Kajian Komprehensif tentang Khawarij
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pengetahuan akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan
pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif
untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam
sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
“Khawarij: Pemikiran dan
Doktrin Khawarij”
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Fenomena Khawarij merupakan
salah satu isu penting dalam sejarah Islam yang memiliki dampak besar terhadap
dinamika sosial, politik, dan keagamaan umat Islam. Khawarij, sebagai kelompok
pertama yang terpecah dari tubuh umat Islam, dikenal karena sikap teologis dan
politik yang ekstrem, terutama terhadap dosa besar dan legitimasi kekuasaan.¹
Dalam perjalanan sejarah, Khawarij tidak hanya memengaruhi perkembangan teologi
Islam tetapi juga menjadi cikal bakal ekstremisme yang terus relevan hingga
masa kini.
Peristiwa munculnya Khawarij
tidak bisa dilepaskan dari konflik politik yang terjadi setelah wafatnya
Rasulullah Muhammad Saw., khususnya dalam konteks kekhalifahan.² Ketidakpuasan
terhadap hasil tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi titik awal pembentukan ideologi Khawarij.³
Sikap keras mereka terhadap Ali dan Muawiyah, disertai klaim atas kebenaran
tunggal dalam memahami agama, mencerminkan ciri khas ekstremisme yang
mengabaikan prinsip moderasi Islam.⁴
Kajian tentang Khawarij
sangat relevan, terutama dalam konteks modern, di mana muncul kelompok-kelompok
ekstrem yang memiliki pola pemikiran serupa. Sebagai umat Islam yang berpegang
teguh pada prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah, memahami akar sejarah dan pemikiran
Khawarij adalah upaya untuk meneguhkan sikap moderat dalam beragama sekaligus
menangkal pengaruh ideologi ekstrem.⁵
1.2.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang mendalam tentang Khawarij dari perspektif sejarah,
teologi, dan sosiologi Islam. Dengan mendasarkan pembahasan pada sumber-sumber
klasik yang kredibel seperti Al-Milal wa Al-Nihal karya Al-Syahrastani⁶
dan Maqalat Al-Islamiyyin karya Al-Asy’ari,⁷ artikel ini juga bertujuan
untuk mengurai dampak sosial-politik yang ditimbulkan oleh Khawarij terhadap
umat Islam.
Selain itu, artikel ini
berupaya menunjukkan bagaimana Khawarij menjadi fenomena yang terus berulang
dalam berbagai bentuk ekstremisme sepanjang sejarah Islam hingga masa kini. Dengan
pendekatan analitis dan objektif, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan
pelajaran berharga bagi umat Islam untuk tetap berada di jalur moderasi (wasathiyyah)
yang merupakan inti dari ajaran Islam.⁸
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.
[2]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London:
Macmillan, 2002), 235.
[3]
William Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1968), 54.
[4]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol.
12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 300.
[5]
Al-Azhar Islamic Research Academy, Al-Wasatiyyah: The Concept of
Moderation in Islam (Cairo: Al-Azhar Press, 2010), 18.
[6]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 110.
[7]
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf
Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 85.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism
(Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
2.
Definisi
dan Terminologi Khawarij
2.1.
Asal Usul Istilah
"Khawarij"
Istilah "Khawarij"
berasal dari kata kerja Arab kharaja (خرج)
yang berarti "keluar" atau "memberontak."¹
Secara etimologis, istilah ini mengacu pada kelompok yang memisahkan diri dari
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim (arbitrase)
dalam Perang Shiffin.² Dalam literatur klasik, mereka disebut sebagai ahl
al-baghy (orang-orang yang memberontak), yang dalam konteks ini
menggambarkan pemberontakan terhadap otoritas legitimasi pemerintahan Islam.³
Menurut Al-Syahrastani dalam Al-Milal
wa Al-Nihal, istilah ini tidak hanya memiliki dimensi politik tetapi juga
dimensi teologis, yaitu sikap mereka yang ekstrem dalam menilai iman dan
kufur.⁴ Secara historis, istilah "Khawarij" digunakan oleh
lawan-lawan mereka sebagai label, sedangkan mereka sendiri sering menyebut diri
sebagai ahl al-tahkim (para pendukung hukum Allah) atau ahl al-haqq
(orang-orang yang berada di atas kebenaran).⁵
2.2.
Definisi Khawarij Menurut
Para Ulama
Para ulama klasik seperti Ibn
Taimiyah dan Ibn Hajar mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang
meninggalkan jamaah kaum Muslimin dan memandang penguasa yang tidak sesuai
dengan standar mereka sebagai kafir.⁶ Ibn Taimiyah menekankan bahwa
karakteristik utama Khawarij adalah ekstremisme dalam takfir, yaitu pengkafiran
terhadap Muslim lainnya yang dianggap tidak sejalan dengan keyakinan mereka.⁷
Menurut Al-Asy’ari dalam Maqalat
Al-Islamiyyin, Khawarij adalah kelompok pertama dalam sejarah Islam yang
memisahkan diri dari jamaah Muslim dengan dalih agama, meskipun pada hakikatnya
perpecahan ini berakar pada persoalan politik.⁸ Al-Ghazali, dalam Fadha'ih
al-Batiniyyah, menambahkan bahwa mereka adalah contoh klasik dari kelompok
yang menjadikan penafsiran literal terhadap teks agama sebagai landasan
ideologi mereka tanpa memperhatikan konteks dan maksud sebenarnya.⁹
2.3.
Karakteristik Umum Khawarij
Khawarij memiliki sejumlah
karakteristik yang konsisten dalam berbagai sub-sekte mereka, yang disebutkan
oleh para ulama klasik, antara lain:
1)
Pengkafiran Pelaku Dosa Besar
Khawarij
meyakini bahwa siapa saja yang melakukan dosa besar, seperti meninggalkan
shalat atau minum khamar, otomatis menjadi kafir.¹⁰ Pandangan ini bertentangan
dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang menganggap dosa besar tidak mengeluarkan
seseorang dari Islam selama ia masih mengakui keimanan.¹¹
2)
Penolakan terhadap Kekuasaan Legitim
Mereka
menolak kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar agama menurut mereka,
termasuk menolak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib setelah tahkim.¹² Dalam
pandangan Khawarij, kekuasaan hanya sah jika dipegang oleh seseorang yang
dianggap sempurna secara iman menurut versi mereka sendiri.¹³
3)
Pemahaman Tekstual dan Literal
Dalam
memahami Al-Qur'an, mereka cenderung menggunakan pendekatan literal tanpa
mempertimbangkan tafsir yang lebih dalam atau kontekstual.¹⁴ Hal ini membuat
mereka sering salah memahami teks-teks agama, sehingga menghasilkan sikap yang
ekstrem.
Catatan Kaki
[1]
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, 4th ed.
(Urbana, IL: Spoken Language Services, 1976), 258.
[2]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.
[3]
Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub,
1998), 67.
[4]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 107.
[5]
Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1968), 58.
[6]
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim
(Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.
[7]
Ibid., 5:242.
[8]
Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo:
Dar al-Kutub, 1969), 89.
[9]
Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989),
128.
[10]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol.
12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 302.
[11]
Ibid.
[12]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London:
Macmillan, 2002), 238.
[13]
Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society (Oxford:
Clarendon Press, 1961), 46.
[14]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 42.
3.
Sejarah
Munculnya Khawarij
3.1.
Latar Belakang Sejarah
Kemunculan Khawarij tidak
dapat dipisahkan dari konteks politik dan sosial pada masa kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib. Setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw., umat Islam menghadapi
berbagai tantangan, termasuk konflik politik yang memuncak pada masa
pemerintahan Ali. Salah satu konflik yang paling signifikan adalah Perang
Shiffin antara pasukan Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan.¹ Perang ini muncul
akibat perbedaan pendapat mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematian
Utsman bin Affan, khalifah ketiga.²
Dalam Perang Shiffin, terjadi
peristiwa yang dikenal sebagai tahkim (arbitrase), yaitu keputusan untuk
menunjuk dua juru damai guna menyelesaikan perselisihan.³ Peristiwa ini menjadi
titik awal kemunculan kelompok yang dikenal sebagai Khawarij, karena sebagian
pendukung Ali menganggap keputusan tersebut sebagai pengkhianatan terhadap
prinsip bahwa "hanya Allah yang berhak memberikan keputusan."⁴
3.2.
Peristiwa Tahkim dan
Pemisahan Khawarij
“La hukma illa lillah”
(tidak ada hukum kecuali hukum Allah) menjadi semboyan Khawarij yang
mencerminkan protes mereka terhadap tahkim.⁵ Menurut Al-Syahrastani dalam Al-Milal
wa Al-Nihal, slogan ini digunakan sebagai dalih untuk menolak otoritas
manusia dalam memutuskan perkara agama.⁶ Dalam pandangan mereka, baik Ali
maupun Muawiyah telah menyimpang dari ajaran Islam dengan menyetujui arbitrase
yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak Allah.⁷
Sebanyak 12.000 orang dari
pasukan Ali meninggalkan barisan dan membentuk kelompok sendiri di daerah
Harura, sehingga mereka sering disebut Haruriyah.⁸ Mereka kemudian
menyatakan bahwa Ali dan Muawiyah telah kafir, karena menerima hukum selain
hukum Allah.⁹
3.3.
Perpecahan Internal dan
Kelompok-Kelompok Khawarij
Setelah terpisah dari pasukan
Ali, Khawarij tidak tetap menjadi satu kelompok. Mereka terpecah menjadi
beberapa sub-sekte, masing-masing dengan pandangan yang berbeda terkait teologi
dan strategi politik.¹⁰ Di antara sub-sekte terbesar adalah:
1)
Azariqah
Kelompok ini
dipimpin oleh Nafi’ bin Al-Azraq dan dikenal sebagai salah satu cabang Khawarij
yang paling ekstrem. Mereka mengkafirkan semua Muslim yang tidak bergabung
dengan kelompok mereka.¹¹
2)
Ibadiyah
Berbeda
dengan Azariqah, Ibadiyah dianggap sebagai kelompok Khawarij yang moderat.
Mereka tidak mengkafirkan Muslim lain, tetapi tetap mempertahankan pandangan
kritis terhadap kekuasaan.¹²
3)
Najdat
Dipimpin
oleh Najdah bin Amir, kelompok ini memiliki pandangan teologis yang lebih
fleksibel dibandingkan Azariqah.¹³
Perpecahan ini menunjukkan
bahwa Khawarij bukanlah satu kelompok yang monolitik, melainkan terdiri atas
berbagai cabang dengan tingkat ekstremisme yang bervariasi.¹⁴
3.4.
Khawarij dalam
Peristiwa-Peristiwa Penting
Khawarij memainkan peran
besar dalam berbagai pemberontakan terhadap kekhalifahan. Salah satu peristiwa
penting adalah pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman bin
Muljam, seorang anggota Khawarij.¹⁵ Tindakan ini mencerminkan karakteristik
utama Khawarij, yaitu penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik
mereka.¹⁶
Selain itu, pada masa
kekhalifahan Umayyah, Khawarij sering melakukan pemberontakan bersenjata yang
mengganggu stabilitas politik.¹⁷ Kekerasan mereka menjadi ancaman besar, tetapi
juga memberikan pelajaran penting tentang bahaya ideologi ekstremisme dalam tubuh
umat Islam.¹⁸
Catatan Kaki
[1]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London:
Macmillan, 2002), 235.
[2]
Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1968), 54.
[3]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.
[4]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol.
12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 300.
[5]
Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub,
1998), 67.
[6]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 107.
[7]
William Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 142.
[8]
Ibid., 143.
[9]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 42.
[10]
Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo:
Dar al-Kutub, 1969), 85.
[11]
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim
(Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.
[12]
Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989),
128.
[13]
Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society (Oxford:
Clarendon Press, 1961), 46.
[14]
Ibid.
[15]
Hitti, History of the Arabs, 238.
[16]
Al-Asqalani, Fathul Bari, 302.
[17]
Watt, Islamic Political Thought, 59.
[18]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism
(Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
4.
Pemikiran
dan Doktrin Khawarij
4.1.
Aqidah Khawarij
4.1.1.
Konsep Iman dan
Kufur
Salah satu doktrin utama
Khawarij adalah pandangan ekstrem mereka tentang iman dan kufur. Menurut
Khawarij, iman harus mencakup pengakuan, keyakinan, dan amal perbuatan.¹ Mereka
berpendapat bahwa pelaku dosa besar otomatis menjadi kafir dan keluar dari Islam.²
Doktrin ini bertentangan dengan pandangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang
menyatakan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam selama ia
masih mengakui keesaan Allah.³
Al-Asy’ari dalam Maqalat
Al-Islamiyyin mencatat bahwa Khawarij menempatkan amal perbuatan sebagai
komponen fundamental dalam iman.⁴ Dalam pandangan mereka, iman tanpa amal
dianggap tidak sah, sehingga seorang Muslim yang melakukan dosa besar layak
untuk diperangi.⁵
4.1.2.
Sikap Terhadap
Takfir
Salah satu karakteristik
Khawarij adalah takfir (mengafirkan Muslim lain) secara sembarangan.
Mereka mengkafirkan tidak hanya pelaku dosa besar, tetapi juga Muslim yang
tidak sepaham dengan pandangan mereka.⁶ Al-Syahrastani menyebutkan bahwa
doktrin ini menjadi sumber utama konflik antara Khawarij dan umat Islam
lainnya, karena mereka menolak legitimasi kekuasaan yang tidak sesuai dengan
interpretasi agama mereka.⁷
4.2.
Ciri Ideologis
4.2.1.
Penolakan terhadap
Kekuasaan Legitim
Khawarij menolak legitimasi
kekuasaan yang tidak memenuhi standar ideal mereka. Mereka memandang hanya
pemimpin yang dianggap "murni" dalam agama dan taat sepenuhnya
kepada syariat yang layak memimpin umat Islam.⁸ Akibatnya, mereka menganggap
Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai kafir karena
keterlibatan keduanya dalam tahkim.⁹
4.2.2.
Prinsip
Pemberontakan
Doktrin Khawarij membolehkan
bahkan menganjurkan pemberontakan terhadap penguasa yang mereka anggap zalim
atau tidak memerintah sesuai dengan syariat.¹⁰ Pandangan ini menjadi dasar bagi
tindakan-tindakan radikal mereka, termasuk pemberontakan bersenjata terhadap
kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.¹¹ Ibn Taimiyah mengkritik doktrin ini
sebagai penyimpangan dari prinsip Islam yang mengajarkan kepatuhan kepada penguasa
selama tidak diperintahkan melakukan maksiat.¹²
4.3.
Perbedaan dengan Ahlus
Sunnah Wal Jamaah
4.3.1.
Konsep Moderasi vs.
Ekstremisme
Perbedaan utama antara
Khawarij dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah terletak pada pendekatan mereka terhadap
dosa besar. Ahlus Sunnah bersikap moderat, memandang bahwa pelaku dosa besar
tetap Muslim selama mereka tidak menentang keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, Khawarij mengadopsi pendekatan ekstrem dengan mengkafirkan pelaku
dosa besar.¹³
4.3.2.
Pemahaman Literal
terhadap Al-Qur'an
Khawarij dikenal karena
pendekatan literal mereka dalam menafsirkan Al-Qur'an.¹⁴ Sebagai contoh, mereka
menggunakan ayat "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (QS
Al-Maidah: 44) untuk mengafirkan Muslim yang tidak menjalankan syariat secara
sempurna.¹⁵ Tafsir ini bertentangan dengan pandangan ulama Ahlus Sunnah, yang
memahami ayat tersebut dalam konteks tertentu dan tidak menyamakannya dengan
kekufuran mutlak.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Al-Asy’ari, Maqalat
Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969),
87.
[2]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif,
1992), 108.
[3]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul
Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998),
303.
[4]
Al-Asy’ari, Maqalat
Al-Islamiyyin, 90.
[5]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980),
44.
[6]
Montgomery Watt, Islamic
Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968),
57.
[7]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, 110.
[8]
Philip K. Hitti, History
of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.
[9]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm,
1992), 5:241.
[10]
Al-Ghazali, Fadha'ih
al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 132.
[11]
Watt, Islamic
Political Thought, 59.
[12]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah, 5:245.
[13]
Al-Juwayni, Ghayat
al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 70.
[14]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an, 46.
[15]
QS Al-Maidah: 44.
[16]
Al-Asqalani, Fathul
Bari, 304.
5.
Khawarij
dalam Perspektif Ulama Klasik
5.1.
Pandangan Ulama Ahlus
Sunnah tentang Khawarij
5.1.1.
Identifikasi
Khawarij
Para ulama Ahlus Sunnah
secara konsisten mengidentifikasi Khawarij sebagai kelompok yang menyimpang
dari ajaran Islam yang moderat. Al-Syahrastani dalam Al-Milal wa Al-Nihal
menyebut Khawarij sebagai kelompok yang “menciptakan perpecahan dalam tubuh
umat Islam dengan memaksakan pandangan mereka sebagai satu-satunya kebenaran.”¹
Pandangan ini didasarkan pada fakta bahwa Khawarij kerap mengkafirkan Muslim
lain yang tidak sepaham dengan mereka.²
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul
Bari menjelaskan bahwa Rasulullah Muhammad Saw. telah memperingatkan akan
munculnya kelompok seperti Khawarij. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda: _“Akan
muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur'an, namun bacaan mereka tidak
melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama seperti panah yang
melesat dari busurnya.”_³ Ibn Hajar menegaskan bahwa hadis ini secara
langsung mengacu pada karakteristik Khawarij.⁴
5.1.2.
Kritik terhadap Ekstremisme
Khawarij
Ibn Taimiyah dalam Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah mengkritik sikap Khawarij yang terlalu literal
dalam memahami Al-Qur'an.⁵ Beliau menegaskan bahwa mereka gagal memahami
konteks ayat-ayat yang mereka gunakan sebagai dasar doktrin mereka, seperti QS
Al-Maidah [05] ayat 44 yang mereka gunakan untuk mengkafirkan penguasa Muslim.⁶
Ibn Taimiyah menyebut bahwa pemahaman Khawarij adalah “tafsir tanpa ilmu”
yang mengarah pada kerusakan.⁷
5.2.
Kritik Teologis terhadap Khawarij
5.2.1.
Pandangan tentang
Takfir
Salah satu kritik teologis
utama terhadap Khawarij adalah penggunaan takfir secara serampangan. Al-Asy’ari
dalam Maqalat Al-Islamiyyin mencatat bahwa Khawarij membuat definisi
iman yang terlalu sempit, sehingga dengan mudah mengeluarkan seseorang dari
Islam.⁸ Ahlus Sunnah Wal Jamaah, di sisi lain, menekankan pentingnya memahami
iman secara holistik yang mencakup keyakinan, ucapan, dan perbuatan, tetapi
tidak otomatis mengeluarkan pelaku dosa besar dari Islam.⁹
5.2.2.
Pendekatan Literal
terhadap Syariat
Khawarij juga dikritik karena
pendekatan literal mereka terhadap syariat. Al-Ghazali dalam Fadha’ih
al-Batiniyyah mencatat bahwa Khawarij sering mengabaikan konteks sejarah
dan sosial dari teks-teks agama, sehingga menghasilkan pemahaman yang kaku dan
ekstrem.¹⁰ Sebagai contoh, mereka memahami “La hukma illa lillah” (QS
Yusuf [12] ayat 40) secara literal, tanpa memperhatikan bahwa ayat tersebut
mengacu pada prinsip tauhid, bukan menolak sistem pemerintahan manusia.¹¹
5.3.
Pendekatan Ulama terhadap
Khawarij
5.3.1.
Penanggulangan
Pemikiran Khawarij
Para ulama klasik tidak hanya
mengkritik, tetapi juga berusaha menanggulangi pemikiran Khawarij dengan
memberikan klarifikasi atas ajaran Islam yang benar. Imam Al-Nawawi dalam Syarh
Sahih Muslim menjelaskan bahwa moderasi (wasathiyyah) adalah inti
dari Islam, sehingga setiap bentuk ekstremisme, termasuk ideologi Khawarij,
bertentangan dengan ajaran Rasulullah.¹²
5.3.2.
Strategi Dakwah
Strategi dakwah para ulama
terhadap Khawarij mencakup debat ilmiah dan pendidikan agama. Ali bin Abi
Thalib, misalnya, mengirim Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kelompok Khawarij
di Harura.¹³ Ibnu Abbas berhasil meyakinkan sebagian besar dari mereka untuk
kembali ke jalan yang benar dengan menunjukkan kekeliruan pemahaman mereka
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an.¹⁴
5.4.
Relevansi Kritik Ulama
Klasik dalam Konteks Modern
Kritik ulama klasik terhadap
Khawarij tetap relevan dalam menghadapi tantangan ekstremisme di era modern.
Pemikiran literal dan penggunaan takfir yang berlebihan oleh Khawarij klasik
memiliki kesamaan dengan kelompok ekstrem kontemporer.¹⁵ Dengan merujuk pada
karya-karya ulama klasik, umat Islam dapat belajar pentingnya moderasi dalam
beragama dan menghindari sikap ekstrem yang merugikan umat secara
keseluruhan.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif,
1992), 108.
[2]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980),
44.
[3]
Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Fitan, no. 6930.
[4]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul
Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998),
303.
[5]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm,
1992), 5:240.
[6]
QS Al-Maidah: 44.
[7]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah, 5:242.
[8]
Al-Asy’ari, Maqalat
Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969),
87.
[9]
Al-Juwayni, Ghayat
al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 70.
[10]
Al-Ghazali, Fadha'ih
al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.
[11]
QS Yusuf: 40.
[12]
Al-Nawawi, Syarh
Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.
[13]
Watt, Islamic
Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968),
58.
[14]
Hitti, History
of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.
[15]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International
Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
[16]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.
6.
Khawarij
dalam Perspektif Kontemporer
6.1.
Khawarij dan Gerakan
Ekstremisme Modern
6.1.1.
Kesamaan Ideologis
dengan Gerakan Ekstrem Kontemporer
Pemikiran dan karakteristik
Khawarij klasik memiliki kemiripan yang signifikan dengan kelompok ekstremisme
modern.¹ Konsep takfir (pengkafiran) yang menjadi ciri khas Khawarij,
misalnya, diadopsi oleh kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda, yang menganggap
Muslim lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai kafir.² Pendekatan literal
dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an, tanpa memperhatikan konteks historis dan
sosial, juga merupakan pola umum di kalangan kelompok ini.³
Fazlur Rahman menyebutkan
bahwa kelompok ekstrem modern sering kali menggunakan narasi agama untuk
melegitimasi kekerasan, sama seperti yang dilakukan Khawarij.⁴ Dalam konteks
ini, Khawarij dapat dianggap sebagai prototipe ekstremisme yang telah mewarnai
sejarah umat Islam.⁵
6.1.2.
Pola Kekerasan dan
Pemberontakan
Seperti Khawarij, kelompok
ekstrem kontemporer cenderung memanfaatkan kekerasan sebagai alat utama untuk
mencapai tujuan mereka.⁶ Mereka sering kali menargetkan pemerintah, komunitas
Muslim lain yang berbeda pandangan, serta non-Muslim.⁷ Sikap radikal ini,
menurut Yusuf Al-Qaradawi, berakar pada ketidakmampuan memahami inti ajaran
Islam yang menekankan keseimbangan (wasathiyyah) dan toleransi.⁸
6.2.
Relevansi Pemikiran
Khawarij dalam Konflik Modern
6.2.1.
Penggunaan Retorika
Religius
Kelompok ekstrem modern
menggunakan retorika keagamaan yang mirip dengan slogan Khawarij, seperti “La
hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).⁹ Retorika ini
dimaksudkan untuk memberikan legitimasi agama terhadap tindakan mereka,
meskipun sering kali salah tafsir dan keluar dari konteks.¹⁰ Sebagai contoh,
ISIS menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an secara selektif untuk membenarkan
kekhalifahan mereka, meskipun mayoritas ulama menolak legitimasi tersebut.¹¹
6.2.2.
Fragmentasi Internal
Mirip dengan perpecahan
internal di kalangan Khawarij, kelompok ekstrem modern juga cenderung terpecah
menjadi berbagai faksi yang saling bertentangan.¹² Hal ini menunjukkan pola
berulang dalam sejarah, di mana ideologi ekstrem tidak hanya mengancam pihak
luar tetapi juga menghancurkan dari dalam.¹³
6.3.
Tantangan dan Solusi
6.3.1.
Tantangan dalam
Menangani Ekstremisme
Salah satu tantangan utama
dalam menangani ekstremisme adalah ketidakpahaman sebagian masyarakat terhadap
sejarah Khawarij dan bagaimana ideologi mereka berkembang.¹⁴ Banyak individu
yang terjebak dalam pemikiran ekstrem karena minimnya literasi agama yang
benar.¹⁵ Ulama klasik seperti Al-Syahrastani telah menekankan pentingnya
pendidikan agama yang moderat untuk mencegah munculnya kembali ideologi
serupa.¹⁶
6.3.2.
Pendekatan Moderasi
Islam
Pendekatan moderasi (wasathiyyah)
yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah solusi yang ditawarkan oleh
banyak ulama dalam menghadapi ekstremisme modern. Yusuf Al-Qaradawi dalam Islamic
Awakening between Rejection and Extremism menegaskan bahwa Islam adalah
agama yang menolak segala bentuk ekstremisme dan kekerasan, baik dalam
keyakinan maupun praktik.¹⁷
Pemerintah dan institusi
keagamaan di berbagai negara juga telah mengambil langkah strategis, seperti
menyelenggarakan pendidikan agama yang berbasis moderasi dan memberikan
platform bagi ulama moderat untuk menyuarakan pemahaman Islam yang inklusif.¹⁸
Catatan Kaki
[1]
Philip K. Hitti, History
of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.
[2]
Olivier Roy, Globalized
Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University
Press, 2004), 31.
[3]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980),
46.
[4]
Ibid., 47.
[5]
William Montgomery Watt, Islamic
Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968),
57.
[6]
Bernard Haykel, The
Origins of ISIS (Princeton: Princeton University Press, 2016), 112.
[7]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif,
1992), 110.
[8]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International
Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
[9]
QS Yusuf: 40.
[10]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.
[11]
Haykel, The
Origins of ISIS, 115.
[12]
Olivier Roy, Jihad
and Death: The Global Appeal of Islamic State (Oxford: Oxford
University Press, 2017), 91.
[13]
Ibid., 92.
[14]
Al-Nawawi, Syarh
Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.
[15]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening, 47.
[16]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, 112.
[17]
Al-Qaradawi, Islamic
Awakening, 50.
[18]
Bernard Haykel, The
Origins of ISIS, 120.
7.
Ibrah
dan Pelajaran dari Fenomena Khawarij
7.1.
Pentingnya Moderasi dalam
Agama
7.1.1.
Moderasi sebagai
Inti Ajaran Islam
Salah satu pelajaran utama
dari fenomena Khawarij adalah pentingnya sikap moderasi (wasathiyyah)
dalam menjalankan agama. Islam adalah agama yang menekankan keseimbangan antara
keyakinan dan amal, serta menganjurkan toleransi dalam menghadapi perbedaan.¹
Rasulullah Muhammad Saw. bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah yang
tengah-tengah.”²
Fenomena Khawarij menunjukkan
bahwa ekstremisme, baik dalam beragama maupun dalam memandang perbedaan, dapat
menghancurkan persatuan umat.³ Para ulama klasik, seperti Al-Syahrastani,
menegaskan bahwa salah satu penyebab utama penyimpangan Khawarij adalah pendekatan
mereka yang terlalu literal terhadap teks-teks agama tanpa mempertimbangkan
makna kontekstual.⁴
7.1.2.
Relevansi Moderasi
dalam Mencegah Ekstremisme
Dalam konteks modern,
pelajaran dari Khawarij menjadi lebih relevan, mengingat meningkatnya gerakan-gerakan
ekstrem yang mengatasnamakan agama. Fazlur Rahman mencatat bahwa moderasi bukan
hanya pilihan teologis, tetapi juga kebutuhan sosial untuk menciptakan harmoni
dalam masyarakat yang plural.⁵
7.2.
Bahaya Ekstremisme bagi
Umat Islam
7.2.1.
Dampak Sosial dan
Politik
Ekstremisme seperti yang
diperlihatkan oleh Khawarij tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi
juga mengancam stabilitas sosial dan politik umat Islam.⁶ Ibn Taimiyah menulis
bahwa tindakan Khawarij yang mengangkat senjata melawan umat Islam adalah salah
satu dosa terbesar, karena mengganggu tatanan masyarakat dan melemahkan
kekuatan umat di hadapan musuh eksternal.⁷
Dalam sejarah Islam,
pemberontakan Khawarij menyebabkan banyak korban jiwa dan melemahkan
kekhalifahan, yang pada akhirnya membuka peluang bagi pihak luar untuk
mengeksploitasi kelemahan internal umat Islam.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa
ekstremisme bukan hanya ancaman teologis, tetapi juga ancaman strategis yang
harus diwaspadai.⁹
7.2.2.
Peran Pendidikan
Agama dalam Menangkal Ekstremisme
Pendidikan agama yang benar
dan moderat adalah kunci untuk mencegah munculnya ideologi ekstrem. Yusuf
Al-Qaradawi menekankan bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah
ekstremisme adalah melalui pengajaran Islam yang menekankan nilai-nilai kasih
sayang, keadilan, dan toleransi.¹⁰ Dengan memahami ajaran Islam secara
komprehensif, umat dapat terhindar dari kesalahpahaman yang menjadi akar
ideologi ekstrem.¹¹
7.3.
Relevansi untuk Generasi
Masa Kini
7.3.1.
Belajar dari Sejarah
Generasi masa kini dapat
mengambil pelajaran dari sejarah Khawarij tentang pentingnya menjaga persatuan
umat. Perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang wajar dan telah diakui
oleh para ulama klasik, seperti Imam Al-Ghazali, yang menekankan pentingnya
menghormati perbedaan sebagai bagian dari dinamika intelektual umat Islam.¹²
7.3.2.
Membangun Generasi
Moderat
Fenomena Khawarij juga
mengajarkan pentingnya membangun generasi muda yang memiliki pemahaman agama
yang moderat dan inklusif. Pendidikan berbasis moderasi tidak hanya membantu
mencegah ekstremisme, tetapi juga menciptakan pemimpin masa depan yang mampu
menghadapi tantangan global dengan bijak.¹³ Sebagai contoh, banyak lembaga
pendidikan Islam kontemporer telah memasukkan nilai-nilai moderasi dalam
kurikulum mereka untuk membangun generasi yang lebih toleran dan berwawasan
luas.¹⁴
7.4.
Mengambil Ibrah dari Kisah
Khawarij
7.4.1.
Pentingnya Kesatuan
Umat
Fenomena Khawarij mengajarkan
bahwa perpecahan dan pertikaian internal hanya akan melemahkan umat Islam.
Rasulullah Saw. telah memperingatkan bahaya perpecahan dalam sabdanya: “Janganlah
kalian bercerai-berai, karena umat yang terpecah-pecah akan binasa.” ¹⁵
Kesatuan umat adalah pilar utama yang harus dijaga untuk menghadapi tantangan
eksternal maupun internal.¹⁶
7.4.2.
Meningkatkan
Pemahaman Al-Qur'an dan Hadis
Kisah Khawarij juga
mengajarkan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur'an dan hadis.
Para ulama, seperti Imam Al-Nawawi, menekankan bahwa umat Islam harus memahami
teks agama dengan pendekatan yang kontekstual dan ilmiah, sehingga tidak
terjerumus dalam pemahaman yang salah seperti yang terjadi pada Khawarij.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International
Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
[2]
Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Adab, no. 6018.
[3]
Al-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif,
1992), 108.
[4]
Fazlur Rahman, Major
Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980),
46.
[5]
Ibid., 47.
[6]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm,
1992), 5:240.
[7]
Ibid., 5:242.
[8]
Philip K. Hitti, History
of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.
[9]
Bernard Haykel, The
Origins of ISIS (Princeton: Princeton University Press, 2016), 112.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening, 50.
[11]
Al-Nawawi, Syarh
Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.
[12]
Al-Ghazali, Fadha'ih
al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.
[13]
Fazlur Rahman, Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.
[14]
Olivier Roy, Globalized
Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University
Press, 2004), 31.
[15]
Sahih Muslim, Kitab
al-Imarah, no. 1852.
[16]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic
Awakening, 47.
[17]
Al-Nawawi, Syarh
Sahih Muslim, 328.
8.
Kesimpulan
Kajian tentang Khawarij
memberikan wawasan mendalam mengenai salah satu fenomena ideologis paling
signifikan dalam sejarah Islam. Dari sisi historis, kemunculan Khawarij
menunjukkan bagaimana perpecahan politik dapat berkembang menjadi konflik
teologis yang merusak tatanan sosial umat Islam.¹ Peristiwa tahkim dan
pemberontakan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi bukti bahwa
perbedaan yang tidak dikelola dengan bijak dapat berujung pada kehancuran
persatuan umat.²
Dari sisi teologis, Khawarij
dikenal karena pendekatan literal terhadap teks agama dan penggunaan takfir
secara serampangan.³ Hal ini tidak hanya mencerminkan kesalahan dalam memahami
Al-Qur'an dan hadis, tetapi juga menunjukkan bahaya interpretasi agama yang
kaku dan ekstrem.⁴ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah, Khawarij
menjadi contoh klasik dari kelompok yang menjadikan pandangan mereka sebagai
standar mutlak kebenaran, meskipun sebenarnya mereka keliru dalam memahami inti
ajaran Islam.⁵
Fenomena Khawarij juga
memberikan pelajaran penting tentang bahaya ekstremisme bagi umat Islam.
Gerakan mereka melemahkan kekuatan umat, menciptakan konflik internal, dan
memberikan peluang bagi musuh Islam untuk mengeksploitasi perpecahan tersebut.⁶
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fazlur Rahman, ideologi ekstrem selalu
mengancam stabilitas sosial dan politik, baik dalam konteks klasik maupun
modern.⁷
Pelajaran utama dari kajian
ini adalah pentingnya sikap moderasi (wasathiyyah) dalam beragama. Islam
mengajarkan keseimbangan antara keyakinan, amal, dan toleransi terhadap
perbedaan pendapat. Rasulullah Muhammad Saw. telah memperingatkan bahaya
ekstremisme dalam sabdanya: “Jauhilah sikap berlebihan dalam agama, karena
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan oleh sikap mereka yang
berlebihan dalam agama.”⁸ Moderasi bukan hanya tuntutan teologis, tetapi
juga kebutuhan praktis untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan
inklusif.⁹
Relevansi kajian Khawarij
dalam konteks modern tidak dapat diabaikan. Pola pikir dan tindakan kelompok
ekstrem modern, seperti ISIS dan Al-Qaeda, menunjukkan kesamaan dengan Khawarij
klasik dalam hal pendekatan literal terhadap agama dan penggunaan takfir.¹⁰
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk belajar dari sejarah, memahami
bahaya ekstremisme, dan mempromosikan pendidikan agama yang menekankan
nilai-nilai moderasi.¹¹ Sebagaimana yang dicatat oleh Yusuf Al-Qaradawi, Islam
adalah agama yang menolak segala bentuk kekerasan dan mengajarkan kasih sayang,
keadilan, dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan.¹²
Melalui pemahaman yang
mendalam tentang sejarah Khawarij dan ajaran Islam yang moderat, umat Islam
dapat menjaga persatuan dan menghadapi tantangan ekstremisme dengan bijaksana.
Kesadaran akan pentingnya moderasi tidak hanya akan memperkuat akidah umat,
tetapi juga membantu membangun masyarakat Islam yang lebih damai dan toleran di
masa depan.¹³
Catatan Kaki
[1]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London:
Macmillan, 2002), 235.
[2]
Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1968), 54.
[3]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani
(Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 108.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 46.
[5]
Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim
(Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.
[6]
Bernard Haykel, The Origins of ISIS (Princeton: Princeton
University Press, 2016), 112.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.
[8]
Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 2670.
[9]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism
(Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.
[10]
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New
York: Columbia University Press, 2004), 31.
[11]
Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 110.
[12]
Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 50.
[13]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an, 47.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, I. H. (1998). Fathul Bari Sharh
Sahih Al-Bukhari (Vol. 12). Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Asy’ari, A. A. H. (1969). Maqalat
Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin. Cairo: Dar al-Kutub.
Al-Ghazali, A. H. (1989). Fadha'ih al-Batiniyyah.
Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Nawawi, Y. (1998). Syarh Sahih Muslim
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1991). Islamic Awakening
between Rejection and Extremism. Herndon, VA: International Institute of
Islamic Thought.
Al-Syahrastani, M. A. (1992). Al-Milal wa
Al-Nihal (Ed. Muhammad Sayyid Kailani). Beirut: Dar al-Ma'arif.
Fazlur Rahman. (1980). Major Themes of the
Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Haykel, B. (2016). The Origins of ISIS.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Hitti, P. K. (2002). History of the Arabs
(10th ed.). London: Macmillan.
Ibn Taimiyah. (1992). Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Ed. Rashid Salim). Riyadh: Dar al-'Ilm.
Montgomery Watt, W. (1968). Islamic Political
Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Montgomery Watt, W. (1973). The Formative Period
of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Olivier Roy. (2004). Globalized Islam: The
Search for a New Ummah. New York: Columbia University Press.
Olivier Roy. (2017). Jihad and Death: The Global
Appeal of Islamic State. Oxford: Oxford University Press.
Sahih al-Bukhari. (n.d.). Kitab al-Fitan.
No. 6930.
Sahih Muslim. (n.d.). Kitab al-Iman. No.
2670.
Yusuf, A. (2010). Al-Wasatiyyah: The Concept of
Moderation in Islam. Cairo: Al-Azhar Islamic Research Academy.
Lampiran 1: Takhrij hadits
Berikut adalah takhrij dari
hadis-hadis yang dikutip dalam artikel tentang “Kajian Komprehensif tentang
Khawarij”:
1.
Hadis tentang Khawarij dan
Bacaan Al-Qur’an yang Tidak Melewati Tenggorokan
Matn Hadis
“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang
membaca Al-Qur'an, namun bacaan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka.
Mereka keluar dari agama seperti panah yang melesat dari busurnya.”
Takhrij Hadis
·
Sumber:
Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, No. 6930.
·
Derajat
Hadis: Shahih.
·
Komentar:
Hadis ini diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri dan secara eksplisit merujuk
pada karakteristik kelompok Khawarij.
2.
Hadis tentang Sikap
Moderasi
Matn Hadis
“Sebaik-baik perkara adalah yang
tengah-tengah.”
Takhrij Hadis
·
Sumber:
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra.
·
Derajat
Hadis: Dinyatakan hasan oleh sebagian ulama.
·
Komentar:
Hadis ini sering digunakan untuk menunjukkan pentingnya moderasi dalam segala
aspek kehidupan, termasuk beragama.
3.
Hadis tentang Bahaya Sikap
Berlebihan dalam Agama
Matn Hadis
“Jauhilah sikap berlebihan dalam agama,
karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan oleh sikap
mereka yang berlebihan dalam agama.”
Takhrij Hadis
·
Sumber:
Sahih Muslim, Kitab al-Iman, No. 2670.
·
Derajat
Hadis: Shahih.
·
Komentar:
Hadis ini adalah peringatan dari Rasulullah tentang bahaya ekstremisme dalam
beragama, termasuk fenomena seperti yang diperlihatkan oleh Khawarij.
4.
Hadis tentang Larangan
Perpecahan dalam Umat
Matn Hadis
“Janganlah kalian bercerai-berai, karena
umat yang terpecah-pecah akan binasa.”
Takhrij Hadis
·
Sumber:
Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, No. 1852.
·
Derajat
Hadis: Shahih.
·
Komentar:
Hadis ini menekankan pentingnya menjaga kesatuan umat Islam dan bahaya
perpecahan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Khawarij.
5.
Ayat yang Sering Digunakan
oleh Khawarij: QS Al-Maidah: 44
Teks Ayat
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
Komentar Tafsir
·
Konteks:
Ayat ini digunakan oleh Khawarij untuk mendukung doktrin takfir mereka. Namun,
para ulama seperti Ibn Taimiyah dan Al-Syahrastani menjelaskan bahwa konteks
ayat ini tidak mengacu pada kekafiran mutlak (kufur akbar) melainkan pada sikap
zalim atau fasik (kufur duna kufrin).¹
6.
Ayat tentang Tauhid dan
Penegasan Hukum Allah: QS Yusuf: 40
Teks Ayat
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.”
Komentar Tafsir
·
Konteks:
Ayat ini sering dijadikan slogan oleh Khawarij: “La hukma illa lillah” (tidak ada
hukum kecuali hukum Allah). Tafsir klasik dari Al-Qurthubi dan Ibn Kathir
menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang tauhid, bukan penghapusan sistem
pemerintahan manusia.²
Catatan
[1]
Ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm,
1992), 5:240.
[2]
Al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi, Vol. 9 (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964), 116.
Lampiran 2: Daftar Kitab Rujukan
Berikut adalah daftar kitab yang berkaitan dengan
pemikiran Khawarij, lengkap dengan penjelasan judul, nama penulis, serta masa
hidupnya:
1.
Al-Milal wa Al-Nihal
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Karim Al-Syahrastani (1086–1153 M / 479–548 H)
·
Penjelasan: Kitab ini
adalah salah satu karya klasik yang mengkaji berbagai sekte dalam Islam,
termasuk Khawarij. Al-Syahrastani memberikan penjelasan detail tentang doktrin,
sub-sekte, dan sejarah kelompok ini, dengan analisis teologis yang mendalam.
2.
Maqalat Al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf Al-Musallin
·
Penulis: Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari (873–936 M / 260–324 H)
·
Penjelasan: Buku ini
merupakan referensi utama dalam studi aliran-aliran teologis dalam Islam.
Al-Asy’ari mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pemikiran Khawarij sebagai
salah satu penyimpangan utama dari ajaran Islam.
3.
Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah
·
Penulis: Taqiuddin
Ahmad bin Abdul Halim Ibn Taimiyah (1263–1328 M / 661–728 H)
·
Penjelasan: Dalam karya
ini, Ibn Taimiyah mengkritik secara mendalam pandangan ekstrem Khawarij,
terutama tentang takfir dan pemberontakan terhadap penguasa. Kitab ini relevan
dalam membandingkan Khawarij klasik dan ekstremisme modern.
4.
Fathul Bari Sharh Sahih
al-Bukhari
·
Penulis: Ibn Hajar
Al-Asqalani (1372–1449 M / 773–852 H)
·
Penjelasan: Dalam kitab
ini, Ibn Hajar memberikan penjelasan rinci tentang hadis-hadis yang berkaitan
dengan Khawarij, termasuk karakteristik dan peringatan Nabi tentang kelompok
ini.
5.
Al-Farq bayn al-Firaq
·
Penulis: Abdul Qahir
Al-Baghdadi (d. 1037 M / 429 H)
·
Penjelasan: Kitab ini
membahas perbedaan antar-sekte dalam Islam, termasuk Khawarij. Al-Baghdadi
menjelaskan bagaimana pemikiran mereka berkembang, sub-sekte yang muncul, serta
penentangan ulama terhadap ideologi mereka.
6.
Sharh al-Mawaqif
·
Penulis: Adud al-Din
al-Iji (1281–1355 M / 680–756 H)
·
Penjelasan: Sebuah
kitab yang mengulas pandangan teologi dari berbagai kelompok dalam Islam.
Al-Iji membahas pandangan Khawarij tentang iman, takfir, dan kekuasaan, serta
memberikan kritik rasional terhadap doktrin mereka.
7.
Tabaqat al-Mutakallimin
·
Penulis: Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad Al-Dhahabi (1274–1348 M / 673–748 H)
·
Penjelasan: Dalam buku
ini, Al-Dhahabi mencatat sejarah intelektual para ulama dan pemikir Islam,
termasuk pandangan mereka terhadap Khawarij. Kitab ini memberikan perspektif
historis tentang bagaimana kelompok Khawarij memengaruhi perkembangan pemikiran
Islam.
8.
Ghayat al-Maram fi Ilm
al-Kalam
·
Penulis: Al-Juwayni
(1028–1085 M / 419–478 H)
·
Penjelasan: Kitab ini
mengkaji perbedaan teologis di antara sekte Islam, termasuk Khawarij.
Al-Juwayni memberikan argumen logis dan teologis untuk menjelaskan kelemahan
pandangan Khawarij.
9.
Kitab al-Tauhid wa al-Ibtal
li Mazahib al-Batil
·
Penulis: Ibn Hazm
al-Andalusi (994–1064 M / 384–456 H)
·
Penjelasan: Ibn Hazm
membahas tentang tauhid dan menyanggah pandangan kelompok-kelompok yang
dianggap menyimpang, termasuk Khawarij. Ia menggunakan pendekatan logis dan
teks agama untuk membantah ideologi ekstrem.
10.
Tafsir al-Qurthubi
·
Penulis: Abu
Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi (1214–1273 M / 610–671 H)
·
Penjelasan: Kitab
tafsir ini mencakup penjelasan ayat-ayat yang sering disalahgunakan oleh
Khawarij, seperti QS Al-Maidah [05] ayat 44 dan QS Yusuf: 40. Al-Qurthubi
memberikan analisis mendalam tentang konteks ayat-ayat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar