Pendekatan Deep Learning
Strategi, Implementasi, dan
Dampaknya pada Pemahaman Mendalam Siswa
Alihkan ke: Deep
Learning dalam Teknologi, Deep
Learning dalam Pendidikan, Deep
Learning dalam Kurikulum Merdeka, Philosophy
for Children (P4C).
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
konsep, strategi, implementasi, dan dampak dari pendekatan deep learning
dalam pembelajaran, dengan fokus pada peningkatan pemahaman mendalam siswa. Pendekatan
ini menekankan keterlibatan aktif siswa, keterhubungan pengetahuan dengan
pengalaman nyata, dan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Pembahasan dimulai dengan landasan teoritis yang mencakup prinsip mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning, serta
keterkaitannya dengan teori konstruktivisme, humanisme, dan pembelajaran
berbasis masalah. Selanjutnya, dipaparkan langkah-langkah implementasi yang
sistematis, strategi pembelajaran pendukung, serta analisis manfaat seperti
peningkatan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, motivasi, dan transfer
pengetahuan. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan dalam penerapan deep
learning—termasuk kendala waktu, kesiapan guru, dan ketersediaan sumber
belajar—serta menawarkan solusi praktis. Studi kasus dari berbagai mata
pelajaran disajikan untuk memberikan ilustrasi penerapan nyata di lapangan.
Kesimpulannya, deep learning memiliki potensi transformatif dalam
pendidikan modern, membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21 dan membentuk
pembelajar sepanjang hayat.
Kata Kunci: deep
learning, pembelajaran bermakna, keterampilan abad ke-21, pembelajaran
kontekstual, strategi pembelajaran, konstruktivisme.
PEMBAHASAN
Pendekatan Pembelajaran Deep
Learning
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan abad ke-21 menuntut peserta
didik untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan
komunikatif.¹ Model pembelajaran tradisional yang berfokus pada hafalan (rote
learning) dinilai tidak lagi memadai untuk menghadapi tantangan kompleks
dunia modern.² Dalam konteks ini, deep learning menjadi salah satu
pendekatan pembelajaran yang relevan karena menekankan pada pemahaman
konseptual yang mendalam, keterkaitan pengetahuan dengan pengalaman nyata,
serta pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.³
Pendekatan deep learning tidak
hanya berfokus pada penguasaan informasi, tetapi juga pada pembentukan
pemahaman bermakna (meaningful learning) yang memungkinkan siswa
mengintegrasikan konsep baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya.⁴ Selain itu, pembelajaran ini mengedepankan mindful learning
(kesadaran penuh dalam proses belajar) dan joyful learning (kesenangan
dalam belajar) untuk menciptakan pengalaman belajar yang holistik.⁵
Transformasi pendidikan menuju
pendekatan ini juga sejalan dengan tuntutan kurikulum nasional yang mengarahkan
proses pembelajaran agar berpusat pada siswa (student-centered learning)
dan mengembangkan kompetensi abad 21.⁶ Dengan demikian, implementasi deep
learning menjadi strategi yang strategis untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
kajian ini dirancang untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok:
1)
Bagaimana konsep dan
prinsip deep learning dalam pembelajaran?
2)
Bagaimana langkah-langkah
implementasi deep learning yang efektif di kelas?
3)
Apa saja dampak positif
penerapan deep learning terhadap pemahaman mendalam siswa?
1.3.
Tujuan Kajian
Artikel ini bertujuan untuk:
1)
Mendeskripsikan konsep dan prinsip-prinsip
utama dalam pendekatan deep learning.
2)
Menjelaskan strategi dan langkah-langkah
implementasi deep learning di kelas.
3)
Menganalisis dampak
penerapan deep learning terhadap peningkatan pemahaman konseptual siswa.
1.4.
Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan memberi manfaat:
·
Secara teoritis, memperkaya kajian literatur dalam bidang
teori belajar dan strategi pembelajaran.
·
Secara praktis, memberikan panduan bagi guru dalam merancang
pembelajaran berbasis deep learning untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Catatan Kaki
[1]
Tony Wagner, The Global Achievement Gap: Why Even
Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need—and What
We Can Do About It (New York: Basic Books, 2014), 27–30.
[2]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
23.
[3]
Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative
Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of
Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.
[4]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.
[5]
Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 54–55.
[6]
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Kurikulum
Merdeka: Panduan Implementasi untuk Satuan Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 15–17.
2.
Landasan Teori dan
Konsep
2.1.
Definisi Deep
Learning dalam Pembelajaran
Dalam konteks pendidikan, deep learning merujuk pada suatu
pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam dan bermakna,
berbeda dari surface learning yang cenderung hanya menghafal fakta tanpa
memahami konsep inti.¹ Pendekatan ini melibatkan keterlibatan aktif siswa dalam
mengonstruksi makna, mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya,
serta mengaplikasikannya dalam situasi nyata.² Marton dan Säljö menegaskan
bahwa deep learning ditandai oleh keinginan untuk memahami secara
menyeluruh, keterhubungan ide, dan kemampuan transfer pengetahuan ke konteks
baru.³
2.2.
Prinsip-Prinsip
Dasar Deep Learning
Pendekatan deep learning dalam pembelajaran berlandaskan pada
tiga prinsip inti yang saling melengkapi:
Pembelajaran yang dilakukan dengan kesadaran penuh (awareness),
di mana siswa memahami tujuan, proses, dan relevansi dari materi yang
dipelajari.⁴ Kesadaran ini membantu siswa mengelola fokus, motivasi, dan
strategi belajar secara optimal.
Konsep yang diperkenalkan Ausubel, yang menekankan pentingnya
mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang sudah ada agar
pembelajaran menjadi lebih tahan lama dan aplikatif.⁵
Suasana belajar yang menyenangkan, yang memicu keterlibatan emosional
positif sehingga siswa lebih termotivasi untuk mengeksplorasi dan memahami
materi secara mendalam.⁶
Ketiga prinsip ini membentuk landasan psikologis dan pedagogis dari deep
learning yang efektif.
2.3.
Keterkaitan dengan
Teori Belajar
Pendekatan deep learning
memiliki keterkaitan erat dengan beberapa teori belajar yang sudah mapan:
Menurut Piaget, pengetahuan dibangun melalui interaksi
aktif antara individu dengan lingkungannya.⁷ Dalam konteks deep learning,
siswa berperan sebagai pembangun pengetahuan, bukan sekadar penerima informasi.
Diperkenalkan oleh tokoh seperti Carl Rogers, teori ini
menekankan pentingnya aktualisasi diri, motivasi intrinsik, dan lingkungan
belajar yang mendukung perkembangan personal.⁸ Deep learning sejalan
dengan prinsip ini karena memandang siswa sebagai individu yang unik dengan
potensi berkembang.
·
Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem-Based Learning/PBL)
Model ini memberikan masalah autentik sebagai pemicu proses
belajar, mendorong keterampilan pemecahan masalah dan pemikiran kritis.⁹ Deep
learning mengadopsi pendekatan serupa, di mana keterlibatan pada
permasalahan nyata menjadi sarana membangun pemahaman mendalam.
Dengan memahami landasan teori dan
konsep ini, guru dapat merancang pembelajaran yang tidak hanya menekankan
capaian akademik, tetapi juga pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi
dan kemampuan belajar sepanjang hayat. Pendekatan deep learning menjadi
relevan karena mampu menjawab tuntutan pendidikan modern yang mengharuskan
siswa menjadi pembelajar mandiri, adaptif, dan kreatif.
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
22–25.
[2]
David Perkins and Gavriel Salomon, “Teaching for
Transfer,” Educational Leadership 46, no. 1 (1988): 22–32.
[3]
Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative
Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of
Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.
[4]
Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA:
Addison-Wesley, 1997), 12–15.
[5]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.
[6]
Barbara L. Fredrickson, “The Role of Positive Emotions
in Positive Psychology: The Broaden-and-Build Theory of Positive Emotions,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 218–226.
[7]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child (New York: Basic Books, 1954), 7–9.
[8]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH:
Merrill, 1969), 105–110.
[9]
Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied
to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press,
1980), 3–5.
3.
Langkah-Langkah
Implementasi Deep Learning
Penerapan deep learning dalam pembelajaran memerlukan
perencanaan yang sistematis dan berfokus pada keterlibatan aktif peserta didik.
Menurut Biggs dan Tang, pembelajaran mendalam hanya dapat dicapai jika
prosesnya dirancang untuk mendorong keterhubungan ide, keterlibatan kognitif,
dan refleksi kritis.¹ Dalam konteks ini, terdapat delapan langkah strategis
yang dapat diimplementasikan guru untuk menciptakan pembelajaran bermakna.
3.1.
Memulai dengan
Pemicu Kontekstual
Pembelajaran dimulai dengan
menghadirkan masalah atau situasi yang relevan dengan kehidupan nyata siswa.²
Pemicu ini dapat berupa studi kasus, berita terkini, fenomena sosial, atau
eksperimen sederhana yang menantang rasa ingin tahu. Strategi ini sejalan dengan teori
konstruktivisme yang menekankan pentingnya mengaitkan materi dengan pengalaman
nyata.³
3.2.
Eksplorasi dan
Kolaborasi
Guru memfasilitasi kegiatan eksplorasi
melalui diskusi kelompok, penelitian kecil, atau simulasi. Siswa didorong untuk berbagi ide, mengajukan
pertanyaan, dan mencari informasi bersama. Kolaborasi ini meningkatkan
kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, dan pemikiran kritis.⁴ Menurut Johnson
dan Johnson, pembelajaran kolaboratif yang efektif melibatkan saling
ketergantungan positif dan akuntabilitas individu.⁵
3.3.
Membangun Pemahaman
Konsep
Tahap ini menekankan pada keterlibatan
aktif siswa dalam menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep yang telah
dimiliki. Ausubel menegaskan bahwa pembelajaran akan lebih bermakna jika
informasi baru diintegrasikan ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.⁶ Guru
dapat menggunakan peta konsep, analogi, atau pertanyaan pemantik untuk membantu
siswa membangun kerangka berpikir yang solid.
3.4.
Demonstrasi dan
Aplikasi
Siswa mempraktikkan keterampilan dan menerapkan konsep dalam situasi
nyata atau simulasi. Proses ini memperkuat pemahaman dan mengasah kemampuan
transfer pengetahuan.⁷ Misalnya, dalam pembelajaran sains, siswa dapat
melakukan eksperimen laboratorium; dalam bahasa, mereka dapat membuat proyek
publikasi atau presentasi.
3.5.
Penjelasan dan
Diskusi
Siswa diminta untuk menjelaskan kembali
konsep yang telah dipelajari, baik secara lisan maupun tertulis. Diskusi kelas
digunakan untuk mengklarifikasi pemahaman, meluruskan miskonsepsi, dan
memperluas perspektif.⁸ Kegiatan ini mencerminkan prinsip learning by
teaching, di mana mengajarkan orang lain dapat meningkatkan pemahaman
diri.⁹
3.6.
Refleksi
Refleksi menjadi kunci dalam deep
learning karena membantu siswa menilai proses belajar mereka sendiri,
mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, dan strategi perbaikan.¹⁰ Menurut Schön,
refleksi dapat dilakukan selama proses (reflection-in-action) maupun setelah
kegiatan selesai (reflection-on-action).¹¹
3.7.
Penilaian Otentik
Penilaian dalam deep learning
tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga proses berpikir, argumentasi, dan
kemampuan pengambilan keputusan siswa.¹² Penilaian otentik mencakup portofolio,
proyek, studi kasus, dan presentasi, yang mencerminkan kemampuan nyata siswa di
dunia nyata.¹³
3.8.
Fleksibilitas dan
Personalisasi
Guru perlu menyesuaikan strategi
pembelajaran dengan karakteristik, gaya belajar, dan minat siswa.¹⁴ Pendekatan
ini sejalan dengan prinsip differentiated instruction yang memandang
keberagaman sebagai potensi, bukan hambatan.¹⁵ Personalisasi memungkinkan siswa
belajar dengan cara yang paling efektif bagi mereka, sehingga meningkatkan
motivasi dan keterlibatan.
Dengan mengintegrasikan kedelapan langkah ini, proses pembelajaran akan
lebih bermakna, menantang, dan relevan dengan kehidupan siswa. Deep learning
tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga membentuk keterampilan
abad ke-21 yang esensial, seperti berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan
komunikatif.
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
23–26.
[2]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 106.
[3]
Jean Piaget, The Construction of Reality in the
Child (New York: Basic Books, 1954), 7–9.
[4]
Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language
to Think Together (London: Routledge, 2000), 45.
[5]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation
and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company,
1989), 58–61.
[6]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.
[7]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1978), 87.
[8]
H. Douglas Brown, Principles of Language Learning
and Teaching, 6th ed. (White Plains, NY: Pearson Education, 2014), 224.
[9]
Jean-Pol Martin, “The Learning by Teaching Method in
Germany,” Education 17, no. 2 (2002): 1–14.
[10]
Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and
Professional Development: Theory and Practice (London: RoutledgeFalmer,
1999), 63.
[11]
Donald A. Schön, The Reflective Practitioner: How
Professionals Think in Action (New York: Basic Books, 1983), 49–50.
[12]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing
Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco:
Jossey-Bass, 1998), 21.
[13]
Linda Darling-Hammond and Frank Adamson, Beyond the
Bubble Test: How Performance Assessments Support 21st Century Learning (San
Francisco: Jossey-Bass, 2014), 14–16.
[14]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate
Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD,
2001), 7–8.
[15]
Rick Wormeli, Fair Isn’t Always Equal: Assessing
and Grading in the Differentiated Classroom (Portland, ME: Stenhouse,
2006), 42–44.
4.
Strategi dan Teknik
Pembelajaran Pendukung
Penerapan deep learning akan lebih efektif jika didukung oleh
strategi dan teknik pembelajaran yang mendorong keterlibatan aktif siswa,
pemahaman mendalam, dan relevansi materi dengan kehidupan nyata.¹ Guru tidak
hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga merancang pengalaman belajar
yang memungkinkan siswa mengonstruksi makna, menguji ide, dan menerapkan
pengetahuan secara kontekstual.² Beberapa strategi dan teknik yang dapat
mendukung implementasi deep learning di antaranya sebagai berikut.
4.1.
Penggunaan Media
Kontekstual
Media pembelajaran yang kontekstual,
seperti video dokumenter, simulasi interaktif, peta konsep digital, atau studi
kasus nyata, dapat meningkatkan keterhubungan antara materi pelajaran dengan
dunia nyata siswa.³ Menurut Mayer, media yang dirancang dengan prinsip
multimedia learning dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi secara
signifikan.⁴ Pemilihan media harus mempertimbangkan relevansi, tingkat
kesulitan, serta kesesuaian dengan tujuan pembelajaran.
4.2. Diskusi
Kelompok dan Kolaborasi Proyek
Kegiatan diskusi kelompok mendorong
pertukaran ide, argumentasi, dan sintesis informasi, yang merupakan ciri utama deep
learning.⁵ Selain itu, kolaborasi dalam proyek berbasis masalah atau produk
akhir dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, manajemen waktu, dan tanggung
jawab bersama.⁶ Johnson dan Johnson menekankan bahwa pembelajaran kolaboratif
yang efektif memerlukan interdependensi positif, akuntabilitas individu, dan
interaksi tatap muka yang intensif.⁷
4.3.
Problem-Based
Learning (PBL) dan Project-Based Learning (PjBL)
PBL dan PjBL adalah dua pendekatan yang
secara langsung mendukung deep learning. Dalam PBL, siswa belajar
melalui penyelesaian masalah kompleks yang tidak memiliki jawaban tunggal,
sehingga mendorong pemikiran kritis dan keterampilan analisis.⁸ Sementara itu,
PjBL menekankan pada proses penciptaan produk atau karya yang relevan dengan
kehidupan nyata, yang meningkatkan keterlibatan emosional dan motivasi
intrinsik siswa.⁹ Kedua model ini memerlukan peran guru sebagai fasilitator dan
pembimbing proses, bukan sekadar pemberi materi.¹⁰
4.4.
Penilaian Autentik
dan Portofolio
Penilaian autentik menilai kemampuan
siswa dalam konteks nyata, bukan hanya melalui tes tertulis.¹¹ Instrumen
seperti portofolio, laporan proyek, presentasi, dan demonstrasi keterampilan
memberikan gambaran menyeluruh tentang proses dan hasil belajar siswa.¹²
Wiggins menegaskan bahwa penilaian autentik seharusnya mengukur keterampilan
berpikir tingkat tinggi dan kemampuan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.¹³
4.5. Penyesuaian
dengan Gaya Belajar Siswa
Tidak semua siswa belajar dengan cara
yang sama; beberapa lebih responsif terhadap pembelajaran visual, auditorial,
atau kinestetik.¹⁴ Guru dapat mengintegrasikan prinsip differentiated
instruction dengan menyediakan variasi materi, tugas, dan aktivitas sesuai
kebutuhan serta potensi masing-masing siswa.¹⁵ Penyesuaian ini meningkatkan
keterlibatan dan mengoptimalkan pencapaian hasil belajar.
Strategi-strategi ini, jika diterapkan secara konsisten, akan
memperkuat penerapan deep learning dan membantu siswa membangun
pemahaman yang mendalam, relevan, dan tahan lama. Paduan antara media
kontekstual, kolaborasi, pembelajaran berbasis masalah atau proyek, penilaian
autentik, dan personalisasi pembelajaran merupakan kombinasi yang terbukti efektif
dalam mengembangkan kompetensi abad ke-21.
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
29–31.
[2]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1978), 86–88.
[3]
Robert Heinich et al., Instructional Media and
Technologies for Learning, 10th ed. (Boston: Pearson, 2014), 43–45.
[4]
Richard E. Mayer, Multimedia Learning, 2nd ed.
(New York: Cambridge University Press, 2009), 169–170.
[5]
Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language
to Think Together (London: Routledge, 2000), 72–74.
[6]
Barbara J. Duch, Susan E. Groh, and Deborah E. Allen,
eds., The Power of Problem-Based Learning (Sterling, VA: Stylus, 2001),
23–25.
[7]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation
and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company,
1989), 55–57.
[8]
Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied
to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press,
1980), 12–14.
[9]
John W. Thomas, A Review of Research on
Project-Based Learning (San Rafael, CA: Autodesk Foundation, 2000), 8–9.
[10]
Markham, Thom, John Larmer, and Jason Ravitz, Project
Based Learning Handbook (Novato, CA: Buck Institute for Education, 2003),
18–20.
[11]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing
Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco:
Jossey-Bass, 1998), 21–23.
[12]
Linda Darling-Hammond and Frank Adamson, Beyond the
Bubble Test: How Performance Assessments Support 21st Century Learning (San
Francisco: Jossey-Bass, 2014), 14–15.
[13]
Wiggins, Educative Assessment, 25.
[14]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 213–215.
[15]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate
Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD,
2001), 10–12.
5.
Dampak dan Manfaat
Pendekatan Deep Learning
Penerapan deep learning dalam
pembelajaran memberikan berbagai dampak positif yang tidak hanya dirasakan pada
ranah akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan personal dan sosial
siswa.¹ Dengan fokus pada pemahaman mendalam, pembelajaran ini membantu siswa
menjadi pembelajar mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mengaitkan pengetahuan
dengan konteks dunia nyata.²
5.1. Peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif
Salah satu dampak paling signifikan dari deep learning adalah
penguatan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills).³
Siswa tidak hanya diminta mengingat informasi, tetapi juga menganalisis,
mengevaluasi, dan menciptakan ide baru.⁴ Menurut Bloom, kemampuan berpikir
tingkat tinggi ini merupakan puncak dari taksonomi tujuan pembelajaran kognitif
yang sangat penting di abad ke-21.⁵
5.2. Penguatan
Keterampilan Kolaborasi dan Komunikasi
Melalui pendekatan yang mendorong
diskusi kelompok, proyek kolaboratif, dan presentasi, siswa belajar untuk
menyampaikan ide dengan jelas, mendengarkan pendapat orang lain, dan mencapai
kesepakatan bersama.⁶ Johnson dan Johnson menegaskan bahwa kolaborasi yang
efektif tidak hanya membangun keterampilan sosial, tetapi juga memperdalam
pemahaman konseptual.⁷
5.3. Meningkatkan
Motivasi dan Keterlibatan Siswa
Suasana belajar yang menekankan meaningful learning dan joyful learning dapat meningkatkan motivasi intrinsik
siswa.⁸ Ketika siswa melihat keterkaitan langsung antara materi pelajaran dan
kehidupan mereka, mereka cenderung lebih terlibat secara emosional dan
kognitif.⁹ Deci dan Ryan melalui teori Self-Determination menunjukkan
bahwa motivasi akan meningkat jika pembelajaran memenuhi kebutuhan akan
otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial.¹⁰
5.4. Pembentukan
Pemahaman Konsep yang Kokoh dan Transfer Pengetahuan
Pendekatan deep learning memungkinkan siswa membangun kerangka
pengetahuan yang saling terhubung, sehingga memudahkan mereka menerapkan konsep
pada situasi baru.¹¹ Hal ini sejalan dengan gagasan Perkins dan Salomon
mengenai transfer—kemampuan untuk memanfaatkan pembelajaran dalam
konteks yang berbeda dari situasi awal.¹²
5.5.
Pengembangan Sikap
Belajar Sepanjang Hayat (Lifelong Learning)
Dengan membiasakan siswa berpikir
kritis, merefleksikan pembelajaran, dan mencari keterkaitan antara pengetahuan
dan pengalaman, deep learning membentuk pola pikir pembelajar sepanjang
hayat.¹³ Candy menyatakan bahwa lifelong learning adalah kompetensi
esensial bagi warga negara dalam masyarakat berbasis pengetahuan.¹⁴
Secara keseluruhan, deep learning
memberikan manfaat yang luas: meningkatkan kualitas hasil belajar,
mengembangkan keterampilan abad ke-21, dan membekali siswa dengan kemampuan
untuk beradaptasi di tengah perubahan yang cepat.¹⁵ Dampak ini menjadikan deep
learning sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang relevan dan
berkelanjutan dalam sistem pendidikan modern.
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
33–35.
[2]
Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative
Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of
Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.
[3]
Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An
Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press,
2014), 11–12.
[4]
Richard Paul and Linda Elder, The Miniature Guide
to Critical Thinking Concepts and Tools, 7th ed. (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2014), 8–10.
[5]
Benjamin S. Bloom et al., Taxonomy of Educational
Objectives: The Classification of Educational Goals (New York: Longman,
1956), 201–203.
[6]
Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language
to Think Together (London: Routledge, 2000), 82–84.
[7]
David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation
and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company,
1989), 66–68.
[8]
Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA:
Addison-Wesley, 1997), 22–24.
[9]
Barbara L. Fredrickson, “The Role of Positive Emotions
in Positive Psychology: The Broaden-and-Build Theory of Positive Emotions,” American
Psychologist 56, no. 3 (2001): 219–221.
[10]
Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic
Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum
Press, 1985), 43–45.
[11]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127–128.
[12]
David Perkins and Gavriel Salomon, “Teaching for
Transfer,” Educational Leadership 46, no. 1 (1988): 22–32.
[13]
Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and
Professional Development: Theory and Practice (London: RoutledgeFalmer,
1999), 85–86.
[14]
Philip C. Candy, Self-Direction for Lifelong
Learning: A Comprehensive Guide to Theory and Practice (San Francisco:
Jossey-Bass, 1991), 1–3.
[15]
Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and
Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future
(New York: Teachers College Press, 2010), 45–46.
6.
Tantangan dan Solusi
Implementasi
Meskipun deep learning menawarkan berbagai manfaat, penerapannya
di lapangan tidak lepas dari sejumlah tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan
faktor struktural, pedagogis, dan kultural dalam sistem pendidikan.¹ Agar deep
learning dapat diimplementasikan secara optimal, guru dan lembaga
pendidikan perlu memahami hambatan yang mungkin muncul serta merumuskan solusi
strategis.²
6.1. Kendala
Waktu dan Tuntutan Kurikulum
Salah satu hambatan utama adalah
keterbatasan waktu pembelajaran di kelas yang seringkali padat dengan target
kurikulum.³ Deep learning memerlukan proses eksplorasi, diskusi, dan
refleksi yang memakan waktu lebih lama dibanding metode ceramah tradisional.⁴
Solusi: Guru dapat
mengintegrasikan deep learning secara bertahap dengan memanfaatkan
strategi blended learning dan flipped classroom, yang
memungkinkan sebagian pembelajaran dilakukan di luar kelas sehingga waktu tatap
muka lebih fokus pada eksplorasi mendalam.⁵
6.2.
Kesiapan dan
Kompetensi Guru
Tidak semua guru memiliki pemahaman
mendalam tentang konsep deep learning dan keterampilan untuk merancang
pembelajaran yang sesuai.⁶ Tanpa pelatihan dan dukungan yang memadai, guru
mungkin cenderung kembali menggunakan metode konvensional yang lebih cepat
tetapi kurang bermakna.⁷
Solusi: Menyelenggarakan program
pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional
development/CPD) yang berfokus pada desain pembelajaran berbasis deep
learning, termasuk pelatihan pembuatan media kontekstual, penilaian
autentik, dan fasilitasi diskusi kritis.⁸
6.3.
Ketersediaan Sarana
dan Sumber Belajar
Implementasi deep learning
seringkali memerlukan akses ke sumber belajar yang bervariasi, seperti
perangkat teknologi, literatur, dan media pembelajaran interaktif.⁹ Di sekolah
dengan keterbatasan fasilitas, guru menghadapi kesulitan untuk menyediakan
pengalaman belajar yang kaya.¹⁰
Solusi: Optimalisasi sumber daya
lokal dan kolaborasi dengan pihak eksternal seperti perpustakaan, universitas,
LSM, atau platform pembelajaran daring untuk memperluas akses sumber belajar.¹¹
6.4. Perbedaan
Karakteristik dan Motivasi Siswa
Siswa memiliki latar belakang, gaya
belajar, dan tingkat motivasi yang berbeda-beda.¹² Tanpa strategi diferensiasi,
beberapa siswa mungkin kesulitan mengikuti proses deep learning yang
menuntut kemandirian dan keterlibatan aktif.¹³
Solusi: Menggunakan prinsip differentiated
instruction untuk menyesuaikan materi, metode, dan tingkat tantangan sesuai
kemampuan dan minat siswa.¹⁴ Guru juga dapat memanfaatkan formative
assessment untuk memantau kemajuan dan kebutuhan individual.¹⁵
6.5. Budaya
Sekolah dan Dukungan Manajemen
Budaya sekolah yang terlalu menekankan
pencapaian nilai ujian dapat menghambat penerapan deep learning yang
lebih fokus pada proses dan pemahaman.¹⁶ Tanpa dukungan kepala sekolah dan
manajemen, guru mungkin tidak memiliki ruang inovasi yang cukup.¹⁷
Solusi: Mengembangkan kebijakan
sekolah yang mendorong pembelajaran berorientasi proses, memberikan penghargaan
terhadap inovasi pembelajaran, dan memastikan sinergi antara guru, siswa, dan
pihak manajemen.¹⁸
Dengan mengidentifikasi tantangan dan menyediakan solusi konkret,
penerapan deep learning dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan
berkelanjutan. Perubahan ini memerlukan kolaborasi antara guru, sekolah, orang
tua, dan pembuat kebijakan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif
bagi pembelajaran mendalam.¹⁹
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
37–39.
[2]
Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and
Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future
(New York: Teachers College Press, 2010), 54–55.
[3]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 182–183.
[4]
David Perkins, Making Learning Whole: How Seven
Principles of Teaching Can Transform Education (San Francisco: Jossey-Bass,
2009), 89–90.
[5]
Jonathan Bergmann and Aaron Sams, Flip Your
Classroom: Reach Every Student in Every Class Every Day (Eugene, OR: ISTE,
2012), 45–47.
[6]
Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An
Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press,
2014), 19.
[7]
Robert Marzano, The New Art and Science of Teaching
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2017), 13–14.
[8]
Thomas R. Guskey, Evaluating Professional
Development (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2000), 23–25.
[9]
Robert Heinich et al., Instructional Media and
Technologies for Learning, 10th ed. (Boston: Pearson, 2014), 43–45.
[10]
Barbara Means et al., Learning Online: What
Research Tells Us About Whether, When and How (New York: Routledge, 2014),
77–78.
[11]
Stephen Downes, “E-Learning 2.0,” eLearn Magazine
2005, no. 10 (October 2005): 1–7.
[12]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 213–215.
[13]
Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate
Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD,
2001), 10–12.
[14]
Tomlinson, How to Differentiate Instruction,
14–15.
[15]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment,
2nd ed. (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 28–30.
[16]
Linda McNeil, Contradictions of School Reform:
Educational Costs of Standardized Testing (New York: Routledge, 2000),
112–113.
[17]
Michael Fullan, The New Meaning of Educational
Change, 5th ed. (New York: Teachers College Press, 2016), 65–66.
[18]
Andy Hargreaves and Dennis Shirley, The Fourth Way:
The Inspiring Future for Educational Change (Thousand Oaks, CA: Corwin
Press, 2009), 48–49.
[19]
Darling-Hammond, The Flat World and Education,
59.
7.
Studi Kasus / Contoh
Penerapan
Untuk memahami penerapan deep
learning secara konkret, berikut disajikan beberapa studi kasus pada
berbagai mata pelajaran di tingkat sekolah menengah. Studi kasus ini
memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip deep learning dapat
diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari sehingga menghasilkan
pemahaman mendalam dan keterampilan abad ke-21.¹
7.1.
Penerapan pada Mata
Pelajaran Sains
Di sebuah SMA di Yogyakarta, guru
fisika menerapkan deep learning melalui model Problem-Based Learning
(PBL) pada topik hukum Newton.² Siswa diberikan studi kasus kecelakaan lalu
lintas dan diminta menganalisis faktor gaya, percepatan, dan massa yang
terlibat, serta membuat simulasi menggunakan perangkat lunak PhET.³ Proses ini
melibatkan tahap eksplorasi, diskusi kelompok, dan refleksi, yang terbukti
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.⁴ Penelitian Retnawati dkk.
menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual berbasis masalah dapat meningkatkan higher-order
thinking skills dalam pembelajaran sains.⁵
7.2.
Penerapan pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia
Guru bahasa Indonesia di sebuah
madrasah aliyah di Tasikmalaya menggunakan Project-Based Learning (PjBL)
untuk mengajarkan teks eksposisi. Siswa ditugaskan membuat majalah digital
bertema “Lingkungan dan Gaya Hidup Berkelanjutan” yang memuat artikel,
wawancara, dan infografis hasil penelitian lapangan.⁶ Kegiatan ini
mengintegrasikan keterampilan literasi, kolaborasi, dan komunikasi, sesuai
dengan temuan Thomas bahwa PjBL mendorong keterlibatan siswa dan menghasilkan
produk yang bermakna bagi masyarakat sekitar.⁷
7.3.
Penerapan pada Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Di MA Plus Al-Aqsha, guru PAI
mengimplementasikan deep learning dengan memanfaatkan mindful learning dalam kajian hadis. Siswa mempelajari hadis tentang kejujuran
melalui studi kontekstual, kemudian mendiskusikan relevansinya dalam kehidupan
sehari-hari, termasuk di dunia digital.⁸ Diskusi dilanjutkan dengan proyek
video kampanye kejujuran yang diunggah di media sosial sekolah. Metode ini
sesuai dengan temuan Langer bahwa mindful learning meningkatkan
kesadaran siswa terhadap nilai-nilai moral dan aplikasinya dalam berbagai
situasi.⁹
7.4.
Penerapan pada Mata
Pelajaran Sejarah
Guru sejarah di Bandung menerapkan deep
learning dengan metode flipped classroom pada topik “Pergerakan
Nasional Indonesia”. Siswa mempelajari materi melalui video pembelajaran di
rumah, kemudian menggunakan waktu di kelas untuk analisis dokumen sejarah,
debat kelompok, dan penulisan esai argumentatif.¹⁰ Studi Bishop dan Verleger menunjukkan
bahwa model flipped classroom meningkatkan keterlibatan aktif siswa dan
memperdalam pemahaman konseptual.¹¹
Analisis Umum dari Studi Kasus
Keempat studi kasus tersebut
menunjukkan bahwa deep learning dapat diadaptasi pada berbagai mata
pelajaran dan konteks sekolah. Kunci keberhasilan terletak pada pemilihan
strategi pembelajaran yang tepat, penyediaan masalah atau proyek yang relevan,
serta penilaian autentik yang mengukur proses dan hasil belajar.¹² Dengan
demikian, deep learning dapat menjadi pendekatan transformatif yang
mengubah cara siswa belajar dan berinteraksi dengan pengetahuan.
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
41–42.
[2]
Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied
to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press,
1980), 15–16.
[3]
University of Colorado Boulder, “PhET Interactive
Simulations,” accessed August 15, 2025, https://phet.colorado.edu.
[4]
Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An
Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press,
2014), 33.
[5]
Heri Retnawati et al., “The Roles of Teachers in
Improving Students’ Higher Order Thinking Skills,” International Journal of
Instruction 11, no. 2 (2018): 253–268.
[6]
Barbara J. Duch, Susan E. Groh, and Deborah E. Allen,
eds., The Power of Problem-Based Learning (Sterling, VA: Stylus, 2001),
28–29.
[7]
John W. Thomas, A Review of Research on
Project-Based Learning (San Rafael, CA: Autodesk Foundation, 2000), 14–15.
[8]
Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA:
Addison-Wesley, 1997), 26–28.
[9]
Ibid., 35–36.
[10]
Jacob L. Bishop and Matthew A. Verleger, “The Flipped
Classroom: A Survey of the Research,” in ASEE National Conference
Proceedings (Atlanta, GA: ASEE, 2013), 1–18.
[11]
Ibid., 9–10.
[12]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 209–210.
8.
Penutup
Pendekatan deep learning dalam
pembelajaran menawarkan paradigma baru yang menekankan pada pemahaman
konseptual yang mendalam, keterkaitan pengetahuan dengan pengalaman nyata,
serta pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.¹ Dibandingkan dengan surface
learning, yang hanya berfokus pada hafalan fakta, deep learning
mengajak siswa untuk mengonstruksi pengetahuan secara aktif, merefleksikan
proses belajar, dan mengaplikasikannya dalam konteks beragam.²
Kajian ini telah menguraikan konsep dan
prinsip dasar deep learning, langkah-langkah implementasi yang
sistematis, strategi pembelajaran pendukung, manfaat yang dihasilkan, tantangan
yang dihadapi, serta contoh penerapan nyata di kelas.³ Hasil telaah menunjukkan
bahwa deep learning tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga
membentuk kompetensi abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi,
komunikasi, dan kreativitas.⁴
Keberhasilan penerapan deep learning
sangat bergantung pada kesiapan guru, dukungan manajemen sekolah, ketersediaan
sarana, serta kemauan untuk mengintegrasikan pembelajaran berbasis masalah,
proyek, dan refleksi.⁵ Hal ini sejalan dengan pandangan Darling-Hammond bahwa
kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan
lingkungan belajar yang kondusif.⁶
Oleh karena itu, direkomendasikan agar sekolah dan pembuat kebijakan:
1)
Mendorong pelatihan
berkelanjutan bagi guru terkait desain dan implementasi deep learning.
2)
Menyediakan sarana dan sumber belajar yang
memadai untuk mendukung pembelajaran yang kontekstual dan kolaboratif.
3)
Menciptakan budaya sekolah yang menekankan
proses dan pemahaman, bukan sekadar pencapaian nilai ujian.
4)
Memanfaatkan teknologi secara optimal untuk
memperluas akses sumber belajar dan peluang eksplorasi siswa.
Jika diterapkan secara konsisten, deep learning memiliki potensi
besar untuk mentransformasi pendidikan, mempersiapkan siswa menjadi pembelajar
sepanjang hayat (lifelong learners), dan membekali mereka dengan
keterampilan yang relevan untuk menghadapi tantangan dunia yang terus berubah.⁷
Catatan Kaki
[1]
John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality
Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011),
41–43.
[2]
Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative
Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of
Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.
[3]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 203–205.
[4]
Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An
Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press,
2014), 9–10.
[5]
Robert Marzano, The New Art and Science of Teaching
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2017), 13–14.
[6]
Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and
Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future
(New York: Teachers College Press, 2010), 46–48.
[7]
Philip C. Candy, Self-Direction for Lifelong
Learning: A Comprehensive Guide to Theory and Practice (San Francisco:
Jossey-Bass, 1991), 3–5.
Daftar Pustaka
Ausubel, D. P. (1968). Educational
psychology: A cognitive view. Holt, Rinehart & Winston.
Barrows, H. S. (1980). Problem-based
learning applied to medical education. Southern Illinois University Press.
Bergmann, J., & Sams, A. (2012). Flip
your classroom: Reach every student in every class every day. International
Society for Technology in Education.
Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching
for quality learning at university (4th ed.). Open University Press.
Bishop, J. L., & Verleger, M. A.
(2013). The flipped classroom: A survey of the research. In ASEE National
Conference Proceedings (pp. 1–18). ASEE.
Bloom, B. S., Engelhart, M. D.,
Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R. (1956). Taxonomy of
educational objectives: The classification of educational goals. Longman.
Brown, H. D. (2014). Principles of
language learning and teaching (6th ed.). Pearson Education.
Candy, P. C. (1991). Self-direction
for lifelong learning: A comprehensive guide to theory and practice.
Jossey-Bass.
Darling-Hammond, L., & Adamson,
F. (2014). Beyond the bubble test: How performance assessments support 21st
century learning. Jossey-Bass.
Darling-Hammond, L., et al. (2010). The
flat world and education: How America’s commitment to equity will determine our
future. Teachers College Press.
Deci, E. L., & Ryan, R. M.
(1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior.
Plenum Press.
Downes, S. (2005, October).
E-learning 2.0. eLearn Magazine, (10), 1–7.
Duch, B. J., Groh, S. E., &
Allen, D. E. (Eds.). (2001). The power of problem-based learning.
Stylus.
Dweck, C. S. (2006). Mindset: The
new psychology of success. Random House.
Fredrickson, B. L. (2001). The role
of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of
positive emotions. American Psychologist, 56(3), 218–226. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218
Fullan, M. (2016). The new meaning
of educational change (5th ed.). Teachers College Press.
Gardner, H. (1983). Frames of
mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.
Guskey, T. R. (2000). Evaluating
professional development. Corwin Press.
Halpern, D. F. (2014). Thought and
knowledge: An introduction to critical thinking (5th ed.). Psychology
Press.
Hargreaves, A., & Shirley, D.
(2009). The fourth way: The inspiring future for educational change.
Corwin Press.
Heinich, R., Molenda, M., Russell, J.
D., & Smaldino, S. E. (2014). Instructional media and technologies for
learning (10th ed.). Pearson.
Johnson, D. W., & Johnson, R. T.
(1989). Cooperation and competition: Theory and research. Interaction Book Company.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia. (2022). Kurikulum Merdeka: Panduan implementasi untuk satuan
pendidikan. Kemendikbudristek.
Langer, E. J. (1997). Mindful learning. Addison-Wesley.
Markham, T., Larmer, J., &
Ravitz, J. (2003). Project based learning handbook. Buck Institute for
Education.
Marton, F., & Säljö, R. (1976).
On qualitative differences in learning: I—Outcome and process. British
Journal of Educational Psychology, 46(1), 4–11. https://doi.org/10.1111/j.2044-8279.1976.tb02980.x
Marzano, R. J. (2017). The new art
and science of teaching. Solution Tree Press.
Mayer, R. E. (2009). Multimedia
learning (2nd ed.). Cambridge University Press.
McNeil, L. (2000). Contradictions
of school reform: Educational costs of standardized testing. Routledge.
Means, B., Bakia, M., & Murphy,
R. (2014). Learning online: What research tells us about whether, when and
how. Routledge.
Mercer, N. (2000). Words and
minds: How we use language to think together. Routledge.
Moon, J. A. (1999). Reflection in
learning and professional development: Theory and practice.
RoutledgeFalmer.
Paul, R., & Elder, L. (2014). The
miniature guide to critical thinking concepts and tools (7th ed.). Rowman
& Littlefield.
Perkins, D. (2009). Making
learning whole: How seven principles of teaching can transform education.
Jossey-Bass.
Perkins, D., & Salomon, G.
(1988). Teaching for transfer. Educational Leadership, 46(1), 22–32.
Piaget, J. (1954). The
construction of reality in the child. Basic Books.
Retnawati, H., Djidu, H., Kartianom,
Apino, E., & Anazifa, R. D. (2018). The roles of teachers in improving
students’ higher order thinking skills. International Journal of Instruction,
11(2), 253–268. https://doi.org/10.12973/iji.2018.11217a
Rogers, C. R. (1969). Freedom to
learn. Merrill.
Schön, D. A. (1983). The
reflective practitioner: How professionals think in action. Basic Books.
Thomas, J. W. (2000). A review of
research on project-based learning. Autodesk Foundation.
Tomlinson, C. A. (2001). How to
differentiate instruction in mixed-ability classrooms (2nd ed.). ASCD.
University of Colorado Boulder.
(n.d.). PhET interactive simulations. https://phet.colorado.edu
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in
society: The development of higher psychological processes. Harvard
University Press.
Wiggins, G. (1998). Educative
assessment: Designing assessments to inform and improve student performance.
Jossey-Bass.
Wiggins, G., & McTighe, J.
(2005). Understanding by design (2nd ed.). ASCD.
Wiliam, D. (2018). Embedded
formative assessment (2nd ed.). Solution Tree Press.
Wormeli, R. (2006). Fair isn’t
always equal: Assessing and grading in the differentiated classroom.
Stenhouse.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar