Tindakan Tuturan (Speech Acts)
Antara Makna, Niat, dan Konteks
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori tindakan
tuturan (speech act theory) dalam kerangka filsafat bahasa,
dengan menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya serta relevansi humanistiknya di era kontemporer. Berawal dari
pemikiran J. L. Austin dan John R. Searle, teori ini menunjukkan bahwa bahasa
bukan hanya instrumen representasi realitas, melainkan juga sarana tindakan
yang menciptakan realitas sosial. Melalui konsep tindakan lokusi, ilokusi, dan
perlokusi, ujaran dipahami sebagai aktivitas performatif yang mengandung niat (intention),
kekuatan sosial (illocutionary force), dan akibat pragmatik.
Pembahasan ontologis menegaskan bahwa ujaran
memiliki dimensi tindakan yang membentuk tatanan sosial dan institusional.
Sementara aspek epistemologis menunjukkan bahwa makna tuturan tidak dapat
dilepaskan dari niat pembicara, konteks sosial, serta pengetahuan bersama
antara subjek komunikasi. Dari segi aksiologis, tindakan tuturan mengandung
nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas, menjadikannya
landasan bagi etika komunikasi dan kehidupan sosial.
Artikel ini juga mengulas berbagai kritik terhadap
teori klasik, termasuk dari Jacques Derrida yang menyoroti sifat iterability
ujaran, Judith Butler yang menafsirkan performativitas dalam konteks politik
bahasa dan identitas, serta Jürgen Habermas yang mengembangkan konsep tindakan
komunikatif berbasis rasionalitas dialogis. Dalam konteks kontemporer, teori
ini tetap relevan untuk memahami fenomena komunikasi digital, ujaran kebencian,
dan interaksi manusia–AI, sekaligus membuka jalan menuju filsafat bahasa
humanistik—yakni pandangan yang menempatkan bahasa sebagai ruang moral,
sosial, dan eksistensial tempat manusia saling mengakui dan membangun dunia
bersama.
Kata Kunci: Filsafat bahasa, tindakan tuturan, makna,
niat, konteks, etika komunikasi, performativitas, humanisme, rasionalitas
komunikatif, intersubjektivitas.
PEMBAHASAN
Tindakan Tuturan (Speech Acts) dalam Filsafat Bahasa
1.
Pendahuluan
Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk
menyampaikan informasi, melainkan juga sebagai sarana untuk bertindak di dunia.
Ketika seseorang mengucapkan kalimat seperti “Saya berjanji akan datang
besok”, ia tidak sekadar menyampaikan proposisi, melainkan melakukan suatu
tindakan — yakni berjanji. Inilah inti dari filsafat tindakan tuturan (speech
act philosophy), sebuah pendekatan yang merevolusi cara kita memahami
bahasa dan makna. John L. Austin dalam kuliahnya yang termasyhur, How to Do
Things with Words (1962), menegaskan bahwa berbicara adalah suatu bentuk
tindakan, bukan hanya deskripsi dunia, melainkan intervensi di dalamnya.¹
Lahirnya teori tindakan tuturan merupakan reaksi
terhadap pandangan sempit dalam filsafat analitik awal yang menganggap bahasa
semata sebagai representasi logis dari realitas.² Positivisme logis, misalnya,
menilai bahwa makna kalimat tergantung pada kemampuannya diverifikasi secara
empiris.³ Namun, Austin dan para penerusnya seperti John R. Searle menolak
reduksi semacam itu. Mereka berpendapat bahwa banyak bentuk ujaran—seperti
janji, perintah, permintaan, atau deklarasi—tidak dapat diukur dengan kriteria
benar atau salah, melainkan harus dipahami dari fungsi tindakannya.⁴ Dengan
demikian, speech acts membuka jalan bagi analisis pragmatis terhadap
bahasa, yang menekankan penggunaan (use) daripada struktur semata.⁵
Lebih jauh lagi, teori ini memunculkan pertanyaan
filosofis mendalam: bagaimana ujaran dapat melakukan sesuatu? Apa yang
membuat kata-kata mampu mengubah status sosial, menciptakan kewajiban moral,
atau bahkan menimbulkan akibat hukum? Misalnya, ketika seorang pejabat berkata,
“Dengan ini saya nyatakan pernikahan kalian sah,” ucapan itu menciptakan
realitas baru melalui otoritas dan konvensi sosial.⁶ Fenomena inilah yang
menunjukkan bahwa makna tidak dapat dilepaskan dari niat pembicara (intention)
dan konteks sosial tempat ujaran itu diucapkan.⁷
Dalam konteks yang lebih luas, teori tindakan
tuturan mengandung implikasi bagi etika komunikasi, politik bahasa, serta
kajian budaya. Ujaran bukan hanya sarana penyampaian pesan, tetapi juga
instrumen kekuasaan, identitas, dan tanggung jawab sosial.⁸ Oleh karena itu,
memahami tindakan tuturan berarti memahami hakikat interaksi manusia sebagai
makhluk komunikatif yang membentuk dan dibentuk oleh bahasa.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara
komprehensif hakikat tindakan tuturan dalam perspektif filsafat bahasa.
Pembahasan akan mencakup dasar historis dan genealogis kemunculan teori ini,
analisis ontologis dan epistemologis tentang makna dan niat dalam ujaran,
dimensi aksiologis dan sosial dari komunikasi verbal, serta kritik dan relevansi
kontemporernya. Akhirnya, melalui pendekatan humanistik, tulisan ini berupaya
menafsirkan tindakan tuturan tidak semata sebagai struktur linguistik, tetapi
sebagai ekspresi moral dan eksistensial manusia yang hidup dalam dialog.
Footnotes
[1]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.
[2]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 10–12.
[3]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 33.
[4]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
16–19.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.
[6]
Austin, How to Do Things with Words, 45–46.
[7]
Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review
66, no. 3 (1957): 377–388.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 87–91.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Teori tindakan tuturan (speech act theory)
tidak lahir secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari perkembangan panjang
dalam filsafat bahasa abad ke-20. Akar genealogisnya dapat ditelusuri melalui
pergulatan antara dua arus besar dalam filsafat analitik: positivisme logis
dan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy). Kedua
tradisi ini memiliki tujuan yang sama—memahami makna dan fungsi bahasa—namun
berangkat dari paradigma yang berbeda.
Pada paruh pertama abad ke-20, aliran positivisme
logis yang dipelopori oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) mendominasi filsafat
bahasa. Tokoh-tokohnya seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan A. J. Ayer
menekankan bahwa makna suatu pernyataan bergantung pada kemungkinannya untuk
diverifikasi secara empiris.¹ Pandangan ini menegaskan kriteria verifiabilitas
sebagai syarat makna: hanya proposisi yang dapat diuji secara ilmiah yang
bermakna, sedangkan pernyataan metafisis, etis, atau religius dianggap
nonsens.² Dengan demikian, fungsi bahasa direduksi menjadi sekadar alat untuk
menyatakan fakta tentang dunia.
Namun, pendekatan tersebut segera dikritik oleh Ludwig
Wittgenstein dalam karyanya Philosophical Investigations (1953),
yang menandai peralihan dari “Wittgenstein muda” (positivistik)
ke “Wittgenstein tua” (pragmatis).³ Ia menolak gagasan bahwa bahasa
memiliki struktur logis tunggal yang mencerminkan realitas. Sebaliknya,
Wittgenstein memperkenalkan konsep language-games—bahasa sebagai
permainan sosial dengan aturan-aturan yang bervariasi sesuai konteks
penggunaannya.⁴ Dalam kerangka ini, makna tidak lagi dipandang sebagai
korespondensi antara kata dan benda, melainkan sebagai hasil dari praktik
sosial dan kebiasaan berbahasa (forms of life).⁵ Pemikiran inilah yang
membuka jalan bagi pemahaman bahwa berbicara adalah melakukan sesuatu
dalam konteks sosial tertentu.
Gagasan Wittgenstein tentang penggunaan bahasa
secara fungsional kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh J. L. Austin,
filsuf dari Universitas Oxford, melalui serangkaian kuliahnya yang diterbitkan
pasca kematiannya dengan judul How to Do Things with Words (1962).⁶
Austin menolak pemisahan tajam antara pernyataan (statements) yang “deskriptif”
dan ujaran yang “performatif”. Menurutnya, ketika seseorang berkata “Saya
berjanji”, “Saya menamai kapal ini…”, atau “Saya menyatakan
pernikahan ini sah”, ujaran tersebut bukanlah deskripsi fakta, tetapi
tindakan yang menciptakan atau mengubah realitas sosial.⁷ Di sinilah lahir ide
kunci: to say something is to do something.
Austin membedakan tiga lapisan tindakan dalam
setiap ujaran: (1) tindakan lokusi (locutionary act) yakni
tindakan mengucapkan sesuatu, (2) tindakan ilokusi (illocutionary act)
yakni tindakan yang dilakukan dalam mengucapkan sesuatu (misalnya berjanji,
memerintah, bertanya), dan (3) tindakan perlokusi (perlocutionary act)
yakni dampak yang dihasilkan oleh ujaran terhadap pendengar (seperti
meyakinkan, menakut-nakuti, atau menghibur).⁸ Pembagian ini kemudian menjadi
fondasi bagi teori pragmatik modern.
Pemikiran Austin dikembangkan lebih lanjut oleh John
R. Searle, yang memperkuat dimensi sistematis dan logis teori tersebut.
Dalam Speech Acts (1969), Searle mengklasifikasikan tindakan tuturan
menjadi lima kategori utama: assertives, directives, commissives,
expressives, dan declarations.⁹ Ia juga menegaskan bahwa makna
ujaran tidak dapat dilepaskan dari niat pembicara (speaker’s
intention) dan aturan konstitutif (constitutive rules) yang
menentukan kapan suatu tindakan tuturan sah atau tidak.¹⁰ Dengan demikian,
bahasa tidak hanya tunduk pada tata bahasa (syntax), tetapi juga pada norma
sosial dan institusional.
Dalam konteks yang lebih luas, genealoginya juga
terkait dengan perkembangan pragmatisme Amerika, terutama pemikiran
Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey, yang menekankan hubungan
antara makna, tindakan, dan konsekuensi.¹¹ Tradisi ini memperkaya filsafat
bahasa dengan dimensi praksis, menggeser fokus dari struktur ke fungsi, dari
makna ideal ke makna yang hidup dalam tindakan.
Dengan demikian, teori tindakan tuturan merupakan
hasil sintesis dari beberapa arus intelektual: logika analitik, kritik terhadap
positivisme, dan pragmatisme sosial. Ia menandai pergeseran paradigma dalam
filsafat bahasa—dari representational turn menuju pragmatic turn—yang
menempatkan bahasa sebagai kegiatan sosial yang aktif, dinamis, dan sarat
makna.¹²
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 31–34.
[2]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Chicago: Open Court, 2003 [1928]), 47–52.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§65–67.
[4]
Ibid., §23.
[5]
Ibid., §241.
[6]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 1–3.
[7]
Ibid., 5–6.
[8]
Ibid., 108–109.
[9]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy
of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–23.
[10]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
35–38.
[11]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 162–165.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 70–75.
3.
Ontologi
Tindakan Tuturan
Ontologi tindakan tuturan berangkat dari pertanyaan
mendasar: apa hakikat tindakan tuturan itu sendiri? Apakah ujaran
hanyalah rangkaian simbol linguistik, ataukah ia merupakan bentuk tindakan yang
secara ontologis memiliki eksistensi dalam dunia sosial? Dalam konteks ini,
teori tindakan tuturan (speech act theory) memperluas batas ontologi bahasa
dengan menempatkan ujaran bukan semata sebagai representasi dunia, melainkan
sebagai peristiwa tindakan yang menciptakan efek dan realitas baru.¹
3.1.
Ujaran sebagai Tindakan: “To Say
Is to Do”
J. L. Austin menolak pandangan klasik yang
menganggap kalimat hanyalah sarana untuk menyatakan proposisi yang benar atau
salah. Dalam kuliah-kuliahnya yang dikumpulkan dalam How to Do Things with
Words, ia menegaskan bahwa banyak ujaran dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat diuji kebenarannya, tetapi justru melakukan sesuatu.² Ketika
seseorang berkata “Saya berjanji akan datang” atau “Saya menamai
kapal ini Queen Elizabeth”, ujaran tersebut bukanlah deskripsi, melainkan tindakan
performatif—ia menjadi tindakan itu sendiri.³
Dengan demikian, ujaran tidak semata “menggambarkan
dunia”, tetapi mengubahnya. Austin menyebut bahwa melalui bahasa,
manusia dapat membuat realitas sosial menjadi ada, baik itu dalam bentuk
janji, perintah, maupun deklarasi hukum.⁴ Dalam pengertian ini, bahasa memiliki
status ontologis yang sejajar dengan tindakan fisik: ia adalah bentuk tindakan
simbolik yang sahih dan efektif di dunia sosial.
3.2.
Struktur Ontologis: Lokusi, Ilokusi,
dan Perlokusi
Austin membedakan tiga lapisan ontologis dalam setiap
tindak tutur:
(1)
Tindakan lokusi (locutionary
act)—yakni tindakan mengucapkan sesuatu dengan makna tertentu;
(2)
Tindakan ilokusi (illocutionary
act)—yakni tindakan yang dilakukan melalui pengucapan tersebut
(seperti berjanji, bertanya, atau memerintah); dan
(3)
Tindakan perlokusi (perlocutionary
act)—yakni efek atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh ujaran itu terhadap
pendengar (misalnya meyakinkan, menakut-nakuti, atau menghibur).⁵
Klasifikasi ini mengungkap dimensi ontologis
tindakan tuturan sebagai proses berlapis, di mana bahasa, niat, dan
akibat saling berjalin. Tindakan tuturan bukanlah sekadar peristiwa linguistik,
tetapi juga realitas tindakan yang memiliki efek kausal dan sosial.⁶
3.3.
Ilokusi dan Kekuatan Tindakan
Dalam konteks ilokusi, Austin memperkenalkan
gagasan tentang illocutionary force—daya tindakan yang melekat pada
suatu ujaran.⁷ Daya ini menentukan apa yang sedang dilakukan ketika
seseorang berbicara: apakah ia sedang berjanji, menyatakan, memerintah, atau
mengumumkan sesuatu. John R. Searle kemudian menyempurnakan ide ini dengan
mengembangkan lima kategori utama tindakan ilokusi: assertives, directives,
commissives, expressives, dan declarations.⁸ Setiap
kategori menunjukkan dimensi ontologis yang berbeda dari bahasa sebagai tindakan.
Misalnya, ketika seseorang berkata “Saya berjanji,” tindakan tersebut
menciptakan kewajiban moral baru yang tidak ada sebelumnya—suatu bentuk
penciptaan realitas normatif melalui ujaran.⁹
Searle juga menekankan bahwa tindakan tuturan
tunduk pada apa yang disebutnya sebagai aturan konstitutif (constitutive
rules), yaitu aturan yang menciptakan kemungkinan tindakan itu sendiri.¹⁰
Aturan semacam ini tidak hanya mengatur perilaku (seperti aturan regulatif),
tetapi justru membentuk praktik sosial tertentu. Contohnya, pernyataan “Saya
menjatuhkan hukuman” hanya sah jika diucapkan oleh seseorang dengan
otoritas hukum tertentu dalam konteks yang tepat.¹¹ Dengan demikian, ontologi
tindakan tuturan tidak dapat dilepaskan dari konteks institusional dan
sosial yang memberinya makna dan validitas.
3.4.
Bahasa, Intensi, dan Realitas Sosial
Hakikat tindakan tuturan juga berkaitan erat dengan
intensi pembicara (speaker’s intention).¹² Makna tindakan tuturan tidak
hanya bergantung pada bentuk linguistik, tetapi pada niat yang mendasarinya.
Dengan kata lain, ujaran memperoleh eksistensinya melalui tindakan mental
yang terarah kepada orang lain.¹³ Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya
merepresentasikan dunia, melainkan menjadi sarana intersubjektif untuk
menciptakan dunia sosial yang baru.
Selain itu, dimensi ontologis tindakan tuturan
mencakup hubungan erat antara bahasa dan realitas sosial. Setiap ujaran yang
sah berakar pada aturan sosial yang diakui secara kolektif.¹⁴ Oleh sebab
itu, tindakan tuturan bukanlah tindakan individu yang solipsistik, melainkan
tindakan sosial yang eksistensinya ditentukan oleh pengakuan dan penerimaan
bersama.¹⁵ Dengan kata lain, to speak berarti to act together
dalam horizon sosial tertentu.
Kesimpulan
Ontologis
Dari perspektif ontologis, tindakan tuturan
memperlihatkan bahwa bahasa adalah modus tindakan yang khas manusia. Ia
berada di persimpangan antara intensi, konvensi, dan konteks. Bahasa bukan
entitas pasif, melainkan aktivitas eksistensial yang secara performatif
membentuk realitas sosial.¹⁶ Melalui teori ini, filsafat bahasa menegaskan
kembali bahwa berbicara adalah bertindak—dan melalui tindakan berbahasa,
manusia terus mencipta, menegaskan, dan menata dunianya.
Footnotes
[1]
Barry Smith, “Towards a History of Speech Act Theory,”
in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the
Philosophy of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter,
1990), 29–30.
[2]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.
[3]
Ibid., 12–13.
[4]
Ibid., 45–47.
[5]
Ibid., 108–109.
[6]
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 25–27.
[7]
Austin, How to Do Things with Words, 99–100.
[8]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
22–25.
[9]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
30–31.
[10]
Ibid., 33–35.
[11]
Searle, Speech Acts, 54–56.
[12]
Paul Grice, “Utterer’s Meaning and Intention,” Philosophical
Review 78, no. 2 (1969): 147–177.
[13]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 11–14.
[14]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 82–85.
[15]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 67–69.
[16]
Austin, How to Do Things with Words, 147.
4.
Epistemologi
Tindakan Tuturan
Epistemologi tindakan tuturan berupaya menjawab
pertanyaan: bagaimana kita mengetahui makna, maksud, dan kebenaran dari
suatu tindakan berbahasa? Jika ontologi tindakan tuturan menyoroti hakikat
ujaran sebagai tindakan yang menciptakan realitas sosial, maka epistemologi
berfokus pada cara memahami dan menafsirkan makna ujaran itu sendiri—yakni
hubungan antara intensi pembicara (speaker’s intention), konvensi
linguistik, dan konteks situasional.¹
4.1.
Dari Makna Literal ke Makna
Pragmatik
Dalam tradisi filsafat bahasa awal, makna sering
dipahami sebagai hubungan antara tanda dan objek, sebagaimana dirumuskan oleh
pendekatan semantik referensial.² Namun, teori tindakan tuturan menggeser perhatian
dari makna literal ke makna pragmatik. Menurut J. L. Austin,
memahami ujaran bukan hanya menafsirkan arti katanya, tetapi juga mengetahui apa
yang dilakukan pembicara dengan kata-kata itu.³
Dengan demikian, pemahaman atas tindakan tuturan menuntut
pengetahuan tentang ilokusi—yakni maksud tindakan yang terkandung di
balik ujaran.⁴ Misalnya, ketika seseorang berkata “Di sini panas sekali,”
kalimat itu mungkin bukan sekadar pernyataan fakta, tetapi bisa juga merupakan
permintaan implisit untuk membuka jendela. Dalam hal ini, pendengar harus
menafsirkan maksud tersebut melalui inferensi pragmatik, bukan melalui makna
literal.⁵
4.2.
Intensi Pembicara dan Inferensi
Pendengar
John R. Searle menegaskan bahwa pemahaman terhadap
ujaran bergantung pada pengenalan terhadap intensi pembicara (speaker’s
meaning).⁶ Artinya, pengetahuan tentang makna tidak bersifat mekanis,
tetapi inferensial. Pendengar menafsirkan ujaran dengan mempertimbangkan apa
yang dimaksudkan pembicara melalui konvensi sosial yang berlaku.⁷
Pandangan ini mengingatkan pada teori meaning
milik Paul Grice, yang membedakan antara natural meaning (“A berarti
B secara kausal”) dan non-natural meaning (“A berarti B karena
pembicara bermaksud agar pendengar memahami sesuatu”).⁸ Bagi Grice,
komunikasi yang bermakna terjadi ketika pembicara berniat agar pendengar
mengenali niat tersebut, dan pendengar benar-benar mengenalinya.⁹ Proses ini
bersifat epistemik karena mengandaikan pengetahuan timbal balik antara
pembicara dan pendengar dalam suatu konteks bersama (shared
background).¹⁰
4.3.
Konteks sebagai Kondisi Pengetahuan
Pragmatik
Epistemologi tindakan tuturan juga tidak dapat
dilepaskan dari konteks—baik konteks situasional, sosial, maupun budaya.
Konteks berfungsi sebagai kondisi pengetahuan yang memungkinkan seseorang
memahami maksud ujaran secara benar.¹¹ Tanpa konteks, tindakan tuturan
kehilangan kekuatannya karena makna ilokusi tidak dapat diidentifikasi.
Searle menjelaskan bahwa setiap tindakan tuturan
memiliki kondisi kesiapan (preparatory conditions), kondisi
ketulusan (sincerity conditions), dan kondisi esensial (essential
conditions) yang semuanya ditentukan oleh konteks sosial.¹² Sebagai contoh,
janji hanya bermakna jika pembicara memiliki kemampuan dan niat untuk menepatinya,
dan pendengar menganggap ujaran itu sah dalam situasi yang relevan.¹³ Oleh
karena itu, memahami tindakan tuturan berarti memahami struktur epistemik yang
tertanam dalam praktik sosial dan norma komunikasi.¹⁴
4.4.
Kebenaran, Keberhasilan, dan
Validitas Ujaran
Dalam ranah epistemologi, tindakan tuturan tidak
dinilai berdasarkan kriteria benar-salah seperti proposisi, melainkan
berdasarkan kriteria berhasil-gagal (felicity conditions).¹⁵
Sebuah tindakan tuturan dinilai berhasil jika semua kondisi sosial dan psikologis
yang menyertainya terpenuhi. Misalnya, perintah dianggap berhasil jika
pendengar memahami dan bersedia melaksanakannya; janji dianggap berhasil jika
pembicara sungguh-sungguh bermaksud menepatinya.¹⁶
Jürgen Habermas memperluas kerangka epistemik ini
melalui teori tindakan komunikatif. Ia menegaskan bahwa setiap ujaran
mengandung klaim validitas yang dapat diuji melalui rasionalitas
intersubjektif: klaim kebenaran (truth), ketulusan (sincerity),
dan ketepatan normatif (rightness).¹⁷ Dengan demikian, pengetahuan dalam
tindakan tuturan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga etis dan sosial.
4.5.
Epistemologi Interpersonal: Makna
sebagai Pengakuan Timbal Balik
Tindakan tuturan pada akhirnya berakar pada relasi
epistemik antara subjek yang berbicara dan mendengar. Pemahaman makna tidak
terjadi secara soliter, melainkan dalam konteks pengakuan timbal balik.¹⁸
Dengan mengenali intensi orang lain, seseorang sekaligus mengakui eksistensi
dan otonominya sebagai subjek komunikatif.¹⁹ Dalam hal ini, epistemologi
tindakan tuturan menunjukkan dimensi dialogis dari pengetahuan: mengetahui
berarti berpartisipasi dalam dunia bersama yang diciptakan oleh bahasa.²⁰
Footnotes
[1]
Barry Smith, “Towards a History of Speech Act
Theory,” in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the
Philosophy of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter,
1990), 31–33.
[2]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 5–6.
[4]
Ibid., 108–109.
[5]
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 25–28.
[6]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
45–47.
[7]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 12–13.
[8]
Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review
66, no. 3 (1957): 377–388.
[9]
Paul Grice, Studies in the Way of Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 91–93.
[10]
Searle, Intentionality, 25–27.
[11]
Charles W. Morris, Signs, Language, and Behavior
(New York: Prentice-Hall, 1946), 77–80.
[12]
Searle, Speech Acts, 57–61.
[13]
John R. Searle and Daniel Vanderveken, Foundations
of Illocutionary Logic (Cambridge: Cambridge University Press, 1985),
13–15.
[14]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.
[15]
Austin, How to Do Things with Words, 14–15.
[16]
Ibid., 44–45.
[17]
Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 22–24.
[18]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 69–71.
[19]
Axel Honneth, The Struggle for Recognition
(Cambridge: Polity Press, 1995), 110–113.
[20]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 383–386.
5.
Aksiologi:
Nilai dan Fungsi Komunikatif
Jika ontologi tindakan tuturan membahas hakikat
ujaran sebagai tindakan yang menciptakan realitas sosial, maka dimensi
aksiologinya menyoroti nilai dan fungsi etis dari tindakan berbahasa
dalam kehidupan manusia. Bahasa bukan hanya alat representasi pengetahuan,
tetapi juga medium tanggung jawab moral, relasi sosial, dan pembentukan nilai.¹
Melalui tindakan tuturan, manusia tidak sekadar bertukar informasi, melainkan mengikat
diri dalam janji, menegaskan otoritas, atau mengafirmasi
keberadaan orang lain. Dengan demikian, tindakan tuturan memiliki makna
aksiologis yang mendalam: ia menubuh dalam ruang etika dan intersubjektivitas.
5.1.
Dimensi Etis dalam Berbahasa
Dalam setiap tindakan tuturan, terkandung nilai
moral berupa kejujuran, ketulusan, dan tanggung jawab komunikatif.²
Austin menegaskan bahwa ujaran hanya “berhasil” (felicitous) bila
diucapkan dengan niat yang tulus dan dalam situasi yang sesuai.³ Misalnya,
janji yang diucapkan tanpa kesungguhan bukan hanya gagal secara performatif,
tetapi juga merupakan pelanggaran etika komunikasi.⁴
John R. Searle melanjutkan gagasan ini dengan
menekankan adanya sincerity condition sebagai prasyarat tindakan tuturan
yang sah.⁵ Artinya, tindakan berbahasa memiliki nilai intrinsik berupa komitmen
moral terhadap makna yang diucapkan. Dalam konteks ini, bahasa bukan instrumen
netral, melainkan ekspresi niat baik (good will) pembicara terhadap
pendengar.⁶ Dengan kata lain, berbicara adalah tindakan yang menuntut
integritas moral.
5.2.
Fungsi Sosial Tindakan Tuturan
Tindakan tuturan juga berfungsi sebagai mekanisme
pembentuk ikatan sosial. Ketika seseorang berjanji, memberi perintah,
atau mengucapkan selamat, ia sedang menciptakan relasi sosial yang baru.⁷
Dengan demikian, tindakan tuturan menjadi sarana pembentukan we-intentions—yakni
kesadaran kolektif bahwa suatu tindakan dilakukan bersama dan untuk bersama.⁸
Menurut Jürgen Habermas, bahasa adalah medium
rasionalitas komunikatif yang mengandaikan saling pengakuan dan saling
pengertian.⁹ Melalui tindakan ilokusi seperti berjanji atau menyetujui, subjek
berpartisipasi dalam tatanan sosial yang didasarkan pada kesepakatan dan
kepercayaan.¹⁰ Dengan demikian, nilai utama tindakan tuturan terletak pada
kemampuannya menegakkan komunikasi yang berbasis konsensus, bukan
dominasi.¹¹
5.3.
Bahasa sebagai Tanggung Jawab Sosial
Aksiologi tindakan tuturan juga berkaitan dengan
tanggung jawab sosial. Dalam ruang publik, ujaran dapat memperkuat atau
menghancurkan kepercayaan kolektif.¹² Setiap ujaran publik—seperti pernyataan
pejabat, deklarasi politik, atau pernyataan hukum—memiliki konsekuensi normatif
dan etis yang nyata.¹³ Oleh karena itu, tindakan tuturan tidak boleh dipandang
sekadar sebagai sarana ekspresi personal, tetapi juga sebagai bentuk tanggung
jawab sosial terhadap keutuhan komunikasi.¹⁴
Judith Butler dalam Excitable Speech
menunjukkan bahwa ujaran dapat bersifat produktif sekaligus destruktif: ia
dapat mencipta subjek, tetapi juga melukai dan menindas.¹⁵ Dengan demikian,
nilai tindakan tuturan tidak hanya ditentukan oleh niat pembicara, tetapi juga
oleh dampaknya terhadap martabat dan hak orang lain.¹⁶ Dalam kerangka ini,
ujaran mengandung dimensi etika performatif yang menuntut kepekaan terhadap
relasi kuasa dan kerentanan manusia.¹⁷
5.4.
Fungsi Komunikatif dan Nilai
Humanistik
Pada tingkat yang lebih fundamental, tindakan
tuturan memiliki fungsi humanistik: ia memungkinkan manusia bertemu
dalam ruang komunikasi yang saling mengakui.¹⁸ Habermas menafsirkan komunikasi
yang ideal sebagai kondisi di mana setiap partisipan memiliki kesempatan yang
sama untuk berbicara, mendengar, dan menanggapi tanpa paksaan.¹⁹ Tindakan
tuturan yang etis, dengan demikian, berfungsi untuk membangun komunitas
wicara (speech community) yang berlandaskan pada kejujuran dan
empati.
Dalam konteks ini, nilai tertinggi dari tindakan
tuturan bukan hanya keberhasilan komunikatif, melainkan terciptanya
pemahaman intersubjektif—suatu bentuk kebenaran yang lahir dari dialog.²⁰
Bahasa menjadi jembatan moral yang menghubungkan manusia sebagai makhluk
rasional sekaligus etis.²¹
Kesimpulan
Aksiologis
Secara aksiologis, tindakan tuturan mengandung
nilai ganda: nilai instrumental sebagai sarana komunikasi dan nilai intrinsik
sebagai perwujudan tanggung jawab moral dan sosial.²² Melalui ujaran, manusia
tidak hanya berbicara tentang dunia, tetapi juga menegakkan dunia bersama—dunia
yang diikat oleh janji, kepercayaan, dan solidaritas.²³ Maka, tindakan tuturan
adalah fondasi etika komunikasi humanistik, di mana makna dan nilai saling
menyatu dalam praktik hidup bersama.²⁴
Footnotes
[1]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 5–7.
[2]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 14–16.
[3]
Ibid., 15–17.
[4]
Ibid., 44–45.
[5]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
57–59.
[6]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
42–44.
[7]
Austin, How to Do Things with Words,
108–110.
[8]
Tuomela, The Philosophy of Social Practices,
70–72.
[9]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[10]
Ibid., 91–93.
[11]
Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.
[12]
John R. Searle, Making the Social World: The
Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010),
96–98.
[13]
Ibid., 102–103.
[14]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
95–97.
[15]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.
[16]
Ibid., 25–28.
[17]
Ibid., 42–44.
[18]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 385–387.
[19]
Habermas, On the Pragmatics of Communication,
49–50.
[20]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 155–158.
[21]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 66–68.
[22]
Searle, Expression and Meaning, 58–60.
[23]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
99–100.
[24]
Austin, How to Do Things with Words,
147–148.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Kultural
Tindakan tuturan tidak hanya beroperasi di ranah
linguistik dan psikologis, tetapi juga berakar dalam struktur sosial,
politik, dan kultural tempat bahasa digunakan. Dalam kerangka ini, setiap
ujaran tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, norma, dan praktik sosial yang
melegitimasinya. Bahasa bukan sistem netral; ia adalah arena di mana makna
dinegosiasikan, identitas dibentuk, dan relasi kekuasaan dijalankan.¹
6.1.
Bahasa sebagai Praktik Sosial
Sejak Wittgenstein memperkenalkan konsep language-games,
bahasa dipahami sebagai bagian dari praktik sosial yang kompleks.² Makna ujaran
tidak terletak pada struktur internalnya, melainkan pada penggunaannya dalam
konteks sosial tertentu.³ Ketika seseorang berjanji, memerintah, atau
mengkritik, ia sedang melakukan tindakan yang diatur oleh norma sosial dan
ekspektasi kultural. Dengan demikian, tindakan tuturan adalah praktik sosial
performatif—ia membentuk tatanan interaksi yang diakui dan direproduksi
oleh komunitas bahasa.⁴
John R. Searle kemudian memperluas konsep ini
dengan menunjukkan bahwa tindakan tuturan berperan dalam pembentukan institusi
sosial.⁵ Melalui apa yang disebutnya sebagai status function
declarations, manusia menciptakan realitas sosial—seperti uang, perkawinan,
atau hukum—melalui ujaran yang diakui secara kolektif.⁶ Pernyataan “Saya
nyatakan Anda suami dan istri” bukan sekadar kalimat, tetapi tindakan
institusional yang menegaskan tatanan sosial.⁷ Dengan kata lain, tindakan
tuturan adalah mekanisme dasar pembentukan realitas intersubjektif yang
memungkinkan kehidupan bersama.
6.2.
Kekuasaan dan Politik Bahasa
Dalam dimensi politik, bahasa menjadi sarana
produksi dan reproduksi kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa ujaran (discourse)
selalu terkait dengan rezim pengetahuan dan kekuasaan yang menentukan siapa
yang boleh berbicara, apa yang dapat dikatakan, dan dalam konteks apa sesuatu
menjadi sah untuk diucapkan.⁸ Melalui kontrol terhadap ujaran, masyarakat
mengatur struktur legitimasi dan otoritas. Pernyataan seorang pejabat negara,
misalnya, memiliki kekuatan performatif yang berbeda dibandingkan ujaran warga
biasa karena didukung oleh struktur kekuasaan institusional.⁹
Judith Butler kemudian mengembangkan konsep ini
dalam konteks teori gender dan politik bahasa. Dalam karyanya Excitable
Speech, Butler menegaskan bahwa ujaran bukan hanya mencerminkan kekuasaan,
tetapi juga memproduksi subjek dan identitas.¹⁰ Ia memperkenalkan
gagasan tentang performativity—yakni bahwa identitas sosial, termasuk
gender, dibentuk melalui pengulangan tindakan tutur yang diatur secara
normatif.¹¹ Dengan demikian, ujaran berfungsi sebagai mekanisme politik yang
membentuk tubuh sosial dan menentukan siapa yang diakui atau disingkirkan dalam
tatanan budaya.¹²
6.3.
Dimensi Kultural dan Interkultural
Setiap tindakan tuturan juga mengandung nilai-nilai
budaya yang melekat pada konteksnya. Clifford Geertz menekankan bahwa bahasa
adalah sistem simbolik yang mengandung “makna-makna kultural yang
terperangkap dalam jaring interpretasi manusia.”¹³ Dalam masyarakat yang
berbeda, bentuk tindak tutur—seperti cara memberi salam, memohon maaf, atau
menolak—menunjukkan sistem nilai dan norma yang berbeda pula.
Dalam masyarakat Timur, misalnya, ujaran sering
diatur oleh prinsip kesopanan dan hierarki sosial (politeness and hierarchy),
sementara dalam masyarakat Barat lebih menekankan kesetaraan dan kejelasan.¹⁴
Fenomena ini menunjukkan bahwa tindakan tuturan bersifat relatif-kultural:
kekuatan dan maknanya tidak universal, melainkan ditentukan oleh konvensi lokal
dan tradisi komunikasi.¹⁵ Karenanya, memahami tindakan tuturan dalam konteks
lintas budaya menuntut kepekaan hermeneutik terhadap simbol dan nilai yang
mengaturnya.¹⁶
6.4.
Bahasa, Ideologi, dan Resistensi
Bahasa juga merupakan arena ideologis di mana makna
dapat ditantang dan diubah. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa setiap ujaran
adalah bentuk investasi simbolik yang berhubungan dengan modal linguistik—yakni
nilai sosial dari gaya bicara dan posisi pembicara dalam medan sosial.¹⁷ Mereka
yang memiliki “otoritas simbolik” (seperti politisi, guru, atau pemuka
agama) memiliki kemampuan untuk menentukan makna dan mempengaruhi persepsi
publik.¹⁸ Namun, di sisi lain, tindakan tuturan juga dapat menjadi sarana
resistensi: ujaran dapat dipakai untuk menantang struktur kekuasaan melalui
bentuk-bentuk counter-discourse.¹⁹
Habermas menempatkan dimensi ini dalam kerangka tindakan
komunikatif—yakni bahwa rasionalitas sejati muncul ketika bahasa digunakan
secara bebas dari dominasi dan manipulasi.²⁰ Dalam konteks sosial dan politik,
tindakan tuturan idealnya menjadi sarana deliberatif yang memungkinkan
partisipasi setara dan rasionalitas publik.²¹ Maka, tindakan tuturan bukan
sekadar cermin realitas sosial, tetapi juga alat untuk mengubahnya
melalui praktik komunikasi yang emansipatoris.²²
Sintesis
Sosiokultural: Bahasa sebagai Ruang Solidaritas
Secara sosial dan kultural, tindakan tuturan adalah
ekspresi dari ko-eksistensi manusia—tempat di mana identitas, nilai, dan
kekuasaan berkelindan. Bahasa menciptakan ruang interaksi yang memediasi antara
individu dan masyarakat, antara kekuasaan dan kebebasan, antara tradisi dan inovasi.²³
Dalam arti ini, tindakan tuturan memiliki fungsi ganda: ia sekaligus
mereproduksi tatanan sosial dan membuka kemungkinan transformasi.²⁴
Bahasa sebagai tindakan sosial menuntut sikap etis
dan reflektif: menyadari bahwa setiap ujaran membawa dampak pada orang lain.²⁵
Dalam konteks global dan multikultural, tindakan tuturan yang sensitif terhadap
perbedaan dan kerentanan menjadi dasar bagi komunikasi yang humanistik dan
inklusif.²⁶
Footnotes
[1]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–39.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.
[3]
Ibid., §241.
[4]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 108–110.
[5]
John R. Searle, The Construction of Social
Reality (New York: Free Press, 1995), 27–29.
[6]
Ibid., 35–36.
[7]
Ibid., 42–43.
[8]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 216–219.
[9]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 93–95.
[10]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.
[11]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–25.
[12]
Butler, Excitable Speech, 32–33.
[13]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[14]
Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness:
Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 45–47.
[15]
Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language
and Social Life,” in Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of
Communication, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New York: Holt, Rinehart
& Winston, 1972), 38–41.
[16]
Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays
in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 62–64.
[17]
Bourdieu, Language and Symbolic Power,
43–45.
[18]
Ibid., 55–56.
[19]
Norman Fairclough, Language and Power
(London: Longman, 1989), 19–21.
[20]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
[21]
Ibid., 96–99.
[22]
Habermas, On the Pragmatics of Communication,
ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 41–44.
[23]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 383–386.
[24]
John R. Searle, Making the Social World: The
Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010),
120–122.
[25]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 67–69.
[26]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 105–107.
7.
Kritik
terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Meskipun teori tindakan tuturan (speech act
theory) yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John R. Searle memberikan
kontribusi besar bagi filsafat bahasa dan pragmatik modern, teori ini tidak
luput dari berbagai kritik. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah:
mulai dari dekonstruksionisme poststruktural, pragmatik kognitif, hingga teori
sosial dan linguistik kritis. Perdebatan ini menyoroti keterbatasan model
klasik dalam menjelaskan kompleksitas bahasa sebagai praktik sosial yang
dinamis, ambigu, dan penuh kekuasaan.¹
7.1.
Kritik Dekonstruktif: Jacques
Derrida dan Problematika Konteks
Kritik paling terkenal terhadap Austin datang dari
Jacques Derrida melalui esainya Signature, Event, Context (1972).²
Derrida menilai bahwa konsep “konteks” dalam teori tindakan tuturan
Austin terlalu sempit dan menekankan kehadiran (presence) pembicara
serta keutuhan situasi komunikatif.³ Bagi Derrida, setiap ujaran selalu
mengandung sifat iterability—yakni kemampuan untuk diulang dalam konteks
berbeda tanpa kehilangan fungsinya.⁴ Dengan demikian, makna tidak pernah
stabil, karena setiap pengulangan menciptakan kemungkinan penyimpangan dari maksud
awal pembicara.
Menurut Derrida, Austin gagal melihat bahwa
performativitas bahasa tidak membutuhkan niat pembicara sebagai pusat makna.⁵
Justru ketidakhadiran, perbedaan, dan pengulangan merupakan kondisi kemungkinan
bagi komunikasi itu sendiri. Kritik ini menggoyahkan fondasi epistemik teori
tindakan tuturan klasik yang menempatkan intensi sebagai dasar makna.⁶
Dalam pandangan dekonstruktif, tindakan tuturan bukan peristiwa tertutup yang
dikendalikan oleh subjek, melainkan fenomena terbuka yang tak pernah sepenuhnya
dapat dikontrol.⁷
7.2.
Kritik Pragmatik dan
Sosiolinguistik: Relevansi dan Variabilitas Konteks
Selain dari Derrida, teori tindakan tuturan juga
dikritik oleh kalangan pragmatis dan sosiolinguistik karena kecenderungannya
mengabaikan variabilitas konteks dan faktor sosial.⁸ Geoffrey Leech dan Stephen
Levinson, misalnya, menekankan bahwa ujaran tidak dapat dianalisis hanya dari
maksud pembicara, tetapi juga dari norma kesopanan (politeness) dan
strategi komunikasi yang dipengaruhi oleh budaya.⁹ Dalam interaksi lintas
budaya, bentuk tindak tutur yang sama dapat memiliki nilai sosial dan etika
yang berbeda.¹⁰
Relevan juga teori Relevance dari Dan
Sperber dan Deirdre Wilson yang mengkritik pendekatan Searle karena terlalu
bergantung pada aturan formal.¹¹ Mereka berargumen bahwa pemahaman ujaran tidak
hanya didasarkan pada konvensi, tetapi pada prinsip kognitif: manusia secara
alami mencari makna yang paling relevan dalam konteks tertentu.¹² Dengan
demikian, teori tindakan tuturan klasik dianggap kurang fleksibel untuk
menjelaskan dinamika komunikasi yang bergantung pada inferensi dan pragmatik
kognitif.¹³
7.3.
Kritik Feminisme dan Politik Bahasa:
Judith Butler dan Performatifitas Sosial
Dalam ranah teori kritis dan feminisme, Judith
Butler mengajukan pembacaan baru terhadap konsep performatif Austin.¹⁴
Dalam Gender Trouble (1990) dan Excitable Speech (1997), Butler
menunjukkan bahwa tindakan tuturan tidak hanya menciptakan realitas sosial,
tetapi juga memproduksi subjek dan identitas melalui pengulangan normatif.¹⁵ Ia
mengkritik Searle karena memahami tindakan tuturan secara terlalu “individualistis,”
seolah makna hanya bergantung pada intensi pembicara.¹⁶
Menurut Butler, performativitas bersifat sosial dan
politik: ujaran tidak netral, melainkan mereproduksi kekuasaan dan hierarki
sosial.¹⁷ Misalnya, ujaran-ujaran yang bersifat penghinaan atau pelecehan tidak
sekadar menyakiti secara linguistik, tetapi menciptakan kondisi sosial yang
menindas.¹⁸ Dengan demikian, kritik Butler menyoroti dimensi ideologis dari tindakan
tuturan—bahwa bahasa tidak hanya melakukan tindakan, tetapi juga menormalisasi
tatanan sosial tertentu.¹⁹
7.4.
Kritik Teori Komunikatif: Habermas
dan Rasionalitas Bahasa
Jürgen Habermas mengkritik pendekatan Austin–Searle
karena terlalu menitikberatkan pada keberhasilan formal tindak tutur, tanpa
memperhatikan rasionalitas komunikatif dan norma intersubjektif yang
melandasinya.²⁰ Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif yang
berupaya melampaui pendekatan performatif sempit menuju model etis-dialogis.²¹
Ia berargumen bahwa setiap tindakan tuturan mengandung tiga klaim validitas—truth,
rightness, dan sincerity—yang harus dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional dalam ruang publik.²² Dengan kata lain, keberhasilan ujaran
tidak cukup dinilai dari pemenuhan kondisi kebahasaan, tetapi dari
keterbukaannya terhadap kritik dan argumentasi bersama.²³
Kritik Habermas ini memperluas dimensi aksiologis
teori tindakan tuturan ke arah etika komunikasi yang lebih humanistik dan
demokratis.²⁴ Ia menolak pandangan bahwa bahasa hanya instrumen tindakan
sosial, dan menegaskan bahwa komunikasi sejati adalah ruang untuk konsensus
rasional antara subjek yang setara.²⁵
Sintesis
Kritik: Menuju Model Tindakan Tuturan yang Terbuka dan Kontekstual
Dari berbagai kritik tersebut, tampak bahwa teori
tindakan tuturan klasik memiliki kelebihan sebagai fondasi analisis bahasa
sebagai tindakan, tetapi juga keterbatasan dalam menghadapi kompleksitas sosial
dan kultural kontemporer.²⁶ Teori Austin dan Searle cenderung menekankan stabilitas
makna dan kejelasan intensi, sementara konteks sosial modern
memperlihatkan fluiditas makna, kekuasaan, dan identitas.²⁷
Sintesis dari berbagai kritik tersebut mengarah
pada kebutuhan akan model tindakan tuturan yang lebih terbuka, reflektif,
dan kontekstual, yang memperhitungkan aspek kekuasaan, budaya, dan etika
dalam setiap peristiwa komunikasi.²⁸ Dengan pendekatan demikian, teori tindakan
tuturan tidak lagi sekadar analisis logis, tetapi menjadi refleksi filosofis
atas kondisi manusia sebagai makhluk komunikatif yang hidup dalam dunia yang
plural dan dinamis.²⁹
Footnotes
[1]
Barry Smith, “Towards a History of Speech Act
Theory,” in Speech Acts, Meaning and Intentions: Critical Approaches to the Philosophy
of John R. Searle, ed. Armin Burkhardt (Berlin: de Gruyter, 1990), 29–31.
[2]
Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited
Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern
University Press, 1988), 1–23.
[3]
Ibid., 5–6.
[4]
Ibid., 7–9.
[5]
Ibid., 14–15.
[6]
Ibid., 18–19.
[7]
Gayatri C. Spivak, “Translator’s Preface,” in
Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri C. Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), xvii–xx.
[8]
Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics
(London: Longman, 1983), 5–6.
[9]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 35–38.
[10]
Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness:
Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 45–47.
[11]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 37–39.
[12]
Ibid., 42–43.
[13]
Ibid., 62–63.
[14]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 2–4.
[15]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–27.
[16]
Butler, Excitable Speech, 31–33.
[17]
Ibid., 45–46.
[18]
Ibid., 48–49.
[19]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 119–121.
[20]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[21]
Ibid., 91–93.
[22]
Jürgen Habermas, On the Pragmatics of Communication,
ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 22–25.
[23]
Ibid., 27–28.
[24]
Ibid., 33–35.
[25]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
95–97.
[26]
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 71–72.
[27]
Butler, Excitable Speech, 57–59.
[28]
Habermas, On the Pragmatics of Communication,
45–47.
[29]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 382–384.
8.
Relevansi
Kontemporer
Dalam era komunikasi digital dan globalisasi, teori
tindakan tuturan memperoleh relevansi baru yang melampaui batas-batas filsafat
bahasa klasik. Bahasa kini hadir tidak hanya dalam interaksi tatap muka, tetapi
juga dalam ruang virtual, media sosial, dan sistem kecerdasan buatan.
Transformasi ini menantang pemahaman tradisional tentang ujaran, makna, dan
niat.¹ Tindakan tuturan tidak lagi terbatas pada situasi sosial langsung,
melainkan beroperasi di medan yang diperantarai oleh teknologi, algoritma, dan
jaringan global. Oleh karena itu, refleksi atas tindakan tuturan di masa kini
menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat bahasa, etika
digital, dan teori komunikasi.
8.1.
Tindakan Tuturan di Era Digital
Dalam konteks digital, ujaran telah menjadi bentuk
utama interaksi sosial. Posting, tweet, dan comment
merupakan tindakan tuturan yang memiliki daya performatif tersendiri.² Ketika
seseorang menulis “Saya dukung gerakan ini” di media sosial, ia tidak
hanya menyatakan opini, tetapi juga melakukan tindakan sosial: membentuk
identitas, menunjukkan afiliasi politik, atau memobilisasi solidaritas publik.³
Namun, perbedaan mendasar antara ujaran digital dan
ujaran tradisional terletak pada keterputusan konteks.⁴ Dalam media
daring, tindakan tuturan sering kehilangan dimensi temporal dan spatial yang
menjadi dasar analisis Austin.⁵ Ujaran dapat diulang, disebarkan, dan
ditafsirkan ulang oleh banyak pihak tanpa kontrol pembicara.⁶ Hal ini
menimbulkan persoalan epistemik dan etis baru: siapa yang bertanggung jawab
atas efek ujaran yang viral? Apakah niat pembicara masih relevan ketika
ujarannya digunakan di luar konteks aslinya?⁷
Dengan demikian, tindakan tuturan digital
menegaskan kembali temuan Derrida tentang iterability—bahwa setiap
ujaran dapat hidup kembali dalam konteks baru yang tak terduga.⁸ Dalam dunia
yang ditandai oleh kecepatan informasi, tindakan tuturan menjadi fenomena yang
cair, transkontekstual, dan berpotensi melahirkan baik solidaritas maupun
disinformasi.
8.2.
Etika Komunikasi dan Tanggung Jawab
Ujaran Publik
Perkembangan ruang publik digital juga menuntut
pembacaan ulang terhadap aksiologi tindakan tuturan. Bahasa kini menjadi
kekuatan sosial yang dapat membangun atau merusak tatanan moral masyarakat.⁹ Fenomena
ujaran kebencian (hate speech), misinformasi, dan ujaran manipulatif
menunjukkan bahwa kekuatan performatif bahasa dapat berbalik menjadi
destruktif.¹⁰
Habermas menegaskan pentingnya etika diskursus
dalam menjaga rasionalitas publik, di mana komunikasi harus berlangsung
berdasarkan prinsip kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab.¹¹ Dalam konteks
ini, teori tindakan tuturan dapat memberikan kerangka normatif untuk menilai
kualitas komunikasi digital: apakah ujaran itu mengarah pada pemahaman atau justru
memperdalam polarisasi?¹²
Selain itu, Judith Butler memperluas relevansi etis
teori ini dengan menekankan bahwa ujaran selalu memiliki dampak terhadap subjek
dan tubuh sosial.¹³ Ia memperingatkan bahwa ujaran yang menghina atau
mengucilkan bukan sekadar “kata-kata,” melainkan tindakan yang dapat
menciptakan luka eksistensial.¹⁴ Dalam ruang digital yang anonim dan masif,
kesadaran akan nilai etis ujaran menjadi semakin penting.¹⁵
8.3.
Tindakan Tuturan dan Kecerdasan
Buatan
Salah satu isu kontemporer yang paling menarik
adalah munculnya kecerdasan buatan (AI) yang mampu menghasilkan ujaran
seolah-olah dilakukan oleh manusia.¹⁶ Apakah mesin dapat melakukan tindakan
tuturan dalam arti filosofis? Menurut John Searle, tindakan tuturan
mensyaratkan intensi mental dan kesadaran, yang tidak mungkin dimiliki
oleh sistem buatan.¹⁷ Oleh karena itu, ujaran yang dihasilkan AI hanyalah simulasi
tindakan tuturan, bukan tindakan yang autentik.¹⁸
Namun, perkembangan teknologi large language
models menunjukkan bahwa sistem ini mampu berinteraksi secara kontekstual
dan menghasilkan respons yang memiliki efek ilokusi nyata terhadap pengguna.¹⁹
Dalam hal ini, perbedaan antara intensionalitas sejati dan fungsi
komunikatif menjadi semakin kabur.²⁰ Fenomena ini menuntut reinterpretasi
terhadap batas ontologis dan epistemologis tindakan tuturan: apakah komunikasi
harus selalu melibatkan kesadaran, atau cukup dengan kemampuan menghasilkan
efek sosial dan pragmatik?²¹
8.4.
Politik Bahasa di Dunia Global dan
Multikultural
Dalam konteks globalisasi, tindakan tuturan juga
berfungsi sebagai sarana negosiasi identitas dan kekuasaan antarbudaya.²²
Bahasa bukan hanya alat komunikasi lintas bangsa, tetapi juga instrumen
hegemoni dan resistensi.²³ Ujaran diplomatik, pidato internasional, atau pernyataan
politik global sering kali berperan sebagai tindakan performatif yang mengatur
relasi geopolitik dan simbolik antarnegara.²⁴
Clifford Geertz menegaskan bahwa makna bahasa hanya
dapat dipahami dalam konteks budaya yang menghidupinya.²⁵ Oleh karena itu, keberhasilan
tindakan tuturan lintas budaya bergantung pada kepekaan hermeneutik
terhadap sistem nilai dan simbol yang berbeda.²⁶ Dalam era global, pemahaman
semacam ini menjadi syarat untuk menghindari konflik linguistik dan kultural.²⁷
Maka, relevansi tindakan tuturan hari ini juga terletak pada kemampuannya
membangun komunikasi antarperadaban yang etis, dialogis, dan inklusif.²⁸
8.5.
Menuju Etika Komunikasi Humanistik
Pada akhirnya, relevansi kontemporer teori tindakan
tuturan terletak pada kemampuannya menegaskan kembali dimensi humanistik
bahasa di tengah krisis komunikasi modern.²⁹ Bahasa bukan hanya alat
ekspresi atau representasi, melainkan ruang moral dan sosial tempat
manusia saling mengakui dan memahami.³⁰ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi
oleh algoritma dan ideologi, tindakan tuturan yang etis menjadi pondasi bagi
komunikasi yang berkeadilan dan empatik.³¹
Dengan mengintegrasikan wawasan dari Austin,
Searle, Habermas, Derrida, dan Butler, teori tindakan tuturan dapat diperbarui menjadi
paradigma komunikasi yang terbuka, reflektif, dan bertanggung jawab—sebuah
filsafat bahasa yang berpihak pada kemanusiaan di tengah teknologi dan
globalisasi.³²
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 87–89.
[2]
John R. Searle, Making the Social World: The
Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010),
103–105.
[3]
danah boyd, It's Complicated: The Social Lives
of Networked Teens (New Haven: Yale University Press, 2014), 35–36.
[4]
Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited
Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern
University Press, 1988), 7–9.
[5]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 21–23.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–47.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 72–75.
[8]
Derrida, “Signature, Event, Context,” 10–11.
[9]
Habermas, The Theory of Communicative Action,
93–95.
[10]
Susan Benesch, “Dangerous Speech: A Proposal to
Prevent Group Violence,” World Policy Journal 28, no. 1 (2011): 11–12.
[11]
Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.
[12]
Ibid., 50–51.
[13]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 3–4.
[14]
Ibid., 25–26.
[15]
Ibid., 33–35.
[16]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 185–187.
[17]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.
[18]
Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy
of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 42–43.
[19]
Luciano Floridi and Mariarosaria Taddeo, “What Is
Data Ethics?” Philosophy & Technology 29, no. 4 (2016): 252–254.
[20]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
113–116.
[21]
David J. Gunkel, The Machine Question: Critical
Perspectives on AI, Robots, and Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2012),
89–91.
[22]
Edward Said, Culture and Imperialism (New
York: Knopf, 1993), 23–25.
[23]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 120–123.
[24]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 41–43.
[25]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5–6.
[26]
Dell Hymes, “Models of the Interaction of Language
and Social Life,” in Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of
Communication, ed. John Gumperz and Dell Hymes (New York: Holt, Rinehart
& Winston, 1972), 38–39.
[27]
Geertz, Local Knowledge: Further Essays in
Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 62–64.
[28]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 105–106.
[29]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 387–389.
[30]
Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity:
Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh:
Duquesne University Press, 1985), 97–99.
[31]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 156–158.
[32]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 87–89.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik
Filsafat tindakan tuturan, ketika dipahami secara
mendalam, bukan sekadar teori linguistik atau analisis pragmatik, melainkan
refleksi tentang hakikat manusia sebagai makhluk berbahasa dan bertindak.
Bahasa bukan hanya medium komunikasi, tetapi juga arena tempat manusia
mewujudkan kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas.¹ Dalam kerangka ini,
sintesis filosofis tindakan tuturan menuntun kita menuju filsafat bahasa
humanistik—suatu pandangan yang menempatkan bahasa sebagai dasar etis dan
eksistensial dari kehidupan bersama.
9.1.
Dari Analisis ke Eksistensi: Bahasa
sebagai Aksi dan Pengakuan
Austin dan Searle telah membuka jalan dengan
menunjukkan bahwa berbicara berarti melakukan sesuatu.² Namun, pemaknaan
humanistik memperluas gagasan ini: berbicara berarti juga menjadi sesuatu
bersama yang lain. Setiap tindakan tuturan bukan hanya ekspresi kehendak
individu, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap keberadaan orang lain
sebagai mitra dialogis.³
Pandangan ini berakar pada gagasan intersubjektivitas
yang dikembangkan oleh Martin Buber dan Emmanuel Levinas. Buber menyatakan
bahwa relasi “Aku–Engkau” adalah inti eksistensi manusia—hubungan yang
terbentuk melalui kata dan dialog yang autentik.⁴ Sementara itu, Levinas
menegaskan bahwa bahasa adalah respons etis terhadap kehadiran “yang lain”
(l’Autre), yang menuntut tanggung jawab tanpa syarat.⁵ Maka, tindakan
tuturan tidak lagi dipahami hanya sebagai peristiwa linguistik, melainkan
sebagai peristiwa etis di mana subjek menegaskan kemanusiaannya melalui
pengakuan timbal balik.⁶
9.2.
Integrasi Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi
Filsafat bahasa humanistik mengintegrasikan tiga
dimensi utama teori tindakan tuturan:
·
Ontologis, bahwa
ujaran adalah bentuk tindakan yang menciptakan realitas sosial;
·
Epistemologis, bahwa
makna dipahami melalui niat, konteks, dan pengakuan timbal balik;
·
Aksiologis, bahwa
ujaran memiliki nilai moral dan sosial yang melekat.⁷
Ketiga dimensi ini saling berkelindan dalam
pengalaman berbahasa. Bahasa, dalam pengertian ini, adalah modus keberadaan
manusia di dunia—cara manusia memahami, menafsirkan, dan menata
realitasnya.⁸ Dengan demikian, tindakan tuturan mengungkapkan struktur
eksistensial manusia sebagai makhluk komunikatif: ia tidak hidup dalam isolasi,
melainkan dalam jaringan relasi makna dan tanggung jawab.⁹
9.3.
Komunikasi sebagai Ruang Etis dan
Emansipatoris
Dalam perspektif humanistik, komunikasi bukanlah
sarana untuk menguasai, melainkan untuk membangun pemahaman. Habermas
menegaskan bahwa tindakan komunikatif sejati adalah tindakan yang berorientasi
pada mutual understanding (saling pengertian), bukan pada keberhasilan
strategis.¹⁰ Dengan mengembalikan bahasa ke fungsi dialogisnya, teori tindakan
tuturan memperoleh makna etis baru: bahasa menjadi ruang emansipasi, tempat
manusia memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui dialog terbuka.¹¹
Selain itu, dalam konteks dunia digital dan plural,
filsafat bahasa humanistik menekankan kepekaan terhadap perbedaan.¹²
Komunikasi yang humanistik harus menghormati keragaman budaya, bahasa, dan
nilai. Butler, misalnya, mengingatkan bahwa ujaran tidak netral: ia dapat
melukai atau menyembuhkan.¹³ Oleh karena itu, kesadaran atas kekuatan
performatif bahasa harus disertai komitmen moral untuk menggunakan bahasa
secara inklusif, empatik, dan membebaskan.¹⁴
9.4.
Bahasa sebagai Tindakan Penciptaan
Dunia Bersama
Bahasa tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga
menciptakan dunia. Searle menyebut bahwa melalui declaratives,
manusia membentuk realitas sosial—seperti hukum, institusi, dan nilai.¹⁵ Namun
dalam sintesis humanistik, penciptaan dunia melalui bahasa tidak berhenti pada
aspek institusional, melainkan menyentuh ranah eksistensial: manusia mencipta
dunia bersama melalui kata yang penuh makna dan tanggung jawab.¹⁶
Bahasa adalah tindakan bersama (co-action)—sebuah
partisipasi kolektif dalam membangun dunia yang dapat dihuni oleh semua.¹⁷
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman sejati selalu bersifat dialogis: makna lahir
dari pertemuan horizon antara pembicara dan pendengar.¹⁸ Maka, filsafat bahasa
humanistik memandang tindakan tuturan sebagai praktik kebersamaan
hermeneutik yang terus-menerus memperbarui makna hidup bersama.¹⁹
9.5.
Menuju Etika Bahasa Humanistik
Sintesis ini berpuncak pada penegasan bahwa bahasa
harus didekati sebagai tanggung jawab moral.²⁰ Levinas mengingatkan
bahwa berbicara berarti menanggapi seruan etis dari yang lain; sedangkan
Habermas menekankan bahwa setiap klaim ujaran menuntut pembenaran rasional di
hadapan yang lain.²¹ Dua pandangan ini berpadu dalam prinsip dasar filsafat
bahasa humanistik: bahwa setiap kata mengandung komitmen terhadap kebenaran,
keadilan, dan kemanusiaan.²²
Dengan demikian, teori tindakan tuturan tidak
berhenti sebagai analisis linguistik, tetapi menjadi refleksi filosofis tentang
eksistensi manusia. Bahasa adalah tindakan moral yang mendirikan dunia
dialogis—dunia di mana manusia berbicara bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk
memahami dan mengasihi.²³
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 156–158.
[2]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.
[3]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
45–47.
[4]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald
Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 24–26.
[5]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 66–68.
[6]
Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor, trans.
Robert Czerny (Toronto: University of Toronto Press, 1977), 319–321.
[7]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
58–60.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 382–385.
[9]
Raimo Tuomela, The Philosophy of Social
Practices: A Collective Acceptance View (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), 107–109.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 99–100.
[11]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 87–89.
[12]
Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays
in Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 61–63.
[13]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 35–36.
[14]
Ibid., 43–45.
[15]
John R. Searle, Making the Social World: The
Structure of Human Civilization (Oxford: Oxford University Press, 2010),
117–118.
[16]
Austin, How to Do Things with Words,
147–148.
[17]
Tuomela, The Philosophy of Social Practices,
112–113.
[18]
Gadamer, Truth and Method, 387–388.
[19]
Ricoeur, Oneself as Another, 162–163.
[20]
Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with
Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press,
1985), 97–99.
[21]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, 92–94.
[22]
Butler, Excitable Speech, 49–50.
[23]
Paul Tillich, Love, Power, and Justice:
Ontological Analyses and Ethical Applications (Oxford: Oxford University
Press, 1954), 29–31.
10. Kesimpulan
Teori tindakan tuturan telah menandai sebuah
revolusi dalam filsafat bahasa modern dengan menegaskan bahwa berbicara
berarti bertindak.¹ J. L. Austin dan John R. Searle membuka horizon baru
dalam memahami bahasa, bukan semata sebagai sistem simbolik, melainkan sebagai
praktik performatif yang membentuk realitas sosial.² Namun, sebagaimana
diperlihatkan oleh kritik-kritik selanjutnya—mulai dari Derrida hingga
Habermas—bahasa tidak hanya bersifat performatif, tetapi juga reflektif,
terbuka, dan sarat dengan dimensi etis serta sosial.³
Dari analisis ontologis hingga aksiologis, tindakan
tuturan memperlihatkan bahwa bahasa merupakan modus eksistensi manusia.
Ia tidak hanya menjadi medium ekspresi pikiran, tetapi juga sarana penciptaan
dunia bersama.⁴ Melalui ujaran, manusia tidak hanya menggambarkan realitas,
tetapi juga membentuknya: ketika seseorang berjanji, menamai, memerintah, atau
menyatakan sesuatu, ia sedang berpartisipasi dalam penciptaan tatanan sosial
dan moral.⁵ Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai jembatan antara niat
individu dan struktur kolektif yang mengikat kehidupan manusia.⁶
Lebih jauh, tindakan tuturan menunjukkan bahwa
makna tidak dapat dilepaskan dari konteks, intensi, dan tanggung jawab.⁷
Ujaran yang berhasil bukan hanya yang benar secara proposisional, tetapi yang
memenuhi kondisi moral dan sosial komunikasi: kejujuran, kesungguhan, dan
pengakuan terhadap yang lain.⁸ Dalam pandangan Habermas, hal ini menjadi dasar
bagi rasionalitas komunikatif—yakni situasi di mana makna dibangun melalui
kesepakatan dan keterbukaan dialogis.⁹ Dengan demikian, tindakan tuturan bukan
hanya fenomena linguistik, melainkan pula etika intersubjektivitas.¹⁰
Kritik poststruktural dan pragmatik kontemporer
memperkaya teori ini dengan menunjukkan bahwa bahasa selalu bersifat terbuka
terhadap penafsiran ulang. Derrida menegaskan bahwa setiap ujaran memiliki
sifat iterability—kemampuannya untuk hidup dalam konteks yang baru.¹¹
Butler menambahkan bahwa ujaran dapat menciptakan identitas sekaligus
menindasnya, sementara Habermas menekankan pentingnya dialog sebagai ruang emansipasi.¹²
Melalui sintesis gagasan ini, kita memahami bahwa kekuatan bahasa tidak hanya
terletak pada kemampuannya untuk mengungkapkan, tetapi juga untuk mengubah.¹³
Dengan demikian, relevansi kontemporer teori
tindakan tuturan terletak pada kemampuannya untuk menjembatani filsafat bahasa,
etika, dan politik komunikasi. Dalam dunia yang didominasi teknologi, ujaran
digital telah menjadi tindakan sosial yang nyata, dan tanggung jawab
komunikatif semakin penting untuk menjaga keutuhan ruang publik.¹⁴ Maka,
pengembangan filsafat bahasa humanistik menjadi keharusan: sebuah
filsafat yang melihat bahasa bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai ruang
moral bagi pengakuan, empati, dan solidaritas manusia.¹⁵
Akhirnya, tindakan tuturan mengajarkan bahwa
berbicara adalah bentuk keberadaan yang paling manusiawi. Bahasa memampukan
manusia untuk menjalin makna, membangun dunia bersama, dan menegaskan
kemanusiaannya melalui kata.¹⁶ Dengan kata lain, “to say is to be with the
other”: bahwa dalam setiap ujaran yang tulus, manusia menemukan
dirinya—bukan dalam kesendirian, tetapi dalam dialog yang membuka ruang bagi
kebenaran dan kemanusiaan bersama.¹⁷
Footnotes
[1]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.
[2]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
22–24.
[3]
Jacques Derrida, “Signature, Event, Context,” in Limited
Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern
University Press, 1988), 9–11.
[4]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 385–387.
[5]
Austin, How to Do Things with Words, 45–46.
[6]
John R. Searle, The Construction of Social
Reality (New York: Free Press, 1995), 35–38.
[7]
Paul Grice, “Meaning,” Philosophical Review
66, no. 3 (1957): 377–388.
[8]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
58–60.
[9]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[10]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge,
MA: MIT Press, 1990), 93–95.
[11]
Derrida, “Signature, Event, Context,” 13–15.
[12]
Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of
the Performative (New York: Routledge, 1997), 32–34.
[13]
Butler, Excitable Speech, 48–49.
[14]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 72–75.
[15]
Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication, ed. Maeve Cooke (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 45–47.
[16]
Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity:
Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard Cohen (Pittsburgh:
Duquesne University Press, 1985), 98–99.
[17]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 157–159.
Daftar Pustaka
Austin, J. L. (1962). How to do things with words.
Oxford: Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
London: Gollancz.
Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic
communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.
Benesch, S. (2011). Dangerous speech: A proposal to
prevent group violence. World Policy Journal, 28(1), 11–12.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford: Oxford University Press.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power
(G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness:
Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith,
Trans.). New York: Scribner.
Burkhardt, A. (Ed.). (1990). Speech acts,
meaning and intentions: Critical approaches to the philosophy of John R. Searle.
Berlin: de Gruyter.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. New York: Routledge.
Butler, J. (1997). Excitable speech: A politics
of the performative. New York: Routledge.
Carnap, R. (2003). The logical structure of the
world (Original work published 1928). Chicago: Open Court.
Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber
& J. Mehlman, Trans.). Evanston: Northwestern University Press.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. Cambridge, MA: MIT Press.
Fairclough, N. (1989). Language and power.
London: Longman.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Floridi, L., & Taddeo, M. (2016). What is data
ethics? Philosophy & Technology, 29(4), 245–268.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York:
Pantheon Books.
Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. New York: Basic Books.
Geertz, C. (1983). Local knowledge: Further
essays in interpretive anthropology. New York: Basic Books.
Grice, P. (1957). Meaning. Philosophical Review,
66(3), 377–388.
Grice, P. (1989). Studies in the way of words.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Gunkel, D. J. (2012). The machine question:
Critical perspectives on AI, robots, and ethics. Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Habermas, J. (1998). On the pragmatics of
communication (M. Cooke, Ed.). Cambridge, MA: MIT Press.
Honneth, A. (1995). The struggle for recognition.
Cambridge: Polity Press.
Hymes, D. (1972). Models of the interaction of
language and social life. In J. Gumperz & D. Hymes (Eds.), Directions in
sociolinguistics: The ethnography of communication (pp. 35–71). New York:
Holt, Rinehart & Winston.
Leech, G. (1983). Principles of pragmatics.
London: Longman.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University
Press.
Levinas, E. (1985). Ethics and infinity:
Conversations with Philippe Nemo (R. Cohen, Trans.). Pittsburgh: Duquesne
University Press.
Morris, C. W. (1946). Signs, language, and
behavior. New York: Prentice-Hall.
Ricoeur, P. (1977). The rule of metaphor (R.
Czerny, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Said, E. W. (1993). Culture and imperialism.
New York: Knopf.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1979). Expression and meaning:
Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University
Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay
in the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1995). The construction of social
reality. New York: Free Press.
Searle, J. R. (2010). Making the social world:
The structure of human civilization. Oxford: Oxford University Press.
Searle, J. R., & Vanderveken, D. (1985). Foundations
of illocutionary logic. Cambridge: Cambridge University Press.
Smith, B. (1990). Towards a history of speech act
theory. In A. Burkhardt (Ed.), Speech acts, meaning and intentions: Critical
approaches to the philosophy of John R. Searle (pp. 29–60). Berlin: de
Gruyter.
Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance:
Communication and cognition. Oxford: Blackwell.
Tillich, P. (1954). Love, power, and justice:
Ontological analyses and ethical applications. Oxford: Oxford University
Press.
Tuomela, R. (2002). The philosophy of social
practices: A collective acceptance view. Cambridge: Cambridge University
Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New
York: PublicAffairs.
boyd, d. (2014). It’s complicated: The social
lives of networked teens. New Haven: Yale University Press.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar