Post-positivisme
Paradigma Ilmu dalam
Bayang-Bayang Keterbatasan dan Objektivitas yang Terkonstruksi
Alihkan ke: Positivisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
paradigma post-positivisme sebagai respon kritis terhadap pendekatan
positivisme dalam ilmu pengetahuan. Post-positivisme lahir dari kesadaran akan
keterbatasan objektivitas ilmiah dan pengaruh subjektivitas dalam proses
penelitian, seraya tetap mempertahankan komitmen terhadap pencarian kebenaran
secara sistematis dan logis. Landasan filosofisnya berpijak pada pandangan Karl
Popper dan kritik epistemologis terhadap empirisme naif. Artikel ini
menguraikan perbedaan mendasar antara positivisme dan post-positivisme,
termasuk dalam hal asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis.
Post-positivisme mengakui bahwa realitas memang ada secara independen, namun
tidak bisa diamati secara sempurna tanpa bias, sehingga pendekatannya bersifat
fallibilistik dan falsifikatif. Dalam konteks metodologi penelitian,
post-positivisme mendorong penggunaan pendekatan kuantitatif yang disertai
dengan refleksi kritis terhadap posisi peneliti, serta terbuka terhadap
triangulasi dan mixed methods. Meskipun mendapat sejumlah kritik,
post-positivisme tetap relevan dalam menjembatani antara paradigma ilmiah
objektivistik dan kebutuhan akan konteks serta interpretasi, khususnya dalam
kajian sosial-humaniora masa kini. Artikel ini menegaskan bahwa
post-positivisme menawarkan kerangka kerja yang realistis dan fleksibel dalam
mengembangkan pengetahuan ilmiah yang reflektif dan bertanggung jawab.
Kata kunci: post-positivisme,
objektivitas, falsifikasi, metodologi penelitian, paradigma ilmiah,
epistemologi.
PEMBAHASAN
Post-positivisme sebagai Respons
terhadap Positivisme
1.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari pengaruh
paradigma filosofis yang mendasarinya. Salah satu paradigma dominan yang
mendasari ilmu pengetahuan modern sejak abad ke-19 adalah positivisme—sebuah
pandangan epistemologis yang meyakini bahwa pengetahuan sejati hanya dapat
diperoleh melalui observasi empiris dan verifikasi logis. Positivisme
mengandaikan adanya dunia objektif yang bisa diamati secara netral oleh
peneliti, dan bahwa pengetahuan dapat dicapai secara pasti melalui metode ilmiah
yang ketat (Comte, 1830; Hempel, 1966). Namun, seiring berkembangnya refleksi
kritis terhadap proses ilmiah, terutama pasca-dominasi filsafat ilmu klasik,
muncul kesadaran bahwa sains tidaklah seobjektif dan seterbuka yang diklaim
oleh kaum positivis.
Post-positivisme lahir sebagai respons
terhadap keterbatasan pandangan positivistik, terutama dalam hal klaim
objektivitas dan kepastian ilmu. Para post-positivis mengakui bahwa realitas
memang ada secara independen dari pengamat, tetapi akses manusia terhadap
realitas tersebut selalu dibatasi oleh konstruksi teoritis, asumsi,
nilai-nilai, dan bahkan bias pribadi peneliti (Phillips & Burbules, 2000).
Dengan demikian, pengetahuan ilmiah tidak pernah bisa dipastikan sepenuhnya
benar; ia bersifat tentatif, terbuka untuk diuji dan direvisi secara
terus-menerus.
Salah satu tokoh penting yang memengaruhi perkembangan post-positivisme
adalah Karl Popper. Ia menolak logika induksi sebagai dasar utama ilmu dan
menggantinya dengan falsifikasi, yaitu upaya menguji kebenaran suatu teori
dengan mencoba membuktikan kesalahannya (Popper, 1959). Pendekatan ini menandai
pergeseran penting dalam metodologi ilmiah dari kepastian menuju ketidakpastian
yang rasional. Thomas Kuhn juga turut menyumbang kerangka pemikiran
post-positivistik melalui konsep paradigma ilmiah dan revolusi sains yang
memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu tidak linier, melainkan bersifat
historis dan paradigmatik (Kuhn, 1962).
Dalam konteks inilah post-positivisme menjadi paradigma alternatif yang
lebih reflektif dan kritis terhadap klaim objektivitas ilmu. Ia tidak menolak
metode ilmiah, tetapi merekonstruksinya dengan lebih realistis, bahwa semua
proses ilmiah selalu berada dalam kerangka sosial, historis, dan epistemologis
tertentu. Oleh karena itu, memahami post-positivisme menjadi penting bukan
hanya bagi filsuf ilmu, tetapi juga bagi peneliti lintas bidang, agar mereka
lebih sadar akan keterbatasan sekaligus tanggung jawab etis dalam proses
pencarian pengetahuan.
Dengan memahami akar kelahiran dan landasan berpikir post-positivisme,
artikel ini bertujuan menyajikan telaah komprehensif mengenai fondasi
filosofis, karakteristik utama, penerapan metodologis, serta relevansi
post-positivisme dalam praktik keilmuan kontemporer. Pendekatan ini diharapkan
dapat memberikan sudut pandang yang lebih matang terhadap bagaimana ilmu
bekerja dalam kenyataan yang tidak pernah bebas nilai, namun tetap dapat
dipercaya jika dibangun melalui proses yang ketat dan terbuka terhadap kritik.
2.
Landasan Filosofis Post-positivisme
Post-positivisme merupakan suatu
paradigma filosofis yang mencoba menjembatani ketegangan antara tuntutan
objektivitas ilmiah dan pengakuan atas keterbatasan epistemologis manusia dalam
memahami realitas. Landasan
filosofis dari post-positivisme bertumpu pada dua aspek utama dalam filsafat
ilmu, yakni ontologi dan epistemologi. Dalam ontologi,
post-positivisme masih mempertahankan asumsi realisme kritis, yakni keyakinan
bahwa realitas eksternal memang ada secara independen dari kesadaran manusia.
Akan tetapi, dalam epistemologinya, post-positivisme mengakui bahwa pengetahuan
manusia tentang realitas itu tidak pernah sempurna, karena selalu dimediasi
oleh kerangka teoritis, bahasa, nilai, dan instrumen pengamatan yang digunakan
oleh peneliti (Phillips & Burbules, 2000).
Pandangan ini bertentangan dengan epistemologi positivisme yang
bersifat naïve realism, yakni keyakinan bahwa fakta-fakta dapat diamati
dan dicatat secara netral tanpa intervensi subyektivitas. Bagi para
post-positivis, pengamatan selalu teoritis; artinya, apa yang dilihat peneliti
dipengaruhi oleh ekspektasi, teori sebelumnya, dan bahkan latar belakang sosial
budaya si pengamat. Oleh karena itu, meskipun post-positivisme masih
menggunakan pendekatan empiris dan logika ilmiah, ia menolak klaim tentang
kepastian dan absolutisme dalam sains. Pengetahuan ilmiah, dalam kerangka ini,
bersifat fallibilistic—selalu terbuka untuk diuji ulang dan diperbaiki
(Popper, 1959).
Karl Popper adalah figur sentral dalam peletakan dasar-dasar
post-positivisme. Ia mengkritik metode induktif yang digunakan kaum positivis
dan menggantikannya dengan prinsip falsifikasi, yakni bahwa suatu teori
ilmiah tidak bisa dibuktikan benar secara mutlak, tetapi hanya bisa bertahan
selama belum terbantahkan oleh bukti yang bertentangan. Dengan kata lain, ilmu
pengetahuan bergerak maju bukan melalui verifikasi kumulatif, melainkan melalui
proses eliminasi kesalahan (Popper, 1963). Sikap kritis ini melahirkan budaya
ilmiah yang tidak dogmatis, tetapi terus berupaya memperbaiki diri.
Kontribusi lain datang dari Thomas Kuhn
yang memperkenalkan konsep paradigma dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak bersifat
linier dan kumulatif, melainkan mengalami revolusi ilmiah ketika
paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali yang muncul, dan digantikan
oleh paradigma baru yang lebih komprehensif. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sangat
dipengaruhi oleh struktur sosial, komunitas ilmiah, dan bahkan kepentingan
ideologis tertentu (Kuhn, 1962). Dengan demikian, pemahaman post-positivisme
juga mencakup dimensi sosial dan historis dari praktik ilmiah.
Landasan filosofis post-positivisme juga mengakui adanya nilai-nilai
dalam sains, namun tetap menuntut intersubjektivitas sebagai tolok ukur
objektivitas. Artinya, kebenaran ilmiah tidak ditentukan oleh satu individu,
tetapi oleh kesepakatan komunitas ilmiah yang berdasarkan pada prosedur
rasional, transparan, dan terbuka untuk diuji secara publik. Pendekatan ini
merekonstruksi objektivitas bukan sebagai ketidakberpihakan mutlak, tetapi
sebagai hasil dari proses ilmiah yang ketat, kritis, dan reflektif terhadap
bias yang mungkin muncul (Lincoln & Guba, 1985).
Dengan demikian, landasan filosofis post-positivisme mencerminkan
sintesis antara realisme kritis dan skeptisisme metodologis. Ia menempatkan
sains dalam posisi yang lebih manusiawi—tidak sempurna, namun tetap bernilai;
tidak absolut, tetapi tetap dapat dipercaya jika dijalankan dengan sikap
terbuka dan kritis. Paradigma ini membuka ruang bagi peneliti untuk tetap
menggunakan metode ilmiah, namun dengan kesadaran epistemologis yang lebih
dalam terhadap keterbatasan, nilai, dan konstruksi yang menyertainya.
3.
Perbedaan Mendasar antara Positivisme dan
Post-positivisme
Positivisme dan post-positivisme merupakan
dua paradigma dominan dalam filsafat ilmu yang memiliki perbedaan mendasar
dalam cara memandang realitas, pengetahuan, dan proses ilmiah. Meski keduanya
sama-sama menekankan pentingnya rasionalitas dan pendekatan ilmiah dalam
membangun pengetahuan, namun asumsi ontologis dan epistemologis yang mendasari
keduanya sangat berbeda. Positivisme berakar pada tradisi empirisme logis,
sementara post-positivisme muncul sebagai koreksi terhadap kekakuan dan
keterbatasan logika positivistik dalam menjelaskan kompleksitas realitas.
Dalam hal ontologi, positivisme
cenderung memegang pandangan naïve realism yang menyatakan bahwa
realitas dapat diamati secara langsung dan objektif tanpa intervensi persepsi
atau interpretasi peneliti. Sebaliknya, post-positivisme menganut critical
realism yang menyatakan bahwa realitas memang ada secara independen, tetapi
tidak pernah bisa diketahui secara sempurna karena keterbatasan manusia dalam
mengamati dan menafsirkan dunia (Phillips & Burbules, 2000). Dengan
demikian, post-positivisme memandang bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif
dan terbuka terhadap koreksi.
Dari segi epistemologi, positivisme
mengasumsikan bahwa pengetahuan yang sahih hanya dapat diperoleh melalui
verifikasi empiris dan observasi yang bebas nilai. Ia menekankan netralitas dan
objektivitas sebagai syarat mutlak dalam proses ilmiah (Comte, 1830; Hempel,
1966). Post-positivisme menolak klaim tersebut dengan menyatakan bahwa
pengetahuan ilmiah tidak pernah bebas dari asumsi, teori awal, bahkan bias
nilai dari peneliti. Oleh karena itu, post-positivisme mengedepankan prinsip falsifikasi
sebagaimana dikemukakan Karl Popper, bahwa teori ilmiah harus diuji dengan
mencoba membuktikan kesalahannya, bukan hanya mengonfirmasi kebenarannya
(Popper, 1959). Ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam ilmu bukanlah kepastian,
melainkan hipotesis terbaik yang belum terbantahkan.
Dalam hal metodologi, positivisme
menggunakan pendekatan kuantitatif yang sangat ketat, mengandalkan pengukuran
objektif, generalisasi, dan hukum-hukum universal. Post-positivisme, meskipun
tetap mendukung pendekatan kuantitatif, lebih terbuka terhadap keberagaman
metodologi, termasuk mixed methods, serta penggunaan strategi
triangulasi untuk meningkatkan validitas hasil penelitian (Creswell, 2013).
Post-positivisme menyadari bahwa kompleksitas sosial dan manusia tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan oleh angka dan statistik semata.
Perbedaan-perbedaan ini dapat dirangkum
dalam tabel berikut:
3.1.
Ontologi (Pandangan
tentang Realitas)
·
Positivisme:
þ
Menganut naïve realism, yaitu keyakinan bahwa realitas bersifat objektif
dan dapat diamati secara langsung tanpa dipengaruhi oleh subyektivitas
pengamat.
þ Fakta dianggap sebagai sesuatu yang ada “di luar
sana” dan bisa direkam dengan netral oleh peneliti.
·
Post-positivisme:
þ Menganut critical
realism, yakni mengakui bahwa realitas memang ada secara independen, namun
pengetahuan tentangnya selalu bersifat tidak sempurna dan dipengaruhi oleh
teori serta asumsi yang digunakan.
þ Realitas tidak dapat diakses secara langsung, tetapi
melalui pendekatan kritis dan reflektif.
3.2. Epistemologi
(Pandangan tentang Sumber dan Validitas Pengetahuan)
·
Positivisme:
þ Menganggap bahwa
pengetahuan yang benar hanya berasal dari observasi empiris yang objektif dan
bebas nilai.
þ Peneliti harus menyingkirkan unsur subjektivitas dan
menjaga netralitas dalam pengumpulan data.
·
Post-positivisme:
þ Mengakui bahwa pengamatan ilmiah selalu dipengaruhi
oleh latar belakang teori, hipotesis, serta nilai-nilai pribadi peneliti.
þ Objektivitas tetap menjadi tujuan, namun harus
dicapai melalui kesadaran akan bias dan usaha mengurangi pengaruhnya secara
metodologis.
3.3. Metodologi
(Pendekatan Ilmiah yang Digunakan)
·
Positivisme:
þ Berorientasi pada metode kuantitatif yang ketat,
dengan fokus pada pengukuran, eksperimen, dan verifikasi.
þ Mengutamakan deduksi dari teori dan mencari
hukum-hukum umum yang bisa digeneralisasi.
·
Post-positivisme:
þ Tetap menggunakan
pendekatan kuantitatif, namun lebih terbuka terhadap metode campuran (mixed
methods).
þ Menekankan pentingnya falsifikasi,
triangulasi data, dan strategi validasi lainnya untuk menguji keabsahan teori.
3.4.
Tujuan Ilmu
·
Positivisme:
þ Bertujuan menemukan hukum-hukum universal yang dapat
memprediksi fenomena secara presisi.
þ Kebenaran dianggap sebagai hasil verifikasi empiris
yang tidak berubah.
·
Post-positivisme:
þ Bertujuan untuk
mendekati kebenaran secara bertahap, dengan mengakui sifat tentatif dari
pengetahuan ilmiah.
þ Ilmu dipandang sebagai proses koreksi berkelanjutan
melalui pengujian dan revisi teori.
3.5.
Validitas Ilmiah
·
Positivisme:
þ Validitas diperoleh dari keberhasilan dalam
verifikasi observasi secara berulang-ulang dan konsisten.
þ Pengetahuan ilmiah yang sah adalah yang telah diuji
dan dibuktikan secara empiris.
·
Post-positivisme:
þ Validitas dicapai melalui proses pengujian kritis,
falsifikasi, dan pengakuan terhadap kemungkinan kesalahan.
þ Pengetahuan dianggap sah
sejauh ia bertahan dari kritik dan pengujian rasional oleh komunitas ilmiah.
Perbedaan mendasar antara kedua paradigma
ini mencerminkan pergeseran dari keyakinan akan objektivitas mutlak menuju
kesadaran akan konstruksi pengetahuan yang bersifat kontekstual,
historis, dan terbuka terhadap dialog kritis. Post-positivisme tidak menolak
sains, tetapi menyempurnakannya dengan memasukkan unsur refleksi dan kesadaran
diri terhadap keterbatasan manusia. Dengan cara ini, post-positivisme menghadirkan
pendekatan ilmiah yang lebih realistis, dinamis, dan bertanggung jawab secara
intelektual maupun etis.
4.
Karakteristik Utama Post-positivisme
Post-positivisme hadir sebagai respons
kritis terhadap klaim absolutisme dan netralitas ilmu dalam paradigma
positivistik. Berangkat dari kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia,
post-positivisme mengusung seperangkat karakteristik utama yang membedakannya
secara signifikan dari paradigma sebelumnya. Karakteristik ini membentuk
kerangka berpikir dan praksis ilmiah yang lebih reflektif, terbuka terhadap
revisi, dan sadar nilai.
4.1.
Realisme Kritis
(Critical Realism) sebagai Fondasi Ontologis
Post-positivisme berpegang pada pandangan
bahwa realitas objektif memang ada, namun tidak pernah dapat diakses secara
langsung dan utuh. Kita hanya dapat mendekati kebenaran realitas tersebut
melalui kerangka teoritis dan metode yang disusun dengan ketelitian tinggi.
Karena realitas tidak sepenuhnya transparan terhadap pengamatan, maka setiap
bentuk pengetahuan bersifat sementara dan terbuka untuk diuji ulang (Phillips
& Burbules, 2000). Dengan demikian, pendekatan post-positivisme
merekonstruksi hubungan antara subjek (peneliti) dan objek (fenomena) secara
lebih dinamis.
4.2.
Pengetahuan Bersifat
Fallibilistik
Salah satu ciri paling menonjol dari
post-positivisme adalah pengakuan terhadap sifat fallibilitas
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan tidak pernah final, melainkan merupakan hasil
dari hipotesis terbaik yang belum terbantahkan. Ide ini sejalan dengan prinsip falsifiabilitas
yang dikemukakan oleh Karl Popper, bahwa teori ilmiah yang baik bukanlah yang
bisa dibuktikan benar, melainkan yang bisa diuji dan berpotensi salah (Popper,
1959). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak dimaknai sebagai akumulasi
kebenaran absolut, melainkan sebagai proses pengoreksian diri secara
terus-menerus.
4.3.
Teori dan Nilai
Mempengaruhi Observasi
Berbeda dengan klaim positivisme yang
menempatkan observasi sebagai aktivitas netral, post-positivisme menegaskan
bahwa pengamatan selalu dipengaruhi oleh teori yang mendasarinya. Apa yang
dilihat peneliti ditentukan oleh apa yang telah mereka ketahui atau yakini
sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada observasi yang bebas teori (theory-ladenness
of observation) (Chalmers, 1999). Selain itu, nilai-nilai sosial, budaya,
dan pribadi peneliti juga turut membentuk perspektif dan interpretasi yang
diambil dalam proses ilmiah. Oleh sebab itu, objektivitas tidak berarti
ketiadaan nilai, tetapi kesadaran dan kontrol terhadap nilai-nilai tersebut.
4.4. Intersubjektivitas
sebagai Tolak Ukur Objektivitas
Post-positivisme tidak menolak objektivitas,
tetapi mendefinisikannya ulang. Objektivitas dalam konteks ini bukan berarti
bebas nilai secara mutlak, melainkan kemampuan sebuah klaim pengetahuan untuk
diuji dan diverifikasi secara terbuka oleh komunitas ilmiah. Dengan kata lain,
objektivitas dicapai melalui intersubjektivitas, yakni konsensus
rasional antar peneliti berdasarkan prosedur yang transparan dan dapat
direplikasi (Lincoln & Guba, 1985). Oleh karena itu, akurasi ilmiah tidak
tergantung pada satu individu, tetapi pada dialog kritis dalam komunitas
ilmiah.
4.5. Penggunaan
Metodologi yang Lebih Fleksibel dan Kritis
Post-positivisme tetap menghargai metode
ilmiah kuantitatif, tetapi tidak membatasinya secara kaku. Dalam banyak kasus,
post-positivisme mengakomodasi pendekatan campuran (mixed methods) dan
teknik triangulasi untuk memperkuat validitas hasil penelitian. Pendekatan ini
merefleksikan kesadaran bahwa satu metode tunggal seringkali tidak cukup untuk
menjelaskan fenomena kompleks, terutama dalam ilmu sosial dan humaniora
(Creswell, 2013). Oleh karena itu, fleksibilitas metodologis menjadi ciri
penting post-positivisme yang mengedepankan kedalaman dan ketelitian analisis.
4.6. Kesadaran
Etis dan Tanggung Jawab Ilmiah
Post-positivisme menekankan bahwa proses
ilmiah tidak bisa dipisahkan dari dimensi etis. Peneliti tidak hanya
bertanggung jawab atas keakuratan data, tetapi juga terhadap dampak sosial dan
moral dari penelitian yang dilakukan. Hal ini mencerminkan perubahan orientasi
ilmiah dari sekadar “menjelaskan dunia” menuju keterlibatan aktif dalam
membentuknya secara bertanggung jawab (Guba & Lincoln, 1994). Oleh karena
itu, post-positivisme menuntut integritas intelektual dan tanggung jawab sosial
dari setiap pelaku riset.
Dengan karakteristik-karakteristik ini,
post-positivisme menawarkan pendekatan yang lebih reflektif dan realistis
terhadap proses pencarian ilmu. Ia tidak menjanjikan kepastian mutlak, namun
tetap mengupayakan kebenaran melalui mekanisme rasional, terbuka, dan sadar
konteks. Paradigma ini menghadirkan wajah ilmu pengetahuan yang lebih
manusiawi: ilmiah, tetapi tidak angkuh; terbuka, namun tidak relativistik.
5.
Post-positivisme dalam Metodologi Penelitian
Post-positivisme tidak hanya menawarkan
kerangka filsafat ilmu yang bersifat reflektif dan kritis, tetapi juga
memengaruhi secara signifikan bagaimana penelitian ilmiah dilakukan, terutama
dalam hal desain metodologis, pendekatan terhadap data, serta strategi
validasi. Dalam paradigma ini, proses ilmiah dipahami sebagai suatu upaya
sistematis untuk mendekati kebenaran melalui uji hipotesis, refleksi kritis,
dan kesadaran akan keterbatasan epistemologis. Oleh karena itu, post-positivisme mendorong
peneliti untuk mengembangkan metodologi yang tidak hanya ketat secara teknis,
tetapi juga terbuka terhadap kompleksitas sosial dan nilai-nilai yang
menyertainya.
5.1.
Penekanan pada
Falsifikasi, Bukan Verifikasi
Salah satu sumbangan utama post-positivisme terhadap metodologi
penelitian adalah pergeseran dari verifikasi menuju falsifikasi. Dalam
pandangan positivistik, teori dianggap benar apabila telah diverifikasi oleh
data empiris secara konsisten. Namun menurut Karl Popper, tidak mungkin
membuktikan teori secara pasti hanya dengan akumulasi bukti; sebaliknya, teori
harus diuji melalui upaya untuk membantahnya (conjectures and refutations)
(Popper, 1959). Dengan demikian, penelitian dalam paradigma post-positivistik
dirancang untuk menantang hipotesis awal dan melihat apakah ia mampu bertahan
dari berbagai bentuk pengujian kritis.
5.2.
Keterbukaan terhadap
Mixed Methods
Post-positivisme tetap mempertahankan keunggulan metode kuantitatif
yang sistematis dan terukur, tetapi tidak menutup diri terhadap pendekatan
kualitatif dan mixed methods. Ini merupakan implikasi dari kesadaran
bahwa data empiris yang diperoleh melalui survei atau eksperimen tidak selalu
mampu menangkap kompleksitas konteks sosial atau makna subjektif yang membentuk
fenomena (Creswell, 2013). Oleh karena itu, banyak peneliti post-positivistik
yang menggabungkan data kuantitatif dengan wawancara, studi kasus, atau
analisis dokumen untuk memperluas pemahaman mereka tentang objek kajian.
5.3.
Strategi Triangulasi
untuk Meningkatkan Validitas
Karena post-positivisme mengakui bahwa pengamatan ilmiah tidak pernah
sepenuhnya objektif, maka strategi untuk mengurangi bias menjadi sangat
penting. Salah satu teknik yang digunakan adalah triangulasi, yaitu
penggunaan berbagai sumber data, metode, atau perspektif untuk mengkaji satu
fenomena yang sama (Denzin, 1978). Triangulasi bertujuan memastikan bahwa hasil
penelitian tidak bergantung pada satu sumber informasi atau pendekatan tunggal,
melainkan merupakan konvergensi dari berbagai bukti yang saling menguatkan. Ini
memberikan validitas dan keandalan yang lebih tinggi terhadap temuan
penelitian.
5.4. Peran
Hipotesis dalam Penelitian Post-positivistik
Dalam paradigma ini, penelitian dimulai dari kerangka teori yang
melahirkan hipotesis yang jelas dan terukur. Namun tidak seperti dalam
positivisme, hipotesis tersebut tidak dianggap sebagai kebenaran yang harus
dibuktikan, melainkan sebagai proposisi awal yang harus diuji dan terbuka
terhadap penolakan (Phillips & Burbules, 2000). Penggunaan teori tetap
penting, tetapi dengan sikap metodologis yang kritis dan anti-dogmatis. Ini
menciptakan siklus ilmiah yang bersifat terbuka dan progresif, karena setiap hasil
penelitian selalu membawa kemungkinan revisi terhadap teori awal.
5.5. Validitas
dan Reliabilitas yang Direkonstruksi
Post-positivisme merekonstruksi konsep validitas dan reliabilitas.
Validitas tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian mutlak antara teori dan
realitas, tetapi sebagai kemampuan pendekatan penelitian untuk menjawab
pertanyaan secara meyakinkan dalam konteks tertentu. Sementara reliabilitas
tidak semata-mata berarti hasil yang bisa direproduksi, tetapi juga menyangkut
konsistensi logis dalam prosedur dan interpretasi (Lincoln & Guba, 1985).
Oleh karena itu, standar metodologis dalam post-positivisme menjadi lebih
adaptif, kontekstual, dan reflektif terhadap keragaman objek kajian.
5.6. Peneliti
sebagai Instrumen yang Sadar Diri
Dalam paradigma post-positivisme, peneliti bukanlah instrumen yang
netral dan sepenuhnya terpisah dari objek yang diteliti. Ia adalah subjek aktif
yang membawa asumsi, latar belakang, dan nilai-nilai tertentu ke dalam proses
penelitian. Oleh karena itu, post-positivisme menuntut adanya refleksivitas,
yakni kesadaran dan keterbukaan peneliti terhadap kemungkinan bias pribadi dan
struktur kekuasaan yang memengaruhi proses ilmiah (Guba & Lincoln, 1994).
Refleksivitas ini bukan untuk menghilangkan subjektivitas, tetapi untuk
mengelolanya secara jujur dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, post-positivisme dalam metodologi penelitian
menekankan keseimbangan antara ketelitian ilmiah dan kesadaran kritis. Ia tidak
menolak metode ilmiah konvensional, tetapi menyempurnakannya melalui pendekatan
yang lebih terbuka terhadap pluralitas metode, kompleksitas sosial, dan
keterbatasan manusia. Melalui prinsip falsifikasi, triangulasi, dan
refleksivitas, post-positivisme membentuk budaya riset yang lebih tanggap
terhadap dinamika pengetahuan dan lebih etis dalam penerapannya.
6.
Kritik terhadap Post-positivisme
Meskipun post-positivisme dianggap sebagai kemajuan penting dalam
filsafat ilmu karena mampu mengoreksi keterbatasan positivisme, pendekatan ini
tidak luput dari kritik, baik dari kalangan konstruktivis, interpretivis,
maupun para filsuf kritis. Kritik-kritik tersebut terutama berkaitan dengan
klaim post-positivisme yang masih mempertahankan sisa-sisa warisan
positivistik, terutama dalam hal objektivitas, realisme, dan penggunaan metode
kuantitatif yang dominan. Dengan kata lain, bagi sebagian pengkritik, post-positivisme
belum cukup “post”.
6.1. Masih
Terjebak dalam Kerangka Objektivitas Tradisional
Meskipun post-positivisme mengakui bahwa pengetahuan bersifat tentatif
dan pengamatan tidak pernah sepenuhnya bebas nilai, paradigma ini tetap
mempertahankan gagasan objektivitas sebagai tujuan ilmu pengetahuan. Dalam hal
ini, para filsuf konstruktivis menilai bahwa post-positivisme belum benar-benar
mampu melepaskan diri dari mitos netralitas dan objektivitas ilmiah (Guba &
Lincoln, 1994). Mereka berargumen bahwa realitas sosial tidak dapat direduksi
menjadi satu versi kebenaran yang “lebih mendekati” realitas objektif, karena
kebenaran sendiri bersifat plural dan terikat konteks.
6.2. Ketergantungan
pada Realisme Kritis Dinilai Tidak Konsisten
Post-positivisme mendasarkan diri pada critical realism, yaitu
pandangan bahwa realitas memang ada di luar kesadaran manusia, tetapi tidak
bisa dipahami secara sempurna. Namun, para kritikus menyatakan bahwa posisi ini
problematik karena tetap mendasarkan validitas ilmu pada adanya realitas
obyektif, padahal post-positivisme sendiri mengakui keterbatasan epistemologis
manusia dalam mencapainya. Ini menciptakan ketegangan antara klaim ontologis
dan epistemologis yang dianggap tidak sepenuhnya konsisten (Bhaskar, 1975).
Dalam pandangan ini, realisme kritis dianggap sebagai kompromi yang ambigu dan
tidak cukup radikal untuk menjawab tantangan postmodern.
6.3. Dominasi
Pendekatan Kuantitatif dan Pengabaian Dimensi Makna
Walaupun post-positivisme terbuka terhadap metode mixed methods,
pendekatan ini sering tetap menekankan pengukuran, generalisasi, dan
prinsip-prinsip kausalitas linear. Hal ini membuatnya dinilai kurang mampu
menangkap dimensi makna, pengalaman subjektif, serta konstruksi sosial yang
kompleks dalam kehidupan manusia. Pendekatan interpretif berpendapat bahwa
realitas sosial tidak bisa dijelaskan secara objektif karena selalu terbentuk
dalam interaksi simbolik, bahasa, dan kekuasaan (Schwandt, 2000). Oleh karena
itu, kritik ini menyerukan perlunya pergeseran lebih jauh ke arah paradigma
yang memahami realitas sebagai konstruksi sosial yang dinamis.
6.4. Kurangnya
Kesadaran Kritis terhadap Relasi Kuasa dalam Ilmu Pengetahuan
Post-positivisme cenderung memfokuskan diri pada proses koreksi ilmiah
secara internal (melalui falsifikasi, revisi teori, dan konsensus ilmuwan),
tetapi dinilai belum cukup memberikan perhatian pada relasi kuasa dan ideologi
yang membentuk produksi pengetahuan. Pendekatan kritis, seperti yang
dikembangkan oleh Jurgen Habermas dan Paulo Freire, menekankan bahwa ilmu tidak
pernah netral, dan selalu terlibat dalam struktur sosial yang mempertahankan
atau menantang ketimpangan kuasa (Habermas, 1971). Dalam konteks ini,
post-positivisme dikritik karena gagal mengintegrasikan kesadaran emansipatoris
dalam proyek ilmiahnya.
6.5. Kekaburan
antara Keterbukaan dan Ketegasan Metodologis
Salah satu kekuatan post-positivisme adalah fleksibilitasnya dalam
menggabungkan berbagai pendekatan. Namun, hal ini juga menjadi sumber kritik
karena dianggap menciptakan ambiguitas dalam kriteria metodologis dan
prosedural. Tanpa fondasi filosofis yang benar-benar kokoh dan batas
metodologis yang jelas, post-positivisme berisiko menjadi kerangka yang terlalu
longgar dan permisif. Akibatnya, ia dapat kehilangan koherensi sebagai
paradigma ilmiah yang dapat dibedakan secara tegas dari pendekatan lainnya (Crotty,
1998).
Dengan demikian, meskipun post-positivisme telah memberikan kontribusi
penting dalam memperbaiki keterbatasan positivisme klasik, paradigma ini tetap
menjadi objek kritik dari berbagai sudut pandang. Kritik-kritik tersebut tidak
serta-merta membatalkan relevansi post-positivisme, melainkan mendorong
pengembangan paradigma ilmu yang lebih reflektif, kontekstual, dan sadar akan
dimensi sosial serta etis dari praktik ilmiah. Dalam menghadapi kritik ini,
post-positivisme dituntut untuk terus membuka diri terhadap dialog lintas
paradigma demi merumuskan pendekatan ilmu yang lebih inklusif, adil, dan
transformatif.
7.
Relevansi dan Kontribusi Post-positivisme di Era
Kontemporer
Di tengah kompleksitas realitas sosial, politik, ekonomi, dan ekologi
pada era kontemporer, paradigma post-positivisme hadir sebagai pendekatan
ilmiah yang adaptif, reflektif, dan realistis terhadap keterbatasan pengetahuan
manusia. Post-positivisme tidak hanya merekonstruksi ulang cara berpikir ilmiah
yang kaku dan deterministik sebagaimana diwariskan positivisme klasik, tetapi
juga menanamkan kesadaran epistemologis bahwa ilmu selalu bersifat tentatif,
terbuka terhadap revisi, dan tidak lepas dari konteks nilai serta relasi kuasa.
Di sinilah letak relevansi dan kontribusinya yang signifikan bagi dunia
keilmuan masa kini.
7.1.
Merespons
Kompleksitas Dunia Modern
Zaman modern ditandai oleh realitas sosial yang majemuk, dinamis, dan
sering kali tidak dapat dijelaskan secara linear. Dalam konteks ini,
post-positivisme menawarkan kerangka berpikir yang lebih inklusif terhadap
pluralitas data, sudut pandang, serta ketidakpastian fenomena. Pendekatan ini
memungkinkan para ilmuwan untuk tetap berpijak pada logika rasional dan
empiris, namun dengan kesadaran akan adanya bias, interpretasi, dan
keterbatasan dalam observasi (Popper, 1959). Dengan demikian, post-positivisme
lebih cocok untuk menjawab tantangan zaman yang tidak selalu dapat dirumuskan
dalam hubungan sebab-akibat sederhana.
7.2. Mendukung
Perkembangan Metode Penelitian yang Lebih Luwes
Post-positivisme menjadi fondasi bagi munculnya pendekatan mixed
methods dalam penelitian sosial dan pendidikan, yaitu penggabungan metode
kuantitatif dan kualitatif secara sinergis. Hal ini merupakan kontribusi
penting dalam menjembatani jurang antara dua kutub metodologis yang selama ini
dianggap terpisah. Sebagaimana diungkapkan oleh Creswell dan Plano Clark,
post-positivisme membuka ruang bagi pendekatan pragmatis, di mana validitas
hasil penelitian tidak hanya dinilai dari satu jenis data, tetapi dari
keterpaduan berbagai sumber informasi yang saling memperkaya (Creswell & Plano
Clark, 2011).
7.3. Menumbuhkan
Etika dan Refleksi dalam Produksi Ilmu Pengetahuan
Paradigma post-positivistik mengajak para ilmuwan untuk tidak sekadar
mengejar kebenaran yang bersifat teknis-instrumental, tetapi juga
mempertimbangkan aspek etis, kontekstual, dan reflektif dari proses keilmuan.
Artinya, ilmu tidak berdiri di ruang hampa, melainkan tumbuh dalam masyarakat
yang penuh dengan ideologi, kekuasaan, dan keberagaman nilai (Guba &
Lincoln, 2005). Dalam era di mana disinformasi dan bias ideologis kerap
mewarnai wacana ilmiah, post-positivisme menjadi penawar yang mengingatkan pentingnya
kerendahan hati ilmiah, falsifiabilitas, serta komitmen terhadap dialog kritis.
7.4.
Memfasilitasi
Interdisiplinaritas dan Kolaborasi Ilmu
Relevansi post-positivisme juga tampak dalam kemampuannya untuk menjadi
dasar epistemologis bagi penelitian interdisipliner. Dalam dunia yang
problematikanya lintas sektor dan lintas disiplin—seperti isu perubahan iklim,
keadilan sosial, kesehatan global, dan kecerdasan buatan—dibutuhkan paradigma
yang mampu menyatukan kerangka empiris dengan nilai-nilai normatif.
Post-positivisme, dengan fleksibilitas metodologis dan refleksivitasnya,
menjadi jembatan antara ilmu alam dan ilmu sosial, antara pendekatan deduktif
dan interpretatif (Tashakkori & Teddlie, 2010).
7.5. Memberikan
Landasan untuk Transformasi Sosial Berbasis Ilmu
Di era di mana ilmu dan teknologi sering dijadikan alat untuk mendukung
kepentingan kapitalisme global atau pemerintahan otoriter, post-positivisme
mendorong arah baru bagi ilmu yang lebih humanistik dan transformatif. Ilmu
tidak hanya menjadi sarana untuk memahami realitas, tetapi juga untuk
mengubahnya ke arah yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan. Dengan
mengakui keterbatasan pengetahuan, post-positivisme sekaligus menumbuhkan
tanggung jawab ilmuwan dalam menggunakan ilmu demi kemaslahatan manusia (Habermas,
1971).
Dengan demikian, post-positivisme tidak
sekadar menjadi warisan intelektual pasca-positivisme, tetapi juga fondasi yang
kokoh bagi perkembangan keilmuan masa kini. Dalam lanskap dunia yang sarat ketidakpastian, konflik nilai, dan
tantangan global, paradigma ini menawarkan jalan tengah antara objektivitas dan
subjektivitas, antara metode dan makna, antara sains dan kemanusiaan. Ia bukan
hanya paradigma ilmiah, tetapi juga refleksi filosofis tentang bagaimana
manusia seharusnya bersikap terhadap ilmu, realitas, dan tanggung jawab
sosialnya.
8.
Penutup
Post-positivisme hadir sebagai koreksi sekaligus evolusi epistemologis
dari positivisme yang selama abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20
mendominasi wacana ilmu pengetahuan. Ia bukan sekadar gugatan terhadap klaim
objektivitas absolut dan netralitas ilmuwan, tetapi juga merupakan upaya untuk
mereposisi ilmu dalam kerangka yang lebih manusiawi, reflektif, dan sadar akan
kompleksitas realitas. Post-positivisme menyadarkan bahwa pengetahuan ilmiah
selalu berada dalam bayang-bayang keterbatasan manusia: keterbatasan dalam
mengamati, memahami, dan menjelaskan dunia secara utuh dan final (Popper,
1959).
Dengan semangat falsifikasionisme dan kerangka kerja yang tetap berpijak
pada rasionalitas empiris, post-positivisme tetap mempertahankan komitmen
terhadap pencarian kebenaran, namun dengan penuh kesadaran akan potensi bias,
pengaruh nilai, serta konstruksi sosial di balik produksi ilmu pengetahuan
(Guba & Lincoln, 2005). Kesadaran ini bukan melemahkan ilmu, tetapi
justru memperkuatnya dengan sikap terbuka, kritis, dan terus-menerus
merefleksikan asumsi-asumsinya.
Di era kontemporer yang ditandai oleh
keterhubungan global, krisis multidimensi, dan pertarungan wacana, paradigma
post-positivistik memainkan peran penting dalam memperkaya pendekatan ilmiah
yang adaptif, kolaboratif, dan etis. Ia menjadi pengingat bahwa kebenaran
ilmiah bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, tetapi selalu bersifat tentatif
dan dapat ditinjau ulang seiring berkembangnya data, metode, dan perspektif.
Pendekatan ini memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk membangun
pengetahuan yang lebih inklusif, transformatif, dan bertanggung jawab terhadap
konteks sosial serta moralitas yang melingkupinya (Habermas, 1971).
Dengan demikian, post-positivisme tidak
hanya penting sebagai paradigma alternatif dalam filsafat ilmu, tetapi juga
sebagai panduan etis dan metodologis dalam praktik keilmuan masa kini. Ia
menawarkan jalan tengah yang menyeimbangkan antara rasionalitas dan kesadaran
diri, antara metodologi dan nilai, antara ketertiban ilmiah dan keterbukaan
terhadap kompleksitas. Paradigma ini mendorong manusia untuk terus mencari,
sembari menyadari bahwa setiap jawaban ilmiah pada hakikatnya adalah langkah
kecil dalam proses panjang pemahaman terhadap realitas yang terus berubah dan
tak pernah sepenuhnya selesai.
Daftar Pustaka
Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (2005). Paradigmatic controversies,
contradictions, and emerging confluences. In N. K. Denzin & Y. S.
Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp.
191–215). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J.
Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.
Phillips, D. C., & Burbules, N. C. (2000). Postpositivism and
educational research. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. London:
Hutchinson & Co.
Ryan, A. (1970). The philosophy of the social sciences. London:
Macmillan.
Schwandt, T. A. (2000). Three epistemological stances for qualitative
inquiry: Interpretivism, hermeneutics, and social constructionism. In N. K.
Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (2nd
ed., pp. 189–213). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Smith, M. J. (1998). Social science in question. London: Sage
Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar