Hukum Tanah
Antara Kepemilikan Pribadi dan
Penguasaan Negara
Alihkan ke: Hukum
Tanah di Indonesia, Ilmu
Hukum, Sistem
Hukum.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
dinamika hukum tanah di Indonesia, khususnya hubungan antara konsep kepemilikan
pribadi dan penguasaan negara. Berangkat dari perspektif konstitusional
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tanah diposisikan sebagai
sumber daya yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, negara tidak bertindak
sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai penguasa yang memiliki kewenangan mengatur,
mengelola, dan mendistribusikan hak-hak atas tanah kepada individu maupun badan
hukum. Artikel ini mengurai pengertian dan konsep dasar hukum tanah, landasan
konstitusional, makna “penguasaan negara”, ragam hak perdata atas tanah,
serta pembatasan dan intervensi negara. Pembahasan juga mencakup kasus khusus
tanah adat (hak ulayat), kepemilikan oleh asing, serta perbandingan dengan
sistem hukum di negara lain. Melalui analisis normatif, artikel ini menilai
bahwa dalam sistem hukum Indonesia, hak perorangan atas tanah bersumber dari
mandat konstitusional negara sebagai penguasa, sehingga kepemilikan pribadi
tidak pernah sepenuhnya lepas dari fungsi sosial dan batasan publik.
Rekomendasi kebijakan difokuskan pada perlunya keseimbangan antara perlindungan
hak individu, pengakuan hak masyarakat adat, dan optimalisasi peran negara
untuk menjamin keadilan agraria.
Kata Kunci: hukum
tanah, penguasaan negara, kepemilikan pribadi, UUPA 1960, hak ulayat, keadilan agrarian.
PEMBAHASAN
Apakah Tanah itu Milik Pribadi
atau Milik Negara?
1.
Pendahuluan
Tanah merupakan salah satu sumber daya
alam yang memiliki peran vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat
tinggal, lahan usaha, maupun sumber produksi pangan. Dalam konteks negara
agraris seperti Indonesia, keberadaan tanah tidak hanya memiliki nilai
ekonomis, tetapi juga nilai sosial, politik, dan budaya yang mendalam. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah
menjadi faktor strategis bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan
pembangunan nasional. Oleh karena itu, perdebatan mengenai status dasar tanah —
apakah merupakan milik pribadi atau sepenuhnya berada dalam penguasaan negara —
menjadi isu hukum yang fundamental dan memerlukan kajian mendalam.
Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rumusan ini menegaskan adanya hak
menguasai negara atas sumber daya agraria. Namun, konsep “dikuasai”
dalam rumusan tersebut tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai “dimiliki”
oleh negara, melainkan sebagai kewenangan publik yang memberi negara otoritas
untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaan tanah bagi kepentingan
umum, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Pasal 2 ayat (2)
UUPA).
Di sisi lain, UUPA juga mengakui keberadaan hak-hak perdata atas tanah,
termasuk hak milik sebagai hak terkuat yang dapat dipunyai warga negara
Indonesia (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Hak milik ini memberikan wewenang penuh
bagi pemegangnya untuk menggunakan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan
fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Prinsip fungsi sosial ini menjadi batas penting
yang menghindarkan hak milik dari sifat absolut, karena setiap hak atas tanah
harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi pemiliknya
sendiri.
Konsepsi ganda ini — negara sebagai pemegang kewenangan publik
tertinggi atas tanah dan individu sebagai pemegang hak perdata — menciptakan
sistem hukum yang bersifat hibrida. Sistem ini mencoba menyeimbangkan dua
kepentingan yang sering kali berpotensi bertentangan: di satu sisi, kepastian
hukum dan perlindungan hak milik pribadi; di sisi lain, kewenangan negara untuk
melakukan intervensi demi mewujudkan pemerataan, keadilan sosial, dan
kemakmuran rakyat. Ketegangan antara kedua kepentingan ini menjadi semakin
kompleks di tengah dinamika pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi
kebutuhan lahan untuk kepentingan umum maupun investasi swasta.
Selain itu, dalam praktiknya, status
tanah juga sering bersinggungan dengan hak-hak adat (hak ulayat),
penguasaan tanah oleh korporasi besar, serta keterbatasan akses masyarakat
miskin terhadap lahan produktif. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan agraria yang bersifat
multidimensional, mulai dari sengketa perdata antarindividu hingga konflik
horizontal dan vertikal antara masyarakat, swasta, dan pemerintah. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa konflik agraria kerap berakar pada perbedaan
penafsiran dan implementasi prinsip hak menguasai negara versus hak
milik pribadi, sehingga pemahaman yang komprehensif terhadap kedua konsep ini
menjadi sangat penting bagi pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat
umum.
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan membahas secara
mendalam dasar-dasar hukum tanah di Indonesia, dengan fokus pada analisis
hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan negara. Pendekatan yang
digunakan adalah normatif dengan mengacu pada sumber hukum primer seperti UUD
1945, UUPA, dan peraturan terkait, serta diperkuat oleh pandangan akademisi dan
praktik yurisprudensi. Harapannya, kajian ini dapat memberikan gambaran yang
jelas tentang posisi hukum tanah dalam kerangka hukum nasional dan menjawab
pertanyaan mendasar: sejauh mana tanah di Indonesia dapat dimiliki oleh
individu, dan sejauh mana negara memiliki kewenangan atasnya, baik dari
perspektif hukum maupun kepentingan publik.
2.
Pengertian
& Konsep Dasar
Dalam hukum Indonesia, istilah tanah
memiliki makna yang tidak sekadar merujuk pada permukaan bumi secara fisik,
melainkan pada bagian tertentu dari permukaan bumi yang memiliki batas, ukuran,
dan lokasi tertentu, yang merupakan objek dari hak-hak atas tanah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa “atas
dasar hak menguasai dari negara” ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama serta badan hukum. Artinya, tanah dalam
konteks hukum adalah objek hak, bukan sekadar benda alamiah yang berdiri
sendiri.
Secara yuridis, istilah hak atas tanah mencakup wewenang,
kewajiban, dan larangan yang diberikan hukum kepada pemegangnya untuk
menggunakan atau memanfaatkan sebidang tanah dalam jangka waktu tertentu atau
tanpa batas, sesuai dengan jenis hak yang dimilikinya. Hak-hak ini dapat
bersifat hak perdata (misalnya hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai) atau hak publik yang melekat pada
negara dalam bentuk hak menguasai negara (Pasal 2 UUPA). Dengan
demikian, tanah dalam hukum agraria tidak dapat dilepaskan dari hubungan hukum
yang mengaturnya, baik hubungan antara individu dengan tanah, antara individu
dengan negara, maupun antara negara dengan seluruh wilayah teritorialnya.
Konsep hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (2) UUPA bersumber langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam “dikuasai oleh negara” untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjelasan UUPA menegaskan bahwa frasa “dikuasai
oleh negara” tidak berarti negara menjadi pemilik secara absolut, melainkan
negara memiliki kewenangan untuk:
1)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.
2)
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan tanah.
3)
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Dengan demikian, negara bertindak sebagai penguasa publik yang memegang
kedaulatan atas sumber daya agraria, sekaligus sebagai regulator yang
menetapkan dan mengatur hak-hak privat atas tanah.
Di sisi lain, hak milik merupakan
bentuk hak perdata atas tanah yang paling kuat, penuh, dan turun-temurun,
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA. Hak ini hanya dapat dimiliki
oleh warga negara Indonesia, dan memberikan kewenangan penuh kepada pemegangnya
untuk menggunakan tanah tersebut selama tidak bertentangan dengan fungsi sosial
(Pasal 6 UUPA). Fungsi
sosial menjadi prinsip pembatasan, yang memastikan bahwa hak milik tidak
digunakan secara egoistik atau merugikan kepentingan umum.
Secara teoretis, hubungan hukum manusia dengan tanah dapat dijelaskan
melalui beberapa perspektif pemikiran. John Locke, misalnya, memandang
kepemilikan tanah sebagai hak alami yang timbul dari kerja dan usaha seseorang
(labour theory of property), sehingga negara seharusnya hanya bertindak
sebagai penjaga keamanan hak itu. Sebaliknya, teori public trust doctrine
memandang tanah dan sumber daya alam tertentu sebagai milik bersama rakyat,
dengan negara sebagai pengelola yang bertanggung jawab untuk melindungi dan
mengalokasikannya demi kepentingan publik. Dalam konteks Indonesia, sistem
hukum agraria mengambil posisi di antara kedua pendekatan ini: mengakui hak
milik individu, tetapi dalam kerangka fungsi sosial dan di bawah penguasaan
negara.
Perbedaan istilah kepemilikan
(ownership) dan penguasaan (control) juga penting dipahami. Kepemilikan
menunjuk pada hak penuh dan eksklusif terhadap suatu benda, sedangkan
penguasaan dapat bermakna lebih luas, mencakup wewenang mengatur, mengelola,
dan menentukan penggunaan tanpa harus menjadi pemilik dalam pengertian perdata.
Inilah sebabnya UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai payung
yang melahirkan berbagai jenis hak atas tanah, baik hak milik maupun hak-hak
lain yang bersifat terbatas dan sementara.
Dengan memahami pengertian dan konsep
dasar ini, kita dapat melihat bahwa hukum tanah di Indonesia dibangun di atas
asas kedaulatan negara atas sumber daya agraria sekaligus pengakuan terhadap
hak-hak individu. Struktur ganda ini dirancang untuk menyeimbangkan kepentingan
publik dan kepastian hukum bagi pemilik tanah, namun dalam praktiknya sering
memunculkan ketegangan dan konflik yang memerlukan pengaturan serta penegakan
hukum yang konsisten.
3.
Landasan
Konstitusional dan Perundang-undangan Indonesia
Kerangka hukum tanah di Indonesia
berpijak pada dua pilar utama, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kedua instrumen ini
membentuk landasan normatif yang menegaskan peran negara dalam penguasaan
sumber daya agraria sekaligus mengatur pengakuan terhadap hak-hak perdata atas
tanah.
3.1. Landasan
Konstitusional: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Rumusan ini menegaskan bahwa sumber daya agraria, termasuk tanah,
berada dalam penguasaan negara. Makna “dikuasai” dalam norma ini
telah ditafsirkan luas oleh para ahli dan yurisprudensi, antara lain dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang menyatakan bahwa
penguasaan oleh negara mencakup lima fungsi utama: (1) kebijakan (policy), (2)
pengaturan (regulation), (3) pengelolaan (management), (4) pengurusan
(administration), dan (5) pengawasan (supervision). Dengan demikian, negara
tidak selalu bertindak sebagai pemilik dalam arti perdata, melainkan sebagai
penguasa publik yang memegang mandat konstitusional untuk memastikan
pemanfaatan sumber daya agraria demi kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (3) ini juga mencerminkan asas kekuasaan negara atas
sumber daya alam yang bersifat public trust, di mana negara
bertindak sebagai wali amanah (trustee) bagi rakyat. Konsep ini sejalan
dengan prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bertujuan mencegah
monopoli atau penguasaan sumber daya oleh kelompok tertentu yang merugikan
kepentingan umum.
3.2.
Landasan
Undang-Undang: UUPA sebagai Hukum Pokok Agraria Nasional
UUPA, yang diundangkan pada 24 September 1960, menjadi instrumen hukum
utama yang menurunkan mandat konstitusi di bidang agraria. UUPA lahir sebagai
respons terhadap dualisme hukum tanah peninggalan kolonial (hukum barat dan
hukum adat) yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketimpangan penguasaan
tanah.
Pasal 2 ayat (1) UUPA secara tegas menyatakan:
“Atas
dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UUPA
merinci wewenang negara, yaitu:
1)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.
2)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah.
3)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Dengan kerangka ini, UUPA menempatkan hak menguasai negara
sebagai sumber dari semua hak atas tanah. Artinya, hak-hak perdata seperti hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai
pada dasarnya diberikan oleh negara melalui kewenangan publik yang dimilikinya.
3.3. Prinsip
Fungsi Sosial dan Pembatasan Kepemilikan
Selain mengakui hak milik sebagai hak
terkuat (Pasal 20 UUPA), undang-undang ini juga mengatur bahwa setiap hak atas
tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Prinsip ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa
kepemilikan tanah tidak bersifat absolut dan harus memberikan manfaat bagi
masyarakat luas. Pembatasan ini dapat berbentuk ketentuan batas maksimum
kepemilikan, larangan penelantaran tanah, dan pengaturan redistribusi tanah
untuk keadilan agraria.
3.4. Keterkaitan
dengan Peraturan Turunan dan Hukum Sektoral
UUPA menjadi payung hukum bagi berbagai peraturan pelaksana dan
undang-undang sektoral, seperti:
·
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mengatur mekanisme pengambilalihan
tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi yang layak.
·
Peraturan Pemerintah
tentang Pendaftaran Tanah, yang memberikan kepastian hukum atas hak-hak yang
ada.
·
Peraturan
perundang-undangan tentang penataan ruang, yang mengatur peruntukan dan
pemanfaatan ruang wilayah.
Dengan demikian, landasan
konstitusional dan perundang-undangan Indonesia menempatkan negara pada posisi
strategis sebagai pemegang mandat tertinggi untuk mengatur tanah demi
kemakmuran rakyat, sambil tetap mengakui keberadaan hak milik pribadi yang diatur,
dibatasi, dan dilindungi oleh hukum. Sistem ini dirancang untuk menciptakan
keseimbangan antara kepentingan publik dan kepastian hukum bagi pemilik tanah,
meskipun dalam praktiknya sering terjadi ketegangan yang memerlukan penegakan
hukum yang konsisten dan berkeadilan.
4.
Makna “Penguasaan Negara” Menurut UUPA —
Bukan Otomatis “Kepemilikan Pribadi Negara”
Salah satu konsep kunci dalam hukum agraria Indonesia adalah hak
menguasai dari negara (HMN), yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini sering
disalahpahami sebagai kepemilikan pribadi negara terhadap seluruh tanah
di wilayah Indonesia. Padahal, secara doktrinal dan normatif, HMN tidak
identik dengan hak milik dalam arti perdata.
4.1. Penjelasan
Normatif dalam UUPA
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan:
“Bumi,
air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.”
Frasa “dikuasai oleh negara” di sini dimaknai bukan sebagai kepemilikan
absolut oleh negara, tetapi sebagai bentuk penguasaan publik yang
bersifat public law. Negara bertindak sebagai organisasi kekuasaan
rakyat (bukan sebagai subjek privat) yang memiliki kewenangan untuk
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi
sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (2) UUPA).
Konsepsi ini berbeda dengan hak milik yang diatur dalam Pasal 20
UUPA, yang bersifat perdata, terkuat, dan terpenuh, tetapi tetap terbatas oleh
fungsi sosial dan ketentuan perundang-undangan. Dengan kata lain, HMN
adalah sumber dari semua hak-hak atas tanah, bukan bentuk hak
kepemilikan itu sendiri.
4.2. Penafsiran
oleh Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
menjelaskan bahwa HMN mencakup lima fungsi:
1)
Regulasi (regulation) – menetapkan aturan tentang
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
2)
Pengelolaan (management) – mengatur distribusi dan
penggunaan tanah.
3)
Kebijakan (policy) – merumuskan strategi pemanfaatan
tanah.
4)
Pengurusan
(administration) – melaksanakan pendaftaran, pemberian, dan pencabutan hak
atas tanah.
5)
Pengawasan (supervision) – memastikan tanah digunakan
sesuai peruntukan dan fungsi sosialnya.
Penafsiran ini menegaskan bahwa HMN adalah mandat untuk mengatur
dan mengurus, bukan memiliki secara pribadi. Negara bertindak sebagai trustee
atau wali amanah bagi rakyat, sehingga penguasaan negara bersifat
representatif, bukan kepemilikan individual dari aparat atau lembaga negara.
4.3. Perspektif
Akademik
Boedi Harsono (2016) menegaskan bahwa konsep HMN dalam UUPA
merupakan bentuk “hak penguasaan publik” yang menempatkan negara sebagai
pemegang kedaulatan atas tanah, tetapi tidak memiliki tanah tersebut
sebagaimana subjek perdata. Hak-hak perdata atas tanah tetap berada pada
pemegang haknya (perseorangan atau badan hukum), sepanjang diberikan oleh negara
dan digunakan sesuai ketentuan hukum.
Maria S.W. Sumardjono (2008) juga menggarisbawahi bahwa HMN
berfungsi sebagai mekanisme untuk mewujudkan keadilan agraria dan
mencegah akumulasi kepemilikan tanah secara eksesif oleh segelintir pihak,
bukan untuk menjadikan seluruh tanah sebagai aset privat milik negara.
4.4. Pembeda
dengan Rezim Kepemilikan Negara di Negara Lain
Dalam beberapa negara sosialis klasik, seperti yang pernah diterapkan
di Uni Soviet, seluruh tanah adalah milik negara sebagai pemilik tunggal.
Sistem ini berbeda dengan Indonesia, yang mengakui hak milik perseorangan
(Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA) tetapi menempatkannya di bawah HMN.
Artinya, negara tidak mengambil alih kepemilikan, tetapi menjadi sumber
kewenangan yang melahirkan dan membatasi hak tersebut.
4.5. Implikasi
Praktis
Pemahaman yang tepat tentang HMN memiliki implikasi penting:
·
Negara berwenang mengambil tanah untuk
kepentingan umum (land acquisition) melalui mekanisme ganti rugi yang
layak.
·
Negara dapat membatasi atau
mencabut hak atas tanah jika melanggar fungsi sosial atau digunakan tidak
sesuai peruntukan.
·
Pemilik hak atas tanah
tetap dapat mengalihkan, mewariskan, atau memanfaatkan tanahnya sesuai hukum,
selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan demikian, HMN adalah konsep penguasaan publik yang
bersifat konstitusional, bukan bentuk kepemilikan privat negara. Negara
menjalankan perannya sebagai pengatur, pengelola, dan pengawas agar tanah
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sembari mengakui dan melindungi
hak-hak perdata yang sah.
5.
Hak-hak Perdata atas Tanah dalam Sistem Nasional
Dalam kerangka hukum agraria Indonesia, hak-hak perdata atas tanah
adalah hak-hak yang melekat pada subjek hukum (perorangan atau badan hukum)
untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan tanah sesuai ketentuan
perundang-undangan. Hak ini diberikan atau diakui oleh negara berdasarkan Hak
Menguasai dari Negara (HMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA, namun
memiliki sifat hak perdata yang dapat dimiliki, dialihkan, dan
diwariskan.
5.1. Klasifikasi
Hak-hak atas Tanah
UUPA Pasal 16 ayat (1) mengatur jenis-jenis hak atas tanah yang
bersifat perdata, meliputi:
1)
Hak Milik – hak terkuat dan terpenuh yang dapat
dimiliki oleh warga negara Indonesia, bersifat turun-temurun, dan tidak
dibatasi jangka waktu (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Hak ini tetap tunduk
pada fungsi sosial (Pasal 6 UUPA).
2)
Hak Guna Usaha (HGU)
– hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk
perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu
(maksimal 35 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun).
3)
Hak Guna Bangunan (HGB)
– hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,
berlaku maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
4)
Hak Pakai – hak
untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara
atau milik pihak lain, berlaku untuk jangka waktu tertentu atau selama tanah
dipergunakan.
5)
Hak Sewa untuk Bangunan
– hak untuk menyewa tanah dengan tujuan mendirikan bangunan di atasnya.
6)
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan – hak tradisional yang diakui
dalam konteks hukum adat.
7)
Hak-hak lain yang tidak termasuk di atas yang akan diatur dengan
undang-undang tersendiri.
Selain itu, Pasal 53 UUPA juga mengakui adanya hak-hak yang bersifat
sementara seperti gadai tanah, usaha bagi hasil, dan sewa tanah pertanian, yang
bersumber dari hukum adat dan akan dihapus secara bertahap.
5.2. Karakteristik
Hak Perdata atas Tanah
Menurut Boedi Harsono (2016), hak-hak perdata atas tanah dalam UUPA
memiliki beberapa ciri utama:
·
Diberikan oleh Negara berdasarkan HMN, sehingga
bersumber dari kewenangan publik.
·
Memiliki sifat individual: dapat dimiliki oleh subjek hukum
tertentu dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau usaha.
·
Dapat dialihkan melalui jual beli, hibah, tukar-menukar,
pewarisan, atau cara lain yang sah.
·
Dibatasi oleh fungsi sosial: hak tersebut tidak dapat
digunakan secara absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan umum, kelestarian
lingkungan, dan keadilan sosial (Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA).
5.3. Hubungan
dengan Hak Menguasai dari Negara
Hak perdata atas tanah tidak menghapuskan atau meniadakan HMN.
Sebaliknya, hak tersebut merupakan derivatif dari HMN, artinya
keberadaannya tergantung pada pengakuan dan pemberian oleh negara. Negara
berwenang mencabut hak tersebut dengan syarat:
·
Untuk kepentingan umum
dengan ganti kerugian yang layak (land acquisition), sesuai UU No. 2
Tahun 2012.
·
Jika tanah tidak dipergunakan sesuai
peruntukan atau melanggar ketentuan hukum.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 50/PUU-X/2012 menegaskan bahwa
pengakuan hak perdata atas tanah oleh negara adalah bagian dari pelaksanaan
HMN, dan pencabutannya hanya dapat dilakukan melalui prosedur hukum yang adil.
5.4. Perlindungan
dan Kepastian Hukum
Perlindungan hak-hak perdata atas tanah diwujudkan melalui sistem
pendaftaran tanah (Pasal 19 UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran
tanah memberikan sertifikat sebagai alat pembuktian hak yang kuat. Maria
S.W. Sumardjono (2008) menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah instrumen
utama untuk mencegah sengketa dan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.
5.5. Dimensi
Sosial dan Ekonomi
Hak perdata atas tanah bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga
memiliki dimensi sosial. Fungsi sosial hak milik (Pasal 6 UUPA) mengandung arti
bahwa penggunaan tanah harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas dan
kelestarian lingkungan. Dengan demikian, meskipun bersifat perdata, hak-hak
atas tanah tidak bersifat absolut seperti dalam sistem common law,
tetapi dibatasi oleh prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
33 UUD 1945.
6.
Batas,
Pembatasan dan Intervensi Negara
Kepemilikan pribadi atas tanah di
Indonesia tidaklah bersifat absolut. Meskipun UUPA mengakui hak-hak perdata
seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak
Pakai, seluruhnya tunduk pada prinsip Hak Menguasai dari Negara (HMN)
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Prinsip ini memberikan kewenangan kepada
negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaan tanah demi
tercapainya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
6.1. Landasan
Normatif Pembatasan
Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, kepentingan individu tidak boleh mengesampingkan kepentingan
umum, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Selain itu, Pasal 15 UUPA
mewajibkan pemegang hak untuk memelihara tanahnya, meningkatkan kesuburan, dan
mencegah kerusakan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 menafsirkan
bahwa penguasaan negara mencakup kewenangan regulasi (regeling),
pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezicht). Dengan demikian, negara berhak melakukan
pembatasan selama bertujuan untuk kemaslahatan umum.
6.2. Bentuk-bentuk
Pembatasan
Bentuk pembatasan dan intervensi negara
terhadap hak perdata atas tanah antara lain:
1)
Pengaturan Peruntukan
dan Penggunaan Tanah
Diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
yang menetapkan zonasi wilayah (permukiman, pertanian, industri, kawasan
lindung). Pemegang hak dilarang menggunakan tanah di luar peruntukan yang
ditetapkan.
2)
Batas Maksimum dan
Minimum Penguasaan Tanah
Berdasarkan UU No. 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, negara menetapkan batas maksimum luas
tanah pertanian yang dapat dimiliki seseorang, untuk mencegah pemusatan
penguasaan tanah dan mendukung land reform.
3)
Kewajiban Mengusahakan
Tanah
Pemegang HGU, HGB, dan Hak Pakai
wajib memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu. Tanah yang tidak dimanfaatkan
dapat ditetapkan sebagai
tanah terlantar dan diambil kembali oleh negara (PP No. 11 Tahun 2010 jo. PP
No. 20 Tahun 2021).
4)
Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012,
negara berwenang mencabut hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang
layak, untuk pembangunan fasilitas publik seperti jalan, bendungan, dan
sekolah.
5)
Pembatasan Hak Bagi
Subjek Tertentu
Pasal 21 UUPA melarang warga negara
asing memiliki Hak Milik atas tanah, dan badan hukum asing hanya dapat
memperoleh Hak Pakai atau HGB.
6.3. Intervensi
dalam Perspektif Kepentingan Umum
Intervensi negara tidak selalu berarti pencabutan hak, tetapi juga
dapat berbentuk pengawasan dan pembinaan. Maria S.W. Sumardjono (2008)
menekankan bahwa intervensi negara harus proporsional, transparan, dan disertai
mekanisme keberatan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam praktiknya, konflik sering terjadi ketika pemegang hak merasa
pembatasan negara mengurangi nilai ekonomis tanahnya. Misalnya, dalam kasus
penetapan kawasan lindung di atas tanah Hak Milik, pemegang hak tetap
mempertahankan kepemilikan tetapi dibatasi penggunaannya demi kelestarian
lingkungan (lihat Putusan MA No. 99 PK/TUN/2017).
6.4. Prinsip-prinsip
Pembatasan yang Sah
Agar pembatasan hak atas tanah tidak melanggar hak konstitusional warga
negara, pembatasan harus memenuhi prinsip:
·
Legalitas – diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang jelas.
·
Proposionalitas – seimbang antara kepentingan umum dan hak
individu.
·
Non-diskriminasi – berlaku sama untuk semua subjek hukum yang
relevan.
·
Kompensasi Layak – jika pembatasan mengakibatkan hilangnya
hak, harus diberikan ganti rugi sesuai ketentuan hukum.
7.
Kasus Khusus: Tanah Adat (Hak Ulayat) dan Konversi
Hak
7.1. Pengertian
dan Kedudukan Hak Ulayat
Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh
suatu masyarakat hukum adat untuk mengatur dan memanfaatkan tanah di
wilayahnya, bagi kepentingan bersama anggota komunitas tersebut. Pasal 3 UUPA
mengakui keberadaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional maupun peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Boedi Harsono (2005) menekankan bahwa
pengakuan ini bersifat conditional recognition, artinya negara mengakui
sepanjang memenuhi unsur:
1)
Masih adanya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
2)
Masih berlangsungnya penguasaan tanah secara
komunal.
3)
Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan persatuan bangsa.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menjadi tonggak penting,
dengan menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara,
melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini
menguatkan posisi hak ulayat dalam tata hukum nasional.
7.2. Karakteristik
Hak Ulayat
Berbeda dengan hak perdata individual seperti Hak Milik atau HGU, hak
ulayat:
·
Bersifat komunal, dipegang bersama oleh
masyarakat hukum adat.
·
Tidak dapat diperjualbelikan keluar komunitas
adat.
·
Penguasaan dan penggunaan diatur oleh adat
setempat.
·
Memiliki dimensi spiritual, sosial, dan
ekonomi yang tak terpisahkan.
Contohnya adalah tanah nagari di Sumatera Barat atau tanah marga di
Papua, yang pengelolaannya diatur oleh peraturan adat dan keputusan musyawarah
adat.
7.3. Tantangan
Integrasi Hak Ulayat dalam Sistem Nasional
Masalah muncul ketika hak ulayat harus diintegrasikan ke dalam sistem
administrasi pertanahan nasional. Karena hukum pertanahan Indonesia menuntut
kepastian hukum melalui sertifikat, sedangkan hak ulayat bersifat tidak
tertulis dan diwariskan secara lisan, terjadi kesenjangan antara hukum negara (state
law) dan hukum adat (customary law).
Maria S.W. Sumardjono (2008) menyoroti bahwa proses ini rawan konflik
ketika tanah adat dikonversi menjadi hak atas tanah yang diatur UUPA, terutama
jika terjadi peralihan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan penuh komunitas
adat.
7.4. Konversi
Hak dalam Perspektif UUPA
Konversi hak adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang telah ada
sebelum berlakunya UUPA (1960) menjadi salah satu bentuk hak yang diatur UUPA.
Ketentuan konversi ini diatur dalam Pasal I–IX Ketentuan Konversi UUPA dan
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960.
Contoh konversi yang umum terjadi:
·
Hak Eigendom (peninggalan kolonial) → menjadi
Hak Milik.
·
Hak Erfpacht → menjadi Hak Guna Usaha.
·
Hak Opstal → menjadi Hak Guna Bangunan.
Dalam konteks tanah adat, proses konversi seringkali memerlukan penetapan
resmi dari pemerintah daerah bahwa suatu wilayah benar-benar merupakan
tanah ulayat, agar dapat diberikan status hukum sesuai sistem nasional.
7.5. Potensi
Sengketa dan Penyelesaiannya
Konversi tanah adat kerap memicu sengketa, terutama ketika:
·
Terjadi klaim ganda antara masyarakat adat dan
pemerintah.
·
Investor masuk dengan izin dari negara tanpa
persetujuan adat.
·
Hak ulayat dialihkan menjadi hak perorangan
tanpa mekanisme adat.
Penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:
1)
Musyawarah Adat —
untuk menjaga kedaulatan hukum adat.
2)
Mediasi oleh Pemerintah
Daerah — mengacu pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang
Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat.
3)
Litigasi di Pengadilan
— sebagai langkah terakhir jika penyelesaian non-litigasi gagal.
7.6. Prinsip
Harmonisasi
Harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara menuntut prinsip:
·
Pengakuan yang tulus terhadap eksistensi masyarakat
adat.
·
Perlindungan hak kolektif agar tidak tergerus mekanisme
pasar.
·
Kepastian hukum melalui pendaftaran tanah tanpa menghilangkan
sifat komunal.
·
Konsultasi bebas dan
didahulukan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) sebelum ada
pemanfaatan tanah ulayat untuk proyek tertentu.
8.
Kepemilikan
Asing vs Warga Negara
8.1. Prinsip
Dasar Kepemilikan Tanah di Indonesia
UUPA secara tegas membedakan hak atas
tanah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing. Pasal 21
ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki Hak Milik atas
tanah. Ketentuan ini merupakan manifestasi prinsip national treatment
yang diadopsi secara protektif dalam hukum agraria, dengan tujuan menjaga
kedaulatan dan kontrol negara atas tanah sebagai sumber daya strategis.
Bagi WNI, spektrum hak atas tanah yang
dapat dimiliki cukup luas, mulai dari Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai, hingga Hak Sewa untuk Bangunan. Sedangkan bagi orang
asing, ruang lingkupnya lebih terbatas dan bersifat non-permanent
ownership.
8.2. Larangan
Kepemilikan Hak Milik bagi Orang Asing
Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa
orang asing yang memperoleh Hak Milik karena pewarisan atau sebab lain wajib
melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 tahun. Jika tidak, tanah tersebut
jatuh kepada negara. Hal ini ditegaskan kembali melalui Peraturan Pemerintah
No. 103 Tahun 2015 yang mengatur bahwa orang asing hanya dapat memiliki Hak
Pakai di atas tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik
milik WNI (dengan perjanjian tertentu).
Boedi Harsono (2005) menekankan bahwa
pembatasan ini merupakan langkah konstitusional untuk menghindari konsentrasi
penguasaan tanah pada pihak asing, yang berpotensi mengurangi akses WNI
terhadap tanah.
8.3. Hak Pakai
untuk Orang Asing
Hak Pakai bagi orang asing diatur dalam
Pasal 42 UUPA dan peraturan turunannya. Orang asing dapat memperoleh Hak Pakai
selama:
·
Memiliki izin tinggal di
Indonesia.
·
Menggunakan tanah tersebut
untuk keperluan tempat tinggal atau usaha yang sah.
Berdasarkan PP No. 103 Tahun 2015 jo. Permen ATR/BPN No. 29 Tahun 2016,
Hak Pakai bagi orang asing dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum 30
tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui untuk 30 tahun lagi,
sehingga total potensi penggunaan dapat mencapai 80 tahun, namun tidak
berstatus kepemilikan mutlak.
8.4. Perbandingan
dengan Kepemilikan WNI
Perbedaan mendasar antara hak WNI dan orang asing:
·
Hak Milik
þ WNI: Diberikan hak milik penuh atas tanah, yaitu
hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki individu.
þ Orang Asing: Tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.
·
Hak Guna Bangunan (HGB)
þ WNI: Dapat memiliki
HGB, yang memberikan hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah
negara atau tanah hak milik orang lain, dengan jangka waktu tertentu.
þ Orang Asing: Dapat memperoleh HGB, biasanya melalui badan
hukum Penanaman Modal
Asing (PMA), namun dengan batasan dan pengawasan ketat.
·
Hak Guna Usaha (HGU)
þ WNI: Berhak mendapatkan
HGU untuk tujuan usaha pertanian, perkebunan, atau kehutanan selama jangka
waktu tertentu.
þ Orang Asing: Secara
langsung tidak dapat memiliki HGU; tetapi melalui badan hukum PMA dapat menguasai tanah
dengan status HGU.
·
Hak Pakai
þ WNI: Memiliki hak pakai
atas tanah untuk keperluan tertentu, baik tanah negara maupun tanah milik
pribadi.
þ Orang Asing: Diizinkan
memiliki hak pakai atas tanah negara atau tanah dengan izin tertentu, biasanya
untuk tempat tinggal atau usaha, dengan jangka waktu terbatas.
·
Hak Sewa
þ WNI:
Dapat menyewa tanah untuk jangka waktu tertentu.
þ Orang Asing: Juga dapat menyewa tanah, namun dengan ketentuan dan pengawasan yang
berlaku.
Badan hukum yang didirikan di Indonesia dengan modal asing (PMA)
dapat memperoleh HGB atau HGU, namun statusnya bukan hak milik dan terikat
jangka waktu tertentu.
8.5. Potensi
Masalah dan Celah Hukum
Dalam praktik, terdapat fenomena nominee
arrangement, yaitu penggunaan nama WNI sebagai pemegang Hak Milik untuk
kepentingan orang asing. Praktik ini secara tegas dilarang dan dianggap batal
demi hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam beberapa putusan
(misalnya Putusan MA No. 123 K/Pdt/2001).
Selain itu, perkembangan investasi
asing di sektor properti mendorong pemerintah melakukan penyesuaian regulasi
agar tetap menarik bagi investor, namun tidak mengabaikan prinsip kedaulatan
tanah.
8.6. Arah
Kebijakan ke Depan
Maria S.W. Sumardjono (2008)
berpendapat bahwa pembatasan kepemilikan tanah bagi orang asing harus
dipertahankan sebagai mekanisme perlindungan rakyat, namun pemerintah dapat
memperluas skema Hak Pakai yang fleksibel untuk mendorong investasi. Prinsip beneficial
ownership juga perlu ditegakkan agar kepemilikan melalui perantara tidak
mengaburkan batas kepemilikan asing.
Kedepannya, penguatan sistem
pendaftaran tanah digital dan transparansi peralihan hak menjadi krusial untuk
mencegah penyalahgunaan dan memastikan keseimbangan antara kepentingan
nasional dan daya tarik investasi.
9.
Perbandingan
Singkat Internasional
9.1. Pendekatan
Kepemilikan Tanah di Berbagai Negara
Setiap negara mengatur kepemilikan tanah berdasarkan sejarah, ideologi
politik, dan struktur ekonominya. Dalam konteks ini, konsep kepemilikan
pribadi vs penguasaan negara memiliki variasi yang signifikan:
1)
Sistem Kepemilikan Pribadi Absolut
Negara
seperti Amerika Serikat dan Inggris menerapkan konsep fee simple absolute
di mana individu memiliki hak penuh atas tanah, termasuk hak untuk menjual,
mewariskan, atau menggadaikannya, dengan batasan hanya pada regulasi zonasi dan
pajak properti. Di AS, meskipun hak kepemilikan bersifat sangat luas,
pemerintah tetap memiliki power of eminent domain untuk mengambil alih
tanah demi kepentingan umum, dengan kompensasi yang layak (Fischel, 2001).
2)
Sistem Penguasaan Negara
Total
Negara seperti China mengatur bahwa semua tanah adalah
milik negara atau kolektif, sebagaimana diatur dalam Constitution of the
People's Republic of China (Pasal 10). Individu atau badan hukum hanya
dapat memperoleh hak guna (land use rights) dalam jangka waktu tertentu,
misalnya 70 tahun untuk perumahan. Meskipun demikian, pasar properti tetap aktif melalui peralihan hak
guna ini (Ho & Lin, 2003).
3)
Sistem Campuran atau Hibrid
Beberapa negara, seperti Thailand dan Vietnam, membatasi
kepemilikan tanah hanya untuk warga negara, namun mengizinkan orang asing
memperoleh hak guna atau hak sewa jangka panjang. Thailand misalnya, melarang
orang asing memiliki tanah, tetapi memperbolehkan kepemilikan kondominium
hingga 49% dari total unit dalam satu gedung (Land Code of Thailand, 1954).
9.2. Mekanisme
Perlindungan terhadap Kepentingan Nasional
Negara-negara dengan sejarah kolonial
atau tekanan investasi asing cenderung memberlakukan pembatasan kepemilikan
asing untuk melindungi akses tanah bagi rakyatnya. Indonesia, Filipina, dan
Malaysia mengadopsi prinsip serupa. Filipina, misalnya, melarang orang asing
memiliki tanah, tetapi memperbolehkan sewa jangka panjang hingga 50 tahun,
dapat diperpanjang 25 tahun (Constitution of the Republic of the Philippines,
1987, Pasal XII).
9.3. Pelajaran
untuk Indonesia
Dari perbandingan ini, ada beberapa
pelajaran penting:
·
Perlindungan kedaulatan
tanah seperti di Filipina dan Thailand sejalan dengan prinsip Pasal 33 UUD
1945.
·
Fleksibilitas hak guna
seperti di China dan Vietnam dapat menjadi alternatif untuk menarik investasi
tanpa melepas hak milik negara atau warga.
·
Kepastian hukum dalam sistem pendaftaran seperti di Inggris
(Land Registration Act 2002) menunjukkan pentingnya transparansi dalam
transaksi tanah untuk mencegah sengketa dan spekulasi.
Maria S.W. Sumardjono (2015) menegaskan bahwa model terbaik bagi
Indonesia adalah mempertahankan prinsip penguasaan negara sebagaimana diatur
UUPA, sambil mengembangkan skema hak terbatas untuk asing dengan kontrol ketat,
agar tetap seimbang antara kedaulatan dan daya tarik investasi.
10. Analisis Normatif: Mana yang “lebih dasar” — Milik
Pribadi atau Milik Negara?
10.1. Titik
Tolak Konstitusional dan Filosofis
Dalam perspektif hukum agraria Indonesia, pertanyaan “mana yang lebih
dasar” tidak dapat dilepaskan dari konstruksi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat". Norma ini menjadi sumber dari Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) 1960 yang memposisikan penguasaan negara sebagai prinsip
fundamental.
Namun, “penguasaan negara” di sini tidak identik dengan
kepemilikan absolut negara, melainkan mengandung fungsi publik (public
trusteeship) di mana negara bertindak sebagai pengelola tertinggi untuk
menjamin distribusi dan pemanfaatan tanah yang adil (Boedi Harsono, 2008).
Dengan kata lain, secara normatif, hak milik pribadi tidak berdiri di atas atau
di luar penguasaan negara — ia lahir dari kewenangan negara untuk memberikan
hak tersebut.
10.2. Perspektif
Hukum Alam dan Hak Individu
Dari sudut pandang filsafat hukum alam (misalnya John Locke), hak milik
pribadi atas tanah dianggap lahir lebih awal secara moral daripada legitimasi
negara, karena ia berakar pada kerja (labour theory of property). Locke
berpendapat bahwa individu memperoleh hak atas tanah ketika ia mengolahnya
dengan tenaga sendiri, sebelum ada otoritas negara formal. Pandangan ini banyak
mempengaruhi sistem common law seperti di Amerika Serikat, di mana
negara dipandang sekadar “pengatur” dan bukan “pemilik sumber daya”.
Namun, kritik terhadap pendekatan ini, seperti yang dikemukakan oleh
Karl Polanyi, adalah bahwa tanah bukan semata objek ekonomi, tetapi fictitious
commodity yang keberadaannya sangat terkait dengan tatanan sosial dan
lingkungan, sehingga memerlukan peran negara untuk melindungi kepentingan umum.
10.3. Posisi
UUPA: Negara sebagai Sumber Hak
UUPA secara tegas menempatkan negara sebagai pihak yang memberikan,
mengatur, dan mencabut hak atas tanah (Pasal 2 UUPA). Hak milik pribadi diakui
(Pasal 20–21 UUPA) sebagai hak terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
seseorang atas tanah, tetapi bukan hak absolut tanpa batas; ia tunduk pada
pembatasan kepentingan umum, perencanaan tata ruang, dan fungsi sosial tanah
(Pasal 6 UUPA).
Norma ini menunjukkan bahwa dalam hukum
positif Indonesia:
·
Secara hierarkis, penguasaan negara bersifat lebih mendasar
daripada hak milik pribadi.
·
Secara fungsional, hak milik pribadi tetap dilindungi selama
tidak bertentangan dengan fungsi sosial dan kebijakan publik.
10.4. Analisis
Perbandingan
Negara dengan sistem state ownership seperti China menempatkan
hak guna sebagai turunan langsung dari penguasaan negara. Sebaliknya, negara private
ownership-based seperti AS menempatkan hak milik sebagai prinsip dasar, dan
penguasaan negara hanya melalui instrumen terbatas seperti pajak dan eminent
domain. Indonesia memilih model campuran: negara adalah “sumber hak” dan
pemilik otoritas tertinggi, tetapi hak milik pribadi tetap diakui sebagai hak
yang kuat dan dilindungi hukum.
Kesimpulan Normatif
Dari analisis ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
·
Dalam kerangka hukum
positif Indonesia, penguasaan negara adalah prinsip yang lebih mendasar
secara konstitusional dibanding hak milik pribadi.
·
Hak milik pribadi memperoleh legitimasi karena
diberikan dan dijamin oleh negara, bukan karena eksistensi moralnya semata.
·
Meskipun demikian, dalam pandangan hukum alam,
hak milik pribadi dapat dianggap “mendasar” secara moral, tetapi dalam
sistem hukum nasional, ia tunduk pada fungsi sosial dan kepentingan umum.
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Maria S.W. Sumardjono yang
menegaskan bahwa hukum tanah Indonesia menganut state trusteeship, di
mana negara adalah pengatur dan pengelola, bukan pemilik absolut, sehingga
hak-hak perdata warga negara atas tanah dapat hidup berdampingan dengan prinsip
penguasaan negara dalam harmoni yang dinamis.
11. Implikasi Praktis & Rekomendasi Kebijakan
11.1. Implikasi
Praktis dalam Tata Kelola Tanah
Hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan negara
sebagaimana diatur UUPA menimbulkan sejumlah implikasi praktis:
1)
Kepastian Hukum Hak Atas Tanah
Sistem
pertanahan nasional harus mampu memberikan kepastian status hak, baik bagi
warga negara maupun badan hukum, untuk mencegah sengketa dan memudahkan
transaksi. Sengketa pertanahan yang masih marak, seperti tumpang tindih
sertifikat dan konflik tanah adat, menunjukkan lemahnya administrasi pertanahan
(Sumardjono, 2014).
2)
Pembatasan Hak Milik demi Kepentingan Umum
Penerapan
Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial seringkali menimbulkan perdebatan karena
penafsirannya yang luas. Misalnya, pengadaan tanah untuk infrastruktur publik
harus menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan kompensasi yang layak (UU No.
2 Tahun 2012 jo. UU No. 11 Tahun 2020).
3)
Integrasi Hak Adat dalam Sistem Nasional
Pengakuan
terhadap hak ulayat (Pasal 3 UUPA) sering berbenturan dengan klaim negara atau
hak perorangan. Implementasi di lapangan memerlukan mekanisme verifikasi dan
registrasi yang jelas agar tidak mengorbankan hak masyarakat adat.
4)
Pembatasan Kepemilikan oleh Pihak Asing
Ketentuan
bahwa orang asing hanya dapat menguasai tanah dengan hak tertentu (misalnya Hak
Pakai) mencegah dominasi asing atas sumber daya tanah. Namun, pengaturan yang
terlalu ketat dapat menghambat investasi jika tidak disertai skema yang
transparan dan fleksibel (Santosa, 2018).
11.2. Rekomendasi
Kebijakan
Berdasarkan implikasi tersebut, beberapa langkah kebijakan strategis
yang dapat dipertimbangkan adalah:
11.2.1. Reformasi Administrasi Pertanahan
Digitalisasi
dan Integrasi Data
þ Mempercepat implementasi single land
database berbasis GIS untuk mencegah tumpang tindih hak dan meningkatkan
transparansi. Negara seperti Estonia dan Singapura telah membuktikan
efektivitas digitalisasi pertanahan dalam mengurangi sengketa dan mempercepat
pelayanan.
Peningkatan
Kapasitas Aparatur Pertanahan
þ Pelatihan berkelanjutan dan pengawasan ketat
terhadap pejabat agraria untuk mengurangi praktik korupsi dan mal-administrasi.
11.2.2. Harmonisasi
Hukum Adat dan Nasional
þ Membentuk peraturan pelaksana yang memperjelas
kriteria pengakuan hak ulayat, proses registrasi, dan mekanisme penyelesaian
konflik.
þ Melibatkan masyarakat adat secara partisipatif
dalam perencanaan tata ruang dan kebijakan pertanahan.
11.2.3. Perlindungan Hak Perdata dan Kepentingan Umum
þ Menetapkan pedoman kompensasi yang transparan
dan adil untuk pengadaan tanah, mengacu pada nilai pasar dan potensi kerugian
non-materiil.
þ Mengembangkan instrumen land value capture
agar keuntungan dari peningkatan nilai tanah akibat proyek publik dapat kembali
ke masyarakat.
11.2.4. Kebijakan Kepemilikan Asing yang Proporsional
þ Menyusun skema Hak Pakai jangka panjang
dengan syarat ketat yang mendukung investasi produktif tanpa mengorbankan
kedaulatan tanah nasional.
þ Memperkuat mekanisme pengawasan agar
penggunaan tanah oleh asing sesuai dengan tujuan pemberian hak.
11.3. Prinsip
yang Harus Dijaga ke Depan
1)
Fungsi Sosial Tanah – harus tetap menjadi prinsip
utama untuk memastikan tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.
2)
Keseimbangan Hak dan Kewajiban – hak milik pribadi dilindungi,
tetapi juga mengemban kewajiban sosial.
3)
Transparansi dan Partisipasi Publik – setiap kebijakan pertanahan
harus disusun dengan proses terbuka dan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan.
4)
Keadilan Antargenerasi – pengelolaan tanah harus
memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan generasi mendatang.
12. Penutup
Kajian mengenai hukum tanah di
Indonesia memperlihatkan bahwa hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan
negara tidak dapat dipahami secara dikotomis sebagai dua kutub yang saling
meniadakan. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, negara bukanlah pemilik mutlak tanah,
melainkan pemegang mandat penguasaan (public trusteeship) untuk
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hak-hak perdata atas tanah—seperti Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai—tetap memiliki kekuatan
hukum penuh bagi pemegangnya, namun senantiasa dibatasi oleh fungsi sosial
tanah (Pasal 6 UUPA). Artinya, setiap pemanfaatan tanah oleh individu tidak
boleh merugikan kepentingan masyarakat luas, keseimbangan lingkungan, dan
keberlanjutan sumber daya.
Pengalaman praktik menunjukkan bahwa
konflik pertanahan sering timbul bukan semata karena tumpang tindih klaim,
tetapi juga akibat pemahaman yang keliru bahwa penguasaan negara identik
dengan kepemilikan negara. Pemahaman
ini dapat memicu kebijakan yang terlalu sentralistik atau, sebaliknya, tuntutan
hak privat yang absolut. Dalam kerangka UUPA, keseimbangan antara hak individu
dan kewenangan negara bersifat relasional dan fungsional, bukan
absolut.
Dari perspektif normatif, penguasaan negara berada pada tataran
yang lebih fundamental karena bersumber langsung dari konstitusi dan memiliki
tujuan publik yang melampaui kepentingan individual. Namun, hak perdata atas
tanah merupakan instrumen penting untuk menjamin kepastian hukum, mendorong
investasi, dan melindungi kebebasan ekonomi warga negara. Oleh karena itu,
relasi keduanya harus bersifat sinergis, bukan antagonis.
Ke depan, pembaruan kebijakan pertanahan harus menitikberatkan pada:
1)
Reformasi administrasi pertanahan melalui digitalisasi dan
integrasi data untuk menghindari tumpang tindih hak.
2)
Harmonisasi hukum adat dan hukum nasional untuk mengakui serta melindungi
hak ulayat secara efektif.
3)
Keseimbangan antara perlindungan hak perdata
dan fungsi sosial
agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian
lingkungan.
4)
Partisipasi publik dan transparansi dalam setiap kebijakan
pengelolaan tanah, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Dengan demikian, tanah dalam sistem hukum Indonesia adalah
sumber daya bersama yang dikelola dalam kerangka penguasaan negara, namun
memberikan ruang yang luas bagi kepemilikan pribadi yang bertanggung jawab.
Model ini, jika diimplementasikan secara konsisten dan adil, dapat menjadi
landasan kuat bagi pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Boedi Harsono. Hukum Agraria
Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008.
Damanhuri, Didik J. Ekonomi Politik Pembangunan. Jakarta:
LP3ES, 2010.
Maria S.W. Sumardjono. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2008.
Soetiknjo, Iman. Hukum Agraria
Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1991.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
van Vollenhoven, Cornelis. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië.
Leiden: E.J. Brill, 1933.
Fitzpatrick, Daniel. "Land
Policy in Indonesia: A Socio-Legal Analysis." Land Use Policy, Vol.
14, No. 4, 1997, pp. 295–314.
FAO. Voluntary Guidelines on the
Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests. Rome: Food
and Agriculture Organization of the United Nations, 2012.
World Bank. Land Governance
Assessment Framework: Identifying and Monitoring Good Practice in the Land
Sector. Washington, D.C.: World Bank, 2012.
Lynch, Owen J., and Kirk Talbott. Balancing
Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the
Pacific. Washington, D.C.: World Resources Institute, 1995.
Lampiran 1: Pasal-Pasal Kunci serta Daftar Bacaan & Sumber Primer
A.
Teks Ringkas Pasal-Pasal Kunci
1)
Pasal 1 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
þ Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
þ Seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya, berada dalam
penguasaan negara.
2)
Pasal 2 UUPA
þ Negara
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa.
þ Penguasaan
negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
þ Negara
menentukan hubungan hukum antara orang dan bumi/air/ruang angkasa, serta
antarorang dan perbuatan hukum yang menyangkutnya.
3)
Pasal 6 UUPA
þ Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
4)
Pasal 9 UUPA
þ Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
þ Warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
hak atas tanah serta manfaatnya.
5)
Pasal 16 UUPA
þ Hak-hak atas tanah meliputi: Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut
Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
þ Hak-hak
sementara dapat dihapuskan jika bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara.
6)
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
þ Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
B.
Daftar Bacaan & Sumber Primer
1)
Sumber Hukum Primer
þ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (terutama Pasal 33).
þ Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).
þ Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan
Umum (beserta perubahannya).
þ Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan UUPA
(misalnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
2)
Artikel Ilmiah & Literatur Akademik
þ Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan.
þ Maria
S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Kompas.
þ Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konstitusi Press.
þ Elucidation in Journal of Indonesian Legal
Studies (JILS), artikel tentang "State Control Over Land in Indonesia".
þ Artikel "The Public Trust Doctrine in Indonesian Land Law" dalam Indonesia
Law Review.
þ Studi
oleh FAO & UN-Habitat tentang pengelolaan tanah dan hak kepemilikan dalam
konteks negara berkembang.
Lampiran 2: Analisis – Apakah Tanah Itu Milik Pribadi atau Milik Negara?
Pertanyaan ini menuntut pembedaan konseptual antara kepemilikan
(ownership) dan penguasaan (control) dalam hukum tanah Indonesia.
1)
Perspektif Konstitusi
Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Frasa “dikuasai oleh negara” tidak
identik dengan dimiliki oleh negara. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai
putusannya (misalnya Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan MK No.
85/PUU-XI/2013) menegaskan bahwa “penguasaan” meliputi fungsi negara sebagai
regulator, administrator, pengelola, dan pengawas, bukan sebagai pemilik mutlak
seluruh tanah.
2)
Perspektif UUPA
UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) mengadopsi
doktrin hak menguasai dari negara (HMN) dalam Pasal 2, yang memberi
negara kewenangan untuk mengatur hubungan hukum antara orang dan tanah, namun
tetap mengakui hak-hak perdata individu seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan
Hak Guna Bangunan (Pasal 16).
Artinya, negara tidak otomatis menjadi
pemilik semua tanah, tetapi sebagai penguasa yang memberikan, mengatur, dan
membatasi hak-hak perorangan sesuai fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA).
3)
Dimensi Kepemilikan
Pribadi
Hak Milik dalam UUPA adalah hak
turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
tetapi tetap tunduk pada fungsi sosial. Hak ini bukan “mutlak” seperti
konsep kepemilikan dalam hukum perdata Barat, karena dapat dibatasi oleh
kepentingan umum, perencanaan tata ruang, atau pencabutan hak untuk kepentingan
umum (UU No. 2 Tahun 2012).
4)
Keseimbangan Prinsip
Secara normatif, tanah di Indonesia bukan semata milik pribadi, bukan
pula milik negara secara absolut.
Model yang dianut adalah public trust
doctrine dalam versi Indonesia: negara sebagai trustee atau
pengelola atas nama rakyat, dan rakyat (individu atau kelompok) dapat memiliki
hak perdata yang diakui, dilindungi, dan dibatasi sesuai hukum.
5)
Kesimpulan Analitis
þ Bukan milik pribadi secara absolut → karena tunduk pada fungsi sosial
dan intervensi negara.
þ Bukan milik negara secara absolut → karena ada pengakuan dan
perlindungan hak perdata individual dan komunal (termasuk hak ulayat).
þ Formulasi
yang tepat: Tanah di Indonesia berada di bawah penguasaan
negara untuk kemakmuran rakyat, dengan pendelegasian hak-hak tertentu
kepada individu/kelompok melalui mekanisme hukum.
Dengan demikian, jawaban yang sesuai dengan
kerangka hukum nasional adalah:
Tanah di Indonesia secara prinsip berada dalam penguasaan negara untuk
kemakmuran rakyat, namun kepemilikan pribadi diakui dan dilindungi dalam
batas-batas yang ditentukan hukum dan fungsi sosialnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar