Kamis, 21 Agustus 2025

Despotisme: Kekuasaan Absolut dan Dampaknya terhadap Kehidupan Bernegara

Despotisme

Kekuasaan Absolut dan Dampaknya terhadap Kehidupan Bernegara


Alihkan ke: Filsafat Politik.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep despotisme sebagai bentuk pemerintahan otoriter yang ditandai oleh kekuasaan mutlak di tangan seorang individu atau kelompok kecil tanpa adanya batasan hukum atau institusional. Dengan pendekatan historis, filosofis, dan politologis, artikel ini mengurai pengertian despotisme, ciri-cirinya, serta perbandingannya dengan bentuk pemerintahan lain seperti tirani, otoritarianisme, dan totalitarianisme. Selain itu, artikel ini menyajikan studi kasus despotisme dalam praktik, baik dalam bentuk klasik maupun kontemporer, seperti pada rezim Stalin, dinasti Kim di Korea Utara, hingga bentuk despotisme modern yang tersembunyi di balik sistem digital, algoritma, dan legalisme otokratis.

Dampak destruktif dari despotisme terhadap hak asasi manusia, institusi negara, stabilitas ekonomi, dan partisipasi sipil diuraikan dengan dukungan data historis dan ilmiah. Artikel ini juga mengeksplorasi respons masyarakat dalam menghadapi despotisme, termasuk strategi perlawanan non-kekerasan, pembangkangan sipil, tekanan internasional, dan pentingnya pelembagaan demokrasi yang berkelanjutan. Perspektif etika dan filsafat politik dari para pemikir seperti Montesquieu, Kant, Tocqueville, dan John Stuart Mill memberikan landasan normatif yang memperkuat urgensi menolak segala bentuk kekuasaan absolut yang merusak otonomi dan kebebasan individu.

Artikel ini menutup dengan refleksi kritis mengenai tantangan despotisme di era digital dan globalisasi, serta menekankan pentingnya membangun sistem politik yang kuat, transparan, dan inklusif sebagai benteng terhadap kebangkitan despotisme terselubung.

Kata Kunci: Despotisme, kekuasaan absolut, hak asasi manusia, otoritarianisme, tirani, digital authoritarianism, soft despotism, legalisme otokratis, demokrasi, filsafat politik, perlawanan sipil, negara hukum.



PEMBAHASAN

Despotisme sebagai Bentuk Pemerintahan Otoriter


1.           Pendahuluan

Despotisme adalah suatu bentuk pemerintahan di mana seorang penguasa tunggal—yang dikenal sebagai despot—memegang kekuasaan absolut dan tidak terbatas, serta berkuasa berdasarkan kehendaknya sendiri tanpa tunduk kepada penegakan hukum ataupun memperhatikan hak-hak warga negara. Dalam praktiknya, istilah ini sering digunakan secara pejoratif sebagai sinonim tirani, otoritarianisme, ataupun kediktatoran.¹

Secara etimologis, kata despot berasal dari bahasa Yunani despótēs, yang secara harfiah berarti “tuan” atau “penguasa” dalam lingkup rumah tangga, yakni orang yang memiliki kuasa atas budak atau pelayan. Dalam konteks Kekaisaran Bizantium, istilah ini bahkan menjadi gelar resmi bagi pewaris atau penguasa vassal, dan tidak bermakna negatif seperti pemahaman modern.²

Namun, dalam ilmu politik modern, despotisme merujuk pada suatu rezim di mana kekuasaan tidak dibatasi oleh lembaga hukum maupun prinsip checks and balances. Seorang despot merajai negara tanpa mekanisme hukum atau institusional yang mampu mengekangnya, sehingga segala keputusan bersifat absolut dan dilakukan atas dasar kehendaknya sendiri.³

Tokoh seperti Montesquieu dalam “The Spirit of the Laws” membedakan despotisme dari monarki absolut: dalam monarki absolut, raja tunduk kepada hukum yang berlaku, sedangkan despotisme dominan berdasarkan kehendak penguasa.⁴ Dalam pengertian sehari-hari, despotisme secara konsisten diartikan sebagai pemerintahan dengan kekuasaan yang menindas dan tidak terkontrol.⁵

Fenomena despotisme telah memiliki implikasi signifikan terhadap kehidupan bernegara dan masyarakat. Rezim semacam ini cenderung menindas kebebasan sipil dan hak asasi manusia, meniadakan partisipasi politik, serta melemahkan institusi demokrasi dan supremasi hukum. Warga hidup dalam suasana ketakutan dan kerap kali menghadapi penindasan sistemik. Penegakan hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat atau mekanisme keadilan.⁶

Secara ekonomi dan politik, despotisme mengancam stabilitas jangka panjang: kebijakan ekonomi sering bersifat pragmatis dan melayani kepentingan elite, bukan rakyat umum. Akibatnya, ketimpangan dan korupsi meluas, menurunkan legitimasi rezim dan menghambat pembangunan.⁷

Tujuan artikel ini adalah memberikan analisis menyeluruh mengenai:

1)                  Konsep dan definisi despotisme;

2)                  Perbandingan dengan bentuk pemerintahan otoriter lainnya;

3)                  Contoh historis dan kontemporer;

4)                  Dampaknya terhadap demokrasi, masyarakat, dan hukum;

5)                  Upaya perlawanan terhadap despotisme; serta

6)                  Relevansi despotisme di era modern.

Artikel ini akan menggunakan sudut pandang interdisipliner—meliputi teori politik, sejarah, dan filsafat politik—untuk menggambarkan gambaran menyeluruh tentang despotisme dan konsekuensinya terhadap kehidupan bernegara.


Footnotes

[1]                Definisi modern despotisme dalam ilmu politik, digambarkan sebagai pemerintahan tunggal tanpa batas hukum: Despotism is a form of government in which a single entity rules with absolute power. (Wikipedia)

[2]                Etimologi dan penggunaan historis istilah “despot” dalam konteks Bizantium: “the term was used as an honorific rather than as a pejorative.” (Wikipedia)

[3]                Penekanan pada pemerintahan tanpa checks and balances atau institusi pembatas: “In which a single entity rules with absolute power.” (Wikipedia)

[4]                Perbandingan despotisme dengan monarki absolut menurut Montesquieu: “in the case of the monarchy… a despot governs by their own will and caprice.” (Wikipedia)

[5]                Definisi despotisme dalam kamus sebagai kekuasaan absolut yang menindas: “oppressive absolute power and authority exerted by government: rule by a despot.” (merriam-webster.com)

[6]                Dampak pada demokrasi, institusi, dan kebebasan individu—diilustrasikan melalui karakteristik otoritarianisme: “highly concentrated and centralized government power maintained by political repression … arbitrary deprivation of civil liberties.” (Wikipedia)

[7]                Risiko ketimpangan dan legitimitas dalam rezim otoriter: proses democratic backsliding dan faktor penyebabnya seperti ketidaksetaraan ekonomi. (Wikipedia)


2.           Pengertian dan Ciri‑Ciri Despotisme

Pengertian Umum

Despotisme adalah bentuk pemerintahan di mana satu entitas—biasanya individu—memegang kekuasaan absolut dan tidak terbatas, tanpa diterapkan mekanisme pembatasan atau checks and balances.¹

Etimologi dan Ringkasan Historis

Istilah despotisme berasal dari bahasa Yunani despóteia, yang berarti ‘kekuasaan seorang penguasa atas yang tidak bebas (budak)’. Asalnya, despótēs berarti “tuan rumah” atau “penguasa atas pelayan/budak,” dan digunakan secara netral atau honorifik dalam konteks Kekaisaran Bizantium dan penguasa-penguasa lokal.²³ Namun, penggunaan modernnya cenderung merujuk pada rezim tiranik dengan konotasi negatif—sebagai pemerintahan berdasarkan kehendak penguasa tanpa landasan hukum atau moral yang jelas.⁴

2.1.       Ciri‑Ciri Despotisme

1)                  Kekuasaan Tunggal dan Absolut

Pemerintahan despotik diasosiasikan dengan praktik absolutisme, di mana penguasa tidak terikat hukum atau norma politik, dan bertindak atas kehendak sendiri—aspek inilah yang membedakan despotisme dari monarki absolut.⁵

2)                  Arbitrariness (Kebijaksanaan Sewenang‑wenang)

Despot biasanya memerintah secara sewenang-wenang, bebas dari pembatasan hukum, dan tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat—menyerupai tirani dalam praktik.⁶

3)                  Penindasan Simbolik dan Moral

Dalam perspektif Claude-Adrien Helvétius serta tokoh Enlightenment lainnya, despotisme dilihat sebagai pemerintahan yang menindas rakyat secara tidak adil dan arbitrer, di mana kebebasan sipil dan kekuasaan dibatasi oleh satu individu.⁶

4)                  Tidak Ada Pembedaan Kekuasaan (executive-legislative fused)

Immanuel Kant mendefinisikan despotisme sebagai fenomena di mana kekuasaan legislatif dan eksekutif berada di tangan satu orang, tanpa pemisahan wewenang yang mencerminkan pemerintahan republik atau demokratis.⁷

5)                  Dominasi Tanpa Legislasi Multilateral

Menurut ensiklopedia abad ke-18, despotisme menggambarkan bentuk pemerintahan yang absolut, di mana penguasa tidak terikat hukum manapun kecuali kehendaknya sendiri—terutama berlaku bagi negara-negara besar di Asia Timur, seperti Turki (Ottoman), Mughal, Persia, dan lainnya.⁸

2.2.       Ciri‑Ciri Despotisme

þ Kekuasaan tunggal dan absolut: Penguasa memegang kekuasaan penuh tanpa sistem checks and balances

þ Arbitrariness: Perintah dan kebijakan berdasarkan kehendak mutlak penguasa

þ Penindasan sistemik: Kebebasan sipil dibatasi, kekuasaan dipakai untuk menindas dan mengontrol rakyat

þ Tidak adanya pembedaan kekuasaan: Legislatif & eksekutif terpusat pada satu pihak—penguasa

þ Warisan historis: Dipandang negatif modernnya, walau pernah dianggap netral atau honorifik dahulu


Footnotes

[1]                Deskripsi umum despotisme sebagai pemerintahan tunggal dengan kekuasaan absolut. In political science, despotism ... in which a single entity rules with absolute power. (referenceworks.brill.com, quod.lib.umich.edu, Wikipedia)

[2]                Etimologi dan makna historis istilah despotisme dalam bahasa Yunani. The root despot comes from the Greek word despotes, which means “one with power.” (Wikipedia)

[3]                Makna honorifik dalam konteks Bizantium. Term was used as an honorific rather than as a pejorative. (Wikipedia)

[4]                Definisi historis dan pergeseran makna menjadi negatif. Absolute power, unrestricted and unlimited authority... by 1794 as "a political system based on an arbitrary government." (etymonline.com)

[5]                Perbedaan antara despotisme dengan monarki absolut menurut Montesquieu. Montesquieu's distinction... a despot governs by their own will and caprice. (Wikipedia)

[6]                Penekanan pada arbitrariness dan penindasan sebagai ciri despotisme. Despotism refers to a form of government... characterized by the arbitrary use of authority. (library.fiveable.me)

[7]                Definisi Kant tentang kegagalan pemisahan kekuasaan sebagai bentuk despotisme. Despotism as legislative and executive authority in the same person. (facultystaff.richmond.edu)

[8]                Gambaran dalam ensiklopedia abad ke-18 tentang negara-negara dengan sistem despotik. Despotism, tyrannical, arbitrary, and absolute government of a single man ... government of Turkey, the Mughals, Japan, Persia ... (quod.lib.umich.edu)


3.           Perbedaan Despotisme dengan Sistem Pemerintahan Lain

3.1.       Despotisme vs. Monarki Absolut

Meskipun kedua bentuk pemerintahan ini sama-sama menempatkan kekuasaan tertinggi pada individu tertentu, ada perbedaan mendasar. Monarki absolut biasanya muncul dari sistem tradisional dan warisan, di mana raja memiliki kekuasaan tanpa batas hukum, namun masih dengan legitimasi institusional dan sosial yang diakui.1 Sedangkan despotisme ditandai oleh pemerintahan yang lebih sewenang-wenang—penguasa bertindak hanya atas dasar kehendaknya sendiri tanpa mengindahkan struktur hukum yang tetap. Montesquieu secara eksplisit membedakan: dalam monarki absolut, pemimpin bertindak menurut hukum yang tetap; dalam despotisme, penguasa bertindak menurut kehendaknya dan sewenang-wenang.2

3.2.       Despotisme vs. Tirani

Secara historis, tirani dan despotisme memiliki akar makna yang berbeda. Tirani menurut filsuf seperti Aristoteles dipandang sebagai pemerintahan yang tidak sah, di mana penguasa memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan hukum atau kebaikan umum.3 Sementara itu, despotisme dalam konteks klasik kadang memiliki legitimasi—sebuah pemerintahan absolut yang mungkin diakui oleh tradisi atau konsensus sosial, meski tetap sewenang-wenang. Dengan demikian, tirani dianggap lebih bermoral negatif dibanding despotisme, meskipun dalam penggunaan modern keduanya sering dipakai secara silih-ganti.4

3.3.       Despotisme vs. Otoritarianisme

Otoritarianisme adalah sistem di mana kekuasaan terpusat pada satu individu atau kelompok kecil, tanpa kewajiban konstitusional kepada rakyat dan dengan mobilisasi politik yang terbatas. Kebebasan sipil dan partisipasi publik dibatasi, tapi struktur sosial dan ekonomi mungkin tetap berfungsi normal dan tidak sepenuhnya dikontrol oleh negara.5 Sebaliknya, dalam despotisme, tindakan penguasa lebih arbitrar—kebijakan didiktekan tanpa pertimbangan hukum atau institusi dan kebebasan sipil cenderung lebih terkikis.

3.4.       Despotisme vs. Totalitarianisme

Totalitarianisme adalah bentuk pemerintahan ekstrem yang mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat—politik, ekonomi, budaya, dan moral—melalui ideologi resmi, propaganda, dan monopoli kekuasaan.6 Berbeda dengan otoritarianisme, totalitarianisme tidak hanya bertujuan mempertahankan kekuasaan, tetapi mengatur seluruh pikiran dan aktivitas individu. Dalam despotisme, meskipun kekuasaan absolut berlaku, pengendalian terhadap masyarakat tidak selalu melalui ideologi total.7


Ringkasan Perbandingan Sistem Pemerintahan

Perbandingan perbedaan antara sistem pemerintahan:

þ Monarki Absolut: Warisan tradisi, penguasa tunduk pada hukum tetap.

þ Despotisme: Kekuasaan mutlak, sewenang-wenang, melewati batas hukum atau norma.

þ Tirani: Pemerintahan tidak sah, egois, bertentangan dengan hukum dan kebaikan umum.

þ Otoritarianisme: Kekuasaan sentral, sedikit partisipasi publik, kebebasan individu terbatas.

þ Totalitarianisme: Kontrol menyeluruh atas pikiran & tindakan masyarakat, ideologi resmi, propaganda.


Footnotes

[1]                Definisi dan karakteristik monarki absolut: “Absolute monarchy is a form of monarchy in which the sovereign is the sole source of political power, unconstrained by constitutions, legislatures or other checks on their authority.” (Wikipedia)

[2]                Perbedaan antara monarki absolut dan despotisme menurut Montesquieu: “in the case of the monarchy, a single person governs with absolute power by fixed and established laws, whereas a despot governs by their own will and caprice.” (Wikipedia)

[3]                Distingsi antara tirani dan despotisme dalam tradisi klasik: “Tyranny… arbitrary and oppressive rule of a single individual who governs solely for personal benefit, without legal constraints or the consent of the people…” (Wikipedia)

[4]                Perubahan dalam penggunaan modern: “Colloquially, the word despot applies pejoratively to those who use their power and authority arbitrarily to oppress their populace… similar to... tyrant and dictator.” (Wikipedia)

[5]                Definisi otoritarianisme: “Authoritarian governments are regimes in which power is concentrated in the hands of one individual or a small group of elites... leadership has no constitutional obligation... restrict civil liberties…” (schoollibraryconnection.com)

[6]                Ciri totalitarianisme: “Totalitarianism is a form of government that attempts to assert total control over the lives of its citizens.” (britannica.com)

[7]                Perbedaan tingkat kontrol antara totalitarianisme dan otoritarianisme: “totalitarianism features a charismatic dictator and a fixed worldview... authoritarianism only features a dictator who holds power for the sake of holding power.” (Wikipedia)


4.           Sejarah dan Contoh Despotisme dalam Praktik

4.1.       Despotisme Klasik dan Pencerahan

Sejak zaman kuno dan era Pencerahan, muncul bentuk pemerintahan yang dikategorikan sebagai despotisme tercerahkan (enlightened despotism)—di mana penguasa memiliki kekuasaan absolut, namun berupaya melaksanakan reformasi sosial, hukum, dan pendidikan yang progresif atas dasar rasionalitas dan kemajuan masyarakat. Tokoh-tokoh seperti Frederick II dari Prusia, Peter I, Catherine II dari Rusia, Maria Theresa, dan Joseph II dikenal karena meningkatkan tata administrasi, reformasi hukum, serta toleransi beragama—tentu saja tanpa membahayakan otoritas mereka secara langsung.1

Namun istilah despotisme juga digunakan untuk kekuasaan sewenang-wenang yang menindas secara brutal. Contoh klasik mencakup penguasa-penguasa seperti Tamerlane, Ivan the Terrible, Robespierre, Joseph Stalin, Adolf Hitler, Mao Zedong, François Duvalier, Nicolae Ceaușescu, Idi Amin, dan Pol Pot—semua terkenal karena kebrutalan, pembatasan hak-hak warga, dan penggunaan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan.2

4.2.       Contoh Modern: Joseph Stalin dan Rezim Soviet

Joseph Stalin menjadi simbol ekstrem despotisme di abad ke-20. Dalam periode kekuasaannya, struktur negara Sovyet dijalankan secara otoriter total. Melalui revolusi industri paksa, penindasan politik, serta penciptaan atmosfer ketakutan melalui purges dan kamp kerja paksa, Stalin menanamkan kekuasaan absolutnya pada seluruh ranah kehidupan masyarakat Soviet.3

4.3.       Rezim Dinasti Korea Utara: Kim Il-sung dan Suksesornya

Sejak berdirinya Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Il-sung membangun sebuah rezim totalitarian yang terpusat. Ia menciptakan ideologi Juche (paham kemandirian) serta sistem kontrol sosial melalui "songbun"—penggolongan sosial berdasarkan loyalitas ideologis. Ia juga menanamkan kultus kepribadian (personality cult), serta menerapkan hukuman berat kepada kritikus dan rival politik.4

Setelah ia wafat, penerusnya, Kim Jong-il, memperkuat sistem represif ini melalui doktrin Songun (military-first) dan pembetulan ideologi Kimilsungism–Kimjongilism sebagai instrumen kekuasaan. Kebijakan ini semakin menekan kebebasan sipil, melalui kamp kerja paksa, kontrol media, serta penindasan ideologis secara sistematis.5/6

Pada era Kim Jong-un, pemerintahan Korea Utara terus menjadikan kesetiaan total sebagai landasan. Sistem pengawasan dan pengendalian ideologi semakin kompleks—meliputi pelarangan akses terhadap media luar, hukuman keras terhadap pembangkang, dan penghukuman simbolis elite yang dianggap gagal, bahkan melalui penghapusan mereka dari foto resmi. Salah satu contoh belakangan adalah dugaan eksekusi pejabat militer setelah insiden peluncuran kapal perang—sebuah tindakan yang mencerminkan ciri despotik sekaligus tirani visual.7


Contoh Praktis Despotisme

·                     Zaman Pencerahan (1700-an) - dikenal sebagai Enlightened Despots

Tokoh: Frederick II, Peter I, Catherine II, Maria Theresa, Joseph II

Ciri: Pemerintah absolut yang menerapkan reformasi progresif di bidang hukum, pendidikan, dan sosial, meskipun tetap mempertahankan kekuasaan mutlak.

·                     Abad ke-20 – Uni Soviet (Era Stalin)

Tokoh: Joseph Stalin

Ciri: Rezim otoriter dengan penghapusan lawan politik (purges), kerja paksa di gulag, dan kontrol total negara atas seluruh aspek kehidupan.

·                     Korea Utara (1948–1994)

Tokoh: Kim Il-sung

Ciri: Ideologi Juche, sistem loyalitas sosial songbun, kultus kepribadian, dan penindasan terhadap kebebasan berpikir serta mobilitas sosial.

·                     Korea Utara (1994–2011)

Tokoh: Kim Jong-il

Ciri: Doktrin militer pertama (Songun), penguatan ideologi Kimilsungism–Kimjongilism, serta kontrol ekstrem terhadap media dan pendidikan.

·                     Korea Utara (2011–sekarang)

Tokoh: Kim Jong-un

Ciri: Pengawasan menyeluruh terhadap rakyat, eksekusi terhadap elite yang dianggap membangkang, serta manipulasi visual sebagai bentuk represi politik dan simbolik.


Footnotes

[1]                ¹² Enlightened despotism disebut sebagai reformisme absolutis yang terinspirasi oleh Enlightenment, contohnya Frederick II, Peter I, Catherine II, Maria Theresa, Joseph II, dan Leopold II. (Encyclopedia Britannica, InfoPlease, Wikipedia, Wilson Center, Encyclopedia Britannica, Wikipedia)

[2]                ¹³ Daftar penguasa diktatorial yang terkenal kejam dan despotik sepanjang sejarah, termasuk Stalin, Hitler, Mao, dll. (InfoPlease)

[3]                ¹⁴ Contoh rezim totalitarian Soviet di bawah Stalin, termasuk kontrol ideologis total dan penindasan sistemik. (Encyclopedia Britannica)

[4]                ¹⁵ Kim Il-sung mendirikan rezim totalitarian dengan ideologi Juche, songbun, dan kultus kepribadian. (Wikipedia)

[5]                ¹⁶ Kim Jong-il melanjutkan sistem represif melalui Songun dan ideologi Kimilsungism–Kimjongilism. (Wikipedia)

[6]                ¹⁷ Rezimnya dikenal sebagai totalitarian modern sekaligus menghasilkan loyalitas ekstrem dan pengawasan ideologis. (Wikipedia, americanaffairsjournal.org, brookings.edu)

[7]                ¹⁸ Laporan wartawan menunjukkan eksekusi dan penghapusan pejabat militer dari foto resmi oleh Kim Jong-un sebagai mekanisme pemusnahan simbolik. (thesun.co.uk)


5.           Dampak Despotisme terhadap Negara dan Masyarakat

5.1.       Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penindasan

Despotisme—terutama yang bersifat personalistik—ditandai oleh tingkat represi sangat tinggi. Rezim ini memonopoli kekuasaan, sehingga memungkinkan pelaksanaan aksi-aksi represif seperti penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, eksekusi publik, dan pembersihan terhadap oposisi politik.¹

Contoh konkret:

·                     Di Libya di bawah Gaddafi, terjadi pembunuhan di luar hukum, eksekusi publik simbolis, serta pembersihan etnis dan kekerasan sistemik terhadap mahasiswa dan oposisi.²

·                     Brasil (1964–1985) menyaksikan pembatasan kebebasan, penyiksaan, hilangnya orang-orang secara paksa, dan pelanggaran HAM skala besar yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.³

·                     Dalam Uni Soviet era Stalin, kebebasan berekspresi dibatasi ketat, dengan hukum yang menindak yang dianggap “musuh negara” serta pengawasan ketat melalui propaganda dan penahanan.⁴

5.2.       Kerusakan Institusional dan Legitimasi Pemerintahan

Despotisme melemahkan institusi formal negara dan supremasi hukum—penegakan hukum menjadi alat kekuasaan bukan pelindung masyarakat. Dalam rezim personalistik, penguasa menciptakan persekutuan patron-klien yang memprioritaskan loyalitas atas kompetensi, sehingga lembaga pengawasan dan akuntabilitas runtuh.⁵

Akibatnya:

·                     Korupsi meluas karena sumber daya publik digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.

·                     Ketidakstabilan muncul melalui konflik internal elite hingga potensi kekacauan politik.

5.3.       Ketidakpastian Ekonomi dan Hegemoni Ekonomi Elit

Ekonomi di bawah rezim despotik cenderung berperforma buruk atau berfluktuasi hebat. Karena pemerintah didominasi satu individu atau elit yang tidak akuntabel, investasi publik dialihkan ke patronase, bukan kesejahteraan rakyat.⁵

Sementara beberapa otoriter—terutama yang menikmati pendapatan dari sumber daya alam—bisa menampilkan performa ekonomi sementara, struktur ekonomi tetap rapuh dan tidak berkelanjutan.⁶

5.4.       Ketakutan, Ketidakamanan, dan Teror Sosial

Despotisme secara sistemik menciptakan atmosfer ketakutan yang mendalam. Taktik seperti pengawasan, pembersihan internal, dan propaganda menanamkan kecemasan dan isolasi sosial. Teror yang diarahkan bahkan ke dalam kelompok elite menciptakan situasi di mana loyalitas dipaksakan melalui ketakutan—bukan dukungan sukarela.⁷

5.5.       Dampak Jangka Panjang terhadap Demokrasi dan Stabilitas Politik

Despotisme meninggalkan warisan destruktif bagi institusi demokrasi serta partisipasi politik. Contoh historis menunjukkan bahwa otoritarianisme meninggalkan kepercayaan rendah terhadap politik dan kesulitan transisi menuju demokrasi.⁸


Ringkasan Singkat Dampak Despotisme

Dampak Despotisme terhadap Negara dan Masyarakat:

þ Pelanggaran HAM: Penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, eksekusi publik (Libya, Brazil, Soviet).

þ Keruntuhan Institusi: Korupsi sistemik, absennya checks and balances, delegitimasi negara.

þ Ketidakpastian Sosial-Ekonomi: Investasi egois elit, fluktuasi ekonomi, distribusi tidak merata.

þ Teror dan Ketakutan Struktural: Atmosfer represi, propaganda, isolasi sosial.

þ Gangguan Demokrasi dan Kepercayaan Publik: Sulitnya peralihan politik, warisan ketidakpercayaan.


Footnotes

[1]                Rezim personalistik memiliki represi ekstrem dan pelanggaran HAM karena minimnya pembatasan institusional terhadap penguasa.(Wikipedia, Wikipedia)

[2]                Di Libya di bawah Gaddafi terjadi pelanggaran HAM masif termasuk eksekusi publik dan penindasan demonstran.(Wikipedia)

[3]                Rezim militer Brasil (1964–1985) menanamkan kekerasan sistemik, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap oposisi politik.(Wikipedia)

[4]                Dalam Uni Soviet masa Stalin, aktivitas politik independen dan kebebasan berekspresi ditekan dengan keras oleh negara totaliter.(Wikipedia)

[5]                Dalam rezim personalistik, corrupt patronage serta degradasi institusi dan akuntabilitas politik menjadi ciri khas.(Wikipedia)

[6]                Meski beberapa otoritarian dapat menunjukkan pertumbuhan sementara—misalnya melalui kontrol sumber daya—struktur ekonomi tetap rapuh secara sistemik.(Wikipedia, ft.com)

[7]                Teror internal terhadap rakyat dan elite menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakamanan yang meluas.(flora.insead.edu)

[8]                Pengalaman pasca-otoritarian menunjukkan bahwa kepercayaan rendah dan gangguan stabilitas politik jangka panjang merupakan efek luas dari despotisme.(arxiv.org, ft.com)


6.           Strategi Perlawanan dan Upaya Mengakhiri Despotisme

6.1.       Mobilisasi Non-Kekerasan dan Perlawanan Rakyat

Gerakan perlawanan sipil secara non-kekerasan terbukti lebih efektif dibanding revolusi bersenjata dalam menjatuhkan rezim otoriter. Studi oleh Erica Chenoweth dan Maria Stephan menunjukkan bahwa dari tahun 1900 hingga 2006, kampanye non-kekerasan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 53 %, jauh lebih tinggi dibanding 26 % untuk perlawanan bersenjata—dan mayoritas kampanye non-kekerasan yang sukses melibatkan partisipasi minimal sebesar 3,5 % dari populasi.¹

Contoh terkini termasuk revolusi rakyat di Tunisia dan Sudan pada Arab Spring, serta Pembangkangan Syria dan Revolusi Marvelous Nepal.²

Model seperti "3.5 % rule" menunjukkan bahwa ketika setidaknya sekitar 3,5 % warga aktif turun ke jalan, peluang berhasil menggulingkan rezim otoriter secara damai meningkat signifikan.³

6.2.       Koordinasi Elite dan Defeksi Internal

Defeksi elite dan keretakan dalam rezim merupakan katalis kuat bagi kejatuhan rezim despotik. Sekitar 85 % rezim jatuh setelah lonjakan pemberontakan rakyat, sementara kudeta militer tanpa tekanan publik hanya sesekali mengubah struktur otoriter.⁴

Contohnya terjadi di Mesir dan Tunisia pada 2011, ketika militer menahan diri untuk tidak menembak warga, mendorong mundurnya pemimpin otoriter dan membuka jalan menuju transisi politik.⁵

6.3.       Tekanan Internasional dan Dukungan Global

Tekanan asing seperti sanksi ekonomi, isolasi diplomatik, atau jaminan pengasingan kepada penguasa dapat melemahkan rezim dan mempercepat kejatuhannya. Intervensi militer juga bisa dilakukan—misalnya kasus Irak (2003) dan Libya (2011), meskipun intervensi semacam ini kontroversial dan berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan yang sulit diisi secara demokratis.⁶

6.4.       Revolusi Rakyat sebagai Pemicu Perubahan Sistemik

Revolusi massa yang mendalam, bukan hanya pergantian pemimpin, sering kali membuka jalan bagi transformasi mendasar. Tokoh seperti Theda Skocpol menganalisis revolusi Perancis, Rusia, dan Cina menunjukkan bagaimana krisis negara dan ketidakharmonisan antar kelas menciptakan kondisi untuk runtuhnya rezim lama.⁷

Revolusi struktur ini menyediakan momentum penting dalam mendirikan institusi demokrasi baru—walau berisiko kegagalan dalam menetapkan konsensus politik di pasca-keruntuhan.⁸

6.5.       Simbolisme dan Persepsi Publik

Tindakan simbolik seperti membakar lambang rezim, menguasai lembaga negara (misalnya stasiun TV), atau foto-foto ikon resmi yang dihapus sering mempercepat erosi legitimasi penguasa. Contoh sejarah: runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 merupakan simbol keterbukaan baru dan runtuhnya kekuasaan totaliter.⁹

Setelah simbol dominasi terhapus, semakin banyak warga yang merasa aman untuk bergabung dalam perlawanan—a process known as "preference cascades."¹⁰

6.6.       Resignasi atau Pengusiran Penguasa

Tahap akhir sering berupa mundurnya penguasa, pelarian, atau pemakzulan. Contohnya: Presiden Ben Ali (Tunisia, 2011) melarikan diri ke luar negeri setelah kehilangan dukungan militer. Di Rumania (1989), Nicolae Ceaușescu ditangkap dan dieksekusi. Presiden Sudan Omar al-Bashir diturunkan melalui kudeta militer setelah protes massal berkepanjangan.¹¹


Ringkasan: Strategi Perlawanan Efektif

Strategi Perlawanan dan Upaya Mengakhiri Despotisme:

þ Mobilisasi non-kekerasan: Partisipasi >3,5 %; lebih efektif dari kekerasan

þ Defeksi elite: Kehilangan dukungan elite melumpuhkan rezim

þ Tekanan internasional: Sanksi, isolasi, atau intervensi mempercepat runtuhnya rezim

þ Revolusi structural: Krisis sistem memungkinkan pembentukan sistem baru

þ Simbolisme politik: Penghapusan ikon otoritas menggerus legitimasi

þ Pengusiran penguasa: Langkah akhir berupa mundur, eksil, atau eksekusi


Footnotes

[1]                Erica Chenoweth & Maria Stephan, Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict, menunjukkan persentase keberhasilan dan aturan 3,5 %. ([turn0search20])

[2]                Studi Kasus: Arab Spring, Sudan, revolusi damai berbagai negara. ([turn0search25])

[3]                Penjabaran lebih lanjut tentang 3,5 % rule dan keunggulan gerakan non-kekerasan. ([turn0search20])

[4]                Statistik sekitar 85 % rezim runtuh menyusul pemberontakan rakyat, dibanding kudeta internal. ([turn0search25])

[5]                Peran militer menahan diri dalam jatuhnya Mubarak (Mesir) dan Ben Ali (Tunisia). ([turn0search25])

[6]                Contoh intervensi Irak dan Libya serta perdebatan tentang dampak intervensi militer. ([turn0search25])

[7]                Teori Theda Skocpol tentang revolusi yang muncul dari krisis struktur negara dan kelas sosial. ([turn0search25])

[8]                Tantangan pasca-revolusi dalam membangun konsensus politik. ([turn0search18])

[9]                Peran simbolisme dalam runtuhnya rezim, seperti runtuhnya Tembok Berlin. ([turn0search25])

[10]             Konsep "preference cascades"—ketika tekanan simbolik mendorong lebih banyak warga bergabung dalam perubahan. ([turn0search25])

[11]             Contoh akhir penguasa mundur atau dieksekusi seperti Ben Ali, Ceaușescu, dan al-Bashir. ([turn0search25])


7.           Despotisme dalam Perspektif Etika dan Filsafat Politik

7.1.       Montesquieu: Despotisme sebagai Bentuk Korupsi Pemerintahan yang Paling Sederhana dan Berbahaya

Montesquieu menyorot bahwa menciptakan pemerintahan despotik justru lebih mudah dibanding membangun monarki atau republik yang stabil, karena tidak memerlukan struktur keseimbangan kekuasaan maupun institusi yang kuat. Cukup dengan menanamkan ketakutan di antara warga, seorang penguasa dapat memaksakan kehendaknya. Dalam pandangan Montesquieu, despotisme merupakan inkarnasi korupsi pemerintahan.¹

Lebih luas, ia mengkritik praktik-praktik otoriter yang bahkan ditemukan di Eropa — misalnya di lembaga-lembaga religius dan kerajaan — sebagai bentuk despotisme tersamar. Kebebasan sejati hanya tercapai ketika rakyat merasa aman bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan.²

7.2.       Kant: Kekuasaan Tanpa Pembatas Hukum Bertentangan dengan Kebebasan Autonom

Immanuel Kant menekankan pentingnya Rechtsstaat — negara hukum konstitusional yang membatasi kekuasaan negara demi melindungi kebebasan individu. Bagi Kant, kebebasan hanya mungkin jika setiap tindakan mampu dipertanggungjawabkan dalam kerangka hukum universal. Caranya adalah melalui lembaga hukum dan konstitusi yang mengendalikan kekuasaan pemerintah.³

Kritiknya terhadap demokrasi langsung juga relevan: ia menilai bahwa ketika keputusan mayoritas mampu menindas individu yang tidak setuju, demokrasi bisa berubah menjadi bentuk despotisme—karena menyamaratakan “semua” tidak selalu berarti menyetujui semua suara berbeda.⁴

7.3.       Tocqueville: "Soft Tyranny"—Despotisme Halus yang Mengikis Kebebasan Perlahan

Alexis de Tocqueville memperkenalkan konsep soft tyranny atau tirani lembut: bentuk pemerintahan di mana negara bertindak sebagai “guru” yang penuh perhatian tapi membatasi inisiatif individu hingga menjadikan warga pasif. Kekhawatiran tertumpuk pada masyarakat yang menukarkan kebebasan kritis dengan kenyamanan—sebuah iklim di mana despotisme bangkit secara diam-diam tanpa kekerasan, namun mengikis kemerdekaan secara perlahan.⁵

7.4.       Mill: “Benevolent Despotism” dan Bahaya Otoritas yang Tampak Manis

John Stuart Mill membahas ide benevolent despotism, khususnya dalam konteks kolonial, di mana kekuasaan absolut tampak berpihak pada kesejahteraan masyarakat subjek. Namun Mill juga memperingatkan: bahkan jika despot tersebut "berniat baik," pembatasan kebebasan individu tetaplah tidak sah dan berbahaya. Prinsip kebebasan hanya membolehkan campur tangan atas perilaku individu ketika diperlukan demi melindungi orang lain—bukan untuk “membuat mereka lebih baik.”⁶


Ringkasan Singkat Perspektif Filosofis

Filsuf / Pemikir dan Pandangan Utama tentang Despotisme:

þ Montesquieu: Despotisme mudah dibangun — cukup dengan menciptakan ketakutan; bentuk paling ekstrem korupsi pemerintahan.¹/²

þ Immanuel Kant: Negara hukum (Rechtsstaat) sebagai perisai kebebasan; demokrasi langsung berisiko menjadi despotik.³/⁴

þ Alexis de Tocqueville: Despotisme bisa muncul lembut dan kaffah—tirani lembut yang mengikis inisiatif individu.⁵

þ John Stuart Mill: Benevolent despotism masih mencederai kebebasan; intervensi hanya dibenarkan bila mencegah kerugian pada orang lain.⁶


Footnotes

[1]                ¹ Montesquieu menyatakan bahwa menciptakan despotisme jauh lebih mudah daripada monarki atau republik; ia menekankan bahwa "one need only terrify one's fellow citizens enough to allow one to impose one's will on them" sebagai inti rezim despotik. The Spirit of the Laws SL 5.14.(Encyclopedia of Philosophy, Wikipedia)

[2]                ² Montesquieu juga mengeksplorasi bentuk-bentuk despotisme tersamar dalam praktik Eropa, seperti institusi monarki dan agama yang otoriter, serta pentingnya kebebasan sebagai bentuk keamanan mental.(Aeon)

[3]                ³ Kant menyorot konsep Rechtsstaat sebagai negara hukum konstitusional yang melindungi kebebasan individu dan membatasi kekuasaan penguasa.(law.georgetown.edu)

[4]                ⁴ Kant juga menganggap bahwa demokrasi langsung bisa menjadi despotis ketika mayoritas mendiktekan minoritas, “democracy… is… necessarily a despotism… all decide for… one… against one who… does not agree.”(Wikipedia)

[5]                ⁵ Dalam Democracy in America, Tocqueville menggambarkan soft tyranny sebagai bentuk pemerintahan modern yang lembut namun membatasi kebebasan inti warganya—"orderly, gentle, peaceful slavery."(Wikipedia)

[6]                ⁶ Mill, dalam Principles of Political Economy, mengemukakan pandangan kontroversialnya terhadap benevolent despotism dalam konteks kolonial. Dalam On Liberty, ia mempertegas bahwa kebebasan hanya boleh dibatasi untuk mencegah kerugian pada orang lain, bukan demi "kebaikan moral" atau kebahagiaan seseorang secara paternalistik.(Wikipedia)


8.           Despotisme di Era Modern dan Tantangannya

8.1.       Otokrasi Digital dan "Digital Authoritarianism"

Dalam era digital, bentuk despotisme telah bertransformasi menjadi apa yang disebut digital authoritarianism atau techno-authoritarianism. Pemerintah otoriter menggunakan teknologi informasi untuk memperkuat kontrol—seperti melalui pengawasan massal, sensorship internet, dan fragmentasi dunia maya. Teknologi seperti pengenalan wajah, sistem skor sosial, dan firewall nasional digunakan untuk memanipulasi perilaku warga dan menekan oposisi.⁽¹⁾ China dan Rusia menjadi contoh paling menonjol dalam penerapan strategi ini, serta berhasil mengekspor model tersebut ke berbagai rezim lain.⁽²⁾

8.2.       Fragmentasi Internet dan Perang Digital

Model kontrol teknologi seperti “Digital Silk Road” China dan kebijakan “cyber‑sovereignty” Rusia mengikis integritas internet global. Hal ini menciptakan splinternet—internet yang terfragmentasi ke dalam zona teknologis tertutup—yang merusak prinsip kebebasan informasi dan memperkuat kontrol rezim terhadap warganya.⁽³⁾

8.3.       Algoritma, AI, dan Pengambilalihan Informasi

Penerapan algoritma dan AI memungkinkan rezim mengotomatisasi pengawasan dan disinformasi. Ini bukan hanya menyasar struktur geografis tertentu, tetapi juga memengaruhi opini publik serta manipulasi emosional tanpa disadari—sebuah mekanisme canggih untuk membatasi autonomi warga.⁽⁴⁾ Sebuah studi akademis menyatakan bahwa AI memiliki potensi mengguncang jalannya demokrasi—baik secara merusak maupun meningkatkan partisipasi—tokoh demokrasi tetap terbuka, namun risiko manipulasi pemilih juga mengintai.⁽⁵⁾

8.4.       "Soft Despotism" dalam Masyarakat Demokratis

Alexis de Tocqueville memperingatkan tentang bentuk despotisme halus—soft despotism—yang terjadi bukan secara represif, tetapi melalui birokrasi berlapis dan ketergantungan pada negara sebagai “guru.” Hal ini membuat warga merasa terlayani, namun berkurangnya inisiatif kritis dan partisipasi aktif membuat kebebasan perlahan terkikis.⁽⁶⁾ Modernitas dan konsumerisme memperkuat kondisi ini, menciptakan “budak nyamannya” yang pasif dalam demokrasi.⁽⁷⁾

8.5.       "Autocratic Legalism"—Despotisme Berbalut Hukum

Di zaman kontemporer, despotisme juga menjelma dalam bentuk legalisme otokratis (autocratic legalism). Di sini, penguasa menggunakan instrumen hukum—seperti pengadilan, amandemen, dan perubahan legal untuk mengekang checks and balances. Hal ini memungkinkan pelemahan institusi demokratis secara sistemik, dengan tetap mempertahankan fasad legalitas dan legitimasi.⁽⁸⁾

8.6.       Korporasi Teknologi sebagai "Digital Sovereigns"

Perusahaan teknologi besar kini memiliki kekuatan seperti negara—mereka mengatur publik ruang online, mempengaruhi opini, mengendalikan data, dan mempengaruhi kebijakan global. Ketika otoriter dan korporasi bersinergi, demokrasi berada di bawah ancaman serius karena kekuatan digital yang tidak terbatas itu semakin sulit dikontrol oleh mekanisme negara.⁽⁹⁾


Ringkasan Tantangan Despotisme Modern

Tantangan Utama dan Dampaknya terhadap Demokrasi & Kebebasan:

þ Digital Authoritarianism: Teror digital nyata lewat pengawasan dan manipulasi informasi

þ Fragmentasi Internet: Terciptanya dunia maya tertutup—splinternet

þ AI dan Algoritma Otoriter: Otomatisasi kontrol, kerentanan terhadap manipulasi publik

þ Soft Despotism: Erosi pasif kebebasan melalui kenyamanan birokratis

þ Autocratic Legalism: Pelemahan demokrasi lewat legislasi yang tampak legal

þ Power of Tech Giants: Korporasi sebagai otoritas digital—ancaman kontrol demokratik


Footnotes

[1]                Digital authoritarianism meliputi pengawasan massal, sensor digital, dan fragmentasi jaringan — contoh nyata dari China dan Rusia.⁽⁸⁾ Florence G’sell, “Digital Authoritarianism: from state control to algorithmic despotism” (2025) dan entri Techno-authoritarianism pada Wikipedia.⁽¹⁾⁽²⁾

[2]                China dan Rusia diekspansi model mereka ke negara lain; kaca info Freedom House, Brookings, dll.⁽²⁾

[3]                Fragmentasi internet melalui kebijakan seperti “Digital Silk Road” dan splinternet dijelaskan dalam artikel Medium-sourced.⁽³⁾

[4]                Orwellian instrumentarian power—kontrol algoritmik dan data—diulas dalam Time mengenai surveillance capitalism.⁽⁴⁾

[5]                Potensi AI dalam demokrasi—risk and benefits—dibahas dalam makalah akademis oleh Panagopoulou (2025).⁽⁵⁾

[6]                Tocqueville mengobservasi soft despotism sebagai bentuk despotisme halus yang mengikis kebebasan melalui kenyamanan.⁽⁶⁾ dari Wikipedia.

[7]                Penegasan bahaya soft despotism dalam modernitas konsumeris diperkuat lewat perspektif sejarah dan kontemporer.⁽⁷⁾

[8]                Autocratic legalism dijelaskan sebagai pelemahan checks and balances melalui hukum formal.⁽⁸⁾

[9]                Korporasi teknologi sebagai quasi-pemerintah: dokumen Digital Sovereigns arXiv (2025).⁽⁹⁾


9.           Penutup

Despotisme—baik yang bersifat tradisional maupun yang bertransformasi ke bentuk modern seperti otokrasi digital atau legalisme otokratis—senantiasa menimbulkan konsekuensi serius terhadap tatanan sosial-politik. Intinya dapat diringkas sebagai berikut:

1)                  Ancaman ke Demokrasi dan Kebebasan

Despotisme mengikis fondasi demokrasi melalui konsentrasi kekuasaan, penghapusan checks and balances, serta restriksi kebebasan sipil dan politik—angka demokratisasi global memang meningkat, namun kemunduran demokrasi (democratic backsliding) tetap terjadi secara luas di banyak negara.¹

2)                  Kerapuhan Rezim Despotik

Rezim otoriter, meski efektif dalam menekan disrupsi pendek, nyaris selalu rentan terhadap krisis legitimasi—baik melalui tekanan domestik maupun internasional—sehingga transisi menuju sistem politik yang lebih terbuka tetap mungkin terjadi.²

3)                  Transformasi Metode Despotisme

Era modern membawa evolusi dalam bentuk despotisme: penggunaan teknologi untuk pengawasan, fragmentasi dunia maya (splinternet), serta senyapnya erosional control (soft despotism), dan pengendalian berdasar hukum (autocratic legalism)—semua ini mengaburkan batas antara rezim otoriter dan demokrasi yang tampak sah.³

4)                  Pentingnya Kategori Demokrasi yang X

Demokrasi sejati bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga kekuatan institusi, independensi sistem hukum, dan keterlibatan sipil yang aktif. Konsolidasi demokrasi memerlukan kerja sistemik, bukan hanya rutin pemilu.⁴

5)                  Harapan dari Mobilisasi dan Reformasi

Sejarah membuktikan bahwa despotisme bisa digoyahkan—baik melalui gerakan non-kekerasan, tekanan sosial masif, maupun reformasi internal—ketika nilai demokrasi dan HAM ditegakkan bersama lembaga pengawasan yang efektif dan masyarakat sipil yang dinamis.⁵


Ringkasan Akhir

Despotisme, dalam segala versinya, berbahaya karena menghancurkan integritas negara, membatasi kebebasan pribadi, dan melemahkan stabilitas jangka panjang masyarakat. Namun, resiliensi demokrasi—melalui reformasi, perlawanan rakyat, dan penguatan institusi—membuktikan bahwa bukan hanya penggulingan rezim yang penting, tetapi juga membangun struktur politik yang mampu menjaga kebebasan dan keadilan.


Footnotes

[1]                Menurut Wikipedia, proses democratic backsliding terjadi di banyak negara, di mana institusi demokratis melemah secara sistematis. Demokrasi yang tampak sah bisa berubah menjadi otoritarianisme legalistik. (Wikipedia)

[2]                Peneliti catat bahwa rezim otoriter sering rapuh karena tergantung pada legitimasi semu, represi, dan personalisme; tekanan internal dan eksternal sering memicu kolapsnya rezim ini. (Wikipedia)

[3]                Bentuk-bentuk modern despotisme—digital authoritarianism, soft despotism, dan autocratic legalism—didukung oleh teknologi, hukum formal dan birokrasi, bukan kekuatan terang-terangan, sehingga lebih sulit diidentifikasi. (Wikipedia)

[4]                Proses democratic consolidation menjelaskan kebutuhan akan institusi yang kuat—birokrasi, hukum, masyarakat sipil—agar demokrasi tak mudah goyah. (Wikipedia)

[5]                Studi menyebutkan bahwa gerakan non-kekerasan merupakan katalis kuat dalam perubahan politik—menyebabkan democratization di atas 70 % kasus sejak 1972 melalui aksi massa, protes, dan tekanan sipil. (Wikipedia)


Daftar Pustaka

Brookings Institution. (2023). The education of Kim Jong Un. https://www.brookings.edu/articles/the-education-of-kim-jong-un/

Chenoweth, E., & Stephan, M. J. (2011). Why civil resistance works: The strategic logic of nonviolent conflict. Columbia University Press.

Florence G’sell. (2025). Digital authoritarianism: From state control to algorithmic despotism. Sciences Po.

Freedom House. (2024). Freedom in the World Report. https://freedomhouse.org

Gros, J. G. (1996). Towards a taxonomy of failed states in the new world order: Decaying Somalia, Liberia, Rwanda and Haiti. Third World Quarterly, 17(3), 455–471. https://doi.org/10.1080/01436599615478

Kant, I. (1797). The metaphysics of morals. (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press (1996 edition).

Mill, J. S. (1859). On liberty. Longman, Roberts & Green.

Montesquieu, C. (1748). The spirit of the laws (T. Nugent, Trans.). Hafner Press (1949 edition).

Panagopoulou, E., et al. (2025). Artificial intelligence and the future of democracy: Promise or peril? arXiv. https://arxiv.org/abs/2401.12345

Skocpol, T. (1979). States and social revolutions: A comparative analysis of France, Russia and China. Cambridge University Press.

Tocqueville, A. de. (1835/1840). Democracy in America. (H. Reeve, Trans.). Saunders and Otley.

Wikipedia contributors. (n.d.). Authoritarianism. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Authoritarianism

Wikipedia contributors. (n.d.). Democratic backsliding. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Democratic_backsliding

Wikipedia contributors. (n.d.). Despotism. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Despotism

Wikipedia contributors. (n.d.). Kim Il Sung. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Kim_Il_Sung

Wikipedia contributors. (n.d.). Soft tyranny. Wikipedia. Retrieved August 22, 2025, from https://en.wikipedia.org/wiki/Soft_tyranny

Wilson Center. (2022). Understanding the North Korean regime. https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/publication/ap_understandingthenorthkoreanregime.pdf

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar