Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
“Konsep Dasar dan Tema
Sentral dalam Ilmu Kalam”
Alihkan ke: Relasi
Pemikiran Antara Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Abstrak
Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan salah satu konsep
fundamental dalam Islam yang mencakup perintah untuk menyerukan kebaikan (amar
ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi munkar). Artikel ini mengkaji
konsep ini sebagai tema sentral dalam Ilmu Kalam, dengan pendekatan dari
perspektif teologi, tafsir klasik, filsafat, dan implementasinya dalam
kehidupan individu dan masyarakat. Dalam dimensi teologis, Amar Ma’ruf Nahi
Munkar menjadi perdebatan penting di antara aliran-aliran Ilmu Kalam seperti Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan Syiah, yang memberikan pandangan
berbeda namun saling melengkapi mengenai kewajiban moral manusia. Tafsir klasik
seperti al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi menekankan pentingnya Amar Ma’ruf
Nahi Munkar sebagai pilar keadilan sosial. Perspektif filsafat, termasuk
pemikiran al-Farabi dan Ibnu Khaldun, menyoroti relevansinya dalam membangun
masyarakat yang adil dan harmonis. Di era modern, implementasi konsep ini
menghadapi tantangan global seperti relativisme moral dan korupsi, namun tetap
relevan sebagai pedoman etika dan moral. Artikel ini menyimpulkan bahwa Amar
Ma’ruf Nahi Munkar tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban religius tetapi juga
sebagai prinsip universal yang mendukung harmoni sosial dan peradaban manusia.
Kata Kunci: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Ilmu Kalam, Tafsir Klasik, Filsafat Islam, Keadilan Sosial, Etika Universal, Implementasi Modern.
1.
Pendahuluan
1.1. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
adalah prinsip dasar dalam Islam yang menuntut setiap individu untuk mendorong
kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar).
Prinsip ini merupakan manifestasi praktis dari keyakinan Islam yang tidak hanya
menekankan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan
horizontal antarmanusia dalam masyarakat. Al-Qur'an menegaskan pentingnya
konsep ini dalam berbagai ayat, seperti dalam QS. Ali Imran [03] ayat 104, “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”1
1.2.
Signifikansi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam
Islam
Amar Ma’ruf Nahi Munkar bukan
hanya kewajiban individual tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat
Muslim. Para ulama menegaskan bahwa konsep ini memiliki peran penting dalam
menjaga ketertiban sosial, mencegah kerusakan moral, dan membangun peradaban
yang adil. Imam al-Ghazali, dalam karyanya Ihya’ Ulum al-Din,
menyebutkan bahwa "amar ma’ruf nahi munkar adalah poros utama
keberlangsungan agama, karena tanpanya masyarakat akan tenggelam dalam
kemungkaran."2
Dalam konteks teologis, konsep ini menjadi instrumen untuk membangun kesalehan
sosial dan menjamin keadilan dalam masyarakat.
1.3.
Relevansi dalam Konteks Ilmu Kalam
Dalam Ilmu Kalam, Amar Ma’ruf
Nahi Munkar menjadi salah satu tema sentral yang diperdebatkan oleh berbagai
aliran teologi. Misalnya, kelompok Mu’tazilah menganggap Amar Ma’ruf Nahi
Munkar sebagai salah satu prinsip dasar (ushul al-khamsah) yang
menekankan pentingnya tanggung jawab moral manusia untuk mendirikan keadilan di
dunia ini.3
Sebaliknya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah lebih menekankan keseimbangan antara
penerapan konsep ini dengan penegakan hukum dan kepatuhan kepada otoritas yang
sah.4
1.4.
Tujuan Artikel dan Pendekatan yang Digunakan
Artikel ini bertujuan untuk
menguraikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai konsep dasar dan tema sentral dalam
Ilmu Kalam. Pembahasan akan didasarkan pada sumber-sumber Islam klasik, seperti
tafsir al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi, serta karya-karya ulama besar
seperti Imam al-Ghazali. Selain itu, perspektif filsafat juga digunakan untuk
menggali implikasi etika Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam membangun masyarakat
ideal. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembahasan ini tidak hanya memberikan
wawasan teologis tetapi juga relevansi praktis dalam kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. Ali Imran [03] ayat 104.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.
[3]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.
[4]
Abu Bakr al-Baqillani, Tamhid al-Awa'il fi Sharh al-Dala'il
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1957), 112.
2.
Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Islam
2.1.
Definisi menurut Al-Qur'an dan Hadis
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
merupakan ajaran inti Islam yang memerintahkan umat untuk menegakkan kebaikan (amar
ma’ruf) dan melarang kejahatan (nahi munkar). Konsep ini
disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, di antaranya QS. Ali Imran [03] ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”1
Dalam hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka
dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah
selemah-lemah iman.”2
2.2.
Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai
Kewajiban Individu dan Kolektif
Menurut para ulama, Amar
Ma’ruf Nahi Munkar merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah).
Namun, dalam kondisi tertentu, dapat menjadi kewajiban individu (fardhu
‘ain), terutama jika tidak ada orang lain yang mampu melaksanakannya.3
Al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, menjelaskan bahwa kewajiban
ini merupakan pilar utama dalam menjaga moralitas dan stabilitas masyarakat
Muslim.4
2.3.
Dasar Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dalil Al-Qur'an yang
mendukung Amar Ma’ruf Nahi Munkar sangat banyak. Selain QS. Ali Imran [03] ayat
104, QS. At-Taubah [09] ayat 71 menyebutkan, “Dan orang-orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”5
Dalam pandangan ulama, ayat ini menegaskan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah
bagian dari identitas seorang Muslim.
2.4.
Perbedaan Konsep antara Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar
Secara etimologi, amar
berarti memerintahkan atau mendorong sesuatu, sementara nahi berarti
melarang atau mencegah. Ma’ruf berasal dari kata kerja ‘arafa
yang berarti mengetahui, sehingga ma’ruf adalah hal yang diketahui sebagai baik
oleh fitrah manusia dan syariat. Sebaliknya, munkar adalah sesuatu
yang diingkari oleh akal sehat dan bertentangan dengan norma syariat.6
Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din, menekankan pentingnya
memahami konteks dan kemampuan seseorang sebelum menjalankan amar ma’ruf nahi
munkar, agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.7
2.5.
Prinsip-Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1)
Adanya
Ilmu dan Pemahaman:
Orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi
munkar harus memahami apa yang ia perintahkan dan larang berdasarkan syariat.
2)
Keseimbangan:
Amar ma’ruf harus dilakukan dengan cara
yang bijaksana dan tidak menimbulkan kerusakan.
3)
Kemampuan:
Pelaksana hanya wajib melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar jika ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Imam Nawawi
menekankan bahwa kemungkaran yang lebih besar harus dicegah jika memiliki
kapasitas untuk melakukannya.8
Kesimpulan
Konsep Amar Ma’ruf Nahi
Munkar adalah prinsip yang mengakar kuat dalam ajaran Islam. Ia menjadi pondasi
bagi terwujudnya masyarakat yang bermoral dan berkeadilan. Dengan landasan
Al-Qur'an, Hadis, dan penjelasan para ulama, kewajiban ini tidak hanya relevan
dalam konteks teologis, tetapi juga dalam membangun tatanan sosial yang
harmonis.
Footnotes
[1]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. Ali Imran [03] ayat 104.
[2]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Malahim, Hadis no. 1140.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq,
2000), 75.
[4]
Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220.
[5]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an, QS.
At-Taubah [09] ayat 71.
[6]
Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Sadir, 1994), “Ma’ruf”
dan “Munkar.”
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.
[8]
Imam Nawawi, Riyadh al-Salihin (Cairo: Dar al-Hadith, 2003),
Kitab al-Amr bi al-Ma’ruf, Bab 1.
3.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Tema Sentral
dalam Ilmu Kalam
3.1.
Sejarah Pengembangan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
dalam Tradisi Ilmu Kalam
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
memiliki kedudukan yang signifikan dalam perkembangan Ilmu Kalam. Dalam sejarah
pemikiran Islam, konsep ini menjadi perdebatan penting di antara para teolog,
khususnya dalam membahas tanggung jawab moral individu dan kolektif dalam
masyarakat. Aliran-aliran teologi seperti Mu’tazilah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah,
dan Syiah memiliki pandangan yang berbeda mengenai implementasi dan batasan
kewajiban ini.1
Bagi kelompok Mu’tazilah,
Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan salah satu dari lima prinsip dasar (ushul
al-khamsah), di mana mereka menekankan pentingnya peran akal dan
tanggung jawab manusia dalam menegakkan keadilan. Sebaliknya, Ahlus Sunnah WalJamaah lebih menekankan keseimbangan antara kewajiban moral ini dengan ketaatan
kepada penguasa yang sah demi menjaga stabilitas sosial.2
3.2.
Peran Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Membangun
Paradigma Teologi Islam
Dalam Ilmu Kalam, Amar Ma’ruf
Nahi Munkar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban praktis tetapi juga
memiliki dimensi teologis yang mendalam. Kelompok Mu’tazilah memandang amar
ma’ruf nahi munkar sebagai ekspresi dari keadilan Tuhan (‘adl).
Mereka percaya bahwa Tuhan memerintahkan manusia untuk menegakkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran sebagai bagian dari tanggung jawab moralnya.3
Di sisi lain, teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengaitkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan hikmah dan
keteraturan (tanzim). Menurut Imam
al-Baqillani, kewajiban ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan maslahat
dan mafsadat sehingga tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat.4
Pandangan ini menegaskan bahwa pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh
dilakukan secara sembarangan, tetapi dengan hikmah, nasihat yang baik, dan
dialog sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.5
3.3.
Pandangan Berbagai Aliran Ilmu Kalam terhadap
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1)
Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah menempatkan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar sebagai pilar utama teologi mereka. Mereka percaya bahwa kewajiban ini
harus dilakukan meskipun berisiko menghadapi penguasa yang zalim. Bagi mereka,
tindakan ini adalah bentuk realisasi dari tanggung jawab moral manusia untuk
memperjuangkan keadilan.6
Ahlus Sunnah Wal Jamaah lebih menekankan
pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang tidak mengganggu stabilitas sosial.
Mereka meyakini bahwa penegakan kewajiban ini harus dilakukan sesuai dengan
kemampuan individu dan dalam kerangka aturan syariat. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’
Ulum al-Din, menegaskan pentingnya mempertimbangkan dampak sosial
dari amar ma’ruf nahi munkar untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.7
3)
Syiah
Dalam tradisi Syiah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar
menjadi kewajiban penting yang dikaitkan dengan peran Imam sebagai pemimpin
yang bertanggung jawab atas penegakan keadilan di masyarakat. Konsep ini sering
dikaitkan dengan upaya melawan kezaliman, sebagaimana dicontohkan oleh Imam
Husain dalam peristiwa Karbala.8
Kesimpulan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
sebagai tema sentral dalam Ilmu Kalam, mencerminkan bagaimana tanggung jawab
moral manusia berinteraksi dengan konsep keadilan, hikmah, dan stabilitas
sosial. Perbedaan pandangan di antara aliran-aliran teologi menunjukkan luasnya
cakupan konsep ini dalam membangun paradigma pemikiran Islam yang komprehensif.
Footnotes
[1]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.
[2]
Abu Bakr al-Baqillani, Tamhid
al-Awa'il fi Sharh al-Dala'il
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1957), 112.
[3]
Sarah Stroumsa, The Mu’tazila and Their
World: Studies in Islamic Theology and Philosophy (Turnhout: Brepols Publishers, 1999), 129.
[4]
Abu al-Hasan al-Baqillani, Al-Insaf (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 75.
[5]
Abdullah Yusuf Ali, The
Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[6]
Josef van Ess, The Flowering of Muslim
Theology (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 145.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.
[8]
Liyakat Takim, The Heirs of the
Prophet: Charisma and Religious Authority in Shi'ite Islam (Albany: SUNY Press, 2006), 85.
4.
Penafsiran Ulama terhadap Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
4.1.
Kajian Tafsir Klasik
Dalam tradisi tafsir klasik,
para ulama memberikan penekanan yang mendalam terhadap konsep Amar Ma’ruf Nahi
Munkar sebagai salah satu kewajiban utama dalam Islam.
1)
Tafsir Al-Thabari
Imam al-Thabari, dalam tafsirnya, menjelaskan QS.
Ali Imran [03] ayat 104 sebagai perintah Allah untuk membentuk sekelompok umat
yang berdedikasi menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ia menekankan
bahwa kelompok ini harus terdiri dari orang-orang yang berilmu sehingga mereka
dapat memahami kebaikan dan keburukan berdasarkan syariat Islam.1
2)
Tafsir Al-Qurtubi
Imam al-Qurtubi menegaskan bahwa amar ma’ruf dan
nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah),
namun dapat menjadi kewajiban individu dalam keadaan tertentu, seperti ketika
tidak ada yang melaksanakannya. Beliau juga mencatat pentingnya metode yang
bijaksana dan menghindari kekerasan dalam menyerukan kebaikan.2
3)
Tafsir Al-Razi
Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih
al-Ghayb menyoroti dimensi sosial dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ia
menegaskan bahwa perintah ini bukan hanya tentang tindakan individu tetapi juga
tanggung jawab kolektif untuk memastikan moralitas publik dan keadilan sosial
tetap terjaga.3
4.2.
Penjelasan Ulama Besar
Selain tafsir Al-Qur’an,
ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan
rinci mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam karya-karya mereka.
1)
Imam Al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulum al-Din,
al-Ghazali mengidentifikasi empat tingkatan pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar:
o Pertama, mengenali kemungkaran secara pasti.
o Kedua, memiliki niat tulus untuk memperbaiki situasi tanpa
menciptakan kerusakan baru.
o Ketiga, melaksanakan amar ma’ruf dengan cara yang bijaksana.
o Keempat, mempertimbangkan dampak tindakan tersebut terhadap
individu maupun masyarakat.4
2)
Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah, dalam Hisbah fi al-Islam,
membahas pentingnya institusi hisbah untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Ia menekankan bahwa institusi ini harus dipimpin oleh orang-orang yang adil dan
berilmu untuk memastikan bahwa tindakan mereka tidak menyimpang dari prinsip
syariat.5
4.3.
Pemahaman Kontemporer dan Relevansinya
Dalam konteks modern, ulama
kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi mencoba memberikan pendekatan yang lebih
kontekstual terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Beliau menekankan pentingnya
mempertimbangkan situasi sosial, budaya, dan politik dalam menerapkan konsep
ini agar tetap relevan dengan tantangan zaman.6
Kesimpulan
Penafsiran ulama terhadap
Amar Ma’ruf Nahi Munkar menunjukkan bahwa konsep ini tidak hanya penting dalam
menjaga moralitas individu tetapi juga dalam membangun tatanan sosial yang
harmonis. Tafsir klasik memberikan fondasi teologis yang kuat, sementara
pandangan ulama modern menekankan adaptasi dengan konteks zaman, tanpa
mengesampingkan nilai-nilai inti Islam.
Footnotes
[1]
Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Cairo: Dar al-Hijr, 2001), vol. 3, 92.
[2]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, Al-Jami'
li Ahkam al-Qur'an (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2006), vol. 4, 143.
[3]
Fakhruddin al-Razi, Mafatih
al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr,
1981), vol. 8, 23.
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 244.
[5]
Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah
fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub
al-Hadithah, 1962), 56.
[6]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 78.
5.
Perspektif Filsafat dalam Konsep Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
5.1.
Hubungan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan Etika
Universal
Konsep Amar Ma’ruf Nahi
Munkar memiliki relevansi kuat dengan filsafat moral, khususnya dalam konteks
etika universal. Prinsip ini mencerminkan imperatif moral untuk mengupayakan
kebaikan dan mencegah keburukan, sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran
filsafat Immanuel Kant mengenai categorical imperative, yaitu
kewajiban moral yang harus dilakukan tanpa syarat demi kebaikan universal.1
Dalam pandangan Islam, kewajiban untuk menegakkan keadilan dan moralitas
bersifat ilahiah, berakar pada perintah Allah Swt yang tidak hanya mengikat
individu Muslim tetapi juga masyarakat secara kolektif.
5.2.
Implikasi Filosofis dalam Membangun Masyarakat
yang Adil
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
mengandaikan adanya tanggung jawab sosial yang mendalam. Dalam filsafat politik
Islam, konsep ini sering dikaitkan dengan keadilan sosial (al-‘adalah
al-ijtima’iyyah). Al-Farabi, dalam Al-Madinah al-Fadhilah,
menyebutkan bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang anggotanya saling
mendukung untuk mencapai kebajikan kolektif.2
Ia menekankan bahwa keberhasilan sebuah komunitas tergantung pada sinergi
antara individu dan institusi dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai
prinsip moral dan politik.
Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah,
melihat konsep ini sebagai salah satu mekanisme penting dalam menjaga harmoni sosial. Menurutnya, masyarakat yang tidak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
akan menghadapi dekadensi moral yang pada akhirnya membawa keruntuhan
peradaban.3
5.3.
Pendekatan Filsafat Moral dan Tanggung Jawab
Sosial
Dari perspektif filsafat moral, Amar Ma’ruf Nahi Munkar memberikan pandangan yang unik tentang tanggung
jawab individu dan kolektif. Prinsip ini mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup
hanya diwujudkan dalam kehidupan pribadi tetapi juga harus diperjuangkan dalam
ruang publik. John Stuart Mill, dalam On Liberty, menekankan
pentingnya kebebasan individu dalam mengungkapkan kebenaran dan memperbaiki
kesalahan dalam masyarakat.4
Meski tidak identik, konsep ini sejalan dengan gagasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
di mana kebebasan individu digunakan untuk mendorong perbaikan moral dalam
komunitas.
Namun, filsafat Islam memberikan
batasan penting, yaitu bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus dilakukan dengan
hikmah (wisdom) dan kasih sayang (rahmah), seperti yang
disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125, “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”5
5.4.
Relevansi Konsep dalam Era Modern
Dalam dunia modern, Amar
Ma’ruf Nahi Munkar dapat berfungsi sebagai prinsip etika untuk menangani
isu-isu global seperti ketidakadilan sosial, korupsi, dan pelanggaran hak asasi
manusia. Filsuf kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr mengaitkan konsep ini
dengan etika lingkungan, menekankan bahwa mencegah kerusakan lingkungan adalah
bagian dari nahi munkar yang harus diimplementasikan secara global.6
Kesimpulan
Perspektif filsafat
memberikan dimensi yang lebih luas terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai
prinsip moral dan sosial. Ia tidak hanya menjadi kewajiban religius tetapi juga
merupakan etika universal yang mendukung pembangunan masyarakat yang adil,
harmonis, dan berkelanjutan. Dengan memadukan wawasan dari filsafat moral,
politik, dan sosial, konsep ini relevan untuk diterapkan dalam berbagai konteks
kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30.
[2]
Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Cairo: Dar al-Mashriq,
1968), 87.
[3]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 2005), 96.
[4]
John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, 1859), 43.
[5]
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: Kazi Publications, 2007), 112.
6.
Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam
Kehidupan
6.1.
Dimensi Individu: Kesalehan Pribadi dalam
Menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
dimulai dari kesadaran individu untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan
keburukan dalam kehidupannya sendiri. Dalam pandangan Islam, pelaksanaan konsep
ini adalah tanda kesempurnaan iman seseorang. Hadis Nabi Saw menegaskan, “Barang
siapa melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika
tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan
itu adalah selemah-lemah iman.”1
Implementasi pada tingkat
individu mencakup upaya memperbaiki diri, seperti memperkuat hubungan dengan
Allah melalui ibadah, menjaga akhlak, dan menghindari perilaku tercela.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan
bahwa seseorang harus terlebih dahulu melakukan introspeksi sebelum menyerukan
kebaikan kepada orang lain, sehingga apa yang ia serukan memiliki keteladanan.2
6.2.
Dimensi Sosial: Peran Masyarakat dalam
Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada tingkat sosial, Amar
Ma’ruf Nahi Munkar adalah tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi kebaikan dan menjauhkan masyarakat dari kerusakan moral. Hal
ini terlihat dari QS. At-Taubah [09] ayat 71, yang menyebutkan bahwa
orang-orang beriman saling menolong dalam menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar.3
Dalam konteks modern,
implementasi ini mencakup berbagai upaya seperti:
1)
Pendidikan
Moral dan Agama:
Mendidik generasi muda tentang
nilai-nilai Islam dan etika universal untuk membentuk individu yang berakhlak
mulia.
2)
Kampanye
Sosial:
Menggunakan media untuk menyuarakan
kebaikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu seperti
keadilan sosial, hak asasi manusia, dan perlindungan lingkungan.
3)
Hisbah:
Institusi hisbah yang dahulu ada dalam
peradaban Islam dapat diterapkan dalam bentuk lembaga pengawasan sosial modern,
seperti badan anti-korupsi dan organisasi pengawas etika di masyarakat.4
6.3.
Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar di Era Modern
Era modern menghadirkan
tantangan baru dalam menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, seperti relativisme
moral, individualisme, dan globalisasi yang sering mengaburkan batasan antara
kebaikan dan keburukan. Sebagai contoh, perubahan norma sosial di berbagai
negara dapat mempersulit konsensus tentang definisi ma’ruf dan munkar.5
Untuk menghadapi tantangan
ini, beberapa langkah dapat diambil:
1)
Pemahaman
Kontekstual:
Pendekatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus
disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip
syariat.
2)
Kerjasama
Antar Komunitas:
Kolaborasi antara lembaga agama,
pemerintah, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan kebijakan
publik yang mendukung amar ma’ruf nahi munkar.
3)
Penggunaan
Teknologi:
Media sosial dan teknologi digital dapat
menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan secara luas, namun penggunaannya harus
dilakukan dengan etika yang benar.6
6.4.
Relevansi Konsep dalam Kehidupan Modern
Amar Ma’ruf Nahi Munkar tetap
relevan sebagai panduan etika dan moral dalam menghadapi berbagai masalah
global seperti ketimpangan sosial, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Misalnya, gerakan anti-korupsi di banyak negara dapat dilihat sebagai
perwujudan nahi munkar dalam konteks modern. Selain itu, upaya untuk
melestarikan lingkungan juga dapat dikategorikan sebagai bentuk nahi munkar,
karena mencegah kerusakan (fasad) di muka bumi sesuai
dengan perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 205.7
Kesimpulan
Pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar memerlukan keseimbangan antara kesadaran individu, tanggung jawab
sosial, dan adaptasi terhadap tantangan zaman. Dengan pendekatan yang bijaksana
dan penuh hikmah, prinsip ini dapat terus menjadi pedoman untuk menciptakan
masyarakat yang bermoral, adil, dan harmonis.
Footnotes
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Malahim, Hadis no. 1140.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 243.
[3]
Abdullah Yusuf Ali, The
Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. At-Taubah [09] ayat 71.
[4]
Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah
fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub
al-Hadithah, 1962), 56.
[5]
Tariq Ramadan, Islam and the Challenge
of Modernity (Leicester: Islamic
Foundation, 2004), 103.
[6]
Jonathan A. Brown, Misquoting Muhammad:
The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (London: Oneworld Publications, 2014), 212.
[7]
Abdullah Yusuf Ali, The
Meaning of the Holy Qur'an, QS.
Al-Baqarah [02] ayat 205.
7.
Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1.
Kesimpulan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
merupakan konsep dasar yang tidak hanya berakar dalam doktrin Islam tetapi juga
memiliki relevansi universal sebagai pedoman moral dan sosial. Dalam pembahasan
artikel ini, Amar Ma’ruf Nahi Munkar telah diuraikan dari berbagai perspektif,
yaitu teologi, tafsir klasik, filsafat, dan implementasinya dalam kehidupan
individu serta masyarakat.
Secara teologis, konsep ini
menjadi tema sentral dalam Ilmu Kalam karena berfungsi sebagai landasan untuk
menegakkan keadilan dan kesalehan dalam kehidupan manusia. Aliran-aliran teologi Islam seperti Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memberikan
interpretasi yang berbeda, namun sepakat pada urgensi kewajiban ini sebagai
tanggung jawab moral manusia di dunia.1
Kajian tafsir klasik seperti
yang disampaikan oleh al-Thabari, al-Qurtubi, dan al-Razi menunjukkan bagaimana
perintah Allah dalam QS. Ali Imran [03] ayat 104 dan QS. At-Taubah [09] ayat 71
menjadi pilar utama untuk membangun masyarakat yang adil dan bermoral.2
Pendekatan filsafat, seperti yang dipaparkan oleh al-Farabi dan Ibnu Khaldun,
memberikan dimensi tambahan dengan mengaitkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar pada pembentukan
masyarakat yang harmonis, di mana individu saling mendukung dalam menegakkan
kebajikan.3
Di era modern, Amar Ma’ruf
Nahi Munkar tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan global, seperti
pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, dan korupsi.
Implementasinya memerlukan adaptasi dengan konteks zaman tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip syariat. Hal ini mencakup upaya pendidikan, advokasi sosial,
dan penggunaan teknologi sebagai sarana untuk menyerukan kebaikan dan mencegah
kemungkaran.4
7.2.
Rekomendasi
1)
Memperkuat Pendidikan
Moral dan Agama
Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus diajarkan sejak
dini melalui pendidikan formal dan nonformal untuk menciptakan individu yang
memahami tanggung jawab moralnya. Hal ini sejalan dengan upaya mendidik
generasi yang mampu membedakan antara ma’ruf dan munkar berdasarkan syariat.5
2)
Membangun Institusi
Sosial yang Kuat
Institusi-institusi sosial yang menegakkan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, seperti lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan badan
pengawas moral, perlu diberdayakan untuk menghadapi tantangan modern secara
kolektif. Inspirasi dapat diambil dari konsep hisbah yang
dikembangkan pada masa peradaban Islam klasik.6
3)
Mengintegrasikan
Teknologi dalam Dakwah
Teknologi informasi dan media sosial dapat
menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar ke khalayak
yang lebih luas. Namun, penggunaannya harus mengikuti prinsip hikmah dan etika,
seperti yang diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.7
4)
Menjaga Keseimbangan
antara Hikmah dan Keadilan
Dalam menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap individu dan masyarakat.
Penegakan prinsip ini harus dilakukan secara bijaksana dan tanpa menimbulkan
kerusakan lebih besar, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’
Ulum al-Din.8
Dengan menjalankan
rekomendasi-rekomendasi ini, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dapat terus menjadi
prinsip hidup yang tidak hanya memperkuat kesalehan individu tetapi juga
memberikan dampak positif bagi peradaban manusia secara keseluruhan.
Footnotes
[1]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 273.
[2]
Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Cairo: Dar al-Hijr, 2001), vol. 3, 92; Muhammad ibn
Ahmad al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an (Beirut: Dar Ihya
al-Turath al-‘Arabi, 2006), vol. 4, 143.
[3]
Al-Farabi, Al-Madinah al-Fadhilah (Cairo: Dar al-Mashriq, 1968), 87; Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton
University Press, 2005), 96.
[4]
Tariq Ramadan, Islam and the Challenge
of Modernity (Leicester: Islamic
Foundation, 2004), 103; Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: Kazi Publications, 2007), 112.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da’wah (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 78.
[6]
Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyyah, Hisbah
fi al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub
al-Hadithah, 1962), 56.
[7]
Abdullah Yusuf Ali, The
Meaning of the Holy Qur'an
(Beltsville, MD: Amana Publications, 2001), QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, trans. Muhammad Mahdi
al-Sharif (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), Juz 2, 244.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. (2000). Sunan Abi Dawud. Cairo:
Dar al-Fikr.
Abdullah Yusuf Ali. (2001). The Meaning of the
Holy Qur'an. Beltsville, MD: Amana Publications.
Al-Farabi. (1968). Al-Madinah al-Fadhilah.
Cairo: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali, A. H. (1992). Ihya’ Ulum al-Din
(M. M. al-Sharif, Trans.). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Mawardi, A. H. (1994). Al-Ahkam
As-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-Da’wah.
Cairo: Dar al-Shuruq.
Al-Qurtubi, M. I. A. (2006). Al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi.
Al-Razi, F. (1981). Mafatih al-Ghayb.
Beirut: Dar al-Fikr.
Brown, J. A. (2014). Misquoting Muhammad: The
Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy. London:
Oneworld Publications.
Ibn Khaldun. (2005). The Muqaddimah: An
Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton
University Press.
Ibn Manzur. (1994). Lisan al-Arab. Beirut:
Dar Sadir.
Kant, I. (1997). Groundwork for the Metaphysics
of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Mill, J. S. (1859). On Liberty. London:
Longman.
Nasr, S. H. (2007). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. Chicago: Kazi Publications.
Ramadan, T. (2004). Islam and the Challenge of
Modernity. Leicester: Islamic Foundation.
Taimiyyah, I. (1962). Hisbah fi al-Islam.
Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah.
Thabari, A. J. M. (2001). Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hijr.
Van Ess, J. (2006). The Flowering of Muslim
Theology. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Watt, W. M. (1973). The Formative Period of
Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar