Sabtu, 02 Agustus 2025

Takdir dan Ketergantungan Emosional: Tinjauan Filosofis dan Psikologis tentang Krisis Penerimaan Diri

Takdir dan Ketergantungan Emosional

Tinjauan Filosofis dan Psikologis tentang Krisis Penerimaan Diri


Alihkan ke: Stoikisme, Sikap Sederhana dan Santun.


Abstrak

Artikel ini membahas secara kritis fenomena penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional sebagai bentuk krisis penerimaan diri yang kian nyata dalam kehidupan modern. Dari sudut pandang psikologis, individu yang mengalami penolakan terhadap kenyataan hidup cenderung menunjukkan gejala maladaptif seperti keluhan berlebihan, menyalahkan lingkungan sosial, dan ketergantungan tinggi terhadap validasi serta dukungan eksternal. Ketergantungan semacam ini mengikis otonomi emosional dan memperburuk ketidakstabilan afektif. Sementara itu, secara filosofis, penolakan takdir mencerminkan kegagalan dalam merangkul eksistensi secara utuh dan menolak absurditas realitas, sebagaimana dijelaskan dalam eksistensialisme Kierkegaard dan Tillich. Artikel ini menyajikan tinjauan komprehensif terhadap konsep penerimaan diri dalam psikologi positif, membedah dampaknya terhadap relasi sosial, serta menawarkan strategi penyembuhan berbasis terapi kognitif dan pendekatan spiritual. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini menegaskan pentingnya integrasi antara rasionalitas, spiritualitas, dan kesadaran emosional sebagai fondasi utama bagi proses penerimaan diri yang sehat dan berdaya.

Kata Kunci: penerimaan diri, penolakan takdir, ketergantungan emosional, eksistensialisme, psikologi positif, kesehatan mental.


PEMBAHASAN

Antara Penolakan Takdir dan Ketergantungan Emosional


1.           Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, menerima kenyataan atau takdir seringkali menjadi tantangan eksistensial yang berat. Tidak sedikit individu yang, ketika berhadapan dengan kesulitan atau kegagalan dalam hidup, justru terjebak dalam siklus keluhan, penyalahan terhadap lingkungan, dan tuntutan terhadap orang lain untuk menjamin dirinya selalu berada dalam kondisi baik. Perilaku semacam ini seringkali mengarah pada ketergantungan emosional, kehilangan otonomi psikologis, dan krisis dalam penerimaan diri. Fenomena ini menjadi semakin nyata dalam budaya kontemporer yang sering menekankan validasi eksternal dan kesejahteraan instan.

Dari sudut pandang psikologi, ketidakmampuan menerima keadaan hidup atau diri sendiri sering berkaitan dengan rendahnya self-acceptance dan kecenderungan external locus of control, yaitu kecenderungan individu untuk meyakini bahwa kebahagiaan dan penderitaannya ditentukan oleh faktor eksternal, bukan oleh kontrol pribadi (Rotter, 1966). Individu dengan pola ini cenderung mudah menyalahkan orang lain, mengeluh secara berlebihan, dan menuntut kompensasi dari luar, seperti perhatian berlebih, jaminan materi, atau perlakuan istimewa. Albert Ellis (1962), dalam teorinya tentang rational emotive behavior therapy (REBT), menyebut pola ini sebagai bentuk irrational beliefs, yaitu keyakinan tidak rasional yang membuat seseorang merasa bahwa dunia harus memperlakukan dirinya sesuai harapan pribadi.

Dalam sudut pandang filsafat, terutama dalam aliran stoisisme, sikap mengeluh dan menuntut dunia untuk berlaku adil terhadap keinginan pribadi dianggap sebagai sumber utama penderitaan. Marcus Aurelius, dalam Meditations, menyatakan bahwa manusia seharusnya membedakan antara apa yang berada dalam kendali dan di luar kendali dirinya; penderitaan terjadi ketika seseorang menaruh harapan pada hal-hal yang tak bisa ia kendalikan. Stoisisme menekankan ataraxia, atau ketenangan batin yang dicapai melalui penerimaan terhadap nasib yang telah digariskan oleh logos semesta (Epictetus, Enchiridion).

Islam sendiri memandang penerimaan takdir (qadha dan qadar) sebagai bagian integral dari keimanan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sampai ia percaya kepada takdir, baik yang baik maupun yang buruk. Namun, keimanan terhadap takdir tidak berarti pasrah secara fatalistik. Islam menekankan keseimbangan antara ikhtiar (usaha manusiawi) dan tawakal (berserah diri), serta melarang sikap menyalahkan orang lain secara berlebihan dalam menghadapi kesulitan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Najm [53] ayat 39 bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali dari apa yang diusahakannya.

Permasalahan ini penting untuk dikaji karena ia menyentuh ranah yang sangat mendasar dalam struktur psikologis dan spiritual manusia. Di satu sisi, manusia ingin dimengerti, dipedulikan, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun di sisi lain, ketika ketergantungan terhadap pengakuan dan pemenuhan dari luar menjadi berlebihan, maka muncul ketidakseimbangan dalam diri. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara kritis persoalan penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional melalui pendekatan filosofis dan psikologis, demi memahami akar masalah serta solusi yang dapat ditempuh demi membangun penerimaan diri yang sehat dan tangguh.


2.           Konsep Dasar Penerimaan Diri dan Takdir

2.1.       Penerimaan Diri dalam Psikologi

Penerimaan diri (self-acceptance) adalah elemen mendasar dalam kesehatan psikologis individu. Konsep ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengakui, menerima, dan menghargai dirinya sendiri secara utuh, termasuk kelemahan, keterbatasan, dan kegagalan yang dimiliki. Carol D. Ryff (1989), dalam model psychological well-being, menyebut self-acceptance sebagai salah satu dari enam aspek penting kesejahteraan psikologis, bersama dengan otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain. Individu dengan penerimaan diri yang baik cenderung tidak terlalu bergantung pada pengakuan dari luar dan mampu berdamai dengan kenyataan hidup, termasuk hal-hal yang tidak sesuai harapan.

Carl Rogers, tokoh humanistik dalam psikologi, juga menekankan pentingnya unconditional positive regard—penghargaan terhadap diri sendiri tanpa syarat—untuk membentuk kepribadian yang sehat. Rogers menyatakan bahwa masalah psikologis sering kali muncul ketika seseorang merasa dirinya hanya layak dihargai jika memenuhi ekspektasi tertentu, baik dari diri sendiri maupun orang lain (Rogers, 1961). Kondisi ini membuat individu kesulitan menerima kenyataan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, lalu menyalahkan orang lain dan merasa bahwa dunia harus memuaskan kebutuhannya.

Ketika penerimaan diri tidak terbentuk secara sehat, muncul kecenderungan external locus of control—sebuah kondisi di mana seseorang merasa kehidupannya dikendalikan oleh kekuatan luar seperti takdir, keberuntungan, atau perlakuan orang lain (Rotter, 1966). Orang yang memiliki pola pikir ini cenderung menghindari tanggung jawab personal, merasa tidak berdaya, dan memiliki harapan tidak realistis agar orang lain terus-menerus memperhatikan dan memenuhi kebutuhannya.

2.2.       Takdir dalam Perspektif Filsafat dan Teologi

Dalam konteks filsafat, persoalan takdir telah menjadi topik utama dalam diskursus tentang kebebasan, determinisme, dan tanggung jawab moral. Kaum Stoik, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, mengajarkan bahwa takdir adalah bagian dari tatanan alam yang rasional (logos), dan manusia akan menemukan ketenangan batin ketika ia menerima apa yang tidak bisa diubah. Bagi para Stoik, penderitaan muncul bukan karena peristiwa itu sendiri, tetapi karena cara kita memandang peristiwa tersebut. Dalam Enchiridion, Epictetus menulis, "Jangan berharap bahwa segala sesuatu terjadi seperti yang kamu inginkan, tetapi harapkanlah bahwa semuanya terjadi sebagaimana mestinya—dan kamu akan menjalani hidup dengan damai."

Sementara itu, dalam filsafat eksistensialisme, seperti dipaparkan oleh Jean-Paul Sartre, penolakan terhadap takdir tidak diartikan sebagai pembangkangan terhadap realitas, tetapi sebagai penegasan kebebasan manusia. Sartre menolak determinisme mutlak dan menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”, artinya ia bertanggung jawab penuh atas pilihan dan sikapnya, bahkan ketika ia dilahirkan dalam situasi yang tidak ia pilih. Maka, mengeluh dan menyalahkan dunia hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial.

Dalam teologi Islam, takdir (qadha dan qadar) dipahami sebagai bagian dari rukun iman, yaitu kepercayaan terhadap ketentuan Allah atas segala hal yang terjadi, baik yang disenangi maupun tidak. Namun, Islam menolak pandangan fatalistik. QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 menegaskan bahwa "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun takdir merupakan ketetapan Ilahi, manusia tetap memiliki peran aktif melalui ikhtiar dan tanggung jawab pribadi.

Penerimaan terhadap takdir dalam Islam juga erat kaitannya dengan sikap ridha, yaitu merasa lapang dada terhadap segala ketentuan Allah, dan sabr, yakni keteguhan hati dalam menghadapi ujian. Sikap ini tidak berarti pasrah secara pasif, tetapi mencerminkan kedewasaan spiritual untuk menyikapi realitas dengan tenang, tanpa keluhan berlebihan atau tuntutan yang menyusahkan orang lain. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan... Jika ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu baik baginya." (HR. Muslim)

Dengan demikian, konsep penerimaan diri dan takdir menuntut keseimbangan antara kesadaran akan realitas yang tidak dapat diubah dan tanggung jawab personal dalam meresponsnya. Ketidakseimbangan dalam dua aspek ini bisa berujung pada sikap menyalahkan, menuntut, dan menggantungkan harga diri pada reaksi orang lain, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental maupun spiritual seseorang.


3.           Manifestasi Penolakan Takdir dalam Kehidupan Sehari-hari

Penolakan terhadap takdir bukan hanya sebuah sikap internal yang tertanam dalam pikiran atau keyakinan seseorang, melainkan juga tercermin nyata dalam perilaku dan relasi sosial sehari-hari. Individu yang mengalami krisis penerimaan diri dan tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidup biasanya menunjukkan pola perilaku yang khas: suka mengeluh, menyalahkan pihak luar atas penderitaannya, dan memiliki ekspektasi tidak realistis terhadap lingkungan sosialnya untuk memenuhi kebutuhan emosional dan material secara terus-menerus.

3.1.       Suka Mengeluh dan Merasa Dunia Tidak Adil

Mengeluh merupakan salah satu bentuk ekspresi frustrasi yang muncul ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Dalam psikologi kognitif, keluhan berlebihan dapat menjadi manifestasi dari cognitive distortion, seperti catastrophizing (melebih-lebihkan dampak negatif suatu peristiwa) atau personalization (merasa bahwa segala sesuatu yang buruk terjadi karena dirinya diperlakukan tidak adil oleh dunia) sebagaimana dijelaskan oleh Aaron T. Beck dalam teori Cognitive Therapy of Depression. Orang yang terjebak dalam pola ini biasanya tidak melihat peluang solusi, melainkan larut dalam rasa kecewa, iri terhadap orang lain, dan merasa diri sebagai korban terus-menerus (victim mentality).

Secara sosiologis, budaya mengeluh juga diperkuat oleh lingkungan yang permisif dan media sosial yang memberi ruang untuk eksploitasi kesedihan pribadi sebagai konten atau alat mendapatkan simpati. Erving Goffman, dalam The Presentation of Self in Everyday Life, menyebut bahwa manusia cenderung mengatur "penampilan diri" di depan umum untuk mendapatkan pengakuan, bahkan dengan menampilkan narasi penderitaan sebagai strategi eksistensial.

3.2.       Menyalahkan Orang Lain dan Enggan Bertanggung Jawab

Penolakan terhadap kenyataan sering diiringi dengan mekanisme pertahanan diri berupa projection—yaitu kecenderungan menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kegagalan diri sendiri. Sigmund Freud menyebut ini sebagai salah satu bentuk ego defense mechanism yang digunakan untuk menghindari rasa bersalah atau rendah diri. Misalnya, seseorang yang gagal secara finansial mungkin tidak mau mengakui kurangnya usaha atau perencanaan, tetapi justru menyalahkan keluarganya, sistem sosial, atau “nasib buruk” yang dirasa tidak adil.

Dalam filsafat eksistensialisme, tindakan menyalahkan orang lain merupakan bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Ketika seseorang melepaskan tanggung jawab dengan menyalahkan dunia atau orang lain, ia sesungguhnya sedang menyangkal kebebasan dan martabatnya sebagai subjek moral (mauvais foi—niat buruk).

3.3.       Tuntutan untuk Selalu Diperhatikan dan Diberi Hak Istimewa

Salah satu manifestasi paling nyata dari krisis penerimaan diri adalah tuntutan berlebihan terhadap perhatian, pemakluman, dan bantuan dari orang lain. Individu yang belum menerima takdirnya dengan ikhlas cenderung merasa bahwa dunia “berutang” kepadanya karena penderitaannya. Akibatnya, ia menuntut agar orang lain selalu memahami perasaannya, memberinya hak istimewa, bahkan memenuhi kebutuhannya secara material tanpa memperhitungkan kemampuan atau kepentingan orang lain.

Dalam psikologi perkembangan, kondisi ini bisa muncul sebagai akibat dari parenting style yang tidak seimbang, misalnya terlalu memanjakan anak (permissive parenting) atau sebaliknya, tidak memenuhi kebutuhan emosional anak secara konsisten (neglectful parenting), sebagaimana diuraikan oleh Diana Baumrind. Akibatnya, ketika dewasa, individu tersebut mencari pemenuhan emosional yang tidak ia dapatkan di masa kecil dengan cara menuntut dari lingkungan sekitar.

Sikap ini juga berkaitan dengan ciri-ciri dari Dependent Personality Disorder atau narcissistic traits, di mana seseorang sangat membutuhkan validasi eksternal dan tidak memiliki ketahanan emosional untuk mengatasi kegagalan atau ketidaknyamanan. Dalam jangka panjang, pola ini dapat merusak hubungan sosial, menimbulkan konflik interpersonal, dan memperdalam luka psikologis karena tidak kunjung belajar untuk berdiri secara mandiri.

3.4.       Ketidakmampuan untuk Bersyukur dan Bersabar

Penolakan terhadap takdir juga sering kali tampak dalam ketidakmampuan untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang sudah dimiliki dan tidak adanya kesabaran dalam menghadapi proses kehidupan. Dalam perspektif Islam, dua sikap ini—syukur dan sabr—adalah kunci untuk menghadapi dinamika kehidupan. Namun, ketika seseorang terobsesi pada apa yang tidak ia miliki dan merasa bahwa orang lain berkewajiban memenuhi kekosongan itu, ia justru menutup dirinya dari potensi pertumbuhan batin dan kebijaksanaan spiritual.

Seperti dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din, manusia yang tidak mengenal batas dirinya dan tidak mengakui kelemahan sebagai bagian dari fitrah, akan selalu berada dalam keresahan yang tidak berkesudahan. Ia terjebak dalam hasrat yang tidak realistis dan tuntutan yang tidak pernah selesai.


Secara keseluruhan, manifestasi penolakan takdir bukan sekadar persoalan spiritual atau moral, melainkan berkaitan erat dengan pola pikir, pengasuhan, dan kesehatan mental. Oleh karena itu, memahami gejalanya dalam kehidupan sehari-hari merupakan langkah penting untuk menyadari bahwa jalan keluar dari penderitaan bukanlah dengan mengeluh atau menuntut dunia berubah, tetapi dengan merevolusi cara pandang terhadap diri sendiri dan kenyataan yang dihadapi.


4.           Analisis Psikologis

Penolakan terhadap takdir dan kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain merupakan gejala yang erat kaitannya dengan dinamika kepribadian, pola pikir, dan pengalaman masa lalu individu. Dalam kerangka psikologi, kondisi ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari berbagai interaksi antara faktor internal dan eksternal yang membentuk struktur kepribadian seseorang.

4.1.       Asal-Usul Psikologis Ketidakmampuan Menerima Keadaan

Ketidakmampuan menerima kenyataan hidup atau takdir sering kali berakar dari luka batin awal atau yang dalam teori psikologi populer disebut sebagai inner child wound. Individu yang mengalami penolakan, pengabaian, atau tekanan tinggi sejak masa kecil akan membentuk skema mental tertentu yang kelak menentukan cara mereka merespons stres, kegagalan, dan relasi sosial. John Bowlby, melalui teori attachment, menjelaskan bahwa hubungan awal dengan figur pengasuh utama membentuk model kerja internal yang menjadi dasar kepercayaan terhadap diri sendiri dan dunia. Anak yang tidak mendapatkan kelekatan yang aman (secure attachment) cenderung tumbuh menjadi pribadi yang rapuh secara emosional, mudah merasa tidak dicintai, dan selalu mencari validasi dari luar.

Diana Baumrind menambahkan melalui klasifikasi gaya pengasuhan bahwa pola asuh permisif—yang terlalu memanjakan anak tanpa batasan tegas—serta pola otoriter—yang penuh tekanan tanpa empati—sama-sama dapat merusak pembentukan kemandirian dan penerimaan diri. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini kerap tumbuh menjadi individu yang tidak siap menghadapi kenyataan pahit dan lebih suka menuntut daripada bertanggung jawab.

Lebih lanjut, menurut Aaron T. Beck, dalam kerangka terapi kognitifnya, individu yang tidak mampu menerima kenyataan hidup biasanya memiliki core beliefs atau keyakinan dasar yang disfungsional, seperti “Saya tidak berharga kecuali jika orang lain menerima saya,” atau “Saya tidak bisa bahagia kalau orang lain tidak peduli.” Keyakinan ini mendorong pola pikir all-or-nothing thinking dan emotional reasoning yang membuat seseorang merasa dunia harus memenuhi kebutuhannya agar ia merasa tenang dan berharga.

4.2.       Pola Kepribadian yang Relevan

Dalam konteks gangguan kepribadian, perilaku menuntut perhatian dan ketidakmampuan menerima kenyataan juga bisa terkait dengan pola kepribadian tertentu. Salah satunya adalah Dependent Personality Disorder (DPD), yaitu kondisi psikologis di mana seseorang sangat takut kehilangan dukungan dan persetujuan dari orang lain, sehingga ia akan bergantung secara emosional secara berlebihan. Individu dengan DPD kesulitan membuat keputusan sendiri, merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa bantuan, dan cenderung tunduk pada tuntutan sosial agar tidak ditinggalkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), ciri utama DPD adalah kebutuhan yang berlebihan untuk dirawat dan diperhatikan, yang sering kali membuat penderitanya mengorbankan tanggung jawab pribadi.

Selain itu, kecenderungan narsistik juga bisa terlibat. Meskipun Narcissistic Personality Disorder (NPD) memiliki spektrum yang luas, pada intinya, individu dengan ciri narsistik cenderung memiliki harga diri yang rapuh dan bergantung pada pujian eksternal. Mereka sering merasa bahwa dunia harus memahami perasaannya, memberikan perlakuan istimewa, dan mengakui keunikan dirinya. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, ia akan merespons dengan kemarahan, keluhan, atau penarikan diri yang menyalahkan pihak luar. Heinz Kohut, dalam Self Psychology, menjelaskan bahwa narsisme patologis berkembang ketika individu gagal membentuk struktur diri yang utuh karena tidak mendapatkan cermin empatik yang memadai di masa perkembangan awal.

4.3.       Locus of Control dan Mentalitas Korban

Konsep locus of control yang diperkenalkan oleh Julian Rotter berperan penting dalam memahami bagaimana seseorang memaknai kenyataan hidupnya. Individu dengan external locus of control meyakini bahwa hidup mereka dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal seperti nasib, keberuntungan, atau tindakan orang lain. Ini membuat mereka merasa tidak memiliki kuasa untuk mengubah hidupnya, lalu terjebak dalam sikap pasif, mengeluh, dan menuntut. Sebaliknya, individu dengan internal locus of control cenderung merasa bahwa dirinya mampu menentukan jalan hidupnya melalui usaha dan keputusan sendiri, yang merupakan fondasi penting bagi penerimaan diri dan ketahanan psikologis.

Fenomena victim mentality atau mentalitas korban juga menjadi sorotan dalam psikologi kontemporer. Ini adalah pola pikir di mana seseorang selalu merasa menjadi korban keadaan dan enggan bertanggung jawab atas posisinya dalam hidup. Menurut Winch (2012), mentalitas korban bukan hanya membuat seseorang tidak berkembang, tetapi juga merusak relasi sosial karena ia memanipulasi empati orang lain untuk mendapatkan simpati dan pembenaran. Akibatnya, alih-alih berproses menuju pemulihan dan pertumbuhan, individu ini justru melanggengkan penderitaan yang sebetulnya bisa diubah melalui kesadaran dan tanggung jawab pribadi.


Secara keseluruhan, analisis psikologis menunjukkan bahwa penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional bukanlah sekadar kelemahan spiritual, tetapi berkaitan erat dengan luka masa lalu, distorsi kognitif, dan pola kepribadian yang tidak sehat. Oleh karena itu, penanganan terhadap kondisi ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh—baik melalui terapi psikologis, rekonstruksi keyakinan diri, maupun pembinaan spiritualitas yang menumbuhkan sikap sabar, syukur, dan mandiri secara emosional.


5.           Analisis Filosofis

Penolakan terhadap takdir dan kecenderungan menggantungkan kehidupan emosional pada orang lain bukan hanya persoalan psikologis, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis yang mendalam—menyangkut cara manusia memahami eksistensinya, kebebasannya, dan relasinya dengan realitas. Dalam sejarah pemikiran, berbagai aliran filsafat telah menawarkan kerangka pemahaman mengenai bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap kenyataan yang tidak ia pilih, serta bagaimana membangun otonomi diri di tengah keterbatasan takdir.

5.1.       Perspektif Stoisisme: Damai dalam Ketidakpastian

Filsafat Stoa, terutama melalui pemikiran Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, menempatkan acceptance of fate (amor fati) sebagai inti dari kehidupan bijak. Stoisisme mengajarkan bahwa penderitaan manusia bukan berasal dari peristiwa eksternal, tetapi dari penilaian subjektif terhadap peristiwa tersebut. Epictetus menulis dalam Enchiridion, “Bukan peristiwa yang menyiksa kita, tetapi cara kita menilainya.” Oleh karena itu, kebijaksanaan terletak pada kemampuan membedakan antara hal yang bisa dikendalikan (pikiran, sikap, tindakan) dan hal yang tidak bisa dikendalikan (nasib, tubuh, pendapat orang lain).

Stoik menolak sikap mengeluh atau menyalahkan dunia. Bagi mereka, manusia seharusnya tidak menuntut realitas untuk sesuai dengan kehendaknya, tetapi mengarahkan kehendaknya agar sejalan dengan realitas. Inilah bentuk tertinggi dari inner freedom, yaitu kebebasan batin yang tidak bergantung pada keadaan lahiriah. Orang yang mampu menerima takdirnya tanpa keluhan adalah orang yang telah mencapai kebajikan (virtue) dan ataraxia—ketenangan jiwa yang stabil.

Ketika seseorang menggantungkan perasaannya pada pengakuan, perhatian, atau kepedulian orang lain, ia kehilangan kendali atas hidupnya dan menjadi budak dari hal-hal eksternal. Stoisisme menolak bentuk kehidupan yang tidak otonom ini dan menekankan pentingnya self-governance sebagai bentuk kematangan moral.

5.2.       Eksistensialisme: Kebebasan dan Tanggung Jawab Diri

Sementara Stoisisme berfokus pada penerimaan realitas, filsafat eksistensialisme—sebagaimana dikembangkan oleh Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Viktor Frankl—menggarisbawahi kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menciptakan makna dari hidupnya, bahkan ketika hidup tampak absurd atau menyakitkan. Sartre dalam Being and Nothingness menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”; ia tidak bisa tidak memilih, dan karena itu ia harus bertanggung jawab penuh atas eksistensinya.

Ketika seseorang menolak kenyataan dan terus-menerus menyalahkan orang lain, ia sesungguhnya sedang terjebak dalam apa yang oleh Sartre disebut sebagai bad faith (mauvaise foi), yaitu kondisi di mana seseorang menyangkal kebebasannya dengan bersembunyi di balik peran, nasib, atau harapan dari orang lain. Dalam bad faith, seseorang tidak hidup secara otentik, melainkan terus menghindar dari tanggung jawab eksistensialnya.

Berbeda dengan fatalisme yang pasrah buta terhadap takdir, eksistensialisme memandang bahwa bahkan dalam keterbatasan pun, manusia memiliki ruang untuk memilih: memilih bagaimana merespons penderitaan, bagaimana memberi makna terhadap peristiwa yang menimpa, dan bagaimana membentuk dirinya melalui kebebasan yang bertanggung jawab. Inilah yang dikembangkan oleh Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, di mana ia menyaksikan bahwa mereka yang bertahan di kamp konsentrasi Nazi adalah orang-orang yang mampu menemukan makna, meskipun dalam penderitaan paling brutal sekalipun.

5.3.       Pandangan Islam: Takdir, Ikhtiar, dan Etika Relasional

Dalam Islam, takdir (qadha dan qadar) merupakan bagian dari keimanan. Namun, ajaran Islam menolak sikap fatalistik dan pasif dalam menyikapi kenyataan. QS. Al-Hadid [57] ayat 22-23 menyebutkan bahwa segala musibah terjadi dengan izin Allah, agar manusia tidak terlalu bersedih atas apa yang hilang dan tidak terlalu sombong atas apa yang diperoleh. Di sisi lain, QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 mengingatkan bahwa perubahan hidup bergantung pada usaha manusia itu sendiri: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Pandangan Islam bersifat integratif: takdir dipahami sebagai ketetapan Ilahi yang berada dalam hikmah-Nya yang luas, tetapi manusia tetap diberi kehendak bebas (ikhtiar) dan tanggung jawab atas tindakannya. Sikap ideal terhadap takdir adalah ridha dan sabr, bukan keluhan, menyalahkan, atau menuntut orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Bersemangatlah untuk hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah” (HR. Muslim), yang mencerminkan etika optimisme dan proaktif meski dalam bingkai ketundukan spiritual.

Lebih dari itu, Islam juga memiliki etika sosial yang kuat. Seseorang tidak dibenarkan menyusahkan orang lain dengan tuntutan yang tidak proporsional, memanipulasi empati, atau menciptakan ketergantungan emosional yang tidak sehat. QS. Al-Baqarah [02] ayat 286 menyebut bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya—dan secara analogis, manusia juga tidak boleh membebani sesamanya melebihi batas kewajaran. Kepedulian adalah kewajiban moral, tetapi tidak untuk diminta secara memaksa, apalagi sebagai kompensasi atas penolakan terhadap realitas.


Filsafat, dengan pendekatan rasionalnya, dan teologi, dengan pendekatan spiritualnya, sama-sama menuntun manusia menuju kedewasaan eksistensial: bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan, dan bahwa makna hidup tidak ditemukan dalam keluhan atau tuntutan, melainkan dalam keberanian untuk menerima, bertanggung jawab, dan terus tumbuh. Manusia yang matang bukanlah manusia yang selalu “baik-baik saja”, tetapi manusia yang tetap teguh, meski keadaan tidak berjalan seperti yang ia harapkan.


6.           Dampak Sosial dan Relasional

Ketidakmampuan menerima takdir dan kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain tidak hanya berdampak pada keseimbangan batin individu, tetapi juga menimbulkan efek domino dalam hubungan sosial. Sikap seperti suka mengeluh, menyalahkan, dan menuntut perlakuan istimewa bukan hanya merupakan beban psikologis bagi pelakunya, tetapi juga menjadi beban moral dan emosional bagi orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks ini, krisis penerimaan diri berpotensi mengganggu ekosistem sosial, menurunkan kualitas relasi interpersonal, dan bahkan merusak iklim empati dalam komunitas.

6.1.       Ketegangan dalam Hubungan Interpersonal

Individu yang tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidupnya cenderung menjalin hubungan dengan pola ketergantungan emosional yang tidak sehat. Ia menuntut pengertian, perhatian, atau bantuan secara berlebihan, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadinya. Dalam teori Transactional Analysis yang dikembangkan oleh Eric Berne, pola ini disebut sebagai relasi drama triangle, di mana seseorang berperan sebagai “korban” yang terus mencari “penolong” dan menyalahkan “penjahat” yang dianggap merusak hidupnya. Pola ini dapat menciptakan siklus relasi yang melelahkan secara emosional dan destruktif dalam jangka panjang.

Lebih jauh lagi, jika relasi ini berlangsung dalam keluarga, pertemanan, atau komunitas kerja, maka akan muncul beban asimetris: satu pihak menjadi “penyangga emosional” yang selalu dituntut untuk memahami dan memenuhi ekspektasi, sementara pihak yang lain merasa berhak atas perhatian dan pemakluman yang tak berkesudahan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik, rasa jenuh, dan akhirnya hubungan yang renggang atau bahkan putus.

6.2.       Beban Emosional bagi Lingkungan Sekitar

Dampak psikologis dari berinteraksi dengan individu yang menolak takdir dan cenderung menuntut berlebihan disebut dalam psikologi sebagai compassion fatigue—keletihan empatik. Charles Figley menyebut bahwa compassion fatigue dapat dialami oleh siapa pun yang terus-menerus terpapar pada tekanan emosional dari orang lain, khususnya jika individu tersebut menuntut tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, orang-orang di sekitar mungkin mulai merasa bersalah jika tidak merespons keluhan, tetapi juga merasa tertekan jika terus-menerus harus menjadi penyangga emosional bagi seseorang yang menolak bertumbuh secara mandiri.

Dalam hubungan jangka panjang, fenomena ini juga bisa berkembang menjadi bentuk emotional blackmail (pemerasan emosional), di mana individu memanfaatkan rasa empati orang lain untuk mendapatkan perlakuan khusus, perhatian, atau pengorbanan yang tidak proporsional. Susan Forward menjelaskan bahwa pelaku pemerasan emosional sering menggunakan ancaman halus—seperti menarik diri, menyalahkan, atau menciptakan rasa bersalah—untuk mempertahankan kontrol atas orang lain. Ini bukan hanya merusak hubungan, tetapi juga memanipulasi batas-batas pribadi yang sehat dalam relasi.

6.3.       Pengaburan Nilai Kepedulian dalam Masyarakat

Dalam skala sosial yang lebih luas, kecenderungan sebagian orang untuk menuntut dipahami, ditolong, dan dimaklumi secara berlebihan dapat mengaburkan makna sejati dari solidaritas dan kepedulian. Masyarakat yang sehat seharusnya dibangun di atas prinsip saling mendukung dengan keseimbangan tanggung jawab. Namun jika kepedulian sosial dimanfaatkan oleh individu-individu yang menolak tanggung jawab pribadi, maka terbentuklah ketimpangan moral—di mana bantuan menjadi kewajiban sepihak, bukan kesepakatan bersama yang etis.

Dalam etika Aristotelian, relasi sosial ideal didasarkan pada philia (persahabatan sejati) yang melibatkan resiprositas dan saling menguatkan dalam kebaikan. Namun jika satu pihak hanya menuntut tanpa memberi, atau mengklaim penderitaannya sebagai alasan untuk menyingkirkan tanggung jawab, maka hubungan itu kehilangan keseimbangannya dan tidak lagi berakar pada kebajikan. Bahkan dalam filsafat konfusius, keutamaan seperti ren (kemurahan hati) dan yi (kewajaran) menuntut keharmonisan antara memberi dan menerima, bukan dominasi emosional oleh salah satu pihak.

Dalam Islam, prinsip ta’awun (saling menolong) juga dibingkai dalam semangat keadilan dan tanggung jawab. QS. Al-Ma’idah [05] ayat 2 menyerukan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa atau kezaliman. Maka, menuntut secara berlebihan hingga menyusahkan orang lain—dengan dalih penderitaan pribadi—bisa melanggar batas moral. Bahkan Rasulullah Saw bersabda bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Thabrani), bukan yang paling sering membebani manusia lain dengan keluhannya.


Dengan demikian, penolakan takdir dan ketergantungan emosional tidak hanya melukai individu secara pribadi, tetapi juga menular dalam bentuk keretakan relasi, beban emosional kolektif, dan distorsi terhadap nilai kepedulian sosial. Oleh karena itu, pendidikan emosional dan spiritual yang mendorong tanggung jawab, penerimaan, dan keseimbangan relasi menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang sehat secara psikososial.


7.           Upaya Penyembuhan dan Perbaikan

Mengatasi krisis penerimaan diri yang berakar pada penolakan terhadap takdir dan kecenderungan ketergantungan emosional bukanlah proses instan, melainkan suatu perjalanan batin yang memerlukan kesadaran, keberanian, dan bimbingan yang tepat. Dalam perspektif psikologis maupun filosofis, upaya penyembuhan ini bertumpu pada tiga fondasi utama: pengenalan diri yang jujur, pembentukan tanggung jawab pribadi, dan penanaman makna hidup yang transendental.

7.1.       Pendekatan Psikoterapeutik: Membangun Kesadaran dan Regulasi Emosi

Dalam dunia psikologi klinis, upaya pertama untuk menyembuhkan krisis semacam ini adalah melalui terapi yang mendorong kesadaran akan kondisi diri. Terapi kognitif-perilaku (CBT) yang dikembangkan oleh Aaron T. Beck menekankan pentingnya mengenali distorsi kognitif yang melandasi perasaan tidak berdaya dan keyakinan negatif terhadap takdir. Individu dilatih untuk mengevaluasi kembali pikiran otomatis seperti “hidup tidak adil” atau “aku selalu menjadi korban”, dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih realistis dan konstruktif.

Selain itu, dialectical behavior therapy (DBT), yang awalnya dikembangkan untuk pasien borderline personality disorder, terbukti efektif dalam membantu individu mengelola ketidakstabilan emosi, mengurangi ketergantungan terhadap validasi eksternal, serta membangun keterampilan distress tolerance dan emotional regulation. Terapi ini mendorong klien untuk menerima realitas hidup yang menyakitkan tanpa harus terjebak dalam sikap mengeluh atau menyalahkan.

Mindfulness-based therapy juga terbukti bermanfaat dalam melatih individu untuk hadir dalam momen kini tanpa menghakimi pengalaman hidup yang tidak ideal. Dengan memperkuat kesadaran akan pikiran dan emosi secara netral, individu perlahan-lahan belajar untuk tidak lagi reaktif terhadap rasa kecewa atau luka masa lalu.

7.2.       Pendidikan Diri dan Pembentukan Tanggung Jawab Personal

Penerimaan terhadap takdir dan pembebasan dari ketergantungan emosional membutuhkan pembelajaran aktif mengenai konsep tanggung jawab pribadi. Viktor Frankl, dalam logoterapinya, menegaskan bahwa manusia tidak hanya makhluk yang bereaksi terhadap keadaan, tetapi makhluk yang memiliki kebebasan untuk merespons dengan makna. Dalam konteks ini, penderitaan bukan semata-mata untuk dihindari, tetapi untuk dipahami dan dijadikan titik tolak pembentukan jati diri yang lebih kuat.

Pendidikan karakter yang menanamkan nilai resiliensi, agency, dan self-efficacy sangat penting dalam proses ini. Albert Bandura menunjukkan bahwa individu dengan kepercayaan diri terhadap kemampuannya mengatasi tantangan (self-efficacy) cenderung tidak menyalahkan lingkungan atau orang lain saat menghadapi kesulitan, tetapi justru mencari solusi internal dan adaptif.

Di tingkat sosial, penting juga adanya dukungan dari komunitas yang sehat secara emosional—yang tidak menoleransi sikap manipulatif, tetapi mendorong setiap individu untuk tumbuh menjadi dewasa secara emosional. Ini bisa ditempuh melalui pendampingan, pelatihan kepemimpinan diri (self-leadership), atau keterlibatan dalam program pembinaan spiritual dan mental yang mengedepankan tanggung jawab pribadi.

7.3.       Pendekatan Filosofis-Spiritual: Rekonsiliasi Diri dengan Makna Kehidupan

Secara filosofis, pemulihan dari krisis penolakan takdir tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang keterbatasan dan keutuhan manusia. Dalam eksistensialisme teistik seperti yang dikembangkan Søren Kierkegaard, manusia dipanggil untuk menerima “kecemasan eksistensial” sebagai bagian dari pengalaman iman yang mendalam—di mana individu justru menemukan kebebasannya dalam menyerahkan diri kepada kehendak ilahi.

Dalam Islam, konsep ridha terhadap takdir Allah (qadar) merupakan bentuk tertinggi dari penerimaan spiritual. Ridha bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima kenyataan dengan hati yang lapang sambil tetap menjalani kehidupan dengan ikhtiar yang maksimal. Seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya—sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa setiap pengalaman hidup, sesulit apa pun, memiliki nilai dan tujuan.

Di sisi lain, mengembangkan makna hidup yang melampaui dunia materi—baik melalui ibadah, amal sosial, maupun keterlibatan dalam tujuan yang lebih besar dari diri—mampu membebaskan individu dari obsesi untuk selalu dimengerti, dicukupi, atau dimanja. Viktor Frankl menyebut bahwa penderitaan tanpa makna akan melumpuhkan, tetapi penderitaan yang ditemukan maknanya dapat menjadi kekuatan luar biasa untuk transformasi diri.

7.4.       Konsolidasi: Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian Emosional

Penyembuhan sejati akan membawa individu keluar dari sikap menyalahkan takdir dan orang lain, menuju kemandirian emosional dan kedewasaan spiritual. Ia tidak lagi mencari sandaran pada perhatian atau pengakuan eksternal, tetapi menemukan pondasi ketenangan dalam penerimaan diri, relasi yang sehat, dan kedekatan dengan Tuhan.

Individu yang pulih dari krisis penerimaan diri akan memperlihatkan tanda-tanda seperti: berhenti menyalahkan, mulai bertanggung jawab atas hidupnya, tidak lagi memanipulasi empati orang lain, dan mampu mengelola luka batinnya dengan bijak. Ia menjadi pribadi yang self-aware, self-reliant, dan compassionate tanpa harus mengeksploitasi belas kasih orang lain. Dari sinilah penyembuhan tidak hanya menjadi proses individual, tetapi juga kontribusi sosial bagi masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan spiritual.


8.           Penutup

Krisis penerimaan diri yang tercermin dalam bentuk penolakan terhadap takdir serta ketergantungan emosional yang tidak sehat merupakan persoalan multidimensi yang menuntut perhatian serius dari aspek psikologis dan filosofis. Individu yang tidak mampu menerima kenyataan hidup cenderung menempatkan dirinya sebagai korban permanen dari keadaan—menolak bertanggung jawab, mengeluh tanpa henti, serta menuntut orang lain untuk selalu hadir, memahami, dan memenuhi kebutuhan emosional serta materialnya. Hal ini tidak hanya merugikan perkembangan pribadinya, tetapi juga menciptakan pola hubungan yang disfungsional dalam lingkungan sosialnya.

Secara psikologis, penolakan terhadap takdir sering kali berakar pada luka batin, pola pikir irasional, dan kelemahan dalam regulasi emosi. Pendekatan terapi kognitif dan perilaku, mindfulness, serta logoterapi telah terbukti mampu membantu individu keluar dari perangkap ketidakberdayaan menuju kesadaran diri dan tanggung jawab personal. Dalam konteks ini, Viktor Frankl menggarisbawahi pentingnya menemukan makna dalam penderitaan sebagai jalan menuju transformasi eksistensial.

Sementara itu, dari sisi filosofis dan spiritual, manusia ditantang untuk menerima batas-batas eksistensinya tanpa kehilangan kebebasan batinnya. Kierkegaard menekankan pentingnya lompatan iman dalam menghadapi absurditas dan penderitaan hidup. Dalam Islam, sikap ridha terhadap takdir bukan bentuk kepasrahan pasif, tetapi manifestasi iman yang aktif, yang menumbuhkan ketenangan, keikhlasan, dan orientasi hidup yang lebih luhur. QS. Al-Hadid [57] ayat 23 secara eksplisit memperingatkan agar manusia tidak berlebihan dalam bersedih atas apa yang hilang dan tidak sombong atas apa yang didapat, sebagai fondasi spiritual untuk menjaga stabilitas emosi dan integritas diri.

Penolakan takdir dan ketergantungan emosional pada akhirnya mengganggu keseimbangan pribadi dan sosial. Individu yang terus-menerus memosisikan dirinya sebagai pusat perhatian dan tuntutan akan menjauh dari relasi yang sehat, kehilangan empati timbal balik, dan berpotensi mengalami keterasingan. Karena itu, pemulihan memerlukan komitmen mendalam untuk merekonstruksi cara pandang terhadap hidup, mendidik kembali hati untuk bersyukur, serta membangun daya tahan spiritual dan emosional.

Keseluruhan kajian ini menegaskan bahwa krisis penerimaan diri bukanlah kondisi permanen, melainkan proses yang dapat ditata kembali melalui refleksi, bimbingan, dan penemuan makna. Di titik kulminasi penerimaan inilah, manusia tidak hanya menjadi pribadi yang kuat, tetapi juga bijaksana—mampu menjalani hidup tanpa merasa berutang pada orang lain untuk kebahagiaannya sendiri, dan tanpa memaksakan dunia untuk selalu sesuai dengan keinginannya. Ia berdamai dengan takdir, tetapi tetap berjuang dalam kehendak.


Daftar Pustaka

Beck, A. T. (1979). Cognitive therapy and the emotional disorders. New York: Penguin Books.

Ellis, A. (2004). Rational emotive behavior therapy: It works for me – It can work for you. Amherst, NY: Prometheus Books.

Frankl, V. E. (1985). Man's search for meaning (Rev. ed.). Boston, MA: Beacon Press.

Kierkegaard, S. (1980). The sickness unto death (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press. (Original work published 1849)

Linehan, M. M. (1993). Cognitive-behavioral treatment of borderline personality disorder. New York: Guilford Press.

Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346

Neff, K. D. (2011). Self-compassion: The proven power of being kind to yourself. New York: William Morrow.

Ryff, C. D., & Singer, B. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13–39. https://doi.org/10.1007/s10902-006-9019-0

Seligman, M. E. P. (2006). Learned optimism: How to change your mind and your life. New York: Vintage.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.). (2007). Positive psychology: The scientific and practical explorations of human strengths (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Tillich, P. (2000). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. New York: Basic Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar