Kajian Komprehensif tentang Murji’ah
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pengetahuan akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan
pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif
untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam
sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
“Murji’ah: Ajaran dan
Doktrin Teologi”
1.
Pendahuluan
Murji’ah merupakan salah satu
aliran teologi yang muncul pada masa-masa awal sejarah Islam, tepatnya pasca
peristiwa Fitnah Kubra yang menandai konflik politik dan agama yang sangat
kompleks di kalangan umat Islam. Nama "Murji’ah" berasal dari kata
Arab irja’, yang berarti "menunda" atau "memberi
harapan." Ajaran utama Murji’ah berfokus pada penangguhan vonis
terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat, menyerahkan keputusan sepenuhnya
kepada Allah. Pandangan ini muncul sebagai reaksi terhadap ekstremisme
Khawarij, yang dengan tegas mengkafirkan pelaku dosa besar, serta pandangan
Mu’tazilah yang menempatkan pelaku dosa besar dalam posisi antara iman dan
kufur (manzilah bayna manzilatayn).1
Secara historis, kemunculan
Murji’ah tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik pada era Khulafaurasyidin
dan awal Dinasti Umayyah. Konflik besar seperti Perang Jamal, Perang Shiffin,
dan arbitrase (tahkim) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan memecah umat Islam ke dalam berbagai kelompok. Dalam situasi ini,
Murji’ah mencoba untuk menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dengan tidak
tergesa-gesa menghakimi pihak-pihak yang bertikai, seraya menekankan pentingnya
persatuan umat.2
Pandangan Murji’ah tentang
iman—bahwa iman adalah pembenaran hati dan amal bukanlah syarat sahnya
iman—juga menimbulkan perdebatan teologis yang panjang. Pemikiran ini mendapat
kritik tajam dari berbagai ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menegaskan bahwa
amal merupakan bagian integral dari iman. Meski demikian, keberadaan Murji’ah
memberikan wawasan penting dalam memahami perkembangan ilmu kalam, terutama
dalam diskusi tentang iman, dosa, dan takfir.3
Kajian tentang Murji’ah
penting dilakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai
perkembangan pemikiran Islam klasik, sekaligus menyadarkan pembaca akan
dinamika intelektual dan politik yang melatarbelakangi munculnya berbagai
aliran teologi. Artikel ini bertujuan untuk menelaah Murji’ah dari aspek
sejarah, doktrin, dan pengaruhnya, berdasarkan sumber-sumber referensi yang
kredibel, baik klasik maupun kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 123.
[2]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah
Ibn Sina, 1984), 71.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 73.
2.
Definisi
dan Etimologi
Nama Murji’ah berasal
dari akar kata bahasa Arab irja’ (إرجاء),
yang memiliki beberapa makna, seperti "menunda," "menangguhkan,"
atau "memberi harapan." Dalam konteks teologi Islam, istilah
ini merujuk pada ajaran utama kelompok ini, yaitu menunda keputusan terhadap
pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap pandangan ekstrem Khawarij yang
mengkafirkan pelaku dosa besar serta pandangan moderat lainnya yang
mempertimbangkan posisi antara iman dan kufur.1
Secara terminologi, Murji’ah
memiliki makna yang lebih spesifik dalam diskusi teologis Islam. Al-Syahrastani
dalam Al-Milal wa Al-Nihal mendefinisikan Murji’ah sebagai kelompok yang
percaya bahwa amal perbuatan tidak memengaruhi status keimanan seseorang.
Menurut mereka, iman adalah pembenaran hati (tasdiq) semata, tanpa perlu
dikaitkan dengan amal perbuatan.2
Dalam karya Al-Farq bayna
Al-Firaq, Abdul Qahir Al-Baghdadi memberikan definisi serupa, menambahkan
bahwa nama Murji’ah digunakan untuk mencirikan sikap mereka yang menunda
vonis dan tidak tergesa-gesa dalam menghakimi pelaku dosa besar. Mereka juga
disebut sebagai kelompok yang lebih memprioritaskan keyakinan batin daripada
manifestasi amal dalam menilai keimanan seseorang.3
Etimologi kata irja’
juga menunjukkan dimensi psikologis dan politis. Di satu sisi, ia mencerminkan
optimisme teologis terhadap rahmat Allah dan pengampunan-Nya; di sisi lain, ia
menjadi simbol netralitas dalam konflik-konflik politik pada masa awal Islam.
Murji’ah lebih memilih untuk tidak berpihak secara tegas terhadap
kelompok-kelompok yang bertikai dalam Perang Jamal, Perang Shiffin, atau
pertentangan antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.4
Penggunaan istilah Murji’ah
dalam sejarah Islam juga memiliki konotasi yang beragam. Dalam beberapa
referensi klasik, istilah ini terkadang digunakan secara peyoratif untuk
mencela sikap pasif mereka terhadap isu-isu sosial dan politik yang dianggap
penting. Namun, dalam konteks teologi, istilah ini menyoroti doktrin yang
secara sistematis berakar pada prinsip keyakinan kepada keadilan Allah.5
Melalui definisi dan
etimologi ini, Murji’ah menjadi salah satu aliran teologi yang berkontribusi
pada diskusi mendalam tentang hubungan antara iman, amal, dan pengampunan dalam
Islam. Pemahaman yang tepat tentang istilah ini sangat penting untuk
menghindari kesalahpahaman dan mendekati analisis yang obyektif terhadap
doktrin Murji’ah.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 75.
[2]
Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 126.
[3]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah
Ibn Sina, 1984), 78.
[4]
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 123.
[5]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1985), 54.
3.
Latar
Belakang Historis
Kemunculan Murji’ah tidak
dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik dan religius pada masa awal Islam,
khususnya setelah wafatnya Rasulullah Saw. Periode ini ditandai dengan konflik
internal yang mendalam di kalangan umat Islam, mulai dari fitnah pertama (fitnah
kubra), perang saudara, hingga munculnya perpecahan dalam tubuh umat.
Latar belakang ini menjadi katalis bagi munculnya berbagai aliran teologi,
termasuk Murji’ah, yang mencoba menjawab persoalan besar terkait iman, amal,
dan dosa besar.1
3.1. Konflik Politik pada Masa Khulafaurasyidin
Setelah terbunuhnya Khalifah
Utsman bin Affan, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling
bertikai, seperti pendukung Ali bin Abi Thalib, pendukung Mu’awiyah, dan
kelompok Khawarij yang menolak keduanya. Perang Shiffin dan arbitrase (tahkim)
semakin memperdalam perpecahan ini. Dalam situasi inilah Murji’ah muncul
sebagai kelompok yang menyerukan sikap netral dan tidak memihak dalam konflik
politik yang terjadi.2
3.2. Reaksi terhadap Khawarij dan Mu’tazilah
Khawarij, yang muncul sebagai
kelompok radikal, mengkafirkan pelaku dosa besar dan bahkan menghalalkan darah
mereka. Pandangan ini memicu kekhawatiran di kalangan sebagian umat Islam,
terutama yang menganggap bahwa dosa besar tidak serta-merta mengeluarkan
seseorang dari Islam. Sebaliknya, Mu’tazilah memperkenalkan doktrin manzilah
bayna manzilatayn (posisi di antara iman dan kufur) bagi pelaku dosa
besar, tetapi tetap tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan mayoritas.3
Murji’ah hadir sebagai
respons terhadap kedua ekstrem ini. Mereka menegaskan bahwa iman adalah
pembenaran hati (tasdiq), dan amal perbuatan, meskipun penting, tidak
menentukan status keimanan seseorang. Dengan menunda vonis terhadap pelaku dosa
besar hingga penghakiman akhir oleh Allah, Murji’ah mencoba mengurangi konflik
dan ekstremisme yang semakin meluas.4
3.3. Netralitas dalam Konflik Sosial-Politik
Selain dimensi teologis,
Murji’ah juga memiliki pendekatan politis. Dalam konflik antara Ali dan
Mu’awiyah, Murji’ah lebih memilih untuk tidak memberikan penilaian siapa yang
benar atau salah. Sikap ini bertujuan menjaga persatuan umat dan menghindari
perpecahan lebih lanjut. Namun, pandangan mereka sering dianggap pasif oleh
kelompok-kelompok yang lebih aktif terlibat dalam konflik.5
3.4. Peran Dinasti Umayyah
Pada masa Dinasti Umayyah,
doktrin Murji’ah mendapatkan momentum karena dianggap sejalan dengan kebijakan
politik dinasti tersebut. Murji’ah memberi legitimasi kepada penguasa dengan
menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin tanpa mempersoalkan dosa-dosa
pribadi mereka. Hal ini memberikan stabilitas politik, tetapi di sisi lain
menimbulkan kritik bahwa Murji’ah menjadi alat penguasa untuk menekan
perlawanan.6
Kesimpulan
Latar belakang historis
Murji’ah mencerminkan upaya kelompok ini untuk menjawab persoalan-persoalan
besar yang muncul dari kompleksitas konflik politik dan teologi di masa awal
Islam. Meskipun doktrin mereka sering dikritik, keberadaan Murji’ah memberikan
kontribusi signifikan dalam diskusi teologi Islam yang terus berkembang.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 77.
[2]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 130.
[3]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq
bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 84.
[4]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 127.
[5]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 95.
[6]
Ignaz Goldziher, Introduction
to Islamic Theology and Law (Princeton: Princeton University Press,
1981), 46.
4.
Ajaran
dan Doktrin Teologi Murji’ah
Murji’ah dikenal dengan
ajarannya yang menitikberatkan pada konsep iman (iman), amal (‘amal),
dan penangguhan vonis terhadap pelaku dosa besar. Doktrin utama Murji’ah lahir
sebagai respons terhadap pandangan teologis ekstrem Khawarij dan Mu’tazilah,
yang menghubungkan secara erat amal dengan keimanan.1
4.1. Definisi Iman
Murji’ah memandang iman
sebagai keyakinan hati (tasdiq bil-qalb) dan pernyataan lisan (iqrar
bil-lisan). Dalam pandangan ini, amal perbuatan bukanlah bagian integral
dari iman, melainkan konsekuensi yang dapat memperkuat atau melemahkan iman,
tetapi tidak memengaruhi status iman seseorang.2 Imam Abu Hanifah,
yang juga sering dikaitkan dengan pandangan moderat Murji’ah, menyatakan bahwa
“iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan, sedangkan
amal tidak termasuk bagian dari iman.”3
4.2. Pandangan terhadap Amal Perbuatan
Menurut Murji’ah, amal
perbuatan penting tetapi tidak menjadi syarat sahnya iman. Amal hanya dianggap
sebagai ekspresi luar dari iman yang dapat berkurang atau bertambah. Dalam hal
ini, mereka berbeda dengan pandangan mayoritas Ahlus Sunnah yang menganggap
iman dan amal memiliki keterkaitan erat.4 Pendapat ini memberikan
ruang bagi pelaku dosa besar untuk tetap dianggap sebagai Muslim, meskipun amal
mereka buruk.
4.3. Pelaku Dosa Besar
Salah satu ajaran paling
kontroversial Murji’ah adalah pandangan mereka tentang pelaku dosa besar (kabirah).
Murji’ah menolak mengkafirkan seorang Muslim hanya karena dosa besar.
Sebaliknya, mereka menekankan bahwa keputusan akhir mengenai nasib pelaku dosa
besar sepenuhnya berada di tangan Allah pada Hari Kiamat. Doktrin ini
bertentangan langsung dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dan
Mu’tazilah yang menempatkan pelaku dosa besar dalam status antara iman dan
kufur.5
4.4. Prinsip Penangguhan (Irja’)
Konsep irja’
(penangguhan) adalah inti dari ajaran Murji’ah. Mereka percaya bahwa manusia
tidak memiliki otoritas untuk menghakimi status akhir seseorang, baik sebagai
penghuni surga maupun neraka. Semua keputusan terkait hal ini harus ditunda
hingga Hari Pengadilan. Dalam Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Syahrastani
menyebutkan bahwa prinsip ini bertujuan untuk mengurangi polarisasi dan konflik
dalam masyarakat Muslim, terutama pada masa-masa fitnah politik dan teologi.6
4.5. Pengaruh terhadap Kehidupan Politik
Murji’ah juga mempromosikan
kepatuhan kepada penguasa, terlepas dari moralitas atau dosa-dosa mereka. Hal
ini dianggap sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik di tengah konflik
yang melanda umat Islam. Namun, pandangan ini mendapat kritik karena dianggap
memberikan pembenaran terhadap kezaliman penguasa.7
Kesimpulan
Ajaran Murji’ah memberikan
penekanan besar pada rahmat dan keadilan Allah, sambil mencoba menciptakan
harmoni sosial di tengah perpecahan. Meskipun pandangan mereka sering dianggap
kontroversial, doktrin Murji’ah memberikan kontribusi penting terhadap
perkembangan diskusi tentang iman dan amal dalam Islam.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 78.
[2]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 132.
[3]
Abu Zahra, Al-Madzahib
al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1949), 211.
[4]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq
bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 86.
[5]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 129.
[6]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 133.
[7]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 96.
5.
Klasifikasi
Murji’ah
Murji’ah tidaklah monolitik;
pemikiran mereka berkembang menjadi beberapa cabang dengan pendekatan teologis
yang berbeda-beda. Para ulama dan ahli sejarah Islam, seperti Al-Syahrastani
dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, mengklasifikasikan Murji’ah berdasarkan intensitas
dan interpretasi ajaran mereka. Secara umum, Murji’ah dapat dibagi menjadi dua
kelompok utama: Murji’ah moderat dan Murji’ah ekstrem.1
5.1. Murji’ah Moderat
Kelompok ini mewakili
pandangan yang lebih mendekati Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal keimanan dan
amal. Mereka memisahkan iman dari amal, tetapi tetap mengakui pentingnya amal
sebagai konsekuensi logis dari keimanan. Murji’ah moderat menegaskan bahwa
pelaku dosa besar masih dianggap sebagai Muslim, tetapi amal buruk mereka akan
dipertanggungjawabkan di akhirat.2
Contoh dari kelompok ini
adalah pandangan yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah. Dalam Fiqh al-Akbar,
Abu Hanifah menyatakan bahwa iman seseorang tidak hilang karena dosa besar,
selama ia tidak mengingkari keimanan dalam hatinya. Namun, amal perbuatan tetap
diperhitungkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.3
5.2. Murji’ah Ekstrem
Murji’ah ekstrem mengambil
posisi yang jauh lebih radikal dengan memisahkan iman dan amal secara total.
Mereka berpendapat bahwa selama seseorang memiliki keyakinan dalam hatinya dan
mengucapkan syahadat, ia tetap dianggap beriman, meskipun tidak melakukan amal
kebaikan sama sekali atau bahkan melakukan dosa besar secara terus-menerus.4
Tokoh utama dari Murji’ah
ekstrem adalah Jahm bin Safwan, yang juga dikenal sebagai pendiri Jahmiyah. Ia
berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran hati, tanpa memerlukan pernyataan
lisan atau amal perbuatan sama sekali. Pendapat ini mendapat kritikan keras
dari mayoritas ulama karena dianggap meremehkan pentingnya amal dalam Islam.5
5.3. Klasifikasi Berdasarkan Aliran Fikiran
Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam
Al-Farq bayna Al-Firaq lebih lanjut membagi Murji’ah menjadi empat
sub-kelompok berdasarkan detail ajaran mereka:
1)
Murji’ah
Abu Hanifah: Mempertahankan pandangan moderat, bahwa amal bukan
bagian dari iman tetapi tetap penting.
2)
Murji’ah
Jahmiyah: Menganggap iman hanya sebagai keyakinan hati tanpa
amal atau pernyataan lisan.
3)
Murji’ah
Karramiyah: Menganggap iman sebagai pengucapan lisan saja,
tanpa syarat keyakinan hati atau amal.6
4)
Murji’ah
Shalahiyah: Kelompok ini berpendapat bahwa iman adalah gabungan
dari keyakinan hati dan pengucapan lisan, tetapi amal tidak memengaruhi status
iman.
5.4. Perbandingan Antara Kelompok
Murji’ah moderat lebih dapat
diterima dalam konteks Ahlus Sunnah wal Jamaah karena tetap mengakui pentingnya
amal dalam hubungan manusia dengan Allah. Sebaliknya, Murji’ah ekstrem sering
kali dikritik karena pandangan mereka dianggap mengurangi nilai syariat dan
berpotensi meremehkan kewajiban amal.
Kesimpulan
Klasifikasi Murji’ah
menunjukkan keragaman pandangan dalam aliran ini. Meski sering dianggap sebagai
satu entitas, Murji’ah sebenarnya mencerminkan berbagai respons intelektual
terhadap persoalan iman dan amal dalam Islam. Perbedaan ini menjadi cerminan
dinamika teologis di masa-masa awal Islam, yang terus memengaruhi perkembangan
pemikiran keislaman hingga kini.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 133.
[2]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 79.
[3]
Abu Hanifah, Fiqh
al-Akbar, diterjemahkan oleh W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 98.
[4]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 130.
[5]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq
bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 90.
[6]
Ignaz Goldziher, Introduction
to Islamic Theology and Law (Princeton: Princeton University Press,
1981), 47.
6.
Perbandingan
dengan Aliran Lain
Murji’ah memiliki posisi
teologis yang unik dalam sejarah Islam. Ajaran-ajaran mereka sering kali
dipandang sebagai respons terhadap ekstremisme Khawarij, pandangan rasionalis
Mu’tazilah, dan doktrin moderat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perbandingan dengan
aliran-aliran lain menunjukkan bagaimana Murji’ah mengambil pendekatan berbeda
terhadap isu-isu fundamental, seperti iman, amal, dan dosa besar.
6.1. Perbandingan dengan Khawarij
Khawarij dan Murji’ah berada
di spektrum yang berlawanan dalam hal iman dan amal:
1)
Dosa Besar
Khawarij menganggap pelaku dosa besar keluar dari
Islam (kafir), sementara Murji’ah menolak mengkafirkan pelaku dosa
besar dan menyerahkan keputusan kepada Allah pada Hari Kiamat.1
2)
Konsepsi Iman
Khawarij mendefinisikan iman sebagai kombinasi
keyakinan, ucapan, dan amal. Bagi mereka, iman tidak sah tanpa amal yang
sesuai. Sebaliknya, Murji’ah memisahkan iman dari amal, sehingga seseorang
tetap dianggap beriman meski amalnya buruk.2
3)
Sikap Sosial dan Politik
Khawarij sering memberontak terhadap pemimpin
yang dianggap tidak adil, sementara Murji’ah cenderung mendukung ketaatan
kepada penguasa, terlepas dari moralitas pribadi mereka, demi menjaga stabilitas
politik.3
6.2. Perbandingan dengan Mu’tazilah
Mu’tazilah dan Murji’ah
memiliki pandangan yang bertolak belakang dalam isu pelaku dosa besar:
1)
Dosa Besar
Mu’tazilah memperkenalkan konsep manzilah
bayna manzilatayn (posisi di antara iman dan kufur), yang berarti pelaku
dosa besar tidak dianggap kafir, tetapi juga tidak disebut sebagai mukmin.
Sebaliknya, Murji’ah menegaskan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin selama
masih memiliki iman dalam hati.4
2)
Rasionalisme vs Penyerahan
Mu’tazilah menekankan rasionalisme dan kebebasan
manusia dalam memilih amalnya, sementara Murji’ah lebih menekankan pada rahmat
Allah dan menangguhkan penilaian manusia.5
3)
Konsepsi Iman
Bagi Mu’tazilah, iman mencakup amal yang harus
selaras dengan keyakinan, sedangkan Murji’ah membatasi iman pada aspek
keyakinan hati dan pengakuan lisan.6
6.3. Perbandingan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
Murji’ah memiliki kesamaan
dan perbedaan signifikan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah:
1)
Kesamaan
o
Sama-sama menolak
mengkafirkan pelaku dosa besar.
o
Sama-sama menekankan
ketaatan kepada penguasa demi stabilitas sosial-politik.7
2)
Perbedaan
o Ahlus Sunnah wal Jamaah mengintegrasikan amal sebagai bagian
dari iman, meskipun tingkatannya bisa bertambah atau berkurang. Sebaliknya,
Murji’ah menganggap amal bukan bagian dari iman.8
o Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan penekanan pada keseimbangan
antara rahmat Allah dan tanggung jawab manusia, sementara Murji’ah cenderung
fokus pada rahmat Allah.
6.4. Perbandingan dengan Syiah
Murji’ah juga berbeda secara
signifikan dari Syiah:
1)
Sikap terhadap Pemimpin
Syiah memiliki pandangan teologis yang kuat
terhadap kepemimpinan, mendasarkan legitimasi hanya pada keturunan tertentu
(Ahlul Bait). Murji’ah, sebaliknya, mendukung ketaatan kepada pemimpin tanpa
mempertimbangkan legitimasi keturunan.9
2)
Prinsip Teologi
Syiah memiliki doktrin yang kompleks tentang iman
dan amal, termasuk penekanan pada konsep taqiyyah (menyembunyikan iman
dalam situasi darurat), yang tidak ditemukan dalam ajaran Murji’ah.10
Kesimpulan
Perbandingan ini menunjukkan
bahwa Murji’ah, meskipun memiliki banyak perbedaan dengan aliran lain,
memainkan peran penting dalam membentuk diskursus teologi Islam. Pendekatan
moderat Murji’ah terhadap dosa besar dan iman menciptakan alternatif terhadap
ekstremisme dan rasionalisme yang berkembang pada masanya.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 81.
[2]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 134.
[3]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 131.
[4]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq
bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 89.
[5]
Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999),
56.
[6]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 97.
[7]
Abu Zahra, Al-Madzahib
al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1949), 215.
[8]
Ibn Taymiyyah, Majmu'
al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Salam, 1997), 8:275.
[9]
Momen Moojan, An
Introduction to Shi’i Islam (New Haven: Yale University Press,
1985), 45.
[10]
Etan Kohlberg, Belief
and Law in Imami Shi’ism (Aldershot: Variorum, 1991), 89.
7.
Pengaruh
Pemikiran Murji’ah dalam Sejarah Islam
Pemikiran Murji’ah, meskipun
sering dianggap kontroversial, memiliki dampak signifikan dalam sejarah Islam,
baik dalam aspek teologis maupun politik. Sikap moderat Murji’ah terhadap dosa
besar dan konsep iman yang inklusif menciptakan pengaruh yang mendalam pada
perkembangan ilmu kalam, stabilitas politik, dan wacana toleransi di dunia
Islam.
7.1.
Pengaruh dalam Ilmu Kalam
Pemikiran Murji’ah
berkontribusi pada diskursus ilmu kalam dengan menekankan konsep iman sebagai
pembenaran hati (tasdiq bil-qalb) dan menunda vonis terhadap pelaku
dosa besar. Pendekatan ini memengaruhi beberapa mazhab teologis di kemudian
hari, termasuk pandangan moderat dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pemikiran Imam
Abu Hanifah tentang iman, yang memisahkan iman dari amal namun tetap menekankan
pentingnya amal, menunjukkan pengaruh pemikiran Murji’ah yang moderat.1
Selain itu, diskusi tentang
iman dan amal yang dipicu oleh Murji’ah memperkaya wacana teologi Islam,
terutama dalam menanggapi ekstremisme Khawarij. Pandangan mereka menekankan
pentingnya rahmat Allah dan memberikan ruang bagi umat Islam yang jatuh dalam
dosa untuk tetap memiliki harapan.2
7.2.
Pengaruh dalam Stabilitas Politik
Murji’ah memiliki dampak
besar dalam menjaga stabilitas politik pada masa Dinasti Umayyah. Dengan
menekankan kepatuhan kepada penguasa tanpa mempertimbangkan moralitas pribadi
mereka, Murji’ah memberikan legitimasi teologis kepada penguasa Umayyah. Hal ini
memungkinkan dinasti tersebut untuk meredam pemberontakan, termasuk yang
dipimpin oleh Khawarij.3
Namun, pandangan ini juga
mendapat kritik dari kelompok-kelompok lain yang menganggap Murji’ah terlalu
pasif dalam menghadapi kezaliman penguasa. Meski demikian, pendekatan Murji’ah
mencerminkan upaya menjaga persatuan umat Islam di tengah konflik politik yang
merajalela.4
7.3.
Pengaruh terhadap Konsep Toleransi
Ajaran Murji’ah tentang
penangguhan vonis dan penolakan untuk mengkafirkan pelaku dosa besar menjadi
landasan bagi wacana toleransi dalam Islam. Pandangan ini mengajarkan bahwa
umat Islam harus menghindari sikap saling menghakimi dalam hal-hal yang hanya
dapat diputuskan oleh Allah. Sikap inklusif ini membantu menciptakan ruang
untuk dialog dan persatuan di tengah keberagaman pemikiran Islam.5
7.4.
Pengaruh dalam Pemikiran Islam Modern
Dalam dunia Islam modern,
beberapa gagasan Murji’ah tentang rahmat Allah dan pentingnya menjaga persatuan
umat terus menjadi bahan diskusi. Misalnya, pendekatan mereka terhadap dosa
besar sering kali digunakan sebagai dasar argumen untuk mencegah sektarianisme
yang mengkafirkan kelompok lain. Meski banyak kritik terhadap ekstremisme
Murji’ah, prinsip moderasi mereka tetap relevan dalam konteks dunia Islam saat
ini yang sering menghadapi tantangan perpecahan.6
Kesimpulan
Pengaruh Murji’ah dalam
sejarah Islam tidak dapat diabaikan. Meskipun sering dikritik, doktrin mereka
membantu membentuk pemikiran teologis dan menjaga stabilitas sosial-politik di
masa awal Islam. Dengan menekankan rahmat Allah dan menolak penghakiman
tergesa-gesa, Murji’ah menawarkan perspektif unik dalam perjalanan sejarah
intelektual Islam.
Catatan Kaki
[1]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 82.
[2]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 134.
[3]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 132.
[4]
Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq
bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 91.
[5]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 99.
[6]
Oliver Leaman, A Brief
Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999),
58.
8.
Kritik
dan Respon Ulama terhadap Murji’ah
Ajaran Murji’ah telah menjadi
subjek perdebatan teologis yang intens di kalangan ulama Islam. Meskipun
beberapa aspek ajaran mereka dianggap moderat, pandangan Murji’ah, terutama
terkait dengan iman dan amal, serta sikap mereka terhadap pelaku dosa besar,
telah memicu kritik tajam dari banyak ulama. Respon ulama terhadap Murji’ah
mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara teologi yang inklusif dan
praktik keislaman yang ketat.
8.1.
Kritik Terhadap Konsep Iman dan Amal
1)
Pemutusan Hubungan Antara
Iman dan Amal
Salah satu kritik utama yang diarahkan kepada
Murji’ah adalah pemisahan iman dari amal. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah,
seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, menegaskan bahwa amal merupakan bagian
integral dari iman. Imam Syafi’i mengatakan, “Iman adalah keyakinan dalam
hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.”1
Kritik ini menyoroti bahaya dari pandangan
Murji’ah yang dapat memunculkan sikap permisif terhadap dosa. Pandangan bahwa
iman cukup sebagai keyakinan hati tanpa amal dianggap melemahkan kewajiban
syariat dalam kehidupan Muslim.
2)
Potensi Meremehkan
Kewajiban Amal
Beberapa ulama juga menganggap bahwa ajaran
Murji’ah dapat memberikan ruang bagi umat Islam untuk mengabaikan amal ibadah.
Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas menolak pandangan Murji’ah, menyatakan bahwa
iman yang tidak disertai amal adalah iman yang tidak sempurna.2
8.2.
Kritik Terhadap Penangguhan Vonis Dosa Besar
Pandangan Murji’ah yang
menunda vonis terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat juga mendapat
kritik luas. Ulama seperti Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa penangguhan tersebut
dapat melemahkan fungsi hukum Islam (hudud) dalam menegakkan keadilan.
Ibn Taymiyyah mengatakan, “Membiarkan dosa besar tanpa penegakan hukum akan
membuka pintu kejahatan yang lebih luas.”3
8.3.
Kritik Terhadap Dukungan Politik kepada
Penguasa
Murji’ah dikritik karena
dianggap memberikan legitimasi kepada penguasa yang tidak adil. Dalam pandangan
sebagian ulama, seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali, sikap pasif Murji’ah
terhadap kezaliman penguasa bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar
yang menjadi kewajiban setiap Muslim.4
8.4.
Respon Moderat Terhadap Murji’ah
Meskipun banyak kritik,
sebagian ulama mengapresiasi aspek moderasi dalam ajaran Murji’ah, terutama
penolakan mereka terhadap pengkafiran pelaku dosa besar. Imam Abu Hanifah,
misalnya, dianggap memiliki pandangan yang sejalan dengan Murji’ah moderat.
Dalam Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah menyatakan bahwa iman seseorang tetap
sah selama ia tidak mengingkari keimanannya, meskipun amalnya buruk.5
8.5.
Perspektif Ulama Kontemporer
Dalam konteks modern,
sebagian ulama melihat bahwa doktrin Murji’ah dapat digunakan untuk melawan
ekstremisme yang mengkafirkan kelompok Muslim lain. Pandangan Murji’ah yang
menekankan rahmat Allah dan inklusivitas iman dianggap relevan dalam
menciptakan harmoni di tengah masyarakat Muslim yang majemuk. Namun, ulama
tetap menekankan bahwa amal tidak boleh diremehkan.6
Kesimpulan
Kritik terhadap Murji’ah
menunjukkan bahwa ajaran mereka tidak sepenuhnya diterima oleh mayoritas ulama
Islam. Namun, respon moderat dari sebagian ulama juga menunjukkan bahwa
aspek-aspek tertentu dari doktrin Murji’ah memiliki relevansi dalam membangun
keseimbangan teologi yang tidak ekstrem. Ajaran mereka tentang rahmat Allah dan
inklusivitas iman tetap menjadi bahan refleksi dalam diskursus teologi Islam
hingga hari ini.
Catatan Kaki
[1]
Imam Syafi’i, Al-Umm
(Cairo: Dar al-Fikr, 1990), 2:205.
[2]
Ahmad bin Hanbal, Musnad
Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut (Beirut: Mu'assasah al-Risalah,
1995), 1:143.
[3]
Ibn Taymiyyah, Majmu'
al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Salam, 1997), 7:397.
[4]
Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Sulthaniyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), 83.
[5]
Abu Hanifah, Fiqh
al-Akbar, diterjemahkan oleh W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1973), 103.
[6]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 134.
9.
Kesimpulan
Murji’ah merupakan salah satu
aliran teologi yang memiliki pengaruh signifikan dalam sejarah pemikiran Islam,
khususnya dalam isu-isu seputar iman, amal, dan dosa besar. Muncul sebagai
respons terhadap konflik teologis dan politik pada masa awal Islam, Murji’ah
menawarkan pendekatan yang berbeda dengan menekankan konsep rahmat Allah dan
menunda penghakiman terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat. Pendekatan
ini tidak hanya menjadi bentuk moderasi di tengah ekstremisme Khawarij dan
rasionalisme Mu’tazilah tetapi juga menjadi perdebatan yang terus hidup hingga
kini.
9.1.
Peran Historis dan Teologis
Dari perspektif historis,
Murji’ah muncul dalam konteks perpecahan politik besar yang terjadi pasca
Fitnah Kubra. Mereka mengusung gagasan teologis yang mencoba meredam konflik
dengan mengambil sikap netral terhadap berbagai pertikaian. Konsep irja’
(penangguhan) yang menjadi inti ajaran mereka memberikan kontribusi pada
perdebatan tentang iman dan amal dalam ilmu kalam. Meskipun ajaran mereka
sering dipandang kontroversial, Murji’ah berhasil memperkenalkan perspektif
yang inklusif terhadap konsep keimanan, menekankan bahwa amal buruk tidak
serta-merta mengeluarkan seseorang dari Islam.1
9.2.
Kritik dan Relevansi Kontemporer
Kritik yang diarahkan kepada
Murji’ah, terutama terkait pemisahan iman dari amal dan sikap permisif terhadap
dosa besar, menunjukkan bahwa ajaran mereka dianggap tidak sejalan dengan
ajaran Islam yang menyeimbangkan antara iman dan amal. Meskipun demikian,
beberapa ulama moderat, seperti Abu Hanifah, memberikan ruang bagi
elemen-elemen ajaran Murji’ah yang dianggap relevan, terutama dalam menolak
pengkafiran pelaku dosa besar.2
Dalam konteks kontemporer,
aspek-aspek tertentu dari ajaran Murji’ah, seperti fokus mereka pada rahmat
Allah dan penolakan untuk menghakimi secara tergesa-gesa, dapat menjadi
landasan untuk melawan ekstremisme dan sektarianisme di dunia Islam. Namun,
pandangan mereka tentang amal tetap memerlukan klarifikasi agar tidak
disalahpahami sebagai pengabaian kewajiban syariat.3
9.3.
Pelajaran dan Implikasi
Studi tentang Murji’ah
memberikan pelajaran penting tentang dinamika pemikiran Islam. Di satu sisi, ia
menunjukkan keragaman pandangan yang berkembang dalam tradisi intelektual
Islam. Di sisi lain, ia menekankan perlunya keseimbangan antara rahmat Allah dan
tanggung jawab manusia dalam beramal. Sebagai bagian dari sejarah teologi
Islam, Murji’ah membantu memperluas diskusi tentang keimanan dan toleransi
dalam masyarakat Muslim.
9.4.
Kesimpulan Akhir
Murji’ah telah meninggalkan
jejak penting dalam sejarah Islam, baik sebagai respons terhadap situasi
sosial-politik maupun sebagai kontribusi pada diskusi teologis yang terus
berlanjut hingga hari ini. Pendekatan mereka terhadap iman, amal, dan dosa
besar, meskipun kontroversial, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana
umat Islam berupaya memahami hubungan antara keyakinan, amal, dan penghakiman
ilahi. Studi yang lebih mendalam tentang Murji’ah dapat membantu umat Islam
untuk memahami warisan intelektual mereka dan mengambil pelajaran untuk
membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.4
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Abdul Karim
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar
al-Ma'arif, 1998), 135.
[2]
Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), 84.
[3]
Fazlur Rahman, Islam
(Chicago: University of Chicago Press, 1979), 135.
[4]
W. Montgomery Watt, The
Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1973), 101.
Daftar Pustaka
Abu Hanifah. (1973). Fiqh al-Akbar (terj. W.
Montgomery Watt). Dalam The Formative Period of Islamic Thought.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad Ahmad (ed.
Shu'aib al-Arna'ut). Beirut: Mu'assasah al-Risalah.
Al-Mawardi. (1994). Al-Ahkam al-Sulthaniyyah.
Cairo: Dar al-Fikr.
Al-Syahrastani, M. b. A. K. (1998). Al-Milal wa
Al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma'arif.
Al-Baghdadi, A. Q. (1984). Al-Farq bayna
Al-Firaq. Cairo: Maktabah Ibn Sina.
Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago:
University of Chicago Press.
Harun Nasution. (1986). Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Ibn Taymiyyah. (1997). Majmu' al-Fatawa.
Riyadh: Dar al-Salam.
Ignaz Goldziher. (1981). Introduction to Islamic
Theology and Law. Princeton: Princeton University Press.
Momen, M. (1985). An Introduction to Shi’i Islam.
New Haven: Yale University Press.
Oliver Leaman. (1999). A Brief Introduction to
Islamic Philosophy. Cambridge: Polity Press.
Syafi’i, I. (1990). Al-Umm. Cairo: Dar
al-Fikr.
W. Montgomery Watt. (1973). The Formative Period
of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
W. Montgomery Watt. (1985). Islamic Philosophy
and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Kohlberg, E. (1991). Belief and Law in Imami
Shi’ism. Aldershot: Variorum.
Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan
Berikut adalah daftar kitab
yang relevan untuk memahami pemikiran Murji’ah, lengkap dengan penjelasan
judul, nama penulis, dan masa hidupnya:
1.
Al-Milal wa Al-Nihal
·
Penulis:
Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani (1086–1153 M / 479–548 H)
·
Penjelasan:
Kitab ini merupakan karya ensiklopedis yang menguraikan berbagai aliran
keagamaan dan pemikiran dalam Islam, termasuk Murji’ah. Al-Syahrastani
memberikan deskripsi rinci tentang doktrin Murji’ah dan membandingkannya dengan
kelompok lainnya.
2.
Al-Farq bayna Al-Firaq
·
Penulis:
Abdul Qahir Al-Baghdadi (m. 1037 M / 429 H)
·
Penjelasan:
Kitab ini berisi klasifikasi aliran-aliran dalam Islam, termasuk Murji’ah.
Al-Baghdadi menjelaskan sub-sekte dalam Murji’ah, pandangan teologis mereka,
dan pengaruhnya dalam sejarah pemikiran Islam.
3.
Kitab al-Irja’
·
Penulis:
Abu Al-Hasan Al-Ash’ari (874–936 M / 260–324 H)
·
Penjelasan:
Sebagian isi kitab ini membahas pandangan Murji’ah dalam konteks diskusi lebih
luas tentang iman dan amal. Al-Ash’ari juga menyebutkan kritik terhadap
Murji’ah dari perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah.
4.
Al-Umm
·
Penulis:
Imam Syafi’i (767–820 M / 150–204 H)
·
Penjelasan:
Dalam karya fikih monumental ini, Imam Syafi’i membahas hubungan iman dan amal
serta mengkritik pandangan Murji’ah yang memisahkan keduanya. Kitab ini
memberikan perspektif fikih terhadap isu teologis.
5.
Majmu’ al-Fatawa
·
Penulis:
Ibn Taymiyyah (1263–1328 M / 661–728 H)
·
Penjelasan:
Kumpulan fatwa Ibn Taymiyyah ini mengandung analisis kritis terhadap ajaran
Murji’ah. Ibn Taymiyyah memberikan argumen bahwa iman mencakup amal, menolak
pandangan Murji’ah yang memisahkan keduanya.
6.
Firaq al-Islamiyyah
·
Penulis:
Ahmad Amin (1886–1954 M)
·
Penjelasan:
Kitab modern ini membahas perkembangan dan sejarah aliran-aliran dalam Islam,
termasuk Murji’ah. Ahmad Amin memberikan analisis historis dan teologis
terhadap pengaruh Murji’ah dalam dunia Islam.
7.
Al-Ahkam al-Sulthaniyyah
·
Penulis:
Al-Mawardi (972–1058 M / 362–450 H)
·
Penjelasan:
Kitab ini membahas aspek politik dan pemerintahan dalam Islam. Al-Mawardi
mengkritik sikap Murji’ah yang dianggap terlalu permisif terhadap penguasa yang
tidak adil.
8.
Fiqh al-Akbar
·
Penulis:
Imam Abu Hanifah (699–767 M / 80–150 H)
·
Penjelasan:
Karya ini memberikan penjelasan tentang iman dan amal dari sudut pandang Imam
Abu Hanifah. Meskipun dikaitkan dengan Murji’ah moderat, Abu Hanifah menekankan
pentingnya amal sebagai konsekuensi iman.
9.
Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah
·
Penulis:
Muhammad Abu Zahra (1898–1974 M)
·
Penjelasan:
Buku ini memberikan ringkasan perkembangan mazhab-mazhab teologi Islam,
termasuk Murji’ah. Abu Zahra menjelaskan doktrin Murji’ah dalam kaitannya
dengan dinamika teologis yang lebih luas.
10.
Sharh al-Aqidah al-Tahawiyyah
·
Penulis:
Ibn Abi al-Izz al-Hanafi (m. 792 H / 1390 M)
·
Penjelasan:
Kitab ini merupakan komentar atas Aqidah al-Tahawiyyah. Dalam bagian
tertentu, Ibn Abi al-Izz membahas pandangan Murji’ah tentang iman dan amal,
serta memberikan kritik dari perspektif Ahlus Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar