Selasa, 07 Januari 2025

Memahami Akidah Islam: Fondasi Iman yang Kokoh

Memahami Akidah Islam

Fondasi Iman yang Kokoh


Abstrak

Artikel ini membahas akidah Islam sebagai fondasi utama keimanan seorang Muslim, yang menjadi landasan bagi ibadah, akhlak, dan interaksi sosial. Dengan pendekatan yang sistematis, artikel ini mengupas konsep akidah, tauhid sebagai intinya, serta hubungan akidah dengan rukun iman. Selain itu, artikel ini menjelaskan pentingnya pengamalan akidah dalam kehidupan sehari-hari dan dinamika perkembangan pemikiran akidah sepanjang sejarah Islam, termasuk tantangan modern seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme moral.

Melalui studi kasus krisis akidah di kalangan Muslim, artikel ini mengidentifikasi faktor penyebab, seperti kurangnya pendidikan agama yang komprehensif, pengaruh budaya global, dan penyalahgunaan media digital. Untuk mengatasi tantangan tersebut, artikel ini menawarkan solusi praktis, termasuk penguatan pendidikan akidah, pemanfaatan teknologi untuk dakwah, dan peran keluarga serta komunitas dalam menjaga kemurnian akidah. Kesimpulan menegaskan bahwa akidah yang kokoh adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman dan membentuk pribadi Muslim yang teguh imannya serta bermanfaat bagi masyarakat.

Artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi umat Islam untuk memahami dan mengamalkan akidah secara mendalam, sehingga mampu menjaga keimanan di tengah perubahan dunia yang terus berkembang.

Kata Kunci: Akidah Islam, Tauhid, Rukun Iman, Kehidupan Muslim, Krisis Akidah, Pendidikan Agama, Tantangan Modern, Sekularisme, Relativisme Moral, Pemikiran Islam, Globalisasi, Dakwah Digital.


1.           Pendahuluan

1.1.       Pengertian Akidah Secara Etimologi dan Terminologi

Kata akidah berasal dari bahasa Arab ‘aqd yang berarti ikatan, simpul, atau penguatan. Secara terminologi, akidah mengacu pada keyakinan yang kokoh dan mendalam di hati seseorang tanpa keraguan, yang menjadi dasar perilaku dan cara pandang hidup.¹ Dalam konteks Islam, akidah mencakup keyakinan terhadap Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul, hari kiamat, dan qada serta qadar. Akidah menjadi inti iman seorang Muslim, mengikat hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, serta menentukan orientasi hidup di dunia dan akhirat.²

1.2.       Pentingnya Akidah dalam Islam

Akidah adalah fondasi keimanan yang menentukan validitas amal seorang Muslim.³ Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, "Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan berikan kehidupan yang baik kepadanya..." (QS. An-Nahl [16] ayat 97). Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan, yang bersumber dari akidah yang benar, adalah prasyarat diterimanya amal perbuatan. Tanpa akidah yang lurus, amal menjadi tidak bernilai di sisi Allah.⁴

Selain itu, akidah memberikan petunjuk bagi manusia dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dengan keyakinan yang kokoh, seorang Muslim mampu menghadapi ujian dunia dengan sikap sabar, optimisme, dan tawakal kepada Allah.⁵ Akidah juga menjadi pembeda antara kebenaran dan kesesatan, antara keyakinan kepada Allah yang benar dan keyakinan yang menyimpang, seperti penyembahan kepada selain Allah.⁶

1.3.       Tujuan Penulisan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang konsep akidah Islam berdasarkan referensi yang kredibel dari Al-Qur'an, Hadis Shahih, dan karya-karya ulama terkemuka.⁷ Penulis berusaha mengurai akidah dengan pendekatan yang sistematis dan objektif, agar pembaca dapat memahami esensi dan urgensi akidah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, artikel ini diharapkan menjadi panduan bagi Muslim untuk menjaga kemurnian akidah dari berbagai pengaruh negatif di era modern.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad ibn Mukarram (Beirut: Dar Sadir, 1994), 4:109.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 17.

[3]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah al-Harari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:37.

[4]                Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 10.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, ed. Zainab Al-Ghazali (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:108.

[6]                Ibnu Taimiyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyah (Cairo: Dar Ibn Hazm, 2015), 45.

[7]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 16-18.


2.           Konsep Dasar Akidah dalam Islam

2.1.       Definisi Akidah Menurut Para Ulama

Akidah, menurut para ulama, merujuk pada keyakinan hati yang kokoh tanpa keraguan, yang menjadi dasar amal dan orientasi hidup seorang Muslim.1 Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa akidah adalah "segala yang wajib diyakini oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh sebagai bentuk pengabdian kepada Allah."2 Al-Ghazali menjelaskan akidah sebagai ilmu yang membahas keyakinan iman yang benar dan terlepas dari segala keraguan, yang diistilahkan sebagai ‘ilmu kalam dalam tradisi teologi Islam.3

Secara praktis, akidah adalah dasar keimanan yang membedakan seorang Muslim dari orang yang belum beriman. Akidah tidak hanya berupa keyakinan intelektual, tetapi juga menjadi landasan tindakan, seperti yang tercermin dalam hadits Rasulullah Saw: “Iman itu mencakup lebih dari 70 cabang; yang tertinggi adalah ucapan ‘La ilaha illallah,’ dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.4

2.2.       Hubungan Akidah dengan Iman dan Islam

Dalam Islam, akidah adalah inti dari iman dan salah satu pilar utama agama. Konsep ini terintegrasi dalam tiga aspek utama yang dikenal sebagai Arkan al-Din (Rukun Agama): Iman, Islam, dan Ihsan.5 Iman adalah keyakinan hati, Islam adalah pelaksanaan syariat melalui amal perbuatan, dan Ihsan adalah penyempurnaan ibadah dengan menghadirkan kesadaran akan keberadaan Allah.6

Al-Qur'an menggambarkan hubungan ini dalam surah Al-Hujurat: “Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah, 'Kalian belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk (Islam),' karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (QS. Al-Hujurat [49] ayat 14). Ayat ini menegaskan bahwa akidah yang benar (iman) adalah basis Islam, sedangkan Islam tanpa iman yang kokoh hanya menjadi kepatuhan lahiriah.7

2.3.       Ruang Lingkup Akidah

Para ulama membagi ruang lingkup akidah ke dalam tiga kategori utama:

1)                  Tauhid (Keimanan kepada Allah):

Membahas sifat-sifat Allah, hubungan-Nya dengan makhluk, dan kewajiban manusia untuk menyembah-Nya semata.8

2)                  Nubuwah (Kenabian):

Keyakinan terhadap para nabi dan rasul sebagai utusan Allah, serta kitab-kitab yang mereka bawa sebagai pedoman hidup.9

3)                  Eschatologi (Akhirat):

Keyakinan terhadap kehidupan setelah mati, termasuk hari kiamat, surga, dan neraka, serta qada dan qadar sebagai takdir ilahi.10

Pembagian ini sering dikenal sebagai Usul al-Din (Prinsip-Prinsip Agama), yang menjadi inti pembahasan dalam kitab-kitab akidah klasik, seperti Al-Aqidah Al-Tahawiyah karya Imam Ath-Thahawi dan Al-Ibanah karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.11

2.4.       Relevansi Konsep Akidah dalam Kehidupan

Konsep akidah tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan akidah yang benar, seorang Muslim memiliki landasan untuk menjalani hidup dengan keyakinan dan ketenangan hati. Akidah mengarahkan setiap individu untuk menyelaraskan tujuan hidupnya dengan ridha Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56).12


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, ed. Muhammad ibn Mukarram (Beirut: Dar Sadir, 1994), 4:109.

[2]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar Al-Watan, 1998), 3:10.

[3]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, ed. Abdullah al-Harari (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:37.

[4]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Iman, no. 35.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 12-15.

[6]                Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis Jibril.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:366.

[8]                Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar al-Asimah, 2001), 8-9.

[9]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 16-18.

[10]             Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Qada wa Al-Qadar (Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 33.

[11]             Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, ed. Ahmad bin Ibrahim (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 5-6.

[12]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 215.


3.           Tauhid sebagai Inti Akidah

3.1.       Pengertian Tauhid dan Kedudukannya dalam Akidah

Tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu, yang berarti "mengesakan". Dalam terminologi Islam, tauhid merujuk pada keyakinan dan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah, yang tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan, sifat, atau perbuatan-Nya.¹ Tauhid menjadi inti dari ajaran akidah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun." (QS. An-Nisa [04] ayat 36).²

Tauhid adalah pesan utama yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Nabi Muhammad Saw mengajarkan kalimat tauhid “La ilaha illallah” sebagai landasan dakwahnya, yang menegaskan bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah.³ Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa tauhid adalah tujuan penciptaan manusia dan jin: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56).⁴

3.2.       Pembagian Tauhid

Para ulama membagi tauhid menjadi tiga kategori utama, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat. Pembagian ini membantu memahami keesaan Allah secara komprehensif.⁵

1)                  Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemelihara, dan pengatur alam semesta.⁶ Keyakinan ini diakui bahkan oleh orang-orang musyrik di masa Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.'" (QS. Az-Zumar [39] ayat 38). Namun, pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah saja tidak cukup untuk membawa seseorang kepada keselamatan, tanpa disertai Tauhid Uluhiyah.⁷

2)                  Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni hanya menyembah dan mengabdi kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun.⁸ Konsep ini menuntut ketaatan total kepada Allah dan menolak segala bentuk penyembahan kepada selain-Nya, seperti kepada berhala, manusia, atau kekuatan gaib. Firman Allah menegaskan: "Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am [06] ayat 162).⁹

3)                  Tauhid Asma’ wa Sifat

Tauhid Asma’ wa Sifat adalah meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, yang tidak menyerupai makhluk-Nya.⁰ Dalam QS. Al-A’raf [07] ayat 180, Allah berfirman: "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu." Tauhid ini melarang penyimpangan dalam memahami sifat Allah, seperti menyerupakan-Nya dengan makhluk (tasybih) atau meniadakan sifat-sifat-Nya (ta’thil).¹¹

3.3.       Penyimpangan dalam Tauhid dan Dampaknya

Penyimpangan dalam tauhid terjadi ketika seseorang melakukan syirik, yakni menyekutukan Allah dalam rububiyah, uluhiyah, atau asma’ wa sifat-Nya.¹² Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam yang tidak akan diampuni jika pelakunya tidak bertaubat sebelum mati, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa [04] ayat 48).¹³

Selain syirik, bentuk penyimpangan lain adalah kufur (ingkar terhadap Allah), nifaq (kemunafikan), dan bid’ah yang bertentangan dengan ajaran tauhid yang murni.¹⁴ Penyimpangan ini menyebabkan hilangnya keberkahan hidup di dunia dan azab di akhirat, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat dan hadis.¹⁵

3.4.       Relevansi Tauhid dalam Kehidupan Sehari-hari

Tauhid memberikan arah dan makna dalam kehidupan seorang Muslim. Dengan meyakini tauhid, seorang Muslim menyadari bahwa seluruh hidupnya diarahkan untuk mencari ridha Allah. Tauhid memberikan ketenangan hati dan keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kuasa Allah.¹⁶ Di tengah tantangan kehidupan modern, tauhid menjadi benteng dari pengaruh ideologi-ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti sekularisme dan materialisme.¹⁷


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Taimiyah, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 7.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 97.

[3]                Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 22.

[4]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:199.

[5]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:15.

[6]                Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 4-5.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:217.

[8]                Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-6.

[9]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 25.

[10]             Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Asma wa Sifat (Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 12-13.

[11]             Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 8.

[12]             Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1990), 11:385.

[13]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 215.

[14]             Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 30.

[15]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.

[16]             Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 1:199.

[17]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 40-42.


4.           Akidah dan Rukun Iman

4.1.       Pengertian Rukun Iman

Rukun iman adalah enam pilar keimanan yang harus diyakini oleh setiap Muslim sebagai bagian dari akidah Islam.¹ Dasar dari rukun iman ini terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Salah satu dalil utamanya adalah Hadis Jibril, di mana Rasulullah Saw menjelaskan bahwa iman adalah: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruknya.”² Keenam rukun iman ini menjadi kerangka utama keyakinan dalam Islam yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

4.1.1.    Iman kepada Allah

Iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman dan menjadi fondasi akidah seorang Muslim.³ Keyakinan ini mencakup Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.⁴ Seorang Muslim meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pengatur alam semesta, dan tidak ada yang layak disembah selain Dia. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 255, Allah berfirman: "Allah, tidak ada Tuhan selain Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)."⁵

4.1.2.    Iman kepada Malaikat

Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dari cahaya dan selalu taat kepada-Nya.⁶ Iman kepada malaikat mencakup keyakinan terhadap keberadaan mereka, tugas-tugas yang diberikan oleh Allah, dan nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti Jibril, Mikail, Israfil, dan Malakul Maut. Allah berfirman: "Malaikat-malaikat itu tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." (QS. Al-Anbiya [21] ayat 27).⁷

4.1.3.    Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya sebagai pedoman hidup umat manusia.⁸ Kitab-kitab tersebut meliputi Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah kitab terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana firman Allah: "Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi penjaga atasnya." (QS. Al-Maidah [05] ayat 48).⁹

4.1.4.    Iman kepada Rasul-Rasul Allah

Iman kepada rasul mencakup keyakinan terhadap 25 rasul yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi.¹⁰ Rasul-rasul Allah diutus untuk menyampaikan risalah tauhid dan membimbing umat manusia menuju jalan kebenaran. Dalam QS. Al-Ahzab [33] ayat 45-46, Allah berfirman: "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru kepada Allah dengan izin-Nya."¹¹

4.1.5.    Iman kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir adalah keyakinan terhadap kehidupan setelah mati, termasuk kebangkitan, hisab, surga, dan neraka.¹² Keimanan ini mengingatkan manusia untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia. Dalam QS. Al-Zalzalah [99] ayat 7-8, Allah berfirman: "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)."¹³

4.1.6.    Iman kepada Qada dan Qadar

Iman kepada qada dan qadar adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini sudah ditentukan oleh Allah.¹⁴ Qada adalah ketetapan Allah yang bersifat universal, sedangkan qadar adalah pelaksanaan ketetapan tersebut. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." (QS. Al-Qamar [54] ayat 49). Keyakinan ini mengajarkan seorang Muslim untuk menerima takdir dengan sabar dan tetap berusaha dalam menjalani kehidupannya.¹⁵


4.2.       Keterkaitan Rukun Iman dalam Akidah

Rukun iman saling terkait dan membentuk satu kesatuan akidah yang utuh. Keyakinan kepada Allah mendasari keimanan kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, dan qada serta qadar.¹⁶ Misalnya, iman kepada kitab-kitab Allah tidak akan sempurna tanpa meyakini bahwa kitab tersebut disampaikan melalui rasul dan malaikat.¹⁷ Kesatuan ini menunjukkan bahwa akidah Islam adalah sistem keimanan yang saling melengkapi, yang membimbing manusia menuju jalan hidup yang lurus dan keberkahan dunia serta akhirat.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1990), 1:47.

[2]                Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-2.

[3]                Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 8-9.

[4]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 3:11.

[5]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 54.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:43.

[7]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:217.

[8]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 25.

[9]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:110.

[10]             Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 5.

[11]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 31.

[12]             Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 12.

[13]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 450.

[14]             Ibnu Abi Hatim, Ar-Risalah fi Al-Qada wa Al-Qadar (Cairo: Dar al-Hadits, 2003), 27.

[15]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:15.

[16]             Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1994), 3:67.

[17]             Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid, 15.


5.           Akidah dalam Kehidupan Sehari-Hari

5.1.       Pentingnya Akidah sebagai Landasan Hidup

Akidah Islam tidak hanya menjadi keyakinan teoritis, tetapi juga membentuk pandangan hidup seorang Muslim dalam setiap aspek kehidupan. Akidah memberikan dasar nilai dan prinsip yang membimbing seseorang dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sebagaimana firman Allah: "Barangsiapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl [16] ayat 97).¹ Ayat ini menunjukkan bahwa akidah yang lurus membawa kebaikan dalam hidup seseorang, baik secara spiritual maupun material.

Akidah yang kokoh juga memberikan ketenangan jiwa. Dengan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, seorang Muslim dapat menghadapi ujian hidup dengan sabar dan tawakal.² Al-Qur'an menegaskan: "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. At-Taghabun [64] ayat 11).³

5.2.       Akidah dalam Ibadah

Akidah yang benar menjadi dasar dalam pelaksanaan ibadah. Setiap ibadah yang dilakukan harus dilandasi oleh niat yang ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.⁴ Rasulullah Saw bersabda: "Amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan."⁵

Ibadah yang dilaksanakan dengan akidah yang lurus tidak hanya memperkuat hubungan dengan Allah, tetapi juga memberikan dampak positif pada perilaku seseorang. Sebagai contoh, salat yang didirikan dengan penuh khusyuk menghindarkan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut [29] ayat 45).⁶ Dengan demikian, akidah menjadi fondasi untuk memastikan bahwa ibadah yang dilakukan memiliki nilai dan diterima oleh Allah.

5.3.       Akidah dalam Akhlak

Akhlak yang baik merupakan salah satu manifestasi dari akidah yang benar.⁷ Seorang Muslim yang memiliki akidah kokoh akan menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam akhlak. Sebagaimana Allah berfirman: "Dan sungguh engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam [68] ayat 4).⁸

Akidah yang lurus menciptakan kesadaran akan tanggung jawab moral kepada Allah dan sesama manusia. Misalnya, seseorang yang meyakini adanya hisab di hari kiamat akan berusaha menghindari dosa, seperti berbohong, mencuri, atau menzalimi orang lain.⁹ Dengan akidah yang benar, seorang Muslim juga akan terdorong untuk menunjukkan kasih sayang, kejujuran, dan keadilan dalam interaksi sehari-hari.¹⁰

5.4.       Akidah dalam Muamalah

Dalam aspek muamalah, akidah yang kokoh menjadi panduan dalam menjalankan aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Akidah yang benar menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, sehingga seorang Muslim akan berusaha menjalankan muamalah dengan jujur dan adil.¹¹ Misalnya, seorang pedagang yang beriman tidak akan melakukan praktik riba atau kecurangan karena mengetahui bahwa Allah melarang perbuatan tersebut (QS. Al-Baqarah [02] ayat 275).¹²

Akidah juga mendorong seorang Muslim untuk menjunjung tinggi keadilan dan kebaikan dalam hubungan sosial. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl [16] ayat 90).¹³

5.5.       Akidah sebagai Benteng dari Tantangan Modern

Di era globalisasi, akidah menjadi benteng dari berbagai tantangan seperti sekularisme, materialisme, dan relativisme moral.¹⁴ Seorang Muslim dengan akidah yang kokoh mampu menjaga prinsip-prinsip Islam sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Rasulullah Saw bersabda: "Akan datang suatu zaman di mana seseorang yang berpegang teguh pada agamanya seperti memegang bara api."¹⁵ Hadis ini menunjukkan bahwa tantangan keimanan di masa modern sangat berat, sehingga membutuhkan akidah yang kuat untuk tetap istiqamah.

Pendidikan akidah sejak dini menjadi salah satu solusi untuk menjaga generasi muda dari pengaruh negatif zaman. Dengan memahami dan mengamalkan akidah yang benar, generasi Muslim dapat menjadi individu yang tangguh, berintegritas, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.¹⁶


Catatan Kaki

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 321.

[2]                Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 10-11.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:25.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 2:35.

[5]                Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Bad’ul Wahy, no. 1.

[6]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.

[7]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 10:11.

[8]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 472.

[9]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:142.

[10]             Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Tsalatsatul Ushul (Riyadh: Dar al-Asimah, 2002), 28.

[11]             Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 32.

[12]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 73.

[13]             Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4:217.

[14]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 45-48.

[15]             Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Iman, no. 299.

[16]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:49.


6.           Perkembangan Pemikiran Akidah dalam Islam

6.1.       Sejarah Perkembangan Akidah

Pemikiran akidah dalam Islam mulai berkembang sejak masa Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh para sahabat. Pada masa Nabi, akidah disampaikan secara langsung melalui wahyu Al-Qur'an dan penjelasan Rasulullah, yang menekankan keesaan Allah (tauhid) dan kehidupan akhirat.¹ Setelah wafatnya Rasulullah Saw, penyebaran Islam ke berbagai wilayah dengan latar belakang budaya yang berbeda menimbulkan tantangan baru dalam memahami akidah.²

Masuknya pengaruh filsafat Yunani dan tradisi intelektual asing ke dunia Islam pada abad ke-2 Hijriah memperluas diskusi teologis, sehingga memunculkan berbagai aliran pemikiran dalam akidah.³ Para ulama berusaha menjaga kemurnian akidah sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah sambil menghadapi tantangan intelektual dari filsafat dan pandangan teologis lain.⁴

6.2.       Aliran-Aliran dalam Pemikiran Akidah

Perkembangan pemikiran akidah melahirkan beberapa aliran teologi dalam Islam, baik yang sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah maupun yang menyimpang.

1)                  Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang diwakili oleh pemikiran Asy'ariyah dan Maturidiyah, mempertahankan akidah Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta pendekatan rasional yang moderat.⁵

o    Asy’ariyah: Didirikan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, aliran ini menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu. Mereka menggunakan argumen rasional untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah sambil tetap mengacu pada Al-Qur'an dan Hadis.⁶

o    Maturidiyah: Didirikan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi, aliran ini memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, tetapi lebih menekankan pada penggunaan akal dalam memahami keadilan Allah dan qada serta qadar.⁷

2)                  Mu'tazilah

Mu'tazilah adalah aliran rasionalis yang muncul pada abad ke-2 Hijriah. Mereka menekankan penggunaan akal dalam memahami agama dan menolak konsep anthropomorphism (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Namun, pendekatan mereka sering kali dianggap menyimpang karena cenderung mengutamakan akal daripada wahyu.⁸ Mereka terkenal dengan prinsip al-‘Adl wa al-Tauhid (keadilan dan keesaan Allah).⁹

3)                  Khawarij dan Syi'ah

o    Khawarij menekankan pandangan ekstrem terhadap keimanan dan mengkafirkan siapa pun yang dianggap menyimpang dari ajaran mereka.¹⁰

o    Syi'ah lebih berfokus pada kepemimpinan (imamah) dan keimanan terhadap para imam sebagai figur yang dianggap memiliki otoritas spiritual tertinggi setelah Rasulullah.¹¹

4)                  Filosof Muslim

Para filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd mencoba mengharmoniskan filsafat Yunani dengan akidah Islam. Meskipun karya-karya mereka berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Islam, beberapa pandangan mereka, seperti konsep kekekalan alam, dikritik oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.¹²

6.3.       Peran Ulama dalam Menjaga Kemurnian Akidah

Para ulama memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian akidah dari penyimpangan.

·                     Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin dan Tahafut al-Falasifah, membantah pandangan yang bertentangan dengan akidah Islam, khususnya dari para filosof.¹³

·                     Ibnu Taimiyah, melalui Al-Aqidah Al-Wasithiyah, menegaskan kembali prinsip-prinsip akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan menolak pandangan yang menyimpang.¹⁴

·                     Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi menyusun kerangka teologis yang kokoh untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan pemikiran rasionalis ekstrem.¹⁵

6.4.       Dinamika Pemikiran Akidah di Era Modern

Pada era modern, perkembangan pemikiran akidah menghadapi tantangan baru, seperti sekularisme, atheisme, dan pluralisme agama. Gerakan reformis seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani mencoba menjawab tantangan ini dengan mendekatkan Islam kepada realitas modern tanpa meninggalkan prinsip-prinsip akidah.¹⁶

Selain itu, gerakan salafi modern yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha mengembalikan Islam kepada kemurnian tauhid dengan menolak praktik-praktik yang dianggap bid’ah.¹⁷ Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap terlalu literal dalam memahami teks agama.¹⁸


Kesimpulan: Pentingnya Pemahaman Akidah yang Benar

Perkembangan pemikiran akidah menunjukkan bahwa Islam memiliki kemampuan untuk menjawab berbagai tantangan intelektual di setiap zaman. Namun, pemahaman akidah yang benar tetap harus berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah serta bimbingan ulama yang terpercaya.¹⁹ Dengan pemahaman yang kokoh, umat Islam mampu menjaga keimanan mereka sambil beradaptasi dengan tantangan zaman.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 4:45.

[2]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 20-22.

[3]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:35.

[4]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.

[5]                Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1996), 4.

[6]                Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), 15.

[7]                Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 12-14.

[8]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:142.

[9]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 25.

[10]             Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1990), 11:123.

[11]             Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 73.

[12]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1995), 5-10.

[13]             Ibid., 3-4.

[14]             Ibnu Taimiyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyah (Riyadh: Dar Al-Watan, 1998), 10.

[15]             Ath-Thahawi, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, 6.

[16]             Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 20-25.

[17]             Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid, 8.

[18]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 45-48.

[19]             Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Sadir, 1994), 3:67.


7.           Akidah dan Tantangan Zaman

7.1.       Tantangan Ideologis di Era Modern

Di era modern, umat Islam menghadapi tantangan ideologis yang dapat menggoyahkan akidah, seperti sekularisme, materialisme, liberalisme, dan atheisme.¹ Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan publik dan politik, sehingga memarginalkan peran akidah dalam pengambilan keputusan penting.² Materialisme, di sisi lain, mengutamakan kepemilikan materi sebagai tujuan hidup, yang bertentangan dengan konsep tauhid yang menekankan akhirat sebagai tujuan utama.³

Liberalisme agama memperkenalkan gagasan kebebasan interpretasi tanpa batas yang sering kali melampaui kerangka Al-Qur'an dan Sunnah.⁴ Sebagai contoh, beberapa pihak mencoba menafsirkan konsep tauhid dengan cara yang merelatifkan keesaan Allah, yang dapat mengarah pada kesalahpahaman teologis.⁵ Selain itu, atheisme yang semakin berkembang melalui media digital dan komunitas global menantang keberadaan Tuhan dengan argumen-argumen ilmiah dan filosofis.⁶

7.2.       Perubahan Sosial dan Teknologi

Perubahan sosial yang cepat akibat globalisasi dan perkembangan teknologi juga memberikan tantangan besar terhadap akidah. Media sosial, yang dapat menjadi sarana dakwah, sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan paham-paham menyimpang, seperti Islamophobia, radikalisme, atau bahkan ajaran sesat.⁷

Generasi muda Muslim juga menghadapi pengaruh budaya populer yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.⁸ Hal ini dapat melemahkan keyakinan mereka terhadap akidah jika tidak disertai pendidikan agama yang kuat. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”⁹ Hadis ini menunjukkan pentingnya pendidikan akidah sejak dini untuk menjaga generasi Muslim dari pengaruh buruk zaman.

7.3.       Fenomena Relativisme Moral

Relativisme moral, yang berkembang di era modern, mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam nilai-nilai moral.¹⁰ Gagasan ini bertentangan dengan prinsip akidah Islam yang menegaskan kebenaran absolut Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Allah berfirman: "Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." (QS. Al-An'am [06] ayat 153).¹¹

Relativisme moral sering kali mengaburkan batasan antara yang halal dan yang haram, sehingga mendorong perilaku menyimpang seperti pernikahan sesama jenis, penyalahgunaan narkoba, dan penyebaran pornografi.¹² Tanpa akidah yang kokoh, seorang Muslim dapat terjebak dalam gaya hidup yang merusak iman dan moralnya.

7.4.       Strategi Menghadapi Tantangan Zaman

1)                  Memperkuat Pendidikan Akidah

Pendidikan akidah yang benar menjadi kunci untuk menghadapi tantangan zaman. Rasulullah Saw menekankan pentingnya belajar agama dengan bersabda: "Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memahamkannya tentang agama."¹³ Kurikulum pendidikan Islam harus memasukkan pengajaran akidah yang mendalam, mencakup pemahaman rukun iman, tauhid, dan bahaya penyimpangan akidah.

2)                  Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah

Media digital harus dimanfaatkan sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan akidah yang benar. Konten edukatif tentang Islam yang berbasis Al-Qur'an dan Sunnah perlu dikembangkan untuk menjawab keraguan yang muncul akibat penyebaran informasi yang salah.¹⁴ Dengan cara ini, generasi muda dapat mendapatkan pengetahuan agama dari sumber yang kredibel.

3)                  Penguatan Keluarga sebagai Benteng Akidah

Keluarga merupakan benteng pertama dalam menjaga akidah anak-anak.¹⁵ Orang tua harus memberikan teladan yang baik dalam beribadah dan mendidik anak-anak mereka tentang nilai-nilai Islam sejak dini. Dalam QS. At-Tahrim [66] ayat 6, Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."¹⁶ Ayat ini menggarisbawahi tanggung jawab keluarga dalam menjaga keimanan generasi penerus.

4)                  Mempererat Persatuan Umat Islam

Persatuan umat Islam sangat penting untuk menghadapi tantangan zaman. Perpecahan sering kali dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan umat. Akidah yang benar harus menjadi landasan persatuan, dengan menjunjung tinggi prinsip moderasi (wasathiyyah) yang diajarkan oleh Al-Qur'an.¹⁷ Allah berfirman: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran [03] ayat 103).¹⁸


Kesimpulan: Pentingnya Akidah dalam Menghadapi Zaman

Akidah yang kokoh adalah benteng utama seorang Muslim dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, baik ideologis, sosial, maupun moral. Dengan memahami dan mengamalkan akidah yang benar, umat Islam dapat tetap istiqamah dalam menjalankan agama di tengah perubahan dunia yang terus berkembang.¹⁹ Pendidikan, dakwah, dan persatuan umat menjadi solusi utama untuk menjaga kemurnian akidah di era modern.


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 30-31.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 42-44.

[3]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:119.

[4]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.

[5]                Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 23-25.

[6]                Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 50.

[7]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 3:15.

[8]                Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 12.

[9]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no. 2658.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 49-51.

[11]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 159.

[12]             Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.

[13]             Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no. 71.

[14]             Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 4:110.

[15]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.

[16]             Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 6:25.

[17]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 58-60.

[18]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 214.

[19]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.


8.           Studi Kasus: Krisis Akidah di Kalangan Muslim

8.1.       Fenomena Krisis Akidah di Era Modern

Krisis akidah di kalangan umat Islam semakin nyata di era modern. Banyak Muslim yang mulai kehilangan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip dasar akidah, terutama generasi muda yang terpapar budaya global dan pemikiran sekuler.¹ Fenomena ini ditandai oleh melemahnya keyakinan terhadap Allah, munculnya keraguan terhadap keabsahan Al-Qur'an, serta kecenderungan untuk mengadopsi nilai-nilai liberal dan materialistik.²

Salah satu penyebab utama krisis ini adalah kurangnya pendidikan agama yang kuat dan sistematis. Di banyak tempat, pembelajaran akidah sering kali hanya bersifat formal dan tidak memberikan ruang bagi diskusi yang mendalam.³ Selain itu, pengaruh media sosial dan internet telah mempercepat penyebaran ide-ide yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti atheisme dan relativisme moral.⁴

8.2.       Kasus 1: Meningkatnya Atheisme di Kalangan Generasi Muda

Laporan beberapa organisasi Islam menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah Muslim muda yang mengaku meninggalkan agama atau meragukan keberadaan Tuhan.⁵ Penyebabnya bervariasi, mulai dari ketidaksesuaian antara ajaran agama dengan realitas modern, hingga pengaruh filsafat atheistik yang disebarkan melalui media digital.⁶

Sebagai contoh, banyak generasi muda terpengaruh oleh argumen-argumen atheistik yang mencoba membantah keberadaan Tuhan melalui teori-teori ilmiah, seperti evolusi atau big bang.⁷ Tanpa pemahaman akidah yang kuat, argumen ini mudah menggoyahkan iman mereka.

8.3.       Kasus 2: Penyalahgunaan Konsep Relativisme Agama

Fenomena relativisme agama juga menjadi tantangan besar. Relativisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan tidak ada kebenaran absolut, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan tauhid sebagai inti dari kebenaran.⁸

Sebagai contoh, dalam beberapa komunitas Muslim di negara-negara Barat, muncul gerakan yang mendorong umat Islam untuk menganggap ibadah lintas agama sebagai cara memperkuat persatuan. Meskipun persatuan adalah nilai penting, hal ini menjadi masalah ketika melibatkan praktik-praktik yang bertentangan dengan tauhid, seperti berdoa kepada selain Allah.⁹

8.4.       Kasus 3: Radikalisme dan Pemahaman Akidah yang Keliru

Krisis akidah juga tercermin dalam munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang memanipulasi ajaran agama untuk tujuan politik.¹⁰ Misalnya, pemahaman yang salah terhadap konsep jihad telah digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim.¹¹ Hal ini merusak citra Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Kelompok radikal sering kali memanfaatkan ketidaktahuan umat tentang akidah untuk menyebarkan ideologi mereka. Mereka menggunakan dalil Al-Qur'an dan Hadis secara parsial tanpa mempertimbangkan konteks dan interpretasi ulama yang valid.¹²

8.5.       Akar Masalah Krisis Akidah

1)                  Kurangnya Pendidikan Agama yang Komprehensif

Banyak institusi pendidikan Islam hanya fokus pada aspek ritual tanpa memberikan pengajaran akidah yang mendalam.¹³ Akibatnya, umat Islam tidak memiliki fondasi yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan intelektual di era modern.

2)                  Pengaruh Budaya Global

Globalisasi membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, seperti konsumerisme, individualisme, dan hedonisme.¹⁴ Tanpa bimbingan akidah yang kokoh, umat Islam mudah terpengaruh oleh budaya ini.

3)                  Minimnya Peran Ulama dalam Masyarakat

Ulama sering kali tidak diberikan ruang yang cukup untuk membimbing umat secara langsung, terutama di kawasan perkotaan.¹⁵ Ketika umat tidak memiliki akses kepada pembimbing agama yang kompeten, mereka mencari jawaban dari sumber-sumber yang tidak kredibel.

8.6.       Solusi Mengatasi Krisis Akidah

1)                  Penguatan Kurikulum Pendidikan Akidah

Kurikulum pendidikan Islam harus mencakup pembelajaran akidah yang komprehensif dan kontekstual. Materi akidah perlu disampaikan dengan cara yang relevan dengan tantangan zaman, termasuk menjawab argumen-argumen atheisme dan relativisme agama.¹⁶

2)                  Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah

Umat Islam harus memanfaatkan media digital untuk menyebarkan ajaran akidah yang benar.¹⁷ Konten dakwah seperti video, artikel, dan diskusi daring dapat menjangkau generasi muda dengan cara yang menarik dan informatif.

3)                  Penguatan Peran Ulama dan Komunitas Islam

Ulama perlu aktif dalam membimbing umat, baik melalui masjid, organisasi Islam, maupun media sosial.¹⁸ Komunitas Islam juga harus membangun lingkungan yang mendukung penguatan akidah, seperti forum diskusi dan kajian rutin.

4)                  Meningkatkan Pemahaman Akidah secara Personal

Setiap individu Muslim harus berupaya memperkuat pemahaman akidah mereka melalui pembelajaran mandiri dan menghadiri majelis ilmu.¹⁹ Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memahamkannya tentang agama.”²⁰


Kesimpulan

Krisis akidah di kalangan Muslim merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian segera. Dengan pendidikan yang baik, pemanfaatan teknologi, dan peran aktif ulama, umat Islam dapat mengatasi tantangan ini dan menjaga kemurnian akidah. Pemahaman akidah yang mendalam akan menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi pengaruh negatif globalisasi dan modernitas.²¹


Catatan Kaki

[1]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 30-31.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 42.

[3]                Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 3:15.

[4]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:142.

[5]                Pew Research Center, The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2015-2060 (Washington DC: Pew Research Center, 2017).

[6]                Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006).

[7]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 54.

[8]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.

[9]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 49-51.

[10]             Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 20.

[11]             Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam, 2000), 7:25.

[12]             Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no. 71.

[13]             Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.

[14]             Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 159.

[15]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.

[16]             Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no. 2658.

[17]             Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran, 4:110.

[18]             Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2:43.

[19]             Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 5:21.

[20]             Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab Ilmu, no. 71.

[21]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 45-48.


9.           Kesimpulan

Akidah Islam adalah fondasi utama yang menopang keimanan seorang Muslim, mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul, hari akhir, dan qada serta qadar.¹ Akidah yang kokoh menjadi dasar bagi seorang Muslim dalam menjalankan ibadah, membentuk akhlak, dan mengarahkan kehidupannya. Tanpa akidah yang benar, seluruh amal perbuatan kehilangan nilainya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: “Barangsiapa yang kafir terhadap Allah setelah beriman, maka hapuslah amal mereka, dan mereka di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. An-Nahl [16] ayat 88).²

9.1.       Pentingnya Memahami dan Mengamalkan Akidah

Pemahaman yang mendalam terhadap akidah tidak hanya membantu seorang Muslim dalam menjalankan agamanya dengan benar, tetapi juga menjadi benteng dari berbagai tantangan ideologis, sosial, dan moral di era modern.³ Krisis akidah yang melanda sebagian umat Islam, seperti peningkatan atheisme, relativisme agama, dan radikalisme, menunjukkan perlunya pendidikan akidah yang sistematis dan relevan dengan zaman.⁴

Sebagai inti iman, akidah mengajarkan keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Keyakinan ini tidak hanya membentuk hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, tetapi juga memengaruhi hubungan horizontal dengan sesama manusia melalui penerapan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kasih sayang.⁵

9.2.       Akidah Sebagai Solusi Tantangan Zaman

Tantangan zaman, seperti globalisasi, sekularisme, dan materialisme, menuntut umat Islam untuk memperkokoh akidah mereka. Akidah yang benar memberikan orientasi hidup yang jelas di tengah budaya populer yang cenderung menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama.⁶ Pemahaman akidah yang kuat juga membantu generasi muda menghadapi propaganda ideologi yang bertentangan dengan Islam, baik melalui media sosial maupun interaksi lintas budaya.⁷

Allah berfirman: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang telah bertaubat bersama kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11] ayat 112).⁸ Ayat ini mengingatkan pentingnya istiqamah dalam menjaga akidah, meskipun menghadapi berbagai rintangan.

9.3.       Langkah-Langkah Memperkuat Akidah

Untuk mengatasi krisis akidah, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:

1)                  Pendidikan Akidah yang Komprehensif:

Pendidikan formal maupun informal harus mengajarkan akidah secara mendalam, dengan menekankan pentingnya memahami tauhid, rukun iman, dan bahaya penyimpangan.⁹

2)                  Pemanfaatan Teknologi untuk Dakwah:

Media digital dapat digunakan untuk menyebarkan pengetahuan tentang akidah yang benar, menjawab keraguan, dan melawan propaganda ideologi yang bertentangan dengan Islam.¹⁰

3)                  Peran Keluarga dan Komunitas:

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat harus menjadi benteng pertama dalam menjaga akidah, sementara komunitas Muslim dapat membangun lingkungan yang mendukung pembelajaran agama secara berkesinambungan.¹¹

4)                  Pendekatan Moderasi Islam:

Umat Islam harus mengedepankan prinsip wasathiyyah (moderasi) dalam memahami dan menerapkan akidah, sehingga mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai Muslim.¹²

9.4.       Arah ke Depan: Memahami Akidah sebagai Pondasi Iman

Keseluruhan pembahasan dalam artikel ini menunjukkan bahwa akidah bukan hanya sebuah doktrin keagamaan, tetapi juga landasan moral dan spiritual yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan. Dalam menghadapi era modern yang penuh tantangan, akidah yang kokoh memberikan arah, makna, dan ketenangan bagi setiap Muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Barang siapa yang hatinya dipenuhi dengan iman, Allah akan menjaganya dari segala fitnah.”¹³

Dengan terus memperkuat pemahaman akidah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman dengan penuh keyakinan dan optimisme. Semoga pembahasan ini menginspirasi setiap Muslim untuk memperdalam pemahaman mereka tentang akidah, sehingga mampu menjadi individu yang teguh imannya dan bermanfaat bagi umat manusia.


Catatan Kaki

[1]                Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1990), 1:47.

[2]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary (London: Islamic Book Trust, 2009), 321.

[3]                Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah (Cairo: Maktabah Wahbah, 1999), 40.

[4]                Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq (Cairo: Dar al-Kutub, 1985), 30-31.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zilalil Quran (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 3:119.

[6]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998), 1:47.

[7]                Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab Tauhid (Riyadh: Dar Ibn Hazm, 2001), 10-11.

[8]                Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Translation and Commentary, 54.

[9]                Imam Nawawi, Syarah Arba’in An-Nawawiyah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1990), Hadis ke-2.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Al-Iman wa Al-Hayah, 56.

[11]             Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Watan, 1998), 5:21.

[12]             Al-Baghdadi, Al-Farqu Bayn Al-Firaq, 35.

[13]             Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab Qadar, no. 2658.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. (1985). Al-Farqu Bayn Al-Firaq. Cairo: Dar al-Kutub.

Al-Ghazali, A. H. (1998). Ihya Ulumuddin (2nd ed.). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Qaradawi, Y. (1999). Al-Iman wa Al-Hayah. Cairo: Maktabah Wahbah.

Dawkins, R. (2006). The God Delusion. London: Bantam Press.

Ibn Kathir, I. (2000). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Riyadh: Dar As-Salam).

Ibn Taymiyyah, A. A. (1998). Majmu’ al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Watan.

Imam Bukhari. (1997). Sahih Bukhari. Medina: Darussalam.

Imam Muslim. (1997). Sahih Muslim. Medina: Darussalam.

Muhammad Abduh. (1985). Risalah al-Tauhid. Cairo: Dar al-Kutub.

Pew Research Center. (2017). The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2015-2060. Washington, DC: Pew Research Center.

Qutb, S. (2000). Fi Zilalil Quran (17th ed.). Cairo: Dar al-Shuruq.

Sayyid, Y. (2009). The Holy Quran: Translation and Commentary. London: Islamic Book Trust.

Thahawi, A. H. (1996). Al-Aqidah Ath-Thahawiyah. Cairo: Maktabah al-Azhariyah.

Wahhab, M. A. (2001). Kitab Tauhid. Riyadh: Dar Ibn Hazm.

Yusuf Ali, A. (2009). The Holy Quran: Translation and Commentary. London: Islamic Book Trust.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar