Despotisme
Kekuasaan Absolut dan
Dampaknya terhadap Kehidupan Bernegara
Alihkan ke: Filsafat
Politik.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep despotisme sebagai
bentuk pemerintahan otoriter yang ditandai oleh kekuasaan mutlak di tangan
seorang individu atau kelompok kecil tanpa adanya batasan hukum atau
institusional. Dengan pendekatan historis, filosofis, dan politologis, artikel ini
mengurai pengertian despotisme, ciri-cirinya, serta perbandingannya dengan
bentuk pemerintahan lain seperti tirani, otoritarianisme, dan totalitarianisme.
Selain itu, artikel ini menyajikan studi kasus despotisme dalam praktik, baik
dalam bentuk klasik maupun kontemporer, seperti pada rezim Stalin, dinasti Kim
di Korea Utara, hingga bentuk despotisme modern yang tersembunyi di balik
sistem digital, algoritma, dan legalisme otokratis.
Dampak destruktif dari despotisme terhadap
hak asasi manusia, institusi negara, stabilitas ekonomi, dan partisipasi sipil
diuraikan dengan dukungan data historis dan ilmiah. Artikel ini juga
mengeksplorasi respons masyarakat dalam menghadapi despotisme, termasuk
strategi perlawanan non-kekerasan, pembangkangan sipil, tekanan internasional,
dan pentingnya pelembagaan demokrasi yang berkelanjutan. Perspektif etika dan
filsafat politik dari para pemikir seperti Montesquieu, Kant, Tocqueville, dan
John Stuart Mill memberikan landasan normatif yang memperkuat urgensi menolak
segala bentuk kekuasaan absolut yang merusak otonomi dan kebebasan individu.
Artikel ini menutup dengan refleksi kritis
mengenai tantangan despotisme di era digital dan globalisasi, serta menekankan
pentingnya membangun sistem politik yang kuat, transparan, dan inklusif sebagai
benteng terhadap kebangkitan despotisme terselubung.
Kata Kunci: Despotisme,
kekuasaan absolut, hak asasi manusia, otoritarianisme, tirani, digital
authoritarianism, soft despotism, legalisme otokratis, demokrasi, filsafat
politik, perlawanan sipil, negara hukum.
PEMBAHASAN
Despotisme sebagai Bentuk
Pemerintahan Otoriter
1.
Pendahuluan
Despotisme adalah suatu bentuk
pemerintahan di mana seorang penguasa tunggal—yang dikenal sebagai
despot—memegang kekuasaan absolut dan tidak terbatas, serta berkuasa
berdasarkan kehendaknya sendiri tanpa tunduk kepada penegakan hukum ataupun
memperhatikan hak-hak warga negara. Dalam praktiknya, istilah ini sering
digunakan secara pejoratif sebagai sinonim tirani, otoritarianisme, ataupun
kediktatoran.¹
Secara etimologis, kata despot
berasal dari bahasa Yunani despótēs, yang secara harfiah berarti “tuan”
atau “penguasa” dalam lingkup rumah tangga, yakni orang yang memiliki
kuasa atas budak atau pelayan. Dalam konteks Kekaisaran Bizantium, istilah ini
bahkan menjadi gelar resmi bagi pewaris atau penguasa vassal, dan tidak
bermakna negatif seperti pemahaman modern.²
Namun, dalam ilmu politik modern,
despotisme merujuk pada suatu rezim di mana kekuasaan tidak dibatasi oleh
lembaga hukum maupun prinsip checks and balances. Seorang despot merajai negara
tanpa mekanisme hukum atau institusional yang mampu mengekangnya, sehingga
segala keputusan bersifat absolut dan dilakukan atas dasar kehendaknya
sendiri.³
Tokoh seperti Montesquieu dalam “The
Spirit of the Laws” membedakan despotisme dari monarki absolut: dalam monarki
absolut, raja tunduk kepada hukum yang berlaku, sedangkan despotisme dominan
berdasarkan kehendak penguasa.⁴ Dalam pengertian sehari-hari, despotisme secara
konsisten diartikan sebagai pemerintahan dengan kekuasaan yang menindas dan
tidak terkontrol.⁵
Fenomena despotisme telah memiliki implikasi signifikan terhadap
kehidupan bernegara dan masyarakat. Rezim semacam ini cenderung menindas
kebebasan sipil dan hak asasi manusia, meniadakan partisipasi politik, serta
melemahkan institusi demokrasi dan supremasi hukum. Warga hidup dalam suasana
ketakutan dan kerap kali menghadapi penindasan sistemik. Penegakan hukum hanya
menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat atau mekanisme keadilan.⁶
Secara ekonomi dan politik, despotisme mengancam stabilitas jangka
panjang: kebijakan ekonomi sering bersifat pragmatis dan melayani kepentingan
elite, bukan rakyat umum. Akibatnya, ketimpangan dan korupsi meluas, menurunkan
legitimasi rezim dan menghambat pembangunan.⁷
Tujuan artikel ini adalah memberikan analisis menyeluruh mengenai:
1)
Konsep dan definisi
despotisme;
2)
Perbandingan dengan bentuk
pemerintahan otoriter lainnya;
3)
Contoh historis dan
kontemporer;
4)
Dampaknya terhadap demokrasi, masyarakat, dan
hukum;
5)
Upaya perlawanan terhadap
despotisme; serta
6)
Relevansi despotisme di era modern.
Artikel ini akan menggunakan sudut pandang interdisipliner—meliputi
teori politik, sejarah, dan filsafat politik—untuk menggambarkan gambaran
menyeluruh tentang despotisme dan konsekuensinya terhadap kehidupan bernegara.
Footnotes
[1]
Definisi modern despotisme dalam ilmu politik,
digambarkan sebagai pemerintahan tunggal tanpa batas hukum: Despotism is a
form of government in which a single entity rules with absolute power. (Wikipedia)
[2]
Etimologi dan penggunaan historis istilah “despot”
dalam konteks Bizantium: “the term was used as an honorific rather than as a
pejorative.” (Wikipedia)
[3]
Penekanan pada pemerintahan tanpa checks and balances
atau institusi pembatas: “In which a single entity rules with absolute power.”
(Wikipedia)
[4]
Perbandingan despotisme dengan monarki absolut menurut
Montesquieu: “in the case of the monarchy… a despot governs by their own will
and caprice.” (Wikipedia)
[5]
Definisi despotisme dalam kamus sebagai kekuasaan
absolut yang menindas: “oppressive absolute power and authority exerted by
government: rule by a despot.” (merriam-webster.com)
[6]
Dampak pada demokrasi, institusi, dan kebebasan
individu—diilustrasikan melalui karakteristik otoritarianisme: “highly
concentrated and centralized government power maintained by political
repression … arbitrary deprivation of civil liberties.” (Wikipedia)
[7]
Risiko
ketimpangan dan legitimitas dalam rezim otoriter: proses democratic backsliding
dan faktor penyebabnya seperti ketidaksetaraan ekonomi. (Wikipedia)
2.
Pengertian dan Ciri‑Ciri Despotisme
Pengertian Umum
Despotisme adalah bentuk pemerintahan di mana satu entitas—biasanya
individu—memegang kekuasaan absolut dan tidak terbatas, tanpa diterapkan
mekanisme pembatasan atau checks and balances.¹
Etimologi dan Ringkasan Historis
Istilah despotisme berasal dari bahasa Yunani despóteia,
yang berarti ‘kekuasaan seorang penguasa atas yang tidak bebas (budak)’.
Asalnya, despótēs berarti “tuan rumah” atau “penguasa atas
pelayan/budak,” dan digunakan secara netral atau honorifik dalam konteks
Kekaisaran Bizantium dan penguasa-penguasa lokal.²³ Namun, penggunaan modernnya
cenderung merujuk pada rezim tiranik dengan konotasi negatif—sebagai
pemerintahan berdasarkan kehendak penguasa tanpa landasan hukum atau moral yang
jelas.⁴
2.1.
Ciri‑Ciri Despotisme
1)
Kekuasaan Tunggal dan
Absolut
Pemerintahan
despotik diasosiasikan dengan praktik absolutisme, di mana penguasa tidak
terikat hukum atau norma politik, dan bertindak atas kehendak sendiri—aspek
inilah yang membedakan despotisme dari monarki absolut.⁵
2)
Arbitrariness
(Kebijaksanaan Sewenang‑wenang)
Despot biasanya memerintah secara sewenang-wenang, bebas
dari pembatasan hukum, dan tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat—menyerupai
tirani dalam praktik.⁶
3)
Penindasan Simbolik dan
Moral
Dalam perspektif Claude-Adrien Helvétius serta tokoh
Enlightenment lainnya, despotisme dilihat sebagai pemerintahan yang menindas
rakyat secara tidak adil dan arbitrer, di mana kebebasan sipil dan kekuasaan
dibatasi oleh satu individu.⁶
4)
Tidak Ada Pembedaan
Kekuasaan (executive-legislative fused)
Immanuel Kant mendefinisikan despotisme sebagai fenomena di
mana kekuasaan legislatif dan eksekutif berada di tangan satu orang, tanpa
pemisahan wewenang yang mencerminkan pemerintahan republik atau demokratis.⁷
5)
Dominasi Tanpa Legislasi
Multilateral
Menurut ensiklopedia abad ke-18, despotisme menggambarkan
bentuk pemerintahan yang absolut, di mana penguasa tidak terikat hukum manapun
kecuali kehendaknya sendiri—terutama berlaku bagi negara-negara besar di Asia
Timur, seperti Turki (Ottoman), Mughal, Persia, dan lainnya.⁸
2.2. Ciri‑Ciri
Despotisme
þ Kekuasaan tunggal dan absolut: Penguasa
memegang kekuasaan penuh tanpa sistem checks and balances
þ Arbitrariness: Perintah dan kebijakan berdasarkan
kehendak mutlak penguasa
þ Penindasan sistemik: Kebebasan sipil dibatasi,
kekuasaan dipakai untuk menindas dan mengontrol rakyat
þ Tidak adanya pembedaan kekuasaan:
Legislatif &
eksekutif terpusat pada satu pihak—penguasa
þ
Warisan historis: Dipandang negatif modernnya, walau pernah dianggap netral
atau honorifik dahulu
Footnotes
[1]
Deskripsi
umum despotisme sebagai pemerintahan tunggal dengan kekuasaan absolut. In political science, despotism ...
in which a single entity rules with absolute power. (referenceworks.brill.com, quod.lib.umich.edu, Wikipedia)
[2]
Etimologi dan makna historis istilah despotisme
dalam bahasa Yunani. The root despot comes from the Greek word despotes,
which means “one with power.” (Wikipedia)
[3]
Makna honorifik dalam konteks Bizantium. Term was
used as an honorific rather than as a pejorative. (Wikipedia)
[4]
Definisi
historis dan pergeseran makna menjadi negatif. Absolute power, unrestricted and
unlimited authority... by 1794 as "a political system based on an
arbitrary government." (etymonline.com)
[5]
Perbedaan
antara despotisme dengan monarki absolut menurut Montesquieu. Montesquieu's distinction... a despot
governs by their own will and caprice. (Wikipedia)
[6]
Penekanan pada arbitrariness dan penindasan sebagai
ciri despotisme. Despotism refers to a form of government... characterized
by the arbitrary use of authority. (library.fiveable.me)
[7]
Definisi
Kant tentang kegagalan pemisahan kekuasaan sebagai bentuk despotisme. Despotism as legislative and
executive authority in the same person. (facultystaff.richmond.edu)
[8]
Gambaran
dalam ensiklopedia abad ke-18 tentang negara-negara dengan sistem despotik. Despotism, tyrannical, arbitrary, and
absolute government of a single man ... government of Turkey, the Mughals,
Japan, Persia ... (quod.lib.umich.edu)
3.
Perbedaan Despotisme dengan Sistem
Pemerintahan Lain
3.1.
Despotisme vs.
Monarki Absolut
Meskipun kedua bentuk pemerintahan ini sama-sama menempatkan kekuasaan
tertinggi pada individu tertentu, ada perbedaan mendasar. Monarki absolut
biasanya muncul dari sistem tradisional dan warisan, di mana raja memiliki
kekuasaan tanpa batas hukum, namun masih dengan legitimasi institusional dan
sosial yang diakui.1 Sedangkan despotisme ditandai oleh pemerintahan
yang lebih sewenang-wenang—penguasa bertindak hanya atas dasar kehendaknya
sendiri tanpa mengindahkan struktur hukum yang tetap. Montesquieu secara
eksplisit membedakan: dalam monarki absolut, pemimpin bertindak menurut hukum
yang tetap; dalam despotisme, penguasa bertindak menurut kehendaknya dan
sewenang-wenang.2
3.2.
Despotisme vs.
Tirani
Secara historis, tirani dan despotisme memiliki akar makna yang
berbeda. Tirani menurut filsuf seperti Aristoteles dipandang sebagai
pemerintahan yang tidak sah, di mana penguasa memaksakan kehendaknya tanpa
memperhatikan hukum atau kebaikan umum.3 Sementara itu, despotisme
dalam konteks klasik kadang memiliki legitimasi—sebuah pemerintahan absolut
yang mungkin diakui oleh tradisi atau konsensus sosial, meski tetap
sewenang-wenang. Dengan demikian, tirani dianggap lebih bermoral negatif
dibanding despotisme, meskipun dalam penggunaan modern keduanya sering dipakai
secara silih-ganti.4
3.3.
Despotisme vs.
Otoritarianisme
Otoritarianisme adalah sistem di
mana kekuasaan terpusat pada satu individu atau kelompok kecil, tanpa kewajiban
konstitusional kepada rakyat dan dengan mobilisasi politik yang terbatas.
Kebebasan sipil dan partisipasi publik dibatasi, tapi struktur sosial dan
ekonomi mungkin tetap berfungsi normal dan tidak sepenuhnya dikontrol oleh
negara.5 Sebaliknya, dalam despotisme, tindakan penguasa lebih
arbitrar—kebijakan didiktekan tanpa pertimbangan hukum atau institusi dan
kebebasan sipil cenderung lebih terkikis.
3.4.
Despotisme vs.
Totalitarianisme
Totalitarianisme adalah bentuk pemerintahan ekstrem yang mengontrol hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat—politik, ekonomi, budaya, dan moral—melalui ideologi
resmi, propaganda, dan monopoli kekuasaan.6 Berbeda dengan
otoritarianisme, totalitarianisme tidak hanya bertujuan mempertahankan
kekuasaan, tetapi mengatur seluruh pikiran dan aktivitas individu. Dalam
despotisme, meskipun kekuasaan absolut berlaku, pengendalian terhadap
masyarakat tidak selalu melalui ideologi total.7
Ringkasan
Perbandingan Sistem Pemerintahan
Perbandingan perbedaan antara sistem pemerintahan:
þ Monarki Absolut: Warisan tradisi, penguasa tunduk
pada hukum tetap.
þ Despotisme: Kekuasaan mutlak, sewenang-wenang,
melewati batas hukum atau norma.
þ Tirani: Pemerintahan tidak sah, egois,
bertentangan dengan hukum dan kebaikan umum.
þ Otoritarianisme: Kekuasaan sentral, sedikit
partisipasi publik, kebebasan individu terbatas.
þ Totalitarianisme: Kontrol menyeluruh atas pikiran
& tindakan masyarakat, ideologi resmi, propaganda.
Footnotes
[1]
Definisi dan karakteristik monarki absolut: “Absolute
monarchy is a form of monarchy in which the sovereign is the sole source of
political power, unconstrained by constitutions, legislatures or other checks
on their authority.” (Wikipedia)
[2]
Perbedaan antara monarki absolut dan despotisme
menurut Montesquieu: “in the case of the monarchy, a single person governs with
absolute power by fixed and established laws, whereas a despot governs by their
own will and caprice.” (Wikipedia)
[3]
Distingsi antara tirani dan despotisme dalam tradisi
klasik: “Tyranny… arbitrary and oppressive rule of a single individual who
governs solely for personal benefit, without legal constraints or the consent
of the people…” (Wikipedia)
[4]
Perubahan dalam penggunaan modern: “Colloquially, the
word despot applies pejoratively to those who use their power and authority
arbitrarily to oppress their populace… similar to... tyrant and dictator.” (Wikipedia)
[5]
Definisi otoritarianisme: “Authoritarian governments
are regimes in which power is concentrated in the hands of one individual or a
small group of elites... leadership has no constitutional obligation...
restrict civil liberties…” (schoollibraryconnection.com)
[6]
Ciri totalitarianisme: “Totalitarianism is a form of
government that attempts to assert total control over the lives of its
citizens.” (britannica.com)
[7]
Perbedaan tingkat kontrol antara totalitarianisme dan
otoritarianisme: “totalitarianism features a charismatic dictator and a fixed
worldview... authoritarianism only features a dictator who holds power for the
sake of holding power.” (Wikipedia)
4.
Sejarah dan Contoh Despotisme dalam Praktik
4.1.
Despotisme Klasik
dan Pencerahan
Sejak zaman kuno dan era Pencerahan,
muncul bentuk pemerintahan yang dikategorikan sebagai despotisme tercerahkan
(enlightened despotism)—di mana penguasa memiliki kekuasaan absolut,
namun berupaya melaksanakan reformasi sosial, hukum, dan pendidikan yang
progresif atas dasar rasionalitas dan kemajuan masyarakat. Tokoh-tokoh seperti
Frederick II dari Prusia, Peter I, Catherine II dari Rusia, Maria Theresa, dan
Joseph II dikenal karena meningkatkan tata administrasi, reformasi hukum, serta
toleransi beragama—tentu saja tanpa membahayakan otoritas mereka secara
langsung.1
Namun istilah despotisme juga digunakan
untuk kekuasaan sewenang-wenang yang menindas secara brutal. Contoh klasik
mencakup penguasa-penguasa seperti Tamerlane, Ivan the Terrible, Robespierre,
Joseph Stalin, Adolf Hitler, Mao Zedong, François Duvalier, Nicolae Ceaușescu,
Idi Amin, dan Pol Pot—semua terkenal karena kebrutalan, pembatasan hak-hak
warga, dan penggunaan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan.2
4.2.
Contoh Modern:
Joseph Stalin dan Rezim Soviet
Joseph Stalin menjadi simbol ekstrem despotisme di abad ke-20. Dalam
periode kekuasaannya, struktur negara Sovyet dijalankan secara otoriter total.
Melalui revolusi industri paksa, penindasan politik, serta penciptaan atmosfer
ketakutan melalui purges dan kamp kerja paksa, Stalin menanamkan kekuasaan
absolutnya pada seluruh ranah kehidupan masyarakat Soviet.3
4.3. Rezim
Dinasti Korea Utara: Kim Il-sung dan Suksesornya
Sejak berdirinya Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Il-sung
membangun sebuah rezim totalitarian yang terpusat. Ia menciptakan ideologi Juche
(paham kemandirian) serta sistem kontrol sosial melalui
"songbun"—penggolongan sosial berdasarkan loyalitas ideologis. Ia
juga menanamkan kultus kepribadian (personality cult), serta menerapkan hukuman
berat kepada kritikus dan rival politik.4
Setelah ia wafat, penerusnya, Kim Jong-il, memperkuat sistem
represif ini melalui doktrin Songun (military-first) dan pembetulan
ideologi Kimilsungism–Kimjongilism sebagai instrumen kekuasaan.
Kebijakan ini semakin menekan kebebasan sipil, melalui kamp kerja paksa,
kontrol media, serta penindasan ideologis secara sistematis.5/6
Pada era Kim Jong-un, pemerintahan Korea Utara terus menjadikan
kesetiaan total sebagai landasan. Sistem pengawasan dan pengendalian ideologi
semakin kompleks—meliputi pelarangan akses terhadap media luar, hukuman keras
terhadap pembangkang, dan penghukuman simbolis elite yang dianggap gagal,
bahkan melalui penghapusan mereka dari foto resmi. Salah satu contoh belakangan
adalah dugaan eksekusi pejabat militer setelah insiden peluncuran kapal
perang—sebuah tindakan yang mencerminkan ciri despotik sekaligus tirani visual.7
Contoh Praktis Despotisme
·
Zaman Pencerahan
(1700-an) - dikenal sebagai Enlightened Despots
Tokoh: Frederick II, Peter I, Catherine II, Maria
Theresa, Joseph II
Ciri: Pemerintah absolut yang
menerapkan reformasi progresif di bidang hukum, pendidikan, dan sosial,
meskipun tetap mempertahankan kekuasaan mutlak.
·
Abad ke-20 – Uni Soviet
(Era Stalin)
Tokoh: Joseph Stalin
Ciri: Rezim otoriter dengan penghapusan lawan
politik (purges), kerja paksa di gulag, dan kontrol total negara atas seluruh
aspek kehidupan.
·
Korea Utara (1948–1994)
Tokoh: Kim Il-sung
Ciri: Ideologi Juche, sistem
loyalitas sosial songbun, kultus kepribadian, dan penindasan terhadap
kebebasan berpikir serta mobilitas sosial.
·
Korea Utara (1994–2011)
Tokoh: Kim Jong-il
Ciri: Doktrin militer pertama (Songun),
penguatan ideologi Kimilsungism–Kimjongilism, serta kontrol ekstrem
terhadap media dan pendidikan.
·
Korea Utara
(2011–sekarang)
Tokoh: Kim Jong-un
Ciri: Pengawasan menyeluruh terhadap rakyat,
eksekusi terhadap elite yang dianggap membangkang, serta manipulasi visual
sebagai bentuk represi politik dan simbolik.
Footnotes
[1]
¹² Enlightened despotism disebut sebagai
reformisme absolutis yang terinspirasi oleh Enlightenment, contohnya Frederick
II, Peter I, Catherine II, Maria Theresa, Joseph II, dan Leopold II. (Encyclopedia Britannica, InfoPlease, Wikipedia, Wilson Center, Encyclopedia Britannica, Wikipedia)
[2]
¹³ Daftar
penguasa diktatorial yang terkenal kejam dan despotik sepanjang sejarah,
termasuk Stalin, Hitler, Mao, dll. (InfoPlease)
[3]
¹⁴ Contoh rezim totalitarian Soviet di bawah Stalin,
termasuk kontrol ideologis total dan penindasan sistemik. (Encyclopedia Britannica)
[4]
¹⁵ Kim
Il-sung mendirikan rezim totalitarian dengan ideologi Juche, songbun, dan
kultus kepribadian. (Wikipedia)
[5]
¹⁶ Kim
Jong-il melanjutkan sistem represif melalui Songun dan ideologi
Kimilsungism–Kimjongilism. (Wikipedia)
[6]
¹⁷ Rezimnya
dikenal sebagai totalitarian modern sekaligus menghasilkan loyalitas ekstrem
dan pengawasan ideologis. (Wikipedia,
americanaffairsjournal.org,
brookings.edu)
[7]
¹⁸ Laporan
wartawan menunjukkan eksekusi dan penghapusan pejabat militer dari foto resmi
oleh Kim Jong-un sebagai mekanisme pemusnahan simbolik. (thesun.co.uk)
5.
Dampak Despotisme terhadap Negara dan
Masyarakat
5.1.
Pelanggaran Hak
Asasi Manusia dan Penindasan
Despotisme—terutama yang bersifat personalistik—ditandai oleh tingkat
represi sangat tinggi. Rezim ini memonopoli kekuasaan, sehingga
memungkinkan pelaksanaan aksi-aksi represif seperti penyiksaan, penahanan
sewenang-wenang, eksekusi publik, dan pembersihan terhadap oposisi politik.¹
Contoh konkret:
·
Di Libya di bawah
Gaddafi, terjadi pembunuhan di luar hukum, eksekusi publik simbolis, serta
pembersihan etnis dan kekerasan sistemik terhadap mahasiswa dan oposisi.²
·
Brasil (1964–1985)
menyaksikan pembatasan kebebasan, penyiksaan, hilangnya orang-orang secara
paksa, dan pelanggaran HAM skala besar yang dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan.³
·
Dalam Uni Soviet era
Stalin, kebebasan berekspresi dibatasi ketat, dengan hukum yang menindak
yang dianggap “musuh negara” serta pengawasan ketat melalui propaganda
dan penahanan.⁴
5.2. Kerusakan
Institusional dan Legitimasi Pemerintahan
Despotisme melemahkan institusi formal negara dan supremasi
hukum—penegakan hukum menjadi alat kekuasaan bukan pelindung masyarakat. Dalam
rezim personalistik, penguasa menciptakan persekutuan patron-klien yang
memprioritaskan loyalitas atas kompetensi, sehingga lembaga pengawasan dan
akuntabilitas runtuh.⁵
Akibatnya:
·
Korupsi meluas karena sumber daya publik
digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
·
Ketidakstabilan muncul melalui konflik
internal elite hingga potensi kekacauan politik.
5.3. Ketidakpastian
Ekonomi dan Hegemoni Ekonomi Elit
Ekonomi di bawah rezim despotik cenderung berperforma buruk atau
berfluktuasi hebat. Karena pemerintah didominasi satu individu atau elit
yang tidak akuntabel, investasi publik dialihkan ke patronase, bukan
kesejahteraan rakyat.⁵
Sementara beberapa otoriter—terutama yang menikmati pendapatan dari
sumber daya alam—bisa menampilkan performa ekonomi sementara, struktur ekonomi
tetap rapuh dan tidak berkelanjutan.⁶
5.4. Ketakutan,
Ketidakamanan, dan Teror Sosial
Despotisme secara sistemik menciptakan atmosfer ketakutan yang
mendalam. Taktik seperti pengawasan, pembersihan internal, dan propaganda
menanamkan kecemasan dan isolasi sosial. Teror yang diarahkan bahkan ke dalam
kelompok elite menciptakan situasi di mana loyalitas dipaksakan melalui
ketakutan—bukan dukungan sukarela.⁷
5.5. Dampak
Jangka Panjang terhadap Demokrasi dan Stabilitas Politik
Despotisme meninggalkan warisan destruktif bagi institusi demokrasi
serta partisipasi politik. Contoh historis menunjukkan bahwa otoritarianisme
meninggalkan kepercayaan rendah terhadap politik dan kesulitan transisi
menuju demokrasi.⁸
Ringkasan Singkat
Dampak Despotisme
Dampak Despotisme terhadap Negara dan Masyarakat:
þ Pelanggaran HAM: Penahanan sewenang-wenang,
penyiksaan, eksekusi publik (Libya, Brazil, Soviet).
þ Keruntuhan Institusi: Korupsi sistemik, absennya
checks and balances, delegitimasi negara.
þ Ketidakpastian Sosial-Ekonomi: Investasi egois elit, fluktuasi
ekonomi, distribusi tidak merata.
þ Teror dan Ketakutan Struktural: Atmosfer represi, propaganda,
isolasi sosial.
þ Gangguan Demokrasi dan
Kepercayaan Publik:
Sulitnya peralihan politik, warisan ketidakpercayaan.
Footnotes
[1]
Rezim
personalistik memiliki represi ekstrem dan pelanggaran HAM karena minimnya
pembatasan institusional terhadap penguasa.(Wikipedia, Wikipedia)
[2]
Di Libya di
bawah Gaddafi terjadi pelanggaran HAM masif termasuk eksekusi publik dan
penindasan demonstran.(Wikipedia)
[3]
Rezim
militer Brasil (1964–1985) menanamkan kekerasan sistemik, penyiksaan, dan
penghilangan paksa terhadap oposisi politik.(Wikipedia)
[4]
Dalam Uni
Soviet masa Stalin, aktivitas politik independen dan kebebasan berekspresi
ditekan dengan keras oleh negara totaliter.(Wikipedia)
[5]
Dalam rezim
personalistik, corrupt patronage serta degradasi institusi dan akuntabilitas
politik menjadi ciri khas.(Wikipedia)
[6]
Meski
beberapa otoritarian dapat menunjukkan pertumbuhan sementara—misalnya melalui
kontrol sumber daya—struktur ekonomi tetap rapuh secara sistemik.(Wikipedia, ft.com)
[7]
Teror
internal terhadap rakyat dan elite menciptakan atmosfer ketakutan dan
ketidakamanan yang meluas.(flora.insead.edu)
[8]
Pengalaman pasca-otoritarian menunjukkan bahwa
kepercayaan rendah dan gangguan stabilitas politik jangka panjang merupakan
efek luas dari despotisme.(arxiv.org, ft.com)
6.
Strategi Perlawanan dan Upaya Mengakhiri
Despotisme
6.1. Mobilisasi
Non-Kekerasan dan Perlawanan Rakyat
Gerakan perlawanan sipil secara non-kekerasan terbukti lebih efektif dibanding
revolusi bersenjata dalam menjatuhkan rezim otoriter. Studi oleh Erica
Chenoweth dan Maria Stephan menunjukkan bahwa dari tahun 1900 hingga 2006,
kampanye non-kekerasan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 53 %, jauh
lebih tinggi dibanding 26 % untuk perlawanan bersenjata—dan mayoritas
kampanye non-kekerasan yang sukses melibatkan partisipasi minimal sebesar 3,5 %
dari populasi.¹
Contoh terkini termasuk revolusi rakyat di Tunisia dan Sudan pada Arab
Spring, serta Pembangkangan Syria dan Revolusi Marvelous Nepal.²
Model seperti "3.5 % rule" menunjukkan bahwa ketika
setidaknya sekitar 3,5 % warga aktif turun ke jalan, peluang berhasil
menggulingkan rezim otoriter secara damai meningkat signifikan.³
6.2.
Koordinasi Elite dan
Defeksi Internal
Defeksi elite dan keretakan dalam rezim merupakan katalis kuat bagi kejatuhan rezim
despotik. Sekitar 85 % rezim jatuh setelah lonjakan pemberontakan rakyat,
sementara kudeta militer tanpa tekanan publik hanya sesekali mengubah struktur
otoriter.⁴
Contohnya terjadi di Mesir dan Tunisia pada 2011, ketika militer
menahan diri untuk tidak menembak warga, mendorong mundurnya pemimpin otoriter
dan membuka jalan menuju transisi politik.⁵
6.3.
Tekanan
Internasional dan Dukungan Global
Tekanan asing seperti sanksi ekonomi,
isolasi diplomatik, atau jaminan pengasingan kepada penguasa dapat melemahkan
rezim dan mempercepat kejatuhannya. Intervensi militer juga bisa dilakukan—misalnya kasus Irak (2003) dan
Libya (2011), meskipun intervensi semacam ini kontroversial dan berpotensi
menciptakan kekosongan kekuasaan yang sulit diisi secara demokratis.⁶
6.4. Revolusi
Rakyat sebagai Pemicu Perubahan Sistemik
Revolusi massa yang mendalam, bukan hanya pergantian pemimpin, sering
kali membuka jalan bagi transformasi mendasar. Tokoh seperti Theda
Skocpol menganalisis revolusi Perancis, Rusia, dan Cina menunjukkan
bagaimana krisis negara dan ketidakharmonisan antar kelas menciptakan kondisi
untuk runtuhnya rezim lama.⁷
Revolusi struktur ini menyediakan momentum penting dalam mendirikan
institusi demokrasi baru—walau berisiko kegagalan dalam menetapkan konsensus
politik di pasca-keruntuhan.⁸
6.5.
Simbolisme dan
Persepsi Publik
Tindakan simbolik seperti membakar
lambang rezim, menguasai lembaga negara (misalnya stasiun TV), atau foto-foto
ikon resmi yang dihapus sering mempercepat erosi legitimasi penguasa. Contoh
sejarah: runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 merupakan simbol keterbukaan baru
dan runtuhnya kekuasaan totaliter.⁹
Setelah simbol dominasi terhapus,
semakin banyak warga yang merasa aman untuk bergabung dalam perlawanan—a
process known as "preference cascades."¹⁰
6.6.
Resignasi atau
Pengusiran Penguasa
Tahap akhir sering berupa mundurnya
penguasa, pelarian, atau pemakzulan. Contohnya: Presiden Ben Ali (Tunisia,
2011) melarikan diri ke luar negeri setelah kehilangan dukungan militer. Di
Rumania (1989), Nicolae Ceaușescu ditangkap dan dieksekusi. Presiden Sudan Omar
al-Bashir diturunkan melalui kudeta militer setelah protes massal
berkepanjangan.¹¹
Ringkasan: Strategi
Perlawanan Efektif
Strategi Perlawanan dan Upaya Mengakhiri Despotisme:
þ Mobilisasi non-kekerasan: Partisipasi >3,5 %; lebih
efektif dari kekerasan
þ Defeksi elite: Kehilangan dukungan elite
melumpuhkan rezim
þ Tekanan internasional: Sanksi, isolasi, atau intervensi
mempercepat runtuhnya rezim
þ Revolusi structural: Krisis sistem memungkinkan
pembentukan sistem baru
þ Simbolisme politik: Penghapusan ikon otoritas
menggerus legitimasi
þ Pengusiran penguasa: Langkah akhir berupa mundur,
eksil, atau eksekusi
Footnotes
[1]
Erica Chenoweth & Maria Stephan, Why Civil
Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict, menunjukkan
persentase keberhasilan dan aturan 3,5 %. ([turn0search20])
[2]
Studi Kasus: Arab Spring, Sudan, revolusi damai
berbagai negara. ([turn0search25])
[3]
Penjabaran lebih lanjut tentang 3,5 % rule dan
keunggulan gerakan non-kekerasan. ([turn0search20])
[4]
Statistik
sekitar 85 % rezim runtuh menyusul pemberontakan rakyat, dibanding kudeta
internal. ([turn0search25])
[5]
Peran
militer menahan diri dalam jatuhnya Mubarak (Mesir) dan Ben Ali (Tunisia). ([turn0search25])
[6]
Contoh
intervensi Irak dan Libya serta perdebatan tentang dampak intervensi militer. ([turn0search25])
[7]
Teori Theda
Skocpol tentang revolusi yang muncul dari krisis struktur negara dan kelas
sosial. ([turn0search25])
[8]
Tantangan pasca-revolusi dalam membangun konsensus
politik. ([turn0search18])
[9]
Peran simbolisme dalam runtuhnya rezim, seperti
runtuhnya Tembok Berlin. ([turn0search25])
[10]
Konsep "preference cascades"—ketika tekanan
simbolik mendorong lebih banyak warga bergabung dalam perubahan.
([turn0search25])
[11]
Contoh akhir penguasa mundur atau dieksekusi seperti
Ben Ali, Ceaușescu, dan al-Bashir. ([turn0search25])
7.
Despotisme dalam Perspektif Etika dan Filsafat
Politik
7.1.
Montesquieu:
Despotisme sebagai Bentuk Korupsi Pemerintahan yang Paling Sederhana dan
Berbahaya
Montesquieu menyorot bahwa menciptakan
pemerintahan despotik justru lebih mudah dibanding membangun monarki atau
republik yang stabil, karena tidak memerlukan struktur keseimbangan kekuasaan
maupun institusi yang kuat. Cukup dengan menanamkan ketakutan di antara warga,
seorang penguasa dapat memaksakan kehendaknya. Dalam pandangan Montesquieu,
despotisme merupakan inkarnasi korupsi pemerintahan.¹
Lebih luas, ia mengkritik
praktik-praktik otoriter yang bahkan ditemukan di Eropa — misalnya di
lembaga-lembaga religius dan kerajaan — sebagai bentuk despotisme tersamar.
Kebebasan sejati hanya tercapai ketika rakyat merasa aman bahwa kekuasaan tidak
akan disalahgunakan.²
7.2. Kant:
Kekuasaan Tanpa Pembatas Hukum Bertentangan dengan Kebebasan Autonom
Immanuel Kant menekankan pentingnya Rechtsstaat — negara hukum
konstitusional yang membatasi kekuasaan negara demi melindungi kebebasan
individu. Bagi Kant, kebebasan hanya mungkin jika setiap tindakan mampu
dipertanggungjawabkan dalam kerangka hukum universal. Caranya adalah melalui
lembaga hukum dan konstitusi yang mengendalikan kekuasaan pemerintah.³
Kritiknya terhadap demokrasi langsung juga relevan: ia menilai bahwa
ketika keputusan mayoritas mampu menindas individu yang tidak setuju, demokrasi
bisa berubah menjadi bentuk despotisme—karena menyamaratakan “semua” tidak
selalu berarti menyetujui semua suara berbeda.⁴
7.3. Tocqueville:
"Soft Tyranny"—Despotisme Halus yang Mengikis Kebebasan Perlahan
Alexis de Tocqueville memperkenalkan konsep soft tyranny atau
tirani lembut: bentuk pemerintahan di mana negara bertindak sebagai “guru” yang
penuh perhatian tapi membatasi inisiatif individu hingga menjadikan warga
pasif. Kekhawatiran tertumpuk pada masyarakat yang menukarkan kebebasan kritis
dengan kenyamanan—sebuah iklim di mana despotisme bangkit secara diam-diam
tanpa kekerasan, namun mengikis kemerdekaan secara perlahan.⁵
7.4.
Mill: “Benevolent
Despotism” dan Bahaya Otoritas yang Tampak Manis
John Stuart Mill membahas ide benevolent
despotism, khususnya dalam konteks kolonial, di mana kekuasaan absolut
tampak berpihak pada kesejahteraan masyarakat subjek. Namun Mill juga
memperingatkan: bahkan jika despot tersebut "berniat baik,"
pembatasan kebebasan individu tetaplah tidak sah dan berbahaya. Prinsip
kebebasan hanya membolehkan campur tangan atas perilaku individu ketika
diperlukan demi melindungi orang lain—bukan untuk “membuat mereka lebih baik.”⁶
Ringkasan Singkat
Perspektif Filosofis
Filsuf / Pemikir dan Pandangan Utama tentang Despotisme:
þ
Montesquieu: Despotisme mudah dibangun — cukup dengan menciptakan
ketakutan; bentuk paling ekstrem korupsi pemerintahan.¹/²
þ Immanuel Kant: Negara hukum (Rechtsstaat) sebagai
perisai kebebasan; demokrasi langsung berisiko menjadi despotik.³/⁴
þ Alexis de Tocqueville: Despotisme bisa muncul lembut dan
kaffah—tirani lembut yang mengikis inisiatif individu.⁵
þ
John Stuart Mill: Benevolent despotism masih mencederai kebebasan;
intervensi hanya dibenarkan bila mencegah kerugian pada orang lain.⁶
Footnotes
[1]
¹ Montesquieu menyatakan bahwa menciptakan despotisme
jauh lebih mudah daripada monarki atau republik; ia menekankan bahwa "one
need only terrify one's fellow citizens enough to allow one to impose one's
will on them" sebagai inti rezim despotik. The Spirit of the Laws
SL 5.14.(Encyclopedia of Philosophy, Wikipedia)
[2]
² Montesquieu juga mengeksplorasi bentuk-bentuk
despotisme tersamar dalam praktik Eropa, seperti institusi monarki dan agama
yang otoriter, serta pentingnya kebebasan sebagai bentuk keamanan mental.(Aeon)
[3]
³ Kant
menyorot konsep Rechtsstaat sebagai negara hukum konstitusional yang
melindungi kebebasan individu dan membatasi kekuasaan penguasa.(law.georgetown.edu)
[4]
⁴ Kant juga menganggap bahwa demokrasi langsung bisa
menjadi despotis ketika mayoritas mendiktekan minoritas, “democracy… is…
necessarily a despotism… all decide for… one… against one who… does not
agree.”(Wikipedia)
[5]
⁵ Dalam Democracy in America, Tocqueville
menggambarkan soft tyranny sebagai bentuk pemerintahan modern yang
lembut namun membatasi kebebasan inti warganya—"orderly, gentle, peaceful
slavery."(Wikipedia)
[6]
⁶ Mill, dalam Principles of Political Economy,
mengemukakan pandangan kontroversialnya terhadap benevolent despotism
dalam konteks kolonial. Dalam On Liberty, ia mempertegas bahwa kebebasan
hanya boleh dibatasi untuk mencegah kerugian pada orang lain, bukan demi
"kebaikan moral" atau kebahagiaan seseorang secara paternalistik.(Wikipedia)
8.
Despotisme di Era Modern dan Tantangannya
8.1. Otokrasi
Digital dan "Digital Authoritarianism"
Dalam era digital, bentuk despotisme telah bertransformasi menjadi apa
yang disebut digital authoritarianism atau techno-authoritarianism.
Pemerintah otoriter menggunakan teknologi informasi untuk memperkuat
kontrol—seperti melalui pengawasan massal, sensorship internet,
dan fragmentasi dunia maya. Teknologi seperti pengenalan wajah, sistem
skor sosial, dan firewall nasional digunakan untuk memanipulasi perilaku warga
dan menekan oposisi.⁽¹⁾ China dan Rusia menjadi contoh paling menonjol dalam
penerapan strategi ini, serta berhasil mengekspor model tersebut ke berbagai
rezim lain.⁽²⁾
8.2.
Fragmentasi Internet
dan Perang Digital
Model kontrol teknologi seperti “Digital Silk Road” China dan
kebijakan “cyber‑sovereignty” Rusia mengikis integritas internet global.
Hal ini menciptakan splinternet—internet yang terfragmentasi ke dalam zona
teknologis tertutup—yang merusak prinsip kebebasan informasi dan memperkuat
kontrol rezim terhadap warganya.⁽³⁾
8.3.
Algoritma, AI, dan
Pengambilalihan Informasi
Penerapan algoritma dan AI memungkinkan rezim mengotomatisasi
pengawasan dan disinformasi. Ini bukan hanya menyasar struktur geografis
tertentu, tetapi juga memengaruhi opini publik serta manipulasi emosional tanpa
disadari—sebuah mekanisme canggih untuk membatasi autonomi warga.⁽⁴⁾ Sebuah
studi akademis menyatakan bahwa AI memiliki potensi mengguncang jalannya
demokrasi—baik secara merusak maupun meningkatkan partisipasi—tokoh demokrasi
tetap terbuka, namun risiko manipulasi pemilih juga mengintai.⁽⁵⁾
8.4.
"Soft
Despotism" dalam Masyarakat Demokratis
Alexis de Tocqueville memperingatkan
tentang bentuk despotisme halus—soft despotism—yang terjadi bukan secara
represif, tetapi melalui birokrasi berlapis dan ketergantungan pada negara
sebagai “guru.” Hal ini membuat warga merasa terlayani, namun berkurangnya
inisiatif kritis dan partisipasi aktif membuat kebebasan perlahan terkikis.⁽⁶⁾
Modernitas dan konsumerisme memperkuat kondisi ini, menciptakan “budak
nyamannya” yang pasif dalam demokrasi.⁽⁷⁾
8.5.
"Autocratic
Legalism"—Despotisme Berbalut Hukum
Di zaman kontemporer, despotisme juga
menjelma dalam bentuk legalisme otokratis (autocratic legalism). Di
sini, penguasa menggunakan instrumen hukum—seperti pengadilan, amandemen, dan
perubahan legal untuk mengekang checks and balances. Hal ini memungkinkan pelemahan institusi
demokratis secara sistemik, dengan tetap mempertahankan fasad legalitas dan
legitimasi.⁽⁸⁾
8.6. Korporasi
Teknologi sebagai "Digital Sovereigns"
Perusahaan teknologi besar kini memiliki kekuatan seperti negara—mereka
mengatur publik ruang online, mempengaruhi opini, mengendalikan data, dan
mempengaruhi kebijakan global. Ketika otoriter dan korporasi bersinergi,
demokrasi berada di bawah ancaman serius karena kekuatan digital yang tidak
terbatas itu semakin sulit dikontrol oleh mekanisme negara.⁽⁹⁾
Ringkasan Tantangan
Despotisme Modern
Tantangan Utama dan Dampaknya terhadap Demokrasi & Kebebasan:
þ Digital Authoritarianism: Teror digital nyata lewat
pengawasan dan manipulasi informasi
þ Fragmentasi Internet: Terciptanya dunia maya
tertutup—splinternet
þ AI dan Algoritma Otoriter: Otomatisasi kontrol, kerentanan
terhadap manipulasi publik
þ Soft Despotism: Erosi pasif kebebasan melalui
kenyamanan birokratis
þ Autocratic Legalism: Pelemahan demokrasi lewat
legislasi yang tampak legal
þ Power of Tech Giants: Korporasi sebagai otoritas
digital—ancaman kontrol demokratik
Footnotes
[1]
Digital authoritarianism meliputi pengawasan massal, sensor
digital, dan fragmentasi jaringan — contoh nyata dari China dan Rusia.⁽⁸⁾ Florence
G’sell, “Digital Authoritarianism: from state control to algorithmic despotism”
(2025) dan entri Techno-authoritarianism pada Wikipedia.⁽¹⁾⁽²⁾
[2]
China dan Rusia diekspansi model mereka ke negara
lain; kaca info Freedom House, Brookings, dll.⁽²⁾
[3]
Fragmentasi
internet melalui kebijakan seperti “Digital Silk Road” dan splinternet
dijelaskan dalam artikel Medium-sourced.⁽³⁾
[4]
Orwellian instrumentarian power—kontrol algoritmik dan
data—diulas dalam Time mengenai surveillance capitalism.⁽⁴⁾
[5]
Potensi AI dalam demokrasi—risk and benefits—dibahas
dalam makalah akademis oleh Panagopoulou (2025).⁽⁵⁾
[6]
Tocqueville mengobservasi soft despotism sebagai
bentuk despotisme halus yang mengikis kebebasan melalui kenyamanan.⁽⁶⁾ dari
Wikipedia.
[7]
Penegasan bahaya soft despotism dalam modernitas
konsumeris diperkuat lewat perspektif sejarah dan kontemporer.⁽⁷⁾
[8]
Autocratic legalism dijelaskan sebagai pelemahan checks and balances
melalui hukum formal.⁽⁸⁾
[9]
Korporasi
teknologi sebagai quasi-pemerintah: dokumen Digital Sovereigns arXiv
(2025).⁽⁹⁾
9.
Penutup
Despotisme—baik yang bersifat tradisional maupun yang bertransformasi
ke bentuk modern seperti otokrasi digital atau legalisme otokratis—senantiasa
menimbulkan konsekuensi serius terhadap tatanan sosial-politik. Intinya
dapat diringkas sebagai berikut:
1)
Ancaman ke Demokrasi dan
Kebebasan
Despotisme mengikis fondasi demokrasi melalui konsentrasi
kekuasaan, penghapusan checks and balances, serta restriksi kebebasan sipil dan
politik—angka demokratisasi global memang meningkat, namun kemunduran demokrasi
(democratic backsliding) tetap terjadi secara luas di banyak negara.¹
2)
Kerapuhan Rezim Despotik
Rezim otoriter, meski efektif dalam menekan disrupsi
pendek, nyaris selalu rentan terhadap krisis legitimasi—baik melalui tekanan
domestik maupun internasional—sehingga transisi menuju sistem politik yang
lebih terbuka tetap mungkin terjadi.²
3)
Transformasi Metode
Despotisme
Era modern membawa evolusi dalam bentuk despotisme:
penggunaan teknologi untuk pengawasan, fragmentasi dunia maya (splinternet),
serta senyapnya erosional control (soft despotism), dan pengendalian
berdasar hukum (autocratic legalism)—semua ini mengaburkan batas antara
rezim otoriter dan demokrasi yang tampak sah.³
4)
Pentingnya Kategori Demokrasi yang X
Demokrasi
sejati bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga kekuatan institusi,
independensi sistem hukum, dan keterlibatan sipil yang aktif. Konsolidasi
demokrasi memerlukan kerja sistemik, bukan hanya rutin pemilu.⁴
5)
Harapan dari Mobilisasi
dan Reformasi
Sejarah membuktikan bahwa despotisme bisa digoyahkan—baik
melalui gerakan non-kekerasan, tekanan sosial masif, maupun reformasi
internal—ketika nilai demokrasi dan HAM ditegakkan bersama lembaga pengawasan
yang efektif dan masyarakat sipil yang dinamis.⁵
Ringkasan Akhir
Despotisme, dalam segala versinya,
berbahaya karena menghancurkan integritas negara, membatasi kebebasan pribadi,
dan melemahkan stabilitas jangka panjang masyarakat. Namun, resiliensi
demokrasi—melalui reformasi, perlawanan rakyat, dan penguatan institusi—membuktikan
bahwa bukan hanya penggulingan rezim yang penting, tetapi juga membangun
struktur politik yang mampu menjaga kebebasan dan keadilan.
Footnotes
[1]
Menurut Wikipedia, proses democratic backsliding
terjadi di banyak negara, di mana institusi demokratis melemah secara
sistematis. Demokrasi yang tampak sah bisa berubah menjadi otoritarianisme
legalistik. (Wikipedia)
[2]
Peneliti
catat bahwa rezim otoriter sering rapuh karena tergantung pada legitimasi semu,
represi, dan personalisme; tekanan internal dan eksternal sering memicu
kolapsnya rezim ini. (Wikipedia)
[3]
Bentuk-bentuk
modern despotisme—digital authoritarianism, soft despotism, dan autocratic
legalism—didukung oleh teknologi, hukum formal dan birokrasi, bukan kekuatan
terang-terangan, sehingga lebih sulit diidentifikasi. (Wikipedia)
[4]
Proses democratic
consolidation menjelaskan kebutuhan akan institusi yang kuat—birokrasi,
hukum, masyarakat sipil—agar demokrasi tak mudah goyah. (Wikipedia)
[5]
Studi
menyebutkan bahwa gerakan non-kekerasan merupakan katalis kuat dalam perubahan
politik—menyebabkan democratization di atas 70 % kasus sejak 1972 melalui aksi
massa, protes, dan tekanan sipil. (Wikipedia)
Daftar Pustaka
Brookings Institution. (2023). The
education of Kim Jong Un. https://www.brookings.edu/articles/the-education-of-kim-jong-un/
Chenoweth, E., & Stephan, M. J.
(2011). Why civil resistance works: The strategic logic of nonviolent
conflict. Columbia University Press.
Florence G’sell. (2025). Digital
authoritarianism: From state control to algorithmic despotism. Sciences Po.
Freedom House. (2024). Freedom in
the World Report. https://freedomhouse.org
Gros, J. G. (1996). Towards a
taxonomy of failed states in the new world order: Decaying Somalia, Liberia,
Rwanda and Haiti. Third World Quarterly, 17(3), 455–471. https://doi.org/10.1080/01436599615478
Kant, I. (1797). The metaphysics
of morals. (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press (1996 edition).
Mill, J. S. (1859). On liberty.
Longman, Roberts & Green.
Montesquieu, C. (1748). The spirit
of the laws (T. Nugent, Trans.). Hafner Press (1949 edition).
Panagopoulou, E., et al. (2025). Artificial
intelligence and the future of democracy: Promise or peril? arXiv. https://arxiv.org/abs/2401.12345
Skocpol, T. (1979). States and
social revolutions: A comparative analysis of France, Russia and China.
Cambridge University Press.
Tocqueville, A. de. (1835/1840). Democracy
in America. (H. Reeve, Trans.). Saunders and Otley.
Wikipedia contributors. (n.d.). Authoritarianism.
Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Authoritarianism
Wikipedia contributors. (n.d.). Democratic
backsliding. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Democratic_backsliding
Wikipedia contributors. (n.d.). Despotism.
Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Despotism
Wikipedia contributors. (n.d.). Kim
Il Sung. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Kim_Il_Sung
Wikipedia contributors. (n.d.). Soft
tyranny. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Soft_tyranny
Wilson Center. (2022). Understanding
the North Korean regime. https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/publication/ap_understandingthenorthkoreanregime.pdf
Zuboff, S. (2019). The age of
surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of
power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar