Senin, 11 Agustus 2025

Hukum Tanah: Antara Kepemilikan Pribadi dan Penguasaan Negara

Hukum Tanah

Antara Kepemilikan Pribadi dan Penguasaan Negara


Alihkan ke: Hukum Tanah di Indonesia, Ilmu Hukum, Sistem Hukum.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika hukum tanah di Indonesia, khususnya hubungan antara konsep kepemilikan pribadi dan penguasaan negara. Berangkat dari perspektif konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tanah diposisikan sebagai sumber daya yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, negara tidak bertindak sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai penguasa yang memiliki kewenangan mengatur, mengelola, dan mendistribusikan hak-hak atas tanah kepada individu maupun badan hukum. Artikel ini mengurai pengertian dan konsep dasar hukum tanah, landasan konstitusional, makna “penguasaan negara”, ragam hak perdata atas tanah, serta pembatasan dan intervensi negara. Pembahasan juga mencakup kasus khusus tanah adat (hak ulayat), kepemilikan oleh asing, serta perbandingan dengan sistem hukum di negara lain. Melalui analisis normatif, artikel ini menilai bahwa dalam sistem hukum Indonesia, hak perorangan atas tanah bersumber dari mandat konstitusional negara sebagai penguasa, sehingga kepemilikan pribadi tidak pernah sepenuhnya lepas dari fungsi sosial dan batasan publik. Rekomendasi kebijakan difokuskan pada perlunya keseimbangan antara perlindungan hak individu, pengakuan hak masyarakat adat, dan optimalisasi peran negara untuk menjamin keadilan agraria.

Kata Kunci: hukum tanah, penguasaan negara, kepemilikan pribadi, UUPA 1960, hak ulayat, keadilan agrarian.


PEMBAHASAN

Apakah Tanah itu Milik Pribadi atau Milik Negara?


1.           Pendahuluan

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat tinggal, lahan usaha, maupun sumber produksi pangan. Dalam konteks negara agraris seperti Indonesia, keberadaan tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga nilai sosial, politik, dan budaya yang mendalam. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi faktor strategis bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perdebatan mengenai status dasar tanah — apakah merupakan milik pribadi atau sepenuhnya berada dalam penguasaan negara — menjadi isu hukum yang fundamental dan memerlukan kajian mendalam.

Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rumusan ini menegaskan adanya hak menguasai negara atas sumber daya agraria. Namun, konsep “dikuasai” dalam rumusan tersebut tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai “dimiliki” oleh negara, melainkan sebagai kewenangan publik yang memberi negara otoritas untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaan tanah bagi kepentingan umum, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (Pasal 2 ayat (2) UUPA).

Di sisi lain, UUPA juga mengakui keberadaan hak-hak perdata atas tanah, termasuk hak milik sebagai hak terkuat yang dapat dipunyai warga negara Indonesia (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Hak milik ini memberikan wewenang penuh bagi pemegangnya untuk menggunakan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Prinsip fungsi sosial ini menjadi batas penting yang menghindarkan hak milik dari sifat absolut, karena setiap hak atas tanah harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi pemiliknya sendiri.

Konsepsi ganda ini — negara sebagai pemegang kewenangan publik tertinggi atas tanah dan individu sebagai pemegang hak perdata — menciptakan sistem hukum yang bersifat hibrida. Sistem ini mencoba menyeimbangkan dua kepentingan yang sering kali berpotensi bertentangan: di satu sisi, kepastian hukum dan perlindungan hak milik pribadi; di sisi lain, kewenangan negara untuk melakukan intervensi demi mewujudkan pemerataan, keadilan sosial, dan kemakmuran rakyat. Ketegangan antara kedua kepentingan ini menjadi semakin kompleks di tengah dinamika pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi kebutuhan lahan untuk kepentingan umum maupun investasi swasta.

Selain itu, dalam praktiknya, status tanah juga sering bersinggungan dengan hak-hak adat (hak ulayat), penguasaan tanah oleh korporasi besar, serta keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap lahan produktif. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan agraria yang bersifat multidimensional, mulai dari sengketa perdata antarindividu hingga konflik horizontal dan vertikal antara masyarakat, swasta, dan pemerintah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konflik agraria kerap berakar pada perbedaan penafsiran dan implementasi prinsip hak menguasai negara versus hak milik pribadi, sehingga pemahaman yang komprehensif terhadap kedua konsep ini menjadi sangat penting bagi pembuat kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat umum.

Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini akan membahas secara mendalam dasar-dasar hukum tanah di Indonesia, dengan fokus pada analisis hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan negara. Pendekatan yang digunakan adalah normatif dengan mengacu pada sumber hukum primer seperti UUD 1945, UUPA, dan peraturan terkait, serta diperkuat oleh pandangan akademisi dan praktik yurisprudensi. Harapannya, kajian ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang posisi hukum tanah dalam kerangka hukum nasional dan menjawab pertanyaan mendasar: sejauh mana tanah di Indonesia dapat dimiliki oleh individu, dan sejauh mana negara memiliki kewenangan atasnya, baik dari perspektif hukum maupun kepentingan publik.


2.           Pengertian & Konsep Dasar

Dalam hukum Indonesia, istilah tanah memiliki makna yang tidak sekadar merujuk pada permukaan bumi secara fisik, melainkan pada bagian tertentu dari permukaan bumi yang memiliki batas, ukuran, dan lokasi tertentu, yang merupakan objek dari hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara” ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama serta badan hukum. Artinya, tanah dalam konteks hukum adalah objek hak, bukan sekadar benda alamiah yang berdiri sendiri.

Secara yuridis, istilah hak atas tanah mencakup wewenang, kewajiban, dan larangan yang diberikan hukum kepada pemegangnya untuk menggunakan atau memanfaatkan sebidang tanah dalam jangka waktu tertentu atau tanpa batas, sesuai dengan jenis hak yang dimilikinya. Hak-hak ini dapat bersifat hak perdata (misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai) atau hak publik yang melekat pada negara dalam bentuk hak menguasai negara (Pasal 2 UUPA). Dengan demikian, tanah dalam hukum agraria tidak dapat dilepaskan dari hubungan hukum yang mengaturnya, baik hubungan antara individu dengan tanah, antara individu dengan negara, maupun antara negara dengan seluruh wilayah teritorialnya.

Konsep hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bersumber langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam “dikuasai oleh negara” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjelasan UUPA menegaskan bahwa frasa “dikuasai oleh negara” tidak berarti negara menjadi pemilik secara absolut, melainkan negara memiliki kewenangan untuk:

1)                  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.

2)                  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.

3)                  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Dengan demikian, negara bertindak sebagai penguasa publik yang memegang kedaulatan atas sumber daya agraria, sekaligus sebagai regulator yang menetapkan dan mengatur hak-hak privat atas tanah.

Di sisi lain, hak milik merupakan bentuk hak perdata atas tanah yang paling kuat, penuh, dan turun-temurun, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA. Hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, dan memberikan kewenangan penuh kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah tersebut selama tidak bertentangan dengan fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Fungsi sosial menjadi prinsip pembatasan, yang memastikan bahwa hak milik tidak digunakan secara egoistik atau merugikan kepentingan umum.

Secara teoretis, hubungan hukum manusia dengan tanah dapat dijelaskan melalui beberapa perspektif pemikiran. John Locke, misalnya, memandang kepemilikan tanah sebagai hak alami yang timbul dari kerja dan usaha seseorang (labour theory of property), sehingga negara seharusnya hanya bertindak sebagai penjaga keamanan hak itu. Sebaliknya, teori public trust doctrine memandang tanah dan sumber daya alam tertentu sebagai milik bersama rakyat, dengan negara sebagai pengelola yang bertanggung jawab untuk melindungi dan mengalokasikannya demi kepentingan publik. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum agraria mengambil posisi di antara kedua pendekatan ini: mengakui hak milik individu, tetapi dalam kerangka fungsi sosial dan di bawah penguasaan negara.

Perbedaan istilah kepemilikan (ownership) dan penguasaan (control) juga penting dipahami. Kepemilikan menunjuk pada hak penuh dan eksklusif terhadap suatu benda, sedangkan penguasaan dapat bermakna lebih luas, mencakup wewenang mengatur, mengelola, dan menentukan penggunaan tanpa harus menjadi pemilik dalam pengertian perdata. Inilah sebabnya UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai payung yang melahirkan berbagai jenis hak atas tanah, baik hak milik maupun hak-hak lain yang bersifat terbatas dan sementara.

Dengan memahami pengertian dan konsep dasar ini, kita dapat melihat bahwa hukum tanah di Indonesia dibangun di atas asas kedaulatan negara atas sumber daya agraria sekaligus pengakuan terhadap hak-hak individu. Struktur ganda ini dirancang untuk menyeimbangkan kepentingan publik dan kepastian hukum bagi pemilik tanah, namun dalam praktiknya sering memunculkan ketegangan dan konflik yang memerlukan pengaturan serta penegakan hukum yang konsisten.


3.           Landasan Konstitusional dan Perundang-undangan Indonesia

Kerangka hukum tanah di Indonesia berpijak pada dua pilar utama, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kedua instrumen ini membentuk landasan normatif yang menegaskan peran negara dalam penguasaan sumber daya agraria sekaligus mengatur pengakuan terhadap hak-hak perdata atas tanah.

3.1.       Landasan Konstitusional: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Rumusan ini menegaskan bahwa sumber daya agraria, termasuk tanah, berada dalam penguasaan negara. Makna “dikuasai” dalam norma ini telah ditafsirkan luas oleh para ahli dan yurisprudensi, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara mencakup lima fungsi utama: (1) kebijakan (policy), (2) pengaturan (regulation), (3) pengelolaan (management), (4) pengurusan (administration), dan (5) pengawasan (supervision). Dengan demikian, negara tidak selalu bertindak sebagai pemilik dalam arti perdata, melainkan sebagai penguasa publik yang memegang mandat konstitusional untuk memastikan pemanfaatan sumber daya agraria demi kemakmuran rakyat.

Pasal 33 ayat (3) ini juga mencerminkan asas kekuasaan negara atas sumber daya alam yang bersifat public trust, di mana negara bertindak sebagai wali amanah (trustee) bagi rakyat. Konsep ini sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bertujuan mencegah monopoli atau penguasaan sumber daya oleh kelompok tertentu yang merugikan kepentingan umum.

3.2.       Landasan Undang-Undang: UUPA sebagai Hukum Pokok Agraria Nasional

UUPA, yang diundangkan pada 24 September 1960, menjadi instrumen hukum utama yang menurunkan mandat konstitusi di bidang agraria. UUPA lahir sebagai respons terhadap dualisme hukum tanah peninggalan kolonial (hukum barat dan hukum adat) yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketimpangan penguasaan tanah.

Pasal 2 ayat (1) UUPA secara tegas menyatakan:

“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) UUPA merinci wewenang negara, yaitu:

1)                  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.

2)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.

3)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah.

Dengan kerangka ini, UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai sumber dari semua hak atas tanah. Artinya, hak-hak perdata seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai pada dasarnya diberikan oleh negara melalui kewenangan publik yang dimilikinya.

3.3.       Prinsip Fungsi Sosial dan Pembatasan Kepemilikan

Selain mengakui hak milik sebagai hak terkuat (Pasal 20 UUPA), undang-undang ini juga mengatur bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Prinsip ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kepemilikan tanah tidak bersifat absolut dan harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Pembatasan ini dapat berbentuk ketentuan batas maksimum kepemilikan, larangan penelantaran tanah, dan pengaturan redistribusi tanah untuk keadilan agraria.

3.4.       Keterkaitan dengan Peraturan Turunan dan Hukum Sektoral

UUPA menjadi payung hukum bagi berbagai peraturan pelaksana dan undang-undang sektoral, seperti:

·                     UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mengatur mekanisme pengambilalihan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi yang layak.

·                     Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, yang memberikan kepastian hukum atas hak-hak yang ada.

·                     Peraturan perundang-undangan tentang penataan ruang, yang mengatur peruntukan dan pemanfaatan ruang wilayah.

Dengan demikian, landasan konstitusional dan perundang-undangan Indonesia menempatkan negara pada posisi strategis sebagai pemegang mandat tertinggi untuk mengatur tanah demi kemakmuran rakyat, sambil tetap mengakui keberadaan hak milik pribadi yang diatur, dibatasi, dan dilindungi oleh hukum. Sistem ini dirancang untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan publik dan kepastian hukum bagi pemilik tanah, meskipun dalam praktiknya sering terjadi ketegangan yang memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan.


4.           Makna “Penguasaan Negara” Menurut UUPA — Bukan Otomatis “Kepemilikan Pribadi Negara”

Salah satu konsep kunci dalam hukum agraria Indonesia adalah hak menguasai dari negara (HMN), yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini sering disalahpahami sebagai kepemilikan pribadi negara terhadap seluruh tanah di wilayah Indonesia. Padahal, secara doktrinal dan normatif, HMN tidak identik dengan hak milik dalam arti perdata.

4.1.       Penjelasan Normatif dalam UUPA

Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan:

“Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Frasa “dikuasai oleh negara” di sini dimaknai bukan sebagai kepemilikan absolut oleh negara, tetapi sebagai bentuk penguasaan publik yang bersifat public law. Negara bertindak sebagai organisasi kekuasaan rakyat (bukan sebagai subjek privat) yang memiliki kewenangan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (2) UUPA).

Konsepsi ini berbeda dengan hak milik yang diatur dalam Pasal 20 UUPA, yang bersifat perdata, terkuat, dan terpenuh, tetapi tetap terbatas oleh fungsi sosial dan ketentuan perundang-undangan. Dengan kata lain, HMN adalah sumber dari semua hak-hak atas tanah, bukan bentuk hak kepemilikan itu sendiri.

4.2.       Penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menjelaskan bahwa HMN mencakup lima fungsi:

1)                  Regulasi (regulation) – menetapkan aturan tentang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

2)                  Pengelolaan (management) – mengatur distribusi dan penggunaan tanah.

3)                  Kebijakan (policy) – merumuskan strategi pemanfaatan tanah.

4)                  Pengurusan (administration) – melaksanakan pendaftaran, pemberian, dan pencabutan hak atas tanah.

5)                  Pengawasan (supervision) – memastikan tanah digunakan sesuai peruntukan dan fungsi sosialnya.

Penafsiran ini menegaskan bahwa HMN adalah mandat untuk mengatur dan mengurus, bukan memiliki secara pribadi. Negara bertindak sebagai trustee atau wali amanah bagi rakyat, sehingga penguasaan negara bersifat representatif, bukan kepemilikan individual dari aparat atau lembaga negara.

4.3.       Perspektif Akademik

Boedi Harsono (2016) menegaskan bahwa konsep HMN dalam UUPA merupakan bentuk “hak penguasaan publik” yang menempatkan negara sebagai pemegang kedaulatan atas tanah, tetapi tidak memiliki tanah tersebut sebagaimana subjek perdata. Hak-hak perdata atas tanah tetap berada pada pemegang haknya (perseorangan atau badan hukum), sepanjang diberikan oleh negara dan digunakan sesuai ketentuan hukum.

Maria S.W. Sumardjono (2008) juga menggarisbawahi bahwa HMN berfungsi sebagai mekanisme untuk mewujudkan keadilan agraria dan mencegah akumulasi kepemilikan tanah secara eksesif oleh segelintir pihak, bukan untuk menjadikan seluruh tanah sebagai aset privat milik negara.

4.4.       Pembeda dengan Rezim Kepemilikan Negara di Negara Lain

Dalam beberapa negara sosialis klasik, seperti yang pernah diterapkan di Uni Soviet, seluruh tanah adalah milik negara sebagai pemilik tunggal. Sistem ini berbeda dengan Indonesia, yang mengakui hak milik perseorangan (Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA) tetapi menempatkannya di bawah HMN. Artinya, negara tidak mengambil alih kepemilikan, tetapi menjadi sumber kewenangan yang melahirkan dan membatasi hak tersebut.

4.5.       Implikasi Praktis

Pemahaman yang tepat tentang HMN memiliki implikasi penting:

·                     Negara berwenang mengambil tanah untuk kepentingan umum (land acquisition) melalui mekanisme ganti rugi yang layak.

·                     Negara dapat membatasi atau mencabut hak atas tanah jika melanggar fungsi sosial atau digunakan tidak sesuai peruntukan.

·                     Pemilik hak atas tanah tetap dapat mengalihkan, mewariskan, atau memanfaatkan tanahnya sesuai hukum, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Dengan demikian, HMN adalah konsep penguasaan publik yang bersifat konstitusional, bukan bentuk kepemilikan privat negara. Negara menjalankan perannya sebagai pengatur, pengelola, dan pengawas agar tanah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sembari mengakui dan melindungi hak-hak perdata yang sah.


5.           Hak-hak Perdata atas Tanah dalam Sistem Nasional

Dalam kerangka hukum agraria Indonesia, hak-hak perdata atas tanah adalah hak-hak yang melekat pada subjek hukum (perorangan atau badan hukum) untuk menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan tanah sesuai ketentuan perundang-undangan. Hak ini diberikan atau diakui oleh negara berdasarkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA, namun memiliki sifat hak perdata yang dapat dimiliki, dialihkan, dan diwariskan.

5.1.       Klasifikasi Hak-hak atas Tanah

UUPA Pasal 16 ayat (1) mengatur jenis-jenis hak atas tanah yang bersifat perdata, meliputi:

1)                  Hak Milik – hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, bersifat turun-temurun, dan tidak dibatasi jangka waktu (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Hak ini tetap tunduk pada fungsi sosial (Pasal 6 UUPA).

2)                  Hak Guna Usaha (HGU) – hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu (maksimal 35 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun).

3)                  Hak Guna Bangunan (HGB) – hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, berlaku maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.

4)                  Hak Pakai – hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau milik pihak lain, berlaku untuk jangka waktu tertentu atau selama tanah dipergunakan.

5)                  Hak Sewa untuk Bangunan – hak untuk menyewa tanah dengan tujuan mendirikan bangunan di atasnya.

6)                  Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan – hak tradisional yang diakui dalam konteks hukum adat.

7)                  Hak-hak lain yang tidak termasuk di atas yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Selain itu, Pasal 53 UUPA juga mengakui adanya hak-hak yang bersifat sementara seperti gadai tanah, usaha bagi hasil, dan sewa tanah pertanian, yang bersumber dari hukum adat dan akan dihapus secara bertahap.

5.2.       Karakteristik Hak Perdata atas Tanah

Menurut Boedi Harsono (2016), hak-hak perdata atas tanah dalam UUPA memiliki beberapa ciri utama:

·                     Diberikan oleh Negara berdasarkan HMN, sehingga bersumber dari kewenangan publik.

·                     Memiliki sifat individual: dapat dimiliki oleh subjek hukum tertentu dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau usaha.

·                     Dapat dialihkan melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, pewarisan, atau cara lain yang sah.

·                     Dibatasi oleh fungsi sosial: hak tersebut tidak dapat digunakan secara absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan umum, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial (Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA).

5.3.       Hubungan dengan Hak Menguasai dari Negara

Hak perdata atas tanah tidak menghapuskan atau meniadakan HMN. Sebaliknya, hak tersebut merupakan derivatif dari HMN, artinya keberadaannya tergantung pada pengakuan dan pemberian oleh negara. Negara berwenang mencabut hak tersebut dengan syarat:

·                     Untuk kepentingan umum dengan ganti kerugian yang layak (land acquisition), sesuai UU No. 2 Tahun 2012.

·                     Jika tanah tidak dipergunakan sesuai peruntukan atau melanggar ketentuan hukum.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 50/PUU-X/2012 menegaskan bahwa pengakuan hak perdata atas tanah oleh negara adalah bagian dari pelaksanaan HMN, dan pencabutannya hanya dapat dilakukan melalui prosedur hukum yang adil.

5.4.       Perlindungan dan Kepastian Hukum

Perlindungan hak-hak perdata atas tanah diwujudkan melalui sistem pendaftaran tanah (Pasal 19 UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran tanah memberikan sertifikat sebagai alat pembuktian hak yang kuat. Maria S.W. Sumardjono (2008) menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah instrumen utama untuk mencegah sengketa dan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.

5.5.       Dimensi Sosial dan Ekonomi

Hak perdata atas tanah bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Fungsi sosial hak milik (Pasal 6 UUPA) mengandung arti bahwa penggunaan tanah harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas dan kelestarian lingkungan. Dengan demikian, meskipun bersifat perdata, hak-hak atas tanah tidak bersifat absolut seperti dalam sistem common law, tetapi dibatasi oleh prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.


6.           Batas, Pembatasan dan Intervensi Negara

Kepemilikan pribadi atas tanah di Indonesia tidaklah bersifat absolut. Meskipun UUPA mengakui hak-hak perdata seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, seluruhnya tunduk pada prinsip Hak Menguasai dari Negara (HMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Prinsip ini memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaan tanah demi tercapainya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

6.1.       Landasan Normatif Pembatasan

Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, kepentingan individu tidak boleh mengesampingkan kepentingan umum, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Selain itu, Pasal 15 UUPA mewajibkan pemegang hak untuk memelihara tanahnya, meningkatkan kesuburan, dan mencegah kerusakan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 menafsirkan bahwa penguasaan negara mencakup kewenangan regulasi (regeling), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezicht). Dengan demikian, negara berhak melakukan pembatasan selama bertujuan untuk kemaslahatan umum.

6.2.       Bentuk-bentuk Pembatasan

Bentuk pembatasan dan intervensi negara terhadap hak perdata atas tanah antara lain:

1)                  Pengaturan Peruntukan dan Penggunaan Tanah

Diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menetapkan zonasi wilayah (permukiman, pertanian, industri, kawasan lindung). Pemegang hak dilarang menggunakan tanah di luar peruntukan yang ditetapkan.

2)                  Batas Maksimum dan Minimum Penguasaan Tanah

Berdasarkan UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, negara menetapkan batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dimiliki seseorang, untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan mendukung land reform.

3)                  Kewajiban Mengusahakan Tanah

Pemegang HGU, HGB, dan Hak Pakai wajib memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu. Tanah yang tidak dimanfaatkan dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar dan diambil kembali oleh negara (PP No. 11 Tahun 2010 jo. PP No. 20 Tahun 2021).

4)                  Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012, negara berwenang mencabut hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang layak, untuk pembangunan fasilitas publik seperti jalan, bendungan, dan sekolah.

5)                  Pembatasan Hak Bagi Subjek Tertentu

Pasal 21 UUPA melarang warga negara asing memiliki Hak Milik atas tanah, dan badan hukum asing hanya dapat memperoleh Hak Pakai atau HGB.

6.3.       Intervensi dalam Perspektif Kepentingan Umum

Intervensi negara tidak selalu berarti pencabutan hak, tetapi juga dapat berbentuk pengawasan dan pembinaan. Maria S.W. Sumardjono (2008) menekankan bahwa intervensi negara harus proporsional, transparan, dan disertai mekanisme keberatan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam praktiknya, konflik sering terjadi ketika pemegang hak merasa pembatasan negara mengurangi nilai ekonomis tanahnya. Misalnya, dalam kasus penetapan kawasan lindung di atas tanah Hak Milik, pemegang hak tetap mempertahankan kepemilikan tetapi dibatasi penggunaannya demi kelestarian lingkungan (lihat Putusan MA No. 99 PK/TUN/2017).

6.4.       Prinsip-prinsip Pembatasan yang Sah

Agar pembatasan hak atas tanah tidak melanggar hak konstitusional warga negara, pembatasan harus memenuhi prinsip:

·                     Legalitas – diatur dalam peraturan perundang-undangan yang jelas.

·                     Proposionalitas – seimbang antara kepentingan umum dan hak individu.

·                     Non-diskriminasi – berlaku sama untuk semua subjek hukum yang relevan.

·                     Kompensasi Layak – jika pembatasan mengakibatkan hilangnya hak, harus diberikan ganti rugi sesuai ketentuan hukum.


7.           Kasus Khusus: Tanah Adat (Hak Ulayat) dan Konversi Hak

7.1.       Pengertian dan Kedudukan Hak Ulayat

Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat untuk mengatur dan memanfaatkan tanah di wilayahnya, bagi kepentingan bersama anggota komunitas tersebut. Pasal 3 UUPA mengakui keberadaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Boedi Harsono (2005) menekankan bahwa pengakuan ini bersifat conditional recognition, artinya negara mengakui sepanjang memenuhi unsur:

1)                  Masih adanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

2)                  Masih berlangsungnya penguasaan tanah secara komunal.

3)                  Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan persatuan bangsa.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 menjadi tonggak penting, dengan menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini menguatkan posisi hak ulayat dalam tata hukum nasional.

7.2.       Karakteristik Hak Ulayat

Berbeda dengan hak perdata individual seperti Hak Milik atau HGU, hak ulayat:

·                     Bersifat komunal, dipegang bersama oleh masyarakat hukum adat.

·                     Tidak dapat diperjualbelikan keluar komunitas adat.

·                     Penguasaan dan penggunaan diatur oleh adat setempat.

·                     Memiliki dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi yang tak terpisahkan.

Contohnya adalah tanah nagari di Sumatera Barat atau tanah marga di Papua, yang pengelolaannya diatur oleh peraturan adat dan keputusan musyawarah adat.

7.3.       Tantangan Integrasi Hak Ulayat dalam Sistem Nasional

Masalah muncul ketika hak ulayat harus diintegrasikan ke dalam sistem administrasi pertanahan nasional. Karena hukum pertanahan Indonesia menuntut kepastian hukum melalui sertifikat, sedangkan hak ulayat bersifat tidak tertulis dan diwariskan secara lisan, terjadi kesenjangan antara hukum negara (state law) dan hukum adat (customary law).

Maria S.W. Sumardjono (2008) menyoroti bahwa proses ini rawan konflik ketika tanah adat dikonversi menjadi hak atas tanah yang diatur UUPA, terutama jika terjadi peralihan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan penuh komunitas adat.

7.4.       Konversi Hak dalam Perspektif UUPA

Konversi hak adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang telah ada sebelum berlakunya UUPA (1960) menjadi salah satu bentuk hak yang diatur UUPA. Ketentuan konversi ini diatur dalam Pasal I–IX Ketentuan Konversi UUPA dan Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960.

Contoh konversi yang umum terjadi:

·                     Hak Eigendom (peninggalan kolonial) → menjadi Hak Milik.

·                     Hak Erfpacht → menjadi Hak Guna Usaha.

·                     Hak Opstal → menjadi Hak Guna Bangunan.

Dalam konteks tanah adat, proses konversi seringkali memerlukan penetapan resmi dari pemerintah daerah bahwa suatu wilayah benar-benar merupakan tanah ulayat, agar dapat diberikan status hukum sesuai sistem nasional.

7.5.       Potensi Sengketa dan Penyelesaiannya

Konversi tanah adat kerap memicu sengketa, terutama ketika:

·                     Terjadi klaim ganda antara masyarakat adat dan pemerintah.

·                     Investor masuk dengan izin dari negara tanpa persetujuan adat.

·                     Hak ulayat dialihkan menjadi hak perorangan tanpa mekanisme adat.

Penyelesaiannya dapat ditempuh melalui:

1)                  Musyawarah Adat — untuk menjaga kedaulatan hukum adat.

2)                  Mediasi oleh Pemerintah Daerah — mengacu pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat.

3)                  Litigasi di Pengadilan — sebagai langkah terakhir jika penyelesaian non-litigasi gagal.

7.6.       Prinsip Harmonisasi

Harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara menuntut prinsip:

·                     Pengakuan yang tulus terhadap eksistensi masyarakat adat.

·                     Perlindungan hak kolektif agar tidak tergerus mekanisme pasar.

·                     Kepastian hukum melalui pendaftaran tanah tanpa menghilangkan sifat komunal.

·                     Konsultasi bebas dan didahulukan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) sebelum ada pemanfaatan tanah ulayat untuk proyek tertentu.


8.           Kepemilikan Asing vs Warga Negara

8.1.       Prinsip Dasar Kepemilikan Tanah di Indonesia

UUPA secara tegas membedakan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing. Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah. Ketentuan ini merupakan manifestasi prinsip national treatment yang diadopsi secara protektif dalam hukum agraria, dengan tujuan menjaga kedaulatan dan kontrol negara atas tanah sebagai sumber daya strategis.

Bagi WNI, spektrum hak atas tanah yang dapat dimiliki cukup luas, mulai dari Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, hingga Hak Sewa untuk Bangunan. Sedangkan bagi orang asing, ruang lingkupnya lebih terbatas dan bersifat non-permanent ownership.

8.2.       Larangan Kepemilikan Hak Milik bagi Orang Asing

Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa orang asing yang memperoleh Hak Milik karena pewarisan atau sebab lain wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 tahun. Jika tidak, tanah tersebut jatuh kepada negara. Hal ini ditegaskan kembali melalui Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 yang mengatur bahwa orang asing hanya dapat memiliki Hak Pakai di atas tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik milik WNI (dengan perjanjian tertentu).

Boedi Harsono (2005) menekankan bahwa pembatasan ini merupakan langkah konstitusional untuk menghindari konsentrasi penguasaan tanah pada pihak asing, yang berpotensi mengurangi akses WNI terhadap tanah.

8.3.       Hak Pakai untuk Orang Asing

Hak Pakai bagi orang asing diatur dalam Pasal 42 UUPA dan peraturan turunannya. Orang asing dapat memperoleh Hak Pakai selama:

·                     Memiliki izin tinggal di Indonesia.

·                     Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan tempat tinggal atau usaha yang sah.

Berdasarkan PP No. 103 Tahun 2015 jo. Permen ATR/BPN No. 29 Tahun 2016, Hak Pakai bagi orang asing dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui untuk 30 tahun lagi, sehingga total potensi penggunaan dapat mencapai 80 tahun, namun tidak berstatus kepemilikan mutlak.

8.4.       Perbandingan dengan Kepemilikan WNI

Perbedaan mendasar antara hak WNI dan orang asing:

·                     Hak Milik

þ WNI: Diberikan hak milik penuh atas tanah, yaitu hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki individu.

þ Orang Asing: Tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.

·                     Hak Guna Bangunan (HGB)

þ WNI: Dapat memiliki HGB, yang memberikan hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah negara atau tanah hak milik orang lain, dengan jangka waktu tertentu.

þ Orang Asing: Dapat memperoleh HGB, biasanya melalui badan hukum Penanaman Modal Asing (PMA), namun dengan batasan dan pengawasan ketat.

·                     Hak Guna Usaha (HGU)

þ WNI: Berhak mendapatkan HGU untuk tujuan usaha pertanian, perkebunan, atau kehutanan selama jangka waktu tertentu.

þ Orang Asing: Secara langsung tidak dapat memiliki HGU; tetapi melalui badan hukum PMA dapat menguasai tanah dengan status HGU.

·                     Hak Pakai

þ WNI: Memiliki hak pakai atas tanah untuk keperluan tertentu, baik tanah negara maupun tanah milik pribadi.

þ Orang Asing: Diizinkan memiliki hak pakai atas tanah negara atau tanah dengan izin tertentu, biasanya untuk tempat tinggal atau usaha, dengan jangka waktu terbatas.

·                     Hak Sewa

þ WNI: Dapat menyewa tanah untuk jangka waktu tertentu.

þ Orang Asing: Juga dapat menyewa tanah, namun dengan ketentuan dan pengawasan yang berlaku.

Badan hukum yang didirikan di Indonesia dengan modal asing (PMA) dapat memperoleh HGB atau HGU, namun statusnya bukan hak milik dan terikat jangka waktu tertentu.

8.5.       Potensi Masalah dan Celah Hukum

Dalam praktik, terdapat fenomena nominee arrangement, yaitu penggunaan nama WNI sebagai pemegang Hak Milik untuk kepentingan orang asing. Praktik ini secara tegas dilarang dan dianggap batal demi hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam beberapa putusan (misalnya Putusan MA No. 123 K/Pdt/2001).

Selain itu, perkembangan investasi asing di sektor properti mendorong pemerintah melakukan penyesuaian regulasi agar tetap menarik bagi investor, namun tidak mengabaikan prinsip kedaulatan tanah.

8.6.       Arah Kebijakan ke Depan

Maria S.W. Sumardjono (2008) berpendapat bahwa pembatasan kepemilikan tanah bagi orang asing harus dipertahankan sebagai mekanisme perlindungan rakyat, namun pemerintah dapat memperluas skema Hak Pakai yang fleksibel untuk mendorong investasi. Prinsip beneficial ownership juga perlu ditegakkan agar kepemilikan melalui perantara tidak mengaburkan batas kepemilikan asing.

Kedepannya, penguatan sistem pendaftaran tanah digital dan transparansi peralihan hak menjadi krusial untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan keseimbangan antara kepentingan nasional dan daya tarik investasi.


9.           Perbandingan Singkat Internasional

9.1.       Pendekatan Kepemilikan Tanah di Berbagai Negara

Setiap negara mengatur kepemilikan tanah berdasarkan sejarah, ideologi politik, dan struktur ekonominya. Dalam konteks ini, konsep kepemilikan pribadi vs penguasaan negara memiliki variasi yang signifikan:

1)                  Sistem Kepemilikan Pribadi Absolut

Negara seperti Amerika Serikat dan Inggris menerapkan konsep fee simple absolute di mana individu memiliki hak penuh atas tanah, termasuk hak untuk menjual, mewariskan, atau menggadaikannya, dengan batasan hanya pada regulasi zonasi dan pajak properti. Di AS, meskipun hak kepemilikan bersifat sangat luas, pemerintah tetap memiliki power of eminent domain untuk mengambil alih tanah demi kepentingan umum, dengan kompensasi yang layak (Fischel, 2001).

2)                  Sistem Penguasaan Negara Total

Negara seperti China mengatur bahwa semua tanah adalah milik negara atau kolektif, sebagaimana diatur dalam Constitution of the People's Republic of China (Pasal 10). Individu atau badan hukum hanya dapat memperoleh hak guna (land use rights) dalam jangka waktu tertentu, misalnya 70 tahun untuk perumahan. Meskipun demikian, pasar properti tetap aktif melalui peralihan hak guna ini (Ho & Lin, 2003).

3)                  Sistem Campuran atau Hibrid

Beberapa negara, seperti Thailand dan Vietnam, membatasi kepemilikan tanah hanya untuk warga negara, namun mengizinkan orang asing memperoleh hak guna atau hak sewa jangka panjang. Thailand misalnya, melarang orang asing memiliki tanah, tetapi memperbolehkan kepemilikan kondominium hingga 49% dari total unit dalam satu gedung (Land Code of Thailand, 1954).

9.2.       Mekanisme Perlindungan terhadap Kepentingan Nasional

Negara-negara dengan sejarah kolonial atau tekanan investasi asing cenderung memberlakukan pembatasan kepemilikan asing untuk melindungi akses tanah bagi rakyatnya. Indonesia, Filipina, dan Malaysia mengadopsi prinsip serupa. Filipina, misalnya, melarang orang asing memiliki tanah, tetapi memperbolehkan sewa jangka panjang hingga 50 tahun, dapat diperpanjang 25 tahun (Constitution of the Republic of the Philippines, 1987, Pasal XII).

9.3.       Pelajaran untuk Indonesia

Dari perbandingan ini, ada beberapa pelajaran penting:

·                     Perlindungan kedaulatan tanah seperti di Filipina dan Thailand sejalan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945.

·                     Fleksibilitas hak guna seperti di China dan Vietnam dapat menjadi alternatif untuk menarik investasi tanpa melepas hak milik negara atau warga.

·                     Kepastian hukum dalam sistem pendaftaran seperti di Inggris (Land Registration Act 2002) menunjukkan pentingnya transparansi dalam transaksi tanah untuk mencegah sengketa dan spekulasi.

Maria S.W. Sumardjono (2015) menegaskan bahwa model terbaik bagi Indonesia adalah mempertahankan prinsip penguasaan negara sebagaimana diatur UUPA, sambil mengembangkan skema hak terbatas untuk asing dengan kontrol ketat, agar tetap seimbang antara kedaulatan dan daya tarik investasi.


10.       Analisis Normatif: Mana yang “lebih dasar” — Milik Pribadi atau Milik Negara?

10.1.    Titik Tolak Konstitusional dan Filosofis

Dalam perspektif hukum agraria Indonesia, pertanyaan “mana yang lebih dasar” tidak dapat dilepaskan dari konstruksi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Norma ini menjadi sumber dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang memposisikan penguasaan negara sebagai prinsip fundamental.

Namun, “penguasaan negara” di sini tidak identik dengan kepemilikan absolut negara, melainkan mengandung fungsi publik (public trusteeship) di mana negara bertindak sebagai pengelola tertinggi untuk menjamin distribusi dan pemanfaatan tanah yang adil (Boedi Harsono, 2008). Dengan kata lain, secara normatif, hak milik pribadi tidak berdiri di atas atau di luar penguasaan negara — ia lahir dari kewenangan negara untuk memberikan hak tersebut.

10.2.    Perspektif Hukum Alam dan Hak Individu

Dari sudut pandang filsafat hukum alam (misalnya John Locke), hak milik pribadi atas tanah dianggap lahir lebih awal secara moral daripada legitimasi negara, karena ia berakar pada kerja (labour theory of property). Locke berpendapat bahwa individu memperoleh hak atas tanah ketika ia mengolahnya dengan tenaga sendiri, sebelum ada otoritas negara formal. Pandangan ini banyak mempengaruhi sistem common law seperti di Amerika Serikat, di mana negara dipandang sekadar “pengatur” dan bukan “pemilik sumber daya”.

Namun, kritik terhadap pendekatan ini, seperti yang dikemukakan oleh Karl Polanyi, adalah bahwa tanah bukan semata objek ekonomi, tetapi fictitious commodity yang keberadaannya sangat terkait dengan tatanan sosial dan lingkungan, sehingga memerlukan peran negara untuk melindungi kepentingan umum.

10.3.    Posisi UUPA: Negara sebagai Sumber Hak

UUPA secara tegas menempatkan negara sebagai pihak yang memberikan, mengatur, dan mencabut hak atas tanah (Pasal 2 UUPA). Hak milik pribadi diakui (Pasal 20–21 UUPA) sebagai hak terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai seseorang atas tanah, tetapi bukan hak absolut tanpa batas; ia tunduk pada pembatasan kepentingan umum, perencanaan tata ruang, dan fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA).

Norma ini menunjukkan bahwa dalam hukum positif Indonesia:

·                     Secara hierarkis, penguasaan negara bersifat lebih mendasar daripada hak milik pribadi.

·                     Secara fungsional, hak milik pribadi tetap dilindungi selama tidak bertentangan dengan fungsi sosial dan kebijakan publik.

10.4.    Analisis Perbandingan

Negara dengan sistem state ownership seperti China menempatkan hak guna sebagai turunan langsung dari penguasaan negara. Sebaliknya, negara private ownership-based seperti AS menempatkan hak milik sebagai prinsip dasar, dan penguasaan negara hanya melalui instrumen terbatas seperti pajak dan eminent domain. Indonesia memilih model campuran: negara adalah “sumber hak” dan pemilik otoritas tertinggi, tetapi hak milik pribadi tetap diakui sebagai hak yang kuat dan dilindungi hukum.


Kesimpulan Normatif

Dari analisis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

·                     Dalam kerangka hukum positif Indonesia, penguasaan negara adalah prinsip yang lebih mendasar secara konstitusional dibanding hak milik pribadi.

·                     Hak milik pribadi memperoleh legitimasi karena diberikan dan dijamin oleh negara, bukan karena eksistensi moralnya semata.

·                     Meskipun demikian, dalam pandangan hukum alam, hak milik pribadi dapat dianggap “mendasar” secara moral, tetapi dalam sistem hukum nasional, ia tunduk pada fungsi sosial dan kepentingan umum.

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Maria S.W. Sumardjono yang menegaskan bahwa hukum tanah Indonesia menganut state trusteeship, di mana negara adalah pengatur dan pengelola, bukan pemilik absolut, sehingga hak-hak perdata warga negara atas tanah dapat hidup berdampingan dengan prinsip penguasaan negara dalam harmoni yang dinamis.


11.       Implikasi Praktis & Rekomendasi Kebijakan

11.1.    Implikasi Praktis dalam Tata Kelola Tanah

Hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan negara sebagaimana diatur UUPA menimbulkan sejumlah implikasi praktis:

1)                  Kepastian Hukum Hak Atas Tanah

Sistem pertanahan nasional harus mampu memberikan kepastian status hak, baik bagi warga negara maupun badan hukum, untuk mencegah sengketa dan memudahkan transaksi. Sengketa pertanahan yang masih marak, seperti tumpang tindih sertifikat dan konflik tanah adat, menunjukkan lemahnya administrasi pertanahan (Sumardjono, 2014).

2)                  Pembatasan Hak Milik demi Kepentingan Umum

Penerapan Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial seringkali menimbulkan perdebatan karena penafsirannya yang luas. Misalnya, pengadaan tanah untuk infrastruktur publik harus menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan kompensasi yang layak (UU No. 2 Tahun 2012 jo. UU No. 11 Tahun 2020).

3)                  Integrasi Hak Adat dalam Sistem Nasional

Pengakuan terhadap hak ulayat (Pasal 3 UUPA) sering berbenturan dengan klaim negara atau hak perorangan. Implementasi di lapangan memerlukan mekanisme verifikasi dan registrasi yang jelas agar tidak mengorbankan hak masyarakat adat.

4)                  Pembatasan Kepemilikan oleh Pihak Asing

Ketentuan bahwa orang asing hanya dapat menguasai tanah dengan hak tertentu (misalnya Hak Pakai) mencegah dominasi asing atas sumber daya tanah. Namun, pengaturan yang terlalu ketat dapat menghambat investasi jika tidak disertai skema yang transparan dan fleksibel (Santosa, 2018).

11.2.    Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan implikasi tersebut, beberapa langkah kebijakan strategis yang dapat dipertimbangkan adalah:

11.2.1. Reformasi Administrasi Pertanahan

Digitalisasi dan Integrasi Data

þ Mempercepat implementasi single land database berbasis GIS untuk mencegah tumpang tindih hak dan meningkatkan transparansi. Negara seperti Estonia dan Singapura telah membuktikan efektivitas digitalisasi pertanahan dalam mengurangi sengketa dan mempercepat pelayanan.

Peningkatan Kapasitas Aparatur Pertanahan

þ Pelatihan berkelanjutan dan pengawasan ketat terhadap pejabat agraria untuk mengurangi praktik korupsi dan mal-administrasi.

11.2.2. Harmonisasi Hukum Adat dan Nasional

þ Membentuk peraturan pelaksana yang memperjelas kriteria pengakuan hak ulayat, proses registrasi, dan mekanisme penyelesaian konflik.

þ Melibatkan masyarakat adat secara partisipatif dalam perencanaan tata ruang dan kebijakan pertanahan.

11.2.3. Perlindungan Hak Perdata dan Kepentingan Umum

þ Menetapkan pedoman kompensasi yang transparan dan adil untuk pengadaan tanah, mengacu pada nilai pasar dan potensi kerugian non-materiil.

þ Mengembangkan instrumen land value capture agar keuntungan dari peningkatan nilai tanah akibat proyek publik dapat kembali ke masyarakat.

11.2.4. Kebijakan Kepemilikan Asing yang Proporsional

þ Menyusun skema Hak Pakai jangka panjang dengan syarat ketat yang mendukung investasi produktif tanpa mengorbankan kedaulatan tanah nasional.

þ Memperkuat mekanisme pengawasan agar penggunaan tanah oleh asing sesuai dengan tujuan pemberian hak.

11.3.    Prinsip yang Harus Dijaga ke Depan

1)                  Fungsi Sosial Tanah – harus tetap menjadi prinsip utama untuk memastikan tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

2)                  Keseimbangan Hak dan Kewajiban – hak milik pribadi dilindungi, tetapi juga mengemban kewajiban sosial.

3)                  Transparansi dan Partisipasi Publik – setiap kebijakan pertanahan harus disusun dengan proses terbuka dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

4)                  Keadilan Antargenerasi – pengelolaan tanah harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan generasi mendatang.


12.       Penutup

Kajian mengenai hukum tanah di Indonesia memperlihatkan bahwa hubungan antara kepemilikan pribadi dan penguasaan negara tidak dapat dipahami secara dikotomis sebagai dua kutub yang saling meniadakan. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, negara bukanlah pemilik mutlak tanah, melainkan pemegang mandat penguasaan (public trusteeship) untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hak-hak perdata atas tanah—seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai—tetap memiliki kekuatan hukum penuh bagi pemegangnya, namun senantiasa dibatasi oleh fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA). Artinya, setiap pemanfaatan tanah oleh individu tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat luas, keseimbangan lingkungan, dan keberlanjutan sumber daya.

Pengalaman praktik menunjukkan bahwa konflik pertanahan sering timbul bukan semata karena tumpang tindih klaim, tetapi juga akibat pemahaman yang keliru bahwa penguasaan negara identik dengan kepemilikan negara. Pemahaman ini dapat memicu kebijakan yang terlalu sentralistik atau, sebaliknya, tuntutan hak privat yang absolut. Dalam kerangka UUPA, keseimbangan antara hak individu dan kewenangan negara bersifat relasional dan fungsional, bukan absolut.

Dari perspektif normatif, penguasaan negara berada pada tataran yang lebih fundamental karena bersumber langsung dari konstitusi dan memiliki tujuan publik yang melampaui kepentingan individual. Namun, hak perdata atas tanah merupakan instrumen penting untuk menjamin kepastian hukum, mendorong investasi, dan melindungi kebebasan ekonomi warga negara. Oleh karena itu, relasi keduanya harus bersifat sinergis, bukan antagonis.

Ke depan, pembaruan kebijakan pertanahan harus menitikberatkan pada:

1)                  Reformasi administrasi pertanahan melalui digitalisasi dan integrasi data untuk menghindari tumpang tindih hak.

2)                  Harmonisasi hukum adat dan hukum nasional untuk mengakui serta melindungi hak ulayat secara efektif.

3)                  Keseimbangan antara perlindungan hak perdata dan fungsi sosial agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

4)                  Partisipasi publik dan transparansi dalam setiap kebijakan pengelolaan tanah, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Dengan demikian, tanah dalam sistem hukum Indonesia adalah sumber daya bersama yang dikelola dalam kerangka penguasaan negara, namun memberikan ruang yang luas bagi kepemilikan pribadi yang bertanggung jawab. Model ini, jika diimplementasikan secara konsisten dan adil, dapat menjadi landasan kuat bagi pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 2008.

Damanhuri, Didik J. Ekonomi Politik Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 2010.

Maria S.W. Sumardjono. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2008.

Soetiknjo, Iman. Hukum Agraria Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1991.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

van Vollenhoven, Cornelis. Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: E.J. Brill, 1933.

Fitzpatrick, Daniel. "Land Policy in Indonesia: A Socio-Legal Analysis." Land Use Policy, Vol. 14, No. 4, 1997, pp. 295–314.

FAO. Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2012.

World Bank. Land Governance Assessment Framework: Identifying and Monitoring Good Practice in the Land Sector. Washington, D.C.: World Bank, 2012.

Lynch, Owen J., and Kirk Talbott. Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pacific. Washington, D.C.: World Resources Institute, 1995.


Lampiran 1: Pasal-Pasal Kunci serta Daftar Bacaan & Sumber Primer

A.           Teks Ringkas Pasal-Pasal Kunci

1)                  Pasal 1 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)

þ Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

þ Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya, berada dalam penguasaan negara.

2)                  Pasal 2 UUPA

þ Negara mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

þ Penguasaan negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

þ Negara menentukan hubungan hukum antara orang dan bumi/air/ruang angkasa, serta antarorang dan perbuatan hukum yang menyangkutnya.

3)                  Pasal 6 UUPA

þ Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

4)                  Pasal 9 UUPA

þ Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

þ Warga negara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta manfaatnya.

5)                  Pasal 16 UUPA

þ Hak-hak atas tanah meliputi: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

þ Hak-hak sementara dapat dihapuskan jika bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

6)                  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

þ Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B.           Daftar Bacaan & Sumber Primer

1)                  Sumber Hukum Primer

þ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (terutama Pasal 33).

þ Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).

þ Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (beserta perubahannya).

þ Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan UUPA (misalnya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

2)                  Artikel Ilmiah & Literatur Akademik

þ Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan.

þ Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Kompas.

þ Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press.

þ Elucidation in Journal of Indonesian Legal Studies (JILS), artikel tentang "State Control Over Land in Indonesia".

þ Artikel "The Public Trust Doctrine in Indonesian Land Law" dalam Indonesia Law Review.

þ Studi oleh FAO & UN-Habitat tentang pengelolaan tanah dan hak kepemilikan dalam konteks negara berkembang.


Lampiran 2: Analisis – Apakah Tanah Itu Milik Pribadi atau Milik Negara?

Pertanyaan ini menuntut pembedaan konseptual antara kepemilikan (ownership) dan penguasaan (control) dalam hukum tanah Indonesia.

1)                  Perspektif Konstitusi

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Frasa “dikuasai oleh negara” tidak identik dengan dimiliki oleh negara. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya (misalnya Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013) menegaskan bahwa “penguasaan” meliputi fungsi negara sebagai regulator, administrator, pengelola, dan pengawas, bukan sebagai pemilik mutlak seluruh tanah.

2)                  Perspektif UUPA

UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) mengadopsi doktrin hak menguasai dari negara (HMN) dalam Pasal 2, yang memberi negara kewenangan untuk mengatur hubungan hukum antara orang dan tanah, namun tetap mengakui hak-hak perdata individu seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan (Pasal 16).

Artinya, negara tidak otomatis menjadi pemilik semua tanah, tetapi sebagai penguasa yang memberikan, mengatur, dan membatasi hak-hak perorangan sesuai fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA).

3)                  Dimensi Kepemilikan Pribadi

Hak Milik dalam UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tetap tunduk pada fungsi sosial. Hak ini bukan “mutlak” seperti konsep kepemilikan dalam hukum perdata Barat, karena dapat dibatasi oleh kepentingan umum, perencanaan tata ruang, atau pencabutan hak untuk kepentingan umum (UU No. 2 Tahun 2012).

4)                  Keseimbangan Prinsip

Secara normatif, tanah di Indonesia bukan semata milik pribadi, bukan pula milik negara secara absolut.

Model yang dianut adalah public trust doctrine dalam versi Indonesia: negara sebagai trustee atau pengelola atas nama rakyat, dan rakyat (individu atau kelompok) dapat memiliki hak perdata yang diakui, dilindungi, dan dibatasi sesuai hukum.

5)                  Kesimpulan Analitis

þ Bukan milik pribadi secara absolut → karena tunduk pada fungsi sosial dan intervensi negara.

þ Bukan milik negara secara absolut → karena ada pengakuan dan perlindungan hak perdata individual dan komunal (termasuk hak ulayat).

þ Formulasi yang tepat: Tanah di Indonesia berada di bawah penguasaan negara untuk kemakmuran rakyat, dengan pendelegasian hak-hak tertentu kepada individu/kelompok melalui mekanisme hukum.

Dengan demikian, jawaban yang sesuai dengan kerangka hukum nasional adalah:

Tanah di Indonesia secara prinsip berada dalam penguasaan negara untuk kemakmuran rakyat, namun kepemilikan pribadi diakui dan dilindungi dalam batas-batas yang ditentukan hukum dan fungsi sosialnya.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar