Kamis, 26 Desember 2024

Murji’ah: Ajaran dan Doktrin Teologi

 Kajian Komprehensif tentang Murji’ah


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

“Murji’ah: Ajaran dan Doktrin Teologi”


1.           Pendahuluan

Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi yang muncul pada masa-masa awal sejarah Islam, tepatnya pasca peristiwa Fitnah Kubra yang menandai konflik politik dan agama yang sangat kompleks di kalangan umat Islam. Nama "Murji’ah" berasal dari kata Arab irja’, yang berarti "menunda" atau "memberi harapan." Ajaran utama Murji’ah berfokus pada penangguhan vonis terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat, menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Allah. Pandangan ini muncul sebagai reaksi terhadap ekstremisme Khawarij, yang dengan tegas mengkafirkan pelaku dosa besar, serta pandangan Mu’tazilah yang menempatkan pelaku dosa besar dalam posisi antara iman dan kufur (manzilah bayna manzilatayn).1

Secara historis, kemunculan Murji’ah tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik pada era Khulafaurasyidin dan awal Dinasti Umayyah. Konflik besar seperti Perang Jamal, Perang Shiffin, dan arbitrase (tahkim) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan memecah umat Islam ke dalam berbagai kelompok. Dalam situasi ini, Murji’ah mencoba untuk menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dengan tidak tergesa-gesa menghakimi pihak-pihak yang bertikai, seraya menekankan pentingnya persatuan umat.2

Pandangan Murji’ah tentang iman—bahwa iman adalah pembenaran hati dan amal bukanlah syarat sahnya iman—juga menimbulkan perdebatan teologis yang panjang. Pemikiran ini mendapat kritik tajam dari berbagai ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menegaskan bahwa amal merupakan bagian integral dari iman. Meski demikian, keberadaan Murji’ah memberikan wawasan penting dalam memahami perkembangan ilmu kalam, terutama dalam diskusi tentang iman, dosa, dan takfir.3

Kajian tentang Murji’ah penting dilakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai perkembangan pemikiran Islam klasik, sekaligus menyadarkan pembaca akan dinamika intelektual dan politik yang melatarbelakangi munculnya berbagai aliran teologi. Artikel ini bertujuan untuk menelaah Murji’ah dari aspek sejarah, doktrin, dan pengaruhnya, berdasarkan sumber-sumber referensi yang kredibel, baik klasik maupun kontemporer.


Catatan Kaki

[1]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 123.

[2]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 71.

[3]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 73.


2.           Definisi dan Etimologi

Nama Murji’ah berasal dari akar kata bahasa Arab irja’ (إرجاء), yang memiliki beberapa makna, seperti "menunda," "menangguhkan," atau "memberi harapan." Dalam konteks teologi Islam, istilah ini merujuk pada ajaran utama kelompok ini, yaitu menunda keputusan terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap pandangan ekstrem Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar serta pandangan moderat lainnya yang mempertimbangkan posisi antara iman dan kufur.1

Secara terminologi, Murji’ah memiliki makna yang lebih spesifik dalam diskusi teologis Islam. Al-Syahrastani dalam Al-Milal wa Al-Nihal mendefinisikan Murji’ah sebagai kelompok yang percaya bahwa amal perbuatan tidak memengaruhi status keimanan seseorang. Menurut mereka, iman adalah pembenaran hati (tasdiq) semata, tanpa perlu dikaitkan dengan amal perbuatan.2

Dalam karya Al-Farq bayna Al-Firaq, Abdul Qahir Al-Baghdadi memberikan definisi serupa, menambahkan bahwa nama Murji’ah digunakan untuk mencirikan sikap mereka yang menunda vonis dan tidak tergesa-gesa dalam menghakimi pelaku dosa besar. Mereka juga disebut sebagai kelompok yang lebih memprioritaskan keyakinan batin daripada manifestasi amal dalam menilai keimanan seseorang.3

Etimologi kata irja’ juga menunjukkan dimensi psikologis dan politis. Di satu sisi, ia mencerminkan optimisme teologis terhadap rahmat Allah dan pengampunan-Nya; di sisi lain, ia menjadi simbol netralitas dalam konflik-konflik politik pada masa awal Islam. Murji’ah lebih memilih untuk tidak berpihak secara tegas terhadap kelompok-kelompok yang bertikai dalam Perang Jamal, Perang Shiffin, atau pertentangan antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.4

Penggunaan istilah Murji’ah dalam sejarah Islam juga memiliki konotasi yang beragam. Dalam beberapa referensi klasik, istilah ini terkadang digunakan secara peyoratif untuk mencela sikap pasif mereka terhadap isu-isu sosial dan politik yang dianggap penting. Namun, dalam konteks teologi, istilah ini menyoroti doktrin yang secara sistematis berakar pada prinsip keyakinan kepada keadilan Allah.5

Melalui definisi dan etimologi ini, Murji’ah menjadi salah satu aliran teologi yang berkontribusi pada diskusi mendalam tentang hubungan antara iman, amal, dan pengampunan dalam Islam. Pemahaman yang tepat tentang istilah ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan mendekati analisis yang obyektif terhadap doktrin Murji’ah.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 75.

[2]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 126.

[3]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 78.

[4]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 123.

[5]              W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 54.


3.           Latar Belakang Historis

Kemunculan Murji’ah tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-politik dan religius pada masa awal Islam, khususnya setelah wafatnya Rasulullah Saw. Periode ini ditandai dengan konflik internal yang mendalam di kalangan umat Islam, mulai dari fitnah pertama (fitnah kubra), perang saudara, hingga munculnya perpecahan dalam tubuh umat. Latar belakang ini menjadi katalis bagi munculnya berbagai aliran teologi, termasuk Murji’ah, yang mencoba menjawab persoalan besar terkait iman, amal, dan dosa besar.1

3.1.       Konflik Politik pada Masa Khulafaurasyidin

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling bertikai, seperti pendukung Ali bin Abi Thalib, pendukung Mu’awiyah, dan kelompok Khawarij yang menolak keduanya. Perang Shiffin dan arbitrase (tahkim) semakin memperdalam perpecahan ini. Dalam situasi inilah Murji’ah muncul sebagai kelompok yang menyerukan sikap netral dan tidak memihak dalam konflik politik yang terjadi.2

3.2.       Reaksi terhadap Khawarij dan Mu’tazilah

Khawarij, yang muncul sebagai kelompok radikal, mengkafirkan pelaku dosa besar dan bahkan menghalalkan darah mereka. Pandangan ini memicu kekhawatiran di kalangan sebagian umat Islam, terutama yang menganggap bahwa dosa besar tidak serta-merta mengeluarkan seseorang dari Islam. Sebaliknya, Mu’tazilah memperkenalkan doktrin manzilah bayna manzilatayn (posisi di antara iman dan kufur) bagi pelaku dosa besar, tetapi tetap tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan mayoritas.3

Murji’ah hadir sebagai respons terhadap kedua ekstrem ini. Mereka menegaskan bahwa iman adalah pembenaran hati (tasdiq), dan amal perbuatan, meskipun penting, tidak menentukan status keimanan seseorang. Dengan menunda vonis terhadap pelaku dosa besar hingga penghakiman akhir oleh Allah, Murji’ah mencoba mengurangi konflik dan ekstremisme yang semakin meluas.4

3.3.       Netralitas dalam Konflik Sosial-Politik

Selain dimensi teologis, Murji’ah juga memiliki pendekatan politis. Dalam konflik antara Ali dan Mu’awiyah, Murji’ah lebih memilih untuk tidak memberikan penilaian siapa yang benar atau salah. Sikap ini bertujuan menjaga persatuan umat dan menghindari perpecahan lebih lanjut. Namun, pandangan mereka sering dianggap pasif oleh kelompok-kelompok yang lebih aktif terlibat dalam konflik.5

3.4.       Peran Dinasti Umayyah

Pada masa Dinasti Umayyah, doktrin Murji’ah mendapatkan momentum karena dianggap sejalan dengan kebijakan politik dinasti tersebut. Murji’ah memberi legitimasi kepada penguasa dengan menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin tanpa mempersoalkan dosa-dosa pribadi mereka. Hal ini memberikan stabilitas politik, tetapi di sisi lain menimbulkan kritik bahwa Murji’ah menjadi alat penguasa untuk menekan perlawanan.6


Kesimpulan

Latar belakang historis Murji’ah mencerminkan upaya kelompok ini untuk menjawab persoalan-persoalan besar yang muncul dari kompleksitas konflik politik dan teologi di masa awal Islam. Meskipun doktrin mereka sering dikritik, keberadaan Murji’ah memberikan kontribusi signifikan dalam diskusi teologi Islam yang terus berkembang.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 77.

[2]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 130.

[3]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 84.

[4]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 127.

[5]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 95.

[6]              Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law (Princeton: Princeton University Press, 1981), 46.


4.           Ajaran dan Doktrin Teologi Murji’ah

Murji’ah dikenal dengan ajarannya yang menitikberatkan pada konsep iman (iman), amal (‘amal), dan penangguhan vonis terhadap pelaku dosa besar. Doktrin utama Murji’ah lahir sebagai respons terhadap pandangan teologis ekstrem Khawarij dan Mu’tazilah, yang menghubungkan secara erat amal dengan keimanan.1

4.1.       Definisi Iman

Murji’ah memandang iman sebagai keyakinan hati (tasdiq bil-qalb) dan pernyataan lisan (iqrar bil-lisan). Dalam pandangan ini, amal perbuatan bukanlah bagian integral dari iman, melainkan konsekuensi yang dapat memperkuat atau melemahkan iman, tetapi tidak memengaruhi status iman seseorang.2 Imam Abu Hanifah, yang juga sering dikaitkan dengan pandangan moderat Murji’ah, menyatakan bahwa “iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan lisan, sedangkan amal tidak termasuk bagian dari iman.”3

4.2.       Pandangan terhadap Amal Perbuatan

Menurut Murji’ah, amal perbuatan penting tetapi tidak menjadi syarat sahnya iman. Amal hanya dianggap sebagai ekspresi luar dari iman yang dapat berkurang atau bertambah. Dalam hal ini, mereka berbeda dengan pandangan mayoritas Ahlus Sunnah yang menganggap iman dan amal memiliki keterkaitan erat.4 Pendapat ini memberikan ruang bagi pelaku dosa besar untuk tetap dianggap sebagai Muslim, meskipun amal mereka buruk.

4.3.       Pelaku Dosa Besar

Salah satu ajaran paling kontroversial Murji’ah adalah pandangan mereka tentang pelaku dosa besar (kabirah). Murji’ah menolak mengkafirkan seorang Muslim hanya karena dosa besar. Sebaliknya, mereka menekankan bahwa keputusan akhir mengenai nasib pelaku dosa besar sepenuhnya berada di tangan Allah pada Hari Kiamat. Doktrin ini bertentangan langsung dengan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dan Mu’tazilah yang menempatkan pelaku dosa besar dalam status antara iman dan kufur.5

4.4.       Prinsip Penangguhan (Irja’)

Konsep irja’ (penangguhan) adalah inti dari ajaran Murji’ah. Mereka percaya bahwa manusia tidak memiliki otoritas untuk menghakimi status akhir seseorang, baik sebagai penghuni surga maupun neraka. Semua keputusan terkait hal ini harus ditunda hingga Hari Pengadilan. Dalam Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Syahrastani menyebutkan bahwa prinsip ini bertujuan untuk mengurangi polarisasi dan konflik dalam masyarakat Muslim, terutama pada masa-masa fitnah politik dan teologi.6

4.5.       Pengaruh terhadap Kehidupan Politik

Murji’ah juga mempromosikan kepatuhan kepada penguasa, terlepas dari moralitas atau dosa-dosa mereka. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik di tengah konflik yang melanda umat Islam. Namun, pandangan ini mendapat kritik karena dianggap memberikan pembenaran terhadap kezaliman penguasa.7


Kesimpulan

Ajaran Murji’ah memberikan penekanan besar pada rahmat dan keadilan Allah, sambil mencoba menciptakan harmoni sosial di tengah perpecahan. Meskipun pandangan mereka sering dianggap kontroversial, doktrin Murji’ah memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan diskusi tentang iman dan amal dalam Islam.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 78.

[2]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 132.

[3]              Abu Zahra, Al-Madzahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1949), 211.

[4]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 86.

[5]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 129.

[6]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 133.

[7]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 96.


5.           Klasifikasi Murji’ah

Murji’ah tidaklah monolitik; pemikiran mereka berkembang menjadi beberapa cabang dengan pendekatan teologis yang berbeda-beda. Para ulama dan ahli sejarah Islam, seperti Al-Syahrastani dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, mengklasifikasikan Murji’ah berdasarkan intensitas dan interpretasi ajaran mereka. Secara umum, Murji’ah dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: Murji’ah moderat dan Murji’ah ekstrem.1

5.1.       Murji’ah Moderat

Kelompok ini mewakili pandangan yang lebih mendekati Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal keimanan dan amal. Mereka memisahkan iman dari amal, tetapi tetap mengakui pentingnya amal sebagai konsekuensi logis dari keimanan. Murji’ah moderat menegaskan bahwa pelaku dosa besar masih dianggap sebagai Muslim, tetapi amal buruk mereka akan dipertanggungjawabkan di akhirat.2

Contoh dari kelompok ini adalah pandangan yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah. Dalam Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah menyatakan bahwa iman seseorang tidak hilang karena dosa besar, selama ia tidak mengingkari keimanan dalam hatinya. Namun, amal perbuatan tetap diperhitungkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.3

5.2.       Murji’ah Ekstrem

Murji’ah ekstrem mengambil posisi yang jauh lebih radikal dengan memisahkan iman dan amal secara total. Mereka berpendapat bahwa selama seseorang memiliki keyakinan dalam hatinya dan mengucapkan syahadat, ia tetap dianggap beriman, meskipun tidak melakukan amal kebaikan sama sekali atau bahkan melakukan dosa besar secara terus-menerus.4

Tokoh utama dari Murji’ah ekstrem adalah Jahm bin Safwan, yang juga dikenal sebagai pendiri Jahmiyah. Ia berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran hati, tanpa memerlukan pernyataan lisan atau amal perbuatan sama sekali. Pendapat ini mendapat kritikan keras dari mayoritas ulama karena dianggap meremehkan pentingnya amal dalam Islam.5

5.3.       Klasifikasi Berdasarkan Aliran Fikiran

Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-Farq bayna Al-Firaq lebih lanjut membagi Murji’ah menjadi empat sub-kelompok berdasarkan detail ajaran mereka:

1)                  Murji’ah Abu Hanifah: Mempertahankan pandangan moderat, bahwa amal bukan bagian dari iman tetapi tetap penting.

2)                  Murji’ah Jahmiyah: Menganggap iman hanya sebagai keyakinan hati tanpa amal atau pernyataan lisan.

3)                  Murji’ah Karramiyah: Menganggap iman sebagai pengucapan lisan saja, tanpa syarat keyakinan hati atau amal.6

4)                  Murji’ah Shalahiyah: Kelompok ini berpendapat bahwa iman adalah gabungan dari keyakinan hati dan pengucapan lisan, tetapi amal tidak memengaruhi status iman.

5.4.       Perbandingan Antara Kelompok

Murji’ah moderat lebih dapat diterima dalam konteks Ahlus Sunnah wal Jamaah karena tetap mengakui pentingnya amal dalam hubungan manusia dengan Allah. Sebaliknya, Murji’ah ekstrem sering kali dikritik karena pandangan mereka dianggap mengurangi nilai syariat dan berpotensi meremehkan kewajiban amal.


Kesimpulan

Klasifikasi Murji’ah menunjukkan keragaman pandangan dalam aliran ini. Meski sering dianggap sebagai satu entitas, Murji’ah sebenarnya mencerminkan berbagai respons intelektual terhadap persoalan iman dan amal dalam Islam. Perbedaan ini menjadi cerminan dinamika teologis di masa-masa awal Islam, yang terus memengaruhi perkembangan pemikiran keislaman hingga kini.


Catatan Kaki

[1]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 133.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 79.

[3]              Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar, diterjemahkan oleh W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.

[4]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 130.

[5]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 90.

[6]              Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law (Princeton: Princeton University Press, 1981), 47.


6.           Perbandingan dengan Aliran Lain

Murji’ah memiliki posisi teologis yang unik dalam sejarah Islam. Ajaran-ajaran mereka sering kali dipandang sebagai respons terhadap ekstremisme Khawarij, pandangan rasionalis Mu’tazilah, dan doktrin moderat Ahlus Sunnah wal Jamaah. Perbandingan dengan aliran-aliran lain menunjukkan bagaimana Murji’ah mengambil pendekatan berbeda terhadap isu-isu fundamental, seperti iman, amal, dan dosa besar.

6.1.       Perbandingan dengan Khawarij

Khawarij dan Murji’ah berada di spektrum yang berlawanan dalam hal iman dan amal:

1)                  Dosa Besar

Khawarij menganggap pelaku dosa besar keluar dari Islam (kafir), sementara Murji’ah menolak mengkafirkan pelaku dosa besar dan menyerahkan keputusan kepada Allah pada Hari Kiamat.1

2)                  Konsepsi Iman

Khawarij mendefinisikan iman sebagai kombinasi keyakinan, ucapan, dan amal. Bagi mereka, iman tidak sah tanpa amal yang sesuai. Sebaliknya, Murji’ah memisahkan iman dari amal, sehingga seseorang tetap dianggap beriman meski amalnya buruk.2

3)                  Sikap Sosial dan Politik

Khawarij sering memberontak terhadap pemimpin yang dianggap tidak adil, sementara Murji’ah cenderung mendukung ketaatan kepada penguasa, terlepas dari moralitas pribadi mereka, demi menjaga stabilitas politik.3

6.2.       Perbandingan dengan Mu’tazilah

Mu’tazilah dan Murji’ah memiliki pandangan yang bertolak belakang dalam isu pelaku dosa besar:

1)                  Dosa Besar

Mu’tazilah memperkenalkan konsep manzilah bayna manzilatayn (posisi di antara iman dan kufur), yang berarti pelaku dosa besar tidak dianggap kafir, tetapi juga tidak disebut sebagai mukmin. Sebaliknya, Murji’ah menegaskan bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin selama masih memiliki iman dalam hati.4

2)                  Rasionalisme vs Penyerahan

Mu’tazilah menekankan rasionalisme dan kebebasan manusia dalam memilih amalnya, sementara Murji’ah lebih menekankan pada rahmat Allah dan menangguhkan penilaian manusia.5

3)                  Konsepsi Iman

Bagi Mu’tazilah, iman mencakup amal yang harus selaras dengan keyakinan, sedangkan Murji’ah membatasi iman pada aspek keyakinan hati dan pengakuan lisan.6

6.3.       Perbandingan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah

Murji’ah memiliki kesamaan dan perbedaan signifikan dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah:

1)                  Kesamaan

o    Sama-sama menolak mengkafirkan pelaku dosa besar.

o    Sama-sama menekankan ketaatan kepada penguasa demi stabilitas sosial-politik.7

2)                  Perbedaan

o     Ahlus Sunnah wal Jamaah mengintegrasikan amal sebagai bagian dari iman, meskipun tingkatannya bisa bertambah atau berkurang. Sebaliknya, Murji’ah menganggap amal bukan bagian dari iman.8

o     Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan penekanan pada keseimbangan antara rahmat Allah dan tanggung jawab manusia, sementara Murji’ah cenderung fokus pada rahmat Allah.

6.4.       Perbandingan dengan Syiah

Murji’ah juga berbeda secara signifikan dari Syiah:

1)                  Sikap terhadap Pemimpin

Syiah memiliki pandangan teologis yang kuat terhadap kepemimpinan, mendasarkan legitimasi hanya pada keturunan tertentu (Ahlul Bait). Murji’ah, sebaliknya, mendukung ketaatan kepada pemimpin tanpa mempertimbangkan legitimasi keturunan.9

2)                  Prinsip Teologi

Syiah memiliki doktrin yang kompleks tentang iman dan amal, termasuk penekanan pada konsep taqiyyah (menyembunyikan iman dalam situasi darurat), yang tidak ditemukan dalam ajaran Murji’ah.10


Kesimpulan

Perbandingan ini menunjukkan bahwa Murji’ah, meskipun memiliki banyak perbedaan dengan aliran lain, memainkan peran penting dalam membentuk diskursus teologi Islam. Pendekatan moderat Murji’ah terhadap dosa besar dan iman menciptakan alternatif terhadap ekstremisme dan rasionalisme yang berkembang pada masanya.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 81.

[2]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 134.

[3]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 131.

[4]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 89.

[5]              Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 56.

[6]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 97.

[7]              Abu Zahra, Al-Madzahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1949), 215.

[8]              Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Salam, 1997), 8:275.

[9]              Momen Moojan, An Introduction to Shi’i Islam (New Haven: Yale University Press, 1985), 45.

[10]          Etan Kohlberg, Belief and Law in Imami Shi’ism (Aldershot: Variorum, 1991), 89.


7.           Pengaruh Pemikiran Murji’ah dalam Sejarah Islam

Pemikiran Murji’ah, meskipun sering dianggap kontroversial, memiliki dampak signifikan dalam sejarah Islam, baik dalam aspek teologis maupun politik. Sikap moderat Murji’ah terhadap dosa besar dan konsep iman yang inklusif menciptakan pengaruh yang mendalam pada perkembangan ilmu kalam, stabilitas politik, dan wacana toleransi di dunia Islam.

7.1.       Pengaruh dalam Ilmu Kalam

Pemikiran Murji’ah berkontribusi pada diskursus ilmu kalam dengan menekankan konsep iman sebagai pembenaran hati (tasdiq bil-qalb) dan menunda vonis terhadap pelaku dosa besar. Pendekatan ini memengaruhi beberapa mazhab teologis di kemudian hari, termasuk pandangan moderat dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pemikiran Imam Abu Hanifah tentang iman, yang memisahkan iman dari amal namun tetap menekankan pentingnya amal, menunjukkan pengaruh pemikiran Murji’ah yang moderat.1

Selain itu, diskusi tentang iman dan amal yang dipicu oleh Murji’ah memperkaya wacana teologi Islam, terutama dalam menanggapi ekstremisme Khawarij. Pandangan mereka menekankan pentingnya rahmat Allah dan memberikan ruang bagi umat Islam yang jatuh dalam dosa untuk tetap memiliki harapan.2

7.2.       Pengaruh dalam Stabilitas Politik

Murji’ah memiliki dampak besar dalam menjaga stabilitas politik pada masa Dinasti Umayyah. Dengan menekankan kepatuhan kepada penguasa tanpa mempertimbangkan moralitas pribadi mereka, Murji’ah memberikan legitimasi teologis kepada penguasa Umayyah. Hal ini memungkinkan dinasti tersebut untuk meredam pemberontakan, termasuk yang dipimpin oleh Khawarij.3

Namun, pandangan ini juga mendapat kritik dari kelompok-kelompok lain yang menganggap Murji’ah terlalu pasif dalam menghadapi kezaliman penguasa. Meski demikian, pendekatan Murji’ah mencerminkan upaya menjaga persatuan umat Islam di tengah konflik politik yang merajalela.4

7.3.       Pengaruh terhadap Konsep Toleransi

Ajaran Murji’ah tentang penangguhan vonis dan penolakan untuk mengkafirkan pelaku dosa besar menjadi landasan bagi wacana toleransi dalam Islam. Pandangan ini mengajarkan bahwa umat Islam harus menghindari sikap saling menghakimi dalam hal-hal yang hanya dapat diputuskan oleh Allah. Sikap inklusif ini membantu menciptakan ruang untuk dialog dan persatuan di tengah keberagaman pemikiran Islam.5

7.4.       Pengaruh dalam Pemikiran Islam Modern

Dalam dunia Islam modern, beberapa gagasan Murji’ah tentang rahmat Allah dan pentingnya menjaga persatuan umat terus menjadi bahan diskusi. Misalnya, pendekatan mereka terhadap dosa besar sering kali digunakan sebagai dasar argumen untuk mencegah sektarianisme yang mengkafirkan kelompok lain. Meski banyak kritik terhadap ekstremisme Murji’ah, prinsip moderasi mereka tetap relevan dalam konteks dunia Islam saat ini yang sering menghadapi tantangan perpecahan.6


Kesimpulan

Pengaruh Murji’ah dalam sejarah Islam tidak dapat diabaikan. Meskipun sering dikritik, doktrin mereka membantu membentuk pemikiran teologis dan menjaga stabilitas sosial-politik di masa awal Islam. Dengan menekankan rahmat Allah dan menolak penghakiman tergesa-gesa, Murji’ah menawarkan perspektif unik dalam perjalanan sejarah intelektual Islam.


Catatan Kaki

[1]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 82.

[2]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 134.

[3]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 132.

[4]              Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq (Cairo: Maktabah Ibn Sina, 1984), 91.

[5]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 99.

[6]              Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 58.


8.           Kritik dan Respon Ulama terhadap Murji’ah

Ajaran Murji’ah telah menjadi subjek perdebatan teologis yang intens di kalangan ulama Islam. Meskipun beberapa aspek ajaran mereka dianggap moderat, pandangan Murji’ah, terutama terkait dengan iman dan amal, serta sikap mereka terhadap pelaku dosa besar, telah memicu kritik tajam dari banyak ulama. Respon ulama terhadap Murji’ah mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara teologi yang inklusif dan praktik keislaman yang ketat.

8.1.       Kritik Terhadap Konsep Iman dan Amal

1)                  Pemutusan Hubungan Antara Iman dan Amal

Salah satu kritik utama yang diarahkan kepada Murji’ah adalah pemisahan iman dari amal. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, menegaskan bahwa amal merupakan bagian integral dari iman. Imam Syafi’i mengatakan, “Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota tubuh.1

Kritik ini menyoroti bahaya dari pandangan Murji’ah yang dapat memunculkan sikap permisif terhadap dosa. Pandangan bahwa iman cukup sebagai keyakinan hati tanpa amal dianggap melemahkan kewajiban syariat dalam kehidupan Muslim.

2)                  Potensi Meremehkan Kewajiban Amal

Beberapa ulama juga menganggap bahwa ajaran Murji’ah dapat memberikan ruang bagi umat Islam untuk mengabaikan amal ibadah. Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas menolak pandangan Murji’ah, menyatakan bahwa iman yang tidak disertai amal adalah iman yang tidak sempurna.2

8.2.       Kritik Terhadap Penangguhan Vonis Dosa Besar

Pandangan Murji’ah yang menunda vonis terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat juga mendapat kritik luas. Ulama seperti Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa penangguhan tersebut dapat melemahkan fungsi hukum Islam (hudud) dalam menegakkan keadilan. Ibn Taymiyyah mengatakan, “Membiarkan dosa besar tanpa penegakan hukum akan membuka pintu kejahatan yang lebih luas.”3

8.3.       Kritik Terhadap Dukungan Politik kepada Penguasa

Murji’ah dikritik karena dianggap memberikan legitimasi kepada penguasa yang tidak adil. Dalam pandangan sebagian ulama, seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali, sikap pasif Murji’ah terhadap kezaliman penguasa bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban setiap Muslim.4

8.4.       Respon Moderat Terhadap Murji’ah

Meskipun banyak kritik, sebagian ulama mengapresiasi aspek moderasi dalam ajaran Murji’ah, terutama penolakan mereka terhadap pengkafiran pelaku dosa besar. Imam Abu Hanifah, misalnya, dianggap memiliki pandangan yang sejalan dengan Murji’ah moderat. Dalam Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah menyatakan bahwa iman seseorang tetap sah selama ia tidak mengingkari keimanannya, meskipun amalnya buruk.5

8.5.       Perspektif Ulama Kontemporer

Dalam konteks modern, sebagian ulama melihat bahwa doktrin Murji’ah dapat digunakan untuk melawan ekstremisme yang mengkafirkan kelompok Muslim lain. Pandangan Murji’ah yang menekankan rahmat Allah dan inklusivitas iman dianggap relevan dalam menciptakan harmoni di tengah masyarakat Muslim yang majemuk. Namun, ulama tetap menekankan bahwa amal tidak boleh diremehkan.6


Kesimpulan

Kritik terhadap Murji’ah menunjukkan bahwa ajaran mereka tidak sepenuhnya diterima oleh mayoritas ulama Islam. Namun, respon moderat dari sebagian ulama juga menunjukkan bahwa aspek-aspek tertentu dari doktrin Murji’ah memiliki relevansi dalam membangun keseimbangan teologi yang tidak ekstrem. Ajaran mereka tentang rahmat Allah dan inklusivitas iman tetap menjadi bahan refleksi dalam diskursus teologi Islam hingga hari ini.


Catatan Kaki

[1]              Imam Syafi’i, Al-Umm (Cairo: Dar al-Fikr, 1990), 2:205.

[2]              Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, ed. Shu'aib al-Arna'ut (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1995), 1:143.

[3]              Ibn Taymiyyah, Majmu' al-Fatawa (Riyadh: Dar al-Salam, 1997), 7:397.

[4]              Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Cairo: Dar al-Fikr, 1994), 83.

[5]              Abu Hanifah, Fiqh al-Akbar, diterjemahkan oleh W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 103.

[6]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 134.


9.           Kesimpulan

Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi yang memiliki pengaruh signifikan dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya dalam isu-isu seputar iman, amal, dan dosa besar. Muncul sebagai respons terhadap konflik teologis dan politik pada masa awal Islam, Murji’ah menawarkan pendekatan yang berbeda dengan menekankan konsep rahmat Allah dan menunda penghakiman terhadap pelaku dosa besar hingga Hari Kiamat. Pendekatan ini tidak hanya menjadi bentuk moderasi di tengah ekstremisme Khawarij dan rasionalisme Mu’tazilah tetapi juga menjadi perdebatan yang terus hidup hingga kini.

9.1.       Peran Historis dan Teologis

Dari perspektif historis, Murji’ah muncul dalam konteks perpecahan politik besar yang terjadi pasca Fitnah Kubra. Mereka mengusung gagasan teologis yang mencoba meredam konflik dengan mengambil sikap netral terhadap berbagai pertikaian. Konsep irja’ (penangguhan) yang menjadi inti ajaran mereka memberikan kontribusi pada perdebatan tentang iman dan amal dalam ilmu kalam. Meskipun ajaran mereka sering dipandang kontroversial, Murji’ah berhasil memperkenalkan perspektif yang inklusif terhadap konsep keimanan, menekankan bahwa amal buruk tidak serta-merta mengeluarkan seseorang dari Islam.1

9.2.       Kritik dan Relevansi Kontemporer

Kritik yang diarahkan kepada Murji’ah, terutama terkait pemisahan iman dari amal dan sikap permisif terhadap dosa besar, menunjukkan bahwa ajaran mereka dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menyeimbangkan antara iman dan amal. Meskipun demikian, beberapa ulama moderat, seperti Abu Hanifah, memberikan ruang bagi elemen-elemen ajaran Murji’ah yang dianggap relevan, terutama dalam menolak pengkafiran pelaku dosa besar.2

Dalam konteks kontemporer, aspek-aspek tertentu dari ajaran Murji’ah, seperti fokus mereka pada rahmat Allah dan penolakan untuk menghakimi secara tergesa-gesa, dapat menjadi landasan untuk melawan ekstremisme dan sektarianisme di dunia Islam. Namun, pandangan mereka tentang amal tetap memerlukan klarifikasi agar tidak disalahpahami sebagai pengabaian kewajiban syariat.3

9.3.       Pelajaran dan Implikasi

Studi tentang Murji’ah memberikan pelajaran penting tentang dinamika pemikiran Islam. Di satu sisi, ia menunjukkan keragaman pandangan yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam. Di sisi lain, ia menekankan perlunya keseimbangan antara rahmat Allah dan tanggung jawab manusia dalam beramal. Sebagai bagian dari sejarah teologi Islam, Murji’ah membantu memperluas diskusi tentang keimanan dan toleransi dalam masyarakat Muslim.

9.4.       Kesimpulan Akhir

Murji’ah telah meninggalkan jejak penting dalam sejarah Islam, baik sebagai respons terhadap situasi sosial-politik maupun sebagai kontribusi pada diskusi teologis yang terus berlanjut hingga hari ini. Pendekatan mereka terhadap iman, amal, dan dosa besar, meskipun kontroversial, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana umat Islam berupaya memahami hubungan antara keyakinan, amal, dan penghakiman ilahi. Studi yang lebih mendalam tentang Murji’ah dapat membantu umat Islam untuk memahami warisan intelektual mereka dan mengambil pelajaran untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.4


Catatan Kaki

[1]              Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1998), 135.

[2]              Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 84.

[3]              Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 135.

[4]              W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 101.


Daftar Pustaka

Abu Hanifah. (1973). Fiqh al-Akbar (terj. W. Montgomery Watt). Dalam The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Ahmad bin Hanbal. (1995). Musnad Ahmad (ed. Shu'aib al-Arna'ut). Beirut: Mu'assasah al-Risalah.

Al-Mawardi. (1994). Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Cairo: Dar al-Fikr.

Al-Syahrastani, M. b. A. K. (1998). Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma'arif.

Al-Baghdadi, A. Q. (1984). Al-Farq bayna Al-Firaq. Cairo: Maktabah Ibn Sina.

Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Harun Nasution. (1986). Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

Ibn Taymiyyah. (1997). Majmu' al-Fatawa. Riyadh: Dar al-Salam.

Ignaz Goldziher. (1981). Introduction to Islamic Theology and Law. Princeton: Princeton University Press.

Momen, M. (1985). An Introduction to Shi’i Islam. New Haven: Yale University Press.

Oliver Leaman. (1999). A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge: Polity Press.

Syafi’i, I. (1990). Al-Umm. Cairo: Dar al-Fikr.

W. Montgomery Watt. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

W. Montgomery Watt. (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Kohlberg, E. (1991). Belief and Law in Imami Shi’ism. Aldershot: Variorum.


Lampiran: Daftar Kitab yang Relevan

Berikut adalah daftar kitab yang relevan untuk memahami pemikiran Murji’ah, lengkap dengan penjelasan judul, nama penulis, dan masa hidupnya:


1.                 Al-Milal wa Al-Nihal

·                     Penulis: Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani (1086–1153 M / 479–548 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini merupakan karya ensiklopedis yang menguraikan berbagai aliran keagamaan dan pemikiran dalam Islam, termasuk Murji’ah. Al-Syahrastani memberikan deskripsi rinci tentang doktrin Murji’ah dan membandingkannya dengan kelompok lainnya.


2.            Al-Farq bayna Al-Firaq

·                     Penulis: Abdul Qahir Al-Baghdadi (m. 1037 M / 429 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini berisi klasifikasi aliran-aliran dalam Islam, termasuk Murji’ah. Al-Baghdadi menjelaskan sub-sekte dalam Murji’ah, pandangan teologis mereka, dan pengaruhnya dalam sejarah pemikiran Islam.


3.            Kitab al-Irja’

·                     Penulis: Abu Al-Hasan Al-Ash’ari (874–936 M / 260–324 H)

·                     Penjelasan: Sebagian isi kitab ini membahas pandangan Murji’ah dalam konteks diskusi lebih luas tentang iman dan amal. Al-Ash’ari juga menyebutkan kritik terhadap Murji’ah dari perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah.


4.            Al-Umm

·                     Penulis: Imam Syafi’i (767–820 M / 150–204 H)

·                     Penjelasan: Dalam karya fikih monumental ini, Imam Syafi’i membahas hubungan iman dan amal serta mengkritik pandangan Murji’ah yang memisahkan keduanya. Kitab ini memberikan perspektif fikih terhadap isu teologis.


5.            Majmu’ al-Fatawa

·                     Penulis: Ibn Taymiyyah (1263–1328 M / 661–728 H)

·                     Penjelasan: Kumpulan fatwa Ibn Taymiyyah ini mengandung analisis kritis terhadap ajaran Murji’ah. Ibn Taymiyyah memberikan argumen bahwa iman mencakup amal, menolak pandangan Murji’ah yang memisahkan keduanya.


6.            Firaq al-Islamiyyah

·                     Penulis: Ahmad Amin (1886–1954 M)

·                     Penjelasan: Kitab modern ini membahas perkembangan dan sejarah aliran-aliran dalam Islam, termasuk Murji’ah. Ahmad Amin memberikan analisis historis dan teologis terhadap pengaruh Murji’ah dalam dunia Islam.


7.            Al-Ahkam al-Sulthaniyyah

·                     Penulis: Al-Mawardi (972–1058 M / 362–450 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini membahas aspek politik dan pemerintahan dalam Islam. Al-Mawardi mengkritik sikap Murji’ah yang dianggap terlalu permisif terhadap penguasa yang tidak adil.


8.            Fiqh al-Akbar

·                     Penulis: Imam Abu Hanifah (699–767 M / 80–150 H)

·                     Penjelasan: Karya ini memberikan penjelasan tentang iman dan amal dari sudut pandang Imam Abu Hanifah. Meskipun dikaitkan dengan Murji’ah moderat, Abu Hanifah menekankan pentingnya amal sebagai konsekuensi iman.


9.            Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah

·                     Penulis: Muhammad Abu Zahra (1898–1974 M)

·                     Penjelasan: Buku ini memberikan ringkasan perkembangan mazhab-mazhab teologi Islam, termasuk Murji’ah. Abu Zahra menjelaskan doktrin Murji’ah dalam kaitannya dengan dinamika teologis yang lebih luas.


10.         Sharh al-Aqidah al-Tahawiyyah

·                     Penulis: Ibn Abi al-Izz al-Hanafi (m. 792 H / 1390 M)

·                     Penjelasan: Kitab ini merupakan komentar atas Aqidah al-Tahawiyyah. Dalam bagian tertentu, Ibn Abi al-Izz membahas pandangan Murji’ah tentang iman dan amal, serta memberikan kritik dari perspektif Ahlus Sunnah.


  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar