Relasi Pemikiran Antara Aliran-Aliran Ilmu Kalam
Disclaimer
Sebagai penulis, saya
menegaskan bahwa saya adalah seorang Muslim yang berpegang teguh pada Madhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam teks ini, pembahasan tentang
berbagai aliran ilmu kalam hanya disampaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pengetahuan akademis semata.
Pembahasan tersebut tidak
dimaksudkan untuk mengajak atau menganjurkan pembaca untuk menganut, mendukung,
atau mengajarkan aliran-aliran tersebut kepada orang lain. Setiap pembahasan didasarkan
pada sumber-sumber ilmiah yang valid dan disampaikan dengan sikap objektif
untuk memberikan pemahaman yang luas terhadap berbagai dinamika pemikiran dalam
sejarah Islam.
Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pembaca untuk memperkuat akidah yang lurus dan menambah wawasan
keilmuan, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
PEMBAHASAN
“Persamaan, Perbedaan, dan Relasi Pemikiran Antara
Aliran-Aliran Ilmu Kalam dalam Sejarah Teologi Islam”
1.
Pendahuluan
Ilmu kalam merupakan salah satu cabang keilmuan
yang memainkan peran sentral dalam diskursus intelektual Islam. Sebagai
disiplin teologi Islam, ilmu kalam berfungsi untuk memperjelas, membela, dan
memperkuat keyakinan umat Muslim terhadap dasar-dasar akidah melalui pendekatan
rasional dan argumentatif. Dalam sejarahnya, ilmu kalam tidak hanya lahir
sebagai respons terhadap berbagai tantangan internal dalam Islam, seperti
perbedaan tafsir Al-Qur'an dan hadits, tetapi juga sebagai jawaban terhadap
tantangan eksternal berupa pengaruh filsafat Yunani dan polemik dengan agama
lain. Dengan demikian, ilmu kalam menjadi wadah penting dalam mengharmoniskan
wahyu dan akal, sekaligus menjelaskan doktrin-doktrin keimanan secara
sistematis.¹
Sejarah ilmu kalam menunjukkan bahwa ia berkembang
dalam konteks sosial dan politik yang dinamis. Pada masa awal Islam, persoalan
akidah lebih banyak didiskusikan secara tekstual melalui Al-Qur'an dan sunnah.
Namun, seiring dengan meluasnya wilayah Islam, muncul beragam pemikiran yang
dipengaruhi oleh interaksi dengan kebudayaan lain, seperti Persia dan Yunani.
Hal ini mendorong umat Muslim untuk mempertahankan akidah Islam dengan
menggunakan metode rasional.² Salah satu peristiwa penting yang menjadi titik
balik perkembangan ilmu kalam adalah munculnya perdebatan teologis tentang
qadha dan qadar, sifat-sifat Allah, dan masalah kebebasan manusia.³
Tujuan utama ilmu kalam adalah memperkuat keyakinan
terhadap ajaran Islam yang lurus, sekaligus menjawab keraguan yang timbul
akibat berbagai tantangan ideologis. Namun, dalam prosesnya, perbedaan
metodologi di antara ulama menyebabkan terbentuknya berbagai aliran, seperti
Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Jabariyah, dan Qadariyah. Masing-masing
aliran menawarkan perspektif unik dalam memahami akidah Islam, yang terkadang
menimbulkan polemik namun juga memperkaya wacana teologi Islam.⁴
Melalui artikel ini, diharapkan pembaca dapat
memahami persamaan, perbedaan, dan hubungan pemikiran antara aliran-aliran ilmu
kalam. Dengan pendekatan yang objektif, pembahasan ini tidak hanya mengupas
aspek historis, tetapi juga relevansinya dalam konteks kekinian, terutama dalam
menjawab isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan pluralisme, filsafat, dan
hubungan antaragama. Hal ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang
komprehensif terhadap dinamika pemikiran Islam, sehingga pembaca dapat
mengambil pelajaran dari keberagaman intelektual umat Muslim sepanjang
sejarah.⁵
Catatan Kaki
[1]
¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[2]
² Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 23.
[3]
³ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112.
[4]
⁴ W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 112-115.
[5]
⁵ George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of 'Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), 48.
2.
Konsep
Dasar Ilmu Kalam
Ilmu kalam, yang sering disebut sebagai teologi Islam, adalah cabang ilmu yang
membahas doktrin-doktrin dasar akidah Islam melalui pendekatan sistematis dan
rasional. Kata "kalam" secara harfiah berarti "perkataan"
atau "ucapan," namun dalam konteks keilmuan, ia mengacu pada
argumen-argumen rasional yang digunakan untuk memperjelas, mempertahankan, dan
memperkuat keyakinan terhadap ajaran Islam.¹ Secara umum, ilmu kalam membahas
persoalan-persoalan esensial dalam teologi Islam, seperti keberadaan dan sifat
Allah, hubungan antara wahyu dan akal, qadha dan qadar, kebebasan manusia,
serta keimanan terhadap kehidupan setelah mati.²
2.1. Ruang Lingkup Ilmu Kalam
Ruang lingkup ilmu kalam mencakup tiga dimensi
utama:
1)
Tauhid (Keesaan Allah):
Ilmu kalam
bertujuan untuk mempertegas keesaan Allah dan menolak segala bentuk tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk) atau ta'thil (peniadaan sifat-sifat Allah).³
2)
Sifat Allah:
Dalam
diskursus kalam, sifat-sifat Allah menjadi salah satu topik yang sering
diperdebatkan, terutama dalam menentukan hubungan antara zat Allah dan
sifat-Nya. Beberapa aliran, seperti Mu’tazilah, berpendapat bahwa sifat Allah
tidak terpisah dari zat-Nya, sementara Asy’ariyah menerima adanya sifat Allah
sebagai sesuatu yang berbeda namun tidak terpisah dari zat-Nya.⁴
3)
Qadha dan Qadar:
Perdebatan
antara kebebasan manusia dan determinasi ilahi merupakan tema sentral dalam
ilmu kalam. Aliran seperti Qadariyah menekankan kebebasan manusia, sedangkan
Jabariyah menganggap manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali.⁵
2.2. Metodologi Ilmu Kalam
Ilmu kalam menggunakan pendekatan argumentasi logis
dan rasional untuk memperkuat keyakinan keimanan. Hal ini menjadikan ilmu kalam
berbeda dari pendekatan tekstual murni yang digunakan dalam studi tafsir atau
hadits. Menurut ulama klasik, tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk
mempertahankan keimanan umat Islam dari berbagai tantangan intelektual, baik
yang berasal dari dalam maupun luar Islam.⁶
2.3. Signifikansi Ilmu Kalam dalam Islam
Keberadaan ilmu kalam sangat penting untuk
menjembatani kebutuhan umat Islam dalam memahami akidah secara mendalam dengan
pendekatan yang sesuai dengan tantangan zamannya. Ilmu ini juga membantu umat
Muslim menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teologis yang diajukan oleh
kelompok-kelompok non-Muslim atau oleh pengaruh filsafat asing. Sebagai contoh,
ketika filsafat Yunani mulai dikenal di dunia Islam, para ulama ilmu kalam
seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi menggunakan pendekatan kalam untuk
menyaring elemen-elemen filosofis yang kompatibel dengan ajaran Islam.⁷
Ilmu kalam juga memiliki dimensi praktis, yaitu
membantu umat Muslim mempertahankan keyakinan di tengah pluralitas pemikiran
yang berkembang. Dalam konteks modern, diskursus ilmu kalam tetap relevan untuk
menjawab isu-isu teologis yang berkaitan dengan sains, etika, dan pluralisme
agama.⁸
2.4. Tantangan dalam Ilmu Kalam
Walaupun ilmu kalam memberikan kontribusi besar
dalam diskursus teologi Islam, keberadaannya tidak lepas dari kritik. Sebagian
ulama Salaf, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, memandang ilmu kalam sebagai
disiplin yang dapat membawa umat kepada spekulasi teologis yang berlebihan.
Namun, kritik ini justru mendorong ilmu kalam untuk lebih terarah dan fokus
pada penguatan akidah berdasarkan wahyu dan akal yang sehat.⁹
Catatan Kaki
[1]
¹ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 92.
[2]
² Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 6.
[3]
³ W. Montgomery Watt, Islamic Creeds: A Selection (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 27.
[4]
⁴ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 21.
[5]
⁵ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.
[6]
⁶ Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 45.
[7]
⁷ Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael
E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 3-7.
[8]
⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 123.
[9]
⁹ Ibn Taymiyyah, Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Cairo: Dar al-Kutub, 1981), 1:110.
3.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Kalam
3.1. Masa Awal Islam: Periode Khulafaurasyidin
Sejarah perkembangan ilmu kalam dimulai pada masa
awal Islam, ketika perhatian umat Muslim terfokus pada penguatan akidah melalui
Al-Qur'an dan sunnah. Pada periode Khulafaurasyidin, perbedaan pendapat tentang
persoalan-persoalan teologis mulai muncul. Misalnya, perdebatan terkait status
iman pelaku dosa besar menjadi salah satu topik utama yang memicu diskusi awal
ilmu kalam. Kelompok Khawarij, misalnya, menganggap pelaku dosa besar keluar
dari Islam, sementara kelompok Murji’ah berpendapat sebaliknya, bahwa dosa
besar tidak mempengaruhi status keimanan seseorang selama ia tetap beriman
kepada Allah.¹
3.2. Periode Dinasti Umayyah: Kemunculan Aliran
Qadariyah dan Jabariyah
Pada masa Dinasti Umayyah, persoalan kebebasan
manusia (ikhtiyar) dan takdir (qadar) menjadi perdebatan sentral. Aliran
Qadariyah, yang muncul pada abad ke-7, menekankan bahwa manusia memiliki
kebebasan penuh untuk menentukan perbuatannya. Sebaliknya, aliran Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan, dan semua perbuatan manusia
telah ditentukan oleh kehendak Allah.² Perdebatan ini tidak hanya teologis,
tetapi juga memiliki dimensi politik, karena menyinggung isu legitimasi
kekuasaan dinasti Umayyah yang sering mengaitkan pemerintahannya dengan kehendak
Tuhan.³
3.3. Periode Abbasiyah: Kematangan dan Dominasi Ilmu
Kalam
Ilmu kalam mencapai puncak perkembangannya pada
masa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M). Periode ini ditandai oleh integrasi
filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam melalui penerjemahan karya-karya
Aristoteles dan Plato. Pemikiran rasional filsafat Yunani memberikan pengaruh
besar terhadap perkembangan metode argumen dalam ilmu kalam.⁴
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai salah satu
representasi utama pada periode ini. Mereka dikenal karena pendekatan
rasionalis dalam membahas akidah Islam, terutama konsep keadilan ilahi (‘adl)
dan kebebasan manusia. Mu’tazilah juga mendapat dukungan dari beberapa khalifah
Abbasiyah, seperti al-Ma’mun, yang menjadikan doktrin mereka sebagai mazhab
resmi negara selama peristiwa mihnah (pengujian keimanan).⁵
Sebagai respons terhadap Mu’tazilah, muncul aliran
Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari. Aliran ini mencoba
mencari jalan tengah antara pendekatan rasional Mu’tazilah dan pendekatan
tekstual kaum Salaf. Mereka mempertahankan doktrin tradisional tentang
sifat-sifat Allah, namun dengan menggunakan argumen rasional untuk memperkuat
keyakinan tersebut.⁶
3.4. Periode Pertengahan dan Pasca-Klasik: Perdebatan
dan Sinergi
Pada periode pertengahan, ilmu kalam mulai
berkembang lebih jauh dengan adanya interaksi antara teologi dan filsafat.
Tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi memainkan peran penting
dalam menyelaraskan ilmu kalam dengan filsafat, sekaligus menolak elemen-elemen
filsafat yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam. Al-Ghazali, misalnya,
dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), mengkritik
keras beberapa pandangan filsafat yang dianggap bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti pandangan tentang kekekalan alam.⁷
Selain itu, pada masa ini juga berkembang pemikiran
kalam di luar tradisi Sunni, seperti kalam dalam teologi Syi’ah. Teologi
Syi’ah, terutama yang berpusat pada doktrin imamah, memberikan perspektif yang
unik terhadap konsep keadilan ilahi dan kebebasan manusia.⁸
3.5. Masa Modern: Relevansi Ilmu Kalam di Era
Kontemporer
Pada era modern, ilmu kalam tetap relevan untuk
menjawab tantangan-tantangan baru, seperti isu pluralisme agama, sekularisme,
dan hubungan antara agama dan sains. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan
Fazlur Rahman menggunakan pendekatan ilmu kalam untuk mereformasi pemikiran
Islam, menjadikannya lebih responsif terhadap kebutuhan zaman tanpa mengabaikan
prinsip-prinsip dasar akidah Islam.⁹
Catatan Kaki
[1]
¹ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 45.
[2]
² W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.
[3]
³ George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of 'Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), 25.
[4]
⁴ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 89.
[5]
⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[6]
⁶ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 45.
[7]
⁷ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 3-7.
[8]
⁸ Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 112.
[9]
⁹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 134.
4.
Aliran-Aliran
Utama dalam Ilmu Kalam
4.1. Mu’tazilah: Rasionalisme Teologis
Mu’tazilah, dikenal sebagai "ahl al-tawhid
wa al-‘adl" (pendukung keesaan Allah dan keadilan), adalah salah satu
aliran ilmu kalam yang menonjolkan pendekatan rasional dalam membahas akidah
Islam. Mu’tazilah muncul pada abad ke-8 M di Basrah, dengan pendirinya Wasil
ibn ‘Ata’.¹ Mereka menekankan lima prinsip dasar (al-usul al-khamsah),
yaitu:
1)
Keesaan Allah (tawhid).
2)
Keadilan Allah (‘adl).
3)
Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
4)
Posisi antara dua posisi (manzilah bayna manzilatayn), yaitu
status pelaku dosa besar.
5)
Amar ma’ruf nahi munkar.²
Mu’tazilah percaya bahwa sifat Allah tidak terpisah
dari zat-Nya dan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya,
sehingga bertanggung jawab atas perbuatannya.³ Namun, dominasi Mu’tazilah mulai
meredup setelah peristiwa mihnah dan munculnya kritik dari aliran Asy’ariyah.⁴
4.2. Asy’ariyah: Jalan Tengah antara Rasionalisme dan
Tekstualisme
Asy’ariyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
(874–936 M), seorang mantan pengikut Mu’tazilah yang kemudian meninggalkan
doktrin tersebut dan merumuskan pendekatan baru. Aliran ini mencoba mendamaikan
pendekatan rasional Mu’tazilah dengan pandangan tekstual kaum Salaf.⁵
Asy’ariyah menegaskan bahwa:
·
Sifat-sifat Allah bersifat nyata, tetapi tidak menyerupai sifat
makhluk-Nya.
·
Kehendak Allah adalah absolut, tetapi manusia tetap bertanggung jawab
atas tindakannya melalui konsep kasb (perolehan).⁶
Pendekatan moderat ini menjadikan Asy’ariyah
sebagai salah satu aliran paling dominan dalam teologi Sunni, dengan dukungan
dari tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan al-Baqillani.⁷
4.3. Maturidiyah: Rasionalisme Berbasis Teks
Maturidiyah, yang dipelopori oleh Abu Mansur
al-Maturidi (853–944 M) di Samarkand, memiliki banyak kesamaan dengan
Asy’ariyah, tetapi dengan beberapa perbedaan. Al-Maturidi lebih menekankan
peran akal dalam memahami wahyu dan menegaskan bahwa akal dapat mengetahui baik
dan buruk secara independen.⁸
Beberapa pandangan utama Maturidiyah adalah:
·
Manusia memiliki kebebasan yang lebih luas dibandingkan konsep kasb
Asy’ariyah.
·
Sifat-sifat Allah dapat dipahami secara rasional dengan tetap menjaga
transendensi-Nya.
·
Kehendak Allah tidak menghilangkan keadilan-Nya dalam menetapkan
takdir.⁹
Maturidiyah menjadi aliran dominan di kalangan
Sunni di wilayah Asia Tengah, Turki, dan Asia Selatan.
4.4. Jabariyah: Determinisme Absolut
Jabariyah adalah aliran yang menekankan bahwa
manusia tidak memiliki kehendak bebas, dan segala perbuatannya adalah hasil
dari kehendak mutlak Allah. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
daya sama sekali, sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya.¹⁰
Pendapat Jabariyah banyak dikritik karena dianggap
bertentangan dengan prinsip keadilan Allah, terutama oleh Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
4.5. Qadariyah: Kebebasan Mutlak Manusia
Qadariyah adalah aliran yang menekankan kebebasan
manusia dalam menentukan perbuatannya, bertolak belakang dengan Jabariyah.
Mereka percaya bahwa Allah memberikan kebebasan penuh kepada manusia untuk
bertindak, sehingga tanggung jawab atas perbuatan sepenuhnya berada di tangan
manusia.¹¹
Qadariyah dianggap sebagai pionir diskusi tentang
kebebasan manusia dalam ilmu kalam, tetapi pandangan ekstrem mereka juga
mendapat kritik dari ulama lainnya.
4.6. Salafiyah: Tekstualisme dalam Akidah
Salafiyah adalah aliran yang berpegang teguh pada
pendekatan tekstual dalam memahami akidah Islam. Mereka menolak penggunaan
metode rasional yang dianggap spekulatif, serta menegaskan bahwa segala
permasalahan akidah harus merujuk langsung pada Al-Qur’an dan sunnah.¹²
Tokoh-tokoh Salaf, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, sering mengkritik ilmu kalam
karena dianggap terlalu banyak berdebat dalam persoalan yang tidak esensial.
4.7. Syi’ah Imamah: Teologi Berbasis Kepemimpinan
Dalam teologi Syi’ah, konsep imamah menjadi
pusat diskursus akidah. Mereka percaya bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya
Rasulullah ditentukan oleh Allah melalui para imam yang maksum.¹³ Syi’ah juga
mengedepankan konsep keadilan ilahi yang serupa dengan Mu’tazilah, tetapi
dengan pendekatan yang lebih mendalam terhadap isu-isu spiritual dan esoterik.
Catatan Kaki
[1]
¹ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 21.
[2]
² Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 56.
[3]
³ W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 47.
[4]
⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 87.
[5]
⁵ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 30.
[6]
⁶ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin
Faris (Beirut: American University of Beirut, 1966), 3:40.
[7]
⁷ Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 23.
[8]
⁸ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 120.
[9]
⁹ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[10]
¹⁰ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 102.
[11]
¹¹ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 133.
[12]
¹² Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 108.
[13]
¹³ Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 112.
5.
Persamaan
Pemikiran Antar Aliran Ilmu Kalam
Meskipun terdapat banyak perbedaan metodologis dan
teologis di antara berbagai aliran ilmu kalam, ada sejumlah persamaan mendasar
yang menjadi dasar bagi pemikiran teologis Islam. Persamaan ini mencerminkan
kesatuan prinsip keimanan dalam Islam sekaligus menunjukkan bahwa berbagai
aliran kalam berusaha untuk memperkuat akidah umat Muslim dalam menghadapi
tantangan zaman. Berikut adalah beberapa persamaan utama:
5.1. Keyakinan terhadap Keesaan Allah (Tauhid)
Semua aliran ilmu kalam sepakat bahwa tauhid, atau
keesaan Allah, adalah prinsip teologis utama dalam Islam. Tauhid tidak hanya
melibatkan pengakuan bahwa Allah adalah satu, tetapi juga mencakup pemahaman
tentang sifat-sifat-Nya yang unik dan tidak menyerupai makhluk.¹ Aliran-aliran
seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah menekankan pentingnya
mempertahankan transendensi Allah (tanzih), meskipun terdapat perbedaan
dalam cara mereka memahami hubungan antara sifat dan zat Allah.²
5.2. Komitmen terhadap Wahyu sebagai Sumber Utama
Semua aliran ilmu kalam menerima bahwa Al-Qur’an
dan sunnah adalah sumber utama dalam memahami akidah Islam. Wahyu dianggap
sebagai pedoman ilahi yang tak terbantahkan, meskipun pendekatan terhadap
interpretasi wahyu berbeda di antara aliran-aliran tersebut.³ Mu’tazilah,
misalnya, lebih condong kepada interpretasi rasional, sementara Salafiyah lebih
menekankan pendekatan literal dan tekstual.⁴
5.3. Pembahasan tentang Sifat Allah
Setiap aliran ilmu kalam membahas sifat-sifat Allah
secara mendalam, meskipun terdapat perbedaan dalam interpretasi. Persamaan di
antara aliran-aliran ini terletak pada keyakinan bahwa sifat-sifat Allah adalah
bagian integral dari doktrin tauhid.⁵ Perbedaan seperti apakah sifat-sifat itu
identik dengan zat Allah (pandangan Mu’tazilah) atau berbeda namun inheren
dalam zat-Nya (pandangan Asy’ariyah dan Maturidiyah) menunjukkan bahwa
pembahasan ini selalu berakar pada tujuan untuk menjaga kemurnian akidah
Islam.⁶
5.4. Kepercayaan pada Hari Akhir
Semua aliran ilmu kalam sepakat tentang kepercayaan
terhadap kehidupan setelah mati, termasuk pembalasan amal di akhirat. Isu ini
menjadi salah satu tema sentral dalam diskursus teologis karena berkaitan
dengan doktrin keadilan ilahi (‘adl).⁷ Aliran seperti Mu’tazilah
menekankan bahwa keadilan Allah memastikan bahwa semua manusia akan menerima
balasan sesuai dengan amal perbuatannya, sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa
segala keputusan Allah, termasuk hukuman dan pahala, adalah berdasarkan
kehendak-Nya yang absolut.⁸
5.5. Penekanan pada Pentingnya Akidah dalam Kehidupan
Semua aliran kalam sepakat bahwa akidah adalah
fondasi utama kehidupan seorang Muslim. Ilmu kalam dipandang sebagai alat untuk
memperkuat keyakinan, melindungi umat dari keraguan, dan menjawab tantangan
pemikiran yang datang dari luar Islam, seperti filsafat Yunani dan agama-agama
lain.⁹ Sebagai contoh, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah menggunakan argumen
rasional untuk mempertahankan akidah Islam, meskipun metode yang digunakan
berbeda.
5.6. Tujuan untuk Melindungi Akidah Umat Islam
Semua aliran ilmu kalam berusaha untuk
mempertahankan keimanan umat Islam dari pengaruh eksternal dan internal yang
dapat merusak keyakinan. Diskusi teologis, seperti tentang qadha dan qadar atau
status iman pelaku dosa besar, bertujuan untuk menjawab berbagai tantangan yang
dapat mengancam stabilitas akidah umat.¹⁰ Dalam hal ini, meskipun terdapat
perbedaan pandangan, semua aliran berbagi tujuan yang sama: memperkokoh
keimanan umat.
Catatan Kaki
[1]
¹ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 45.
[2]
² W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 23.
[3]
³ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 14.
[4]
⁴ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 120.
[5]
⁵ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 87.
[6]
⁶ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[7]
⁷ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 98.
[8]
⁸ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Beirut: American University of Beirut, 1966), 2:40.
[9]
⁹ Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary (New York: HarperOne, 2015), 110.
[10]
¹⁰ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
6.
Perbedaan
Pemikiran Antar Aliran Ilmu Kalam
Meskipun memiliki persamaan dalam prinsip dasar
akidah, aliran-aliran ilmu kalam berbeda dalam pendekatan metodologis,
pandangan teologis, dan cara mereka menjawab berbagai isu fundamental dalam
Islam. Perbedaan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor intelektual, budaya,
dan konteks politik di mana masing-masing aliran berkembang. Berikut adalah
perbedaan utama dalam pemikiran antar aliran ilmu kalam:
6.1. Pendekatan Metodologis: Tekstual vs Rasional
Salah satu perbedaan mendasar antar aliran adalah
pendekatan mereka terhadap hubungan antara wahyu dan akal. Salafiyah, misalnya,
mengadopsi pendekatan tekstual dan menolak penggunaan akal yang dianggap
spekulatif dalam isu-isu teologis. Mereka berpendapat bahwa wahyu harus
diterima sebagaimana adanya tanpa interpretasi rasional yang mendalam.¹
Sebaliknya, Mu’tazilah mengedepankan pendekatan rasional, dengan keyakinan
bahwa akal adalah alat penting untuk memahami wahyu secara logis dan
sistematis.²
Asy’ariyah dan Maturidiyah mencoba mengambil jalan
tengah, dengan memadukan pendekatan tekstual dan rasional untuk menjaga
keseimbangan antara akal dan wahyu.³
6.2. Pandangan tentang Sifat Allah
Perdebatan tentang sifat Allah merupakan salah satu
isu paling kontroversial dalam ilmu kalam. Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat
Allah tidak terpisah dari zat-Nya, karena jika sifat-sifat itu dianggap
terpisah, maka hal ini akan bertentangan dengan prinsip tauhid.⁴ Di sisi lain,
Asy’ariyah dan Maturidiyah menerima bahwa sifat Allah berbeda dari zat-Nya,
tetapi tetap inheren dan tidak menyerupai sifat makhluk.⁵
Pendekatan Salafiyah terhadap sifat Allah lebih
tekstual, dengan menegaskan bahwa sifat Allah harus diterima sebagaimana yang
dinyatakan dalam wahyu tanpa interpretasi tambahan.⁶
6.3. Kebebasan Manusia dan Takdir (Qadha dan Qadar)
Persoalan kebebasan manusia dan kehendak ilahi
menjadi salah satu isu yang paling diperdebatkan. Jabariyah meyakini bahwa
manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali; semua perbuatan manusia
ditentukan sepenuhnya oleh kehendak Allah.⁷ Sebaliknya, Qadariyah mengajarkan
bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan tindakannya dan
bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.⁸
Mu’tazilah mengambil posisi yang mirip dengan
Qadariyah tetapi dengan penekanan pada keadilan Allah, yang menurut mereka menuntut
adanya kebebasan manusia.⁹ Asy’ariyah mengajukan konsep kasb
(perolehan), yang menjelaskan bahwa manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya, meskipun segala sesuatu pada akhirnya bergantung pada kehendak
Allah.¹⁰
6.4. Status Pelaku Dosa Besar
Perbedaan pandangan tentang status pelaku dosa
besar mencerminkan berbagai pendekatan teologis terhadap isu ini. Khawarij
menganggap bahwa pelaku dosa besar keluar dari Islam (kafir), sedangkan
Murji’ah menyatakan bahwa pelaku dosa besar tetap beriman dan urusannya
diserahkan kepada Allah.¹¹
Mu’tazilah menawarkan pandangan "posisi di
antara dua posisi" (manzilah bayna manzilatayn), yang
menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak kafir, tetapi juga bukan mukmin
sejati.¹² Sebaliknya, Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tetap mukmin tetapi berada dalam bahaya mendapatkan hukuman Allah.¹³
6.5. Peran Akal dalam Menentukan Baik dan Buruk
Mu’tazilah percaya bahwa akal manusia dapat
mengetahui baik dan buruk secara independen dari wahyu. Pandangan ini didasarkan
pada prinsip keadilan Allah, yang menurut mereka memungkinkan manusia untuk
bertanggung jawab atas perbuatannya.¹⁴ Sebaliknya, Asy’ariyah berpendapat bahwa
baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena Allah yang
menentukan apa yang baik dan buruk.¹⁵
Maturidiyah mengambil posisi di tengah, dengan
menyatakan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal yang baik dan buruk secara umum,
tetapi wahyu diperlukan untuk memberikan panduan yang lebih rinci.¹⁶
6.6. Interaksi dengan Filsafat
Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani,
khususnya logika Aristotelian, dan menggunakan pendekatan ini untuk memperkuat
argumen teologis mereka.¹⁷ Sebaliknya, aliran Salafiyah menolak pengaruh
filsafat asing dalam teologi dan menganggapnya sebagai ancaman terhadap
kemurnian ajaran Islam.¹⁸ Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil pendekatan
selektif, menggunakan elemen-elemen filsafat yang sesuai dengan akidah Islam
sambil menolak elemen-elemen yang dianggap bertentangan.¹⁹
Catatan Kaki
[1]
¹ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 108.
[2]
² Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[3]
³ W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 47.
[4]
⁴ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 45.
[5]
⁵ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 21.
[6]
⁶ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Beirut: American University of Beirut, 1966), 2:40.
[7]
⁷ W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.
[8]
⁸ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 133.
[9]
⁹ George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of 'Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), 25.
[10]
¹⁰ Abu Hamid al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E.
Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 30.
[11]
¹¹ W. Montgomery Watt, Islamic Creeds: A Selection (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1994), 27.
[12]
¹² Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[13]
¹³ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, 35.
[14]
¹⁴ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam, 54.
[15]
¹⁵ Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of
Chicago Press, 1982), 45.
[16]
¹⁶ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 120.
[17]
¹⁷ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[18]
¹⁸ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,
110.
[19]
¹⁹ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 3-7.
7.
Relasi
dan Dinamika Pemikiran Antar Aliran
Relasi antar aliran ilmu kalam dalam sejarah Islam
mencerminkan dinamika intelektual yang kompleks. Diskursus antar aliran sering
kali berbentuk dialog, perdebatan, dan kritik yang berkontribusi pada
perkembangan pemikiran teologi Islam. Meskipun ada persaingan di antara mereka,
relasi ini juga menghasilkan sintesis pemikiran yang memperkaya wacana teologi
Islam secara keseluruhan. Berikut ini adalah beberapa dimensi penting dari
relasi dan dinamika pemikiran antar aliran ilmu kalam.
7.1. Polemik dan Kritik: Saling Tantang untuk Penguatan
Pemikiran
Perbedaan pandangan di antara aliran-aliran ilmu
kalam sering kali menjadi dasar terjadinya polemik. Salah satu contoh
signifikan adalah kritik Asy’ariyah terhadap doktrin rasionalisme Mu’tazilah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari, misalnya, menolak pandangan Mu’tazilah tentang sifat
Allah, yang menurutnya terlalu meniadakan sifat-sifat Allah demi mempertahankan
keesaan-Nya.¹ Di sisi lain, Mu’tazilah mengkritik Asy’ariyah karena dianggap
terlalu bergantung pada teks dan mengabaikan peran akal dalam memahami wahyu.²
Polemik juga terjadi antara Salafiyah dan kelompok
rasionalis seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Salafiyah menolak penggunaan
logika Aristotelian dan pendekatan spekulatif yang dianggap mereka sebagai
penyimpangan dari metode pemahaman tekstual yang murni.³
7.2. Pengaruh Politik dalam Relasi Antar Aliran
Relasi antar aliran ilmu kalam tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh politik. Sebagai contoh, aliran Mu’tazilah menjadi
aliran resmi negara pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun dalam Dinasti
Abbasiyah. Peristiwa mihnah (pengujian akidah) menunjukkan bagaimana
doktrin Mu’tazilah digunakan sebagai alat politik untuk memperkuat otoritas
negara. Hal ini memicu resistensi dari ulama-ulama tradisionalis, seperti Imam
Ahmad bin Hanbal, yang menolak doktrin Mu’tazilah tentang penciptaan
Al-Qur’an.⁴
Sebaliknya, dominasi Asy’ariyah di kemudian hari
sebagian besar dipengaruhi oleh dukungan politik dari penguasa Seljuk. Dukungan
ini memungkinkan Asy’ariyah berkembang menjadi salah satu aliran teologi Sunni
yang paling dominan.⁵
7.3. Dialog dan Sintesis Pemikiran
Meskipun sering bersifat polemik, relasi antar
aliran ilmu kalam juga menghasilkan dialog yang konstruktif. Salah satu
contohnya adalah usaha al-Ghazali dalam menyelaraskan pendekatan Asy’ariyah
dengan elemen-elemen filsafat Yunani. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah
(Kerancuan Para Filosof), al-Ghazali mengkritik pandangan filsafat yang
bertentangan dengan ajaran Islam, namun ia tetap mengadopsi metode logika
Aristotelian dalam argumen-argumen teologisnya.⁶
Di sisi lain, Maturidiyah juga menciptakan sintesis
pemikiran dengan mengadopsi elemen-elemen dari Mu’tazilah, seperti pengakuan
akan peran akal dalam memahami baik dan buruk, sambil tetap mempertahankan
prinsip-prinsip tradisional Sunni.⁷
7.4. Relasi dengan Tradisi Filsafat
Aliran-aliran ilmu kalam seperti Mu’tazilah dan
Asy’ariyah terlibat dalam diskusi intens dengan filsafat Yunani, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah. Dialog antara
kalam dan filsafat menghasilkan perkembangan metodologi argumentasi yang lebih
canggih, seperti logika formal dan silogisme. Namun, aliran Salafiyah menolak
segala bentuk interaksi dengan filsafat karena dianggap berpotensi menyesatkan
akidah.⁸
7.5. Upaya Rekonsiliasi di Masa Modern
Di era modern, beberapa ulama dan intelektual
Muslim berusaha untuk merekonsiliasi perbedaan antar aliran ilmu kalam.
Muhammad Abduh, misalnya, memadukan elemen-elemen rasionalisme Mu’tazilah
dengan prinsip-prinsip Asy’ariyah untuk menjawab tantangan intelektual modern
seperti sekularisme dan sains.⁹ Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan
pemahaman teologi Islam yang relevan dengan konteks kontemporer tanpa
mengorbankan prinsip dasar akidah.
Catatan Kaki
[1]
¹ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 30.
[2]
² W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.
[3]
³ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 108.
[4]
⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[5]
⁵ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[6]
⁶ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 30.
[7]
⁷ Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of
Chicago Press, 1982), 45.
[8]
⁸ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 120.
[9]
⁹ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
8.
Signifikansi
dan Pelajaran dari Kajian Ilmu Kalam
8.1. Signifikansi Ilmu Kalam dalam Sejarah Pemikiran
Islam
Ilmu kalam memiliki peran yang sangat signifikan
dalam sejarah pemikiran Islam. Sebagai disiplin teologi, ilmu kalam tidak hanya
berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat akidah umat Muslim, tetapi juga
memberikan respons intelektual terhadap berbagai tantangan yang muncul
sepanjang sejarah Islam.¹ Dalam konteks awal Islam, ilmu kalam membantu
menjawab persoalan-persoalan fundamental tentang akidah, seperti hubungan
antara sifat Allah dan zat-Nya, kebebasan manusia, serta keadilan ilahi.²
Di era Abbasiyah, ilmu kalam menunjukkan
relevansinya dengan memberikan respon terhadap pengaruh filsafat Yunani dan
tantangan ideologi dari agama-agama lain. Aliran-aliran seperti Mu’tazilah dan
Asy’ariyah menggunakan metode rasional untuk mempertahankan ajaran Islam dalam
menghadapi kritik eksternal.³ Hal ini menunjukkan bahwa ilmu kalam tidak hanya
bersifat defensif, tetapi juga adaptif terhadap perkembangan intelektual.
8.2. Kontribusi Ilmu Kalam terhadap Keilmuan Islam
Ilmu kalam memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan keilmuan Islam, terutama dalam hal metodologi argumentasi. Dengan
mengadopsi elemen-elemen logika Aristotelian, ilmu kalam memperkenalkan
struktur berpikir yang sistematis dalam menjelaskan dan mempertahankan
doktrin-doktrin Islam.⁴ Pendekatan ini memengaruhi disiplin ilmu lain, seperti
tafsir, usul fiqh, dan filsafat Islam.⁵
Tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan Fakhruddin
al-Razi tidak hanya memperkaya ilmu kalam, tetapi juga membangun jembatan
antara kalam dan filsafat, menghasilkan sintesis pemikiran yang memperluas
cakrawala intelektual umat Muslim.⁶
8.3. Relevansi Ilmu Kalam di Era Modern
Di era modern, ilmu kalam tetap relevan untuk
menjawab tantangan-tantangan baru yang dihadapi umat Islam, seperti pluralisme
agama, sekularisme, dan hubungan antara agama dan sains. Ilmu kalam membantu
umat Muslim untuk memahami isu-isu teologis secara mendalam, dengan
mempertimbangkan konteks kontemporer tanpa mengorbankan prinsip dasar akidah.⁷
Misalnya, para pemikir seperti Muhammad Abduh dan
Fazlur Rahman menggunakan pendekatan ilmu kalam untuk menjawab tantangan
modernitas dan menjelaskan bagaimana Islam tetap relevan dalam dunia yang terus
berubah.⁸ Ilmu kalam juga menjadi alat untuk memperkuat keyakinan umat Muslim
di tengah pengaruh pemikiran global yang sering kali bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.⁹
8.4. Pelajaran dari Kajian Ilmu Kalam
Kajian ilmu kalam memberikan sejumlah pelajaran
penting yang relevan bagi umat Muslim:
·
Toleransi terhadap Perbedaan:
Perbedaan
pandangan antar aliran ilmu kalam menunjukkan bahwa diskusi intelektual adalah
bagian integral dari tradisi Islam. Mempelajari ilmu kalam membantu umat Muslim
untuk menghargai keberagaman pemikiran dan memahami pentingnya dialog dalam
memperkuat akidah.¹⁰
·
Pentingnya Akal dalam Beragama:
Ilmu kalam
menunjukkan bahwa akal memiliki peran penting dalam memahami wahyu. Hal ini
mengajarkan umat Islam untuk tidak hanya bergantung pada teks, tetapi juga
menggunakan akal secara kritis dalam menghadapi tantangan intelektual.¹¹
·
Kontekstualisasi Ajaran Islam:
Ilmu kalam
mengajarkan pentingnya menyesuaikan pemahaman teologi dengan tantangan zaman,
tanpa meninggalkan prinsip dasar Islam.¹²
8.5. Implikasi bagi Pendidikan Islam
Ilmu kalam juga memiliki dampak signifikan dalam
pendidikan Islam. Sebagai salah satu cabang ilmu yang diajarkan di
madrasah-madrasah tradisional, ilmu kalam membantu siswa memahami ajaran Islam
secara sistematis dan rasional.¹³ Dalam konteks modern, integrasi ilmu kalam
dengan isu-isu kontemporer seperti etika, teknologi, dan ekologi dapat membantu
membentuk pemikiran generasi Muslim yang kritis dan relevan.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[2]
² Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 21.
[3]
³ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[4]
⁴ Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 10.
[5]
⁵ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 60.
[6]
⁶ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 15.
[7]
⁷ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 56.
[8]
⁸ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 45.
[9]
⁹ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 123.
[10]
¹⁰ W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 30.
[11]
¹¹ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 10.
[12]
¹² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 90.
[13]
¹³ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 75.
[14]
¹⁴ Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 70.
9.
Studi
Kasus untuk Pengayaan Diskusi
Pembahasan tentang ilmu kalam akan semakin kaya dan
mendalam dengan menyajikan studi kasus yang konkret. Studi kasus ini tidak
hanya menggambarkan persamaan dan perbedaan antar aliran, tetapi juga
menunjukkan dinamika hubungan serta dampaknya terhadap perkembangan teologi
Islam. Berikut adalah tiga studi kasus utama yang relevan:
9.1. Perdebatan tentang Sifat Allah: Mu’tazilah vs
Asy’ariyah
Salah satu perdebatan teologis terbesar dalam
sejarah ilmu kalam adalah tentang sifat-sifat Allah. Mu’tazilah berpendapat
bahwa sifat Allah tidak berbeda dari zat-Nya, karena mengakui perbedaan antara
sifat dan zat dapat mengarah pada ta’addud al-qudama (penggandaan
hal-hal yang qadim), yang bertentangan dengan konsep tauhid.¹ Sebagai contoh,
mereka menolak konsep sifat-sifat Allah seperti ilmu, kuasa, dan kehendak
sebagai sesuatu yang independen dari zat Allah.²
Sebaliknya, Asy’ariyah menegaskan bahwa sifat
Allah, seperti ilmu dan kuasa, berbeda tetapi inheren dalam zat-Nya. Mereka
menggunakan pendekatan rasional untuk mempertahankan pandangan ini tanpa
melanggar prinsip tauhid.³ Pendekatan Asy’ariyah ini menjadi landasan bagi
mayoritas teologi Sunni dan dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh seperti
al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.⁴
Perdebatan ini mencerminkan bagaimana kedua aliran
mencoba menjelaskan keagungan Allah dengan menggunakan pendekatan yang berbeda,
yang pada akhirnya memperkaya wacana teologi Islam.
9.2. Kebebasan Manusia dan Takdir: Jabariyah vs
Qadariyah
Isu tentang kebebasan manusia dan takdir adalah
salah satu tema sentral dalam ilmu kalam. Jabariyah berpendapat bahwa manusia
tidak memiliki kebebasan sama sekali; segala perbuatan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh kehendak Allah.⁵ Mereka menggunakan dalil Al-Qur’an, seperti dalam QS.
Al-An’am: 59, yang menegaskan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh
Allah.⁶
Sebaliknya, Qadariyah menekankan bahwa manusia
memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan tindakannya. Mereka mendasarkan
argumen ini pada keadilan Allah, yang mengharuskan manusia bertanggung jawab
atas perbuatannya. QS. Al-Kahfi: 29, yang menyatakan bahwa manusia bebas
memilih jalan hidupnya, sering menjadi landasan pandangan ini.⁷
Debat antara Jabariyah dan Qadariyah kemudian
menghasilkan pandangan moderat dari Asy’ariyah dengan konsep kasb
(perolehan), yang menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya
meskipun kehendak Allah tetap menjadi otoritas tertinggi.⁸
9.3. Peristiwa Mihnah dan Penciptaan Al-Qur’an
Peristiwa mihnah (pengujian akidah) pada
masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (813–833 M) menjadi contoh bagaimana
diskursus teologis digunakan sebagai alat politik. Aliran Mu’tazilah, yang
mendominasi teologi resmi pada masa itu, memaksakan doktrin mereka tentang
penciptaan Al-Qur’an kepada seluruh umat Muslim, termasuk para ulama.⁹
Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah untuk menjaga prinsip tauhid. Jika Al-Qur’an
dianggap qadim, mereka berpendapat bahwa ini akan menimbulkan dualisme qadim
selain Allah.¹⁰ Namun, doktrin ini ditolak oleh mayoritas ulama, termasuk Imam
Ahmad bin Hanbal, yang dipenjara karena menolak pandangan ini.¹¹
Peristiwa mihnah menunjukkan bagaimana
doktrin teologis dapat digunakan untuk tujuan politik, tetapi juga membuka
jalan bagi resistensi intelektual terhadap dominasi satu aliran tertentu,
sehingga memungkinkan diversifikasi pemikiran dalam ilmu kalam.¹²
Pelajaran dari Studi Kasus
Studi kasus ini memberikan pelajaran penting dalam
memahami dinamika ilmu kalam:
1)
Konteks dan Metode Berbeda untuk Tujuan yang Sama:
Perbedaan
pendekatan antar aliran menunjukkan bahwa meskipun metode mereka berbeda,
tujuannya tetap untuk menjaga kemurnian akidah Islam.
2)
Dampak Politik pada Diskursus Teologi:
Peristiwa
seperti mihnah menunjukkan bahwa teologi tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh politik dan sosial.
3)
Pentingnya Dialog:
Perdebatan
seperti antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah tidak hanya memperkuat argumen
masing-masing, tetapi juga menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang
prinsip-prinsip teologis.
Catatan Kaki
[1]
¹ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 45.
[2]
² W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 23.
[3]
³ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 30.
[4]
⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 87.
[5]
⁵ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 133.
[6]
⁶ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 54.
[7]
⁷ Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary (New York: HarperOne, 2015), 289.
[8]
⁸ Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 10.
[9]
⁹ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[10]
¹⁰ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy,
123.
[11]
¹¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[12]
¹² W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.
10. Kesimpulan dan Rekomendasi
10.1. Kesimpulan
Kajian tentang persamaan, perbedaan, dan relasi
pemikiran antar aliran ilmu kalam menunjukkan bahwa dinamika intelektual dalam
sejarah teologi Islam sangat kompleks namun kaya dengan pelajaran. Semua aliran
ilmu kalam, meskipun berbeda dalam metode dan pendekatan, memiliki tujuan yang
sama: mempertahankan akidah Islam dari tantangan internal dan eksternal.¹
1)
Persamaan Pemikiran:
Semua aliran
ilmu kalam sepakat pada prinsip-prinsip dasar keimanan seperti tauhid, keadilan
Allah, dan kehidupan setelah mati. Persamaan ini mencerminkan kesatuan dalam
keimanan Islam yang menjadi landasan bagi keberagaman pemikiran.²
2)
Perbedaan Pemikiran:
Perbedaan
metodologis dan pandangan teologis, seperti dalam isu sifat Allah, kebebasan manusia,
dan status pelaku dosa besar, mencerminkan keragaman dalam memahami doktrin
Islam. Perbedaan ini tidak hanya memperkaya diskursus teologi Islam, tetapi
juga menunjukkan adaptasi pemikiran terhadap konteks sosial, politik, dan
budaya yang berbeda.³
3)
Relasi Pemikiran:
Relasi antar
aliran mencerminkan keseimbangan antara polemik, dialog, dan sintesis.
Perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, misalnya, telah mendorong
pengembangan metodologi teologi yang lebih sistematis, sementara dialog antara
kalam dan filsafat memperkaya tradisi intelektual Islam.⁴
Dinamika ini menunjukkan bahwa ilmu kalam adalah
cerminan keberagaman intelektual Islam yang berfungsi sebagai alat untuk
memperkuat akidah dan menjawab tantangan intelektual pada setiap zaman.⁵
10.2. Rekomendasi
1)
Pentingnya Kajian Mendalam tentang Ilmu Kalam:
Kajian
tentang ilmu kalam harus terus didorong di kalangan akademisi Muslim untuk
memahami sejarah pemikiran Islam secara holistik. Dengan mempelajari ilmu
kalam, umat Muslim dapat memahami bahwa perbedaan pemikiran adalah bagian dari
kekayaan intelektual Islam, bukan ancaman terhadap persatuan.⁶
2)
Integrasi Ilmu Kalam dalam Pendidikan Islam:
Ilmu kalam
seharusnya diajarkan secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam untuk
memberikan pemahaman yang mendalam tentang akidah. Materi tentang perbedaan dan
persamaan antar aliran ilmu kalam dapat membantu siswa menghargai keragaman dan
meningkatkan toleransi intelektual.⁷
3)
Relevansi Ilmu Kalam di Era Kontemporer:
Ilmu kalam
harus terus dikontekstualisasikan untuk menjawab tantangan modern seperti
sekularisme, pluralisme agama, dan perkembangan sains. Pendekatan ini dapat
dilakukan dengan mengadopsi metode kritis dan rasional yang tetap berlandaskan
pada prinsip-prinsip wahyu.⁸
4)
Peningkatan Dialog Antar Disiplin:
Dialog
antara ilmu kalam dan disiplin lain seperti filsafat, tasawuf, dan sains dapat
memperkaya wawasan intelektual Islam. Upaya untuk memahami hubungan antara akal
dan wahyu, misalnya, dapat memperkuat argumen teologis Islam dalam konteks
global.⁹
5)
Pembelajaran dari Sejarah:
Peristiwa
seperti mihnah menunjukkan bagaimana penggunaan teologi sebagai alat
politik dapat membawa dampak negatif terhadap umat. Oleh karena itu, penting
untuk menjaga independensi diskursus teologi dari tekanan politik dan ideologi
tertentu.¹⁰
6)
Peningkatan Literasi tentang Keberagaman Teologi Islam:
Literasi
tentang berbagai aliran ilmu kalam perlu ditingkatkan di kalangan umat Muslim.
Pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman ini dapat mencegah sikap
eksklusivisme dan meningkatkan harmoni dalam masyarakat Muslim yang plural.¹¹
Catatan Kaki
[1]
¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[2]
² Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 21.
[3]
³ W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 47.
[4]
⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[5]
⁵ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 30.
[6]
⁶ Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 10.
[7]
⁷ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[8]
⁸ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 56.
[9]
⁹ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 90.
[10]
¹⁰ Fazlur Rahman, Islam, 123.
[11]
¹¹ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (1997). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University
Press.
Al-Juwaini. (1950). Kitab al-Irshad (Th.
Fouad Jabre, Ed.). Beirut: Dar al-Machreq.
Dimitri Gutas. (1998). Greek thought, Arabic
culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early 'Abbasid
society. London: Routledge.
Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago:
University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
George Makdisi. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Harry Austryn Wolfson. (1976). The philosophy of
the kalam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Ignaz Goldziher. (1981). Introduction to Islamic
theology and law. Princeton: Princeton University Press.
Josef van Ess. (2006). The flowering of Muslim
theology. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Montgomery Watt, W. (1973). The formative period
of Islamic thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Montgomery Watt, W. (1998). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Nasr, S. H. (2007). Islamic science: An
illustrated study. World Wisdom.
Richard C. Martin. (1997). Defenders of reason
in Islam: Mu'tazilism from medieval school to modern symbol. Oxford:
Oneworld.
Seyyed Hossein Nasr. (2015). The Study Quran: A
new translation and commentary. New York: HarperOne.
W. Montgomery Watt. (1994). Islamic creeds: A
selection. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Lampiran 1: Hubungan Ilmu Kalam dengan Filsafat dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf adalah tiga
disiplin utama dalam tradisi intelektual Islam yang saling berinteraksi.
Meskipun memiliki tujuan dan metodologi yang berbeda, ketiga disiplin ini
sering kali bersinggungan dalam membahas tema-tema teologis, etika, dan
spiritualitas. Hubungan ini mencerminkan keragaman pendekatan umat Islam dalam
memahami wahyu, mengolah akal, dan mendalami aspek batin agama.
1.
Hubungan
Ilmu Kalam dengan Filsafat
Ilmu kalam dan filsafat memiliki sejarah panjang
dalam interaksi intelektual. Keduanya berupaya menjelaskan doktrin-doktrin
Islam, namun dengan pendekatan yang berbeda:
·
Metodologi:
Filsafat
sering menggunakan logika dan metode rasional yang sistematis, sementara ilmu
kalam memadukan logika dengan teks-teks wahyu untuk mempertahankan akidah
Islam.¹
·
Pengaruh Filsafat Yunani:
Pada masa
Abbasiyah, penerjemahan karya-karya filsafat Yunani, seperti Aristoteles dan
Plato, memperkaya argumen rasional dalam ilmu kalam. Aliran Mu’tazilah,
misalnya, sangat dipengaruhi oleh logika Aristotelian dalam menyusun argumen
teologis.²
·
Kritik terhadap Filsafat:
Meskipun
filsafat membantu membangun argumen rasional dalam ilmu kalam, kritik tajam
terhadap filsafat juga muncul, terutama dari al-Ghazali. Dalam Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), ia mengkritik filsafat atas
pandangannya yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti tentang kekekalan
alam.³ Namun, al-Ghazali juga menggunakan metode logika dalam karya-karyanya,
yang menunjukkan pengaruh filsafat terhadap ilmu kalam.⁴
2.
Hubungan
Ilmu Kalam dengan Tasawuf
Tasawuf, yang berfokus pada dimensi spiritual
Islam, memiliki hubungan yang kompleks dengan ilmu kalam:
·
Kesamaan Tujuan:
Keduanya
berupaya mendekatkan manusia kepada Allah, tetapi melalui pendekatan yang
berbeda. Ilmu kalam menggunakan argumen rasional untuk memperkuat akidah,
sedangkan tasawuf menekankan pengalaman langsung dan transformasi batin.⁵
·
Kritik Tasawuf terhadap Ilmu Kalam:
Para sufi
sering mengkritik ilmu kalam karena dianggap terlalu fokus pada debat
intelektual tanpa pengalaman spiritual. Al-Ghazali, yang juga seorang sufi,
mengungkapkan bahwa ilmu kalam dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat
keimanan, tetapi tidak cukup untuk mencapai ma'rifah (pengetahuan
intuitif tentang Allah).⁶
·
Pengaruh Tasawuf terhadap Ilmu Kalam:
Beberapa
tokoh ilmu kalam, seperti Fakhruddin al-Razi, mengintegrasikan elemen-elemen
tasawuf dalam pembahasannya. Hal ini mencerminkan upaya untuk menjembatani
dimensi intelektual dan spiritual Islam.⁷
3.
Sintesis
antara Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf
Upaya untuk menyatukan ilmu kalam, filsafat, dan
tasawuf menghasilkan sintesis intelektual yang memperkaya tradisi Islam.
Al-Ghazali adalah salah satu tokoh yang berhasil memadukan ketiganya:
·
Dalam Ihya' ‘Ulum al-Din, ia menegaskan pentingnya tasawuf
sebagai jalan menuju kebahagiaan akhirat, tetapi juga mengakui peran filsafat
dalam memperkuat argumen rasional ilmu kalam.⁸
·
Fakhruddin al-Razi juga mencoba mengintegrasikan argumen rasional ilmu
kalam dengan wawasan filsafat dan tasawuf untuk memberikan pemahaman yang
holistik tentang keimanan.⁹
4.
Tantangan
dan Peluang di Era Modern
Hubungan antara ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf
terus relevan dalam konteks modern:
·
Tantangan Sekularisme: Di era modern, pendekatan rasional ilmu kalam dan filsafat dapat
membantu menjawab tantangan sekularisme dan ateisme.¹⁰
·
Kebutuhan akan Spiritualitas: Tasawuf menawarkan jawaban terhadap krisis spiritual yang dihadapi
manusia modern, yang sering kali tidak dapat diatasi hanya dengan pendekatan
rasional.¹¹
·
Pentingnya Dialog Antar Disiplin: Interaksi antara ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf dapat memperkaya
argumen teologis Islam dan memberikan solusi yang lebih holistik terhadap
tantangan kontemporer.¹²
Kesimpulan
Hubungan antara ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf
mencerminkan dinamika intelektual Islam yang saling melengkapi. Meskipun sering
terdapat perdebatan di antara ketiganya, masing-masing disiplin memiliki peran
unik dalam memperkuat iman, menjawab tantangan intelektual, dan membimbing umat
menuju kedekatan dengan Allah.
Catatan Kaki
[1]
¹ Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 10.
[2]
² Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 89.
[3]
³ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 3-7.
[4]
⁴ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.
[5]
⁵ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 123.
[6]
⁶ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Beirut: American University of Beirut, 1966), 2:40.
[7]
⁷ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 87.
[8]
⁸ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 3:15.
[9]
⁹ Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Cairo: Dar al-Kutub,
1981), 1:105.
[10]
¹⁰ Fazlur Rahman, Islam, 123.
[11]
¹¹ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary (New York: HarperOne, 2015), 110.
Lampiran 2: Peran Ulama Klasik dalam Membangun Pemikiran Kalam
Ulama klasik memainkan peran sentral dalam
membentuk dan mengembangkan ilmu kalam sebagai disiplin teologi Islam yang
sistematis. Melalui karya-karya monumental dan diskusi intelektual yang
mendalam, mereka tidak hanya merumuskan doktrin-doktrin penting dalam Islam,
tetapi juga menghadirkan pendekatan rasional yang relevan dalam menghadapi
tantangan pemikiran pada masa mereka. Berikut adalah beberapa ulama klasik yang
berkontribusi besar dalam membangun pemikiran kalam dan pengaruh mereka
terhadap perkembangan teologi Islam.
1.
Wasil
ibn ‘Ata’ (Mu’tazilah)
Wasil ibn ‘Ata’ (700–748 M) adalah pendiri aliran
Mu’tazilah, yang menjadi salah satu mazhab teologi Islam paling awal. Ia
dikenal karena mengembangkan pendekatan rasional dalam membahas akidah,
khususnya lima prinsip utama Mu’tazilah (al-usul al-khamsah), seperti
keesaan Allah (tawhid) dan keadilan ilahi (‘adl).¹
Wasil ibn ‘Ata’ memulai perdebatan tentang hubungan
antara akal dan wahyu, menegaskan bahwa akal memiliki peran penting dalam
memahami wahyu secara logis. Pendekatan ini menjadi dasar bagi metode
argumentasi dalam ilmu kalam yang berkembang di kemudian hari.²
2.
Abu
al-Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah)
Abu al-Hasan al-Asy’ari (874–936 M) adalah pendiri
aliran Asy’ariyah, yang lahir sebagai respons terhadap doktrin-doktrin
Mu’tazilah. Setelah meninggalkan Mu’tazilah, al-Asy’ari mengembangkan
pendekatan teologi Sunni yang mengintegrasikan wahyu dan akal dengan lebih
moderat.³
Konsep kasb (perolehan) yang ia ajukan
menjadi solusi terhadap perdebatan antara kebebasan manusia dan takdir ilahi.⁴
Dalam karyanya, seperti Kitab al-Ibanah, al-Asy’ari menjelaskan bahwa
sifat Allah harus diterima sebagaimana dinyatakan dalam wahyu, tetapi dengan
interpretasi rasional untuk menjaga prinsip tauhid.⁵
3.
Abu
Mansur al-Maturidi (Maturidiyah)
Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M) adalah pendiri
aliran Maturidiyah, yang berbasis di Samarkand. Maturidiyah memiliki banyak
kesamaan dengan Asy’ariyah, tetapi lebih menekankan peran akal dalam memahami wahyu.
Al-Maturidi berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk
secara independen dari wahyu, meskipun wahyu tetap menjadi otoritas tertinggi.⁶
Pemikirannya sangat berpengaruh di wilayah Asia
Tengah, Turki, dan Asia Selatan, menjadikan Maturidiyah sebagai salah satu
pilar utama teologi Sunni.⁷
4.
Imam
al-Ghazali
Imam al-Ghazali (1058–1111 M) dikenal sebagai salah
satu tokoh besar dalam sejarah ilmu kalam. Dalam karyanya Tahafut
al-Falasifah, ia mengkritik filsafat yang dianggap bertentangan dengan
Islam, seperti pandangan tentang kekekalan alam.⁸ Namun, al-Ghazali juga
menggunakan elemen-elemen logika Aristotelian dalam argumen teologisnya.
Selain itu, melalui Ihya’ ‘Ulum al-Din,
al-Ghazali berhasil menyatukan ilmu kalam dengan tasawuf, menegaskan bahwa
akidah yang benar harus didasarkan pada argumen rasional sekaligus disertai
pengalaman spiritual.⁹
5.
Fakhruddin
al-Razi
Fakhruddin al-Razi (1149–1209 M) adalah salah satu
ulama yang memperkaya ilmu kalam dengan integrasi filsafat. Dalam
karya-karyanya, seperti Mafatih al-Ghayb, ia menggunakan logika formal
untuk memperkuat argumen teologis, khususnya dalam menjelaskan sifat-sifat
Allah dan hubungan antara akal dan wahyu.¹⁰
Al-Razi juga memberikan kontribusi besar dalam
memperluas cakupan ilmu kalam, menjadikannya relevan dengan diskursus filsafat
dan ilmu pengetahuan pada masanya.¹¹
6.
Imam
Ahmad bin Hanbal
Meskipun lebih dikenal sebagai ulama hadis dan
fiqh, Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M) memiliki peran signifikan dalam ilmu
kalam, terutama sebagai oposisi terhadap doktrin Mu’tazilah dalam peristiwa mihnah.
Ia menolak pandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dengan alasan bahwa
doktrin tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang autentik.¹²
Sikap tegasnya dalam mempertahankan prinsip-prinsip
teologi tekstual memberikan landasan bagi berkembangnya pendekatan Salafiyah
dalam teologi Islam.¹³
Kesimpulan
Ulama klasik memainkan peran penting dalam
membangun ilmu kalam sebagai disiplin yang sistematis dan relevan. Melalui
karya-karya dan pendekatan mereka, ilmu kalam tidak hanya menjadi alat untuk
memperkuat akidah umat Muslim, tetapi juga menjawab tantangan intelektual dari
filsafat Yunani, agama-agama lain, dan berbagai perdebatan internal.
Keberagaman kontribusi ulama klasik mencerminkan kekayaan tradisi intelektual
Islam yang terus relevan hingga saat ini.
Catatan Kaki
[1]
¹ Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 21.
[2]
² W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 47.
[3]
³ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[4]
⁴ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[5]
⁵ Al-Juwaini, Kitab al-Irshad, ed. Th. Fouad Jabre (Beirut: Dar
al-Machreq, 1950), 30.
[6]
⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[7]
⁷ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[8]
⁸ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 15.
[9]
⁹ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Beirut: American University of Beirut, 1966), 2:40.
[10]
¹⁰ Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Cairo: Dar al-Kutub,
1981), 1:105.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 56.
[12]
¹² Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 75.
[13]
¹³ Fazlur Rahman, Islam, 123.
Lampiran 3: Konteks Sosial-Politik dalam Perkembangan Ilmu Kalam
Ilmu kalam tidak berkembang dalam ruang hampa; ia
dipengaruhi secara signifikan oleh konteks sosial dan politik pada setiap tahap
perkembangannya. Dinamika politik kekhalifahan, pergesekan budaya, serta
tantangan ideologis internal dan eksternal memainkan peran penting dalam
membentuk arah diskursus ilmu kalam. Pemahaman tentang konteks ini penting
untuk menyoroti bagaimana ilmu kalam tidak hanya berfungsi sebagai kajian
teologi, tetapi juga sebagai respons terhadap tantangan zamannya.
5.
Munculnya
Ilmu Kalam dalam Konteks Awal Islam
Pada masa Khulafaurasyidin, perdebatan awal tentang
akidah Islam sering kali berakar dari isu politik, seperti pertikaian seputar
kepemimpinan umat Islam. Peristiwa seperti fitnah kubra (perang saudara
besar pertama) melahirkan berbagai kelompok, seperti Khawarij dan Syiah, yang
memiliki pandangan teologis yang terkait erat dengan posisi politik mereka.¹
Misalnya, Khawarij menganggap pelaku dosa besar
sebagai kafir, pandangan yang mencerminkan oposisi mereka terhadap legitimasi
politik lawan-lawan mereka.² Sebaliknya, kelompok Murji’ah menekankan bahwa
dosa besar tidak mempengaruhi status iman seseorang, pandangan yang cenderung
mendukung stabilitas politik.³
6.
Masa
Dinasti Umayyah: Polarisasi Teologi dan Kekuasaan
Pada masa Dinasti Umayyah, ilmu kalam berkembang
seiring dengan upaya khalifah untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka.
Aliran Qadariyah, yang menekankan kebebasan manusia, sering kali dianggap
sebagai ancaman terhadap otoritas Umayyah karena pandangan ini menolak gagasan
bahwa kekuasaan mereka adalah kehendak Allah.⁴ Sebaliknya, Jabariyah, yang
mengajarkan determinisme absolut, cenderung mendukung kekuasaan dinasti ini
karena pandangan mereka sesuai dengan gagasan bahwa kekhalifahan adalah takdir
ilahi.⁵
7.
Masa
Dinasti Abbasiyah: Era Dominasi Mu’tazilah dan Peristiwa Mihnah
Dinasti Abbasiyah membawa perubahan besar dalam
perkembangan ilmu kalam, terutama dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai doktrin
resmi negara pada masa Khalifah al-Ma’mun (813–833 M). Peristiwa mihnah
(pengujian akidah) adalah contoh konkret bagaimana diskursus teologi digunakan
sebagai alat politik. Dalam peristiwa ini, doktrin Mu’tazilah tentang
penciptaan Al-Qur’an dipaksakan kepada ulama dan rakyat, dengan tujuan
memperkuat otoritas negara melalui kontrol ideologis.⁶
Namun, perlawanan dari ulama tradisionalis seperti
Imam Ahmad bin Hanbal menunjukkan bahwa penguasaan atas diskursus teologi tidak
dapat sepenuhnya dipaksakan oleh kekuatan politik.⁷ Peristiwa mihnah
juga menunjukkan bagaimana ilmu kalam dapat menjadi alat untuk memperjuangkan
kebebasan intelektual di tengah dominasi politik.
8.
Interaksi
dengan Filsafat dan Budaya Asing
Pada masa Abbasiyah, penerjemahan filsafat Yunani
dan interaksi dengan agama-agama lain, seperti Kristen dan Zoroastrianisme,
memperkaya diskursus ilmu kalam. Khalifah Abbasiyah seperti al-Ma’mun mendukung
penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato, yang kemudian memengaruhi
aliran seperti Mu’tazilah dalam merumuskan argumen rasional mereka.⁸ Namun, ini
juga memicu kritik dari aliran tradisionalis yang menganggap filsafat sebagai
ancaman terhadap kemurnian Islam.⁹
Dalam konteks ini, ilmu kalam berperan sebagai
penjembatan antara tradisi Islam dan tantangan intelektual dari budaya asing.
9.
Era
Seljuk: Dominasi Asy’ariyah dan Peran Nizham al-Mulk
Pada masa Dinasti Seljuk, aliran Asy’ariyah menjadi
doktrin teologi dominan dengan dukungan politik dari wazir Nizham al-Mulk.
Melalui pembangunan madrasah Nizamiyah, Nizham al-Mulk memperkuat penyebaran
Asy’ariyah sebagai bagian dari pendidikan formal umat Islam.¹⁰ Madrasah ini
tidak hanya menjadi pusat pendidikan teologi, tetapi juga alat untuk memperkuat
stabilitas politik Seljuk dengan mendukung doktrin Sunni.¹¹
10.
Tantangan
dan Relevansi Ilmu Kalam di Era Modern
Di era kolonialisme, diskursus ilmu kalam sering
kali dipinggirkan oleh tekanan sekularisme dan modernisme yang diperkenalkan
oleh kolonial Barat. Namun, beberapa ulama modern, seperti Muhammad Abduh,
menghidupkan kembali ilmu kalam untuk menjawab tantangan kontemporer seperti
sekularisme, pluralisme, dan hubungan antara agama dan sains.¹² Abduh
menekankan pentingnya pendekatan rasional dalam ilmu kalam untuk menjelaskan
relevansi Islam dalam konteks modern.¹³
Kesimpulan
Konteks sosial-politik memainkan peran penting
dalam membentuk perkembangan ilmu kalam. Dari isu kepemimpinan di era awal
Islam hingga dominasi ideologis pada masa Abbasiyah dan Seljuk, ilmu kalam berfungsi
sebagai alat untuk menjawab tantangan intelektual, sosial, dan politik pada
masanya. Dalam era modern, ilmu kalam tetap relevan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan besar tentang hubungan agama, akal, dan masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
¹ Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 45.
[2]
² Josef van Ess, The Flowering of Muslim Theology (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 21.
[3]
³ W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), 98.
[4]
⁴ George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of 'Abd
al-Jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), 25.
[5]
⁵ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[6]
⁶ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 123.
[7]
⁷ Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law
(Princeton: Princeton University Press, 1981), 108.
[8]
⁸ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 89.
[9]
⁹ Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 1997), 3-7.
[10]
¹⁰ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 56.
[12]
¹² Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[13]
¹³ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam, 45.
Lampiran 4: Dampak Globalisasi terhadap Pemikiran Kalam
Globalisasi membawa perubahan besar dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk cara berpikir dan berdiskusi dalam dunia Islam.
Pemikiran kalam, sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam, turut
dipengaruhi oleh globalisasi, baik dalam bentuk tantangan baru maupun peluang
untuk berkembang. Globalisasi, dengan segala implikasi teknologi, komunikasi, dan
pluralisme, menciptakan konteks baru yang menuntut adaptasi dan pembaruan
pemikiran kalam.
1.
Tantangan
Globalisasi terhadap Pemikiran Kalam
Globalisasi menghadirkan tantangan besar bagi
pemikiran kalam, khususnya dalam beberapa isu berikut:
·
Sekularisme dan Reduksi Agama:
Globalisasi
sering kali membawa sekularisme sebagai salah satu nilai dominannya, yang
memisahkan agama dari ranah publik. Dalam konteks ini, pemikiran kalam
menghadapi tantangan untuk tetap relevan dalam masyarakat yang cenderung
mengedepankan rasionalitas sekuler.¹
Para pemikir
seperti Fazlur Rahman berpendapat bahwa ilmu kalam harus mampu menjawab isu-isu
modern, seperti hubungan antara agama dan negara, tanpa kehilangan prinsip
dasarnya.²
·
Pluralisme Agama:
Globalisasi
mempertemukan masyarakat dari berbagai latar belakang agama. Dalam situasi ini,
pemikiran kalam ditantang untuk memberikan kerangka teologi yang menghargai
pluralisme sambil mempertahankan identitas Islam. Aliran seperti Mu’tazilah
dapat menjadi inspirasi karena pendekatan rasional mereka yang memungkinkan
dialog antaragama.³
·
Relativisme Kultural:
Globalisasi
juga membawa relativisme budaya yang menempatkan semua nilai dan keyakinan pada
posisi setara. Pemikiran kalam menghadapi tugas berat untuk menegaskan
keyakinan Islam sebagai kebenaran absolut tanpa terjebak dalam sikap eksklusif
yang menutup kemungkinan dialog.⁴
2.
Peluang
Globalisasi bagi Pemikiran Kalam
Di sisi lain, globalisasi juga membuka peluang
besar bagi perkembangan pemikiran kalam:
·
Akses pada Wacana Global:
Teknologi
informasi memungkinkan para pemikir Muslim untuk mengakses wacana global,
memperkaya argumen kalam dengan dialog lintas disiplin, seperti filsafat,
sains, dan etika global. Hal ini menciptakan peluang untuk mengembangkan
pemikiran kalam yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer.⁵
·
Penguatan Teologi Rasional:
Globalisasi
menuntut pemikiran teologi yang lebih rasional untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan modern. Dalam hal ini, pemikiran kalam dapat berperan
dengan menggunakan pendekatan rasional yang telah menjadi ciri khasnya sejak
masa Mu’tazilah.⁶
Misalnya,
isu bioetika, kecerdasan buatan, dan perubahan iklim membutuhkan pendekatan
teologis yang melibatkan argumen rasional dan perspektif etis.
·
Revitalisasi Dialog Antaragama:
Dalam dunia
yang semakin terhubung, pemikiran kalam dapat menjadi alat untuk memperkuat
dialog antaragama. Dengan pendekatan yang menggabungkan rasionalitas dan wahyu,
kalam dapat berkontribusi dalam diskusi tentang nilai-nilai universal seperti
keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian global.⁷
3.
Contoh
Adaptasi Pemikiran Kalam di Era Globalisasi
·
Muhammad Abduh:
Sebagai
salah satu pembaharu Islam modern, Muhammad Abduh menggunakan pendekatan
rasional dalam ilmu kalam untuk menjawab tantangan kolonialisme dan modernitas.
Karyanya menekankan pentingnya penyesuaian teologi Islam dengan nilai-nilai
modern seperti demokrasi dan kebebasan.⁸
·
Pemikiran Maqasid al-Shariah:
Pendekatan
maqasid (tujuan-tujuan syariah) yang dikembangkan oleh para ulama modern juga
mencerminkan pengaruh globalisasi terhadap ilmu kalam. Konsep ini menggunakan
pendekatan rasional untuk menjelaskan relevansi ajaran Islam dalam konteks
global.⁹
4.
Ke
Arah Pemikiran Kalam yang Relevan
Untuk tetap relevan di era globalisasi, ilmu kalam
perlu melakukan pembaruan dalam beberapa aspek berikut:
·
Pendekatan Multidisiplin:
Pemikiran
kalam harus terbuka terhadap wacana dari disiplin lain, seperti filsafat
modern, sosiologi, dan sains, untuk menjawab tantangan global.¹⁰
·
Peningkatan Literasi Digital:
Ulama dan
pemikir kalam perlu memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan argumen
teologi yang relevan secara global.¹¹
·
Penegasan Identitas Islam dalam Dialog Global:
Di tengah
pluralisme global, ilmu kalam dapat berfungsi sebagai alat untuk menjelaskan
nilai-nilai Islam kepada dunia, sambil tetap menghormati keberagaman.¹²
Kesimpulan
Globalisasi memberikan tantangan sekaligus peluang
bagi pemikiran kalam. Tantangan seperti sekularisme dan pluralisme menuntut
ilmu kalam untuk memperbarui argumennya, sementara peluang seperti akses pada
wacana global membuka ruang untuk pengembangan teologi yang lebih relevan.
Dengan pendekatan yang terbuka dan adaptif, pemikiran kalam dapat menjadi
jembatan antara nilai-nilai Islam dan dunia global.
Catatan Kaki
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study
(World Wisdom, 2007), 123.
[2]
² Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5.
[3]
³ Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu'tazilism from
Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 50.
[4]
⁴ W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1998), 47.
[5]
⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 120.
[6]
⁶ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
[7]
⁷ Fazlur Rahman, Islam, 123.
[8]
⁸ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 87.
[9]
⁹ Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris
(Beirut: American University of Beirut, 1966), 2:40.
[10]
¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary (New York: HarperOne, 2015), 110.
[11]
¹¹ Fazlur Rahman, Islam, 133.
[12]
¹² Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam, 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar