Jumat, 01 Agustus 2025

Post-positivisme: Paradigma Ilmu dalam Bayang-Bayang Keterbatasan dan Objektivitas yang Terkonstruksi

Post-positivisme

Paradigma Ilmu dalam Bayang-Bayang Keterbatasan dan Objektivitas yang Terkonstruksi


Alihkan ke: Positivisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif paradigma post-positivisme sebagai respon kritis terhadap pendekatan positivisme dalam ilmu pengetahuan. Post-positivisme lahir dari kesadaran akan keterbatasan objektivitas ilmiah dan pengaruh subjektivitas dalam proses penelitian, seraya tetap mempertahankan komitmen terhadap pencarian kebenaran secara sistematis dan logis. Landasan filosofisnya berpijak pada pandangan Karl Popper dan kritik epistemologis terhadap empirisme naif. Artikel ini menguraikan perbedaan mendasar antara positivisme dan post-positivisme, termasuk dalam hal asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis. Post-positivisme mengakui bahwa realitas memang ada secara independen, namun tidak bisa diamati secara sempurna tanpa bias, sehingga pendekatannya bersifat fallibilistik dan falsifikatif. Dalam konteks metodologi penelitian, post-positivisme mendorong penggunaan pendekatan kuantitatif yang disertai dengan refleksi kritis terhadap posisi peneliti, serta terbuka terhadap triangulasi dan mixed methods. Meskipun mendapat sejumlah kritik, post-positivisme tetap relevan dalam menjembatani antara paradigma ilmiah objektivistik dan kebutuhan akan konteks serta interpretasi, khususnya dalam kajian sosial-humaniora masa kini. Artikel ini menegaskan bahwa post-positivisme menawarkan kerangka kerja yang realistis dan fleksibel dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah yang reflektif dan bertanggung jawab.

Kata kunci: post-positivisme, objektivitas, falsifikasi, metodologi penelitian, paradigma ilmiah, epistemologi.


PEMBAHASAN

Post-positivisme sebagai Respons terhadap Positivisme


1.           Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari pengaruh paradigma filosofis yang mendasarinya. Salah satu paradigma dominan yang mendasari ilmu pengetahuan modern sejak abad ke-19 adalah positivisme—sebuah pandangan epistemologis yang meyakini bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui observasi empiris dan verifikasi logis. Positivisme mengandaikan adanya dunia objektif yang bisa diamati secara netral oleh peneliti, dan bahwa pengetahuan dapat dicapai secara pasti melalui metode ilmiah yang ketat (Comte, 1830; Hempel, 1966). Namun, seiring berkembangnya refleksi kritis terhadap proses ilmiah, terutama pasca-dominasi filsafat ilmu klasik, muncul kesadaran bahwa sains tidaklah seobjektif dan seterbuka yang diklaim oleh kaum positivis.

Post-positivisme lahir sebagai respons terhadap keterbatasan pandangan positivistik, terutama dalam hal klaim objektivitas dan kepastian ilmu. Para post-positivis mengakui bahwa realitas memang ada secara independen dari pengamat, tetapi akses manusia terhadap realitas tersebut selalu dibatasi oleh konstruksi teoritis, asumsi, nilai-nilai, dan bahkan bias pribadi peneliti (Phillips & Burbules, 2000). Dengan demikian, pengetahuan ilmiah tidak pernah bisa dipastikan sepenuhnya benar; ia bersifat tentatif, terbuka untuk diuji dan direvisi secara terus-menerus.

Salah satu tokoh penting yang memengaruhi perkembangan post-positivisme adalah Karl Popper. Ia menolak logika induksi sebagai dasar utama ilmu dan menggantinya dengan falsifikasi, yaitu upaya menguji kebenaran suatu teori dengan mencoba membuktikan kesalahannya (Popper, 1959). Pendekatan ini menandai pergeseran penting dalam metodologi ilmiah dari kepastian menuju ketidakpastian yang rasional. Thomas Kuhn juga turut menyumbang kerangka pemikiran post-positivistik melalui konsep paradigma ilmiah dan revolusi sains yang memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu tidak linier, melainkan bersifat historis dan paradigmatik (Kuhn, 1962).

Dalam konteks inilah post-positivisme menjadi paradigma alternatif yang lebih reflektif dan kritis terhadap klaim objektivitas ilmu. Ia tidak menolak metode ilmiah, tetapi merekonstruksinya dengan lebih realistis, bahwa semua proses ilmiah selalu berada dalam kerangka sosial, historis, dan epistemologis tertentu. Oleh karena itu, memahami post-positivisme menjadi penting bukan hanya bagi filsuf ilmu, tetapi juga bagi peneliti lintas bidang, agar mereka lebih sadar akan keterbatasan sekaligus tanggung jawab etis dalam proses pencarian pengetahuan.

Dengan memahami akar kelahiran dan landasan berpikir post-positivisme, artikel ini bertujuan menyajikan telaah komprehensif mengenai fondasi filosofis, karakteristik utama, penerapan metodologis, serta relevansi post-positivisme dalam praktik keilmuan kontemporer. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang lebih matang terhadap bagaimana ilmu bekerja dalam kenyataan yang tidak pernah bebas nilai, namun tetap dapat dipercaya jika dibangun melalui proses yang ketat dan terbuka terhadap kritik.


2.           Landasan Filosofis Post-positivisme

Post-positivisme merupakan suatu paradigma filosofis yang mencoba menjembatani ketegangan antara tuntutan objektivitas ilmiah dan pengakuan atas keterbatasan epistemologis manusia dalam memahami realitas. Landasan filosofis dari post-positivisme bertumpu pada dua aspek utama dalam filsafat ilmu, yakni ontologi dan epistemologi. Dalam ontologi, post-positivisme masih mempertahankan asumsi realisme kritis, yakni keyakinan bahwa realitas eksternal memang ada secara independen dari kesadaran manusia. Akan tetapi, dalam epistemologinya, post-positivisme mengakui bahwa pengetahuan manusia tentang realitas itu tidak pernah sempurna, karena selalu dimediasi oleh kerangka teoritis, bahasa, nilai, dan instrumen pengamatan yang digunakan oleh peneliti (Phillips & Burbules, 2000).

Pandangan ini bertentangan dengan epistemologi positivisme yang bersifat naïve realism, yakni keyakinan bahwa fakta-fakta dapat diamati dan dicatat secara netral tanpa intervensi subyektivitas. Bagi para post-positivis, pengamatan selalu teoritis; artinya, apa yang dilihat peneliti dipengaruhi oleh ekspektasi, teori sebelumnya, dan bahkan latar belakang sosial budaya si pengamat. Oleh karena itu, meskipun post-positivisme masih menggunakan pendekatan empiris dan logika ilmiah, ia menolak klaim tentang kepastian dan absolutisme dalam sains. Pengetahuan ilmiah, dalam kerangka ini, bersifat fallibilistic—selalu terbuka untuk diuji ulang dan diperbaiki (Popper, 1959).

Karl Popper adalah figur sentral dalam peletakan dasar-dasar post-positivisme. Ia mengkritik metode induktif yang digunakan kaum positivis dan menggantikannya dengan prinsip falsifikasi, yakni bahwa suatu teori ilmiah tidak bisa dibuktikan benar secara mutlak, tetapi hanya bisa bertahan selama belum terbantahkan oleh bukti yang bertentangan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan bergerak maju bukan melalui verifikasi kumulatif, melainkan melalui proses eliminasi kesalahan (Popper, 1963). Sikap kritis ini melahirkan budaya ilmiah yang tidak dogmatis, tetapi terus berupaya memperbaiki diri.

Kontribusi lain datang dari Thomas Kuhn yang memperkenalkan konsep paradigma dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak bersifat linier dan kumulatif, melainkan mengalami revolusi ilmiah ketika paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali yang muncul, dan digantikan oleh paradigma baru yang lebih komprehensif. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial, komunitas ilmiah, dan bahkan kepentingan ideologis tertentu (Kuhn, 1962). Dengan demikian, pemahaman post-positivisme juga mencakup dimensi sosial dan historis dari praktik ilmiah.

Landasan filosofis post-positivisme juga mengakui adanya nilai-nilai dalam sains, namun tetap menuntut intersubjektivitas sebagai tolok ukur objektivitas. Artinya, kebenaran ilmiah tidak ditentukan oleh satu individu, tetapi oleh kesepakatan komunitas ilmiah yang berdasarkan pada prosedur rasional, transparan, dan terbuka untuk diuji secara publik. Pendekatan ini merekonstruksi objektivitas bukan sebagai ketidakberpihakan mutlak, tetapi sebagai hasil dari proses ilmiah yang ketat, kritis, dan reflektif terhadap bias yang mungkin muncul (Lincoln & Guba, 1985).

Dengan demikian, landasan filosofis post-positivisme mencerminkan sintesis antara realisme kritis dan skeptisisme metodologis. Ia menempatkan sains dalam posisi yang lebih manusiawi—tidak sempurna, namun tetap bernilai; tidak absolut, tetapi tetap dapat dipercaya jika dijalankan dengan sikap terbuka dan kritis. Paradigma ini membuka ruang bagi peneliti untuk tetap menggunakan metode ilmiah, namun dengan kesadaran epistemologis yang lebih dalam terhadap keterbatasan, nilai, dan konstruksi yang menyertainya.


3.           Perbedaan Mendasar antara Positivisme dan Post-positivisme

Positivisme dan post-positivisme merupakan dua paradigma dominan dalam filsafat ilmu yang memiliki perbedaan mendasar dalam cara memandang realitas, pengetahuan, dan proses ilmiah. Meski keduanya sama-sama menekankan pentingnya rasionalitas dan pendekatan ilmiah dalam membangun pengetahuan, namun asumsi ontologis dan epistemologis yang mendasari keduanya sangat berbeda. Positivisme berakar pada tradisi empirisme logis, sementara post-positivisme muncul sebagai koreksi terhadap kekakuan dan keterbatasan logika positivistik dalam menjelaskan kompleksitas realitas.

Dalam hal ontologi, positivisme cenderung memegang pandangan naïve realism yang menyatakan bahwa realitas dapat diamati secara langsung dan objektif tanpa intervensi persepsi atau interpretasi peneliti. Sebaliknya, post-positivisme menganut critical realism yang menyatakan bahwa realitas memang ada secara independen, tetapi tidak pernah bisa diketahui secara sempurna karena keterbatasan manusia dalam mengamati dan menafsirkan dunia (Phillips & Burbules, 2000). Dengan demikian, post-positivisme memandang bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif dan terbuka terhadap koreksi.

Dari segi epistemologi, positivisme mengasumsikan bahwa pengetahuan yang sahih hanya dapat diperoleh melalui verifikasi empiris dan observasi yang bebas nilai. Ia menekankan netralitas dan objektivitas sebagai syarat mutlak dalam proses ilmiah (Comte, 1830; Hempel, 1966). Post-positivisme menolak klaim tersebut dengan menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah bebas dari asumsi, teori awal, bahkan bias nilai dari peneliti. Oleh karena itu, post-positivisme mengedepankan prinsip falsifikasi sebagaimana dikemukakan Karl Popper, bahwa teori ilmiah harus diuji dengan mencoba membuktikan kesalahannya, bukan hanya mengonfirmasi kebenarannya (Popper, 1959). Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam ilmu bukanlah kepastian, melainkan hipotesis terbaik yang belum terbantahkan.

Dalam hal metodologi, positivisme menggunakan pendekatan kuantitatif yang sangat ketat, mengandalkan pengukuran objektif, generalisasi, dan hukum-hukum universal. Post-positivisme, meskipun tetap mendukung pendekatan kuantitatif, lebih terbuka terhadap keberagaman metodologi, termasuk mixed methods, serta penggunaan strategi triangulasi untuk meningkatkan validitas hasil penelitian (Creswell, 2013). Post-positivisme menyadari bahwa kompleksitas sosial dan manusia tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh angka dan statistik semata.

Perbedaan-perbedaan ini dapat dirangkum dalam tabel berikut:

3.1.       Ontologi (Pandangan tentang Realitas)

·                     Positivisme:

þ Menganut naïve realism, yaitu keyakinan bahwa realitas bersifat objektif dan dapat diamati secara langsung tanpa dipengaruhi oleh subyektivitas pengamat.

þ Fakta dianggap sebagai sesuatu yang ada “di luar sana” dan bisa direkam dengan netral oleh peneliti.

·                     Post-positivisme:

þ Menganut critical realism, yakni mengakui bahwa realitas memang ada secara independen, namun pengetahuan tentangnya selalu bersifat tidak sempurna dan dipengaruhi oleh teori serta asumsi yang digunakan.

þ Realitas tidak dapat diakses secara langsung, tetapi melalui pendekatan kritis dan reflektif.

3.2.       Epistemologi (Pandangan tentang Sumber dan Validitas Pengetahuan)

·                     Positivisme:

þ Menganggap bahwa pengetahuan yang benar hanya berasal dari observasi empiris yang objektif dan bebas nilai.

þ Peneliti harus menyingkirkan unsur subjektivitas dan menjaga netralitas dalam pengumpulan data.

·                     Post-positivisme:

þ Mengakui bahwa pengamatan ilmiah selalu dipengaruhi oleh latar belakang teori, hipotesis, serta nilai-nilai pribadi peneliti.

þ Objektivitas tetap menjadi tujuan, namun harus dicapai melalui kesadaran akan bias dan usaha mengurangi pengaruhnya secara metodologis.

3.3.       Metodologi (Pendekatan Ilmiah yang Digunakan)

·                     Positivisme:

þ Berorientasi pada metode kuantitatif yang ketat, dengan fokus pada pengukuran, eksperimen, dan verifikasi.

þ Mengutamakan deduksi dari teori dan mencari hukum-hukum umum yang bisa digeneralisasi.

·                     Post-positivisme:

þ Tetap menggunakan pendekatan kuantitatif, namun lebih terbuka terhadap metode campuran (mixed methods).

þ Menekankan pentingnya falsifikasi, triangulasi data, dan strategi validasi lainnya untuk menguji keabsahan teori.

3.4.       Tujuan Ilmu

·                     Positivisme:

þ Bertujuan menemukan hukum-hukum universal yang dapat memprediksi fenomena secara presisi.

þ Kebenaran dianggap sebagai hasil verifikasi empiris yang tidak berubah.

·                     Post-positivisme:

þ Bertujuan untuk mendekati kebenaran secara bertahap, dengan mengakui sifat tentatif dari pengetahuan ilmiah.

þ Ilmu dipandang sebagai proses koreksi berkelanjutan melalui pengujian dan revisi teori.

3.5.       Validitas Ilmiah

·                     Positivisme:

þ Validitas diperoleh dari keberhasilan dalam verifikasi observasi secara berulang-ulang dan konsisten.

þ Pengetahuan ilmiah yang sah adalah yang telah diuji dan dibuktikan secara empiris.

·                     Post-positivisme:

þ Validitas dicapai melalui proses pengujian kritis, falsifikasi, dan pengakuan terhadap kemungkinan kesalahan.

þ Pengetahuan dianggap sah sejauh ia bertahan dari kritik dan pengujian rasional oleh komunitas ilmiah.


Perbedaan mendasar antara kedua paradigma ini mencerminkan pergeseran dari keyakinan akan objektivitas mutlak menuju kesadaran akan konstruksi pengetahuan yang bersifat kontekstual, historis, dan terbuka terhadap dialog kritis. Post-positivisme tidak menolak sains, tetapi menyempurnakannya dengan memasukkan unsur refleksi dan kesadaran diri terhadap keterbatasan manusia. Dengan cara ini, post-positivisme menghadirkan pendekatan ilmiah yang lebih realistis, dinamis, dan bertanggung jawab secara intelektual maupun etis.


4.           Karakteristik Utama Post-positivisme

Post-positivisme hadir sebagai respons kritis terhadap klaim absolutisme dan netralitas ilmu dalam paradigma positivistik. Berangkat dari kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia, post-positivisme mengusung seperangkat karakteristik utama yang membedakannya secara signifikan dari paradigma sebelumnya. Karakteristik ini membentuk kerangka berpikir dan praksis ilmiah yang lebih reflektif, terbuka terhadap revisi, dan sadar nilai.

4.1.       Realisme Kritis (Critical Realism) sebagai Fondasi Ontologis

Post-positivisme berpegang pada pandangan bahwa realitas objektif memang ada, namun tidak pernah dapat diakses secara langsung dan utuh. Kita hanya dapat mendekati kebenaran realitas tersebut melalui kerangka teoritis dan metode yang disusun dengan ketelitian tinggi. Karena realitas tidak sepenuhnya transparan terhadap pengamatan, maka setiap bentuk pengetahuan bersifat sementara dan terbuka untuk diuji ulang (Phillips & Burbules, 2000). Dengan demikian, pendekatan post-positivisme merekonstruksi hubungan antara subjek (peneliti) dan objek (fenomena) secara lebih dinamis.

4.2.       Pengetahuan Bersifat Fallibilistik

Salah satu ciri paling menonjol dari post-positivisme adalah pengakuan terhadap sifat fallibilitas pengetahuan ilmiah. Pengetahuan tidak pernah final, melainkan merupakan hasil dari hipotesis terbaik yang belum terbantahkan. Ide ini sejalan dengan prinsip falsifiabilitas yang dikemukakan oleh Karl Popper, bahwa teori ilmiah yang baik bukanlah yang bisa dibuktikan benar, melainkan yang bisa diuji dan berpotensi salah (Popper, 1959). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak dimaknai sebagai akumulasi kebenaran absolut, melainkan sebagai proses pengoreksian diri secara terus-menerus.

4.3.       Teori dan Nilai Mempengaruhi Observasi

Berbeda dengan klaim positivisme yang menempatkan observasi sebagai aktivitas netral, post-positivisme menegaskan bahwa pengamatan selalu dipengaruhi oleh teori yang mendasarinya. Apa yang dilihat peneliti ditentukan oleh apa yang telah mereka ketahui atau yakini sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada observasi yang bebas teori (theory-ladenness of observation) (Chalmers, 1999). Selain itu, nilai-nilai sosial, budaya, dan pribadi peneliti juga turut membentuk perspektif dan interpretasi yang diambil dalam proses ilmiah. Oleh sebab itu, objektivitas tidak berarti ketiadaan nilai, tetapi kesadaran dan kontrol terhadap nilai-nilai tersebut.

4.4.       Intersubjektivitas sebagai Tolak Ukur Objektivitas

Post-positivisme tidak menolak objektivitas, tetapi mendefinisikannya ulang. Objektivitas dalam konteks ini bukan berarti bebas nilai secara mutlak, melainkan kemampuan sebuah klaim pengetahuan untuk diuji dan diverifikasi secara terbuka oleh komunitas ilmiah. Dengan kata lain, objektivitas dicapai melalui intersubjektivitas, yakni konsensus rasional antar peneliti berdasarkan prosedur yang transparan dan dapat direplikasi (Lincoln & Guba, 1985). Oleh karena itu, akurasi ilmiah tidak tergantung pada satu individu, tetapi pada dialog kritis dalam komunitas ilmiah.

4.5.       Penggunaan Metodologi yang Lebih Fleksibel dan Kritis

Post-positivisme tetap menghargai metode ilmiah kuantitatif, tetapi tidak membatasinya secara kaku. Dalam banyak kasus, post-positivisme mengakomodasi pendekatan campuran (mixed methods) dan teknik triangulasi untuk memperkuat validitas hasil penelitian. Pendekatan ini merefleksikan kesadaran bahwa satu metode tunggal seringkali tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kompleks, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora (Creswell, 2013). Oleh karena itu, fleksibilitas metodologis menjadi ciri penting post-positivisme yang mengedepankan kedalaman dan ketelitian analisis.

4.6.       Kesadaran Etis dan Tanggung Jawab Ilmiah

Post-positivisme menekankan bahwa proses ilmiah tidak bisa dipisahkan dari dimensi etis. Peneliti tidak hanya bertanggung jawab atas keakuratan data, tetapi juga terhadap dampak sosial dan moral dari penelitian yang dilakukan. Hal ini mencerminkan perubahan orientasi ilmiah dari sekadar “menjelaskan dunia” menuju keterlibatan aktif dalam membentuknya secara bertanggung jawab (Guba & Lincoln, 1994). Oleh karena itu, post-positivisme menuntut integritas intelektual dan tanggung jawab sosial dari setiap pelaku riset.


Dengan karakteristik-karakteristik ini, post-positivisme menawarkan pendekatan yang lebih reflektif dan realistis terhadap proses pencarian ilmu. Ia tidak menjanjikan kepastian mutlak, namun tetap mengupayakan kebenaran melalui mekanisme rasional, terbuka, dan sadar konteks. Paradigma ini menghadirkan wajah ilmu pengetahuan yang lebih manusiawi: ilmiah, tetapi tidak angkuh; terbuka, namun tidak relativistik.


5.           Post-positivisme dalam Metodologi Penelitian

Post-positivisme tidak hanya menawarkan kerangka filsafat ilmu yang bersifat reflektif dan kritis, tetapi juga memengaruhi secara signifikan bagaimana penelitian ilmiah dilakukan, terutama dalam hal desain metodologis, pendekatan terhadap data, serta strategi validasi. Dalam paradigma ini, proses ilmiah dipahami sebagai suatu upaya sistematis untuk mendekati kebenaran melalui uji hipotesis, refleksi kritis, dan kesadaran akan keterbatasan epistemologis. Oleh karena itu, post-positivisme mendorong peneliti untuk mengembangkan metodologi yang tidak hanya ketat secara teknis, tetapi juga terbuka terhadap kompleksitas sosial dan nilai-nilai yang menyertainya.

5.1.       Penekanan pada Falsifikasi, Bukan Verifikasi

Salah satu sumbangan utama post-positivisme terhadap metodologi penelitian adalah pergeseran dari verifikasi menuju falsifikasi. Dalam pandangan positivistik, teori dianggap benar apabila telah diverifikasi oleh data empiris secara konsisten. Namun menurut Karl Popper, tidak mungkin membuktikan teori secara pasti hanya dengan akumulasi bukti; sebaliknya, teori harus diuji melalui upaya untuk membantahnya (conjectures and refutations) (Popper, 1959). Dengan demikian, penelitian dalam paradigma post-positivistik dirancang untuk menantang hipotesis awal dan melihat apakah ia mampu bertahan dari berbagai bentuk pengujian kritis.

5.2.       Keterbukaan terhadap Mixed Methods

Post-positivisme tetap mempertahankan keunggulan metode kuantitatif yang sistematis dan terukur, tetapi tidak menutup diri terhadap pendekatan kualitatif dan mixed methods. Ini merupakan implikasi dari kesadaran bahwa data empiris yang diperoleh melalui survei atau eksperimen tidak selalu mampu menangkap kompleksitas konteks sosial atau makna subjektif yang membentuk fenomena (Creswell, 2013). Oleh karena itu, banyak peneliti post-positivistik yang menggabungkan data kuantitatif dengan wawancara, studi kasus, atau analisis dokumen untuk memperluas pemahaman mereka tentang objek kajian.

5.3.       Strategi Triangulasi untuk Meningkatkan Validitas

Karena post-positivisme mengakui bahwa pengamatan ilmiah tidak pernah sepenuhnya objektif, maka strategi untuk mengurangi bias menjadi sangat penting. Salah satu teknik yang digunakan adalah triangulasi, yaitu penggunaan berbagai sumber data, metode, atau perspektif untuk mengkaji satu fenomena yang sama (Denzin, 1978). Triangulasi bertujuan memastikan bahwa hasil penelitian tidak bergantung pada satu sumber informasi atau pendekatan tunggal, melainkan merupakan konvergensi dari berbagai bukti yang saling menguatkan. Ini memberikan validitas dan keandalan yang lebih tinggi terhadap temuan penelitian.

5.4.       Peran Hipotesis dalam Penelitian Post-positivistik

Dalam paradigma ini, penelitian dimulai dari kerangka teori yang melahirkan hipotesis yang jelas dan terukur. Namun tidak seperti dalam positivisme, hipotesis tersebut tidak dianggap sebagai kebenaran yang harus dibuktikan, melainkan sebagai proposisi awal yang harus diuji dan terbuka terhadap penolakan (Phillips & Burbules, 2000). Penggunaan teori tetap penting, tetapi dengan sikap metodologis yang kritis dan anti-dogmatis. Ini menciptakan siklus ilmiah yang bersifat terbuka dan progresif, karena setiap hasil penelitian selalu membawa kemungkinan revisi terhadap teori awal.

5.5.       Validitas dan Reliabilitas yang Direkonstruksi

Post-positivisme merekonstruksi konsep validitas dan reliabilitas. Validitas tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian mutlak antara teori dan realitas, tetapi sebagai kemampuan pendekatan penelitian untuk menjawab pertanyaan secara meyakinkan dalam konteks tertentu. Sementara reliabilitas tidak semata-mata berarti hasil yang bisa direproduksi, tetapi juga menyangkut konsistensi logis dalam prosedur dan interpretasi (Lincoln & Guba, 1985). Oleh karena itu, standar metodologis dalam post-positivisme menjadi lebih adaptif, kontekstual, dan reflektif terhadap keragaman objek kajian.

5.6.       Peneliti sebagai Instrumen yang Sadar Diri

Dalam paradigma post-positivisme, peneliti bukanlah instrumen yang netral dan sepenuhnya terpisah dari objek yang diteliti. Ia adalah subjek aktif yang membawa asumsi, latar belakang, dan nilai-nilai tertentu ke dalam proses penelitian. Oleh karena itu, post-positivisme menuntut adanya refleksivitas, yakni kesadaran dan keterbukaan peneliti terhadap kemungkinan bias pribadi dan struktur kekuasaan yang memengaruhi proses ilmiah (Guba & Lincoln, 1994). Refleksivitas ini bukan untuk menghilangkan subjektivitas, tetapi untuk mengelolanya secara jujur dan bertanggung jawab.


Dengan demikian, post-positivisme dalam metodologi penelitian menekankan keseimbangan antara ketelitian ilmiah dan kesadaran kritis. Ia tidak menolak metode ilmiah konvensional, tetapi menyempurnakannya melalui pendekatan yang lebih terbuka terhadap pluralitas metode, kompleksitas sosial, dan keterbatasan manusia. Melalui prinsip falsifikasi, triangulasi, dan refleksivitas, post-positivisme membentuk budaya riset yang lebih tanggap terhadap dinamika pengetahuan dan lebih etis dalam penerapannya.


6.           Kritik terhadap Post-positivisme

Meskipun post-positivisme dianggap sebagai kemajuan penting dalam filsafat ilmu karena mampu mengoreksi keterbatasan positivisme, pendekatan ini tidak luput dari kritik, baik dari kalangan konstruktivis, interpretivis, maupun para filsuf kritis. Kritik-kritik tersebut terutama berkaitan dengan klaim post-positivisme yang masih mempertahankan sisa-sisa warisan positivistik, terutama dalam hal objektivitas, realisme, dan penggunaan metode kuantitatif yang dominan. Dengan kata lain, bagi sebagian pengkritik, post-positivisme belum cukup “post”.

6.1.       Masih Terjebak dalam Kerangka Objektivitas Tradisional

Meskipun post-positivisme mengakui bahwa pengetahuan bersifat tentatif dan pengamatan tidak pernah sepenuhnya bebas nilai, paradigma ini tetap mempertahankan gagasan objektivitas sebagai tujuan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, para filsuf konstruktivis menilai bahwa post-positivisme belum benar-benar mampu melepaskan diri dari mitos netralitas dan objektivitas ilmiah (Guba & Lincoln, 1994). Mereka berargumen bahwa realitas sosial tidak dapat direduksi menjadi satu versi kebenaran yang “lebih mendekati” realitas objektif, karena kebenaran sendiri bersifat plural dan terikat konteks.

6.2.       Ketergantungan pada Realisme Kritis Dinilai Tidak Konsisten

Post-positivisme mendasarkan diri pada critical realism, yaitu pandangan bahwa realitas memang ada di luar kesadaran manusia, tetapi tidak bisa dipahami secara sempurna. Namun, para kritikus menyatakan bahwa posisi ini problematik karena tetap mendasarkan validitas ilmu pada adanya realitas obyektif, padahal post-positivisme sendiri mengakui keterbatasan epistemologis manusia dalam mencapainya. Ini menciptakan ketegangan antara klaim ontologis dan epistemologis yang dianggap tidak sepenuhnya konsisten (Bhaskar, 1975). Dalam pandangan ini, realisme kritis dianggap sebagai kompromi yang ambigu dan tidak cukup radikal untuk menjawab tantangan postmodern.

6.3.       Dominasi Pendekatan Kuantitatif dan Pengabaian Dimensi Makna

Walaupun post-positivisme terbuka terhadap metode mixed methods, pendekatan ini sering tetap menekankan pengukuran, generalisasi, dan prinsip-prinsip kausalitas linear. Hal ini membuatnya dinilai kurang mampu menangkap dimensi makna, pengalaman subjektif, serta konstruksi sosial yang kompleks dalam kehidupan manusia. Pendekatan interpretif berpendapat bahwa realitas sosial tidak bisa dijelaskan secara objektif karena selalu terbentuk dalam interaksi simbolik, bahasa, dan kekuasaan (Schwandt, 2000). Oleh karena itu, kritik ini menyerukan perlunya pergeseran lebih jauh ke arah paradigma yang memahami realitas sebagai konstruksi sosial yang dinamis.

6.4.       Kurangnya Kesadaran Kritis terhadap Relasi Kuasa dalam Ilmu Pengetahuan

Post-positivisme cenderung memfokuskan diri pada proses koreksi ilmiah secara internal (melalui falsifikasi, revisi teori, dan konsensus ilmuwan), tetapi dinilai belum cukup memberikan perhatian pada relasi kuasa dan ideologi yang membentuk produksi pengetahuan. Pendekatan kritis, seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas dan Paulo Freire, menekankan bahwa ilmu tidak pernah netral, dan selalu terlibat dalam struktur sosial yang mempertahankan atau menantang ketimpangan kuasa (Habermas, 1971). Dalam konteks ini, post-positivisme dikritik karena gagal mengintegrasikan kesadaran emansipatoris dalam proyek ilmiahnya.

6.5.       Kekaburan antara Keterbukaan dan Ketegasan Metodologis

Salah satu kekuatan post-positivisme adalah fleksibilitasnya dalam menggabungkan berbagai pendekatan. Namun, hal ini juga menjadi sumber kritik karena dianggap menciptakan ambiguitas dalam kriteria metodologis dan prosedural. Tanpa fondasi filosofis yang benar-benar kokoh dan batas metodologis yang jelas, post-positivisme berisiko menjadi kerangka yang terlalu longgar dan permisif. Akibatnya, ia dapat kehilangan koherensi sebagai paradigma ilmiah yang dapat dibedakan secara tegas dari pendekatan lainnya (Crotty, 1998).


Dengan demikian, meskipun post-positivisme telah memberikan kontribusi penting dalam memperbaiki keterbatasan positivisme klasik, paradigma ini tetap menjadi objek kritik dari berbagai sudut pandang. Kritik-kritik tersebut tidak serta-merta membatalkan relevansi post-positivisme, melainkan mendorong pengembangan paradigma ilmu yang lebih reflektif, kontekstual, dan sadar akan dimensi sosial serta etis dari praktik ilmiah. Dalam menghadapi kritik ini, post-positivisme dituntut untuk terus membuka diri terhadap dialog lintas paradigma demi merumuskan pendekatan ilmu yang lebih inklusif, adil, dan transformatif.


7.           Relevansi dan Kontribusi Post-positivisme di Era Kontemporer

Di tengah kompleksitas realitas sosial, politik, ekonomi, dan ekologi pada era kontemporer, paradigma post-positivisme hadir sebagai pendekatan ilmiah yang adaptif, reflektif, dan realistis terhadap keterbatasan pengetahuan manusia. Post-positivisme tidak hanya merekonstruksi ulang cara berpikir ilmiah yang kaku dan deterministik sebagaimana diwariskan positivisme klasik, tetapi juga menanamkan kesadaran epistemologis bahwa ilmu selalu bersifat tentatif, terbuka terhadap revisi, dan tidak lepas dari konteks nilai serta relasi kuasa. Di sinilah letak relevansi dan kontribusinya yang signifikan bagi dunia keilmuan masa kini.

7.1.       Merespons Kompleksitas Dunia Modern

Zaman modern ditandai oleh realitas sosial yang majemuk, dinamis, dan sering kali tidak dapat dijelaskan secara linear. Dalam konteks ini, post-positivisme menawarkan kerangka berpikir yang lebih inklusif terhadap pluralitas data, sudut pandang, serta ketidakpastian fenomena. Pendekatan ini memungkinkan para ilmuwan untuk tetap berpijak pada logika rasional dan empiris, namun dengan kesadaran akan adanya bias, interpretasi, dan keterbatasan dalam observasi (Popper, 1959). Dengan demikian, post-positivisme lebih cocok untuk menjawab tantangan zaman yang tidak selalu dapat dirumuskan dalam hubungan sebab-akibat sederhana.

7.2.       Mendukung Perkembangan Metode Penelitian yang Lebih Luwes

Post-positivisme menjadi fondasi bagi munculnya pendekatan mixed methods dalam penelitian sosial dan pendidikan, yaitu penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif secara sinergis. Hal ini merupakan kontribusi penting dalam menjembatani jurang antara dua kutub metodologis yang selama ini dianggap terpisah. Sebagaimana diungkapkan oleh Creswell dan Plano Clark, post-positivisme membuka ruang bagi pendekatan pragmatis, di mana validitas hasil penelitian tidak hanya dinilai dari satu jenis data, tetapi dari keterpaduan berbagai sumber informasi yang saling memperkaya (Creswell & Plano Clark, 2011).

7.3.       Menumbuhkan Etika dan Refleksi dalam Produksi Ilmu Pengetahuan

Paradigma post-positivistik mengajak para ilmuwan untuk tidak sekadar mengejar kebenaran yang bersifat teknis-instrumental, tetapi juga mempertimbangkan aspek etis, kontekstual, dan reflektif dari proses keilmuan. Artinya, ilmu tidak berdiri di ruang hampa, melainkan tumbuh dalam masyarakat yang penuh dengan ideologi, kekuasaan, dan keberagaman nilai (Guba & Lincoln, 2005). Dalam era di mana disinformasi dan bias ideologis kerap mewarnai wacana ilmiah, post-positivisme menjadi penawar yang mengingatkan pentingnya kerendahan hati ilmiah, falsifiabilitas, serta komitmen terhadap dialog kritis.

7.4.       Memfasilitasi Interdisiplinaritas dan Kolaborasi Ilmu

Relevansi post-positivisme juga tampak dalam kemampuannya untuk menjadi dasar epistemologis bagi penelitian interdisipliner. Dalam dunia yang problematikanya lintas sektor dan lintas disiplin—seperti isu perubahan iklim, keadilan sosial, kesehatan global, dan kecerdasan buatan—dibutuhkan paradigma yang mampu menyatukan kerangka empiris dengan nilai-nilai normatif. Post-positivisme, dengan fleksibilitas metodologis dan refleksivitasnya, menjadi jembatan antara ilmu alam dan ilmu sosial, antara pendekatan deduktif dan interpretatif (Tashakkori & Teddlie, 2010).

7.5.       Memberikan Landasan untuk Transformasi Sosial Berbasis Ilmu

Di era di mana ilmu dan teknologi sering dijadikan alat untuk mendukung kepentingan kapitalisme global atau pemerintahan otoriter, post-positivisme mendorong arah baru bagi ilmu yang lebih humanistik dan transformatif. Ilmu tidak hanya menjadi sarana untuk memahami realitas, tetapi juga untuk mengubahnya ke arah yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan. Dengan mengakui keterbatasan pengetahuan, post-positivisme sekaligus menumbuhkan tanggung jawab ilmuwan dalam menggunakan ilmu demi kemaslahatan manusia (Habermas, 1971).


Dengan demikian, post-positivisme tidak sekadar menjadi warisan intelektual pasca-positivisme, tetapi juga fondasi yang kokoh bagi perkembangan keilmuan masa kini. Dalam lanskap dunia yang sarat ketidakpastian, konflik nilai, dan tantangan global, paradigma ini menawarkan jalan tengah antara objektivitas dan subjektivitas, antara metode dan makna, antara sains dan kemanusiaan. Ia bukan hanya paradigma ilmiah, tetapi juga refleksi filosofis tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap ilmu, realitas, dan tanggung jawab sosialnya.


8.           Penutup

Post-positivisme hadir sebagai koreksi sekaligus evolusi epistemologis dari positivisme yang selama abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 mendominasi wacana ilmu pengetahuan. Ia bukan sekadar gugatan terhadap klaim objektivitas absolut dan netralitas ilmuwan, tetapi juga merupakan upaya untuk mereposisi ilmu dalam kerangka yang lebih manusiawi, reflektif, dan sadar akan kompleksitas realitas. Post-positivisme menyadarkan bahwa pengetahuan ilmiah selalu berada dalam bayang-bayang keterbatasan manusia: keterbatasan dalam mengamati, memahami, dan menjelaskan dunia secara utuh dan final (Popper, 1959).

Dengan semangat falsifikasionisme dan kerangka kerja yang tetap berpijak pada rasionalitas empiris, post-positivisme tetap mempertahankan komitmen terhadap pencarian kebenaran, namun dengan penuh kesadaran akan potensi bias, pengaruh nilai, serta konstruksi sosial di balik produksi ilmu pengetahuan (Guba & Lincoln, 2005). Kesadaran ini bukan melemahkan ilmu, tetapi justru memperkuatnya dengan sikap terbuka, kritis, dan terus-menerus merefleksikan asumsi-asumsinya.

Di era kontemporer yang ditandai oleh keterhubungan global, krisis multidimensi, dan pertarungan wacana, paradigma post-positivistik memainkan peran penting dalam memperkaya pendekatan ilmiah yang adaptif, kolaboratif, dan etis. Ia menjadi pengingat bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, tetapi selalu bersifat tentatif dan dapat ditinjau ulang seiring berkembangnya data, metode, dan perspektif. Pendekatan ini memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk membangun pengetahuan yang lebih inklusif, transformatif, dan bertanggung jawab terhadap konteks sosial serta moralitas yang melingkupinya (Habermas, 1971).

Dengan demikian, post-positivisme tidak hanya penting sebagai paradigma alternatif dalam filsafat ilmu, tetapi juga sebagai panduan etis dan metodologis dalam praktik keilmuan masa kini. Ia menawarkan jalan tengah yang menyeimbangkan antara rasionalitas dan kesadaran diri, antara metodologi dan nilai, antara ketertiban ilmiah dan keterbukaan terhadap kompleksitas. Paradigma ini mendorong manusia untuk terus mencari, sembari menyadari bahwa setiap jawaban ilmiah pada hakikatnya adalah langkah kecil dalam proses panjang pemahaman terhadap realitas yang terus berubah dan tak pernah sepenuhnya selesai.


Daftar Pustaka

Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (2005). Paradigmatic controversies, contradictions, and emerging confluences. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp. 191–215). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.

Phillips, D. C., & Burbules, N. C. (2000). Postpositivism and educational research. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. London: Hutchinson & Co.

Ryan, A. (1970). The philosophy of the social sciences. London: Macmillan.

Schwandt, T. A. (2000). Three epistemological stances for qualitative inquiry: Interpretivism, hermeneutics, and social constructionism. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd ed., pp. 189–213). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Smith, M. J. (1998). Social science in question. London: Sage Publications.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar