Jumat, 15 Agustus 2025

Pendekatan Deep Learning: Strategi, Implementasi, dan Dampaknya pada Pemahaman Mendalam Siswa

Pendekatan Deep Learning

Strategi, Implementasi, dan Dampaknya pada Pemahaman Mendalam Siswa


Alihkan ke: Deep Learning dalam Teknologi, Deep Learning dalam Pendidikan, Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka, Philosophy for Children (P4C).


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep, strategi, implementasi, dan dampak dari pendekatan deep learning dalam pembelajaran, dengan fokus pada peningkatan pemahaman mendalam siswa. Pendekatan ini menekankan keterlibatan aktif siswa, keterhubungan pengetahuan dengan pengalaman nyata, dan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pembahasan dimulai dengan landasan teoritis yang mencakup prinsip mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning, serta keterkaitannya dengan teori konstruktivisme, humanisme, dan pembelajaran berbasis masalah. Selanjutnya, dipaparkan langkah-langkah implementasi yang sistematis, strategi pembelajaran pendukung, serta analisis manfaat seperti peningkatan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, motivasi, dan transfer pengetahuan. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan dalam penerapan deep learning—termasuk kendala waktu, kesiapan guru, dan ketersediaan sumber belajar—serta menawarkan solusi praktis. Studi kasus dari berbagai mata pelajaran disajikan untuk memberikan ilustrasi penerapan nyata di lapangan. Kesimpulannya, deep learning memiliki potensi transformatif dalam pendidikan modern, membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21 dan membentuk pembelajar sepanjang hayat.

Kata Kunci: deep learning, pembelajaran bermakna, keterampilan abad ke-21, pembelajaran kontekstual, strategi pembelajaran, konstruktivisme.


PEMBAHASAN

Pendekatan Pembelajaran Deep Learning


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Pendidikan abad ke-21 menuntut peserta didik untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.¹ Model pembelajaran tradisional yang berfokus pada hafalan (rote learning) dinilai tidak lagi memadai untuk menghadapi tantangan kompleks dunia modern.² Dalam konteks ini, deep learning menjadi salah satu pendekatan pembelajaran yang relevan karena menekankan pada pemahaman konseptual yang mendalam, keterkaitan pengetahuan dengan pengalaman nyata, serta pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.³

Pendekatan deep learning tidak hanya berfokus pada penguasaan informasi, tetapi juga pada pembentukan pemahaman bermakna (meaningful learning) yang memungkinkan siswa mengintegrasikan konsep baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.⁴ Selain itu, pembelajaran ini mengedepankan mindful learning (kesadaran penuh dalam proses belajar) dan joyful learning (kesenangan dalam belajar) untuk menciptakan pengalaman belajar yang holistik.⁵

Transformasi pendidikan menuju pendekatan ini juga sejalan dengan tuntutan kurikulum nasional yang mengarahkan proses pembelajaran agar berpusat pada siswa (student-centered learning) dan mengembangkan kompetensi abad 21.⁶ Dengan demikian, implementasi deep learning menjadi strategi yang strategis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini dirancang untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok:

1)                  Bagaimana konsep dan prinsip deep learning dalam pembelajaran?

2)                  Bagaimana langkah-langkah implementasi deep learning yang efektif di kelas?

3)                  Apa saja dampak positif penerapan deep learning terhadap pemahaman mendalam siswa?

1.3.       Tujuan Kajian

Artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Mendeskripsikan konsep dan prinsip-prinsip utama dalam pendekatan deep learning.

2)                  Menjelaskan strategi dan langkah-langkah implementasi deep learning di kelas.

3)                  Menganalisis dampak penerapan deep learning terhadap peningkatan pemahaman konseptual siswa.

1.4.       Manfaat Kajian

Kajian ini diharapkan memberi manfaat:

·                     Secara teoritis, memperkaya kajian literatur dalam bidang teori belajar dan strategi pembelajaran.

·                     Secara praktis, memberikan panduan bagi guru dalam merancang pembelajaran berbasis deep learning untuk meningkatkan mutu pendidikan.


Catatan Kaki

[1]                Tony Wagner, The Global Achievement Gap: Why Even Our Best Schools Don't Teach the New Survival Skills Our Children Need—and What We Can Do About It (New York: Basic Books, 2014), 27–30.

[2]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 23.

[3]                Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.

[4]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.

[5]                Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 54–55.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Kurikulum Merdeka: Panduan Implementasi untuk Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 15–17.


2.           Landasan Teori dan Konsep

2.1.       Definisi Deep Learning dalam Pembelajaran

Dalam konteks pendidikan, deep learning merujuk pada suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam dan bermakna, berbeda dari surface learning yang cenderung hanya menghafal fakta tanpa memahami konsep inti.¹ Pendekatan ini melibatkan keterlibatan aktif siswa dalam mengonstruksi makna, mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya, serta mengaplikasikannya dalam situasi nyata.² Marton dan Säljö menegaskan bahwa deep learning ditandai oleh keinginan untuk memahami secara menyeluruh, keterhubungan ide, dan kemampuan transfer pengetahuan ke konteks baru.³

2.2.       Prinsip-Prinsip Dasar Deep Learning

Pendekatan deep learning dalam pembelajaran berlandaskan pada tiga prinsip inti yang saling melengkapi:

1)                  Mindful Learning

Pembelajaran yang dilakukan dengan kesadaran penuh (awareness), di mana siswa memahami tujuan, proses, dan relevansi dari materi yang dipelajari.⁴ Kesadaran ini membantu siswa mengelola fokus, motivasi, dan strategi belajar secara optimal.

2)                  Meaningful Learning

Konsep yang diperkenalkan Ausubel, yang menekankan pentingnya mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang sudah ada agar pembelajaran menjadi lebih tahan lama dan aplikatif.⁵

3)                  Joyful Learning

Suasana belajar yang menyenangkan, yang memicu keterlibatan emosional positif sehingga siswa lebih termotivasi untuk mengeksplorasi dan memahami materi secara mendalam.⁶

Ketiga prinsip ini membentuk landasan psikologis dan pedagogis dari deep learning yang efektif.

2.3.       Keterkaitan dengan Teori Belajar

Pendekatan deep learning memiliki keterkaitan erat dengan beberapa teori belajar yang sudah mapan:

·                     Konstruktivisme

Menurut Piaget, pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif antara individu dengan lingkungannya.⁷ Dalam konteks deep learning, siswa berperan sebagai pembangun pengetahuan, bukan sekadar penerima informasi.

·                     Humanisme

Diperkenalkan oleh tokoh seperti Carl Rogers, teori ini menekankan pentingnya aktualisasi diri, motivasi intrinsik, dan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan personal.⁸ Deep learning sejalan dengan prinsip ini karena memandang siswa sebagai individu yang unik dengan potensi berkembang.

·                     Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL)

Model ini memberikan masalah autentik sebagai pemicu proses belajar, mendorong keterampilan pemecahan masalah dan pemikiran kritis.⁹ Deep learning mengadopsi pendekatan serupa, di mana keterlibatan pada permasalahan nyata menjadi sarana membangun pemahaman mendalam.


Dengan memahami landasan teori dan konsep ini, guru dapat merancang pembelajaran yang tidak hanya menekankan capaian akademik, tetapi juga pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan belajar sepanjang hayat. Pendekatan deep learning menjadi relevan karena mampu menjawab tuntutan pendidikan modern yang mengharuskan siswa menjadi pembelajar mandiri, adaptif, dan kreatif.


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 22–25.

[2]                David Perkins and Gavriel Salomon, “Teaching for Transfer,” Educational Leadership 46, no. 1 (1988): 22–32.

[3]                Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.

[4]                Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA: Addison-Wesley, 1997), 12–15.

[5]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.

[6]                Barbara L. Fredrickson, “The Role of Positive Emotions in Positive Psychology: The Broaden-and-Build Theory of Positive Emotions,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 218–226.

[7]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 7–9.

[8]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill, 1969), 105–110.

[9]                Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press, 1980), 3–5.


3.           Langkah-Langkah Implementasi Deep Learning

Penerapan deep learning dalam pembelajaran memerlukan perencanaan yang sistematis dan berfokus pada keterlibatan aktif peserta didik. Menurut Biggs dan Tang, pembelajaran mendalam hanya dapat dicapai jika prosesnya dirancang untuk mendorong keterhubungan ide, keterlibatan kognitif, dan refleksi kritis.¹ Dalam konteks ini, terdapat delapan langkah strategis yang dapat diimplementasikan guru untuk menciptakan pembelajaran bermakna.

3.1.       Memulai dengan Pemicu Kontekstual

Pembelajaran dimulai dengan menghadirkan masalah atau situasi yang relevan dengan kehidupan nyata siswa.² Pemicu ini dapat berupa studi kasus, berita terkini, fenomena sosial, atau eksperimen sederhana yang menantang rasa ingin tahu. Strategi ini sejalan dengan teori konstruktivisme yang menekankan pentingnya mengaitkan materi dengan pengalaman nyata.³

3.2.       Eksplorasi dan Kolaborasi

Guru memfasilitasi kegiatan eksplorasi melalui diskusi kelompok, penelitian kecil, atau simulasi. Siswa didorong untuk berbagi ide, mengajukan pertanyaan, dan mencari informasi bersama. Kolaborasi ini meningkatkan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, dan pemikiran kritis.⁴ Menurut Johnson dan Johnson, pembelajaran kolaboratif yang efektif melibatkan saling ketergantungan positif dan akuntabilitas individu.⁵

3.3.       Membangun Pemahaman Konsep

Tahap ini menekankan pada keterlibatan aktif siswa dalam menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep yang telah dimiliki. Ausubel menegaskan bahwa pembelajaran akan lebih bermakna jika informasi baru diintegrasikan ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.⁶ Guru dapat menggunakan peta konsep, analogi, atau pertanyaan pemantik untuk membantu siswa membangun kerangka berpikir yang solid.

3.4.       Demonstrasi dan Aplikasi

Siswa mempraktikkan keterampilan dan menerapkan konsep dalam situasi nyata atau simulasi. Proses ini memperkuat pemahaman dan mengasah kemampuan transfer pengetahuan.⁷ Misalnya, dalam pembelajaran sains, siswa dapat melakukan eksperimen laboratorium; dalam bahasa, mereka dapat membuat proyek publikasi atau presentasi.

3.5.       Penjelasan dan Diskusi

Siswa diminta untuk menjelaskan kembali konsep yang telah dipelajari, baik secara lisan maupun tertulis. Diskusi kelas digunakan untuk mengklarifikasi pemahaman, meluruskan miskonsepsi, dan memperluas perspektif.⁸ Kegiatan ini mencerminkan prinsip learning by teaching, di mana mengajarkan orang lain dapat meningkatkan pemahaman diri.⁹

3.6.       Refleksi

Refleksi menjadi kunci dalam deep learning karena membantu siswa menilai proses belajar mereka sendiri, mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, dan strategi perbaikan.¹⁰ Menurut Schön, refleksi dapat dilakukan selama proses (reflection-in-action) maupun setelah kegiatan selesai (reflection-on-action).¹¹

3.7.       Penilaian Otentik

Penilaian dalam deep learning tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga proses berpikir, argumentasi, dan kemampuan pengambilan keputusan siswa.¹² Penilaian otentik mencakup portofolio, proyek, studi kasus, dan presentasi, yang mencerminkan kemampuan nyata siswa di dunia nyata.¹³

3.8.       Fleksibilitas dan Personalisasi

Guru perlu menyesuaikan strategi pembelajaran dengan karakteristik, gaya belajar, dan minat siswa.¹⁴ Pendekatan ini sejalan dengan prinsip differentiated instruction yang memandang keberagaman sebagai potensi, bukan hambatan.¹⁵ Personalisasi memungkinkan siswa belajar dengan cara yang paling efektif bagi mereka, sehingga meningkatkan motivasi dan keterlibatan.


Dengan mengintegrasikan kedelapan langkah ini, proses pembelajaran akan lebih bermakna, menantang, dan relevan dengan kehidupan siswa. Deep learning tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga membentuk keterampilan abad ke-21 yang esensial, seperti berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 23–26.

[2]                Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 106.

[3]                Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 7–9.

[4]                Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language to Think Together (London: Routledge, 2000), 45.

[5]                David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 58–61.

[6]                David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127.

[7]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 87.

[8]                H. Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching, 6th ed. (White Plains, NY: Pearson Education, 2014), 224.

[9]                Jean-Pol Martin, “The Learning by Teaching Method in Germany,” Education 17, no. 2 (2002): 1–14.

[10]             Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and Professional Development: Theory and Practice (London: RoutledgeFalmer, 1999), 63.

[11]             Donald A. Schön, The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action (New York: Basic Books, 1983), 49–50.

[12]             Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 21.

[13]             Linda Darling-Hammond and Frank Adamson, Beyond the Bubble Test: How Performance Assessments Support 21st Century Learning (San Francisco: Jossey-Bass, 2014), 14–16.

[14]             Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 7–8.

[15]             Rick Wormeli, Fair Isn’t Always Equal: Assessing and Grading in the Differentiated Classroom (Portland, ME: Stenhouse, 2006), 42–44.


4.           Strategi dan Teknik Pembelajaran Pendukung

Penerapan deep learning akan lebih efektif jika didukung oleh strategi dan teknik pembelajaran yang mendorong keterlibatan aktif siswa, pemahaman mendalam, dan relevansi materi dengan kehidupan nyata.¹ Guru tidak hanya bertugas menyampaikan informasi, tetapi juga merancang pengalaman belajar yang memungkinkan siswa mengonstruksi makna, menguji ide, dan menerapkan pengetahuan secara kontekstual.² Beberapa strategi dan teknik yang dapat mendukung implementasi deep learning di antaranya sebagai berikut.

4.1.       Penggunaan Media Kontekstual

Media pembelajaran yang kontekstual, seperti video dokumenter, simulasi interaktif, peta konsep digital, atau studi kasus nyata, dapat meningkatkan keterhubungan antara materi pelajaran dengan dunia nyata siswa.³ Menurut Mayer, media yang dirancang dengan prinsip multimedia learning dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi secara signifikan.⁴ Pemilihan media harus mempertimbangkan relevansi, tingkat kesulitan, serta kesesuaian dengan tujuan pembelajaran.

4.2.       Diskusi Kelompok dan Kolaborasi Proyek

Kegiatan diskusi kelompok mendorong pertukaran ide, argumentasi, dan sintesis informasi, yang merupakan ciri utama deep learning.⁵ Selain itu, kolaborasi dalam proyek berbasis masalah atau produk akhir dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, manajemen waktu, dan tanggung jawab bersama.⁶ Johnson dan Johnson menekankan bahwa pembelajaran kolaboratif yang efektif memerlukan interdependensi positif, akuntabilitas individu, dan interaksi tatap muka yang intensif.⁷

4.3.       Problem-Based Learning (PBL) dan Project-Based Learning (PjBL)

PBL dan PjBL adalah dua pendekatan yang secara langsung mendukung deep learning. Dalam PBL, siswa belajar melalui penyelesaian masalah kompleks yang tidak memiliki jawaban tunggal, sehingga mendorong pemikiran kritis dan keterampilan analisis.⁸ Sementara itu, PjBL menekankan pada proses penciptaan produk atau karya yang relevan dengan kehidupan nyata, yang meningkatkan keterlibatan emosional dan motivasi intrinsik siswa.⁹ Kedua model ini memerlukan peran guru sebagai fasilitator dan pembimbing proses, bukan sekadar pemberi materi.¹⁰

4.4.       Penilaian Autentik dan Portofolio

Penilaian autentik menilai kemampuan siswa dalam konteks nyata, bukan hanya melalui tes tertulis.¹¹ Instrumen seperti portofolio, laporan proyek, presentasi, dan demonstrasi keterampilan memberikan gambaran menyeluruh tentang proses dan hasil belajar siswa.¹² Wiggins menegaskan bahwa penilaian autentik seharusnya mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.¹³

4.5.       Penyesuaian dengan Gaya Belajar Siswa

Tidak semua siswa belajar dengan cara yang sama; beberapa lebih responsif terhadap pembelajaran visual, auditorial, atau kinestetik.¹⁴ Guru dapat mengintegrasikan prinsip differentiated instruction dengan menyediakan variasi materi, tugas, dan aktivitas sesuai kebutuhan serta potensi masing-masing siswa.¹⁵ Penyesuaian ini meningkatkan keterlibatan dan mengoptimalkan pencapaian hasil belajar.


Strategi-strategi ini, jika diterapkan secara konsisten, akan memperkuat penerapan deep learning dan membantu siswa membangun pemahaman yang mendalam, relevan, dan tahan lama. Paduan antara media kontekstual, kolaborasi, pembelajaran berbasis masalah atau proyek, penilaian autentik, dan personalisasi pembelajaran merupakan kombinasi yang terbukti efektif dalam mengembangkan kompetensi abad ke-21.


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 29–31.

[2]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 86–88.

[3]                Robert Heinich et al., Instructional Media and Technologies for Learning, 10th ed. (Boston: Pearson, 2014), 43–45.

[4]                Richard E. Mayer, Multimedia Learning, 2nd ed. (New York: Cambridge University Press, 2009), 169–170.

[5]                Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language to Think Together (London: Routledge, 2000), 72–74.

[6]                Barbara J. Duch, Susan E. Groh, and Deborah E. Allen, eds., The Power of Problem-Based Learning (Sterling, VA: Stylus, 2001), 23–25.

[7]                David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 55–57.

[8]                Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press, 1980), 12–14.

[9]                John W. Thomas, A Review of Research on Project-Based Learning (San Rafael, CA: Autodesk Foundation, 2000), 8–9.

[10]             Markham, Thom, John Larmer, and Jason Ravitz, Project Based Learning Handbook (Novato, CA: Buck Institute for Education, 2003), 18–20.

[11]             Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 21–23.

[12]             Linda Darling-Hammond and Frank Adamson, Beyond the Bubble Test: How Performance Assessments Support 21st Century Learning (San Francisco: Jossey-Bass, 2014), 14–15.

[13]             Wiggins, Educative Assessment, 25.

[14]             Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 213–215.

[15]             Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 10–12.


5.           Dampak dan Manfaat Pendekatan Deep Learning

Penerapan deep learning dalam pembelajaran memberikan berbagai dampak positif yang tidak hanya dirasakan pada ranah akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan personal dan sosial siswa.¹ Dengan fokus pada pemahaman mendalam, pembelajaran ini membantu siswa menjadi pembelajar mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mengaitkan pengetahuan dengan konteks dunia nyata.²

5.1.       Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif

Salah satu dampak paling signifikan dari deep learning adalah penguatan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills).³ Siswa tidak hanya diminta mengingat informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan ide baru.⁴ Menurut Bloom, kemampuan berpikir tingkat tinggi ini merupakan puncak dari taksonomi tujuan pembelajaran kognitif yang sangat penting di abad ke-21.⁵

5.2.       Penguatan Keterampilan Kolaborasi dan Komunikasi

Melalui pendekatan yang mendorong diskusi kelompok, proyek kolaboratif, dan presentasi, siswa belajar untuk menyampaikan ide dengan jelas, mendengarkan pendapat orang lain, dan mencapai kesepakatan bersama.⁶ Johnson dan Johnson menegaskan bahwa kolaborasi yang efektif tidak hanya membangun keterampilan sosial, tetapi juga memperdalam pemahaman konseptual.⁷

5.3.       Meningkatkan Motivasi dan Keterlibatan Siswa

Suasana belajar yang menekankan meaningful learning dan joyful learning dapat meningkatkan motivasi intrinsik siswa.⁸ Ketika siswa melihat keterkaitan langsung antara materi pelajaran dan kehidupan mereka, mereka cenderung lebih terlibat secara emosional dan kognitif.⁹ Deci dan Ryan melalui teori Self-Determination menunjukkan bahwa motivasi akan meningkat jika pembelajaran memenuhi kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial.¹⁰

5.4.       Pembentukan Pemahaman Konsep yang Kokoh dan Transfer Pengetahuan

Pendekatan deep learning memungkinkan siswa membangun kerangka pengetahuan yang saling terhubung, sehingga memudahkan mereka menerapkan konsep pada situasi baru.¹¹ Hal ini sejalan dengan gagasan Perkins dan Salomon mengenai transfer—kemampuan untuk memanfaatkan pembelajaran dalam konteks yang berbeda dari situasi awal.¹²

5.5.       Pengembangan Sikap Belajar Sepanjang Hayat (Lifelong Learning)

Dengan membiasakan siswa berpikir kritis, merefleksikan pembelajaran, dan mencari keterkaitan antara pengetahuan dan pengalaman, deep learning membentuk pola pikir pembelajar sepanjang hayat.¹³ Candy menyatakan bahwa lifelong learning adalah kompetensi esensial bagi warga negara dalam masyarakat berbasis pengetahuan.¹⁴


Secara keseluruhan, deep learning memberikan manfaat yang luas: meningkatkan kualitas hasil belajar, mengembangkan keterampilan abad ke-21, dan membekali siswa dengan kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan yang cepat.¹⁵ Dampak ini menjadikan deep learning sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang relevan dan berkelanjutan dalam sistem pendidikan modern.


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 33–35.

[2]                Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.

[3]                Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press, 2014), 11–12.

[4]                Richard Paul and Linda Elder, The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools, 7th ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2014), 8–10.

[5]                Benjamin S. Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (New York: Longman, 1956), 201–203.

[6]                Neil Mercer, Words and Minds: How We Use Language to Think Together (London: Routledge, 2000), 82–84.

[7]                David W. Johnson and Roger T. Johnson, Cooperation and Competition: Theory and Research (Edina, MN: Interaction Book Company, 1989), 66–68.

[8]                Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA: Addison-Wesley, 1997), 22–24.

[9]                Barbara L. Fredrickson, “The Role of Positive Emotions in Positive Psychology: The Broaden-and-Build Theory of Positive Emotions,” American Psychologist 56, no. 3 (2001): 219–221.

[10]             Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985), 43–45.

[11]             David P. Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968), 127–128.

[12]             David Perkins and Gavriel Salomon, “Teaching for Transfer,” Educational Leadership 46, no. 1 (1988): 22–32.

[13]             Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and Professional Development: Theory and Practice (London: RoutledgeFalmer, 1999), 85–86.

[14]             Philip C. Candy, Self-Direction for Lifelong Learning: A Comprehensive Guide to Theory and Practice (San Francisco: Jossey-Bass, 1991), 1–3.

[15]             Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 45–46.


6.           Tantangan dan Solusi Implementasi

Meskipun deep learning menawarkan berbagai manfaat, penerapannya di lapangan tidak lepas dari sejumlah tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan faktor struktural, pedagogis, dan kultural dalam sistem pendidikan.¹ Agar deep learning dapat diimplementasikan secara optimal, guru dan lembaga pendidikan perlu memahami hambatan yang mungkin muncul serta merumuskan solusi strategis.²

6.1.       Kendala Waktu dan Tuntutan Kurikulum

Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan waktu pembelajaran di kelas yang seringkali padat dengan target kurikulum.³ Deep learning memerlukan proses eksplorasi, diskusi, dan refleksi yang memakan waktu lebih lama dibanding metode ceramah tradisional.⁴

Solusi: Guru dapat mengintegrasikan deep learning secara bertahap dengan memanfaatkan strategi blended learning dan flipped classroom, yang memungkinkan sebagian pembelajaran dilakukan di luar kelas sehingga waktu tatap muka lebih fokus pada eksplorasi mendalam.⁵

6.2.       Kesiapan dan Kompetensi Guru

Tidak semua guru memiliki pemahaman mendalam tentang konsep deep learning dan keterampilan untuk merancang pembelajaran yang sesuai.⁶ Tanpa pelatihan dan dukungan yang memadai, guru mungkin cenderung kembali menggunakan metode konvensional yang lebih cepat tetapi kurang bermakna.⁷

Solusi: Menyelenggarakan program pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional development/CPD) yang berfokus pada desain pembelajaran berbasis deep learning, termasuk pelatihan pembuatan media kontekstual, penilaian autentik, dan fasilitasi diskusi kritis.⁸

6.3.       Ketersediaan Sarana dan Sumber Belajar

Implementasi deep learning seringkali memerlukan akses ke sumber belajar yang bervariasi, seperti perangkat teknologi, literatur, dan media pembelajaran interaktif.⁹ Di sekolah dengan keterbatasan fasilitas, guru menghadapi kesulitan untuk menyediakan pengalaman belajar yang kaya.¹⁰

Solusi: Optimalisasi sumber daya lokal dan kolaborasi dengan pihak eksternal seperti perpustakaan, universitas, LSM, atau platform pembelajaran daring untuk memperluas akses sumber belajar.¹¹

6.4.       Perbedaan Karakteristik dan Motivasi Siswa

Siswa memiliki latar belakang, gaya belajar, dan tingkat motivasi yang berbeda-beda.¹² Tanpa strategi diferensiasi, beberapa siswa mungkin kesulitan mengikuti proses deep learning yang menuntut kemandirian dan keterlibatan aktif.¹³

Solusi: Menggunakan prinsip differentiated instruction untuk menyesuaikan materi, metode, dan tingkat tantangan sesuai kemampuan dan minat siswa.¹⁴ Guru juga dapat memanfaatkan formative assessment untuk memantau kemajuan dan kebutuhan individual.¹⁵

6.5.       Budaya Sekolah dan Dukungan Manajemen

Budaya sekolah yang terlalu menekankan pencapaian nilai ujian dapat menghambat penerapan deep learning yang lebih fokus pada proses dan pemahaman.¹⁶ Tanpa dukungan kepala sekolah dan manajemen, guru mungkin tidak memiliki ruang inovasi yang cukup.¹⁷

Solusi: Mengembangkan kebijakan sekolah yang mendorong pembelajaran berorientasi proses, memberikan penghargaan terhadap inovasi pembelajaran, dan memastikan sinergi antara guru, siswa, dan pihak manajemen.¹⁸


Dengan mengidentifikasi tantangan dan menyediakan solusi konkret, penerapan deep learning dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan berkelanjutan. Perubahan ini memerlukan kolaborasi antara guru, sekolah, orang tua, dan pembuat kebijakan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif bagi pembelajaran mendalam.¹⁹


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 37–39.

[2]                Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 54–55.

[3]                Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 182–183.

[4]                David Perkins, Making Learning Whole: How Seven Principles of Teaching Can Transform Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 89–90.

[5]                Jonathan Bergmann and Aaron Sams, Flip Your Classroom: Reach Every Student in Every Class Every Day (Eugene, OR: ISTE, 2012), 45–47.

[6]                Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press, 2014), 19.

[7]                Robert Marzano, The New Art and Science of Teaching (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2017), 13–14.

[8]                Thomas R. Guskey, Evaluating Professional Development (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2000), 23–25.

[9]                Robert Heinich et al., Instructional Media and Technologies for Learning, 10th ed. (Boston: Pearson, 2014), 43–45.

[10]             Barbara Means et al., Learning Online: What Research Tells Us About Whether, When and How (New York: Routledge, 2014), 77–78.

[11]             Stephen Downes, “E-Learning 2.0,” eLearn Magazine 2005, no. 10 (October 2005): 1–7.

[12]             Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 213–215.

[13]             Carol Ann Tomlinson, How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2001), 10–12.

[14]             Tomlinson, How to Differentiate Instruction, 14–15.

[15]             Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed. (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2018), 28–30.

[16]             Linda McNeil, Contradictions of School Reform: Educational Costs of Standardized Testing (New York: Routledge, 2000), 112–113.

[17]             Michael Fullan, The New Meaning of Educational Change, 5th ed. (New York: Teachers College Press, 2016), 65–66.

[18]             Andy Hargreaves and Dennis Shirley, The Fourth Way: The Inspiring Future for Educational Change (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2009), 48–49.

[19]             Darling-Hammond, The Flat World and Education, 59.


7.           Studi Kasus / Contoh Penerapan

Untuk memahami penerapan deep learning secara konkret, berikut disajikan beberapa studi kasus pada berbagai mata pelajaran di tingkat sekolah menengah. Studi kasus ini memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip deep learning dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari sehingga menghasilkan pemahaman mendalam dan keterampilan abad ke-21.¹

7.1.       Penerapan pada Mata Pelajaran Sains

Di sebuah SMA di Yogyakarta, guru fisika menerapkan deep learning melalui model Problem-Based Learning (PBL) pada topik hukum Newton.² Siswa diberikan studi kasus kecelakaan lalu lintas dan diminta menganalisis faktor gaya, percepatan, dan massa yang terlibat, serta membuat simulasi menggunakan perangkat lunak PhET.³ Proses ini melibatkan tahap eksplorasi, diskusi kelompok, dan refleksi, yang terbukti meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.⁴ Penelitian Retnawati dkk. menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual berbasis masalah dapat meningkatkan higher-order thinking skills dalam pembelajaran sains.⁵

7.2.       Penerapan pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Guru bahasa Indonesia di sebuah madrasah aliyah di Tasikmalaya menggunakan Project-Based Learning (PjBL) untuk mengajarkan teks eksposisi. Siswa ditugaskan membuat majalah digital bertema “Lingkungan dan Gaya Hidup Berkelanjutan” yang memuat artikel, wawancara, dan infografis hasil penelitian lapangan.⁶ Kegiatan ini mengintegrasikan keterampilan literasi, kolaborasi, dan komunikasi, sesuai dengan temuan Thomas bahwa PjBL mendorong keterlibatan siswa dan menghasilkan produk yang bermakna bagi masyarakat sekitar.⁷

7.3.       Penerapan pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)

Di MA Plus Al-Aqsha, guru PAI mengimplementasikan deep learning dengan memanfaatkan mindful learning dalam kajian hadis. Siswa mempelajari hadis tentang kejujuran melalui studi kontekstual, kemudian mendiskusikan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dunia digital.⁸ Diskusi dilanjutkan dengan proyek video kampanye kejujuran yang diunggah di media sosial sekolah. Metode ini sesuai dengan temuan Langer bahwa mindful learning meningkatkan kesadaran siswa terhadap nilai-nilai moral dan aplikasinya dalam berbagai situasi.⁹

7.4.       Penerapan pada Mata Pelajaran Sejarah

Guru sejarah di Bandung menerapkan deep learning dengan metode flipped classroom pada topik “Pergerakan Nasional Indonesia”. Siswa mempelajari materi melalui video pembelajaran di rumah, kemudian menggunakan waktu di kelas untuk analisis dokumen sejarah, debat kelompok, dan penulisan esai argumentatif.¹⁰ Studi Bishop dan Verleger menunjukkan bahwa model flipped classroom meningkatkan keterlibatan aktif siswa dan memperdalam pemahaman konseptual.¹¹


Analisis Umum dari Studi Kasus

Keempat studi kasus tersebut menunjukkan bahwa deep learning dapat diadaptasi pada berbagai mata pelajaran dan konteks sekolah. Kunci keberhasilan terletak pada pemilihan strategi pembelajaran yang tepat, penyediaan masalah atau proyek yang relevan, serta penilaian autentik yang mengukur proses dan hasil belajar.¹² Dengan demikian, deep learning dapat menjadi pendekatan transformatif yang mengubah cara siswa belajar dan berinteraksi dengan pengetahuan.


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 41–42.

[2]                Howard S. Barrows, Problem-Based Learning Applied to Medical Education (Springfield, IL: Southern Illinois University Press, 1980), 15–16.

[3]                University of Colorado Boulder, “PhET Interactive Simulations,” accessed August 15, 2025, https://phet.colorado.edu.

[4]                Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press, 2014), 33.

[5]                Heri Retnawati et al., “The Roles of Teachers in Improving Students’ Higher Order Thinking Skills,” International Journal of Instruction 11, no. 2 (2018): 253–268.

[6]                Barbara J. Duch, Susan E. Groh, and Deborah E. Allen, eds., The Power of Problem-Based Learning (Sterling, VA: Stylus, 2001), 28–29.

[7]                John W. Thomas, A Review of Research on Project-Based Learning (San Rafael, CA: Autodesk Foundation, 2000), 14–15.

[8]                Ellen J. Langer, Mindful Learning (Reading, MA: Addison-Wesley, 1997), 26–28.

[9]                Ibid., 35–36.

[10]             Jacob L. Bishop and Matthew A. Verleger, “The Flipped Classroom: A Survey of the Research,” in ASEE National Conference Proceedings (Atlanta, GA: ASEE, 2013), 1–18.

[11]             Ibid., 9–10.

[12]             Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 209–210.


8.           Penutup

Pendekatan deep learning dalam pembelajaran menawarkan paradigma baru yang menekankan pada pemahaman konseptual yang mendalam, keterkaitan pengetahuan dengan pengalaman nyata, serta pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.¹ Dibandingkan dengan surface learning, yang hanya berfokus pada hafalan fakta, deep learning mengajak siswa untuk mengonstruksi pengetahuan secara aktif, merefleksikan proses belajar, dan mengaplikasikannya dalam konteks beragam.²

Kajian ini telah menguraikan konsep dan prinsip dasar deep learning, langkah-langkah implementasi yang sistematis, strategi pembelajaran pendukung, manfaat yang dihasilkan, tantangan yang dihadapi, serta contoh penerapan nyata di kelas.³ Hasil telaah menunjukkan bahwa deep learning tidak hanya meningkatkan hasil akademik, tetapi juga membentuk kompetensi abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas.⁴

Keberhasilan penerapan deep learning sangat bergantung pada kesiapan guru, dukungan manajemen sekolah, ketersediaan sarana, serta kemauan untuk mengintegrasikan pembelajaran berbasis masalah, proyek, dan refleksi.⁵ Hal ini sejalan dengan pandangan Darling-Hammond bahwa kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan lingkungan belajar yang kondusif.⁶

Oleh karena itu, direkomendasikan agar sekolah dan pembuat kebijakan:

1)                  Mendorong pelatihan berkelanjutan bagi guru terkait desain dan implementasi deep learning.

2)                  Menyediakan sarana dan sumber belajar yang memadai untuk mendukung pembelajaran yang kontekstual dan kolaboratif.

3)                  Menciptakan budaya sekolah yang menekankan proses dan pemahaman, bukan sekadar pencapaian nilai ujian.

4)                  Memanfaatkan teknologi secara optimal untuk memperluas akses sumber belajar dan peluang eksplorasi siswa.

Jika diterapkan secara konsisten, deep learning memiliki potensi besar untuk mentransformasi pendidikan, mempersiapkan siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners), dan membekali mereka dengan keterampilan yang relevan untuk menghadapi tantangan dunia yang terus berubah.⁷


Catatan Kaki

[1]                John Biggs and Catherine Tang, Teaching for Quality Learning at University, 4th ed. (Maidenhead: Open University Press, 2011), 41–43.

[2]                Ference Marton and Roger Säljö, “On Qualitative Differences in Learning: I—Outcome and Process,” British Journal of Educational Psychology 46, no. 1 (1976): 4–11.

[3]                Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 203–205.

[4]                Diane F. Halpern, Thought and Knowledge: An Introduction to Critical Thinking, 5th ed. (New York: Psychology Press, 2014), 9–10.

[5]                Robert Marzano, The New Art and Science of Teaching (Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2017), 13–14.

[6]                Linda Darling-Hammond et al., The Flat World and Education: How America’s Commitment to Equity Will Determine Our Future (New York: Teachers College Press, 2010), 46–48.

[7]                Philip C. Candy, Self-Direction for Lifelong Learning: A Comprehensive Guide to Theory and Practice (San Francisco: Jossey-Bass, 1991), 3–5.


Daftar Pustaka

Ausubel, D. P. (1968). Educational psychology: A cognitive view. Holt, Rinehart & Winston.

Barrows, H. S. (1980). Problem-based learning applied to medical education. Southern Illinois University Press.

Bergmann, J., & Sams, A. (2012). Flip your classroom: Reach every student in every class every day. International Society for Technology in Education.

Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for quality learning at university (4th ed.). Open University Press.

Bishop, J. L., & Verleger, M. A. (2013). The flipped classroom: A survey of the research. In ASEE National Conference Proceedings (pp. 1–18). ASEE.

Bloom, B. S., Engelhart, M. D., Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Longman.

Brown, H. D. (2014). Principles of language learning and teaching (6th ed.). Pearson Education.

Candy, P. C. (1991). Self-direction for lifelong learning: A comprehensive guide to theory and practice. Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., & Adamson, F. (2014). Beyond the bubble test: How performance assessments support 21st century learning. Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., et al. (2010). The flat world and education: How America’s commitment to equity will determine our future. Teachers College Press.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Plenum Press.

Downes, S. (2005, October). E-learning 2.0. eLearn Magazine, (10), 1–7.

Duch, B. J., Groh, S. E., & Allen, D. E. (Eds.). (2001). The power of problem-based learning. Stylus.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. American Psychologist, 56(3), 218–226. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.218

Fullan, M. (2016). The new meaning of educational change (5th ed.). Teachers College Press.

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic Books.

Guskey, T. R. (2000). Evaluating professional development. Corwin Press.

Halpern, D. F. (2014). Thought and knowledge: An introduction to critical thinking (5th ed.). Psychology Press.

Hargreaves, A., & Shirley, D. (2009). The fourth way: The inspiring future for educational change. Corwin Press.

Heinich, R., Molenda, M., Russell, J. D., & Smaldino, S. E. (2014). Instructional media and technologies for learning (10th ed.). Pearson.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1989). Cooperation and competition: Theory and research. Interaction Book Company.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Kurikulum Merdeka: Panduan implementasi untuk satuan pendidikan. Kemendikbudristek.

Langer, E. J. (1997). Mindful learning. Addison-Wesley.

Markham, T., Larmer, J., & Ravitz, J. (2003). Project based learning handbook. Buck Institute for Education.

Marton, F., & Säljö, R. (1976). On qualitative differences in learning: I—Outcome and process. British Journal of Educational Psychology, 46(1), 4–11. https://doi.org/10.1111/j.2044-8279.1976.tb02980.x

Marzano, R. J. (2017). The new art and science of teaching. Solution Tree Press.

Mayer, R. E. (2009). Multimedia learning (2nd ed.). Cambridge University Press.

McNeil, L. (2000). Contradictions of school reform: Educational costs of standardized testing. Routledge.

Means, B., Bakia, M., & Murphy, R. (2014). Learning online: What research tells us about whether, when and how. Routledge.

Mercer, N. (2000). Words and minds: How we use language to think together. Routledge.

Moon, J. A. (1999). Reflection in learning and professional development: Theory and practice. RoutledgeFalmer.

Paul, R., & Elder, L. (2014). The miniature guide to critical thinking concepts and tools (7th ed.). Rowman & Littlefield.

Perkins, D. (2009). Making learning whole: How seven principles of teaching can transform education. Jossey-Bass.

Perkins, D., & Salomon, G. (1988). Teaching for transfer. Educational Leadership, 46(1), 22–32.

Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child. Basic Books.

Retnawati, H., Djidu, H., Kartianom, Apino, E., & Anazifa, R. D. (2018). The roles of teachers in improving students’ higher order thinking skills. International Journal of Instruction, 11(2), 253–268. https://doi.org/10.12973/iji.2018.11217a

Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Merrill.

Schön, D. A. (1983). The reflective practitioner: How professionals think in action. Basic Books.

Thomas, J. W. (2000). A review of research on project-based learning. Autodesk Foundation.

Tomlinson, C. A. (2001). How to differentiate instruction in mixed-ability classrooms (2nd ed.). ASCD.

University of Colorado Boulder. (n.d.). PhET interactive simulations. https://phet.colorado.edu

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Wiggins, G. (1998). Educative assessment: Designing assessments to inform and improve student performance. Jossey-Bass.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (2nd ed.). ASCD.

Wiliam, D. (2018). Embedded formative assessment (2nd ed.). Solution Tree Press.

Wormeli, R. (2006). Fair isn’t always equal: Assessing and grading in the differentiated classroom. Stenhouse.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar