Dakwah Metode Bil Hikmah
“Pendekatan Tafsir,
Pemikiran Ulama, dan Perspektif Filsafat”
Abstrak
QS. An-Nahl [16] ayat 125 menawarkan pedoman dakwah
yang mencerminkan kebijaksanaan, etika, dan relevansi universal. Artikel ini
membahas metode dakwah bil hikmah yang dijelaskan dalam ayat tersebut
melalui pendekatan tafsir klasik dan kontemporer, pemikiran ulama, serta
perspektif filsafat Islam. Hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dalam
menyampaikan pesan, mau‘izhah hasanah sebagai nasihat yang baik dan
menyentuh hati, serta mujadalah bil lati hiya ahsan sebagai dialog etis
yang bertujuan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara terbaik. Pandangan para
ulama seperti Al-Qurtubi, Ibn Kathir, dan Sayyid Qutb, serta filsuf seperti
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, menunjukkan bahwa metode ini relevan
dalam berbagai konteks, termasuk tantangan modern seperti pluralisme agama,
perkembangan teknologi, dan perubahan sosial. Artikel ini menegaskan pentingnya
pendekatan dakwah yang fleksibel, adaptif, dan tetap berlandaskan
prinsip-prinsip Islam untuk menghadapi dinamika zaman. Dengan mengintegrasikan
hikmah dalam dakwah, Islam dapat disampaikan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin).
Kata Kunci: Dakwah, Bil Hikmah, Mau‘izhah Hasanah,
Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan.
1.
Pendahuluan
Dakwah merupakan salah satu pilar utama dalam
ajaran Islam yang bertujuan untuk menyampaikan risalah Allah Swt kepada seluruh
umat manusia. Secara etimologi, kata dakwah berasal dari akar kata Arab da‘a
yang berarti menyeru, memanggil, atau mengajak. Dalam konteks agama Islam,
dakwah bermakna mengajak manusia kepada jalan Allah dengan cara yang benar dan
bijaksana sesuai ajaran Rasulullah Saw. Dakwah adalah aktivitas yang mengandung
nilai ibadah, karena pelakunya berperan sebagai perantara dalam menyampaikan
hidayah Allah Swt kepada umat manusia.¹
Pentingnya metode dalam dakwah tidak dapat
diremehkan. Sebuah metode yang efektif bukan hanya menyampaikan pesan dengan
jelas, tetapi juga memperhatikan kondisi psikologis, sosial, dan intelektual
dari objek dakwah. Al-Qur'an menegaskan pentingnya pendekatan yang sesuai dalam
dakwah melalui QS. An-Nahl [16] ayat 125, yang berbunyi:
"Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk."²
Ayat ini menekankan tiga pendekatan utama dalam
dakwah, yaitu menggunakan hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah
(nasihat yang baik), dan mujadalah bil lati hiya ahsan (dialog dengan
cara yang terbaik). Ketiga metode ini mengandung prinsip-prinsip etika
komunikasi yang sangat relevan dalam menjalin hubungan dengan objek dakwah.³
Pendekatan yang diusung dalam ayat ini menunjukkan
bahwa dakwah tidak hanya berfokus pada isi pesan, tetapi juga pada cara
penyampaiannya. Metode yang bijaksana mengindikasikan adanya pemahaman yang
mendalam tentang situasi dan karakter audiens. Hal ini sejalan dengan praktik
dakwah Rasulullah Saw. yang dikenal selalu memperhatikan kondisi psikologis dan
budaya masyarakatnya. Misalnya, dalam dakwah kepada suku Quraisy, Rasulullah
menggunakan pendekatan yang penuh kesabaran dan kelembutan, meskipun sering
mendapat penolakan.⁴
Dalam konteks kekinian, relevansi metode dakwah
yang disebutkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 semakin penting. Masyarakat
modern yang beragam secara intelektual, budaya, dan teknologi membutuhkan
pendekatan dakwah yang fleksibel, adaptif, dan tetap sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, kajian yang mendalam terhadap ayat ini,
baik dari sudut pandang tafsir, pemikiran ulama, maupun perspektif filsafat,
menjadi langkah penting untuk mengaplikasikan dakwah bil hikmah secara efektif
dalam berbagai situasi dan era.⁵
Catatan Kaki
[1]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 123.
[2]
Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16]:125.
[3]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol.
10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.
[4]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.
[5]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7
(Jakarta: Gema Insani Press, 2015), 230.
2.
Teks
dan Terjemahan QS. An-Nahl [16] ayat 125
QS. An-Nahl [16]
ayat 125 adalah salah satu ayat Al-Qur'an yang memberikan panduan penting bagi
metode dakwah dalam Islam. Ayat ini tidak hanya menekankan esensi dakwah sebagai bagian dari perintah agama,
tetapi juga menegaskan bagaimana cara penyampaian dakwah harus dilakukan secara
bijaksana dan etis. Berikut adalah teks ayat tersebut dalam bahasa Arab:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ.¹
Dalam bahasa
Indonesia, ayat ini diterjemahkan sebagai:
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang mendapat petunjuk."²
2.1.
Penekanan Kata Kunci dalam Ayat
Terdapat tiga kata
kunci utama dalam ayat ini yang menggambarkan metode dakwah yang disyariatkan
dalam Islam, yaitu:
1)
Hikmah (ٱلْحِكْمَةِ)
Kata hikmah berasal dari akar kata Arab hakama
yang bermakna kebijaksanaan, pengetahuan yang mendalam, atau tindakan yang
tepat sesuai dengan situasi. Dalam konteks dakwah, hikmah mengacu pada
pendekatan yang didasarkan pada akal sehat, argumentasi logis, dan cara yang
sesuai dengan karakter audiens.³
2)
Mau‘izhah Hasanah (ٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ)
Mau‘izhah hasanah berarti nasihat yang
baik atau pelajaran moral yang disampaikan dengan cara yang lemah lembut, penuh
kasih sayang, dan membangun. Metode ini menekankan aspek emosional dalam
dakwah, yang bertujuan untuk menyentuh hati audiens.⁴
3)
Mujadalah Bil Lati Hiya
Ahsan (وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ)
Mujadalah berarti diskusi atau debat,
tetapi dengan cara yang baik (bil lati hiya ahsan). Ayat ini
mengajarkan pentingnya menjaga etika komunikasi, bahkan dalam situasi yang
menuntut perdebatan atau klarifikasi.⁵
2.2.
Konteks Ayat dalam Surat An-Nahl
Surat An-Nahl, yang
juga dikenal sebagai Surat Lebah, adalah salah satu
surat Makkiyah yang banyak membahas tentang keesaan Allah Swt (tauhid),
tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan pentingnya bersyukur atas nikmat-Nya. Ayat 125
ini berada di bagian akhir surat, menggarisbawahi pentingnya dakwah sebagai manifestasi keimanan kepada Allah Swt.
Penekanan pada metode hikmah, nasihat baik, dan dialog yang santun mencerminkan
nilai-nilai universal yang tidak hanya relevan dalam konteks dakwah Islam,
tetapi juga dalam interaksi sosial secara umum.⁶
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[2]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), 273.
[3]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol.
10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.
[4]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir),
vol. 19 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Shuruq, 2004), 251.
[6]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
3.
Tafsir
QS. An-Nahl [16] ayat 125
QS. An-Nahl [16]
ayat 125 adalah ayat yang mengandung panduan tentang cara berdakwah yang
efektif dan beretika. Para ulama tafsir klasik dan kontemporer telah memberikan penjelasan mendalam mengenai ayat
ini, yang mencakup makna, metode, dan konteks penerapannya.
3.1.
Tafsir Klasik
1)
Tafsir Al-Tabari
Al-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini memberikan
tiga metode utama dalam berdakwah: hikmah (kebijaksanaan), mau‘izhah
hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah bil lati hiya ahsan
(berdebat dengan cara yang terbaik). Menurut Al-Tabari, hikmah
mencakup argumentasi rasional yang sesuai dengan akal sehat dan wahyu, sedangkan
mau‘izhah hasanah lebih kepada ajakan yang bersifat menyentuh hati. Mujadalah,
dalam pandangannya, adalah dialog yang bertujuan meluruskan kesalahan tanpa
menimbulkan permusuhan.¹
2)
Tafsir Ibn Kathir
Ibn Kathir menekankan pentingnya memahami audiens
dalam berdakwah. Hikmah digunakan untuk berdakwah kepada orang-orang
berilmu yang terbuka terhadap logika dan ilmu pengetahuan. Mau‘izhah
hasanah diarahkan kepada masyarakat umum yang cenderung tergerak oleh
pesan moral dan nasihat. Sedangkan mujadalah bil lati hiya ahsan
digunakan dalam situasi di mana argumen diperlukan untuk menjawab keraguan atau
penentangan.²
3)
Tafsir Al-Qurtubi
Menurut Al-Qurtubi, ayat ini merupakan pedoman
lengkap bagi para dai. Ia menyoroti bahwa hikmah adalah pengetahuan
yang mendalam tentang wahyu dan syariat, yang digunakan untuk berdakwah dengan
cara yang paling efektif. Mau‘izhah hasanah adalah metode yang
menunjukkan kasih sayang kepada audiens, sementara mujadalah harus
dilakukan dengan mengutamakan kebaikan dan menghindari celaan.³
3.2.
Tafsir Kontemporer
1)
Tafsir Al-Azhar (Buya
Hamka)
Buya Hamka melihat ayat ini sebagai panduan
universal dalam komunikasi. Ia menekankan bahwa hikmah tidak hanya
berarti kebijaksanaan intelektual, tetapi juga kebijaksanaan emosional, yaitu
memahami kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Mau‘izhah hasanah,
menurutnya, adalah ajakan yang menyentuh hati, sementara mujadalah bil lati
hiya ahsan adalah seni berdebat tanpa memancing permusuhan. Ia menambahkan
bahwa pendekatan ini sangat relevan dalam masyarakat plural seperti Indonesia.⁴
2)
Fi Zilal Al-Qur’an
(Sayyid Qutb)
Sayyid Qutb memandang ayat ini sebagai
manifestasi nilai-nilai dakwah Islam yang lembut dan manusiawi. Menurutnya, hikmah
dalam berdakwah adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis
dan intelektual audiens. Ia menekankan bahwa metode ini mencerminkan rahmat
Allah yang menjadi inti dari dakwah Islam.⁵
3.3.
Konteks Ayat dan Relevansinya
Para ulama sepakat
bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah Rasulullah Saw. kepada
masyarakat Quraisy yang penuh dengan tantangan. Dalam kondisi tersebut,
Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang tidak
menimbulkan permusuhan, sekaligus menunjukkan kebenaran Islam.⁶
Relevansi ayat ini
tidak terbatas pada masa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga menjadi panduan abadi
bagi dakwah Islam dalam berbagai konteks. Dalam era modern, di mana perbedaan pendapat dan keyakinan
sering kali memicu konflik, metode yang diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125
memberikan solusi praktis untuk berdakwah secara damai dan efektif.⁷
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
vol. 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 337.
[2]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.
[3]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol.
10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.
[4]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2015), 232–233.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Shuruq, 2004), 251.
[6]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir),
vol. 19 (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.
[7]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
4.
Definisi
dan Makna Metode Bil Hikmah
4.1.
Pengertian Hikmah: Bahasa dan Istilah
Secara bahasa, kata hikmah
berasal dari akar kata Arab hakama, yang memiliki arti "kebijaksanaan,"
"kemampuan mengambil keputusan dengan tepat," atau "pengetahuan
yang mendalam."¹ Dalam pengertian syar‘i, hikmah merujuk kepada kebijaksanaan
yang berasal dari pemahaman yang mendalam
terhadap wahyu dan akal, sehingga seseorang mampu bertindak dan berbicara
secara bijaksana, tepat, dan sesuai dengan konteks.²
Al-Raghib
al-Asfahani dalam Mufradat Alfaz al-Qur’an
menjelaskan bahwa hikmah adalah "ilmu yang benar, yang dikombinasikan
dengan perbuatan yang benar."³ Dengan kata lain, hikmah tidak hanya
menyangkut aspek intelektual,
tetapi juga aspek praktis yang mencakup keadilan, moderasi, dan manfaat.⁴
4.2.
Hikmah dalam Konteks Dakwah
Hikmah dalam dakwah
mengacu pada pendekatan yang bijaksana, yang disesuaikan dengan kondisi
audiens. Hal ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap situasi psikologis,
sosial, dan budaya dari orang-orang yang menjadi sasaran dakwah.⁵ Dalam tafsir
Al-Qurtubi, hikmah diartikan sebagai
penyampaian dakwah dengan argumentasi yang jelas dan logis, disertai cara yang
penuh kelembutan dan pengertian.⁶
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah menyebut hikmah sebagai "menggunakan cara yang paling
tepat, dengan waktu, tempat, dan konteks yang paling sesuai."⁷
Artinya, hikmah mencakup kemampuan seorang dai untuk menilai situasi dan menggunakan metode yang paling efektif dalam
menyampaikan pesan Islam.
4.3.
Implementasi Hikmah dalam Dakwah Rasulullah
Saw.
Rasulullah Saw.
adalah contoh terbaik dalam penerapan dakwah bil hikmah. Dalam banyak kesempatan, beliau menunjukkan kebijaksanaan
luar biasa dalam menyampaikan pesan Islam, seperti:
1)
Menggunakan Pendekatan
Rasional kepada Orang Berilmu
Ketika berdakwah kepada para pemimpin Quraisy,
Rasulullah menggunakan argumen logis dan menyampaikan tanda-tanda kebesaran
Allah yang dapat mereka renungkan. Misalnya, dalam pertemuannya dengan Utbah
bin Rabi’ah, Rasulullah dengan tenang membacakan QS. Fussilat [41] ayat 1-5
untuk menjawab keraguan Utbah.⁸
2)
Pendekatan Emosional
kepada Masyarakat Umum
Dalam sirah Nabawiyah, Rasulullah sering
menunjukkan kesabaran dan kasih sayang, seperti saat menghadapi seorang Badui
yang meludah ke arah masjid. Alih-alih marah, Rasulullah menegur dengan lembut
dan memberikan pemahaman tentang adab.⁹
4.4.
Dimensi Hikmah: Perspektif Ulama
1)
Imam Ghazali
Dalam Ihya ‘Ulum al-Din, Imam Ghazali
menekankan bahwa hikmah adalah "pengetahuan tentang sesuatu sesuai
dengan kenyataannya dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dengan
benar."¹⁰ Dakwah yang bijak adalah dakwah yang dapat menyentuh akal
dan hati audiens, sehingga menghasilkan perubahan positif.
2)
Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memandang hikmah sebagai perpaduan
antara ilmu dan keadilan. Dalam konteks dakwah, ilmu diperlukan untuk memahami
isi pesan, sedangkan keadilan memastikan pesan disampaikan dengan cara yang
tidak menimbulkan permusuhan.¹¹
4.5.
Pentingnya Hikmah dalam Dakwah Modern
Dalam dunia yang
semakin kompleks dan plural, hikmah menjadi kunci utama dalam menyampaikan
dakwah secara efektif. Tantangan globalisasi, perbedaan budaya, dan teknologi informasi membutuhkan dai yang mampu
memahami kondisi audiens dan menyampaikan Islam dengan cara yang relevan dan
menarik.¹²
Misalnya, penggunaan
media sosial dalam berdakwah harus dilakukan dengan hikmah: menyampaikan pesan Islam secara kreatif
tanpa menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Hal ini sejalan dengan prinsip
QS. An-Nahl [16] ayat 125 yang menekankan metode dakwah yang penuh
kebijaksanaan.¹³
Catatan Kaki
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed.
Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 137.
[2]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir),
vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 113.
[3]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 138.
[4]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
[5]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.
[6]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol.
10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.
[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin,
vol. 1 (Beirut: Dar al-Jil, 1991), 61.
[8]
Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa
al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 158.
[9]
Sahih al-Bukhari, no. 220.
[10]
Imam Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), 63.
[11]
Ibn Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, vol. 10 (Kairo:
Dar al-Hadith, 2005), 71.
[12]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 59.
[13]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019), 273.
5.
Metode
Dakwah Mau’izhah Hasanah
5.1.
Pengertian Mau’izhah Hasanah
Mau‘izhah
hasanah terdiri dari dua kata: mau‘izhah yang bermakna nasihat,
pelajaran, atau pengingat, dan hasanah yang berarti baik, indah,
atau penuh kebaikan.¹ Secara istilah, mau‘izhah hasanah merujuk pada
pemberian nasihat yang menyentuh
hati, disampaikan dengan cara yang lembut, penuh kasih sayang, dan relevan
dengan kondisi audiens.²
Menurut Al-Raghib
al-Asfahani, mau‘izhah adalah nasihat yang
bertujuan menggugah perasaan dan mendorong seseorang untuk berbuat baik,
disertai peringatan tentang
dampak buruk dari perbuatan yang salah.³ Dalam konteks dakwah, metode ini
menitikberatkan pada pendekatan emosional dan moral yang dapat memengaruhi hati
audiens.
5.2.
Mau’izhah Hasanah dalam Tafsir
1)
Tafsir Al-Qurtubi
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa mau‘izhah
hasanah adalah metode dakwah yang ditujukan kepada orang-orang awam atau
masyarakat umum yang mudah terpengaruh oleh pelajaran moral. Nasihat harus
disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan menyentuh hati.⁴
2)
Tafsir Ibn Kathir
Ibn Kathir memandang mau‘izhah hasanah
sebagai penyampaian ajaran Islam yang tidak hanya mengandalkan logika, tetapi
juga mampu menyentuh hati dengan pesan-pesan yang menggugah perasaan. Ia
menekankan pentingnya kejujuran dan ketulusan dai dalam menyampaikan pesan.⁵
3)
Fi Zilal Al-Qur’an
Sayyid Qutb menyatakan bahwa mau‘izhah
hasanah adalah metode dakwah yang sangat efektif untuk menyampaikan
nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Menurutnya, nasihat yang baik harus
mencerminkan rahmat Allah dan mengandung pesan yang membangun, sehingga dapat
membangkitkan semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik.⁶
5.3.
Contoh Praktis Mau’izhah Hasanah dalam Dakwah
Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw.
sering menggunakan metode mau‘izhah hasanah dalam dakwahnya, terutama ketika berhadapan dengan masyarakat
awam. Beberapa contoh terkenal meliputi:
1)
Nasihat kepada Seorang
Pemuda yang Meminta Izin untuk Berzina
Ketika seorang pemuda datang kepada Rasulullah
dan meminta izin untuk berzina, Rasulullah menanggapinya dengan kelembutan.
Beliau mengajak pemuda tersebut untuk merenungkan perasaannya jika orang lain
melakukan hal yang sama kepada ibunya, saudara perempuannya, atau anak
perempuannya.⁷ Dengan cara ini, Rasulullah berhasil menyentuh hati pemuda itu tanpa
menyinggung perasaannya.
2)
Pidato Rasulullah di
Arafah
Dalam khutbahnya di Arafah pada Haji Wada‘,
Rasulullah memberikan nasihat yang penuh makna, seperti larangan riba,
pentingnya menjaga hak-hak perempuan, dan seruan untuk tetap berpegang pada
Al-Qur'an dan Sunnah.⁸ Pesan-pesan ini disampaikan dengan kelembutan dan
relevansi, sehingga mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
5.4.
Prinsip-Prinsip Mau’izhah Hasanah
1)
Kejujuran dan Ketulusan
Nasihat yang baik hanya akan efektif jika disampaikan
dengan ketulusan hati.⁹
2)
Bahasa yang Mudah
Dipahami
Dai harus menggunakan bahasa yang jelas,
sederhana, dan sesuai dengan tingkat pemahaman audiens.¹⁰
3)
Relevansi dengan
Realitas Audiens
Nasihat harus relevan dengan kondisi sosial dan emosional
audiens, sehingga mereka merasa pesan tersebut menyentuh kehidupan mereka.¹¹
4)
Penuh Kasih Sayang
Rasulullah Saw. mencontohkan bahwa dakwah harus
dilakukan dengan penuh kasih sayang, tanpa memaksa atau mencela.¹²
5.5.
Relevansi Mau’izhah Hasanah dalam Konteks
Modern
Dalam era modern, mau‘izhah
hasanah tetap relevan, terutama dalam membangun hubungan yang baik
antara dai dan audiens. Media dakwah seperti ceramah, khutbah, dan konten
digital dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nasihat yang baik. Penting bagi dai modern untuk memahami audiensnya,
menggunakan teknologi secara bijak, dan menyampaikan pesan yang relevan dengan
isu-isu yang sedang dihadapi masyarakat.¹³
Catatan Kaki
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed.
Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 287.
[2]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
[3]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 287.
[4]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol.
10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 104.
[5]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 534.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Shuruq, 2004), 252.
[7]
Sahih Muslim, no. 2658.
[8]
Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa
al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 172.
[9]
Imam Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), 63.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 60.
[11]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 38.
[12]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.
[13]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2015), 233.
6.
Dialog
dengan Metode Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan
6.1.
Pengertian Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan
Mujadalah
berasal dari kata kerja jadala, yang berarti "berdialog"
atau "berdebat." Secara istilah, mujadalah adalah diskusi yang
melibatkan pertukaran argumen untuk mencari kebenaran.¹ Frasa bil lati
hiya ahsan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 mengindikasikan bahwa
dialog atau debat harus dilakukan dengan cara yang terbaik—yaitu cara yang penuh kesantunan, keadilan, dan
mengutamakan kebaikan.²
Menurut Al-Raghib
al-Asfahani, mujadalah dalam konteks Al-Qur'an
adalah upaya untuk menyampaikan argumen yang benar dengan adab yang mulia,
menghindari celaan atau emosi yang
merugikan.³
6.2.
Mujadalah dalam Tafsir
1)
Tafsir Al-Tabari
Al-Tabari menjelaskan bahwa mujadalah bil
lati hiya ahsan adalah metode dialog yang menitikberatkan pada penyampaian
argumen yang kuat namun tetap menghormati lawan bicara. Ia mencontohkan dakwah
Nabi Ibrahim a.s. kepada ayahnya, Azar, yang dilakukan dengan penuh kelembutan
dan logika.⁴
2)
Tafsir Ibn Kathir
Ibn Kathir memandang mujadalah bil lati hiya
ahsan sebagai cara berdialog yang tidak hanya menggunakan argumen yang
kuat tetapi juga menghindari tindakan yang dapat memicu konflik atau
permusuhan. Contoh penerapan metode ini dapat dilihat dalam dakwah Rasulullah
Saw. kepada kaum Quraisy yang sering disertai dengan pengertian terhadap
kondisi emosional mereka.⁵
3)
Fi Zilal Al-Qur’an
Sayyid Qutb menekankan bahwa mujadalah bil
lati hiya ahsan adalah metode dakwah yang mengutamakan nilai-nilai
keadilan dan kebenaran, dengan menjaga kehormatan lawan bicara. Dialog harus
dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas kebenaran, bukan untuk merendahkan
pihak lain.⁶
6.3.
Implementasi Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan
dalam Dakwah Rasulullah Saw.
1)
Dialog dengan Utusan
Nasrani Najran
Salah satu contoh penerapan mujadalah bil
lati hiya ahsan oleh Rasulullah Saw. adalah dialog beliau dengan utusan
Nasrani Najran. Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang keesaan Allah dan
kedudukan Nabi Isa a.s. dalam Islam. Dalam dialog tersebut, Rasulullah
menggunakan argumen logis yang berdasarkan wahyu, tanpa mencela keyakinan
mereka.⁷
2)
Dialog dengan Abu
Sufyan
Ketika Abu Sufyan masih menjadi pemimpin Quraisy
dan menentang Islam, Rasulullah tetap berdialog dengannya dengan sopan. Sikap
ini membuat Abu Sufyan pada akhirnya menerima kebenaran Islam setelah Fathu
Makkah.⁸
6.4.
Prinsip-Prinsip Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan
1)
Menghindari Celaan dan
Kekerasan Verbal
Dialog yang baik harus bebas dari celaan atau
kata-kata yang dapat melukai perasaan lawan bicara.⁹
2)
Berlandaskan Argumen
yang Kuat
Argumentasi dalam mujadalah harus
didasarkan pada fakta, logika, dan wahyu yang relevan dengan topik yang
dibahas.¹⁰
3)
Mengutamakan Tujuan
Dakwah
Tujuan utama mujadalah adalah untuk
menyampaikan kebenaran dan mendekatkan lawan bicara kepada Islam, bukan untuk
memenangkan perdebatan.¹¹
4)
Menggunakan Bahasa yang
Santun
Kelembutan bahasa merupakan kunci untuk membuka
hati lawan bicara dalam berdialog.¹²
6.5.
Relevansi Mujadalah Bil Lati Hiya Ahsan dalam
Konteks Modern
Dalam dunia yang
penuh dengan perbedaan pendapat, mujadalah bil lati hiya ahsan
menjadi metode penting dalam berdakwah. Metode ini sangat relevan dalam
berbagai platform modern, seperti media sosial, debat publik, dan diskusi
akademik.
Dai harus memastikan
bahwa dialog dilakukan dengan menghormati perbedaan, menggunakan data yang
valid, dan menjauhkan diri dari debat yang tidak produktif. Contoh penerapan
modern dari metode ini adalah dakwah di platform digital yang menekankan dialog interaktif dan responsif
terhadap pertanyaan audiens.¹³
Catatan Kaki
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed.
Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 117.
[2]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 37.
[3]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, 117.
[4]
Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
vol. 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 338.
[5]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 535.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Shuruq, 2004), 253.
[7]
Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa
al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 183.
[8]
Sahih al-Bukhari, no. 2731.
[9]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 67.
[10]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1999), 59.
[11]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir),
vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 115.
[12]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2015), 234.
[13]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 69.
7.
Perspektif
Filsafat tentang Hikmah dalam Dakwah
7.1.
Hikmah dalam Filsafat Islam
Dalam filsafat
Islam, hikmah
(kebijaksanaan) memiliki tempat yang istimewa. Para filsuf Muslim
mendefinisikan hikmah sebagai perpaduan antara pengetahuan yang benar dan
tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.¹ Hikmah adalah pengetahuan
tentang realitas sebagaimana adanya, baik dalam aspek metafisika maupun
praktis, yang memungkinkan seseorang bertindak secara bijaksana dalam setiap
situasi.²
Al-Farabi, dalam
karya monumental Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila,
menyatakan bahwa hikmah adalah kemampuan akal untuk memahami kebenaran secara
sempurna dan mengaplikasikannya dalam membangun kehidupan yang harmonis.³ Dalam
konteks dakwah, hikmah adalah cara untuk menyampaikan kebenaran agama dengan
logika yang kuat dan pendekatan yang
lembut, sehingga pesan Islam dapat diterima oleh akal dan hati.⁴
7.2.
Perspektif Filsafat Hikmah dari Para Tokoh
1)
Al-Farabi (872–950 M)
Sebagai filsuf Islam yang dikenal sebagai "Guru
Kedua" (setelah Aristoteles), Al-Farabi menekankan bahwa hikmah adalah
inti dari keberhasilan sebuah masyarakat ideal. Ia memandang dakwah sebagai
upaya untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan nilai-nilai kebenaran. Dalam
pandangannya, seorang dai harus memahami psikologi manusia dan menyampaikan
pesan dengan cara yang logis dan penuh kebijaksanaan.⁵
2)
Ibnu Sina (980–1037 M)
Ibnu Sina mendefinisikan hikmah sebagai "pengetahuan
tentang hal-hal Ilahi dan penerapannya dalam kehidupan manusia."⁶
Dalam konteks dakwah, hikmah berarti menyampaikan agama dengan metode yang
sesuai dengan tingkat intelektual audiens. Misalnya, kepada mereka yang
rasional, pendekatan logis lebih efektif, sedangkan kepada orang awam,
pendekatan emosional dan moral lebih disarankan.⁷
3)
Al-Ghazali (1058–1111
M)
Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din
menekankan bahwa hikmah adalah kemampuan untuk menyampaikan ilmu agama dengan
cara yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, hikmah
dalam dakwah mencakup dua aspek: hikmah akliyah (rasional) dan hikmah
naqliyah (tekstual), yang harus digunakan secara seimbang.⁸
4)
Mulla Sadra (1571–1640
M)
Sebagai pelopor filsafat hikmah (al-hikmah
al-muta‘aliyah), Mulla Sadra menjelaskan bahwa hikmah tidak hanya bersifat
intelektual, tetapi juga spiritual. Dalam dakwah, hikmah berarti menyampaikan
pesan agama yang tidak hanya menyentuh akal, tetapi juga menggerakkan hati dan
jiwa.⁹
7.3.
Relevansi Hikmah dalam Dakwah Kontemporer
Filsafat hikmah
mengajarkan pentingnya memahami audiens dalam dakwah. Dalam dunia modern yang
kompleks, seorang dai harus mampu mengintegrasikan
pendekatan rasional dan spiritual untuk menyampaikan Islam. Beberapa prinsip
yang dapat diambil dari filsafat hikmah adalah:
1)
Pendekatan Rasional
Sejalan dengan pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina,
dakwah kepada kalangan intelektual memerlukan argumen yang logis dan ilmiah.
Misalnya, menjelaskan nilai-nilai Islam dalam konteks sains atau filsafat
modern.
2)
Pendekatan Emosional
dan Spiritualitas
Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali dan Mulla
Sadra, pendekatan ini lebih efektif untuk masyarakat awam atau mereka yang
mencari makna spiritual dalam hidup. Misalnya, melalui kisah-kisah inspiratif
atau pengalaman religius.
3)
Adaptasi dengan
Teknologi dan Media
Dalam era digital, hikmah juga mencakup kemampuan
menggunakan media sosial, video, dan podcast untuk menyampaikan pesan Islam
secara bijaksana. Hal ini relevan dengan prinsip hikmah yang diajarkan
Al-Qur'an dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125.¹⁰
7.4.
Hikmah dalam Dakwah Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw.
adalah teladan utama dalam penerapan hikmah dalam dakwah. Beliau menggunakan
pendekatan rasional saat berdialog dengan para pemimpin Quraisy, seperti Utbah bin Rabi’ah, dan pendekatan emosional saat
menyampaikan dakwah kepada masyarakat umum, seperti dalam khutbah di Arafah.¹¹
Kesimpulan
Dakwah bil hikmah
sebagaimana diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 selaras dengan konsep
hikmah dalam filsafat Islam. Hikmah mencakup kemampuan intelektual, emosional,
dan spiritual yang diperlukan untuk menyampaikan
kebenaran dengan cara yang terbaik. Dalam konteks modern, prinsip-prinsip
hikmah dapat menjadi panduan untuk berdakwah secara efektif di tengah tantangan
global.
Catatan Kaki
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed.
Muhammad Sadiq, 2nd ed. (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 137.
[2]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed.
Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, 82.
[4]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 37.
[5]
Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi
(Beirut: Dar al-Mashriq, 1970), 112.
[6]
Ibnu Sina, Al-Shifa, ed. Ibrahim Madkour
(Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1952), 134.
[7]
Ibnu Sina, Al-Najat, ed. Abdul Rahman Badawi
(Kairo: Dar al-Nahda, 1975), 92.
[8]
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1992), 63.
[9]
Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar
al-‘Aqliyah al-Arba‘ah, vol. 2 (Teheran: Dar al-Mashriq, 1991),
154.
[10]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 59.
[11]
Ibn Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa
al-Saqqa (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 158.
8.
Relevansi
Dakwah Bil Hikmah dalam Konteks Modern
8.1.
Tantangan Dakwah di Era Modern
Dakwah di era modern
menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, termasuk pluralisme budaya dan
agama, kemajuan teknologi, serta perubahan sosial yang cepat. Dalam konteks
ini, metode dakwah bil hikmah sebagaimana
diajarkan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 menjadi semakin relevan. Hikmah tidak
hanya berarti kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan, tetapi juga kemampuan
untuk memahami audiens, konteks sosial, dan dinamika zaman.¹
1)
Pluralisme Agama dan
Budaya
Masyarakat modern sangat beragam dalam hal
keyakinan, budaya, dan nilai. Pendekatan dakwah yang bijaksana diperlukan untuk
memastikan pesan Islam diterima tanpa menimbulkan konflik atau kesalahpahaman.²
2)
Perkembangan Teknologi
Kemajuan teknologi, khususnya media sosial, telah
mengubah cara manusia berkomunikasi. Dakwah kini dapat menjangkau audiens
global, tetapi juga menghadapi tantangan berupa informasi yang berlebihan (information
overload) dan disinformasi.³
3)
Perubahan Gaya Hidup
Gaya hidup modern yang cenderung materialistis
dan sekuler sering kali menjauhkan individu dari nilai-nilai spiritual. Hikmah
dalam dakwah dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan ini dengan cara yang
relevan dan menarik.⁴
8.2.
Strategi Dakwah Bil Hikmah di Era Modern
1)
Menggunakan Media
Digital secara Bijak
Media sosial dan platform digital adalah alat
yang sangat efektif untuk berdakwah. Namun, hikmah diperlukan dalam
penggunaannya, seperti memilih konten yang sesuai, menghindari provokasi, dan
memastikan pesan disampaikan dengan cara yang ramah dan mendidik.⁵
2)
Pendekatan Kontekstual
Seorang dai harus memahami latar belakang sosial,
budaya, dan intelektual audiensnya. Dakwah yang relevan dengan kebutuhan masyarakat
akan lebih mudah diterima. Contohnya, pendekatan rasional dan berbasis sains
dapat digunakan untuk audiens intelektual, sementara kisah inspiratif lebih
efektif untuk masyarakat umum.⁶
3)
Menekankan Etika dalam
Dakwah
Metode bil hikmah menuntut dai untuk
menjaga etika dalam berdakwah, termasuk tidak memaksakan pendapat, menghindari
perdebatan yang tidak perlu, dan menghormati perbedaan pandangan.⁷
4)
Menyampaikan Pesan
Islam yang Universal
Nilai-nilai Islam seperti keadilan, kasih sayang,
dan kepedulian sosial harus disampaikan sebagai solusi atas tantangan global,
seperti ketimpangan ekonomi, konflik sosial, dan krisis lingkungan. Hal ini
dapat menjadikan dakwah Islam relevan di mata masyarakat global.⁸
8.3.
Contoh Praktis Dakwah Bil Hikmah
1)
Penggunaan Konten
Kreatif di Media Sosial
Banyak dai modern menggunakan platform seperti
YouTube, Instagram, dan TikTok untuk menyampaikan pesan Islam melalui konten
kreatif, seperti video pendek, infografik, dan podcast. Pendekatan ini tidak
hanya menarik perhatian, tetapi juga memungkinkan pesan Islam menjangkau
audiens yang lebih luas.⁹
2)
Dialog Antaragama yang
Bijaksana
Dalam masyarakat plural, dialog antaragama
menjadi salah satu bentuk dakwah bil hikmah. Dialog yang dilakukan dengan sikap
saling menghormati dapat membangun pemahaman yang lebih baik dan menghilangkan
stereotip negatif tentang Islam.¹⁰
3)
Dakwah melalui Aksi
Sosial
Dakwah tidak selalu harus dilakukan dengan
kata-kata. Banyak organisasi Islam modern yang menggunakan aksi sosial, seperti
bantuan kemanusiaan dan pendidikan, sebagai cara untuk menyampaikan nilai-nilai
Islam secara praktis.¹¹
8.4.
Pentingnya Dakwah Bil Hikmah untuk Masa Depan
Metode dakwah
bil hikmah adalah pendekatan yang fleksibel dan adaptif, yang dapat
terus relevan di tengah perubahan zaman. Dalam dunia yang semakin terhubung,
hikmah dalam dakwah tidak hanya diperlukan untuk menyampaikan pesan Islam,
tetapi juga untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang beragam. Hal ini
menjadikan QS. An-Nahl [16] ayat 125 sebagai panduan abadi bagi setiap dai.¹²
Catatan Kaki
[1]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
[2]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 57.
[3]
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 210.
[4]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2015), 233.
[5]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 68.
[6]
Fakhruddin Al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir),
vol. 19 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1999), 115.
[7]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.
[8]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14, 37.
[9]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 213.
[10]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed.
Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.
[11]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 535.
[12]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah, 70.
9.
Kesimpulan
QS. An-Nahl [16]
ayat 125 memberikan panduan yang jelas dan komprehensif tentang metode dakwah
yang efektif dan etis. Ayat ini menekankan pentingnya pendekatan bil
hikmah (dengan kebijaksanaan), mau‘izhah hasanah (nasihat yang
baik), dan mujadalah
bil lati hiya ahsan (berdialog dengan cara yang terbaik) dalam
menyampaikan risalah Islam.¹ Setiap metode ini memiliki relevansi yang
mendalam, tidak hanya pada masa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga dalam konteks
dakwah di era modern.
9.1.
Signifikansi Metode Dakwah dalam QS. An-Nahl
[16] ayat 125
Metode bil
hikmah mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam menyampaikan
dakwah, yaitu dengan memahami audiens dan menyampaikan pesan secara relevan dan
efektif.² Mau‘izhah
hasanah menggarisbawahi pentingnya menyentuh hati audiens dengan
nasihat yang lemah lembut dan menyentuh emosional.³ Sementara itu, mujadalah
bil lati hiya ahsan menekankan dialog yang penuh etika, menjaga
penghormatan kepada audiens, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.⁴
9.2.
Perspektif Ulama dan Filsafat tentang Hikmah
Para ulama tafsir,
seperti Al-Tabari, Ibn Kathir, dan Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa metode dakwah
dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125 memberikan panduan universal untuk menyampaikan
Islam dengan cara yang mencerminkan rahmat Allah.⁵ Filsuf Muslim, seperti
Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, menekankan bahwa hikmah adalah kombinasi
antara pengetahuan dan tindakan yang benar, yang sangat relevan dalam
menyampaikan dakwah secara intelektual dan spiritual.⁶
9.3.
Relevansi Dakwah Bil Hikmah di Era Modern
Dalam era
globalisasi dan teknologi, metode dakwah bil hikmah memiliki
relevansi yang tinggi. Pluralisme budaya, perkembangan media digital, dan
tantangan sosial yang kompleks membutuhkan pendekatan dakwah yang fleksibel dan
adaptif. Dakwah yang mengintegrasikan kebijaksanaan, empati, dan dialog yang
konstruktif akan lebih efektif dalam membangun hubungan positif antara Islam
dan masyarakat modern.⁷
Pendekatan dakwah
yang bijaksana juga penting untuk melawan Islamofobia dan kesalahpahaman
tentang Islam di dunia internasional. Dialog yang dilakukan dengan cara yang
baik dapat menjadi jembatan untuk membangun pemahaman dan harmoni antaragama.⁸
9.4.
Dakwah sebagai Amanah dan Tugas Mulia
QS. An-Nahl [16]
ayat 125 mengingatkan bahwa dakwah adalah tugas mulia yang harus dilakukan
dengan tanggung jawab besar. Seorang dai tidak hanya dituntut untuk menguasai
ilmu agama, tetapi juga memahami cara menyampaikannya dengan cara yang terbaik.
Sebagaimana Rasulullah Saw. mencontohkan, dakwah harus dilakukan dengan penuh
kasih sayang, kejujuran, dan kesabaran.⁹
Dengan memahami dan
mengimplementasikan metode dakwah bil hikmah sebagaimana
dijelaskan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 125, diharapkan para dai dapat
menyampaikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin). Dakwah yang bijaksana tidak hanya akan mendekatkan
manusia kepada Allah, tetapi juga mempererat hubungan antara manusia dari
berbagai latar belakang.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. An-Nahl [16] ayat 125.
[2]
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa
al-Manhaj, vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1991), 36.
[3]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, vol. 4
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 533.
[4]
Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 10 (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1999), 57.
[5]
Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an, vol.
10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 103.
[6]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, ed.
Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 78.
[7]
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2005), 57.
[8]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 210.
[9]
Sahih Muslim, no. 2658.
[10]
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2015), 233.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1985). Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila
(R. Walzer, Ed.). Oxford University Press.
Al-Farabi. (1970). Kitab al-Huruf (M. Mahdi,
Ed.). Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali. (1992). Ihya ‘Ulum al-Din (Vol.
1). Dar al-Fikr.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2019). Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama RI.
Al-Qurtubi. (2006). Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur'an
(Vol. 10). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Raghib al-Asfahani. (1992). Mufradat Alfaz
al-Qur’an (M. Sadiq, Ed., 2nd ed.). Dar al-Qalam.
Buya Hamka. (2015). Tafsir Al-Azhar (Vol.
7). Gema Insani Press.
Fakhruddin Al-Razi. (1999). Mafatih al-Ghayb
(Tafsir al-Kabir, Vol. 19). Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.
Ibn Hisham. (2000). Sirah Nabawiyah (M.
Al-Saqqa, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Kathir. (2002). Tafsir al-Qur'an al-Azim
(Vol. 4). Dar Ibn Hazm.
Ibnu Sina. (1952). Al-Shifa (I. Madkour,
Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Sina. (1975). Al-Najat (A. R. Badawi,
Ed.). Dar al-Nahda.
Mulla Sadra. (1991). Al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi
al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba‘ah (Vol. 2). Dar al-Mashriq.
Muhammad Quraish Shihab. (1994). Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan.
Muhammad Rashid Rida. (1999). Tafsir al-Manar
(Vol. 10). Dar al-Ma’rifah.
Sahih al-Bukhari. (n.d.). Sahih al-Bukhari
(Hadis no. 2731).
Sahih Muslim. (n.d.). Sahih Muslim (Hadis
no. 2658).
Sayyid Qutb. (2004). Fi Zilal al-Qur'an
(Vol. 4). Dar al-Shuruq.
Wahbah Al-Zuhaili. (1991). Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj (Vol. 14). Dar al-Fikr.
Yusuf Al-Qaradawi. (2005). Fiqh al-Da‘wah.
Dar al-Shuruq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar