Tafsir I
“Pendekatan, Metodologi,
dan Pengembangannya”
Alihkan ke: Tafsir II, dan Tafsir III
1.
Pendahuluan
Tafsir merupakan salah satu ilmu terpenting dalam
kajian Islam karena berperan sebagai sarana utama dalam memahami Al-Qur'an.
Secara etimologi, kata "tafsir" berasal dari akar kata فَسَرَ yang berarti
"menjelaskan" atau "mengungkapkan sesuatu yang
tersembunyi." Dalam istilah, tafsir didefinisikan sebagai upaya
memahami, menjelaskan, dan menjabarkan makna ayat-ayat Al-Qur'an agar
pesan-pesannya dapat dimengerti dengan baik oleh manusia.¹ Tafsir menjadi alat
untuk menjelaskan kehendak Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an, baik secara
eksplisit maupun implisit, dengan mengacu pada konteks wahyu, linguistik, dan
kaidah keislaman lainnya.²
Pemahaman terhadap Al-Qur'an tidak dapat dilepaskan
dari tafsir karena teks Al-Qur'an sering kali memiliki makna yang mendalam,
kontekstual, dan multi-dimensional. Ayat-ayat tertentu mungkin memiliki kosa
kata atau struktur bahasa yang membutuhkan penafsiran untuk menjelaskan maksud
yang sebenarnya. Sebagai contoh, penggunaan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang
memiliki makna samar) memerlukan pendekatan yang hati-hati agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman.³
Tafsir juga menjadi salah satu pondasi keilmuan
Islam yang sangat dinamis. Sejak masa Nabi Muhammad Saw, Al-Qur'an ditafsirkan
untuk memberikan petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan, baik spiritual,
sosial, maupun hukum. Proses penafsiran ini terus berkembang, menyesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat Muslim di berbagai zaman. Hal ini menjadikan tafsir
sebagai ilmu yang memiliki relevansi abadi, tidak hanya dalam konteks keagamaan,
tetapi juga dalam memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan.⁴
Sebagai cabang ilmu yang bersifat multidisiplin,
tafsir memerlukan penguasaan berbagai ilmu pendukung, seperti bahasa Arab,
asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), ilmu balaghah, ilmu hadis, dan ushul fiqh.
Selain itu, seorang mufassir juga dituntut memiliki pemahaman yang mendalam
tentang konteks historis dan sosial tempat ayat tersebut diturunkan, sehingga
penafsiran yang dihasilkan dapat memberikan pemahaman yang utuh.⁵
Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang mendalam tentang ilmu tafsir, termasuk sejarah perkembangannya,
jenis-jenis pendekatan yang digunakan, dan tantangan yang dihadapi dalam dunia
kontemporer. Dengan membahas tafsir secara komprehensif, artikel ini diharapkan
dapat menjadi rujukan yang bermanfaat bagi para pelajar, akademisi, dan umat
Islam pada umumnya dalam memahami khazanah ilmu Al-Qur'an.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo:
Dar al-Hadith, 2000), 15.
[2]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1997), 321.
[3]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 45.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.
[5]
Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl
Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 115.
2.
Sejarah Perkembangan Tafsir
2.1. Masa Nabi Muhammad Saw
Pada masa Nabi
Muhammad Saw, tafsir Al-Qur'an dilakukan secara langsung oleh Rasulullah
melalui penjelasan lisan kepada para sahabat. Penafsiran ini sering kali
disampaikan dalam konteks tertentu, misalnya menjawab pertanyaan sahabat atau memberikan penjelasan atas ayat-ayat yang
memerlukan elaborasi lebih lanjut. Salah satu contohnya adalah penjelasan Nabi
tentang makna "ظُلْمٌ" dalam QS.
Al-An'am [06] ayat 82, di mana Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah
dosa secara umum, melainkan syirik.¹ Rasulullah juga memberikan penjelasan
terkait asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), sehingga para sahabat dapat
memahami maksud ayat tersebut secara lebih mendalam.²
2.2. Masa Sahabat dan Tabi'in
Setelah wafatnya
Rasulullah, penafsiran Al-Qur'an dilanjutkan oleh para sahabat. Penafsiran
mereka didasarkan pada pemahaman langsung dari Rasulullah serta penguasaan
terhadap bahasa Arab dan konteks ayat. Tokoh-tokoh sahabat yang terkenal dalam
bidang tafsir antara lain Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, dan Ubay bin
Ka'ab. Abdullah bin Abbas, misalnya, dikenal sebagai tarjuman
al-Qur'an (penafsir Al-Qur'an) yang memberikan kontribusi besar
dalam penafsiran berbagai ayat.³
Pada masa tabi'in,
penafsiran Al-Qur'an semakin berkembang seiring dengan penyebaran Islam ke
berbagai wilayah yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda.
Para tabi'in seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair, dan Ikrimah memperluas penafsiran ayat-ayat
Al-Qur'an, sering kali merujuk pada pemahaman para sahabat. Mujahid, misalnya,
dikenal sebagai mufassir terkemuka yang dikutip oleh Imam al-Tabari dalam
tafsirnya.⁴
2.3. Masa Klasik (Abad Pertama hingga Ketiga Hijriah)
Pada masa ini,
tafsir mulai dibukukan secara sistematis. Salah satu karya monumental adalah Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Imam al-Tabari (w. 310 H), yang
menjadi rujukan utama dalam tafsir bil ma'tsur.⁵ Tafsir al-Tabari memuat
berbagai riwayat dari Rasulullah, sahabat, dan tabi'in, serta mencakup
pandangan para ulama tentang makna ayat-ayat tertentu. Metodologi tafsir ini
menjadi model bagi tafsir-tafsir selanjutnya.
Selain tafsir bil
ma'tsur, mulai muncul tafsir dengan pendekatan ijtihad atau bil ra'yi, seperti
yang dilakukan oleh ulama-ulama
di kalangan Mu'tazilah. Perkembangan ini menunjukkan upaya para ulama untuk
memahami Al-Qur'an melalui pendekatan rasional yang tetap berlandaskan syariat.⁶
2.4. Masa Pertengahan
Pada masa
pertengahan Islam, tafsir berkembang lebih kompleks dengan munculnya pendekatan
filosofis, teologis, dan sufistik. Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), dalam karyanya Al-Tafsir al-Kabir, menggunakan
pendekatan rasional dan filsafat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.⁷ Di
sisi lain, tafsir sufistik berkembang dengan karya-karya seperti Tafsir
al-Kashaf oleh al-Zamakhshari (w. 538 H) yang lebih fokus pada
keindahan bahasa dan balaghah Al-Qur'an.⁸
2.5. Masa Modern dan Kontemporer
Tafsir pada masa
modern menghadapi tantangan baru, seperti isu sekularisme, pluralisme, dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilal al-Qur'an, memberikan
pendekatan tafsir yang menekankan relevansi Al-Qur'an dengan kehidupan modern,
khususnya dalam konteks perjuangan politik Islam.⁹
Di dunia
kontemporer, muncul pendekatan tafsir tematik yang mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an
berdasarkan tema tertentu untuk menjawab masalah-masalah aktual. Muhammad
Abduh, misalnya, berupaya merekonstruksi
pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur'an melalui tafsir yang mengedepankan
nilai-nilai rasional dan modernitas.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi,
Al-Tafsir
wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 15.
[2]
Al-Suyuti, Al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 112.
[3]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 320.
[4]
Ibnu Jarir al-Tabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar
al-Ma'arif, 2001), 4:22.
[5]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.
[6]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 3:17.
[7]
Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir
al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 2:56.
[8]
Al-Zamakhshari, Al-Kashaf
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:15.
[9]
Sayyid Qutb, Fi
Zhilal al-Qur'an (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 1:32.
[10]
Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 1:12.
3.
Jenis-Jenis
Tafsir
3.1. Tafsir Bil Ma'tsur (Berdasarkan Riwayat)
Tafsir bil ma'tsur
adalah metode penafsiran Al-Qur'an yang didasarkan pada riwayat dari Nabi
Muhammad Saw, sahabat, dan tabi'in.¹ Penafsiran ini memiliki legitimasi yang
tinggi karena langsung merujuk kepada sumber-sumber otoritatif. Contoh tafsir
bil ma'tsur yang terkenal adalah Tafsir al-Tabari karya Ibnu Jarir
al-Tabari. Dalam tafsir ini, al-Tabari menyajikan penafsiran dengan menyebutkan
berbagai riwayat dari Rasulullah, pendapat sahabat seperti Abdullah bin Abbas,
serta pemahaman tabi'in seperti Mujahid bin Jabr.²
Kelebihan tafsir bil
ma'tsur adalah otoritasnya yang kuat dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam yang
murni. Namun, metode ini memiliki kelemahan,
terutama jika terdapat perbedaan riwayat yang kontradiktif atau riwayat yang
tidak dapat diverifikasi keabsahannya.³ Oleh karena itu, diperlukan kemampuan
seorang mufassir untuk memilah riwayat yang sahih dari yang dha'if.
3.2. Tafsir Bil Ra'yi (Berdasarkan Ijtihad)
Tafsir bil ra'yi
adalah metode penafsiran Al-Qur'an yang dilakukan dengan menggunakan nalar,
logika, dan ijtihad. Meski berlandaskan kepada kemampuan akal, metode ini tetap
harus mematuhi prinsip-prinsip syariat dan tidak boleh bertentangan dengan teks Al-Qur'an dan hadis.⁴ Contoh
tafsir bil ra'yi adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin
al-Razi, yang mengintegrasikan pendekatan rasional dan filosofis dalam
penafsiran.⁵
Metode ini memberikan
fleksibilitas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak memiliki riwayat
spesifik dari Nabi atau sahabat. Namun, kelemahannya adalah potensi
penyimpangan jika mufassir tidak memiliki dasar ilmu agama yang kuat atau
terlalu mengedepankan logika sehingga mengabaikan aspek tekstual Al-Qur'an.⁶
3.3. Tafsir Isyari (Sufistik)
Tafsir isyari adalah
metode penafsiran Al-Qur'an yang lebih menekankan aspek batiniah atau
spiritual. Tafsir ini sering kali mengungkap makna-makna tersembunyi dari
ayat-ayat Al-Qur'an dengan pendekatan
sufistik.⁷ Sebagai contoh, Tafsir al-Tustari karya Sahl
al-Tustari memuat interpretasi sufistik terhadap ayat-ayat tertentu dengan
mengaitkan makna lahiriah dan batiniah.⁸
Tafsir isyari sering
dikritik karena sulit diverifikasi keabsahannya, mengingat penafsirannya cenderung subjektif. Namun,
tafsir ini memiliki keunggulan dalam menggali dimensi spiritual Al-Qur'an yang
tidak tersentuh oleh metode literal.⁹
3.4. Tafsir Maudhui (Tematik)
Tafsir maudhui
adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an
yang membahas tema tertentu untuk kemudian dianalisis secara mendalam.¹⁰ Metode ini memberikan kemudahan
dalam memahami pandangan Al-Qur'an tentang isu-isu tertentu seperti keadilan,
persaudaraan, atau hak asasi manusia. Salah satu karya penting dalam tafsir
maudhui adalah Al-Tafsir al-Mawdhu’i karya Amin
Ahsan Islahi.¹¹
Kelebihan tafsir ini
adalah kemampuannya memberikan solusi praktis untuk berbagai persoalan modern.
Namun, metode ini memerlukan penguasaan yang mendalam terhadap konteks dan asbabun nuzul setiap ayat untuk
menghindari distorsi makna.¹²
3.5. Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah
metode penafsiran yang mencoba mengaitkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan modern. Misalnya, beberapa
mufassir menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan penciptaan alam semesta
(QS. Al-Anbiya [21] ayat 30) sebagai bentuk isyarat terhadap teori Big Bang.¹³
Tokoh penting dalam tafsir ini adalah Muhammad Tantawi dalam karyanya Al-Jawahir
fi Tafsir al-Qur'an.¹⁴
Metode ini sangat
relevan untuk menjembatani pemahaman umat Islam dengan kemajuan sains. Namun, kritik terhadap tafsir ilmi adalah potensi
over-interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sehingga maknanya menjadi
terlalu dipaksakan.¹⁵
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi,
Al-Tafsir
wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 34.
[2]
Ibnu Jarir al-Tabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar
al-Ma'arif, 2001), 1:12.
[3]
Al-Suyuti, Al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 321.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 2:45.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir
al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 1:34.
[6]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 235.
[7]
Al-Zamakhshari, Al-Kashaf
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:22.
[8]
Sahl al-Tustari, Tafsir
al-Tustari (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 3.
[9]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 78.
[10]
Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an
(Lahore: Faran Foundation, 1997), 5:112.
[11]
Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 2:78.
[12]
Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 76.
[13]
Maurice Bucaille, The
Bible, the Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust
Publications, 1979), 123.
[14]
Muhammad Tantawi, Al-Jawahir
fi Tafsir al-Qur'an (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 1:45.
[15]
Harun Yahya, Miracles
of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 56.
4.
Metodologi
dalam Ilmu Tafsir
4.1. Prinsip-Prinsip Umum Tafsir
Metodologi tafsir
Al-Qur'an bertumpu pada prinsip-prinsip tertentu yang bertujuan menjaga
kemurnian dan keabsahan penafsiran. Salah satu prinsip utama adalah tafsir
Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, yakni menafsirkan satu ayat dengan ayat lain yang
memiliki tema atau konteks serupa.¹ Misalnya,
QS. Al-Fatihah [01] ayat 6 tentang "jalan yang lurus" dijelaskan lebih lanjut oleh QS.
An-Nisa [04] ayat 69. Pendekatan ini memastikan keselarasan makna tanpa
menyimpang dari pesan keseluruhan Al-Qur'an.²
Prinsip lain adalah
tafsir Al-Qur'an dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Banyak ayat Al-Qur'an yang
dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabda-sabda beliau. Misalnya, QS. Al-Ikhlas
[112] ayat 1-4 dijelaskan dalam berbagai hadis sebagai bentuk tauhid murni.³
Selain itu, tafsir berdasarkan atsar sahabat juga diakui, mengingat para
sahabat memiliki pemahaman langsung terhadap wahyu dan konteks turunnya ayat.⁴
4.2. Kaidah-Kaidah Penting dalam Tafsir
Untuk menjaga
konsistensi dalam penafsiran, terdapat beberapa kaidah penting yang harus
dipegang oleh seorang mufassir:
·
Kaidah
Lughawiyah (Bahasa):
Pemahaman terhadap tata bahasa Arab,
termasuk nahwu, sharaf, dan balaghah, sangat esensial. Sebagai contoh, pemahaman
terhadap kata "الكتاب" (kitab) dalam
Al-Qur'an dapat bervariasi, tergantung pada konteks penggunaannya.⁵
·
Kaidah
Syar'iyyah (Hukum):
Penafsiran harus sejalan dengan
prinsip-prinsip syariat Islam, tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang
sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadis.⁶
·
Kaidah
Historis dan Asbabun Nuzul:
Pemahaman terhadap latar belakang
historis turunnya ayat atau asbabun nuzul memberikan konteks
yang lebih jelas dalam memahami makna ayat. Misalnya, QS. Al-Mumtahanah [60]
ayat 10 yang berkaitan dengan pernikahan wanita Muslimah dengan pria non-Muslim
memiliki konteks spesifik yang dijelaskan dalam hadis.⁷
4.3. Syarat-Syarat Mufassir
Seorang mufassir
harus memenuhi berbagai syarat agar tafsir yang dihasilkan dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan:
1)
Penguasaan
Bahasa Arab:
Kemampuan memahami nahwu, sharaf,
balaghah, dan lain-lain, untuk menggali makna asli teks Al-Qur'an.⁸
2)
Pemahaman
Asbabun Nuzul:
Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya
ayat agar penafsiran relevan dengan konteks sejarah.⁹
3)
Pengetahuan
Tentang Hadis:
Menguasai ilmu hadis untuk membedakan
hadis sahih dari yang dha'if, sehingga dapat digunakan dalam tafsir.¹⁰
4)
Pemahaman
terhadap Ushul Fiqh dan Kaidah Syar'iyyah:
Untuk memastikan bahwa tafsir tidak
bertentangan dengan hukum-hukum Islam.¹¹
5)
Keadilan
dan Ketakwaan:
Seorang mufassir harus memiliki
integritas moral dan spiritual yang tinggi agar tidak menafsirkan ayat
berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan pribadi.¹²
4.4. Metode Penafsiran
Metode yang
digunakan dalam tafsir dapat bervariasi, tergantung pada pendekatan dan tujuan
penafsiran:
·
Metode
Tahlili (Analitis):
Menguraikan ayat secara terperinci,
membahas aspek kebahasaan, hukum, dan konteksnya. Metode ini digunakan oleh
ulama seperti al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan.¹³
·
Metode
Ijmali (Ringkasan):
Menjelaskan makna ayat secara umum dan
sederhana tanpa pembahasan yang terlalu mendalam. Contohnya adalah Tafsir
al-Jalalayn.¹⁴
·
Metode
Muqarin (Komparatif):
Membandingkan pendapat dari berbagai
ulama tafsir mengenai satu ayat untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.¹⁵
·
Metode
Maudhui (Tematik):
Mengumpulkan ayat-ayat dengan tema
serupa, seperti ayat tentang keadilan, untuk kemudian dianalisis secara
tematik.¹⁶
4.5. Tantangan dalam Metodologi Tafsir Kontemporer
Dalam konteks
modern, metodologi tafsir menghadapi tantangan besar, seperti sekularisme,
pluralisme, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tafsir harus mampu memberikan
solusi bagi permasalahan kontemporer tanpa meninggalkan prinsip-prinsip
keislaman. Pendekatan baru seperti tafsir hermeneutika juga menimbulkan
kontroversi, karena metode ini dianggap mengadopsi pendekatan Barat yang tidak
selalu selaras dengan tradisi Islam.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi,
Al-Tafsir
wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 28.
[2]
Al-Suyuti, Al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 133.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-'Azhim (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988), 1:22.
[4]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 331.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir
al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 1:45.
[6]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 3:56.
[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 2:110.
[8]
Al-Zamakhshari, Al-Kashaf
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:12.
[9]
Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 1:54.
[10]
Al-Suyuti, Al-Durr
al-Manthur (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001), 2:45.
[11]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 321.
[12]
Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 84.
[13]
Ibnu Jarir al-Tabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar
al-Ma'arif, 2001), 4:14.
[14]
Al-Jalalayn, Tafsir
al-Jalalayn (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 1:10.
[15]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir
al-Manar (Kairo: Al-Manar, 1927), 2:34.
[16]
Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an
(Lahore: Faran Foundation, 1997), 5:112.
[17]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.
5.
Tantangan
dan Perkembangan Tafsir Kontemporer
5.1. Tantangan Ideologis dan Teologis
Tafsir kontemporer
menghadapi tantangan besar dari berbagai ideologi modern seperti sekularisme,
liberalisme, dan pluralisme. Ideologi ini sering kali memengaruhi cara
Al-Qur'an dipahami, baik oleh Muslim maupun non-Muslim.¹ Beberapa sarjana
modern mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan pendekatan hermeneutika
yang diadopsi dari tradisi Barat. Pendekatan ini menimbulkan pro dan kontra,
karena meskipun membuka cakrawala baru, metode ini dianggap tidak selalu
sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman.²
Misalnya, tokoh
seperti Fazlur Rahman memperkenalkan konsep double movement, yaitu pendekatan
yang berusaha menggali konteks historis ayat sekaligus menerapkannya dalam
konteks modern.³ Pendekatan ini, meskipun inovatif, sering dikritik karena
berpotensi menafsirkan Al-Qur'an di luar batas-batas syariat.⁴
5.2. Tantangan Sosial dan Budaya
Perkembangan sosial
dan budaya global juga memengaruhi cara tafsir dikembangkan. Di tengah arus
globalisasi, umat Islam dihadapkan pada isu-isu seperti gender, keadilan
sosial, dan hak asasi manusia. Ayat-ayat yang membahas peran laki-laki dan
perempuan, misalnya QS. An-Nisa [04] ayat 34, sering menjadi bahan diskusi
dalam tafsir kontemporer. Para mufassir mencoba menjembatani makna asli ayat
dengan nilai-nilai modern tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam.⁵
Namun, tantangan ini
tidak mudah. Ada kecenderungan untuk menafsirkan ayat sesuai dengan ideologi
feminisme atau nilai-nilai Barat lainnya, yang kadang kala bertentangan dengan
pemahaman tradisional.⁶ Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara menjaga
kesucian teks Al-Qur'an dan menjawab tantangan zaman.
5.3. Tantangan Sains dan Teknologi
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi memberikan tantangan baru dalam penafsiran Al-Qur'an.
Beberapa mufassir mencoba menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan merujuk pada
teori-teori sains modern. Misalnya, QS. Al-Anbiya [21] ayat 30 sering dikaitkan
dengan teori Big Bang, dan QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 47 dihubungkan dengan
ekspansi alam semesta.⁷
Pendekatan ini, yang
dikenal sebagai tafsir ilmi, membantu membuktikan keselarasan Al-Qur'an dengan
ilmu pengetahuan. Namun, tafsir ini juga mendapat kritik karena terkadang
dipaksakan atau hanya berdasarkan hipotesis ilmiah yang belum pasti.⁸
5.4. Digitalisasi Tafsir
Era digital telah
membawa perubahan signifikan dalam penyebaran ilmu tafsir. Aplikasi dan
platform daring seperti Quran.com, Tafsir Center, dan aplikasi Al-Qur'an
lainnya memudahkan umat Islam untuk mengakses tafsir kapan saja dan di mana
saja. Digitalisasi ini tidak hanya mempermudah akses terhadap tafsir-tafsir
klasik, tetapi juga memperkenalkan tafsir-tematik dan komparatif kepada
khalayak luas.⁹
Namun, digitalisasi
juga membawa tantangan baru, seperti penyebaran tafsir yang tidak valid atau
menyimpang. Banyak platform daring yang memuat tafsir dari sumber yang kurang
kredibel, sehingga mengancam pemahaman umat terhadap Al-Qur'an. Oleh karena
itu, pengguna digital harus tetap kritis dan selektif dalam mengakses sumber
tafsir.¹⁰
5.5. Perkembangan Tafsir Tematik
Tafsir tematik atau tafsir
maudhui telah menjadi tren dalam tafsir kontemporer karena dianggap
lebih relevan untuk menjawab permasalahan modern. Metode ini mengelompokkan
ayat-ayat berdasarkan tema tertentu, seperti keadilan, politik, atau ekologi.¹¹
Sebagai contoh,
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah sering
menggunakan pendekatan tematik untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan
modern dengan tetap merujuk pada nilai-nilai Al-Qur'an.¹² Metode ini efektif
dalam menjawab tantangan era modern, tetapi memerlukan keahlian mendalam agar
tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat kurangnya pemahaman terhadap
konteks keseluruhan Al-Qur'an.
5.6. Relevansi Tafsir Kontemporer
Dalam menghadapi
tantangan ini, tafsir kontemporer harus tetap relevan dengan kebutuhan umat
Islam tanpa kehilangan otentisitasnya. Para mufassir diharapkan dapat
menyelaraskan pemahaman Al-Qur'an dengan realitas zaman, sekaligus menjaga
prinsip-prinsip syariat dan metodologi tafsir yang benar.¹³
Catatan Kaki
[1]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 32.
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge,
2006), 45.
[3]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 5.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation
of Islamic Thought (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006),
23.
[5]
Asma Barlas, Believing
Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur'an
(Austin: University of Texas Press, 2002), 78.
[6]
Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 95.
[7]
Maurice Bucaille, The
Bible, the Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust
Publications, 1979), 127.
[8]
Harun Yahya, Miracles
of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 45.
[9]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 299.
[10]
Abdullah Saeed, Reading
the Qur'an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach
(London: Routledge, 2014), 67.
[11]
Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an
(Lahore: Faran Foundation, 1997), 8.
[12]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 6.
[13]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity, 54.
6.
Peran
Tafsir dalam Kehidupan Umat Islam
6.1. Sebagai Panduan Hidup
Tafsir memiliki
peran fundamental dalam membimbing umat Islam memahami Al-Qur'an sebagai
pedoman hidup. Dengan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an secara rinci,
tafsir membantu umat Islam mengaplikasikan ajaran wahyu dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, ayat-ayat tentang ibadah seperti QS. Al-Baqarah [02]
ayat 183 (kewajiban puasa) dijelaskan dalam tafsir untuk memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang tujuan spiritual, syarat, dan tata caranya.¹
Tafsir juga
memudahkan umat Islam untuk memahami pesan moral, seperti nilai-nilai keadilan
dalam QS. An-Nisa [04] ayat 58, yang menekankan pentingnya menunaikan amanah
kepada yang berhak.² Penafsiran ayat ini tidak hanya memberikan pemahaman
tentang prinsip keadilan, tetapi juga menghubungkannya dengan aplikasi praktis
dalam kehidupan sosial.
6.2. Menjawab Tantangan Sosial dan Budaya
Tafsir berperan
penting dalam menghadapi tantangan sosial dan budaya yang terus berkembang. Di
tengah modernisasi dan globalisasi, umat Islam sering kali menghadapi
persoalan-persoalan baru yang memerlukan panduan dari Al-Qur'an. Tafsir menjadi
sarana untuk menafsirkan ayat-ayat yang relevan dengan isu-isu kontemporer
seperti gender, ekologi, dan hak asasi manusia.³
Sebagai contoh,
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan QS.
Al-A'raf [07] ayat 31 tentang prinsip tidak berlebihan sebagai panduan bagi
umat Islam untuk menjaga keseimbangan dalam konsumsi di era materialisme.⁴ Tafsir
seperti ini membantu umat Islam untuk tetap berpegang pada nilai-nilai Islam
sambil menghadapi tantangan modern.
6.3. Menyelesaikan Persoalan Hukum
Dalam bidang hukum,
tafsir memainkan peran krusial dalam memberikan landasan syar’i bagi
pengambilan keputusan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum, seperti QS.
Al-Maidah [05] ayat 38 tentang pencurian, dijelaskan dalam tafsir untuk
menegaskan batasan-batasan hukum Islam dan bagaimana penerapannya dalam konteks
masyarakat modern.⁵
Para mufassir juga
menggunakan tafsir untuk menjelaskan prinsip-prinsip syariat yang relevan dalam
konteks hukum kontemporer. Misalnya, dalam pembahasan tentang kontrak bisnis
modern atau teknologi finansial, tafsir ayat-ayat tentang muamalah membantu menciptakan
panduan yang sesuai dengan syariat Islam.⁶
6.4. Memperkuat Keimanan dan Ketakwaan
Salah satu fungsi
utama tafsir adalah memperkuat keimanan dan ketakwaan umat Islam. Dengan
memahami pesan-pesan mendalam dari Al-Qur'an, umat Islam dapat memperkuat
keyakinan mereka terhadap Allah Swt. Tafsir QS. Al-Baqarah [02] ayat 2, yang
menyebutkan Al-Qur'an sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,"
menjelaskan bahwa pemahaman yang benar terhadap Al-Qur'an dapat menjadi sumber
kekuatan spiritual bagi seorang Muslim.⁷
Tafsir juga menjadi
sarana untuk menggali makna spiritual dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat
motivasional. Misalnya, tafsir QS. Al-Insyirah [94] ayat 5-6 tentang janji
kemudahan setelah kesulitan, memberikan penghiburan dan motivasi kepada umat
Islam dalam menghadapi cobaan hidup.⁸
6.5. Memperkuat Ukhuwah Islamiyah
Tafsir juga berperan
dalam memperkuat persatuan umat Islam dengan menjelaskan ayat-ayat yang
menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah. QS. Al-Hujurat [49] ayat 10, yang
menyatakan bahwa orang-orang beriman adalah bersaudara, dijelaskan dalam tafsir
sebagai ajakan untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan.⁹
Dengan penafsiran
yang benar, tafsir dapat membantu umat Islam memahami pentingnya toleransi dan
harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat
pluralistik di mana tafsir menjadi alat untuk menjembatani perbedaan dan
membangun solidaritas umat.¹⁰
6.6. Sebagai Media Dakwah
Tafsir juga
merupakan alat yang efektif dalam menyampaikan dakwah. Melalui tafsir,
pesan-pesan Al-Qur'an dapat disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat. Tafsir membantu para pendakwah untuk menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur'an secara kontekstual, sehingga lebih relevan dengan kebutuhan umat.¹¹
Sebagai contoh,
tafsir ayat-ayat tentang dakwah seperti QS. An-Nahl [16] ayat 125, yang
mengajarkan pendekatan hikmah dalam berdakwah, memberikan panduan praktis bagi
para da'i dalam menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang bijaksana dan
menarik.¹²
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi,
Al-Tafsir
wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 45.
[2]
Al-Suyuti, Al-Itqan
fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 231.
[3]
Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 1994), 56.
[4]
Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), 3:78.
[5]
Ibnu Jarir al-Tabari, Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar
al-Ma'arif, 2001), 6:120.
[6]
Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 4:98.
[7]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 54.
[8]
Harun Yahya, Miracles
of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 34.
[9]
Abdullah Saeed, Interpreting
the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge,
2006), 45.
[10]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith
fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 341.
[11]
Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an, 89.
[12]
Sayyid Qutb, Fi
Zhilal al-Qur'an (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 1:212.
7.
Penutup
Tafsir merupakan salah satu ilmu terpenting dalam
Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami Al-Qur'an, tetapi
juga sebagai medium yang
menghubungkan wahyu ilahi dengan realitas kehidupan manusia. Melalui kajian
komprehensif tentang tafsir, dapat disimpulkan bahwa peran tafsir dalam
membimbing umat Islam tidak pernah lekang oleh waktu. Sebagai sumber utama
ajaran Islam, Al-Qur'an memerlukan penafsiran yang valid dan relevan agar umat
Islam dapat menjalankan ajarannya sesuai dengan kehendak Allah Swt.¹
Dalam sejarahnya, tafsir berkembang dari metode
sederhana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat hingga menjadi
disiplin ilmu yang kompleks dengan berbagai pendekatan dan metodologi. Perkembangan ini menunjukkan kemampuan ilmu tafsir untuk
beradaptasi dengan kebutuhan umat di setiap zaman.² Dari tafsir bil ma'tsur
yang berfokus pada riwayat hingga tafsir bil ra’yi yang menggunakan pendekatan
rasional, masing-masing metode memberikan kontribusi signifikan dalam
memperkaya khazanah ilmu tafsir.³
Di era modern, tafsir menghadapi tantangan besar,
seperti sekularisme, pluralisme, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, tantangan ini justru menjadi peluang bagi para
mufassir untuk mengembangkan metode tafsir yang lebih relevan, seperti tafsir
tematik dan tafsir ilmi. Dengan pendekatan yang inovatif, tafsir dapat menjadi
solusi bagi berbagai persoalan kontemporer tanpa mengabaikan prinsip-prinsip
syariat.⁴ Digitalisasi tafsir juga membuka akses yang lebih luas bagi umat Islam untuk mempelajari Al-Qur'an dan tafsirnya,
meskipun tetap diperlukan kehati-hatian dalam memilih sumber yang kredibel.⁵
Peran tafsir tidak hanya terbatas pada aspek keilmuan,
tetapi juga berdampak besar pada kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Tafsir membantu umat memahami ayat-ayat Al-Qur'an dalam konteks ibadah, hukum,
sosial, dan budaya, serta memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.⁶
Lebih dari itu, tafsir juga menjadi alat untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan membangun harmoni dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sebagai kesimpulan, tafsir adalah ilmu yang dinamis
dan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Oleh
karena itu, penting bagi para
mufassir untuk terus menjaga keilmuan ini dengan berpegang pada prinsip-prinsip
tafsir yang benar dan berdasarkan sumber-sumber yang otoritatif. Dengan
demikian, tafsir akan tetap menjadi cahaya bagi umat Islam dalam memahami wahyu
ilahi dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran-Nya. Semoga kajian ini
bermanfaat dalam menambah wawasan dan memperkuat iman pembacanya.⁷
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar
al-Hadith, 2000), 32.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 1988), 1:12.
[3]
Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl
Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 215.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 45.
[6]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 1:22.
[7]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1997), 299.
Daftar Pustaka
Abduh, M. (1927). Tafsir al-Manar. Kairo:
Al-Manar.
Al-Qattan, M. K. (1997). Mabahith fi 'Ulum
al-Qur'an. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Al-Suyuti, J. (1951). Al-Itqan fi 'Ulum
al-Qur'an (Edisi Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim). Kairo: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah.
Al-Suyuti, J. (2001). Al-Durr al-Manthur.
Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Al-Zamakhshari, J. (1993). Al-Kashaf.
Beirut: Dar al-Fikr.
Bucaille, M. (1979). The Bible, the Qur'an and
Science. Indianapolis: American Trust Publications.
Dhahabi, M. H. (2000). Al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Kairo: Dar al-Hadith.
Fazlur Rahman. (1980). Major Themes of the
Qur'an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Harun Yahya. (2002). Miracles of the Qur'an.
Istanbul: Global Publishing.
Ibnu Jarir al-Tabari. (2001). Jami' al-Bayan fi
Tafsir al-Qur'an (Edisi Mahmud Syakir). Kairo: Dar al-Ma'arif.
Ibnu Katsir, I. (1988). Tafsir al-Qur'an
al-'Azhim. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Nasr Hamid Abu Zayd. (2006). Reformation of
Islamic Thought. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Quraish Shihab. (1994). Membumikan Al-Qur'an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Quraish Shihab. (2002). Tafsir al-Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.
Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur'an:
Towards a Contemporary Approach. London: Routledge.
Saeed, A. (2014). Reading the Qur'an in the
Twenty-First Century: A Contextualist Approach. London: Routledge.
Tantawi, M. (1995). Al-Jawahir fi Tafsir
al-Qur'an. Kairo: Dar al-Hadith.
Lampiran 1: Daftar Tafsir Berdasarkan Masanya
Berikut adalah daftar tafsir Al-Qur'an yang disusun berdasarkan tahun
masa hidup penulisnya, mencantumkan nama penulis, daerah asal, masa hidup, dan
aliran kalam yang dianutnya:
1)
Abdullah bin Abbas
o
Tafsir: Tafsir
Ibnu Abbas
o
Daerah Asal: Makkah,
Hijaz
o
Masa Hidup: 619–687 M /
3–68 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Ahlus Sunnah Wal Jamaah)
2)
Mujahid bin Jabr
o
Tafsir: Tafsir
Mujahid
o
Daerah Asal: Makkah,
Hijaz
o
Masa Hidup: 642–722 M /
21–104 H
o
Aliran Kalam: Sunni
3)
Sufyan al-Thawri
o
Tafsir: Tafsir
al-Thawri
o
Daerah Asal: Kufah, Irak
o
Masa Hidup: 716–778 M /
97–161 H
o
Aliran Kalam: Sunni
4)
Al-Farra' (Yahya bin Ziyad al-Farra')
o
Tafsir: Ma'ani
al-Qur'an
o
Daerah Asal: Kufah, Irak
o
Masa Hidup: 761–822 M /
144–207 H
o
Aliran Kalam: Sunni
5)
Muhammad bin Jarir al-Tabari
o
Tafsir: Jami'
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an
o
Daerah Asal: Amol,
Tabaristan (Iran)
o
Masa Hidup: 839–923 M /
224–310 H
o
Aliran Kalam: Sunni
6)
Al-Zamakhshari (Jar Allah al-Zamakhshari)
o
Tafsir: Al-Kashaf
o
Daerah Asal: Khwarezm
(Uzbekistan)
o
Masa Hidup: 1074–1144 M
/ 467–538 H
o
Aliran Kalam: Mu'tazilah
7)
Fakhruddin al-Razi
o
Tafsir: Mafatih
al-Ghaib (Al-Tafsir al-Kabir)
o
Daerah Asal: Rayy (Iran)
o
Masa Hidup: 1149–1210 M
/ 543–606 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Asy'ariyah)
8)
Al-Qurtubi (Abu Abdillah al-Qurtubi)
o
Tafsir: Al-Jami'
li Ahkam al-Qur'an
o
Daerah Asal: Cordoba,
Andalusia (Spanyol)
o
Masa Hidup: 1214–1273 M
/ 611–671 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Maliki)
9)
Ibn Kathir (Abu al-Fida' Isma'il ibn Kathir)
o
Tafsir: Tafsir
al-Qur'an al-'Azhim
o
Daerah Asal: Busra,
Suriah
o
Masa Hidup: 1301–1373 M
/ 701–774 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Asy'ariyah)
10)
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti
o
Tafsir: Tafsir
al-Jalalayn
o
Daerah Asal: Kairo,
Mesir
o
Masa Hidup:
§
Al-Mahalli: 1389–1459 M / 791–864 H
§
Al-Suyuti: 1445–1505 M / 849–911 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Syafi'i, Asy'ariyah)
11)
Shihabuddin al-Alusi
o
Tafsir: Ruh
al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azim wa al-Sab' al-Mathani
o
Daerah Asal: Baghdad,
Irak
o
Masa Hidup: 1802–1854 M
/ 1217–1270 H
o
Aliran Kalam: Sunni
12)
Muhammad Abduh
o
Tafsir: Tafsir
al-Manar (disusun bersama Rashid Rida)
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1849–1905 M
/ 1265–1323 H
o
Aliran Kalam: Sunni
(Modernis)
13)
Sayyid Qutb
o
Tafsir: Fi
Zhilal al-Qur'an
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1906–1966 M
/ 1324–1385 H
o
Aliran Kalam: Sunni
14)
Quraish Shihab
o
Tafsir: Tafsir
al-Mishbah
o
Daerah Asal: Makassar,
Indonesia
o
Masa Hidup:
1944–sekarang
o
Aliran Kalam: Sunni
(Modern)
Lampiran 2: Daftar Tafsir Berdasarkan Jenisnya
Berikut adalah daftar tafsir Al-Qur'an berdasarkan
jenisnya, lengkap dengan nama penulis, daerah asal, masa hidup, dan aliran
kalam yang dianutnya:
Tafsir Bil Ma'tsur (Berdasarkan Riwayat)
1.
Tafsir al-Tabari
o
Penulis: Ibnu Jarir al-Tabari
o
Daerah Asal: Amol, Tabaristan (Iran)
o
Masa Hidup: 838–923 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Ahlus Sunnah wal Jamaah
2.
Tafsir al-Durr al-Manthur
o
Penulis: Jalaluddin al-Suyuti
o
Daerah Asal: Kairo, Mesir
o
Masa Hidup: 1445–1505 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i
3.
Tafsir Ibnu Katsir
o
Penulis: Ibnu Katsir
o
Daerah Asal: Busra, Suriah
o
Masa Hidup: 1301–1373 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i
Tafsir Bil Ra'yi (Berdasarkan Ijtihad)
1.
Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir)
o
Penulis: Fakhruddin al-Razi
o
Daerah Asal: Ray, Persia (Iran)
o
Masa Hidup: 1149–1209 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Asy’ari
2.
Tafsir al-Jalalayn
o
Penulis: Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti
o
Daerah Asal: Kairo, Mesir
o
Masa Hidup: Mahalli (1389–1459 M), Suyuti (1445–1505 M)
o
Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i
3.
Al-Kashaf
o
Penulis: Al-Zamakhshari
o
Daerah Asal: Khwarezm, Persia (Uzbekistan)
o
Masa Hidup: 1074–1143 M
o
Aliran Kalam: Mu’tazilah
Tafsir Isyari (Sufistik)
1.
Tafsir al-Tustari
o
Penulis: Sahl al-Tustari
o
Daerah Asal: Tustar, Persia (Iran)
o
Masa Hidup: 818–896 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Sufi
2.
Tafsir Ruh al-Ma’ani
o
Penulis: Al-Alusi
o
Daerah Asal: Baghdad, Irak
o
Masa Hidup: 1802–1854 M
o
Aliran Kalam: Sunni
3.
Tafsir al-Bahr al-Madid
o
Penulis: Ibn 'Ajibah
o
Daerah Asal: Maroko
o
Masa Hidup: 1747–1809 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Sufi
Tafsir Tematik (Maudhui)
1.
Fi Zhilal al-Qur'an
o
Penulis: Sayyid Qutb
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1906–1966 M
o
Aliran Kalam: Sunni, Ikhwanul Muslimin
2.
Tafsir al-Mishbah
o
Penulis: M. Quraish Shihab
o
Daerah Asal: Makassar, Indonesia
o
Masa Hidup: 1944–Sekarang
o
Aliran Kalam: Sunni
3.
Tadabbur-e-Qur'an
o
Penulis: Amin Ahsan Islahi
o
Daerah Asal: India-Pakistan
o
Masa Hidup: 1904–1997 M
o
Aliran Kalam: Sunni
Tafsir Ilmi
1.
Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an
o
Penulis: Muhammad Tantawi
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1862–1940 M
o
Aliran Kalam: Sunni
2.
Tafsir al-Maraghi
o
Penulis: Ahmad Mustafa al-Maraghi
o
Daerah Asal: Mesir
o
Masa Hidup: 1881–1945 M
o
Aliran Kalam: Sunni
3.
Tafsir al-Azhar
o
Penulis: Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
o
Daerah Asal: Minangkabau, Indonesia
o
Masa Hidup: 1908–1981 M
o
Aliran Kalam: Sunni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar