Senin, 25 Agustus 2025

Empat Kebajikan Utama dalam Stoikisme: Landasan Etis Menuju Kebahagiaan Sejati

Empat Kebajikan Utama dalam Stoikisme

Landasan Etis Menuju Kebahagiaan Sejati


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai empat kebajikan utama dalam filsafat Stoikisme, yaitu Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê). Stoikisme menempatkan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati dan sumber kebahagiaan (eudaimonia), berbeda dengan filsafat lain yang masih mengaitkan kebahagiaan dengan faktor eksternal. Kajian ini menelusuri landasan filosofis kebajikan dalam Stoikisme, mulai dari konsep logos kosmik, rasionalitas manusia, hingga doktrin oikeiôsis yang menekankan keterhubungan universal. Setiap kebajikan utama diuraikan secara mendalam: kebijaksanaan sebagai panduan penilaian moral, keberanian sebagai keteguhan menghadapi penderitaan dan kematian, pengendalian diri sebagai harmoni batin terhadap hasrat, serta keadilan sebagai wujud solidaritas kosmopolitan. Selanjutnya, artikel ini menekankan integrasi keempat kebajikan sebagai kesatuan moral yang saling terkait, sehingga memiliki implikasi etis baik secara personal maupun sosial. Relevansi Stoikisme dalam kehidupan modern juga diuraikan, terutama dalam menghadapi krisis global, tantangan digital, budaya konsumtif, dan isu keadilan sosial. Kesimpulan yang diambil adalah bahwa empat kebajikan utama Stoikisme bukan hanya ajaran etis kuno, melainkan prinsip universal yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati dan peradaban yang lebih adil, resilien, dan selaras dengan alam.

Kata Kunci: Stoikisme; Kebijaksanaan (Sophia); Keberanian (Andreia); Pengendalian Diri (Sôphrosynê); Keadilan (Dikaiosynê); Kebajikan; Eudaimonia; Etika; Kosmopolitanisme.


PEMBAHASAN

Prinsip Empat Kebajikan Utama dalam Filsafat Stoikisme


1.           Pendahuluan

Stoikisme adalah salah satu sistem filsafat paling berpengaruh di dunia Helenistik dan Romawi, dibangun secara sistematis dari tiga cabang yang saling terkait—logika, fisika, dan etika—dengan tujuan praktis: membentuk manusia yang berbudi (virtuous) dan hidup baik.¹ Dengan menekankan kesatuan sistem (logika sebagai “tulang”, fisika sebagai “jiwa”, dan etika sebagai “buah”), para Stoa menunjukkan bahwa penyelidikan rasional tentang dunia dan diri pada akhirnya harus berujung pada pembentukan karakter.¹

Di jantung etika Stoikisme terdapat tesis tegas bahwa kebajikan (aretê) adalah satu-satunya kebaikan yang sejati dan—bertentangan dengan Aristoteles—cukup untuk kebahagiaan (eudaimonia).² Dari prinsip ini mengalir konsepsi hidup “selaras dengan Alam” (kata akhir: telos), yang menggabungkan pemahaman tentang tatanan kosmos dengan pembentukan akal budi manusia agar konsisten dan utuh.² Sebab itu, etika Stoa bersifat normatif sekaligus praktis: ia meminta transformasi penilaian (krisis) dan hasrat, bukan sekadar pengetahuan teoretis. Ilustrasi klasiknya tampak pada Enchiridion §1, ketika Epiktetos memulai pendidikan moral dari pembedaan tegas antara hal-hal yang bergantung pada kita dan yang tidak—sebuah “disiplin penilaian” yang menyiapkan lahan bagi kebajikan.⁵

Artikel ini mengkaji salah satu doktrin etis paling sentral dari Stoikisme, yakni “Empat Kebajikan Utama” (cardinal virtues): Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê). Secara historis, kerangka empat kebajikan itu telah hadir dalam tradisi klasik (Plato–Cicero) dan diadministrasikan kembali oleh para Stoa sebagai inti “yang indah/ mulia” (to kalon) dari hidup moral.³_⁴ Diogenes Laertios (VII.102) secara eksplisit mencantumkan keempatnya sebagai “kebaikan”, sementara Cicero dalam De Officiis menegaskan bahwa seluruh kepantasan moral bersumber pada empat pilar itu.³_

Konsekuensinya, hal-hal lahiriah—kekayaan, kesehatan, reputasi, bahkan hidup dan mati—diklasifikasikan sebagai adiaphora (indiferens), yakni bukan kebaikan atau keburukan pada dirinya; yang menentukan adalah penggunaan yang tepat oleh akal yang berbudi.³ Dalam kelas indiferens ini, para Stoa membedakan “yang dipilihkan” (preferred indifferents) dan “yang ditolak”, tetapi statusnya tetap bukan kebaikan moral.² Di saat yang sama, keempat kebajikan dipahami sebagai satu kesatuan saling-terkait: memiliki satu berarti memiliki semuanya, sebab keseluruhannya adalah wujud konsistensi akal budi yang sama.⁶_² Kerangka inilah yang menjadikan “Empat Kebajikan Utama” bukan sekadar daftar keutamaan, melainkan struktur karakter yang koheren.

Secara metodologis, pembahasan pendahuluan ini mengikuti bacaan primer (Diogenes Laertios, Epiktetos, Cicero) dan penafsiran akademik mutakhir (Stanford Encyclopedia of Philosophy; Internet Encyclopedia of Philosophy; The Cambridge History of Hellenistic Philosophy).¹_²_⁷ Kajian selanjutnya (di bagian-bagian artikel yang mengikuti) akan: (a) menelusuri landasan metafisik-psikologis kebajikan dalam Stoikisme (termasuk oikeiôsis), (b) memaparkan definisi operasional masing-masing kebajikan beserta turunannya, (c) menimbang argumen tentang “kesatuan kebajikan”, dan (d) mengilustrasikan penerapan normatifnya dalam konteks privat, sosial, dan kewargaan.⁷


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, Buku VII, §102, terj. C. D. Yonge (eds. Bill Thayer), LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Marcus Tullius Cicero, De Officiis, I.152–155, ed. Loeb, diakses 25 Agustus 2025.

[5]                Epictetus, Enchiridion, §1, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, Buku VII, §126 (tentang kesaling-terkaitan kebajikan), LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.

[7]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), versi daring 28 Maret 2008, diakses 25 Agustus 2025.


2.           Landasan Filosofis Stoikisme tentang Kebajikan

Stoikisme menempatkan kebajikan (aretê) sebagai pusat filsafat etisnya dan menyatakan bahwa hanya kebajikanlah yang merupakan summum bonum—kebaikan tertinggi sekaligus satu-satunya sumber kebahagiaan sejati (eudaimonia).¹ Berbeda dengan Aristoteles yang masih mengakui faktor eksternal seperti kesehatan, keberuntungan, atau status sosial sebagai bagian dari kebahagiaan, para Stoa menegaskan bahwa semua faktor eksternal itu termasuk dalam kategori adiaphora (indiferens), yakni hal-hal yang tidak memiliki nilai moral pada dirinya.² Dengan demikian, kebahagiaan tidak lagi bersandar pada nasib atau kondisi luar, melainkan semata pada disposisi moral yang dibangun melalui akal budi yang selaras dengan alam semesta (kata phusin zên).³

Landasan filsafat Stoikisme mengenai kebajikan bersumber dari tiga prinsip pokok: (1) keselarasan dengan logos kosmik, (2) rasionalitas sebagai hakikat manusia, dan (3) doktrin oikeiôsis (proses penyesuaian diri). Pertama, logos dipahami sebagai rasio ilahi yang menjiwai dan menata kosmos. Hidup berbudi berarti hidup selaras dengan logos, sebab kebajikan adalah ekspresi dari keteraturan kosmik dalam tindakan manusia.⁴ Kedua, manusia sebagai makhluk rasional memiliki kodrat untuk menggunakan akal budi dalam menilai, memilih, dan bertindak. Karena itu, etika Stoikisme bersifat kognitif: pengetahuan yang benar menghasilkan tindakan yang benar, dan kebajikan tidak mungkin dipisahkan dari pengetahuan.⁵ Ketiga, doktrin oikeiôsis menjelaskan bahwa manusia sejak lahir memiliki kecenderungan alamiah untuk mempertahankan diri, yang kemudian berkembang menjadi pemahaman moral bahwa dirinya adalah bagian dari komunitas lebih luas. Proses ini mengantar manusia untuk memperluas rasa kepedulian dari diri sendiri menuju keluarga, masyarakat, hingga kosmos.⁶

Empat kebajikan utama—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—adalah perwujudan konkret dari landasan filsafat tersebut.⁷ Kebijaksanaan merupakan aplikasi akal budi dalam menilai apa yang benar dan baik; keberanian adalah keteguhan menghadapi kesulitan dengan rasio; pengendalian diri adalah harmoni batin untuk menahan nafsu dan emosi berlebih; sedangkan keadilan adalah ekspresi dari kesadaran kosmopolitan bahwa semua manusia adalah saudara dalam tatanan logos.⁸ Keempat kebajikan ini tidak berdiri terpisah, melainkan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Memiliki satu kebajikan berarti memiliki semuanya, karena seluruhnya bersumber pada konsistensi rasio yang sama.⁹

Dengan demikian, landasan filosofis Stoikisme tentang kebajikan menunjukkan keterpaduan antara metafisika, antropologi, dan etika. Kebajikan bukan sekadar norma moral, melainkan konsekuensi logis dari hakikat kosmos yang rasional dan posisi manusia di dalamnya. Inilah sebabnya Stoikisme menekankan bahwa etika tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang alam semesta.¹⁰ Maka, mempelajari empat kebajikan utama berarti menghayati filsafat hidup yang mengintegrasikan nalar, disiplin diri, dan tanggung jawab sosial dalam harmoni dengan tatanan kosmik.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.3–4, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[5]                Epictetus, Discourses, II.19, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis, dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.

[7]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.102, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.

[8]                Cicero, De Officiis, I.152–155, ed. Loeb, diakses 25 Agustus 2025.

[9]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.126, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.

[10]             John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 33–36.


3.           Kebijaksanaan (Sophia)

Dalam etika Stoikisme, kebijaksanaan (sophia) dipandang sebagai fondasi utama yang menopang seluruh kebajikan lainnya.¹ Para filsuf Stoa menegaskan bahwa tanpa kebijaksanaan, keberanian akan berubah menjadi kecerobohan, pengendalian diri menjadi kelemahan, dan keadilan menjadi kepalsuan.² Kebijaksanaan berarti kemampuan akal budi untuk mengenali apa yang baik, buruk, dan indiferen (adiaphora), serta menyesuaikan tindakan manusia dengan prinsip rasional kosmik (logos).³ Dengan demikian, kebijaksanaan tidak hanya menyangkut pengetahuan teoretis, tetapi juga keterampilan praktis dalam mengambil keputusan yang selaras dengan akal sehat dan hukum alam.

Zeno dari Kition, pendiri mazhab Stoa, mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “ilmu tentang hal-hal yang baik dan buruk serta tentang apa yang tidak termasuk keduanya.”⁴ Definisi ini menegaskan bahwa kebijaksanaan bukan sekadar akumulasi pengetahuan, melainkan kearifan praktis yang mengarahkan manusia untuk memutuskan apa yang harus dikejar (katorthômata) dan apa yang harus dihindari. Epiktetos, misalnya, menekankan bahwa kebijaksanaan membantu manusia membedakan apa yang berada dalam kendali dirinya dan apa yang tidak.⁵ Melalui pembedaan tersebut, manusia belajar untuk tidak terombang-ambing oleh hal-hal eksternal, melainkan fokus pada pembentukan disposisi moral batin.

Selain itu, kebijaksanaan dalam Stoikisme erat kaitannya dengan doktrin oikeiôsis—yakni proses progresif manusia memahami dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kosmos.⁶ Kebijaksanaan memungkinkan seseorang melihat keterhubungan universal dan menyesuaikan tindakannya demi kebaikan bersama, bukan hanya kepentingan pribadi. Dalam kerangka ini, kebijaksanaan bersifat normatif sekaligus kosmopolitan: ia menuntun individu untuk menyelaraskan hidupnya dengan tatanan universal serta membimbing relasinya dengan sesama manusia dalam kerangka keadilan.

Marcus Aurelius dalam Meditations menggambarkan kebijaksanaan sebagai sikap hidup yang menerima kodrat dunia dengan tenang, memahami bahwa segala sesuatu tunduk pada hukum alam.⁷ Ia menekankan pentingnya memandang peristiwa dengan perspektif rasional, sehingga emosi yang berlebihan, seperti amarah atau kesedihan, dapat dikendalikan. Dengan demikian, kebijaksanaan berfungsi sebagai “mata batin” yang memberi kejernihan pandangan, menghindarkan manusia dari kesesatan penilaian (hamartia), dan membimbingnya kepada kehidupan yang tenang (ataraxia) sekaligus bahagia (eudaimonia).

Secara filosofis, kebijaksanaan juga memiliki aspek epistemologis, yaitu keyakinan Stoik bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui kataleptic impressions (kesan yang dapat dipahami secara jelas dan rasional).⁸ Kebijaksanaan menuntut kehati-hatian dalam menilai kesan indrawi, agar manusia tidak tertipu oleh penampilan lahiriah, melainkan mampu menilai esensi moral dari sesuatu. Inilah sebabnya, bagi Stoa, orang bijak (sophos) adalah sosok yang tidak dapat diperdaya oleh ilusi atau hawa nafsu, sebab ia hanya mengikuti akal yang selaras dengan alam.

Dengan demikian, kebijaksanaan (sophia) dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan intelektual, tetapi juga kebajikan praktis dan moral. Ia menuntun manusia untuk menilai, memilih, dan bertindak sesuai dengan akal dan hukum alam. Tanpa kebijaksanaan, kebajikan lain tidak memiliki arah; dengan kebijaksanaan, seluruh kebajikan lain menemukan keselarasan dan makna.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[3]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.92, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 25 Agustus 2025.

[5]                Epictetus, Enchiridion, §1, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis, dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.3–4, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[8]                A. A. Long, Stoic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 108–110.


4.           Keberanian (Andreia)

Dalam kerangka etika Stoikisme, keberanian (andreia) dipandang bukan sekadar kekuatan fisik atau keberanian dalam pertempuran, melainkan kapasitas moral untuk menghadapi penderitaan, ketakutan, dan kematian dengan akal budi yang teguh.¹ Para Stoa menolak pandangan populer yang mengidentikkan keberanian dengan sikap nekat atau agresif. Sebaliknya, keberanian sejati adalah keberanian yang dibimbing oleh kebijaksanaan (sophia), sehingga tindakan berani tidak terjerumus menjadi kecerobohan.² Dengan demikian, andreia dipahami sebagai kekuatan batin untuk tetap konsisten pada rasio, bahkan di bawah tekanan eksternal yang paling berat.

Epiktetos menjelaskan bahwa penderitaan, penyakit, kemiskinan, maupun kematian bukanlah keburukan, melainkan bagian dari hal-hal adiaphora (indiferens).³ Karena itu, yang menuntut keberanian bukanlah menghindari penderitaan itu sendiri, tetapi bagaimana bersikap benar dalam menghadapinya. Keberanian, menurut Epiktetos, adalah “kesiapan jiwa untuk menerima apa yang tidak dapat diubah, sambil bertindak sesuai dengan kodrat dan akal.”⁴ Dengan kerangka ini, keberanian tidak hanya relevan dalam peperangan, tetapi juga dalam pengalaman sehari-hari: menanggung sakit, menghadapi kegagalan, atau menerima kehilangan tanpa menyerah pada keputusasaan.

Marcus Aurelius dalam Meditations berulang kali menekankan bahwa kematian dan kesulitan hidup adalah bagian alami dari tatanan kosmos.⁵ Bagi seorang Stoik, keberanian berarti menanggapi peristiwa itu dengan sikap rasional, tidak lari dari kenyataan, melainkan menerimanya sebagai kehendak alam semesta (logos). Ia menulis: “Jangan berharap peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi harapkan agar itu terjadi sebagaimana adanya; maka engkau akan hidup dengan baik.”⁶ Kutipan ini memperlihatkan bahwa keberanian bagi seorang Stoik berakar pada penerimaan rasional atas keteraturan kosmik.

Selain itu, keberanian dalam Stoikisme juga terkait erat dengan aspek sosial dan politik. Para Stoa, terutama Cicero yang banyak mengadopsi ajaran mereka, menekankan bahwa keberanian bukan hanya keberanian pribadi, tetapi juga keberanian untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat.⁷ Seseorang dikatakan berani bila tetap teguh membela kebenaran meskipun menghadapi risiko sosial atau politik, termasuk kehilangan kedudukan, reputasi, atau bahkan nyawa. Dalam kerangka ini, andreia adalah kebajikan publik yang menopang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Dengan demikian, keberanian (andreia) dalam Stoikisme mencakup tiga dimensi utama: (1) kekuatan batin menghadapi penderitaan dan kematian, (2) konsistensi rasional dalam menerima takdir kosmik, dan (3) keteguhan moral dalam membela keadilan di ruang publik. Ketiganya menunjukkan bahwa keberanian bukanlah tindakan impulsif, melainkan hasil dari integrasi akal, moralitas, dan kesadaran kosmologis. Oleh karena itu, keberanian Stoik adalah kebajikan yang tidak hanya membebaskan manusia dari belenggu ketakutan, tetapi juga meneguhkannya dalam menjalani hidup sesuai dengan alam.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.

[2]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[3]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.

[4]                Epictetus, Discourses, I.1 dan III.24, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 26 Agustus 2025.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, II.11 dan XII.36, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[6]                Epictetus, Enchiridion, §8, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 26 Agustus 2025.

[7]                Cicero, De Officiis, I.57–61, ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.


5.           Pengendalian Diri (Sôphrosynê)

Dalam ajaran Stoikisme, pengendalian diri (sôphrosynê) dipandang sebagai kebajikan yang menjaga keseimbangan batin dan mengarahkan hasrat agar tidak melampaui batas rasio.¹ Kebajikan ini tidak hanya berarti menahan diri dari kesenangan berlebihan, melainkan juga kemampuan untuk menata emosi dan nafsu sehingga tindakan manusia tetap konsisten dengan prinsip rasional kosmik (logos).² Dengan pengendalian diri, manusia mampu membedakan antara keinginan yang perlu dikejar dan dorongan yang harus ditinggalkan karena tidak sejalan dengan kebajikan.

Para Stoa mengajarkan bahwa hasrat berlebihan (pathê) merupakan bentuk “penyakit jiwa” yang muncul dari penilaian keliru terhadap hal-hal eksternal.³ Oleh karena itu, pengendalian diri adalah hasil dari koreksi penilaian tersebut: mengubah persepsi yang keliru menjadi pemahaman yang benar sesuai dengan akal budi. Epiktetos menegaskan bahwa manusia tidak terganggu oleh peristiwa itu sendiri, melainkan oleh penilaiannya terhadap peristiwa tersebut.⁴ Dengan melatih diri untuk menilai secara tepat, seseorang dapat menjaga ketenangan batin (ataraxia) dan tidak dikuasai oleh emosi destruktif seperti amarah, iri hati, atau keserakahan.

Marcus Aurelius dalam Meditations sering menekankan pentingnya moderasi sebagai wujud pengendalian diri.⁵ Ia menulis bahwa seseorang seharusnya “menguasai jiwanya sendiri lebih daripada tunduk pada keinginan jasmani.”⁶ Bagi Aurelius, pengendalian diri bukan sekadar moralitas pribadi, tetapi juga ekspresi dari kehidupan yang selaras dengan alam semesta. Dengan demikian, moderasi menjadi jalan untuk mencapai keharmonisan antara individu dengan kosmos.

Selain aspek pribadi, pengendalian diri juga memiliki dimensi sosial. Seorang Stoik yang mampu mengendalikan dirinya akan lebih mudah berlaku adil terhadap orang lain, karena ia tidak dikuasai oleh hawa nafsu pribadi yang merusak relasi sosial.⁷ Cicero, dalam De Officiis, yang dipengaruhi oleh gagasan Stoik, menegaskan bahwa temperantia (padanan Latin dari sôphrosynê) melahirkan harmoni dalam interaksi manusia.⁸ Dengan kata lain, pengendalian diri berfungsi sebagai dasar bagi kebajikan sosial yang lebih luas, yakni keadilan.

Secara filosofis, sôphrosynê adalah bentuk penerapan prinsip hidup “sesuai dengan alam” (kata phusin zên).⁹ Alam sendiri berjalan dengan keteraturan dan tidak berlebihan; maka, manusia yang hidup sesuai dengan alam harus membatasi keinginannya agar tidak melebihi batas rasional. Dalam kerangka ini, pengendalian diri bukanlah sekadar etika asketis, tetapi cara untuk memastikan bahwa kehidupan manusia tetap selaras dengan tatanan universal.

Dengan demikian, pengendalian diri dalam Stoikisme bukan hanya soal mengatur hasrat, melainkan kebajikan yang menopang keteraturan hidup batin, ketenangan jiwa, serta hubungan sosial yang adil. Ia melatih manusia untuk tidak menjadi budak emosi, tetapi tuan atas dirinya sendiri, sehingga dapat hidup sesuai dengan kebijaksanaan dan harmoni kosmik.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.

[2]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.

[3]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[4]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 26 Agustus 2025.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, V.20 dan VI.16, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[6]                Ibid., IV.18.

[7]                A. A. Long, Stoic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 145–147.

[8]                Cicero, De Officiis, I.93–95, ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.

[9]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.87, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 26 Agustus 2025.


6.           Keadilan (Dikaiosynê)

Dalam kerangka etika Stoikisme, keadilan (dikaiosynê) menempati posisi penting sebagai kebajikan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.¹ Jika kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri terutama menata dimensi batin dan relasi individu dengan dirinya sendiri, maka keadilan adalah kebajikan yang menghubungkan manusia dengan komunitas sosial dan kosmos yang lebih luas.² Para filsuf Stoa berpendapat bahwa karena manusia adalah makhluk rasional sekaligus sosial (zôon logikon kai politikon), maka hidup yang selaras dengan alam tidak hanya berarti tunduk pada rasio pribadi, tetapi juga pada kewajiban moral terhadap sesama.³

Zeno, pendiri mazhab Stoa, menegaskan bahwa keadilan bersumber dari hukum alam universal (nomos physeôs) yang berlaku bagi seluruh manusia.⁴ Dalam pandangan ini, keadilan tidak sekadar produk konvensi atau perjanjian sosial, melainkan suatu tatanan kosmik yang mengikat semua makhluk rasional. Itulah sebabnya kaum Stoa terkenal dengan gagasannya tentang kosmopolis—sebuah komunitas universal di mana semua manusia, tanpa membedakan bangsa, status sosial, atau gender, adalah warga dunia yang setara.⁵ Pandangan ini menjadi dasar awal bagi ide kosmopolitanisme dan hak-hak asasi manusia dalam tradisi filsafat Barat.

Cicero, yang banyak dipengaruhi Stoikisme, menulis dalam De Officiis bahwa keadilan menuntut dua hal: tidak merugikan orang lain dan menggunakan sumber daya bersama demi kesejahteraan semua.⁶ Definisi ini menekankan aspek etis sekaligus praktis dari keadilan Stoik: keadilan menolak penindasan dan menuntut solidaritas. Para Stoa mengaitkan hal ini dengan konsep oikeiôsis, yakni kesadaran progresif manusia untuk memperluas lingkaran kepedulian dari diri sendiri menuju keluarga, masyarakat, dan akhirnya seluruh umat manusia.⁷

Marcus Aurelius dalam Meditations juga menegaskan dimensi kosmopolitan keadilan. Ia menyatakan bahwa setiap manusia adalah bagian dari tubuh universal yang sama, sehingga melukai sesama berarti melukai diri sendiri.⁸ Bagi Aurelius, keadilan adalah tindakan hidup yang konsisten dengan kesadaran bahwa kita adalah anggota dari komunitas rasional semesta. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memperlakukan orang lain dengan kebaikan, kejujuran, dan tanpa diskriminasi.

Dengan demikian, keadilan (dikaiosynê) dalam Stoikisme melampaui pengertian hukum positif atau aturan sosial semata. Ia merupakan kebajikan universal yang berpangkal pada logos kosmik, menuntun manusia untuk hidup dalam solidaritas, menolak tindakan yang merugikan, serta mengedepankan tanggung jawab terhadap sesama. Keadilan bukan hanya kebajikan sosial, melainkan juga ekspresi terdalam dari rasionalitas dan kosmopolitanisme Stoik. Tanpa keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri kehilangan orientasi sosialnya; dengan keadilan, seluruh kebajikan Stoik menemukan aktualisasinya dalam kehidupan bersama.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 26 Agustus 2025.

[2]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[3]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 26 Agustus 2025.

[4]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.88–89, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 26 Agustus 2025.

[5]                Malcolm Schofield, The Stoic Idea of the City (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 57–62.

[6]                Cicero, De Officiis, I.20–23, ed. Loeb, diakses 26 Agustus 2025.

[7]                Hierocles, fragmen tentang oikeiôsis, dikutip dalam A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 57N.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, VI.44 dan VII.9, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).


7.           Integrasi Empat Kebajikan: Kesatuan Moral Stoik

Para filsuf Stoa tidak pernah memahami empat kebajikan utama—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—sebagai kebajikan yang terpisah dan berdiri sendiri. Sebaliknya, mereka memandang keempatnya sebagai ekspresi berbeda dari satu realitas moral yang sama, yakni hidup sesuai dengan akal budi dan hukum alam.¹ Dengan demikian, integrasi empat kebajikan adalah kunci bagi pemahaman Stoikisme tentang kesatuan moral.

Diogenes Laertius mencatat bahwa bagi para Stoa, “kebajikan adalah satu, meskipun diberi nama yang berbeda sesuai dengan situasi di mana ia diterapkan.”² Artinya, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan bukanlah entitas moral yang otonom, melainkan manifestasi khusus dari keselarasan rasional yang sama. Kebijaksanaan menilai, keberanian menghadapi, pengendalian diri menahan, dan keadilan memberi—semuanya bersumber pada prinsip tunggal: konsistensi akal dalam menata kehidupan.³

Integrasi ini juga ditegaskan oleh Epiktetos. Menurutnya, orang bijak (sophos) tidak bisa memiliki sebagian kebajikan tanpa memiliki yang lain, sebab semua kebajikan saling menopang dan muncul dari penilaian rasional yang sama.⁴ Misalnya, tidak mungkin seseorang benar-benar adil tanpa pengendalian diri, atau berani tanpa kebijaksanaan. Relasi ini menunjukkan bahwa empat kebajikan utama saling terkait secara organis, membentuk sebuah kesatuan yang utuh.

Marcus Aurelius dalam Meditations memperlihatkan sintesis praktis dari kesatuan ini. Ia menulis bahwa hidup baik berarti “bertindak dengan adil, berbicara dengan kebenaran, dan menahan diri dari hawa nafsu,” yang pada dasarnya merangkum seluruh kebajikan Stoik.⁵ Dengan kata lain, setiap tindakan manusia yang selaras dengan akal dan alam mencerminkan sekaligus keempat kebajikan itu, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Selain itu, gagasan kesatuan kebajikan juga memiliki dimensi kosmopolitan. Keadilan sebagai hubungan sosial tidak mungkin ditegakkan tanpa kebijaksanaan dalam penilaian, keberanian dalam mempertahankannya, dan pengendalian diri dalam membatasi kepentingan pribadi.⁶ Hal ini memperlihatkan bahwa keempat kebajikan bukan sekadar kode moral individual, tetapi struktur etis yang menopang kehidupan bersama dalam komunitas rasional kosmos.

Dengan demikian, integrasi empat kebajikan utama menegaskan bahwa etika Stoikisme bukanlah sekumpulan aturan parsial, melainkan sistem moral yang konsisten dan menyeluruh. Kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan saling melengkapi dan memperkuat, sehingga menghasilkan manusia berbudi yang utuh.⁷ Dalam kerangka Stoikisme, kesatuan moral ini menjadi syarat mutlak bagi tercapainya eudaimonia—kebahagiaan sejati yang lahir dari keselarasan antara jiwa manusia dengan tatanan kosmik.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.126, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 27 Agustus 2025.

[3]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[4]                Epictetus, Discourses, II.17, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 27 Agustus 2025.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.37 dan VI.30, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[6]                Cicero, De Officiis, I.152–155, ed. Loeb, diakses 27 Agustus 2025.

[7]                A. A. Long, Stoic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 120–125.


8.           Relevansi Empat Kebajikan Utama dalam Kehidupan Modern

Empat kebajikan utama Stoikisme—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—meskipun berakar dalam filsafat Yunani kuno, tetap memiliki daya relevansi yang kuat dalam menghadapi tantangan kehidupan modern. Stoikisme menawarkan kerangka etis yang membantu manusia mengelola kompleksitas dunia kontemporer: krisis global, ketidakpastian politik, perkembangan teknologi, hingga persoalan identitas dan moralitas.¹

Pertama, kebijaksanaan sangat penting di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi. Di era digital, manusia berhadapan dengan banjir data yang kerap memicu kebingungan, polarisasi, dan manipulasi opini publik.² Kebijaksanaan Stoik menuntun individu untuk memilah pengetahuan, menilai dengan kritis, serta mengambil keputusan yang selaras dengan akal sehat dan kebaikan bersama. Epiktetos menekankan bahwa “bukan peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan penilaian tentang peristiwa itu.”³ Prinsip ini tetap relevan untuk mengajarkan literasi kritis dan kebijaksanaan digital dalam masyarakat modern.

Kedua, keberanian menemukan makna baru dalam menghadapi krisis sosial, politik, dan lingkungan. Dunia modern diwarnai oleh ancaman global seperti pandemi, perubahan iklim, dan ketidakstabilan geopolitik. Keberanian Stoik bukan sekadar heroisme fisik, melainkan keteguhan moral untuk tetap rasional di tengah ketakutan kolektif.⁴ Marcus Aurelius mengingatkan bahwa kematian dan penderitaan adalah bagian dari hukum alam, sehingga keberanian berarti menerima kenyataan sembari bertindak sesuai dengan kewajiban moral.⁵ Dalam konteks modern, hal ini berarti keberanian untuk menghadapi krisis dengan sikap tenang, tanggung jawab sosial, dan kepemimpinan yang bijaksana.

Ketiga, pengendalian diri relevan dalam menghadapi budaya konsumtif, hedonisme, dan kecanduan teknologi. Stoikisme menegaskan bahwa nafsu berlebihan adalah hasil dari penilaian keliru terhadap hal-hal eksternal.⁶ Dengan sôphrosynê, manusia dilatih untuk menguasai dirinya, bukan dikuasai oleh emosi atau keinginan. Dalam dunia modern, pengendalian diri berarti kemampuan menjaga keseimbangan hidup di tengah godaan konsumsi berlebih, penggunaan media sosial yang adiktif, serta tekanan gaya hidup materialistik.⁷ Dengan demikian, pengendalian diri menjadi dasar bagi kesehatan mental dan keberlanjutan hidup.

Keempat, keadilan dalam Stoikisme memiliki relevansi mendalam pada isu-isu sosial kontemporer, seperti kesenjangan ekonomi, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Stoa mengajarkan bahwa semua manusia adalah warga kosmos yang setara, sehingga keadilan menuntut penghormatan dan solidaritas universal.⁸ Cicero, terpengaruh Stoikisme, menegaskan bahwa keadilan berarti tidak merugikan orang lain dan mempergunakan sumber daya demi kepentingan bersama.⁹ Prinsip ini sangat kontekstual dengan tantangan modern: dari pembangunan yang berkelanjutan hingga tanggung jawab global dalam menghadapi perubahan iklim.

Dengan demikian, empat kebajikan utama Stoikisme dapat dipahami sebagai etika praktis yang melampaui batas ruang dan waktu. Di era modern, kebijaksanaan menjadi literasi kritis, keberanian menjadi ketangguhan menghadapi krisis, pengendalian diri menjadi jalan untuk kesehatan jiwa dan ekologis, serta keadilan menjadi fondasi solidaritas global.¹⁰ Stoikisme dengan demikian menyediakan panduan moral yang tidak hanya relevan secara individual, tetapi juga sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil, resilien, dan berorientasi pada kebaikan bersama.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.

[2]                Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 45–49.

[3]                Epictetus, Enchiridion, §5, terj. Elizabeth Carter, The Internet Classics Archive (MIT), diakses 27 Agustus 2025.

[4]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 27 Agustus 2025.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, II.11 dan IV.37, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[6]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Robinson, 2013), 92–97.

[8]                Malcolm Schofield, The Stoic Idea of the City (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 57–62.

[9]                Cicero, De Officiis, I.20–23, ed. Loeb, diakses 27 Agustus 2025.

[10]             John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 140–144.


9.           Penutup

Kajian mengenai empat kebajikan utama dalam Stoikisme—Kebijaksanaan (Sophia), Keberanian (Andreia), Pengendalian Diri (Sôphrosynê), dan Keadilan (Dikaiosynê)—menunjukkan bahwa filsafat ini membangun etika yang utuh, konsisten, dan praktis, dengan menegaskan kebajikan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan sejati (eudaimonia).¹ Para filsuf Stoa bersepakat bahwa kebajikan tidak dapat dipisahkan dari rasio, sebab ia merupakan ekspresi langsung dari keselarasan manusia dengan logos kosmik.² Oleh karena itu, kebahagiaan tidak lagi ditentukan oleh faktor eksternal seperti kekayaan, kesehatan, atau kedudukan, melainkan oleh kualitas batin yang rasional dan berbudi.³

Keempat kebajikan utama ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan terintegrasi dalam suatu kesatuan moral. Kebijaksanaan menuntun akal dalam membedakan baik dan buruk; keberanian memampukan manusia menghadapi penderitaan dan ketakutan; pengendalian diri menjaga harmoni batin dari godaan berlebih; sementara keadilan memperluas kesadaran moral menuju solidaritas kosmopolitan.⁴ Dengan demikian, kesatuan empat kebajikan ini membentuk kerangka etis yang lengkap, yang memungkinkan manusia hidup selaras dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan dengan alam semesta.

Relevansi Stoikisme dalam dunia modern juga tidak dapat diabaikan. Prinsip-prinsip kebajikan tersebut dapat diterapkan untuk menghadapi tantangan kontemporer: kebijaksanaan dalam memilah informasi di era digital, keberanian dalam menghadapi krisis global, pengendalian diri di tengah budaya konsumtif, serta keadilan dalam membangun solidaritas sosial dan ekologis.⁵ Hal ini menegaskan bahwa meskipun berakar pada filsafat kuno, Stoikisme tetap memberikan pedoman etis yang aplikatif dan universal.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa empat kebajikan utama Stoikisme adalah fondasi moral yang menyatukan dimensi personal, sosial, dan kosmik. Keseluruhannya mencerminkan visi etis Stoik bahwa hidup yang baik adalah hidup yang sesuai dengan alam dan rasio.⁶ Melalui integrasi kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan, Stoikisme tidak hanya membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati, tetapi juga memberikan kerangka moral yang relevan bagi pembangunan peradaban yang berkeadilan, resilien, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, diakses 27 Agustus 2025.

[2]                Brad Inwood dan Pierluigi Donini, “Stoic Ethics,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra dkk. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 675–707.

[3]                William O. Stephens, “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 27 Agustus 2025.

[4]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.126, terj. C. D. Yonge, LacusCurtius (University of Chicago), diakses 27 Agustus 2025.

[5]                Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 45–49; Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Robinson, 2013), 92–97.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, VI.44 dan VII.9, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).


Daftar Pustaka

Cicero. (n.d.). De Officiis. (W. Miller, Trans.). Loeb Classical Library. Retrieved August 27, 2025, from penelope.uchicago.edu

Diogenes Laertius. (n.d.). Lives of Eminent Philosophers (C. D. Yonge, Trans.). LacusCurtius, University of Chicago. Retrieved August 27, 2025, from penelope.uchicago.edu

Durand, M., Shogry, S., & Baltzly, D. (2023). Stoicism. In E. N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2023 Edition). Stanford University. (plato.stanford.edu)

Epictetus. (n.d.). Discourses (E. Carter, Trans.). The Internet Classics Archive. Massachusetts Institute of Technology. Retrieved August 27, 2025, from classics.mit.edu

Epictetus. (n.d.). Enchiridion (E. Carter, Trans.). The Internet Classics Archive. Massachusetts Institute of Technology. Retrieved August 27, 2025, from classics.mit.edu

Inwood, B., & Donini, P. (1999). Stoic ethics. In K. Algra, J. Barnes, J. Mansfeld, & M. Schofield (Eds.), The Cambridge History of Hellenistic Philosophy (pp. 675–707). Cambridge University Press. (doi.org)

Long, A. A. (1996). Stoic studies. Cambridge University Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers: Volume 1, Translations of the principal sources with philosophical commentary. Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Pigliucci, M. (2017). How to be a Stoic: Using ancient philosophy to live a modern life. Basic Books.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Robinson.

Schofield, M. (1991). The Stoic idea of the city. University of Chicago Press.

Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.

Stephens, W. O. (n.d.). Stoic ethics. Internet Encyclopedia of Philosophy. Retrieved August 27, 2025, from iep.utm.edu


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar