Empat Kebajikan Utama dalam Stoikisme
Landasan Etis Menuju
Kebahagiaan Sejati
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
mengenai empat kebajikan utama dalam filsafat Stoikisme, yaitu Kebijaksanaan (Sophia),
Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan
Keadilan (Dikaiosynê). Stoikisme
menempatkan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati dan sumber
kebahagiaan (eudaimonia), berbeda dengan filsafat lain yang masih
mengaitkan kebahagiaan dengan faktor eksternal. Kajian ini menelusuri landasan
filosofis kebajikan dalam Stoikisme, mulai dari konsep logos kosmik,
rasionalitas manusia, hingga doktrin oikeiôsis yang menekankan
keterhubungan universal. Setiap kebajikan utama diuraikan secara mendalam:
kebijaksanaan sebagai panduan penilaian moral, keberanian sebagai keteguhan
menghadapi penderitaan dan kematian, pengendalian diri sebagai harmoni batin
terhadap hasrat, serta keadilan sebagai wujud solidaritas kosmopolitan.
Selanjutnya, artikel ini menekankan integrasi keempat kebajikan sebagai
kesatuan moral yang saling terkait, sehingga memiliki implikasi etis baik
secara personal maupun sosial. Relevansi Stoikisme dalam kehidupan modern
juga diuraikan, terutama dalam menghadapi krisis global, tantangan digital,
budaya konsumtif, dan isu keadilan sosial. Kesimpulan yang diambil adalah bahwa
empat kebajikan utama Stoikisme bukan hanya ajaran etis kuno, melainkan prinsip
universal yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati dan peradaban
yang lebih adil, resilien, dan selaras dengan alam.
Kata Kunci: Stoikisme;
Kebijaksanaan (Sophia); Keberanian (Andreia); Pengendalian Diri (Sôphrosynê);
Keadilan (Dikaiosynê); Kebajikan; Eudaimonia; Etika;
Kosmopolitanisme.
PEMBAHASAN
Prinsip Empat Kebajikan Utama
dalam Filsafat Stoikisme
1.
Pendahuluan
Stoikisme adalah salah satu sistem filsafat paling berpengaruh di dunia
Helenistik dan Romawi, dibangun secara sistematis dari tiga cabang yang saling
terkait—logika, fisika, dan etika—dengan tujuan praktis: membentuk manusia yang
berbudi (virtuous) dan hidup baik.¹ Dengan menekankan kesatuan sistem (logika
sebagai “tulang”, fisika sebagai “jiwa”, dan etika sebagai “buah”),
para Stoa menunjukkan bahwa penyelidikan rasional tentang dunia dan diri pada
akhirnya harus berujung pada pembentukan karakter.¹
Di jantung etika Stoikisme terdapat tesis tegas bahwa kebajikan (aretê)
adalah satu-satunya kebaikan yang sejati dan—bertentangan dengan
Aristoteles—cukup untuk kebahagiaan (eudaimonia).² Dari prinsip ini mengalir
konsepsi hidup “selaras dengan Alam” (kata akhir: telos), yang
menggabungkan pemahaman tentang tatanan kosmos dengan pembentukan akal budi
manusia agar konsisten dan utuh.² Sebab itu, etika Stoa bersifat normatif
sekaligus praktis: ia meminta transformasi penilaian (krisis) dan hasrat, bukan
sekadar pengetahuan teoretis. Ilustrasi klasiknya tampak pada Enchiridion
§1, ketika Epiktetos memulai pendidikan moral dari pembedaan tegas antara
hal-hal yang bergantung pada kita dan yang tidak—sebuah “disiplin penilaian”
yang menyiapkan lahan bagi kebajikan.⁵
Artikel ini mengkaji salah satu doktrin etis paling sentral dari
Stoikisme, yakni “Empat Kebajikan Utama” (cardinal virtues):
Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê),
dan Keadilan (Dikaiosynê). Secara historis, kerangka empat kebajikan itu
telah hadir dalam tradisi klasik (Plato–Cicero) dan diadministrasikan kembali
oleh para Stoa sebagai inti “yang indah/ mulia” (to kalon) dari
hidup moral.³_⁴ Diogenes Laertios (VII.102) secara eksplisit
mencantumkan keempatnya sebagai “kebaikan”, sementara Cicero dalam De
Officiis menegaskan bahwa seluruh kepantasan moral bersumber pada empat
pilar itu.³_⁴
Konsekuensinya, hal-hal lahiriah—kekayaan, kesehatan, reputasi, bahkan
hidup dan mati—diklasifikasikan sebagai adiaphora (indiferens), yakni
bukan kebaikan atau keburukan pada dirinya; yang menentukan adalah penggunaan
yang tepat oleh akal yang berbudi.³ Dalam kelas indiferens ini, para Stoa
membedakan “yang dipilihkan” (preferred indifferents) dan “yang
ditolak”, tetapi statusnya tetap bukan kebaikan moral.² Di saat yang sama,
keempat kebajikan dipahami sebagai satu kesatuan saling-terkait: memiliki satu
berarti memiliki semuanya, sebab keseluruhannya adalah wujud konsistensi akal
budi yang sama.⁶_² Kerangka inilah yang menjadikan “Empat
Kebajikan Utama” bukan sekadar daftar keutamaan, melainkan struktur
karakter yang koheren.
Secara metodologis, pembahasan pendahuluan ini mengikuti bacaan primer
(Diogenes Laertios, Epiktetos, Cicero) dan penafsiran akademik mutakhir
(Stanford Encyclopedia of Philosophy; Internet Encyclopedia of Philosophy; The
Cambridge History of Hellenistic Philosophy).¹_²_⁷
Kajian selanjutnya (di bagian-bagian artikel yang mengikuti) akan: (a)
menelusuri landasan metafisik-psikologis kebajikan dalam Stoikisme (termasuk oikeiôsis),
(b) memaparkan definisi operasional masing-masing kebajikan beserta turunannya,
(c) menimbang argumen tentang “kesatuan kebajikan”, dan (d)
mengilustrasikan penerapan normatifnya dalam konteks privat, sosial, dan
kewargaan.⁷
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.
[2]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, Buku VII, §102, terj. C. D. Yonge (eds. Bill
Thayer), LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Marcus Tullius Cicero, De Officiis, I.152–155,
ed. Loeb, diakses 25 Agustus 2025.
[5]
Epictetus, Enchiridion, §1, terj.
Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25
Agustus 2025.
[6]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, Buku VII, §126 (tentang kesaling-terkaitan
kebajikan), LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.
[7]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The
Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), versi daring 28 Maret 2008,
diakses 25 Agustus 2025.
2.
Landasan
Filosofis Stoikisme tentang Kebajikan
Stoikisme menempatkan kebajikan (aretê) sebagai pusat filsafat
etisnya dan menyatakan bahwa hanya kebajikanlah yang merupakan summum bonum—kebaikan
tertinggi sekaligus satu-satunya sumber kebahagiaan sejati (eudaimonia).¹
Berbeda dengan Aristoteles yang masih mengakui faktor eksternal seperti
kesehatan, keberuntungan, atau status sosial sebagai bagian dari kebahagiaan,
para Stoa menegaskan bahwa semua faktor eksternal itu termasuk dalam kategori adiaphora
(indiferens), yakni hal-hal yang tidak memiliki nilai moral pada dirinya.²
Dengan demikian, kebahagiaan tidak lagi bersandar pada nasib atau kondisi luar,
melainkan semata pada disposisi moral yang dibangun melalui akal budi yang
selaras dengan alam semesta (kata phusin zên).³
Landasan filsafat Stoikisme mengenai kebajikan bersumber dari tiga
prinsip pokok: (1) keselarasan dengan logos kosmik, (2) rasionalitas
sebagai hakikat manusia, dan (3) doktrin oikeiôsis (proses penyesuaian
diri). Pertama, logos dipahami sebagai rasio ilahi yang menjiwai dan
menata kosmos. Hidup berbudi berarti hidup selaras dengan logos, sebab
kebajikan adalah ekspresi dari keteraturan kosmik dalam tindakan manusia.⁴
Kedua, manusia sebagai makhluk rasional memiliki kodrat untuk menggunakan akal
budi dalam menilai, memilih, dan bertindak. Karena itu, etika Stoikisme
bersifat kognitif: pengetahuan yang benar menghasilkan tindakan yang benar, dan
kebajikan tidak mungkin dipisahkan dari pengetahuan.⁵ Ketiga, doktrin oikeiôsis
menjelaskan bahwa manusia sejak lahir memiliki kecenderungan alamiah untuk
mempertahankan diri, yang kemudian berkembang menjadi pemahaman moral bahwa
dirinya adalah bagian dari komunitas lebih luas. Proses ini mengantar
manusia untuk memperluas rasa kepedulian dari diri sendiri menuju keluarga,
masyarakat, hingga kosmos.⁶
Empat kebajikan utama—Kebijaksanaan (Sophia),
Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan
Keadilan (Dikaiosynê)—adalah perwujudan konkret dari landasan filsafat
tersebut.⁷ Kebijaksanaan merupakan aplikasi akal budi dalam menilai apa yang
benar dan baik; keberanian adalah keteguhan menghadapi kesulitan dengan rasio;
pengendalian diri adalah harmoni batin untuk menahan nafsu dan emosi berlebih;
sedangkan keadilan adalah ekspresi dari kesadaran kosmopolitan bahwa semua
manusia adalah saudara dalam tatanan logos.⁸ Keempat kebajikan ini tidak
berdiri terpisah, melainkan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Memiliki satu
kebajikan berarti memiliki semuanya, karena seluruhnya bersumber pada
konsistensi rasio yang sama.⁹
Dengan demikian, landasan filosofis
Stoikisme tentang kebajikan menunjukkan keterpaduan antara metafisika,
antropologi, dan etika. Kebajikan bukan sekadar norma moral, melainkan
konsekuensi logis dari hakikat kosmos yang rasional dan posisi manusia di dalamnya.
Inilah sebabnya Stoikisme menekankan bahwa etika tidak dapat dilepaskan dari
pemahaman tentang alam semesta.¹⁰ Maka, mempelajari empat kebajikan utama
berarti menghayati filsafat hidup yang mengintegrasikan nalar, disiplin diri,
dan tanggung jawab sosial dalam harmoni dengan tatanan kosmik.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.
[2]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The
Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Marcus Aurelius, Meditations,
IV.3–4, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[5]
Epictetus, Discourses, II.19,
terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25
Agustus 2025.
[6]
Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis,
dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.
[7]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.102, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.
[8]
Cicero, De Officiis, I.152–155,
ed. Loeb, diakses 25 Agustus 2025.
[9]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.126, LacusCurtius (University of Chicago),
diakses 25 Agustus 2025.
[10]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2006), 33–36.
3.
Kebijaksanaan
(Sophia)
Dalam etika Stoikisme, kebijaksanaan (sophia) dipandang sebagai
fondasi utama yang menopang seluruh kebajikan lainnya.¹ Para filsuf Stoa
menegaskan bahwa tanpa kebijaksanaan, keberanian akan berubah menjadi kecerobohan,
pengendalian diri menjadi kelemahan, dan keadilan menjadi kepalsuan.²
Kebijaksanaan berarti kemampuan akal budi untuk mengenali apa yang baik, buruk,
dan indiferen (adiaphora), serta menyesuaikan tindakan manusia dengan
prinsip rasional kosmik (logos).³ Dengan demikian, kebijaksanaan tidak
hanya menyangkut pengetahuan teoretis, tetapi juga keterampilan praktis dalam
mengambil keputusan yang selaras dengan akal sehat dan hukum alam.
Zeno dari Kition, pendiri mazhab Stoa, mendefinisikan kebijaksanaan
sebagai “ilmu tentang hal-hal yang baik dan buruk serta tentang apa yang tidak
termasuk keduanya.”⁴ Definisi ini menegaskan bahwa kebijaksanaan bukan sekadar
akumulasi pengetahuan, melainkan kearifan praktis yang mengarahkan manusia
untuk memutuskan apa yang harus dikejar (katorthômata) dan apa yang
harus dihindari. Epiktetos, misalnya, menekankan bahwa kebijaksanaan membantu
manusia membedakan apa yang berada dalam kendali dirinya dan apa yang tidak.⁵
Melalui pembedaan tersebut, manusia belajar untuk tidak terombang-ambing oleh
hal-hal eksternal, melainkan fokus pada pembentukan disposisi moral batin.
Selain itu, kebijaksanaan dalam Stoikisme erat kaitannya dengan doktrin oikeiôsis—yakni
proses progresif manusia memahami dirinya sebagai bagian dari keseluruhan
kosmos.⁶ Kebijaksanaan memungkinkan seseorang melihat keterhubungan universal
dan menyesuaikan tindakannya demi kebaikan bersama, bukan hanya kepentingan
pribadi. Dalam kerangka ini, kebijaksanaan bersifat normatif sekaligus
kosmopolitan: ia menuntun individu untuk menyelaraskan hidupnya dengan tatanan
universal serta membimbing relasinya dengan sesama manusia dalam kerangka
keadilan.
Marcus Aurelius dalam Meditations menggambarkan kebijaksanaan
sebagai sikap hidup yang menerima kodrat dunia dengan tenang, memahami bahwa
segala sesuatu tunduk pada hukum alam.⁷ Ia menekankan pentingnya memandang
peristiwa dengan perspektif rasional, sehingga emosi yang berlebihan, seperti
amarah atau kesedihan, dapat dikendalikan. Dengan demikian, kebijaksanaan
berfungsi sebagai “mata batin” yang memberi kejernihan pandangan, menghindarkan
manusia dari kesesatan penilaian (hamartia), dan membimbingnya kepada
kehidupan yang tenang (ataraxia) sekaligus bahagia (eudaimonia).
Secara filosofis, kebijaksanaan juga memiliki aspek epistemologis, yaitu
keyakinan Stoik bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui kataleptic
impressions (kesan yang dapat dipahami secara jelas dan rasional).⁸
Kebijaksanaan menuntut kehati-hatian dalam menilai kesan indrawi, agar manusia
tidak tertipu oleh penampilan lahiriah, melainkan mampu menilai esensi moral
dari sesuatu. Inilah sebabnya, bagi Stoa, orang bijak (sophos) adalah
sosok yang tidak dapat diperdaya oleh ilusi atau hawa nafsu, sebab ia hanya
mengikuti akal yang selaras dengan alam.
Dengan demikian, kebijaksanaan (sophia)
dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan intelektual, tetapi juga kebajikan
praktis dan moral. Ia menuntun manusia untuk menilai, memilih, dan bertindak
sesuai dengan akal dan hukum alam. Tanpa kebijaksanaan, kebajikan lain tidak
memiliki arah; dengan kebijaksanaan, seluruh kebajikan lain menemukan
keselarasan dan makna.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.
[2]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[3]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.92, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.
[5]
Epictetus, Enchiridion, §1, terj.
Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25
Agustus 2025.
[6]
Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis,
dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.
[7]
Marcus Aurelius, Meditations,
IV.3–4, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[8]
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 108–110.
4.
Keberanian
(Andreia)
Dalam kerangka etika Stoikisme, keberanian (andreia) dipandang
bukan sekadar kekuatan fisik atau keberanian dalam pertempuran, melainkan
kapasitas moral untuk menghadapi penderitaan, ketakutan, dan kematian dengan
akal budi yang teguh.¹ Para Stoa menolak pandangan populer yang mengidentikkan
keberanian dengan sikap nekat atau agresif. Sebaliknya, keberanian sejati
adalah keberanian yang dibimbing oleh kebijaksanaan (sophia), sehingga
tindakan berani tidak terjerumus menjadi kecerobohan.² Dengan demikian, andreia
dipahami sebagai kekuatan batin untuk tetap konsisten pada rasio, bahkan di
bawah tekanan eksternal yang paling berat.
Epiktetos menjelaskan bahwa penderitaan, penyakit, kemiskinan, maupun
kematian bukanlah keburukan, melainkan bagian dari hal-hal adiaphora
(indiferens).³ Karena itu, yang menuntut keberanian bukanlah menghindari
penderitaan itu sendiri, tetapi bagaimana bersikap benar dalam menghadapinya.
Keberanian, menurut Epiktetos, adalah “kesiapan jiwa untuk
menerima apa yang tidak dapat diubah, sambil bertindak sesuai dengan kodrat dan
akal.”⁴ Dengan
kerangka ini, keberanian tidak hanya relevan dalam peperangan, tetapi juga
dalam pengalaman sehari-hari: menanggung sakit, menghadapi kegagalan, atau
menerima kehilangan tanpa menyerah pada keputusasaan.
Marcus Aurelius dalam Meditations berulang kali menekankan bahwa
kematian dan kesulitan hidup adalah bagian alami dari tatanan kosmos.⁵ Bagi
seorang Stoik, keberanian berarti menanggapi peristiwa itu dengan sikap
rasional, tidak lari dari kenyataan, melainkan menerimanya sebagai kehendak
alam semesta (logos). Ia menulis: “Jangan berharap peristiwa terjadi
sesuai keinginanmu, tetapi harapkan agar itu terjadi sebagaimana adanya; maka
engkau akan hidup dengan baik.”⁶ Kutipan ini memperlihatkan bahwa
keberanian bagi seorang Stoik berakar pada penerimaan rasional atas keteraturan
kosmik.
Selain itu, keberanian dalam Stoikisme juga
terkait erat dengan aspek sosial dan politik. Para Stoa, terutama Cicero yang
banyak mengadopsi ajaran mereka, menekankan bahwa keberanian bukan hanya
keberanian pribadi, tetapi juga keberanian untuk menegakkan keadilan di tengah
masyarakat.⁷ Seseorang dikatakan berani bila tetap teguh membela kebenaran
meskipun menghadapi risiko sosial atau politik, termasuk kehilangan kedudukan,
reputasi, atau bahkan nyawa. Dalam kerangka ini, andreia adalah
kebajikan publik yang menopang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Dengan demikian, keberanian (andreia)
dalam Stoikisme mencakup tiga dimensi utama: (1) kekuatan batin menghadapi
penderitaan dan kematian, (2) konsistensi rasional dalam menerima takdir
kosmik, dan (3) keteguhan moral dalam membela keadilan di ruang publik.
Ketiganya menunjukkan bahwa keberanian bukanlah tindakan impulsif, melainkan
hasil dari integrasi akal, moralitas, dan kesadaran kosmologis. Oleh karena
itu, keberanian Stoik adalah kebajikan yang tidak hanya membebaskan manusia
dari belenggu ketakutan, tetapi juga meneguhkannya dalam menjalani hidup sesuai
dengan alam.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.
[2]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The
Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[3]
William O. Stephens, “Stoic
Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.
[4]
Epictetus, Discourses, I.1 dan
III.24, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT),
diakses 26 Agustus 2025.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
II.11 dan XII.36, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[6]
Epictetus, Enchiridion, §8, terj.
Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 26
Agustus 2025.
[7]
Cicero, De Officiis, I.57–61,
ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.
5.
Pengendalian
Diri (Sôphrosynê)
Dalam ajaran Stoikisme, pengendalian diri (sôphrosynê) dipandang
sebagai kebajikan yang menjaga keseimbangan batin dan mengarahkan hasrat agar
tidak melampaui batas rasio.¹ Kebajikan ini tidak hanya berarti menahan diri
dari kesenangan berlebihan, melainkan juga kemampuan untuk menata emosi dan
nafsu sehingga tindakan manusia tetap konsisten dengan prinsip rasional kosmik
(logos).² Dengan pengendalian diri, manusia mampu membedakan antara
keinginan yang perlu dikejar dan dorongan yang harus ditinggalkan karena tidak
sejalan dengan kebajikan.
Para Stoa mengajarkan bahwa hasrat berlebihan (pathê) merupakan
bentuk “penyakit jiwa” yang muncul dari penilaian keliru terhadap hal-hal
eksternal.³ Oleh karena itu, pengendalian diri adalah hasil dari koreksi
penilaian tersebut: mengubah persepsi yang keliru menjadi pemahaman yang benar
sesuai dengan akal budi. Epiktetos menegaskan bahwa manusia tidak terganggu
oleh peristiwa itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya terhadap peristiwa
tersebut.⁴ Dengan melatih diri untuk menilai secara tepat, seseorang dapat
menjaga ketenangan batin (ataraxia) dan tidak dikuasai oleh emosi
destruktif seperti amarah, iri hati, atau keserakahan.
Marcus Aurelius dalam Meditations sering menekankan pentingnya
moderasi sebagai wujud pengendalian diri.⁵ Ia menulis bahwa seseorang
seharusnya “menguasai jiwanya sendiri lebih daripada tunduk pada keinginan
jasmani.”⁶ Bagi Aurelius, pengendalian diri bukan sekadar moralitas pribadi, tetapi
juga ekspresi dari kehidupan yang selaras dengan alam semesta. Dengan
demikian, moderasi menjadi jalan untuk mencapai keharmonisan antara individu
dengan kosmos.
Selain aspek pribadi, pengendalian diri juga
memiliki dimensi sosial. Seorang Stoik yang mampu mengendalikan dirinya akan
lebih mudah berlaku adil terhadap orang lain, karena ia tidak dikuasai oleh
hawa nafsu pribadi yang merusak relasi sosial.⁷ Cicero, dalam De Officiis,
yang dipengaruhi oleh gagasan Stoik, menegaskan bahwa temperantia
(padanan Latin dari sôphrosynê) melahirkan harmoni dalam interaksi
manusia.⁸ Dengan kata lain, pengendalian diri berfungsi sebagai dasar bagi
kebajikan sosial yang lebih luas, yakni keadilan.
Secara filosofis, sôphrosynê adalah
bentuk penerapan prinsip hidup “sesuai dengan alam” (kata phusin zên).⁹
Alam sendiri berjalan dengan keteraturan dan tidak berlebihan; maka, manusia
yang hidup sesuai dengan alam harus membatasi keinginannya agar tidak melebihi
batas rasional. Dalam kerangka ini, pengendalian diri bukanlah sekadar etika
asketis, tetapi cara untuk memastikan bahwa kehidupan manusia tetap selaras
dengan tatanan universal.
Dengan demikian, pengendalian diri dalam
Stoikisme bukan hanya soal mengatur hasrat, melainkan kebajikan yang menopang
keteraturan hidup batin, ketenangan jiwa, serta hubungan sosial yang adil. Ia
melatih manusia untuk tidak menjadi budak emosi, tetapi tuan atas dirinya
sendiri, sehingga dapat hidup sesuai dengan kebijaksanaan dan harmoni kosmik.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.
[2]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.
[3]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[4]
Epictetus, Enchiridion, §5, terj.
Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 26
Agustus 2025.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
V.20 dan VI.16, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[6]
Ibid., IV.18.
[7]
A. A. Long, Stoic
Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
145–147.
[8]
Cicero, De Officiis,
I.93–95, ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.
[9]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.87, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 26 Agustus 2025.
6.
Keadilan
(Dikaiosynê)
Dalam kerangka etika Stoikisme, keadilan (dikaiosynê) menempati
posisi penting sebagai kebajikan yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya.¹ Jika kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri terutama
menata dimensi batin dan relasi individu dengan dirinya sendiri, maka keadilan
adalah kebajikan yang menghubungkan manusia dengan komunitas sosial dan kosmos
yang lebih luas.² Para filsuf Stoa berpendapat bahwa karena manusia adalah
makhluk rasional sekaligus sosial (zôon logikon kai politikon), maka hidup
yang selaras dengan alam tidak hanya berarti tunduk pada rasio pribadi, tetapi
juga pada kewajiban moral terhadap sesama.³
Zeno, pendiri mazhab Stoa, menegaskan bahwa keadilan bersumber dari
hukum alam universal (nomos physeôs) yang berlaku bagi seluruh manusia.⁴
Dalam pandangan ini, keadilan tidak sekadar produk konvensi atau perjanjian
sosial, melainkan suatu tatanan kosmik yang mengikat semua makhluk rasional.
Itulah sebabnya kaum Stoa terkenal dengan gagasannya tentang kosmopolis—sebuah
komunitas universal di mana semua manusia, tanpa membedakan bangsa, status
sosial, atau gender, adalah warga dunia yang setara.⁵ Pandangan ini menjadi
dasar awal bagi ide kosmopolitanisme dan hak-hak asasi manusia dalam tradisi
filsafat Barat.
Cicero, yang banyak dipengaruhi Stoikisme, menulis dalam De Officiis
bahwa keadilan menuntut dua hal: tidak merugikan orang lain dan menggunakan
sumber daya bersama demi kesejahteraan semua.⁶ Definisi ini menekankan aspek
etis sekaligus praktis dari keadilan Stoik: keadilan menolak penindasan dan
menuntut solidaritas. Para Stoa mengaitkan hal ini dengan konsep oikeiôsis,
yakni kesadaran progresif manusia untuk memperluas lingkaran kepedulian dari
diri sendiri menuju keluarga, masyarakat, dan akhirnya seluruh umat manusia.⁷
Marcus Aurelius dalam Meditations juga menegaskan dimensi kosmopolitan
keadilan. Ia menyatakan bahwa setiap manusia adalah bagian dari tubuh universal
yang sama, sehingga melukai sesama berarti melukai diri sendiri.⁸ Bagi
Aurelius, keadilan adalah tindakan hidup yang konsisten dengan kesadaran bahwa
kita adalah anggota dari komunitas rasional semesta. Oleh karena itu, ia
menekankan pentingnya memperlakukan orang lain dengan kebaikan, kejujuran, dan
tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, keadilan (dikaiosynê)
dalam Stoikisme melampaui pengertian hukum positif atau aturan sosial semata.
Ia merupakan kebajikan universal yang berpangkal pada logos kosmik,
menuntun manusia untuk hidup dalam solidaritas, menolak tindakan yang
merugikan, serta mengedepankan tanggung jawab terhadap sesama. Keadilan bukan
hanya kebajikan sosial, melainkan juga ekspresi terdalam dari rasionalitas dan
kosmopolitanisme Stoik. Tanpa keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan
pengendalian diri kehilangan orientasi sosialnya; dengan keadilan, seluruh
kebajikan Stoik menemukan aktualisasinya dalam kehidupan bersama.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.
[2]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[3]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.88–89, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 26 Agustus 2025.
[5]
Malcolm Schofield, The Stoic
Idea of the City (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 57–62.
[6]
Cicero, De Officiis, I.20–23,
ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.
[7]
Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis,
dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers,
vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.
[8]
Marcus Aurelius, Meditations, VI.44 dan VII.9, terj. Gregory Hays
(New York: Modern Library, 2002).
7.
Integrasi Empat Kebajikan: Kesatuan Moral Stoik
Para filsuf Stoa tidak pernah memahami empat
kebajikan utama—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia),
Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—sebagai
kebajikan yang terpisah dan berdiri sendiri. Sebaliknya, mereka memandang
keempatnya sebagai ekspresi berbeda dari satu realitas moral yang sama, yakni
hidup sesuai dengan akal budi dan hukum alam.¹ Dengan demikian, integrasi empat
kebajikan adalah kunci bagi pemahaman Stoikisme tentang kesatuan moral.
Diogenes Laertius mencatat bahwa bagi para
Stoa, “kebajikan adalah satu, meskipun diberi nama yang berbeda sesuai dengan
situasi di mana ia diterapkan.”² Artinya, kebijaksanaan, keberanian,
pengendalian diri, dan keadilan bukanlah entitas moral yang otonom, melainkan
manifestasi khusus dari keselarasan rasional yang sama. Kebijaksanaan menilai,
keberanian menghadapi, pengendalian diri menahan, dan keadilan memberi—semuanya
bersumber pada prinsip tunggal: konsistensi akal dalam menata kehidupan.³
Integrasi ini juga ditegaskan oleh
Epiktetos. Menurutnya, orang bijak (sophos) tidak bisa memiliki sebagian
kebajikan tanpa memiliki yang lain, sebab semua kebajikan saling menopang dan
muncul dari penilaian rasional yang sama.⁴ Misalnya, tidak mungkin seseorang
benar-benar adil tanpa pengendalian diri, atau berani tanpa kebijaksanaan.
Relasi ini menunjukkan bahwa empat kebajikan utama saling terkait secara
organis, membentuk sebuah kesatuan yang utuh.
Marcus Aurelius dalam Meditations
memperlihatkan sintesis praktis dari kesatuan ini. Ia menulis bahwa hidup baik
berarti “bertindak dengan adil, berbicara dengan kebenaran, dan menahan diri
dari hawa nafsu,” yang pada dasarnya merangkum seluruh kebajikan Stoik.⁵ Dengan
kata lain, setiap tindakan manusia yang selaras dengan akal dan alam
mencerminkan sekaligus keempat kebajikan itu, meskipun dalam bentuk yang
berbeda.
Selain itu, gagasan kesatuan kebajikan juga
memiliki dimensi kosmopolitan. Keadilan sebagai hubungan sosial tidak mungkin
ditegakkan tanpa kebijaksanaan dalam penilaian, keberanian dalam
mempertahankannya, dan pengendalian diri dalam membatasi kepentingan pribadi.⁶
Hal ini memperlihatkan bahwa keempat kebajikan bukan sekadar kode moral
individual, tetapi struktur etis yang menopang kehidupan bersama dalam
komunitas rasional kosmos.
Dengan demikian, integrasi empat kebajikan
utama menegaskan bahwa etika Stoikisme bukanlah sekumpulan aturan parsial,
melainkan sistem moral yang konsisten dan menyeluruh. Kebijaksanaan,
keberanian, pengendalian diri, dan keadilan saling melengkapi dan memperkuat,
sehingga menghasilkan manusia berbudi yang utuh.⁷ Dalam kerangka Stoikisme,
kesatuan moral ini menjadi syarat mutlak bagi tercapainya eudaimonia—kebahagiaan
sejati yang lahir dari keselarasan antara jiwa manusia dengan tatanan kosmik.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.126, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 27 Agustus 2025.
[3]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[4]
Epictetus, Discourses, II.17,
terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 27
Agustus 2025.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations, IV.37 dan VI.30, terj. Gregory Hays
(New York: Modern Library, 2002).
[6]
Cicero, De Officiis, I.152–155,
ed. Loeb, diakses 27 Agustus 2025.
[7]
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 120–125.
8.
Relevansi Empat Kebajikan Utama dalam Kehidupan
Modern
Empat kebajikan utama
Stoikisme—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia),
Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—meskipun
berakar dalam filsafat Yunani kuno, tetap memiliki daya relevansi yang kuat
dalam menghadapi tantangan kehidupan modern. Stoikisme menawarkan kerangka etis
yang membantu manusia mengelola kompleksitas dunia kontemporer: krisis global,
ketidakpastian politik, perkembangan teknologi, hingga persoalan identitas dan
moralitas.¹
Pertama, kebijaksanaan sangat penting
di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi. Di era digital, manusia
berhadapan dengan banjir data yang kerap memicu kebingungan, polarisasi, dan
manipulasi opini publik.² Kebijaksanaan Stoik menuntun individu untuk memilah
pengetahuan, menilai dengan kritis, serta mengambil keputusan yang selaras
dengan akal sehat dan kebaikan bersama. Epiktetos menekankan bahwa “bukan
peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan penilaian tentang peristiwa itu.”³
Prinsip ini tetap relevan untuk mengajarkan literasi kritis dan kebijaksanaan
digital dalam masyarakat modern.
Kedua, keberanian menemukan makna
baru dalam menghadapi krisis sosial, politik, dan lingkungan. Dunia modern
diwarnai oleh ancaman global seperti pandemi, perubahan iklim, dan
ketidakstabilan geopolitik. Keberanian Stoik bukan sekadar heroisme fisik,
melainkan keteguhan moral untuk tetap rasional di tengah ketakutan kolektif.⁴
Marcus Aurelius mengingatkan bahwa kematian dan penderitaan adalah bagian dari
hukum alam, sehingga keberanian berarti menerima kenyataan sembari bertindak
sesuai dengan kewajiban moral.⁵ Dalam konteks modern, hal ini berarti
keberanian untuk menghadapi krisis dengan sikap tenang, tanggung jawab sosial,
dan kepemimpinan yang bijaksana.
Ketiga, pengendalian diri relevan
dalam menghadapi budaya konsumtif, hedonisme, dan kecanduan teknologi.
Stoikisme menegaskan bahwa nafsu berlebihan adalah hasil dari penilaian keliru
terhadap hal-hal eksternal.⁶ Dengan sôphrosynê, manusia dilatih untuk
menguasai dirinya, bukan dikuasai oleh emosi atau keinginan. Dalam dunia
modern, pengendalian diri berarti kemampuan menjaga keseimbangan hidup di
tengah godaan konsumsi berlebih, penggunaan media sosial yang adiktif, serta
tekanan gaya hidup materialistik.⁷ Dengan demikian, pengendalian diri menjadi
dasar bagi kesehatan mental dan keberlanjutan hidup.
Keempat, keadilan dalam Stoikisme
memiliki relevansi mendalam pada isu-isu sosial kontemporer, seperti
kesenjangan ekonomi, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Stoa
mengajarkan bahwa semua manusia adalah warga kosmos yang setara, sehingga
keadilan menuntut penghormatan dan solidaritas universal.⁸ Cicero, terpengaruh
Stoikisme, menegaskan bahwa keadilan berarti tidak merugikan orang lain dan
mempergunakan sumber daya demi kepentingan bersama.⁹ Prinsip ini sangat
kontekstual dengan tantangan modern: dari pembangunan yang berkelanjutan hingga
tanggung jawab global dalam menghadapi perubahan iklim.
Dengan demikian, empat kebajikan utama
Stoikisme dapat dipahami sebagai etika praktis yang melampaui batas ruang dan
waktu. Di era modern, kebijaksanaan menjadi literasi kritis, keberanian menjadi
ketangguhan menghadapi krisis, pengendalian diri menjadi jalan untuk kesehatan
jiwa dan ekologis, serta keadilan menjadi fondasi solidaritas global.¹⁰
Stoikisme dengan demikian menyediakan panduan moral yang tidak hanya relevan
secara individual, tetapi juga sangat penting untuk membangun masyarakat yang
adil, resilien, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.
[2]
Massimo Pigliucci, How to Be a
Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic
Books, 2017), 45–49.
[3]
Epictetus, Enchiridion, §5, terj.
Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 27
Agustus 2025.
[4]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 27 Agustus 2025.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
II.11 dan IV.37, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[6]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[7]
Donald Robertson, Stoicism and
the Art of Happiness (London: Robinson, 2013), 92–97.
[8]
Malcolm Schofield, The Stoic
Idea of the City (Chicago: University of Chicago Press, 1991),
57–62.
[9]
Cicero, De Officiis,
I.20–23, ed. Loeb, diakses 27 Agustus 2025.
[10]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2006), 140–144.
9.
Penutup
Kajian mengenai empat kebajikan utama dalam Stoikisme—Kebijaksanaan (Sophia),
Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan
Keadilan (Dikaiosynê)—menunjukkan bahwa filsafat ini membangun etika
yang utuh, konsisten, dan praktis, dengan menegaskan kebajikan sebagai
satu-satunya sumber kebahagiaan sejati (eudaimonia).¹ Para filsuf Stoa
bersepakat bahwa kebajikan tidak dapat dipisahkan dari rasio, sebab ia
merupakan ekspresi langsung dari keselarasan manusia dengan logos
kosmik.² Oleh karena itu, kebahagiaan tidak lagi ditentukan oleh faktor
eksternal seperti kekayaan, kesehatan, atau kedudukan, melainkan oleh kualitas
batin yang rasional dan berbudi.³
Keempat kebajikan utama ini tidak berdiri
sendiri, melainkan saling berkaitan dan terintegrasi dalam suatu kesatuan
moral. Kebijaksanaan menuntun akal dalam membedakan baik dan buruk; keberanian
memampukan manusia menghadapi penderitaan dan ketakutan; pengendalian diri
menjaga harmoni batin dari godaan berlebih; sementara keadilan memperluas
kesadaran moral menuju solidaritas kosmopolitan.⁴ Dengan demikian, kesatuan
empat kebajikan ini membentuk kerangka etis yang lengkap, yang memungkinkan
manusia hidup selaras dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan dengan alam
semesta.
Relevansi Stoikisme dalam dunia modern juga
tidak dapat diabaikan. Prinsip-prinsip kebajikan tersebut dapat diterapkan
untuk menghadapi tantangan kontemporer: kebijaksanaan dalam memilah informasi
di era digital, keberanian dalam menghadapi krisis global, pengendalian diri di
tengah budaya konsumtif, serta keadilan dalam membangun solidaritas sosial dan
ekologis.⁵ Hal ini menegaskan bahwa meskipun berakar pada filsafat kuno,
Stoikisme tetap memberikan pedoman etis yang aplikatif dan universal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
empat kebajikan utama Stoikisme adalah fondasi moral yang menyatukan dimensi
personal, sosial, dan kosmik. Keseluruhannya mencerminkan visi etis Stoik bahwa
hidup yang baik adalah hidup yang sesuai dengan alam dan rasio.⁶ Melalui
integrasi kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan, Stoikisme
tidak hanya membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati, tetapi juga
memberikan kerangka moral yang relevan bagi pembangunan peradaban yang
berkeadilan, resilien, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.
[2]
Brad Inwood dan Pierluigi Donini,
“Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy,
ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.
[3]
William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 27 Agustus 2025.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, VII.126, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius
(University of Chicago), diakses 27 Agustus 2025.
[5]
Massimo Pigliucci, How to Be a
Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic
Books, 2017), 45–49; Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Robinson, 2013), 92–97.
[6]
Marcus Aurelius, Meditations, VI.44 dan VII.9, terj. Gregory Hays
(New York: Modern Library, 2002).
Daftar Pustaka
Cicero. (n.d.). De Officiis. (W.
Miller, Trans.). Loeb
Classical Library. Retrieved August 27, 2025, from penelope.uchicago.edu
Diogenes Laertius. (n.d.). Lives of Eminent Philosophers (C. D.
Yonge, Trans.). LacusCurtius, University of Chicago. Retrieved August 27, 2025,
from penelope.uchicago.edu
Durand, M., Shogry, S., & Baltzly, D. (2023). Stoicism. In E.
N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(Spring 2023 Edition). Stanford University. (plato.stanford.edu)
Epictetus. (n.d.). Discourses (E. Carter, Trans.). The
Internet Classics Archive. Massachusetts Institute of Technology. Retrieved
August 27, 2025, from classics.mit.edu
Epictetus. (n.d.). Enchiridion (E. Carter, Trans.). The
Internet Classics Archive. Massachusetts Institute of Technology. Retrieved
August 27, 2025, from classics.mit.edu
Inwood, B., & Donini, P. (1999). Stoic ethics. In K. Algra, J.
Barnes, J. Mansfeld, & M. Schofield (Eds.), The Cambridge History of
Hellenistic Philosophy (pp. 675–707). Cambridge University Press. (doi.org)
Long, A. A. (1996). Stoic studies. Cambridge University Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic
philosophers: Volume 1, Translations of the principal sources with
philosophical commentary. Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern
Library.
Pigliucci, M. (2017). How to be a Stoic: Using ancient philosophy to
live a modern life. Basic Books.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness.
Robinson.
Schofield, M. (1991). The Stoic idea of the city. University of
Chicago Press.
Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.
Stephens, W. O. (n.d.). Stoic ethics. Internet Encyclopedia of Philosophy. Retrieved August 27, 2025,
from iep.utm.edu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar