Jumat, 03 Januari 2025

Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Konsep Dasar dan Tema Sentral dalam Ilmu Kalam

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

“Konsep Dasar dan Tema Sentral dalam Ilmu Kalam”


Alihkan ke: Relasi Pemikiran Antara Aliran-Aliran Ilmu Kalam


Abstrak

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan salah satu konsep fundamental dalam Islam yang mencakup perintah untuk menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi munkar). Artikel ini mengkaji konsep ini sebagai tema sentral dalam Ilmu Kalam, dengan pendekatan dari perspektif teologi, tafsir klasik, filsafat, dan implementasinya dalam kehidupan individu dan masyarakat. Dalam dimensi teologis, Amar Ma’ruf Nahi Munkar menjadi perdebatan penting di antara aliran-aliran Ilmu Kalam seperti Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan Syiah, yang memberikan pandangan berbeda namun saling melengkapi mengenai kewajiban moral manusia. Tafsir klasik seperti al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi menekankan pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai pilar keadilan sosial. Perspektif filsafat, termasuk pemikiran al-Farabi dan Ibnu Khaldun, menyoroti relevansinya dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis. Di era modern, implementasi konsep ini menghadapi tantangan global seperti relativisme moral dan korupsi, namun tetap relevan sebagai pedoman etika dan moral. Artikel ini menyimpulkan bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban religius tetapi juga sebagai prinsip universal yang mendukung harmoni sosial dan peradaban manusia.

Kata Kunci: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ilmu Kalam, Tafsir Klasik, Filsafat Islam, Keadilan Sosial, Etika Universal, Implementasi Modern.


1.           Pendahuluan

1.1.       Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah prinsip dasar dalam Islam yang menuntut setiap individu untuk mendorong kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar). Prinsip ini merupakan manifestasi praktis dari keyakinan Islam yang tidak hanya menekankan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan horizontal antarmanusia dalam masyarakat. Al-Qur'an menegaskan pentingnya konsep ini dalam berbagai ayat, seperti dalam QS. Ali Imran [03] ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.1

1.2.       Signifikansi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Islam

Amar Ma’ruf Nahi Munkar bukan hanya kewajiban individual tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat Muslim. Para ulama menegaskan bahwa konsep ini memiliki peran penting dalam menjaga ketertiban sosial, mencegah kerusakan moral, dan membangun peradaban yang adil. Imam al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulum al-Din, menyebutkan bahwa "amar ma’ruf nahi munkar adalah poros utama keberlangsungan agama, karena tanpanya masyarakat akan tenggelam dalam kemungkaran."2 Dalam konteks teologis, konsep ini menjadi instrumen untuk membangun kesalehan sosial dan menjamin keadilan dalam masyarakat.

1.3.       Relevansi dalam Konteks Ilmu Kalam

Dalam Ilmu Kalam, Amar Ma’ruf Nahi Munkar menjadi salah satu tema sentral yang diperdebatkan oleh berbagai aliran teologi. Misalnya, kelompok Mu’tazilah menganggap Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai salah satu prinsip dasar (ushul al-khamsah) yang menekankan pentingnya tanggung jawab moral manusia untuk mendirikan keadilan di dunia ini.3 Sebaliknya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah lebih menekankan keseimbangan antara penerapan konsep ini dengan penegakan hukum dan kepatuhan kepada otoritas yang sah.4

1.4.       Tujuan Artikel dan Pendekatan yang Digunakan

Artikel ini bertujuan untuk menguraikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai konsep dasar dan tema sentral dalam Ilmu Kalam. Pembahasan akan didasarkan pada sumber-sumber Islam klasik, seperti tafsir al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi, serta karya-karya ulama besar seperti Imam al-Ghazali. Selain itu, perspektif filsafat juga digunakan untuk menggali implikasi etika Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam membangun masyarakat ideal. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembahasan ini tidak hanya memberikan wawasan teologis tetapi juga relevansi praktis dalam kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. Ali Imran [03] ayat 104.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.

[3]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.

[4]                Abu Bakr al-Baqillani, Tamhid al-Awa'il fi Sharh al-Dala'il (Beirut: Dar al-Mashriq, 1957), 112.


2.           Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Islam

2.1.       Definisi menurut Al-Qur'an dan Hadis

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan ajaran inti Islam yang memerintahkan umat untuk menegakkan kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang kejahatan (nahi munkar). Konsep ini disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, di antaranya QS. Ali Imran [03] ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.1 Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”2

2.2.       Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Kewajiban Individu dan Kolektif

Menurut para ulama, Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Namun, dalam kondisi tertentu, dapat menjadi kewajiban individu (fardhu ‘ain), terutama jika tidak ada orang lain yang mampu melaksanakannya.3 Al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, menjelaskan bahwa kewajiban ini merupakan pilar utama dalam menjaga moralitas dan stabilitas masyarakat Muslim.4

2.3.       Dasar Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dalil Al-Qur'an yang mendukung Amar Ma’ruf Nahi Munkar sangat banyak. Selain QS. Ali Imran [03] ayat 104, QS. At-Taubah [09] ayat 71 menyebutkan, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”5 Dalam pandangan ulama, ayat ini menegaskan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari identitas seorang Muslim.

2.4.       Perbedaan Konsep antara Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Secara etimologi, amar berarti memerintahkan atau mendorong sesuatu, sementara nahi berarti melarang atau mencegah. Ma’ruf berasal dari kata kerja ‘arafa yang berarti mengetahui, sehingga ma’ruf adalah hal yang diketahui sebagai baik oleh fitrah manusia dan syariat. Sebaliknya, munkar adalah sesuatu yang diingkari oleh akal sehat dan bertentangan dengan norma syariat.6 Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din, menekankan pentingnya memahami konteks dan kemampuan seseorang sebelum menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.7

2.5.       Prinsip-Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar

1)                  Adanya Ilmu dan Pemahaman:

Orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus memahami apa yang ia perintahkan dan larang berdasarkan syariat.

2)                  Keseimbangan:

Amar ma’ruf harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan kerusakan.

3)                  Kemampuan:

Pelaksana hanya wajib melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar jika ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Imam Nawawi menekankan bahwa kemungkaran yang lebih besar harus dicegah jika memiliki kapasitas untuk melakukannya.8

Kesimpulan

Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah prinsip yang mengakar kuat dalam ajaran Islam. Ia menjadi pondasi bagi terwujudnya masyarakat yang bermoral dan berkeadilan. Dengan landasan Al-Qur'an, Hadis, dan penjelasan para ulama, kewajiban ini tidak hanya relevan dalam konteks teologis, tetapi juga dalam membangun tatanan sosial yang harmonis.


Footnotes

[1]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. Ali Imran [03] ayat 104.

[2]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Malahim, Hadis no. 1140.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 75.

[4]                Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220.

[5]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, QS. At-Taubah [09] ayat 71.

[6]                Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Sadir, 1994), “Ma’ruf” dan “Munkar.”

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.

[8]                Imam Nawawi, Riyadh al-Salihin (Cairo: Dar al-Hadith, 2003), Kitab al-Amr bi al-Ma’ruf, Bab 1.


3.           Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Tema Sentral dalam Ilmu Kalam

3.1.       Sejarah Pengembangan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tradisi Ilmu Kalam

Amar Ma’ruf Nahi Munkar memiliki kedudukan yang signifikan dalam perkembangan Ilmu Kalam. Dalam sejarah pemikiran Islam, konsep ini menjadi perdebatan penting di antara para teolog, khususnya dalam membahas tanggung jawab moral individu dan kolektif dalam masyarakat. Aliran-aliran teologi seperti Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan Syiah memiliki pandangan yang berbeda mengenai implementasi dan batasan kewajiban ini.1

Bagi kelompok Mu’tazilah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan salah satu dari lima prinsip dasar (ushul al-khamsah), di mana mereka menekankan pentingnya peran akal dan tanggung jawab manusia dalam menegakkan keadilan. Sebaliknya, Ahlus Sunnah WalJamaah lebih menekankan keseimbangan antara kewajiban moral ini dengan ketaatan kepada penguasa yang sah demi menjaga stabilitas sosial.2

3.2.       Peran Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Membangun Paradigma Teologi Islam

Dalam Ilmu Kalam, Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban praktis tetapi juga memiliki dimensi teologis yang mendalam. Kelompok Mu’tazilah memandang amar ma’ruf nahi munkar sebagai ekspresi dari keadilan Tuhan (‘adl). Mereka percaya bahwa Tuhan memerintahkan manusia untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sebagai bagian dari tanggung jawab moralnya.3

Di sisi lain, teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengaitkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan hikmah dan keteraturan (tanzim). Menurut Imam al-Baqillani, kewajiban ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat sehingga tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat.4 Pandangan ini menegaskan bahwa pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.5

3.3.       Pandangan Berbagai Aliran Ilmu Kalam terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar

1)                  Mu’tazilah

Kelompok Mu’tazilah menempatkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai pilar utama teologi mereka. Mereka percaya bahwa kewajiban ini harus dilakukan meskipun berisiko menghadapi penguasa yang zalim. Bagi mereka, tindakan ini adalah bentuk realisasi dari tanggung jawab moral manusia untuk memperjuangkan keadilan.6

2)                  Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ahlus Sunnah Wal Jamaah lebih menekankan pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang tidak mengganggu stabilitas sosial. Mereka meyakini bahwa penegakan kewajiban ini harus dilakukan sesuai dengan kemampuan individu dan dalam kerangka aturan syariat. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din, menegaskan pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dari amar ma’ruf nahi munkar untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.7

3)                  Syiah

Dalam tradisi Syiah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar menjadi kewajiban penting yang dikaitkan dengan peran Imam sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas penegakan keadilan di masyarakat. Konsep ini sering dikaitkan dengan upaya melawan kezaliman, sebagaimana dicontohkan oleh Imam Husain dalam peristiwa Karbala.8

Kesimpulan

Amar Ma’ruf Nahi Munkar, sebagai tema sentral dalam Ilmu Kalam, mencerminkan bagaimana tanggung jawab moral manusia berinteraksi dengan konsep keadilan, hikmah, dan stabilitas sosial. Perbedaan pandangan di antara aliran-aliran teologi menunjukkan luasnya cakupan konsep ini dalam membangun paradigma pemikiran Islam yang komprehensif.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.

[2]                Abu Bakr al-Baqillani, Tamhid al-Awa'il fi Sharh al-Dala'il (Beirut: Dar al-Mashriq, 1957), 112.

[3]                Sarah Stroumsa, The Mu’tazila and Their World: Studies in Islamic Theology and Philosophy (Turnhout: Brepols Publishers, 1999), 129.

[4]                Abu al-Hasan al-Baqillani, Al-Insaf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 75.

[5]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[6]                Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 145.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.

[8]                Liyakat Takim, The Heirs of the Prophet: Charisma and Religious Authority in Shi'ite Islam (Albany: SUNY Press, 2006), 85.


4.           Penafsiran Ulama terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar

4.1.       Kajian Tafsir Klasik

Dalam tradisi tafsir klasik, para ulama memberikan penekanan yang mendalam terhadap konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai salah satu kewajiban utama dalam Islam.

1)                  Tafsir Al-Thabari

Imam al-Thabari, dalam tafsirnya, menjelaskan QS. Ali Imran [03] ayat 104 sebagai perintah Allah untuk membentuk sekelompok umat yang berdedikasi menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ia menekankan bahwa kelompok ini harus terdiri dari orang-orang yang berilmu sehingga mereka dapat memahami kebaikan dan keburukan berdasarkan syariat Islam.1

2)                  Tafsir Al-Qurtubi

Imam al-Qurtubi menegaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah), namun dapat menjadi kewajiban individu dalam keadaan tertentu, seperti ketika tidak ada yang melaksanakannya. Beliau juga mencatat pentingnya metode yang bijaksana dan menghindari kekerasan dalam menyerukan kebaikan.2

3)                  Tafsir Al-Razi

Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menyoroti dimensi sosial dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ia menegaskan bahwa perintah ini bukan hanya tentang tindakan individu tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk memastikan moralitas publik dan keadilan sosial tetap terjaga.3

4.2.       Penjelasan Ulama Besar

Selain tafsir Al-Qur’an, ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan rinci mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam karya-karya mereka.

1)                  Imam Al-Ghazali

Dalam Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali mengidentifikasi empat tingkatan pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar:

o    Pertama, mengenali kemungkaran secara pasti.

o    Kedua, memiliki niat tulus untuk memperbaiki situasi tanpa menciptakan kerusakan baru.

o    Ketiga, melaksanakan amar ma’ruf dengan cara yang bijaksana.

o    Keempat, mempertimbangkan dampak tindakan tersebut terhadap individu maupun masyarakat.4

2)                  Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah, dalam Hisbah fi al-Islam, membahas pentingnya institusi hisbah untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ia menekankan bahwa institusi ini harus dipimpin oleh orang-orang yang adil dan berilmu untuk memastikan bahwa tindakan mereka tidak menyimpang dari prinsip syariat.5

4.3.       Pemahaman Kontemporer dan Relevansinya

Dalam konteks modern, ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi mencoba memberikan pendekatan yang lebih kontekstual terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Beliau menekankan pentingnya mempertimbangkan situasi sosial, budaya, dan politik dalam menerapkan konsep ini agar tetap relevan dengan tantangan zaman.6


Kesimpulan

Penafsiran ulama terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar menunjukkan bahwa konsep ini tidak hanya penting dalam menjaga moralitas individu tetapi juga dalam membangun tatanan sosial yang harmonis. Tafsir klasik memberikan fondasi teologis yang kuat, sementara pandangan ulama modern menekankan adaptasi dengan konteks zaman, tanpa mengesampingkan nilai-nilai inti Islam.


Footnotes

[1]                Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Cairo: Dar al-Hijr, 2001), vol. 3, 92.

[2]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), vol. 4, 143.

[3]                Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), vol. 8, 23.

[4]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 244.

[5]                Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1962), 56.

[6]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 78.


5.           Perspektif Filsafat dalam Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar

5.1.       Hubungan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Etika Universal

Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar memiliki relevansi kuat dengan filsafat moral, khususnya dalam konteks etika universal. Prinsip ini mencerminkan imperatif moral untuk mengupayakan kebaikan dan mencegah keburukan, sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran filsafat Immanuel Kant mengenai categorical imperative, yaitu kewajiban moral yang harus dilakukan tanpa syarat demi kebaikan universal.1 Dalam pandangan Islam, kewajiban untuk menegakkan keadilan dan moralitas bersifat ilahiah, berakar pada perintah Allah Swt yang tidak hanya mengikat individu Muslim tetapi juga masyarakat secara kolektif.

5.2.       Implikasi Filosofis dalam Membangun Masyarakat yang Adil

Amar Ma’ruf Nahi Munkar mengandaikan adanya tanggung jawab sosial yang mendalam. Dalam filsafat politik Islam, konsep ini sering dikaitkan dengan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Al-Farabi, dalam Al-Madinah al-Fadhilah, menyebutkan bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang anggotanya saling mendukung untuk mencapai kebajikan kolektif.2 Ia menekankan bahwa keberhasilan sebuah komunitas tergantung pada sinergi antara individu dan institusi dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai prinsip moral dan politik.

Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah, melihat konsep ini sebagai salah satu mekanisme penting dalam menjaga harmoni sosial. Menurutnya, masyarakat yang tidak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar akan menghadapi dekadensi moral yang pada akhirnya membawa keruntuhan peradaban.3

5.3.       Pendekatan Filsafat Moral dan Tanggung Jawab Sosial

Dari perspektif filsafat moral, Amar Ma’ruf Nahi Munkar memberikan pandangan yang unik tentang tanggung jawab individu dan kolektif. Prinsip ini mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup hanya diwujudkan dalam kehidupan pribadi tetapi juga harus diperjuangkan dalam ruang publik. John Stuart Mill, dalam On Liberty, menekankan pentingnya kebebasan individu dalam mengungkapkan kebenaran dan memperbaiki kesalahan dalam masyarakat.4 Meski tidak identik, konsep ini sejalan dengan gagasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, di mana kebebasan individu digunakan untuk mendorong perbaikan moral dalam komunitas.

Namun, filsafat Islam memberikan batasan penting, yaitu bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus dilakukan dengan hikmah (wisdom) dan kasih sayang (rahmah), seperti yang disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”5

5.4.       Relevansi Konsep dalam Era Modern

Dalam dunia modern, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dapat berfungsi sebagai prinsip etika untuk menangani isu-isu global seperti ketidakadilan sosial, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr mengaitkan konsep ini dengan etika lingkungan, menekankan bahwa mencegah kerusakan lingkungan adalah bagian dari nahi munkar yang harus diimplementasikan secara global.6


Kesimpulan

Perspektif filsafat memberikan dimensi yang lebih luas terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai prinsip moral dan sosial. Ia tidak hanya menjadi kewajiban religius tetapi juga merupakan etika universal yang mendukung pembangunan masyarakat yang adil, harmonis, dan berkelanjutan. Dengan memadukan wawasan dari filsafat moral, politik, dan sosial, konsep ini relevan untuk diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.

[2]                Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Cairo: Dar al-Mashriq, 1968), 87.

[3]                Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 96.

[4]                John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, 1859), 43.

[5]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: Kazi Publications, 2007), 112.


6.           Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Kehidupan

6.1.       Dimensi Individu: Kesalehan Pribadi dalam Menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dimulai dari kesadaran individu untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan dalam kehidupannya sendiri. Dalam pandangan Islam, pelaksanaan konsep ini adalah tanda kesempurnaan iman seseorang. Hadis Nabi Saw menegaskan, “Barang siapa melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”1

Implementasi pada tingkat individu mencakup upaya memperbaiki diri, seperti memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah, menjaga akhlak, dan menghindari perilaku tercela. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa seseorang harus terlebih dahulu melakukan introspeksi sebelum menyerukan kebaikan kepada orang lain, sehingga apa yang ia serukan memiliki keteladanan.2

6.2.       Dimensi Sosial: Peran Masyarakat dalam Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Pada tingkat sosial, Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebaikan dan menjauhkan masyarakat dari kerusakan moral. Hal ini terlihat dari QS. At-Taubah [09] ayat 71, yang menyebutkan bahwa orang-orang beriman saling menolong dalam menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.3

Dalam konteks modern, implementasi ini mencakup berbagai upaya seperti:

1)                  Pendidikan Moral dan Agama:

Mendidik generasi muda tentang nilai-nilai Islam dan etika universal untuk membentuk individu yang berakhlak mulia.

2)                  Kampanye Sosial:

Menggunakan media untuk menyuarakan kebaikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan perlindungan lingkungan.

3)                  Hisbah:

Institusi hisbah yang dahulu ada dalam peradaban Islam dapat diterapkan dalam bentuk lembaga pengawasan sosial modern, seperti badan anti-korupsi dan organisasi pengawas etika di masyarakat.4

6.3.       Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Era Modern

Era modern menghadirkan tantangan baru dalam menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, seperti relativisme moral, individualisme, dan globalisasi yang sering mengaburkan batasan antara kebaikan dan keburukan. Sebagai contoh, perubahan norma sosial di berbagai negara dapat mempersulit konsensus tentang definisi ma’ruf dan munkar.5

Untuk menghadapi tantangan ini, beberapa langkah dapat diambil:

1)                  Pemahaman Kontekstual:

Pendekatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariat.

2)                  Kerjasama Antar Komunitas:

Kolaborasi antara lembaga agama, pemerintah, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan kebijakan publik yang mendukung amar ma’ruf nahi munkar.

3)                  Penggunaan Teknologi:

Media sosial dan teknologi digital dapat menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan secara luas, namun penggunaannya harus dilakukan dengan etika yang benar.6

6.4.       Relevansi Konsep dalam Kehidupan Modern

Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap relevan sebagai panduan etika dan moral dalam menghadapi berbagai masalah global seperti ketimpangan sosial, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, gerakan anti-korupsi di banyak negara dapat dilihat sebagai perwujudan nahi munkar dalam konteks modern. Selain itu, upaya untuk melestarikan lingkungan juga dapat dikategorikan sebagai bentuk nahi munkar, karena mencegah kerusakan (fasad) di muka bumi sesuai dengan perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 205.7

Kesimpulan

Pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar memerlukan keseimbangan antara kesadaran individu, tanggung jawab sosial, dan adaptasi terhadap tantangan zaman. Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh hikmah, prinsip ini dapat terus menjadi pedoman untuk menciptakan masyarakat yang bermoral, adil, dan harmonis.


Footnotes

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Malahim, Hadis no. 1140.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.

[3]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. At-Taubah [09] ayat 71.

[4]                Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1962), 56.

[5]                Tariq Ramadan, Islam and the Challenge of Modernity (Leicester: Islamic Foundation, 2004), 103.

[6]                Jonathan A. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld Publications, 2014), 212.

[7]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, QS. Al-Baqarah [02] ayat 205.


7.           Kesimpulan dan Rekomendasi

7.1.       Kesimpulan

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan konsep dasar yang tidak hanya berakar dalam doktrin Islam tetapi juga memiliki relevansi universal sebagai pedoman moral dan sosial. Dalam pembahasan artikel ini, Amar Ma’ruf Nahi Munkar telah diuraikan dari berbagai perspektif, yaitu teologi, tafsir klasik, filsafat, dan implementasinya dalam kehidupan individu serta masyarakat.

Secara teologis, konsep ini menjadi tema sentral dalam Ilmu Kalam karena berfungsi sebagai landasan untuk menegakkan keadilan dan kesalehan dalam kehidupan manusia. Aliran-aliran teologi Islam seperti Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memberikan interpretasi yang berbeda, namun sepakat pada urgensi kewajiban ini sebagai tanggung jawab moral manusia di dunia.1

Kajian tafsir klasik seperti yang disampaikan oleh al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi menunjukkan bagaimana perintah Allah dalam QS. Ali Imran [03] ayat 104 dan QS. At-Taubah [09] ayat 71 menjadi pilar utama untuk membangun masyarakat yang adil dan bermoral.2 Pendekatan filsafat, seperti yang dipaparkan oleh al-Farabi dan Ibnu Khaldun, memberikan dimensi tambahan dengan mengaitkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar pada pembentukan masyarakat yang harmonis, di mana individu saling mendukung dalam menegakkan kebajikan.3

Di era modern, Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan global, seperti pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, dan korupsi. Implementasinya memerlukan adaptasi dengan konteks zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat. Hal ini mencakup upaya pendidikan, advokasi sosial, dan penggunaan teknologi sebagai sarana untuk menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.4

7.2.       Rekomendasi

1)                  Memperkuat Pendidikan Moral dan Agama

Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus diajarkan sejak dini melalui pendidikan formal dan nonformal untuk menciptakan individu yang memahami tanggung jawab moralnya. Hal ini sejalan dengan upaya mendidik generasi yang mampu membedakan antara ma’ruf dan munkar berdasarkan syariat.5

2)                  Membangun Institusi Sosial yang Kuat

Institusi-institusi sosial yang menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, seperti lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan badan pengawas moral, perlu diberdayakan untuk menghadapi tantangan modern secara kolektif. Inspirasi dapat diambil dari konsep hisbah yang dikembangkan pada masa peradaban Islam klasik.6

3)                  Mengintegrasikan Teknologi dalam Dakwah

Teknologi informasi dan media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar ke khalayak yang lebih luas. Namun, penggunaannya harus mengikuti prinsip hikmah dan etika, seperti yang diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.7

4)                  Menjaga Keseimbangan antara Hikmah dan Keadilan

Dalam menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Penegakan prinsip ini harus dilakukan secara bijaksana dan tanpa menimbulkan kerusakan lebih besar, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din.8

Dengan menjalankan rekomendasi-rekomendasi ini, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dapat terus menjadi prinsip hidup yang tidak hanya memperkuat kesalehan individu tetapi juga memberikan dampak positif bagi peradaban manusia secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.

[2]                Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Cairo: Dar al-Hijr, 2001), vol. 3, 92; Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 2006), vol. 4, 143.

[3]                Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Cairo: Dar al-Mashriq, 1968), 87; Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 96.

[4]                Tariq Ramadan, Islam and the Challenge of Modernity (Leicester: Islamic Foundation, 2004), 103; Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: Kazi Publications, 2007), 112.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 78.

[6]                Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1962), 56.

[7]                Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an (Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 244.


Daftar Pustaka

Abu Dawud. (2000). Sunan Abi Dawud. Cairo: Dar al-Fikr.

Abdullah Yusuf Ali. (2001). The Meaning of the Holy Qur'an. Beltsville, MD: Amana Publications.

Al-Farabi. (1968). Al-Madinah al-Fadhilah. Cairo: Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali, A. H. (1992). Ihya’ Ulum al-Din (M. M. al-Sharif, Trans.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Mawardi, A. H. (1994). Al-Ahkam As-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-Da’wah. Cairo: Dar al-Shuruq.

Al-Qurtubi, M. I. A. (2006). Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.

Al-Razi, F. (1981). Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar al-Fikr.

Brown, J. A. (2014). Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy. London: Oneworld Publications.

Ibn Khaldun. (2005). The Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Ibn Manzur. (1994). Lisan al-Arab. Beirut: Dar Sadir.

Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Mill, J. S. (1859). On Liberty. London: Longman.

Nasr, S. H. (2007). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Chicago: Kazi Publications.

Ramadan, T. (2004). Islam and the Challenge of Modernity. Leicester: Islamic Foundation.

Taimiyyah, I. (1962). Hisbah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah.

Thabari, A. J. M. (2001). Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hijr.

Van Ess, J. (2006). The Flowering of Muslim Theology. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Watt, W. M. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar