Pendekatan Dakwah dengan Metode Bil Mauidzah
“Studi Tafsir QS. An-Nahl
[16] Ayat 125 Berdasarkan Tafsir Klasik, Pemikiran Ulama, dan Perspektif
Filsafat”
Abstrak
Pendekatan dakwah dengan bil mauidzah
sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 merupakan panduan
penting dalam menyampaikan ajaran Islam. Ayat ini menggarisbawahi tiga elemen
utama dalam dakwah: kebijaksanaan (bil hikmah), nasihat yang baik (bil
mauidzah hasanah), dan dialog yang santun (bil-lati hiya ahsan).
Artikel ini mengkaji metode mauidzah hasanah secara mendalam melalui
pendekatan tafsir klasik, pemikiran ulama, dan perspektif filsafat. Penelitian
menunjukkan bahwa mauidzah hasanah menekankan pentingnya empati, etika
komunikasi, dan penyesuaian pesan dengan kondisi audiens. Perspektif filsafat
dan psikologi humanistik memperkuat relevansi metode ini sebagai strategi
komunikasi yang inklusif dan humanis. Di era kontemporer, pendekatan ini tetap
relevan, terutama dalam menghadapi tantangan dakwah di dunia digital dan pluralisme
budaya. Melalui kombinasi kebijaksanaan tradisional dan inovasi modern, metode bil
mauidzah menawarkan solusi strategis untuk menyampaikan pesan Islam secara
efektif, ramah, dan berkesan.
Kata Kunci: Dakwah, Mauidzah Hasanah, Etika Komunikasi, Era
Digital.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dakwah merupakan tugas mulia yang diemban oleh
setiap Muslim untuk menyampaikan ajaran Islam kepada sesama manusia. Al-Qur'an
memberikan panduan metode dakwah yang penuh kebijaksanaan, salah satunya tercantum
dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125:
"Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl [16] ayat 125).
Ayat ini menegaskan bahwa pendekatan dakwah harus
dilakukan dengan cara yang penuh hikmah (bil hikmah), menggunakan
pelajaran yang baik (bil mauidzah hasanah), serta dialog yang santun.
Metode ini menjadi salah satu kunci keberhasilan dakwah Rasulullah Saw yang
mampu menyentuh hati manusia dengan kelembutan dan keteladanan, sebagaimana
tercermin dalam sikap dan perbuatannya.¹
Dakwah dengan mauidzah hasanah berfokus pada
nasihat yang baik dan menyentuh hati, sehingga relevan untuk berbagai situasi.
Metode ini menuntut pendakwah memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam,
kemampuan komunikasi yang baik, serta empati terhadap kondisi audiensnya.² Dalam
konteks sejarah Islam, metode ini terbukti efektif, baik di masa Nabi Saw maupun
era Khulafaurasyidin, karena mampu menjawab tantangan dakwah secara bijak tanpa
memicu konflik.³
1.2. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji metode bil
mauidzah yang disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 secara
komprehensif. Kajian ini akan menggunakan pendekatan tafsir klasik, pemikiran
ulama, dan perspektif filsafat untuk:
1)
Menggali makna dan implementasi metode ini dari sudut pandang para
mufassir dan ulama.
2)
Menganalisis relevansi metode mauidzah hasanah dalam menjawab
tantangan dakwah modern, terutama di era digital yang sarat dengan kompleksitas
sosial dan budaya.
Melalui kajian ini, pembaca diharapkan tidak hanya
memahami konsep teoretis dari mauidzah hasanah, tetapi juga mendapatkan
wawasan aplikatif tentang cara berdakwah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
sekaligus relevan dengan dinamika zaman.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qurʾān, vol. 14 (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 186.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm, vol.
4 (Riyadh: Dār ʿĀlam al-Kutub, 1999), 566–567.
[3]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4
(Beirut: Dar al-Shuruq, 1985), 2325–2326.
2.
Tafsir
QS. An-Nahl [16] ayat 125
2.1. Teks dan Terjemah Ayat
QS. An-Nahl [16] ayat 125 menyatakan:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Ayat ini memberikan panduan lengkap dalam
berdakwah, dimulai dari penggunaan hikmah, pelajaran yang baik, hingga dialog
yang lebih baik. Metode ini mengindikasikan bahwa dakwah bukan hanya tentang
menyampaikan pesan, tetapi juga memperhatikan cara penyampaiannya agar sesuai
dengan kondisi audiens.¹
2.2. Makna Bahasa dan Asal Usul Kata
Kata-kata kunci dalam ayat ini adalah:
·
"Hikmah" (الحكمة), yang secara
linguistik berarti kebijaksanaan, ketepatan dalam perkataan, dan perbuatan.²
Menurut al-Thabari, hikmah dalam konteks ayat ini mengacu pada pengetahuan
mendalam tentang agama dan kemampuan menjelaskan kebenaran dengan cara yang
jelas dan logis.³
·
"Mauidzah" (الموعظة), yang berasal dari
akar kata waʿaẓa (وَعَظَ),
berarti nasihat atau peringatan yang menyentuh hati dan jiwa.⁴ Mauidzah
hasanah merujuk pada pelajaran yang memberikan dampak positif kepada
audiens melalui cara yang lembut dan menarik.⁵
·
"Jidal" (الجدال), berarti perdebatan
atau diskusi, tetapi dalam ayat ini dituntut untuk dilakukan bil-lati hiya
ahsan (dengan cara yang lebih baik), yaitu dengan sikap santun, logika yang
kuat, dan tanpa emosi yang berlebihan.⁶
2.3. Tafsir Klasik
1)
Al-Thabari (839–923 M)
Al-Thabari
menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan tiga tingkat pendekatan dakwah yang
harus disesuaikan dengan keadaan audiens. Untuk mereka yang berakal cerdas,
gunakan hikmah. Untuk mereka yang membutuhkan sentuhan emosional, gunakan mauidzah
hasanah. Sedangkan untuk mereka yang cenderung membantah, gunakan jidal
dengan cara terbaik.⁷
2)
Ibn Katsir (1300–1373 M)
Ibn Katsir
menekankan pentingnya mauidzah hasanah dalam memberikan peringatan
tentang konsekuensi amal baik dan buruk, menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an serta
sunnah Nabi Saw.⁸ Ia juga menyoroti pentingnya kesabaran dalam menghadapi
audiens yang menentang dakwah.⁹
3)
Al-Qurtubi (1214–1273 M)
Al-Qurtubi
menambahkan bahwa hikmah adalah penyampaian yang berlandaskan ilmu,
sementara mauidzah hasanah adalah nasihat yang mengutamakan kelembutan.
Ia menegaskan bahwa cara terbaik dalam dakwah adalah menyesuaikan pendekatan
dengan kondisi audiens.¹⁰
4)
Sayyid Qutb (1906–1966 M)
Dalam Fi
Zilal al-Qur'an, Sayyid Qutb memandang ayat ini sebagai panduan universal
untuk mendekati manusia dari berbagai latar belakang. Ia menyatakan bahwa
hikmah mencerminkan rasionalitas, sedangkan mauidzah hasanah menekankan
aspek emosional dalam dakwah.¹¹
Kesimpulan dari Tafsir
QS. An-Nahl [16] ayat 125 menggariskan prinsip
utama dakwah yang harus dilakukan dengan kebijaksanaan, kehalusan, dan
kesantunan. Metode ini menuntut pendakwah untuk memahami kondisi audiens dan
memilih pendekatan yang paling efektif dalam menyampaikan pesan Islam.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qurʾān, vol. 14 (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 186.
[2]
Ibn Manzur, Lisan al-ʿArab, vol. 12 (Beirut:
Dar Sadir, 1997), 142.
[3]
Al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān, vol. 14, 187.
[4]
Ibn Manzur, Lisan al-ʿArab, vol. 12, 144.
[5]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm, vol.
4 (Riyadh: Dār ʿĀlam al-Kutub, 1999), 566.
[6]
Al-Qurtubi, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān,
vol. 10 (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2003), 121.
[7]
Al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān, vol. 14,
186–188.
[8]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm, vol.
4, 566–567.
[9]
Ibid., 567.
[10]
Al-Qurtubi, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān,
vol. 10, 122–123.
[11]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4
(Beirut: Dar al-Shuruq, 1985), 2325–2326.
3.
Perspektif
Ulama dan Praktik Dakwah Bil Mauidzah
3.1. Pandangan Ulama tentang Mauidzah Hasanah
Konsep mauidzah
hasanah (pelajaran yang baik) dalam QS.
An-Nahl [16] ayat 125 mendapat perhatian serius dari para ulama. Mereka
menekankan bahwa dakwah melalui mauidzah bukan hanya menyampaikan nasihat, tetapi juga mengupayakan
penyentuhan hati dan penggerakan jiwa audiens.
3.1.1.
Mauidzah
dalam Dakwah Rasulullah Saw
Rasulullah Saw adalah
teladan utama dalam dakwah bil mauidzah hasanah. Beliau
menyampaikan ajaran Islam dengan kelembutan, kasih sayang, dan kearifan.
Sebagai contoh, Rasulullah sering menggunakan kisah-kisah, perumpamaan, dan nasihat moral yang menginspirasi.¹ Dalam Tafsir
al-Qurṭubi, Al-Qurṭubi menegaskan bahwa mauidzah hasanah dalam dakwah
Rasulullah Saw terlihat pada kemampuannya menghidupkan hati manusia tanpa
paksaan atau kekerasan.²
3.1.2.
Perspektif
Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali
dalam Iḥyāʾ
ʿUlūm al-Dīn menjelaskan bahwa nasihat yang baik harus memenuhi
tiga unsur utama: pertama, disampaikan dengan niat yang ikhlas; kedua, didasarkan pada ilmu yang benar; dan ketiga,
menggunakan metode yang dapat dipahami audiens.³ Beliau menekankan bahwa mauidzah
adalah sarana untuk menyadarkan manusia tentang tujuan akhirat melalui
pendekatan emosional yang lembut.⁴
3.1.3.
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah
Ibn Qayyim
berpendapat bahwa mauidzah hasanah adalah bentuk nasihat
yang menenangkan hati, memperbaiki akhlak, dan membimbing manusia kepada kebenaran.⁵ Beliau juga menekankan
pentingnya memahami kondisi psikologis audiens sebelum menyampaikan nasihat,
agar dakwah menjadi efektif.⁶
3.2. Ciri-Ciri Mauidzah Hasanah yang Efektif
Para ulama sepakat bahwa mauidzah
hasanah memiliki ciri-ciri berikut:
1)
Kelembutan dalam
Penyampaian
Nasihat yang baik harus disampaikan dengan kasih
sayang, tanpa nada menggurui atau merendahkan. Hal ini sesuai dengan perintah
Allah kepada Nabi Musa dan Harun saat menghadapi Fir’aun: “Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Ṭāhā [20] ayat 44).⁷
2)
Penggunaan Retorika
yang Menarik
Nasihat yang baik harus dikemas dengan cara yang
menarik dan mudah dipahami, seperti penggunaan analogi, kisah, atau
perumpamaan.⁸ Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb
menyatakan bahwa mauidzah yang menarik dapat
membangkitkan perhatian audiens dan menyentuh hati mereka.⁹
3)
Empati terhadap Audiens
Dakwah bil mauidzah
menuntut pendakwah untuk memahami latar belakang, kebutuhan, dan kondisi
psikologis audiens agar pesan yang disampaikan relevan dan efektif.¹⁰
3.3. Contoh Implementasi dalam Sejarah Islam
3.3.1.
Masa
Khulafaurasyidin
Para Khulafaurasyidin
menerapkan metode mauidzah hasanah dalam dakwah
mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, dikenal dengan kelembutannya saat menyeru umat untuk tetap setia kepada
Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.¹¹ Umar bin Khattab, meskipun tegas, menggunakan
pendekatan persuasif dalam membangun keadilan sosial.¹²
3.3.2.
Dakwah
Ulama di Era Keemasan Islam
Imam Malik bin Anas
dikenal dengan metode dakwahnya yang penuh dengan hikmah dan kelembutan saat menyampaikan ilmunya di
Madinah.¹³ Sementara itu, Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan pendekatan mauidzah
hasanah untuk membimbing umat, bahkan ketika menghadapi tekanan
dalam Peristiwa
Mihnah.¹⁴
Kesimpulan
Perspektif ulama dan
sejarah dakwah Islam menunjukkan bahwa mauidzah hasanah adalah metode yang
sangat efektif dalam menyampaikan kebenaran.
Pendakwah dituntut untuk memiliki ilmu, empati, dan keterampilan komunikasi
agar pesan Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Nabawiyah, ed. Muhammad Hisham
al-Bukhari (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 143–144.
[2]
Al-Qurtubi, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, vol.
10 (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2003), 122.
[3]
Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4 (Cairo:
Dar al-Turath, 1998), 37.
[4]
Ibid., 38.
[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawāʾid (Cairo: Dar al-Hadith,
2002), 22.
[6]
Ibid., 24.
[7]
Al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān fī Tafsīr al-Qurʾān,
vol. 16 (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 45.
[8]
Fakhruddin al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb, vol. 12 (Beirut:
Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2008), 335.
[9]
Ibid.
[10]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm, vol. 4
(Riyadh: Dār ʿĀlam al-Kutub, 1999), 566.
[11]
Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, vol. 1 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1996), 89.
[12]
Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, vol. 2
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1999), 226.
[13]
Ibn Abd al-Barr, Jāmiʿ Bayān al-ʿIlm wa Faḍlihi
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 324.
[14]
Ibn al-Jawzi, Manaqib Ahmad bin Hanbal (Cairo:
Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1999), 120.
4.
Perspektif
Filsafat tentang Dakwah Bil Mauidzah
4.1. Kaitan dengan Etika dalam Filsafat
Dalam filsafat, konsep mauidzah hasanah
memiliki relevansi erat dengan etika, khususnya virtue ethics (etika
kebajikan). Pendekatan ini, yang berakar pada pemikiran Aristoteles, menekankan
pentingnya membentuk karakter baik (virtue) dalam tindakan dan komunikasi.¹
Dalam konteks dakwah, mauidzah hasanah dapat dipahami sebagai bentuk
etika komunikatif yang mengedepankan kebajikan seperti kejujuran, empati, dan
kesantunan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihyaʾ ʿUlum al-Din
menyatakan bahwa akhlak baik merupakan pilar utama dalam menyampaikan nasihat.²
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Immanuel Kant tentang moral
imperative, di mana tindakan harus didasari oleh kewajiban moral untuk
menghormati martabat manusia.³ Dakwah dengan mauidzah hasanah
mengutamakan penghormatan kepada audiens melalui nasihat yang tidak menyinggung
atau merendahkan.
4.2. Dakwah dan Psikologi Humanistik
Perspektif filsafat juga dapat dihubungkan dengan
psikologi humanistik, seperti teori kebutuhan manusia yang diperkenalkan oleh
Abraham Maslow. Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan,
mulai dari kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri.⁴ Dalam konteks ini, mauidzah
hasanah berperan untuk memenuhi kebutuhan audiens akan makna hidup dan
pemenuhan spiritual, terutama pada tingkat aktualisasi diri.
Carl Rogers, salah satu tokoh utama psikologi
humanistik, menekankan pentingnya komunikasi yang empatik dan menghargai
perspektif orang lain.⁵ Dakwah dengan mauidzah hasanah menuntut
pendakwah untuk memahami kondisi psikologis audiens, sehingga pesan yang
disampaikan dapat diterima dengan baik.
4.3. Relevansi dengan Teori Komunikasi Persuasif
Teori komunikasi persuasif yang berkembang dalam
filsafat modern juga relevan dalam memahami mauidzah hasanah. Menurut
Aristoteles dalam Rhetoric, persuasi efektif terdiri dari tiga elemen
utama: logos (logika), ethos (kepribadian), dan pathos
(emosi).⁶ Dakwah dengan mauidzah hasanah mengintegrasikan ketiga elemen
ini:
1)
Logos:
Menyampaikan pesan dakwah dengan argumen yang kuat dan rasional, seperti menggunakan
ayat Al-Qur'an dan sunnah sebagai landasan.
2)
Ethos:
Menampilkan karakter pendakwah yang berintegritas dan terpercaya, sehingga
audiens merasa yakin terhadap pesan yang disampaikan.
3)
Pathos:
Menggerakkan emosi audiens melalui nasihat yang lembut, penuh kasih sayang, dan
relevan dengan kehidupan mereka.⁷
4.4. Penerapan dalam Dakwah Kontemporer
Perspektif filsafat dapat diterapkan dalam dakwah
modern untuk menciptakan pendekatan yang inklusif dan humanis:
1)
Membangun Kepercayaan (Trust-Building)
Dakwah yang
efektif membutuhkan ethos yang kuat. Pendakwah harus menunjukkan
keteladanan moral, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.⁸
2)
Menggunakan Logika dan Bukti (Rational Appeal)
Menyampaikan
nasihat berdasarkan fakta ilmiah atau dalil yang relevan, sehingga audiens
merasa pesan tersebut rasional dan dapat diterima.⁹
3)
Menekankan Hubungan Emosional (Emotional Appeal)
Mauidzah hasanah
memanfaatkan pendekatan emosional untuk menghubungkan pesan dengan pengalaman
hidup audiens, sehingga mereka merasa terinspirasi dan termotivasi.¹⁰
Kesimpulan
Pendekatan filsafat menekankan pentingnya integrasi
antara kebajikan, empati, dan logika dalam dakwah. Mauidzah hasanah
merupakan manifestasi dari komunikasi etis yang mengedepankan penghormatan
terhadap audiens dan bertujuan untuk memberikan manfaat moral dan spiritual.
Perspektif filsafat ini memperkaya pemahaman kita tentang keindahan dan
kedalaman metode dakwah Islam.
Catatan Kaki
[1]
Aristoteles, Nicomachean Ethics, trans. W.
D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1980), 110.
[2]
Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3
(Cairo: Dar al-Turath, 1998), 54.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
44.
[4]
Abraham Maslow, Motivation and Personality
(New York: Harper & Row, 1954), 236.
[5]
Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist's
View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 23.
[6]
Aristoteles, Rhetoric, trans. George A.
Kennedy (Oxford: Oxford University Press, 1991), 37.
[7]
Ibid., 42.
[8]
Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Nabawiyah, ed.
Muhammad Hisham al-Bukhari (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 213.
[9]
Fakhruddin al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb, vol.
12 (Beirut: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2008), 389.
[10]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawāʾid (Cairo:
Dar al-Hadith, 2002), 33.
5.
Relevansi
Dakwah Bil Mauidzah di Era Kontemporer
5.1. Tantangan Dakwah di Era Digital
Di era kontemporer
yang didominasi oleh teknologi digital, dakwah menghadapi tantangan baru,
seperti penyebaran informasi yang masif dan cepat, pluralisme budaya, dan fragmentasi audiens.¹ Dalam konteks ini,
metode mauidzah
hasanah menjadi relevan karena kemampuannya menyesuaikan pesan
dakwah dengan karakteristik audiens yang beragam.
5.1.1.
Kemunculan
Media Sosial
Media sosial telah
menjadi platform utama dalam menyampaikan dakwah, tetapi juga menjadi medan
persaingan narasi. Dalam situasi ini, pendekatan mauidzah hasanah penting untuk
menjaga kesantunan dalam komunikasi, sehingga pesan dakwah tetap efektif tanpa
menimbulkan konflik.² Ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradawi menekankan
pentingnya menggunakan platform digital secara bijak dan sesuai dengan prinsip
Islam, termasuk dalam berdakwah dengan cara yang ramah dan inklusif.³
5.1.2.
Respons
terhadap Isu Sosial dan Global
Di tengah krisis
moral, perubahan iklim, dan ketimpangan sosial, dakwah mauidzah
hasanah dapat menjadi
medium untuk menyampaikan solusi Islam terhadap isu-isu ini secara empatik.⁴
Misalnya, pendekatan yang lembut dan rasional dalam membahas masalah keadilan
sosial dan hak asasi manusia memungkinkan pesan Islam diterima dengan baik oleh
masyarakat global yang heterogen.⁵
5.2. Strategi Dakwah Modern dengan Metode Bil Mauidzah
Dakwah dengan mauidzah
hasanah di era kontemporer membutuhkan strategi inovatif yang tetap berlandaskan nilai-nilai
Islam. Beberapa strategi yang relevan meliputi:
5.2.1.
Personalisasi
Pesan Dakwah
Pendakwah di era ini
harus memahami kebutuhan spesifik audiens dan menyampaikan pesan yang relevan
dengan kondisi mereka.⁶ Pendekatan ini sejalan dengan prinsip mauidzah
hasanah yang berfokus pada penyentuhan hati dan jiwa manusia.⁷
5.2.2.
Kolaborasi
dengan Ahli Media
Penggunaan teknologi
seperti video pendek, infografis, dan podcast dapat memperkuat pesan dakwah.⁸
Sebagai contoh, banyak pendakwah muda telah berhasil menarik perhatian generasi milenial melalui
konten-konten kreatif yang menggabungkan nilai agama dan budaya populer.⁹
5.2.3.
Dialog
Interaktif
Metode mauidzah
hasanah juga mencakup dialog yang santun dan menghormati perbedaan.⁹ Melalui diskusi interaktif di
platform digital atau dalam forum tatap muka, pendakwah dapat menjawab keraguan
audiens dengan cara yang logis dan penuh empati.¹⁰
5.3. Aplikasi dalam Pendidikan Islam
Institusi pendidikan Islam dapat memainkan peran
penting dalam menerapkan mauidzah hasanah. Beberapa contoh
penerapan meliputi:
1)
Pembelajaran
Berbasis Nilai
Kurikulum pendidikan Islam dapat
dirancang untuk mengintegrasikan ajaran moral dan nilai-nilai Islam dengan cara
yang menarik dan inspiratif.¹¹
2)
Pelatihan
Retorika untuk Pendakwah
Calon pendakwah dapat dilatih untuk
menguasai seni berbicara yang persuasif, dengan menekankan kesantunan dan
empati.¹²
Kesimpulan
Metode mauidzah
hasanah yang tercantum dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 tetap
relevan di era kontemporer sebagai pendekatan dakwah yang santun, empatik, dan
adaptif terhadap perkembangan zaman. Dengan memanfaatkan teknologi modern dan
prinsip komunikasi yang etis, dakwah dapat mencapai audiens yang lebih luas
tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.
Catatan Kaki
[1]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 78.
[2]
Mohammed Abu-Nimer, Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory
and Practice (Gainesville: University Press of Florida, 2003), 96.
[3]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Daʿwah fī al-Mujtamaʿ al-Muʿāṣir
(Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 145.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (London: Allen & Unwin, 1968), 44.
[5]
Jonathan Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld, 2014), 112.
[6]
Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 4 (Cairo:
Dar al-Turath, 1998), 78.
[7]
Al-Qurtubi, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, vol.
10 (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2003), 122.
[8]
Peter Mandaville, Global Political Islam (London:
Routledge, 2007), 87.
[9]
Ziauddin Sardar, Reforming Muslim Societies: Ethical Tradition
and Modernity (Oxford: Oxford University Press, 2015), 59.
[10]
Aristotle, Rhetoric, trans. George A. Kennedy (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 42.
[11]
Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity
(Leicester: Islamic Foundation, 2001), 136.
[12]
William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001), 101.
6.
Penutup
6.1. Kesimpulan
Pendekatan dakwah dengan bil mauidzah
sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 merupakan strategi yang
relevan dan efektif dalam menyampaikan pesan Islam. Konsep ini menggarisbawahi
pentingnya kebijaksanaan (hikmah), nasihat yang baik (mauidzah
hasanah), dan dialog yang santun dalam menghadapi beragam audiens.¹
Melalui kajian tafsir klasik, seperti Tafsir
al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Qurtubi, kita
memahami bahwa metode mauidzah menekankan pendekatan yang empatik dan
adaptif terhadap kebutuhan spiritual dan emosional manusia.² Pemikiran ulama
seperti Al-Ghazali dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah menambah dimensi praktis dan
psikologis dalam penerapan metode ini, sedangkan perspektif filsafat dan
psikologi humanistik mengungkap nilai universal mauidzah sebagai bagian
dari komunikasi etis dan persuasif.³
Di era kontemporer, tantangan dakwah semakin
kompleks dengan hadirnya teknologi digital dan pluralisme budaya. Namun,
nilai-nilai mauidzah hasanah tetap relevan untuk menjembatani
kesenjangan sosial dan budaya, serta menawarkan solusi terhadap isu-isu global
dengan cara yang penuh hikmah dan kasih sayang.⁴ Pendekatan ini memberikan
inspirasi bagi pendakwah untuk mengintegrasikan etika komunikasi, empati, dan
inovasi teknologi dalam menyampaikan ajaran Islam.
6.2. Rekomendasi
Untuk memastikan bahwa metode bil mauidzah
tetap relevan dan efektif, beberapa rekomendasi berikut dapat dipertimbangkan:
1)
Penguatan Pendidikan Dakwah
Institusi
pendidikan Islam perlu memasukkan pelatihan retorika, empati, dan pemahaman
lintas budaya dalam kurikulum mereka, agar calon pendakwah mampu menyampaikan
pesan Islam secara inklusif dan humanis.⁵
2)
Pemanfaatan Teknologi Digital
Pendakwah
harus memanfaatkan media sosial dan platform digital secara bijak untuk
menyampaikan dakwah yang positif, menarik, dan sesuai dengan prinsip mauidzah
hasanah.⁶
3)
Pendekatan Berbasis Konteks
Pendakwah
perlu memahami latar belakang audiens mereka untuk menyesuaikan pesan dakwah
dengan kebutuhan spiritual, sosial, dan emosional masing-masing individu atau
kelompok.⁷
6.3. Harapan
Melalui penerapan metode bil mauidzah,
dakwah Islam tidak hanya menjadi sarana menyampaikan ajaran agama, tetapi juga
menjadi upaya membangun peradaban yang berbasis kasih sayang, keadilan, dan
kebijaksanaan. Semoga tulisan ini dapat menjadi panduan bagi para pendakwah dan
pembaca dalam memahami dan mengimplementasikan dakwah yang sesuai dengan ajaran
Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jāmiʿ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qurʾān, vol. 14 (Beirut: Dār al-Fikr, 2001), 186–187.
[2]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm, vol.
4 (Riyadh: Dār ʿĀlam al-Kutub, 1999), 566–567; Al-Qurtubi, al-Jāmiʿ li-Aḥkām
al-Qurʾān, vol. 10 (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2003), 122–123.
[3]
Al-Ghazali, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, vol. 3
(Cairo: Dar al-Turath, 1998), 54–55; Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Fawāʾid
(Cairo: Dar al-Hadith, 2002), 22–24.
[4]
Tariq Ramadan, Islam, the West and the
Challenges of Modernity (Leicester: Islamic Foundation, 2001), 136; Seyyed
Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: Allen & Unwin, 1968), 44.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Daʿwah fī al-Mujtamaʿ
al-Muʿāṣir (Cairo: Dar al-Shuruq, 2005), 178.
[6]
Peter Mandaville, Global Political Islam
(London: Routledge, 2007), 87.
[7]
Mohammed Abu-Nimer, Nonviolence and Peace
Building in Islam: Theory and Practice (Gainesville: University Press of
Florida, 2003), 96.
Daftar Pustaka
Abu-Nimer, M. (2003). Nonviolence and peace
building in Islam: Theory and practice. Gainesville, FL: University Press
of Florida.
Al-Baladhuri. (1996). Ansab al-Ashraf (Vol.
1). Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali, A. H. (1998). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn
(Vol. 3). Cairo: Dar al-Turath.
Al-Qaradawi, Y. (2005). Fiqh al-Daʿwah fī
al-Mujtamaʿ al-Muʿāṣir. Cairo: Dar al-Shuruq.
Al-Qurtubi. (2003). al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān
(Vol. 10). Beirut: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Al-Thabari, M. J. (2001). Jāmiʿ al-Bayān fī
Tafsīr al-Qurʾān (Vol. 14). Beirut: Dar al-Fikr.
Aristotle. (1991). Rhetoric (G. A. Kennedy,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Aristotle. (1980). Nicomachean ethics (W. D.
Ross, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Brown, J. (2014). Misquoting Muhammad: The
challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. Oxford:
Oneworld.
Fakhruddin al-Razi. (2008). Mafātīḥ al-Ghayb
(Vol. 12). Beirut: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Ibn Abd al-Barr. (1994). Jāmiʿ Bayān al-ʿIlm wa
Faḍlihi. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn al-Jawzi. (1999). Manaqib Ahmad bin Hanbal.
Cairo: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Ibn Katsir. (1999). Tafsir al-Qurʾān al-ʿAẓīm
(Vol. 4). Riyadh: Dar ʿAlam al-Kutub.
Ibn Manzur. (1997). Lisan al-ʿArab (Vol.
12). Beirut: Dar Sadir.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2002). al-Fawāʾid.
Cairo: Dar al-Hadith.
Immanuel Kant. (1998). Groundwork for the
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Maslow, A. (1954). Motivation and personality.
New York, NY: Harper & Row.
Montgomery Watt, W. (2001). Islamic philosophy
and theology. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. London: Allen & Unwin.
Ramadan, T. (2001). Islam, the West and the
challenges of modernity. Leicester: Islamic Foundation.
Ramadan, T. (2008). Radical reform: Islamic
ethics and liberation. Oxford: Oxford University Press.
Rogers, C. (1961). On becoming a person: A
therapist's view of psychotherapy. Boston, MA: Houghton Mifflin.
Sardar, Z. (2015). Reforming Muslim societies:
Ethical tradition and modernity. Oxford: Oxford University Press.
Sayyid Qutb. (1985). Fi Zilal al-Qur'an
(Vol. 4). Beirut: Dar al-Shuruq.
Tabari, A. (1999). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk
(Vol. 2). Cairo: Dar al-Ma'arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar