Memahami Akidah
Islam
Fondasi Iman yang Kokoh
Abstrak
Artikel ini membahas akidah Islam sebagai fondasi
utama keimanan seorang Muslim, yang menjadi landasan bagi ibadah, akhlak, dan
interaksi sosial. Dengan pendekatan yang sistematis, artikel ini mengupas
konsep akidah, tauhid sebagai intinya, serta hubungan akidah dengan rukun iman.
Selain itu, artikel ini menjelaskan pentingnya pengamalan akidah dalam
kehidupan sehari-hari dan dinamika perkembangan pemikiran akidah sepanjang
sejarah Islam, termasuk tantangan modern seperti sekularisme, materialisme, dan
relativisme moral.
Melalui studi kasus krisis akidah di kalangan
Muslim, artikel ini mengidentifikasi faktor penyebab, seperti kurangnya
pendidikan agama yang komprehensif, pengaruh budaya global, dan penyalahgunaan
media digital. Untuk mengatasi tantangan tersebut, artikel ini menawarkan
solusi praktis, termasuk penguatan pendidikan akidah, pemanfaatan teknologi
untuk dakwah, dan peran keluarga serta komunitas dalam menjaga kemurnian
akidah. Kesimpulan menegaskan bahwa akidah yang kokoh adalah kunci untuk
menghadapi tantangan zaman dan membentuk pribadi Muslim yang teguh imannya
serta bermanfaat bagi masyarakat.
Artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi
umat Islam untuk memahami dan mengamalkan akidah secara mendalam, sehingga
mampu menjaga keimanan di tengah perubahan dunia yang terus berkembang.
Kata Kunci:
Akidah Islam, Tauhid, Rukun Iman, Kehidupan Muslim, Krisis
Akidah, Pendidikan Agama, Tantangan Modern, Sekularisme, Relativisme Moral,
Pemikiran Islam, Globalisasi, Dakwah Digital.
1.
Pendahuluan
1.1. Pengertian Akidah Secara Etimologi dan Terminologi
Kata akidah berasal dari bahasa Arab ‘aqd
yang berarti ikatan, simpul, atau penguatan. Secara terminologi, akidah mengacu
pada keyakinan yang kokoh dan mendalam di hati seseorang tanpa keraguan, yang menjadi
dasar perilaku dan cara pandang hidup.¹ Dalam konteks Islam, akidah mencakup
keyakinan terhadap Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, hari kiamat,
dan qada serta qadar. Akidah menjadi inti iman seorang Muslim, mengikat
hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, serta menentukan orientasi hidup di
dunia dan akhirat.²
1.2. Pentingnya Akidah dalam Islam
Akidah adalah fondasi keimanan yang menentukan
validitas amal seorang Muslim.³ Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, "Barangsiapa
yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sungguh Kami akan berikan kehidupan yang baik kepadanya..." (QS.
An-Nahl [16] ayat 97). Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan, yang bersumber dari
akidah yang benar, adalah prasyarat diterimanya amal perbuatan. Tanpa akidah
yang lurus, amal menjadi tidak bernilai di sisi Allah.⁴
Selain itu, akidah memberikan petunjuk bagi manusia
dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dengan keyakinan yang kokoh, seorang
Muslim mampu menghadapi ujian dunia dengan sikap sabar, optimisme, dan tawakal
kepada Allah.⁵ Akidah juga menjadi pembeda antara kebenaran dan kesesatan,
antara keyakinan kepada Allah yang benar dan keyakinan yang menyimpang, seperti
penyembahan kepada selain Allah.⁶
1.3. Tujuan Penulisan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mendalam tentang konsep akidah Islam berdasarkan referensi yang kredibel dari
Al-Qur'an, Hadis Shahih, dan karya-karya ulama terkemuka.⁷ Penulis berusaha
mengurai akidah dengan pendekatan yang sistematis dan objektif, agar pembaca
dapat memahami esensi dan urgensi akidah dalam kehidupan sehari-hari. Selain
itu, artikel ini diharapkan menjadi panduan bagi Muslim untuk menjaga kemurnian
akidah dari berbagai pengaruh negatif di era modern.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad
ibn Mukarram (Beirut: Dar Sadir, 1994), 4:109.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 17.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah
al-Harari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:37.
[4]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah
Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 10.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, ed. Zainab
Al-Ghazali (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:108.
[6]
Ibnu Taimiyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyah
(Cairo: Dar Ibn Hazm, 2015), 45.
[7]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 16-18.
2.
Konsep
Dasar Akidah dalam Islam
2.1. Definisi Akidah Menurut Para Ulama
Akidah, menurut para ulama, merujuk pada keyakinan
hati yang kokoh tanpa keraguan, yang menjadi dasar amal dan orientasi hidup
seorang Muslim.1 Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa akidah adalah "segala
yang wajib diyakini oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
anggota tubuh sebagai bentuk pengabdian kepada Allah."2
Al-Ghazali menjelaskan akidah sebagai ilmu yang membahas keyakinan iman yang
benar dan terlepas dari segala keraguan, yang diistilahkan sebagai ‘ilmu
kalam dalam tradisi teologi Islam.3
Secara praktis, akidah adalah dasar keimanan yang
membedakan seorang Muslim dari orang yang belum beriman. Akidah tidak hanya
berupa keyakinan intelektual, tetapi juga menjadi landasan tindakan, seperti
yang tercermin dalam hadits Rasulullah Saw: “Iman itu mencakup lebih dari 70
cabang; yang tertinggi adalah ucapan ‘La ilaha illallah,’ dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”4
2.2. Hubungan Akidah dengan Iman dan Islam
Dalam Islam, akidah adalah inti dari iman dan salah
satu pilar utama agama. Konsep ini terintegrasi dalam tiga aspek utama yang
dikenal sebagai Arkan al-Din (Rukun Agama): Iman, Islam, dan Ihsan.5
Iman adalah keyakinan hati, Islam adalah pelaksanaan syariat melalui amal
perbuatan, dan Ihsan adalah penyempurnaan ibadah dengan menghadirkan kesadaran
akan keberadaan Allah.6
Al-Qur'an menggambarkan hubungan ini dalam surah
Al-Hujurat: “Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.'
Katakanlah, 'Kalian belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk
(Islam),' karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (QS.
Al-Hujurat [49] ayat 14). Ayat ini menegaskan bahwa akidah yang benar (iman)
adalah basis Islam, sedangkan Islam tanpa iman yang kokoh hanya menjadi
kepatuhan lahiriah.7
2.3. Ruang Lingkup Akidah
Para ulama membagi ruang lingkup akidah ke dalam
tiga kategori utama:
1)
Tauhid (Keimanan kepada Allah):
Membahas
sifat-sifat Allah, hubungan-Nya dengan makhluk, dan kewajiban manusia untuk
menyembah-Nya semata.8
2)
Nubuwah (Kenabian):
Keyakinan
terhadap para nabi dan rasul sebagai utusan Allah, serta kitab-kitab yang
mereka bawa sebagai pedoman hidup.9
3)
Eschatologi (Akhirat):
Keyakinan
terhadap kehidupan setelah mati, termasuk hari kiamat, surga, dan neraka, serta
qada dan qadar sebagai takdir ilahi.10
Pembagian ini sering dikenal sebagai Usul al-Din
(Prinsip-Prinsip Agama), yang menjadi inti pembahasan dalam kitab-kitab akidah
klasik, seperti Al-Aqidah Al-Tahawiyah karya Imam Ath-Thahawi dan Al-Ibanah
karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.11
2.4. Relevansi Konsep Akidah dalam Kehidupan
Konsep akidah tidak hanya bersifat teoritis, tetapi
juga memberikan dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan akidah yang
benar, seorang Muslim memiliki landasan untuk menjalani hidup dengan keyakinan
dan ketenangan hati. Akidah mengarahkan setiap individu untuk menyelaraskan
tujuan hidupnya dengan ridha Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat [51] ayat 56).12
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad
ibn Mukarram (Beirut: Dar Sadir, 1994), 4:109.
[2]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
Al-Watan, 1998), 3:10.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah
al-Harari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:37.
[4]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Iman, no.
35.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 12-15.
[6]
Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis Jibril.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:366.
[8]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar al-Asimah, 2001), 8-9.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 16-18.
[10]
Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Qada wa
Al-Qadar (Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 33.
[11]
Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, ed.
Ahmad bin Ibrahim (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 5-6.
[12]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 215.
3.
Tauhid
sebagai Inti Akidah
3.1. Pengertian Tauhid dan Kedudukannya dalam Akidah
Tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu,
yang berarti "mengesakan". Dalam terminologi Islam, tauhid
merujuk pada keyakinan dan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang
layak disembah, yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, sifat, atau
perbuatan-Nya.¹ Tauhid menjadi inti dari ajaran akidah, sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allah: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun." (QS. An-Nisa [04] ayat
36).²
Tauhid adalah pesan utama yang dibawa oleh para nabi
dan rasul. Nabi Muhammad Saw mengajarkan kalimat tauhid “La ilaha illallah”
sebagai landasan dakwahnya, yang menegaskan bahwa tidak ada ilah yang berhak
disembah selain Allah.³ Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa tauhid adalah
tujuan penciptaan manusia dan jin: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56).⁴
3.2. Pembagian Tauhid
Para ulama membagi tauhid menjadi tiga kategori
utama, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.
Pembagian ini membantu memahami keesaan Allah secara komprehensif.⁵
1)
Tauhid Rububiyah
Tauhid
Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta,
pemelihara, dan pengatur alam semesta.⁶ Keyakinan ini diakui bahkan oleh
orang-orang musyrik di masa Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur'an: "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.'"
(QS. Az-Zumar [39] ayat 38). Namun, pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah saja
tidak cukup untuk membawa seseorang kepada keselamatan, tanpa disertai Tauhid
Uluhiyah.⁷
2)
Tauhid Uluhiyah
Tauhid
Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni hanya menyembah dan
mengabdi kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun.⁸ Konsep ini
menuntut ketaatan total kepada Allah dan menolak segala bentuk penyembahan
kepada selain-Nya, seperti kepada berhala, manusia, atau kekuatan gaib. Firman
Allah menegaskan: "Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am [06]
ayat 162).⁹
3)
Tauhid Asma’ wa Sifat
Tauhid Asma’
wa Sifat adalah meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang
sempurna, yang tidak menyerupai makhluk-Nya.⁰ Dalam QS. Al-A’raf [07] ayat 180,
Allah berfirman: "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu." Tauhid ini melarang
penyimpangan dalam memahami sifat Allah, seperti menyerupakan-Nya dengan
makhluk (tasybih) atau meniadakan sifat-sifat-Nya (ta’thil).¹¹
3.3. Penyimpangan dalam Tauhid dan Dampaknya
Penyimpangan dalam tauhid terjadi ketika seseorang
melakukan syirik, yakni menyekutukan Allah dalam rububiyah, uluhiyah, atau
asma’ wa sifat-Nya.¹² Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam yang tidak akan
diampuni jika pelakunya tidak bertaubat sebelum mati, sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan
Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS.
An-Nisa [04] ayat 48).¹³
Selain syirik, bentuk penyimpangan lain adalah
kufur (ingkar terhadap Allah), nifaq (kemunafikan), dan bid’ah yang
bertentangan dengan ajaran tauhid yang murni.¹⁴ Penyimpangan ini menyebabkan
hilangnya keberkahan hidup di dunia dan azab di akhirat, sebagaimana disebutkan
dalam banyak ayat dan hadis.¹⁵
3.4. Relevansi Tauhid dalam Kehidupan Sehari-hari
Tauhid memberikan arah dan makna dalam kehidupan
seorang Muslim. Dengan meyakini tauhid, seorang Muslim menyadari bahwa seluruh
hidupnya diarahkan untuk mencari ridha Allah. Tauhid memberikan ketenangan hati
dan keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kuasa Allah.¹⁶ Di tengah
tantangan kehidupan modern, tauhid menjadi benteng dari pengaruh
ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti
sekularisme dan materialisme.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Taimiyah, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 7.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 97.
[3]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul
Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 22.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:199.
[5]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:15.
[6]
Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah
(Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 4-5.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:217.
[8]
Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-6.
[9]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 25.
[10]
Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Asma wa Sifat
(Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 12-13.
[11]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 8.
[12]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo:
Dar al-Ma’rifah, 1990), 11:385.
[13]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 215.
[14]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 30.
[15]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.
[16]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 1:199.
[17]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
40-42.
4.
Akidah
dan Rukun Iman
4.1. Pengertian Rukun Iman
Rukun iman adalah enam pilar keimanan yang harus
diyakini oleh setiap Muslim sebagai bagian dari akidah Islam.¹ Dasar dari rukun
iman ini terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu dalil utamanya adalah
Hadis Jibril, di mana Rasulullah Saw menjelaskan bahwa iman adalah: “Engkau
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
hari akhir, dan takdir baik maupun buruknya.”² Keenam rukun iman ini
menjadi kerangka utama keyakinan dalam Islam yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
4.1.1.
Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman dan
menjadi fondasi akidah seorang Muslim.³ Keyakinan ini mencakup Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.⁴ Seorang Muslim meyakini
bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pengatur alam semesta, dan tidak ada
yang layak disembah selain Dia. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 255, Allah
berfirman: "Allah, tidak ada Tuhan selain Dia yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)."⁵
4.1.2.
Iman kepada Malaikat
Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah yang
diciptakan dari cahaya dan selalu taat kepada-Nya.⁶ Iman kepada malaikat
mencakup keyakinan terhadap keberadaan mereka, tugas-tugas yang diberikan oleh
Allah, dan nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti Jibril, Mikail,
Israfil, dan Malakul Maut. Allah berfirman: "Malaikat-malaikat itu
tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya." (QS. Al-Anbiya [21] ayat 27).⁷
4.1.3.
Iman kepada Kitab-Kitab
Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini bahwa
Allah telah menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya sebagai pedoman hidup umat
manusia.⁸ Kitab-kitab tersebut meliputi Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah kitab terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya,
sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur'an
dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi
penjaga atasnya." (QS. Al-Maidah [05] ayat 48).⁹
4.1.4.
Iman kepada Rasul-Rasul
Allah
Iman kepada rasul mencakup keyakinan terhadap 25
rasul yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
penutup para nabi.¹⁰ Rasul-rasul Allah diutus untuk menyampaikan risalah tauhid
dan membimbing umat manusia menuju jalan kebenaran. Dalam QS. Al-Ahzab [33]
ayat 45-46, Allah berfirman: "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus
engkau sebagai saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru
kepada Allah dengan izin-Nya."¹¹
4.1.5.
Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir adalah keyakinan terhadap
kehidupan setelah mati, termasuk kebangkitan, hisab, surga, dan neraka.¹²
Keimanan ini mengingatkan manusia untuk bertanggung jawab atas segala
perbuatannya di dunia. Dalam QS. Al-Zalzalah [99] ayat 7-8, Allah berfirman: "Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (balasannya)."¹³
4.1.6.
Iman kepada Qada dan Qadar
Iman kepada qada dan qadar adalah meyakini bahwa
segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini sudah ditentukan oleh Allah.¹⁴
Qada adalah ketetapan Allah yang bersifat universal, sedangkan qadar adalah
pelaksanaan ketetapan tersebut. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (QS. Al-Qamar [54] ayat
49). Keyakinan ini mengajarkan seorang Muslim untuk menerima takdir dengan
sabar dan tetap berusaha dalam menjalani kehidupannya.¹⁵
4.2. Keterkaitan Rukun Iman dalam Akidah
Rukun iman saling terkait dan membentuk satu
kesatuan akidah yang utuh. Keyakinan kepada Allah mendasari keimanan kepada
malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, dan qada serta qadar.¹⁶
Misalnya, iman kepada kitab-kitab Allah tidak akan sempurna tanpa meyakini
bahwa kitab tersebut disampaikan melalui rasul dan malaikat.¹⁷ Kesatuan ini
menunjukkan bahwa akidah Islam adalah sistem keimanan yang saling melengkapi,
yang membimbing manusia menuju jalan hidup yang lurus dan keberkahan dunia
serta akhirat.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo:
Dar al-Ma’rifah, 1990), 1:47.
[2]
Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-2.
[3]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 8-9.
[4]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 3:11.
[5]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 54.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:43.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:217.
[8]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 25.
[9]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:110.
[10]
Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah
(Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 5.
[11]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 31.
[12]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah
Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 12.
[13]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 450.
[14]
Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Qada wa
Al-Qadar (Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 27.
[15]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:15.
[16]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar
Sadir, 1994), 3:67.
[17]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid, 15.
5.
Akidah
dalam Kehidupan Sehari-Hari
5.1. Pentingnya Akidah sebagai Landasan Hidup
Akidah Islam tidak hanya menjadi keyakinan
teoritis, tetapi juga membentuk pandangan hidup seorang Muslim dalam setiap
aspek kehidupan. Akidah memberikan dasar nilai dan prinsip yang membimbing
seseorang dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sebagaimana firman Allah: "Barangsiapa
yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman,
maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl
[16] ayat 97).¹ Ayat ini menunjukkan bahwa akidah yang lurus membawa kebaikan
dalam hidup seseorang, baik secara spiritual maupun material.
Akidah yang kokoh juga memberikan ketenangan jiwa.
Dengan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, seorang
Muslim dapat menghadapi ujian hidup dengan sabar dan tawakal.² Al-Qur'an
menegaskan: "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. At-Taghabun [64] ayat 11).³
5.2. Akidah dalam Ibadah
Akidah yang benar menjadi dasar dalam pelaksanaan
ibadah. Setiap ibadah yang dilakukan harus dilandasi oleh niat yang ikhlas
kepada Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.⁴ Rasulullah Saw bersabda:
"Amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan
sesuai dengan apa yang diniatkan."⁵
Ibadah yang dilaksanakan dengan akidah yang lurus
tidak hanya memperkuat hubungan dengan Allah, tetapi juga memberikan dampak
positif pada perilaku seseorang. Sebagai contoh, salat yang didirikan dengan
penuh khusyuk menghindarkan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (QS.
Al-Ankabut [29] ayat 45).⁶ Dengan demikian, akidah menjadi fondasi untuk
memastikan bahwa ibadah yang dilakukan memiliki nilai dan diterima oleh Allah.
5.3. Akidah dalam Akhlak
Akhlak yang baik merupakan salah satu manifestasi
dari akidah yang benar.⁷ Seorang Muslim yang memiliki akidah kokoh akan
menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan dalam setiap aspek kehidupannya,
termasuk dalam akhlak. Sebagaimana Allah berfirman: "Dan sungguh engkau
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam [68]
ayat 4).⁸
Akidah yang lurus menciptakan kesadaran akan
tanggung jawab moral kepada Allah dan sesama manusia. Misalnya, seseorang yang
meyakini adanya hisab di hari kiamat akan berusaha menghindari dosa, seperti
berbohong, mencuri, atau menzalimi orang lain.⁹ Dengan akidah yang benar,
seorang Muslim juga akan terdorong untuk menunjukkan kasih sayang, kejujuran,
dan keadilan dalam interaksi sehari-hari.¹⁰
5.4. Akidah dalam Muamalah
Dalam aspek muamalah, akidah yang kokoh menjadi
panduan dalam menjalankan aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Akidah yang
benar menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat, sehingga seorang Muslim akan berusaha
menjalankan muamalah dengan jujur dan adil.¹¹ Misalnya, seorang pedagang yang
beriman tidak akan melakukan praktik riba atau kecurangan karena mengetahui
bahwa Allah melarang perbuatan tersebut (QS. Al-Baqarah [02] ayat 275).¹²
Akidah juga mendorong seorang Muslim untuk
menjunjung tinggi keadilan dan kebaikan dalam hubungan sosial. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl [16] ayat 90).¹³
5.5. Akidah sebagai Benteng dari Tantangan Modern
Di era globalisasi, akidah menjadi benteng dari
berbagai tantangan seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme moral.¹⁴
Seorang Muslim dengan akidah yang kokoh mampu menjaga prinsip-prinsip Islam
sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Rasulullah Saw bersabda: "Akan
datang suatu zaman di mana seseorang yang berpegang teguh pada agamanya seperti
memegang bara api."¹⁵ Hadis ini menunjukkan bahwa tantangan keimanan
di masa modern sangat berat, sehingga membutuhkan akidah yang kuat untuk tetap
istiqamah.
Pendidikan akidah sejak dini menjadi salah satu
solusi untuk menjaga generasi muda dari pengaruh negatif zaman. Dengan memahami
dan mengamalkan akidah yang benar, generasi Muslim dapat menjadi individu yang
tangguh, berintegritas, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 321.
[2]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh:
Dar Ibn Hazm, 2001), 10-11.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:25.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 2:35.
[5]
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Bad’ul
Wahy, no. 1.
[6]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.
[7]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 10:11.
[8]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 472.
[9]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:142.
[10]
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah
Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 28.
[11]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 32.
[12]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 73.
[13]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim,
4:217.
[14]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
45-48.
[15]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Iman, no.
299.
[16]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:49.
6.
Perkembangan
Pemikiran Akidah dalam Islam
6.1. Sejarah Perkembangan Akidah
Pemikiran akidah dalam Islam mulai berkembang sejak
masa Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh para sahabat. Pada masa Nabi, akidah
disampaikan secara langsung melalui wahyu Al-Qur'an dan penjelasan Rasulullah,
yang menekankan keesaan Allah (tauhid) dan kehidupan akhirat.¹ Setelah wafatnya
Rasulullah Saw, penyebaran Islam ke berbagai wilayah dengan latar belakang
budaya yang berbeda menimbulkan tantangan baru dalam memahami akidah.²
Masuknya pengaruh filsafat Yunani dan tradisi
intelektual asing ke dunia Islam pada abad ke-2 Hijriah memperluas diskusi
teologis, sehingga memunculkan berbagai aliran pemikiran dalam akidah.³ Para
ulama berusaha menjaga kemurnian akidah sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan
Sunnah sambil menghadapi tantangan intelektual dari filsafat dan pandangan
teologis lain.⁴
6.2. Aliran-Aliran dalam Pemikiran Akidah
Perkembangan pemikiran akidah melahirkan beberapa
aliran teologi dalam Islam, baik yang sesuai dengan prinsip Ahlus
Sunnah Wal Jamaah maupun yang menyimpang.
1)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, yang diwakili oleh pemikiran Asy'ariyah
dan Maturidiyah,
mempertahankan akidah Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta pendekatan
rasional yang moderat.⁵
o
Asy’ariyah: Didirikan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, aliran
ini menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu. Mereka menggunakan argumen
rasional untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah sambil tetap mengacu pada
Al-Qur'an dan Hadis.⁶
o
Maturidiyah: Didirikan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi,
aliran ini memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah,
tetapi lebih menekankan pada penggunaan akal dalam memahami keadilan Allah dan
qada serta qadar.⁷
2)
Mu'tazilah
Mu'tazilah
adalah aliran rasionalis yang muncul pada abad ke-2 Hijriah. Mereka menekankan
penggunaan akal dalam memahami agama dan menolak konsep anthropomorphism
(penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Namun, pendekatan mereka sering kali
dianggap menyimpang karena cenderung mengutamakan akal daripada wahyu.⁸ Mereka
terkenal dengan prinsip al-‘Adl wa al-Tauhid (keadilan dan keesaan
Allah).⁹
3)
Khawarij dan Syi'ah
o
Khawarij menekankan pandangan ekstrem terhadap keimanan dan
mengkafirkan siapa pun yang dianggap menyimpang dari ajaran mereka.¹⁰
o
Syi'ah lebih berfokus pada kepemimpinan (imamah) dan
keimanan terhadap para imam sebagai figur yang dianggap memiliki otoritas
spiritual tertinggi setelah Rasulullah.¹¹
4)
Filosof Muslim
Para filosof
Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd mencoba mengharmoniskan
filsafat Yunani dengan akidah Islam. Meskipun karya-karya mereka berkontribusi
dalam pengembangan pemikiran Islam, beberapa pandangan mereka, seperti konsep
kekekalan alam, dikritik oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut
al-Falasifah.¹²
6.3. Peran Ulama dalam Menjaga Kemurnian Akidah
Para ulama memainkan peran penting dalam menjaga
kemurnian akidah dari penyimpangan.
·
Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin dan Tahafut al-Falasifah,
membantah pandangan yang bertentangan dengan akidah Islam, khususnya dari para
filosof.¹³
·
Ibnu Taimiyah, melalui Al-Aqidah Al-Wasithiyah, menegaskan
kembali prinsip-prinsip akidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah dan menolak pandangan yang menyimpang.¹⁴
·
Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi menyusun kerangka
teologis yang kokoh untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran
rasionalis ekstrem.¹⁵
6.4. Dinamika Pemikiran Akidah di Era Modern
Pada era modern, perkembangan pemikiran akidah
menghadapi tantangan baru, seperti sekularisme, atheisme, dan pluralisme agama.
Gerakan reformis seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani mencoba
menjawab tantangan ini dengan mendekatkan Islam kepada realitas modern tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip akidah.¹⁶
Selain itu, gerakan salafi
modern yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha
mengembalikan Islam kepada kemurnian tauhid dengan menolak praktik-praktik yang
dianggap bid’ah.¹⁷ Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap
terlalu literal dalam memahami teks agama.¹⁸
Kesimpulan: Pentingnya Pemahaman Akidah yang Benar
Perkembangan pemikiran akidah menunjukkan bahwa
Islam memiliki kemampuan untuk menjawab berbagai tantangan intelektual di
setiap zaman. Namun, pemahaman akidah yang benar tetap harus berpegang pada
Al-Qur'an dan Sunnah serta bimbingan ulama yang terpercaya.¹⁹ Dengan pemahaman
yang kokoh, umat Islam mampu menjaga keimanan mereka sambil beradaptasi dengan
tantangan zaman.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:45.
[2]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 20-22.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:35.
[4]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.
[5]
Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah
(Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 4.
[6]
Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), 15.
[7]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 12-14.
[8]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:142.
[9]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 25.
[10]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo:
Dar al-Ma’rifah, 1990), 11:123.
[11]
Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and
Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 73.
[12]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Beirut:
Dar al-Ma‘rifah, 1995), 5-10.
[13]
Ibid., 3-4.
[14]
Ibnu Taimiyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyah
(Riyadh: Dar Al-Watan, 1998), 10.
[15]
Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, 6.
[16]
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 20-25.
[17]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid, 8.
[18]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
45-48.
[19]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar
Sadir, 1994), 3:67.
7.
Akidah
dan Tantangan Zaman
7.1. Tantangan Ideologis di Era Modern
Di era modern, umat Islam menghadapi tantangan
ideologis yang dapat menggoyahkan akidah, seperti sekularisme, materialisme,
liberalisme, dan atheisme.¹ Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan publik
dan politik, sehingga memarginalkan peran akidah dalam pengambilan keputusan
penting.² Materialisme, di sisi lain, mengutamakan kepemilikan materi sebagai
tujuan hidup, yang bertentangan dengan konsep tauhid yang menekankan akhirat
sebagai tujuan utama.³
Liberalisme agama memperkenalkan gagasan kebebasan
interpretasi tanpa batas yang sering kali melampaui kerangka Al-Qur'an dan
Sunnah.⁴ Sebagai contoh, beberapa pihak mencoba menafsirkan konsep tauhid
dengan cara yang merelatifkan keesaan Allah, yang dapat mengarah pada
kesalahpahaman teologis.⁵ Selain itu, atheisme yang semakin berkembang melalui
media digital dan komunitas global menantang keberadaan Tuhan dengan
argumen-argumen ilmiah dan filosofis.⁶
7.2. Perubahan Sosial dan Teknologi
Perubahan sosial yang cepat akibat globalisasi dan
perkembangan teknologi juga memberikan tantangan besar terhadap akidah. Media
sosial, yang dapat menjadi sarana dakwah, sering kali disalahgunakan untuk
menyebarkan paham-paham menyimpang, seperti Islamophobia, radikalisme, atau
bahkan ajaran sesat.⁷
Generasi muda Muslim juga menghadapi pengaruh
budaya populer yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.⁸ Hal ini
dapat melemahkan keyakinan mereka terhadap akidah jika tidak disertai
pendidikan agama yang kuat. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”⁹ Hadis ini menunjukkan pentingnya pendidikan
akidah sejak dini untuk menjaga generasi Muslim dari pengaruh buruk zaman.
7.3. Fenomena Relativisme Moral
Relativisme moral, yang berkembang di era modern,
mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam nilai-nilai moral.¹⁰ Gagasan
ini bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang menegaskan kebenaran absolut
Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Allah berfirman: "Dan
sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya." (QS. Al-An'am [06] ayat 153).¹¹
Relativisme moral sering kali mengaburkan batasan
antara yang halal dan yang haram, sehingga mendorong perilaku menyimpang
seperti pernikahan sesama jenis, penyalahgunaan narkoba, dan penyebaran
pornografi.¹² Tanpa akidah yang kokoh, seorang Muslim dapat terjebak dalam gaya
hidup yang merusak iman dan moralnya.
7.4. Strategi Menghadapi Tantangan Zaman
1)
Memperkuat Pendidikan Akidah
Pendidikan
akidah yang benar menjadi kunci untuk menghadapi tantangan zaman. Rasulullah Saw
menekankan pentingnya belajar agama dengan bersabda: "Barang siapa
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memahamkannya tentang agama."¹³
Kurikulum pendidikan Islam harus memasukkan pengajaran akidah yang mendalam,
mencakup pemahaman rukun iman, tauhid, dan bahaya penyimpangan akidah.
2)
Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah
Media
digital harus dimanfaatkan sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan akidah yang
benar. Konten edukatif tentang Islam yang berbasis Al-Qur'an dan Sunnah perlu
dikembangkan untuk menjawab keraguan yang muncul akibat penyebaran informasi
yang salah.¹⁴ Dengan cara ini, generasi muda dapat mendapatkan pengetahuan
agama dari sumber yang kredibel.
3)
Penguatan Keluarga sebagai Benteng Akidah
Keluarga
merupakan benteng pertama dalam menjaga akidah anak-anak.¹⁵ Orang tua harus
memberikan teladan yang baik dalam beribadah dan mendidik anak-anak mereka
tentang nilai-nilai Islam sejak dini. Dalam QS. At-Tahrim [66] ayat 6, Allah
berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka."¹⁶ Ayat ini menggarisbawahi tanggung jawab
keluarga dalam menjaga keimanan generasi penerus.
4)
Mempererat Persatuan Umat Islam
Persatuan
umat Islam sangat penting untuk menghadapi tantangan zaman. Perpecahan sering
kali dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan umat. Akidah yang benar
harus menjadi landasan persatuan, dengan menjunjung tinggi prinsip moderasi
(wasathiyyah) yang diajarkan oleh Al-Qur'an.¹⁷ Allah berfirman: "Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai." (QS. Ali Imran [03] ayat 103).¹⁸
Kesimpulan: Pentingnya Akidah dalam Menghadapi Zaman
Akidah yang kokoh adalah benteng utama seorang
Muslim dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, baik ideologis, sosial,
maupun moral. Dengan memahami dan mengamalkan akidah yang benar, umat Islam
dapat tetap istiqamah dalam menjalankan agama di tengah perubahan dunia yang terus
berkembang.¹⁹ Pendidikan, dakwah, dan persatuan umat menjadi solusi utama untuk
menjaga kemurnian akidah di era modern.
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 30-31.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 42-44.
[3]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:119.
[4]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.
[5]
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 23-25.
[6]
Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and
Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 50.
[7]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 3:15.
[8]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 12.
[9]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no.
2658.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
49-51.
[11]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 159.
[12]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.
[13]
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no.
71.
[14]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 4:110.
[15]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.
[16]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 6:25.
[17]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
58-60.
[18]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 214.
[19]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.
8.
Studi
Kasus: Krisis Akidah di Kalangan Muslim
8.1. Fenomena Krisis Akidah di Era Modern
Krisis akidah di kalangan umat Islam semakin nyata
di era modern. Banyak Muslim yang mulai kehilangan pemahaman mendalam tentang
prinsip-prinsip dasar akidah, terutama generasi muda yang terpapar budaya
global dan pemikiran sekuler.¹ Fenomena ini ditandai oleh melemahnya keyakinan
terhadap Allah, munculnya keraguan terhadap keabsahan Al-Qur'an, serta
kecenderungan untuk mengadopsi nilai-nilai liberal dan materialistik.²
Salah satu penyebab utama krisis ini adalah
kurangnya pendidikan agama yang kuat dan sistematis. Di banyak tempat,
pembelajaran akidah sering kali hanya bersifat formal dan tidak memberikan
ruang bagi diskusi yang mendalam.³ Selain itu, pengaruh media sosial dan
internet telah mempercepat penyebaran ide-ide yang bertentangan dengan akidah
Islam, seperti atheisme dan relativisme moral.⁴
8.2. Kasus 1: Meningkatnya Atheisme di Kalangan Generasi
Muda
Laporan beberapa organisasi Islam menunjukkan
peningkatan signifikan dalam jumlah Muslim muda yang mengaku meninggalkan agama
atau meragukan keberadaan Tuhan.⁵ Penyebabnya bervariasi, mulai dari
ketidaksesuaian antara ajaran agama dengan realitas modern, hingga pengaruh
filsafat atheistik yang disebarkan melalui media digital.⁶
Sebagai contoh, banyak generasi muda terpengaruh
oleh argumen-argumen atheistik yang mencoba membantah keberadaan Tuhan melalui
teori-teori ilmiah, seperti evolusi atau big bang.⁷ Tanpa pemahaman akidah yang
kuat, argumen ini mudah menggoyahkan iman mereka.
8.3. Kasus 2: Penyalahgunaan Konsep Relativisme Agama
Fenomena relativisme agama juga menjadi tantangan
besar. Relativisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan tidak ada
kebenaran absolut, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan tauhid
sebagai inti dari kebenaran.⁸
Sebagai contoh, dalam beberapa komunitas Muslim di
negara-negara Barat, muncul gerakan yang mendorong umat Islam untuk menganggap
ibadah lintas agama sebagai cara memperkuat persatuan. Meskipun persatuan
adalah nilai penting, hal ini menjadi masalah ketika melibatkan praktik-praktik
yang bertentangan dengan tauhid, seperti berdoa kepada selain Allah.⁹
8.4. Kasus 3: Radikalisme dan Pemahaman Akidah yang
Keliru
Krisis akidah juga tercermin dalam munculnya
kelompok-kelompok ekstremis yang memanipulasi ajaran agama untuk tujuan
politik.¹⁰ Misalnya, pemahaman yang salah terhadap konsep jihad telah digunakan
untuk membenarkan kekerasan terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim.¹¹ Hal ini
merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Kelompok radikal sering kali memanfaatkan
ketidaktahuan umat tentang akidah untuk menyebarkan ideologi mereka. Mereka
menggunakan dalil Al-Qur'an dan Hadis secara parsial tanpa mempertimbangkan
konteks dan interpretasi ulama yang valid.¹²
8.5. Akar Masalah Krisis Akidah
1)
Kurangnya Pendidikan Agama yang Komprehensif
Banyak
institusi pendidikan Islam hanya fokus pada aspek ritual tanpa memberikan
pengajaran akidah yang mendalam.¹³ Akibatnya, umat Islam tidak memiliki fondasi
yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan intelektual di era modern.
2)
Pengaruh Budaya Global
Globalisasi
membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, seperti konsumerisme,
individualisme, dan hedonisme.¹⁴ Tanpa bimbingan akidah yang kokoh, umat Islam
mudah terpengaruh oleh budaya ini.
3)
Minimnya Peran Ulama dalam Masyarakat
Ulama sering
kali tidak diberikan ruang yang cukup untuk membimbing umat secara langsung,
terutama di kawasan perkotaan.¹⁵ Ketika umat tidak memiliki akses kepada pembimbing
agama yang kompeten, mereka mencari jawaban dari sumber-sumber yang tidak
kredibel.
8.6. Solusi Mengatasi Krisis Akidah
1)
Penguatan Kurikulum Pendidikan Akidah
Kurikulum
pendidikan Islam harus mencakup pembelajaran akidah yang komprehensif dan
kontekstual. Materi akidah perlu disampaikan dengan cara yang relevan dengan
tantangan zaman, termasuk menjawab argumen-argumen atheisme dan relativisme
agama.¹⁶
2)
Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah
Umat Islam
harus memanfaatkan media digital untuk menyebarkan ajaran akidah yang benar.¹⁷
Konten dakwah seperti video, artikel, dan diskusi daring dapat menjangkau
generasi muda dengan cara yang menarik dan informatif.
3)
Penguatan Peran Ulama dan Komunitas Islam
Ulama perlu
aktif dalam membimbing umat, baik melalui masjid, organisasi Islam, maupun
media sosial.¹⁸ Komunitas Islam juga harus membangun lingkungan yang mendukung
penguatan akidah, seperti forum diskusi dan kajian rutin.
4)
Meningkatkan Pemahaman Akidah secara Personal
Setiap
individu Muslim harus berupaya memperkuat pemahaman akidah mereka melalui
pembelajaran mandiri dan menghadiri majelis ilmu.¹⁹ Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan
memahamkannya tentang agama.”²⁰
Kesimpulan
Krisis akidah di kalangan Muslim merupakan masalah
serius yang membutuhkan perhatian segera. Dengan pendidikan yang baik,
pemanfaatan teknologi, dan peran aktif ulama, umat Islam dapat mengatasi
tantangan ini dan menjaga kemurnian akidah. Pemahaman akidah yang mendalam akan
menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi pengaruh negatif globalisasi dan
modernitas.²¹
Catatan Kaki
[1]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 30-31.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 42.
[3]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 3:15.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:142.
[5]
Pew Research Center, The Future of World
Religions: Population Growth Projections, 2015-2060 (Washington DC: Pew
Research Center, 2017).
[6]
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006).
[7]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 54.
[8]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.
[9]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
49-51.
[10]
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 20.
[11]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
(Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:25.
[12]
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no.
71.
[13]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.
[14]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 159.
[15]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.
[16]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no.
2658.
[17]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 4:110.
[18]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.
[19]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 5:21.
[20]
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no.
71.
[21]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah,
45-48.
9.
Kesimpulan
Akidah Islam adalah fondasi utama yang menopang
keimanan seorang Muslim, mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat,
kitab-kitab, rasul, hari akhir, dan qada serta qadar.¹ Akidah yang kokoh
menjadi dasar bagi seorang Muslim dalam menjalankan ibadah, membentuk akhlak,
dan mengarahkan kehidupannya. Tanpa akidah yang benar, seluruh amal perbuatan
kehilangan nilainya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Barangsiapa
yang kafir terhadap Allah setelah beriman, maka hapuslah amal mereka, dan
mereka di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. An-Nahl [16] ayat
88).²
9.1. Pentingnya Memahami dan Mengamalkan Akidah
Pemahaman yang mendalam terhadap akidah tidak hanya
membantu seorang Muslim dalam menjalankan agamanya dengan benar, tetapi juga
menjadi benteng dari berbagai tantangan ideologis, sosial, dan moral di era
modern.³ Krisis akidah yang melanda sebagian umat Islam, seperti peningkatan
atheisme, relativisme agama, dan radikalisme, menunjukkan perlunya pendidikan
akidah yang sistematis dan relevan dengan zaman.⁴
Sebagai inti iman, akidah mengajarkan keyakinan
yang tak tergoyahkan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak
disembah. Keyakinan ini tidak hanya membentuk hubungan vertikal dengan Sang
Pencipta, tetapi juga memengaruhi hubungan horizontal dengan sesama manusia
melalui penerapan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.⁵
9.2. Akidah Sebagai Solusi Tantangan Zaman
Tantangan zaman, seperti globalisasi, sekularisme,
dan materialisme, menuntut umat Islam untuk memperkokoh akidah mereka. Akidah
yang benar memberikan orientasi hidup yang jelas di tengah budaya populer yang
cenderung menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama.⁶ Pemahaman akidah yang
kuat juga membantu generasi muda menghadapi propaganda ideologi yang
bertentangan dengan Islam, baik melalui media sosial maupun interaksi lintas
budaya.⁷
Allah berfirman: “Maka tetaplah kamu pada jalan
yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang telah
bertaubat bersama kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11] ayat 112).⁸ Ayat ini
mengingatkan pentingnya istiqamah dalam menjaga akidah, meskipun menghadapi
berbagai rintangan.
9.3. Langkah-Langkah Memperkuat Akidah
Untuk mengatasi krisis akidah, beberapa langkah
strategis perlu dilakukan:
1)
Pendidikan Akidah yang Komprehensif:
Pendidikan
formal maupun informal harus mengajarkan akidah secara mendalam, dengan
menekankan pentingnya memahami tauhid, rukun iman, dan bahaya penyimpangan.⁹
2)
Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah:
Media
digital dapat digunakan untuk menyebarkan pengetahuan tentang akidah yang
benar, menjawab keraguan, dan melawan propaganda ideologi yang bertentangan
dengan Islam.¹⁰
3)
Peran Keluarga dan Komunitas:
Keluarga
sebagai unit terkecil masyarakat harus menjadi benteng pertama dalam menjaga
akidah, sementara komunitas Muslim dapat membangun lingkungan yang mendukung
pembelajaran agama secara berkesinambungan.¹¹
4)
Pendekatan Moderasi Islam:
Umat Islam
harus mengedepankan prinsip wasathiyyah (moderasi) dalam memahami dan
menerapkan akidah, sehingga mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan
jati diri sebagai Muslim.¹²
9.4. Arah ke Depan: Memahami Akidah sebagai Pondasi Iman
Keseluruhan pembahasan dalam artikel ini
menunjukkan bahwa akidah bukan hanya sebuah doktrin keagamaan, tetapi juga
landasan moral dan spiritual yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan. Dalam
menghadapi era modern yang penuh tantangan, akidah yang kokoh memberikan arah,
makna, dan ketenangan bagi setiap Muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Barang
siapa yang hatinya dipenuhi dengan iman, Allah akan menjaganya dari segala
fitnah.”¹³
Dengan terus memperkuat pemahaman akidah dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman dengan
penuh keyakinan dan optimisme. Semoga pembahasan ini menginspirasi setiap
Muslim untuk memperdalam pemahaman mereka tentang akidah, sehingga mampu
menjadi individu yang teguh imannya dan bermanfaat bagi umat manusia.
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo:
Dar al-Ma’rifah, 1990), 1:47.
[2]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 321.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah
(Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.
[4]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo:
Dar al-Kutub, 1985), 30-31.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar
al-Shuruq, 2000), 3:119.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.
[7]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid
(Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 10-11.
[8]
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation
and Commentary, 54.
[9]
Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-2.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.
[11]
Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar
al-Watan, 1998), 5:21.
[12]
Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.
[13]
Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no.
2658.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. (1985). Al-Farqu
Bayn Al-Firaq. Cairo: Dar al-Kutub.
Al-Ghazali, A. H. (1998). Ihya
Ulumuddin (2nd ed.). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Qaradawi, Y. (1999). Al-Iman
wa Al-Hayah. Cairo: Maktabah Wahbah.
Dawkins, R. (2006). The
God Delusion. London: Bantam Press.
Ibn Kathir, I. (2000). Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam).
Ibn Taymiyyah, A. A.
(1998). Majmu’ al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Watan.
Imam Bukhari. (1997). Sahih
Bukhari. Medina: Darussalam.
Imam Muslim. (1997). Sahih
Muslim. Medina: Darussalam.
Muhammad Abduh. (1985). Risalah
al-Tauhid. Cairo: Dar al-Kutub.
Pew Research Center.
(2017). The Future of World Religions: Population Growth Projections,
2015-2060. Washington, DC: Pew Research Center.
Qutb, S. (2000). Fi
Zilalil Quran (17th ed.). Cairo: Dar al-Shuruq.
Sayyid, Y. (2009). The
Holy Quran: Translation and Commentary. London: Islamic Book Trust.
Thahawi, A. H. (1996). Al-Aqidah
Ath-Thahawiyah. Cairo: Maktabah al-Azhariyah.
Wahhab, M. A. (2001). Kitab
Tauhid. Riyadh: Dar Ibn Hazm.
Yusuf Ali, A. (2009). The
Holy Quran: Translation and Commentary. London: Islamic Book Trust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar