Kamis, 26 Desember 2024

Khawarij: Pemikiran dan Doktrin Khawarij

 Kajian Komprehensif tentang Khawarij


Disclaimer

Sebagai penulis, saya menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan pengetahuan akademis semata.

Pembahasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung, atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam sejarah Islam.

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


PEMBAHASAN

“Khawarij: Pemikiran dan Doktrin Khawarij”


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Fenomena Khawarij merupakan salah satu isu penting dalam sejarah Islam yang memiliki dampak besar terhadap dinamika sosial, politik, dan keagamaan umat Islam. Khawarij, sebagai kelompok pertama yang terpecah dari tubuh umat Islam, dikenal karena sikap teologis dan politik yang ekstrem, terutama terhadap dosa besar dan legitimasi kekuasaan.¹ Dalam perjalanan sejarah, Khawarij tidak hanya memengaruhi perkembangan teologi Islam tetapi juga menjadi cikal bakal ekstremisme yang terus relevan hingga masa kini.

Peristiwa munculnya Khawarij tidak bisa dilepaskan dari konflik politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw., khususnya dalam konteks kekhalifahan.² Ketidakpuasan terhadap hasil tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi titik awal pembentukan ideologi Khawarij.³ Sikap keras mereka terhadap Ali dan Muawiyah, disertai klaim atas kebenaran tunggal dalam memahami agama, mencerminkan ciri khas ekstremisme yang mengabaikan prinsip moderasi Islam.⁴

Kajian tentang Khawarij sangat relevan, terutama dalam konteks modern, di mana muncul kelompok-kelompok ekstrem yang memiliki pola pemikiran serupa. Sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah, memahami akar sejarah dan pemikiran Khawarij adalah upaya untuk meneguhkan sikap moderat dalam beragama sekaligus menangkal pengaruh ideologi ekstrem.⁵

1.2.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Khawarij dari perspektif sejarah, teologi, dan sosiologi Islam. Dengan mendasarkan pembahasan pada sumber-sumber klasik yang kredibel seperti Al-Milal wa Al-Nihal karya Al-Syahrastani⁶ dan Maqalat Al-Islamiyyin karya Al-Asy’ari,⁷ artikel ini juga bertujuan untuk mengurai dampak sosial-politik yang ditimbulkan oleh Khawarij terhadap umat Islam.

Selain itu, artikel ini berupaya menunjukkan bagaimana Khawarij menjadi fenomena yang terus berulang dalam berbagai bentuk ekstremisme sepanjang sejarah Islam hingga masa kini. Dengan pendekatan analitis dan objektif, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam untuk tetap berada di jalur moderasi (wasathiyyah) yang merupakan inti dari ajaran Islam.⁸


Catatan Kaki

[1]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.

[2]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 235.

[3]              William Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 54.

[4]              Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 300.

[5]              Al-Azhar Islamic Research Academy, Al-Wasatiyyah: The Concept of Moderation in Islam (Cairo: Al-Azhar Press, 2010), 18.

[6]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 110.

[7]              Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 85.

[8]              Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.


2.           Definisi dan Terminologi Khawarij

2.1.       Asal Usul Istilah "Khawarij"

Istilah "Khawarij" berasal dari kata kerja Arab kharaja (خرج) yang berarti "keluar" atau "memberontak."¹ Secara etimologis, istilah ini mengacu pada kelompok yang memisahkan diri dari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim (arbitrase) dalam Perang Shiffin.² Dalam literatur klasik, mereka disebut sebagai ahl al-baghy (orang-orang yang memberontak), yang dalam konteks ini menggambarkan pemberontakan terhadap otoritas legitimasi pemerintahan Islam.³

Menurut Al-Syahrastani dalam Al-Milal wa Al-Nihal, istilah ini tidak hanya memiliki dimensi politik tetapi juga dimensi teologis, yaitu sikap mereka yang ekstrem dalam menilai iman dan kufur.⁴ Secara historis, istilah "Khawarij" digunakan oleh lawan-lawan mereka sebagai label, sedangkan mereka sendiri sering menyebut diri sebagai ahl al-tahkim (para pendukung hukum Allah) atau ahl al-haqq (orang-orang yang berada di atas kebenaran).⁵

2.2.       Definisi Khawarij Menurut Para Ulama

Para ulama klasik seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Hajar mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang meninggalkan jamaah kaum Muslimin dan memandang penguasa yang tidak sesuai dengan standar mereka sebagai kafir.⁶ Ibn Taimiyah menekankan bahwa karakteristik utama Khawarij adalah ekstremisme dalam takfir, yaitu pengkafiran terhadap Muslim lainnya yang dianggap tidak sejalan dengan keyakinan mereka.⁷

Menurut Al-Asy’ari dalam Maqalat Al-Islamiyyin, Khawarij adalah kelompok pertama dalam sejarah Islam yang memisahkan diri dari jamaah Muslim dengan dalih agama, meskipun pada hakikatnya perpecahan ini berakar pada persoalan politik.⁸ Al-Ghazali, dalam Fadha'ih al-Batiniyyah, menambahkan bahwa mereka adalah contoh klasik dari kelompok yang menjadikan penafsiran literal terhadap teks agama sebagai landasan ideologi mereka tanpa memperhatikan konteks dan maksud sebenarnya.⁹

2.3.       Karakteristik Umum Khawarij

Khawarij memiliki sejumlah karakteristik yang konsisten dalam berbagai sub-sekte mereka, yang disebutkan oleh para ulama klasik, antara lain:

1)                  Pengkafiran Pelaku Dosa Besar

Khawarij meyakini bahwa siapa saja yang melakukan dosa besar, seperti meninggalkan shalat atau minum khamar, otomatis menjadi kafir.¹⁰ Pandangan ini bertentangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang menganggap dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam selama ia masih mengakui keimanan.¹¹

2)                  Penolakan terhadap Kekuasaan Legitim

Mereka menolak kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar agama menurut mereka, termasuk menolak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib setelah tahkim.¹² Dalam pandangan Khawarij, kekuasaan hanya sah jika dipegang oleh seseorang yang dianggap sempurna secara iman menurut versi mereka sendiri.¹³

3)                  Pemahaman Tekstual dan Literal

Dalam memahami Al-Qur'an, mereka cenderung menggunakan pendekatan literal tanpa mempertimbangkan tafsir yang lebih dalam atau kontekstual.¹⁴ Hal ini membuat mereka sering salah memahami teks-teks agama, sehingga menghasilkan sikap yang ekstrem.


Catatan Kaki

[1]              Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, 4th ed. (Urbana, IL: Spoken Language Services, 1976), 258.

[2]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.

[3]              Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 67.

[4]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 107.

[5]              Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 58.

[6]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[7]              Ibid., 5:242.

[8]              Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 89.

[9]              Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.

[10]          Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 302.

[11]          Ibid.

[12]          Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 238.

[13]          Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society (Oxford: Clarendon Press, 1961), 46.

[14]          Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 42.


3.           Sejarah Munculnya Khawarij

3.1.       Latar Belakang Sejarah

Kemunculan Khawarij tidak dapat dipisahkan dari konteks politik dan sosial pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Setelah wafatnya Rasulullah Muhammad Saw., umat Islam menghadapi berbagai tantangan, termasuk konflik politik yang memuncak pada masa pemerintahan Ali. Salah satu konflik yang paling signifikan adalah Perang Shiffin antara pasukan Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan.¹ Perang ini muncul akibat perbedaan pendapat mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematian Utsman bin Affan, khalifah ketiga.²

Dalam Perang Shiffin, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai tahkim (arbitrase), yaitu keputusan untuk menunjuk dua juru damai guna menyelesaikan perselisihan.³ Peristiwa ini menjadi titik awal kemunculan kelompok yang dikenal sebagai Khawarij, karena sebagian pendukung Ali menganggap keputusan tersebut sebagai pengkhianatan terhadap prinsip bahwa "hanya Allah yang berhak memberikan keputusan."⁴

3.2.       Peristiwa Tahkim dan Pemisahan Khawarij

“La hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) menjadi semboyan Khawarij yang mencerminkan protes mereka terhadap tahkim.⁵ Menurut Al-Syahrastani dalam Al-Milal wa Al-Nihal, slogan ini digunakan sebagai dalih untuk menolak otoritas manusia dalam memutuskan perkara agama.⁶ Dalam pandangan mereka, baik Ali maupun Muawiyah telah menyimpang dari ajaran Islam dengan menyetujui arbitrase yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak Allah.⁷

Sebanyak 12.000 orang dari pasukan Ali meninggalkan barisan dan membentuk kelompok sendiri di daerah Harura, sehingga mereka sering disebut Haruriyah.⁸ Mereka kemudian menyatakan bahwa Ali dan Muawiyah telah kafir, karena menerima hukum selain hukum Allah.⁹

3.3.       Perpecahan Internal dan Kelompok-Kelompok Khawarij

Setelah terpisah dari pasukan Ali, Khawarij tidak tetap menjadi satu kelompok. Mereka terpecah menjadi beberapa sub-sekte, masing-masing dengan pandangan yang berbeda terkait teologi dan strategi politik.¹⁰ Di antara sub-sekte terbesar adalah:

1)                  Azariqah

Kelompok ini dipimpin oleh Nafi’ bin Al-Azraq dan dikenal sebagai salah satu cabang Khawarij yang paling ekstrem. Mereka mengkafirkan semua Muslim yang tidak bergabung dengan kelompok mereka.¹¹

2)                  Ibadiyah

Berbeda dengan Azariqah, Ibadiyah dianggap sebagai kelompok Khawarij yang moderat. Mereka tidak mengkafirkan Muslim lain, tetapi tetap mempertahankan pandangan kritis terhadap kekuasaan.¹²

3)                  Najdat

Dipimpin oleh Najdah bin Amir, kelompok ini memiliki pandangan teologis yang lebih fleksibel dibandingkan Azariqah.¹³

Perpecahan ini menunjukkan bahwa Khawarij bukanlah satu kelompok yang monolitik, melainkan terdiri atas berbagai cabang dengan tingkat ekstremisme yang bervariasi.¹⁴

3.4.       Khawarij dalam Peristiwa-Peristiwa Penting

Khawarij memainkan peran besar dalam berbagai pemberontakan terhadap kekhalifahan. Salah satu peristiwa penting adalah pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang anggota Khawarij.¹⁵ Tindakan ini mencerminkan karakteristik utama Khawarij, yaitu penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka.¹⁶

Selain itu, pada masa kekhalifahan Umayyah, Khawarij sering melakukan pemberontakan bersenjata yang mengganggu stabilitas politik.¹⁷ Kekerasan mereka menjadi ancaman besar, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang bahaya ideologi ekstremisme dalam tubuh umat Islam.¹⁸


Catatan Kaki

[1]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 235.

[2]              Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 54.

[3]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 106.

[4]              Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 300.

[5]              Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 67.

[6]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 107.

[7]              William Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 142.

[8]              Ibid., 143.

[9]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 42.

[10]          Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 85.

[11]          Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[12]          Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.

[13]          Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society (Oxford: Clarendon Press, 1961), 46.

[14]          Ibid.

[15]          Hitti, History of the Arabs, 238.

[16]          Al-Asqalani, Fathul Bari, 302.

[17]          Watt, Islamic Political Thought, 59.

[18]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.


4.           Pemikiran dan Doktrin Khawarij

4.1.       Aqidah Khawarij

4.1.1.    Konsep Iman dan Kufur

Salah satu doktrin utama Khawarij adalah pandangan ekstrem mereka tentang iman dan kufur. Menurut Khawarij, iman harus mencakup pengakuan, keyakinan, dan amal perbuatan.¹ Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar otomatis menjadi kafir dan keluar dari Islam.² Doktrin ini bertentangan dengan pandangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang menyatakan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari Islam selama ia masih mengakui keesaan Allah.³

Al-Asy’ari dalam Maqalat Al-Islamiyyin mencatat bahwa Khawarij menempatkan amal perbuatan sebagai komponen fundamental dalam iman.⁴ Dalam pandangan mereka, iman tanpa amal dianggap tidak sah, sehingga seorang Muslim yang melakukan dosa besar layak untuk diperangi.⁵

4.1.2.    Sikap Terhadap Takfir

Salah satu karakteristik Khawarij adalah takfir (mengafirkan Muslim lain) secara sembarangan. Mereka mengkafirkan tidak hanya pelaku dosa besar, tetapi juga Muslim yang tidak sepaham dengan pandangan mereka.⁶ Al-Syahrastani menyebutkan bahwa doktrin ini menjadi sumber utama konflik antara Khawarij dan umat Islam lainnya, karena mereka menolak legitimasi kekuasaan yang tidak sesuai dengan interpretasi agama mereka.⁷

4.2.       Ciri Ideologis

4.2.1.    Penolakan terhadap Kekuasaan Legitim

Khawarij menolak legitimasi kekuasaan yang tidak memenuhi standar ideal mereka. Mereka memandang hanya pemimpin yang dianggap "murni" dalam agama dan taat sepenuhnya kepada syariat yang layak memimpin umat Islam.⁸ Akibatnya, mereka menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai kafir karena keterlibatan keduanya dalam tahkim.⁹

4.2.2.    Prinsip Pemberontakan

Doktrin Khawarij membolehkan bahkan menganjurkan pemberontakan terhadap penguasa yang mereka anggap zalim atau tidak memerintah sesuai dengan syariat.¹⁰ Pandangan ini menjadi dasar bagi tindakan-tindakan radikal mereka, termasuk pemberontakan bersenjata terhadap kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.¹¹ Ibn Taimiyah mengkritik doktrin ini sebagai penyimpangan dari prinsip Islam yang mengajarkan kepatuhan kepada penguasa selama tidak diperintahkan melakukan maksiat.¹²

4.3.       Perbedaan dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah

4.3.1.    Konsep Moderasi vs. Ekstremisme

Perbedaan utama antara Khawarij dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah terletak pada pendekatan mereka terhadap dosa besar. Ahlus Sunnah bersikap moderat, memandang bahwa pelaku dosa besar tetap Muslim selama mereka tidak menentang keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, Khawarij mengadopsi pendekatan ekstrem dengan mengkafirkan pelaku dosa besar.¹³

4.3.2.    Pemahaman Literal terhadap Al-Qur'an

Khawarij dikenal karena pendekatan literal mereka dalam menafsirkan Al-Qur'an.¹⁴ Sebagai contoh, mereka menggunakan ayat "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (QS Al-Maidah: 44) untuk mengafirkan Muslim yang tidak menjalankan syariat secara sempurna.¹⁵ Tafsir ini bertentangan dengan pandangan ulama Ahlus Sunnah, yang memahami ayat tersebut dalam konteks tertentu dan tidak menyamakannya dengan kekufuran mutlak.¹⁶


Catatan Kaki

[1]              Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 87.

[2]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 108.

[3]              Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 303.

[4]              Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, 90.

[5]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 44.

[6]              Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 57.

[7]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 110.

[8]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.

[9]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:241.

[10]          Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 132.

[11]          Watt, Islamic Political Thought, 59.

[12]          Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, 5:245.

[13]          Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 70.

[14]          Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an, 46.

[15]          QS Al-Maidah: 44.

[16]          Al-Asqalani, Fathul Bari, 304.


5.           Khawarij dalam Perspektif Ulama Klasik

5.1.       Pandangan Ulama Ahlus Sunnah tentang Khawarij

5.1.1.    Identifikasi Khawarij

Para ulama Ahlus Sunnah secara konsisten mengidentifikasi Khawarij sebagai kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam yang moderat. Al-Syahrastani dalam Al-Milal wa Al-Nihal menyebut Khawarij sebagai kelompok yang “menciptakan perpecahan dalam tubuh umat Islam dengan memaksakan pandangan mereka sebagai satu-satunya kebenaran.”¹ Pandangan ini didasarkan pada fakta bahwa Khawarij kerap mengkafirkan Muslim lain yang tidak sepaham dengan mereka.²

Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa Rasulullah Muhammad Saw. telah memperingatkan akan munculnya kelompok seperti Khawarij. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda: _“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur'an, namun bacaan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama seperti panah yang melesat dari busurnya.”_³ Ibn Hajar menegaskan bahwa hadis ini secara langsung mengacu pada karakteristik Khawarij.⁴

5.1.2.    Kritik terhadap Ekstremisme Khawarij

Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah mengkritik sikap Khawarij yang terlalu literal dalam memahami Al-Qur'an.⁵ Beliau menegaskan bahwa mereka gagal memahami konteks ayat-ayat yang mereka gunakan sebagai dasar doktrin mereka, seperti QS Al-Maidah [05] ayat 44 yang mereka gunakan untuk mengkafirkan penguasa Muslim.⁶ Ibn Taimiyah menyebut bahwa pemahaman Khawarij adalah “tafsir tanpa ilmu” yang mengarah pada kerusakan.⁷

5.2.       Kritik Teologis terhadap Khawarij

5.2.1.    Pandangan tentang Takfir

Salah satu kritik teologis utama terhadap Khawarij adalah penggunaan takfir secara serampangan. Al-Asy’ari dalam Maqalat Al-Islamiyyin mencatat bahwa Khawarij membuat definisi iman yang terlalu sempit, sehingga dengan mudah mengeluarkan seseorang dari Islam.⁸ Ahlus Sunnah Wal Jamaah, di sisi lain, menekankan pentingnya memahami iman secara holistik yang mencakup keyakinan, ucapan, dan perbuatan, tetapi tidak otomatis mengeluarkan pelaku dosa besar dari Islam.⁹

5.2.2.    Pendekatan Literal terhadap Syariat

Khawarij juga dikritik karena pendekatan literal mereka terhadap syariat. Al-Ghazali dalam Fadha’ih al-Batiniyyah mencatat bahwa Khawarij sering mengabaikan konteks sejarah dan sosial dari teks-teks agama, sehingga menghasilkan pemahaman yang kaku dan ekstrem.¹⁰ Sebagai contoh, mereka memahami “La hukma illa lillah” (QS Yusuf [12] ayat 40) secara literal, tanpa memperhatikan bahwa ayat tersebut mengacu pada prinsip tauhid, bukan menolak sistem pemerintahan manusia.¹¹

5.3.       Pendekatan Ulama terhadap Khawarij

5.3.1.    Penanggulangan Pemikiran Khawarij

Para ulama klasik tidak hanya mengkritik, tetapi juga berusaha menanggulangi pemikiran Khawarij dengan memberikan klarifikasi atas ajaran Islam yang benar. Imam Al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa moderasi (wasathiyyah) adalah inti dari Islam, sehingga setiap bentuk ekstremisme, termasuk ideologi Khawarij, bertentangan dengan ajaran Rasulullah.¹²

5.3.2.    Strategi Dakwah

Strategi dakwah para ulama terhadap Khawarij mencakup debat ilmiah dan pendidikan agama. Ali bin Abi Thalib, misalnya, mengirim Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kelompok Khawarij di Harura.¹³ Ibnu Abbas berhasil meyakinkan sebagian besar dari mereka untuk kembali ke jalan yang benar dengan menunjukkan kekeliruan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an.¹⁴

5.4.       Relevansi Kritik Ulama Klasik dalam Konteks Modern

Kritik ulama klasik terhadap Khawarij tetap relevan dalam menghadapi tantangan ekstremisme di era modern. Pemikiran literal dan penggunaan takfir yang berlebihan oleh Khawarij klasik memiliki kesamaan dengan kelompok ekstrem kontemporer.¹⁵ Dengan merujuk pada karya-karya ulama klasik, umat Islam dapat belajar pentingnya moderasi dalam beragama dan menghindari sikap ekstrem yang merugikan umat secara keseluruhan.¹⁶


Catatan Kaki

[1]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 108.

[2]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 44.

[3]              Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, no. 6930.

[4]              Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, vol. 12 (Cairo: Dar al-Hadith, 1998), 303.

[5]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[6]              QS Al-Maidah: 44.

[7]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, 5:242.

[8]              Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin (Cairo: Dar al-Kutub, 1969), 87.

[9]              Al-Juwayni, Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam (Cairo: Dar al-Kutub, 1998), 70.

[10]          Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.

[11]          QS Yusuf: 40.

[12]          Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.

[13]          Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 58.

[14]          Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.

[15]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.

[16]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.


6.           Khawarij dalam Perspektif Kontemporer

6.1.       Khawarij dan Gerakan Ekstremisme Modern

6.1.1.    Kesamaan Ideologis dengan Gerakan Ekstrem Kontemporer

Pemikiran dan karakteristik Khawarij klasik memiliki kemiripan yang signifikan dengan kelompok ekstremisme modern.¹ Konsep takfir (pengkafiran) yang menjadi ciri khas Khawarij, misalnya, diadopsi oleh kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda, yang menganggap Muslim lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai kafir.² Pendekatan literal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an, tanpa memperhatikan konteks historis dan sosial, juga merupakan pola umum di kalangan kelompok ini.³

Fazlur Rahman menyebutkan bahwa kelompok ekstrem modern sering kali menggunakan narasi agama untuk melegitimasi kekerasan, sama seperti yang dilakukan Khawarij.⁴ Dalam konteks ini, Khawarij dapat dianggap sebagai prototipe ekstremisme yang telah mewarnai sejarah umat Islam.⁵

6.1.2.    Pola Kekerasan dan Pemberontakan

Seperti Khawarij, kelompok ekstrem kontemporer cenderung memanfaatkan kekerasan sebagai alat utama untuk mencapai tujuan mereka.⁶ Mereka sering kali menargetkan pemerintah, komunitas Muslim lain yang berbeda pandangan, serta non-Muslim.⁷ Sikap radikal ini, menurut Yusuf Al-Qaradawi, berakar pada ketidakmampuan memahami inti ajaran Islam yang menekankan keseimbangan (wasathiyyah) dan toleransi.⁸

6.2.       Relevansi Pemikiran Khawarij dalam Konflik Modern

6.2.1.    Penggunaan Retorika Religius

Kelompok ekstrem modern menggunakan retorika keagamaan yang mirip dengan slogan Khawarij, seperti “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).⁹ Retorika ini dimaksudkan untuk memberikan legitimasi agama terhadap tindakan mereka, meskipun sering kali salah tafsir dan keluar dari konteks.¹⁰ Sebagai contoh, ISIS menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an secara selektif untuk membenarkan kekhalifahan mereka, meskipun mayoritas ulama menolak legitimasi tersebut.¹¹

6.2.2.    Fragmentasi Internal

Mirip dengan perpecahan internal di kalangan Khawarij, kelompok ekstrem modern juga cenderung terpecah menjadi berbagai faksi yang saling bertentangan.¹² Hal ini menunjukkan pola berulang dalam sejarah, di mana ideologi ekstrem tidak hanya mengancam pihak luar tetapi juga menghancurkan dari dalam.¹³

6.3.       Tantangan dan Solusi

6.3.1.    Tantangan dalam Menangani Ekstremisme

Salah satu tantangan utama dalam menangani ekstremisme adalah ketidakpahaman sebagian masyarakat terhadap sejarah Khawarij dan bagaimana ideologi mereka berkembang.¹⁴ Banyak individu yang terjebak dalam pemikiran ekstrem karena minimnya literasi agama yang benar.¹⁵ Ulama klasik seperti Al-Syahrastani telah menekankan pentingnya pendidikan agama yang moderat untuk mencegah munculnya kembali ideologi serupa.¹⁶

6.3.2.    Pendekatan Moderasi Islam

Pendekatan moderasi (wasathiyyah) yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah solusi yang ditawarkan oleh banyak ulama dalam menghadapi ekstremisme modern. Yusuf Al-Qaradawi dalam Islamic Awakening between Rejection and Extremism menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menolak segala bentuk ekstremisme dan kekerasan, baik dalam keyakinan maupun praktik.¹⁷

Pemerintah dan institusi keagamaan di berbagai negara juga telah mengambil langkah strategis, seperti menyelenggarakan pendidikan agama yang berbasis moderasi dan memberikan platform bagi ulama moderat untuk menyuarakan pemahaman Islam yang inklusif.¹⁸


Catatan Kaki

[1]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.

[2]              Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 31.

[3]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 46.

[4]              Ibid., 47.

[5]              William Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 57.

[6]              Bernard Haykel, The Origins of ISIS (Princeton: Princeton University Press, 2016), 112.

[7]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 110.

[8]              Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.

[9]              QS Yusuf: 40.

[10]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.

[11]          Haykel, The Origins of ISIS, 115.

[12]          Olivier Roy, Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State (Oxford: Oxford University Press, 2017), 91.

[13]          Ibid., 92.

[14]          Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.

[15]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 47.

[16]          Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 112.

[17]          Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 50.

[18]          Bernard Haykel, The Origins of ISIS, 120.


7.           Ibrah dan Pelajaran dari Fenomena Khawarij

7.1.       Pentingnya Moderasi dalam Agama

7.1.1.    Moderasi sebagai Inti Ajaran Islam

Salah satu pelajaran utama dari fenomena Khawarij adalah pentingnya sikap moderasi (wasathiyyah) dalam menjalankan agama. Islam adalah agama yang menekankan keseimbangan antara keyakinan dan amal, serta menganjurkan toleransi dalam menghadapi perbedaan.¹ Rasulullah Muhammad Saw. bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”²

Fenomena Khawarij menunjukkan bahwa ekstremisme, baik dalam beragama maupun dalam memandang perbedaan, dapat menghancurkan persatuan umat.³ Para ulama klasik, seperti Al-Syahrastani, menegaskan bahwa salah satu penyebab utama penyimpangan Khawarij adalah pendekatan mereka yang terlalu literal terhadap teks-teks agama tanpa mempertimbangkan makna kontekstual.⁴

7.1.2.    Relevansi Moderasi dalam Mencegah Ekstremisme

Dalam konteks modern, pelajaran dari Khawarij menjadi lebih relevan, mengingat meningkatnya gerakan-gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama. Fazlur Rahman mencatat bahwa moderasi bukan hanya pilihan teologis, tetapi juga kebutuhan sosial untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang plural.⁵

7.2.       Bahaya Ekstremisme bagi Umat Islam

7.2.1.    Dampak Sosial dan Politik

Ekstremisme seperti yang diperlihatkan oleh Khawarij tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan politik umat Islam.⁶ Ibn Taimiyah menulis bahwa tindakan Khawarij yang mengangkat senjata melawan umat Islam adalah salah satu dosa terbesar, karena mengganggu tatanan masyarakat dan melemahkan kekuatan umat di hadapan musuh eksternal.⁷

Dalam sejarah Islam, pemberontakan Khawarij menyebabkan banyak korban jiwa dan melemahkan kekhalifahan, yang pada akhirnya membuka peluang bagi pihak luar untuk mengeksploitasi kelemahan internal umat Islam.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa ekstremisme bukan hanya ancaman teologis, tetapi juga ancaman strategis yang harus diwaspadai.⁹

7.2.2.    Peran Pendidikan Agama dalam Menangkal Ekstremisme

Pendidikan agama yang benar dan moderat adalah kunci untuk mencegah munculnya ideologi ekstrem. Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah ekstremisme adalah melalui pengajaran Islam yang menekankan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan toleransi.¹⁰ Dengan memahami ajaran Islam secara komprehensif, umat dapat terhindar dari kesalahpahaman yang menjadi akar ideologi ekstrem.¹¹

7.3.       Relevansi untuk Generasi Masa Kini

7.3.1.    Belajar dari Sejarah

Generasi masa kini dapat mengambil pelajaran dari sejarah Khawarij tentang pentingnya menjaga persatuan umat. Perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang wajar dan telah diakui oleh para ulama klasik, seperti Imam Al-Ghazali, yang menekankan pentingnya menghormati perbedaan sebagai bagian dari dinamika intelektual umat Islam.¹²

7.3.2.    Membangun Generasi Moderat

Fenomena Khawarij juga mengajarkan pentingnya membangun generasi muda yang memiliki pemahaman agama yang moderat dan inklusif. Pendidikan berbasis moderasi tidak hanya membantu mencegah ekstremisme, tetapi juga menciptakan pemimpin masa depan yang mampu menghadapi tantangan global dengan bijak.¹³ Sebagai contoh, banyak lembaga pendidikan Islam kontemporer telah memasukkan nilai-nilai moderasi dalam kurikulum mereka untuk membangun generasi yang lebih toleran dan berwawasan luas.¹⁴

7.4.       Mengambil Ibrah dari Kisah Khawarij

7.4.1.    Pentingnya Kesatuan Umat

Fenomena Khawarij mengajarkan bahwa perpecahan dan pertikaian internal hanya akan melemahkan umat Islam. Rasulullah Saw. telah memperingatkan bahaya perpecahan dalam sabdanya: “Janganlah kalian bercerai-berai, karena umat yang terpecah-pecah akan binasa.” ¹⁵ Kesatuan umat adalah pilar utama yang harus dijaga untuk menghadapi tantangan eksternal maupun internal.¹⁶

7.4.2.    Meningkatkan Pemahaman Al-Qur'an dan Hadis

Kisah Khawarij juga mengajarkan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur'an dan hadis. Para ulama, seperti Imam Al-Nawawi, menekankan bahwa umat Islam harus memahami teks agama dengan pendekatan yang kontekstual dan ilmiah, sehingga tidak terjerumus dalam pemahaman yang salah seperti yang terjadi pada Khawarij.¹⁷


Catatan Kaki

[1]              Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.

[2]              Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, no. 6018.

[3]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 108.

[4]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 46.

[5]              Ibid., 47.

[6]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[7]              Ibid., 5:242.

[8]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 239.

[9]              Bernard Haykel, The Origins of ISIS (Princeton: Princeton University Press, 2016), 112.

[10]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 50.

[11]          Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 324.

[12]          Al-Ghazali, Fadha'ih al-Batiniyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1989), 128.

[13]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.

[14]          Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 31.

[15]          Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, no. 1852.

[16]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 47.

[17]          Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 328.


8.           Kesimpulan

Kajian tentang Khawarij memberikan wawasan mendalam mengenai salah satu fenomena ideologis paling signifikan dalam sejarah Islam. Dari sisi historis, kemunculan Khawarij menunjukkan bagaimana perpecahan politik dapat berkembang menjadi konflik teologis yang merusak tatanan sosial umat Islam.¹ Peristiwa tahkim dan pemberontakan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi bukti bahwa perbedaan yang tidak dikelola dengan bijak dapat berujung pada kehancuran persatuan umat.²

Dari sisi teologis, Khawarij dikenal karena pendekatan literal terhadap teks agama dan penggunaan takfir secara serampangan.³ Hal ini tidak hanya mencerminkan kesalahan dalam memahami Al-Qur'an dan hadis, tetapi juga menunjukkan bahaya interpretasi agama yang kaku dan ekstrem.⁴ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Taimiyah, Khawarij menjadi contoh klasik dari kelompok yang menjadikan pandangan mereka sebagai standar mutlak kebenaran, meskipun sebenarnya mereka keliru dalam memahami inti ajaran Islam.⁵

Fenomena Khawarij juga memberikan pelajaran penting tentang bahaya ekstremisme bagi umat Islam. Gerakan mereka melemahkan kekuatan umat, menciptakan konflik internal, dan memberikan peluang bagi musuh Islam untuk mengeksploitasi perpecahan tersebut.⁶ Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fazlur Rahman, ideologi ekstrem selalu mengancam stabilitas sosial dan politik, baik dalam konteks klasik maupun modern.⁷

Pelajaran utama dari kajian ini adalah pentingnya sikap moderasi (wasathiyyah) dalam beragama. Islam mengajarkan keseimbangan antara keyakinan, amal, dan toleransi terhadap perbedaan pendapat. Rasulullah Muhammad Saw. telah memperingatkan bahaya ekstremisme dalam sabdanya: “Jauhilah sikap berlebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan oleh sikap mereka yang berlebihan dalam agama.”⁸ Moderasi bukan hanya tuntutan teologis, tetapi juga kebutuhan praktis untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.⁹

Relevansi kajian Khawarij dalam konteks modern tidak dapat diabaikan. Pola pikir dan tindakan kelompok ekstrem modern, seperti ISIS dan Al-Qaeda, menunjukkan kesamaan dengan Khawarij klasik dalam hal pendekatan literal terhadap agama dan penggunaan takfir.¹⁰ Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk belajar dari sejarah, memahami bahaya ekstremisme, dan mempromosikan pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai moderasi.¹¹ Sebagaimana yang dicatat oleh Yusuf Al-Qaradawi, Islam adalah agama yang menolak segala bentuk kekerasan dan mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan.¹²

Melalui pemahaman yang mendalam tentang sejarah Khawarij dan ajaran Islam yang moderat, umat Islam dapat menjaga persatuan dan menghadapi tantangan ekstremisme dengan bijaksana. Kesadaran akan pentingnya moderasi tidak hanya akan memperkuat akidah umat, tetapi juga membantu membangun masyarakat Islam yang lebih damai dan toleran di masa depan.¹³


Catatan Kaki

[1]              Philip K. Hitti, History of the Arabs, 10th ed. (London: Macmillan, 2002), 235.

[2]              Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1968), 54.

[3]              Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kailani (Beirut: Dar al-Ma'arif, 1992), 108.

[4]              Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 46.

[5]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[6]              Bernard Haykel, The Origins of ISIS (Princeton: Princeton University Press, 2016), 112.

[7]              Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 78.

[8]              Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. 2670.

[9]              Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1991), 45.

[10]          Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 31.

[11]          Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 110.

[12]          Yusuf Al-Qaradawi, Islamic Awakening, 50.

[13]          Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an, 47.


Daftar Pustaka

Al-Asqalani, I. H. (1998). Fathul Bari Sharh Sahih Al-Bukhari (Vol. 12). Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Asy’ari, A. A. H. (1969). Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin. Cairo: Dar al-Kutub.

Al-Ghazali, A. H. (1989). Fadha'ih al-Batiniyyah. Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Nawawi, Y. (1998). Syarh Sahih Muslim (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1991). Islamic Awakening between Rejection and Extremism. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.

Al-Syahrastani, M. A. (1992). Al-Milal wa Al-Nihal (Ed. Muhammad Sayyid Kailani). Beirut: Dar al-Ma'arif.

Fazlur Rahman. (1980). Major Themes of the Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Haykel, B. (2016). The Origins of ISIS. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Hitti, P. K. (2002). History of the Arabs (10th ed.). London: Macmillan.

Ibn Taimiyah. (1992). Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ed. Rashid Salim). Riyadh: Dar al-'Ilm.

Montgomery Watt, W. (1968). Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Montgomery Watt, W. (1973). The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Olivier Roy. (2004). Globalized Islam: The Search for a New Ummah. New York: Columbia University Press.

Olivier Roy. (2017). Jihad and Death: The Global Appeal of Islamic State. Oxford: Oxford University Press.

Sahih al-Bukhari. (n.d.). Kitab al-Fitan. No. 6930.

Sahih Muslim. (n.d.). Kitab al-Iman. No. 2670.

Yusuf, A. (2010). Al-Wasatiyyah: The Concept of Moderation in Islam. Cairo: Al-Azhar Islamic Research Academy.


Lampiran 1: Takhrij hadits

Berikut adalah takhrij dari hadis-hadis yang dikutip dalam artikel tentang “Kajian Komprehensif tentang Khawarij”:


1.            Hadis tentang Khawarij dan Bacaan Al-Qur’an yang Tidak Melewati Tenggorokan

Matn Hadis

“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur'an, namun bacaan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama seperti panah yang melesat dari busurnya.”

Takhrij Hadis

·                     Sumber: Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, No. 6930.

·                     Derajat Hadis: Shahih.

·                     Komentar: Hadis ini diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri dan secara eksplisit merujuk pada karakteristik kelompok Khawarij.


2.            Hadis tentang Sikap Moderasi

Matn Hadis

“Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.”

Takhrij Hadis

·                     Sumber: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra.

·                     Derajat Hadis: Dinyatakan hasan oleh sebagian ulama.

·                     Komentar: Hadis ini sering digunakan untuk menunjukkan pentingnya moderasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk beragama.


3.            Hadis tentang Bahaya Sikap Berlebihan dalam Agama

Matn Hadis

“Jauhilah sikap berlebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan oleh sikap mereka yang berlebihan dalam agama.”

Takhrij Hadis

·                     Sumber: Sahih Muslim, Kitab al-Iman, No. 2670.

·                     Derajat Hadis: Shahih.

·                     Komentar: Hadis ini adalah peringatan dari Rasulullah tentang bahaya ekstremisme dalam beragama, termasuk fenomena seperti yang diperlihatkan oleh Khawarij.


4.            Hadis tentang Larangan Perpecahan dalam Umat

Matn Hadis

“Janganlah kalian bercerai-berai, karena umat yang terpecah-pecah akan binasa.”

Takhrij Hadis

·                     Sumber: Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, No. 1852.

·                     Derajat Hadis: Shahih.

·                     Komentar: Hadis ini menekankan pentingnya menjaga kesatuan umat Islam dan bahaya perpecahan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Khawarij.


5.            Ayat yang Sering Digunakan oleh Khawarij: QS Al-Maidah: 44

Teks Ayat

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”

Komentar Tafsir

·                     Konteks: Ayat ini digunakan oleh Khawarij untuk mendukung doktrin takfir mereka. Namun, para ulama seperti Ibn Taimiyah dan Al-Syahrastani menjelaskan bahwa konteks ayat ini tidak mengacu pada kekafiran mutlak (kufur akbar) melainkan pada sikap zalim atau fasik (kufur duna kufrin).¹


6.            Ayat tentang Tauhid dan Penegasan Hukum Allah: QS Yusuf: 40

Teks Ayat

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.”

Komentar Tafsir

·                     Konteks: Ayat ini sering dijadikan slogan oleh Khawarij: “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Tafsir klasik dari Al-Qurthubi dan Ibn Kathir menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang tauhid, bukan penghapusan sistem pemerintahan manusia.²


Catatan

[1]              Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, ed. Rashid Salim (Riyadh: Dar al-'Ilm, 1992), 5:240.

[2]              Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Vol. 9 (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964), 116.


Lampiran 2: Daftar Kitab Rujukan

Berikut adalah daftar kitab yang berkaitan dengan pemikiran Khawarij, lengkap dengan penjelasan judul, nama penulis, serta masa hidupnya:


1.            Al-Milal wa Al-Nihal

·                     Penulis: Muhammad bin Abdul Karim Al-Syahrastani (1086–1153 M / 479–548 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini adalah salah satu karya klasik yang mengkaji berbagai sekte dalam Islam, termasuk Khawarij. Al-Syahrastani memberikan penjelasan detail tentang doktrin, sub-sekte, dan sejarah kelompok ini, dengan analisis teologis yang mendalam.


2.            Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtilaf Al-Musallin

·                     Penulis: Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873–936 M / 260–324 H)

·                     Penjelasan: Buku ini merupakan referensi utama dalam studi aliran-aliran teologis dalam Islam. Al-Asy’ari mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pemikiran Khawarij sebagai salah satu penyimpangan utama dari ajaran Islam.


3.            Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah

·                     Penulis: Taqiuddin Ahmad bin Abdul Halim Ibn Taimiyah (1263–1328 M / 661–728 H)

·                     Penjelasan: Dalam karya ini, Ibn Taimiyah mengkritik secara mendalam pandangan ekstrem Khawarij, terutama tentang takfir dan pemberontakan terhadap penguasa. Kitab ini relevan dalam membandingkan Khawarij klasik dan ekstremisme modern.


4.            Fathul Bari Sharh Sahih al-Bukhari

·                     Penulis: Ibn Hajar Al-Asqalani (1372–1449 M / 773–852 H)

·                     Penjelasan: Dalam kitab ini, Ibn Hajar memberikan penjelasan rinci tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan Khawarij, termasuk karakteristik dan peringatan Nabi tentang kelompok ini.


5.            Al-Farq bayn al-Firaq

·                     Penulis: Abdul Qahir Al-Baghdadi (d. 1037 M / 429 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini membahas perbedaan antar-sekte dalam Islam, termasuk Khawarij. Al-Baghdadi menjelaskan bagaimana pemikiran mereka berkembang, sub-sekte yang muncul, serta penentangan ulama terhadap ideologi mereka.


6.            Sharh al-Mawaqif

·                     Penulis: Adud al-Din al-Iji (1281–1355 M / 680–756 H)

·                     Penjelasan: Sebuah kitab yang mengulas pandangan teologi dari berbagai kelompok dalam Islam. Al-Iji membahas pandangan Khawarij tentang iman, takfir, dan kekuasaan, serta memberikan kritik rasional terhadap doktrin mereka.


7.            Tabaqat al-Mutakallimin

·                     Penulis: Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Dhahabi (1274–1348 M / 673–748 H)

·                     Penjelasan: Dalam buku ini, Al-Dhahabi mencatat sejarah intelektual para ulama dan pemikir Islam, termasuk pandangan mereka terhadap Khawarij. Kitab ini memberikan perspektif historis tentang bagaimana kelompok Khawarij memengaruhi perkembangan pemikiran Islam.


8.            Ghayat al-Maram fi Ilm al-Kalam

·                     Penulis: Al-Juwayni (1028–1085 M / 419–478 H)

·                     Penjelasan: Kitab ini mengkaji perbedaan teologis di antara sekte Islam, termasuk Khawarij. Al-Juwayni memberikan argumen logis dan teologis untuk menjelaskan kelemahan pandangan Khawarij.


9.            Kitab al-Tauhid wa al-Ibtal li Mazahib al-Batil

·                     Penulis: Ibn Hazm al-Andalusi (994–1064 M / 384–456 H)

·                     Penjelasan: Ibn Hazm membahas tentang tauhid dan menyanggah pandangan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang, termasuk Khawarij. Ia menggunakan pendekatan logis dan teks agama untuk membantah ideologi ekstrem.


10.         Tafsir al-Qurthubi

·                     Penulis: Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi (1214–1273 M / 610–671 H)

·                     Penjelasan: Kitab tafsir ini mencakup penjelasan ayat-ayat yang sering disalahgunakan oleh Khawarij, seperti QS Al-Maidah [05] ayat 44 dan QS Yusuf: 40. Al-Qurthubi memberikan analisis mendalam tentang konteks ayat-ayat tersebut.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar