Senin, 11 Agustus 2025

Hukum Tanah di Indonesia: Antara Hak Menguasai Negara dan Hak Milik Pribadi

Hukum Tanah di Indonesia

Antara Hak Menguasai Negara dan Hak Milik Pribadi


Alihkan ke: Hukum Tanah, Ilmu Hukum, Sistem Hukum.


Abstrak

Hukum tanah di Indonesia diatur dalam kerangka konstitusional yang menempatkan negara sebagai pemegang Hak Menguasai Negara (HMN) atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan antara kewenangan negara dalam mengatur, mengelola, dan mengawasi pemanfaatan tanah dengan pengakuan terhadap hak-hak perseorangan, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Selain itu, dibahas pula fungsi sosial tanah, mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pengakuan hak ulayat masyarakat adat, serta pembatasan kepemilikan tanah oleh orang asing. Analisis normatif menunjukkan bahwa meskipun tanah dapat dimiliki secara pribadi, secara yuridis tetap berada di bawah penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tantangan implementasi hukum tanah meliputi konflik agraria, tumpang tindih regulasi, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya kepastian hukum bagi masyarakat adat. Artikel ini menawarkan rekomendasi kebijakan yang menekankan harmonisasi regulasi, penguatan hak-hak masyarakat adat, transparansi pengadaan tanah, serta pembaruan administrasi pertanahan berbasis teknologi.

Kata kunci: hukum tanah, hak menguasai negara, hak milik, UUPA, fungsi sosial tanah, hak ulayat, konflik agraria.


PEMBAHASAN

Hukum Tanah di Indonesia


1.           Pendahuluan

Tanah merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat bermukim, tetapi juga sebagai sarana produksi, sumber pangan, dan basis pembangunan nasional. Dalam konteks Indonesia, tanah memiliki dimensi yang kompleks karena mengandung aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum yang saling berkaitan. Ketergantungan masyarakat terhadap tanah menjadikannya objek hukum yang senantiasa memerlukan pengaturan yang adil, merata, dan berkelanjutan.

Secara konstitusional, kedudukan tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rumusan ini menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam pengaturan hukum tanah di Indonesia, sekaligus memberikan legitimasi bagi negara untuk mengatur peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah demi kepentingan umum.

Prinsip tersebut kemudian diimplementasikan secara konkret melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia berada di bawah kekuasaan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa hak menguasai negara mencakup kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah, serta menentukan hubungan hukum antara orang dan tanah. Ketentuan ini mempertegas bahwa hak menguasai negara bukan berarti negara adalah pemilik absolut atas seluruh tanah, melainkan negara bertindak sebagai penguasa tertinggi yang mengatur pemberian hak-hak atas tanah kepada individu atau badan hukum.

Di sisi lain, UUPA juga mengakui keberadaan hak milik sebagai hak terkuat yang dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Hak milik memberikan kewenangan penuh kepada pemegangnya untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah, namun tetap dibatasi oleh fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA. Artinya, kepemilikan tanah secara pribadi tidak bersifat mutlak, melainkan harus selaras dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan nasional.

Dualisme antara hak menguasai negara dan pengakuan hak milik pribadi inilah yang menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah secara hakiki tanah di Indonesia dimiliki oleh negara atau oleh individu? Pertanyaan ini tidak hanya bernilai akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis terhadap kebijakan agraria, kepastian hukum, investasi, dan penyelesaian sengketa tanah. Sejarah agraria Indonesia memperlihatkan bahwa ketidakseimbangan penguasaan tanah dapat memicu konflik sosial yang berkepanjangan, mulai dari sengketa tanah adat, penggusuran, hingga masalah mafia tanah.

Oleh karena itu, memahami kedudukan tanah dalam perspektif hukum Indonesia memerlukan kajian yang komprehensif terhadap dasar konstitusional, peraturan perundang-undangan, serta implementasinya dalam praktik. Artikel ini akan membahas secara mendalam hubungan antara hak menguasai negara dan hak milik pribadi, menelaah batasan dan wewenang keduanya, serta mencari titik temu yang adil antara kepentingan publik dan kepastian hak perorangan. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan hukum tanah yang berkeadilan, selaras dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 dan prinsip fungsi sosial tanah sebagaimana diamanatkan UUPA.


2.           Konsep Dasar Tanah dalam Perspektif Hukum

Dalam hukum agraria Indonesia, istilah tanah tidak semata-mata merujuk pada pengertian fisik sebagai bagian permukaan bumi, melainkan memiliki makna yuridis yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta oleh badan hukum. Dengan demikian, secara hukum, tanah diartikan sebagai permukaan bumi yang menjadi objek hak atas tanah, sementara bumi sebagai keseluruhan meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa di atasnya.

UUPA juga membedakan antara tanah sebagai unsur fisik dan hak atas tanah sebagai hubungan hukum. Secara fisik, tanah adalah bagian dari bumi yang dapat dimanfaatkan manusia, sedangkan secara yuridis, tanah merupakan objek hak yang memberikan kewenangan kepada subjek hukum untuk menggunakan, mengelola, dan memanfaatkan sesuai peruntukannya. Perbedaan ini penting, karena sengketa tanah umumnya tidak berkaitan dengan fisik tanah semata, melainkan dengan status dan bukti hak atas tanah tersebut.

Pengaturan konsep tanah dalam hukum Indonesia berakar pada prinsip bahwa bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa hak menguasai negara memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Artinya, negara memiliki kedudukan sebagai pemegang kedaulatan atas seluruh wilayah tanah di Indonesia, sedangkan individu atau badan hukum memperoleh hak atas tanah melalui pemberian atau pengakuan negara.

Selain itu, UUPA menegaskan asas fungsi sosial tanah melalui Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti hak atas tanah, termasuk hak milik, tidak dapat digunakan secara absolut untuk kepentingan pribadi semata, melainkan harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Asas ini sejalan dengan pandangan Boedi Harsono (2005) yang menekankan bahwa hukum tanah nasional tidak hanya mengatur hubungan antara subjek hukum dan objek tanah, tetapi juga mengatur hubungan tersebut dalam konteks sosial, sehingga penggunaan tanah harus memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak.

Dalam perspektif hukum agraria, tanah juga dipandang sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbanyak, sehingga pengaturannya memerlukan prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan. Oleh sebab itu, negara menerapkan pembatasan luas kepemilikan, kewajiban penggunaan sesuai peruntukan, serta larangan menelantarkan tanah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Dengan demikian, konsep dasar tanah dalam hukum Indonesia bertumpu pada tiga hal utama: pertama, tanah adalah bagian dari bumi yang menjadi objek hak; kedua, hubungan hukum antara manusia dan tanah ditentukan oleh negara melalui hak-hak tertentu; dan ketiga, setiap hak atas tanah dibatasi oleh fungsi sosial untuk menjamin kemanfaatannya bagi kemakmuran rakyat. Konsep ini menjadi fondasi bagi seluruh pengaturan hukum tanah di Indonesia, sekaligus menjelaskan posisi seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan publik dalam pemanfaatan tanah.


3.           Landasan Hukum Pengaturan Tanah di Indonesia

Pengaturan hukum tanah di Indonesia memiliki fondasi yang kuat dalam kerangka konstitusional dan peraturan perundang-undangan. Secara historis, sistem hukum tanah nasional dibangun untuk menggantikan sistem agraria kolonial yang dualistik—membedakan tanah berdasarkan status hukum Barat dan hukum adat—menuju satu kesatuan hukum tanah yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan utama pengaturan tersebut dapat ditelusuri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, serta berbagai peraturan pelaksanaannya.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Frasa “dikuasai oleh negara” di sini tidak dapat diartikan semata-mata sebagai kepemilikan dalam pengertian privat, melainkan mencerminkan konsep public control di mana negara bertindak sebagai pengelola dan pengatur utama demi kepentingan publik. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menegaskan bahwa makna “dikuasai” meliputi kewenangan negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) terhadap sumber daya agraria.

Implementasi norma konstitusional tersebut dituangkan dalam UUPA, yang menjadi pilar utama hukum agraria nasional. Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berada pada tingkat tertinggi di bawah penguasaan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 2 ayat (2) UUPA menjabarkan bahwa hak menguasai negara memberikan wewenang untuk:

1)                  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;

2)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah; dan

3)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah.

Dengan ketentuan tersebut, negara berperan sebagai sumber utama pemberian hak atas tanah, termasuk hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Hak-hak tersebut diberikan kepada subjek hukum tertentu, dengan syarat dan jangka waktu yang berbeda-beda, serta selalu dibatasi oleh prinsip fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA.

Selain UUPA, berbagai peraturan pelaksana juga menjadi bagian dari landasan hukum pengaturan tanah, antara lain:

·                     Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur tata cara pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum;

·                     Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang mengatur penanganan tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya;

·                     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mengatur mekanisme pengadaan tanah oleh pemerintah dengan pemberian ganti rugi yang layak.

Landasan hukum ini membentuk kerangka yang menempatkan negara sebagai pengendali utama sumber daya agraria, sambil tetap mengakui hak-hak privat atas tanah. Pola pengaturan seperti ini mencerminkan prinsip keseimbangan antara penguasaan negara untuk kepentingan publik dan perlindungan hak individu, sehingga di satu sisi dapat mencegah monopoli atau penyalahgunaan tanah, dan di sisi lain memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.


4.           Hak Menguasai Negara atas Tanah

Konsep hak menguasai negara merupakan prinsip fundamental dalam hukum agraria Indonesia yang menjadi landasan pengaturan, pengelolaan, dan distribusi tanah. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berada pada tingkat tertinggi di bawah penguasaan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Prinsip ini berakar langsung pada amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa penguasaan negara dimaksudkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Makna hak menguasai negara tidak boleh dipahami secara sempit sebagai kepemilikan mutlak oleh negara, melainkan sebagai mandat pengelolaan yang bersifat publik (public trust doctrine). Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menegaskan bahwa frasa “dikuasai oleh negara” mencakup lima kewenangan:

1)                  Kewenangan kebijakan (beleid) – negara berhak menetapkan kebijakan umum terkait peruntukan dan penggunaan tanah;

2)                  Kewenangan pengaturan (regelendaad) – negara menetapkan norma dan ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum atas tanah;

3)                  Kewenangan pengurusan (bestuursdaad) – negara melaksanakan administrasi pertanahan, termasuk pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak;

4)                  Kewenangan pengelolaan (beheersdaad) – negara mengelola tanah yang langsung dikuasai untuk proyek strategis dan kepentingan umum;

5)                  Kewenangan pengawasan (toezichthoudensdaad) – negara mengawasi pelaksanaan hak atas tanah agar sesuai fungsi sosialnya.

Pelaksanaan hak menguasai negara memungkinkan negara untuk memberikan berbagai macam hak atas tanah kepada individu atau badan hukum, seperti hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, dan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Namun, pemberian hak ini bersifat terbatas, baik dalam jangka waktu, peruntukan, maupun luasnya, sesuai asas fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA).

Boedi Harsono (2005) menegaskan bahwa hak menguasai negara adalah manifestasi dari kedaulatan negara di bidang agraria, yang tidak memposisikan negara sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai pengatur hubungan hukum antara rakyat dengan tanah. Oleh karena itu, meskipun individu memiliki hak milik atas sebidang tanah, hak tersebut selalu berada dalam kerangka hukum yang ditetapkan oleh negara.

Dalam praktiknya, hak menguasai negara diwujudkan melalui kebijakan redistribusi tanah, program reforma agraria, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hingga penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Kebijakan ini tidak jarang menimbulkan perdebatan, terutama ketika terjadi perbedaan kepentingan antara pembangunan nasional dan perlindungan hak milik pribadi.

Dengan demikian, hak menguasai negara atas tanah berfungsi sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan kepentingan publik dan kepentingan privat, memastikan distribusi tanah yang adil, mencegah spekulasi dan penelantaran, serta menjamin bahwa pemanfaatan tanah selalu mengacu pada tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa prinsip ini, sistem pertanahan akan rawan terhadap monopoli dan ketimpangan penguasaan lahan.


5.           Jenis-Jenis Hak atas Tanah

Pengaturan hak atas tanah di Indonesia diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 16 dan Pasal 53. UUPA membagi hak atas tanah menjadi beberapa kategori, yang mencerminkan hubungan hukum antara subjek hukum (individu atau badan hukum) dengan objek tanah. Hak-hak tersebut pada prinsipnya bersumber dari hak menguasai negara, dan pelaksanaannya dibatasi oleh asas fungsi sosial tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA.

5.1.       Hak Milik

Hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah. Pasal 20 ayat (1) UUPA mendefinisikan hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan pembatasan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak ini (Pasal 21 ayat (1) UUPA). Boedi Harsono (2005) menegaskan bahwa meskipun hak milik bersifat terkuat, sifatnya tidak absolut karena tetap tunduk pada pembatasan luas, penggunaan sesuai peruntukan, dan fungsi sosial. Hak milik dapat beralih melalui jual beli, hibah, waris, atau tukar-menukar, serta dapat hapus jika dilepaskan, dicabut untuk kepentingan umum, atau karena tanahnya terlantar.

5.2.       Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28–34 UUPA dan merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Jangka waktunya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Subjek HGU dapat berupa warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGU lazim digunakan untuk perkebunan skala besar dan proyek pertanian komersial, dengan syarat tanahnya harus diusahakan secara nyata dan berkelanjutan.

5.3.       Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35–40 UUPA, memberikan kewenangan untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, baik yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik pihak lain. Jangka waktunya maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. HGB dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia maupun badan hukum Indonesia. Hak ini umum digunakan oleh pengembang perumahan, gedung komersial, dan proyek properti berskala besar.

5.4.       Hak Pakai

Hak Pakai (Pasal 41–43 UUPA) adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik pihak lain, dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu. Subjek hak pakai dapat meliputi WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia, serta instansi pemerintah. Hak pakai sering digunakan untuk kepentingan diplomatik, proyek pemerintah, atau kerja sama investasi asing.

5.5.       Hak Sewa untuk Bangunan

Hak ini diatur dalam Pasal 44–45 UUPA, memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain guna mendirikan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa. Hak sewa tidak memiliki jangka waktu standar dan diatur berdasarkan perjanjian para pihak.

5.6.       Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Pasal 46 UUPA mengakui adanya hak membuka tanah dan memungut hasil hutan sesuai ketentuan perundang-undangan. Hak ini umumnya diberikan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam secara terbatas, dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

5.7.       Hak-Hak Lain yang Tidak Termasuk UUPA

Pasal 53 UUPA mengatur adanya hak-hak sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Hak-hak ini bersifat sementara dan akan dihapus secara bertahap karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip UUPA yang menekankan pemerataan dan fungsi sosial tanah.

5.8.       Hak-Hak Baru dan Perkembangan Modern

Selain yang tercantum dalam UUPA, perkembangan hukum pertanahan modern juga memunculkan bentuk-bentuk hak baru, seperti hak pengelolaan (HPL) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 dan kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri ATR/BPN. HPL sering digunakan oleh instansi pemerintah atau BUMN untuk mengelola kawasan tertentu yang kemudian dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan HGB atau Hak Pakai.


6.           Fungsi Sosial Tanah dan Pembatasan Hak

Konsep fungsi sosial tanah merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum agraria Indonesia. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) secara tegas menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, hak atas tanah tidak bersifat mutlak bagi pemiliknya, tetapi terikat pada kewajiban untuk mempergunakan tanah tersebut sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara.

6.1.       Landasan Konsep Fungsi Sosial

Prinsip fungsi sosial tanah berakar pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Maria S.W. Sumardjono (2008), fungsi sosial bukan sekadar batasan normatif, tetapi merupakan mandat konstitusional untuk memastikan tanah dimanfaatkan secara adil, produktif, dan tidak merugikan kepentingan umum. Dengan demikian, pemegang hak atas tanah harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas di atas kepentingan pribadi yang semata-mata bersifat komersial atau spekulatif.

6.2.       Implementasi Fungsi Sosial dalam Penggunaan Tanah

Implementasi fungsi sosial dapat dilihat pada kewajiban pemegang hak untuk:

1)                  Mengusahakan dan memelihara tanah dengan baik, sehingga tidak menjadi tanah terlantar (Pasal 27 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar).

2)                  Menggunakan tanah sesuai peruntukannya dalam rencana tata ruang wilayah (Pasal 15 UUPA dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).

3)                  Memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dalam setiap pemanfaatan tanah (Pasal 15 UUPA jo. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Jika kewajiban ini diabaikan, negara berwenang untuk mencabut hak atas tanah melalui mekanisme pencabutan hak atau pengambilalihan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

6.3.       Bentuk Pembatasan Hak

Fungsi sosial membawa implikasi bahwa hak milik pribadi atas tanah tidak bersifat absolut. Beberapa bentuk pembatasan yang berlaku antara lain:

·                     Pembatasan luas maksimum dan minimum: Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

·                     Larangan penggunaan tanah untuk tujuan yang merugikan masyarakat: Misalnya, penggunaan tanah yang menimbulkan pencemaran atau menghambat akses publik.

·                     Kewajiban pelepasan tanah untuk kepentingan umum: Sesuai mekanisme pengadaan tanah dengan kompensasi yang layak.

Menurut Boedi Harsono (2005), pembatasan ini merupakan konsekuensi logis dari asas kebersamaan dan pemerataan dalam penguasaan tanah, yang menempatkan kepentingan sosial di atas kepentingan individual.

6.4.       Fungsi Sosial sebagai Penyeimbang Hak dan Kewajiban

Secara teoritis, fungsi sosial tanah berperan sebagai social contract antara individu pemegang hak dan masyarakat. Hak milik memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi individu, tetapi fungsi sosial menjamin bahwa hak tersebut tidak digunakan secara merugikan atau eksklusif. Dengan demikian, terdapat keseimbangan antara hak privat dan kepentingan publik, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan ditegaskan dalam UUPA.


7.           Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan instrumen hukum yang memungkinkan negara mengambil alih hak atas tanah dari pemiliknya untuk melaksanakan pembangunan yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas. Landasan konstitusionalnya terdapat pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi dasar bagi negara untuk mengatur, mengelola, dan apabila diperlukan, mengambil kembali tanah dari pemiliknya demi kepentingan umum, dengan tetap menghormati hak-hak individu melalui mekanisme ganti kerugian yang adil.

7.1.       Landasan Hukum

Pengadaan tanah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta peraturan pelaksananya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021. UUPA juga memberikan kerangka umum bahwa hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang (Pasal 18 UUPA).

UU Nomor 2 Tahun 2012 memberikan definisi kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembangunan yang termasuk dalam kategori ini meliputi antara lain jalan umum, bendungan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, pelabuhan, bandar udara, serta prasarana pertahanan dan keamanan.

7.2.       Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah

Pengadaan tanah harus dilakukan berdasarkan prinsip:

1)                  Kemanusiaan – menghormati hak asasi manusia, termasuk hak milik pribadi yang diakui Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

2)                  Keadilan – ganti kerugian diberikan secara layak dan adil, mencakup nilai tanah, bangunan, tanaman, benda lain yang berkaitan dengan tanah, serta kerugian non-fisik seperti kehilangan mata pencaharian (Pasal 36 UU No. 2/2012).

3)                  Kepastian Hukum – proses pengadaan tanah dilaksanakan sesuai prosedur yang jelas dan transparan, mulai dari perencanaan hingga penyerahan hasil.

4)                  Partisipatif – melibatkan pemilik tanah dan masyarakat terdampak dalam musyawarah untuk mencapai kesepakatan (Pasal 9 UU No. 2/2012).

7.3.       Tahapan Proses Pengadaan Tanah

Menurut UU No. 2 Tahun 2012, pengadaan tanah dilakukan melalui empat tahap utama:

1)                  Perencanaan – instansi yang memerlukan tanah menyusun rencana pembangunan dan menentukan lokasi sesuai rencana tata ruang wilayah.

2)                  Persiapan – termasuk pendataan awal lokasi, pengumuman rencana pengadaan tanah, konsultasi publik, dan penetapan lokasi oleh gubernur.

3)                  Pelaksanaan – meliputi inventarisasi, identifikasi pemegang hak, penilaian ganti kerugian oleh penilai independen, musyawarah, dan pembayaran ganti rugi.

4)                  Penyerahan Hasil – setelah pembayaran ganti kerugian, tanah diserahkan kepada instansi yang memerlukan untuk pelaksanaan pembangunan.

7.4.       Mekanisme Ganti Kerugian

Ganti kerugian dalam pengadaan tanah tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga dapat berupa tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama. Penilaian ganti kerugian dilakukan oleh penilai independen yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menjamin obyektivitas. Menurut Boedi Harsono (2005), prinsip ganti kerugian adalah memberikan kompensasi setara yang memungkinkan pihak yang tanahnya diambil tetap dapat melanjutkan kehidupannya secara layak.

7.5.       Tantangan dan Permasalahan

Meskipun telah diatur secara ketat, pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering kali menimbulkan konflik. Permasalahan yang muncul antara lain ketidaksepakatan mengenai besaran ganti rugi, penolakan relokasi oleh warga, tumpang tindih sertifikat, dan ketidakjelasan status hukum tanah. Maria S.W. Sumardjono (2015) menekankan bahwa permasalahan tersebut sering kali bersumber dari kurangnya komunikasi, minimnya partisipasi masyarakat sejak awal, serta lemahnya perlindungan hak-hak kelompok rentan.

7.6.       Pengadaan Tanah sebagai Titik Temu Hak Menguasai Negara dan Hak Milik Pribadi

Pada dasarnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah wujud konkret dari interaksi antara hak menguasai negara dan hak milik pribadi. Negara, berdasarkan mandat konstitusi, berhak mengatur dan mengambil tanah demi kepentingan umum, tetapi harus melakukannya dengan menjamin keadilan, menghormati hak milik, serta memberikan ganti kerugian yang layak. Dengan demikian, mekanisme ini menjadi ujian bagi negara dalam menyeimbangkan kepentingan publik dan perlindungan hak-hak individu.


8.           Tanah Adat dan Hak Ulayat

Tanah adat, atau yang sering disebut hak ulayat, merupakan konsep hukum yang diakui secara konstitusional sebagai bagian dari sistem hukum agraria nasional. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

8.1.       Definisi dan Karakteristik Hak Ulayat

Menurut Pasal 3 UUPA, hak ulayat adalah wewenang yang dimiliki masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu di mana mereka hidup, yang mencakup tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Boedi Harsono (2005) menjelaskan bahwa hak ulayat bersifat komunal kolektif, artinya tanah tidak dimiliki secara individu, tetapi oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat. Pemanfaatannya diatur oleh adat setempat, dan setiap anggota memiliki hak untuk menggunakan tanah sesuai ketentuan adat, namun tidak dapat mengalihkan kepemilikan secara pribadi kepada pihak luar tanpa persetujuan komunitas.

Karakteristik utama hak ulayat meliputi:

1)                  Bersifat kolektif – kepemilikan melekat pada komunitas, bukan individu.

2)                  Dikuasai dan diatur berdasarkan hukum adat – termasuk pengelolaan, pembagian, dan sanksi bagi pelanggaran.

3)                  Tidak dapat dialihkan secara bebas – pengalihan memerlukan kesepakatan masyarakat adat.

4)                  Memiliki dimensi spiritual – hubungan masyarakat adat dengan tanah sering kali bersifat kosmologis dan religius, sebagaimana dicatat oleh van Vollenhoven (1931).

8.2.       Pengakuan Negara terhadap Hak Ulayat

Negara mengakui hak ulayat sepanjang terpenuhi tiga kriteria sebagaimana dirumuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yaitu:

1)                  Masih adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi unsur-unsur hukum adat, seperti adanya perangkat adat, wilayah, dan hukum adat yang berlaku.

2)                  Masih adanya wilayah ulayat yang menjadi tempat hidup dan tempat mereka mengambil hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

3)                  Masih berfungsinya hukum adat dalam pengaturan dan pemanfaatan tanah ulayat.

Putusan MK tersebut menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara, melainkan berada di bawah kewenangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, meskipun tetap dalam kerangka kedaulatan negara.

8.3.       Hak Menguasai Negara dan Hak Ulayat

Menurut Maria S.W. Sumardjono (2014), hak menguasai negara dalam konteks tanah ulayat bukan berarti negara memiliki tanah tersebut, melainkan memiliki fungsi regulasi, administrasi, dan pengawasan untuk memastikan pemanfaatannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan hukum positif. Artinya, meskipun tanah ulayat berada dalam penguasaan masyarakat adat, negara berwenang mengatur pemanfaatannya jika terkait kepentingan umum, perlindungan lingkungan, atau proyek pembangunan strategis.

8.4.       Permasalahan dan Tantangan

Implementasi pengakuan hak ulayat sering menghadapi berbagai hambatan, antara lain:

·                     Tumpang tindih klaim antara tanah ulayat dan tanah yang telah diberikan hak oleh negara kepada pihak ketiga, seperti hak guna usaha (HGU) atau konsesi tambang.

·                     Kurangnya pemetaan resmi wilayah adat, sehingga rentan diklaim sebagai tanah negara.

·                     Ketidakharmonisan hukum adat dengan hukum positif dalam hal prosedur pengalihan, pewarisan, atau penyelesaian sengketa.

·                     Komersialisasi tanah adat oleh sebagian anggota masyarakat yang bertentangan dengan prinsip komunalnya.

Penelitian HuMa (2018) menunjukkan bahwa salah satu akar masalah adalah belum optimalnya pelaksanaan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang seharusnya menjadi instrumen pemetaan dan pendaftaran hak ulayat di BPN.

8.5.       Harmonisasi Hukum dan Perlindungan Hak Ulayat

Ke depan, penguatan hak ulayat memerlukan langkah-langkah strategis, seperti:

1)                  Pemetaan partisipatif wilayah adat yang diakui negara.

2)                  Penyusunan peraturan daerah yang spesifik mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

3)                  Pengintegrasian hukum adat ke dalam perencanaan tata ruang untuk mencegah konflik dengan rencana pembangunan nasional.

4)                  Peningkatan kapasitas masyarakat adat agar dapat bernegosiasi secara adil dalam menghadapi investasi atau proyek pembangunan di wilayahnya.

Dengan demikian, hak ulayat merupakan bentuk hak atas tanah yang unik dalam hukum agraria Indonesia, menjadi simbol keberagaman hukum dan budaya yang diakui negara. Pengelolaannya memerlukan keseimbangan antara penghormatan terhadap kedaulatan adat dan kepentingan nasional dalam kerangka hak menguasai negara.


9.           Kepemilikan Tanah oleh Orang Asing

9.1.       Prinsip Dasar Pembatasan Kepemilikan Tanah oleh Orang Asing

Sistem hukum agraria Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), menegaskan bahwa hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (Pasal 21 ayat (1) UUPA). Orang asing, badan hukum asing, atau warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya, tidak diperkenankan memiliki hak milik atas tanah.

Prinsip ini lahir dari konsep Hak Menguasai Negara yang bersumber pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana tanah, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pembatasan kepemilikan tanah oleh orang asing merupakan upaya menjaga kedaulatan sumber daya agraria dan mencegah penguasaan tanah yang berlebihan oleh pihak non-WNI.

9.2.       Hak Atas Tanah yang Dapat Dimiliki atau Dikuasai Orang Asing

Meskipun tidak dapat memiliki hak milik, orang asing yang berkedudukan di Indonesia masih dimungkinkan untuk memiliki atau menguasai tanah dalam bentuk hak-hak tertentu, yaitu:

1)                  Hak Pakai

þ Diatur dalam Pasal 42 UUPA dan diperjelas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.

þ Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik pihak lain, yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.

þ Untuk orang asing, Hak Pakai atas rumah tinggal dapat diberikan maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan.

2)                  Hak Sewa untuk Bangunan

þ Diatur dalam Pasal 44 UUPA.

þ Orang asing dapat menyewa tanah untuk keperluan mendirikan bangunan, tanpa batasan kewarganegaraan pemilik tanah.

þ Hak ini tidak memindahkan kepemilikan tanah, hanya memberikan hak penggunaan selama masa sewa.

3)                  Hak Guna Bangunan (HGB) Melalui Badan Hukum Indonesia

þ Orang asing secara langsung tidak dapat memegang HGB, tetapi dapat memiliki saham dalam badan hukum berbadan hukum Indonesia (misalnya PT PMA) yang memegang HGB.

þ Diatur dalam Pasal 36 UUPA dan PP No. 18 Tahun 2021.

9.3.       Ketentuan Khusus untuk Rumah Tinggal dan Hunian

Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 mengatur bahwa orang asing yang memiliki izin tinggal di Indonesia dapat memiliki rumah tempat tinggal dengan status Hak Pakai. Jika orang asing kehilangan status izin tinggal, maka dalam jangka waktu satu tahun mereka wajib mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat, atau hak tersebut akan hapus dan kembali kepada negara.

Ketentuan ini diperkuat dengan Permen ATR/Kepala BPN No. 18 Tahun 2021, yang mengatur batasan luas tanah dan harga minimal properti yang dapat dimiliki orang asing untuk mencegah spekulasi pasar tanah dan properti.

9.4.       Konsekuensi Hukum bagi Orang Asing yang Memiliki Tanah Secara Tidak Sah

Jika orang asing memperoleh hak milik atau hak lain yang secara hukum tidak diperbolehkan, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA, mereka wajib melepaskan atau mengalihkan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Jika tidak, hak tersebut hapus demi hukum dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, seperti Putusan MA No. 1230 K/Pdt/2015, menegaskan bahwa transaksi jual beli tanah hak milik dengan orang asing adalah batal demi hukum, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum kepemilikan bagi pihak asing tersebut.

9.5.       Tantangan dan Isu Kontemporer

Dalam praktiknya, masih banyak orang asing yang mencoba menguasai tanah hak milik melalui nominee arrangement, yaitu menggunakan nama WNI sebagai pemegang sertifikat secara formal, tetapi pengendalian sebenarnya berada pada pihak asing. Praktik ini dinilai melanggar UUPA dan berpotensi menimbulkan sengketa hukum.

Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada dilema antara menjaga kedaulatan agraria dan menarik investasi asing. Sebagian kalangan, seperti yang diulas oleh Maria S.W. Sumardjono (2017), berpendapat bahwa regulasi harus memberikan kepastian hukum bagi orang asing yang ingin berinvestasi, namun tetap menghindari spekulasi dan monopoli tanah.


Penutup

Kepemilikan tanah oleh orang asing di Indonesia diatur secara ketat dengan prinsip utama bahwa hak milik hanya untuk WNI, sedangkan orang asing dibatasi pada hak-hak tertentu seperti Hak Pakai, Hak Sewa, atau melalui kepemilikan badan hukum Indonesia. Regulasi ini mencerminkan upaya menyeimbangkan antara kepentingan kedaulatan negara, perlindungan rakyat, dan keterbukaan terhadap investasi asing yang produktif.


10.       Analisis Normatif: Tanah Milik Pribadi atau Milik Negara?

10.1.    Kerangka Konseptual

Pertanyaan mendasar dalam hukum tanah Indonesia adalah apakah tanah pada hakikatnya merupakan milik pribadi atau milik negara. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Rumusan “dikuasai” di sini tidak dapat disamakan dengan konsep kepemilikan mutlak (dominium) sebagaimana dikenal dalam hukum perdata barat, tetapi lebih bersifat public trust doctrine, di mana negara bertindak sebagai pengelola dan pengatur, bukan pemilik absolut (Maria S.W. Sumardjono, 2001).

UUPA mempertegas hal ini dengan menetapkan bahwa semua hak atas tanah bersumber dari Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Hak milik pribadi hanyalah salah satu bentuk hak yang diberikan negara kepada subjek hukum tertentu, yang diatur, dibatasi, dan dapat dicabut untuk kepentingan umum sesuai hukum.

10.2.    Hak Menguasai Negara sebagai Sumber Segala Hak

Hak Menguasai Negara memberi kewenangan kepada negara untuk:

1)                  Mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;

2)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah;

3)                  Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah (Pasal 2 ayat (2) UUPA).

Dalam kerangka ini, tanah secara filosofis bukan “milik negara” dalam pengertian privat, melainkan berada di bawah penguasaan negara untuk mengatur distribusinya demi kepentingan rakyat. Hak milik pribadi atas tanah ada karena negara memberikan, mengakui, dan melindungi hak tersebut, tetapi selalu berada dalam bingkai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA).

10.3.    Hak Milik Pribadi dan Batasannya

Hak milik pribadi di Indonesia adalah hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Namun sifat “terkuat” ini tidak bersifat absolut. Hak tersebut dapat:

·                     Dibatasi oleh kepentingan umum;

·                     Dihapus jika pemegang hak tidak memenuhi kewajiban;

·                     Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan undang-undang (UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah).

Artinya, meskipun secara formal sertifikat hak milik menunjukkan penguasaan penuh, secara substantif pemilik tanah tetap tunduk pada supremasi pengaturan negara.

10.4.    Analisis Normatif terhadap Status Kepemilikan

Secara normatif, status tanah di Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut:

·                     Bukan milik negara secara absolut, karena negara tidak memiliki hak milik dalam pengertian private ownership, melainkan hak menguasai sebagai public authority.

·                     Bukan milik pribadi secara mutlak, karena hak milik pribadi adalah derivatif dari Hak Menguasai Negara dan dibatasi oleh fungsi sosial serta regulasi negara.

·                     Konsep yang berlaku adalah hak-hak atas tanah yang bersumber pada penguasaan negara, yang dapat dialokasikan kepada individu, badan hukum, atau komunitas adat, dengan jangka waktu dan syarat tertentu.

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, yang menegaskan bahwa “hak menguasai negara” tidak boleh diartikan sebagai hak milik negara, tetapi sebagai mandat konstitusional untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan tanah demi kemakmuran rakyat.

10.5.    Implikasi bagi Sistem Agraria

Pemahaman bahwa tanah adalah sumber daya bersama di bawah penguasaan negara memiliki implikasi penting:

·                     Pengaturan kepemilikan menjadi instrumen pemerataan dan keadilan sosial;

·                     Fungsi sosial tanah menjadi acuan utama dalam penggunaan dan pemanfaatannya;

·                     Pengadaan tanah untuk kepentingan umum menjadi sah secara normatif, selama prosedur dan ganti rugi dilaksanakan adil;

·                     Pencegahan monopoli tanah menjadi tujuan kebijakan agraria, untuk menghindari ketimpangan penguasaan.


Kesimpulan Normatif

Secara normatif, tanah di Indonesia tidak dapat dikategorikan mutlak sebagai milik pribadi maupun milik negara. Model yang dianut adalah hak-hak individual yang lahir dari kewenangan publik negara, dengan keseimbangan antara pengakuan kepemilikan individu dan perlindungan kepentingan kolektif. Dengan demikian, dalam hukum agraria Indonesia, pertanyaan “tanah milik pribadi atau milik negara?” dijawab dengan: tanah berada dalam penguasaan negara, sementara hak milik pribadi adalah bentuk penguasaan individual yang selalu dibatasi oleh kepentingan umum dan fungsi sosial.


11.       Tantangan dan Permasalahan Hukum Tanah di Indonesia

11.1      Konflik Agraria dan Sengketa Pertanahan

Salah satu tantangan terbesar hukum tanah di Indonesia adalah maraknya konflik agraria. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan ratusan kasus sengketa tanah terjadi setiap tahun, melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Konflik ini sering timbul akibat tumpang tindih klaim hak, ketidaksesuaian antara data pendaftaran tanah dan penguasaan fisik, serta kurangnya transparansi dalam alokasi lahan (KPA, 2022). Banyak kasus juga dipicu oleh konversi lahan skala besar untuk perkebunan, pertambangan, atau infrastruktur, yang berbenturan dengan hak masyarakat adat dan petani.

11.2      Tumpang Tindih Regulasi dan Dualisme Hukum

Hukum tanah di Indonesia masih menghadapi tumpang tindih peraturan antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan undang-undang sektoral, seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Kelautan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 misalnya, mempertegas pengakuan hutan adat di luar kawasan hutan negara, namun implementasinya terhambat oleh regulasi sektoral yang belum sinkron. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.

11.3      Masalah Pendaftaran Tanah dan Kepastian Hukum

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 bertujuan menciptakan satu peta kebijakan (one map policy). Namun, tantangan muncul karena banyak tanah yang belum terdata secara lengkap, terutama di wilayah pedesaan dan kawasan adat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih menghadapi kendala kapasitas teknis, data yang tidak akurat, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses verifikasi.

11.4      Ketimpangan Penguasaan Tanah

Distribusi tanah di Indonesia masih timpang. Data KPA (2020) menunjukkan sebagian besar tanah produktif dikuasai oleh korporasi besar, sedangkan petani kecil hanya menguasai lahan terbatas. Kondisi ini bertentangan dengan semangat Pasal 7 UUPA yang menegaskan pembatasan kepemilikan tanah untuk mencegah monopoli, serta amanat reforma agraria yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018.

11.5      Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Walaupun UUPA dan Putusan MK telah mengakui hak ulayat masyarakat adat, implementasinya masih lemah. Hambatan utama adalah belum adanya peraturan daerah yang menetapkan dan mengadministrasikan wilayah adat secara resmi, sehingga tanah adat sering masuk kategori tanah negara atau kawasan hutan tanpa persetujuan masyarakat adat. Hal ini memicu perampasan lahan (land grabbing) yang merugikan komunitas lokal (Bedner & van Huis, 2008).

11.6      Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan prosedur yang jelas, tetapi dalam praktiknya banyak kasus di mana ganti rugi dianggap tidak layak, proses konsultasi minim, atau tidak adanya mekanisme yang efektif untuk mengakomodasi keberatan masyarakat. Akibatnya, proyek strategis nasional sering menuai protes dan gugatan hukum.

11.7      Dampak Perubahan Iklim dan Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan memperburuk ketahanan pangan nasional. Selain itu, degradasi lingkungan akibat pembukaan lahan berskala besar menimbulkan konflik baru antara aspek lingkungan hidup dan kepentingan pembangunan ekonomi. Regulasi tanah belum sepenuhnya mengintegrasikan aspek mitigasi perubahan iklim, meskipun amanat tersebut sudah tersirat dalam Pasal 15 UUPA yang mewajibkan pemeliharaan kesuburan tanah.

11.8      Tantangan Digitalisasi dan Transparansi Data

Upaya digitalisasi layanan pertanahan dan sertifikasi elektronik melalui Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 bertujuan meningkatkan transparansi. Namun, tantangan muncul dalam hal keamanan siber, integrasi basis data antarinstansi, dan kesiapan infrastruktur di daerah terpencil. Tanpa transparansi dan partisipasi publik yang kuat, digitalisasi berisiko hanya memindahkan masalah dari bentuk analog ke digital.


Kesimpulan Sementara

Permasalahan hukum tanah di Indonesia tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural dan politis. Penyelesaiannya memerlukan sinkronisasi regulasi, penguatan perlindungan hak masyarakat, peningkatan kapasitas administrasi pertanahan, serta komitmen politik untuk menjalankan reforma agraria secara konsisten. Dalam konteks ini, paradigma tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 perlu diaktualisasikan melalui kebijakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.


12.       Rekomendasi Kebijakan dan Solusi

Pengelolaan tanah di Indonesia membutuhkan reformasi kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga substantif, untuk menjawab tantangan hukum, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ada. Berikut adalah beberapa rekomendasi strategis:

12.1      Harmonisasi Regulasi dan Sinkronisasi Kebijakan

Perlu dilakukan sinkronisasi antara UUPA 1960 dengan peraturan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Kelautan. Tumpang tindih kewenangan antarinstansi dapat diminimalkan melalui kebijakan one map policy sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016. Harmonisasi ini penting untuk memberikan kepastian hukum, mencegah konflik kewenangan, dan memastikan bahwa hak ulayat maupun hak milik pribadi terlindungi secara proporsional.

12.2      Penguatan Reforma Agraria

Reforma agraria sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 harus dilaksanakan secara konsisten dengan prioritas pada redistribusi tanah kepada petani tak bertanah, masyarakat adat, dan kelompok rentan. Pelaksanaan reforma agraria perlu disertai peningkatan kapasitas produksi, akses modal, dan pendampingan teknis, sehingga tanah yang didistribusikan benar-benar menjadi sumber kesejahteraan dan bukan hanya sertifikat formal.

12.3      Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan Hak Ulayat

Pengakuan hak ulayat harus diikuti dengan penetapan wilayah adat melalui peraturan daerah, sesuai amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Pemerintah daerah, bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN), perlu membangun mekanisme partisipatif yang melibatkan komunitas adat secara langsung dalam pemetaan, verifikasi, dan penetapan tanah adat.

12.4      Reformasi Mekanisme Pengadaan Tanah

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 harus diperkuat dengan mekanisme negosiasi yang transparan dan kompensasi yang layak, termasuk mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan. Mekanisme mediasi independen perlu diperluas untuk menghindari penyelesaian konflik melalui jalur litigasi yang memakan waktu dan biaya besar.

12.5      Modernisasi Sistem Pendaftaran Tanah

Penerapan sertifikat elektronik melalui Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 perlu diikuti dengan penguatan keamanan data, peningkatan kapasitas SDM, dan integrasi lintas instansi. Digitalisasi pendaftaran tanah harus disertai jaminan transparansi publik dan perlindungan data pribadi, untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.

12.6      Pencegahan dan Penanggulangan Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali

Diperlukan regulasi yang ketat terkait konversi lahan pertanian ke nonpertanian, sejalan dengan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemerintah perlu memperkuat insentif bagi pemilik lahan yang mempertahankan fungsi pertaniannya, dan mengenakan disinsentif berupa pajak tinggi atau pembatasan perizinan bagi alih fungsi yang mengancam ketahanan pangan.

12.7      Integrasi Aspek Lingkungan dan Mitigasi Perubahan Iklim

Pengelolaan tanah harus mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Setiap kebijakan penggunaan lahan perlu dilengkapi analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang ketat, serta memperhatikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mencegah degradasi lahan dan kehilangan biodiversitas.

12.8      Penguatan Peran Peradilan Agraria

Pemerintah dapat mempertimbangkan pembentukan peradilan agraria khusus atau penguatan kompetensi hakim dalam menangani sengketa tanah, sehingga penyelesaian perkara lebih cepat, murah, dan adil. Hal ini sejalan dengan rekomendasi akademisi hukum agraria seperti Boedi Harsono, yang menekankan pentingnya kejelasan yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa pertanahan.

12.9      Peningkatan Literasi Hukum Pertanahan Masyarakat

Program edukasi hukum pertanahan harus ditingkatkan melalui kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM. Literasi ini mencakup pemahaman tentang hak dan kewajiban pemilik tanah, prosedur pendaftaran, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Dengan literasi yang baik, potensi konflik akibat kesalahpahaman hukum dapat diminimalkan.

12.10   Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten

Penegakan hukum terhadap praktik perampasan lahan (land grabbing), manipulasi sertifikat, dan pelanggaran batas kepemilikan tanah harus dilakukan tanpa pandang bulu. Keberhasilan kebijakan pertanahan sangat bergantung pada integritas aparat dan sistem pengawasan yang kuat, termasuk penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk memantau penggunaan lahan secara real-time.


13.       Penutup

Hukum tanah di Indonesia memegang peran strategis dalam menjembatani kepentingan negara, masyarakat, dan sektor swasta, sekaligus memastikan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya agraria. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 telah menetapkan landasan yang menegaskan hak menguasai dari negara (HMN) sebagai prinsip utama, di mana negara bertindak sebagai pengatur, pengelola, dan pengawas pemanfaatan tanah demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Namun, HMN tidak menghapus eksistensi hak milik pribadi, hak ulayat, maupun bentuk hak lain yang diakui undang-undang. Dalam kerangka ini, negara berkewajiban menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan perlindungan hak individual, termasuk menghormati keberadaan masyarakat adat sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Keseimbangan ini menjadi krusial untuk mencegah terjadinya konflik agraria, yang data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan masih terus meningkat setiap tahun.

Berbagai instrumen hukum—mulai dari UUPA, UU Pengadaan Tanah, UU Perlindungan Lahan Pertanian, hingga kebijakan one map policy—telah diupayakan untuk menciptakan kepastian hukum. Namun, tantangan tetap hadir, baik dalam bentuk tumpang tindih regulasi, lemahnya penegakan hukum, praktik korupsi dalam pengurusan pertanahan, hingga keterbatasan literasi hukum masyarakat.

Ke depan, penguatan hukum tanah di Indonesia memerlukan langkah-langkah strategis: harmonisasi regulasi lintas sektor, percepatan reforma agraria, perlindungan hak ulayat, modernisasi pendaftaran tanah berbasis digital, dan integrasi prinsip keberlanjutan lingkungan. Selain itu, keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan sangat bergantung pada komitmen politik yang kuat, partisipasi publik, dan pengawasan yang transparan.

Dengan demikian, hukum tanah di Indonesia bukan sekadar instrumen legal untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah, tetapi juga menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi berkeadilan, pelestarian lingkungan, dan penguatan kedaulatan bangsa atas sumber daya agraria. Implementasi yang konsisten dan berkeadilan akan memastikan bahwa tanah benar-benar menjadi sumber kemakmuran rakyat, bukan sumber konflik yang tak berkesudahan.


Daftar Pustaka

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Pemilikan Tanah Pertanian. Jakarta: BPN RI.

Konsorsium Pembaruan Agraria. (2023). Laporan tahunan konflik agraria 2022. Jakarta: KPA.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2012). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jakarta: MK RI.

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. (1960). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104.

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149.

Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22.

Republik Indonesia. (2014). Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Sekretariat Negara.

Soemardjan, S., & Soemardi, S. (1964). Setangkai bunga sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Santoso, U. (2012). Hukum agraria dan hak-hak atas tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


Lampiran: Kajian Logis, Etis, dan Historis tentang Hukum Tanah dalam Perspektif Filsafat

A.           Pendahuluan

Tanah memiliki kedudukan fundamental dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar sumber daya alam, tetapi juga basis eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dan politik. Dalam filsafat, pembahasan tentang tanah terkait erat dengan konsep kepemilikan, keadilan distributif, hak asasi manusia, dan kewajiban moral. Kajian tentang hukum tanah dapat ditelusuri dari pendekatan logis (rasional), etis (moral), dan historis (perkembangan pemikiran dan kebijakan).

B.           Kajian Logis

Secara logis, hukum tanah berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar:

1)                  Siapa yang berhak memiliki tanah?

þ Logika kepemilikan tanah berkaitan dengan prinsip kelangkaan sumber daya (scarcity). Tanah terbatas, sementara kebutuhan manusia tak terbatas, sehingga perlu pengaturan hak agar tidak terjadi perebutan atau kekacauan.

2)                  Mengapa tanah perlu diatur oleh hukum?

þ Tanpa regulasi, akan terjadi konflik kepentingan. Hukum tanah memberikan kepastian, perlindungan, dan keadilan dalam distribusi serta pemanfaatannya.

3)                  Apakah hak atas tanah bersifat absolut?

þ Secara logis, hak atas tanah tidak mutlak. Negara atau masyarakat memiliki hak mengatur penggunaannya demi kepentingan umum (prinsip social function of property).

4)                  Landasan rasional:

þ John Locke dalam Two Treatises of Government menyatakan bahwa kepemilikan tanah sah jika hasil kerja manusia menyatu dengan tanah tersebut, selama tidak merugikan hak orang lain.

þ Teori utilitarianisme menilai bahwa pengaturan tanah harus menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat luas.

C.           Kajian Etis

Perspektif etis menekankan dimensi moral dari hukum tanah:

1)                  Keadilan Distribusi

þ Aristoteles menekankan distributive justice, di mana tanah dibagi secara proporsional sesuai kontribusi dan kebutuhan.

þ Dalam konteks modern, prinsip ini tercermin pada kebijakan reforma agraria yang bertujuan mengurangi ketimpangan.

2)                  Hak dan Kewajiban

þ Memiliki tanah bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab moral untuk mengelolanya secara berkelanjutan.

þ Etika lingkungan (environmental ethics) menuntut agar pemanfaatan tanah tidak merusak ekosistem dan generasi mendatang.

3)                  Kemanusiaan dan Solidaritas

þ Tanah dipandang sebagai warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), sehingga tidak boleh dimonopoli oleh segelintir pihak yang mengorbankan hak orang banyak.

4)                  Ajaran Agama

þ Banyak tradisi keagamaan mengajarkan bahwa tanah adalah amanah Tuhan yang harus dimanfaatkan secara adil dan tidak zalim.

D.           Kajian Historis

Sejarah perkembangan hukum tanah mencerminkan evolusi pandangan manusia tentang kepemilikan:

1)                  Masyarakat Tradisional

þ Tanah biasanya dikelola secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan individu mutlak, melainkan hak pakai yang diatur adat.

2)                  Era Feodalisme

þ Tanah dikuasai oleh bangsawan atau penguasa. Rakyat hanya memiliki hak garap dengan kewajiban membayar upeti.

3)                  Revolusi Industri & Kapitalisme

þ Konsep kepemilikan pribadi diperkuat. Tanah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan bebas.

4)                  Abad ke-20 dan Seterusnya

þ Muncul gerakan reforma agraria untuk mengatasi ketimpangan distribusi tanah.

þ Instrumen hukum internasional seperti Universal Declaration of Human Rights mengakui hak milik, namun menekankan fungsi sosialnya.

5)                  Konteks Indonesia

þ Hukum tanah nasional berpijak pada UUPA 1960 yang menegaskan tanah sebagai milik bangsa dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Prinsip ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.


Penutup

Dari sudut pandang filsafat, hukum tanah tidak dapat dilepaskan dari prinsip rasionalitas, moralitas, dan sejarah sosial-politik. Secara logis, ia diperlukan untuk mencegah konflik dan mengatur pemanfaatan sumber daya terbatas. Secara etis, hukum tanah harus mencerminkan keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab moral. Secara historis, ia berkembang seiring perubahan struktur sosial, politik, dan ekonomi. Pemahaman filosofis ini menjadi landasan penting dalam merumuskan kebijakan agraria yang adil dan berkelanjutan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar