Sabtu, 04 Januari 2025

Dakwah Metode Bil Hikmah: Pendekatan Tafsir, Pemikiran Ulama, dan Perspektif Filsafat

Dakwah Metode Bil Hikmah

“Pendekatan Tafsir, Pemikiran Ulama, dan Perspektif Filsafat”


Abstrak

QS. An-Nahl [16] ayat 125 menawarkan pedoman dakwah yang mencerminkan kebijaksanaan, etika, dan relevansi universal. Artikel ini membahas metode dakwah bil hikmah yang dijelaskan dalam ayat tersebut melalui pendekatan tafsir klasik dan kontemporer, pemikiran ulama, serta perspektif filsafat Islam. Hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan, mau‘izhah hasanah sebagai nasihat yang baik dan menyentuh hati, serta mujadalah bil lati hiya ahsan sebagai dialog etis yang bertujuan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara terbaik. Pandangan para ulama seperti Al-Qurtubi, Ibn Kathir, dan Sayyid Qutb, serta filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, menunjukkan bahwa metode ini relevan dalam berbagai konteks, termasuk tantangan modern seperti pluralisme agama, perkembangan teknologi, dan perubahan sosial. Artikel ini menegaskan pentingnya pendekatan dakwah yang fleksibel, adaptif, dan tetap berlandaskan prinsip-prinsip Islam untuk menghadapi dinamika zaman. Dengan mengintegrasikan hikmah dalam dakwah, Islam dapat disampaikan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Kata Kunci: Dakwah, Bil Hikmah, Mau‘izhah Hasanah, Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan.


1.           Pendahuluan

Dakwah merupakan salah satu pilar utama dalam ajaran Islam yang bertujuan untuk menyampaikan risalah Allah Swt kepada seluruh umat manusia. Secara etimologi, kata dakwah berasal dari akar kata Arab da‘a yang berarti menyeru, memanggil, atau mengajak. Dalam konteks agama Islam, dakwah bermakna mengajak manusia kepada jalan Allah dengan cara yang benar dan bijaksana sesuai ajaran Rasulullah Saw. Dakwah adalah aktivitas yang mengandung nilai ibadah, karena pelakunya berperan sebagai perantara dalam menyampaikan hidayah Allah Swt kepada umat manusia.¹

Pentingnya metode dalam dakwah tidak dapat diremehkan. Sebuah metode yang efektif bukan hanya menyampaikan pesan dengan jelas, tetapi juga memperhatikan kondisi psikologis, sosial, dan intelektual dari objek dakwah. Al-Qur'an menegaskan pentingnya pendekatan yang sesuai dalam dakwah melalui QS. An-Nahl [16] ayat 125, yang berbunyi:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."²

Ayat ini menekankan tiga pendekatan utama dalam dakwah, yaitu menggunakan hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah bil lati hiya ahsan (dialog dengan cara yang terbaik). Ketiga metode ini mengandung prinsip-prinsip etika komunikasi yang sangat relevan dalam menjalin hubungan dengan objek dakwah.³

Pendekatan yang diusung dalam ayat ini menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya berfokus pada isi pesan, tetapi juga pada cara penyampaiannya. Metode yang bijaksana mengindikasikan adanya pemahaman yang mendalam tentang situasi dan karakter audiens. Hal ini sejalan dengan praktik dakwah Rasulullah Saw. yang dikenal selalu memperhatikan kondisi psikologis dan budaya masyarakatnya. Misalnya, dalam dakwah kepada suku Quraisy, Rasulullah menggunakan pendekatan yang penuh kesabaran dan kelembutan, meskipun sering mendapat penolakan.⁴

Dalam konteks kekinian, relevansi metode dakwah yang disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 semakin penting. Masyarakat modern yang beragam secara intelektual, budaya, dan teknologi membutuhkan pendekatan dakwah yang fleksibel, adaptif, dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, kajian yang mendalam terhadap ayat ini, baik dari sudut pandang tafsir, pemikiran ulama, maupun perspektif filsafat, menjadi langkah penting untuk mengaplikasikan dakwah bil hikmah secara efektif dalam berbagai situasi dan era.⁵


Catatan Kaki

[1]                M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 123.

[2]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16]:125.

[3]                Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.

[4]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.

[5]                Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 230.


2.           Teks dan Terjemahan QS. An-Nahl [16] ayat 125

QS. An-Nahl [16] ayat 125 adalah salah satu ayat Al-Qur'an yang memberikan panduan penting bagi metode dakwah dalam Islam. Ayat ini tidak hanya menekankan esensi dakwah sebagai bagian dari perintah agama, tetapi juga menegaskan bagaimana cara penyampaian dakwah harus dilakukan secara bijaksana dan etis. Berikut adalah teks ayat tersebut dalam bahasa Arab:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Dalam bahasa Indonesia, ayat ini diterjemahkan sebagai:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."²

2.1.       Penekanan Kata Kunci dalam Ayat

Terdapat tiga kata kunci utama dalam ayat ini yang menggambarkan metode dakwah yang disyariatkan dalam Islam, yaitu:

1)                  Hikmah (ٱلْحِكْمَةِ)

Kata hikmah berasal dari akar kata Arab hakama yang bermakna kebijaksanaan, pengetahuan yang mendalam, atau tindakan yang tepat sesuai dengan situasi. Dalam konteks dakwah, hikmah mengacu pada pendekatan yang didasarkan pada akal sehat, argumentasi logis, dan cara yang sesuai dengan karakter audiens.³

2)                  Mau‘izhah Hasanah (ٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ)

Mau‘izhah hasanah berarti nasihat yang baik atau pelajaran moral yang disampaikan dengan cara yang lemah lembut, penuh kasih sayang, dan membangun. Metode ini menekankan aspek emosional dalam dakwah, yang bertujuan untuk menyentuh hati audiens.⁴

3)                  Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan (وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ)

Mujadalah berarti diskusi atau debat, tetapi dengan cara yang baik (bil lati hiya ahsan). Ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga etika komunikasi, bahkan dalam situasi yang menuntut perdebatan atau klarifikasi.⁵

2.2.       Konteks Ayat dalam Surat An-Nahl

Surat An-Nahl, yang juga dikenal sebagai Surat Lebah, adalah salah satu surat Makkiyah yang banyak membahas tentang keesaan Allah Swt (tauhid), tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan pentingnya bersyukur atas nikmat-Nya. Ayat 125 ini berada di bagian akhir surat, menggarisbawahi pentingnya dakwah sebagai manifestasi keimanan kepada Allah Swt. Penekanan pada metode hikmah, nasihat baik, dan dialog yang santun mencerminkan nilai-nilai universal yang tidak hanya relevan dalam konteks dakwah Islam, tetapi juga dalam interaksi sosial secara umum.⁶


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[2]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), 273.

[3]                Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.

[4]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), vol. 19 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut: Dar al-Shuruq, 2004), 251.

[6]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.


3.           Tafsir QS. An-Nahl [16] ayat 125

QS. An-Nahl [16] ayat 125 adalah ayat yang mengandung panduan tentang cara berdakwah yang efektif dan beretika. Para ulama tafsir klasik dan kontemporer telah memberikan penjelasan mendalam mengenai ayat ini, yang mencakup makna, metode, dan konteks penerapannya.

3.1.       Tafsir Klasik

1)                  Tafsir Al-Tabari

Al-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini memberikan tiga metode utama dalam berdakwah: hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah bil lati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Menurut Al-Tabari, hikmah mencakup argumentasi rasional yang sesuai dengan akal sehat dan wahyu, sedangkan mau‘izhah hasanah lebih kepada ajakan yang bersifat menyentuh hati. Mujadalah, dalam pandangannya, adalah dialog yang bertujuan meluruskan kesalahan tanpa menimbulkan permusuhan.¹

2)                  Tafsir Ibn Kathir

Ibn Kathir menekankan pentingnya memahami audiens dalam berdakwah. Hikmah digunakan untuk berdakwah kepada orang-orang berilmu yang terbuka terhadap logika dan ilmu pengetahuan. Mau‘izhah hasanah diarahkan kepada masyarakat umum yang cenderung tergerak oleh pesan moral dan nasihat. Sedangkan mujadalah bil lati hiya ahsan digunakan dalam situasi di mana argumen diperlukan untuk menjawab keraguan atau penentangan.²

3)                  Tafsir Al-Qurtubi

Menurut Al-Qurtubi, ayat ini merupakan pedoman lengkap bagi para dai. Ia menyoroti bahwa hikmah adalah pengetahuan yang mendalam tentang wahyu dan syariat, yang digunakan untuk berdakwah dengan cara yang paling efektif. Mau‘izhah hasanah adalah metode yang menunjukkan kasih sayang kepada audiens, sementara mujadalah harus dilakukan dengan mengutamakan kebaikan dan menghindari celaan.³

3.2.       Tafsir Kontemporer

1)                  Tafsir Al-Azhar (Buya Hamka)

Buya Hamka melihat ayat ini sebagai panduan universal dalam komunikasi. Ia menekankan bahwa hikmah tidak hanya berarti kebijaksanaan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan emosional, yaitu memahami kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Mau‘izhah hasanah, menurutnya, adalah ajakan yang menyentuh hati, sementara mujadalah bil lati hiya ahsan adalah seni berdebat tanpa memancing permusuhan. Ia menambahkan bahwa pendekatan ini sangat relevan dalam masyarakat plural seperti Indonesia.⁴

2)                  Fi Zilal Al-Qur’an (Sayyid Qutb)

Sayyid Qutb memandang ayat ini sebagai manifestasi nilai-nilai dakwah Islam yang lembut dan manusiawi. Menurutnya, hikmah dalam berdakwah adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis dan intelektual audiens. Ia menekankan bahwa metode ini mencerminkan rahmat Allah yang menjadi inti dari dakwah Islam.⁵

3.3.       Konteks Ayat dan Relevansinya

Para ulama sepakat bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah Rasulullah Saw. kepada masyarakat Quraisy yang penuh dengan tantangan. Dalam kondisi tersebut, Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang tidak menimbulkan permusuhan, sekaligus menunjukkan kebenaran Islam.⁶

Relevansi ayat ini tidak terbatas pada masa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga menjadi panduan abadi bagi dakwah Islam dalam berbagai konteks. Dalam era modern, di mana perbedaan pendapat dan keyakinan sering kali memicu konflik, metode yang diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 memberikan solusi praktis untuk berdakwah secara damai dan efektif.⁷


Catatan Kaki

[1]                Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 337.

[2]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.

[3]                Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.

[4]                Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 232–233.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut: Dar al-Shuruq, 2004), 251.

[6]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), vol. 19 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.

[7]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.


4.           Definisi dan Makna Metode Bil Hikmah

4.1.       Pengertian Hikmah: Bahasa dan Istilah

Secara bahasa, kata hikmah berasal dari akar kata Arab hakama, yang memiliki arti "kebijaksanaan," "kemampuan mengambil keputusan dengan tepat," atau "pengetahuan yang mendalam."¹ Dalam pengertian syar‘i, hikmah merujuk kepada kebijaksanaan yang berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap wahyu dan akal, sehingga seseorang mampu bertindak dan berbicara secara bijaksana, tepat, dan sesuai dengan konteks.²

Al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat Alfaz al-Qur’an menjelaskan bahwa hikmah adalah "ilmu yang benar, yang dikombinasikan dengan perbuatan yang benar."³ Dengan kata lain, hikmah tidak hanya menyangkut aspek intelektual, tetapi juga aspek praktis yang mencakup keadilan, moderasi, dan manfaat.⁴

4.2.       Hikmah dalam Konteks Dakwah

Hikmah dalam dakwah mengacu pada pendekatan yang bijaksana, yang disesuaikan dengan kondisi audiens. Hal ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap situasi psikologis, sosial, dan budaya dari orang-orang yang menjadi sasaran dakwah.⁵ Dalam tafsir Al-Qurtubi, hikmah diartikan sebagai penyampaian dakwah dengan argumentasi yang jelas dan logis, disertai cara yang penuh kelembutan dan pengertian.⁶

Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyebut hikmah sebagai "menggunakan cara yang paling tepat, dengan waktu, tempat, dan konteks yang paling sesuai."⁷ Artinya, hikmah mencakup kemampuan seorang dai untuk menilai situasi dan menggunakan metode yang paling efektif dalam menyampaikan pesan Islam.

4.3.       Implementasi Hikmah dalam Dakwah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. adalah contoh terbaik dalam penerapan dakwah bil hikmah. Dalam banyak kesempatan, beliau menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dalam menyampaikan pesan Islam, seperti:

1)                  Menggunakan Pendekatan Rasional kepada Orang Berilmu

Ketika berdakwah kepada para pemimpin Quraisy, Rasulullah menggunakan argumen logis dan menyampaikan tanda-tanda kebesaran Allah yang dapat mereka renungkan. Misalnya, dalam pertemuannya dengan Utbah bin Rabi’ah, Rasulullah dengan tenang membacakan QS. Fussilat [41] ayat 1-5 untuk menjawab keraguan Utbah.⁸

2)                  Pendekatan Emosional kepada Masyarakat Umum

Dalam sirah Nabawiyah, Rasulullah sering menunjukkan kesabaran dan kasih sayang, seperti saat menghadapi seorang Badui yang meludah ke arah masjid. Alih-alih marah, Rasulullah menegur dengan lembut dan memberikan pemahaman tentang adab.⁹

4.4.       Dimensi Hikmah: Perspektif Ulama

1)                  Imam Ghazali

Dalam Ihya ‘Ulum al-Din, Imam Ghazali menekankan bahwa hikmah adalah "pengetahuan tentang sesuatu sesuai dengan kenyataannya dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dengan benar."¹⁰ Dakwah yang bijak adalah dakwah yang dapat menyentuh akal dan hati audiens, sehingga menghasilkan perubahan positif.

2)                  Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah memandang hikmah sebagai perpaduan antara ilmu dan keadilan. Dalam konteks dakwah, ilmu diperlukan untuk memahami isi pesan, sedangkan keadilan memastikan pesan disampaikan dengan cara yang tidak menimbulkan permusuhan.¹¹

4.5.       Pentingnya Hikmah dalam Dakwah Modern

Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, hikmah menjadi kunci utama dalam menyampaikan dakwah secara efektif. Tantangan globalisasi, perbedaan budaya, dan teknologi informasi membutuhkan dai yang mampu memahami kondisi audiens dan menyampaikan Islam dengan cara yang relevan dan menarik.¹²

Misalnya, penggunaan media sosial dalam berdakwah harus dilakukan dengan hikmah: menyampaikan pesan Islam secara kreatif tanpa menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Hal ini sejalan dengan prinsip QS. An-Nahl [16] ayat 125 yang menekankan metode dakwah yang penuh kebijaksanaan.¹³


Catatan Kaki

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 137.

[2]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.

[3]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 138.

[4]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.

[5]                Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.

[6]                Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.

[7]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, vol. 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1991), 61.

[8]                Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 158.

[9]                Sahih al-Bukhari, no. 220.

[10]             Imam Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 63.

[11]             Ibn Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 71.

[12]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 59.

[13]             Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), 273.


5.           Metode Dakwah Mau’izhah Hasanah

5.1.       Pengertian Mau’izhah Hasanah

Mau‘izhah hasanah terdiri dari dua kata: mau‘izhah yang bermakna nasihat, pelajaran, atau pengingat, dan hasanah yang berarti baik, indah, atau penuh kebaikan.¹ Secara istilah, mau‘izhah hasanah merujuk pada pemberian nasihat yang menyentuh hati, disampaikan dengan cara yang lembut, penuh kasih sayang, dan relevan dengan kondisi audiens.²

Menurut Al-Raghib al-Asfahani, mau‘izhah adalah nasihat yang bertujuan menggugah perasaan dan mendorong seseorang untuk berbuat baik, disertai peringatan tentang dampak buruk dari perbuatan yang salah.³ Dalam konteks dakwah, metode ini menitikberatkan pada pendekatan emosional dan moral yang dapat memengaruhi hati audiens.

5.2.       Mau’izhah Hasanah dalam Tafsir

1)                  Tafsir Al-Qurtubi

Al-Qurtubi menjelaskan bahwa mau‘izhah hasanah adalah metode dakwah yang ditujukan kepada orang-orang awam atau masyarakat umum yang mudah terpengaruh oleh pelajaran moral. Nasihat harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan menyentuh hati.⁴

2)                  Tafsir Ibn Kathir

Ibn Kathir memandang mau‘izhah hasanah sebagai penyampaian ajaran Islam yang tidak hanya mengandalkan logika, tetapi juga mampu menyentuh hati dengan pesan-pesan yang menggugah perasaan. Ia menekankan pentingnya kejujuran dan ketulusan dai dalam menyampaikan pesan.⁵

3)                  Fi Zilal Al-Qur’an

Sayyid Qutb menyatakan bahwa mau‘izhah hasanah adalah metode dakwah yang sangat efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Menurutnya, nasihat yang baik harus mencerminkan rahmat Allah dan mengandung pesan yang membangun, sehingga dapat membangkitkan semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik.⁶

5.3.       Contoh Praktis Mau’izhah Hasanah dalam Dakwah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. sering menggunakan metode mau‘izhah hasanah dalam dakwahnya, terutama ketika berhadapan dengan masyarakat awam. Beberapa contoh terkenal meliputi:

1)                  Nasihat kepada Seorang Pemuda yang Meminta Izin untuk Berzina

Ketika seorang pemuda datang kepada Rasulullah dan meminta izin untuk berzina, Rasulullah menanggapinya dengan kelembutan. Beliau mengajak pemuda tersebut untuk merenungkan perasaannya jika orang lain melakukan hal yang sama kepada ibunya, saudara perempuannya, atau anak perempuannya.⁷ Dengan cara ini, Rasulullah berhasil menyentuh hati pemuda itu tanpa menyinggung perasaannya.

2)                  Pidato Rasulullah di Arafah

Dalam khutbahnya di Arafah pada Haji Wada‘, Rasulullah memberikan nasihat yang penuh makna, seperti larangan riba, pentingnya menjaga hak-hak perempuan, dan seruan untuk tetap berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah.⁸ Pesan-pesan ini disampaikan dengan kelembutan dan relevansi, sehingga mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

5.4.       Prinsip-Prinsip Mau’izhah Hasanah

1)                  Kejujuran dan Ketulusan

Nasihat yang baik hanya akan efektif jika disampaikan dengan ketulusan hati.⁹

2)                  Bahasa yang Mudah Dipahami

Dai harus menggunakan bahasa yang jelas, sederhana, dan sesuai dengan tingkat pemahaman audiens.¹⁰

3)                  Relevansi dengan Realitas Audiens

Nasihat harus relevan dengan kondisi sosial dan emosional audiens, sehingga mereka merasa pesan tersebut menyentuh kehidupan mereka.¹¹

4)                  Penuh Kasih Sayang

Rasulullah Saw. mencontohkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, tanpa memaksa atau mencela.¹²

5.5.       Relevansi Mau’izhah Hasanah dalam Konteks Modern

Dalam era modern, mau‘izhah hasanah tetap relevan, terutama dalam membangun hubungan yang baik antara dai dan audiens. Media dakwah seperti ceramah, khutbah, dan konten digital dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nasihat yang baik. Penting bagi dai modern untuk memahami audiensnya, menggunakan teknologi secara bijak, dan menyampaikan pesan yang relevan dengan isu-isu yang sedang dihadapi masyarakat.¹³


Catatan Kaki

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 287.

[2]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.

[3]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 287.

[4]                Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 104.

[5]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 534.

[6]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut: Dar al-Shuruq, 2004), 252.

[7]                Sahih Muslim, no. 2658.

[8]                Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 172.

[9]                Imam Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 63.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 60.

[11]             Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 38.

[12]             Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.

[13]             Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 233.


6.           Dialog dengan Metode Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan

6.1.       Pengertian Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan

Mujadalah berasal dari kata kerja jadala, yang berarti "berdialog" atau "berdebat." Secara istilah, mujadalah adalah diskusi yang melibatkan pertukaran argumen untuk mencari kebenaran.¹ Frasa bil lati hiya ahsan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 mengindikasikan bahwa dialog atau debat harus dilakukan dengan cara yang terbaik—yaitu cara yang penuh kesantunan, keadilan, dan mengutamakan kebaikan.²

Menurut Al-Raghib al-Asfahani, mujadalah dalam konteks Al-Qur'an adalah upaya untuk menyampaikan argumen yang benar dengan adab yang mulia, menghindari celaan atau emosi yang merugikan.³

6.2.       Mujadalah dalam Tafsir

1)                  Tafsir Al-Tabari

Al-Tabari menjelaskan bahwa mujadalah bil lati hiya ahsan adalah metode dialog yang menitikberatkan pada penyampaian argumen yang kuat namun tetap menghormati lawan bicara. Ia mencontohkan dakwah Nabi Ibrahim a.s. kepada ayahnya, Azar, yang dilakukan dengan penuh kelembutan dan logika.⁴

2)                  Tafsir Ibn Kathir

Ibn Kathir memandang mujadalah bil lati hiya ahsan sebagai cara berdialog yang tidak hanya menggunakan argumen yang kuat tetapi juga menghindari tindakan yang dapat memicu konflik atau permusuhan. Contoh penerapan metode ini dapat dilihat dalam dakwah Rasulullah Saw. kepada kaum Quraisy yang sering disertai dengan pengertian terhadap kondisi emosional mereka.⁵

3)                  Fi Zilal Al-Qur’an

Sayyid Qutb menekankan bahwa mujadalah bil lati hiya ahsan adalah metode dakwah yang mengutamakan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dengan menjaga kehormatan lawan bicara. Dialog harus dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas kebenaran, bukan untuk merendahkan pihak lain.⁶

6.3.       Implementasi Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan dalam Dakwah Rasulullah Saw.

1)                  Dialog dengan Utusan Nasrani Najran

Salah satu contoh penerapan mujadalah bil lati hiya ahsan oleh Rasulullah Saw. adalah dialog beliau dengan utusan Nasrani Najran. Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang keesaan Allah dan kedudukan Nabi Isa a.s. dalam Islam. Dalam dialog tersebut, Rasulullah menggunakan argumen logis yang berdasarkan wahyu, tanpa mencela keyakinan mereka.⁷

2)                  Dialog dengan Abu Sufyan

Ketika Abu Sufyan masih menjadi pemimpin Quraisy dan menentang Islam, Rasulullah tetap berdialog dengannya dengan sopan. Sikap ini membuat Abu Sufyan pada akhirnya menerima kebenaran Islam setelah Fathu Makkah.⁸

6.4.       Prinsip-Prinsip Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan

1)                  Menghindari Celaan dan Kekerasan Verbal

Dialog yang baik harus bebas dari celaan atau kata-kata yang dapat melukai perasaan lawan bicara.⁹

2)                  Berlandaskan Argumen yang Kuat

Argumentasi dalam mujadalah harus didasarkan pada fakta, logika, dan wahyu yang relevan dengan topik yang dibahas.¹⁰

3)                  Mengutamakan Tujuan Dakwah

Tujuan utama mujadalah adalah untuk menyampaikan kebenaran dan mendekatkan lawan bicara kepada Islam, bukan untuk memenangkan perdebatan.¹¹

4)                  Menggunakan Bahasa yang Santun

Kelembutan bahasa merupakan kunci untuk membuka hati lawan bicara dalam berdialog.¹²

6.5.       Relevansi Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan dalam Konteks Modern

Dalam dunia yang penuh dengan perbedaan pendapat, mujadalah bil lati hiya ahsan menjadi metode penting dalam berdakwah. Metode ini sangat relevan dalam berbagai platform modern, seperti media sosial, debat publik, dan diskusi akademik.

Dai harus memastikan bahwa dialog dilakukan dengan menghormati perbedaan, menggunakan data yang valid, dan menjauhkan diri dari debat yang tidak produktif. Contoh penerapan modern dari metode ini adalah dakwah di platform digital yang menekankan dialog interaktif dan responsif terhadap pertanyaan audiens.¹³


Catatan Kaki

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 117.

[2]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 37.

[3]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 117.

[4]                Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 338.

[5]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 535.

[6]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut: Dar al-Shuruq, 2004), 253.

[7]                Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 183.

[8]                Sahih al-Bukhari, no. 2731.

[9]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 67.

[10]             Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 59.

[11]             Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 115.

[12]             Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 234.

[13]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 69.


7.           Perspektif Filsafat tentang Hikmah dalam Dakwah

7.1.       Hikmah dalam Filsafat Islam

Dalam filsafat Islam, hikmah (kebijaksanaan) memiliki tempat yang istimewa. Para filsuf Muslim mendefinisikan hikmah sebagai perpaduan antara pengetahuan yang benar dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.¹ Hikmah adalah pengetahuan tentang realitas sebagaimana adanya, baik dalam aspek metafisika maupun praktis, yang memungkinkan seseorang bertindak secara bijaksana dalam setiap situasi.²

Al-Farabi, dalam karya monumental Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, menyatakan bahwa hikmah adalah kemampuan akal untuk memahami kebenaran secara sempurna dan mengaplikasikannya dalam membangun kehidupan yang harmonis.³ Dalam konteks dakwah, hikmah adalah cara untuk menyampaikan kebenaran agama dengan logika yang kuat dan pendekatan yang lembut, sehingga pesan Islam dapat diterima oleh akal dan hati.⁴

7.2.       Perspektif Filsafat Hikmah dari Para Tokoh

1)                  Al-Farabi (872–950 M)

Sebagai filsuf Islam yang dikenal sebagai "Guru Kedua" (setelah Aristoteles), Al-Farabi menekankan bahwa hikmah adalah inti dari keberhasilan sebuah masyarakat ideal. Ia memandang dakwah sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan nilai-nilai kebenaran. Dalam pandangannya, seorang dai harus memahami psikologi manusia dan menyampaikan pesan dengan cara yang logis dan penuh kebijaksanaan.⁵

2)                  Ibnu Sina (980–1037 M)

Ibnu Sina mendefinisikan hikmah sebagai "pengetahuan tentang hal-hal Ilahi dan penerapannya dalam kehidupan manusia."⁶ Dalam konteks dakwah, hikmah berarti menyampaikan agama dengan metode yang sesuai dengan tingkat intelektual audiens. Misalnya, kepada mereka yang rasional, pendekatan logis lebih efektif, sedangkan kepada orang awam, pendekatan emosional dan moral lebih disarankan.⁷

3)                  Al-Ghazali (1058–1111 M)

Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menekankan bahwa hikmah adalah kemampuan untuk menyampaikan ilmu agama dengan cara yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, hikmah dalam dakwah mencakup dua aspek: hikmah akliyah (rasional) dan hikmah naqliyah (tekstual), yang harus digunakan secara seimbang.⁸

4)                  Mulla Sadra (1571–1640 M)

Sebagai pelopor filsafat hikmah (al-hikmah al-muta‘aliyah), Mulla Sadra menjelaskan bahwa hikmah tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga spiritual. Dalam dakwah, hikmah berarti menyampaikan pesan agama yang tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga menggerakkan hati dan jiwa.⁹

7.3.       Relevansi Hikmah dalam Dakwah Kontemporer

Filsafat hikmah mengajarkan pentingnya memahami audiens dalam dakwah. Dalam dunia modern yang kompleks, seorang dai harus mampu mengintegrasikan pendekatan rasional dan spiritual untuk menyampaikan Islam. Beberapa prinsip yang dapat diambil dari filsafat hikmah adalah:

1)                  Pendekatan Rasional

Sejalan dengan pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina, dakwah kepada kalangan intelektual memerlukan argumen yang logis dan ilmiah. Misalnya, menjelaskan nilai-nilai Islam dalam konteks sains atau filsafat modern.

2)                  Pendekatan Emosional dan Spiritualitas

Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali dan Mulla Sadra, pendekatan ini lebih efektif untuk masyarakat awam atau mereka yang mencari makna spiritual dalam hidup. Misalnya, melalui kisah-kisah inspiratif atau pengalaman religius.

3)                  Adaptasi dengan Teknologi dan Media

Dalam era digital, hikmah juga mencakup kemampuan menggunakan media sosial, video, dan podcast untuk menyampaikan pesan Islam secara bijaksana. Hal ini relevan dengan prinsip hikmah yang diajarkan Al-Qur'an dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.¹⁰

7.4.       Hikmah dalam Dakwah Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. adalah teladan utama dalam penerapan hikmah dalam dakwah. Beliau menggunakan pendekatan rasional saat berdialog dengan para pemimpin Quraisy, seperti Utbah bin Rabi’ah, dan pendekatan emosional saat menyampaikan dakwah kepada masyarakat umum, seperti dalam khutbah di Arafah.¹¹


Kesimpulan

Dakwah bil hikmah sebagaimana diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 selaras dengan konsep hikmah dalam filsafat Islam. Hikmah mencakup kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual yang diperlukan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang terbaik. Dalam konteks modern, prinsip-prinsip hikmah dapat menjadi panduan untuk berdakwah secara efektif di tengah tantangan global.


Catatan Kaki

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 137.

[2]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, 82.

[4]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 37.

[5]                Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 112.

[6]                Ibnu Sina, Al-Shifa, ed. Ibrahim Madkour (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1952), 134.

[7]                Ibnu Sina, Al-Najat, ed. Abdul Rahman Badawi (Kairo: Dar al-Nahda, 1975), 92.

[8]                Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 63.

[9]                Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba‘ah, vol. 2 (Teheran: Dar al-Mashriq, 1991), 154.

[10]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 59.

[11]             Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 158.


8.           Relevansi Dakwah Bil Hikmah dalam Konteks Modern

8.1.       Tantangan Dakwah di Era Modern

Dakwah di era modern menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, termasuk pluralisme budaya dan agama, kemajuan teknologi, serta perubahan sosial yang cepat. Dalam konteks ini, metode dakwah bil hikmah sebagaimana diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 menjadi semakin relevan. Hikmah tidak hanya berarti kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan, tetapi juga kemampuan untuk memahami audiens, konteks sosial, dan dinamika zaman.¹

1)                  Pluralisme Agama dan Budaya

Masyarakat modern sangat beragam dalam hal keyakinan, budaya, dan nilai. Pendekatan dakwah yang bijaksana diperlukan untuk memastikan pesan Islam diterima tanpa menimbulkan konflik atau kesalahpahaman.²

2)                  Perkembangan Teknologi

Kemajuan teknologi, khususnya media sosial, telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Dakwah kini dapat menjangkau audiens global, tetapi juga menghadapi tantangan berupa informasi yang berlebihan (information overload) dan disinformasi.³

3)                  Perubahan Gaya Hidup

Gaya hidup modern yang cenderung materialistis dan sekuler sering kali menjauhkan individu dari nilai-nilai spiritual. Hikmah dalam dakwah dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan ini dengan cara yang relevan dan menarik.⁴

8.2.       Strategi Dakwah Bil Hikmah di Era Modern

1)                  Menggunakan Media Digital secara Bijak

Media sosial dan platform digital adalah alat yang sangat efektif untuk berdakwah. Namun, hikmah diperlukan dalam penggunaannya, seperti memilih konten yang sesuai, menghindari provokasi, dan memastikan pesan disampaikan dengan cara yang ramah dan mendidik.⁵

2)                  Pendekatan Kontekstual

Seorang dai harus memahami latar belakang sosial, budaya, dan intelektual audiensnya. Dakwah yang relevan dengan kebutuhan masyarakat akan lebih mudah diterima. Contohnya, pendekatan rasional dan berbasis sains dapat digunakan untuk audiens intelektual, sementara kisah inspiratif lebih efektif untuk masyarakat umum.⁶

3)                  Menekankan Etika dalam Dakwah

Metode bil hikmah menuntut dai untuk menjaga etika dalam berdakwah, termasuk tidak memaksakan pendapat, menghindari perdebatan yang tidak perlu, dan menghormati perbedaan pandangan.⁷

4)                  Menyampaikan Pesan Islam yang Universal

Nilai-nilai Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan kepedulian sosial harus disampaikan sebagai solusi atas tantangan global, seperti ketimpangan ekonomi, konflik sosial, dan krisis lingkungan. Hal ini dapat menjadikan dakwah Islam relevan di mata masyarakat global.⁸

8.3.       Contoh Praktis Dakwah Bil Hikmah

1)                  Penggunaan Konten Kreatif di Media Sosial

Banyak dai modern menggunakan platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok untuk menyampaikan pesan Islam melalui konten kreatif, seperti video pendek, infografik, dan podcast. Pendekatan ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memungkinkan pesan Islam menjangkau audiens yang lebih luas.⁹

2)                  Dialog Antaragama yang Bijaksana

Dalam masyarakat plural, dialog antaragama menjadi salah satu bentuk dakwah bil hikmah. Dialog yang dilakukan dengan sikap saling menghormati dapat membangun pemahaman yang lebih baik dan menghilangkan stereotip negatif tentang Islam.¹⁰

3)                  Dakwah melalui Aksi Sosial

Dakwah tidak selalu harus dilakukan dengan kata-kata. Banyak organisasi Islam modern yang menggunakan aksi sosial, seperti bantuan kemanusiaan dan pendidikan, sebagai cara untuk menyampaikan nilai-nilai Islam secara praktis.¹¹

8.4.       Pentingnya Dakwah Bil Hikmah untuk Masa Depan

Metode dakwah bil hikmah adalah pendekatan yang fleksibel dan adaptif, yang dapat terus relevan di tengah perubahan zaman. Dalam dunia yang semakin terhubung, hikmah dalam dakwah tidak hanya diperlukan untuk menyampaikan pesan Islam, tetapi juga untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang beragam. Hal ini menjadikan QS. An-Nahl [16] ayat 125 sebagai panduan abadi bagi setiap dai.¹²


Catatan Kaki

[1]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.

[2]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 57.

[3]                Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 210.

[4]                Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 233.

[5]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 68.

[6]                Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 115.

[7]                Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.

[8]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14, 37.

[9]                M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 213.

[10]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.

[11]             Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 535.

[12]             Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 70.


9.           Kesimpulan

QS. An-Nahl [16] ayat 125 memberikan panduan yang jelas dan komprehensif tentang metode dakwah yang efektif dan etis. Ayat ini menekankan pentingnya pendekatan bil hikmah (dengan kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah bil lati hiya ahsan (berdialog dengan cara yang terbaik) dalam menyampaikan risalah Islam.¹ Setiap metode ini memiliki relevansi yang mendalam, tidak hanya pada masa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga dalam konteks dakwah di era modern.

9.1.       Signifikansi Metode Dakwah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125

Metode bil hikmah mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam menyampaikan dakwah, yaitu dengan memahami audiens dan menyampaikan pesan secara relevan dan efektif.² Mau‘izhah hasanah menggarisbawahi pentingnya menyentuh hati audiens dengan nasihat yang lemah lembut dan menyentuh emosional.³ Sementara itu, mujadalah bil lati hiya ahsan menekankan dialog yang penuh etika, menjaga penghormatan kepada audiens, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.⁴

9.2.       Perspektif Ulama dan Filsafat tentang Hikmah

Para ulama tafsir, seperti Al-Tabari, Ibn Kathir, dan Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa metode dakwah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 memberikan panduan universal untuk menyampaikan Islam dengan cara yang mencerminkan rahmat Allah.⁵ Filsuf Muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, menekankan bahwa hikmah adalah kombinasi antara pengetahuan dan tindakan yang benar, yang sangat relevan dalam menyampaikan dakwah secara intelektual dan spiritual.⁶

9.3.       Relevansi Dakwah Bil Hikmah di Era Modern

Dalam era globalisasi dan teknologi, metode dakwah bil hikmah memiliki relevansi yang tinggi. Pluralisme budaya, perkembangan media digital, dan tantangan sosial yang kompleks membutuhkan pendekatan dakwah yang fleksibel dan adaptif. Dakwah yang mengintegrasikan kebijaksanaan, empati, dan dialog yang konstruktif akan lebih efektif dalam membangun hubungan positif antara Islam dan masyarakat modern.⁷

Pendekatan dakwah yang bijaksana juga penting untuk melawan Islamofobia dan kesalahpahaman tentang Islam di dunia internasional. Dialog yang dilakukan dengan cara yang baik dapat menjadi jembatan untuk membangun pemahaman dan harmoni antaragama.⁸

9.4.       Dakwah sebagai Amanah dan Tugas Mulia

QS. An-Nahl [16] ayat 125 mengingatkan bahwa dakwah adalah tugas mulia yang harus dilakukan dengan tanggung jawab besar. Seorang dai tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu agama, tetapi juga memahami cara menyampaikannya dengan cara yang terbaik. Sebagaimana Rasulullah Saw. mencontohkan, dakwah harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, kejujuran, dan kesabaran.⁹

Dengan memahami dan mengimplementasikan metode dakwah bil hikmah sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125, diharapkan para dai dapat menyampaikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dakwah yang bijaksana tidak hanya akan mendekatkan manusia kepada Allah, tetapi juga mempererat hubungan antara manusia dari berbagai latar belakang.¹⁰


Catatan Kaki

[1]                Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 125.

[2]                Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.

[3]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.

[4]                Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.

[5]                Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.

[6]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.

[7]                Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 57.

[8]                M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 210.

[9]                Sahih Muslim, no. 2658.

[10]             Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 233.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila (R. Walzer, Ed.). Oxford University Press.

Al-Farabi. (1970). Kitab al-Huruf (M. Mahdi, Ed.). Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali. (1992). Ihya ‘Ulum al-Din (Vol. 1). Dar al-Fikr.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2019). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama RI.

Al-Qurtubi. (2006). Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an (Vol. 10). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Raghib al-Asfahani. (1992). Mufradat Alfaz al-Qur’an (M. Sadiq, Ed., 2nd ed.). Dar al-Qalam.

Buya Hamka. (2015). Tafsir Al-Azhar (Vol. 7). Gema Insani Press.

Fakhruddin Al-Razi. (1999). Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir, Vol. 19). Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Ibn Hisham. (2000). Sirah Nabawiyah (M. Al-Saqqa, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Kathir. (2002). Tafsir al-Qur'an al-Azim (Vol. 4). Dar Ibn Hazm.

Ibnu Sina. (1952). Al-Shifa (I. Madkour, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Sina. (1975). Al-Najat (A. R. Badawi, Ed.). Dar al-Nahda.

Mulla Sadra. (1991). Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba‘ah (Vol. 2). Dar al-Mashriq.

Muhammad Quraish Shihab. (1994). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

Muhammad Rashid Rida. (1999). Tafsir al-Manar (Vol. 10). Dar al-Ma’rifah.

Sahih al-Bukhari. (n.d.). Sahih al-Bukhari (Hadis no. 2731).

Sahih Muslim. (n.d.). Sahih Muslim (Hadis no. 2658).

Sayyid Qutb. (2004). Fi Zilal al-Qur'an (Vol. 4). Dar al-Shuruq.

Wahbah Al-Zuhaili. (1991). Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj (Vol. 14). Dar al-Fikr.

Yusuf Al-Qaradawi. (2005). Fiqh al-Da‘wah. Dar al-Shuruq.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar