosial

Dalam ranah teori kritis dan feminisme, Judith Butler mengajukan pembacaan baru terhadap konsep performatif Austin.¹⁴ Dalam Gender Trouble (1990) dan Excitable Speech (1997), Butler menunjukkan bahwa tindakan tuturan tidak hanya menciptakan realitas sosial, tetapi juga memproduksi subjek dan identitas melalui pengulangan normatif.¹⁵ Ia mengkritik Searle karena memahami tindakan tuturan secara terlalu “individualistis,” seolah makna hanya bergantung pada intensi pembicara.¹⁶

Menurut Butler, performativitas bersifat sosial dan politik: ujaran tidak netral, melainkan mereproduksi kekuasaan dan hierarki sosial.¹⁷ Misalnya, ujaran-ujaran yang bersifat penghinaan atau pelecehan tidak sekadar menyakiti secara linguistik, tetapi menciptakan kondisi sosial yang menindas.¹⁸ Dengan demikian, kritik Butler menyoroti dimensi ideologis dari tindakan tuturan—bahwa bahasa tidak hanya melakukan tindakan, tetapi juga menormalisasi tatanan sosial tertentu.¹⁹

7.4.       Kritik Teori Komunikatif: Habermas dan Rasionalitas Bahasa

Jürgen Habermas mengkritik pendekatan Austin–Searle karena terlalu menitikberatkan pada keberhasilan formal tindak tutur, tanpa memperhatikan rasionalitas komunikatif dan norma intersubjektif yang melandasinya.²⁰ Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang berupaya melampaui pendekatan performatif sempit menuju model etis-dialogis.²¹ Ia berargumen bahwa setiap tindakan tuturan mengandung tiga klaim validitas—truth, rightness, dan sincerity—yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam ruang publik.²² Dengan kata lain, keberhasilan ujaran tidak cukup dinilai dari pemenuhan kondisi kebahasaan, tetapi dari keterbukaannya terhadap kritik dan argumentasi bersama.²³

Kritik Habermas ini memperluas dimensi aksiologis teori tindakan tuturan ke arah etika komunikasi yang lebih humanistik dan demokratis.²⁴ Ia menolak pandangan bahwa bahasa hanya instrumen tindakan sosial, dan menegaskan bahwa komunikasi sejati adalah ruang untuk konsensus rasional antara subjek yang setara.²⁵


Sintesis Kritik: Menuju Model Tindakan Tuturan yang Terbuka dan Kontekstual

Dari berbagai kritik tersebut, tampak bahwa teori tindakan tuturan klasik memiliki kelebihan sebagai fondasi analisis bahasa sebagai tindakan, tetapi juga keterbatasan dalam menghadapi kompleksitas sosial dan kultural kontemporer.²⁶ Teori Austin dan Searle cenderung menekankan stabilitas makna dan kejelasan intensi, sementara konteks sosial modern memperlihatkan fluiditas makna, kekuasaan, dan identitas.²⁷

Sintesis dari berbagai kritik tersebut mengarah pada kebutuhan akan model tindakan tuturan yang lebih terbuka, reflektif, dan kontekstual, yang memperhitungkan aspek kekuasaan, budaya, dan etika dalam setiap peristiwa komunikasi.²⁸ Dengan pendekatan demikian, teori tindakan tuturan tidak lagi sekadar analisis logis, tetapi menjadi refleksi filosofis atas kondisi manusia sebagai makhluk komunikatif yang hidup dalam dunia yang plural dan dinamis.²⁹


Footnotes

[1]                Barry Smith, “Towards a History of Speech Act Theory,” in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the Philosophy of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter, 1990), 29–31.

[2]                Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 1–23.

[3]                Ibid., 5–6.

[4]                Ibid., 7–9.

[5]                Ibid., 14–15.

[6]                Ibid., 18–19.

[7]                Gayatri C. Spivak, “Translator’s Preface,” in Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri C. Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), xvii–xx.

[8]                Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 5–6.

[9]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 35–38.

[10]             Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 45–47.

[11]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 37–39.

[12]             Ibid., 42–43.

[13]             Ibid., 62–63.

[14]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.

[15]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–27.

[16]             Butler, Excitable Speech, 31–33.

[17]             Ibid., 45–46.

[18]             Ibid., 48–49.

[19]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 119–121.

[20]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[21]             Ibid., 91–93.

[22]             Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 22–25.

[23]             Ibid., 27–28.

[24]             Ibid., 33–35.

[25]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 95–97.

[26]             Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 71–72.

[27]             Butler, Excitable Speech, 57–59.

[28]             Habermas, On the Pragmatics of Communication, 45–47.

[29]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 382–384.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam era komunikasi digital dan globalisasi, teori tindakan tuturan memperoleh relevansi baru yang melampaui batas-batas filsafat bahasa klasik. Bahasa kini hadir tidak hanya dalam interaksi tatap muka, tetapi juga dalam ruang virtual, media sosial, dan sistem kecerdasan buatan. Transformasi ini menantang pemahaman tradisional tentang ujaran, makna, dan niat.¹ Tindakan tuturan tidak lagi terbatas pada situasi sosial langsung, melainkan beroperasi di medan yang diperantarai oleh teknologi, algoritma, dan jaringan global. Oleh karena itu, refleksi atas tindakan tuturan di masa kini menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat bahasa, etika digital, dan teori komunikasi.

8.1.       Tindakan Tuturan di Era Digital

Dalam konteks digital, ujaran telah menjadi bentuk utama interaksi sosial. Posting, tweet, dan comment merupakan tindakan tuturan yang memiliki daya performatif tersendiri.² Ketika seseorang menulis “Saya dukung gerakan ini” di media sosial, ia tidak hanya menyatakan opini, tetapi juga melakukan tindakan sosial: membentuk identitas, menunjukkan afiliasi politik, atau memobilisasi solidaritas publik.³

Namun, perbedaan mendasar antara ujaran digital dan ujaran tradisional terletak pada keterputusan konteks.⁴ Dalam media daring, tindakan tuturan sering kehilangan dimensi temporal dan spatial yang menjadi dasar analisis Austin.⁵ Ujaran dapat diulang, disebarkan, dan ditafsirkan ulang oleh banyak pihak tanpa kontrol pembicara.⁶ Hal ini menimbulkan persoalan epistemik dan etis baru: siapa yang bertanggung jawab atas efek ujaran yang viral? Apakah niat pembicara masih relevan ketika ujarannya digunakan di luar konteks aslinya?⁷

Dengan demikian, tindakan tuturan digital menegaskan kembali temuan Derrida tentang iterability—bahwa setiap ujaran dapat hidup kembali dalam konteks baru yang tak terduga.⁸ Dalam dunia yang ditandai oleh kecepatan informasi, tindakan tuturan menjadi fenomena yang cair, transkontekstual, dan berpotensi melahirkan baik solidaritas maupun disinformasi.

8.2.       Etika Komunikasi dan Tanggung Jawab Ujaran Publik

Perkembangan ruang publik digital juga menuntut pembacaan ulang terhadap aksiologi tindakan tuturan. Bahasa kini menjadi kekuatan sosial yang dapat membangun atau merusak tatanan moral masyarakat.⁹ Fenomena ujaran kebencian (hate speech), misinformasi, dan ujaran manipulatif menunjukkan bahwa kekuatan performatif bahasa dapat berbalik menjadi destruktif.¹⁰

Habermas menegaskan pentingnya etika diskursus dalam menjaga rasionalitas publik, di mana komunikasi harus berlangsung berdasarkan prinsip kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab.¹¹ Dalam konteks ini, teori tindakan tuturan dapat memberikan kerangka normatif untuk menilai kualitas komunikasi digital: apakah ujaran itu mengarah pada pemahaman atau justru memperdalam polarisasi?¹²

Selain itu, Judith Butler memperluas relevansi etis teori ini dengan menekankan bahwa ujaran selalu memiliki dampak terhadap subjek dan tubuh sosial.¹³ Ia memperingatkan bahwa ujaran yang menghina atau mengucilkan bukan sekadar “kata-kata,” melainkan tindakan yang dapat menciptakan luka eksistensial.¹⁴ Dalam ruang digital yang anonim dan masif, kesadaran akan nilai etis ujaran menjadi semakin penting.¹⁵

8.3.       Tindakan Tuturan dan Kecerdasan Buatan

Salah satu isu kontemporer yang paling menarik adalah munculnya kecerdasan buatan (AI) yang mampu menghasilkan ujaran seolah-olah dilakukan oleh manusia.¹⁶ Apakah mesin dapat melakukan tindakan tuturan dalam arti filosofis? Menurut John Searle, tindakan tuturan mensyaratkan intensi mental dan kesadaran, yang tidak mungkin dimiliki oleh sistem buatan.¹⁷ Oleh karena itu, ujaran yang dihasilkan AI hanyalah simulasi tindakan tuturan, bukan tindakan yang autentik.¹⁸

Namun, perkembangan teknologi large language models menunjukkan bahwa sistem ini mampu berinteraksi secara kontekstual dan menghasilkan respons yang memiliki efek ilokusi nyata terhadap pengguna.¹⁹ Dalam hal ini, perbedaan antara intensionalitas sejati dan fungsi komunikatif menjadi semakin kabur.²⁰ Fenomena ini menuntut reinterpretasi terhadap batas ontologis dan epistemologis tindakan tuturan: apakah komunikasi harus selalu melibatkan kesadaran, atau cukup dengan kemampuan menghasilkan efek sosial dan pragmatik?²¹

8.4.       Politik Bahasa di Dunia Global dan Multikultural

Dalam konteks globalisasi, tindakan tuturan juga berfungsi sebagai sarana negosiasi identitas dan kekuasaan antarbudaya.²² Bahasa bukan hanya alat komunikasi lintas bangsa, tetapi juga instrumen hegemoni dan resistensi.²³ Ujaran diplomatik, pidato internasional, atau pernyataan politik global sering kali berperan sebagai tindakan performatif yang mengatur relasi geopolitik dan simbolik antarnegara.²⁴

Clifford Geertz menegaskan bahwa makna bahasa hanya dapat dipahami dalam konteks budaya yang menghidupinya.²⁵ Oleh karena itu, keberhasilan tindakan tuturan lintas budaya bergantung pada kepekaan hermeneutik terhadap sistem nilai dan simbol yang berbeda.²⁶ Dalam era global, pemahaman semacam ini menjadi syarat untuk menghindari konflik linguistik dan kultural.²⁷ Maka, relevansi tindakan tuturan hari ini juga terletak pada kemampuannya membangun komunikasi antarperadaban yang etis, dialogis, dan inklusif.²⁸

8.5.       Menuju Etika Komunikasi Humanistik

Pada akhirnya, relevansi kontemporer teori tindakan tuturan terletak pada kemampuannya menegaskan kembali dimensi humanistik bahasa di tengah krisis komunikasi modern.²⁹ Bahasa bukan hanya alat ekspresi atau representasi, melainkan ruang moral dan sosial tempat manusia saling mengakui dan memahami.³⁰ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh algoritma dan ideologi, tindakan tuturan yang etis menjadi pondasi bagi komunikasi yang berkeadilan dan empatik.³¹

Dengan mengintegrasikan wawasan dari Austin, Searle, Habermas, Derrida, dan Butler, teori tindakan tuturan dapat diperbarui menjadi paradigma komunikasi yang terbuka, reflektif, dan bertanggung jawab—sebuah filsafat bahasa yang berpihak pada kemanusiaan di tengah teknologi dan globalisasi.³²


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 87–89.

[2]                John R. Searle, Making the Social World: The Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010), 103–105.

[3]                danah boyd, It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens (New Haven: Yale University Press, 2014), 35–36.

[4]                Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 7–9.

[5]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 21–23.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–47.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 72–75.

[8]                Derrida, “Signature, Event, Context,” 10–11.

[9]                Habermas, The Theory of Communicative Action, 93–95.

[10]             Susan Benesch, “Dangerous Speech: A Proposal to Prevent Group Violence,” World Policy Journal 28, no. 1 (2011): 11–12.

[11]             Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.

[12]             Ibid., 50–51.

[13]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 3–4.

[14]             Ibid., 25–26.

[15]             Ibid., 33–35.

[16]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 185–187.

[17]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.

[18]             Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 42–43.

[19]             Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is Data Ethics?” Philosophy & Technology 29, no. 4 (2016): 252–254.

[20]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 113–116.

[21]             David J. Gunkel, The Machine Question: Critical Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 89–91.

[22]             Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), 23–25.

[23]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 120–123.

[24]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 41–43.

[25]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[26]             Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language and Social Life,” in Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1972), 38–39.

[27]             Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 62–64.

[28]             Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 105–106.

[29]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 387–389.

[30]             Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 97–99.

[31]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 156–158.

[32]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 87–89.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik

Filsafat tindakan tuturan, ketika dipahami secara mendalam, bukan sekadar teori linguistik atau analisis pragmatik, melainkan refleksi tentang hakikat manusia sebagai makhluk berbahasa dan bertindak. Bahasa bukan hanya medium komunikasi, tetapi juga arena tempat manusia mewujudkan kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas.¹ Dalam kerangka ini, sintesis filosofis tindakan tuturan menuntun kita menuju filsafat bahasa humanistik—suatu pandangan yang menempatkan bahasa sebagai dasar etis dan eksistensial dari kehidupan bersama.

9.1.       Dari Analisis ke Eksistensi: Bahasa sebagai Aksi dan Pengakuan

Austin dan Searle telah membuka jalan dengan menunjukkan bahwa berbicara berarti melakukan sesuatu.² Namun, pemaknaan humanistik memperluas gagasan ini: berbicara berarti juga menjadi sesuatu bersama yang lain. Setiap tindakan tuturan bukan hanya ekspresi kehendak individu, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap keberadaan orang lain sebagai mitra dialogis.³

Pandangan ini berakar pada gagasan intersubjektivitas yang dikembangkan oleh Martin Buber dan Emmanuel Levinas. Buber menyatakan bahwa relasi “Aku–Engkau” adalah inti eksistensi manusia—hubungan yang terbentuk melalui kata dan dialog yang autentik.⁴ Sementara itu, Levinas menegaskan bahwa bahasa adalah respons etis terhadap kehadiran “yang lain” (l’Autre), yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.⁵ Maka, tindakan tuturan tidak lagi dipahami hanya sebagai peristiwa linguistik, melainkan sebagai peristiwa etis di mana subjek menegaskan kemanusiaannya melalui pengakuan timbal balik.⁶

9.2.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Filsafat bahasa humanistik mengintegrasikan tiga dimensi utama teori tindakan tuturan:

·                     Ontologis, bahwa ujaran adalah bentuk tindakan yang menciptakan realitas sosial;

·                     Epistemologis, bahwa makna dipahami melalui niat, konteks, dan pengakuan timbal balik;

·                     Aksiologis, bahwa ujaran memiliki nilai moral dan sosial yang melekat.⁷

Ketiga dimensi ini saling berkelindan dalam pengalaman berbahasa. Bahasa, dalam pengertian ini, adalah modus keberadaan manusia di dunia—cara manusia memahami, menafsirkan, dan menata realitasnya.⁸ Dengan demikian, tindakan tuturan mengungkapkan struktur eksistensial manusia sebagai makhluk komunikatif: ia tidak hidup dalam isolasi, melainkan dalam jaringan relasi makna dan tanggung jawab.⁹

9.3.       Komunikasi sebagai Ruang Etis dan Emansipatoris

Dalam perspektif humanistik, komunikasi bukanlah sarana untuk menguasai, melainkan untuk membangun pemahaman. Habermas menegaskan bahwa tindakan komunikatif sejati adalah tindakan yang berorientasi pada mutual understanding (saling pengertian), bukan pada keberhasilan strategis.¹⁰ Dengan mengembalikan bahasa ke fungsi dialogisnya, teori tindakan tuturan memperoleh makna etis baru: bahasa menjadi ruang emansipasi, tempat manusia memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui dialog terbuka.¹¹

Selain itu, dalam konteks dunia digital dan plural, filsafat bahasa humanistik menekankan kepekaan terhadap perbedaan.¹² Komunikasi yang humanistik harus menghormati keragaman budaya, bahasa, dan nilai. Butler, misalnya, mengingatkan bahwa ujaran tidak netral: ia dapat melukai atau menyembuhkan.¹³ Oleh karena itu, kesadaran atas kekuatan performatif bahasa harus disertai komitmen moral untuk menggunakan bahasa secara inklusif, empatik, dan membebaskan.¹⁴

9.4.       Bahasa sebagai Tindakan Penciptaan Dunia Bersama

Bahasa tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga menciptakan dunia. Searle menyebut bahwa melalui declaratives, manusia membentuk realitas sosial—seperti hukum, institusi, dan nilai.¹⁵ Namun dalam sintesis humanistik, penciptaan dunia melalui bahasa tidak berhenti pada aspek institusional, melainkan menyentuh ranah eksistensial: manusia mencipta dunia bersama melalui kata yang penuh makna dan tanggung jawab.¹⁶

Bahasa adalah tindakan bersama (co-action)—sebuah partisipasi kolektif dalam membangun dunia yang dapat dihuni oleh semua.¹⁷ Gadamer menegaskan bahwa pemahaman sejati selalu bersifat dialogis: makna lahir dari pertemuan horizon antara pembicara dan pendengar.¹⁸ Maka, filsafat bahasa humanistik memandang tindakan tuturan sebagai praktik kebersamaan hermeneutik yang terus-menerus memperbarui makna hidup bersama.¹⁹

9.5.       Menuju Etika Bahasa Humanistik

Sintesis ini berpuncak pada penegasan bahwa bahasa harus didekati sebagai tanggung jawab moral.²⁰ Levinas mengingatkan bahwa berbicara berarti menanggapi seruan etis dari yang lain; sedangkan Habermas menekankan bahwa setiap klaim ujaran menuntut pembenaran rasional di hadapan yang lain.²¹ Dua pandangan ini berpadu dalam prinsip dasar filsafat bahasa humanistik: bahwa setiap kata mengandung komitmen terhadap kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.²²

Dengan demikian, teori tindakan tuturan tidak berhenti sebagai analisis linguistik, tetapi menjadi refleksi filosofis tentang eksistensi manusia. Bahasa adalah tindakan moral yang mendirikan dunia dialogis—dunia di mana manusia berbicara bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk memahami dan mengasihi.²³


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 156–158.

[2]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[3]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[4]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 24–26.

[5]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 66–68.

[6]                Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, trans. Robert Czerny (Toronto: University of Toronto Press, 1977), 319–321.

[7]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 58–60.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 382–385.

[9]                Raimo Tuomela, The Philosophy of Social Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 107–109.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–100.

[11]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 87–89.

[12]             Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 61–63.

[13]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 35–36.

[14]             Ibid., 43–45.

[15]             John R. Searle, Making the Social World: The Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010), 117–118.

[16]             Austin, How to Do Things with Words, 147–148.

[17]             Tuomela, The Philosophy of Social Practices, 112–113.

[18]             Gadamer, Truth and Method, 387–388.

[19]             Ricoeur, Oneself as Another, 162–163.

[20]             Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 97–99.

[21]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 92–94.

[22]             Butler, Excitable Speech, 49–50.

[23]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice: Ontological Analyses and Ethical Applications (Oxford: Oxford University Press, 1954), 29–31.


10.       Kesimpulan

Teori tindakan tuturan telah menandai sebuah revolusi dalam filsafat bahasa modern dengan menegaskan bahwa berbicara berarti bertindak.¹ J. L. Austin dan John R. Searle membuka horizon baru dalam memahami bahasa, bukan semata sebagai sistem simbolik, melainkan sebagai praktik performatif yang membentuk realitas sosial.² Namun, sebagaimana diperlihatkan oleh kritik-kritik selanjutnya—mulai dari Derrida hingga Habermas—bahasa tidak hanya bersifat performatif, tetapi juga reflektif, terbuka, dan sarat dengan dimensi etis serta sosial.³

Dari analisis ontologis hingga aksiologis, tindakan tuturan memperlihatkan bahwa bahasa merupakan modus eksistensi manusia. Ia tidak hanya menjadi medium ekspresi pikiran, tetapi juga sarana penciptaan dunia bersama.⁴ Melalui ujaran, manusia tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga membentuknya: ketika seseorang berjanji, menamai, memerintah, atau menyatakan sesuatu, ia sedang berpartisipasi dalam penciptaan tatanan sosial dan moral.⁵ Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai jembatan antara niat individu dan struktur kolektif yang mengikat kehidupan manusia.⁶

Lebih jauh, tindakan tuturan menunjukkan bahwa makna tidak dapat dilepaskan dari konteks, intensi, dan tanggung jawab.⁷ Ujaran yang berhasil bukan hanya yang benar secara proposisional, tetapi yang memenuhi kondisi moral dan sosial komunikasi: kejujuran, kesungguhan, dan pengakuan terhadap yang lain.⁸ Dalam pandangan Habermas, hal ini menjadi dasar bagi rasionalitas komunikatif—yakni situasi di mana makna dibangun melalui kesepakatan dan keterbukaan dialogis.⁹ Dengan demikian, tindakan tuturan bukan hanya fenomena linguistik, melainkan pula etika intersubjektivitas.¹⁰

Kritik poststruktural dan pragmatik kontemporer memperkaya teori ini dengan menunjukkan bahwa bahasa selalu bersifat terbuka terhadap penafsiran ulang. Derrida menegaskan bahwa setiap ujaran memiliki sifat iterability—kemampuannya untuk hidup dalam konteks yang baru.¹¹ Butler menambahkan bahwa ujaran dapat menciptakan identitas sekaligus menindasnya, sementara Habermas menekankan pentingnya dialog sebagai ruang emansipasi.¹² Melalui sintesis gagasan ini, kita memahami bahwa kekuatan bahasa tidak hanya terletak pada kemampuannya untuk mengungkapkan, tetapi juga untuk mengubah.¹³

Dengan demikian, relevansi kontemporer teori tindakan tuturan terletak pada kemampuannya untuk menjembatani filsafat bahasa, etika, dan politik komunikasi. Dalam dunia yang didominasi teknologi, ujaran digital telah menjadi tindakan sosial yang nyata, dan tanggung jawab komunikatif semakin penting untuk menjaga keutuhan ruang publik.¹⁴ Maka, pengembangan filsafat bahasa humanistik menjadi keharusan: sebuah filsafat yang melihat bahasa bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai ruang moral bagi pengakuan, empati, dan solidaritas manusia.¹⁵

Akhirnya, tindakan tuturan mengajarkan bahwa berbicara adalah bentuk keberadaan yang paling manusiawi. Bahasa memampukan manusia untuk menjalin makna, membangun dunia bersama, dan menegaskan kemanusiaannya melalui kata.¹⁶ Dengan kata lain, “to say is to be with the other”: bahwa dalam setiap ujaran yang tulus, manusia menemukan dirinya—bukan dalam kesendirian, tetapi dalam dialog yang membuka ruang bagi kebenaran dan kemanusiaan bersama.¹⁷


Footnotes

[1]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[2]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–24.

[3]                Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 9–11.

[4]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 385–387.

[5]                Austin, How to Do Things with Words, 45–46.

[6]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 35–38.

[7]                Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[8]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 58–60.

[9]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[10]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 93–95.

[11]             Derrida, “Signature, Event, Context,” 13–15.

[12]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 32–34.

[13]             Butler, Excitable Speech, 48–49.

[14]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 72–75.

[15]             Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.

[16]             Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 98–99.

[17]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 157–159.


Daftar Pustaka

Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Oxford: Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.

Benesch, S. (2011). Dangerous speech: A proposal to prevent group violence. World Policy Journal, 28(1), 11–12.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford: Oxford University Press.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.

Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). New York: Scribner.

Burkhardt, A. (Ed.). (1990). Speech acts, meaning and intentions: Critical approaches to the philosophy of John R. Searle. Berlin: de Gruyter.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. New York: Routledge.

Butler, J. (1997). Excitable speech: A politics of the performative. New York: Routledge.

Carnap, R. (2003). The logical structure of the world (Original work published 1928). Chicago: Open Court.

Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. Cambridge, MA: MIT Press.

Fairclough, N. (1989). Language and power. London: Longman.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L., & Taddeo, M. (2016). What is data ethics? Philosophy & Technology, 29(4), 245–268.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Geertz, C. (1983). Local knowledge: Further essays in interpretive anthropology. New York: Basic Books.

Grice, P. (1957). Meaning. Philosophical Review, 66(3), 377–388.

Grice, P. (1989). Studies in the way of words. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Gunkel, D. J. (2012). The machine question: Critical perspectives on AI, robots, and ethics. Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Habermas, J. (1998). On the pragmatics of communication (M. Cooke, Ed.). Cambridge, MA: MIT Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition. Cambridge: Polity Press.

Hymes, D. (1972). Models of the interaction of language and social life. In J. Gumperz & D. Hymes (Eds.), Directions in sociolinguistics: The ethnography of communication (pp. 35–71). New York: Holt, Rinehart & Winston.

Leech, G. (1983). Principles of pragmatics. London: Longman.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Levinas, E. (1985). Ethics and infinity: Conversations with Philippe Nemo (R. Cohen, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

Morris, C. W. (1946). Signs, language, and behavior. New York: Prentice-Hall.

Ricoeur, P. (1977). The rule of metaphor (R. Czerny, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Said, E. W. (1993). Culture and imperialism. New York: Knopf.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. New York: Free Press.

Searle, J. R. (2010). Making the social world: The structure of human civilization. Oxford: Oxford University Press.

Searle, J. R., & Vanderveken, D. (1985). Foundations of illocutionary logic. Cambridge: Cambridge University Press.

Smith, B. (1990). Towards a history of speech act theory. In A. Burkhardt (Ed.), Speech acts, meaning and intentions: Critical approaches to the philosophy of John R. Searle (pp. 29–60). Berlin: de Gruyter.

Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance: Communication and cognition. Oxford: Blackwell.

Tillich, P. (1954). Love, power, and justice: Ontological analyses and ethical applications. Oxford: Oxford University Press.

Tuomela, R. (2002). The philosophy of social practices: A collective acceptance view. Cambridge: Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York: PublicAffairs.

boyd, d. (2014). It’s complicated: The social lives of networked teens. New Haven: Yale University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar