Hukum Tanah di Indonesia
Antara Hak Menguasai Negara
dan Hak Milik Pribadi
Alihkan ke: Hukum Tanah, Ilmu
Hukum, Sistem
Hukum.
Abstrak
Hukum tanah di Indonesia diatur dalam kerangka konstitusional yang
menempatkan negara sebagai pemegang Hak Menguasai Negara (HMN) atas
seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan
antara kewenangan negara dalam mengatur, mengelola, dan mengawasi pemanfaatan
tanah dengan pengakuan terhadap hak-hak perseorangan, seperti Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Selain itu, dibahas pula fungsi
sosial tanah, mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pengakuan hak
ulayat masyarakat adat, serta pembatasan kepemilikan tanah oleh orang asing.
Analisis normatif menunjukkan bahwa meskipun tanah dapat dimiliki secara pribadi,
secara yuridis tetap berada di bawah penguasaan negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Tantangan implementasi hukum tanah meliputi konflik agraria,
tumpang tindih regulasi, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya kepastian
hukum bagi masyarakat adat. Artikel ini menawarkan rekomendasi kebijakan
yang menekankan harmonisasi regulasi, penguatan hak-hak masyarakat adat,
transparansi pengadaan tanah, serta pembaruan administrasi pertanahan berbasis
teknologi.
Kata kunci: hukum
tanah, hak menguasai negara, hak milik, UUPA, fungsi sosial tanah, hak ulayat,
konflik agraria.
PEMBAHASAN
Hukum Tanah di Indonesia
1.
Pendahuluan
Tanah merupakan sumber daya alam yang
memiliki nilai strategis dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat
bermukim, tetapi juga sebagai sarana produksi, sumber pangan, dan basis
pembangunan nasional. Dalam
konteks Indonesia, tanah memiliki dimensi yang kompleks karena mengandung aspek
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum yang saling berkaitan.
Ketergantungan masyarakat terhadap tanah menjadikannya objek hukum yang
senantiasa memerlukan pengaturan yang adil, merata, dan berkelanjutan.
Secara konstitusional, kedudukan tanah di Indonesia diatur dalam Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Rumusan ini menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam pengaturan hukum tanah
di Indonesia, sekaligus memberikan legitimasi bagi negara untuk mengatur
peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan tanah demi kepentingan umum.
Prinsip tersebut kemudian diimplementasikan secara konkret melalui
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia
sebagai kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia berada di bawah
kekuasaan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya,
Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa hak menguasai negara mencakup kewenangan
untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan tanah, serta menentukan hubungan hukum antara orang dan tanah.
Ketentuan ini mempertegas bahwa hak menguasai negara bukan berarti
negara adalah pemilik absolut atas seluruh tanah, melainkan negara bertindak
sebagai penguasa tertinggi yang mengatur pemberian hak-hak atas tanah kepada
individu atau badan hukum.
Di sisi lain, UUPA juga mengakui keberadaan hak milik sebagai hak
terkuat yang dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia (Pasal 20 ayat (1)
UUPA). Hak milik memberikan kewenangan penuh kepada pemegangnya untuk
menggunakan dan memanfaatkan tanah, namun tetap dibatasi oleh fungsi sosial
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA. Artinya, kepemilikan tanah secara
pribadi tidak bersifat mutlak, melainkan harus selaras dengan kepentingan
masyarakat dan pembangunan nasional.
Dualisme antara hak menguasai negara dan pengakuan hak milik
pribadi inilah yang menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah secara
hakiki tanah di Indonesia dimiliki oleh negara atau oleh individu? Pertanyaan
ini tidak hanya bernilai akademis, tetapi juga memiliki implikasi praktis
terhadap kebijakan agraria, kepastian hukum, investasi, dan penyelesaian
sengketa tanah. Sejarah agraria Indonesia memperlihatkan bahwa
ketidakseimbangan penguasaan tanah dapat memicu konflik sosial yang
berkepanjangan, mulai dari sengketa tanah adat, penggusuran, hingga masalah
mafia tanah.
Oleh karena itu, memahami kedudukan tanah dalam perspektif hukum
Indonesia memerlukan kajian yang komprehensif terhadap dasar konstitusional,
peraturan perundang-undangan, serta implementasinya dalam praktik. Artikel ini
akan membahas secara mendalam hubungan antara hak menguasai negara dan hak
milik pribadi, menelaah batasan dan wewenang keduanya, serta mencari titik temu
yang adil antara kepentingan publik dan kepastian hak perorangan. Dengan
demikian, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan hukum tanah yang berkeadilan, selaras dengan semangat Pasal 33 UUD
1945 dan prinsip fungsi sosial tanah sebagaimana diamanatkan UUPA.
2.
Konsep Dasar Tanah dalam Perspektif Hukum
Dalam hukum agraria Indonesia, istilah tanah tidak semata-mata
merujuk pada pengertian fisik sebagai bagian permukaan bumi, melainkan memiliki
makna yuridis yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4 ayat (1) UUPA menyebutkan
bahwa atas dasar hak menguasai negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, serta oleh
badan hukum. Dengan demikian, secara hukum, tanah diartikan sebagai
permukaan bumi yang menjadi objek hak atas tanah, sementara bumi sebagai
keseluruhan meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa di atasnya.
UUPA juga membedakan antara tanah sebagai unsur fisik dan hak
atas tanah sebagai hubungan hukum. Secara fisik, tanah adalah bagian dari
bumi yang dapat dimanfaatkan manusia, sedangkan secara yuridis, tanah merupakan
objek hak yang memberikan kewenangan kepada subjek hukum untuk menggunakan,
mengelola, dan memanfaatkan sesuai peruntukannya. Perbedaan ini penting, karena
sengketa tanah umumnya tidak berkaitan dengan fisik tanah semata, melainkan
dengan status dan bukti hak atas tanah tersebut.
Pengaturan konsep tanah dalam hukum Indonesia berakar pada prinsip
bahwa bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam
Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa hak menguasai negara memberi wewenang untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan tanah. Artinya, negara memiliki kedudukan sebagai pemegang
kedaulatan atas seluruh wilayah tanah di Indonesia, sedangkan individu atau
badan hukum memperoleh hak atas tanah melalui pemberian atau pengakuan negara.
Selain itu, UUPA menegaskan asas fungsi sosial tanah melalui Pasal 6
yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini
berarti hak atas tanah, termasuk hak milik, tidak dapat digunakan secara
absolut untuk kepentingan pribadi semata, melainkan harus mempertimbangkan
kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Asas ini sejalan dengan
pandangan Boedi Harsono (2005) yang menekankan bahwa hukum tanah nasional tidak
hanya mengatur hubungan antara subjek hukum dan objek tanah, tetapi juga
mengatur hubungan tersebut dalam konteks sosial, sehingga penggunaan tanah
harus memberikan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak.
Dalam perspektif hukum agraria, tanah juga dipandang sebagai sumber
daya yang tidak dapat diperbanyak, sehingga pengaturannya memerlukan prinsip
keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan. Oleh sebab itu, negara menerapkan
pembatasan luas kepemilikan, kewajiban penggunaan sesuai peruntukan, serta
larangan menelantarkan tanah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Dengan demikian, konsep dasar tanah dalam hukum Indonesia bertumpu pada
tiga hal utama: pertama, tanah adalah bagian dari bumi yang menjadi objek hak;
kedua, hubungan hukum antara manusia dan tanah ditentukan oleh negara melalui
hak-hak tertentu; dan ketiga, setiap hak atas tanah dibatasi oleh fungsi sosial
untuk menjamin kemanfaatannya bagi kemakmuran rakyat. Konsep ini menjadi
fondasi bagi seluruh pengaturan hukum tanah di Indonesia, sekaligus menjelaskan
posisi seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan publik dalam
pemanfaatan tanah.
3.
Landasan Hukum
Pengaturan Tanah di Indonesia
Pengaturan hukum tanah di Indonesia
memiliki fondasi yang kuat dalam kerangka konstitusional dan peraturan
perundang-undangan. Secara historis, sistem hukum tanah nasional dibangun untuk
menggantikan sistem agraria kolonial yang dualistik—membedakan tanah
berdasarkan status hukum Barat dan hukum adat—menuju satu kesatuan hukum tanah
yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan utama pengaturan tersebut
dapat ditelusuri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945), Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, serta
berbagai peraturan pelaksanaannya.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan
bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Frasa “dikuasai
oleh negara” di sini tidak dapat diartikan semata-mata sebagai kepemilikan
dalam pengertian privat, melainkan mencerminkan konsep public control di
mana negara bertindak sebagai pengelola dan pengatur utama demi kepentingan
publik. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
menegaskan bahwa makna “dikuasai” meliputi kewenangan negara untuk
membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan
pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan
pengawasan (toezichthoudensdaad) terhadap sumber daya agraria.
Implementasi norma konstitusional tersebut dituangkan dalam UUPA, yang
menjadi pilar utama hukum agraria nasional. Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan
bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya berada pada tingkat tertinggi di bawah penguasaan negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 2 ayat (2) UUPA menjabarkan bahwa
hak menguasai negara memberikan wewenang untuk:
1)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah;
2)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah; dan
3)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah.
Dengan ketentuan tersebut, negara berperan sebagai sumber utama
pemberian hak atas tanah, termasuk hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna
bangunan (HGB), hak pakai, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal
16 UUPA. Hak-hak tersebut diberikan kepada subjek hukum tertentu, dengan syarat
dan jangka waktu yang berbeda-beda, serta selalu dibatasi oleh prinsip fungsi
sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA.
Selain UUPA, berbagai peraturan
pelaksana juga menjadi bagian dari landasan hukum pengaturan tanah, antara
lain:
·
Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur tata cara
pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum;
·
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang mengatur penanganan tanah
yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya;
·
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mengatur mekanisme
pengadaan tanah oleh pemerintah dengan pemberian ganti rugi yang layak.
Landasan hukum ini membentuk kerangka yang menempatkan negara sebagai
pengendali utama sumber daya agraria, sambil tetap mengakui hak-hak privat atas
tanah. Pola pengaturan seperti ini mencerminkan prinsip keseimbangan antara
penguasaan negara untuk kepentingan publik dan perlindungan hak individu,
sehingga di satu sisi dapat mencegah monopoli atau penyalahgunaan tanah, dan di
sisi lain memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak.
4.
Hak Menguasai Negara atas Tanah
Konsep hak menguasai negara merupakan prinsip fundamental dalam
hukum agraria Indonesia yang menjadi landasan pengaturan, pengelolaan, dan
distribusi tanah. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya berada pada tingkat tertinggi di bawah penguasaan negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Prinsip ini berakar langsung pada
amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa penguasaan negara
dimaksudkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Makna hak menguasai negara tidak boleh dipahami secara sempit
sebagai kepemilikan mutlak oleh negara, melainkan sebagai mandat pengelolaan
yang bersifat publik (public trust doctrine). Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 menegaskan bahwa frasa “dikuasai oleh
negara” mencakup lima kewenangan:
1)
Kewenangan kebijakan (beleid) – negara berhak menetapkan
kebijakan umum terkait peruntukan dan penggunaan tanah;
2)
Kewenangan pengaturan (regelendaad) – negara menetapkan norma dan
ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum atas tanah;
3)
Kewenangan pengurusan (bestuursdaad) – negara melaksanakan
administrasi pertanahan, termasuk pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak;
4)
Kewenangan pengelolaan (beheersdaad) – negara mengelola tanah yang
langsung dikuasai untuk proyek strategis dan kepentingan umum;
5)
Kewenangan pengawasan (toezichthoudensdaad) – negara mengawasi pelaksanaan
hak atas tanah agar sesuai fungsi sosialnya.
Pelaksanaan hak menguasai negara memungkinkan negara untuk
memberikan berbagai macam hak atas tanah kepada individu atau badan hukum,
seperti hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai,
dan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Namun, pemberian hak
ini bersifat terbatas, baik dalam jangka waktu, peruntukan, maupun luasnya,
sesuai asas fungsi sosial tanah (Pasal 6 UUPA).
Boedi Harsono (2005) menegaskan bahwa hak menguasai negara
adalah manifestasi dari kedaulatan negara di bidang agraria, yang tidak
memposisikan negara sebagai pemilik absolut, melainkan sebagai pengatur
hubungan hukum antara rakyat dengan tanah. Oleh karena itu, meskipun individu
memiliki hak milik atas sebidang tanah, hak tersebut selalu berada dalam
kerangka hukum yang ditetapkan oleh negara.
Dalam praktiknya, hak menguasai negara diwujudkan melalui
kebijakan redistribusi tanah, program reforma agraria, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, hingga penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Kebijakan ini tidak jarang
menimbulkan perdebatan, terutama ketika terjadi perbedaan kepentingan antara
pembangunan nasional dan perlindungan hak milik pribadi.
Dengan demikian, hak menguasai negara atas tanah berfungsi
sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan kepentingan publik dan kepentingan
privat, memastikan distribusi tanah yang adil, mencegah spekulasi dan
penelantaran, serta menjamin bahwa pemanfaatan tanah selalu mengacu pada tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa prinsip ini, sistem pertanahan akan
rawan terhadap monopoli dan ketimpangan penguasaan lahan.
5.
Jenis-Jenis Hak atas
Tanah
Pengaturan hak atas tanah di Indonesia
diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 16 dan Pasal 53.
UUPA membagi hak atas tanah menjadi beberapa kategori, yang mencerminkan
hubungan hukum antara subjek hukum (individu atau badan hukum) dengan objek
tanah. Hak-hak tersebut pada prinsipnya bersumber dari hak menguasai negara,
dan pelaksanaannya dibatasi oleh asas fungsi sosial tanah sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 UUPA.
5.1. Hak Milik
Hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki
seseorang atas tanah. Pasal 20 ayat (1) UUPA mendefinisikan hak milik sebagai
hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan pembatasan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak
ini (Pasal 21 ayat (1) UUPA). Boedi Harsono (2005) menegaskan bahwa meskipun
hak milik bersifat terkuat, sifatnya tidak absolut karena tetap tunduk pada
pembatasan luas, penggunaan sesuai peruntukan, dan fungsi sosial. Hak milik
dapat beralih melalui jual beli, hibah, waris, atau tukar-menukar, serta dapat
hapus jika dilepaskan, dicabut untuk kepentingan umum, atau karena tanahnya
terlantar.
5.2. Hak Guna
Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28–34 UUPA dan merupakan hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan. Jangka waktunya paling lama 35 tahun dan
dapat diperpanjang 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Subjek HGU dapat berupa warga
negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. HGU lazim digunakan untuk perkebunan skala besar dan
proyek pertanian komersial, dengan syarat tanahnya harus diusahakan secara
nyata dan berkelanjutan.
5.3. Hak Guna
Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35–40 UUPA, memberikan kewenangan
untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, baik yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik pihak lain.
Jangka waktunya maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. HGB dapat
dimiliki oleh warga negara Indonesia maupun badan hukum Indonesia. Hak ini umum
digunakan oleh pengembang perumahan, gedung komersial, dan proyek properti
berskala besar.
5.4. Hak Pakai
Hak Pakai (Pasal 41–43 UUPA) adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik pihak
lain, dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu. Subjek hak pakai dapat
meliputi WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan
hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia, serta instansi pemerintah. Hak
pakai sering digunakan untuk kepentingan diplomatik, proyek pemerintah, atau
kerja sama investasi asing.
5.5. Hak Sewa
untuk Bangunan
Hak ini diatur dalam Pasal 44–45 UUPA, memberikan kewenangan kepada
pemegang hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain guna mendirikan bangunan
dengan membayar sejumlah uang sewa. Hak sewa tidak memiliki jangka waktu
standar dan diatur berdasarkan perjanjian para pihak.
5.6.
Hak Membuka Tanah
dan Memungut Hasil Hutan
Pasal 46 UUPA mengakui adanya hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan sesuai ketentuan perundang-undangan. Hak
ini umumnya diberikan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam secara
terbatas, dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
5.7. Hak-Hak
Lain yang Tidak Termasuk UUPA
Pasal 53 UUPA mengatur adanya hak-hak sementara seperti hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Hak-hak ini
bersifat sementara dan akan dihapus secara bertahap karena dinilai tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip UUPA yang menekankan pemerataan dan fungsi sosial tanah.
5.8. Hak-Hak
Baru dan Perkembangan Modern
Selain yang tercantum dalam UUPA, perkembangan hukum pertanahan modern
juga memunculkan bentuk-bentuk hak baru, seperti hak pengelolaan (HPL)
yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 dan kemudian
diperjelas dalam Peraturan Menteri ATR/BPN. HPL sering digunakan oleh instansi
pemerintah atau BUMN untuk mengelola kawasan tertentu yang kemudian dapat
diberikan kepada pihak ketiga dengan HGB atau Hak Pakai.
6.
Fungsi Sosial Tanah dan Pembatasan Hak
Konsep fungsi sosial tanah merupakan salah satu prinsip fundamental
dalam hukum agraria Indonesia. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) secara tegas menyatakan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, hak atas tanah tidak bersifat
mutlak bagi pemiliknya, tetapi terikat pada kewajiban untuk mempergunakan tanah
tersebut sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat,
bangsa, dan negara.
6.1. Landasan
Konsep Fungsi Sosial
Prinsip fungsi sosial tanah berakar pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Maria S.W. Sumardjono (2008),
fungsi sosial bukan sekadar batasan normatif, tetapi merupakan mandat
konstitusional untuk memastikan tanah dimanfaatkan secara adil, produktif, dan
tidak merugikan kepentingan umum. Dengan demikian, pemegang hak atas tanah harus
mengutamakan kepentingan masyarakat luas di atas kepentingan pribadi yang
semata-mata bersifat komersial atau spekulatif.
6.2. Implementasi
Fungsi Sosial dalam Penggunaan Tanah
Implementasi fungsi sosial dapat dilihat pada kewajiban pemegang hak
untuk:
1)
Mengusahakan dan memelihara tanah dengan baik,
sehingga tidak menjadi tanah terlantar (Pasal 27 UUPA dan Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar).
2)
Menggunakan tanah sesuai peruntukannya dalam
rencana tata ruang wilayah (Pasal 15 UUPA dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang).
3)
Memperhatikan kelestarian lingkungan hidup
dalam setiap pemanfaatan tanah (Pasal 15 UUPA jo. UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Jika kewajiban ini diabaikan, negara berwenang untuk mencabut hak atas
tanah melalui mekanisme pencabutan hak atau pengambilalihan untuk kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
6.3. Bentuk
Pembatasan Hak
Fungsi sosial membawa implikasi bahwa hak milik pribadi atas tanah
tidak bersifat absolut. Beberapa bentuk pembatasan yang berlaku antara
lain:
·
Pembatasan luas maksimum
dan minimum: Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
·
Larangan penggunaan
tanah untuk tujuan yang merugikan masyarakat: Misalnya, penggunaan tanah
yang menimbulkan pencemaran atau menghambat akses publik.
·
Kewajiban pelepasan
tanah untuk kepentingan umum: Sesuai mekanisme pengadaan tanah dengan
kompensasi yang layak.
Menurut Boedi Harsono (2005),
pembatasan ini merupakan konsekuensi logis dari asas kebersamaan dan pemerataan
dalam penguasaan tanah, yang menempatkan kepentingan sosial di atas kepentingan
individual.
6.4. Fungsi
Sosial sebagai Penyeimbang Hak dan Kewajiban
Secara teoritis, fungsi sosial tanah berperan sebagai social
contract antara individu pemegang hak dan masyarakat. Hak milik memberikan
kepastian hukum dan perlindungan bagi individu, tetapi fungsi sosial menjamin
bahwa hak tersebut tidak digunakan secara merugikan atau eksklusif. Dengan
demikian, terdapat keseimbangan antara hak privat dan kepentingan publik,
sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan ditegaskan dalam UUPA.
7.
Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
merupakan instrumen hukum yang memungkinkan negara mengambil alih hak atas
tanah dari pemiliknya untuk melaksanakan pembangunan yang ditujukan bagi
kepentingan masyarakat luas. Landasan konstitusionalnya terdapat pada Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip
ini menjadi dasar bagi negara untuk mengatur, mengelola, dan apabila
diperlukan, mengambil kembali tanah dari pemiliknya demi kepentingan umum,
dengan tetap menghormati hak-hak individu melalui mekanisme ganti kerugian yang
adil.
7.1. Landasan
Hukum
Pengadaan tanah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja serta peraturan pelaksananya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2021. UUPA juga memberikan kerangka umum bahwa hak atas
tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang
(Pasal 18 UUPA).
UU Nomor 2 Tahun 2012 memberikan definisi kepentingan umum sebagai
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembangunan
yang termasuk dalam kategori ini meliputi antara lain jalan umum, bendungan,
fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, pelabuhan, bandar udara, serta
prasarana pertahanan dan keamanan.
7.2. Prinsip-Prinsip
Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah harus dilakukan berdasarkan prinsip:
1)
Kemanusiaan – menghormati hak asasi manusia, termasuk hak
milik pribadi yang diakui Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
2)
Keadilan – ganti kerugian diberikan secara layak dan
adil, mencakup nilai tanah, bangunan, tanaman, benda lain yang berkaitan dengan
tanah, serta kerugian non-fisik seperti kehilangan mata pencaharian (Pasal 36
UU No. 2/2012).
3)
Kepastian Hukum – proses pengadaan tanah dilaksanakan sesuai
prosedur yang jelas dan transparan, mulai dari perencanaan hingga penyerahan
hasil.
4)
Partisipatif – melibatkan pemilik tanah dan masyarakat
terdampak dalam musyawarah untuk mencapai kesepakatan (Pasal 9 UU No. 2/2012).
7.3. Tahapan
Proses Pengadaan Tanah
Menurut UU No. 2 Tahun 2012, pengadaan tanah dilakukan melalui empat
tahap utama:
1)
Perencanaan – instansi yang memerlukan tanah menyusun
rencana pembangunan dan menentukan lokasi sesuai rencana tata ruang wilayah.
2)
Persiapan – termasuk pendataan awal lokasi, pengumuman
rencana pengadaan tanah, konsultasi publik, dan penetapan lokasi oleh gubernur.
3)
Pelaksanaan – meliputi inventarisasi, identifikasi
pemegang hak, penilaian ganti kerugian oleh penilai independen, musyawarah, dan
pembayaran ganti rugi.
4)
Penyerahan Hasil – setelah pembayaran ganti kerugian, tanah
diserahkan kepada instansi yang memerlukan untuk pelaksanaan pembangunan.
7.4. Mekanisme
Ganti Kerugian
Ganti kerugian dalam pengadaan tanah tidak hanya berbentuk uang, tetapi
juga dapat berupa tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau
bentuk lain yang disepakati bersama. Penilaian ganti kerugian dilakukan oleh
penilai independen yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
menjamin obyektivitas. Menurut Boedi Harsono (2005), prinsip ganti kerugian
adalah memberikan kompensasi setara yang memungkinkan pihak yang tanahnya
diambil tetap dapat melanjutkan kehidupannya secara layak.
7.5. Tantangan
dan Permasalahan
Meskipun telah diatur secara ketat, pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sering kali menimbulkan konflik. Permasalahan yang muncul antara lain
ketidaksepakatan mengenai besaran ganti rugi, penolakan relokasi oleh warga,
tumpang tindih sertifikat, dan ketidakjelasan status hukum tanah. Maria S.W.
Sumardjono (2015) menekankan bahwa permasalahan tersebut sering kali bersumber
dari kurangnya komunikasi, minimnya partisipasi masyarakat sejak awal, serta
lemahnya perlindungan hak-hak kelompok rentan.
7.6. Pengadaan
Tanah sebagai Titik Temu Hak Menguasai Negara dan Hak Milik Pribadi
Pada dasarnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah wujud
konkret dari interaksi antara hak menguasai negara dan hak milik
pribadi. Negara, berdasarkan mandat konstitusi, berhak mengatur dan
mengambil tanah demi kepentingan umum, tetapi harus melakukannya dengan
menjamin keadilan, menghormati hak milik, serta memberikan ganti kerugian yang
layak. Dengan demikian, mekanisme ini menjadi ujian bagi negara dalam
menyeimbangkan kepentingan publik dan perlindungan hak-hak individu.
8.
Tanah Adat dan Hak
Ulayat
Tanah adat, atau yang sering disebut hak
ulayat, merupakan konsep hukum yang diakui secara konstitusional sebagai
bagian dari sistem hukum agraria nasional. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8.1. Definisi
dan Karakteristik Hak Ulayat
Menurut Pasal 3 UUPA, hak ulayat adalah wewenang yang dimiliki
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu di mana mereka hidup, yang mencakup
tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Boedi Harsono (2005) menjelaskan
bahwa hak ulayat bersifat komunal kolektif, artinya tanah tidak dimiliki secara
individu, tetapi oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat. Pemanfaatannya
diatur oleh adat setempat, dan setiap anggota memiliki hak untuk menggunakan
tanah sesuai ketentuan adat, namun tidak dapat mengalihkan kepemilikan secara
pribadi kepada pihak luar tanpa persetujuan komunitas.
Karakteristik utama hak ulayat meliputi:
1)
Bersifat kolektif – kepemilikan melekat pada komunitas, bukan
individu.
2)
Dikuasai dan diatur berdasarkan hukum adat – termasuk pengelolaan,
pembagian, dan sanksi bagi pelanggaran.
3)
Tidak dapat dialihkan secara bebas – pengalihan memerlukan
kesepakatan masyarakat adat.
4)
Memiliki dimensi spiritual – hubungan masyarakat adat dengan
tanah sering kali bersifat kosmologis dan religius, sebagaimana dicatat oleh
van Vollenhoven (1931).
8.2. Pengakuan
Negara terhadap Hak Ulayat
Negara mengakui hak ulayat sepanjang terpenuhi tiga kriteria
sebagaimana dirumuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No.
35/PUU-X/2012, yaitu:
1)
Masih adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi unsur-unsur hukum
adat, seperti adanya perangkat adat, wilayah, dan hukum adat yang berlaku.
2)
Masih adanya wilayah ulayat yang menjadi tempat hidup dan
tempat mereka mengambil hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
3)
Masih berfungsinya hukum adat dalam pengaturan dan pemanfaatan
tanah ulayat.
Putusan MK tersebut menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara,
melainkan berada di bawah kewenangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
meskipun tetap dalam kerangka kedaulatan negara.
8.3. Hak
Menguasai Negara dan Hak Ulayat
Menurut Maria S.W. Sumardjono (2014), hak menguasai negara dalam
konteks tanah ulayat bukan berarti negara memiliki tanah tersebut, melainkan
memiliki fungsi regulasi, administrasi, dan pengawasan untuk memastikan
pemanfaatannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan hukum
positif. Artinya, meskipun tanah ulayat berada dalam penguasaan masyarakat
adat, negara berwenang mengatur pemanfaatannya jika terkait kepentingan umum,
perlindungan lingkungan, atau proyek pembangunan strategis.
8.4. Permasalahan
dan Tantangan
Implementasi pengakuan hak ulayat sering menghadapi berbagai hambatan,
antara lain:
·
Tumpang tindih klaim antara tanah ulayat dan tanah
yang telah diberikan hak oleh negara kepada pihak ketiga, seperti hak guna
usaha (HGU) atau konsesi tambang.
·
Kurangnya pemetaan resmi
wilayah adat, sehingga rentan diklaim sebagai tanah negara.
·
Ketidakharmonisan hukum adat dengan hukum
positif dalam hal
prosedur pengalihan, pewarisan, atau penyelesaian sengketa.
·
Komersialisasi tanah adat oleh sebagian anggota masyarakat
yang bertentangan dengan prinsip komunalnya.
Penelitian HuMa (2018) menunjukkan bahwa salah satu akar masalah adalah
belum optimalnya pelaksanaan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang
seharusnya menjadi instrumen pemetaan dan pendaftaran hak ulayat di BPN.
8.5. Harmonisasi
Hukum dan Perlindungan Hak Ulayat
Ke depan, penguatan hak ulayat memerlukan langkah-langkah strategis,
seperti:
1)
Pemetaan partisipatif
wilayah adat yang diakui negara.
2)
Penyusunan peraturan
daerah yang spesifik mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,
sebagaimana diamanatkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3)
Pengintegrasian hukum
adat ke dalam perencanaan tata ruang untuk mencegah konflik dengan rencana
pembangunan nasional.
4)
Peningkatan kapasitas
masyarakat adat agar dapat bernegosiasi secara adil dalam menghadapi
investasi atau proyek pembangunan di wilayahnya.
Dengan demikian, hak ulayat merupakan
bentuk hak atas tanah yang unik dalam hukum agraria Indonesia, menjadi simbol
keberagaman hukum dan budaya yang diakui negara. Pengelolaannya memerlukan
keseimbangan antara penghormatan terhadap kedaulatan adat dan kepentingan
nasional dalam kerangka hak menguasai negara.
9.
Kepemilikan Tanah
oleh Orang Asing
9.1. Prinsip
Dasar Pembatasan Kepemilikan Tanah oleh Orang Asing
Sistem hukum agraria Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
menegaskan bahwa hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia (Pasal 21 ayat (1) UUPA). Orang asing, badan hukum asing, atau
warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya, tidak diperkenankan
memiliki hak milik atas tanah.
Prinsip ini lahir dari konsep Hak Menguasai Negara yang
bersumber pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana tanah, air, dan
kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, pembatasan kepemilikan tanah oleh orang asing merupakan upaya
menjaga kedaulatan sumber daya agraria dan mencegah penguasaan tanah yang berlebihan
oleh pihak non-WNI.
9.2. Hak Atas
Tanah yang Dapat Dimiliki atau Dikuasai Orang Asing
Meskipun tidak dapat memiliki hak milik, orang asing yang berkedudukan
di Indonesia masih dimungkinkan untuk memiliki atau menguasai tanah dalam
bentuk hak-hak tertentu, yaitu:
1)
Hak Pakai
þ Diatur dalam Pasal 42
UUPA dan diperjelas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
þ Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik pihak lain, yang
diberikan untuk jangka waktu tertentu.
þ Untuk orang asing, Hak Pakai atas
rumah tinggal dapat diberikan maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang
sesuai ketentuan.
2)
Hak Sewa untuk Bangunan
þ Diatur dalam Pasal 44
UUPA.
þ Orang asing dapat menyewa tanah untuk keperluan mendirikan
bangunan, tanpa batasan kewarganegaraan pemilik tanah.
þ Hak ini tidak memindahkan
kepemilikan tanah, hanya memberikan hak penggunaan selama masa sewa.
3)
Hak Guna Bangunan (HGB)
Melalui Badan Hukum Indonesia
þ Orang asing secara langsung
tidak dapat memegang HGB, tetapi dapat memiliki saham dalam badan hukum
berbadan hukum Indonesia (misalnya PT PMA) yang memegang HGB.
þ Diatur dalam Pasal 36
UUPA dan PP No. 18 Tahun 2021.
9.3.
Ketentuan Khusus
untuk Rumah Tinggal dan Hunian
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun
2015 mengatur bahwa orang asing yang memiliki izin tinggal di Indonesia
dapat memiliki rumah tempat tinggal dengan status Hak Pakai. Jika orang asing
kehilangan status izin tinggal, maka dalam jangka waktu satu tahun mereka wajib
mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat, atau hak tersebut
akan hapus dan kembali kepada negara.
Ketentuan ini diperkuat dengan Permen
ATR/Kepala BPN No. 18 Tahun 2021, yang mengatur batasan luas tanah dan
harga minimal properti yang dapat dimiliki orang asing untuk mencegah spekulasi
pasar tanah dan properti.
9.4. Konsekuensi
Hukum bagi Orang Asing yang Memiliki Tanah Secara Tidak Sah
Jika orang asing memperoleh hak milik atau hak lain yang secara hukum
tidak diperbolehkan, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA, mereka
wajib melepaskan atau mengalihkan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun.
Jika tidak, hak tersebut hapus demi hukum dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, seperti Putusan MA No. 1230
K/Pdt/2015, menegaskan bahwa transaksi jual beli tanah hak milik dengan
orang asing adalah batal demi hukum, sehingga tidak menimbulkan akibat hukum
kepemilikan bagi pihak asing tersebut.
9.5. Tantangan
dan Isu Kontemporer
Dalam praktiknya, masih banyak orang asing yang mencoba menguasai tanah
hak milik melalui nominee arrangement, yaitu menggunakan nama WNI
sebagai pemegang sertifikat secara formal, tetapi pengendalian sebenarnya
berada pada pihak asing. Praktik ini dinilai melanggar UUPA dan berpotensi
menimbulkan sengketa hukum.
Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada dilema antara menjaga
kedaulatan agraria dan menarik investasi asing. Sebagian kalangan, seperti yang
diulas oleh Maria S.W. Sumardjono (2017), berpendapat bahwa regulasi harus
memberikan kepastian hukum bagi orang asing yang ingin berinvestasi, namun
tetap menghindari spekulasi dan monopoli tanah.
Penutup
Kepemilikan tanah oleh orang asing di Indonesia diatur secara ketat
dengan prinsip utama bahwa hak milik hanya untuk WNI, sedangkan orang asing
dibatasi pada hak-hak tertentu seperti Hak Pakai, Hak Sewa, atau melalui
kepemilikan badan hukum Indonesia. Regulasi ini mencerminkan upaya
menyeimbangkan antara kepentingan kedaulatan negara, perlindungan rakyat, dan
keterbukaan terhadap investasi asing yang produktif.
10.
Analisis Normatif:
Tanah Milik Pribadi atau Milik Negara?
10.1. Kerangka
Konseptual
Pertanyaan mendasar dalam hukum tanah Indonesia adalah apakah tanah
pada hakikatnya merupakan milik pribadi atau milik negara. UUD 1945 Pasal 33
ayat (3) menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Rumusan “dikuasai” di sini tidak dapat disamakan dengan konsep
kepemilikan mutlak (dominium) sebagaimana dikenal dalam hukum perdata barat,
tetapi lebih bersifat public trust doctrine, di mana negara bertindak
sebagai pengelola dan pengatur, bukan pemilik absolut (Maria S.W. Sumardjono,
2001).
UUPA mempertegas hal ini dengan menetapkan bahwa semua hak atas tanah
bersumber dari Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Hak milik
pribadi hanyalah salah satu bentuk hak yang diberikan negara kepada subjek
hukum tertentu, yang diatur, dibatasi, dan dapat dicabut untuk kepentingan umum
sesuai hukum.
10.2. Hak
Menguasai Negara sebagai Sumber Segala Hak
Hak Menguasai Negara memberi kewenangan
kepada negara untuk:
1)
Mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan tanah;
2)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang dengan tanah;
3)
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah (Pasal 2 ayat (2) UUPA).
Dalam kerangka ini, tanah secara filosofis bukan “milik negara” dalam
pengertian privat, melainkan berada di bawah penguasaan negara untuk mengatur
distribusinya demi kepentingan rakyat. Hak milik pribadi atas tanah ada karena
negara memberikan, mengakui, dan melindungi hak tersebut, tetapi selalu berada
dalam bingkai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA).
10.3. Hak Milik
Pribadi dan Batasannya
Hak milik pribadi di Indonesia adalah hak terkuat dan terpenuh yang
dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (Pasal 20 ayat (1) UUPA). Namun
sifat “terkuat” ini tidak bersifat absolut. Hak tersebut dapat:
·
Dibatasi oleh kepentingan
umum;
·
Dihapus jika pemegang hak
tidak memenuhi kewajiban;
·
Dicabut untuk kepentingan
umum berdasarkan undang-undang (UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah).
Artinya, meskipun secara formal
sertifikat hak milik menunjukkan penguasaan penuh, secara substantif pemilik
tanah tetap tunduk pada supremasi pengaturan negara.
10.4. Analisis
Normatif terhadap Status Kepemilikan
Secara normatif, status tanah di
Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut:
·
Bukan milik negara
secara absolut, karena negara tidak memiliki hak milik dalam pengertian private
ownership, melainkan hak menguasai sebagai public authority.
·
Bukan milik pribadi secara mutlak, karena hak milik pribadi adalah
derivatif dari Hak Menguasai Negara dan dibatasi oleh fungsi sosial serta
regulasi negara.
·
Konsep yang berlaku adalah hak-hak atas
tanah yang bersumber pada penguasaan negara, yang dapat dialokasikan kepada
individu, badan hukum, atau komunitas adat, dengan jangka waktu dan syarat
tertentu.
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, yang menegaskan bahwa “hak menguasai negara”
tidak boleh diartikan sebagai hak milik negara, tetapi sebagai mandat
konstitusional untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan tanah demi
kemakmuran rakyat.
10.5. Implikasi
bagi Sistem Agraria
Pemahaman bahwa tanah adalah sumber daya bersama di bawah penguasaan
negara memiliki implikasi penting:
·
Pengaturan kepemilikan menjadi instrumen pemerataan dan
keadilan sosial;
·
Fungsi sosial tanah menjadi acuan utama dalam
penggunaan dan pemanfaatannya;
·
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum menjadi sah secara normatif,
selama prosedur dan ganti rugi dilaksanakan adil;
·
Pencegahan monopoli tanah menjadi tujuan kebijakan agraria,
untuk menghindari ketimpangan penguasaan.
Kesimpulan Normatif
Secara normatif, tanah di Indonesia tidak dapat dikategorikan mutlak
sebagai milik pribadi maupun milik negara. Model yang dianut adalah hak-hak
individual yang lahir dari kewenangan publik negara, dengan keseimbangan
antara pengakuan kepemilikan individu dan perlindungan kepentingan kolektif.
Dengan demikian, dalam hukum agraria Indonesia, pertanyaan “tanah milik pribadi
atau milik negara?” dijawab dengan: tanah berada dalam penguasaan negara, sementara
hak milik pribadi adalah bentuk penguasaan individual yang selalu dibatasi oleh
kepentingan umum dan fungsi sosial.
11.
Tantangan dan
Permasalahan Hukum Tanah di Indonesia
11.1 Konflik
Agraria dan Sengketa Pertanahan
Salah satu tantangan terbesar hukum tanah di Indonesia adalah maraknya
konflik agraria. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan ratusan
kasus sengketa tanah terjadi setiap tahun, melibatkan masyarakat, perusahaan,
dan pemerintah. Konflik ini sering timbul akibat tumpang tindih klaim hak,
ketidaksesuaian antara data pendaftaran tanah dan penguasaan fisik, serta
kurangnya transparansi dalam alokasi lahan (KPA, 2022). Banyak kasus juga
dipicu oleh konversi lahan skala besar untuk perkebunan, pertambangan, atau
infrastruktur, yang berbenturan dengan hak masyarakat adat dan petani.
11.2 Tumpang
Tindih Regulasi dan Dualisme Hukum
Hukum tanah di Indonesia masih menghadapi tumpang tindih peraturan
antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dengan undang-undang sektoral,
seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Lingkungan Hidup, dan UU Kelautan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 misalnya, mempertegas pengakuan
hutan adat di luar kawasan hutan negara, namun implementasinya terhambat oleh
regulasi sektoral yang belum sinkron. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian
hukum bagi pemegang hak atas tanah.
11.3
Masalah Pendaftaran
Tanah dan Kepastian Hukum
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang diatur dalam Peraturan
Menteri ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 bertujuan menciptakan satu peta kebijakan
(one map policy). Namun, tantangan muncul karena banyak tanah yang belum
terdata secara lengkap, terutama di wilayah pedesaan dan kawasan adat. Badan
Pertanahan Nasional (BPN) masih menghadapi kendala kapasitas teknis, data yang
tidak akurat, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses verifikasi.
11.4 Ketimpangan
Penguasaan Tanah
Distribusi tanah di Indonesia masih
timpang. Data KPA (2020) menunjukkan sebagian besar tanah produktif dikuasai
oleh korporasi besar, sedangkan petani kecil hanya menguasai lahan terbatas.
Kondisi ini bertentangan dengan semangat Pasal 7 UUPA yang menegaskan
pembatasan kepemilikan tanah untuk mencegah monopoli, serta amanat reforma
agraria yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018.
11.5 Perlindungan
Hak Masyarakat Adat
Walaupun UUPA dan Putusan MK telah mengakui hak ulayat masyarakat adat,
implementasinya masih lemah. Hambatan utama adalah belum adanya peraturan
daerah yang menetapkan dan mengadministrasikan wilayah adat secara resmi,
sehingga tanah adat sering masuk kategori tanah negara atau kawasan hutan tanpa
persetujuan masyarakat adat. Hal ini memicu perampasan lahan (land grabbing)
yang merugikan komunitas lokal (Bedner & van Huis, 2008).
11.6 Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah telah memberikan prosedur
yang jelas, tetapi dalam praktiknya banyak kasus di mana ganti rugi dianggap
tidak layak, proses konsultasi minim, atau tidak adanya mekanisme yang efektif
untuk mengakomodasi keberatan masyarakat. Akibatnya, proyek strategis nasional
sering menuai protes dan gugatan hukum.
11.7 Dampak
Perubahan Iklim dan Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan
memperburuk ketahanan pangan nasional. Selain itu, degradasi lingkungan akibat
pembukaan lahan berskala besar menimbulkan konflik baru antara aspek lingkungan
hidup dan kepentingan pembangunan ekonomi. Regulasi tanah belum sepenuhnya
mengintegrasikan aspek mitigasi perubahan iklim, meskipun amanat tersebut sudah
tersirat dalam Pasal 15 UUPA yang mewajibkan pemeliharaan kesuburan
tanah.
11.8 Tantangan
Digitalisasi dan Transparansi Data
Upaya digitalisasi layanan pertanahan dan sertifikasi elektronik
melalui Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 bertujuan
meningkatkan transparansi. Namun, tantangan muncul dalam hal keamanan siber,
integrasi basis data antarinstansi, dan kesiapan infrastruktur di daerah
terpencil. Tanpa transparansi dan partisipasi publik yang kuat, digitalisasi
berisiko hanya memindahkan masalah dari bentuk analog ke digital.
Kesimpulan Sementara
Permasalahan hukum tanah di Indonesia tidak hanya bersifat teknis,
tetapi juga struktural dan politis. Penyelesaiannya memerlukan sinkronisasi
regulasi, penguatan perlindungan hak masyarakat, peningkatan kapasitas
administrasi pertanahan, serta komitmen politik untuk menjalankan reforma
agraria secara konsisten. Dalam konteks ini, paradigma tanah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 perlu
diaktualisasikan melalui kebijakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
12.
Rekomendasi
Kebijakan dan Solusi
Pengelolaan tanah di Indonesia
membutuhkan reformasi kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi
juga substantif, untuk menjawab tantangan hukum, sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang ada. Berikut
adalah beberapa rekomendasi strategis:
12.1 Harmonisasi
Regulasi dan Sinkronisasi Kebijakan
Perlu dilakukan sinkronisasi antara UUPA 1960 dengan peraturan
sektoral seperti UU Kehutanan, UU Minerba, UU Lingkungan Hidup,
dan UU Kelautan. Tumpang tindih kewenangan antarinstansi dapat
diminimalkan melalui kebijakan one map policy sebagaimana diamanatkan
oleh Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016. Harmonisasi ini penting untuk
memberikan kepastian hukum, mencegah konflik kewenangan, dan memastikan bahwa
hak ulayat maupun hak milik pribadi terlindungi secara proporsional.
12.2 Penguatan
Reforma Agraria
Reforma agraria sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 86
Tahun 2018 harus dilaksanakan secara konsisten dengan prioritas pada
redistribusi tanah kepada petani tak bertanah, masyarakat adat, dan kelompok
rentan. Pelaksanaan reforma agraria perlu disertai peningkatan kapasitas
produksi, akses modal, dan pendampingan teknis, sehingga tanah yang
didistribusikan benar-benar menjadi sumber kesejahteraan dan bukan hanya
sertifikat formal.
12.3 Perlindungan
Hak Masyarakat Adat dan Hak Ulayat
Pengakuan hak ulayat harus diikuti dengan penetapan wilayah adat
melalui peraturan daerah, sesuai amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan
MK No. 35/PUU-X/2012. Pemerintah daerah, bersama Badan Pertanahan Nasional
(BPN), perlu membangun mekanisme partisipatif yang melibatkan komunitas adat
secara langsung dalam pemetaan, verifikasi, dan penetapan tanah adat.
12.4 Reformasi
Mekanisme Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam UU No. 2
Tahun 2012 harus diperkuat dengan mekanisme negosiasi yang transparan dan
kompensasi yang layak, termasuk mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan
lingkungan. Mekanisme mediasi independen perlu diperluas untuk menghindari
penyelesaian konflik melalui jalur litigasi yang memakan waktu dan biaya besar.
12.5 Modernisasi
Sistem Pendaftaran Tanah
Penerapan sertifikat elektronik melalui Peraturan Menteri ATR/BPN
No. 1 Tahun 2021 perlu diikuti dengan penguatan keamanan data, peningkatan
kapasitas SDM, dan integrasi lintas instansi. Digitalisasi pendaftaran tanah
harus disertai jaminan transparansi publik dan perlindungan data pribadi, untuk
mencegah penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.
12.6 Pencegahan
dan Penanggulangan Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali
Diperlukan regulasi yang ketat terkait konversi lahan pertanian ke
nonpertanian, sejalan dengan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pemerintah perlu memperkuat insentif bagi
pemilik lahan yang mempertahankan fungsi pertaniannya, dan mengenakan
disinsentif berupa pajak tinggi atau pembatasan perizinan bagi alih fungsi yang
mengancam ketahanan pangan.
12.7 Integrasi
Aspek Lingkungan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Pengelolaan tanah harus mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Setiap
kebijakan penggunaan lahan perlu dilengkapi analisis dampak lingkungan (AMDAL)
yang ketat, serta memperhatikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk
mencegah degradasi lahan dan kehilangan biodiversitas.
12.8 Penguatan
Peran Peradilan Agraria
Pemerintah dapat mempertimbangkan pembentukan peradilan agraria
khusus atau penguatan kompetensi hakim dalam menangani sengketa tanah,
sehingga penyelesaian perkara lebih cepat, murah, dan adil. Hal ini sejalan
dengan rekomendasi akademisi hukum agraria seperti Boedi Harsono, yang
menekankan pentingnya kejelasan yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa
pertanahan.
12.9 Peningkatan
Literasi Hukum Pertanahan Masyarakat
Program edukasi hukum pertanahan harus ditingkatkan melalui kolaborasi
antara pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM. Literasi ini mencakup pemahaman
tentang hak dan kewajiban pemilik tanah, prosedur pendaftaran, dan mekanisme
penyelesaian sengketa. Dengan literasi yang baik, potensi konflik akibat
kesalahpahaman hukum dapat diminimalkan.
12.10 Penegakan
Hukum yang Tegas dan Konsisten
Penegakan hukum terhadap praktik perampasan lahan (land grabbing),
manipulasi sertifikat, dan pelanggaran batas kepemilikan tanah harus dilakukan
tanpa pandang bulu. Keberhasilan kebijakan pertanahan sangat bergantung pada
integritas aparat dan sistem pengawasan yang kuat, termasuk penggunaan
teknologi penginderaan jauh untuk memantau penggunaan lahan secara real-time.
13.
Penutup
Hukum tanah di Indonesia memegang peran
strategis dalam menjembatani kepentingan negara, masyarakat, dan sektor swasta,
sekaligus memastikan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya agraria. Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) 1960 telah menetapkan landasan yang menegaskan hak
menguasai dari negara (HMN) sebagai prinsip utama, di mana negara bertindak
sebagai pengatur, pengelola, dan pengawas pemanfaatan tanah demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
Namun, HMN tidak menghapus eksistensi
hak milik pribadi, hak ulayat, maupun bentuk hak lain yang diakui
undang-undang. Dalam kerangka ini, negara berkewajiban menjaga keseimbangan
antara kepentingan umum dan perlindungan hak individual, termasuk menghormati
keberadaan masyarakat adat sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Keseimbangan ini menjadi krusial untuk
mencegah terjadinya konflik agraria, yang data dari Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menunjukkan masih terus meningkat setiap tahun.
Berbagai instrumen hukum—mulai dari
UUPA, UU Pengadaan Tanah, UU Perlindungan Lahan Pertanian, hingga kebijakan one
map policy—telah diupayakan untuk menciptakan kepastian hukum. Namun, tantangan
tetap hadir, baik dalam bentuk tumpang tindih regulasi, lemahnya penegakan
hukum, praktik korupsi dalam pengurusan pertanahan, hingga keterbatasan
literasi hukum masyarakat.
Ke depan, penguatan hukum tanah di
Indonesia memerlukan langkah-langkah strategis: harmonisasi regulasi lintas
sektor, percepatan reforma agraria, perlindungan hak ulayat, modernisasi
pendaftaran tanah berbasis digital, dan integrasi prinsip keberlanjutan
lingkungan. Selain itu,
keberhasilan implementasi kebijakan pertanahan sangat bergantung pada komitmen
politik yang kuat, partisipasi publik, dan pengawasan yang transparan.
Dengan demikian, hukum tanah di Indonesia bukan sekadar instrumen legal
untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah, tetapi juga menjadi fondasi
bagi pembangunan ekonomi berkeadilan, pelestarian lingkungan, dan penguatan
kedaulatan bangsa atas sumber daya agraria. Implementasi yang konsisten dan
berkeadilan akan memastikan bahwa tanah benar-benar menjadi sumber kemakmuran
rakyat, bukan sumber konflik yang tak berkesudahan.
Daftar Pustaka
Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Pemilikan Tanah
Pertanian. Jakarta: BPN
RI.
Konsorsium Pembaruan Agraria. (2023). Laporan tahunan konflik
agraria 2022. Jakarta: KPA.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2012). Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jakarta: MK RI.
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia. (1960). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104.
Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149.
Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22.
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Soemardjan, S., & Soemardi, S. (1964). Setangkai bunga sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Santoso, U. (2012). Hukum agraria dan hak-hak atas tanah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Lampiran: Kajian
Logis, Etis, dan Historis tentang Hukum Tanah dalam Perspektif Filsafat
A.
Pendahuluan
Tanah memiliki kedudukan fundamental
dalam kehidupan manusia. Ia
bukan sekadar sumber daya alam, tetapi juga basis eksistensi manusia sebagai
makhluk sosial dan politik. Dalam filsafat, pembahasan tentang tanah terkait
erat dengan konsep kepemilikan, keadilan distributif, hak asasi manusia, dan
kewajiban moral. Kajian tentang hukum tanah dapat ditelusuri dari pendekatan
logis (rasional), etis (moral), dan historis (perkembangan pemikiran dan
kebijakan).
B.
Kajian Logis
Secara logis, hukum tanah berangkat dari pertanyaan-pertanyaan
mendasar:
1)
Siapa yang berhak memiliki tanah?
þ Logika
kepemilikan tanah berkaitan dengan prinsip kelangkaan sumber daya (scarcity).
Tanah terbatas, sementara kebutuhan manusia tak terbatas, sehingga perlu
pengaturan hak agar tidak terjadi perebutan atau kekacauan.
2)
Mengapa tanah perlu diatur oleh hukum?
þ Tanpa regulasi, akan terjadi
konflik kepentingan. Hukum tanah memberikan kepastian, perlindungan, dan
keadilan dalam distribusi serta pemanfaatannya.
3)
Apakah hak atas tanah
bersifat absolut?
þ Secara logis, hak atas tanah
tidak mutlak. Negara atau masyarakat memiliki hak mengatur penggunaannya
demi kepentingan umum (prinsip social function of property).
4)
Landasan rasional:
þ John Locke dalam Two Treatises of Government
menyatakan bahwa kepemilikan tanah sah jika hasil kerja manusia menyatu dengan
tanah tersebut, selama tidak merugikan hak orang lain.
þ Teori utilitarianisme menilai
bahwa pengaturan tanah harus menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat
luas.
C.
Kajian Etis
Perspektif etis menekankan dimensi moral dari hukum tanah:
1)
Keadilan Distribusi
þ Aristoteles menekankan distributive
justice, di mana tanah dibagi secara proporsional sesuai kontribusi dan kebutuhan.
þ Dalam konteks modern, prinsip ini
tercermin pada kebijakan reforma agraria yang bertujuan mengurangi ketimpangan.
2)
Hak dan Kewajiban
þ Memiliki tanah bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab
moral untuk mengelolanya secara berkelanjutan.
þ Etika lingkungan (environmental
ethics) menuntut agar pemanfaatan tanah tidak merusak ekosistem dan
generasi mendatang.
3)
Kemanusiaan dan
Solidaritas
þ Tanah dipandang sebagai warisan bersama umat manusia (common
heritage of mankind), sehingga tidak boleh dimonopoli oleh segelintir pihak
yang mengorbankan hak orang banyak.
4)
Ajaran Agama
þ Banyak tradisi keagamaan mengajarkan bahwa tanah adalah amanah
Tuhan yang harus dimanfaatkan secara adil dan tidak zalim.
D.
Kajian Historis
Sejarah perkembangan hukum tanah
mencerminkan evolusi pandangan manusia tentang kepemilikan:
1)
Masyarakat Tradisional
þ Tanah biasanya dikelola secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan
individu mutlak, melainkan hak pakai yang diatur adat.
2)
Era Feodalisme
þ Tanah dikuasai oleh bangsawan atau penguasa. Rakyat hanya
memiliki hak garap dengan kewajiban membayar upeti.
3)
Revolusi Industri &
Kapitalisme
þ Konsep kepemilikan pribadi
diperkuat. Tanah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan bebas.
4)
Abad ke-20 dan
Seterusnya
þ Muncul gerakan reforma
agraria untuk mengatasi ketimpangan distribusi tanah.
þ Instrumen hukum
internasional seperti Universal Declaration of Human Rights mengakui hak
milik, namun menekankan fungsi sosialnya.
5)
Konteks Indonesia
þ Hukum tanah nasional berpijak pada UUPA 1960 yang
menegaskan tanah sebagai milik bangsa dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Prinsip ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan Pasal 33
UUD 1945.
Penutup
Dari sudut pandang filsafat, hukum tanah tidak dapat dilepaskan dari
prinsip rasionalitas, moralitas, dan sejarah sosial-politik. Secara logis, ia
diperlukan untuk mencegah konflik dan mengatur pemanfaatan sumber daya
terbatas. Secara etis, hukum tanah harus mencerminkan keadilan, keberlanjutan,
dan tanggung jawab moral. Secara historis, ia berkembang seiring perubahan
struktur sosial, politik, dan ekonomi. Pemahaman filosofis ini menjadi landasan
penting dalam merumuskan kebijakan agraria yang adil dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar