Selasa, 24 Desember 2024

Tafsir I: Pendekatan, Metodologi, dan Pengembangannya

 Tafsir I

“Pendekatan, Metodologi, dan Pengembangannya”


Alihkan ke: Tafsir II, dan Tafsir III


1.           Pendahuluan

Tafsir merupakan salah satu ilmu terpenting dalam kajian Islam karena berperan sebagai sarana utama dalam memahami Al-Qur'an. Secara etimologi, kata "tafsir" berasal dari akar kata فَسَرَ  yang berarti "menjelaskan" atau "mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi." Dalam istilah, tafsir didefinisikan sebagai upaya memahami, menjelaskan, dan menjabarkan makna ayat-ayat Al-Qur'an agar pesan-pesannya dapat dimengerti dengan baik oleh manusia.¹ Tafsir menjadi alat untuk menjelaskan kehendak Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an, baik secara eksplisit maupun implisit, dengan mengacu pada konteks wahyu, linguistik, dan kaidah keislaman lainnya.²

Pemahaman terhadap Al-Qur'an tidak dapat dilepaskan dari tafsir karena teks Al-Qur'an sering kali memiliki makna yang mendalam, kontekstual, dan multi-dimensional. Ayat-ayat tertentu mungkin memiliki kosa kata atau struktur bahasa yang membutuhkan penafsiran untuk menjelaskan maksud yang sebenarnya. Sebagai contoh, penggunaan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang memiliki makna samar) memerlukan pendekatan yang hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.³

Tafsir juga menjadi salah satu pondasi keilmuan Islam yang sangat dinamis. Sejak masa Nabi Muhammad Saw, Al-Qur'an ditafsirkan untuk memberikan petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan, baik spiritual, sosial, maupun hukum. Proses penafsiran ini terus berkembang, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim di berbagai zaman. Hal ini menjadikan tafsir sebagai ilmu yang memiliki relevansi abadi, tidak hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan.⁴

Sebagai cabang ilmu yang bersifat multidisiplin, tafsir memerlukan penguasaan berbagai ilmu pendukung, seperti bahasa Arab, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), ilmu balaghah, ilmu hadis, dan ushul fiqh. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks historis dan sosial tempat ayat tersebut diturunkan, sehingga penafsiran yang dihasilkan dapat memberikan pemahaman yang utuh.⁵

Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang ilmu tafsir, termasuk sejarah perkembangannya, jenis-jenis pendekatan yang digunakan, dan tantangan yang dihadapi dalam dunia kontemporer. Dengan membahas tafsir secara komprehensif, artikel ini diharapkan dapat menjadi rujukan yang bermanfaat bagi para pelajar, akademisi, dan umat Islam pada umumnya dalam memahami khazanah ilmu Al-Qur'an.


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 15.

[2]              Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 321.

[3]              Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 45.

[4]              Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.

[5]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 115.


2.           Sejarah Perkembangan Tafsir

2.1.       Masa Nabi Muhammad Saw

Pada masa Nabi Muhammad Saw, tafsir Al-Qur'an dilakukan secara langsung oleh Rasulullah melalui penjelasan lisan kepada para sahabat. Penafsiran ini sering kali disampaikan dalam konteks tertentu, misalnya menjawab pertanyaan sahabat atau memberikan penjelasan atas ayat-ayat yang memerlukan elaborasi lebih lanjut. Salah satu contohnya adalah penjelasan Nabi tentang makna "ظُلْمٌ" dalam QS. Al-An'am [06] ayat 82, di mana Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah dosa secara umum, melainkan syirik.¹ Rasulullah juga memberikan penjelasan terkait asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), sehingga para sahabat dapat memahami maksud ayat tersebut secara lebih mendalam.²

2.2.       Masa Sahabat dan Tabi'in

Setelah wafatnya Rasulullah, penafsiran Al-Qur'an dilanjutkan oleh para sahabat. Penafsiran mereka didasarkan pada pemahaman langsung dari Rasulullah serta penguasaan terhadap bahasa Arab dan konteks ayat. Tokoh-tokoh sahabat yang terkenal dalam bidang tafsir antara lain Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, dan Ubay bin Ka'ab. Abdullah bin Abbas, misalnya, dikenal sebagai tarjuman al-Qur'an (penafsir Al-Qur'an) yang memberikan kontribusi besar dalam penafsiran berbagai ayat.³

Pada masa tabi'in, penafsiran Al-Qur'an semakin berkembang seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Para tabi'in seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin Jubair, dan Ikrimah memperluas penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an, sering kali merujuk pada pemahaman para sahabat. Mujahid, misalnya, dikenal sebagai mufassir terkemuka yang dikutip oleh Imam al-Tabari dalam tafsirnya.⁴

2.3.       Masa Klasik (Abad Pertama hingga Ketiga Hijriah)

Pada masa ini, tafsir mulai dibukukan secara sistematis. Salah satu karya monumental adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Imam al-Tabari (w. 310 H), yang menjadi rujukan utama dalam tafsir bil ma'tsur.⁵ Tafsir al-Tabari memuat berbagai riwayat dari Rasulullah, sahabat, dan tabi'in, serta mencakup pandangan para ulama tentang makna ayat-ayat tertentu. Metodologi tafsir ini menjadi model bagi tafsir-tafsir selanjutnya.

Selain tafsir bil ma'tsur, mulai muncul tafsir dengan pendekatan ijtihad atau bil ra'yi, seperti yang dilakukan oleh ulama-ulama di kalangan Mu'tazilah. Perkembangan ini menunjukkan upaya para ulama untuk memahami Al-Qur'an melalui pendekatan rasional yang tetap berlandaskan syariat.⁶

2.4.       Masa Pertengahan

Pada masa pertengahan Islam, tafsir berkembang lebih kompleks dengan munculnya pendekatan filosofis, teologis, dan sufistik. Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), dalam karyanya Al-Tafsir al-Kabir, menggunakan pendekatan rasional dan filsafat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.⁷ Di sisi lain, tafsir sufistik berkembang dengan karya-karya seperti Tafsir al-Kashaf oleh al-Zamakhshari (w. 538 H) yang lebih fokus pada keindahan bahasa dan balaghah Al-Qur'an.⁸

2.5.       Masa Modern dan Kontemporer

Tafsir pada masa modern menghadapi tantangan baru, seperti isu sekularisme, pluralisme, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sayyid Qutb, dalam Fi Zhilal al-Qur'an, memberikan pendekatan tafsir yang menekankan relevansi Al-Qur'an dengan kehidupan modern, khususnya dalam konteks perjuangan politik Islam.⁹

Di dunia kontemporer, muncul pendekatan tafsir tematik yang mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan tema tertentu untuk menjawab masalah-masalah aktual. Muhammad Abduh, misalnya, berupaya merekonstruksi pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur'an melalui tafsir yang mengedepankan nilai-nilai rasional dan modernitas.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 15.

[2]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 112.

[3]              Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 320.

[4]              Ibnu Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2001), 4:22.

[5]              Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.

[6]              Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 3:17.

[7]              Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 2:56.

[8]              Al-Zamakhshari, Al-Kashaf (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:15.

[9]              Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur'an (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 1:32.

[10]          Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 1:12.


3.           Jenis-Jenis Tafsir

3.1.       Tafsir Bil Ma'tsur (Berdasarkan Riwayat)

Tafsir bil ma'tsur adalah metode penafsiran Al-Qur'an yang didasarkan pada riwayat dari Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan tabi'in.¹ Penafsiran ini memiliki legitimasi yang tinggi karena langsung merujuk kepada sumber-sumber otoritatif. Contoh tafsir bil ma'tsur yang terkenal adalah Tafsir al-Tabari karya Ibnu Jarir al-Tabari. Dalam tafsir ini, al-Tabari menyajikan penafsiran dengan menyebutkan berbagai riwayat dari Rasulullah, pendapat sahabat seperti Abdullah bin Abbas, serta pemahaman tabi'in seperti Mujahid bin Jabr.²

Kelebihan tafsir bil ma'tsur adalah otoritasnya yang kuat dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam yang murni. Namun, metode ini memiliki kelemahan, terutama jika terdapat perbedaan riwayat yang kontradiktif atau riwayat yang tidak dapat diverifikasi keabsahannya.³ Oleh karena itu, diperlukan kemampuan seorang mufassir untuk memilah riwayat yang sahih dari yang dha'if.

3.2.       Tafsir Bil Ra'yi (Berdasarkan Ijtihad)

Tafsir bil ra'yi adalah metode penafsiran Al-Qur'an yang dilakukan dengan menggunakan nalar, logika, dan ijtihad. Meski berlandaskan kepada kemampuan akal, metode ini tetap harus mematuhi prinsip-prinsip syariat dan tidak boleh bertentangan dengan teks Al-Qur'an dan hadis.⁴ Contoh tafsir bil ra'yi adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, yang mengintegrasikan pendekatan rasional dan filosofis dalam penafsiran.⁵

Metode ini memberikan fleksibilitas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak memiliki riwayat spesifik dari Nabi atau sahabat. Namun, kelemahannya adalah potensi penyimpangan jika mufassir tidak memiliki dasar ilmu agama yang kuat atau terlalu mengedepankan logika sehingga mengabaikan aspek tekstual Al-Qur'an.⁶

3.3.       Tafsir Isyari (Sufistik)

Tafsir isyari adalah metode penafsiran Al-Qur'an yang lebih menekankan aspek batiniah atau spiritual. Tafsir ini sering kali mengungkap makna-makna tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur'an dengan pendekatan sufistik.⁷ Sebagai contoh, Tafsir al-Tustari karya Sahl al-Tustari memuat interpretasi sufistik terhadap ayat-ayat tertentu dengan mengaitkan makna lahiriah dan batiniah.⁸

Tafsir isyari sering dikritik karena sulit diverifikasi keabsahannya, mengingat penafsirannya cenderung subjektif. Namun, tafsir ini memiliki keunggulan dalam menggali dimensi spiritual Al-Qur'an yang tidak tersentuh oleh metode literal.⁹

3.4.       Tafsir Maudhui (Tematik)

Tafsir maudhui adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas tema tertentu untuk kemudian dianalisis secara mendalam.¹⁰ Metode ini memberikan kemudahan dalam memahami pandangan Al-Qur'an tentang isu-isu tertentu seperti keadilan, persaudaraan, atau hak asasi manusia. Salah satu karya penting dalam tafsir maudhui adalah Al-Tafsir al-Mawdhu’i karya Amin Ahsan Islahi.¹¹

Kelebihan tafsir ini adalah kemampuannya memberikan solusi praktis untuk berbagai persoalan modern. Namun, metode ini memerlukan penguasaan yang mendalam terhadap konteks dan asbabun nuzul setiap ayat untuk menghindari distorsi makna.¹²

3.5.       Tafsir Ilmi

Tafsir ilmi adalah metode penafsiran yang mencoba mengaitkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan modern. Misalnya, beberapa mufassir menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan penciptaan alam semesta (QS. Al-Anbiya [21] ayat 30) sebagai bentuk isyarat terhadap teori Big Bang.¹³ Tokoh penting dalam tafsir ini adalah Muhammad Tantawi dalam karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an.¹⁴

Metode ini sangat relevan untuk menjembatani pemahaman umat Islam dengan kemajuan sains. Namun, kritik terhadap tafsir ilmi adalah potensi over-interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sehingga maknanya menjadi terlalu dipaksakan.¹⁵


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 34.

[2]              Ibnu Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2001), 1:12.

[3]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 321.

[4]              Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 2:45.

[5]              Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 1:34.

[6]              Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 235.

[7]              Al-Zamakhshari, Al-Kashaf (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:22.

[8]              Sahl al-Tustari, Tafsir al-Tustari (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), 3.

[9]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 78.

[10]          Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an (Lahore: Faran Foundation, 1997), 5:112.

[11]          Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 2:78.

[12]          Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 76.

[13]          Maurice Bucaille, The Bible, the Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust Publications, 1979), 123.

[14]          Muhammad Tantawi, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an (Kairo: Dar al-Hadith, 1995), 1:45.

[15]          Harun Yahya, Miracles of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 56.


4.           Metodologi dalam Ilmu Tafsir

4.1.       Prinsip-Prinsip Umum Tafsir

Metodologi tafsir Al-Qur'an bertumpu pada prinsip-prinsip tertentu yang bertujuan menjaga kemurnian dan keabsahan penafsiran. Salah satu prinsip utama adalah tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, yakni menafsirkan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki tema atau konteks serupa.¹ Misalnya, QS. Al-Fatihah [01] ayat 6 tentang "jalan yang lurus" dijelaskan lebih lanjut oleh QS. An-Nisa [04] ayat 69. Pendekatan ini memastikan keselarasan makna tanpa menyimpang dari pesan keseluruhan Al-Qur'an.²

Prinsip lain adalah tafsir Al-Qur'an dengan hadis Nabi Muhammad Saw. Banyak ayat Al-Qur'an yang dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabda-sabda beliau. Misalnya, QS. Al-Ikhlas [112] ayat 1-4 dijelaskan dalam berbagai hadis sebagai bentuk tauhid murni.³ Selain itu, tafsir berdasarkan atsar sahabat juga diakui, mengingat para sahabat memiliki pemahaman langsung terhadap wahyu dan konteks turunnya ayat.⁴

4.2.       Kaidah-Kaidah Penting dalam Tafsir

Untuk menjaga konsistensi dalam penafsiran, terdapat beberapa kaidah penting yang harus dipegang oleh seorang mufassir:

·                     Kaidah Lughawiyah (Bahasa):

Pemahaman terhadap tata bahasa Arab, termasuk nahwu, sharaf, dan balaghah, sangat esensial. Sebagai contoh, pemahaman terhadap kata "الكتاب" (kitab) dalam Al-Qur'an dapat bervariasi, tergantung pada konteks penggunaannya.⁵

·                     Kaidah Syar'iyyah (Hukum):

Penafsiran harus sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadis.⁶

·                     Kaidah Historis dan Asbabun Nuzul:

Pemahaman terhadap latar belakang historis turunnya ayat atau asbabun nuzul memberikan konteks yang lebih jelas dalam memahami makna ayat. Misalnya, QS. Al-Mumtahanah [60] ayat 10 yang berkaitan dengan pernikahan wanita Muslimah dengan pria non-Muslim memiliki konteks spesifik yang dijelaskan dalam hadis.⁷

4.3.       Syarat-Syarat Mufassir

Seorang mufassir harus memenuhi berbagai syarat agar tafsir yang dihasilkan dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan:

1)                  Penguasaan Bahasa Arab:

Kemampuan memahami nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain, untuk menggali makna asli teks Al-Qur'an.⁸

2)                  Pemahaman Asbabun Nuzul:

Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat agar penafsiran relevan dengan konteks sejarah.⁹

3)                  Pengetahuan Tentang Hadis:

Menguasai ilmu hadis untuk membedakan hadis sahih dari yang dha'if, sehingga dapat digunakan dalam tafsir.¹⁰

4)                  Pemahaman terhadap Ushul Fiqh dan Kaidah Syar'iyyah:

Untuk memastikan bahwa tafsir tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam.¹¹

5)                  Keadilan dan Ketakwaan:

Seorang mufassir harus memiliki integritas moral dan spiritual yang tinggi agar tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu atau kepentingan pribadi.¹²

4.4.       Metode Penafsiran

Metode yang digunakan dalam tafsir dapat bervariasi, tergantung pada pendekatan dan tujuan penafsiran:

·                     Metode Tahlili (Analitis):

Menguraikan ayat secara terperinci, membahas aspek kebahasaan, hukum, dan konteksnya. Metode ini digunakan oleh ulama seperti al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan.¹³

·                     Metode Ijmali (Ringkasan):

Menjelaskan makna ayat secara umum dan sederhana tanpa pembahasan yang terlalu mendalam. Contohnya adalah Tafsir al-Jalalayn.¹⁴

·                     Metode Muqarin (Komparatif):

Membandingkan pendapat dari berbagai ulama tafsir mengenai satu ayat untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.¹⁵

·                     Metode Maudhui (Tematik):

Mengumpulkan ayat-ayat dengan tema serupa, seperti ayat tentang keadilan, untuk kemudian dianalisis secara tematik.¹⁶

4.5.       Tantangan dalam Metodologi Tafsir Kontemporer

Dalam konteks modern, metodologi tafsir menghadapi tantangan besar, seperti sekularisme, pluralisme, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tafsir harus mampu memberikan solusi bagi permasalahan kontemporer tanpa meninggalkan prinsip-prinsip keislaman. Pendekatan baru seperti tafsir hermeneutika juga menimbulkan kontroversi, karena metode ini dianggap mengadopsi pendekatan Barat yang tidak selalu selaras dengan tradisi Islam.¹⁷


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 28.

[2]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 133.

[3]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988), 1:22.

[4]              Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 331.

[5]              Fakhruddin al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1981), 1:45.

[6]              Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 3:56.

[7]              Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), 2:110.

[8]              Al-Zamakhshari, Al-Kashaf (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 1:12.

[9]              Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 1:54.

[10]          Al-Suyuti, Al-Durr al-Manthur (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001), 2:45.

[11]          Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 321.

[12]          Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 84.

[13]          Ibnu Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2001), 4:14.

[14]          Al-Jalalayn, Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 1:10.

[15]          Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar (Kairo: Al-Manar, 1927), 2:34.

[16]          Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an (Lahore: Faran Foundation, 1997), 5:112.

[17]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.


5.           Tantangan dan Perkembangan Tafsir Kontemporer

5.1.       Tantangan Ideologis dan Teologis

Tafsir kontemporer menghadapi tantangan besar dari berbagai ideologi modern seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Ideologi ini sering kali memengaruhi cara Al-Qur'an dipahami, baik oleh Muslim maupun non-Muslim.¹ Beberapa sarjana modern mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan pendekatan hermeneutika yang diadopsi dari tradisi Barat. Pendekatan ini menimbulkan pro dan kontra, karena meskipun membuka cakrawala baru, metode ini dianggap tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keislaman.²

Misalnya, tokoh seperti Fazlur Rahman memperkenalkan konsep double movement, yaitu pendekatan yang berusaha menggali konteks historis ayat sekaligus menerapkannya dalam konteks modern.³ Pendekatan ini, meskipun inovatif, sering dikritik karena berpotensi menafsirkan Al-Qur'an di luar batas-batas syariat.⁴

5.2.       Tantangan Sosial dan Budaya

Perkembangan sosial dan budaya global juga memengaruhi cara tafsir dikembangkan. Di tengah arus globalisasi, umat Islam dihadapkan pada isu-isu seperti gender, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Ayat-ayat yang membahas peran laki-laki dan perempuan, misalnya QS. An-Nisa [04] ayat 34, sering menjadi bahan diskusi dalam tafsir kontemporer. Para mufassir mencoba menjembatani makna asli ayat dengan nilai-nilai modern tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam.⁵

Namun, tantangan ini tidak mudah. Ada kecenderungan untuk menafsirkan ayat sesuai dengan ideologi feminisme atau nilai-nilai Barat lainnya, yang kadang kala bertentangan dengan pemahaman tradisional.⁶ Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara menjaga kesucian teks Al-Qur'an dan menjawab tantangan zaman.

5.3.       Tantangan Sains dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan tantangan baru dalam penafsiran Al-Qur'an. Beberapa mufassir mencoba menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dengan merujuk pada teori-teori sains modern. Misalnya, QS. Al-Anbiya [21] ayat 30 sering dikaitkan dengan teori Big Bang, dan QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 47 dihubungkan dengan ekspansi alam semesta.⁷

Pendekatan ini, yang dikenal sebagai tafsir ilmi, membantu membuktikan keselarasan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan. Namun, tafsir ini juga mendapat kritik karena terkadang dipaksakan atau hanya berdasarkan hipotesis ilmiah yang belum pasti.⁸

5.4.       Digitalisasi Tafsir

Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam penyebaran ilmu tafsir. Aplikasi dan platform daring seperti Quran.com, Tafsir Center, dan aplikasi Al-Qur'an lainnya memudahkan umat Islam untuk mengakses tafsir kapan saja dan di mana saja. Digitalisasi ini tidak hanya mempermudah akses terhadap tafsir-tafsir klasik, tetapi juga memperkenalkan tafsir-tematik dan komparatif kepada khalayak luas.⁹

Namun, digitalisasi juga membawa tantangan baru, seperti penyebaran tafsir yang tidak valid atau menyimpang. Banyak platform daring yang memuat tafsir dari sumber yang kurang kredibel, sehingga mengancam pemahaman umat terhadap Al-Qur'an. Oleh karena itu, pengguna digital harus tetap kritis dan selektif dalam mengakses sumber tafsir.¹⁰

5.5.       Perkembangan Tafsir Tematik

Tafsir tematik atau tafsir maudhui telah menjadi tren dalam tafsir kontemporer karena dianggap lebih relevan untuk menjawab permasalahan modern. Metode ini mengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tertentu, seperti keadilan, politik, atau ekologi.¹¹

Sebagai contoh, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah sering menggunakan pendekatan tematik untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan modern dengan tetap merujuk pada nilai-nilai Al-Qur'an.¹² Metode ini efektif dalam menjawab tantangan era modern, tetapi memerlukan keahlian mendalam agar tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat kurangnya pemahaman terhadap konteks keseluruhan Al-Qur'an.

5.6.       Relevansi Tafsir Kontemporer

Dalam menghadapi tantangan ini, tafsir kontemporer harus tetap relevan dengan kebutuhan umat Islam tanpa kehilangan otentisitasnya. Para mufassir diharapkan dapat menyelaraskan pemahaman Al-Qur'an dengan realitas zaman, sekaligus menjaga prinsip-prinsip syariat dan metodologi tafsir yang benar.¹³


Catatan Kaki

[1]              Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 32.

[2]              Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 45.

[3]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 5.

[4]              Nasr Hamid Abu Zayd, Reformation of Islamic Thought (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006), 23.

[5]              Asma Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur'an (Austin: University of Texas Press, 2002), 78.

[6]              Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 95.

[7]              Maurice Bucaille, The Bible, the Qur'an and Science (Indianapolis: American Trust Publications, 1979), 127.

[8]              Harun Yahya, Miracles of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 45.

[9]              Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 299.

[10]          Abdullah Saeed, Reading the Qur'an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach (London: Routledge, 2014), 67.

[11]          Amin Ahsan Islahi, Tadabbur-e-Qur'an (Lahore: Faran Foundation, 1997), 8.

[12]          Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 6.

[13]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 54.


6.           Peran Tafsir dalam Kehidupan Umat Islam

6.1.       Sebagai Panduan Hidup

Tafsir memiliki peran fundamental dalam membimbing umat Islam memahami Al-Qur'an sebagai pedoman hidup. Dengan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur'an secara rinci, tafsir membantu umat Islam mengaplikasikan ajaran wahyu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ayat-ayat tentang ibadah seperti QS. Al-Baqarah [02] ayat 183 (kewajiban puasa) dijelaskan dalam tafsir untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tujuan spiritual, syarat, dan tata caranya.¹

Tafsir juga memudahkan umat Islam untuk memahami pesan moral, seperti nilai-nilai keadilan dalam QS. An-Nisa [04] ayat 58, yang menekankan pentingnya menunaikan amanah kepada yang berhak.² Penafsiran ayat ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang prinsip keadilan, tetapi juga menghubungkannya dengan aplikasi praktis dalam kehidupan sosial.

6.2.       Menjawab Tantangan Sosial dan Budaya

Tafsir berperan penting dalam menghadapi tantangan sosial dan budaya yang terus berkembang. Di tengah modernisasi dan globalisasi, umat Islam sering kali menghadapi persoalan-persoalan baru yang memerlukan panduan dari Al-Qur'an. Tafsir menjadi sarana untuk menafsirkan ayat-ayat yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti gender, ekologi, dan hak asasi manusia.³

Sebagai contoh, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan QS. Al-A'raf [07] ayat 31 tentang prinsip tidak berlebihan sebagai panduan bagi umat Islam untuk menjaga keseimbangan dalam konsumsi di era materialisme.⁴ Tafsir seperti ini membantu umat Islam untuk tetap berpegang pada nilai-nilai Islam sambil menghadapi tantangan modern.

6.3.       Menyelesaikan Persoalan Hukum

Dalam bidang hukum, tafsir memainkan peran krusial dalam memberikan landasan syar’i bagi pengambilan keputusan. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum, seperti QS. Al-Maidah [05] ayat 38 tentang pencurian, dijelaskan dalam tafsir untuk menegaskan batasan-batasan hukum Islam dan bagaimana penerapannya dalam konteks masyarakat modern.⁵

Para mufassir juga menggunakan tafsir untuk menjelaskan prinsip-prinsip syariat yang relevan dalam konteks hukum kontemporer. Misalnya, dalam pembahasan tentang kontrak bisnis modern atau teknologi finansial, tafsir ayat-ayat tentang muamalah membantu menciptakan panduan yang sesuai dengan syariat Islam.⁶

6.4.       Memperkuat Keimanan dan Ketakwaan

Salah satu fungsi utama tafsir adalah memperkuat keimanan dan ketakwaan umat Islam. Dengan memahami pesan-pesan mendalam dari Al-Qur'an, umat Islam dapat memperkuat keyakinan mereka terhadap Allah Swt. Tafsir QS. Al-Baqarah [02] ayat 2, yang menyebutkan Al-Qur'an sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa," menjelaskan bahwa pemahaman yang benar terhadap Al-Qur'an dapat menjadi sumber kekuatan spiritual bagi seorang Muslim.⁷

Tafsir juga menjadi sarana untuk menggali makna spiritual dari ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat motivasional. Misalnya, tafsir QS. Al-Insyirah [94] ayat 5-6 tentang janji kemudahan setelah kesulitan, memberikan penghiburan dan motivasi kepada umat Islam dalam menghadapi cobaan hidup.⁸

6.5.       Memperkuat Ukhuwah Islamiyah

Tafsir juga berperan dalam memperkuat persatuan umat Islam dengan menjelaskan ayat-ayat yang menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah. QS. Al-Hujurat [49] ayat 10, yang menyatakan bahwa orang-orang beriman adalah bersaudara, dijelaskan dalam tafsir sebagai ajakan untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan.⁹

Dengan penafsiran yang benar, tafsir dapat membantu umat Islam memahami pentingnya toleransi dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini relevan dalam konteks masyarakat pluralistik di mana tafsir menjadi alat untuk menjembatani perbedaan dan membangun solidaritas umat.¹⁰

6.6.       Sebagai Media Dakwah

Tafsir juga merupakan alat yang efektif dalam menyampaikan dakwah. Melalui tafsir, pesan-pesan Al-Qur'an dapat disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Tafsir membantu para pendakwah untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an secara kontekstual, sehingga lebih relevan dengan kebutuhan umat.¹¹

Sebagai contoh, tafsir ayat-ayat tentang dakwah seperti QS. An-Nahl [16] ayat 125, yang mengajarkan pendekatan hikmah dalam berdakwah, memberikan panduan praktis bagi para da'i dalam menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang bijaksana dan menarik.¹²


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 45.

[2]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 231.

[3]              Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 56.

[4]              Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 3:78.

[5]              Ibnu Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, ed. Mahmud Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2001), 6:120.

[6]              Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, ed. Rashid Rida (Kairo: Al-Manar, 1927), 4:98.

[7]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 54.

[8]              Harun Yahya, Miracles of the Qur'an (Istanbul: Global Publishing, 2002), 34.

[9]              Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 45.

[10]          Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 341.

[11]          Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, 89.

[12]          Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur'an (Kairo: Dar al-Shuruq, 1985), 1:212.


7.           Penutup

Tafsir merupakan salah satu ilmu terpenting dalam Islam yang tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami Al-Qur'an, tetapi juga sebagai medium yang menghubungkan wahyu ilahi dengan realitas kehidupan manusia. Melalui kajian komprehensif tentang tafsir, dapat disimpulkan bahwa peran tafsir dalam membimbing umat Islam tidak pernah lekang oleh waktu. Sebagai sumber utama ajaran Islam, Al-Qur'an memerlukan penafsiran yang valid dan relevan agar umat Islam dapat menjalankan ajarannya sesuai dengan kehendak Allah Swt.¹

Dalam sejarahnya, tafsir berkembang dari metode sederhana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat hingga menjadi disiplin ilmu yang kompleks dengan berbagai pendekatan dan metodologi. Perkembangan ini menunjukkan kemampuan ilmu tafsir untuk beradaptasi dengan kebutuhan umat di setiap zaman.² Dari tafsir bil ma'tsur yang berfokus pada riwayat hingga tafsir bil ra’yi yang menggunakan pendekatan rasional, masing-masing metode memberikan kontribusi signifikan dalam memperkaya khazanah ilmu tafsir.³

Di era modern, tafsir menghadapi tantangan besar, seperti sekularisme, pluralisme, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, tantangan ini justru menjadi peluang bagi para mufassir untuk mengembangkan metode tafsir yang lebih relevan, seperti tafsir tematik dan tafsir ilmi. Dengan pendekatan yang inovatif, tafsir dapat menjadi solusi bagi berbagai persoalan kontemporer tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariat.⁴ Digitalisasi tafsir juga membuka akses yang lebih luas bagi umat Islam untuk mempelajari Al-Qur'an dan tafsirnya, meskipun tetap diperlukan kehati-hatian dalam memilih sumber yang kredibel.⁵

Peran tafsir tidak hanya terbatas pada aspek keilmuan, tetapi juga berdampak besar pada kehidupan umat Islam secara keseluruhan. Tafsir membantu umat memahami ayat-ayat Al-Qur'an dalam konteks ibadah, hukum, sosial, dan budaya, serta memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.⁶ Lebih dari itu, tafsir juga menjadi alat untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan membangun harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai kesimpulan, tafsir adalah ilmu yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Oleh karena itu, penting bagi para mufassir untuk terus menjaga keilmuan ini dengan berpegang pada prinsip-prinsip tafsir yang benar dan berdasarkan sumber-sumber yang otoritatif. Dengan demikian, tafsir akan tetap menjadi cahaya bagi umat Islam dalam memahami wahyu ilahi dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran-Nya. Semoga kajian ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan memperkuat iman pembacanya.⁷


Catatan Kaki

[1]              Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2000), 32.

[2]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988), 1:12.

[3]              Al-Suyuti, Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, ed. Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1951), 215.

[4]              Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.

[5]              Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 45.

[6]              Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 1:22.

[7]              Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), 299.


Daftar Pustaka

Abduh, M. (1927). Tafsir al-Manar. Kairo: Al-Manar.

Al-Qattan, M. K. (1997). Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Al-Suyuti, J. (1951). Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an (Edisi Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim). Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah.

Al-Suyuti, J. (2001). Al-Durr al-Manthur. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

Al-Zamakhshari, J. (1993). Al-Kashaf. Beirut: Dar al-Fikr.

Bucaille, M. (1979). The Bible, the Qur'an and Science. Indianapolis: American Trust Publications.

Dhahabi, M. H. (2000). Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Hadith.

Fazlur Rahman. (1980). Major Themes of the Qur'an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Harun Yahya. (2002). Miracles of the Qur'an. Istanbul: Global Publishing.

Ibnu Jarir al-Tabari. (2001). Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (Edisi Mahmud Syakir). Kairo: Dar al-Ma'arif.

Ibnu Katsir, I. (1988). Tafsir al-Qur'an al-'Azhim. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

Nasr Hamid Abu Zayd. (2006). Reformation of Islamic Thought. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Quraish Shihab. (1994). Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Quraish Shihab. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge.

Saeed, A. (2014). Reading the Qur'an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach. London: Routledge.

Tantawi, M. (1995). Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an. Kairo: Dar al-Hadith.


Lampiran 1: Daftar Tafsir Berdasarkan Masanya

Berikut adalah daftar tafsir Al-Qur'an yang disusun berdasarkan tahun masa hidup penulisnya, mencantumkan nama penulis, daerah asal, masa hidup, dan aliran kalam yang dianutnya:

1)                 Abdullah bin Abbas

o     Tafsir: Tafsir Ibnu Abbas

o     Daerah Asal: Makkah, Hijaz

o     Masa Hidup: 619–687 M / 3–68 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamaah)

2)                 Mujahid bin Jabr

o     Tafsir: Tafsir Mujahid

o     Daerah Asal: Makkah, Hijaz

o     Masa Hidup: 642–722 M / 21–104 H

o     Aliran Kalam: Sunni

3)                 Sufyan al-Thawri

o     Tafsir: Tafsir al-Thawri

o     Daerah Asal: Kufah, Irak

o     Masa Hidup: 716–778 M / 97–161 H

o     Aliran Kalam: Sunni

4)                 Al-Farra' (Yahya bin Ziyad al-Farra')

o     Tafsir: Ma'ani al-Qur'an

o     Daerah Asal: Kufah, Irak

o     Masa Hidup: 761–822 M / 144–207 H

o     Aliran Kalam: Sunni

5)                 Muhammad bin Jarir al-Tabari

o     Tafsir: Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an

o     Daerah Asal: Amol, Tabaristan (Iran)

o     Masa Hidup: 839–923 M / 224–310 H

o     Aliran Kalam: Sunni

6)                 Al-Zamakhshari (Jar Allah al-Zamakhshari)

o     Tafsir: Al-Kashaf

o     Daerah Asal: Khwarezm (Uzbekistan)

o     Masa Hidup: 1074–1144 M / 467–538 H

o     Aliran Kalam: Mu'tazilah

7)                 Fakhruddin al-Razi

o     Tafsir: Mafatih al-Ghaib (Al-Tafsir al-Kabir)

o     Daerah Asal: Rayy (Iran)

o     Masa Hidup: 1149–1210 M / 543–606 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Asy'ariyah)

8)                 Al-Qurtubi (Abu Abdillah al-Qurtubi)

o     Tafsir: Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an

o     Daerah Asal: Cordoba, Andalusia (Spanyol)

o     Masa Hidup: 1214–1273 M / 611–671 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Maliki)

9)                 Ibn Kathir (Abu al-Fida' Isma'il ibn Kathir)

o     Tafsir: Tafsir al-Qur'an al-'Azhim

o     Daerah Asal: Busra, Suriah

o     Masa Hidup: 1301–1373 M / 701–774 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Asy'ariyah)

10)             Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti

o     Tafsir: Tafsir al-Jalalayn

o     Daerah Asal: Kairo, Mesir

o     Masa Hidup:

§   Al-Mahalli: 1389–1459 M / 791–864 H

§   Al-Suyuti: 1445–1505 M / 849–911 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Syafi'i, Asy'ariyah)

11)             Shihabuddin al-Alusi

o     Tafsir: Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azim wa al-Sab' al-Mathani

o     Daerah Asal: Baghdad, Irak

o     Masa Hidup: 1802–1854 M / 1217–1270 H

o     Aliran Kalam: Sunni

12)             Muhammad Abduh

o     Tafsir: Tafsir al-Manar (disusun bersama Rashid Rida)

o     Daerah Asal: Mesir

o     Masa Hidup: 1849–1905 M / 1265–1323 H

o     Aliran Kalam: Sunni (Modernis)

13)             Sayyid Qutb

o     Tafsir: Fi Zhilal al-Qur'an

o     Daerah Asal: Mesir

o     Masa Hidup: 1906–1966 M / 1324–1385 H

o     Aliran Kalam: Sunni

14)             Quraish Shihab

o     Tafsir: Tafsir al-Mishbah

o     Daerah Asal: Makassar, Indonesia

o     Masa Hidup: 1944–sekarang

o     Aliran Kalam: Sunni (Modern)


Lampiran 2: Daftar Tafsir Berdasarkan Jenisnya

Berikut adalah daftar tafsir Al-Qur'an berdasarkan jenisnya, lengkap dengan nama penulis, daerah asal, masa hidup, dan aliran kalam yang dianutnya:


Tafsir Bil Ma'tsur (Berdasarkan Riwayat)

1.                  Tafsir al-Tabari

o     Penulis: Ibnu Jarir al-Tabari

o     Daerah Asal: Amol, Tabaristan (Iran)

o     Masa Hidup: 838–923 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Ahlus Sunnah wal Jamaah

2.                  Tafsir al-Durr al-Manthur

o     Penulis: Jalaluddin al-Suyuti

o     Daerah Asal: Kairo, Mesir

o     Masa Hidup: 1445–1505 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i

3.                  Tafsir Ibnu Katsir

o     Penulis: Ibnu Katsir

o     Daerah Asal: Busra, Suriah

o     Masa Hidup: 1301–1373 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i


Tafsir Bil Ra'yi (Berdasarkan Ijtihad)

1.                  Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir)

o     Penulis: Fakhruddin al-Razi

o     Daerah Asal: Ray, Persia (Iran)

o     Masa Hidup: 1149–1209 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Asy’ari

2.                  Tafsir al-Jalalayn

o     Penulis: Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti

o     Daerah Asal: Kairo, Mesir

o     Masa Hidup: Mahalli (1389–1459 M), Suyuti (1445–1505 M)

o     Aliran Kalam: Sunni, Syafi'i

3.                  Al-Kashaf

o     Penulis: Al-Zamakhshari

o     Daerah Asal: Khwarezm, Persia (Uzbekistan)

o     Masa Hidup: 1074–1143 M

o     Aliran Kalam: Mu’tazilah


Tafsir Isyari (Sufistik)

1.                  Tafsir al-Tustari

o     Penulis: Sahl al-Tustari

o     Daerah Asal: Tustar, Persia (Iran)

o     Masa Hidup: 818–896 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Sufi

2.                  Tafsir Ruh al-Ma’ani

o     Penulis: Al-Alusi

o     Daerah Asal: Baghdad, Irak

o     Masa Hidup: 1802–1854 M

o     Aliran Kalam: Sunni

3.                  Tafsir al-Bahr al-Madid

o     Penulis: Ibn 'Ajibah

o     Daerah Asal: Maroko

o     Masa Hidup: 1747–1809 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Sufi


Tafsir Tematik (Maudhui)

1.                  Fi Zhilal al-Qur'an

o     Penulis: Sayyid Qutb

o     Daerah Asal: Mesir

o     Masa Hidup: 1906–1966 M

o     Aliran Kalam: Sunni, Ikhwanul Muslimin

2.                  Tafsir al-Mishbah

o     Penulis: M. Quraish Shihab

o     Daerah Asal: Makassar, Indonesia

o     Masa Hidup: 1944–Sekarang

o     Aliran Kalam: Sunni

3.                  Tadabbur-e-Qur'an

o     Penulis: Amin Ahsan Islahi

o     Daerah Asal: India-Pakistan

o     Masa Hidup: 1904–1997 M

o     Aliran Kalam: Sunni


Tafsir Ilmi

1.                  Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an

o     Penulis: Muhammad Tantawi

o     Daerah Asal: Mesir

o     Masa Hidup: 1862–1940 M

o     Aliran Kalam: Sunni

2.                  Tafsir al-Maraghi

o     Penulis: Ahmad Mustafa al-Maraghi

o     Daerah Asal: Mesir

o     Masa Hidup: 1881–1945 M

o     Aliran Kalam: Sunni

3.                  Tafsir al-Azhar

o     Penulis: Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)

o     Daerah Asal: Minangkabau, Indonesia

o     Masa Hidup: 1908–1981 M

o     Aliran Kalam: Sunni


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar